FIRST MAN Review

“Failures are great learning tools..”

 

 

 

Sejak jaman Jules Verne, manusia sudah mendambakan terbang ke bulan. Manusia butuh sesuatu yang tinggi sebagai simbol dari cerahnya harapan, sebagai tolak ukur pencapaian. Kita mendongak menatap sesuatu yang ingin kita gapai. Puncak perjalanan manusia kala itu adalah sampai ke bulan. Bahkan menjadi sebuah kompetisi, but it really moves human forward. Dan setelah asap roket dan asap kompetisi itu sirna, Neil Armstrong adalah sosok yang berdiri di sana, yang menjejakkan harapan umat manusia ke tempat setinggi-tingginya. Apa yang ia rasakan di atas situ. Apa makna perjalan tersebut bagi dirinya. First Man adalah cerita tentang diri Neil Armstrong, sebagai seorang manusia.

Ini bukan lagi soal kemajuan teknologi semata. Ini bukan perihal memenangkan perlombaan. Ini bukan catatan kemenangan negara yang superpower. Ini bahkan bukan tentang menjadi pahlawan yang dielu-elukan berhasil menjalankan misi. Ini adalah cerita tentang seorang manusia yang selama hidupnya pertama kali merasakan dirinya terbang oleh determinasinya untuk survive dari duka kehilangan dan kegagalan.

kalo ini film Indonesia, lagunya pasti “Ambilkan bulan, Pa”

 

Sejak George Melies ngajak kakek-nenek buyut kita jalan-jalan ke bulan lewat film pendeknya (A Trip to the Moon – 1902), para pembuat film juga berlomba-lomba menceritakan kisah perjalanan manusia ke luar angkasa. Mengeksplorasi ruang tanpa batas, menjelajah tempat yang tidak diketahui dengan ilmu pengetahuan, akan menjadi porsi utama cerita-cerita tersebut. First Man, berbeda dari lainnya, membawa kita ke atas sana sembari tetap menjejakkan kaki kita sedalam-dalamnya ke tanah paling akrab yang disebut dengan kemanusiaan yang berkekeluargaan.

Fokus cerita adalah Neil Armstrong dan keluarganya yang kehilangan putri pertama karena kondisi kesehatan. Grief yang selalu terpatri di dalam diri Armstrong, yang ia akui akan terus memberikan pengaruh kepada pekerjaannya sebagai seorang astronot NASA. Armstrong mengajukan diri dan terpilih dalam program antariksa terbang mencapai bulan. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan program tersebut, dan bagaimana itu semua mempengaruhi pribadinya, bagaimana dampaknya terhadap keluarga lah yang benar-benar dijadikan inti utama. Film ini tidak mengandalkan efek komputer sebanyak mereka mengandalkan penampilan akting Ryan Gosling dan Claire Foy (tuan dan nyonya Armstrong themselves) yang fenomenal. Gosling benar-benar membawakan ruh Armstrong ke dalam dirinya. Kita kerap mendapati permainan peran yang tersirat dan enggak exactly meledak-ledak dari Gosling, dan sebagai Armstrong pun dia menyuguhkan penampilan yang serupa. Tapi kadang terasa aneh juga, kekaleman Armstrong ini membuat kita terlepas dari cerita karena kita tidak pernah betul-betul tahu banyak ‘siapa dan darimana’ dirinya.

Alih-alih menyuguhkan sajian blockbuster memperlihatkan misi manusia yang berangkat ke bulan, Damien Chazelle mengembangkan cerita dari perspektif yang sangat personal. Bahkan, sang sutradara sendiri pun beranjak keluar dari zona nyamannya; Chazelle biasanya menggarap cerita yang bertemakan musik, namun dalam First Man kita akan melihat gimana Armstrong, yang disebutkan cakap bermain piano, menolak memainkan alat musik tersebut. Saat menonton First Man, kita tidak menjadi excited dengan melihat efek ledakan ataupun keseruan dari misi eksplorasi yang gone wrong. Hati kita jumpalitan melihat adegan Armstrong duduk bersama keluarganya di meja makan, malam sebelum ia menjalankan misi mencoba terbang ke bulan. Seorang ayah yang harus menjelaskan kepada putra-putranya dia harus pergi dan mungkin tidak akan pernah kembali. Seorang ibu yang duduk terdiam di sana, memahami situasi dan menelan rasa khawatirnya bulat-bulat sehingga ia tidak berteriak menuntut suaminya untuk menjalani pekerjaan normal seperti yang ia impikan.

Konflik kemanusiaan dalam ceritanya yang membuat kita bertahan duduk menghabiskan durasi film yang memang cukup panjang. Di lain kesempatan, film memparalelkan apa yang dirasakan oleh Armstrong mengenai pergi dan mengorbankan yang ia miliki demi sesuatu yang nun jauh di sana dengan keadaan sosial politik yang menimpa rakyat Amerika kala itu sehubungan dengan program ruang angkasa yang hendak ia jalani. Pemakaman sudah seperti menjadi jamuan bulanan buat Armstrong dan istrinya. Dia sudah kehilangan begitu banyak teman dan rekan kerja sesama ‘pelaut luar angkasa’ dalam usaha mereka menjalankan program tersebut. Dalam satu momen yang langka; Armstrong meninggikan suaranya, ia berseru bahwa kegagalan adalah keharusan lantaran mereka sudah sepatutnya gagal dan belajar dari kegagalan tersebut mumpung masih di bawah sini, supaya tidak ada kegagalan begitu sudah sampai ke atas sana. Bentrokannya adalah; at what cost? Film memperlihatkan gejolak dari masyarakat yang mempertanyakan keputusan pemerintah mengeluarkan dana besar untuk sesuatu yang berbahaya dan tak pasti, padahal masih ada hal yang lebih dekat lagi yang semestinya diberikan aliran dana.

orang sudah nyampe bulan, eee kita masih bingung bulan depan makan apa

 

 

Film berusaha menangkap semua aspek ceritanya dalam tampilan yang natural. Enggak dibuat-buat. Maka dari itu, aku menyarankan untuk tidak menonton film ini dalam keadaan perut yang kosong. Karena sebagai kontras dari adegan drama dan masalah keluarga yang direkam dengan relatif tenang, adegan-adegan yang berhubungan dengan astronot dan percobaan luar angkasa pun betul-betul dibuat senyata mungkin. Maksudku, kameranya – yang sedari awal sudah dibuat grainy biar sesuai dengan waktu kala itu – juga ditangani dengan sangat praktikal. Chazelle menggunakan teknik kamera handheld untuk sebagian besar adegan; di satu pihak dia berhasil menyatukan efek-efek dengan mulus, membuat setiap adegan tersebut sangat menakutkan dan penuh suspens. Namun di pihak lain, itu berarti kamera akan sering bergoyang hebat. Membuat kita seperti persis berada di dalam roket, mengalami semua guncangan yang dirasakan Armstrong dan teman-temannya. Dan ini bisa menjadi pengalaman yang membuat mual. Menonton ini aku jadi bersyukur aku kepentok dalam cita-citaku menjadi astronot, karena jika nonton film ini aja aku udah merasa mau muntah karena goyang-goyangnya, gimana kalo aku jadi pilot roket ke bulan beneran? Belum ninggalin atmosfer, bisa-bisa aku sudah pingsan duluan dengan bola mata berputar-putar kayak di film-film kartun.

Salah satu yang paling menakjubkan itu adalaha ketika Armstrong beneran nyampe ke bulan. Pengalaman menontonnya benar-benar terasa mengharukan. Suasana yang mendadak hening karena di sana enggak ada angin, padahal kita tahu di Bumi sana orang seluruh dunia mendengarkan siaran langsung misi mereka. Suara kresek-kresek komunikasi satelit mereka dengan menara NASA. Kalimat ikonik yang diucapkan oleh Armstrong. Seolah kita menjadi orang ketiga yang ikut, yang menjejakkan kaki di sana. Melihat dirinya terdiam di atas sana, hanya berdiri untuk beberapa saat.. Merinding! Atau paling tidak, aku merasa seperti orang-orang yang mendengarkan langsung siarannya saat peristiwa tersebut beneran terjadi bertahun lalu. Kita banyak mendengar berita bahwa film ini diprotes oleh warga Amerika lantaran tidak memperlihatkan adegan spesifik penancapan bendera. Setelah melihat film ini, dan menyaksikan sendiri sekuen di bulan tersebut, aku bisa melihat kenapa adegan penancapan bendera itu tidak disorot. Dan itu bukan karena pembuatnya gak nasionalis. Melainkan karena adegan tersebut akan mengganggu kekonsistenan tema film; sebab ini adalah tentang pencapaian manusia seutuhnya, yang diwakili oleh Armstrong di luar kewarganegaraannya.

Jika ada satu hal yang membuatku penasaran dari bagian di bulan tersebut, maka itu adalah hal personal yang dilakukan oleh Armstrong saat dia memandang kawah bulan dari dekat. Kalo disebutin, akan spoiler banget, aku yakin kalian keberatan jika terlalu spoiler. Maka aku hanya bisa bilang, aku cukup mendua perihal adegan tersebut. Adegan yang menyentuh tersebut, akan berkurang kekuatannya jika tidak benar-benar dilakukan oleh Armstrong di dunia nyata; dia hanya bersifat teatrikal belaka. Lain halnya jika hal itu beneran terjadi, dan kita baru pertama kali melihat sisi tersebut dari sosok Armstrong. Saat membuat film ini, diberitakan mereka memang melakukan riset dengan langsung mewawancarai keluarga Armstrong, jadi adegan yang kumaksudkan di sini bisa saja beneran terjadi, akan tetapi tidak ada informasi lebih jauh yang bisa mengonfirmasi hal tersebut.

 

 

 

Usaha yang sungguh-sungguh menjadikan cerita sejarah ini sebagai pandangan yang sangat personal tentang cinta, harapan, dan keluarga. Segala aspek dan teknis diperhatikan dengan seksama, sehingga terciptalah nuansa pengalaman yang otentik dan keaslian. Sedikit mengecewakan adalah koneksi emosi kita dengan Neil Armstrong yang kerap terasa terputus, karena tokohnya dimainkan dengan emosi yang terlampau detached pada tipe cerita yang mengajak kita untuk berpegang erat kepada karakternya. Ini bukan tentang kejadian apa, melainkan siapa yang mengalaminya. Kita ingin berkomunikasi lebih banyak dengan tokoh utamanya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for FIRST MAN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa yang kira-kira kalian lakukan jika kalian tahu tidak akan gagal? Apakah sesuatu hanya berharga jika berhasil dilakukan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

 

UNFRIENDED: DARK WEB Review

“The greatest myth of our times is that technology is communication.”

 

 

 

Kita tahu sekarang udah jaman komputer salah satunya adalah dari ketika kita nonton film aja dialog filmnya “Eh udahan dong internetannya, ada film baru nih, yuk nonton, seru!” Yang kita tonton pun tak jauh-jauh dari layar komputer juga. Chat orang-orang dijadikan tontonan. Jokes aside, film yang ceritanya dibangun seluruhnya berdasarkan perspektif komputer seorang tokoh sebenarnya sungguh impresif. Pintar, menjadikan layar komputer sebagai alat untuk bercerita; membangun dunia dengan lapisan misteri, juga karakter, dari penggalan-penggalan komunikasi menjadi rangkaian aksi. Buktinya Unfriended (2015), Searching (2018), meski masih punya ‘glitch’ dan masalah penceritaan di sana-sini, film-film bergimmick komputer itu tak pelak udah sukses bikin kita tersedot ke dalam ceritanya.

Dan sekarang, Unfriended dibuat sekuelnya, dengan maksud mengeksplorasi dunia siber dengan lebih dalam. Dari segi konsep, Unfriended masih lebih baik dan konsisten karena film tersebut berani untuk mempercayai penonton mampu menangkap semua yang berusaha untuk mereka ceritakan dengan tidak ‘mengkhianati’ gimmick layarnya sendiri. Layar komputer itu tidak akan di-zoom, karena sesuai dengan dunia nyata, ketika kita membuka laptop atau komputer, kita akan membuka banyak hal sekaligus. Kita dengar musik, kita buka video, kita chatting, kita buka google untuk mencari informasi atau gambar-gambar lucu sebagai penunjang bahan obrolan; layar komputer kita naturally akan tumpuk menumpuk. Mata kita sudah terbiasa untuk melihat mana yang perlu dilihat. Unfriended tidak memisahkan kita dari sensasi melihat layar tersebut, begitu juga pada film keduanya ini. Unfriended: Dark Web malah mencoba untuk melangkah ke zona realita itu dengan lebih jauh lagi. Tidak lagi kita akan melihat aspek supernatural alias hal-hal goib di sini. Film mempersembahkan sebuah kengerian yang timbul ketika kita tercemplung ke dalam sesuatu yang tidak kita mengerti. Sesuatu yang ternyata lebih besar dari kelihatannya.

Kalian tahu gimana katanya kita hanya menggunakan sepuluh persen dari kekuatan maksimal otak? well yea internet juga begitu. Selain halaman penuh hoax, caci maki, propaganda ketakutan, challenge-challenge fun tapi pointless, dan jutaaan selfie produk keinsecuran diri tersebut, sebenarnya ada porsi lain dari internet yang tidak bisa kita masuki sembarangan, yang tidak bakal nemu meski tangan kita pegel ngetik Enter di mesin pencari, yang disebut dengan Deep Web. Dan jaringan Deep Web ini luas banget. Salah satunya adalah lapisan atau jaringan Dark Net; tempat segala informasi yang bikin bulu kuduk berdiri. Segala macam kejahatan bisa ditemukan di sini (tentu saja jika kita bisa masuk dulu ke Webnya), semuanya yang bisa kita pikirkan ada di sini. Juga sangat berbahaya, karena ini adalah tempat hang outnya para hacker. Unfriended: Dark Web menceritakan tentang gimana seorang pengguna internet biasa harus berurusan hidup-mati dengan lingkaran hacker dan kriminal di Dark Net.

suddenly, your hidden ‘funny’ files don’t matter anymore

 

Mencoba untuk berkomunikasi lebih baik dengan kekasihnya yang tuna rungu, Matias (Colin Woodell sebelumnya juga ikut bagian dalam film ‘layar komputer’, Searching) mengembangkan sebuah aplikasi chatting yang bisa langsung menuliskan apa yang ia sebut, lengkap dengan kamus bahasa isyarat. Tapi komputernya lemot. Jadi, Matias ini langsung semangat begitu dapat laptop baru yang lebih kenceng. Facetime mereka jadi lebih lancar, aplikasi buatannya juga langsung dites buat pacaran. Tak lupa pula laptop baru ini dipamerkan kepada geng sahabatnya sembari mereka bermain game lewat video-call. Tak lama, Game Night mereka berubah menjadi malam petaka. Pemilik lama laptop Matias muncul di facebook, meminta kembali laptopnya. Keadaan menjadi sulit lantaran Matias keburu tahu rahasia si pemilik lama, dan tanpa sengaja ia mencampuri urusan lingkaran bisnis si Pemilik Laptop yang berhubungan dengan penculikan wanita dan tindak kriminal mengerikan lainnya di Dark Net. Semua orang yang Matias sayangi ikut-ikutan terseret bersamanya.

Dalam lapisan terdalam dari aspek romansa Matias dengan pacarnya yang berbahasa isyarat, sebenarnya film bicara tentang masalah komunikasi. Kita menciptakan alat untuk mempermudah komunikasi; sosial media di internet, gadget, dan sebagainya, tapi itu tidak berarti komunikasi itu sendiri seketika menjadi lancar. Malahan terkadang, teknologi seperti mengeliminasi seni komunikasi itu sendiri. Komunikasi adalah soal kita untuk mau mengerti lawan bicara, effort yang berasal dari diri sendiri dan tak akan bisa diwakili oleh teknologi secanggih apapun.

 

Salah satu teman Matias ada yang diceritakan berasal dari Jakarta. Bahkan ada adegan cukup panjang dia bicara dengan bahasa Indonesia. Aku terkesan pada separuh bagian awal film ini, bukan exactly karena hal tersebut.. Penceritaan film ini diperkuat oleh uniknya hubungan Matias dengan pacarnya. Kita bisa melihat sebenarnya dia lumayan berusaha, dia sempat belajar bahasa isyarat (entah karena bego atau memang gak serius belajarnya adalah misteri berikutnya yang minta dipecahkan), kemudian dia beralih ke membuat aplikasi. Yang justru membuat pacarnya enggak senang. Dan dia sempat didiemin, chatnya gak dibales. Di sini tercipta ‘lingkungan’ yang menarik. Kita mungkin bisa teriakin saran ke mereka, tinggal ketik chat doang apa susahnya – tinggal baca, tapi mereka ingin benar-benar ‘berbicara’. Rintangan tak-terlihat ini menambah bobot banyak bagi karakter mereka. Yang sangat disayangkan, semakin Matias terjun ke Dark Web, cerita semakin jauh masuk ke zona thrillernya, film seolah melupakan aspek tersebut. Film hanya sibuk dan berusaha keras untuk menakuti kita.

Dan tidak pernah berhasil karena landasan untuk kita takuti itu nyatanya semakin jauh ke realita. Maksudku, bahkan film pertama yang ada elemen hantu balas dendam lewat laptop aja terasa lebih seram dan ‘nyata’. Karena story di belakangnya adalah tentang tragedi perundungan. Hal-hal terrible yang menimpa Laura Barns, kita percaya semua itu bisa (bahkan mungkin sedang) terjadi kepada murid sekolah manapun di dunia saat ini. Kejadian-kejadian seramnya lebih mudah dipercaya karena, ya, memang kejadian supranatural. Pada Dark Web, mereka memperlihatkan kepada kita masalah tentang kriminal di Dark Net – yang mungkin juga terjadi, who knows, tapi yang dilakukan oleh ‘antagonis’ di film ini tidak dibangun untuk bisa kita percaya bisa terjadi beneran. Ada mitos Chiron dan Sungai Styx (dari mitologi Yunani soal penyeberangan ke dunia orang mati) yang dijadikan simbol yang tidak menambah banyak bagi cerita. Yang dilakukan para Chiron juga tampak terlalu dibesar-besarkan, tidak plausible. Gimana mereka bisa muncul dengan tepat di waktu yang benar. Kita diharuskan percaya bahwa mereka hacker sehingga bisa melakukan berbagai hal yang nyaris gaib, bikin penampakan mereka ngeglitch dan sebagainya. It’s just.. para tokohnya begitu perfect dalam kerjaan mereka. Bahkan Matias saja mengetik dengan sangat lancar seolah tidak berpikir dahulu; aspek detil pada film pertama yang tidak kita temukan di sini.

Mungkin karena tokohnya cowok jadi lebih tegas dan gak baperan

 

 

Sebuah film hanya akan semenarik dan sebagus endingnya. Setelah menonton film ini, aku mencari tahu tentang endingnya. Ternyata, film ini dibuat dengan dua ending. Dan yang aku tonton sepertinya adalah versi yang lebih jelek. Aku gak mau bicara banyak karena bakal spoiler parah. Yang aku bisa bilang adalah, versi yang aku tonton, pada babak ketiganya banyak adegan kematian yang dibuat sekenanya. Kayak ada satu tokoh yang diam begitu aja di tengah jalan. I mean, come on, nenek-nenek yang gak bisa ngapalin password facebooknya sendiri aja juga tau kalo diem di tengah jalan bisa berakibat ditabrak mobil. Ending yang aku tonton semacam memperlihatkan ‘gambar besar’ dari apa yang sebenarnya terjadi. Fokusnya menjadi lebih ke dunia pada cerita ini sendiri ketimbang pada tokoh utamanya. Yang membuat plot si Matias menjadi tidak melingkar; tidak menutup. Dari apa yang kubaca pada artikel tentang dua ending film ini; versi yang lain – meski nasib para tokoh di akhir cerita tidak mengalami banyak perubahan; hanya ada satu berbeda secara signifikan – memberikan kesimpulan cerita yang lebih memfasilitasi plot karakter tokoh utama. Ada permainan kalimat yang cerdas sehubungan dengan dialog Matias dengan pacarnya di awal film yang dimunculkan kembali tentang gimana Matias menyesal tidak belajar bahasa isyarat lebih giat. Jadi ya aku kesel juga malah dapat film yang versi ending kurang kuat.

 

 

 

 

Lebih sebagai sebuah sajian thriller ketimbang horor. Menakjubkan gimana penceritaan film ini dibuat dengan sedekat mungkin dengan kenyataan. Perspektif layar komputernya tetap, dan masih, menjadi hal yang paling menarik. Tapi dari aspek kejadian mengerikannya, film banyak meminta kita untuk menahan rasa tidak percaya itu hingga ke titik film ini punya kredibilitas yang bahkan lebih rendah daripada film pertamanya yang tentang hantu main facebook.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for UNFRIENDED: DARK WEB.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Penasaran gak sih, kalo laptop atau komputer milik kalian jatuh ke tangan orang lain, kira-kira ada hal paling menakutkan yang bisa mereka temukan di dalamnya?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

VENOM Review

“Love is a positive, symbiotic, reciprocal flow between two or more entities.”

 

 

Eddie Brock menjadi jurnalis investigasi terkenal tidak dengan berobjektif-ria melaporkan fakta yang bisa dibaca orang di tempat lain. Dia mengungkap sesuatu yang (mungkin) disembunyikan, membangun pendapat dan penilaian pribadinya, melakukan riset terhadap suatu cerita, kemudian mempersembahkannya sebagai berita. Brock ‘memeras’ urusan orang demi keuntungannya, begitulah cara dia menegakkan kebenaran. Jurnalis kayak Brock ini pasti punya banyak musuh, bahkan orang terdekat pun bisa terluka olehnya. “You’re pathologically self absorbed!” pungkas pacarnya ketika Brock membawa dirinya ikutan dipecat lantaran Brock melanggar batas dalam suatu sesi wawancara dengan ilmuwan ternama. Ternyata, pathologically self absorbed tersebut sungguh foreshadowing apa yang bakal terjadi kepada Brock. Sebuah (atau seekor?) parasit luar angkasa terserap masuk ke dalam dirinya, mengubah Brock menjadi monster mengerikan; sesuatu yang selama ini hanya dikatakan orang mengenai dirinya.

Dunia lebih butuh jurnalis-jurnalis monster seperti Eddie Brock, yang menghadirkan berita yang menggigit disertai dengan investigasi rumit sehingga data-datanya kumplit, as opposed to berita yang hanya nyari sensasi – untuk kemudian diketahui ternyata hoax

 

Kita suka Venom lantaran tokoh ini brutal, ya selera humornya yang terkadang aneh, ya aksi berantemnya sangar. Jadi keputusan membuat film ini dengan rating PG-13 cukup membuatku menjulurkan lidah. Tapi, ya, bisalah kita pahami karena boleh jadi mereka ingin mengolaborasikan Venom dengan Spider-Man dan superhero Marvel yang lain di kemudian hari. Jadi, tone-nya harus diseragamin ringan. Dan demi memikirkan kemungkinan ini, kedua mataku terbelalak lebar. Mungkinkah mereka bisa bersatu – Venom actually adalah yang pertama dari Marvel Universe garapan Sony, sedangkan Spidey sudah bersarang di Marvel Cinematic Universe milik Disney? Venom dan Spider-Man tidak bisa untuk tidak tampil bersama, but how they could pull it off – apakah bakal ada dua Spider-Man?? Skenario terburuk adalah franchise Spidey versi Andrew Garfield yang failed dihidupkan kembali oleh Sony karena film Venom ini atmosfernya deket banget dengan film Amazing Spider-Man tersebut.

kurang lebih begini juga tampangku memikirkannya

 

 

Kekhawatiranku itu harus ditunda dulu karena film ini sudah dimulai. Tapi enggak lama sih, karena dari adegan pembukanya saja kita langsung bisa menerka betapa plotnya bakal se-basic yang bisa kita dapatkan dari cerita superhero – meskipun Venom sebenarnya tidak benar-benar pahlawan, dia lebih dekat sebagai antihero. Perusahaan jahat membawa organisme alien ke Bumi untuk suatu rencana pemusnahan umat manusia, yang tentu saja menjadi senjata makan tuan lantaran organisme itu gagal untuk mereka kendalikan. Eddie Brock berusaha mengungkap tindak yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Yang membawanya langsung kepada salah satu organisme yang disebut Symbiote. Brock dan si Symbiote yang menjadikannya inang belajar untuk bersatu. Atas nama para pecundang alam semesta, mereka berusaha mengalahkan rencana jahat dan menyelamatkan dunia.

Ada banyak bualan dan berbagai bentuk pseudo-science yang tidak pernah tampak menarik barang satu kali pun. Kita tidak perlu berlama-lama dibuai oleh cerita origin. Mereka punya kesempatan untuk mengarang cerita origin baru yang menarik, yang berbeda dari komik, tapi yang berhasil mereka rangkai merupakan cerita yang begitu usang yang bahkan anak kecil yang sudah nonton superhero dua tahun terakhir bisa mengarang cerita lebih bagus dari ini. Karena yang kita ingin lihat sebenarnya adalah bagaimana Eddie Brock belajar untuk kompakan dengan Venom di dalam tubuhnya. Dan bahkan aspek tersebut pun terasa cukup biasa, lantaran baru-baru ini kita sudah disuguhkan pengalaman serupa tentang bagaimana manusia berkompromi dengan chip komputer yang mengendalikan tubuhnya dalam film Upgrade (2018)

pada akhirnya aku hanya ingin melihat apakah Brock jadi memberi makan si kucing atau tidak

 

Elemen Brock melihat dengan ngeri saat Venom mengambil alih tubuhnya, menyerang dan bahkan menyelematkan dirinya dengan sulur-sulur berotot, that’s one fun element yang sayangnya tidak mendapat perhatian lebih dari pembuat film. Tidak benar-benar menggali sesuatu yang baru, terlebih karena kita baru saja menonton Upgrade. Film Venom hanya mengandalkan CGI untuk menghasilkan efek pertempuran yang fantastis. Sementara pada Upgrade kita melihat permainan kamera, yang disertai dengan koreografi yang benar-benar diperhatikan; film ini biayanya gak gede. Lucunya, membandingkan dua film tersebut, kita justru melihat Venom yang seperti murahan – semuanya tampak gampangan pada Venom karena simply mereka punya budget yang gede. Tidak ada usaha untuk menampilkan pengalaman yang melampaui batas. Dan ya, Venom itu hitam, menampilkan aksinya dalam langit malam bukanlah usaha yang menarik. Taruh dia sebagian besar berantem di siang hari, kontraskan wujudnya dengan sekitar, nah itu baru menarik.

Tom Hardy adalah aktor yang hebat, gak ada yang bakal mendebat kalo kita bilang begini. Hanya saja sebagai baik sebagai Eddie Brock ataupun Venom sekalipun, tidak banyak hal spesial yang ia lakukan. Hardy membawakan dengan meyakinkan transformasi Brock dari sebelum kenalan ama Venom ampe dia bergabung dengan parasit itu. Kita bisa melihat pengaruh Venom mengonsumsi tubuhnya. Kita juga mendengar mereka menjalin hubungan ‘kerja sama’ antara sesama pecundang. Tapi elemen cerita ini hanya berlaku satu arah. I mean, susah untuk melihat monster sekeren itu sebagai pecundang di planetnya tanpa membayangkan betapa kocaknya pem-bully-an yang mungkin terjadi di planet asal mereka. Yang bisa bikin kita percaya adalah betapa ‘jinak’nya Venom di film ini terasa. Salah satu adegan paling manis film ini datang dari Venom mengingatkan Brock untuk minta maaf kepada pacarnya. Namun terkadang, Venom yang jinak ini seperti penantian yang tak memuaskan. Baru pada mid-point kita melihat Brock embracing hidupnya sebagai inang Venom. Alih-alih melihat yang ganas-ganas dari struggle Brock berkompromi dengan Venom – belajar mengenainya, mereka bisa saja membuat Venom menyantap apapun, apa aja dehyang membuat Brock dan kita semua trauma, namun yang kita dapatkan adalah adegan Brock dan Venom, dengan cara yang konyol, menakut-nakuti tetangga yang main musik dengan keras karena dia membuat Venom lemah.

Cinta mestinya adalah hubungan simbiosis yang positif. Kita tidak harus merasa tak lengkap, kehilangan identitas, atau bahkan menyalahkan pasangan karena setelah bersama kita merasa bukan diri kita yang sebenarnya. Memang, kadang kita perlu untuk mengattach diri kepada tumpuan hati, so to speak. Yang harus diingat adalah ketika kita merasa ada kebutuhan emosional yang tak terpenuhi, tetaplah dependen terhadap diri sendiri, toh it’s not like your other half suck the life out of you.

 

Sudah lama kita enggak melihat keseluruhan wajah Tom Hardy dalam film, you know, biasanya dia akting kelihatan mata doang. Mungkin ini cuma aku, tapi di film ini aku melihat Hardy kalo ngomong dan membangun ekspresi mirip-mirip Reza Rahadian haha. Bicara soal kemiripan dengan Reza, aku pikir meskipun ini gak separah Reza dan Benyamin Biang Kerok (2018), tapi apa yang terjadi sama Tom Hardy di Venom ini adalah taraf yang cukup rendah baginya; Diambil menjadi bagian dari universe yang mengincar nama dan tidak benar-benar memanfaatkan potensinya, ini bukan simbiosis yang menguntungkan bagi Hardy.

 

 

 

 

Eddie Brock dan symbiote Venom akhirnya memang bisa bersatu, manusia ini bisa berkompromi dengan monster pelahap kepala manusia. Tapi bukan mereka saja yang harus diseimbangkan. Tone kekerasan dan komedi brutal dari fitrah karakter Venom, dimaksudkan untuk merasuk mulus dalam tubuh yang PG-13.  Hubungan emosional dan koneksi efek visual juga mestinya disejajarkan. Namun, untuk dua pasangan tersebut, film gagal meraih titik seimbang. Film ini mestinya ambigu untuk menjadi menarik, karena itulah yang membuat tokoh Venom sendiri begitu digemari sebagai antihero dari Spider-Man. Hanya saja, selain interaksi yang menyenangkan, kita akan lebih banyak melihat ketidakjelasan dalam bentuk adegan berantem.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for VENOM.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa dirugikan dalam suatu hubungan; baik pacaran ataupun pertemanan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

LIAM DAN LAILA Review

“Some third person decides your fate: this is the whole essence of bureaucracy”

 

 

Pertanyaan pertama yang dilontarkan kepada Liam ketika dia menginjak ranah Minangkabau adalah “Apa agamamu?” Facebook boleh jadi sudah ketinggalan jaman, begitu pesatnya dunia bergerak. Namun adat istiadat tetap harus dipijak, dengan agama sebagai dasarnya. Bagi manusia seberadab Liam, pertanyaan tersebut bukanlah terdengar seperti kekangan. Melainkan garis yang musti ia kejar. Bukan pula sekedar syarat baginya untuk menikahi Laila. Tetapi merupakan tujuan hidup. Banyak pasangan seperti Liam dan Laila; yang mengusahakan perbedaan mereka tidak dijadikan penghalang. Saat aku menonton ini, pasangan yang duduk di barisan depanku juga pasangan bule dan wanita Indonesia. Mereka berbeda agama. “Film tadi membuka hati saya akan cinta yang sesungguhnya” kata si pria bule dengan mantap menggunakan bahasa Indonesia.

Bukan hanya agama, cinta juga sebenarnya enggak bisa main-main. Bukan karena Laila, maka Liam jadi pindah keyakinan.  Laila ‘hanyalah’ simbol cinta yang ditemukan oleh Liam dalam perjalanannya mencari cinta yang ia yakini sepenuh hati. Inilah yang membuatnya kontras dengan keluarga niniak mamak Laila. Mereka terlalu memandang tinggi adat, melampaui agama yang mestinya mereka lindungi dengan adat tersebut. Di akhir film, sesungguhnya bukan Liam yang banyak belajar agama dari mereka. Melainkan mereka yang secara tak sadar, diajarin cara meyakini oleh Liam.

 

Liam (Jonatan Cerrada cukup kocak, logat bule ama logat orang padang berbahasa Indonesia ternyata mirip haha) nekat datang untuk meminang Laila (Nirina Zubir, sebaliknya, tampak cukup mengesankan tampil serius dan emosional dengan berbahasa minang). Di depan kandang singa, Liam mengutarakan maksud hatinya. Dia ingin masuk Islam, dan memperistri Laila, cewek yang ia kenal di facebook, yang sudah mengajarinya banyak hal tentang agama penuh damai ini. Tapi tentu saja pindah agama bukan urusan yang sepele. Pun menerima orang asing, bule pula, ke dalam keluarga Gadang yang erat tradisi. So yea, cerita film ini bisa dibilang sanak dari cerita Crazy Rich Asians (2018)Di mana Liam harus membuktikan kesungguhannya memeluk Islam. Dia harus membuktikan dirinya dapat dipercaya. Karena dari sisi keluarga, selalu ada prasangka dan kecemasan. Apalagi di jaman sekarang. Kenalan lewat sosial media aja sudah dinilai sebagai cukup mencurigakan. Dengan visanya yang habis dalam tiga-puluh hari, waktu turut mengejar Liam. Dia harus segera mengikrarkan keyakinannya, sebelum didaulat pantas untuk mengucapkan ijab kabul.

Dan cowok pengusaha daging di Perancis ini menghabiskan 4 hari dari waktunya yang berharga dengan diam di kamar hotelnya (Hotel Mersi, pardon my french hihi) menunggu keputusan rapat keluarga Laila.

kirain bakal ada candaan klasik “Paris – Pariaman dan Sekitarnya” hihi

 

It’s really hard to pinpoint siapa yang dijadikan fokus utama cerita ini. Secara natural, aku pikir Liam akan jadi sudut pandang tubuh cerita; kita melihat tokoh ini muncul duluan di layar, dia diberikan batas waktu, dia yang punya misi untuk membuktikan diri. Tapi cerita tidak segera membuat tokoh ini menjadi tokoh utama. Dia gak ngapa-ngapain sebagian besar cerita. Dia hanya dibantu, ditempatkan dalam situasi, dan dia nurut aja karena memang dia tidak punya tempat untuk melawan adat. Liam akan melalui berbagai tata cara masuk Islam, dia membaca syahadat, kemudian disunat, tapi pilihan-pilihan yang tokoh ini ambil jarang sekali menambah atau bahkan punya kepentingan untuk bobot cerita. Untuk alasan kelucuan, dan menambah intensitas sekenanya kita akan melihat Liam yang masih bersarung abis sunatan dikejar-kejar satpam yang mengira dia mau kabur.

Mungkin karena dia cowok, jadinya harus less-drama apa gimana, tantangan yang diberikan film kepada Liam hanya berupa tantangan birokrasi. Dia dipersulit untuk masuk Islam. Dia harus bolak-balik Jakarta-Sumbar demi mengurus surat tanda belum menikah. Bahkan dia harus menunggu suratnya tersebut ditandatangan. Ada satu petugas KUA yang bakal bikin kita pengen mendalami ilmu palasik supaya bisa menyedot habis darahnya di tengahmalam, dan aspek ini pun enggak pernah terasa dua-sisi. It’s just.. birokrasi jelek, dan Liam dipersulit karena ketakutan tak wajar kepada penduduk asing. Semua hal tersebut tidak pernah tampak benar-benar menarik karena dari sisi keluarga besar Laila, kita tahu ada bentrokan pandangan yang sengit. Dan Liam bahkan tidak tahu soal itu. Dia tidak boleh – dan tidak pernah datang – setiap keluarga Laila mengadakan pertemuan di Rumah Gadang. Actually, ini tradisi Minangkabau, tradisi keluarga di sana memang ketat banget. Dan di keluarga Laila, semuanya diputuskan oleh Mak Tuo, sebagai anggota keluarga paling tua. Mak Tuo inilah yang paling ‘meragukan’ Liam – bayangkan ibu camer di Crazy Rich Asians, tetapi tanpa domino dan lebih banyak kata-kata kiasan – final words ada di dia, dan Liam bahkan enggak pernah ketemu dengan beliau hingga akhir film di mana semuanya, tentu saja, berakhir baik-baik saja.

siapa anak yang disenyumin Liam di Masjid? Kenapa kamera begitu on-point ngesyut mukanya?

 

Laila, dibangun sebagai karakter dengan sedikit lebih baik. Kita juga diperlihatkan pekerjaannya apa, gimana dia adalah cewek yang mandiri, berpikiran terbuka, dan lebih maju dari beberapa keluarganya yang lain. Orang-orang di sekitar rumahnya mulai bergosip soal masalah jodohnya yang membuat rumah mereka selalu ribut di malam hari. Namun, Laila sendiri juga tidak bisa berbuat banyak. Karena ya urusan adat istiadat tadi itu. Kita tidak akan melihat baik Liam maupun Laila melakukan sesuatu yang tergolong menarik. Mereka tidak pernah melanggar batas apapun. Hal terjauh yang dilakukan Laila adalah mengomel sambil menangis mengenai jodohnya yang selalu ditentang karena hal-hal tak-penting yang terus saja dibesar-besarkan dalam rapat keluarga.

Mungkin ambo salah, mungkin memang indak ado tokoh utama di siko. Atau mungkin judulnya hanya pengalihan sebab bisa jadi ini adalah cerita tentang paman Laila, Jamil (David Chalik juga menunjukkan lapisan akting saat dengan tepat menunjukkan ‘kekakuan’ orang minang berbahasa Indonesia) yang berusaha memperjuangkan, bukan hanya kelancaran birokrasi di negeri ini, melainkan juga kesempitan pandang mengenai adat istiadat. Karena Jamil lah yang eventually orang yang paling banyak berkorban dan bertindak dalam cerita. Begini, seperti yang dijelasin Laila, dalam tradisi mereka Paman adalah salah satu yang bertanggung jawab menyukseskan acara pernikahan kemenakan wanita. Jamil yang aparat negara, mempertaruhkan pekerjaannya dengan pergi kemana-mana membantu Liam, memastikan semuanya lancar, demi Laila.

 

 

Birokrasi nyusahin yang sudah menjadi tradisi, juga sebaliknya kadang tradisi udah kayak birokrasi – yang asal ditegakkan, walaupun kita tidak lagi melihat kemasukakalannya 

 

Filmnya sendiri sebenarnya lucu. Paling tidak, buat aku yang mengerti candaan dan bahasa orang Minang. Gimana orang di sana menyebut semua motor dengan “Onda” alias honda, misalnya. Berikut kukasih tahu, bahasa minang itu sendiri kata-kata dalam satu kalimatnya sebenarnya lebih lucu daripada keseluruhan arti kalimat tersebut. Juga bagaimana setiap orang minang punya cara tersendiri dalam mengucapkannya. Sajian yang menyegarkan, karena kita jarang sekali dibawa mengintip budaya dari Sumatera sana. Dan Minangkabau punya banyak untuk digali, selain kulinernya. Juga sempat ada candaan gimana abang Laila meledek Liam pelit, dan itu lucu karena stereotipe yang ada ialah orang minang yang terkenal pelit. Hanya saja, aku pikir, kita perlu melihat lebih dalam dari ceritanya sendiri, yang mana sangat relevan. Seharusnya lebih dari sekadara menyinggung birokrasi, tradisi, paling tidak porsi pembahasannya kedua sisinya dibuat lebih berimbang lagi.

 

 

 

 

Bukannya film tak boleh mengambil banyak perspektif. Justru sebenarnya bagus gimana film ini memperlihatkan semua tokoh ‘bertarung’ dalam ‘pertempuran’ mereka masing-masing. Bahkan si Mak Tuo tadi diberikan antagonis berupa datuk-datuk seniornya yang merasa dikucilkan. Para pemeran pun berhasil membawa warna tersendiri; dan di sinilah letak kekuatan film ini. Dia tampil sebagai warna yang baru dari cerita mengenai cinta yang terhalangi. Tapi film butuh sudut pandang utama sebagai tulang punggung cerita. Jika ini tentang Liam, maka seharusnya kita melihat origin si Liam – siapa dia sebelum masuk Islam, gimana hidupnya, seharusnya dieksplorasi supaya kita bisa merasakan perubahan terhadap si tokoh lebih dalam daripada sekedar dia sekarang sudah benar-benar memeluk Islam dan jadi suami orang Minang.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for LIAM DAN LAILA.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa disusahkan oleh birokrasi, entah itu di lingkungan kampus atau dalam pekerjaan?

Seberapa penting sih, menurut kalian, menjaga tradisi? Jika sebuah kapal diganti seluruh bodinya, kecuali mesin, apakah itu kapalnya baru atau masih kapal yang lama – jika sebuah tradisi diperbaharui disesuaikan dengan keadaan jaman, apakah itu berarti tradisi yang lama tadi sudah hilang?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

SOMETHING IN BETWEEN Review

“I’m searching for you, though I’ve met you not.”

 

 

 

Keenam kalinya bermain dalam film yang sama – lebih dari tiga film sebagai pasangan, chemistry Jefri Nichol dan Amanda Rawles tidak bisa lebih manis daripada ini. Seperti tidak ada apa-apa lagi di antara mereka; sebagai kekasih, akting mereka tampak sangat natural. Di Something in Between, mereka actually diberikan sesuatu yang serupa tapi tak sama untuk dimainkan. Sebab film ini bakal tak seperti kelihatannya. Jika Aruna & Lidahnya (2018) diam-diam memasukkan satu adegan spiritual (-ngeh gak yang manaa?), maka roman remaja garapan Asep Kudinar ini punya cerita yang totally dibangun dari konsep spiritual.

Dan yang ingin kusampaikan ini sebenarnya bukan spoiler. Meski memang film bakal ngereveal penjelasan mengenai apa yang terjadi di akhir, namun sedari menit-menit awal kita bisa menggunakan logika merangkai sendiri kesimpulan yang pun sebenarnya enggak benar-benar ditutupi tentang bagaimana dunia dalam cerita ini bekerja. Cerita bermula dari seorang cowok bernama Abi yang begitu terganggu dengan mimpi-mimpinya. Dia membuat sketsa tentang kejadian, tempat, dan orang-orang yang ia lihat di mimpinya. Tapi ada seorang gadis yang tidak bisa ia gambar wajahnya. Untuk mendapatkan closure mengenai mimpi anehnya tersebut, dia minta ijin meninggalkan rumah dan keluarganya di London. Dia pergi ke Jakarta, mencari tepatnya sekolah yang ia lihat dan gambarkan. Tentu saja dengan harapan, dia bisa bertemu dengan orang-orang yang ia lihat di mimpinya, terutama si cewek misterius, sehingga hidupnya bisa tenang.  Ketika dia menginjakkan kaki di lokasi yang benar, dari reaksi orang-orang di sekolah yang melihat dirinya – bahwasanya dulu ada murid di sana yang sangat mirip dengan Abi – jelas bahwa Abi sedang mengalami kenangan orang lain di dalam kepalanya. Ini bukan kasus seorang yang hilang ingatan, karena keluarga Abi juga tidak mengenali gambar-gambar yang ia buat. Dan semua kejadian tersebut sudah terjadi menjelang dua-puluh menit awal.

ah gue pikir gue jago gambar

 

 

Something in Between, to my surprise, lebih seperti versi yang lebih sederhana dari anime Your Name yang fenomenal di tahun 2016 lalu (top film 2016 versi My Dirt Sheet!) ketimbang cinta-cintaan anak sekolah yang bisa. Walaupun memang film ini menyerah kepada keinginannya untuk menjadi seperti Dilan 1990 (2018) yang sukses mengeset tren supaya tokoh cowok kudu bad boy baik hati yang suka ngegombal dengan tingkah yang dinilai aneh, tetapi Something in Between punya sesuatu yang lebih untuk ditawarkan. Film ini mencoba bicara tentang tema-tema spiritual seperti reinkarnasi, eksistensi, pencarian, di balik lapisan asmaranya. Bahkan ada bagian mengenai simbolisasi tangga yang dibicarakan dalam level kecil-kecilan, as opposed to Your Name yang adegan endingnya dibesarkan dengan simbol tangga. Untuk alasan tersebut, Something in Between sudah menjelma sebagai salah satu tontonan remaja paling dalem, dalam soal lapisan ceritanya, yang bisa kita dapatkan dari film Indonesia kekinian. Napas film ini adalah napas segar, pembuatnya juga cukup cerdas. Film ini bisa saja mengapitalisasi kefavoritan penonton akan cerita remaja dan hal-hal spiritual, in a good way.

Fakta bahwa banyak aktor senior di antaranya seperti Slamet Raharjo, Djenar Maesa Ayu, Yayu Unru,  mau ikutan bermain mungkin dapat kita artikan sebagai bentuk persetujuan mereka kepada Nichol dan Rawles; bahwa dua bintang remaja ini sudah bermain di level akting yang ‘matang’. Film bertumpu kepada hubungan antara tokoh Nichol dan Rawles. Nilai plusnya adalah mereka bermain dengan sangat meyakinkan. Unyunya mereka pacaran jadi daya pikat utama. Gimana tokoh Nichol mengejar hati tokoh Rawles. Film membuat tantangan yang dekat sama lingkungan anak sekolah; di mana seorang anak dari kelas biasa pengen masuk kelas unggul demi bareng gebetannya, semua drama sekolah yang bisa dipancing dari aspek ini membuat cerita punya suara tersendiri. Huruf gede tapinya adalah, film jadi terlalu fokus kepada porsi cerita ini. Mengapa pula hal tersebut menjadi masalah, tanyamu? Karena film enggak seharusnya tentang mereka berdua. Atau tepatnya; enggak seharusnya tentang tokoh mereka berdua pada saat itu.

Jadi begini, setelah sampai di sekolah yang ia gambar, Abi mendengar cerita tentang cowok yang mirip dengan dirinya – Gema. Adegan Abi menyusuri tempat-tempat yang penting pada hidup Gema di-intersplice dengan adegan kehidupan Gema di sekolah. Dan bagian cerita Gema ini, dia bertemu Maya – cewek tanpa wajah dalam gambar Abi, dia berusaha jadi pacarnya, mengalami berbagai tantangan (yang semuanya selesai dengan gampang), mengambil sebagian besar waktu cerita. Seolah ini film tentang Gema, bukan lagi tentang Abi yang mencari tahu siapa Gema. Yang kita ikuti adalah motivasi Gema, bukan Abi. Padahal Abi lah tokoh utama cerita. Tetapi tokoh ini jadi seperti tidak punya kehidupan sendiri sebagai Abi. Kita tidak pernah diperlihatkan siapa teman-teman Abi, bagaimana reaksi keluarganya begitu fakta tentang Abi dan Gema terungkap. Dia benar-benar sudah meninggalkan kehidupannya di London sana.

Abi hanyalah kotak kosong yang menggemakan karakter Gema.

 

 

Film seharusnya bercerita lebih banyak tentang gimana Abi dealing with the facts bahwa dirinya adalah reinkarnasi Gema. Bagian ini memang dibahas sedikit di akhir dan tak pelak lebih menarik. Kita akan melihat gimana dia harus mencari Maya di masa sekarang. Gimana dia berinteraksi dengan teman-teman Gema. Abi semacam muncul gitu aja di kota Gema, dan gimana reaksi sekitar cukup tergambarkan, meski porsinya mengalah banyak. Konflik yang dialami oleh ‘Maya’ yang baru jauh lebih menarik dibanding Abi. Suara tentang masalah eksistensi itu, like, siapa diri kita jika kita ternyata hanyalah sambungan dari keberadaan orang lain tentu lebih menantang daripada melihat apakah dua remaja ini pada akhirnya akan bersama. Maka dari itu juga, pointless membuat cerita jadi seolah menitikberatkan kepada apa yang sebenarnya terjadi. Adegan di rumah sakit di mana semua pemain ‘kebetulan’ ada di sana, sungguh overkill; tidak perlu. Kita tidak perlu untuk dipastikan bagaimana cara kerja arwah mereka terbang dan masuk ke bayi. Kita bisa menyimpulkan itu sendiri, bahkan tidak jadi soal mengenai jarak mereka, fokus dan apa mestinya digali adalah apa yang terjadi ketika kita mengetahui bahwa kita ditakdirkan bersama – namun bersama yang bukan sebagai pilihan kita sendiri.

Kita sungguh akan mengejar apa yang penting bagi kita. Jika itu cinta, kita tidak ingin dipisahkan darinya, kita ingin selamanya bersama. Akan tetapi, bagaimana jika yang kita kejar tersebut, yang ingin kita pertahankan itu, bukan benar-benar keinginan milik kita? Menakjubkan sejauh apa kita bertindak demi sesuatu yang kadang tidak kita ketahui ‘wujud’ aslinya.

 

Yang membuat film ini stuck di antara dua posisi adalah kecenderungannya untuk memfasilitasi kemalasanberpikir penonton. Walaupun cerita kita untuk remaja, bukan berarti harus bercerita dengan terlalu menuntun. Emangnya remaja pada bego semua apa. Dialog pada film ini banyak yang menjelaskan hal-hal yang sebenarnya tak pelru lagi dijelasin. Seperti pada adegan ketika Abi dan sepupunya menunggu chat dari seseorang. Kita sudah tahu pertanyaan mereka tidak dibalas, cerita juga sudah membangun ‘bunyi notifikasi’ pada adegan ini, tetapi naskah masih merasa perlu untuk menambahkan dialog “dia tidak menjawab pertanyaan kita”. Film ini sering bercerita dengan eksesif seperti demikian. Padahal semua yang dilakukan para tokoh, every little things comes full circle.

Aku bahkan sudah berniat ingin menjegal film ini dari aspek waktu cerita, you know, aku merasa bisa saja enggak mungkin si tokoh adalah reinkarnasi, jadi aku benar-benar memperhatikan petunjuk waktu yang disebar oleh film. Dan tahu apa, film ini dengan teliti dan tidak terburu-buru dalam menyebarkan informasi waktu; tanggal pada nisan, petunjuk umur tokoh cewek, perkiraan usia anak sahabat Gema, dan semua itu cocok dihubungkan – timelinenya bener. Jadi ya sungguh disayangkan aja sih, karena film sebenarnya cukup detil dalam membangun elemen cerita, tapi masih terlalu menuntun dan nyuapin dalam bercerita. Juga masih banyak trope-trope cerita remaja yang dimasukkan demi narasinya maju dengan gampang, seperti saingan cinta yang jahat begitu saja. Kadang pilihan yang dilakukan tokoh, terlihat aneh dan tanpa alasan, kecuali supaya cerita berlanjut ke poin plot berikutnya.

 

 

 

Mengejutkan akhirnya ada cerita remaja yang mengangkat hal berbeda sehubungan dengan romansanya sendiri. Film ini ditutup dengan nada yang sama dengan film Your Name. Yang membuat kecewa adalah ternyata film tak sepenuhnya berani untuk ‘move on’ dari berbagai trope dan kemudahan dalam bercerita. Film ini masih menganggap penontonnya yang kebanyakan remaja tak mampu berpikir dan menyimpulkan sendiri. Hal ini membuat dirinya tersangkut di antara bagus yang biasa aja dengan bagus yang luar biasa.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for SOMETHING IN BETWEEN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian mengejar sesuatu demi orang lain?

Bagaimana menurut kalian tentang tren remaja gombal di perfilman masa-masa ini? Apakah sebaiknya film remaja tetap dibiarkan ringan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

EIGHTH GRADE Review

“Confidence is not ‘they will like me’, confidence is ‘I’ll be fine if they don’t’.”

 

 

 

Seorang youtuber, yang kerjaannya nyerocos di depan kamera, ngasih nasihat ini itu kepada sejumlah viewer dan subscriber, memenangkan penghargaan berupa Anak Cewek Paling Pendiam di Kelas. Aneh, namun juga sekaligus tidak-aneh. Karena beginilah realita kita.

 

Seminggu lagi, Kayla yang anak kelas delapan bakal lulus dan siap memasuki masa SMA. Dan untuk menyintasi masa-masa yang mengerikan, itu Kayla harus bisa tampil konfiden. Hidupnya yang memalukan tidak boleh kelihatan sama orang. Kita semua – anak-anak maupun dewasa – yang pernah berusaha untuk jadi populer karena kita tahu tampang kita enggak keren, badan kita enggak tinggi dan enggak atletis, rambut kita lepek setiap waktu, sehingga kita merasa malu bahkan untuk ngomong keras-keras di antara teman-teman, tapi kita masih tetap mencoba untuk reaching out, pasti merasakan hubungan yang kuat terhadap Kayla. Karena kita tahu betapa sengsaranya hidup sebagai anak tiga belas tahun.

Sudah banyak film yang mengambil tema seperti begini. Namun Eighth Grade mengambil pendekatan yang berbeda. Tokoh utama kita tak lebih tua daripada tokoh di buku cerita Goosebumps, you know, yang masalahnya cuma diganggu setan. Kayla, however, sebagai seorang generasi kekinian menghadapi masalah yang jauh lebih kompleks dari anak-anak tahun ’90-2000an. Karena keberadaan internet dan sosial media. Jadi, Eighth Grade menggali dari sudut pandang yang baru, dan sangat relevan dengan keadaan masa sekarang. Mengetahui itu semua, film ini pun tak main-main dalam menuliskan ceritanya. Kejadian dalam Eighth Grade terasa sangat realistis, sungguh-sungguh otentik. Kita akan melihat apa yang dilakukan Kayla juga dilakukan mungkin oleh adek kita, keponakan kita, atau mungkin malah kita sendiri. Di satu adegan, Kayla dandan cakep, mencatok rambutnya hingga ikal, kemudian dengan amat berhati-hati dia kembali ke tempat tidur – merebahkan diri, untuk kemudian berpose centil selfie dengan kamera smartphone. “I woke up like this” captionnya di Instagram. Silahkan tanya kepada diri kita sendiri: Berapa kali kita melakukan hal yang serupa; mengarang apa yang mau kita perlihatkan, mencoba membuat kita tampak menarik di sosial media?

bahkan meracau pada review ini pun karena aku ingin terlihat pintar

 

 

Film ini tidak dibuat supaya kita bisa memecahkan persoalan anak kecil yang baru mau jadi ABG. Bo Burnham tidak mengarahkan Kayla untuk menjadi lebih baik dengan keluar dari zona introvert. Tidak ada solusi seperti demikian ia hadirkan. Film ini memperlihatkan kepada kita, mungkin juga mengingatkan, bagaimana rasanya menjadi sekecil Kayla. Aku seketika teringat masa-masa sekolahku, di mana semua anak literally lebih gede daripada diriku. Dan percayalah, dari tempat aku berada kala itu, kepercayaan diri sungguh jauh jaraknya. Aku harus senantiasa memporsir diri, I have to do better than others, nilaiku harus lebih bagus, dan pada tingkatan lebih lanjut aku merasa harus lebih lucu, harus lebih unik daripada yang lain. Yang pada akhirnya hanya akan membuat diriku menjadi semakin aneh di mata anak-anak yang lain. Dan exactly pelajaran itulah yang bisa kita tangkap dari cerita Kayla dalam Eight Grade.

Kita menyangka kita perlu untuk punya banyak teman dulu baru bisa konfiden menjadi diri sendiri. Kita mati-matian berusaha membuat orang lain percaya bahwa kita ini pede, kita ini orang yang menarik untuk dijadikan teman. Lihat aku, follower ku banyak. Lihat aku, hidupku asik. Best things happened to me, let’s be my friend. Tapi kita semua salah jika kita mengira konfiden itu pemberian dari orang lain. Sebelum kita bisa meyakinkan orang lain, kita sejatinya harus percaya dulu kepada diri sendiri. Diri kitalah yang mestinya kita yakinkan, bukan teman-teman. Apa yang dilakukan Kayla terhadap dirinya di akhir cerita, tak pelak begitu indah. Jika ada satu orang yang harus kita yakinkan, maka itu adalah diri kita sendiri.

 

 

Semua itu ditangkap dengan sangat menarik. Film ini tahu bagaimana memvisualisasikan ketakutan anak seusia Kayla terhadap lingkungan sosial. Shot yang sangat menarik ketika Kayla menatap keluar dari balik pintu kaca, kamera memperlihatkan teman-temannya lagi pesta, tertawa-tawa di kolam renang, tapi begitu sampai ke kita, perasaan yang ada seolah Kayla sedang menyaksikan zombie-zombie bangkit dari kubur. Eksperiens yang dirasakan Kayla benar-benar tersampaikan kepada kita. Sepanjang film, Kayla gak selalu ‘galau’. Ada momen ketika dia diundang ke pesta, ketika dia diajak hang-out ke mall sama teman-teman yang sedikit lebih tua. Pada momen-momen seperti ini kita turut dibuat merasakan kesenangan Kayla. And while at it, kita dapat merasakan kecemasan yang perlahan timbul. Karena Kayla juga sebenarnya masih insecure. Semua merupakan pengalaman baru baginya, ‘out there’ ia deskripsikan sebagai tempat yang masih belum ‘nyaman’, tapi dia tahu untuk harus berani pergi ke sana.

Sekuen di dalam mobil benar-benar dieksekusi dengan kuat, buatku susah aja untuk disaksikan. Arahannya begitu tepat. Semua yang dirasakan Kayla, semua tentang adegan-adegan tersebut membuatku menahan napas. Karena bukan saja film ini paham mengenai apa yang dirasakan oleh Kayla, film ini juga membiarkan Kayla menjadi Kayla. Menjadi anak menginjak remaja sebenar-benarnya. Kita melihat dia berusaha terlihat lebih dewasa, tapi aura anak kecil – sikap dan cara pandangnya yang masih bocah itu tetap saja menguar. Film ini bergantung kepada Kayla dan aktor muda Elsie Fisher bermain dengan sangat luar biasa. She’s completely real. Aku hanya bisa membayangkan seberapa berat baginya memainkan semua emosi tersebut; dengan usia yang dekat dengan permasalahan yang ia perankan.

Lewat perangai Kayla, film ini mengomentari soal perilaku orang di sosial media. Kayla bicara di channel youtubenya soal bagaimana untuk menjadi percaya diri, bagaimana membawa diri dalam bergaul, tapi di dunia nyata dia sendiri tidak benar-benar tahu apa yang harus dilakukan. Semua yang ia jadikan tips itu benar, hanya saja melakukannya tidak segampang membicarakannya. Oleh film, kita akan mendengar narasi suara Kayla berbicara di youtube. Sementara visualnya dikontraskan dengan kita melihat Kayla really having a hard time mencoba melakukan apa yang ia ‘sedang’ katakan. Ini enggak serta merta membuat Kayla terlihat hipokrit, film ini tidak ngejudge kita, melainkan kita bisa melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang menyedihkan. Dan fakta bahwa film tidak pernah benar-benar menyinggung jumlah pemirsa yang menyaksikan youtube Kayla membuat semua terasa lebih miris lagi. Semua itu menambah teramat banyak, bekerja dengan sangat baik dalam lingkup konteks ceritanya.

Status: “Otw” / Reality: masih ngulet cantik di kasur

 

Kita melihat Kayla in her private self – yang ditulis dengan sangat nyata. Kita juga dikasih lihat hubungan Kayla dengan keluarga dan lingkungan sekolah. Di kedua elemen inilah letak batu sandungan buat Eighth Grade. Kayla tinggal bersama ayahnya, kita melihat gimana hubungan keluarga teramat penting bagi karakter Kayla. Ada adegan dengan dialog yang sangat menawan datang dari Kayla dengan ayahnya, yang buatku terasa sedikit berkurang kejlebannya karena si Ayah ini ditulis sedikit terlalu ‘baik’. Semua hal pada film ini ditulis dan terasa begitu real, kecuali sikap ayahnya. Practically he was the best dad ever. Aku mengerti mungkin film gak mau jadi mainstream dengan masukin orangtua yang pemarah, yang ikut-ikutan jadi palu yang ngegencet tokoh utama, sementara film ini membicarakan soal bagaimana semua itu adalah sudut pandang Kayla semata. Tapi ada yang gak klop dari sifat ayahnya yang membuat keotentikan cerita menjadi berkurang.

Dalam lapisan Kayla dengan teman-teman sekolahnya, film tidak bisa mengelak dari menggunakan formula yang sudah usang. Mereka mencoba untuk membuatnya sekocak dan semenyenangkan mungkin, dan aku menghargai usaha tersebut. Kayla tentu saja dibuat naksir sama cowok paling keren di kelas. Setiap kali Kayla melihat anak ini, kita akan mendapat close up mata dan dentuman musik techno, ya kekinian banget. Lucu sih. Kita melihat Kayla memikirkan apapun supaya bisa ngobrol dengan si cowok, sementara ada anak cowok lain yang berusaha temenan sama Kayla dan kita semua pasti udah tahu cowok mana yang mestinya dijadiin temen oleh Kayla.

 

 

 

Penulisan yang cerdas, dengan komedi dan komentar yang tajam soal kehidupan sosial media masa kini menjadi faktor utama kita terhibur menonton film ini. Hampir semua bagian terasa sangat real. Kita semua mengerti ama Kayla karena kita pernah berada di dalam sepatunya. Film ini membawa kita kembali ke masa mengerikan itu, dengan memperlihatkan tantangan baru yang dihadapi oleh anak-anak. Aku sangat menikmati film ini, karena dia tidak meremehkan anak-anak, pun tidak memberikan jalan keluar yang mudah.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for EIGHTH GRADE.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana kehidupan kalian di usia 13 tahun? kira-kira masih ingat tidak hal apa yang menurut kalian paling penting di umur segitu? apa yang paling menakutkan buat kalian dulu?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

ARUNA & LIDAHNYA Review

“Just add water and stir.”

 

 

 

Aruna ngerasa semua makanan gak ada yang benar-benar spesial enak di poin hidupnya yang sekarang. Padahal Aruna ini cewek yang hobi banget makan. Waktu kecil aja kuda catur dimakan ama dia. Tapi sekarang dia kebingungan, dia sulit mencicip makanan. Bukan karena dia sariawan. Aruna merasa ada yang kurang, tetapi dia tidak tahu apa. Aruna pengen masak nasi goreng mboknya, but she can’t get it right. Atau paling tidak, ia merasa enaknya enggak sama

Aruna & Lidahnya adalah perjalanan Aruna mencari rasa. Tapi bukan dalam artian klise gimana seorang merasa bosan dengan hidupnya dan berangkat menemukan percikan. Aruna perfectly fine. Dia senang dengan hidup. Lingkungan persahabatannya erat, mereka sering ngumpul dan makan bareng sambil ngobrol haha hihi tentang apa saja. Kerjaannya juga lancar. Dia cakap dalam apa yang ia lakukan, baik itu sebagai ahli wabah maupun seorang pecinta masakan. Dan tentu saja dia mencintai pekerjaannya tersebut. Dalam film ini kita akan melihat Aruna dikirim kantornya untuk menginvestigasi penyebaran wabah flu burung hingga ke Borneo sana. Aruna mengajak sahabat-sahabatnya, Bono si chef dengan segudang insight mengenai masakan (bayangkan filosofi kopi, namun makanan alih-alih secangkir kopi) dan Nadheza yang nulis buku kritik masakan, sehingga mereka bisa sekalian wisata kuliner. Dalam tugas rangkap liburannya tersebut, Aruna disupervisi langsung oleh Farish, cowok yang ia taksir but she never really do anything about him before. Hidup Aruna meriah dan penuh bumbu. Hanya saja ia masih merasa hambar. Dalam tingkatan ini, film bersuara seperti nyanyian Alessia Cara di lagu Growing Pains. Aruna tidak merasakan apa yang seharusnya ia rasa. Masalah psikologis inilah yang berusaha untuk diselesaikan oleh Aruna.

jadi ini bukan cerita tentang Aruna dan lidahnya yang sariawan

 

 

Aruna sendiri sudah seperti masakan. Terlihat simpel, namun sebenarnya kompleks. Film ini berhasil menggali kedalaman dari tokoh ini, menggunakan banyak hal sebagai device. Sedari ceritanya saja, film sudah punya banyak lapisan. Aruna harus bernagivasi di antara masalahnya dengan para sahabat, dengan cowok yang ia taksir – di mana dia ngarep untuk punya hubungan yang normal, semua itu sembari dia berusaha memecahkan ‘misteri’ di balik laporan penyelidikan flu burung yang ia dapati tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Aruna berkoneksi dengan banyak orang. Melihatnya berinteraksi, apakah itu ngobrol sambil makan ataupun bicara tentang makan sambil kerja, adalah apa yang membuat film ini terasa asik. Sifatnya ini (dan potongan rambut) membuatku teringat sama Otome di The Night is Short, Walk on Girl (2018), bedanya Otome bertualang dengan mencoba minuman.

Dian Sastrowardoyo merupakan cast yang tepat buat Aruna; dari caranya bertutur yang sedikit jutek tapi lucu, gimana cara dia kerap mempertanyakan sesuatu dengan nada yang ironis. Perannya di sini juga turut memberikan rasa baru bagi pengalaman akting Dian, karena Aruna bakal sering breaking the fourth wall, menjelaskan langsung kepada kita penonton mengenai yang ia pikirkan. Aruna mungkin tidak sepenuhnya ‘jujur’ kepada sahabatnya, dan ketika dia begitu kita akan menjadi orang yang pertama kali ia kasih tau apa yang sebenarnya ia rasakan lewat ekspresi yang ia perlihatkan langsung kepada kita. Yang paling aku suka adalah adegan-adegan mimpi Aruna yang dibuat bernuansa surealis. Quirky dan creepy di saat yang bersamaan!

Meski kadang audionya terdengar aneh, keakraban tokoh-tokoh yang tertangkap oleh kamera terlihat betul-betul meyakinkan. Mereka beneran terlihat seperti sahabat sejak lama. Kalian tahu gimana kalian dan teman segeng kalo udah ngumpul, nyerocos bareng di tempat makan, ngobrolin apa aja sampe mulut pada item? Nah seperti itu jualah geng Aruna ini terasa. Dialog-dialog mereka membahas tentang hidup terdengar akrab. Film berusaha memasukkan lumayan banyak isu yang berkaitan dengan tema cinta, dan bahkan pandangan mengenai sakit dan fungsinya dari berbagai sudut. Yang mana bisa saja terdengar menjadi pretentious jika disampaikan secara sembarangan dan tanpa perhitungan akting yang matang. This is not the case in this film. Ambil pasangan manapun dari film ini, entah itu Aruna dan Bono, Aruna dan Nad, atau bahkan Bono dan Farish, semua pemain mampu menyampaikan bantering yang emosinya nyampe. Fakta bahwa Nicholas Saputra dan Dian Sastro di sini berperan bukan sebagai pasangan kekasih saja sudah cukup untuk bikin film terasa seger.

Dalam hidup, mungkin semua bumbu sudah kita dapatkan. Kita melakukan apa yang kita suka. Kita bersama orang-orang yang kita cinta. Tetapi jika bumbu-bumbu tersebut tidak diaduk, tetap aja akan hambar jadinya. Inilah yang ingin disampaikan oleh bawah sadar Aruna lewat mimpi-mimpi aneh tersebut. Ini jualah yang dipelajari Aruna dari sahabatnya yang suka selingkuh. That she doesn’t confront her life enough. Bahwa Aruna butuh untuk mengaduk bumbu-bumbu pada hidupnya, baru kemudian bisa mencicip rasa.

 

Masing-masing kita bisa menikmati film ini dalam takaran yang berbeda-beda. Segitu kompleksnya cerita yang disajikan oleh Edwin ini. Kita bisa kenyang oleh berbagai kuliner lokal yang ditampilkan, mulai dari sop buntut, nasi goreng, soto lamongan, hingga mie kenyal yang ada kepitingnya itu. Sejujurnya, di awal aku sempat annoyed juga, karena pada menit-menit awal setiap adegan film ini selalu menampilkan orang yang lagi makan. Aku pikir itu bakal dijadikan semacam gimmick; bahwa film bersikeras menemukan cara ‘pintar’ ngelihatin orang makan alih-alih bercerita. Tapi kemudian, ceritanya baru masuk, dan lambat laun film menjadi enak untuk dinikmati. Ya, walaupun beberapa makanan seperti masuk kecepetan dan gak benar-benar integral sama cerita sih, tapi kupikir itu masalah editingnya. Yang mau menikmati isu sosial dan kesehatannya, juga silahkan. Aruna & Lidahnya cukup kritis membahas permasalahan ini, meski narasi bagian ini terasa sangat lambat majunya. Setelah lewat mid-point, mereka masih membahas soal menyebarkan ketakutan; pembahasan mengenai hal tersebut gak benar-benar maju. Paling sedap, sih, memang ketika cerita diaduk oleh hubungan keempat tokoh sentral. Permasalahan humanis ‘orang kantoran’ romantis yang begitu relatable dan ditangani secara dewasa membuat film yang tadinya stale di awal, menjadi enak untuk diikuti.

yang mindblown adalah sedari awal Aruna sebenarnya sudah bener dalam memasak nasi goreng, she just can’t taste it yet

 

 

Sebaliknya, diaduk tanpa ada bumbu juga bakal menghasilkan sesuatu yang sama hambarnya. Seperti bagian pembuka film ini, aku gak yakin mereka mengambil keputusan yang benar dengan mengawali film dari potongan adegan di masa depan, hanya supaya film terlihat seru. Akan lebih baik jika film bercerita dengan linear saja. Dimulai dari awal Aruna masak sop buntut, terus ke akhir. Dan by the way, antara kalimat Aruna pas makan sop buntut itu dengan kalimat terakhir yang ia ucapkan, benar-benar menunjukkan progresi sudut pandang karakternya. Entah kenapa, film malah memulai dari potongan adegan di mobil, kemudian cut back seolah alurnya mundur dan kita akan kembali melihat potongan adegan di awal tadi di tengah-tengah cerita as the story progress. Jadinya openingnya terasa gak ngefek aja, karena kita belum tahu siapa ‘bumbu-bumbu’ tersebut.

Pada Posesif (2017) aku merasa keputusan mengakhiri film dengan freeze frame adalah keputusan yang cheesy. Edwin kembali melakukan hal yang serupa pada Aruna dan Lidahnya. Kali ini, tidak jatuh over-the-top. Mungkin mengakhiri film dengan freeze frame dijadikan semacam signature oleh Edwin, aku gak yakin karena baru dua ini filmnya yang aku tonton, tapi aku bisa respek keputusan itu sekarang. Malahan tidak lagi jadi soal, asalkan Edwin ke depannya terus menggali sisi psikologis dari drama-drama keseharian yang dekat seperti ini.

 

 

 

 

 

Film ini sendirinya pun terasa seperti sepiring masakan yang penuh bumbu (penampilan, sinematografi, bahkan musik), tapi perlu diaduk lebih sering lagi. Atau mungkin diaduk dengan timing yang lebih diperhatikan lagi. Ada bagian-bagian ketika ceritanya terasa stale. Dan baru benar-benar nikmat setelah konflik-konflik para tokoh saling berhimpitan satu sama lain. Butuh waktu untuk kita beneran mulai peduli sama tokoh-tokohnya. Dan ya, film ini terasa lebih panjang dari durasi sebenarnya. Tapi ya bener juga sih, kalo dinikmati bersama-sama, tentulah film ini akan terasa sangat lezat. Menurutku memang cara terbaik menikmati film ini adalah dengan bareng-bareng bersama sahabat, atau mungkin sama pacar. You certainly will have a good time watching this. Sajian merakyat yang berselera tinggi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ARUNA & LIDAHNYA.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Ditanyain Chef Bono tuh, “apa opini lo soal makanan?”

Kalo aku sih, memang aku rada setuju sama Aruna di awal. Buatku makan itu sama kayak nonton, my only concern ya ke makanan atau filmnya aja, tidak peduli siapa temennya. Tapi sejujurnya, aku gak suka makan di tempat yang ramai. Waktu sekolah dulu aja, kalian akan jarang sekali menemukan aku di kantin. Aku jengkel mendengar suara denting alat makan dan suara obrolan. Aku lebih suka makan sambil nonton atau baca buku. Dan ini jadi konflik ketika aku harus membuka kafe eskrim, di mana aku harus merasakan suasana ruang makan yang ‘berisik’ itu nyaris 24 jam sehari. Itu ceritaku tentang makan, sekali lagi, bagaimana cerita dan pendapat kalian?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

THE HOUSE WITH A CLOCK IN ITS WALLS Review

“It’s not what you say, it’s what people hear.”

 

 

Anggota keluarga, entah kenapa, suka bikin kita malu di depan umum. Hampir seperti misi mereka untuk berlomba-lomba melakukan hal di tempat yang banyak orang, yang pada akhirnya membuat kita pengen hilang ditelan bumi. Paman si Lewis menjemputnya, masuk ke dalam bis, dengan mengenakan kimono. Di lain kesempatan, Lewis dijemput oleh Paman ke sekolah dengan mobil butut. Merasa belum cukup mempermalukan Lewis di depan teman baru yang susah payah diperolehnya, Paman kemudian menawarkan diri untuk tancap gas – hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi kepada mobil tersebut jika distarter keras-keras.

Sesungguhnya, Paman Jonathan ingin memperlihatkan kepada Lewis bahwa menjadi aneh itu adalah sesuatu yang hebat. We have to embrace our quirkiness. Tapi Lewis adalah anak cowok yang sedang dalam masa perkembangan yang sulit. Orangtuanya baru saja meninggal. Membuat Lewis harus pindah ke kota lain untuk tinggal bersama pamannya. Dalam sebuah rumah dengan banyak jam, beraneka jenis, nemplok di setiap jengkal dindingnya. Lewis sendiri sebenarnya sudah cukup aneh, dia mengenakan kacamata pilot ke mana-mana. Buku favoritnya saja kamus tebel. Tapi bagi Lewis, Paman dan Wanita berbaju ungu sahabat pamannya tersebut luar biasa aneh. Tidak ada peraturan di bawah atap rumah mereka. Lewis boleh makan cookies kapan aja. Kenapa enggak jadiin cookies sebagai menu makan malam, ujar pamannya sambil tersenyum. Dan kenapa pula tidak boleh ada kacang di dalam cookies?

Itu semua belum apa-apa dibandingkan dengan keanehan yang terjadi di rumah tersebut pada malam hari. Lewis sempat takut, karena bukan hanya suara jam di dinding, melainkan rumah dan seisinya itu sepertinya punya nyawa sendiri. Salah satu tema cerita penting yang bisa kita lihat dari film ini datang dari gimana Lewis berusaha menyeimbangkan hidupnya. Dia pengen terlihat normal biar bisa punya temen di sekolah, dan ketika pulang ke rumah bersama Pamannya, dia harus berurusan dengan segala keanehan yang ada karena ternyata Pamannya adalah seorang Warlock. Tentu saja, Lewis pengen belajar semua ilmu sihir yang bisa ia dapatkan dari sang Paman. Apalagi karena dia ingin membantu Pamannya memecahkan misteri mencari alat pengembali waktu yang tersimpan di suatu tempat di dalam rumah tersebut.

Lewis yang perbendaharaan katanya begitu kompleks lantaran suka ‘makan’ kamus, tetap mengalami kesulitan dalam mempelajari ilmu sihir. Sihir bukan sekedar merapal kata-kata aneh. Ini bukan masalah seberapa fancy kata yang kita gunakan. Adalah cara menggunakannya yang menjadi poin penentu. Semua yang kita lakukan, cara tersendiri yang kita lakukan saat menanganinya lah yang menjadi hal terpenting. Karena itulah yang didengar oleh orang lain, yang membuat kita berbeda dan ternotice oleh mereka. Yang membuat kita unik, dari situlah datangnya kekuatan kepercayaan diri.

 

Aspek paling menarik yang dipunya oleh film ini adalah fakta bahwa dirinya dibuat oleh sutradara yang punya rekam jejak menangani film-film horor ngegore dan gak nyaman untuk dilihat semacam Hostel (2005) dan Grindhouse (2007). Kita akan benar-benar melihat ‘sihir’ gaya khas Eli Roth diimplementasikan ke dalam cerita fantasi adaptasi novel yang ditujukan untuk konsumsi anak kecil. Dan Roth berhasil. The House with a Clock in Its Walls menjelma menjadi film anak-anak yang dengan berani mendorong batas kekanakan itu sendiri. Imaji-imaji creepy masih dapat kita saksikan di sini. Salah satu yang membekas bahkan oleh kepala dewasaku adalah pemandangan bayi dengan wajah Jack Black. Boneka-boneka automaton yang mendadak hidup itu juga sukses bikin anak kecil di sebelahku menutup matanya dengan dus popcorn. Langka, di jaman sekarang, fantasi anak-anak dibuat dengan gaya seram sebagai poin vokal. Bahkan Goosebumps (2015) saja enggak berani untuk tampil seram, ia lebih menekankan sisi petualangan fantasinya, padahal kita tahu source film tersebut adalah buku horor untuk anak-anak. House with a Clock, enggak punya masalah dalam memperlihatkan gambar-gambar bernuansa seram. Menonton film fantasi ini mengingatkanku kepada serial horor Are You Afraid of the Dark? yang dulu sering kurental VCD-nya.

CLB – Crybaby Little Bastard

 

Set film luar biasa imajinatif. Rumah itu penuh tempat-tempat rahasia, dengan benda-benda sihir yang memanjakan khayalan kita. Semua elemen artistik digunakan efektif untuk menguatkan karakter para tokoh cerita, memberikan mereka bukan hanya misteri melainkan juga sedikit tambahan kedalaman. Untuk menyeimbangkan visualisasi yang menghoror buat fantasi anak kecil, Eli Roth menebar lelucon di sana sini. Lewat practical jokes, memang agak kelewat kekanakan. Kita melihat poop joke diulang-ulang. Tapi kita bisa paham kepentingannya adalah untuk membuat film tetap ringan bagi penonton cilik.

Lewat dialog, lelucon film dipercayakan kepada Paman Jonathan yang begitu eksentrik. Jack Black adalah pilihan yang tepat, malahan bisa dibilang sedikit di atas kualifikasi untuk perannya tersebut. I mean, aku suka komedi Jack Black. Tik-tok dialognya dengan Cate Blanchett – yang mana juga sangat hebat, dengan range emosi yang lebih luas – selalu sukses jadi sumber tawa buat film ini. Jika ada aktor yang harus kupercaya mainin tokoh yang begitu unik dan tidak peduli apa kata orang tentang dirinya, aku juga akan memilih Jack Black. Di film ini, entah karena begitu nyaman dengan perannya, ataupun karena diberikan arahan yang membebaskan, Black seringkali tampak terlalu dominan. Dia di atas tokoh yang lain. Pada adegan bersama dengan tokoh utama, kita bisa melihat jelas kejomplangan permainan aktingnya. Lewis yang diperankan Owen Vaccaro tidak pernah berhasil menjadi menarik setiap ada Paman satu adegan dengannya. In fact, Lewis malah tampak seperti bocah cengeng yang menangis begitu saja karena tiba-tiba ia teringat almarhum ibunya. Sedih memang ketika kita kehilangan orangtua, tetapi transisi tone cerita enggak mulus karena Jack Black mengeset rentang yang terlampau tinggi. Jarak antara fantasi dengan momen realita itu kemudian terasa terskip begitu saja karena pemain muda kita tidak mampu mengimbangi.

Untuk sebagian waktu, aku memang menikmati kejutan-kejutan kecil yang dipunya oleh film ini. Aku sama sekali enggak tahu Kyle MacLachlan turut ambil peran, dan ya seperti di terakhir kali aku melihat penampilannya di Twin Peaks season 3 (2017), aktor senior ini totally mantep mainin tokoh yang creepy, dia begitu ‘di luar dunia ini’. Toh ada beberapa kesempatan yang, buatku, film ini terlalu berusaha membuat kejutan alih-alih bercerita dengan asik. Seperti pada separuh bagian awal, ada tokoh-tokoh yang diset sebagai red herring; kita gak yakin mereka jahat atau beneran baik, yang keputusan untuk membuat mereka demikian terasa enggak konsisten dan membingungkan. Ada elemen reverse psychology yang dijadikan device, seperti sebuah hal yang penting. Misalnya ketika Paman mengajarkan ilmu sihir kepada Lewis dengan mengatakan bahwa anak itu gak mungkin bisa karena sihir begitu rumit untuk dipelajari, yang kita tangkap konteksnya adalah dia percaya Lewis mampu dan sengaja bilang begitu supaya Lewis semakin tertantang dan bersemangat. Namun di lain kesempatan, Paman menyuruh Lewis untuk tidak membuka kabinet yang terkunci. Yang membuat kita kebingungan, apakah konteks yang sama masih berlaku, atau itu benar-benar larangan. Apalagi kemudian kita melihat ada tokoh lain yang menyuruh Lewis untuk membuka kabinet. Sehingga penuturan cerita menjadi sedikit kusut, enggak benar-benar jelas apa yang harusnya kita rasakan bersama si Lewis.

mungkin kita bisa tanya kepada Magic 8-Ball kenapa film ini seperti versi kurang asik dari serial Gravity Falls

 

 

Banyak penyihir yang lebih dewasa dan lebih bijak dari Lewis sudah terbuai oleh kekuatan ressurection, film juga tidak berhasil dengan baik menyampaikan sisi menyentuh dari seorang anak yang ingin melihat orangtuanya satu kali lagi. Struktur, poin ke poin cerita, mestinya bisa dirapikan sedikit lagi dengan lebih memfokuskan kepada perkembangan emosi tokoh utama alih-alih rangkaian kejadian fantastis. Sekuen regroup film ini tidak bekerja sama sekali buatku. Mereka kehilangan rumah tidak kelihatan seperti mereka akhirnya belajar sesuatu, malah lebih terasa sebagai sebuah detour yang melepaskanku dari pegangan cerita. Konflik dari tokoh antagonis juga tidak benar-benar memposisikan Lewis, dan tentu saja kita, ke dalam sebuah dilema. Yang mana adalah kekuatan sebenarnya dari cerita. Alih-alih merasa, kita hanya mendapatkan penjelasan dari tokoh jahat, mengenai bagaimana kondisi mengerikan tersebut semestinya menjadi menarik buat Lewis.

 

 

 

Aku suka gimana film ini berani menggandeng tangan anak-anak untuk melewati dunia fantasi yang bukan sekedar seru melainkan juga mengerikan. Bahkan lebih creepy dari The Nun (2018), misterinya juga asikan ini. Beberapa adegannya memenuhi fungsi untuk memberikan mimpi buruk buat anak kecil. It also has a nice lesson too, mengenai gimana membawa diri dalam pergaulan – bahwa penting untuk menjadi diri sendiri, seberapapun anehnya. Mestinya Goosebumps dibuat dengan nuansa begini. Tontonan sempurna buat anak kecil yang ingin mempelajari gimana caranya untuk berani. Petualangannya juga asik untuk diikuti. Bagi orang dewasa, film ini bisa menjadi sedikit over; leluconnya, tokoh utama yang cengeng dan annoying, ceritanya juga bakal bikin kita pengen bergerak buat merapikannya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE HOUSE WITH A CLOCK IN ITS WALLS.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa keluarga kalian punya kebiasaan aneh yang kalian gak mau teman-teman pada tahu tentangnya? Kenapa, menurut kalian, kita merasa malu kalo ketahuan oleh orang lain?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE FIRST PURGE Review

“Politics have no relation to morals.”

 

 

 

Untuk melepas penat kerja sepekan, kita perlu waktu libur satu hari. Liburan diciptakan supaya dinamika performa kita harmonis; agar stres yang menumpuk, mumet dan kebosanan yang terhimpun selama hari-hari rutinitas, dapat terlampiaskan. Sehingga kita merasa lega, dan siap untuk dihujani dengan tugas dan kerjaan berikutnya. Semua perlu liburan sebagaimana butuh kerja. Orang yang kurang piknik, akan gampang marah-marah, isi twitnya dijamin bakalan nyolot ga tentu arah hihi

Konsep melepas beban tersebut juga berlaku dalam praktek kehidupan sosial yang lebih luas. Kriminalitas yang terjadi di masyarakat mungkin salah satunya disebabkan oleh pelaku yang merasa terbebani oleh peraturan. Jadi, mereka melakukan kejahatan sebagai bentuk penyaluran. Supaya mereka bisa lega dan dapat melanjutkan menjadi orang yang baik hari berikutnya. Maka, sudah semestinyalah, perlu diberikan waktu khusus untuk semua orang supaya bisa melampiaskan nafsu bejat mereka, tanpa perlu takut kena hukuman. Kurang lebih kayak liburan, cuma yang ini adalah libur dari kebaikan. Dunia dijamin menjadi tempat yang lebih baik jika hal tersebut dilakukan. Benarkah demikian?

Sejak diluncurkan tahun 2013 yang lalu, The Purge sudah berusaha untuk membawa kita berdiskusi ke ranah yang menyeramkan soal apakah sebaiknya disediakan waktu khusus di mana semua orang bisa melanggar hukum semaunya. Aku sendiri sangat tertarik dengan tema moral dan hubungan sosial yang dibincangkan oleh film ini, makanya setiap ada sekuelnya yang keluar, aku selalu menonton dengan antusias. Mengerikan memang, membayangkan gimana cara kerja Malam Purge di dunia nyata. Kota yang dengan lantas berubah menjadi seperti wasteland di dunia Mad Max; dengan geng-geng haus darah berkuasa di setiap bloknya. Aku bergidik sendiri mengingat gimana jadinya kalo di Indonesia beneran ada yang kayak gini. Apa aku akan bikin gang sendiri, atau malah jadi duluan yang terbunuh haha

What’s your favorite Purge movie? / The first Purge / Oo yang baru / Bukaan, film yang pertamaaa

 

 

The First Purge membawa kita melihat reaksi masyarakat Staten Island ketika mereka mengetahui tempat tinggal mereka dijadikan tempat uji coba Purge oleh partai New Founding Fathers, yang mana membuat mereka semua adalah tikus percobaannya. Para warga bebas untuk memilih enggak ikutan dan mengungsi sebentar ke daerah lain. Atau; mereka bisa tinggal di rumah dengan dibayar, dan bahkan dibayar lebih gede lagi jika ikutan berpartisipasi melepas stres dalam 12 jam bebas hukum tersebut. Ini adalah elemen yang sudah banyak diperbincangkan orang saat film pertama Purge keluar. Benerkah orang-orang akan langsung bunuh-bunuhan jika membunuh dilegalkan. Tapi kita – apalagi kalo sudah menonton American Animals (2018) – tahu lebih baik. Berbuat jahat itu tak segampang dan semenarik yang kita bayangkan. Malahan, hanya ada satu orang yang diperlihatkan oleh The First Purge sebagai yang benar-benar menikmati Purge sebagai ajang pemuas nafsu bunuh-bunuhan. Penduduk yang lain, ya mereka menjarah, merampok, melakukan vandalisme, tapi setelah itu mereka lantas berpesta. Tidak ada darah yang diteteskan. Kondisi yang seperti ragu-ragu, reaksi pertama terhadap percobaan Purge, inilah yang membuat separuh awal The First Purge terasa segar.

Film ingin menunjukkan kemanusiaan belumlah sirna dari dunia, sesakit apapun keadaan sepertinya. Bahwa chaos sejatinya tidak terjadi begitu saja. Melainkan karena dirancang. Program Purge tidak akan berhasil jika tidak ada pihak yang menyetir, yang menyebarkan ketakutan, yang menggunakannya sebagai alat politik. Yang menyebabkan manusia begitu berbahaya bukan karena insting bertahan hidup, melainkan karena manusia adalah makhluk yang berpolitik. 

 

 

Film ini juga bermain-main dengan trope di dalam semestanya sendiri. Seperti kenapa peserta Purge selalu memakai topeng. Kenapa masih menutupi identitas padahal pada malam Purge semua tindak kejahatan dilegalkan. The First Purge mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan mengaitkannya dengan sisi psikologis. Bahwa mungkin rasa malu itu masih ada. Menyadari ikut serta karena punya dendam yang tak berani diselesaikan dengan baek-baek, mengakui bahwa mengikuti nafsu binatang adalah perbuatan tercela, bahwa membunuh, merampok, memperkosa, sekalipun legal masihlah tindakan yang tidak pantas dibanggakan. Maka orang-orang lebih suka memakai topeng. Untuk meyakinkan bahwa mereka pada malam Purge bukanlah mereka yang sebenarnya. Di samping masalah psikologis tersebut, The First Purge juga memperlihatkan alasan lain tentang mengapa topeng digunakan. Sayangnya, alasan kedua yang mereka angkat ini tidaklah semenarik yang pertama, dan lebih disayangkan lagi justru alasan kedua itulah yang benar-benar diangkat menjadi topik utama oleh film.

Hadir pertama kali berbungkus thriller home invasion, Purge kemudian menghadirkan sekuel yang menjawab permintaan penonton. Orang-orang ingin melihat lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi saat malam Purge. Jadi di film kedua kita melihat cakupan yang lebih luas, kita dibawa turun ke jalanan pada malam paling berbahaya di Amerika tersebut. Setelah film kedua itu, semesta Purge mandek. Mereka hanya memperlihatkan hal yang basically sama pada film sesudahnya. Tidak ada pandangan yang lebih jauh mengenai Purge itu sendiri. The First Purge menjanjikan sudut pandang ketika acara tersebut pertama kali dicetuskan, dan film ini gagal memenuhi janjinya tersebut. The First Purge is exactly kayak film yang sudah-sudah. Mereka tetap tidak mengangkat sudut yang lain. Formulanya masih sama, berupa orang-orang yang harus mempersiapkan diri beberapa menit menjelang sirene dibunyikan, dan kemudian mereka terjebak situasi Purge, dan mereka harus bertahan hidup. Elemen-elemen psikologis hanya jadi latar. Cerita aktual tentang bagaimana Purge bisa dicetuskan tetap berupa eksposisi sepintas lewat montase headline berita.

Purge adalah Halloween khusus dewasa

 

 

Sebenarnya di film ini kita akan beneran bertemu dengan pencipta konsep Purge sebagai bagian dari kampanye politik partainya. Tapi karakter yang mestinya punya beban konflik moral, punya dilema, yang menarik untuk digali ini pun hanya terasa seperti tempelan. Karena fokus jarang sekali jatuh padanya. Kehadiran tokoh ini lebih terasa seperti karena film butuh sesuatu untuk direveal; kalian tahu, kayak kebanyakan film yang merasa perlu untuk masukin unsur twist. Kita diperkenalkan kepadanya begitu saja, ‘undur diri’nya juga turut terasa abrupt sekali. Instead, cerita akan berfokus kepada seorang pemimpin gang. Bandar narkoba muda yang sudah meraja di kota tersebut. Moral konflik yang dipasangkan kepadanya sebagai kait cerita adalah bahwa gimana dia menolak Purge yang membunuh manusia dalam satu malam, sementara kerjaannya sendiri merusak manusia 364 hari non-stop. Susah untuk peduli sama si tokoh utama – walaupun Y’lan Noel mainnya lumayan berkharisma dan cukup meyakinkan. Maka, film membawa cerita mengarah kepada warna ‘melindungi rumah sendiri’ dalam usahanya menyinari tokoh utama dengan cahaya simpati; gimana lingkungan tempat tinggal mereka digugah oleh kepentingan, dan mereka harus bekerja sama melindungi kemanusiaan di dalamnya.

The First Purge tetap seperti home invasion skala besar, dengan bukan saja unsur kekerasan yang dikurangi (karena cerita ini seperti setengah psikologis, dan setengah ‘ah sudahlah bikin yang heboh seperti biasa aja’), secara teknis film ini juga tampak lebih ‘murah’ ketimbang film-filmnya sebelum ini. Penulisannya menjurus ke konyol pada beberapa poin. Ada indikasi mereka ingin memparalelkan kejadian film dengan keadaan di dunia nyata, seperti ketika seorang politisi literally bilang “kita harus bikin Amerika hebat lagi”. Tidak ada kesubtilan, mereka menyebutnya dengan gamblang. I mean, bahkan nyindir juga mestinya ada seninya kan. Efek-efek yang ada kerap terasa ketinggalan jaman, ada bagian ketika film bermaksud merekam adegan yang misterius dengan banyak asap dan percikan darah, namun jatuhnya malah over-the-top because it feels cheap.

Pada satu poin, aku sempat heran apakah ini berubah menjadi film Searching (2018) apa gimana karena tiba-tiba kita melihat seorang tokoh penting dieksekusi lewat layar monitor. Kita tidak tahu gimana, bahkan apakah itu benar-benar si tokoh karena kita enggak bisa melihat wajahnya. Hanya orang yang terlihat mirip dia. Kenapa film tidak memperlihatkan langsung saja. Apa adegan tersebut ditambahin belakangan, baru sadar ada yang kurang tapi kontrak pemainnya sudah habis? Setelah paruh pertama, cerita benar-benar meninggalkan pacing, dan segala macem. Yang membuatku tertawa adalah ketika pasukan tokoh utama kita diberondong oleh drone, Dmitri masuk ke kolong mobil, dia hanya bisa melihat kaki teman-temannya – mereka sedang dihujani peluru. Dan setelah dronenya pergi, Dmitri langsung keluar begitu saja. Like, darimana dia tahu dronenya sudah pergi atau keadaan sudah benar-benar aman? Film tidak lagi memperhatikan sudut pandang, dan pada titik ini, kita hanya menonton untuk melihat orang mati dengan cara sesadis yang bisa kita harapkan.

Purge adalah alegori budaya kekerasan, korupnya politik Amerika, dan sistem ekonomi neoliberalisme yang curang. Salah satu episode Rick and Morty say it’s best. Yang kaya semakin kaya. Yang miskin akan binasa. Purge pada akhirnya akan memutar roda ekonomi; penjualan senjata, sistem keamanan rumah. Kelas ekonomi bawah harus berjuang, sampai-sampai ada yang menjual hidup mereka demi keluarganya

 

 

 

 

Jika ini adalah Purge Night pertama kamu, mungkin aja sih, kamu-kamu bakal suka sama filmnya. Karena memang konsep dunia Purge ini selalu menarik. Makanya, para pembuat filmnya jadi susah move on. Installment barunya selalu terasa sama, dan enggak benar-benar menggali sudut yang baru. Mereka juga membuat serial TV The Purge, dan sejauh aku menonton (tiga episode) serial tersebut juga tak banyak berbeda dengan film ini. Jadinya ya enggak maju-maju. Tidak ada pencapaian pada setiap sekuelnya, tidak ada resiko yang diambil. Malahan, film ini tampak seperti yang paling males dibanding yang lain. Terhibur sih, tapi tetep aja kecewa karena aku pengen melihat Purge dibahas lebih dalam. Alasan kenapa ada Purge adalah hal yang dijanjikan oleh cerita, tapi kita tidak benar-benar mendapatkan hal tersebut.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for THE FIRST PURGE.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Akankah kalian berpartisipasi jika Indonesia melakukan Purge? Berapa duit yang kalian minta? Benarkah kita butuh satu hari untuk melampiaskan diri akan membawa kita menjadi orang yang lebih baik? Perlukah kejahatan dan dendam itu disalurkan?

Dan pada akhirnya, di mana posisi kita – para penonton semesta Purge; apakah kita menonton untuk melihat bagaimana akhirnya, atau hanya memuaskan dahaga karena kekerasan memang melegakan?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

Pengumuman Nominasi Film & Narafilm Terpuji FFB 2018: Pengamatan dalam Empat Babak

 

Setelah perpanjangan waktu, Festival Film Bandung akhirnya mengumumkan film dan narafilm yang termasuk kategori “Paling Pantas Dipuji” untuk periode 1 Agustus 2017 hingga 31 Agustus 2018. Tambahan waktu satu bulan tersebut tentu saja bukan penambahan yang sedikit. Periode ke 31 ini bisa dibilang sangat ramai; dari pool yang tersedia, pengamat FFB sudah mengamati 67 serial televisi, 365 film televisi, 137 film nasional, dan setidaknya 200an judul film impor. Kompetisi pada setiap kategorinya sangat ketat. Untuk film bioskop sendiri, dua caturwulan 2018 ini saja sudah terasa begitu fresh; selain horor yang terus beranakpinak, genre lain mulai bersemi bermunculan. Membuat penonton tak bosan-bosan ke bioskop. Membuat pengamat mesti lebih giat, dan berkembang penilaiannya.

Mengambil tajuk “Memulai Kembali” FFB 2018 merupakan sebuah homecoming bagi Forum Film Bandung. Tigfa-puluh-satu tahun itu sudah cukup tua, maka mereka melakukan peremajaan. Dan sebagaimana film-film yang comes full circle dalam urusan genre, Forum Film Bandung pun seperti memulai dari nol. Ada lebih banyak pengamat muda serta kontributor-kontributor dari komunitas dan blog yang dilibatkan dalam mengamati film. Menurut Eddy D. Iskandar, Ketua Umum FFB pada sambutannya di acara pengumuman nominasi, setiap tiga bulan sekali judul demi judul disaring oleh rentang sudut pandang yang luas. Makanya, setelah tahap-tahap pengamatan yang kontinu tersebut, menarik sekali melihat apa yang FFB keluarkan dalam pengumuman nominasi kali ini.

 

 

KATEGORI SERIAL TELEVISI

PEMERAN PRIA TERPUJI SERIAL TELEVISI
1) Eza Gionino
“Aku Bukan Ustadz”
MNC Pictures
RCTI

2) Hamas Syahid
“Kun Fayakun”
Antv Pictures & Tobali Putra Production
ANTV

3) Randy Martin
“Best Friends Forever”
MD Entertainment
TRANS TV

4) Rionaldo Stokhorst
“Orang Ketiga”
SinemArt
SCTV

5) Rizky Nazar
“Sodrun Merayu Tuhan”
SinemArt
SCTV

 

PEMERAN WANITA TERPUJI SERIAL TELEVISI
1) Audi Marissa
“Semua Indah karena Cinta”
Multivision Plus
RCTI

2) Cut Syifa
“Jodoh yang Tertukar”
SinemArt
SCTV

3) Evi Masamba
“Warteg DKI”
Antv Pictures & Veronica Pictures
ANTV

4) Marshanda
“Orang Ketiga”
SinemArt
SCTV

5) Naysilla Mirdad
“Orang Ketiga”
SinemArt
SCTV

 

SUTRADARA TERPUJI SERIAL TELEVISI
1) Agus Elias
“Tak Ada Hari yang Tak Indah”
SinemArt
SCTV

2) Maruli Ara
“Orang Ketiga”
SinemArt
SCTV

3) Rully Manna
“Kun Anta”
MNC Pictures
MNC TV

4) Yogi Yose
“Aku Bukan Ustadz”
MNC Pictures
RCTI

5) Yoyok Dumpring
“Jejak Suara Adzan”
Netmediatama
NET TV

 

SERIAL TELEVISI TERPUJI 
1) Aku Bukan Ustadz
MNC Pictures
RCTI

2) Jejak Suara Adzan
Netmediatama
NET TV

3) Orang Ketiga
SinemArt
SCTV

4) The Power of Emak-Emak
Lemon Tree Production
TRANS 7

5) Ummi
Multivision Plus
ANTV

 

 

KATEGORI FILM TELEVISI

PEMERAN PRIA TERPUJI FILM TELEVISI
1) Alfie Alfandy
“Panggilan Tak Terjawab”
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

2) Miqdad Addausy
“Lubang Tikus”
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

3) Nikki Frazetta
“Insya Allah Jodoh”
Tobali Putra Production
RCTI

4) Rama Michael
“Pesan Terakhir Laila Majnun”
Millenium Visitama Film
TRANS 7

5) Ridho Illahi
“Suami yang Tak Dianggap”
Mega Kreasi Films
INDOSIAR

 

PEMERAN WANITA TERPUJI FILM TELEVISI
1) Amanda Manopo
“Pemuja Mantan”
MD Entertainment
TRANS TV

2) Denira Wiraguna
“Sebenarnya Cinta”
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

3) Laudya Cynthia Bella
“Insya Allah Jodoh”
Tobali Putra Production
RCTI

4) Rachel Amanda
“Malaikat Pelantun Rindu”
Trans 7 & RK 23 Pictures
TRANS 7

5) Rianti Cartwright
“Pinjaman kepada Allah”
Max Pictures
RCTI

 

SUTRADARA TERPUJI FILM TELEVISI
1) Deni Pusung
“Hari-Hari Guru Jalil”
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

2) Ginanti Rona
“Madu dari Surga”
Trans 7 & Unlimited Production
TRANS 7

3) Joe Sandjaya
“Pinjaman kepada Allah”
Max Pictures
RCTI

4) Kiky ZKR
“Lubang Tikus”
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

5) Usman Jiro
“Kebaikan yang Dilupakan”
Mega Kreasi Films
INDOSIAR

 

PENULIS SKENARIO TERPUJI FILM TELEVISI
1) Daniel Tito & Cyntia S. Wardhana
“Primadona Pembawa Cinta”
Max Pictures
RCTI

2) Imam Salimy
“7 Langkah Terakhir”
Trans 7 & Unlimited Production
TRANS 7

3) M. Haris Suhud
“Mengejar Impian”
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

4) Musfar Yasin
“Hari-Hari Guru Jalil”
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

5) Raditya & Alifia Kurniasih
“Arena untuk Arini”
Limelight Pictures
SCTV

 

FILM TELEVISI TERPUJI
1) Hari-Hari Guru Jalil
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

2) Insya Allah Jodoh
Tobali Putra Production
RCTI

3) Lubang Tikus
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

4) My Trip My Adventure the Movie: The Lost Paradise
Transinema Pictures
TRANS TV

5) Pesan Terakhir Laila Majnun
Millenium Visitama Film
TRANS 7

 

 

KATEGORI FILM BIOSKOP IMPOR

Lima puluh film impor yang berhasil masuk nominasi tahun ini, bahkan ada film yang kelewat loh ama mydirtsheet, salut buat pengamat FFB!

 

 

KATEGORI FILM BIOSKOP NASIONAL

PENATA EDITING TERPUJI FILM BIOSKOP

Anu, itu nomer limanya keedit jadi nomer empat 

 

PENATA KAMERA TERPUJI FILM BIOSKOP

Bahkan horor dan film anak-anak sekalipun kamera udah gak pake main-main!

 

 

PENATA ARTISTIK TERPUJI FILM BIOSKOP

“Hmm.. tidak mudah membuat dunia.. ya..ya” sambil galer-galer

 

 

PENATA MUSIK TERPUJI FILM BIOSKOP

Jangankan yang memang haunting, “anak betawi” pun bikin merinding

 

 

PEMERAN PEMBANTU PRIA TERPUJI FILM BIOSKOP

Pemeran Pembantu pun sah kok dikasih karakter yang ga kalah kompleks

 

 

PEMERAN PEMBANTU WANITA TERPUJI FILM BIOSKOP

Mainan emosinya juara semua nih

 

 

SUTRADARA TERPUJI FILM BIOSKOP

Sutradara punya suara!

 

 

PENULIS SKENARIO TERPUJI FILM BIOSKOP

“Skenario adalah tulang punggung dari sebuah film”

 

 

PEMERAN UTAMA PRIA TERPUJI FILM BIOSKOP

Akankah Gading Marten mengalahkan empat aktor yang ‘lebih senior’ darinya?

 

 

PEMERAN UTAMA WANITA TERPUJI FILM BIOSKOP

Ada tiga ‘pembunuh’ nih saingan di sini

 

 

FILM BIOSKOP TERPUJI

Nyaris semua lapisan terwakili ya di sini, keren!

 

 

Berikut review buat kelima nomine Film Bioskop Terpuji:

  1. Hujan Bulan Juni http://mydirtsheet.com/2017/11/02/hujan-bulan-juni-review/
  2. Koki-Koki Cilik http://mydirtsheet.com/2018/07/07/koki-koki-cilik-review/
  3. Love for Sale http://mydirtsheet.com/2018/03/15/love-for-sale-review/
  4. Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak http://mydirtsheet.com/2017/11/16/marlina-si-pembunuh-dalam-empat-babak-review/
  5. Sultan Agung http://mydirtsheet.com/2018/08/27/sultan-agung-tahta-perjuangan-cinta-review/

 

 

 

Dari anak-anak, remaja, mengenal cinta, dewasa, kemudian entah itu menikah ataupun masih menunggu waktu yang tepat; hidup adalah babak-babak dan nominasi FFB 2018 seolah menyimbolkan semua itu. Babak baru untuk FFB, langkah yang mantap buat perfilman Indonesia. Nantikan November untuk melihat siapa para Terpuji.

 

 

That’s all we have for now.

Siapa yang jadi jagoan kalian? What do you think about the nominations?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017