My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2024

 

Satu dua tiga.. itu bukan itungan menuju kembang api tahun baru yang sekali lagi sudah kita lewati, tapi angka jumlah – tepatnya seratus dua puluh tiga – film yang udah sukses tereview di blog ini sepanjang 2024 yang lalu. Angka yang lebih besar daripada tahun 2023. Tapi itu juga bisa review lebih banyak karena aku ‘ngecheat’ lewat mini review. Jadi, tahun 2024 filmnya lebih banyak tapi reviewnya lebih sedikit. Make sense gak sih? hahaha

Melakukan ini setelah sekian lama ternyata jenuh itu sampai juga kepadaku. Maka tahun ini ya, jujur aja, aku semakin males ke bioskop. Gairah untuk sesegera mungkin bertemu film baru itu pun jadi menipis. Aku jadi lebih suka menunggu hingga tayang di platform, lalu menontonnya di komputer. Nulis reviewnya pun udah gak kerasa begitu urgen. Satu ulasan, belakangan ini, aku garap dua hari. Padahal biasanya, langsung ngebut begitu beres kredit filmnya bergulir. Kalo nontonnya di bioskop, biasanya aku cepet-cepet pulang untuk bikin tulisan. Tapi tahun ini, kalo lagi gak ujan, aku lebih suka pulang nyantai – kalo perlu jalan kaki pulang ke kamar. Gak tau juga sih kenapa jadi ilang gairah, padahal ke film itu sendiri aku masih terus penasaran. Film masih tetap jadi eskapis dan ruang melihat karakter yang menarik bagiku. Caturwulan terakhir tuh, aku rasanya males banget. November malah aku cuma publish dua post single-review. Tapi tenang sodara-sodara, di penghujung tahun 2024, aku merasa sudah menemukan kembali passion itu – atau seenggaknya, aku menemukan pemantik gairah baru dalam menonton. However, I really hope this particular reason would work out nicely sampe ke 2025 dan further, doain aja yaww..

Balik ke soal 123 film, keliatannya banyak tapi cakupannya ternyata juga belum terlalu dalam. Beberapa film yang crucial di 2024 kayak Gladiator 2, Wicked, Emilia Perez, Mufasa, dan bahkan Red One (yang ternyata cukup unik) belum sempat kutulis – dan bahkan belum sempat kutonton – sehingga gak termasuk dalam daftar ini. So yea, daftar kali ini mungkin bukan cerminan terbaik dari perfilman 2024, tapi ya sudah cukup mewakili lah.

 

HONORABLE MENTIONS

  • American Fiction (meskipun judulnya ‘American’ tapi keadaan sosial yang diangkat di film ini relate ke kita, karena I guess semua orang sekarang memang hidup di dunia yang sama, dunia tipu-tipu alias dunia fiksi)
  • Heretic (dialog menantang soal keimanan dan agama adalah wujud asli dari thriller ini)
  • How to Make Millions Before Grandma Dies (kirain lucu-lucuan soal rebutan warisan, ternyata cerita menyentuh tentang hubungan keluarga di mana jadi caregiver adalah bentuk ultimate sebuah cinta)
  • I Saw the TV Glow (bukan cuma nostalgia kultur televisi, tapi juga kisah psikologis yang haunting tentang identitas diri)
  • Kabut Berduri (cerita detektif bernuansa psikologis dan juga mistis? jarang banget ada di Indonesia)
  • Kinds of Kindness (antologi super absurd tentang rupa-rupa (atau pura-pura?) kebaikan)
  • Longlegs (detektif bernuansa mistis jugak, tapi ini emphasize di atmosfer dan penampilan akting creepy dari Nicholas Cage)
  • Monster (yang Jepang loh, bukan film Indonesia yang berjudul sama. Film ini punya konsep tiga perspektif, sehingga ceritanya jadi kayak berevolusi jadi tiga genre berbeda. Tapi yang lebih penting, psikologis karakternya kuat sekalii. Salah satu dari dua film yang dapat skor 9 tahun ini)
  • Oddity (sebenarnya secara film kurang bagus, tapi secara cerita, ini adalah cerita dan penceritaan horor yang paling efektif)
  • Poor Things (satu lagi yang weird dan absurd dari Lanthimos, film ini kayak gimana ilmuwan memandang cinta dan kesempurnaan)
  • Speak No Evil (ini panggung pertunjukan akting dari James McAvoy)
  • Strange Darling (aku udah ngulang nonton ini 4 kali karena pengen lihat telaknya struktur acak film ini meniru bentukan judgment kita, dan karena pengen lihat adegan mati yang keren banget di endingnya)
  • Thelma (satu lagi cerita tentang hubungan dengan nenek, tapi kali ini beneran dari perspektif nenek, dengan vibe action!)
  • The Zone of Interest (nampilin ketidakmanusiawian bukan dari eksploitasi kekerasan, melainkan dari sound design yang menyiksa nurani)
  • Transformers One (ini baru film Transformers yang aku kenal!)

Special Shout Out dialamatkan kepada Agak Laen, karena film ini ulasannya paling banyak dibaca pada blog ini sepanjang 2024. Dan kepada Poor Things, yang video ulasannya di channel YouTube mydirtsheet paling banyak ditonton.

Semoga ‘Honorable Mentions’ barusan bikin kalian bertanya-tanya, kayak. “Emangnya ada film yang lebih bagus dari Monster?”. Nah itulah serunya,  untuk daftar seperti DELAPAN BESAR 2024 ini aku percaya daftar tersebut harus disusun sepersonal mungkin. Karena subjektivitas itulah justru alasan utama kita tertarik sama film pilihan orang-orang, kan? Karena kalo isi daftarnya sama semua, apa gunanya everybody bikin kan? So, here my list!

 

 

 

8. HIT MAN

Director: Richard Linklater
Stars: Glen Powell, Adria Arjona, Austin Amelio
MPAA: R
IMDB Ratings: 6.8/10
“Seize the identity you want for yourself.”

 

Aku nonton ini gak punya ekspektasi apa-apa, malahan aku nonton ini karena direkomen sama pembaca blog kalo ndak salah. Karena kukira memang ceritanya standar tentang everyday man yang ternyata pembunuh handal. Ternyata bukan. Justru sebaliknya, film ini matahin ekspektasi kita tentang citra pembunuh bayaran yang dibentuk oleh media. Serta di baliknya ada bahasan berbobot tentang bagaimana kita memandang diri sendiri. Inti film ini memang soal identitas dan psikologi; dua hal yang aku masih nyesel banget gak ngejar mereka pas di bangku kuliah.

Film ini bisa nyeritain bahasan tersebut dengan fun, karena punya permainan akting yang benar-benar menyokong. Glen Powell-lah namanya, kayaknya dia effortless banget mau jadi karakter macam apa pun. Relationship dan romance-nya pun diceritakan dengan fresh. Berjalan tetap di jalur temanya sendiri sehingga unpredictable namun juga grounded. Ini paket entertainment yang bikin kita gak ngerasa bego menontonnya

My Favorite Scene:
Adegan Gary ama Madison improv dialog pake notes di hape (karena ceritanya mereka lagi diawasi). Kocak dan clever banget!

 

 

 

 

 

 

 

7. THE FIRST OMEN

Director: Arkasha Stevenson
Stars: Nell Tiger Free, Ralph Ineson, Sonia Braga
MPAA: R 
IMDB Ratings: 6.5/10
“How do you control people who no longer believe? You create something to fear.”

 

Tahun 2024 kita banyak dapat prekuel dari film horor klasik, however, The First Omen ini yang jauh lebih mending dibanding yang lain. Bisa mengikat cerita ke lore film aslinya, sementara juga punya bahasan sendiri yang utuh. Bukan cuma itu, di tahun yang marak horor dengan kualitas yang meningkat dibanding tahun lalu, First Omen pun terasa powerful. Padahal ini baru debutnya, tapi sutradara nunjukin dia punya nyali. Berani ‘mengubah’ materi sesuai kebutuhan tema atau gagasan, tanpa merusak garis besar role atau cerita. Sehingga film The First Omen bukan sekadar soal kelahiran Damien, melainkan juga eksplorasi yang lebih dalam tentang keluarganya – tentang kultus yang ‘melahirkannya’. Semua itu terangkum dalam horor bertajuk modern; otonomitas tubuh perempuan.

Aku suka aja vibe horor klasik yang dipertahankan. Suka juga ama teknis film ini menciptakan ketakutan kita lewat adegan-adegan seram yang suspensnya kuat banget. Adegan horor film ini memorable semua loh. Tentu saja ini juga berkat penampilan akting. Tiger Nell Free nunjukin range yang luar biasa. Karakternya tidak sekadar bereaksi terhadap hal mengerikan di sekitar, namun film mengembalikan semua horor ke journeynya yang traumatis. Journey mengerikan karakternya ini yang bikin film ini ngeri. Gak banyak film horor sekarang yang ngerti itu.

My Favorite Scene:
Mulai dari imposed shot laba-laba, jumpscare tanpa suara ngagetin, sekuen bayangan, udah gak keitung adegan keren di film ini. Makanya aku pilih film ini sebagai wakil genre horor dalam daftar terbaik 2024. Kalo mau pilih satu, adegan favoritku adalah adegan melahirkan di jalan, yang juga adalah reference dari horor klasik lain.

 

 

 

 

 

6. CIVIL WAR

Director: Alex Garland
Stars: Kirsten Dunst, Cailee Spaeny, Jesse Plemons
MPAA: R
IMDB Ratings: 7.0/10
“Once you start asking those questions you can’t stop. So we don’t ask. We record so other people ask.”

 

Di tengah situasi politik yang bikin kayak ada kubu antara yang 58% dan yang masih waras, film ini terasa begitu penting dan urgen. Karena perang sodara di mana-mana kayaknya memang sumber dan masalahnya sama. Harusnya di saat-saat seperti ini, media jadi tonggak utama. Yang netral dan melaporkan kejadian faktual. Namun, bisakah mereka juga dipercaya. Civil War mengambil sudut pandang jurnalis di medan perang sodara, memotretnya dalam lensa dualitas supaya orang-orang dan bahkan para jurnalis itu sendiri bisa ingat, di mana harusnya integritas mereka berada.

Inilah yang menggerogoti protagonisnya dari dalam. Sebagai jurnalis fotografi senior, Lee telah banyak memotret dari dekat kejadian-kejadian mengerikan. Dia memotret orang terbakar, dari jarak yang sebenarnya bisa digunakannya untuk membantu si korban. Melalui si Lee ini, film pun menarik paralel antara tentara yang membidikkan senapan dengan jurnalis yang membidikkan kamera. Lalu ada lagi karakter Jesse. Jurnalis muda yang mengidolakan Lee, yang memaksa untuk ikut bersama rombongan Lee ke Gedung Putih mewawancarai Presiden. Duality yang lebih gamblang tercermin pada hubungan antara Lee dengan Jesse, karena cerita ini gak akan berjalan maksimal jika karakter Lee tidak diberikan ‘pasangan’. Dramatisnya thriller distopia ini baru akan terasa jika kita melihat Jesse dan Lee sebagai cerminan yang berlawanan. Bagaimana seseorang yang tadinya polos dan naif, menjadi ‘keras’ dan seperti mati rasa karena tuntutan kerjaan membuatnya terbiasa melihat kekerasan dari dekat – bahkan mengalami kekerasan itu sendiri. Dan juga sebaliknya, gimana setangguh-tangguhnya orang, se-hardened apapun perasaan itu, pasti akan tergugah juga demi melihat penyimpangan kemanusiaan sebegitu lama, sebegitu dekat.

My Favorite Scene:
Momen paling intense di film ini adalah saat para jurnalis bertemu dengan Jesse Plemons yang meranin tentara nasionalis – yang tentu saja borderline antara nasionalis dan rasis jadi sangat tipis. Genuinely momen yang bikin merinding karena kita bisa lihat adegan tersebut bisa easily terjadi di dunia nyata.

 

 

 

 

 

 

5. NOT FRIENDS

Director: Atta Hemwadee
Stars: Anthony Buisseret, Pisitpol Ekaphongpisit, Thitiya Jirapornsilp
MPAA:
IMDB Ratings: 7.5/10
“Imagination is more important than knowledge”

 

Saat pertama kali nonton ini aku gak nyangka film ini bakal jadi nostalgia banget buatku. Teman-teman yang mencoba bikin bersama-sama? Well ya, di pertengahan tahun aku kehilangan teman yang dulu selalu ngajak bikin film pendek. Sekarang film ini hits extra hard.

Not Friends mengulik persoalan pergaulan di sekolah – yang bisa dilihat sebagai satir dari bagaimana kita menjadi teman, tapi juga bukan teman yang benar-benar kenal dengan bahkan teman sebangku – ke dalam bahasa yang akrab sama penggemar film. Sutradaranya berhasil menggabungkan bahasan tentang pertemanan dengan passion membuat film menjadi sebuah penceritaan yang manis. Film tetap berpegang kepada storytelling dari drama dari karakter. Karenanya bahkan penonton yang gak share kecintaan yang sama dengan filmmaking pun bakal masih bisa mengikuti drama anak sekolah yang disajikan sebagai hidangan konflik utama. Film tidak membiarkan kisahnya menjadi overdramatis ataupun jadi lebih ‘besar’ daripada persoalan anak sekolah. Melainkan tetap renyah dan menapak.

Jikapun narasinya mengandalkan kepada rangkaian ‘ternyata’, rangkaian itu tidak difungsikan untuk mengecoh ataupun mematahkan plot, melainkan sebagai tantangan berikutnya dari protagonis utama sehubungan dengan development pribadinya yang ingin membuat film tentang teman sebangku yang ia akui sebagai bestienya saat sang teman itu meninggal dunia, sebagai jalan pintas untuk keluar dari masalah masa depan pendidikannya.

My Favorite Scene:
Montase ketika mereka otodidak berusaha membuat adegan dari cerita pendek, melakukan ‘movie magic’ alias treatment dan efek-efek praktikal untuk membuat seolah adegannya beneran astronot di pesawat luar angkasa, misalnya, tampak begitu menarik. Kita seperti diundang masuk ke dalam grup mereka. Kita ngerasain betapa serunya ngelakuin itu semua.

 

 

 

 

 

 

4. GODZILLA: MINUS ONE

Director: Takashi Yamazaki
Stars: Minami Hamabe, Ryunosuke Kamiki, Sakura Ando
MPAA: PG-13
IMDB Ratings: 7.7/10
“Is your war finally over?”

 

Tahun 2024, kita dapat dua film Godzilla, namun sayangnya yang tayang di bioskop adalah film Godzilla yang cuma spektakel. Sementara, Godzilla yang satunya – Godzilla Minus One yang berhasil masuk daftar 8 Besar ini – cukup hanya berpuas diri nonton di komputer. Padahal sensasi epicnya jauh lebih gede Godzilla Minus One! Ini bukan cuma pertempuran monster super gede, tapi pertempuran gede dari rasa kemanusiaan. Godzilla hanyalah sosok yang merepresentasikan perang itu sendiri. 

Yang membuat film ini jadi luar biasa bagus adalah cara mereka menghadirkan manusia dan Godzilla di dunia yang sama dengan kepentingan yang saling tak tergantikan, Cerita bertapak pada manusia dengan perspektif dan identitas lokal yang kuat, tentang posisi mereka pada situasi terendah setelah perang, dan Godzilla jadi brutal force yang menguji pandangan hidup mereka. Kreasi film ini dalam menghidupkan Godzilla di dunia Jepang 1940an pantes banget diganjar awards – dan memanglah film ini layak menjadi film Godzilla pertama yang memenangi piala Oscar untuk Visual Efek Terbaik. Yang membuat, film ini bukan saja berhasil menjadi sajian fantasi sci-fi, tapi sekaligus berhasil sebagai period piece perang! Melihat Godzilla di film ini bukan sekadar seru karena besar, dan epic karena pertarungannya dahsyat. Tapi, yang lebih penting, melihat Godzilla di sini, perasaan kita akan tergugah. Takjub dan takut bergulir menjadi satu. Mungkin seperti menonton film inilah rasanya melihat Godzilla sungguhan; beautiful, majestic, tapi juga begitu menakutkan sampai menggetarkan hati.

My Favorite Scene:
Waktu kapal rongsok penyapu ranjau yang dinaiki Shikishima dan tiga rekannya dikejar oleh Godzilla. Feelingnya intense banget, padahal yang kelihatan dari Godzilla itu cuma duri-duri di punggung dan puncak kepalanya.

 

 

 

 

 

 

3. ANORA

Director: Sean Baker
Stars: Mikey Madison, Paul Wiseman, Karren Karagulian, Mark Eydelshteyn
MPAA: R 
IMDB Ratings: 7.9/10
“I don’t need anyone’s permission to be who I am”

 

Kalo aku jadi Scott Pilgrim aku akan ganti lirik lagu Ramona menjadi “A..no~ra, on my mind”. Karena memang film ini bikin kepikiraan. Actually, ini salah satu film yang paling aku antisipasi. Karena Mikey Madison! ehem… Jadi kukira paling juga nontonnya suka karena bias. Tapi ternyata enggak. Film ini benar-benar ngasih sesuatu untuk kita pikirkan. Rom-Com itu cuma hiasannya doang. Sebenarnya film ini sedang motret relasi antarkelas sosial di dunia yang bisa dibilang semakin relate dengan dunia kita. Dunia yang semuanya semakin serba transaksional.

Si Anora sendiri diceritakan udah kayak anti dari kisah Cinderella. Dia memang ngimpi hidupnya berakhir kayak Cinderella – ketemu pangeran dan hidup di ‘istana’ – tapi Anora adalah perempuan yang tangguh dan realistis. Menyaksikannya struggle dengan ‘impian vs. realita’ dijadikan fondasi dari sebuah journey dramatis dan tak pelak traumatis bagi film. Herannya, film ini berhasil jaga vibe yang kocak. Aku bahkan gak nyangka film ini tengahnya lucuuu.. Dan ini tu sesuai dengan konsep gagasan film, bahwa sesuatu bisa muncul dari tempat yang tak terduga. Kayak, romance film ini aja ternyata bukan merujuk pada hubungan antara Ani dengan Vanya. Tapi dari seseorang yang tak direcognize oleh Ani. Jadi nonton film ini tuh kita rasanya jumpalitan oleh emosi, tanpa pernah sekalipun terlepas dari sudut pandang Ani

Dan yea, dengan bangga aku pronounce bias ku ke Mikey Madison enggak salah, karena dia di sini benar-benar cegil!! Vibe dan energinya menghidupkan film ini! 

My Favorite Scene:
Setiap scene yang melibatkan scarf merah itu, aku ngakak bukan main!

 

 

 

 

 

 

2. THE WILD ROBOT

Director: Chris Sanders
Stars: Lupita Nyong’o, Pedro Pascal, Kit Connor, Mark Hamill
MPAA: PG
IMDB Ratings: 8.2/10
“Sometimes hearts have their own conversations”

 

Inilah film kedua yang dapat nilai 9 yang langka itu! The Wild Robot dapat nilai 9 karena meskipun karakternya mungkin familiar, tapi yang bikin film ini ekstra spesial adalah karena ceritanya ikutan berevolusi seiring dengan karakter robotnya, si Roz. Berawal dari fish-out-of-water, menjadi cerita ibu besarin anak, lalu jadi cerita bertahan hidup dengan skala yang lebih besar – bukan cuma soal Roz tapi komunitas atau para hewan di hutan tempatnya terdampar. Ini muatan dan penceritaan yang kaya sekali. And the icing on the cake, desain animasi yang begitu spektakuler.

Sutradara paham bahwa animasi bukan hanya untuk pamer. Animasi bukan hanya untuk cerita anak yang bermanis-manis ria. Animasi bukan hanya untuk fantasi yang preachy. Maka dibuatnya lah animasi di film ini sebagai kendaraan untuk menyampaikan cerita yang begitu grounded oleh realita. Tentang kehidupan dan kematian. Tentang insting ataupun program bertahan hidup. Hewan-hewan di film ini boleh saja bertampang lucu, tapi mereka semua serius karena harus bertahan hidup di hutan. Kontras dunia dan sikap cerita membuat film menjadi menarik, dan ketika tiba saatnya adegan-adegan sedih, film ini bakal betul-betul menarik nadi emosi kita. Sebab kita bukan lagi melihat mereka sebagai hewan atau robot kartun, melainkan makhluk hidup yang fully fleshed, punya hati nurani. Dengan persoalan yang kita bisa relate dengan mereka. 

Udah lama aku gak nemu film yang hampir berhasil bikin nangis. Tapi itu cuma aku. Semua orang yang kukenal nangis nonton film ini. Saking powerful cerita dan karakternya.

My Favorite Scene:
Yakin udah seratus persen, adegan favorit semua orang itu pas Roz ngajarin Brightbill terbang. Mulai dari ngajarin, ampe udah bisa terbang ninggalin Roz, gak sempet ngucapin good bye, itu tuh momen tearjerker 2024 bangets!!

 

 

 

 

Biar sama kayak salah satu tren film tahun 2024 yang bikin acara TV sendiri, maka sebelum kita melihat siapa yang bercokol di posisi satu (tapi kayaknya semua udah bisa nebak), mari kita jeda pariwara dahuluuu… wuuuuu!!

 

 

 

1. THE SUBSTANCE

Director: Coralie Fargeat
Stars: Demi Moore, Margaret Qualley, Dennis Quaid
MPAA: R
IMDB Ratings: 7.4/10
“Have you ever dream of a better version of yourself? ”

 

Enggak ada kejutan memang di list tahun ini. Aku gak bisa milih film lain selain The Substance, karena film horor keren ini udah aku banget. Nature ceritanya yang psikologikal, terlebih tentang journey degdradasi karakter. Setting yang nunjukin backstage pembuatan film atau acara televisi. Dan horor (tepatnya body-horor) dengan efek praktikal yang gross tapi bikin takjub. Not to mention, bahasannya tentang self-crisis perempuan yang senada dengan concern dan tema film pendekku dulu, bahkan ada adegan yang mirip (yang tentu saja dilakukan dengan jauh lebih baik oleh film ini).

Bener-bener diperlihatkan tuh di sini, gimana ekspektasi sosial mampu mendorong seseorang menjadi sesuatu yang bahkan dia jadi tidak mengenal siapa dirinya lagi. Gimana orang bisa membenci dirinya hanya karena ngikutin maunya orang lain. Aku suka film ini tetap pada jalurnya, yaitu membahas dari perspektif karakter. Menggali dari sana. Tidak berubah haluan jadi membahas asal muasal serum atau misteri pembuat serumnya, misalnya. Film ini berhasil menggunakan body horor, sebagai penguat cerita. Menyokong pengalaman mengerikan yang ingin disampaikan. Gimana membentuk cerita tragis sehingga gak jadi ngejudge, melainkan menjadi selaman berbobot yang menyeluruh mulai dari karakter hingga ke dunianya yang punya masalah yang sebenarnya ditarik dari problem sosial beneran. Film ini berhasil, meskipun tergolong sebagai genre, tapi tetap sebuah genre dengan bahasan substansi yang kuat.

Demi Moore dan Margaret Qualley jadi tandem yang gak ada lawan menghidupkan karakter Elisabeth/Sue. Suksesnya itu adalah karakter mereka tetap tampak seperti konflik batin di dalam satu orang. Makanya adegan mereka akhirnya berantem berdua itu walaupun ngakak, tapi tetap powerful dalam menyampaikan pesannya. Duh, jadi udah ngobrolin adegan favorit kan tuh.. Kita memang bakal jadi ikutan chaos ngomongin film ini karena ada begitu banyak yang bisa diomongin. Yang bisa dibahas. Tapi semua itu berhasil diceritakan dengan begitu luwes. Jadi gak pernah terasa berat, melainkan tetap menghibur.

 

My Favorite Scene:
Banyak sih, sumpahKelahiran si Monstro Elisasue, adegan Elisabeth dan Sue berantem berdua, adegan Elisabeth ngomel-ngomel nontonin Sue diwawancara, shot di opening yang efektif ngeset Elisabeth status bintangnya udah redup. Kalo mau get personal, ya favoritku adalah adegan Elisabeth di depan cermin, dia mau pergi kencan, tapi insecure sama wajahnya sendiri. Adegan di depan cermin Elisabeth berantakin riasan wajahnya ini, juga mirip sama adegan di film pendekku dulu, Gelap Jelita. Jadi gagasannya benar-benar kerasa relate dan menohok buatku.

 

 

 

 

 

 

So, that’s all we have for now.

Itulah daftar Top Movies 2024 versi My Dirt Sheet. Maaf kalo misalnya film favorit kalian belum berhasil tertonton dan terulas. Inilah rapor lengkap 123 film pada tahun 2024. Ada dua film yang dapat nilai 9. Tapi yang dapat nilai 2 dan bahkan 1, jumlahnya lebih banyak, dan kali ini berbagi rata yang jelek itu. Bukan hanya film Indonesia tapi juga ada film impornya.

Apa film favorit kalian di tahun 2024? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2025 ini?

Share with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

 
 

MOANA 2 Review

 

“If you want to go quickly, go alone. If you want to go far, go together”

 

 

Jadi, seberapa jauh Moana pergi setelah film pertama? Well, kalo dilihat dari angka box officenya sih ya, Moana memang suskes ke mana-mana. Tapi bagaimana dengan kelanjutan ceritanya. Trio sutradara David G, Derrick Jr, Jason Hand, dan Dana Ledoux Miller ingin memastikan petualangan kedua Moana dan Maui jauh lebih seru dan besar. Kabarnya bahkan cerita ini tadinya pengen dibentuk sebagai serial, saking mereka udah kepikiran petualangan yang lebih panjang. Dan nyatanya, Moana 2 tetap berwujud film, dan memang bigger, tapi petualangannya kali ini terasanya justru jauh lebih datar. Mungkin benar seperti kata pepatah ya, yang lebih beriak-riak itu ternyata tak dalam.

Sebagai seorang ‘wayfinder’, maka sudah jadi tugas Moana untuk menjelajahi samudera. Misi Moana dan orang-orangnya di pulau adalah mencari keberadaan suku lain di seberang sana. Hanya saja, selama ini Moana pergi sendirian. Yang ngikut di perahunya cuma Pua dan Heihei. Jadi memang Moana yang di film pertama ambis banget pengen segera melaut, belum berlayar jauh. Hatinya sekarang tertambat oleh keluarga. Sampai sebuah panggilan dari leluhurnya datang. Moana beneran harus meninggalkan pulau, mengarungi perjalanan berbahaya, demi mematahkan kutukan Nalo; dewa yang ngirim petir, menenggelamkan dan memisahkan pulau-pulau. Moana berangkat bersama kru beneran dan-tunggu, di mana Maui? Maui ternyata beraksi duluan sendirian, tapi sekarang dia sedang stuck kena perangkap perempuan kelelawar dan dia mungkin perlu Moana untuk sekali lagi menyelamatkan dirinya.

Maunya Maui malah malu-maluin

 

Set up temanya sebenarnya perfect. Dua hal yang dikontraskan pada cerita kali ini adalah sendirian atau bareng-bareng. Dan kedua hal tersebut dieksplorasi dimensinya. Sendirian bukan lantas berarti individualistis, misalnya, Maui yang pengen beraksi sendiri bukan karena dia gak suka Moana, tetapi justru karena dia mengkhawatirkan Moana. Bareng-bareng juga bukan sebatas soal kita dan kelompok kita saja. Seperti ketika nanti diperlihatkan oleh film ini, bahwa Moana and the gank akan bergabung dengan pihak yang dulu pernah musuhan ataupun pihak yang tadinya dianggap musuh. Film juga memanfaatkan role dunia fantasinya untuk mengeksplorasi tema tersebut ke dalam ranah spiritual ketika Moana memutuskan untuk pergi langsung ke pusat bahaya sendirian, demi teman-temannya berhasil. Alias pengorbanan diri. Moana 2 memang sebenarnya masih dalem, jika diberikan pace dan mungkin waktu yang lebih banyak. Yang lebih penting untuk dikembangkan – dan ini yang kurang pada film kedua ini dibandingkan film pertama – adalah waktu untuk Moana bergulat dengan innernya. Momen-momen personal yang menyorot kepada kenapa pengorbanan diri yang dia lakukan itu penting; lebih dari sekadar bentuk tragedi untuk dramatis film. Karena tindakan pilihannya itu merupakan bentuk dari Moana udah belajar tentang tema tadi. Bahwa inner journey-nya sudah komplit.

Film kedua ini kayak menjawab nyanyian Moana di film pertama. “How far I’ll go?” Yang nentuin ya sebenarnya Moana sendiri. Selama ini dia menyangka kini dia bebas mengarungi samudera sejauh mungkin, tapi lantas dikaramkan oleh kenyataan gak semudah itu ninggalin keluarga dan orang tercinta. Jika mau pergi jauh, ya harus bareng-bareng. Makna ‘bareng-bareng’nya itulah yang sejatinya jadi pembelajaran bagi karakter di film ini.

 

Dua relasionship utama yang harusnya diberi waktu lebih banyak adalah antara Moana dan Maui, serta Moana dengan adeknya. Ya, kini Moana punya adek. Masih kecil tapi sassy, imut banget. Moana dan Maui di film ini kayak ke-reset, awalan cerita tidak seperti melanjutkan hubungan mereka, tapi seperti mengulang. Mereka tidak dibikin bersama lalu berpisah, tapi langsung berpisah petualangan untuk kemudian bertemu lagi. Ini membuat film jadi terkesan ngikutin formula film yang pertama. Sedangkan untuk Moana dengan adeknya, Simea, well, ya mereka sweet banget. Mereka share jokes bareng, mereka punya momen personal kayak Moana ngajarin adeknya knowledge suku mereka (yang sebenarnya low key film ngasih eksposisi ke penonton, tapi dilakukan dengan cute). Tapi dinamika dramanya masih lebih terasa seperti “adek yang gak mau kakaknya pergi”. Bagian Moana juga berat ninggalin, agak ‘malu-malu’ ditampilkan. Padahal ini salah satu yang penonton bisa relate generally. Moana itu kan basically kayak anak rantau. Yang harus ninggalin keluarga demi kehidupan yang lebih baik. Aku sendiri pernah ngerasa kayak Moana. Waktu aku kuliah, adekku yang paling kecil lahir. Dan itu setiap kali mudik, pasti rasanya berat banget ninggalin rumah untuk balik ke pulau rantau lagi. Berat karena di rumah ada makhluk kecil yang enak untuk diganggu hehehe.. enggak ding. Ya sama kayak Moana dan Simea, deh. Moana merasa berat karena dia tahu samudera itu luasnya gak ada yang tau. Dia tahu ini adalah perjalanan panjang yang berbahaya. Bisa-bisa pas dia pulang ntar, Simea udah seusia dia pas berangkat ini. Atau bisa jadi dia gak bakal pulang lagi sama sekali, seperti nasib leluhurnya itu.

Kekecewaan personalku: Alessia Cara gak ngisi soundtracknya lagiiii

 

Alih-alih momen kayak gitu, Moana 2 justru lebih menekankan kepada outer journey dan momen-momen Moana bersama krunya di laut. Ini pilihan yang salah dari film yang tadinya diniatkan sebagai serial ini. Durasi terbatas tentu tidak akan bisa mengakomodir petualangan dan tambahan karakter yang cukup bejibun. Film ini justru menyuruh kita menikmati petualangan, tapi petualangannya itu sendiri kayak ringkasan. Banyak, seru, tapi ya ritmenya gak enak. Bonding Moana dengan karakter-karakter kru di perahunya enggak fully terdevelop, mereka jadi akrab aja dalam satu lagu. Development masing-masing sebagai karakter pun datang dan pergi gitu aja. Kayak, ada satu karakter yang hampir mati, beruntung dia berhasil diselamatkan oleh Maui yang sangat ia idolakan. Setelah momen yang sudah pasti momen penting dalam eksistensinya itu, karakter ini justru dibikin semakin menjadi ‘background’. Terus karakter perempuan kelelawar (aku genuinely lupa namanya, maaf) yang kayak penjahat,  punya lagu villain sendiri, tapi diungkap ternyata dia gak jahat, dan makna lagunya ternyata dalam – nunjukin karakternya ternyata cukup kompleks – dan nasib karakter ini tidak pernah dimunculkan lagi sampai film dan konflik kutukan itu beres. Outer journey film ini lebih kusut daripada rambut Maui, lebih semrawut daripada tato ajaib si demi god itu (dan demi tuhan, jokes2 si tato hidup itu semakin garing), dan ini yang dipilih film untuk kita nikmati. No wonder, banyak yang kurang puas sama Moana 2.

Soal lagu-lagunya gimana? Secara tema/makna, lagu-lagu di film ini masih berisi. Difungsikan dengan baik, dimainkan ke dalam kreasi visual yang juga fantastis. Tapi secara impresi, kayaknya lagu film ini juga masih jauh sama lagu di film pertama. Bukan soal catchy-nya loh ya. Kalo soal catchy, film ini punya juga kayak Wayfinding atau anthem Chee-hoo! nya Maui (The Rock ijin gak ya ngambil ini dari sepupunya di Smekdon? ahahhaa) Yang kumaksud adalah jejak lagunya di film itu sendiri. Buktinya untuk momen paling tinggi, Moana 2 malah minjem lagu dari film pertamanya. Enggak kayak Lion King 2 yang pede aja pakai lagu sendiri dan gak minjem Circle of Life dari film pertama. Lagu-lagu di Moana 2 ini kayak lagu-lagu di Frozen II (2019). Works dalam tema, tapi susah untuk “keluar”. Gak bisa menandingi lagu originalnya.

 




Kalo dipikir-pikir lagi, film ini jatohnya memang kayak Frozen II. Sekuel yang nambah cast, meluaskan dunia cerita, dengan niatan supaya petualangan makin seru. Makin epik. Tapi yang kerasa justru sebaliknya. Ceritanya jadi terasa lebih tipis dan datar. Padahal secara tema, film ini punya bahasan yang dalam. Inner journeynya sebenarnya powerful. Tapi film lebih memilih untuk memfokuskan kepada outer journey yang berjubel, yang gak bisa fully develop, yang pacenya berantakan, yang terasa kayak rangkuman episode-episode petualangan tanpa benar-benar ada kesinambungan yang enak. Visual magisnya jadi kerasa hambar. Harusnya Simea juga menjewer telinga film ini sebagai hukuman telah bikin pilihan yang salah. 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MOANA 2.

 




That’s all we have for now.

Pernahkah kalian punya momen berat untuk ninggalin rumah, tapi harus?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 21 (HOME SWEET LOAN, MAHARAJA, LAURA, SUMALA, KANG MAK, RIDDLE OF FIRE, BLINK TWICE, BADARAWUHI DI DESA PENARI)

 

 

Sori beribu sori dua bulanan ini konten reviewnya sepi. Nontonnya sih tetep jalan, cuma memang waktu untuk nulisnya yang semakin sempit. Kudu disempet-sempetin. Untung kali ini dapet waktunya, inilah film-film bulan Agustus dan September yang dirapel, beberapanya mungkin sudah ditunggu karena memang crowd’s favorite. Semoga Volume ini tidak diamuk massa haha..

 

 

BADARAWUHI DI DESA PENARI Review

Badarawuhi adalah peningkatan dari film pertamanya. Tapi mengingat film KKN di Desa Penari (2022) itu memanglah teramat bobrok, maka peningkatan pada sekuel ini sebenarnya adalah keharusan. Tuntutan yang kudu dipenuhi. Karena kebangetan kalo masih kayak gitu juga!

Peningkatan film ini ada pada pengarahan horornya. Kimo Stamboel yang kali ini di kursi sutradara. Kimo membawa ceritanya ke arah yang lebih personal bagi karakternya. Gadis yang mencari kesembuhan ibunya (dari penyakit yang sepertinya kutukan) ke desa terpencil tempat asal sang ibu. Horornya jadi turun temurun as gadis itu mungkin harus menyerahkan dirinya kepada Badarawuhi sebagai ganti ibunya. Jadi Kimo di sini bermain-main dengan mistisnya sosok Badarawuhi yang dia bikin menyelimuti satu desa, lewat mata karakter utama. Durasi panjang film ini kebanyakan disebabkan oleh Kimo benar-benar ngasih momen yang extended perihal penampakan atau kemunculan sosok Badarawuhi. Misalnya ketika hantu itu ‘menarik’ Mila ke kolam. Atau adegan nari mistis yang harus dilakukan sebagai ritual. Film ini lebih atmosferik ketimbang film pertamanya yang bland.

However, film ini masih halfway there. Sebagian besar waktu film ini masih terasa generik, jinak, dengan alur yang masih bisa dikembangkan lebih jauh lagi. Ini mengecewakan mengingat film ini tayang internasional.Badarawuhi punya potensi untuk jadi ikon horor modern, tapi filmnya harusnya berani embrace sisi gelap horor legenda. Afterall, horor 80an kita bisa dapat status cult di luar sana apalagi kalo bukan karena ‘keliaran’ cerita dan efeknya.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BADARAWUHI DI DESA PENARI

 

 

 

BLINK TWICE Review

Menjawab tag linenya. no, I’m not having a good time. Tapi itu bukan karena filmnya parah, melainkan justru itu bukti kalo psychological thriller ini berhasil bikin aku gak nyaman. Bukti dalam debut penyutradaraannya ini, Zoe Kravitz berhasil ngangkat cerita perempuan di dunia laki-laki, dunia yang suka semena-mena dan ena-ena dengan power, beneran kerasa urgen dan relevan.

Basically sebenarnya konsep thriller ini sederhana. Karakternya yang diundang oleh milyuner idolanya untuk bersenang-senang di pulau private – hal yang seperti too good to be true, yang lantas memang ada hal mencurigakan di baliknya. Ada momen-momen yang gak bisa diingat Frida, dan momen-momen itu seperti red flag tapi yah, gak ada satupun yang ingat sampai semua terlambat. Naturally kita sebagai penonton akan menatap layar lekat-lekat berusaha menangkap clue apa yang exactly happened kepada Frida dan para tamu. Arahan Zoe membuat konsep ini jadi ‘berbeda’. Zoe beneran gak ingin kita ngedip. Adegan yang banyak close-up dan cut-cut yang begitu abrupt, itulah yang kita pelototi. Ngasih  sensasi gak nyaman yang relevan dengan ceritanya.

Untuk tone atau voice, Zoe berusaha untuk imbang meski memang ceritanya tentang gender. Kekuasaan semena-mena pria terhadap wanita. Suara-suara berimbang dihadirkan lewat karakter yang memang banyak di dalam cerita. Misalnya ada karakter cowok yang sebenarnya gak ikut-ikutan, tapi dia juga itungannya complicit karena gak ngelakuin hal yang benar. Ataupun ada karakter cewek yang justru membenarkan kelakuan karakter Channing Tatum untuk suatu alasan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BLINK TWICE.

 

 

 

HOME SWEET LOAN Review

Bukannya mau jadi pick-me atau gimana, tapi Kaluna dalam karya terbaru Sabrina Rochelle Kalangie, Home Sweet Loan, kurang terlalu relate buatku. Dan itu mungkin karena aku tipe perantau. Dan tipe perantau biasanya selalu kangen balik ke rumah, sesumpek atau sedrama apapun. Dan ya, lebih relate ke umang-umang yang kemana-mana bawa rumahnya sebenarnya…

Tapi sebodo amat aku relate atau enggak, toh naskah film ini memang kentara kuatnya. Nice banget gimana ceritanya mengarahkan Kaluna yang sedari awal ‘berjuang’ karena ingin punya rumah sendiri, namun ketika kesempatan itu ada dia jadi malah harus memilih antara ambil rumah itu atau menggunakan tabungannya untuk menyelamatkan keluarga yang dia ingin terbebas dari mereka sejak lama. Dari perspektif penulisan, ini adalah bentukan karakter dan drama yang kuat. Bumbu pedes sebenarnya, yang bikin mata kita berair sebenarnya, datang dari drama yang membuat Kaluna ingin hidup sendiri. Drama dengan keluarganya. Terkait posisinya sebagai si bungsu yang kerap ‘dikecilkan’ atau di-overlook peranannya oleh keluarga besar.

Menurutku ini film Sabrina yang paling enjoyable sejauh ini. Walaupun aku gak relate, tapi kerasanya ‘honest’ aja gitu filmnya. Lagu latarnya gambarin keadaan Kaluna lebih dalam lagi. Ngomongin lagu, aku jadi teringat penggalan lagu Alessia Cara pas nonton ini “The house that you live in don’t make it a home”. Pengadeganan film ini juga dibikin grounded, dengan juga masih mampu menambahkan bumbu jenaka. Kayak pas lagi makan malam di meja makan sederhana mereka, lalu kakaknya sambil nyuapin anak nanya gimana hubungan Kaluna ama pacarnya. Reaksi mereka sekeluarga mendengar jawaban Kaluna terasa real tapi juga lucu karena si anak malah kelupaan disuap, sendoknya masih gantung di udara di depan mulut mangapnya. Film ini cuma terasa agak goyah saat mencapai akhir, dengan resolusi pindah-kerja yang bikin jadi kayak “how’s that add to the story?” gitu.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HOME SWEET LOAN

 

 

 

KANG MAK (FROM PEE MAK) Review

Ngeremake film luar yang populer tampaknya masih jadi strategi andalan Falcon Pictures. Kali ini Herwin Novianto ditunjuk menyutradarai komedi horor asal Thailand. Pee Mak, diadaptasi jadi Kang Mak. Dan bisa dibilang ini juga remakenya asal-mirip-doang.

Yang lebih baik dilakukan oleh film ini daripada film aslinya adalah pace atau tempo. Kang Mak terasa punya pace yang lebih baik karena membuang beberapa adegan komedi yang tidak relevan dari film aslinya (misalnya adegan main charade atau tebak kata) sehingga Kang Mak bisa lebih segera menuju ke drama atau hati cerita dan gak melulu bikin capek di komedi teriak-teriak ngebahas siapa yang sebenarnya hantu. Tapi selain itu, film ini ya plek-ketiplek sama. Tidak ada muatan baru atau lokalisasi penting yang dilakukan. Film ini masih seperti ada di Thailand, ketimbang di tanah Sunda. Komedinya memang ada yang direwrite, tapi itu juga sama aja garingnya dengan film aslinya, sehingga ya tidak menambah poin juga. Perspektif cerita pun tidak diperbaiki, Kang Mak juga sering pindah-pindah dan gak punya tokoh utama yang jelas. Karena konteks film aslinya yang berantakan itu masih dipakai; apakah ini cerita tentang Mak yang harus nerimo istrinya telah meninggal, apakah ini tentang dilema istrinya di antara dua dunia, atau apakah tentang teman-teman yang berusaha ngasih kebenaran. Cerita ini bisa lebih terarah jika mengambil salah satu, bukan amprokan tentang semuanya

Ngomongin soal adaptasi, aku ngeliat ini jadi ngerasa kita udah punya ‘adaptasi unofficial’ Pee Mak yang lebih original dan far more better, yaitu Agak Laen (2024). Karena sama-sama ada rumah hantu, hantu beneran, dan bahkan soal penggambaran ‘saksi bisu’. Tapi yang paling kasian sih ibu-ibu yang nonton ini karena pengen lihat Jirayut. Public figur itu digunakan heavily pada promo, tapi pada film aslinya dia gak muncul, melainkan hanya di kredit penghias.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for KANG MAK (FROM PEE MAK)

 




LAURA Review

Disclaimer dulu; I know cerita Laura di film ini diangkat dari kisah nyata seorang selegram bernama Laura, tapi karakter Laura dan ceritanya yang aku kritisi di review ini adalah Laura dalam frame film – sebagai sebuah cerita film. Dan the fact aku perlu ngasih disclaimer ini dulu membuktikan flaw utama dari film karya Hanung Bramantyo ini. Yaitu film ini didesain ada di pihak Laura sedari awal, bahwa filmnya bekerja seolah kita semua sudah tahu tragedi Laura dan kita bersimpati kepada sisi Laura yang ingin mereka jual. Jadi ini bukan objective view, bukan exactly cerita tentang perkembangan karakter.

Darimana kita bisa menyimpulkan ini? Dari adegan kecelakaan  saat Laura dan pacarnya mengendarai mobil sambil mabuk. Film ngetreat kecelakaan ini dengan dramatis, ada build up cukup lama dan segala macem. Supaya kita menyayangkan kecelakaannya. Sedari adegan itu bahwa Laura mau gimana pun kelakuannya, harus mendapat simpati kita. Dan ini akan semakin susah untuk kita lakukan karena cerita akan berlanjut tentang Laura terjebak dalam toxic relationship dengan alasan yang tidak diselami, again, karena kita harus bersimpati aja sama Laura. Ada dialog Laura nangis bilang dia gak bisa lepas dari Jojo karena dia ngerasa dalam kondisinya sekarang cuma Jojo yang masih mau sama dia. Padahal red flagnya Jojo sudah diperingatkan oleh teman-teman dan keluarga sejak sebelum mereka kecelakaan. Menurutku film ini harusnya menyelami persona Laura di depan maupun di belakang kamera. Kerjaannya sebagai influencer juga harus dibahas, supaya tidak cuma jadi convenience dalam cerita. Kita harus benar-benar melihat kenapa dia ini fighter dan sikapnya tegarnya mempengaruhi orang sekitar walaupun mungkin tegarnya cuma di depan kamera.

Menurutku film ini harusnya bisa jauh lebih besar lagi daripada sekadar menjual tragedi. Akting Amanda Rawles sudah menjelma menjadi sosok lain, tapi karena momen-momen Laura hanya memperlihatkan momen dia on-cam di show atau podcast, penampilan akting tersebut tidak terasa demikian konsisten karena hanya kayak meniru dari materi yang sudah ada. Kita perlu melihat Laura versi Amanda, kita perlu mendengar Laura versi Hanung, untuk film ini menjadi benar-benar bagus.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for LAURA

 

 

 

MAHARAJA Review

Maharaja film dari Telugu certainly have a strong mainstream appeal berkat konsep bait-and-switch yang jadi jualan utama. Twist. Sutradara Nithilan Sarninathan dengan cakap ngecraft cerita yang bermain-main dengan ekspektasi kita, kemudian lantas membelokkannya – mengungkap yang sebenarnya. Penutupnya juga sangat kuat ngasih disturbing feelings, udah kayak Oldboy versi pembalikan.

Namun menurutku, memilih konsep itu membuat film ini mengorbankan banyak perspektif yang dapat membuat film ini jauh lebih kaya dan berisi. Perspektif anak perempuan Maharaja, misalnya. Film dimulai dengan si anak sebagai narator, seperti dia tokoh utama cerita, tapi ternyata tidak. Film berpindah menyorot Maharaja, dan bahkan di akhir bobot dramatis itu diterima oleh karakter penjahatnya. Film melakukan banyak pindah perspektif karena ingin ‘nutupin’ kejadian sebenarnya. Feelingnya memang jadi seru ketika kita tau ternyata kejadian sebenarnya seperti apa, tapi ya perasaan “ph ternyata begitu” yang nempel ke kita. Padahal kalo perspektif anaknya digali, relationshipnya dengan Maharaja apakah berubah atau tidak ketika dia mengetahui kejadian sebenarnya. Ataupun kenapa Maharaja tidak ngasih tau kejadian sebenarnya. Begitu banyak potensi untuk bikin cerita jadi dalam dengan perspektif yang jelas, tapi film mengambil konsep yang membuat perspektifnya jelas tidak bisa dikembangkan lebih jauh.

The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for MAHARAJA

 

 

 

RIDDLE OF FIRE Review

Debut film panjang sutradara Weston Razooli ini benar-benar bikin kita kangen masa kecil. Masa ketika belanja ke toko supaya dapat izin main video game dapat menjadi petualangan yang gak kalah serunya dengan permainan video game itu sendiri! Petualangan anak-anak dalam Riddle of Fire memang akhirnya jadi hilariously besar dan out of control supaya ngasih pelajaran buat anak-anak bandel tersebut sehingga mereka jadi punya development, tapi aku pikir Weston berhasil mendaratkan ceritanya ini kembali grounded. Membuatnya tidak kehilangan hati.

Kekurangan film ini justru datang dari ketika cerita menjadi out-of-control tersebut. Weston masih terasa terlalu berhati-hati. Sehingga film ini jadi kayak surealis belum nyampe, tapi juga gak mungkin lagi disebut realisme. Weston harusnya jor-joran aja di pertengahan film. Bikin cerita yang benar-benar aneh sekalian. Karena itu bakal lebih nunjukin kenekatan dia, kekuatan visinya, terlebih ketika toh dia mampu membawa cerita ini kepada penutup yang grounded. Makanya karakter anak-anaknya jadi  kurang membekas. Padahal mereka ini bandel-bandel loh, lucu. Relationship di antara mereka benar-benar dikembangkan, dengan backstory segala macem. Mereka juga ntar dapat teman baru dengan kekuatan aneh. Film memastikan cerita bergulir dari sudut pandang mereka jadi bakal banyak keputusan yang konyol dan bikin ngakak. Tapi kupikir harusnya tim anak-anak Riddle of Fire bisa jadi lebih kuat dan memorable lagi jika sutradara totally jor-joran ngegarap cerita ini jadi fantasi atau surealis, at least pada bagian petualangan mereka.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold star out of 10 for RIDDLE OF FIRE

 

 

 

SUMALA Review

Ngomongin soal film tentang anak kecil, Sumala sukses bikin aku bertanya-tanya jangan-jangan Lembaga Sensor menyensor film ini sambil merem. Karena bahkan untuk ukuran film berating Dewasa pun, kayaknya kita jarang nemuin adegan kekerasan anak terhadap anak yang begitu frontal; anak nusuk anak, anak menggorok anak. anak kecil saling bunuh semuanya on-cam dan jelas. Bahkan ada juga adegan bapak membunuh bayinya yang baru lahir, dengan menusuk si bayi dengan keris. Hahaha, Rizal Mantovani is a twisted human being!

Sumala adalah tentang suami istri kaya yang pengen punya ahli waris, jadi si istri ke dukun hitam supaya cepat punya anak. Anak yang lahir kembar, Kumala yang cakep dan baik, Sumala yang jelek dan iblis – literally. Sumala ini pas lahir langsung dibunuh oleh ayahnya. Tinggallah Kumala sendiri. Tumbuh cukup tersiksa karena cacat fisiknya membuat dia dibully. Hantu Sumala ternyata terus menemani Kumala, dan siap membalas orang-orang yang nyakitin Kumala. Puncaknya ya Sumala ngamuk, membunuh semua orang termasuk ibu dan ayah yang jahat sama mereka berdua. Kalo ceritanya seperti itu, naturally kita akan nganggap Kumala sebagai tokoh utama, karena banyak bobot dramatis yang ada dia emban. Tapi enggak, tokoh utama film ini justru si ayah yang tadi membunuh bayinya pake keris, on cam! Ayah yang sepanjang cerita sangat satu dimensi – orangtua galak yang suka masung bahkan menyalip anaknya di kebun. Tapi ujug-ujug dia bakal dikasih momen menyesali diri, dan ada backstory. Ini contoh naskah yang benar-benar tidak rapi dan gak tau apa yang dilakukan.

Hahaha film ini isinya memang cuma eksploitasi kekerasan. They do violence because it sells. Gak ada permainan kamera ataupun treatment lain yang elegan. Luna Maya cuma ada di sana pasang tampang horor, menunggu untuk dibunuh. Makanya di iklim real world yang banyak kasus kekerasan dengan baik itu pelaku ataupun kepada anak-anak, aku heran kok film yang nonjolin kekerasan segamblang ini bisa lolos. Menurut kalian, apakah sebabnya? Silakan share pendapat di Komen yaa..

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SUMALA

 




 

 

That’s all we have for now

Semoga Oktober ini bisa bikin mini review khusus horor. Aminn..

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ALIEN: ROMULUS Review

 

“No one wants to be the one left behind”

 

 

Franchise film yang udah bertahan lama seperti Alien-nya Ridley Scott kerap diuji resiliensinya. Kudu bisa ngikutin perkembangan. Jangan sampai genre-nya stuk di situ melulu. Sementara juga harus tetap bisa memuaskan penggemar lama. Ini membuat si film ada di posisi sulit. Kayak waktu franchise ini try to dig deeper, dengan bahasan filosofis tentang creation atau penciptaan. Prometheus dan Alien: Covenant jadinya malah dinilai aneh, berat, terlalu ‘jauh’ mainnya. Gak semua fans appreciated it. Padahal secara kualitas, filmnya enggak ‘sejelek’ itu. Dunia alias role franchise Alien justru diperluas oleh mereka. Mungkin karena itu makanya Fede Alvarez membuat Alien: Romulus kali ini kembali ke akar horornya. Langkahnya itu bukan tanpa kontra. By the time aku bikin review ini, Romulus pun tetap dapat mixed reaction. Utamanya, penonton bilang film ini terlalu mirip ama Alien yang sudah-sudah. Padahal menurutku, sebenarnya Alvarez pengen ngasih sesuatu yang baru loh. Dia kayak pengen bikin gabungan dari elemen horor-remaja yang sudah ia tahu, dengan lore Alien yang kita semua kenal. Dia pengen nyiptain hybrid baru untuk franchise ini. And oh boy, dia memang literally ngasih monster hybrid baru di film ini!

Alvarez berusaha membawa ‘kesegaran’ dengan membuat cerita dari grup anak-anak muda. As opposed to grup pekerja ataupun grup ilmuwan dalam film-film Alien sebelumnya. Ini menarik karena musuh ‘sesungguhnya’ tetap sama. Corporation yang lebih memprioritaskan alien berbahaya ketimbang manusia itu sendiri. Jadi ceritanya, Rain dan saudaranya, Andy yang hobi becanda garing, ditolak untuk pindah dari settlement pertambangan tempat mereka sekarang. Dua anak muda ini pengen pindah, gak muluk, mereka cuma mau ke tempat yang bisa melihat matahari. Beruntung ada satu kesempatan lagi. Di orbit sana, ada stasiun luar angkasa yang tampaknya telah ditinggalkan. Rain dan Andy, bergabung dengan teman-teman yang menemukan stasiun tersebut; mereka sepakat untuk menggunakan stasiun itu untuk cabut ke planet koloni lain. Alien: Romulus menjadi horor survival begitu Rain dan teman-teman tiba di stasiun luar angkasa yang bernama Romulus dan Remus, dan soon mereka sadar ada alasannya kenapa tempat itu kosong. Romulus basically adalah tempat perusahaan Weyland-Yutani ternak Facehuggers untuk melahirkan Xenomorph, the ultimate life-form!

Hybrid horor-remaja dengan alien dad jokes!

 

Di tangan dingin Alvarez, stasiun luar angkasa tersebut jadi set-pieces horor yang bukan hanya super-deadly, tapi juga jadi kayak maze dalam video game petualangan horor. Beberapa adegan dengan alien-alien itu memang tampak sebagai referensi kepada adegan-adegan ikonik franchise ini, kayak alien meledak keluar dari dalam tubuh orang, atau terkurung di ruangan sempit bersama Facehugger yang bisa melompat ke wajahmu dari mana saja, atau bahkan shot-shotnya sengaja dibuat mirip dengan yang dulu-dulu. Ini makanya sebagian penonton pada bilang film ini terlalu banyak ‘reka ulang-adegan’. Alvarez memang did that, tapi paling enggak dia melakukannya dengan volume horor maksimal. ‘More is more’, prinsip itu kayaknya yang dia pegang dalam nanganin ini.  Jadinya memang Alien: Romulus ini seru, survivalnya simpel; ada ruangan dengan banyak alien, dan karakter harus survive menyeberangi ruangan tersebut. Berbagai challenge dia kasih untuk karakternya. Ada yang ingetin kita sama horor Alvarez terdahulu, yaitu Don’t Breathe (2016). Rain dan company kudu nyari jalan keluar dengan diam-diam tanpa bersuara, karena Facehuggers actually buta. Action horor set piece terbaik yang dipunya film ini hadir pada beberapa adegan setelahnya. Ketika Rain dengan peluru (dan kemampuan menembak) terbatas harus melumpuhkan sejumlah Xenomorph dan dia menggunakan informasi tentang darah Xenomorph yang bersifat asam dan sistem gravitasi di pesawat itu untuk membalikkan situasi menjadi menguntungkan. Selain taktik yang jenius, adegannya juga tertranslasi sebagai visual yang sangat ciamik ke layar. Ngasih momen survival yang intense yang benar-benar fresh.

Orang sering bilang jaman sekarang sudah gak ada lagi yang original, semua sudah direcycle sedemikian rupa. Semuanya jadi saling mereferensikan, apalagi tentu kita semua berkarya karena terinspirasi oleh orang lain dan we have to pay that respect. Aku antara setuju dan tidak-setuju dengan pernyataan tersebut. Mungkin memang dari sekian banyak film, buku, dan media storytelling lain sedari dulu, sudah tidak ada lagi cerita yang benar-benar baru. Tapinya lagi menurutku, originalitas atau kebaruan itu bukan exactly datang dari tema atau tentang apanya. Melainkan dari sudut pandang yang diangkat. Satu film bisa membahas tentang hal yang sama, misalnya sama-sama tentang spaceship berisi alien yang meneror awaknya, tapi cerita tersebut akan jadi berbeda jika diangkat dari dua sudut yang berbeda.

Rain memang cetakannya sama dengan Alien’s Ripley. Sama-sama cewek yang jadi jagoan saat keadaan memaksa. Teman-teman Rain, cetakannya memang serupa dengan ala karakter horor-remaja. Ada yang sok keren tapi ternyata cupu/penakut, ada yang teriak-teriak annoying ngelakuin tindakan bego. Tapi  yang bikin film ini lebih hidup dan less kayak cetakan-pabrik adalah sudut pandang dua tokoh sentral. Rain dan saudaranya, Andy. Dinamika mereka mengangkat film, jadi hati yang bikin film ini jadi grounded dan menarik untuk disimak, lebih dari survival alien dari lensa horor maksimal (again, aku masih kebayang-bayang wujud dan jumpscare terakhir dari Xenomoprh hybrid ciptaan film ini!) Aku suka cara film ngehandle relasi Rain dan Andy sebagai sajian utama, tapi tidak menghambat pace horornya, ataupun bikin film jadi terbebani oleh bobot mereka. Aku suka gimana film work around their story, sehingga masuk ke dalam cetakan dan lore dunia franchise Alien itu sendiri. Hubungan mereka juga tergambar dalam judulnya, karena Romulus juga refer kepada dua saudara dalam mitologi -Remus dan Romulus, yang dibesarkan oleh serigala, dan nanti Romulus harus membunuh Remus; in a sense, harus meninggalkannya. Jadi, Andy bukan saudara Rain beneran, melainkan android atau makhluk-sintetik yang udah dianggap saudara oleh Rain. Robot yang diprogram untuk melakukan apapun asal Rain senang. Ini berbuah konflik dramatis tatkala tempat baru yang ingin mereka tuju tidak memperbolehkan android, sehingga Rain terpaksa harus meninggalkan Andy nantinya. Sedih? tentu saja. Lalu masalah semakin pelik tatkala kejadian di station membuat Andy tanpa sengaja terprogram ulang, dan kini misi utamanya jadi sama dengan android jahat di pesawat, yakni mengutamakan kepentingan perusahaan. Yang berarti bagi Andy kini keselamatan Rain dan teman-teman sudah bukan prioritasnya lagi.

Andy jadi jahat begitu jadi budak-korporat

 

Momen paling nyess datang ketika Rain marah ke Andy yang menutup pintu sehingga hampir membuat temannya tertinggal di ruangan penuh Facehugger. But as soon as dia protes soal jangan ninggalin teman, kita bisa melihat realisasi menjejak di air mukanya; bahwa dia sendiri was about to do the same ke Andy yang tadinya akan ia tinggalkan di pesawat. Ini semacam momen pembalikan yang menohok, dan meskipun saat itu kita tau Andy udah keprogram ‘jahat’, feelingnya tetap kena. Karena kita bisa ngerasakan Rain dan Andy udah kayak sodara beneran. Jangankan sodara, gak ada orang yang mau ditinggalkan. 

 

Sekaligus, itu juga adalah testament dari betapa kerennya penampilan akting mereka. Cailee Spaeny, always mencuri hati. Dia buktiin betapa versatilenya penampilan aktingnya. Di sini sebagai Rain, dia jadi cewek jagoan, yang harus survive monster mengerikan sementara juga memendam banyak perasaan. Dia believable sebagai tough girl, padahal mukanya tipikal anak baik-baik, gitu. Like, Shailene Woodley jadi polisi di To Catch a Killer tahun lalu aja aku masih belum sold out sepenuhnya. Tapi Cailee, maann. Serunya, banyak penonton barat sono yang menilai dari penampilan dia di sini, nganggap Cailee lebih cocok jadi Ellie di serial The Last of Us. Terus si David Jonsson; nama itu belum pernah aku dengar sebelumnya, tapi setelah melihat dia sebagai Andy di sini, aku berharap bakal lebih sering mendengar namanya lagi di film-film ke depan. Karena yang diachieve-nya di film ini bukan sesuatu yang gampang. Dia ngasih penampilan yang emosional, sebagai android yang supposedly datar! Kita bisa percaya bahwa ada something more pada android ini, bahwa mungkin saja dia yang lebih mendekati sosok makhluk sempurna yang dicari korporat itu.

Dan mungkin film memang mengeset mereka berdua untuk sesuatu yang lebih besar. Sekuel maybe? Karena – dan sayangnya ini juga jadi poin kelemahan film ini buatku –  bahasan konflik Rain dan Andy terasa selesai early, lalu film pindah fokus ke survival lagi (final battle dengan si makhluk hybrid, resep natural mimpi buruk malam ini), sementara permasalahan sebenarnya soal gimana mereka di tempat baru yang tidak menerima android itu seperti sengaja disimpan untuk berikutnya. Karena gak ada development yang benar-benar ‘drastis’ dari dinamika Rain dan Andy, kecuali satu-dua momen yang nunjukin mereka berubah menjadi lebih baik. Tapi secara garis besar, mereka seperti kembali ke posisi semula dalam plot cerita. Menurutku film ini berkembang ke arah yang sedikit berbeda dari masalah yang diangkat di awal. Aku terhibur film ini ngasih horor survival maksimal, tapi mungkin arahan ke sini baiknya bisa lebih ditegaskan lagi pada menit-menit set up yang masih dominan seolah ini cerita tentang Rain dan Andy bersama ke tempat yang baru.

Satu lagi arahan yang menurutku agak jadi bumerang adalah soal praktikal efek dan CGI. Alien: Romulus, just like any great horror, mengutamakan kepada praktikal efek – dan ini bagus, kreatif. Tapi tentu saja penggunaan CGI sebagai enchancement masih diperlukan – dan ini kita maklum. But still. sama seperti ceritanya sendiri yang tentang korporat dengan keputusan yang bikin kita angkat alis perkara ethical kemanusiaan, film ini pun mengangkat pertanyaan etis yang sama. Karena film menggunakan CGI untuk membuat ada karakter android dengan wajah Ian Holm – aktor yang telah meninggal, yang di film Alien pertama berperan sebagai android korporat yang basically ‘sifatnya’ sama dengan android korporat di film ini. Tentu saja ini bikin kita bertanya, seberapa besar kepentingan si android ini wajahnya harus sama? Toh ada android model lain sepanjang universe franchise Alien. Bagaimana pendapat kalian tentang ini? Apakah yang dilakukan film bisa justified dalam konteks film ataupun apabila mungkin telah mendapat persetujuan dari pihak keluarga Holm? Silakan share di komen yaa

 

 




Secara timeline, film ini sebenarnya bisa dibilang sebagai sekuel langsung dari Alien original.  Referensi dan elemen yang menyambungnya pun disebar oleh film ini. Beat-beat cerita dan adegannya mirip dengan Alien yang sudah-sudah, cuma memang kali ini arahannya ada dalam lensa horor maksimal. Membuat film ini worked out greatly sebagai hiburan yang menegangkan. Karakternya kini dalam perspektif anak muda, dan yang dititikberatkan oleh film sebagai tema adalah soal keluarga tidak saling meninggalkan. Center dinamika antara Rain dan ‘saudaranya’, Andy, jadi hati yang mengelevate dan pada fungsinya, mendaratkan, cerita. Yang bikin dia jadi lebih dari sekadar tontonan yang mirip ama Alien yang sudah-sudah. Menurutku harusnya film bisa ngasih bahasan yang lebih dramatis lagi terkait konklusi mereka berdua, alih-alih seolah selesai tapi sebenarnya lebih mirip di’damai’kan dulu gitu aja, karena mungkin mau ada sekuelnya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ALIEN: ROMULUS

 

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 20 (FURIOSA: A MAD MAX SAGA, IN A VIOLENT NATURE, PEMANDI JENAZAH, DESPICABLE ME 4, LOVE LIES BLEEDING, THE BIKERIDERS, SPACE CADET, KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES)

 

 

Keeping up with new movies pada masa-masa liburan kian makin jadi tantangan buatku. Terutama jika filmnya punya durasi panjang banget. Faktornya banyak. Bisa karena mager ke bioskop, males rame. Bisa justru susah ngatur waktu karena biasanya bioskop ngasih jadwal dan sebaran filmnya kurang enak kalo ada film yang hits atau berdurasi panjang. Atau bisa juga karena filmnya malah gatayang sama sekali di bioskop tempatku liburan. Dengan alasan itulah, maka daftar ini dibuat, terutama buat ngejar ketinggalan nonton Furiosa. Let’s go.. brrrrmm.. brrrmmmm!!

 

 

DESPICABLE ME 4 Review

Setelah absen pada film ketiga tujuh tahun yang lalu, sutradara Chris Renaud kembali, seolah ingin me-reset dunia Despicable Me kepada sebuah fresh start. Karena itu juga yang terjadi kepada Gru dan keluarga kecilnya di dalam cerita film keempat ini. Musuh bebuyutan dari jaman sekolah kabur dari penjara, dendam kesumat kepada Gru, sehingga demi keamanan, mereka semua ikut semacam program perlindungan saksi; Gru sekeluarga diberikan alamat baru, serta identitas baru. And oh wait, keluarga mereka sendiri juga punya anggota baru, Gru Junior!!

Set up tersebut menanam banyak sekali permasalahan yang menarik. Gru harus berusaha jadi live up identitas barunya, yang berarti dia gak boleh jadi despicable self yang biasa – dan ini berkonflik dengan keinginannya untuk jadi suri tauladan yang baik – as in menjadi villain yang ‘baik’ kepada putranya. Karakter kesayangan kita yang lain juga dapat cerita sendiri; Margo harus mulai journey sebagai murid baru di sekolah yang baru, sementara Agnes – anak seimut itu harus berkonflik batin dengan dirinya harus ‘nyamar’ jadi identitas baru sementara dia gak mau berbohong. Sayangnya, bibit-bibit ini tidak berbuah jadi sebagaimana mestinya. Lantaran Despicable Me 4 yang menargetkan diri sebagai tontonan untuk anak-anak, memutuskan bahwa anak-anak gak mampu untuk musatkan perhatian pada… hey look, Minion! papoy, papoy, banana!!!

Look, udah film keempat – itu kalo kita gak ngitung film spin off dan lain-lainnya. Kita pahamlah, vibe film ini gimana. Rusuh, dan jualannya candaan dengan Minions. It’s okay mempertahankan itu. Tapi film ini, rusuhnya tu ekstra. Sampai-sampai semua permasalahan tadi itu melebar ke mana-mana.  Gru malah bertualang dengan anak lain, Minion tau-tau jadi parodi superhero. Aku akui, film dengan karakter yang tadinya villain, lalu ada dialog yang bilang “I’m sick of superheroes” merupakan celetukan yang cukup badass, tapi yah sebagai sebuah cerita, film ini masih belum matang. Bayangkan para Minions lagi memasak film ini di dapur. Hasilnya, dapur berantakan karena rusuh, dan masakannya sama sekali gakjadi – kalo gak mau dibilang kacau. Begitulah state film ini.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DESPICABLE ME 4

 

 

 

FURIOSA: A MAD MAX SAGA Review

Chris Hemsworth bilang “Amerika punya Star Wars, Inggris punya Harry Potter. Australia punya Mad Max” Aku setuju. Mad Max memang sebesar itu pengaruhnya terhadap pop culture. Geng-geng motor, adegan kejar-kejaran kendaraan yang beringas, dunia post-apocalyptic. Mad Max bahkan menginspirasi Fist of the North Star, manga yang berkembang menjadi franchise tersendiri. Dan kini, Mad Max bakal makin gede lagi karena George Miller punya lore karakter baru di dunia wasteland tersebut. Furiosa.

Kita sudah kenalan sama cewek botak ini di Mad Max: Fury Road (2015). Sekarang, kita diajak masuk untuk truly mengenal dia sedalam-dalamnya. Kenapa Furiosa penting untuk dikenali? Karena ceritanya literally sebuah oase di tengah gurun. Membedakannya dengan galian cerita Mad Max yang lebih tentang harapan dan kepahlawanan, Furiosa dibentuk sebagai kisah yang lebih kompleks dan kelam. Cerita tentang menumbuhkan hidup dari balas dendam, dari kebencian, seperti yang diperlihatkan pada ending yang menurutku menyentuh – dalam caranya sendiri – you know, gimana Furiosa dan Dementus (antagonis yang dimainkan charismatic oleh Chris) ‘menuntaskan’ permasalahan mereka.

Film ini juga berhasil ngembangin lore dunia wasteland itu sendiri. Ketika kita menonton kejar-kejaran spektakuler dengan kendaraan perang unik di gurun pasir saja, karakter dan motivasi mereka menempel sehingga semuanya terasa berarti. Cara film ini ngasih lihat karakterisasi juga beragam dan sama well-design-nya dengan wujud mereka. Furiosa aja misalnya, karena diceritain dari dia kecil maka Anya Taylor-Joy baru akan muncul di pertengahan, tapi kita bisa merasakan journey-nya nyambung. Karakternya benar-benar terbentuk dari sana. Kita bahkan bisa dengan mulus ngoneksikan Furiosa ini dengan Furiosa dewasa di film sebelumnya. Dan kerennya lagi, dialognya minim banget. Semuanya benar-benar diserahkan kepada akting mata dan ekspresinya Anya.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for FURIOSA: A MAD MAX SAGA

 

 

 

IN A VIOLENT NATURE Review

Janji film ini adalah menghadirkan slasher tapi lewat perspektif pembunuhnya. Slashernya bukan dari pembunuh-serial yang biasanya charming dan punya pemikiran ideal sendiri. Tapi dari backwood ‘monster’ superhuman ala Jason Vorhees. Janji sutradara Chris Nash ini memang manis. Sebab tentu saja akan sangat menarik jika kita dibawa menyelam ke sudut pandang seperti demikian. Apa yang si monster pikirkan. Kenapa dia membunuh. Kenapa harus sadis banget. Apakah dia merasakan penyesalan. Atau ragu. Atau takut. Bagaimana dia memandang korban-korbannya. Bagaimana dia bisa menguber mereka tanpa terdeteksi, sampai semuanya sudah terlambat.

Eksekusi janji tersebut, sayangnya terhuyung-huyung. Film ini cuma deliver, maybe dua, di antara ekspektasi kita ketika mendengar ‘film dari sudut pandang pembunuh.’ Beberapa hal memang menarik. Kayak gimana si pembunuh mengarungi hutan, mendengar ada orang ngobrol lalu dia berjalan ke arah mereka. Eh ternyata mereka lagi ngegosipin dia. Kemudian dia jalan lagi, lalu membunuh mereka satu persatu dengan cara yang entertaining abis! Sesekali kita juga ‘mendengar’ memori si pembunuh terkait informasi apa motivasinya. And that’s it. Ketika diwujudkan sebagai film, janji-janji itu terlihat seperti film slasher biasa, cuma lebih boring karena most of the time habis melihat si pembunuh berjalan. Karena ini soal dia memburu manusia lemah dan bersalah, maka tidak ada suspen yang terbangun. Tidak perlu musik. Bahkan filmnya sendiri gak yakin akan konsepnya, sehingga kadang jalannya si pembunuh ‘dipercepat’ dengan editing. Film masih takut untuk terasa boring. Ketika si pembunuh masuk air, berjalan di dasar, kita gak ikut nyemplung. Film masih berpindah ke sudut pandang mangsanya. Dan ini menurutku pelanggaran janji yang paling fatal. Dalam artian film gak konsisten.

Akhiran film membuat kita benar-benar lepas dari sudut pandang si pembunuh. Totally. Pindah ke sudut pandang final girlnya. Alih-alih big chase scene, atau apa kek terkait penyelesaian si pembunuh, film malah ngasih monolog yang terdengar sok misterius dan preachy, dari karakter yang bahkan baru nongol untuk sekuen itu saja. I don;t know, man. Lain kali kalo mau bikin dari sudut pandang pembunuh, mungkin yaah, desain dululah penulisan yang bagus untuk karakternya.

The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for IN A VIOLENT NATURE

 

 

 

KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES Review

Bersetting 300 tahun dari akhir trilogi Planet of the Apes modern, cerita yang dipunya Kingdom ini sebenarnya menarik, tapi apesnya, arahan Wes Ball dalam membuat ini sebagai set up dari trilogi yang baru membuat film ini jadi biasa aja.

Gimana gak menarik coba? Sekarang ceritanya dunia udah dikuasai oleh bangsa kera, tapi mereka terpecah-pecah karena punya interpretasi berbeda terhadap apa yang pemimpin, leluhur mereka – Caesar – mau. Ajaran Caesar buat bangsa kera, ternyata dimaknai berbeda oleh tiap golongan. Ada yang mengaku jadi penerus Caesar segala. Memerintahkan dengan tangan besi untuk semua kera tunduk kepadanya. Sementara keretakan terjadi di antara mereka, tokoh utama kita – kera bernama  Noa yang desanya diserang dan keluarganya dibawa paksa oleh kelompok kera jahat – menemukan pemahaman sendiri terhadap ajaran Caesar tentang manusia. Karena dalam perjalanannya untuk menyelamatkan kerabat, Noa bertemu dengan anak manusia bernama Mae.

Jadi setidaknya ada tiga pihak dengan konflik yang menarik jadi motor penggerak alur film ini. Sesama bangsa kera yang udah kayak cerminan gimana manusia terpecah belah karena keyakinan dan paham yang berbeda. Lalu antara kera dengan manusia, ada yang menganggap manusia harus dimusnahkan, dan ada yang percaya bahwa Caesar mengajarkan untuk hidup berdampingan dengan manusia. Ending film yang nunjukin interaksi/konfrontasi Mae (yang ternyata cerdas) dengan Noa buatku juga sangat menarik, menantang dan cocok sekali untuk mengirim kita ke lanjutan ceritanya. Tapi gak tau deh, ada something missing dari arahan film yang bikin menontonnya kayak biasa aja. Aku merasa durasi penceritaannya yang terlalu ngulur-ngulur, sehingga alih-alih menantang kita dengan konflik ideologi dan dilema personal, film jadi lebih kayak rescue-adventure dengan karakter sedikit lebih dalem aja. Menurutku film ini belum mencapai potensi yang sesungguhnya.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES

 




LOVE LIES BLEEDING Review

Love Lies Bleeding adalah tipe film yang susah dikategorikan ke dalam genre tertentu. Semuanya ada. Drama, romance, thriller, misteri, crime, action, bahkan ceritanya sempat pula masuk ke ranah surealisme. Dream-like. Yang gak ada cuma komedi, tapi walaupun begitu bukan berarti karakternya gak punya ‘selera humor’. Baru film keduanya, tapi sutradara Rose Glass udah seberani ini. Dari urusan tema pun, film ini berani mengangkat banyak. Love Lies Bleeding jadi terasa seperti dunia tersendiri yang intens, brutal, dan kelam.

Tema utamanya sih tentang obsesi. Atau mungkin candu. Hal yang kita tahu salah, not good for us, tapi tetap kita pegang atau pertahankan, karena tanpanya kita merasa diri kita kecil. Gak bisa apa-apa. Dua karakter sentral di film ini – Kristen Stewart yang kerja di gym, dan Jackie sebagai bodybuilder yang kebetulan singgah dan on her way to kompetisi binaraga -sama-sama berjuang dengan hal tersebut, yang satu kecanduan steroid, satunya lagi berurusan dengan keluarga besar yang toxic mulai dari ayah crime lord dan kakak yang punya suami ‘ringan tangan’. Sementara juga ironisnya, hubungan cinta mereka pun jadi sama ‘tak-sehatnya’ karena sudah menyangkut melindungi pembunuh. See, film ini ceritanya kompleks banget, tapi berkat penceritaan yang benar-benar jumawa. Berani dan mantap dalam mengarungi naskah itu sendiri, film gak pernah goyah ketika harus jadi crime thriller, jadi romance panas, ataupun ketika jadi simbol-simbol ‘aneh’ saat di akhir karakternya menjadi raksasa. Kita dibuat terus menatap lekat kepada dunia, kepada cerita, kepada karakternya. Bisa dibilang, penceritaannya membuat kita terobsesi sama mereka.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for LOVE LIES BLEEDING

 

 

 

PEMANDI JENAZAH Review

Jadi pemandi jenazah itu urusannya sama dengan lagu tema Pretty Little Liars. Harus menjaga rahasia yang dibawa mati oleh si jenazah. Menjaga aibnya. Membawa ini ke ranah masyarakat sosial yang penuh prejudice – khususnya masyarakat lokal yang lagi hitsnya ama term pelakor – Hadrah Daeng Ratu sebenarnya bisa aja strike the gold dengan Pemandi Jenazah. Sandungan baginya masih seperti biasa, arahan dan penulisan yang clumsy,

Potensi emas film ini bisa langsung kita saksikan dan rasakan. Pemandi Jenazah punya dunia yang aktif digali, ibu-ibu di masyarakat cerita satu-persatu mati seperti kena kutuk. Santet, kalo kata filmnya. Dan diungkap ada semacam rahasia masa lalu di antara ibu-ibu yang jadi korban tersebut. Cerita ini ditembak dari sudut pandang Lela, anak salah seorang korban, yang kini terpaksa harus melanjutkan kerjaan ibunya sebagai pemandi jenazah. Pengembangan dunia dan karakter film ini sebenarnya menarik. Lela misalnya, film gak ragu untuk ngasih dia konflik dan nunjukin vulnerabilitas bahwa dia gak mau jadi pemandi jenazah karena takut. Takutnya ini yang sampai dan relate ke penonton. Ini jalan masuk ke penonton yang sudah berhasil dicapai oleh film. Tinggal urusan misteri dan penyelesaiannya. Yang bisa kita lihat, film benar-benar berusaha, dan punya pesan yang baik soal memutus siklus saling benci. Untuk rukun.

Arahan, pengadeganan, dialog, harusnya bisa lebih diperbagus lagi. Misalnya aspek horornya. Di luar adegan horor saat mandiin mayat (they talk!!) film ini sering mengandalkan adegan-adegan horor yang kayak niru horor lain – yang pernah kita lihat. Jika aspek horor lain itu dibuat lebih original, film ini tentu lebih memorable ini. Kalo dari pengadeganan dan penulisan, yang paling parah langsung terasa clumsy itu adalah sekuen finale-nya yang melibatkan rombongan ibu-ibu lay their own justice. Harusnya bisa dilakukan lebih ‘sinematik’ lagi, enggak kayak adegan sinetron.

The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for PEMANDI JENAZAH.

 

 

 

SPACE CADET Review

Aku dulu pengen banget jadi astronot. Tapi urung, karena ngerasa gak bakal bisa. Badanku pendek, dan mataku minus. Plus otak yang pas-pasan. Kalo dulu itu aku udah nonton Space Cadet, aku pasti tetep nekat pergi mendaftar jadi astronot. Karena komedi karya Liz W. Garcia ini berhasil ngalahin Armageddon (1998) dalam hal nunjukin bahwa jadi astronot itu gampang bangeett

At the best, Space Cadet adalah komedi ringan – sedikit mustahil – dengan vibe positif mendorong penontonnya untuk mengejar mimpi. Kita bisa nonton ini cuma buat ngeliat Emma Roberts ngelakuin hal ‘gila’, dan terhibur olehnya. kita bisa nonton ini buat ngintip aktivitas calon astronot di NASA (dan mupeng). Tapi film ini gak bakal ngasih drama yang benar-benar berbobot. Karakternya tipis. Gadis yang sebenarnya pintar dan pengen jadi astronot, tapi keadaan membuat dia untuk kuliah aja gak bisa. Film never really touch upon that aspect, melainkan lebih memilih ke soal gimana Rex – si gadis – malsuin CV supaya keterima intern di NASA. Gimana nanti dia yang udah akrab sama sejawat di sana, ketahuan, dan terjadilah drama di sana. You know, ini kayak film-film feel-good sederhana yang sering ditayangin di tv jaman-jaman 90an.

Namun bahkan untuk target sesederhana itu saja, Space Cadet masih kurang berhasil membuat karakternya lepas landas dengan benar. Karena Rex lebih seperti bereaksi ketimbang beraksi. Karena yang malsuin data-data lamarannya, bukan dia. Tapi temannya. Jadi Rex sebenarnya cuma play along dan berusaha gak ketahuan saat dia ngeh dirinya keterima karena surat lamarannya sudah diubah oleh temannya tersebut. Aku gak tahu kenapa film memilih harus menyerahkan aksi penggerak ini kepada karakter pendukung yang just another comedic relief, padahal bisa langsung diserahkan kepada tokoh utama. Toh Emma Roberts bukan aktor jaim yang gak lepas saat mainin komedi.

The Palace of Wisdom gives 4.5 gold star out of 10 for SPACE CADET.

 

 

 

THE BIKERIDERS Review

Dilan versi Hollywood! Ahahaha aku ngakak pas baca sinopsis. “Kathy (Milea) tertarik kepada Benny (Dilan), anggota geng motor. Begitu geng motor semakin menjurus kepada kekerasan, Benny (Dilan) harus memilih antara Kathy (Milea) atau gengnya.”

Tapi pas ditonton, karya Jeff Nichols neither mirip Dilan ataupun soal Benny dan pilihannya itu sendiri. First of all, ini beneran anak geng motor. Bukan anak mami yang cosplay jadi sok jagoan. Perspektifnya memang mature dan dihandle dengan sedewasa itu. Ketika ada romance anak motor dengan cewek rumahan, romancenya bukan tau-tau si anak motor jago gombal, lalu segala top. Romansa film digali tetap pada bingkai bagaimana anak motor itu sebenarnya. Benny akan nunggu di depan rumah Kathy, nyender di motornya – dari malam sampai pagi – sampai cowok Kathy nyerah dan pergi ketakutan, padahal Benny gak ngapa-ngapain. Itu baru romantis yang kita percaya ada di kepala anak motor. Romantis menurut si anak motor itu sendiri.

Tapi sesungguhnya tokoh utama film ini bukan Benny, ataupun Kathy. Melainkan geng motor itu sendiri. Kita akan melihat gimana perkembangan geng motor tersebut dari tiga perspektif sentral. Benny yang menganggap itu geng tersebut keluarganya, Kathy, sebagai orang baru yang masuk karena cinta, dan Johnny sebagai ketua, pendiri geng motor itu sendiri. Melalui tiga karakter inilah, journey kelompok ini sebagai saudara jalanan, berurusan dengan anak-anak muda yang pengen masuk karena menyangka geng motor adalah geng ugal-ugalan semata, dikembangkan. Jadi nonton film ini tuh kerasa banget apa-apa saja statement ataupun pandangan dari dunia geng motor itu sendiri. Ceritanya imersif, cuma karena sering pindah-pindah karakter – dan juga pindah periode waktu -, pace film bisa agak ‘terasa’. Sampai mampu membuat kita bingung, film ini ujungnya gimana

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE BIKERIDERS

 




 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang franchise Mad Max?  Kalo Australia punya Mad Max, Indonesia kira-kira apa ya franchise film yang punya potensi mendunia sambil kuat megang identitas kita?

Silahkan share di komen yaa

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



DEADPOOL & WOLVERINE Review

 

“If you want to lift yourself up, lift up someone else”

 

 

Akuisisi besar-besaran Disney terhadap 20th Century Fox sukses bikin para penggemar superhero Marvel menggelinjang sejak 2018.  Soalnya  X-Men dan beberapa IP karakter Marvel lain yang muncul sebagai bagian dari permulaan genre ini di era 2000an, ada di bawah naungan Fox. Dengan membeli Fox, berarti sekarang Disney bisa leluasa meluaskan jagat semesta Marvel Cinematic Universe dengan karakter-karakter superhero ikonik seperti geng X-Men yang lisensinya kembali jatuh ke tangan Disney. Ini kan momen yang gede banget buat penggemar superhero. Istilahnya, setelah sekian lama superhero Marvel terbagi, sekarang mereka bisa bersatu di bawah naungan studio yang sama (kecuali geng Spider-Man nih yang masih alot urusannya). Sebuah momen yang rasa-rasanya kok ya pantas dijadikan film. Bayangkan menceritakan superhero pindah studio dengan segala komplikasi dan candaan yang bisa dihasilkan dari sana. Pasti lucu dan seru sekali. Dan itulah yang persisnya dilakukan Shawn Levy pada film ketiga dari Deadpool. Sutradara ini tahu bahwa tidak ada lagi ‘tempat’ yang lebih tepat untuk membahas penggabungan ini – merayakan beserta seluruh nostalgianya – selain pada bingkai dunia Deadpool, yang memang dikenal lewat kelemesan mulutnya dalam nge-break the fourth wall.

Namun nanti bagaimana dengan cerita si Deadpool itu sendiri? Well, seperti yang terpampang nyata pada judul, di film ini dia tidak sendiri. Tidak, jika Wade Wilson ingin dunia yang berisi teman-teman dan orang tercintanya selamat. Jadi ceritanya, universe atau timeline Deadpool akan segera menghilang, karena sudah tidak lagi stabil. Mainly, karena anchor-being nya, yakni Logan alias Wolverine sudah tiada. Oleh TVA – organisasi yang berwenang terhadap semua universe – Wade diberikan kesempatan. Atau mungkin tepatnya, pilihan. Wade bekerja untuk mereka, atau tetap tinggal dan ikut menghilang bersama seantero semestanya. Sebagai seorang Deadpool yang pada dasarnya liar – nakal – brutal, Wade memilih aksinya sendiri. Dia pergi lintas semesta, mencari Wolverine untuk dibawa ke semestanya. Tapi Wolverine yang didapatkan oleh Deadpool adalah Logan yang sedang dalam titik terendah dalam hidupnya. Keadaan semakin ribet bagi Deadpool karena TVA menganggap mereka berdua bikin kacau, sehingga dua superhero yang sikapnya berlawanan ini dibuang ke Void. Tanah buangan karakter-karakter yang tidak punya tempat di semesta manapun.

Da-da-da-da-talking to deadman

 

So yea, pada intinya ini film sebenarnya kisah buddy trip adventure. Dan kayaknya memang di antara karakter superhero komik, yang paling hits untuk dipasangkan, ya Deadpool dan Wolverine. Dari segi aktor aja, Ryan Reynolds dan Hugh Jackman udah sama-sama ikonik dan gak bisa lepas dari tokoh superhero komik mereka masing-masing. Mereka sama-sama kayak born to play these roles, gak kebayang kalo orang lain yang meranin Deadpool dan Wolverine. Plus, peran mereka ini punya history yang butuh untuk segera diperbaiki. Kita butuh interaksi Deadpool dan Wolverine yang bukan dari film X-Men Origins: Wolverine (2009)! Lalu dari segi karakter, dua superhero ini udah ngeceklis formula buddy trip dengan perfect. Dua tokoh sentral yang punya karakterisasi berlawan. Yang satu karakternya gak bisa diam, heboh, kurang ajar, bercanda melulu. Sementara satunya lebih pendiam, tapi bukan tenang juga, melainkan penggerutu, gak sabaran, dan di cerita versi ini, Wolverine-nya dibikin amat gampang ngamuk. Jadi adegan ‘bonding’ mereka kocak, karena akan meliputi banyak sekali berantem rated-R alias berdarah-darah. Yang jadi semakin seru karena kalo ada satu kesamaan dari mereka, maka itu adalah dua-duanya gak bisa mati. Dan itulah masalahnya. Wolverine dalam lore-nya sudah mati. Bagaimana menghidupkan dia kembali tanpa melecehkan kehormatan cerita sebelumnya? Well, di sinilah ketika MCU sudah menyiapkan jawaban yang menurutku, still merupakan sebuah pedang bermata-dua. Konsep multiverse itu sendiri.

Aku pikir, di sini tu mereka kayak sekalian ‘ngetes air’. Wolverine yang dihadirkan di sini adalah Wolverine yang diambil dari universe/timeline lain. See, konsep multiverse memungkinkan Disney untuk bisa ‘menghidup-matikan’ karakter, it doesn’t matter karena ada infinite versions of that character dalam multiverse mereka. Besok-besok bukan tidak mungkin Iron Man atau Black Widow yang dihadirkan kembali (yah, tergantung aktornya kapan mau ‘nostalgia’ aja) Sebagai  penggemar, kita akan happy-happy aja melihat superhero favorit kembali. Tapi secara cerita sebuah big picture – sebagai kesinambungan karena ini adalah cinematic universe – kita gak bisa deny bahwa konsep ini melemahkan stake. Ketika mati tidak lagi jadi resiko terbesar buat karakter, maka apa yang bisa kita pedulikan. Ketika journey mereka selesai lalu dimunculkan lagi – entah itu diulang atau completely different out of nowhere – bagaimana kita mengikuti.

Tapi setidaknya, film ini masih sanggup ngasih muatan cerminan paralel buat kedua tokoh sentralnya. Yakni sama-sama soal menjadi bagian dari tim. Deadpool masih kontinu dari dua filmnya sebelumnya. Dia pengen jadi bagian dari sesuatu. Di awal cerita kita dikasih lihat adegan kocak dia lagi interview, ceritanya lagi ngelamar jadi anggota Avengers. Pembelajarannya masih seputar bagaimana dia yang selfish jadi team player. Sama Deadpool-Deadpool dari universe lain aja dia susah akur hihihi.. Stake dihadirkan dari Deadpool harus berjuang demi keselamatan teman-teman universenya. Sedangkan Wolverine, kadang terasa lebih dramatis. Dia menganggap dirinya screw up, di semestanya teman-teman X-Men pada tewas, dan dia tidak ada di sana bersama mereka. Jadi Wolverine versi ini adalah orang yang mencoba to honor his fallen teammates dengan konflik dirinya merasa pantas untuk sendirian. Journey Wolverine ini ultimately akan mengarah kenapa dia terus memakai kostum kuning-biru yang norak. Menurutku ini merupakan penulisan yang cukup pintar dari film ini. Mereka berhasil membuat hal yang udah jadi kultural bagi fans – hal yang sudah lama dituntut oleh fans terkait Wolverine harusnya pakai kostum sesuai komik – menjadi aspek yang punya arti bagi si karakter itu sendiri.

Pada akhirnya mereka belajar untuk menjadi bagian dari satu sama lain. Bahwa tim bukan harus sesuatu yang besar. Tim cukup circle kecil orang-orang yang dipedulikan. Orang-orang yang ketika kita berjuang demi mereka, akan sama saja dengan berjuang untuk kita sendiri. Karena mereka akan melakukan hal yang sama untuk kita.

 

Bicara soal menjadi bagian dari tim; film ini kayak pengen bilang “Selamat datang” kepada para superhero dari Fox. Para superhero generasi awal di dunia sinematik, yang tentu saja sangat berbekas bagi kita semua. Film ini bukan hanya ngasih platform buat mereka-mereka agar bisa muncul lagi (dan ngasih kesempatan untuk mengakhiri kisah mereka), tapi juga ngajak mereka bermain-main dengan state genre superhero komik sekarang ini. Kayak ada dimunculin aktor yang meranin dua superhero Marvel yang berbeda karena tadinya beda studio. Ataupun juga dihadirkan karakter superhero yang belum kesampaian untuk difilmkan, sehingga castingnya juga nurut ke fan-casting. World-building film didesain untuk membahas itu semua. Gimana Void yang berupa padang tandus udah kayak dunia Mad Max berisi karakter-karakter atau bahkan konsep yang terlupakan. Gimana TVA udah kayak personifikasi dari Disney itu sendiri; mengatur IP Marvel mana masuk ke timeline mana, dan Deadpool semacam breaking the fourth wall mencari tempat untuk semesta dia. Dunia film ini exciting dan fun, tapi aku juga bisa melihat konsep begini dapat menjadi too much buat penonton casual. Babak awal film ini benar-benar struggle nyari pijakan supaya karakter-karakter superhero ini bisa ‘masuk’ ke dunia MCU.  Younger audience yang belum nyicipin era superhero Fox 2000an, malah juga bisa missing out kepada cerita dan candaan. Dan ini perlu dicatat oleh filmnya, bukan kesalahan penonton tersebut. Ketika munculin karakter, harus dibahas. Film ini punya villain menarik, tapi karena fokusnya kurang, jadi terasa kayak one-dimensional.

review deadpool & wolverine
Kinda hope ada Thor di Void, bodo amat copyright 

 

Sehingga jadi cukup terasa juga ada perbedaan antara Deadpool di bawah Disney ini dengan dua Deadpool sebelumnya saat masih di bawah Fox. Deadpool satu (2016) dan Deadpool 2 (2018) lebih terasa fokus ke cerita Deadpool itu sendiri, ke pengembangannya. Deadpool yang dulu kita puas ngakak melihat tingkah si mulut kasar. Film ‘cerewet’ oleh celetukannya yang kemana-mana. Pada film kali ini, yang cerewet nambah. Film lebih berisik oleh referensi. Oleh nostalgia. This is a great device to generate hoorah. Tapi di waktu yang sama, Deadpool ini jadi terasa lebih ‘jinak’. Mungkin karena basically di cerita ini dia transisi dari antihero berusaha menjadi superhero. Don’t get me wrong, film memang masih tepat menyandarkan aksi dan komedi dari betapa crude-nya Deadpool, kayak dia gunain ally sebagai shield dari berondongan peluru – dengan konteks yang udah dibuild up dia pengen merebut anjing peliharaan dan pistol milik si ally. Kreatif dan kocaknya malah mungkin agak peningkatan dari film kedua. Afterall, ini adalah film yang dijual Disney tetap sebagai rated R. Tapi kiprahnya sebagai film meta itu sendiri yang terasa lebih jinak, dan lebih contained sebagai fan-service aja.

Film Deadpool pertama dijual sebagai film untuk merayakan valentine, film romantis kata si Deadpool. Dan kemudian kita diberondong oleh hal-hal crude dan brutal. Kocak. Film kedua, Deadpool bilang ini film keluarga. Dan sama, muatan keluarganya kuat, tapi hal-hal liar bukan konsumsi anak-anaknya juga tak kalah meriah. Film ketiga ini kayak cuma punya aksi brutal. Sementara singgungan yang sempat dilontarkan Deadpool terhadap konsep multiverse itu sendiri, kurang terasa nendang karena film ini tetap bersandar kepada multiverse sebagai fasilitas mereka menciptakan referensi dan nostalgia. Film ini seperti pengen merobohkan konsep multiverse, tapi gak jadi. Sehingga hampir seperti status quo film ini dan karakter-karakternya antara awal dan akhir, sama. Misi filmnya cuma kayak, mari hidupkan kembali Wolverine. Kinda underwhelmed kalo tadi niatnya mau meluaskan jagat sinematik dengan superhero-superhero ikonik, kan.

 




Nonton ini buatku teringat excitednya nonton wrestling jaman 2000an, saat WWE membeli WCW dan ECW. Ngeliat superstar ikonik dari brand sebelah muncul satu persatu dan bergulat di ring WWE, menghasilkan kombinasi pertandingan yang dulu hanya bisa dibayangkan. Ngeliat Deadpool, Wolverine, dan superhero Fox 2000an lain di dunia Marvel Avengers, rasanya begitu, Excited. Story buddy tripnya juga seru, benar-benar showcasing hal yang membuat Deadpool dan Wolverine itu ikonik. Makin mengundang excitement, Deadpool dengan konsep metanya paling cocok sebagai ‘tempat’ untuk celetukan menyambut dan bikin kisah tentang penggabungan semesta superhero ini. Film ini seperti cerdas dengan celetukan dan candaan tersebut. Tapi ternyata sampai akhir, gak ada yang terasa benar-benar sebuah tendangan. Film ini justru kayak Deadpool paling ‘jinak’.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for DEADPOOL & WOLVERINE.

 

 




That’s all we have for now.

Pasangan superhero Marvel mana lagi yang menurut kalian seru kalo dipasangkan, atau malah diversuskan?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



DEADPOOL Review – [2016 RePOST]

 

“If you can’t love crudeness, how can you truly love mankind?”

 

 

 

 

Bagi kalian yang tumbuh dengan membaca komik, just like myself, salah satu hal yang paling menggelinjang di dunia pastinya adalah menyaksikan tokoh pahlawan kesukaan masa kecil kita beraksi melawan tokoh-tokoh jahat yang juga kita favoritkan sewaktu masih kanak-kanak. Rasanya exciting banget, terlebih karena film superhero komik identik dengan aksi seru, cool stuff, dan siapa sih yang enggak jejingkrakan melihat kekuatan baik dan jahat itu saling beradu? Tapi bahkan buat penggemar berat superhero komik, film-film adaptasi media hiburan geek tersebut sudah menjadi sedikit terlalu banyak. Hampir tiap bulan nongol pahlawan super baru yang bisa ditonton. Beberapa dari mereka memang bagus, dan kemudian kita ditonjok oleh Fantastic Four. Dan meski tampil variatif – belakangan lagi ngehits film komik dibuat dengan origin yang beraura dark-dark gitu (pelototin Fantastic Four lagi!) – setiap cerita superhero basically selalu sama. Kita jadi sudah terbiasa dengan mereka sampai-sampai kita sudah tahu apa yang harus diharapkan dari genre film ini. Di antara penggemar komik atau bukan, sekarang sungguh gampang untuk menyukai setiap film superhero komik karena aksi-aksi keren nya.

Namun bukan sepak terjang, aksi dahsyat, ataupun efek sempurna yang membuat aku terpana menonton Deadpool. Tentu, film ini punya adegan-adegan seru yang super-fun. Deadpool kan dikenal dengan julukan Spider-man Ninja, jadi kita bisa ngarepin bakal terpuaskan oleh aksi-aksi cepet yang keren abis. Bukan itu yang paling menarik dari film ini. PENULISANNYA LAH YANG MEMBUAT FILM DEADPOOL BERADA SETINGKAT DI ATAS REKAN-REKAN FILM KOMIK YANG LAIN. Deadpool setia pada komiknya, itu nilai plus yang pertama kali kita kasih buat film ini. Berpedoman dari situlah, penulis dan sutradaranya mengembangkan naskah yang menuntun film menjadi salah satu film superhero dari komik paling keren dan kocak yang pernah dilihat oleh dua mataku.

 

Film Deadpool adalah si Deadpool itu sendiri.

Dia kurang ajar, kasar, suka ngatain orang, selera humornya seringkali keterlaluan, seksual innuendo nya kentara sekali, enggak baik buat anak-anak deh pokoknya. Deadpool bisa dibilang anti-hero dalam dunia Marvel, kita tahu dia aneh, mentalnya seperti agak terganggu, protagonis yang ngelakuin hal-hal tercela, tapi kita cinta. Thus, membuat filmnya menjadi kurang ajar juga. Berbeda dengan film dari komik lainnya yang penuh rasa kebajikan. Mungkin banyak yang belum kenal betul siapa si Deadpool, aku sendiri belum pernah megang komik aslinya. Tapi tentunya kita sudah tahu cukup banyak tentang tokoh yang satu ini. Karena Deadpool termasuk yang terpopuler di budaya-pop masa kini.

Dalam film ini kita akan melihat proses perubahan Wade Wilson menjadi sosok Deadpool, yang dijelaskan dengan – yup, you guessed it! – flashback. Kita akan dibuat mengerti terhadap apa yang ia alami. Kenapa Wade begitu menolak disebut sebagai pahlawan. Dua anggota X-Men aja sampai berkali-kali ngajakin Wade bergabung. Wade tahu dia spesial namun he spits on idea of being a superhero.

liar, nakal, brutal, membuat semua orang menjadi gempar, and not to be confused with Sun Go Kong si Kera Sakti

Liar, nakal, brutal, membuat semua orang menjadi gempar, and not to be confused with Sun Go Kong si Kera Sakti

 

At the heart, dan percayalah sekasar dan sekurangajarnya Deadpool, film ini masih punya hati kok, MEMBAHAS TENTANG BALAS DENDAM, JUGA CINTA. Wade Wilson berbuat kasar karena dia gamau orang lain suka padanya karena dia tahu persis rasanya kehilangan yang dicinta. Makanya dia nyaman temenan sama orang cuek atau orang buta. Motivasi Wade adalah dendam kepada Ajax, keseluruhan film adalah tentang Deadpool yang mencari keberadaan si objek dendam kesumatnya tersebut. Si tokoh jahat sendiri memerankan perannya sebagai baik, yaah seharusnya Ed Skrein bisa lebih sedikit meyakinkan sebagai penjahat utama, but he did just enough. Negasonic Teenage Warhead dan Colossus turut memberikan nuansa familiar dan memperheboh aksi. Kisah pun dibumbui oleh pertemuan Wilson dengan Vanessa (cakep banget, doncha wish your girlfriend was cool like Morena Baccarin?) yang akan mengubah hidup Wade. Ooo tapi jangan kira mentang-mentang keluar bulan Februari, romansa dalam Deadpool hanya sebatas plot device semacam ‘damsel-in-distress’. Vanessa memang ada sebagai ‘kelemahan’ dari si Deadpool. Serunya, kisah cinta Wade dan Vanessa juga diberlakukan sama dengan semua hal di dalam film ini, tak luput dari kekasaran dan sarkasme. Deadpool buruk rupa memperlihatkan dunia kita yang juga buruk rupa, dan yang kita bisa adalah melakukan yang terbaik dari apa yang kita punya. Jauh di dalam Wade Wilson meyakini semua itu.

Kurang ajar adalah seni dalam film ini.

 

 

Quick question: jika jadi pahlawan super, satu kekuatan yang ingin kalian miliki adalah: Menyembuhkan diri dengan cepat; Master beladiri; Immortality; atau Skill assassin yang tak-tertandingi ?

Deadpool enggak perlu repot-repot memilih. Dia menguasai semuanya. Malahan ada satu lagi ability nya yang tidak dimiliki oleh superhero lain. Di dalam cerita komik, salah satu kekuatan spesial Deadpool adalah keSELF-AWARENESSan nya yang unik; ia sadar kalo dia berada dalam dunia komik. Dalam film, kemampuan tersebut juga dipertahankan. Dan inilah yang membuatnya paling menarik. Deadpool tahu dia berada di mana. Dunianya adalah dunia film yang sedang kita tonton. Dia sungguh-sungguh sadar akan kondisi itu, dia mengerti persis seperti gimana kondisi dunia film komiknya di mata dunia kita. Dan dia enggak sungkan-sungkan untuk nunjukin hal tersebut. Secara konstan Deadpool akan break the fourth wall. Aku enggak tahu istilah indonesianya apa, tapi breaking fourth wall itu sejenis melanggar aturan film dengan si tokoh ngomong langsung kepada penonton, menghadap lurus ke kamera. Deadpool sekonyong-konyong menyeletuk kepada kita, menyuarakan dengan tepat apa yang kita pikirkan selama ini tapi enggak pernah kita ungkapkan. Adegan sehabis kredit penutup nya adalah adegan ekstra yang paling kocak dan straight-to-the-point. Buat yang udah keburu kebelet, tahan bentar lagiiiiii aja, it’ll worth it.

‘Kesadaran’ yang sama juga diperlihatkan filmnya terhadap peran sang aktor, Ryan Reynolds. Kita sama-sama pernah menyaksikan Deadpool sebagai penjahat dalam film X-Men Origins: Wolverine (2009). Dalam film terbarunya ini, Ryan Reynolds juga kembali memerankan Wade Wilson, sosok di balik topeng Deadpool. Film ini menyinggung gimana jelek dan enggak pentingnya Reynolds di Wolverine, ataupun di film-film gagalnya yang lain. Kali ini, Reynolds, dan juga penulisan tokohnya, sangat menghormati karakter yang sedang mereka persembahkan. Kemampuan Reynolds memainkan karakter ‘gila’ semakin terasah setelah tahun lalu pun dia memukau sebagai pembunuh schizophrenia dalam film The Voices (2015). Lucunya kebangetan sebagai Deadpool yang banyak omong!

Namun film Deadpool tidak pernah menyuguhkan diri sebagai eksposisi. Malahan film ini tidak akan membosankan karena memang tidak ada momen-momen yang bikin kita menguap. Sedari pembukaan kita sudah dikasih liat kebolehan Deadpool. Fast-paced actions yang ditangkap dengan sangat jelas oleh camera work yang sama dinamisnya. Kameranya tidak diarahkan untuk goyang-goyang gak jelas. Cut antaradegan nya tidak terlalu over. Pengarahan yang luar biasa dari sutradara. Pun film ini mampu memanfaatkan CGI, yang terlihat minimal dari segi budget, semaksimal mungkin. Lihat saja karakter Colossus, tampak meyakinkan sebagai makhluk hidup yang beneran ada. Pemakaian CGI yang banyak memang tidak terelakkan untuk film semacam ini, untungnya Deadpool sukses memanfaatkannya sebagai alat penunjang yang fresh.

*slow-clap*

*slow-clap*

 

Kekurangajaran film ini mungkin terasa cukup mengganggu, terlebih jika tidak terbiasa dengan humor-humor jorok. Ada nudity juga, meski di bioskop sini kena potong. Film Deadpool mendorong batasan Rating R sampe poll-pollan. Di Indonesia filmnya jadi Dewasa 17+. While it is good and I give nod to sistem rating di Indonesia yang lebih menenangkan, in a way lebih menghormati penonton, tapi dalam kenyataannya justru terasa paling munafik. Rating bertujuan untuk membatasi jumlah penonton sesuai umurnya, and yet prakteknya mereka menambah studio tayang dan membiarkan anak-anak berseragam sekolah menonton film kategori dewasa. Soal sensor adegan film ini,  sebenarnya tidak banyak berdampak, kita selalu bisa mengandalkan imajinasi. Yang lebih mengganggu buatku adalah subtitle Indonesia yang seringkali tidak bisa menerjemahkan lelucon dengan tepat. Akan lebih baik jika mereka menyediakan teks dalam dua bahasa.

Apakah film ini ditujukan buat remaja? Iya. Apakah film-film remaja leluconnya harus vulgar selalu? Tidak. Akan tetapi Deadpool adalah film komik superhero, yang tiap-tiap mereka punya karakter tersendiri. Enggak lucu kalo film ini sesuram Dark Knight. Enggak kocak kalo film ini sepatriotis The Winter Soldier. Sudah dari sono nya sifat si Deadpool begitu dan film ini dengan tepat menggambarkan buku komik itu ke layar. This movie is everything what it should have been. Film ini menolak untuk berlambat-lambat dengan drama, film ini relentless dalam bersuara, film ini enggak pake sensor apapun. Film Deadpool lebih mirip dengan Kick-Ass (2010), malah; luarnya sadis, tapi sebenarnya lebih grounded ke reality.

Dunia yang kita tinggali adalah semesta yang kejam. Dan Wade Wilson sadar akan hal itu. Jalur kebenaran bagi Wilson tidak mesti berbalut santun. Dia memang bukan yang paling baik. Wilson cuma seseorang yang cakap dalam pekerjaannya – yang kebetulan adalah membunuh orang. Film ini mengangkat hal tersebut dengan sudut pandang yang lebih nyeleneh lagi. 

 

 




Dipresentasikan dalam bentuk aksi cepat, extremely funny, pemilihan musik yang asik dan menggebu. Lagu Mr.Sandman sukses bikin aku ngakak, I was so not expecting that! Yea, film ini mungkin bukan pencapaian yang benar-benar baru, mungkin gak bakalan menang award. mungkin bukan masterpiece, tapi filmmakers berhasil membuat suatu tontonan yang luar biasa menghibur. Such a killer filmThe Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for DEADPOOL.

 

 




That’s all we have for now.

Remember, in ife there are winners
and there are losers.

 

 

 

We be the judge.



THELMA Review

 

“Be strong enough to stand alone, smart enough to know when you need help, and brave enough to ask for it”

 

 

Sebagaimana jatuh cinta bukan cuma milik anak muda, petualangan atau malah action balas-dendam pun ternyata juga tidak punya batas kadaluarsa. Ini hanya soal takarannya saja. Karena aksi di usia senja tentu saja bukan kebut-kebutan ataupun tembak-tembakan melawan penjahat. Josh Margolin yang menggarap kisah ini  sebagai persembahan untuk neneknya tercinta (dari adegan pas kredit kita lihat ada momen di film yang dia ‘adaptasi’ langsung dari momen bersama neneknya in real life), tahu persis takaran tersebut. Thelma dijadikannya comedy-action tapi bukan yang over-the-top, melainkan yang grounded. Ingat kemaren pas review How to Make Millions Before Grandma Dies (2024) kita make a point soal nenek cenderung lebih sayang kepada cucu? Nah, pada film Thelma kita akan menemukan jawaban kenapa.

Smartphonenya berdering, Nenek Thelma yang hidup sendiri di rumahnya meninggalkan tenunannya untuk mengangkat. Suara di seberang mengatakan bahwa cucunya sedang di kantor polisi dan dia butuh uang untuk bayar pengacara segera. Naluri keibuan – atau kenenekan – Thelma menghalanginya dari menyadari bahwa telepon itu cuma scam. Penipuan ala ‘mama minta pulsa’. Dari cara film menggambarkan sekuen tersebut, aku langsung ke-hook. Ketika Thelma langsung ke pos buat ngirim duit, kita gak marah ataupun menyalahkannya karena ngelakuin hal yang against our common logic. Malahan kita dibuat memahami ‘kepolosan’ Thelma sebagai nenek. Kita jadi mengerti kenapa penipuan seperti itu bisa terus memakan korban. Apalagi, kedekatan Thelma dengan Daniel, cucunya yang suka datang ke rumah bantu ini-itu, ngajarin makek komputer ataupun main Instagram, sudah dibuild up sebelum kejadian ini. Sekalipun ada yang lucu, misalnya dari gimana si pelaku memancing nama cucunya, kita tidak tertawa dengan nada meledek. Aku baru meledak ngakak saat melihat reaksi Daniel bersama ayah dan ibunya yang awalnya berusaha lapang dada dan bersyukur Thelma gak kenapa-kenapa, tapi langsung ‘serius’ begitu tahu ada duit yang melayang. Dan saat Thelma diam-diam memutuskan untuk pergi sendiri mengambil kembali uang tersebut ke alamat yang sudah ia buang, satu keluarga itu jadi panik mencari nenek yang mendadak hilang,

I also laughed saat Thelma curhat tapi kemudian terbayang lagu yang ada di film Jackass

 

Inspirasi Thelma untuk beraksi sendiri adalah Tom Cruise dalam film Mission Impossible-Fallout yang ia tonton bersama Daniel tempo hari. Thelma dikasih tau Daniel kalo Tom Cruise melakukan sendiri semua aksi di film tersebut. Dan ini menggugah Thelma, yang di balik karakter nenek-neneknya yang ramah, hangat, dan pengertian punya satu flaw yaitu: pantang minta tolong. Premis tersebut terdengar lucu, tapi film berhasil menyuntikkan hati ke dalamnya, dan terus mengembangkan cerita dengan grounded dari sini. Inilah yang menjadikan film punya daya tempur drama yang kuat di balik action ataupun komedinya. Lewat perspektif seorang nenek penyayang yang selama hidupnya mandiri, film memberikan gambaran yang kuat dari gimana rasanya saat benar-benar menyadari diri telah menua, telah benar-benar sendiri karena teman-teman satu-persatu pergi. Gimana rasanya kita yang tadinya bisa semua, kini dianggap tidak mampu dan perlu dijaga. Ketika dianggap seperti bayi lagi. Ada satu momen yang powerful banget, yaitu ketika Thelma mendengar keluarga Thelma (Daniel dan orangtuanya) di ruangan sebelah lagi ngomongin dirinya, dan  Thelma – tidak suka mendengar ‘kenyataan’ bahwa keluarga perlu untuk membantunya lebih sering – mencopot alat-bantu dengar dari telinganya.

Naskah sangat imbang, serta begitu kaya perspektif pendukung. Setidaknya ada dua relationship penting yang terjalin dan development Thelma sebagai karakter datang dari sana. Pertama, tentu saja dengan cucunya, Daniel, yang kelihatannya baru menginjak usia dua-puluhan.  Daniel ini jadi pendukung yang penting, bukan semata karena karakter ini adalah tokoh yang mewakili sang sutradara di kehidupan asli (again, film ini diangkat Josh dari dan untuk neneknya, Thelma Post yang asli), melainkan juga karena Daniel dibikin cerminan paralel dari Thelma. Daniel sedang ada di titik dirinya dianggap screw up oleh keluarga – he doesn’t have job, urusan pacaran pun masih ‘usaha’, dan sekarang nenek hilang di bawah pengawasannya. Daniel jadi sama seperti Thelma yang dianggap gak mampu sehingga mulai menyalahkan diri dan berusaha membuktikan sebaliknya. Mungkin inilah kenapa nenek dan cucu lebih dekat kepada satu sama lain, ketimbang dengan anak atau orangtuanya sendiri. Karena nenek dan cucu berada di posisi yang serupa. Yakni posisi yang oleh orang dewasa/orangtua, dianggap tidak capable ngelakuin hal sendirian, alias apa-apa perlu dibantu. Diawasi. Diurusi. Dan lucunya deep inside mereka juga meyakini pandangan tersebut terhadap masing-masing, sehingga mereka jadi dekat karena nenek ingin buktikan diri capable dengan mengurusi cucunya, sedangkan cucu ingin buktikan diri dengan membantu neneknya.

Kedua; relationship Thelma yang penting adalah dengan Ben, temannya yang ada di panti jompo. Untuk pergi mencari alamat di daerah Los Angeles yang cukup jauh, Thelma butuh kendaraan. Dia ingat Ben punya skuter. Jadi dia pergi ke panti jompo tempat Ben berada untuk meminjam skuter tersebut. Hanya untuk skuter, tegas Thelma. Tapi Ben memaksa untuk ikut sehingga jadilah pertengahan film ini jadi dua-story; antara Daniel dan orangtuanya yang mencari Thelma, dan Thelma dan Ben yang bertualang mencari alamat pakai skuter yang gak seberapa cepat dan harus dicas. Peran Ben di sini adalah sebagai counter, sebagai voice of reason yang menyadarkan Thelma dari flawnya tadi. Karena Ben adalah lansia yang nyaman dibantu. Tidak seperti Thelma, panti jompo bukan kurungan bagi Ben. Karena Ben tidak pernah menampik di usia sekarang, orang-orang seperti mereka memang perlu untuk sering dibantu.

Menjadi tua dan perlu bantuan itu bukanlah hal yang memalukan. Tentu, kita semua perlu untuk belajar mandiri. Untuk capable sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Tetapi tidak kalah pentingnya bagi kita untuk tahu dan mengakui batas diri. Untuk tahu kapan harus meminta tolong. Karena di dalam hidup, sebagai makhluk sosial, sudah kodratnya untuk kita tidak harus melakukan apa-apa sendirian.

 

Penampilan akting dari para pemain juga sukses membuat film ini terasa tambah genuine. Nenek-nenek dalam film biasanya ada dua tipe. Nenek cerewet, dan nenek yang lovebombing ngasih apapun untuk cucu. Tapi keduanya memang sama-sama perhatian. Thelma-nya June Squibb seperti ada di tengah-tengah. Dia seperti nenek semua orang, kadang bikin sebal karena ‘mada’ alias gak mau diurus alias punya flaw agak keras kepala khas senior. Dia bisa tegas dan nyelekit, tapi most of the time Thelma dihadirkannya penuh kehangatan dan ya, kepolosan khas nenek-nenek yang berusaha up-to-date sama dunia. Humor-humor kecil (tapi telak) sering datang dari pembawaan ‘polos’ Thelma. Running gag seperti nenek yang merasa kenal sama semua orang di jalan, menghiasi cerita. Richard Roundtree dalam peran terakhirnya (rest in peace) sebagai Ben pun menyumbang pesona kharismatik tersendiri. Tepatnya, pesona kakek-kakek sebagai teman sejati, yang selalu ada di sana betapapun kurang-ngertinya dia dengan situasi. Sementara itu, Fred Hechinger sebagai Daniel, tuntas pula sebagai perwakilan anak muda – karena kita, seperti dia, harus belajar respek the elder sementara deep inside bergulat dengan menyongsong masa tua sendiri nantinya. Apakah kita mampu? Enggak ada karakter yang annoying di sini. Not even ayah dan ibu Daniel yang kaku dan rempong. Bahkan ‘villain’nya, si tukang scam, dibuat paralel dan penting juga (bisa dibilang ini adalah relationship penting ketiga pada cerita). Untuk gak bocorin banyak, villain ini juga old-man dan juga butuh bantuan.

Cool guys don’t hear explosions

 

Film ini cocok banget ditonton maraton, dijadiin dobel feature dengan How to Make Millions Before Grandma Dies (2024). Kita akan bisa melihat nenek dengan keluarganya dari perspektif lain, yaitu dari si nenek itu sendiri. Kalo mungkin kalian kurang cocok sama drama emosional film tersebut, Thelma yang lebih ringan sebagai comedy-action mungkin bisa jadi alternatif. Comedy-action ini ranah yang rawan. Akan gampang sekali bagi film ini untuk jadi over-the-top, jadi konyol dengan komedi dan aksinya. Tapi gak sekalipun Thelma melewati batas grounded tersebut. Bukan nenek-nenek itu yang dibawa ke dunia aksi. Melainkan aksinya yang diconvert ke dunia nenek-nenek. Film ini paham, bagi karakter seusia Thelma, tindakan yang tergolong memacu adrenalin itu adalah hal sesimpel (bagi kita loh!) operasikan komputer. Di mana letak X nya. Stakenya pun gak perlu muluk. Bagi seusia Thelma tersandung barang berantakan di lantai toko aja sudah demikian membahayakan. Kalo ini settingnya di Indonesia, lantai kamar mandi bisa jadi villain kedua tuh pasti. Meski begitu, seperti halnya premis yang gak shy away dari sedikit meminta kita untuk menahan our logic dan disbelief, film ini pun gak ragu untuk nampilin pistol dan ledakan, yang tentu saja sebagian besar dimanfaatkan untuk komedi properti, ketimbang digunakan properly.

 




Makanya bagiku film ini adalah kejutan yang menyenangkan, lagi menghangatkan. Aku gak nyangka film dengan premis konyol dan situasi kontras action nenek-nenek ini ternyata dikembangkan dengan grounded dan in a mature way, dan hasilnya ternyata gak kalah menyentuh dengan sebuah drama. Yang jelas, hubungan antara nenek dan cucunya berhasil tersampaikan dan terasa personal. Gambaran tentang bagaimana kita bersikap terhadap orang yang jauh lebih tua, tentang gimana perasaan mereka, tetap berhasil sampai ke kita di balik kekehan tawa yang vibe komedinya ke mana-mana. Ternyata memang, seperti halnya umur hanyalah angka, genre juga hanyalah bungkus. Hati cerita tetap nomor satu, dan itulah yang diusahakan sepenuhnya oleh film yang memang sangat personal bagi pembuatnya ini. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THELMA.

 

 




That’s all we have for now.

Aku baru tau ternyata fenomena penipuan kayak ‘mama minta pulsa’ atau ‘anak bapak ada di penjara’ ini ternyata santer juga di Amerika sono. Bagaimana pendapat kalian tentang penipuan kayak gini, mengapa sampai bisa terjadi?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TWISTERS Review

 

“Don’t let your pain destroy you”

 

 

Waktu kuliah Geologi dulu, aku sempat tertarik sama mata kuliah Mitigasi Bencana. I thought it’s really cool menganalisa dan menyiapkan sesuatu yang preventif demi kepentingan masyarakat. Tapi di saat itu juga aku sadar tanggung jawabnya besar. Gimana kalo aku yang bego ini salah baca data, salah langkah. Wuih bisa fatal, Jangan-jangan ntar bukannya bertahan, masyarakat malah jadi kocar-kacir padahal gak ada apa-apa. Apalagi, dan ternyata benar menurut film disaster karya Lee Isaac Chung ini, bidang mitigasi memang luar biasa penting. Bukan hanya gak boleh ngasal dan bertanggung jawab dalam mengoperasikan atau mengolah data, melainkan juga butuh keberanian dan kesiapan diri yang sama besarnya. Karena kalo ada satu hal lagi yang aku sadari berkat film ini bahwa mungkin keputusanku benar gak lanjut ambil mata kuliah itu. maka itu adalah kita gak bakal bisa ready untuk nolongin orang, kalo sendirinya belum ready – belum kokoh – menghadapi terjangan tornado masalah dalam diri pribadi.

Memang, diceritakan berat bagi Kate Cooper untuk kembali menekuni passionnya dari kecil sebagai tornado-chaser. Perempuan brilian itu kini ngantor sebagai meteorologist, enggan untuk kembali ke lapangan, tempat dia meninggalkan proyek mulia yang tadinya ia kembangkan di bangku kuliah untuk ‘menjinakkan’ angin topan. Karena kejadian yang kita lihat di opening film sangat membekas. Alih-alih nolong masyarakat, Kate dan projek ciptaannya malah membuat teman-teman dan kekasihnya celaka. Tapi toh yang namanya passion, tak akan pernah padam. Musim tornado di Oklahoma semakin mengganas. Kate yang punya keahlian khusus menganalisa munculnya tornado akhirnya bersedia untuk gabung bersama tim Javi, teman sesama penyintas kejadian di opening itu, dengan alat-alat mutakhir untuk menge-scan dan menangkap data tornado. Di padang rumput luas yang cerah namun seketika dapat berubah menjadi berbahaya itu, tim Kate amprokan dengan tim Tyler, YouTuber/influencer pemburu-topan yang sekilas tampak mengganggu dan hanya ingin bersenang-senang di atas bencana.

Tunggu sampai semuanya kena F-5, dari Brock Lesnar!!

 

Meskipun katanya film ini adalah sekuel, namun kita bisa menangkap banyak banget ruh dari film Twister (1996) yang menghidupkan aspek-aspek kecil film ini. Salah-salah, aku bisa nyangka ini remake haha.. Ceritanya sendiri memang tidak berkelanjutan, tidak ada karakter film yang lama muncul kembali. Penghubung antara kedua film ini justru teknologinya. Alat penangkap data tornado yang dinamai Dorothy (reference ke film klasik The Wizard of Oz yang ceritanya tentang gadis bernama Dorothy kehisap tornado hingga sampai ke magical land) kini sudah sampai ke tahap yang lebih mutakhir. Referensi tersebut bahkan dilanjutkan; nama-nama tim Javi dinamai dari geng Dorothy di film itu. Sedangkan Kate, sebagai tokoh utama, buatku terasa seperti gabungan dari Jo dan Bill. Atau tepatnya, buatku terasa seperti Kate seperti versi koreksi film ini terhadap karakter Jo yang berbagi porsi dengan Bill. Kate di film ini benar-benar capable dan mandiri di bidangnya. Dia bisa teknik membaca ‘kode alam’ seperti yang dilakukan Bill, serta jago mengoperasikan alat seperti Jo. In fact, konsep penjinak tornado solely adalah buah pikirannya. Penampilan Daisy Edgar-Jones saja dibuat mirip banget dengan Jo; rambut pirang dikuncir, tank top putih, dan semacamnya. Supaya gak jadi terlalu sempurna, film memfokuskan kepada konflik yang dipantik dari trauma Kate. Trauma personalnya inilah yang jadi flaw, yang dikembangkan jadi drama yang menghidupkan cerita, sebab Kate jadi meragukan diri, setengah-setengah mengejar tornado, sehingga menghambat misi timnya.

Makanya Tyler Owens si YouTuber jadi karakter pendukung yang tepat untuk Kate. Bukan semata karena Glen Powell jago banget mainin karakter songong namun kharismatik. Melainkan karena Tyler yang dengan mobil merahnya (again, nod to film original) mengejar tornado cuma buat menembakkan kembang api ke dalamnya, perlahan membimbing Kate keluar dari pusaran ketakutan. Tyler membuat Kate kembali berani, bukan hanya menaklukkan ketakutannya, melainkan juga menunggangi rasa takut. Dalam arti, membuat ketakutannya sebagai pijakan untuk menjadi orang yang lebih baik. Dan aku menemukan diriku lebih mudah konek kepada permasalahan Kate, dan dukungan Tyler, karena terasa personal, ketimbang persoalan menemukan kembali cinta di balik urusan pasangan yang mau cerai pada film originalnya. Imbasnya, relationship yang terjalin antara Kate dan Tyler juga lebih mudah aku ikuti, dan aku mengerti, dan aku peduli. Dari yang tadinya semacam rival karena merasa beda cause, mereka jadi saling tertarik, lebih dari ketertarikan fisik, melainkan mereka menemukan kesamaan deep inside dan tujuan. Dan cara film mendekatkan mereka bukan kayak receh ala FTV yang tadinya berantem jadi pacaran, tapi lebih humanis. Serta tentu saja lebih exciting, karena tetap saja film ini pada dasarnya adalah tentang bencana alam, jadi di lapisan luar ada pusaran angin ribut yang eventually, literally, dibikin membara.

Dari Tyler, Kate (dan kite-kite semuanye) belajar bahwa rating bencana alam seperti puting beliung diukur justru dari efek kerusakan yang ditimbulkan. Yang berarti, kita sendirilah yang menentukan seberapa besar tragedi menghancurkan diri kita. Kita  yang memutuskan berapa lama bencana itu menerjang sebelum akhirnya reda. Maka, bangkitlah segera. Selamatkan dirimu, lalu selamatkan orang lain.

 

Momen-momen action survival dan kejar-kejaran ‘menangkap’ tornadonya dibuat seru. Karena bukan hanya teknologi Dorothy yang semakin maju, teknologi bikin film pun juga. Maka Twisters bisa lebih mengeksplorasi secara visual baik itu dari tornado terbentuk hingga menyerang kota yang tadinya lagi ada acara rodeo. Film benar-benar jago dalam mengontraskan, baik itu warna maupun skala. In case belum pada nyadar dari judulnya, twisternya sekarang ada yang dua. Kembar. Tapi film ini berhasil membuatnya tidak tampak cheesy kayak misalnya kalo ada film hiu, lalu kali ini ceritanya ada hiu kedua atau hiunya mutant, atau gimana. Film tetap mempertahankan tone ringan tapi serius. Ringan, karena film ini nyadar, gimana pun juga, ya sebenarnya lawak cerita seputar meredakan tornado. But at least, mereka membuatnya grounded dengan hati. Dan film ini bikin, setiap kemunculan angin tersebut, kita melihat aksi yang berbeda. Para karakter kita dengan ilmu dan alat-alat canggihnya, mereka gak lantas berhasil. Mereka gagal. Mereka belajar. Mereka berlari menyelamatkan diri. Film ini punya build up yang cukup sehingga adegan-adegan tersebut terasa intens. Satu lagi yang juga berhasil dipotret adalah kepanikan saat bencana datang. Gak salah disematkan sebagai genre thriller. Kepanikan yang membuat manusia lupa, sehingga salah langkah, tidak mendengar instruksi karena panik, dan whoosssh mereka terbang. Dalam menyorot suka-duka mitigasi bencana, film ini berhasil ngasih lihat sehingga kita melek, bidang ini memang penting!

Mana sinefil banget pula, tempat berlindung terakhir mereka di dalam teater cinema hhehe

 

Aku sempat mengira “wah ada pergeseran nilai nih” ketika melihat di awal Kate masuk ke dalam tim corporate, dan dia sebel melihat timTyler yang datang-datang bawa penggemar, yang begitu ‘colorful’ sehingga seolah angin tornado bagi mereka bukan bencana melainkan tontonan dan show semata. Soalnya di film terdahulu, protagonis kita berada di tim yang mandiri, dan ‘bad guy’nya adalah tim corporate – dengan seragam dan segala formalitas lainnya. Nah, ‘nilai’ ini yang aku sangka sudah berubah di jaman sekarang, karena film bikin protagonis utama di tim korporat. Mungkin, aku kira, film ini juga ingin menyinggung soal kultur ‘ngonten’. Aku tertarik karena ingin melihat alasan film untuk mengatakan tim korporat lah tim yang baik. Tapi ternyata jaman belum begitu berubah. Sekali lagi, film ini kayak bermain-main dengan ruh film pertamanya. Perlahan, Kate menyadari dia ada di tim yang salah. Ini tentu jadi journey yang menarik, yang menambah kepada perkembangan Kate sebagai karakter. Prejudice yang dia bawa mengenai orang-orang ‘free-spirited’ yang ada di tim Tyler tentu akan terbawa juga kepada kita. Dan di balik mentereng dan profesionalitasnya – it seems – korporat tetaplah pihak yang culas, yang dengan no problem nyari cuan di atas penderitaan rakyat. Bagaimana pendapat kalian tentang gambaran dua tim dalam film ini? Silahkan share di komen yaa

 




Kalo ditanya suka yang mana, aku lebih cocok dengan sekuel ini. Meskipun memang, kalo ditanya lebih jauh, aku merasa film ini lebih mirip sebagai spiritual remake dari film pertamanya. Alasan suka karena film yang ini terasa lebih mudah relate (tapi itu mungkin karena aku nonton film pertama di masa-masa belum ngerti soal pasangan yang mau cerai haha) But, I do think karakter dalam film ini terasa kuat juga humanity-nya. Mereka punya layer, terutama karakter seperti Tyler. Untuk Kate sendiri, kita dibuat paham sama flaw-nya. Film fokus kepada flawnya, dan ini penting, karena tanpa ketakutan alias trauma dari survivor guilt-nya tersebut, Kate hanya akan jadi karakter utama yang terlalu sempurna. Dia tidak akan menarik. Tapi film berhasil membuat setiap pertemuan dia dengan tornado itu punya arti, punya makna kepada pembelajarannya sebagai manusia. Sambil juga film ini tetap menjalankan fungsinya sebagai disaster-flick yang seru, intens, kadang lucu-kadang konyol.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TWISTERS

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



MINI REVIEW VOLUME 19 (HIT MAN, TRIGGER WARNING, THE WATCHERS, UNDER PARIS, AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR, MALAM PENCABUT NYAWA, THE STRANGERS: CHAPTER 1, DILAN 1983: WO AI NI)

 

 

Delapan film yang terangkum dalam Volume 19 ini mengawali kita masuk ke pertengahan tahun, sebelum layar diberondong oleh film-film blockbuster musim panas. Ada manusia dengan hiu, manusia dengan jaguar, hingga ke manusia dengan peri. But I must say,  kloter pembuka ini gak really hot. I mean, cuma Hit Man (manusia dengan banyak penyamaran!) yang benar-benar sukses jadi tayangan entertain – selain juga ngasih kualitas dan something yang fresh. Selainnya,  either ada yang kurang, dan lumayan banyak juga yang flat out jatohnya mengecewakan. Yuk mulai saja kita bahas satu persatu:

 

 

AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR Review

Nonton kisah persahabatan antara manusia dengan hewan memang cenderung ngasih perasaan yang uplifting serta mengharukan. I like those feelings. Hmm.. tahun ini cukup banyak deh kita dapet cerita tentang persahabatan dua makhluk kayak begini, bisa kayaknya jadi kategori spesial di next My Dirt Sheet Awards hihihi.. Anyway,  kuncinya memang di ‘dua makhluknya’; semakin unlikely, semakin dramatis pula ceritanya bisa dikembangkan. Sutradara Gilles de Maistre udah paham lah bikin kisah anak dengan hewan buas. Sebelumnya dia pernah bikin anak kecil dengan singa putih, dan kini dia bawa kita ke hutan untuk melihat Autumn dengan sahabatnya; seekor jaguar hitam bernama Hope.

Bobot dramatis dari persahabatan ini dikembangkan dari Autumn yang sudah lama berpisah dengan Hope, kembali lagi ke hutan untuk menyelamatkan Hope yang diburu pemburu gelap. Autumn ingin mencari dan membawa Hope lebih jauh ke dalam hutan. Masalahnya, sebagaimana Autumn sudah bukan anak kecil lagi, Hope juga sudah besar. Tidak ada satupun yang bisa menjamin Hope masih ingat dengan Autumn, ataupun apakah Hope tidak menjadi buas. Dalam bahasannya ini, film juga memuat persoalan tentang perdagangan satwa, tentang perburuan liar, dan gimana orang kota mau mengeksploitasi isi hutan. Untungnya, tidak seperti Petualangan Sherina 2 (2023), bahasan ‘peduli satwa’ tidak dibahas setengah-setengah oleh film ini. Autumn beneran berinteraksi dengan jaguar yang diselamatkan. Not only that, mereka beneran seperti sahabat. Itu yang terutama bikin film ini seru. Banyak adegan yang bikin aku bergumam “itu sutingnya beneran?” Karena film ini beneran membuat aktor-aktornya berinteraksi dengan hutan, dan isinya.

Tema dan cerita genuinely konek. Tapi masih ada lagi. Autumn and the Black Jaguar juga adalah tentang Autumn – yang kehilangan ibu karena pemburu, persis seperti Hope – dengan ayahnya. Juga tentang Autumn dengan guru biologinya; yang tau teori tapi belum pernah sama sekali turun ke ‘lapangan’. Dinamika Autumn dengan ibu guru akan mengundang tawa karena si ibu ini bakal heboh dan ribet banget di hutan. Khas kayak kalo orang kota masuk desa. Kontras dengan Autumn yang udah nganggep hutan kayak kampung halaman atau rumah sejatinya. Masalah dalam penceritaan film ini terjadi tatkala karakter si ibu guru mengoverpower Autumn yang tokoh utama. Dalam artian,  yang kita tonton ternyata lebih banyak soal development ibu guru. Reaksi ibu guru terhadap putusan Autumn, terhadap lingkungan sekitar, akhirnya menjadi sajian yang mengisi layar dengan hal yang lebih variatif ketimbang Autumn bermain-main dengan Hope. Ibu guru pun punya journey yang lebih kuat, pembelajaran dia antara di awal dengan akhir cerita, lebih jelas. Sedangkan Autumn, gak banyak perubahan, issue dia dengan ayahnya berakhir ‘damai’ begitu saja. Ditutup hanya karena filmnya udah mau tamat.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR

 

 

 

DILAN 1983: WO AI NI Review

Berhubung Dilan versi mini, maka reviewnya juga kebagian yang mini, yaa.. haha enggak ding. Aku cuma bingung Pidi Baiq dan Fajar Bustomi di film ini niatnya pengen bahas atau nunjukin apa. Kayaknya kuncinya ya pada ‘Dilan versi mini’ itu. Alih-alih menceritakan masa kecil Dilan yang sudah kita kenal masa remajanya; si kapten anak motor, tukang berantem, dan punya segudang cara ajaib buat gombalin cewek, film ini kayak cuma menceritakan Dilan yang itu, cuma sekarang versi dia di dunia anak SD. Karena gak ada sense of growth di sini. Gak kayak Riley, misalnya. Kita bisa lihat ‘perbedaan’ antara saat Riley masih kecil di Inside Out (2015) sama ketika dia masuk usia remaja di Inside Out 2 (2024). Ada emosi baru, ada bahasan yang berbeda terkait emosi itu. Sementara Dilan, film ini bahkan bukan ‘origin story’ kenapa Dilan bisa jago gombal. Sejak kecil ternyata dia sudah seperti itu!

Jadi yang diceritakan adalah Dilan kembali ke Bandung, ke sekolah lamanya. Di kelas, ada anak yang baru dilihat Dilan. Cewek. Namanya Mei Lien. Dilan langsung suka. Dia menggoda Mei Lien, baik dengan gombalan maupun dengan sikap yang sama ajaibnya. Teman dan ibu gurunya pada ketawa ketika Dilan bacain puisi berjudul “Kau” (plesetan Chairil Anwar’s “Aku”) kepada Mei Lien di depan kelas. Kenakalan dari sudut pandang anak biasanya innocent. Karena mereka polos. Aku bandingkan salah satunya dengan Lupus Kecil (yang dibuat setelah Lupus SMA hits); ceritanya ya seputar keseharian kayak dia bolos karena pengen ke mall, dia pura-pura sakit, dia main permainan anak-anak di masanya. Sedangkan Dilan kecil ini, jatohnya creepy. Kepolosannya memang digambarkan; cara dia nanggepin hukuman, ‘seteru’nya dengan akang penjaga mesjid, relasinya dengan Bunda, Ayah, kakek, dan Mak Syik – yang cara didik masing-masing seems mempengaruhi perkembangan Dilan, tapi adegan-adegan tersebut dengan cepat dikesampingkan karena begitu Dilan udah ketemu Mei Lien, pov anak ini balik kayak remaja yang udah kita kenal. Man, bahkan Sadam ngejailin Sherina terasa lebih genuine ketimbang Dilan yang udah punya bakat dipuja sejak dini.

Dua jam pun habis dengan cerita ngalor-ngidul tanpa ritme. Padahal sebenarnya hal yang bisa jadi daging cerita itu ada di sana. Dari situasi sosial pada era itu, misalnya. Film ini bisa saja membuat Dilan not aware ama situasi Mei Lien, karena dia masih anak-anak.  Film bisa saja mengontraskan dunia anak-anak mereka dengan realita di background, sehingga cerita bisa lebih menggigit. Atau ya, persoalan persahabatan Dilan dan Mei Lien langsung aja dijadikan fokus. Menjadikannya cuma muncul di akhir membuat film jadi terlalu mengulur. Dan karena di akhir film, dengan cepat persoalan itu terlepas. Bahwa film tetap tidak fokus di sana. Fokusnya ya Dilan saja. Mei Lien cuma love interest yang ‘lepas’ tapi masih dikenang.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for DILAN 1983: WO AI NI

 

 

 

HIT MAN Review

Tadinya kukira film ini ala John Wick, you know, tipikal ‘pria biasa yang dipush untuk balas dendam, dan ternyata dia memang mantan assassin handal” seperti yang lagi ngetren belakangan. Oh, I couldn’t be more wrong. Hit Man karya terbaru Richard Linklater mematahkan ekspektasi remehku, sembari mematahkan ekspektasi semua orang tentang pembunuh bayaran; image yang kita bentuk lewat gambaran media. Terinspirasi dari Gary Johnson yang kerjaannya jadi pembunuh palsu untuk membantu polisi nyetop kriminal, Hit Man dibuat oleh Linklater sebagai dark rom-com(?) yang bukan saja menghibur tapi juga punya bahasan berbobot tentang bagaimana kita memandang diri sendiri.

Gary di cerita film ini seorang profesor psikolog. Di kampus, dia ngajarin soal gimana kita terkadang terhanyut dalam identitas karangan sendiri. Tanpa dia sadari, soon pria yang happy dengan hidupnya yang aman dan biasa-biasa saja itu kemakan omongan sendiri. Karena di kerjaan sampingannya, Gary diminta polisi untuk membantu memancing pengakuan dari orang yang ingin melakukan pembunuhan, dengan menyamar sebagai pembunuh bayaran. Sebagai psikolog, Gary suka meriset ‘klien’nya, dan dia bakal muncul sebagai persona hit man yang berbeda-beda tergantung klien. Inilah ketika Gary mencicipi banyak identitas, dan dia mulai hanyut ke dalam salah satu persona, yaitu Ron. Hit man cool untuk klien wanita cantik yang ingin membunuh suaminya.

Bahasan identitas dan psikologisnya ini yang membuat Hit Man jadi sangat menarik. Film ini sepert sisi mata uang sebaliknya dari The Killer (2023).  Basically, film itu  membahas gimana assassin gak mesti jago banget, eventho tiap orang bakal berusaha ngasih the best dalam pekerjaan mereka. Sedangkan film ini, implies, orang biasa seperti Gary bisa percaya mereka as a person adalah pembunuh bayaran yang handal, jika mereka serius membangun identitas itu. Nonton ini aku semakin ngakak karena kebayang si Gary ini kalo main kuis-kuis trivia ‘personality/karakter apa kamu?’ dia pasti milih hasilnya dulu, lalu baru menjawab tiap pertanyaan dengan hasil pilihan tadi sebagai patokan. Naskah dan arahan yang cerdas ini semakin lengkap menghibur karena cast yang tepat. Glen Powell, yang dulu aku taunya dari serial Scream Queens yang di sana dia smooth banget jadi jerk, love interestnya Emma Roberts, main sangat hilarious menjadi banyak ‘cosplay’ pembunuh bayaran. Glen sendiri mungkin lebih jago dari karakternya, Gary, karena dia tidak kehilangan beat dan tidak larut ke dalam begitu banyak ‘karakter’. Melihatnya, kita tetap bisa melihat di dalam sana ada Gary yang mencoba berpegang pada siapa dirinya, tapi hal menjadi semakin rumit, dan mendorongnya untuk mencoba hal ‘baru’ – sesuatu yang sedari awal tampak bikin dia penasaran di balik sikap sederhananya.

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for HIT MAN

 

 

 

MALAM PENCABUT NYAWA Review

Walau film buatannya pernah laku, tapi aku belum menemukan hal ‘original’ dari arahan horor Sidharta Tata. Malam Pencabut Nyawa, horor yang melintas ke garis genre superhero karena aspek protagonis punya kekuatan untuk memberantas penjahat, pun buatku masih terasa seperti ‘adaptasi’ dari unsur-unsur yang sudah pernah ada. Pertama, tentu saja cerita makhluk jahat yang membunuh orang di alam mimpi mengingatkan kita kepada Freddy Krueger dan franchise film A Nightmare on Elm Street. Kedua, aku toh memang merasa ceritanya banyak mirip dengan game Fatal Frame 3. Game horor tentang karakter yang merasa bersalah atas kematian kekasihnya, sehingga setiap tidur dia mimpi mengikuti kekasihnya ke sebuah rumah besar. Di dalam sana, dia melihat orang lain terbunuh oleh hantu perempuan di sana, dan saat terbangun dia mendengar berita kematian dari orang yang ia lihat di dalam mimpi. Si hantu perempuan adalah korban ritual, ditumbalkan oleh desa, dan dia punya pacar yang menangisi kematiannya. Membuat dia bangkit jadi hantu alam mimpi. Kurang lebih mirip gak sih dengan Respati yang selalu mimpiin hantu orangtuanya yang kecelakaan, yang di alam mimpi melihat orang lain dibunuh perempuan yang jadi hantu karena dibunuh warga, dan si hantu punya anak kecil yang menangisi kematiannya? Shot mata Sukma menjelang ajalnya bahkan mirip dengan shot mata Reika Kuze saat jadi tumbal ritual.

Pada akhirnya memang bukan kemiripan atau katakan saja, cocokologinya yang jadi kekurangan. Tapi karena kekurangmantapan film ini membentuk ceritanya, sehingga jadi kerasa kayak gabungan dua elemen. Sukma si hantu ratu ilmu hitam di alam mimpi harusnya bisa jadi ikon villain horor lokal, seperti gimana Freddy jadi begitu ikonik, tapi statusnya sebagai final boss seperti Reika jadi melemah karena film ini ngasih twist ada manusia yang jadi dalang semua. Sukma akhirnya jadi kayak puppet saja. Battle antara Respati yang jadi Dream Warrior – kalo mau minjam istilah di film Elm Street – dengan Sukma jadi terasa kurang penting karena dengan si dalang-lah sebenarnya journey Respati punya keparalelan. Film ini tidak berhasil membangun alam mimpi itu sebagai momok karena sebenarnya ada musuh yang lebih ‘nyata’ di dunia nyata. Bentukan cerita film ini jadi aneh. Di awal juga sebenarnya aku ngerasa ada yang janggal dari gimana film ini ngebuild Respati gak bisa tidur sebagai insomnia. Karena kayak gak nyambung. Apakah Respati gak bisa tidur malam karena takut didatangi hantu orangtuanya? Kenapa dia takut kalo sebenarnya konflik personalnya adalah merasa bersalah atas kecelakaan mereka? Sekali lagi, ini membuatku merasa naskah seperti campuran yang belum lagi rapi dan matang, antara elemen remaja yang ngalami fenomena takut tidur karena takut dibunuh Freddy di mimpi, dengan elemen Fatal Frame 3 yang karakternya justru pengen tidur terus karena mau bertemu dengan roh kekasih, karena dia masih merasa bersalah dan pengen bertemu satu kali lagi dengannya.

Yang belum matang sayangnya gak cuma naskah. Tapi juga arahan dan akting. Kadang kita ngerti arahan editingnya apa, kayak sekali waktu saat film ingin menerapkan editing komedi. Tapi aktingnya yang gak jalan. Ekspresi muka yang gak kontinu. Raut yang gak jelas sedang merasakan takutkah, atau sedihkah, atau ngantukkah. Terus ada juga editing yang bikin mestinya gak lucu tapi jadi lucu. Misalnya ketika ada tangan setan muncul tiba-tiba dari dalam lubang di pohon. Alih-alih langsung munculin tangan, film malah kayak ngecut dan nyambungin videonya dengan shot yang ada tangan setannya. Jadinya film ini awkward, padahal kalo digarap lebih matang, bisa saja film ini jadi Elm Street versi lokal sehingga fresh sendiri, dengan cerita karakter yang lebih natural.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MALAM PENCABUT NYAWA




THE STRANGERS: CHAPTER 1 Review

Ini siapa sih yang ngide bikin The Strangers – thriller home invasion yang jadi cult-success – ke dalam chapter-chapter? And worse, dengan treatment berupa membagi chapternya itu beneran berdasarkan per babak sehingga film Chapter 1-nya ini literally baru babak satu dari tiga-babak film superpanjang? Karena alhasil, film Renny Harlin ini jadinya boring banget.

Masih mending kalo bahasan di film ini mendalam. Nyatanya, gak ada yang bisa kita bicarain di sini karena filmnya memang gak bicara apa-apa. Cuma nunjukin sepasang kekasih, mobil mereka rusak sehingga harus menginap di kabin terpencil di ujung kota kecil, dan malam itu mereka disatroni tiga orang asing bertopeng. Ini film satu jam habis cuma ngeliatin mereka mengendap-ngendap, lalu ketangkep, dan lantas bersambung. Tidak ada bantering yang berarti dengan pembunuh. Tidak ada adegan sadis yang ‘menghibur’. Tiga puluh menit sebelumnya pun tidak diisi dengan set up karakter yang proper, Maya dan Ryan begitu bland, dan yah, mereka masuk kategori standar; karakter yang ngelakuin hal-hal bego. Padahal dalam horor yang bagus, penting bagi film untuk memberikan karakter yang dalam situasi mencekam, keputusan mereka realistis, atau at least bisa kita setujui sebagai tindakan yang ‘benar’.  Karena itu yang membuat kita peduli dan mungkin relate dengan survival mereka. Jika film gagal membuat mereka melakukan hal tersebut, maka penonton bisa dengan cepat berbalik menjadi ngecheer pembunuh untuk segera melakukan hal-hal ‘menghibur’ kepada mereka. Sebenarnya, masih bisa fun neriakin karakter yang keputusannya blo’on kayak gitu, tapi film ini begitu menjemukan, build up terornya cuma kayak ngulur-ngulur – karakter pembunuhnya pun sama boringnya karena gak benar-benar melakukan apa-apa. Sehingga aku bahkan gak punya tenaga untuk sekadar neriakin mereka buat seru-seruan.

The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for THE STRANGERS: CHAPTER 1

 

 

 

THE WATCHERS Review

Ishana Shyamalan, dalam debut penyutradaraannya ini, berhasil melampui sang ayah. Ya, dia berhasil membuat film yang bahkan lebih payah daripada The Happening (2008). The Watchers, horor fantasi yang diadaptasinya dari novel, tampak asik sendiri di dalam bangunan misteri dari mitologi yang tak-menginspirasi. Penceritaannya gak punya ritme, arahan dan aktingnya cringe banget kayak produksi untuk televisi.

Looksnya aja yang kinclong. Padahal bayangin aja mentoknya antara vibe di hutan kelam yang menyesatkan dan mendekam di ruangan kotak, dengan kamera atau gambar yang super jernih. Sama sekali tidak menyokong pada vibe misteri yang berusaha disampaikan. Yang ada, film malah jadi kayak dongeng yang dibuat-buat.  Nonton ini kayak kita mendengar bualan orang yang awalnya aneh sampai bikin penasaran, tapi semakin ke sini anehnya semakin terasa gaje sehingga kita jadi gak peduli lagi dan membiarkannya bicara apapun sesuka hati. Apalagi karena Ishana berusaha bermain dengan pesona khas ayahnya, yakni memasukkan twist untuk ngespark cerita. Tapi twist-twistnya tersebut tidak pernah terasa signifikan, sebab cuma pengungkapan yang sebenarnya juga gak perlu ditreat sebagai twist.

Mitologi peri dan hubungan makhluk itu dengan manusia harusnya sudah dilandaskan supaya kita punya pegangan jelas terhadap arahan dan ritme cerita. Supaya kita gak tersesat kayak para karakternya. Yang penampilan aktingnya pun terasa ala kadar. Aku kaget banget saat sadar bahwa pemeran protagonisnya itu Dakota Fanning. Aku takjub bahwa ada juga sutradara yang bisa bikin karakter yang begitu underwhelming sampai-sampai sekelas Dakota aja gak keluar pesona aktingnya. Bahkan di Twilight aja masih bisa bikin dia kinda memorable. Ah, mungkin itu satu lagi ‘keberhasilan’ Ishana.

The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for THE WATCHERS.

 

 

 

TRIGGER WARNING Review

Ternyata justru film Mouly Surya ini yang ala John Wick. Hebat ya, sutradara kita actually ngedirect film luar. Cuma masalahnya, gak ada yang ordinary dari jagoan cewek ala John Wick di sini. Parker, diperankan oleh Jessica Alba (Hebat ya, sutradara kita ngedirect Jessica Alba!!) adalah cewek serbabisa, serbacakap, yang membalas dendam.  Walau Mouly berusaha keras bikin protagonisnya ini tampak vulnerable di momen-momen personal, tapi bentukan karakter pada naskah Trigger Warning terlalu Hollywood. Ini adalah film yang dibuat hanya layaknya mesin untuk agenda ‘cewek jaman sekarang kudu jagoan’.

There’s no other ways to say it. Sutradara kita ternyata hanya jadi korban berikutnya dari kebiasaan Hollywood yang suka ambil sutradara asing atau ‘indie’, dan completely missed the points, dengan memberi mereka proyek yang seperti versi simpel dan mainstream dari apa yang membuat sutradara tersebut diperhitungkan. Kurang lebih sama-lah kayak waktu Chloe Zhao ketika didaulat untuk direct superhero Eternals (2022). Practically cuma buat sinematografi battlefield doang, mentang-mentang Zhao sukses bikin drama kehidupan nomad di gurun yang menggugah. Film Trigger Warning hampir seperti cuma ngeliat betapa Marlina yang menggotong kepala pria di padang ala western sebagai simbol feminis yang badass, dan itulah yang diassign kepada Mouly Surya. Bikin karakter cewek hard, jagoan, dan jadikan itu ke dalam gambar-gambar ciamik. Sementara naskahnya relatif dangkal dengan hal-hal stereotipe (yang bahkan menyerempet ranah kurang sensitif) dan muatan crime yang pengen kayak thriller misteri tapi ternyata pay offnya begitu sederhana, dan  predictable nyasarnya bakal ke mana.

Untuk actionnya memang tidak diarahkan untuk stylish, tapi cenderung rough. Dan ini sebenarnya bagus, jadi ‘karakter’. Aku awalnya juga tertarik, karena Parker yang kembali ke kampung karena ayahnya meninggal terlalu mendadak untuk dibilang wajar, itu punya senjata pilihan yaitu pisau. Yang juga merupakan simbol koneksi dia dengan sang ayah. Aku pikir film sedang ngebuild up perihal keparalelan antara dia dengan pisaunya, dan dia dengan ayahnya. Tapi hal tersebut ternyata dengan cepat jadi gak penting, karena ya, Parker nanti berjuang membalas dendam dengan banyak senjata lain.

The Palace of Wisdom gives 4 gold star out of 10 for TRIGGER WARNING.

 

 

 

UNDER PARIS Review

Untuk film terakhir di Volume ini, kita berenang ke Perancis. Dan kita berenang bersama hiu! Premis horor binatang buas karya Xavier Gens ini sebenarnya menarik. Dia memanfaatkan kota Paris dan keunikan struktur jadi panggung berbeda dari sebuah action survival manusia dari serangan hiu. Namun ada gangguan mayor yang menghalangi kita untuk fully menikmati sajiannya ini. Karakter manusia yang sebenarnya technically gak bego (karena ilmuwan), hanya saja mereka hampir semuanya cenderung annoying.  Film bahkan udah ngeset up betapa annoyingnya pilihan karakter di film ini sedari adegan opening. Hasilnya tetep sama sih. Kita neriakin “Goblog!!” ke layar.

Film ini masih bisa worked out semisal mereka ada di arahan yang over-the-top. Tapi film ini memilih untuk serius. Like, di balik teror hiu film ini menyimpan pesan untuk lingkungan. Kota Paris dan keadaan sungai Seine  dibikin berperan, benar-benar dieksplorasi sebagai ‘habitat’ karakter manusia yang di-examine oleh cerita. Film ini menyentil politisi yang kebijakannya hanya untuk cuan, tidak untuk kepentingan masyarakat ataupun peduli sama lingkungan. Film juga melihat ke dalam lingkungan aktivis alam dan satwa. Dan lucunya, aku kepikiran jangan-jangan film ini adalah cara pembuatnya nyampein ajakan untuk bersihin sungai. Karena memang, di akhir cerita, film berubah menjadi lebih seperti film bencana-alam. Konsekuensi atau dampak terbesar justru datang bukan dari serangan hiu-hiu tersebut.

Atau ya, kalo memang mau seserius itu, film ini kudu ngasih naskah perhatian yang lebih. Karakter diperdalam, berikan development. Konflik mereka jangan dibuat datang dari betapa annoyingnya masing-masing memegang kepercayaan (dan kalo bisa, solusi yang mereka percaya itu jangan bego-bego amat) Put more thought on it, dan film ini akan bisa hit us different.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for UNDER PARIS.

 




 

 

That’s all we have for now

Bener kan, volume pembuka musim panas ini belum benar-benar menggugah selera. Semoga bulan depan film-filmnya lebih seru!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA