STUBER Review

“Real men fight standing up”

 

 

Mana yang lebih jantan?

Vic, seorang polisi berbadan kekar yang jago berkelahi, yang menghantam pintu untuk masuk alih-alih mengetuk, yang memprioritaskan balas dendam kepada musuh ketimbang menghadiri pagelaran seni putrinya.

Atau Stu; perjaka bucin yang sebagai karyawan toko dibully oleh bosnya, untuk kemudian beramah tamah sebagai pengemudi Uber tapi tetap saja tak pernah mendapat bintang-lima, yang lebih suka membicarakan perasaannya daripada berkelahi, tapi tetap saja dia belum mampu menyatakan cinta kepada cewek yang sampai saat ini masih menganggapnya teman.

Vic dan Stu, oleh naskah Stuber, dipertemukan ketika Vic yang matanya lamur karena operasi lasik memesan Uber untuk melacak keberadaan gembong narkoba yang dulu membunuh partnernya. Stu yang tak-biasa terlibat baku tembak tentu lebih suka untuk ke tempat cewek taksirannya menonton DVD. Tapi dia begitu butuh bintang-lima yang dijanjikan oleh Vic. Jadi mau tak mau dua orang ini musti bekerja sama. Mengejar petunjuk dari satu tempat yang menantang persepsi mereka tentang maskulinitas satu ke tempat lainnya. Dan semua itu dilakukan film lewat nada komedi yang sangat histerikal dan balutan aksi berdarah yang over-the-top.

salaman adalah pelukan antara tangan dengan tangan

 

Disetir oleh dinamika dan chemistry dari Dave Bautista (I’m just gonna called him Batista, because you know; WWE) dan Kumail Nanjiani, komedi Stuber berjalan dengan relatif lancar. Formula bentrokan karakter mereka bekerja dengan baik. Satu kuat, satu lemah. Satu perkasa, satu perengek. Kita sudah sering melihat cerita buddy-cop seperti begini. Batista dan Nanjiani bertek-tok dengan kocak. Mereka diberikan ruang yang cukup luas untuk mengeksplorasi tokoh masing-masing. Untuk sebagian besar waktu, Batista tidak bisa melihat apapun, dia tidak bisa berkendara, apalagi menembak dengan benar (obvious metafor dari dia tidak dapat melihat apa yang sebenarnya perlu ia lakukan terhadap orang-orang di sekitarnya). Melihatnya menambrak benda-benda, sambil nyeletuk nyalahin benda itu, trying to be cool dengan kelemahannya – basically cara penulisan membuat cacat-karakter diamplify untuk tujuan komedi – sungguh menghibur. Bibit komedi Batista ini sudah mulai tampak ketika dia memainkan tokoh heel (bad-guy) di jaman-jaman dia masih pegulat di WWE. Batista seringkali memerankan karakter jahat yang merengek, dia sudah terbiasa memanfaatkan sisi lemah karakternya menjadi sesuatu tontonan yang menghibur. Di sisi lain, Nanjiani akan menyuplai kita dengan tawa yang datang dari cara dia uring-uringan disuruh melihat hal-hal yang membahayakan nyawanya. And he’s so good at keeping his face straight, dan kemudian meledak. Dia mencoba menormalkan semua itu, sehingga dia terpaksa mengambil tindakan – sesuatu yang selama ini tidak pernah ia lakukan.

Yang membuat dua tokoh berlawanan ini menarik, yang membuat mereka sedikit berbeda dari trope-trope karakter yang film ini gambarkan, adalah Vic dan Stu sesungguhnya punya tujuan yang sama – sehubungan dengan ‘apa sih yang membuat pria itu jantan’ – namun memiliki jalan/kepercayaan yang berbeda dalam mewujudkannya. Walaupun divisualkan lewat interaksi yang receh dan lebay, Vic dan Stu merupakan contoh penulisan ‘konflik nilai karakter’ yang menarik.

Menurut buku Anatomy of Story karangan John Truby, tokoh utama dan lawannya mesti ditulis untuk punya tujuan yang sama, tapi dibuat berkonflik dengan mengeset mereka punya value yang berbeda. Dalam hal dua tokoh film ini – yea, Stu dan Vic menganggap masing-masing sebagai antagonis dari mereka sendiri. Makanya dalam film ini dengan kocaknya kita dibuat lebih percaya mereka lebih mungkin untuk saling bunuh daripada tewas di tangan gangster narkoba. Tedjo yang diburu oleh Vic bukanlah antagonis yang sebenarnya – we’ll talk about hubungan Tedjo dengan Vic belakangan. Karena film ini sebenarnya adalah pertarungan kejantanan antara Vic dengan Stu. Dan meskipun komedi yang stereotipe, Stuber tak jatuh ke dalam gambaran banal tentang maskulinitas seperti Pariban: Idola dari Tanah Jawa (2019) yang pada akhirnya hanya menjadi cerita gede-gedean ‘ucok’. Stu dan Vic punya value yang berbeda tentang kejantanan; kepercayaan mereka itulah yang menjadi konflik utama. Jadi mereka gak sekadar berantem karena beda sikap. First of all, Vic dan Stu harus dapat melihat bahwa meskipun beda ‘misi’ sebenarnya mereka ingin satu hal yang sama; to man up. Kemudian mereka terus didorong untuk mencapai tujuan yang sama tersebut. Stake selalu diangkat; Stu ditelpon demenannya, Vic ditelpon putrinya. Yang satu terjebak dalam perangkap maskulinitas yang toxic, sementara yang satu lagi seperti begitu lemah bahkan untuk menjadi seorang manusia. Mereka punya pandangan yang berbeda yang pada akhirnya menjadi konflik-langsung. Ada pertentangan nilai pada adegan berantem malam-malam superngakak di supermarket itu. Itu adalah klimaks dari konflik mereka. Bagian yang bakal menjawab pertanyaan yang menjadi topik utama film ini.

Jawabannya adalah, the real men – jantan sesungguhnya – adalah pria yang ‘berkelahi’. Untuk disebut cowok, ya kita harus berantem. Dalam artian, berani mengonfrontasi masalah dan perasaan dan segala macam yang menghadang di depannya. Yang tidak lari dari semua hal tersebut.

 

Film ini menulis karakternya dengan ‘rumus’ yang benar; sesuai dengan teori K.M. Weiland tentang desain konflik dan karakter arc. Vic punya ‘wound’ yang membuatnya menciptakan ‘kebohongan’ yang ia percayai sendiri karena dia begitu trauma terhadap ‘wound’ tersebut. Partner Vic yang tewas adalah seorang polisi wanita, yang digambarkan oleh film jauh lebih kompeten dan taktikal dibandingkan Vic yang gasrak-gusruk. Maka Vic merasa gagal, dia merasa enggak cukup jantan sehingga membuat partnernya tersebut meninggal. Tokoh Tedjo – antagonis utama yang diperankan oleh Iko Uwais – adalah perwujudan dari bagaimana Vic memandang dirinya sendiri. Kecil, bengis, dan yang membunuh si partner. Makanya Vic begitu personal ingin menangkap Tedjo. Baginya ini lebih dari sekedar balas dendam. Dia ingin membunuh bagian dari dirinya yang tidak jantan. Ini juga berpengaruh terhadap cara ia memandang Stu pada awalnya. Banyak penonton yang mengeluhkan kurangnya peran Uwais di film ini. Aku setuju, Uwais yang personalitynya berusaha diperkuat oleh dandanan rambut nyatanya tidak banyak diberikan sesuatu untuk dilakukan. Mungkin memang Uwais yang belum bisa luwes berakting, atau memang mungkin karena film ‘menyia-nyiakan’. Tapi aku juga bisa melihat bahwa karakter Tedjo di sini sudah benar-benar bekerja sesuai dengan fungsinya. Karena seperti yang sudah kusebutkan; bukan dia ‘real villain’ yang harus dikalahkan oleh Vic dan Stu. Tedjo literally hanyalah device, jadi tokoh ini masuk akal untuk tidak terlalu banyak bicara.

Batista pada dasarnya selalu “I walk alone”

 

Garapan komedi film ini dapat menjadi cringey ketika berusaha untuk tampil kontemporer. Film berusaha memasukkan banyak sindiran dan pandangan mengenai toxic masculinity yang diam-diam menjamur di kehidupan sosial masyarakat. Pukulan terbesar yang berusaha dilayangkan oleh Stuber adalah mengenai Amerika yang merasa lebih ‘jantan’ daripada minoritas seperti Stu. Kadang celetukan sosial tersebut tampak terlalu banal, it takes the fun out of our central characters. Kita bisa menyebut film ini sebagai iklan Uber terselubung, sama seperti kita bisa menyebut Keluarga Cemara (2019) sebagai iklan Gojek terselubung. Ada banyak lelucon seputar Uber, I mean, penggerak terbesar Stu salah satunya adalah ia pengen dikasih rating bintang-lima; ini seharusnya udah menjadi peringatan betapa lebay dan in-the-facenya film ini bakal menjadi. Juga berkaitan dengan cara hidup masyarakat jaman sekarang. Beberapa ada yang bisa kita relate – buatku, aku juga sebel kalo dapat driver ojol yang terlalu sok-akrab, beberapa ada yang terlalu komikal.

Yang membawa kita ke bagian krusial; yakni porsi aksi. Lelucon lebay dalam film ini semakin cringey lagi ketika dibawa ke ranah aksi. Film punya cara tersendiri untuk menunjukkan kekerasan dan bullying kini bisa berlangsung di sosial media, dan cara itu boleh saja lucu, tapi terlalu ‘maksa’. Film ingin menampilkan aksi jantan yang kocak. Adegan-adegannya memanfaatkan tembak-tembakan, balap-balapan, dan hukum fisika beneran yang dimainkan untuk efek komedi. Untuk urusan berantem pake tangan, aku pikir aku gak bisa minta lebih banyak kepada film ini selain melihat Batista nge-Spear Iko Uwais. Dua orang ini mendeliver cerita dengan baik lewat baku-hantam, dan memang keduanya terlihat lebih nyaman ‘ngobrol’ lewat adegan berantem. Sayangnya, kamera tidak mengerti keunggulan dua orang ini. Karena kamera justru memilih merekam dengan handheld, dan banyak bergoyang, yang sama sekali tidak menunjang pertunjukan aksi yang mereka suguhkan.

 

 

 

Lewat perjalanan dua tokohnya yang amat berseberangan, film ini menjelma menjadi perjalanan maskulinitas genre aksi yang dibuat dengan penuh kekonyolan. Film ini enggak mikir dua kali untuk menjadi stereotipikal, juga enggak ragu untuk menjadi lebay. Film ini meledak-ledak, tapi bukan ledakan api beneran. Yang membuatnya justru malah dapat menjadi turn-off buat sebagian penonton. Punya tujuan untuk mencapai banyak, lewat dialog dan latar yang kontemporer; tapi karena memilih untuk menjadi yang actually ia sindir, film terasa seperti going nowhere antara gagasan yang ia angkat dengan konsep aksi yang ia hadirkan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for STUBER.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian ada gak sih hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh cowok?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

KOBOY KAMPUS Review

“I certainly can’t change it by sitting on my couch..”

 

 

 

Bikin dan ngurusin sebuah negara itu enggak gampang, terutama ketika kita enggak melakukan apa-apa terhadapnya. Tapi, lucunya, justru itulah yang dilakukan oleh para koboy kampus – sebutan lawas untuk mahasiswa yang lebih senang untuk tidak langsung menembak target lulus kuliah secepatnya – di ITB era pemerintahan Soeharto.

Para ‘koboy’ ini dipimpin oleh Pidi, mahasiswa seni rupa yang berpotongan gondrong. Melihat teman angkatannya berkoar-koar orasi mengkritisi presiden, Pidi terilham suatu cara lain untuk memprotes negara. Yakni membuat negara sendiri. Terciptalah Negara Kesatuan Republik The Panasdalam, nama yang sungguh merangkul perbedaan lantaran merupakan singkatan dari Atheis, Paganisme, Nasrani, Hindu-Buddha, dan Islam. Awalnya negara yang cuma seluas ruang lukis itu – actually ruang lukis itu memang jadi lokasi negaranya – hanya memiliki penduduk sebanyak lima orang. Tapi berkat ajaran Pidi sang Imam Besar, berkat alunan lagu-lagu ciptaannya yang kocak,  berkat kehidupan kampus sebagai alternatif dari berpanas-panas di luar turun ke jalan, negara The Panasdalam dengan cepat berkembang dan menarik minat mahasiswa Indonesia untuk berpindah warga negara masuk ke sana.

Negara yang penduduknya setiap kali makan dan buang air ke luarnegeri

 

Mengenai The Panasdalam dan Pidi Baiq sendiri, aku yang lahir di luar zaman dan daerah mereka, memang tidak begitu familiar dengan mereka. Aku tahu beberapa lagunya yang lucu-lucu kayak “Jane”, “Rintihan Kuntilanak”, dan “Tragedi Segitiga Merah Maroon”, aku juga tau Pidi yang menulis Dilan. Dan cuma itulah yang aku tahu. Tapi aku bisa relate dengan kehidupan koboy kampus yang ditampilkan oleh film ini. Kalo di kampusku dulu mahasiswa-mahasiswa golongan telat lulus alias terdistraksi melulu oleh maen, pacaran, atau hal-hal absurd tak-penting tapi diyakini bisa menyelamatkan dunia ini istilahnya adalah “king of injury time specialists”, dan aku salah satu anggotanya haha.. Makanya nonton ini aku jadi seperti menertawakan diri sendiri. Kehidupan kampus tergambar terang dengan rasa nostalgia. Dialognya mengalir jujur, sejujur jailnya mahasiswa dengan segala gagasan gila dan nilai ‘liar’ mereka. Dan memang dua hal itulah yang menjadi appeal utama dari film Koboy Kampus. —oh, bagi beberapa penonton mungkin ada satu lagi; anggota JKT48.

Selain itu, aku tidak merasa peduli dengan kejadian yang muncul silih berganti sepanjang durasi. Karena subplot-subplot yang dihadirkan tidak dilandasi oleh satu gagasan yang paralel. Mereka hanya ada untuk lapangan bermain komedi. Kita tidak pernah tahu dan mengerti siapa Pidi karena film tidak mengajak kita untuk menyelami dan mengeksplorasi motivasi dan sudut pandangnya. Malahan, film seperti takut untuk memperlihatkan cela tokoh ini. Untuk memperlihatkannya sebagai manusia yang setara dengan teman-temannya. Kita diminta untuk memandangnya seperti tokoh teman-teman memandangi dirinya; penuh kagum karena Pidi begitu lucu, bijaksana, cemerlang dengan ide-ide unik. Yang bahkan tidak benar-benar menambah banyak untuk elemen negara The Panasdalam yang ia dirikan.

Film sangat mengultuskan sosok Pidi. Dia tergambarkan sebagai ‘juru selamat’ lewat fatwa-fatwa yang dicetuskannya dalam The Panasdalam. Negara tersebut didirikan sebagai bentuk perlawanan Pidi. Jika ada hadist yang menyebut untuk mengubah kemungkaran, gunakanlah tangan – jika tidak mampu maka gunakanlah lisan, dan jika tetap tak mampu gunakan hati, maka negara buatan Pidi digambarkan berada bahkan di atas hadist tersebut. Perlawanan mereka adalah perlawanan cinta damai lewat lagu. Di kampus, di rumah, di kampus lagi, dia menyanyi sepanjang waktu. Disambut oleh anggukan kepala tanda setuju dan gelak tawa ‘rakyat-rakyatnya’. Jika ditambah dengan perawakannya, Pidi tampak seperti Yesus bergitar versi hippie. Yang hanya duduk sepanjang waktu menyanyikan protes, sementara dunia tampak membaik dan tambah menyenangkan karena semakin banyak orang yang terkagum sehingga menerapkan ‘ajarannya’. Untuk menekankan hal ini, film memasang satu adegan nyanyi yang menampilkan Pidi bersinar dalam latar yang seperti awan-awan. Haleluya!

Pidi tidak menciptakan negara. Dia menciptakan agama.

 

Dan apa sih skenario? Pidi jelas jauh berada di luar – di atas – semua aturan-aturan itu. Tokoh utama film punya kaidah untuk ditulis banyak melakukan sesuatu, dalam perjalanannya harus mengorbankan sesuatu yang penting bagi dirinya, secara konstan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menentang pemikirannya, tapi tidak demikian halnya dengan Pidi. Inilah yang menyebabkan susah untuk peduli kepada tokoh ini. Karena dia hanya duduk dan bernyanyi, tak tersentuh oleh permasalahan negara dan permasalahan sosial – perkuliahan yang dihadapi oleh teman-temannya. Tentu sah-sah saja jika tokoh utama ceritamu punya dan jago dalam satu kepandaian. Bernyanyi dan bermain gitar adalah kekhususan tokoh ini – kita tidak bisa mengharapkan dia ikutan melukis. Akan tetapi tokoh utama juga harus ditulis sebagai karakter yang aktif berbuat dan ditantang oleh sesuatu. Paterson dalam film Paterson (2017), misalnya. Dia pembuat puisi – that’s what he does as a character. Namun kita tidak mati kebosanan mengikuti kisahnya karena serutin apapun hidupnya yang bekerja sebagai pengendara bus kota, Paterson secara rutin ‘ditantang’ oleh sekitar. Dia aktif bergerak, mengajak anjingnya jalan-jalan, bertemu anak kembar, busnya pecah ban. Ada perjalanan inner melingkar – yang koheren dengan outer journey – yang ia hadapi, ada pembelajaran yang berlangsung dari Paterson yang berusaha untuk membuat rutinitasnya menjadi hal-hal luar biasa yang indah ia puisikan. Journey seperti demikian absen pada Pidi. Dia tidak setuju dengan keadaan negara, dia tidak setuju dengan perlawanan dari sebagian temannya, dia membuat negara baru untuk menunjukkan beginilah seharusnya – bentuk kritisi yang ia sampaikan, tapi ia tidak melakukan apa-apa dengan negara tersebut.

Dia memperlakukan Panasdalam sebagai eskapis dari masalah karena baginya keadaan politik atau masalah kuliah itu adalah masalah luar negeri. Sementara negara yang ia bangun sudah keren. Ada masalah kecil, dia tinggal bernyanyi. Padahal kita tidak bisa mengubah dunia hanya dengan duduk saja

 

Oh boy, betapa The Panasdalam adalah negara idaman. Tidak ada konsekuensi diperlihatkan di sini. Ini semester terakhir, sementara nilai kuliahmu amburadul? Well, di tahun itu mahasiswa bisa kuliah hingga empat-belas tahun. Cerita film ini mengambil kurun dari 1995 hingga lengsernya Soeharto di 1998, dan untuk sebagian besar cerita tokoh kita sudah disebutkan dalam “semester terakhir”nya. Soal biaya? Ah, tak sekalipun tokoh kita diperlihatkan susah uang. Keluarga? Apalagi. Keluarga Pidi mendukung anaknya. Jika ada teman yang keluarganya nyuruh lulus, bagi Pidi tak jadi soal. Pacar? Patah hati hal biasa karena kita toh masih mahasiswa untuk waktu yang lama. Pidi tak tersentuh sama semua itu.

kayaknya seru ya kalo diospek sama Candil, serius!

 

Memang, film ini membangkitkan pertanyaan demi pertanyaan yang tokoh kita tak peduli untuk menjawabnya. Kenapa si Inggris nelfon ayahnya cuma untuk ngabarin dirinya diangkat jadi Duta Besar Inggris The Panasdalam. Kenapa bibir Stefhani Zamora item. Kenapa Boris bisa sampe gak pernah ketemu sama Pidi. Tapi bisa jadi memang itulah sasaran film ini. Karena mereka mempersembahkan diri sebagai komedi yang absurd. Dan sebagai komedi, dia efektif membuat penonton di dalam studioku tertawa. Tapi sesungguhnya narasi yang dihadirkan, cara berceritanya, film ini lebih cocok sebagai sebuah buku novel – atau mungkin komik, yang tidak perlu (mau) terkait oleh kaidah-kaidah penceritaan.

 

 

 

Menonton negara fiksi dalam film ini seperti menyaksikan sebuah cult/sekte cinta damai yang berkembang menjadi sesuatu yang absurd. Harmless, tapi juga pointless. Seperti ceritanya yang berkembang tak jelas arah. Jika kalian berharap akan tahu siapa Pidi dengan menonton ini, kita tidak akan mendapat banyak selain dia adalah sosok pemimpin paling ideal yang bisa diimpikan seseorang yang pengen negaranya maju. Generasi tua bisa nyaksikan ini untuk unsur nostalgia. Generasi yang lebih muda bisa hadir untuk lebih banyak dialog ringan namun gemes seperti yang dijumpai pada dua film Dilan. Tapi jika kalian pengen film yang beneran kayak film, maka aku gambarin kalo aku sendiri merasa menyesal enggak titip absen aja pas acara nonton bareng film ini tadi.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for KOBOY KAMPUS.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Mahasiswa seperti apakah kalian dulu?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

IQRO: MY UNIVERSE Review

“Finding a better way to live”

 

 

Semesta film Iqro: My Universe tampak seperti tempat yang lebih-baik untuk ditinggali. The girls here are kickin’ ass in a science fair! Periode cerita ini berlangsung memang tidak gamblang disebutkan, tapi kita semua bisa berharap dunia tempat tinggal Aqilla adalah masa depan yang baik yang enggak jauh-jauh amat dari dunia kita sekarang. Kenapa aku bilang masa depan? Karena di film ini kita melihat ilmu pengetahuan dan agama berjalan saling bersisian, saling dukung mendukung. Tidak ada yang ribut mempermasalahkan bentrokan ilmu agama dengan sains di lingkungan Aqilla. Sah-sah saja untuk anak perempuan, berhijab, pengen menjadi astronot. Aqilla tidak dicurigai pengen bikin bom ketika membuat roket. It seems like a perfect place to live.

Tapi sepengetahuan Aqilla, Bumi semakin rusak. Lewat narasi ia menceritakan keinginannya untuk menemukan planet hunian baru, yang lebih baik, supaya semua orang bisa pindah ke sana. Makanya Aqilla getol banget pengen jadi astronot beneran. Ia percaya dengan pindah, maka hidup akan menjadi lebih baik. Begitu ia menemukan lomba vlog berhadiah kunjungan ke pusat pelatihan astronot, Aqilla langsung semangat untuk ikutan. Tapi opa (kakek) Aqilla yang menginspirasinya menjadi astronot, tidak bisa diajak bikin vlog sebab beliau pindah bertugas ke Inggris. Hanya ada satu cara lagi supaya Aqilla bisa terpilih. Yakni membuat vlog bersama astronot wanita Indonesia, Tsurayya. Aqilla bekerja keras supaya mendapat approval dari Tsurayya, hingga berdampak ke prestasinya sekolah. Aqilla tidak peduli. Dia harus menang supaya impiannya jadi astronot yang menemukan tempat tinggal baru bisa terwujud, sekaligus mengalahkan saingannya di sekolah. Cita-cita memang harus tinggi, tapi Aqilla terlalu sibuk sama hal-hal yang jauh di atas, sehingga melupakan hal yang lebih penting, yang berada lebih dekat di darat.

Aku enggak nonton film Iqro yang pertama, tapi kupikir film itu pastilah banyak diminati sehingga cerita anak-anak ini dibuatkan sekuelnya. Dan dari apa yang kulihat pada film kedua ini, Iqro bisa jadi memang semesta khusus film-film yang baik. Film ini akan mengajarkan kepada anak-anak seperti Aqilla untuk berani mengejar cita-cita. Iqro: My Universe juga bekerja dalam level spiritual alias rohani, karena apa yang tampak di luar sebagai cerita anak yang ingin menjadi astronot supaya bisa mencari planet yang lebih baik sebenarnya berbicara tentang fenomena khas yang relevan dengan pemeluk agama Islam sekarang ini; soal hijrah. Kendati begitu, film ini juga tidak serta mengekslusifkan diri. Sutradara Iqbal Alfajri membahas hijrah dalam konteks yang universal. Film simply menyebutnya sebagai pindah, dan selain Aqilla kita mendapat dua contoh kasus hijrah lagi yang paralel dan mendukung sebagai pembelajaran ‘pindah’ yang diinginkan oleh Aqilla. Pertama, subplot si opa yang pindah ke Inggris yang menurut Aqilla meninggalkan dirinya, yang kemudian si opa dihadapkan pada pilihan untuk kembali ke negara yang lebih membutuhkan atau tetap di sana. Kedua, subplot kerabat Aqilla yang baru saja pindah dari desa ke kota, yang bakal harus memilih menjadi beban ayahnya dengan belajar di pesantren atau kembali ke desa.

Aqilla harus menyadari bahwa ini bukan soal mencari tempat yang lebih baik, melainkan membuat tempat tinggal menjadi tempat yang lebih baik untuk semua orang. Yaitu dengan melakukan kebaikan yang dimulai dari perbaikan sikap diri sendiri. Karena hijrah sesungguhnya adalah pergi meninggalkan yang buruk dan mendatangi yang baik-baik.

 

ketika kau ngajakin bikin vlog dan nyuruh narsumnya megangin kamera

 

Really, Aqilla’s story is not half bad. Tentu, lapisan terluarnya ditampilkan sebagai cerita hubungan anak dengan mentor yang lebih tua, yang ‘galak’, tapi toh paling tidak hubungan utama cerita ini bertumpu pada pasangan yang tak-biasa; seorang anak dengan astronot wanita. Paling enggak, ini menceritakan dunia astronot yang tidak semua orang tau. Atau malah mau peduli untuk mencari tahu. Ada banyak hal yang mestinya bisa digali dan diintegralkan dengan gagasan cerita. Momen-momen seperti Aqilla latihan ala astronot; berjalan di dalam air, running an errand mencari benda-benda yang penting untuk penelitian antariksa. Film harusnya lebih memperbanyak soal ini. Tapi sayangnya, film seperti tidak tahu apa yang mereka punya. Tokoh Aqilla sebenarnya tergambar menarik. Dia gigih, dia punya attitude yang mungkin membuatnya tampak sengak tapi cocok dengan pembelajaran yang bakal karakternya dapatkan. Aqilla kabur dari rumah, bohong sama ibu, hanya supaya bisa ketemuan sama Bu Tsurayya – padahal ini ceritanya lagi bulan puasa loh. Aku dulu waktu kecil sempat bercita-cita jadi astronot, dan melihat Aqilla di film ini aku malu sendiri tidak benar-benar serius mengejar cita-cita tersebut. Aisha Nurra Datau yang memerankannya juga gak ancur aktingnya. Dia seharusnya bisa menjadi salah satu ikon anak-anak jaman now. Pembuat film yang lebih kompeten akan mengeksplorasi relasi Aqilla dan Tsurayya habis-habisan, menantang Aisha untuk beradu akting dengan Maudy Koesnaedi dalam level yang berbeda.

Tapi film ini tidak melakukan apa-apa terhadap keunikan yang ia punya. Latar bulan puasa, budaya rohani tidak pernah benar-benar dicuatkan. Kita hanya melihat mereka berbuka dan makan sahur. Dan sesekali mengaji. Menyebutkan ayat-ayat yang dijadikan sumber perkembangan ilmu pengetahuan. Itupun dilakukan dengan paparan semata. Tidak ada arahan yang spesial digunakan untuk mengakomodir cerita yang unik ini.

Mentang-mentang judulnya Iqro (sepertinya lebih mengacu kepada kitab yang dibaca anak-anak pengajian alih-alih kata Iqra yang berarti bacalah), film ini diceritakan dengan sangat tekstual. Formula cerita dimainkan dengan standar; sedikit nilai plus ketika film berusaha semaksimal mungkin mengaitkan subplot-subplot – namun plot utama si Aqilla benar-benar biasa. Seperti membaca buku cetak pelajaran. Pengetahuan dan keilmuan astronot disebut begitu saja. Bayangkan melihat anak yang bersemangat berinteraksi dengan mentor yang sok cuek; seharusnya bisa mengasyikkan. Akan tetapi film malah memberi mereka dialog tentang penjelasan kegunaan bunga Chrysantemum dan zat-zat kimia. Jadinya membosankan. Dialog film ini memang sangat parah. Hampir seperti penulisnya tidak tahu bagaimana cara merangkai dialog yang menarik. Dialog dalam film sebaiknya – SEHARUSNYA – hanya digunakan antara untuk memajukan plot atau untuk menunjukkan karakter. Dialog dalam film ini jarang sekali berfungsi seperti demikian.

saking biasanya nonton film ini rasanya kayak naik roller coaster yang tak mampu membuat kita berteriak

 

Terlalu banyak dialog yang berisi eksposisi alias penjelasan yang enggak penting karena kita semua sudah tahu. Kayak dialog papa Aqilla menjelaskan ke mama soal pencurian barang-barang di museum. Literally yang diucapkan papa adalah ringkasan apa yang sudah kita lihat di adegan sebelumnya. Sungguh adegan yang mubazir. Kita sudah tahu apa yang terjadi, masing-masing kita sudah melihat kejadiannya dengan mata kepala sendiri, I mean, anak kecil yang nonton juga pasti ngerti sama kejadian tersebut – siapa yang bersalah, siapa yang nolongin, siapa yang enggak sengaja terlibat. Jadi kenapa harus ada dialog yang menginfokan rangkuman kejadian tersebut. Ini yang penonton kita apa mamanya Aqilla. Di menjelang pertengahan ada yang lebih parah dari itu. Aqilla buka puasa ke rumah kakaknya, mereka bertemu untuk pertama kalinya, dan dialog yang dimainkan oleh dua tokoh ini adalah… Aqilla menceritakan ulang semua kejadian yang sudah kita tonton hingga di titik itu. Ikut lomba vlog, opanya pergi ke Inggris, dia berusaha minta vlog kepada Tsurayya, empat puluh lima menit kejadian yang sudah kita saksikan dirangkum dalam percakapan Aqilla dengan kakaknya.

Ini juga menunjukkan betapa uselessnya tokoh Kak Raudah yang diperankan oleh finalis Gadsam Adhitya Putri. Dan dia bukan satu-satunya tokoh tak-berguna dalam film ini, yang ‘tugas’ mereka cuma nyampein satu ayat atau ngasih satu benda, dan kemudian hilang hingga akhir cerita. Menjelang tamat, kan ceritanya hari raya tuh, nah bahkan tokoh-tokoh ini gak muncul lagi ikut merayakan lebaran bersama Aqilla. Aku mengerti bahwa mungkin tokoh-tokoh tersebut ‘penting’ karena punya peran di film pertama, tapi ya jangan dipaksain muncul juga kalo gak mampu memberikan banyak fungsi untuk mereka. Pastilah ada cara yang lebih baik, sehubungan dengan pemanfaatan karakter, untuk ngasih Aqilla satu benda atau satu informasi. Cerita ini sebenarnya mampu berdiri sendiri, hanya saja film memilih untuk membuatnya tak-lepas dari film yang pertama dengan tetap memasukkan tokoh-tokoh yang sebenarnya tak penting.

 

 

 

Sungguh berat rasanya buatku menulis ulasan ini, karena filmnya sendiri sebenarnya tergolong film yang bergagasan baik. Yang punya nilai untuk ditonton oleh anak-anak dan keluarga. Tapi penggarapannya sangat standar. This movie was so text-book, it barely has a soul. Kualitas penulisannya di bawah rata-rata. Banyak karakter tapi dialognya hanya berupa eksposisi dan rangkuman kejadian. Sehingga mereka semua jadi mubazir tidak berguna. Film ini bicara tentang tidaklah apa-apa untuk berusaha menggapai bintang setinggi-tingginya, planet kalo perlu, sayangnya dirinya sendiri tidak bertindak sesuai dengan prinsip tersebut. Film ini membidik rendah, tidak meroket ke angkasa.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for IQRO: MY UNIVERSE.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana sih pandangan kalian tentang hijrah? Apa pendapat kalian tentang tren hijrah yang marak dewasa ini?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

DUA GARIS BIRU Review

“… the true test is in how you handle things after those decisions have been made.”

 

 

Untuk banyak wanita, kehamilan dapat mendatangkan banyak kebahagian. Menyadari bahwa di dalam diri sedang berlangsung suatu keajaiban tak pelak membuat wanita  – dan seharusnya para lelaki juga – lebih mengapresiasi hidup. Tapi tentu saja, kehamilan bisa juga menjadi sebuah tantangan. Membuat beberapa wanita cemas dan takut. Sebab kehamilan berarti suatu perubahan besar-besaran. Baik itu secara fisik maupun secara mental. Dibutuhkan persiapan yang luar biasa matang dan dewasa untuk menjadi seorang ibu. Terlebih untuk wanita seusia Dara, yang sebenarnya – kalo kata Britney Spears masih “..not a girl, not yet a woman”

Dara termasuk murid pintar di SMA-nya. Nilai Dara paling tinggi di antara teman-teman sekelas. Dara yang penggemar berat segala hal berbau kekoreaan punya cita-cita untuk melanjutkan pendidikan dan mengejar karir di negara tersebut. Tapi suatu hari, Dara dan sahabat dekatnya – Bima – berhubungan terlalu ‘dekat’. Dua garis yang kemudian mereka lihat pada tespek memberi peringatan bahwa hidup mereka sebagai pelajar akan segera berakhir. Dara dan Bima setuju untuk mempertahankan bayi yang dikandung. Mereka bermaksud merahasiakan peristiwa itu dari keluarga mereka. Tentu saja hanya masalah waktu sebelum buntelan kebohongan itu ketahuan. Drama tuntutan tanggungjawab pun tak dapat terhindarkan. Dan mimpi Dara ke Korea tampak semakin menjauh dari jangkauannya.

Dibaca dari sinopsisnya, Dua Garis Biru ini mirip seperti cerita For Keeps? (1988), film komedi-romantis si Ratu Film Remaja 80an Molly Ringwald. Pun permasalahan yang dihadapi Dara dan Bima ini ada kemiripan dengan Jenny, Juno (2005), film yang beneran berasal dari Korea. Namun, ada perbedaan kultur sosial yang nyata-nyata membuat ketiga film tersebut menjadi totally berbeda. Amerika, Korea, dan Indonesia jelas berbeda. Dua Garis Biru dengan kuat menggambarkan keadaan dan katakanlah sanksi sosial yang bisa merundungi, bukan hanya remaja seperti Dara dan Bima, melainkan juga keluarga mereka. Karena banyak norma yang dilanggar. Penggambaran hal tersebut membuat cerita film ini sedikit berbeda. Dua Garis Biru bahkan bukan film Indonesia pertama yang membahas persoalan kehamilan remaja. Tapi tetap saja film ini terasa unik dan segar sebab sutradaranya; Gina S. Noer memberikan pandangan yang sangat personal – sebagai wanita, yang berkaitan dengan sudut pandang dan pilihan penting yang diambil oleh tokoh film di akhir cerita.

Peter Parker galau karena mendadak mikul tanggungjawab superhero? Pfffttt.. tanggungjawab kita lebih berat!

 

 

Yang sudah pernah menyaksikan review Dua Garis Biru di channel Oblounge FFB (klik di sini untuk menonton) pasti tahu betapa aku dan dua temanku sangat terkagum-kagum oleh kuatnya sudut pandang wanita yang dikuarkan oleh sutradara sekaligus penulis Gina S. Noer. Ada banyak adegan yang dimainkan begitu berbeda sehingga aku saat menontonnya dapat banyak kejutan-kejutan kecil. Adegan yang biasanya bakal berakhir dengan berantem jika dibuat oleh sudut pandang lelaki, di film ini jadinya sedikit lain. Berantem juga, tapi dalam tanda kutip, tidak seperti yang kita kira.

Drama dalam film ini dapat menjadi sangat emosional. Terutama ketika cerita sudah mulai mengikutsertakan keluarga dari pihak Dara dan Bima. Film enggak mengelak dari menampilkan betapa ‘kacaunya’ keadaan bisa terjadi jika punya bayi saat kalian masih seumuran Dara dan Bima. Dalam nada tertingginya, film mengangkat pertanyaan seputar standar keberhasilan suatu rumah tangga, seberapa siap seseorang untuk menjadi orangtua. Bahkan orangtua dalam film ini juga merasa bersalah, bahwa fakta anaknya hamil adalah tanda kegagalan dia sebagai orangtua. Noer selalu punya cara untuk menangkap luapan-luapan emosi itu ke dalam kamera, masing-masingnya terasa segar dan unik. Enggak melulu konfrontasi suara secara langsung. Kadang secara simbolik seperti Dara yang membayangkan janinnya sebagai buah strawberry. Dara yang memandang dirinya di cermin saat kesulitan memakai outfit yang ia beli bersama teman-temannya. Salah satu adegan simbolik penting Dara mengambil keputusan adalah saat ia melihat, dan kemudian memimpikan/membayangkan, ondel-ondel. Aku pikir aku tidak perlu menjelaskan keparalelan dirinya dengan ondel-ondel yang menyadarkan Dara tentang keadaannya.

Kita tidak bisa menyudahi pembicaraan tentang adegan penting Dua Garis Biru tanpa menyebut adegan di UKS sekolah Dara dan Bima. This single six-minutes scene is so powerful, dan membuatku menantikan apa lagi yang bisa dibuat oleh Gina S. Noer. Menginspirasi sekali gimana dalam debut sutradara, seorang penulis mampu menggarap adegan sesulit ini. Adegan UKS ini kuat oleh emosi, ini adalah ketika semua orang mengetahui kehamilan Dara, dan semua karakter-karakter faktor berkumpul di sini. Bereaksi. Beraksi. Kamera menangkap semuanya dalam satu take yang panjang, tanpa putus. Seperti kerja Akira Kurosawa; adegan tersebut punya depth yang luar biasa. Hal-hal terjadi kontinu di depan, di belakang, di luar ruangan. Pergerakan kamera sangat mulus, fokusnya bergeser mengarahkan perhatian kita kepada hal penting yang terjadi sehingga kita tidak tersesat mengikuti kejadian di dalam sana.

Dan semua orang di film ini memberikan penampilan akting yang sangat emosional. Cut Mini sebagai ibu dari Bima bahkan berhasil menyampaikan semuanya, mulai dari emosi yang dalam diam hingga benar-benar meledak. Untuk dua remaja pemain utama, Adhisty Zara alias ZaraJKT48 dan Angga Yunanda, jelas sekali ini adalah penampilan terbaik yang pernah mereka suguhkan sepanjang karir mereka yang juga masih muda belia. Masih banyak ruang dan kesempatan untuk menjadi lebih bagus lagi bagi mereka berdua. Zara dan Yunanda tampak natural di awal-awal, saat mereka masih anak sekolah biasa, saat cerita masih ceria. Ketika cerita mulai berat oleh emosi, terkadang pembawaan Zara masih tampak terlepas dari tokoh di sekitar, kadang yang ia ucapkan tidak konek dengan emosi yang seharusnya ditampilkan. Dara, dimainkan oleh Zara, tidak selalu tampak concern dengan keadaannya. Tapi sepertinya ini juga masalah pada naskah – yang akan segera kubahas di bawah. Begitupun dengan Yunanda. Karakter yang ia perankan, Bima, adalah yang paling ‘pendiam’ di sini. Bima menjalani kehidupan yang baru, mendadak ia menjadi ayah yang bertanggungjawab, dan masuk akal bila dia punya banyak untuk diproses, untuk dipikirkan. Terlebih di adegan awal tokoh ini memang digambarkan tidak brilian dalam urusan otak. Hanya saja terkadang, ekspresi Bima terlalu kelihatan seperti bengong ketimbang memikirkan apa yang terjadi. Tokoh ini juga tidak diberikan motivasi personal di luar ingin benar-benar bertanggungjawab. Bima has nothing to lose oleh kejadian ini karena dia tidak tampak punya keinginan sebelum inciting incident film ini dimulai.

gak mau belajar teori, maunya langsung praktek

 

Tapinya lagi, justru di situlah permainan sudut pandang wanita yang dimiliki oleh film ini. Film sepertinya setuju bahwa dalam kasus ‘kecelakaan’ pria bukanlah korban. Cowok bukan pihak yang dirugikan. Laki-laki masih bisa bebas keluar main. Bukan laki-laki yang berkurung di kamar, membelit perut supaya tidak kelihatan membelendung. Dan bicara perut, bukan laki-laki yang menanggung berat dan ‘bahayanya’ melahirkan. Dalam kasus Dara dan Bima, film menegaskan hanya Dara yang punya mimpi. Hamil dinilai merugikan untuk pihak wanita. Inilah yang diangkat oleh sudut pandang film, yang berusaha diberikan pandangan oleh sutradara. Bahwa wanita harus selalu ‘rugi’ itu tidak benar. Bahwa hamil, atau menjadi orangtua, tidak seharusnya menjadi penghalang bagi wanita untuk mengejar mimpi. Film ingin menunjukkan bahwa jalan menuju karir itu masih ada, dan satu-satunya cara untuk mencapainya adalah membuat keputusan untuk mengejar.

Menjadi dewasa dan bertanggungjawab bukan berarti tidak melakukan kesalahan. Setiap orang senantiasa pernah melakukan kesalahan di dalam hidupnya, persoalannya adalah bagaimana kita menangani keputusan yang sudah dibuat sebagai pertanggungjawaban dari kesalahan tersebut. Dara dan Bima memilih menjadi orangtua muda. Hidup mereka menjadi tak lagi sama, dan baru di saat itulah kedewasaan mereka benar-benar diuji

 

Dengan gagasan tersebut, maka film ini sepertinya perlu untuk ditonton oleh remaja dengan bimbingan orangtua. Malahan menurutku film ini wajib disaksikan oleh orangtua. Karena film mengajarkan untuk mengambil tindakan mana yang diperlukan. Kehamilan remaja merupakan hal nyata yang perlu mendapat perhatian lebih, dan satu-satunya cara adalah dengan edukasi dan bimbingan. Pilihan yang dilakukan Dara di akhir film ini tergolong ‘berani’. Sebuah film enggak harus selalu benar di mata kebanyakan. Sebuah film boleh punya moral sendiri. Dan Dua Garis Biru, meski punya intensi yang bagus, menghadirkan suatu jawaban yang sekiranya bisa membingungkan untuk remaja seusia Dara. Butuh obrolan dan bimbingan yang lebih lanjut dari orangtua sehingga film ini bisa punya kekuatan untuk membantu pasangan yang mendapat masalah yang sama, dan bahkan juga mencegahnya dari terjadi in the first place.

Karena film ini kurang menghadirkan sense of consequences. Semuanya tampak selesai mudah. Keluarga mereka dengan cepat menjadi suportif. Bima tidak punya masalah dalam mencari kerja. Dari latar agama, sosial, budaya, bahkan pendidikan, film sesungguhnya tidak banyak menampilkan edukasi langsung. Tentu, ada percakapan mengenai apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan, bagaimana pasangan ini sebaiknya dinikahkan, dan seputar masalah kesehatan. Tapi pendidikan soal tanggungjawab aftermathnya seperti ditangguhkan oleh solusi win-win yang ditawarkan oleh gagasan cerita. Film melontarkan pertanyaan demi pertanyaan yang harus dilalui oleh para tokoh. Tapi begitu semestinya mencapai bagian konsekuensi, film seperti melompati pertanyaan tersebut. Instead, film mencoba meraih suatu kompromi supaya semuanya tampak adil. Gue udah ‘terkurung’ sembilan bulan, dan sekarang giliran elu untuk melaksanakan tanggungjawab. Dua Garis Biru memperlihatkan situasi real yang bisa hadir dalam situasi seperti yang dialami oleh Dara, Bima, dan keluarga mereka, tanpa benar-benar menampilkan penyelesaian. Semuanya kompromi begitu saja. In a way, film ini sungguh-sungguh seperti cewek. Kadang emosional, dan berikutnya selesai. Kemudian emosional lagi untuk hal yang lain. Selesai lagi. Ada satu adegan intens saat Dara dan Bima ‘ribut’ sehingga Bima pulang ke rumahnya. Dan adegan berikutnya adalah mereka lagi bersama-sama di rumah sakit, mendengar Asri Welas melucu. Di adegan setelah itu baru mereka ‘ribut’ lagi. Kayak mood-swing cewek.

 

 

 

Pengarahan dengan sudut pandang yang kuat membuat cerita ini menjadi segar dengan banyak kejutan-kejutan kecil. Film menggambarkan konflik demi konflik yang real dalam berbagai cara yang unik. Banyak pertanyaan seputar masalah kehamilan remaja yang diangkat sepanjang cerita. Film memilih untuk tidak benar-benar membahas apa itu kehamilan, bagaimana terjadinya, edukasi di sini berupa gambaran besar. Film lebih ke memperlihatkan situasi yang benar-benar bisa terjadi dan bagaimana orangtua dan keluarga menanggapinya. Yang bisa saja bakal jadi pelajaran yang lebih efektif. I would like to see more tokoh-tokoh film ini mengarungi hari dan konflik yang muncul lebih organik, ketimbang seperti lompat-lompat antara gambaran dampak satu ke dampak lain. Karena pace cerita agak keteteran dibuatnya. Film dimulai dengan cepat, dan pada pertengahan seperti berjalan gitu aja oleh banyaknya pertanyaan yang diangkat silih berganti. Ada lebih dari satu kali aku menyangka ceritanya sudah akan berakhir, namun ternyata masih berlanjut. Sebenarnya film ini bisa lebih nendang dan berani lagi, dengan memadatkan dan lebih menonjolkan motivasi karakter Dara. Tapi setelah semua ekuasi, dua garis film ini toh tidak menyambung membentuk sebuah negatif.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for DUA GARIS BIRU.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Setujukah kalian dengan keputusan yang diambil oleh film terkait pilihan tokoh Dara? Apakah menurut kalian film ini bisa memancing kontroversi?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

PARASITE Review

“… one must climb the ladder from the first step.”

 

 

Kecerdasaan tidak ada hubungannya dengan kekayaan. Jenius matematika enggak lantas membuat kita kaya. Pun, punya duit banyak bukan berarti jaminan seseorang berarti cerdas luar biasa. Engkau bisa saja punya duit bermilyar-milyar namun tetap tertipu oleh seseorang licik yang bahkan tidak punya buku tabungan. Thriller drama keluarga terbaru dari Joon-ho Bong membahas anekdot tersebut, tentu saja dengan nada komedi yang membuat kita tertawa, hingga kita menyadari ini sesungguhnya adalah gambaran menyedihkan yang begitu dekat dan relevan tentang betapa bodohnya kita dalam memandang perbedaan kelas sosial.

Parasit itu adalah keluarga miskin seperti keluarga Ki-taek; empat orang usia-kerja namun tak berpekerjaan selain melipat kotak-kotak pizza saat wi-fi gratis yang mereka tebengi dikunci oleh password. Mereka tinggal di rumah berserangga bau yang letaknya nyaris di bawah tanah. Pemandangan dari jendela mereka adalah kerikil di jalanan, yang akan segera dikencingi oleh seorang pemabuk. Jika mereka bilang mereka berjuang, kita certainly tidak melihatnya. Paling tidak, bukan berjuang dengan cara yang benar. Padahal mereka bukan orang tak ber-skill. Nyonya Ki-taek adalah mantan atlet lempar peluru. Putri bungsu Ki-Taek berbakat di bidang seni. Dan putra sulungnya, meskipun tidak bisa lanjut kuliah, punya kemampuan bahasa Inggris yang sejajar dengan tingkat universitas. Kemampuan bahasa inggris itulah yang kemudian menjadi pintu kesempatan. Putra Ki-taek ditunjuk untuk menggantikan temannya sebagai guru privat di rumah keluarga kaya. Rumah yang tamannya ada di atas. Bagai gula dirubung semut, keluarga kaya itu lantas jadi inceran keluarga Ki-taek; yang menggunakan segala daya upaya (alias tipu muslihat) supaya seluruh anggota keluarga bisa bekerja di sana.

cerita home invasions dan squatters mengerikan karena, siapa sih yang mau diserang di tempat kita buang air paling nyaman?

 

Celetukan sosial bukan ranah asing buat sutradara Bong. Dia sudah pernah menempatkan kita di sudut pandang orang kecil yang berjuang melawan penguasa demi kesejahteraan lewat Snowpiercer (2013) yang punya dunia unik; ‘negara’ dalam cerita itu adalah literally kereta api yang berjalan tanpa henti. However, dalam Parasite, kita ditempatkan dalam posisi yang tak-biasa. Di film ini kita diminta untuk bergerak bersama ‘orang kecil’ yang berjuang supaya hidup enak dengan mengambil cara kriminal. Ada sekuen rinci yang memperlihatkan rencana penipuan yang dilakukan oleh protagonis kita. Yang kita lihat jelas-jelas salah, tapi kita tetap peduli dan mengkhawatirkan rencana tersebut – kita tetap ingin para tokoh miskin itu berhasil. Malahan kita akan bareng-bareng menertawakan kebegoan orang kaya yang dengan gampang tertipu oleh embel-embel “dari Amerika.” Ketika cerita berubah menjadi violent, emosi yang kita rasakan kepada tokohnya pun tidak berubah. Malah berlipat lebih kuat. Film mencoba membuat kejadian berdarah itu masih punya hati. Sehingga kita menyayangkan peristiwa yang terjadi.

Semua itu bisa saja bentuk sindiran Bong kepada negara. Pemilik rumah gedong yang ‘disatroni’ oleh keluarga Ki-taek bisa jadi adalah perlambangan dari pemerintah yang lebih memperhatikan dunia internasional dibandingkan rakyat jelatanya. Standar yang begitu tinggi ditetapkan sehingga untuk membantu orang pun, si petinggi itu milih-milih. Tapi ini semuapun sejatinya sudah pernah dibahas oleh Bong dalam The Host (2006), dengan lebih blak-blakan pula dalam upaya mengingatkan induk semang alias negara yang semestinya melindungi warganya tanpa pandang bulu. Parasite, bagaimanapun juga, adalah lebih tentang para rakyat itu. Membalut ceritanya dalam subgenre horor ‘home invasions’ yang ditubrukkan dengan satu lagi subgenre horor yakni ‘squatters’ (semacam home invasions tapi ancaman datang dari dalam rumah) tidak lain tidak bukan adalah cara film untuk menyuarakan kengerian ketika rakyat menyerang rumahnya sendiri. Yang ditekankan oleh cerita kali ini adalah bagaimana penduduk miskin rela bunuh-bunuhan demi memperebutkan remah-remah kekayaan. Makanya menonton ini terasa miris. Melihat keluarga Ki-taek dan satu keluarga lagi yang jadi kejutan di pertengahan cerita, membuat kita sadar bahwa mereka semestinya tidak melakukan itu, tapi mereka pikir harus begitu.

Dunia mungkin tampak terbalik. Bagaimana mungkin orang yang sukses ternyata tidak lebih pintar daripada kita? Sebagian orang mungkin akan menuding privilege. Atau mungkin nyalahin presiden. Jika rumah adalah negara, maka kita harusnya turut menjaga dan memeliharanya. Daripada memutar otak untuk terus dijamu dan jadi freeloader, sebaiknya kita mulai berpikir apa yang bisa kita lakukan untuk membuat rumah semakin nyaman ditinggali.

 

 

Rumah di bawah tanah dan hunian di lantai atas, orang kaya yang bego dan orang miskin yang cerdik, semua itu tentu saja ada maknanya. Bong ingin menunjukkan kepada kita bahwa satu-satunya pembeda antara si kaya dan si miskin – antara konglomerat dan melarat – bukan pada kecerdasan, bukan pada kesempatan, melainkan pada letaknya. Atas dan bawah yang sebenarnya terhubung oleh tangga. Tinggal menaiki tangga itulah yang menjadi soal. Tapi terkadang, orang untuk naik tangga aja males. Dan orang males ‘keunggulannya’ adalah pikirannya bisa lebih ‘cerdas’, kayak keluarga Ki-taek di film ini. Mereka mau bekerja, tapi hanya jika mereka bisa menyedot keuntungan darinya, dengan cara yang cepat. Ada yang lompat-lompat dari satu anak tangga ke dua anak tangga di atasnya. Ada yang berusaha mencari jalan naik yang lebih gampang. Tapi tentu saja resikonya besar. Bahkan yang hati-hati naik tangga saja bisa terpeleset dan jatuh.

Hanya ada satu cara untuk ke atas. Hanya ada satu cara untuk jadi sukses, kaya, atau makmur. Berusaha dengan giat. Bekerja dengan benar. Jangan ambil jalan pintas. Jangan anggap kesuksesan sebagai sesuatu yang harus dicurangi. Jika mengkehendaki sesuatu, kita harus mengusahakannya. 

 

Terpeleset di tangga actually dijadikan poin penggerak di dalam cerita. Kita melihat beberapa kali para tokoh ‘gagal’ mempertahankan posisi mereka di tangga, karena mereka tidak mengambil langkah yang benar. Di ending film, menaiki tangga  ditekankan kembali sebagai jalan keluar yang disadari oleh tokoh utama cerita. Yang lantas membuat kita ikut menghela napas, ah seandainya dari awal mereka begitu. Di sisi lain, gerak-maju narasi dalam film ini tampak terlalu penting untuk dimulai oleh adegan terjatuh di tangga yang membuatnya tampak sebagai kebetulan. Filosofi tangga dan pentingnya adegan tersebut kita bisa paham. Namun, membuat film ini sendiri menjadi terlalu fantastical. Membuatnya tampak konyol, malah. Dan ketika satu tokoh mengulangi kesalahan yang sama, jadinya annoying. Kita punya bangunan cerita yang kuat, dengan tokoh-tokoh unik yang membuat kita peduli, tapi cerita butuh untuk orang berdiri menguping di atas tangga dan kemudian terjatuh begitu saja; agak kurang memuaskan, dan ya, memaksa.

sudah jatuh, ditimpuk batu pajangan pula!

 

Tubuh besar cerita film ini memang tampak seperti terdiri dari dua bagian. Paruh pertama yang menitikberatkan kepada drama. Dan paruh kedua yang berupa sajian mendebarkan. Sekilas memang seperti kelokan yang cukup tajam, tetapi sebenarnya transformasi cerita ini sudah di-foreshadow di awal oleh kemunculan serangga-bau alias stinkbugs. Hewan ini memegang peranan cukup penting karena dia berfungsi sebagai perlambangan dan akar dari motivasi salah satu tokoh. Serangga-bau actually will come full-circle sebagai relik pada arc salah satu tokoh. Dan merupakan salah satu dari banyak elemen pada film ini yang bekerja efektif dan bertanggungjawab membuat cerita semakin menarik untuk diikuti.

 

 

 

Bermain dengan banyak tone cerita, film-film biasa akan tersandung, terjatuh bergulung-gulung menjadi satu gumpalan yang kacau. That’s not the case for this film. Dari awal hingga akhir, mata kita akan terpaut kepada adegan demi adegan. Memanfaatkan materi cerdas, permainan akting yang meyakinkan, dan kerja kamera yang membuat kita menyaksikan langsung seperti lalat yang hinggap di rumah film itu, penceritaan drama thriller ini bekerja dengan luar biasa efektif. Dia mengambil waktu, dan tidak terburu-buru mengembangkan semuanya. Demi menyampaikan gagasannya, film yang tadinya tampak manusiawi mau tak mau harus berkembang ke arah yang lebih fantastical – dalam sense edan dan di luar nalar – dengan beberapa plot poin memiliki unsur kebetulan. Bagi sebagian penonton hal tersebut dapat mengurangi kepentingan film ini, but still, film korea yang judul aslinya Gisaengchung ini adalah tontonan yang seru dari awal hingga akhir.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for PARASITE.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian, kenapa pinter tidak lantas membuat kita kaya? Apa sih yang sebenarnya membuat orang-orang miskin? Apakah karena beneran bodoh atau dibodoh-bodohi?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SPIDER-MAN: FAR FROM HOME Review

“Treated like children but expected to act like adults”

 

 

Blip – peristiwa di mana separuh penghuni Bumi lenyap oleh jentikan Thanos – mengakibatkan cukup kekacauan untuk membuat hidup sosial menjadi awkward. Yang selamat kini menjadi lima tahun lebih tua, karena waktu berjalan normal bagi mereka. Sementara orang-orang yang menjadi korban – kemudian dikembalikan oleh Hulk ke dunia dalam Avengers: Endgame (2019) – tetap di usia yang sama saat mereka menghilang meskipun seharusnya umur mereka sudah nambah lima tahun. Mereka ini yang harus menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitar yang tadinya lebih muda menjadi sebaya – atau bahkan lebih tua daripada mereka. Meskipun Spider-Man: Far from Home menggambarkannya dengan ringan dan membuat kita tertawa karena sepertinya hal tersebut tampak sangat komikal, tapi sesungguhnya dampak Blip tersebut enggak jauh-jauh amat dari yang kita duga. Blip memaksa remaja untuk menjadi lebih tua dari mereka seharusnya.

Karena remaja di dunia nyata pun menghadapi hal yang sama seperti Peter Parker, MJ, dan teman-teman setiap harinya; kecanggungan berinteraksi sosial di mana orang-orang mengharapkan mereka untuk bertindak seperti orang dewasa sekaligus masih meremehkan karena mereka dianggap masih kecil.

 

Sulitnya mengarungi hidup di masa remaja, di mana kita ingin dianggap dewasa tapi gak mau dihadapkan sama tanggungjawab orang dewasa, menjadi tema besar dalam sekuel dari Spider-Man: Homecoming (2017) garapan Jon Watts ini. Disimbolkan oleh kegalauan Peter Parker memilih prioritas hidupnya. Meskipun sudah diingatkan oleh Nick Fury bahwa dirinya sudah pernah bertempur di luar angkasa, Peter Parker masih merasa belum siap untuk menjadi pahlawan-super pembela kebenaran seperti Avengers. Seperti Tony Stark, mentor sekaligus figur ayah baginya. Mungkin sepatu besi itu memang terlalu besar untuk diisi. Atau mungkin Parker menyadari tanggungjawab pahlawan super begitu besar, dan bahkan bisa beresiko besar terhadap dirinya dan orang-orang sekitar. Yang jelas, saat study-tour bersama teman-teman sekelasnya, Parker cuma ingin satu hal. Bisa berliburan bersama M.J. Tapi trip mereka ke kota-kota di Benua Eropa somehow bertepatan dengan koordinat kemunculan monster-monster elemental. Membuat Parker harus memilih. Meneruskan hidupnya bersama teman-teman sebagai remaja yang mulai mekar rasa cinta. Atau mengemban tugas berat bersama Nick Fury dan Mysterio; seorang superhero dari dimensi lain untuk mengalahkan para monster dengan mempertaruhkan segala hal, termasuk masa remajanya tersebut.

What would Tony Stark do?

 

Seperti Homecoming, Far from Home juga bekerja terbaik sebagai film remaja. Ini udah kayak film remaja dengan topeng superhero. Kuatnya keinginan Parker terhadap M.J. sampai-sampai membuat kita bisa lupa loh kalo ini film superhero. Dan mereka berdua ini memang cute banget relationshipnya hhihi. Sutradara Jon Watts berhasil membangun elemen cinta-remaja ini sebagai fondasi yang menggerakkan sekaligus sebagai salah satu pilar cerita. Karena elemen tersebut merupakan faktor penting untuk menunjukkan kedewasaan Parker. Dan film sangat bijaksana dalam menangani proses pendewasaan ini. Parker tidak lantas dibuat sebagai si serius hanya karena dia sudah mengalami apa yang ia alami sebagai salah satu dari Avengers. Parker juga tidak digambarkan depresi atau terhanyut oleh dukanya terhadap Tony Stark. Parker dipersembahkan kepada kita sebagai cerminan remaja diri kita saat menghadapi masalah. Kita pengen bareng teman-teman. Kita pengen ‘liburan’ dari semua itu. Kita pengen menyerahkan beban itu kepada orang yang lebih dewasa. Menjadikan kita lebih takut akan kehilangan semua itu, lebih dari takut terhadap monster. Remaja punya ‘masalah penting’ sendiri, dan butuh proses untuk menyortir itu semua. Itulah yang disebut dengan pendewasaan. Dan apa yang terjadi pada Peter Parker dalam film ini menggambarkan itu semua dalam tingkatan yang lebih super, karena elemen superhero yang dimiliki oleh cerita.

Salah satu yang banyak dipertanyakan penonton pada Homecoming adalah soal Spidey yang gak punya ‘spider-sense’. Di film ini ternyata terbukti bahwa ‘spider-sense’ merupakan bagian dari proses pendewasaan si Spider-Man sendiri. Ada development yang dapat kita lihat mengenai kemampuan unik Spidey tersebut dalam film ini yang berhubungan dengan pembelajaran inner journey yang disadari oleh Peter Parker.

Makanya Tom Holland tampak sangat cocok dan nyaman bermain sebagai Peter Parker. Holland juga sedang dalam pendewasaan menjadi tokoh ini, film membuat mereka – Parker dan Holland – seperti tumbuh bersama. Sehingga kita mendapat satu karakter yang tampak benar-benar hidup. Aku sendiri gak akan punya masalah melihat Tom Holland terus memainkan Spider-Man, I mean, cukuplah gonta-ganti reboot-reboot lagi superhero yang satu ini. Lantaran mereka sepertinya sudah menemukan yang sangat pas. Chemistry awkward Holland dengan tokoh-tokoh lain juga sangat mengena. Khususnya kepada Zendaya yang menjadi MJ Aku suka banget couple ini.  Zendaya juga benar-benar cool memainkan versi karakter Mary Jane (meskipun namanya di sini adalah Michelle Jones) paling cool yang pernah aku lihat dalam film-film Spider-Man.

Di antara mencoba menarik perhatian MJ, dengan bersosialisasi bersama teman-teman, Parker juga harus beraksi memenuhi panggilan Nick Fury. Membuat film ini pun harus beranjak menggarap adegan aksi yang dipenuhi oleh efek-efek CGI yang menawan. Aksi Far from Home digarap dengan lebih intens dibandingkan film pendahulunya, kita merasakan stake, sebab Spidey di sini benar-benar digenjot untuk terus bergerak dan mengambil keputusan. Pun aksi di sini terasa lebih spesial lantaran berhubungan dengan kekuatan Mysterio. Buat penggemar komik ataupun game Spider-Man pasti sudah tahu siapa dan apa yang bisa dilakukan oleh Mysterio. Buat yang belum tahu, aku gak akan bilang banyak selain kekuatannya berhubungan dengan ilusi. Film melakukan ilusi-ilusi tersebut dengan sekuen aksi yang luar biasa. Untuk originnya sendiri, film mengambil cerita yang berbeda dengan versi komik sehingga Mysterio dalam film ini masih punya kejutan untuk para penggemarnya. Meskipun memang untuk penonton yang mengerti bagaimana film terstruktur, cerita sudah bisa tertebak. Agak sedikit obvious; mengingat Spider-Man yang ragu – malahan hampir seperti tak ingin – menjadi superhero, maka antagonis haruslah seseorang yang actually pengen dipanggil sebagai superhero. Penampilan Jake Gyllenhaal, however, membuat Mysterio karakter yang layak untuk diperhatikan, regardless. Dia membuat kita percaya, sebagaimana Mysterio membuat banyak tokoh di film ini percaya. Padahal sebenarnya banyak yang masih harus dimasukakalkan jika kita memperhatikan motivasi ataupun ke-plausible-an tindakan dan ‘cerita’ tokoh ini.

Tom Holland ada di Holland

 

Jika kita melakukan reach untuk melihat di balik keseruan menonton drama remaja superhero ini, maka sesungguhnya kita akan melihat banyak hal-hal yang patut dipertanyakan. Film menjawab itu semua dengan membuatnya sebagai komedi. Dan komedi dalam film ini memang berjalan efektif. Membuat kita tertawa. Membuat kita melupakan yang sebelumnya kita pertanyakan. Film menggunakan humor bukan hanya sebagai hiburan, melainkan juga sebagai alasan. Peristiwa Blip tadi, misalnya. Sehabis Endgame, internet meledak oleh teori-teori penonton tentang bagaimana film tersebut gagal memperlihatkan dampak pemulihan Blip terhadap kemanusiaan. Apakah Avengers masih bisa disebut sebagai pahlawan. Far from Home memberikan jawaban atas teori-teori penonton tersebut, tapi mereka tidak benar-benar menjawab melainkan ikut bermain-main dengannya. Efektif memang, kita merasa sudah terjawab dan puas oleh tertawa.

Akan ada banyak momen seperti demikian; ketika film mulai gak masuk akal dan mengalihkan perhatian kita dengan menyambungnya – dalam tingkatan tertentu mengubahnya – menjadi adegan kocak. Contoh yang paling ‘menggangguku’ adalah adegan yang melibatkan Spider-Man dengan kereta api. Film membawa kita melewati fase ini dengan cepat begitu saja saat kita diberikan aftermath yang berupa adegan komedi. Rombongan sekolah Parker juga sebenarnya hanya berfungsi sebagai transisi komedi. Mereka ada di sana, tidak pernah benar-benar berada dalam bahaya, hanya untuk melontarkan celetukan-celetukan lucu sembari menunggu untuk diselamatkan. Dan mengingat ada empat kali bencana yang mirip terjadi, maka porsi menyelamatkan mereka terasa lumayan repetitif. Malahan sedikit memaksa. Karena film harus terus memperlihatkan dua ‘habitat’ Parker ini; teman sekolah dan rekan menyelamatkan dunia.

 

 

 

Sebagai yang langsung menyambung runut kejadian Avengers: Endgame, juga sebagai film yang membungkus phase ketiga dari Marvel Cinematic Universe, film ini punya tanggung jawab besar untuk menjelaskan banyak hal. Dia memilih melaksanakan tugasnya dengan nada komedi. Komedi menjadi lebih penting lagi saat cerita remaja yang diusung harus memiliki kepentingan sebagai episode superhero. Jadi film berusaha menyeimbangkan tone cerita yang ia miliki. Untuk sebagian besar waktu, dia berhasil. Kita mendapat tontonan yang menyenangkan di atas petualangan cinta yang membuat kita gregetan. Kita terinvest ke dalam semua aspek ceritanya, tidak hanya ingin melihat Spidey beraksi. Semuanya terasa punya kepentingan sehingga menontonnya tidak bosan. Ceritanya sendiri pun terasa segar karena untuk pertama kalinya kita dapat cerita solo Spider-Man yang berlangsung di banyak tempat selain New York. Semua hal tersebut actually adalah ilusi yang dilakukan oleh film. Dan di momen-momen ketika kita ‘berkedip’, adakalanya kita melihat sesuatu yang tampak jelas disembunyikan oleh komedi dalam film ini, dan kita sadar cukup banyak yang agak maksa dalam film ini. Tapi di samping semua itu, film ini menyenangkan. Aku suka gimana mereka membuat tokoh-tokohnya berbeda dari yang kita kenal. Dan benar-benar excited setelah menyaksikan mid-credit scene film ini!
The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for SPIDER-MAN: FAR FROM HOME

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Kalimat judul ‘Far from Home’ bisa diartikan sebagai gambaran posisi Peter Parker yang sudah jauh dari remaja normal. Bahwa dia punya tanggungjawab, dan dia harus melaksanakannya. There’s no turning back. Sehubungan dengan itu, bagaimana sih pendapat kalian tentang remaja yang dituntut harus mengemban tanggung jawab orang dewasa? Haruskah?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

TOY STORY 4 Review

“It’s the broken toys that need the most love and attention”

 

 

Dalam semesta Toy Story, semua mainan bisa berbicara. Dapat bergerak sendiri, dan merasa sedih kalo tidak lagi diajak bermain oleh anak yang memiliki mereka. Karena itulah tujuan para mainan tersebut diciptakan. Dan mainan di sini ini bukan terbatas yang seperti Woody, Buzz Lightyear, Jesse, atau Rex, yang memang sebuah figur aksi, yang punya baterai, dan diprogram untuk dimainkan aja. Melainkan juga boneka porselen seperti Bo Peep yang sebenarnya hanya hiasan ruangan. Atau bahkan potongan-potongan bagian dari mainan pun bisa bergerak dan diam-diam pengen dimainkan oleh manusia.

Toy Story 4 memperkenalkan kita kepada ‘mainan’ baru. Bernama Forky, yang dibuat dari senpu (sendok-garpu) ditambah mata-mataan dan potongan ‘sampah’ lainnya. Woody menyaksikan sendiri gimana Bonnie, anak perempuan yang jadi ‘majikan’nya menciptakan Forky out of her insecurities di hari orientasi TK. Forky memang tercipta sebagai mainan hasil imajinasi anak-anak, tapi dia sendiri tidak tahu dirinya adalah mainan. Tapi bukan seperti Buzz pada film pertama yang gak sadar dirinya cuma mainan. Inilah yang membuat tokoh baru yang sebenarnya cukup annoying tersebut menarik. Karena Forky berbeda dari mainan-mainan yang sudah kita kenal. Untuk pertama kali, kita bertemu mainan yang tidak mengenali dirinya sebagai mainan. Alih-alih bermain bersama anak, insting natural Forky adalah kembali ke tempat sampah. Sikap Forky ini ‘mengganggu’ Woody. Penting bagi Woody – yang tadinya selalu berada dalam lemari karena tak-terpilih jadi teman bermain Bonnie yang lebih suka sheriff koboi cewek – untuk menjaga supaya Forky tetap berada di pelukan Bonnie. Karena ia tahu pentingnya mainan tersebut bagi Bonnie, dan juga inilah satu-satunya cara Woody bisa berguna bagi Bonnie. Jika Forky hilang kembali ke tempat sampah, itu berarti peran Woody selesai; yang berarti dia juga cepat atau lambat akan dibuang. Usaha Woody dalam mencegah semua itu terjadi membawa mereka ke sebuah petualangan yang tak-terduga. Pandangan Woody terbuka sebagaimana dia bertemu dengan berbagai mainan baru. Salah satunya adalah cengceman lamanya, si Bo Peep, yang justru tampak senang dan lebih oke sebagai mainan tanpa-pemilik.

sebelum jadi mainan aja eksistensinya udah membingungkan, sendok atau garpu

 

‘Mainan’ dalam Toy Story 4 mengandung makna yang luas. Mereka melambangkan semua hal yang dibutuhkan oleh anak-anak untuk mendapat ketentraman emosional, apapun bentuknya. Hubungan saling ketergantungan yang dapat terjadi antara mainan dan manusia digambarkan film ini seperti hubungan orangtua dan anak. Ada banyak adegan yang menekankan pada persamaan ini, seperti ketika Woody bertemu Bo Peep di taman dan secara serempak mereka melihat ke balik-balik semak-semak, saling bertanya “yang mana anakmu?”. Setiap orangtua menjadi teman bagi anak-anak mereka, hingga nanti si anak dewasa dan meninggalkan rumah. However, bagi Woody, sebenarnya perasaan tersebut berkembang menjadi lebih jauh. Woody si boneka mainan jadul dalam film ini beneran terlihat seperti kakek-kakek. Setelah pisah dengan anak-originalnya, Woody begitu ingin mengusahakan yang terbaik untuk Bonnie – yang bisa dibilang sebagai cucunya. Woody tampak seperti kakek yang begitu ikut campur, bukan hanya kepada Bonnie secara langsung, melainkan juga kepada hubungan Bonnie dengan Forky.

Bobot emosional datang terus menerus dari perjalanan Woody, bermula dari dirinya yang tak bisa ‘bersaing’ dengan mainan yang lebih baru. Status Woody sebagai mainan yang sudah tua ini paralel dengan tokoh penjahat yang dihadirkan oleh naskah. Sebuah boneka ‘susan’ di toko antik yang pengen banget punya teman anak cewek. Si boneka, Gabby Gabby, mencoba terlihat menarik bagi anak kecil. Jadi dia mengecat kembali freckles di wajahnya. Kotak suaranya yang rusak, berusaha ia ganti dengan kepunyaan Woody; usaha yang menjadi sumber ‘horor’ utama di dalam cerita. Jika dalam Toy Story 3 (2010) yang lalu kita mendapat tokoh yang sekilas baik namun ternyata jadi antagonis utama, maka film debut Josh Cooley sebagai sutradara film panjang ini kita mendapati Gabby Gabby yang tampak mengancam dengan pasukan boneka ventriloquistnya yang menyeramkan ternyata tidak seperti yang kita kira.

Seberapa jauh kita mencintai seseorang. Seberapa jauh kita melangkah untuk melindungi seseorang. Orang seperti Woody – kakek atau nenek – punya begitu banyak cinta dan kepedulian untuk dibagikan. Film meminta kepada mereka untuk melihat ke dalam hati nurani, untuk mengenali ‘mainan rusak’ sebenarnya yang harus diperbaiki. Dengan kata lain, film ingin meng-encourage kita untuk tahu kapan harus berhenti dan memusatkan perhatian kepada yang lebih membutuhkan.

 

Selain menilik lebih dalam hubungan antara Woody dengan pemiliknya – pengembangan karakter Bonnie hampir-hampir diperlakukan serupa dengan karakter Riley di Inside Out (2015) – , memparalelkan hubungan Woody dengan mainan tua lain yang sama-sama punya keinginan untuk ‘mengabdi’ kepada satu anak, film juga memberikan satu hubungan emosional lain yang menjadi roda gigi penggerak narasi. Yakni hubungan Woody dengan Bo Peep. Antara Woody dengan seseorang yang punya pandangan berbeda dengannya, yang actually menantang Woody dengan satu kemungkinan lain yang tak berani ia pikirkan selama ini. Bo Peep adalah karakter yang mendapat upgrade paling besar, dia lebih dari sekadar menjadi cewek jagoan yang mandiri – perfect heroine dalam standar Disney. Salah satu kalimat berdampak gede yang ia ucapkan kepada Woody adalah “siapa yang butuh kamar anak-anak ketika kita punya semua ini?” dengan merujuk kepada dunia luar yang luas. Dunia memang merupakan elemen kunci yang ditonjolkan oleh cerita. Sebab dengan berada di sanalah, Woody actually menyadari betapa kecilnya dia yang sebenarnya. Like, dengan melihat keluar barulah kita bisa memahami apa yang sebenarnya kita butuhkan demi diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar. Karena cerita dan para tokoh itu menantang kita untuk melihat dan mendengarkan hati nurani. Woody yang kadang menggunakan suara mainannya untuk mewakili kalimat yang ingin ia sebutkan, Buzz yang menekan tombol di dadanya untuk mendengarkan ‘nasehat’ apa yang harus ia lakukan, Gabby Gabby yang secara gamblang butuh ‘inner voice’ yang baru, semua elemen itu menggarisbawahi kepentingan elemen hati yang dibicarakan oleh film ini.

Dilihat dari tingkat keseramannya, Gabby Gabby lebih cocok bernama Annabelle

 

Begitu menakjubkan gimana dunia yang luas tersebut merangkul kita dengan begitu banyak emosi personal dari para tokohnya yang ditulis berlapis. Tentu saja semua itu tidak akan bekerja maksimal jika tidak ditunjang dengan pembangunan visual yang luar bisa menawan. Pixar sudah gak ada lawan dalam menyuguhkan gambar-gambar komputer yang tampak asli. Film ini tampak seperti foto asli, dengan gerakan-gerakan karakter yang mulus. Detil yang film ini tampilkan sangat mencengangkan. Lihat saja kilauan di kulit porselen Bo Peep, jahitan di kemeja Woody, bulu-bulu boneka dan kucing. Adegan pembuka menampilkan suasana hujan dengan air yang benar-benar tampak nyata.

Warna-warna segar juga turut datang dalam wujud tokoh-tokoh, baik itu yang baru maupun yang lama. Semua tokoh-tokoh itu punya peran yang dapat konek dengan berbagai tingkatan penonton. I mean, penonton cilik akan terhibur oleh keunikan desainnya. Humor film ini juga punya rentang yang cukup luas. Mungkin aku harus memberi peringatan bahwa humor film ini kadang cukup gelap. We do get some suicide attempts dari tokoh Forky yang pengen banget menetap di tempat sampah. Tapi digarap dengan halus dan innocent enough. Ini membuat Toy Story 4 jadi tontonan yang pas untuk semua anggota keluarga. Sementara memang lapisan emosionalnya mungkin bakal lebih terasa buat penonton dewasa yang sudah ngalamin pahitnya perpisahan. But that’s how good Pixar movies are. Mereka berani menjadi diri sendiri tanpa harus mematuhi kode-kode pasar dengan merecehkan atau terlalu mendramatisir cerita.

Banyaknya tokoh pada paruh awal cerita membuat kita merasa kurang pada beberapa penggalian seperti Woody dengan Buzz, ataupun dengan Jesse. Terkadang juga membuat cerita terasa seperti episode-episode yang sekedar bertualang bertemu orang-orang. Poin-poin adegan terasa agak ngawur, misalnya ketika Woody dan Forky sudah tinggal menyeberang jalan untuk ke trailer park tempat kendaraan keluarga Bonnie terparkir, tetapi Woody malah memilih masuk ke toko barang antik karena melihat lampu hias milik Bo Peep. Pada titik itu kita akan merasa bingung, apa pentingnya pilihan tersebut terhadap plot Woody secara keseluruhan. Bahkan hingga midpoint pun kita disuguhi backstory seorang tokoh baru yang baru kita lihat sehingga kita tidak yakin apa pengaruhnya. Tetapi semua itu, semua elemen cerita yang diperlihatkan oleh film ini, toh pada akhirnya terikat menjadi sesuatu yang memuaskan kita secara emosional. Episode-episode itu ternyata memang penting ketika kita sudah mengerti di paruh akhir ke mana arah cerita, walaupun tampak muncul random. Kalo mau bicara kekurangan, kupikir hanya soal tersebut yang bisa kupikirkan; Butuh waktu sedikit untuk mengikat semua elemennya. Selebihnya film ini seru dari awal hingga akhir.

 

 

 

Bagi yang sempat khawatir, entry keempat dari salah satu trilogi legendaris ini bisa kupastikan tidak mengecewakan. Film ini benar-benar masih punya sesuatu untuk diceritakan sebagai, katakanlah, ekstra dari film ketiga yang sungguh emosional. Ini bukan sekadar exist karena duit, ataupun karena filmnya sendiri tidak tahu kapan harus berhenti. Masih ada beberapa benang yang ingin diangkat, masih ada sudut pandang yang bisa dieksplorasi, dan film ini melakukannya dengan penuh penghormatan baik terhadap karakter-karakternya, maupun terhadap penonton yang sudah ikut tumbuh dan ‘bermain’ bersama ceritanya. Film ini sesungguhnya dapat saja berdiri sendiri, karena mereka melakukan kerja yang sangat efektif dalam melandaskan backstory terutama hubungan Woody dengan Bo Peep dan antara mainan dengan anak manusia di awal-awal cerita. Sehingga gak nonton triloginya pun bakal masih bisa menikmati dan terhanyut oleh cerita. Yang dapat menjadi dark dan lumayan emosional, tapi mungkin anak kecil tidak bakal terlalu memperhatikan ini karena visual yang menawan dan realistis (untuk standar dunia mainan).
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for TOY STORY 4

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa sebagian anak-anak susah move-on dari mainan masa kecil? Apakah itu akan mempengaruhi mereka saat sudah dewasa? Dan kenapa kakek-nenek kita begitu peduli, sehingga ada ungkapan yang bilang grandparent lebih sayang cucu ketimbang anak mereka sendiri?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

BOOKSMART Review

“You don’t learn those things in school.”

 

 

Malam menjelang acara kelulusan, dua siswi langganan nilai A merasa diri mereka paling bego sedunia akhirat. Bertahun-tahun Molly dan Amy belajar keras, gak pacaran, gak main-main, rela disebut ansos demi mempersiapkan diri di dunia perkuliahan, biar bisa masuk sekolah yang lebih baik. Well, coba tebak. Kerja keras dan ‘pengorbanan’ mereka seketika tampak sia-sia karena teman-teman sekelas mereka; yang pemalas, yang berandalan, yang selalu ngeles dari rapat OSIS, yang jarang bikin PR, ternyata juga diterima di kampus terbaik. Ada yang bakal langsung kerja di Google pula. Molly bagai mendengar petir di siang bolong! Ini seperti kau beribadah sepanjang waktu – sebisa mungkin menghindari maksiat, dan di akhirat nanti mendapati tetanggamu yang kriminal kelas kakap masuk surga juga lantaran sebelum mati dia menjadi orang gila. Perasaan missing out mendera Molly, yang lantas mengajak Amy untuk pergi berpesta gila-gilaan malam itu. Malam terakhir mereka menikmati masa-masa SMA yang indah.

Booksmart adalah PR paling berat yang harus kuselesaikan sejauh 2019 ini. Karena aku merasa kesulitan untuk menontonnya. Mungkin aku memang sudah kelewat ‘tua’, aku benci penggambaran anak remaja dalam film ini, sementara aku tahu film ini dipuji berkat gambaran remaja yang benar-benar kekinian. Aku gak suka penampilan mereka. Aku gak suka bahasa percakapan mereka. Aku gak suka musik EDM yang film ini gunakan. Buatku menonton film ini seperti menonton video dari youtuber kekinian – yang mana aku biasanya hanya menonton video mereka sampai mereka pertama kali membuka suara. Then I close it. Begitulah saat pertama kali aku berusaha nonton Booksmart. Gak sampai 20 detik, lalu kumatikan. Tapi aku pengen mereviewnya. Ini adalah bagian dari kerjaan sebagai reviewer; kau harus menonton film apapun suka atau tidak. Kita harus bisa memberikan penilaian yang objektif terhadap suatu film, terlepas dari bias selera. Jadi, besoknya aku setel lagi. I got past the crucial first-ten-minutes. I still hate it. Kumatikan. Besoknya nonton lagi dari awal. Begitu terus. Aku beneran butuh satu minggu untuk berhasil menonton film ini dari awal hingga akhir.

Dan aku bersyukur karena Booksmart adalah salah satu yang paling fresh tahun ini, serta salah satu yang paling impactful. Aku tahu Booksmart gak bakal dapet nilai subjektif .5 di belakang skor finalku nanti, tetapi secara objektif film ini memang enggak jelek. Aku bisa melihat kenapa film ini banyak disukai orang. Hubungan antartokoh-tokohnya memang gak terasa dibuat-buat, meskipun kadang lebay. Film ini punya arahan yang unik nan kuat, yang tahu betul bagaimana mengeksplorasi keliaran tanpa mengurangi hati. Booksmart benar-benar dibuat dengan sangat kompeten. Komedinya bekerja dengan cerdas. Banyak yang bilang film ini kayak versi cewek dari tokoh-tokoh film Superbad (2007). Dan ya, clearly Booksmart mendapat banyak pengaruh dari film tersebut, juga film-film remaja klasik lainnya. Olivia Wilde enggak main-main ngerjain ‘PR’nya. Aktor yang sekarang jadi sutradara ini benar-benar paham genre yang ia garap, mengerti dunia yang ia bangun, sehingga menghasilkan film yang menorehkan jejak dengan kuat pada generasi sekarang.

The power of ngerjain PR

 

Wilde memberikan cerita batasan waktu sehingga kita merasakan urgensi. Molly dan Amy hanya punya satu malam, dan kita seolah berada di sana bersama mereka berdua. Kemudian kejadian demi kejadian kocak terangkai, menjadi petualangan yang tidak pernah hadir membosankan. Entah itu berkat permainan kamera yang variatif, ataupun gaya adegan yang nekat. Pada satu titik film ini akan berubah menjadi animasi 3D dengan tokoh-tokoh kita ‘berubah’ menjadi barbie. Kejadian itu punya kepentingan dan benar-benar punya bobot ke dalam cerita. Semua yang dialami Molly dan Amy menambahkan banyak bobot ke cerita. Nilai hiburan pun terbendung dari sana. Selain hura-hura, Wilde juga bercerita dengan cukup subtil. Adegan nyebur ke air yang biasanya digunakan untuk momen kontemplasi, digebrak olehnya. Nyebur ke kolam saat pesta dalam film ini adalah perlambangan membebaskan diri dengan nyemplung ke dalam dunia sosial, dengan relevasi siapa kita dan siapa orang lain – untuk saling mengenal – dijadikan tujuan utama.

Yang diperlukan oleh Molly sebenarnya bukan kesempatan untuk gila-gilaan di pesta, merasakan gaya hidup anak SMA yang penuh hura-hura. Melainkan kesempatan untuk bersosialisasi dengan tulus, untuk menjadi teman yang sebenar-benarnya teman terhadap seluruh teman sekelasnya. Film ini punya suara  soal label sosial yang kita ciptakan sebagai pertahanan. Molly juga memandang teman-teman sekolahnya dengan dangkal, sebagaimana teman-teman Molly juga melihat dia dari persona yang ia ciptakan. Padahal mereka semua sebenarnya punya tujuan yang sama; mencoba survive dari kehidupan SMA yang menuntut. Hanya, strategi survival mereka berbeda. Harus kuakui, masalah tersebut sebenarnya sungguh relevan untuk lapisan generasi yang pernah merasakan kehidupan di lingkungan sekolah. Padahal sekolah bukan hutan. Untuk bisa survive, kita tidak musti menganggap yang lain sebagai saingan.

Sekolah bukan semata tempat untuk belajar ilmu pengetahuan dari buku. Melainkan juga untuk belajar kehidupan dari orang-orang di sekitar. Sekolah tidak akan mengajarkan cara mencintai seseorang, cara menghormati orang lain, cara jadi kaya, cara supaya enggak gagal, cara supaya bisa menghadapi kegagalan. Tetapi, sekolah memberikan kesempatan kita untuk belajar semua itu, di luar ruang kelasnya. Kita hanya perlu untuk peduli lebih banyak di luar nilai-nilai mata pelajaran.

 

Aku pun terkejut ketika mendapati aku peduli juga sama Molly dan Amy. Padahal tadinya kupikir mereka berdua ini annoying. Aku ingin mereka sukses dalam hidupnya, aku ingin mereka bahagia. Film menampilkan hubungan persahabatan kedua tokoh ini dengan sangat otentik sehingga kita merasa mereka memang sudah ada sebelum film ini dimulai, dan kehidupan mereka akan terus berlanjut di luar sana saat kredit penutp mulai bergulir. Beanie Feldstein dan Kaitlyn Dever (respectfully, memerankan Molly dan Amy) punya chemistry yang sangat natural. Dua aktor muda ini sudah cukup malang melintang di komedi – Feldstein actually adalah adik dari Jonah Hill yang main di Superbad – jadi mereka gak canggung untuk memainkan tek-tok dialog cukup panjang, dan pada sebagian besar percakapan kita bisa melihat mereka berdua melakukan improvisasi.

Penampilan mereka memberikan energi yang menghidupkan film ini. Dan Wilde cukup bijak untuk mengetahui hal tersebut dan memanfaatkan kecakapan talentnya ke dalam treatment adegan yang powerful. Adegan Molly dan Amy berantem sampe teriak-teriak itu adalah salah satu adegan terbaik dalam film ini. Wilde tahu kapan harus mematikan suara dan membiarkan ekspresi kedua pemainnya yang berteriak. Kembali kepada kesubtilan adegan yang tadi kutulis, dengan membuatnya seperti begini, Wilde berhasil mencapai adegan pertengkaran yang dramatis – yang kena ke urat emosional kita – karena kita pun mengerti di titik itu dua tokoh ini cuma meneriakkan sesuatu untuk menutupi kenyataan. Kita pun kalo udah berantem gede-gedean suara, hanya pengen teriak doang dan tak lagi (mau) peduli apa yang diucapkan oleh teman-berantem.

Hidup adalah kebalikan dari sekolah; kita di tes dulu baru kemudian dapat pelajaran yang berharga

 

Menurutku adegan berantem tersebut seharusnya dapat lebih kuat lagi jika musiknya dimatikan. Di atas, aku sudah bilang aku gak suka musik EDM dan musik kekinian lain yang dipake oleh film ini, tapi tentu aku gak bisa bilang Booksmart jelek karena aku gak suka ama genre musiknya. Itu subjektif namanya. However, penilaian objektifku soal musik Booksmart adalah film ini terlalu bergantung kepada musik. Hampir semua adegan harus ada musik latarnya. Dari penceritaan yang mereka tampilkan, sebenarnya tidak perlu lagi ada manipulasi emosi dari musik atau lagu latar. Di awal-awal, musik film ini mencapai level intrusif sebagai masuk ke editing adegan – ada adegan yang seperti diedit sedemikian rupa supaya mengikuti irama musiknya, bukan lagi musik yang mengiringi adegan.

Makanya, film ini terasa berada di tengah-tengah. Dengan pemakaian musik dan tokoh-tokoh beragam yang melakukan sesuatu yang ajaib (aku suka ‘kegilaan’ Billie Lourd, tapi karakter yang ia perankan terlalu fantastis), Booksmart tampak seperti komedi konyol yang sarat makna. Namun juga, dengan pesan yang relevan dan relatable dengan masa sekarang, kekonyolan yang ada membuat film seperti sebuah komedi keseharian yang terlalu konyol untuk jadi nyata. Status film ini seharusnya bisa diperjelas lagi. Seperti anak muda, film kayak agak kebingungan menampilkan dirinya yang sebenarnya.

 

 

 

Mulai dari sutradara hingga pemain, ada banyak bakat yang hadir di film remaja yang menyenangkan dan berpengaruh buat generasi pasanya ini. Mereka melakukan hal yang benar, menarik remaja dengan benar-benar menjadi seperti remaja. Bahkan untuk genre komedi tentang anak sekolah yang berusaha melakukan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan, film ini pun tampak unik. But as far as the storytelling goes, film ini terlalu bergantung kepada musik – sedikit terlalu berfokus kepada tampilan luar. Yang mana membuatnya tampak sedikit mengkhianati bakat-bakat yang ia punya. Tidak ada bully, penuh diversity, pemalas pun bisa dapat sekolah bagus, film ini kadang tampak bagai dongeng konyol sehingga dapat mengurangi kepentingan gagasannya.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for BOOKSMART.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Di kelas kalian termasuk geng anak belajar atau geng anak bandel yang suka main-main? Bagaimana kalian memandang ‘geng’ yang berbeda dengan kalian? Pernahkah kalian merasa marah ketika ada yang menurut kalian lebih bego ternyata lebih sukses?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

HIT & RUN Review

“… being human means we invite spectators to ponder what lies behind.”

 

 

Selayang pandang, komedi aksi Hit & Run yang disutradarai oleh Ody C. Harahap tampak seperti komentar lucu dari fenomena polisi yang semakin sering muncul (lebih tepatnya; memunculkan) diri di televisi dan sosial media. Kita sering tergelak melihat postingan video-video polisi yang berjoget di sela-sela tugasnya. Bahkan salah satu stasiun televisi ada yang nayangin reality show khusus untuk memperlihatkan seluk beluk kinerja polisi. Menontonnya tentu saja seru dan menghibur.

Trope ‘polisi narsis’ dimunculkan oleh Hit & Run di mana kita mendapat Tegar sebagai tokoh utama. Seorang polisi yang begitu cool dan jagoan, sehingga setiap kali dia beraksi – entah itu gerebek kelab malam atau melumpuhkan maling di toko swayalan – dua kamera in his command harus ada ‘menembak’ semua aksinya. Tegar (Joe Taslim mencoba bersenang-senang dalam peran utama layar lebarnya yang pertama) adalah polisi sekaligus selebriti. Judul film ini actually mengacu kepada judul reality show yang dimiliki oleh Tegar. Dua kerjaan profesional Tegar tersebut akan membawa kita ke banyak momen-momen komedi, momen-momen aksi, dan seringkali kedua momen-momen itu bercampur menjadi satu. Salah satu misi membawa Tegar bertemu dengan banyak orang, salah satunya adalah Meisa (Tatjana Saphira loh ya, bukan Tatjana Safari), seorang diva televisi yang punya ‘kehidupan in-camera’ yang sama dengan Tegar. Misi perburuan gembong narkoba yang kabur dari penjara itu semakin intens dan personal as orang-orang di sekitar Tegar yang tadinya hanya ia niatkan sebagai ‘penonton’ berangsur tertarik masuk menjadi ‘pemain’ yang membuat mereka semua dalam berada dalam jangkauan marabahaya.

Hidup adalah reality show yang sesungguhnya. Mengutip kata aktor John Cusack; bahwasanya kata ‘person’ itu berasal dari bahasa Latin yakni ‘persona’ yang artinya topeng. Kita berusaha mencari topeng yang disukai dan diapresiasi oleh publik sehingga kita nyaman berada di baliknya. Di saat yang bersamaan itu juga berarti kita sebagai manusia mengundang manusia lain untuk merenungkan apa yang ada di balik topeng-peran kita.

 

Light, Camera, Acti…Bak! Bik! Bugh! Wewwrgh!

 

Plot – yang menjadi inner persona – film ini sebenarnya enggak buruk. Tegar yang harus belajar menyadari bahwa dia boleh saja adalah bintang utama dalam reality shownya, namun reality show itu hanyalah bagian kecil dari hidupnya. Dan hidupnya sendiri juga secuil bagian dari banyak kehidupan lain yang ada di sekitarnya. Adegan pertarungan besar dengan preman narkoba yang paling jago berantem mencerminkan bahwa teman-teman Tegar bukan hanya penonton. Tegar memerlukan bantuan mereka. Tegar, setegar apapun namanya, harus mengakui kalo dia butuh orang yang mengerti dirinya di balik topeng polisi ngehits yang ia kenakan.

Inner persona film ini sayangnya, terkubur begitu dalam. Film menciptakan banyak ‘topeng-topeng’ berupa elemen-elemen penghias untuk menarik perhatian penonton. Susah memang menjual cerita original karena penonton biasanya lebih mudah tertarik dengan branding. Lebaran ini, Hit & Run bersaing dengan empat film lain yang tiga di antaranya adalah sekuel. Butuh banyak usaha, bukan saja untuk menjual cerita ini, melainkan juga untuk membuatnya terwujud menjadi film. Hit & Run tampil dengan begitu banyak hiasan yang all over the place sehingga gagasan aslinya nyaris tak kelihatan lagi. Apa yang seharusnya adalah lapisan, atau layer yang membungkus cerita, pada akhirnya hanya menjadi tempelan jika tidak berhasil dintegralkan dengan baik. Menyebabkan benturan tone cerita setiap kali film berusaha live it up to it’s unusual genre.

Hit & Run mainly tampil sebagai buddy cop komedi karena interaksi paling banyak datang dari Tegar dan ‘partner terpaksanya – seorang pemuda yang punya koneksi ke tempat-tempat yang berhubungan dengan jaringan bandar narkoba yang ia cari. Dinamika antara Tegar dengan Lio (delivery dan penampilan akting Chandra Liow adalah yang paling lemah di sini, dia annoying alih-alih kocak) tidak mampu bekerja dengan baik sebagai fondasi utama. Development tokoh Lio memang sangat kurang, kita tidak pernah percaya pada setengah hal yang diucap oleh mulutnya. Melihat Tegar memarahinya tidak menimbulkan simpati, apalagi menarik urat ketawa. Aku berbisik “bunuh, bunuh!” karena aku pengen karakter ini lenyap dan diganti oleh sidekick yang lebih menarik. Agak-agaknya film berusaha meniru chemistry antara Jackie Chan dengan Chris Tucker di Rush Hour (1998). Langkah-langkah investigasi mereka pun mirip. Bahkan ada adegan dengan musik di tape mobil yang mirip dengan adegan film tersebut. Ketinggian, memang. Jangankan Chan dan Tucker, kharisma Liow bahkan tidak mampu mengimbangi Taslim.

Tentu saja harus ada cinta-cintaan. Love interest udah jadi staple standar di film-film Indonesia yang mengincar ‘laku di pasar’. Dalam Hit & Run, however, elemen ini hadir setengah-setengah. Dengan cara yang aneh pula. Sekuen romance dalam film ini berupa Tegar main piano bernyanyi bersama Meisa. See the problem? ‘adegan’ nyanyi ditempatkan sebagai ‘sekuen’ – underdeveloped banget. Meisa harusnya diberikan lebih banyak peranan karena karakter ini yang paling mendukung inner-journey Tegar. Permainan akting Tatjana Saphira paling menonjol di sini lantaran dia harus beralternate antara berakting sebagai orang yang lagi akting sebagai penyanyi lebay yang jadi gimmicknya dengan berakting sebagai pribadi asli si penyanyi. Tatjana juga sedikit terlibat porsi aksi. Tapi film kelihatan seperti tak tahu harus melakukan apalagi buat dua tokoh ini. Seharusnya ini yang mengambil center stage.

lebih cocok jadi Hit & Miss

 

Jika kita dapat melihat ke balik topeng seseorang, maka kita akan mendapat cahaya soal siapa sebenarnya mereka. Dan jika cahaya tersebut cukup terang, pada saat itulah kita akan jatuh cinta. 

 

Ada satu, eh salah, DUA lagi hubungan penting Tegar yang ter-glossed over. Disebutkan di awal, menghilang di tengah, dan baru dibahas lagi di akhir. Yakni dengan adiknya, dan dengan si preman narkoba itu sendiri. Dua tokoh ini padahal orang yang penting dalam kehidupan Tegar. Mereka adalah alasan kenapa Tegar menjadi narsis sekaligus punya keinginan yang kuat untuk membasmi kejahatan. Drama kakak-adik yang dimiliki cerita juga sesungguhnya yang membuat film ini pantas berlaga di masa-masa lebaran; there’s a lot more tentang keluarga yang disinggung oleh film ini. Tapi semuanya disebut sekenanya saja. Pada saat preskon di Bandung, aku sempat bertanya kepada beberapa cast ‘apa sih yang mereka sukai dari karakter mereka di film ini’. Nadya Arina yang jadi adik Tegar dan Yayan Ruhian yang jadi bebuyutan Tegar tidak bisa menjawabnya karena nanti akan spoiler. That’s how bad the characterization in this film is.  Beberapa tokohnya cuma pion dalam cerita – kau penjahat, kau sandra – tidak benar-benar ada karakter.

Yang dengan antusias menjawab tentu saja adalah Joe Taslim karena tokoh Tegar menawarkan banyak hal baru untuk ia jalani.  Dia melakukan semuanya mulai dari komedi, bernarsis ria, hingga berantem yang udah jadi zona nyamannya. Satu lagi yang mengaku dan benar-benar terlihat have fun dalam film ini adalah Jefri Nichol. Aktor muda yang biasanya jadi pemain utama ini pada Hit & Run perannya gak gede-gede amat, tapi sangat berbeda. Sudah seperti satir dari peran-peran yang biasa ia mainkan. Penggemar Nichol akan melihat hal tersebut sebagai suatu appeal yang luar biasa. Karena faktor eksternal semacam demikian, film ini akan jadi dua kali lebih bekerja di mata penggemar-penggemar satuan elemennya.

Penggemar aksi tentunya akan sangat senang. Belum lama ini kita dibikin excited sama kemunculan dua ikon laga tanah air di John Wick: Chapter 3 – Parabellum (2019), dan Hit & Run bisa jadi encore yang kita minta. Sekuen aksinya sangat serius, walaupun kamera agak sedikit terlalu banyak bergoyang, kita bisa melihat porsi aksi ini digarap oleh orang-orang yang memang mengerti cara bercerita lewat adegan berantem. Aksi tak pelak adalah bagian terbaik yang dimiliki oleh film ini. Ada sense nostalgia juga; penggemar film laga pasti jejeritan menyadari ini adalah pertemuan pertama Taslim dengan Ruhian setelah The Raid delapan tahun yang lalu.

 

 

 

Pengen menghadirkan aksi serius yang bisa dinikmati oleh lebih banyak kalangan, film menampilkan komedi yang lebih banyak miss ketimbang hit dan adegan laga yang hits hard! Punya materi yang menarik, tapi eksekusinya menyerempet di bawah standar. Film berusaha menutupi dengan membuat ceritanya berlapis. Memasukkan terlalu banyak aspek dalam upaya untuk tampil menghibur, akan tetapi tidak pernah bercampur dengan baik. Sehingga jatohnya sebagai tempelan, dan menyebabkan tone cerita amburadul. Juga kelihatannya aneh komedi dengan tokoh yang dikelilingi kamera ke mana-mana, mungkin kalo dibuat bergaya mockumentary ala What We Do in the Shadows (2014) bisa lebih maksimal kocaknya. Buddy-cop namun tema besar ceritanya tersimbol pada hubungan tokoh utama dengan penyanyi; sudah bisa lihat dong gimana kacaunya film ini. Meskipun demikian, hardcore fans dari pemain ataupun dari genrenya akan menyukai film ini lantaran banyak persona-persona aneh yang diberikan, banyak tantangan tak-biasa yang dimainkan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HIT & RUN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian narsis itu penting gak sih? Seberapa jauh kalian menempuh usaha untuk pencitraan?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

GHOST WRITER Review

“The man who kills himself kills all men.”

 

 

Datang dengan sebuah ide cemerlang kadang memang begitu melelahkan sampai-sampai kita tidak begitu saja ‘sanggup’ mengembangkannya menjadi suatu karya utuh. Sehingga kita membutuhkan penulis bayangan – ghostwriter – untuk menyelesaikannya buat kita. Dalam dunia seni dan literatur, praktek ghostwriting ini sudah lumrah. Banyak buku-buku dari pengarang terkenal yang diketahui ditulis dengan jasa penulis bayangan – yang menulis tanpa dicantumkan namanya. H.P. Lovecraft pake ghostwriter. R.L. Stine pake juga. Tom Clancy. Buku-buku autobiografi banyak yang menggunakan ghostwriter entah itu dalam penyuntingan ataupun nyaris secara keseluruhan untuk alasan yang jelas; tidak semua publik figur bisa menulis dengan literasi yang baik.

Dan sesungguhnya tidaklah memalukan untuk mengakui kita butuh pertolongan orang lain; tema penting inilah yang bekerja di balik horor komedi cerdas yang literally mereferensikan hantu beneran pada ghost dalam istilah ‘ghostwriter’.

 

Naya membawa adik cowoknya yang baru SMP tinggal di sebuah rumah tua yang harganya terlalu miring untuk ukuran rumah tersebut. It was a good deal bagi Naya yang mencari nafkah sebagai seorang penulis. Novelnya berhasil menjadi best-seller, tapi itu tiga tahun yang lalu. Dengan royalti yang semakin berkurang, Naya perlu untuk menulis cerita hits berikutnya. Ya, selain cewek pemberani, Naya juga mandiri, dan dia tidak mau untuk meminta bantuan orang lain – bahkan kepada pacarnya yang aktor sinetron kondang. Sifat enggan-minta-tolong tersebut yang menjadi fokus utama inner journey Naya dalam cerita Ghost Writer. Naya menemukan buku diari di rumah barunya yang mengerikan. Berisi kisah pilu seorang cowok yang bunuh diri karena merasa ditekan oleh orangtua yang menyalahkan dirinya karena suatu tragedi. Inilah cerita yang sekiranya dapat menyambung hidup Naya dan adiknya. But the catch is, untuk dapat menuliskannya Naya yang gak mau dibantu harus minta tolong kepada hantu pemilik buku yang ternyata masih bergentayangan di rumah itu.

aku menemukan dua referensi Scott Pilgrim gentayangan di film ini; di kaos si adek dan di poster kamarnya

 

Bagian terbaik dari film ini adalah interaksi antara Naya dengan hantu Galih. Tatjana Saphira dan Ge Pamungkas, sebelumnya juga pernah main bareng di Negeri Van Oranje (2015), terlihat sangat seru bercanda-canda berdua. Menarik sekali melihat Naya dan Galih berusaha bekerja sama menulis buku. Mereka saling kasih usul apa yang harus ditulis, apa yang tidak boleh. Juga ada peraturan dari gimana Naya bisa melihat Galih. Seperti peraturan Death Note; orang yang menyentuh diari Galih akan bisa melihat sosoknya. Peraturan ini dimainkan oleh film dengan kreatif dan menghasilkan banyak adegan kocak. Kita butuh lebih banyak interaksi antara mereka berdua. Proses menulis bukunya terasa lebih singkat dibanding porsi cerita yang lain, banyak yang digambarkan sebagai montase. Tapi memang sih, kupikir, hanya ada sedikit cara untuk memfilmkan dua orang menulis buku tanpa berlama-lama dan menjadi membosankan.

Mengusung perpaduan unholy antara horor dengan komedi, Ghost Writer benar-benar ciamik ketika dia mencoba untuk membuat kita tertawa. Ernest Prakasa yang ‘hanya’ tertulis sebagai produser di kredit agaknya jadi ghost writer juga lantaran candaan dan tektok dialog yang kita jumpai dalam cerita ini terasa gaya Ernest banget. Tentu saja dengan tidak bermaksud untuk mengecilkan peran sutradara, Bene Dion Rajagukguk. Komedi didorong olehnya bahkan lebih jauh lagi. Rasa-rasanya tidak banyak sutradara yang mampu menyisipkan teror hantu ke sekuen bathroom joke yang cukup panjang, dan membuat nyaris satu studio penonton terbahak-bahak. Benar-benar selera merakyat.

Ada sisipan candaan obrolan tokoh yang diperankan oleh Arie Kriting dan Muhadkly Acho yang berdebat soal hantu kala menonton video-video seram di kantor mereka. Peran dan adegan mereka memang terasa seperti tempelan, meskipun ada satu percakapan yang sebenarnya memerankan peranan yang penting daripada kelihatannya. Karena mereka membahas sesuatu yang integral dengan tema besar cerita. Mereka mendebatkan soal kenapa orang yang bunuh diri kembali ke dunia sebagai hantu yang penasaran. Masalah belum tuntas apa yang ingin mereka selesaikan. Bukankah bunuh diri adalah tindak yang direncanakan, dan bunuh diri berarti dia yang mematikan dirinya sendiri. Inilah yang ingin ditekankan oleh film. Orang yang bunuh diri mati bukan salah orang lain. Malahan, justru orang yang bunuh diri sebenarnya juga ikut ‘membunuh’ orang lain. Bunuh diri adalah perbuatan yang egois. Seolah menyalahkan, memberikan hukuman kepada orang yang ditinggal. Tentu, dunia mungkin memang kejam. Dunia mungkin membully. Dunia tidak adil dan tidak perhatian. Tapi itu bukan alasan untuk menjadikan bunuh diri sebagai statement menyadarkan orang lain yang memperlakukan kita salah, atau cuek sama kita. Bunuh diri adalah ultimate form dari mengasihani diri sendiri. Tindak dramatisasi sebuah sikap pasif agresif yang sangat berlebihan. Untuk tidak membocorkan terlalu banyak; Inilah yang disadari oleh Galih, yang kemudian menjadi pendukung untuk pembelajaran karakter Naya

Tokoh-tokoh sentral dalam film ini bertindak seolah mereka tidak butuh bantuan orang lain. Bahkan ada satu tokoh yang berkata marah “aku bisa hidup sendiri, tidak butuh bantuan” padahal dua menit sebelumnya dia baru saja diselamatkan dari jepitan lemari. They act tough as statement to others as they put themselves in danger. Film ini menyuarakan pesan anti-bunuhdiri. Jangan gengsi atau malu untuk minta tolong. Apalagi kemudian bunuh diri untuk menyalahkan orang-orang terdekat yang tidak mengerti bahasa minta tolong kita.

 

ketika kau sadar hantu adalah penulis lebih baik darimu yang hanya mampu memainkan kata ‘rawon’ dan ‘setan’.

 

Sebagai katalis untuk horor dan komedi, digunakan drama. Backstory para hantu, dan juga Naya, mampu mengubah air mata derai tawa kita menjadi air mata sedih dan haru. Pada elemen ini film menunjukkan taringnya sebagai tontonan keluarga selama libur Lebaran. Konflik antarkarakter juga cukup efektif. Kerumitan hubungan antara Naya dengan Galih berimbas kepada hubungan Naya dengan pacarnya, film juga mengeksplorasi hal tersebut tanpa pernah tersandung masalah tone. Dari tawa, sedih, ke takut, kemudian tertawa lagi, cerita bergulir cepat dan kita berpegang kepada karakter-karakter yang udah seperti bunglon. Mampu bekerja dengan baik dalam kondisi tone cerita yang berbeda. Tapi terkadang, pergerakan ini begitu cepat sehingga cerita seperti melayang. Editing film ini kurang ketat. Beberapa adegan ada yang terasa masuk begitu saja. Ada juga yang terasa berakhir seperti terburu.

Kadang naskah tampak lebih pintar dari filmnya – aku gak ngerti apakah itu mungkin. Tapi ada pilihan yang diambil oleh film yang membuatku merasa seperti demikian. Seperti istilah ghost writer sendiri. Seharusnya Naya yang menulis cerita si hantu; tapi kalo begitu gak cocok sebagai harafiah ghost writer. Naskah menyadari hal tersebut dan membuat Galih, yang walaupun sering typo, punya diksi lebih baik dari Naya dan kita melihat sebagian besar Galih yang menulis ceritanya. Pada akhirnya penulis hantu berubah menjadi hantu penulis. Tapi bukan ghostwriter lagi dong namanya kalo si hantu nulis ceritanya sendiri. Kita tidak benar-benar dapat sense Naya adalah penulis yang baik seperti yang disebutkan. Malahan, Naya si tokoh utama nyaris menjadi hantu dalam ceritanya sendiri. Stake ekonominya juga kurang terasa menekan.

 

 

Dengan premis dan perpaduan yang menarik, film ini bakal dengan mudah disukai oleh banyak penonton. Permainan aktingnya juga menyenangkan. Naskahnya cerdas men-tackle permasalahan yang penting. Namun berceritanya; banyak elemen-elemen penting yang diceritakan dengan lepas dari bagian utama. Ada bathroom joke yang cukup panjang yang bisa jadi turn off buat sebagian penonton. Meskipun gagasan yang terkandung masih bisa kita dapatkan pdengan cukup jelas, tetep saja kita melihatnya dan berpikir ‘adegan itu seharusnya bisa difungsikan dengan lebih baik lagi’.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GHOST WRITER

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah pendapat kalian soal ‘tren’ bunuh diri yang sempat tren di media sosial beberapa waktu yang lalu? Siapa menurut kalian yang salah dalam kasus remaja di malaysia yang melompat dari lantai atas apartemen karena 60% teman di instagramnya mengevote dia untuk bunuh diri?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.