FREE GUY Review

“You just can’t let life happen to you, you have to make life happen”

 

Video game merupakan eskapis yang seru. Karena di dunia jutaan pixel tersebut, permasalahan hidup kita disederhanakan menjadi misi-misi seperti menyelamatkan putri raja, mengalahkan naga raksasa, dan mencari harta karun. Di sana, apapun yang kita lakukan, kita tetap adalah jagoan. Makanya video game itu bisa jadi sarana pelampiasan stres yang mujarab. Semuanya ada dalam kendali kita. Gagal dalam permainan video game, kita tinggal mengulang dari titik terakhir kita nge-save atau menyimpan game. Kita bisa melakukan apapun yang kita mau, practically tanpa konsekuensi. Dalam game seperti GTA, kita bahkan bisa menabrak dan menghajar karakter-karakter NPC.  Baik untuk kepuasan batin, maupun untuk reward yang memang justru diberikan jika kita melakukan hal tersebut. Semua terasa bekerja untuk membantu kita. NPC-NPC itu, para karakter yang diprogram untuk berdiri atau mondar-mandir dengan dialog yang paling cuma tiga kalimat, didesain sebagai pemberi informasi atau clue, atau malah sebagai penghias semata. Tapi bagaimana jika ada NPC yang bisa berpikir sendiri? Yang bisa naikin level sendiri. Yang actually lebih jago dari kita dalam permainan video game – dan bahkan lebih jago dalam kehidupan nyata??    

Free-Guy-Trailer-1280x720
Kecuali Megaman, tetep adalah game yang bikin hidupmu makin stress!

 

Itulah premis sci-fi lucu dari film karya Shawn Levy ini. Seorang NPC yang bikin gempar dunia pervideogamean lantaran mendadak muncul, berinteraksi dengan para pemain, melesat ke puncak rank dengan naik level melakukan misi-misi, sehingga sempat disangka sebagai ulah hacker. Tapi si Blue Shirt Guy itu bukanlah hacker di balik Skin, bukan pula anak 14 tahun yang menghabiskan kredit di kartu orangtuanya untuk beli fitur-fitur canggih. Blue Shirt Guy adalah NPC tulen. Dia hidup di dunia game Free City (game online dengan style ala Grand Theft Auto). Bekerja sebagai pegawai bank. Dia rukun dengan sesama NPC lain yang diprogram jadi penghuni kota. Masalahnya adalah gak ada satupun dari mereka yang sadar bahwa mereka cuma karakter penghias dalam sebuah video game. Blue Shirt Guy-lah yang pertama menemukan ada ‘sesuatu’ pada kota mereka yang kerap didatangi orang-orang keren berkacamatahitam untuk berbuat berbagai kerusuhan. Blue Shirt Guy actually jatuh cinta sama seorang cewek berkacamatahitam. Jadi dia melakukan apapun, termasuk melanggar aturan mengambil dan mengenakan kacamata hitam milik seseorang, supaya bisa dekat dengan si cewek. Saat memakai kacamata itulah, akhirnya Guy melihat bahwa dunia tempat tinggalnya ternyata penuh misi-misi, item-item, dan dia menyangka dia sendiri adalah pemain dari game tersembunyi itu.

Seperti Jim Carrey di The Truman Show (1998), Ryan Reynolds dalam Free Guy juga memainkan karakter berkepribadian positif, yang tampak sangat menikmati hidup, tapi gak sadar bahwa hidup yang ia jalani adalah sebuah kepalsuan. Hidup Truman hanyalah episode tayangan televisi, sementara Blue Shirt Guy cuma permainan video game. Dia bahkan bukan orang beneran. Melainkan hanya algoritma. Hanya data dalam sebuah server. Dalam sense ini, Blue Shirt Guy memang lebih naas daripada Truman. Namun itu tidak lantas berarti film Free Guy ini lebih depresif. Film ini gak kalah lucu. Dari segi penampilan komedi, Ryan Reynolds berhasil menanamkan pesonanya. Dia memang tidak seekspresif Carrey yang harus menyeimbangkan komedi fisikal dengan drama. Senjata Reynolds ada pada delivery dialog-dialog naif, dan kontras antara dialog tersebut dengan yang beneran terjadi atau dirasakannya. Reaksi pada momen tersebut, itulah kekuatan komedi Reynolds. Di Free Guy, dia juga dituntut harus seimbang antara komedi, drama, dan tentu saja aksi.

Karena setting Free Guy adalah video game, maka film ini lebih chaos jika kita membandingkannya dengan The Truman Show tadi. Elemen-elemen seperti pada video game akan banyak sekali menghiasi cerita. In fact, aksi-aksi itulah yang jadi napas utama film ini. Aksi-aksi, dengan nuansa komedi yang precise dimainkan oleh Reynolds dan para aktor lain, menjadi sajian hiburan yang kuat. Culture video game banyak ditampilkan. Meme-meme dalam dunia video game juga banyak disuguhkan. Aku ngakak ketika melihat ada karakter yang jalannya nubruk-nubruk tembok. That was me when playing video game lol. Detil game dalam film ini keren sekali.

Jika kalian bukan penggemar video game, jangan khawatir. Buat aku aja, game modern sejenis dalam cerita film ini sebenarnya aku gak relate. Aku bahkan juga gak kenal sama gamer-gamer atau streamer-streamer yang ditampilkan sebagai reference atau cameo di dalam cerita. Film ini dialog dan aksinya didesain begitu baik, sehingga kita tetap bisa menikmati. Soal referensi, memang film ini tidak bisa menghindari itu. Walaupun ini adalah cerita original yang tidak musti mirip ama satu game tertentu, tapi kebutuhan untuk menampilkan elemen-elemen video game tetap ada. Penggemar game akan bisa menebak semua, mulai dari buster MegaMan hingga ke logo Far Cry. Untungnya, video game adalah jagat yang luas. Dan ngehasilin duit. Banyak video game things yang sudah disadur ke film dan pop-culture lain. Sehingga referensi game yang muncul di film ini masih terasa universal. Ada this particular shield, ataupun pedang-laser tertentu yang semua orang kurasa bakal mengenali.

freeXkEyXkFqcGdeQXZ3ZXNsZXk@._V1_
Heronya baik karena judul filmnya Free Guy. Coba kalo Guy-nya diganti Man. Pasti jadi preman.

 

Hebatnya, referensi-referensi tersebut tidak merenggut kita dari esensi cerita. Mereka ditampilkan secukupnya, dan di samping itu, film ini memang sudah menyiapkan bukan satu, melainkan dua tema yang dieksloprasi konsisten demi mendaratkan ceritanya. Tentang cinta dan tentang kendali seseorang terhadap hidupnya sendiri. Cerita Free Guy sebenarnya bukan cuma tentang Guy seorang. Supaya bisa make sense kenapa NPC bisa jadi punya kehendak sendiri, maka film sudah menyiapkan sebab yang jadi cerita tersendiri. Di dunia nyata dalam cerita, ada dua orang kreator game; Millie dan Keys yang sobatan, yang bekerja sama mengembangkan sebuah game. Tapi perusahaan game milik Antwan (namanya Soonami, ha!) malah membuat game tembak-tembakan yang dicurigai berdasarkan kode game yang tengah mereka kembangkan. Game Antwan sukses, Free City sampai-sampai bakal ada sekuelnya, sementara game simulasi Millie dan Keys lenyap. Kedua orang ini jadi berpisah. Millie masih terus berusaha mencari game itu dengan bermain Free City, sementara Keys bekerja sebagai pegawai Antwan. Cerita Millie dan Keys, dirajut dengan baik ke dalam cerita Guy. Dua cerita inilah yang membentuk narasi utuh film Free Guy. Memuat tema dan memberi hati pada sajian hiburan yang kita saksikan.

Dalam video game, we control the live, the action of our characters. Tapi di real life, apakah kita tetap masih memegang kendali atas kehidupan sendiri? Apakah kita diprogram kepada satu tujuan tertentu? Apakah ada yang mengendalikan kita? Tentu kita lebih suka untuk berpikir bahwa kita makhluk bebas. Selain Tuhan yang menggariskan hidup, kita merasa memegang kendali penuh atas pilihan dan ragam tindakan kita. Benarkah demikian? Benarkah pilihan kita masih murni dari keinginan dan tidak ada yang mempengaruhi? Bisa juga tidak, karena saat ini dunia jadi begitu bersifat komersil. Semua yang kita lakukan seperti dimonitor untuk kepentingan perusahaan seperti Soonami berjualan. I mean, sekarang aja untuk bisa kemana-mana kita harus install satu app tertentu.

 

Muatan dua cerita tersebut kadang bikin narasi film jadi sedikit clunky. Pergantian dari Guy di video game ke dunia nyata kadang membuat ritme penceritaan harus ngerem dulu. Sutradara berusaha untuk meminimalisir ini, misalnya dengan menggunakan montase Guy naikin level dirinya sebagai jembatan, usaha yang patut untuk diapresiasi karena kita bisa melihat penempatan dan editing yang dilakukan juga sangat precise. Namun karena dunia nyata dan dunia game yang kontras, baik itu dari segi visual maupun dari segi kejadian, perasaan bahwa narasi atau ritmenya mengalami reset ke awal setiap kali pergantian tetap muncul.

Selain itu, sense siapa karakter utama juga tidak kuat. Guy tidak berikan antagonis, kecuali satu hambatan besar di penghujung cerita. Antagonis cerita ini adanya pada dunia nyata, si Antwan, yang diperankan sangat komikal oleh Taika Waititi. Karakter Antwan ini kurang lebih kayak Gavin Belson di serial Silicon Valley. Tech jenius yang juga bisnisman ‘jenius’. Maunya cuan melulu. Dia tidak peduli soal Guy yang merupakan keajaiban artificial intelligent, melainkan hanya peduli soal I.P dan Brand. Dia hanya peduli Guy selama karakter itu menguntungkan bagi gamenya. Naturally, ini selalu adalah karakter yang menarik. Sayangnya Taika Waititi memilih memainkan Antwan dengan sangat over the top. Sebenarnya ini tidak begitu masalah kalo cerita hanya di dunia nyata. Tapi karena kita juga melihat dunia video game, yang dibuat serupa dunia nyata (dengan para NPC-nya bisa berkehendak dan emotionally able), Antwan malah tampak lebih artifisial dibandingkan karakter NPCnya. Mungkin karakternya sengaja dibikin seperti itu supaya ‘menjangkau’ dua protagonis sekaligus, tapi itu pun terasa flat karena Antwan tidak pernah benar-benar berkomunikasi dengan Guy.

Ini juga jadi membuat Free Guy jadi sedikit berbeda dari Truman Show. Truman ingin keluar dari dunia reality show. Dia konfrontasi dengan ‘tuhan’ dunia tersebut. Bagi Guy, ini bukan sebatas keluar video game. There’s no way dia keluar dari video game. Dia menyebrang laut adalah untuk pindah ke dunia video game lain. Tempat di mana dia dan para karakter bisa bebas melakukan apapun yang mereka mau. Bebas menentukan jalan sendiri. Tempat yaitu game, yang memang diprogram supaya NPC bisa berkembang. Dan Guy berteman dengan ‘tuhan’ alias pencipta seisi game tersebut, termasuk dirinya. I don’t know, tapi kurasa film ini juga ternyata bermuatan spiritual. Bukan saja tentang kita-lah pemain dalam hidup sendiri, tapi ceritanya juga menunjukkan kita untuk tidak membiarkan ada orang lain yang mengatur, selain ‘program’ yang sudah diciptakan sebagai landasan untuk kita hidup. Kayak Guy, yang diprogram untuk jadi orang baik, dan tetap memilih melaksanakan tindakan baik meskipun untuk cepat naik level dia harusnya ngerampok bank dan menabrak orang-orang.

 

 

I wish film ini lebih original, karena aku sebenarnya gak segan untuk ngasih skor tinggi buat film ini. Cerita tentang video game, dengan muatan berbobot alih-alih sekadar aksi seru-seruan? Sebagai penggemar film dan video game, jelas ini adalah film impian buatku. Tapi ya, sepertinya memang susah membuat cerita tenang video game yang benar-benar lepas dari referensi video game itu sendiri. But at least, film ini tidak melakukannya dengan berlebihan. Meskipun memang referensinya ternyata luas sekali. Ceritanya aja udah kayak gabungan Truman Show, Lego Movie, Ready Player One. Tapi untungnya, film ini punya karakter yang unik dan memorable. Dengan permasalahan yang juga dekat. Tidak perlu jadi penggemar game untuk bisa menikmati sajian yang memang menghibur ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for FREE GUY.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Jadi, apakah kalian masih yakin sedang memainkan sendiri game berjudul Kehidupan sebagai player one? Atau apakah sebenarnya kita semua sedang dalam proses jadi NPC?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE SUICIDE SQUAD Review

“Everyone in life has a purpose”

 

The Suicide Squad dibuka dengan sebuah swerve. Dan kemudian untuk menit-menit seterusnya, hingga durasi kelar, sutradara dan penulis naskah James Gunn benar-benar mendedikasikan seluruh urat bersenang-senang dan denyut kreatif yang ada dalam hati dan kepalanya untuk menjadikan film serupa wujud dari karakter-karakter di dalam ceritanya, yang bukan orang baik-baik. Karakter-karakter yang beberapa di antaranya bahkan gak cukup baik sebagai kriminal super. Tapi justru itulah poinnya. Film ini, juga bukan film baik-baik. Namun dengan mengembrace sisi ‘bad’ tersebut, Gunn berhasil mengerahkan ‘pasukannya’ ini untuk menyelesaikan misi yakni menghibur kita, para penontonnya, dengan aksi dan komedi yang benar-benar super.

Not-so-direct-sequel ini adalah kelanjutan cerita dari proyek kelompok rahasia ‘korbanin napi untuk membereskan kerjaan kotormu’ yang digagas oleh officer Amanda Waller (Mata bulat penuh rahasia Viola Davis kembali menghidupkan karakter ini). Kali ini dia punya tugas baru untuk para napi-super di dalam tahanan. Menghentikan Proyek Starfish yang misterius di Pulau Corto Maltese yang penuh oleh tentara musuh. Bloodsport (Idris Elba menggantikan Will Smith’s Deadshot) ditunjuk sebagai pemimpin – dari kelompok penjahatsuper yang aneh-aneh. Demi sang anak, Bloodsport yang mematikan dan cukup handal – dia dipenjarakan karena menembak Superman dengan peluru kryptonite – harus rela digabungin ama hewan yang ia benci, yakni tikus. Sebab tikus-tikus itu adalah ‘senjata andalan’ rekan setimnya, Ratcatcher 2 (karakter Daniela Melchior ini bersalah atas mencuri hati kita!) Supervillain lain yang dipaksakan kepada Bloodsport untuk rekan tim adalah Peacemaker (John Cena bilang karakternya adalah Captain America versi douchebag), seorang pria bersenjata polka dot (jangan ngetawain Polka-Dot Man yang dimainkan David Dasmaltchian dengan aneh-tapi-charming kayak Neil di serial komedi Inggris The Inbetweeners), dan seoran-ehm, seekor makhluk setengah hiu yang kekuatannya berupa nafsu untuk memangsa manusia (disuarakan oleh Sylvester Stallone). Oh ya, Harley Quinn yang udah semakin luwes oleh Margot Robbie juga akan bergabung bersama mereka di tengah misi, membawa lebih banyak chaos dan warna-warni.

Tim orang-orang gak beres tersebut harus patuh sama perintah Waller yang bisa meledakkan kepala mereka kapan saja dari jauh. Tapi kemudian pemahaman mereka ditantang oleh kenyataan yang mereka temukan tentang Proyek Starfish yang super fishy. Bloodsport dan rekan-rekan harus memilih apakah mereka memang orang jahat tak-berguna atau mereka bisa jadi pahlawan.

suicidemaxresdefault
Aku akan bilang kepada anak-anakku kelak, bahwa ini adalah geng Jackass

 

Tapi bukan tim Bloodsport-lah yang kita lihat pertama kali. Inilah swerve yang aku maksud di pembuka tadi. Demi pembuka yang gak boring kayak Suicide Squad tahun 2016, Gunn siap untuk melanggar banyak aturan. Gunn totally memperlihatkan kita karakter lain, membentuknya seolah itulah karakter utama, membuat dia tergabung ke dalam tim penjahat super yang kocak dan absurd, dan lantas meledakkan mereka semua begitu saja. Darah mereka dipakai untuk membentuk ejaan judul. Aku tahu, sebenarnya normal sebuah film punya sekuen prolog seperti demikian. Seperti Scream yang memperlihatkan aktor muda yang lagi naik daun kayak Drew Barrymore di awal, yang kemudian ternyata hanya untuk membunuhnya sebagai pengantar. Di The Suicide Squad ini, Gunn berniat untuk menyambut kita dengan gemilang. Langsung ke pusat chaos, absurd, dan stake bahwa karakter-karakternya di sini bukanlah tipikal protagonis film superhero yang biasa – mereka semua either adalah orang jago tapi jahat, atau orang jahat tapi bego, dan mereka semua bisa mati tanpa terkecuali. Gunn tahu sebenarnya dia cukup dengan memperlihatkan kegagalan tim pertama, tapi Gunn tidak gentar untuk melangkah lebih jauh. Insting kreatifnya membuat dia mengambil keputusan untuk menjadikan film ini juga ‘jahat’ – gak peduli sama aturan. Jadi Gunn lanjut dengan menanamkan kecohan ‘karakter utamanya ternyata bukan dia’ tersebut. Kecohan yang efektif dan menghibur, walaupun memang jika dipandang lewat lensa penulisan itu bukanlah hal yang benar.

Dan setelah pembuka itu, instantly aku tahu sedang berurusan dengan apa. Sebuah film aksi komedi yang bakalan ‘susah’ untuk dinilai. Di opening tersebut Gunn telah sukses memberi isyarat dan melandaskan kehebohan seperti apa yang ia incar. Film ini akan gagal jika Gunn tidak berhasil mengfollow up opening tersebut dengan semakin banyak dan semakin gila lagi aksi dan semua-semuanya. Yang juga berarti bahwa keberhasilan film ini ditentukan dengan seberapa banyak lagi Gunn berani untuk melakukan hal-hal yang ‘gak bener’ dalam bangunan filmnya. Jadi, dengan memahami itu semua, aku bertanya pada diri sendiri. Apakah aku akan menilai film ini hanya dengan sebagai hiburan, atau menilainya dari seberapa banyak kesalahan yang sengaja diambil. Kreativitas yang ditonjolkan oleh Gunn, alih-alih usaha untuk menjaga film tetap stay di jalur kebenaran, memberiku pilihan ketiga. Menilai film ini dari kreasi yang dilakukan Gunn dalam mengolah hal-hal ‘gak bener’ yang harus ia lakukan dalam bangunan filmnya.

Cerita dengan karakter sebanyak ini cenderung untuk memerangkap sutradara ke dalam momen-momen pengembangan karakter yang gak imbang, ataupun dilakukan dengan tampak terpaksa; menyelipkan adegan-adegan ngobrol di antara aksi-aksi. Yang kaitannya dengan eksposisi. Film itu akan tampak terbagi oleh aksi dan penjelasan yang boring. Gunn melempar begitu saja karakter-karakternya kepada kita. Mengutamakan untuk memperlihatkan langsung apa yang karakter-karakter itu lakukan daripada lebih banyak menjelaskan origin. Dialog-dialog set up film ini cepat, sambar menyambar. Visualnya dibikin unik, mencolok dan berwarna bukan hanya untuk pamer, melainkan sebagai penguat karakter itu sendiri. Ketika momen-momen lambat itu betul-betul diperlukan, Gunn juga gak sekadar memberitahu kita, atau juga tidak sekadar flashback. Dia melakukannya lewat visual unik juga. Dia menggunakan jendela bus sebagai ‘jendela’ untuk melihat ke masa lalu karakter yang sedang diceritakan. Dia bahkan memindahkan sudut pandang, membuat kita masuk ke pandangan certain character supaya kita bisa langsung merasakan keanehan dirinya yang kocak (I love the ‘mom jokes’ di film ini!). Dengan membiarkan kita melihat sekaligus mendengar tentang mereka; mengexperience mereka, maka karakter-karakter dalam film ini bisa dengan mudah terkenang. Akan susah bagi kita untuk memilih siapa favorit, karena masing-masing mereka ternyata sudah kita pedulikan. Mereka bukan hanya komentar-komentar lucu, bukan hanya aksi-aksi keren. Mereka gabungan keduanya.

Adegan-adegan aksinya tentu saja sangat kreatif juga. Gunn tidak perlu khawatir menampilkan aksi yang impossible ataupun aksi yang klise kayak gedung runtuh, karena dia sudah berhasil melandaskan karakter dan dunia tersebut. Semua karakter berhasil dicuatkan pesonanya, dan itulah yang digunakan untuk memperkuat adegan-adegan berantem mereka. Salah satu hal keren yang dilakukan oleh film adalah memperlihatkan adegan berantem lewat pantulan helm. Aku sudah pernah melihat yang seperti ini di opening game Resident Evil 3 di PS satu; saat zombie bikin kacau kota diperlihatkan lewat pantulan di kaca helm polisi. Tapi aku belum pernah lihat adegan berantem yang bekerja efektif dari pantulan semacam itu di film sebelumnya. Satu lagi hal penting yang dimengerti oleh film ini adalah timing. Baik itu timing delivery dialog komedi maupun timing visual komedinya. Walaupun fast-paced dan kadang ceritanya balik bentar ke beberapa menit sebelumnya, karena banyak sekali karakter dan kejadian, film ini selalu tahu kapan harus ‘mengerem’. Kita tidak pernah dibiarkan bingung mengikuti ceritanya. Tulisan-tulisan konyol (dan keren) sebagai penanda bab/misi akan sering kita jumpai menuntun kita. Ini juga menghadirkan feels kayak sedang baca komik. Saat ceritanya balik sebentar pun akhirnya tidak terasa sebagai jeda atau sesuatu yang redundant, melainkan kita malah senang karena terasa seperti waktu tambahan untuk menyimak aksi karakter.

suicidesmaxresdefault
John Cena kabarnya di peran ini menggantikan Dave Bautista; rivalnya dalam storyline gulat

 

 

Ngomong-ngomong soal dunia gulat, aku selalu kepikiran Marvel dan DC ini kayak WWE dan AEW. Yang satu produk yang lebih ke hiburan keluarga, sementara satunya lebih mengincar ke penonton yang remaja/dewasa. Perbandingan itu semakin kentara melihat kerja Gunn di film ini. Gunn tadinya menyutradarai film Marvel, lalu dipecat, dan pindah bikin DC. Dan dia membuat film yang jauh lebih edgy di DC. Ini kan sama banget kayak superstar ex WWE yang dipecat, kemudian masuk ke AEW, dan merasa bebas, secara kreatif, untuk bermain dalam match yang lebih ‘brutal’. Gunn membuat The Suicide Squad penuh oleh aksi-aksi yang fun, as in penuh darah dan potongan tubuh yang melayang ke sana ke mari. King Shark makan orang aja ditampilin gak malu-malu. Afterall, karakter-karakter itu toh memang orang jahat. Kalo Suicide Squad pertama hanya mengingatkan kita lewat dialog yang setiap beberapa menit sekali menyebut “we are bad guy”, maka film kedua ini just having fun dengan karakter-karakter tersebut. Malah ada adegan tim Bloodsport membunuhi orang-orang tak bersalah, dan later mereka cuma salting dan bercanda gak mau mengakui perbuatannya. Dan maaan, sebagai penonton gulat yang sudah lama meminta John Cena untuk kembali jadi karakter jahat; film ini somehow terasa refreshing. Cena hillarious jadi karakter yang menjunjung perdamaian, tapi gak peduli siapa korban yang harus ia akibatkan demi perdamaian itu tercapai. Mungkin inilah yang terdekat yang bisa kita dapat kalo Cena masuk ke AEW?

Sepertinya karena itulah film ini jadi ngena. Karakter-karakternya terasa dalem. Ratcatcher 2 definitely favorit dan jadi hati di film ini. Pilihan yang para karakter buat setelah mengetahui kenyataan sebenarnya jadi terasa lebih bermuatan. Dan sebagai bigger picture, film ini memberikan kita sesuatu untuk dipikirkan. Cerita-cerita superhero DC dibuat dark dan gritty, kita butuh untuk melihat pahlawan dalam keadaan terbawah mereka, untuk menunjukkan perjuangan dan pengorbanan yang mereka lakukan. Sebaliknya, cerita penjahat seperti The Suicide Squad ini justru paling tepat ternyata dibuat konyol dan menghibur, meskipun tujuan arcnya juga sama; untuk melihat apa yang mereka perjuangkan. Jadi kenapa formulanya seperti itu? Apakah itu merefleksikan kalo baik itu boring, dan jahat lebih fun? Apakah membuatnya lebih ringan membuat kita jadi lebih mudah untuk mendekatkan diri melihat kenapa seseorang menjadi jahat?

Share pendapat kalian di komen yaa

 

Yang dilakukan film ini tidak lain hanya memperlihatkan bahwa orang-orang rendahan seperti para kriminal tersebut – yang bahkan beberapa gak kuat-kuat amat – sebenarnya juga punya kegunaan. Seperti juga ‘kesalahan-kesalahan’ yang ada pada film sebenarnya punya purpose.

 

 

 

 

Embracing bad side tidak hanya dilakukan oleh karakter-karakternya, tapi juga dilakukan untuk membentuk film ini. Namun film ini bukanlah proyek bunuh diri. Film ini melakukan hal yang gak benar, dan kemudian berkreasi dari hal tersebut. Dan dia menjadi sajian yang menghibur dan seru dan sangat asik karenanya. Kita dapat action, blood, lovable karakter, dan begitu banyak momen-momen memorable. Aturan dibuat untuk dilanggar. James Gunn melakukannya dengan passionate, mengerahkan kreasi terbaik yang ia mampu dari sana. Ia mencapai yang terbaik, meskipun naskah yang all-over-the-place, karakter yang gak dalem-dalem amat, dan struktur yang bolak-balik. Aku gak akan bandingin ini lebih lanjut sama film yang pertama, karena perbedaannya cukup jauh. Gak perlu tanya malaikat untuk tau siapa juaranya. Ini actually feels like a movie. Pembuatnya peduli sama cerita. Peduli sama karakter. Dan peduli sama kreasi.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE SUICIDE SQUAD.

 

 

 

That’s all we have for now

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

JUNGLE CRUISE Review

“It is health that is real wealth and not pieces of gold and silver”

 

Stanley Kubrik bukan hanya dikenal sebagai sutradara kontroversial, beliau juga merupakan salah seorang yang paling berpengaruh dalam dunia sinema. Kenapa aku malah bicarain Stanley Kubrick di sini? Karena ada satu perkataannya yang aku yakin telah menginspirasi para tukang cerita di seluruh dunia untuk membuat film. Kubrick bilang apapun yang bisa ditulis, apapun yang bisa dipikirkan, bisa difilmkan. Apapun bisa dijadikan ide untuk cerita film. Bahkan cerita yang udah jadi cerita. Kita mengenalnya sebagai adaptasi; film yang berdasarkan materi atau bentuk karya lain. Tapi tentu saja ada juga film-film dari sumber yang bukan puisi, novel, teater. Film-film yang ceritanya terilhami dari hal sesimpel khayalan masa kecil, berita di koran, peristiwa di buku sejarah. Atau malah dari wahana mainan di taman hiburan. Untuk yang satu ini, memang sepertinya Disney adalah pelopornya.

Punya sejumlah taman hiburan dengan berbagai atraksi dan wahana, Disney gak cukup hanya dengan membuat wahana berdasarkan film-film andalan mereka. Disney juga merancang wahana-wahana original yang kemudian hari bakal disulap menjadi cerita seru di layar lebar. Mereka telah melakukannya sejak 1997. Dimulai dari Tower of Terror yang jadi film untuk televisi hingga ke raksasa box office yang beranak pinak menjadi franchise film tersendiri, Pirates of Caribbean. Kali ini giliran ‘Jungle (River) Cruise’. Petualangan perahu di Sungai Amazon itu kini bisa kita nikmati keseruannya di layar lebar (atau layar laptop, mengingat bioskop kita masih tutup). Aku belum pernah ke Disneyland, aku gak tau wahana ini lebih seru dari Rumah Boneka atau enggak, but none of those matter, karena sutradara Jaume Collet-Sera berhasil menghadirkan film ini layaknya wahana superseru sendiri. Meskipun setelah berakhir, aku tahu bahwa film ini adalah wahana yang hanya mau aku naiki satu kali.

jungle2df7b88a-c3d5-4eac-a4be-a01ac9dd43a1_169
Akankah The Rock akhirnya jadi batu beneran di sini?

 

Aku menikmati satu-jam pertama dari film ini. Set upnya dilakukan dengan baik, tidak berat eksposisi. Cerita di paruh pertama dari dua jam ini berjalan simpel. It was 1916, dunia yang masih percaya pada legenda dan kutukan. Salah satu legenda yang tersohor adalah bahwa ada pohon yang daun-daunnya berkhasiat menyembuhkan penyakit apapun di Brazil. Pohon yang tak seorang pun tahu keberadaannya, kecuali perkiraan kasar berada di antara sungai-sungai Amazon. Berbekal peta dan batu misterius berbentuk kepala anakpanah yang ia curi, Lily, scientist feminis yang udah kayak Indiana Jones versi cewek bertekad menyusuri legenda tersebut dan membawa pulang daun-daun ajaib itu demi kemajuan ilmu kesehatan. Lily bersama adik cowoknya yang rempong menyewa kapal dan jasa pemandu turis handal bernama The Rock, eh salah.. bernama Frank. Bersama-sama mereka bertualang mengarungi sungai yang penuh bahaya dan keajaiban, dengan kapal selam Jerman Pangeran Joachim yang licik mengekor di belakang. Berusaha merebut legenda itu dengan cara apapun.

See, simple. Dari set upnya gak susah untuk kita membayangkan ini adalah cerita petualangan, cerita rebut-rebutan harta karun yang bakal seru. Di sungai pedalaman Amazon yang penuh piranha dan kekuatan supernatural pula! Kesimpelan tersebut diimbangi oleh karakter-karakter yang colorful. I’d expected them to be paper-thin. Dan memang, beberapa karakterisasi enggak lebih tebal daripada kertas, namun kenapa pula itu tidak berarti fun? Film ini tahu mereka punya tiket untuk membawa kita bersenang-senang. Tiket berupa aktor-aktor yang paham bahwa sudah tugas merekalah untuk membuat peran apapun yang diberikan kepada mereka menjadi emas.

Harta karun yang diperebutkan dengan gigih dan mati-matian di sini bukan emas. Melainkan daun penyembuh. Dari ini, film seperti mengatakan kepada kita bahwa perjuangan mencapai pengetahuan dan kesehatan itu ya memang harus segigih ini. Karena itulah hal yang lebih penting daripada sekadar kekayaan.

 

Emily Blunt memerankan Lily yang berkemauan keras, capable, berani, cerdas, dan sangat resourceful untuk mendapatkan apa yang ia mau. Kualitas karakternya ini tidak lama-lama disimpan oleh film. Pada adegan awal saat dia mencuri batu anakpanah, kita sudah diperlihatkan betapa seru dan resourcefulnya karakter ini. Sampai-sampai dia menggunakan berbagai macam trik dari film-film lain seperti Indiana Jones (dejavu gak sih ngeliat adegan Lily dengan cermat menyamarkan suara berisik aksi membobolnya dengan suara pekerja museum lagi memalu). Film juga gak membuang waktu untuk mencuatkan protagonis ceweknya ini sebagai makhluk progresif dibandingkan dunia sekitarnya. Sementara juga menggali komedi dari kontrasnya Lily dengan karakter adiknya, MacGregor yang diperankan dengan konyol namun simpatik oleh Jack Whitehall.

Heart of the film dibebankan kepada Lily dan Frank, si pemandu. Blunt dan Dwayne Johnson diberikan ruang oleh naskah untuk mengembangkan sisi komedi (again, dari kontrasnya mereka) dan juga sisi manis-as-in-a-couple di balik petualangan kocak mereka. Chemistry mereka mungkin memang gak kena banget, tapi Blunt dan Johnson benar-benar hebat dalam menghidupkan suasana. Johnson actually dapat tantangan dengan range yang lebih luas. Kita gak hanya melihatnya sebagai seorang jagoan; penakluk macan tutul, penjinak sungai, penendang bokong, yang sayang ama perahu. Tapi juga seorang pemandu, yang ngescam turis dengan bahaya-bahaya palsu, sambil menghibur mereka dengan lelucon bapak-bapak (yang dimainkannya tetap penuh kharisma seperti yang hanya bisa dilakukan oleh The Rock) Semua aktor di sini tampak bersenang-senang, tapi sepertinya yang paling bergembira di sini adalah Jesse Plemons. Yang kebagian meranin parodi yang sangat komikal dari tokoh-beneran seorang Jenderal Jerman. Plemons bermain dengan aksen, gestur, dan dialog-dialog yang ia mainkan dengan begitu over-the-top. And he made it work. Karakternya bikin gentar tapi juga lucu. Tiga elemen utama yang superseru ini sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk membuat Jungle Cruise jadi ride, both sebagai wahana maupun perjalanan yang menghibur.

Malangnya, film ini – seperti juga film-film hiburan belakangan ini – merasa itu semua belum cukup. Merasa mereka perlu untuk membuat cerita yang rumit, yang penuh kelokan kayak sungai-sungai deras Amazon tersebut. Setelah pertengahan, Jungle Cruise tau-tau bermanuver dengan banyak sekali plot-plot kejutan yang bukan saja enggak perlu, tapi juga malah membuat ceritanya jadi bego. 

jungle-cruise-trailer-2
Bayangkan ada makhluk undead tapi perempuan-pakai-celana tetap jadi hal yang paling aneh dan mengejutkan bagimu

 

Mari kuberitahu sedikit tentang twist dan reveal. Semua twist adalah reveal, sementara tidak semua reveal adalah twist. Sebagai contohnya, kita bisa langsung lihat dari film ini. Ketika film mengungkap bahwa prajurit masa lampau dalam legenda itu ternyata masih ‘hidup’ dan mengejar Lily dkk, itu adalah plot reveal. Karena fungsi informasinya itu adalah sebagai penambah tantangan. Sebagai rintangan yang harus dikalahkan. Step yang mengangkat suspens, dari yang tadinya hanya bermusuh satu pihak, menjadi dua, sehingga cerita jadi semakin seru. Secara teori begitu, meskipun pada eksekusinya enggak begitu mulus. Karena permainan efek CGI yang gak konsisten dilakukan oleh film ini. Sedangkan twist, itu adalah ketika film mengungkap siapa sebenarnya si Frank. Karena informasi ini mengubah haluan film, membuat kita memandang kembali ke belakang – melihatnya dengan cara baru sesuai dengan yang diungkap oleh film. Dan twistnya ini bukanlah twist yang baik/bagus.

Karena identitas asli si Frank ini mengubah begitu banyak, dan perubahan itu gak ke arah yang positif. Pertama, karakter Frank itu sendiri jadi gak make sense, jika kita melihat kembali motivasinya di awal cerita. Kedua, mematikan stake. Percuma kalo film ini punya rintangan dan bahaya yang banyak, tapi salah satu karakternya diungkap sebagai sesuatu yang sama dengan salah satu rintangan tersebut. Frank ternyata bukan sekadar cowok jagoan. Dia punya ‘kekuatan ajaib’ sendiri. Ketiga, ini membuat hubungan Frank dan Lily jadi awkward. I mean, kalian kira gap Zara dengan Okin itu jauh? Well, tunggu sampai kalian lihat twist di Jungle Cruise.

Dan ultimately, pengungkapan ini membuat karakter Lily jadi berubah juga. Lily malah jadi flat-out bucin. Karakter Lily memang oke dibuat sebagai feminis yang lebih real (gak selalu-benar kayak protagonis cewek Disney yang seringkali salah kaprah dan agenda-ish), dia juga ‘butuh’ cowok dan segala macam. Hanya saja di akhir film, Lily membuat keputusan yang benar-benar menghancurkan karakter progresifnya. Aku berharap gak terlalu spoiler, aku akan berusaha untuk vague, tapi kalopun jadi spoiler, sorry. Jadi, di akhir film ini, Lily menggunakan benda yang tinggal satu-satunya, benda yang sudah susah payah didapatkan, untuk hal yang bukan niat perjalanannya sedari awal. Lily seperti menukar misi mulia untuk kesejahteraan orang-banyak itu dengan kesempatan untuk bersatu lagi dengan orang yang ia kasihi. Aku gak tahu lagi ‘pesan’ apa yang ingin disampaikan film ini kepada anak-anak perempuan yang menonton lewat adegan itu. Film lantas berusaha untuk mengurangi ‘damage’ adegan ini dengan membuat benda itu ternyata ada lagi – bukan satu-satunya. Tapi tetap saja, secara karakterisasi, pilihan tersebut sangat mengkhianati. Dan bukankah bisa saja dibuat Lily merelakan, dan kemudian ternyata benda itu ada lagi, dan dia ambil untuk kekasihnya. Menurutku itu bakal lebih dramatis, karena mengubah benda tadi itu menjadi sebagai reward untuk perjuangan dan pengorbanan Lily, alih-alih sebagai cara film ngurangi damage aja.

 

 

 

Jadi, by the time the credits roll, aku merasa film ini sebagai kekecewaan. Paruh pertamanya, fun, menghibur, simpel. Film ini bisa jadi gabungan film-film pertualangan yang punya jiwa dan karakter sendiri, berkat penampilan akting dan gaya berceritanya. Namun pada paruh berikutnya, mesin itu menyala. Mesin produk. Film ini jadi tampil sok heboh ribet dengan begitu banyak reveal. Dan akhirnya beneran karam oleh twist yang gak perlu. Melainkan hanya membuat semuanya menjadi bego
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for JUNGLE CRUISE

 

 

 

That’s all we have for now

Menurut kalian mana yang paling berharga: Harta, Kesehatan, atau Pengetahuan?

Sudahkah kalian menonton semua film Disney yang based on wahana hiburan, mana favorit kalian? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

SPACE JAM: A NEW LEGACY Review

“Let others be themselves”

 

Sekuel cenderung untuk menjadi lebih besar. Karena, tahulah, saat kita membuat sesuatu yang udah ada originalnya, kita akan otomatis dipush untuk menghasilkan sesuatu yang melebihi si origin tersebut. Jadi, sutradara Malcolm D. Lee berpikir;

Apa yang lebih besar daripada outer space – semesta luar angkasa? Cyber-space – semesta siber internet!

Apa yang lebih besar daripada NBA dan kartun Looney Tunes? NBA dan seluruh IP Studio Warner Bros!!

Dan apa yang lebih besar daripada Michael “Air” Jordan?? Well, itu pertanyaan untuk diskusi basket yang lebih mendalam. Aku jelas bukan ahlinya. Tapi untuk sekarang, cukuplah kalo mengenal Lebron James sebagai atlet basket tergede di era kekinian.

Memiliki ketiga faktor di atas, Space Jam: A New Legacy jelaslah lebih besar daripada pendahulunya, Space Jam, yang hadir dua-puluh-lima tahun yang lalu. Namun seiring kita ngobrolin soal film ini nanti, Space Jam kedua ini akan membuktikan bahwa menjadi lebih besar itu tidak serta berarti lebih baik. 

space-jam-new-legacy-trailer-tgj
Kalo soal akting sih, memang Michael B Jordan lebih besar

 

Yang jelas-jelas dilakukan dengan lebih baik oleh film kedua-yang-gak-really-bersambungan-dengan-film-pertama ini adalah konflik yang lebih berbobot secara emosional. Ada cerita hangat mengenai ayah dengan putranya sebagai inti cerita. Ayah dalam film ini adalah seorang atlet basket tersohor, yang mencapai posisi nomor satu sekarang tersebut dengan bekerja keras, tekun berlatih, dan membuang Game Boy (dengan game Bugs Bunny) kesukaannya ke tempat sampah. Sedangkan anak dalam film ini adalah seorang young man yang berjuang mengutarakan kepada ayahnya tersebut bahwa dia sebenarnya lebih tertarik kepada merancang video game – particularly game basket – ketimbang ke kamp basket; ketimbang bermain basket beneran. Nah langsung kebayang dong, dinamika ayah-anak yang jadi konflik dalam cerita ini. Si ayah ingin anaknya sesukses dirinya, tetapi dia terlalu memprojeksikan dirinya kepada si anak. Tidak pernah sekalipun dia bertanya si anak sebenarnya pengen apa.

Lebron James yang memainkan versi fiksi dari dirinya sendiri diberikan ‘lapangan bermain’ yang lebih emosional  ketimbang Michael Jordan di Space Jam yang karakternya unwillingly keseret ke dalam masalah tokoh-tokoh kartun yang harus tanding basket. Dalam film kedua ini, sikap James kepada Dom, anaknya, dan to some extend kepada hal lain selain basket-lah, yang memantik konflik lain. Yang membuat cerita bergulir maju. Sikap James eventually membuat sebuah program kecerdasan-buatan tersinggung. Sehingga A.I. tersebut – bernama Al G. Rhythm (dimainkan dengan fenomenal menghibur oleh Don Cheadle) – menculik James dan Dom ke dunia siber. Memisahkan ayah-anak tersebut. Dan menghost pertandingan basket di antara keduanya, dengan stake yang gak main-main. Kalo James kalah, semua manusia yang dia jebak untuk nonton pertandingan, akan terperangkap di dunia siber yang boring tanpa-Looney Tunes.

Percaya atau tidak, pada galian ini cerita Space Jam 2 sebenarnya masih ‘masuk akal’. Meskipun dimanipulasi sehingga gak tau yang sebenarnya, tapi Dom kentara lebih merasa enjoy bersama Al G. karena di situ dia bisa menjadi dirinya sendiri. Sementara, James, yang terdampar di dunia Looney Tunes dan bersama Bugs Bunny harus mengumpulkan tim Tunes Squad untuk melawan tim penuh kreasi bentukan Dom dan Al G., actually harus bisa menjadi seperti Al G. Tema mempercayai kemampuan dan pilihan orang lain bergulir terus, bahkan ketika pertandingan basket ‘curang’ mereka dimulai. Semuanya diberikan penambat berupa tema tersebut sehingga adegan-adegan dalam film ini tidak hanya menghibur semata, melainkan juga bukan tidak mungkin menghasilkan air mata. Film membuat kekonyolan kartun ala Looney Tunes (and you know betapa konyolnya Looney Tunes) menjadi seimbang dengan konflik yang grounded seperti ini. Anak-anak dan para orangtua yang menonton bisa menangkap pesan-pesan parenting dan bersosial yang dioper oleh film. 

Kita bisa saja meminta orang untuk menjadi sesuatu yang kita mau, atau untuk melakukan sesuatu sesuai dengan cara kita. Dan mereka mungkin akan melakukannya, entah itu karena hormat, atau segan, atau ngerasa gak enak. Or worse, karena takut. Semua itu enggak akan berujung baik kepada mereka sendiri. Bila mereka adalah anak, maka perkembangan si anak ini akan terhambat. Seperti Dom, yang ‘terpaksa’ memprioritaskan his dad’s things ketimbang hobinya. Seperti tim Looney Tunes yang babak belur karena menahan diri, mengikuti basket seperti yang James tahu. Kita seharusnya membiarkan yang lain menjadi siapa, apa yang mereka mau. Lihat apa yang terjadi ketika James akhirnya membiarkan Looney Tunes melakukan apa yang Looney Tunes biasa lakukan.

 

Untuk beberapa part pun, film menerapkan tema tersebut. Mereka membiarkan Lebron James menjadi Lebron James. “Gue bukan aktor, gue pemain basket!” seru karakter James dalam salah satu humor self-aware film ini. Ada usaha untuk meminimalisir screentime James berakting, karena ya walaupun dia punya karisma di dalam lapangan, tapi akting tetap tidak semudah itu. Film menggunakan cara yakni membuat James menjadi tokoh animasi 2D saat berada di dunia Looney Tunes. Kupikir ini bisa berhasil karena memang permainan ekspresi James sebelas duabelas ama Michael Jordan. Tapi ternyata, jadi tokoh kartun bukan jawaban tepat. Karena kini James harus menajamkan voice acting, yang ternyata malah lebih parah daripada akting live-actionnya hahaha.. Deliverynya sangat kikuk, apalagi harus bersanding dengan voice-actor profesional.

Maka film pun ‘mengembalikannya’ menjadi manusia saat bertanding di dunia game bikinan Dom dan Al G. Sebagai bonus untuk kita, saat bertanding, film membuat para kartun Looney Tunes menjadi animasi 3D tanpa meninggalkan kekonyolan khas mereka nanti. Untuk aku yang waktu kecil melihat Bugs Bunny, Daffy Duck, Tweety dan teman-teman, ini jelas adalah upgrade yang menyenangkan. Senang saja melihat tokoh-tokoh kartun yang jadi teman bermain dahulu diremajakan tanpa mengurangi ruh mereka. Aksi-aksi ‘basket’ ini pun pada dasarnya lebih seru daripada film pertama. Film menggunakan lebih banyak arsenal kartun dan nostalgia kita terhadapnya. Tepuk tanganku justru paling kenceng saat adegan Porky Pig ngerap. It was stupid, but hey, ini Looney Tunes!!

Space-space-jam-a-new-legacy-clip-features-porky-pig-rapping
Nominee Best Musical Performance untuk next My Dirt Sheet Awards!

 

Jika saja film ini stick to what they are. Jika saja film ini tetap bermain-main di nostalgia Looney Tunes saja, di humor-humor self-reference Lebron James saja, di cerita grounded ayah-anak sebagai fokus. Jika saja film enggak concern ke sekuel harus bigger…

Kritikus luar menganggap film ini adalah sebuah proyek iklan raksasa dari studi raksasa. Dan ternyata itu memang tidak melebih-lebihkan. Karena persis seperti itulah film ini terasa. Yang kusebutkan di paragraf-paragraf atas itu actually adalah hasil pemilahan yang sangat alot karena sebenarnya banyak sekali referensi-referensi melebar dan irelevan dengan cerita yang dimasukkan oleh film ini hampir dalam setiap kesempatan. Aku gak ngerti kenapa film ini enggak berpuas diri dengan referensi kartun Looney Tunes dan beberapa Warner Bros lain seperti Tiny Toon, Animaniacs, Flinstones, atau Scooby Doo saja. Lebih masuk akal, apalagi kalo memang mengincar pasar anak-anak. Akan ada bagian ketika Bugs Bunny dan Lebron James berkeliling universe, untuk mengumpulkan anggota Looney Tunes yang mencar-mencar. Mereka masuk ke kartun DC, okelah masih bisa dimaklumi. At least, masih kartun.  Untuk anak-anak. Walaupun alasan mencar itu sendiri tidak kuat. Inilah yang jadi masalah. Cerita ini menangani ‘crossover’ tersebut seakan memang cuma ditujukan untuk promosi silang saja. Tidak diberikan muatan cerita atau alasan yang berintegrasi dengan tema ataupun konteks. 

Tapi tidak cukup di situ. Film ini memasukkan semua merek produk-produk Warner Bros. Dari yang di luar kartun kayak Harry Potter, Kong, hingga ke yang gak ramah anak pun nongol, kayak Rick and Morty, dan karakter di A Clockwork Orange. Untuk alasan hura-hura yang gak jelas, film ini membuat pertandingan basket James dan Dom ditonton oleh semua produk Warner Bros. Ini jadi distraksi dan annoying karena seperti film malah ngajak penonton untuk nunjuk-nunjuk “ih ada si anu, si itu” ketimbang beneran fokus kepada cerita yang mereka miliki. Ini kembali kepada fundamental kenapa dibuat seperti itu dan apakah memang harus dibuat seperti itu. Dari jawaban atas itulah, film ini runtuh. Karena mereka melakukan dan invest banyak untuk hal-hal yang sebenarnya gak relevan. Dan gak perlu. Ketika membuat film, konsern sepenuhnya ya haruslah pada film itu sendiri. Tidak kemana-mana mengiklankan semua produk selagi bisa.

 

 

 

Hiburan di sini adalah melihat karakter Looney Tunes kembali melakukan hal yang membuat mereka, mereka. Melihat Lebron James melakukan yang ia bisa – main basket – dengan karakter-karakter kartun. Dalam lingkup cerita yang bisa relate dan punya pesan yang bagus. Hiburan di sini bukan melihat seliweran film-film lain – mengatakan mereka menghibur sama dengan mengatakan nonton iklan adalah hiburan bagi kita. Film ini, meskipun punya cerita yang lebih kuat dan emosional, terhimpun dari banyak sekali komponen untuk ngiklan. Film ini jadi besar karena memasukkan banyak iklan. Jadilah dia enggak cukup bagus sebagai sebuah film.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SPACE JAM: A NEW LEGACY

 

 

 

Th.. th… tha… that’s all, folks!

Karakter ikonik Looney Tunes Pepe le Pew (sigung yang bucin banget sama kucing bernama Penelope) dicut dari film ini karena dianggap sebagai salah satu produk rape culture, sehingga tidak baik bagi tontonan anak-anak. Bagaimana pendapat kalian tentang ini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

PETER RABBIT 2: THE RUNAWAY Review

“Beautiful trees still rise from ugly seeds”

 

Peter Rabbit is a bad seed. Di antara kelinci-kelinci peliharaan Bea, Peter yang paling bandel. Dalam film pertamanya saja (rilis tahun 2018) Peter ngebully Thomas McGregor, manusia yang jadi musuh bebuyutannya, yang punya alergi buah blackberry dengan melempar blackberry tersebut hingga tepat masuk ke mulut. Prank yang begitu kelewatan, sampai-sampai Sony Pictures harus meminta maaf kepada publik perihal adegan tersebut. 

Agaknya, insiden itulah yang jadi inspirasi bagi sutradara dan penulis naskah Will Gluck untuk cerita sekuel dari karakter kelinci yang awal fenomenanya berasal dari buku kanak-kanak di Inggris ini. Gluck mengedepankan tema Peter sekarang aware bahwa dia dicap bandel oleh orang lain. Gluck ingin membuat pesan yang menyuarakan tentang mengenali self-worth, kepada penonton. Karena bandel tentu saja tidak berarti jahat. Like, bandel pada kendaraan justru berarti hal yang bagus. Sehingga untuk benar-benar menghidupi tema tersebut, Gluck pun mengonsep film kedua ini sebagai film yang bandel. Enggak cukup hanya dengan menjadi meta, Peter Rabbit 2 kini melompat melewati batas aturan dunianya sendiri.

PETER-RABBIT-2-TRAILER-e1619535931978-1280x720
Kenapa ya kelinci sering digambarkan sebagai karakter bandel dalam fabel-fabel?

 

Semenjak gencatan senjata, yakni peristiwa sakral Bea menikah dengan Thomas, kelinci berjaket biru tokoh utama kita ini memang berusaha bersikap manis. Tidak lagi dia mengganggu kebun sayur milik Thomas. Peter bahkan menjaga kebun tersebut dari hewan-hewan lain. Sayangnya, belum semua orang dapat melihat perubahan sikap Peter. Image nakal dan bandel tetap melekat kepadanya. Buktinya, saat Bea dan Thomas bertemu dengan produser yang tertarik untuk membesarkan buku karangan Bea tentang Peter dan kawan-kawan menjadi sebuah franchise raksasa, Peter mendapati karakternya di dalam cerita itu akan tetap dibuat sebagai karakter yang bandel. Peter lantas jadi pundung dengan semua orang. Peter minggat, dan di jalanan kota London itulah Peter bertemu dengan seorang kelinci tua. Kelinci yang percaya kepadanya. Kelinci yang bertindak selayaknya ayah baginya. Kelinci, yang mengajaknya untuk bergabung ke dalam misi mulia merampok makanan di Farmer’s Market.

So yea, ada lebih banyak yang terjadi pada film kedua ini. Peter Rabbit 2: The Runaway memang mengadopsi istilah sequel is bigger. Yang kita ikuti bukan saja petualangan Peter menjalankan misi, tapi juga persiapan seperti pada film heist beneran. Mengumpulkan teman-teman, bikin rencana, dan lain sebagainya. Sesekali kita juga akan dibawa berpindah mengikuti Bea yang harus mengarang buku cerita sesuai dengan pesanan. Paralel di sini adalah Peter dengan Bea. Keduanya sama-sama bertemu dengan orang yang mereka kira nurturing, peduli, dan mengembangkan diri mereka yang sebenarnya. Padahal sebenarnya Bea dan Peter sedang dimanfaatkan. Film sudah menyiapkan banyak sekali lelucon slaptick – bahkan lebih banyak daripada film pertama – supaya tone cerita tidak menjadi terlalu sentimentil. Seperti misalnya ketika Peter yang berjalan sendirian bersedih hati, film menggunakan banyak treatment komedi seperti Peter terjatuh ke semen basah dan sebagainya. Komedinya naik bertahap menjadi lebih kreatif saat menggunakan musik latar sebagai candaan. Aku ngakak di adegan tupai nyanyiin lagu Green Day, dan bagaimana si tupai penyanyi itu jadi running joke yang muncul bikin Peter heran setiap kali dia menggalau. “Kok elu bisa tahu isi hati gue?” kurang lebih begitu pertanyaan si Peter kepada Tupai hahaha

Sebagai cerita yang memang berasal dari materi untuk anak-anak, film ini perlu untuk menjadi total menghibur. Ini lompatan nekat pertama yang dilakukan oleh film. Peter Rabbit dan teman-teman yang di buku aslinya adalah dongeng sederhana untuk dibacakan sebagai cerita pengantar tidur, kini dibuat total konyol, enggak banyak beda ama film kartun ala Looney Tunes. Dan supaya stay true dengan tema aware kepada true self, film memperlakukan komedi tersebut dengan cara meta. Yang artinya, para karakter dalam film ini dibuat mengenali perbuatan mereka yang disejajarkan dengan mengenali hal di dunia nyata kita, para penonton mereka. Semacam breaking the fourth wall cara-halus. Peter di film ini menyebut tindakan mereka sudah semakin mirip adegan kartun, misalnya. Atau ketika ada karakter yang menyebut betapa menjengkelkannya suara Peter terdengar. This rings so true karena suara James Corden yang mengisinya memang benar-benar annoying. Film membuat karakternya sendiri mengacknowledge ini dengan beberapa kali mempraktekkan dan mempertanyakan suaranya.

Kemetaan tersebut tidak hanya dilakukan sebagai selingan komedi. Namun juga actually dijadikan bagian dari plot. Ini kita lihat pada porsi Bea. Dia disuruh menulis cerita yang lebih fantastis. Kelinci-kelinci pada ceritanya disuruh supaya enggak hanya berkutat di perkebunan di rumah saja. Melainkan harus bertualang di kota, di pantai, bahkan kalo perlu hingga ke angkasa. Kelinci-kelinci tersebut disuruh melakukan berbagai aksi, seperti kebut-kebutan ataupun berkeliling dunia menyelamatkan teman-teman mereka. Film sudah menyiapkan punchline untuk plot poin tersebut dengan membuat ‘Peter dan kawan-kawan yang sebenarnya’ benar-benar melakukan hal yang jadi materi untuk buku karangan Bea. Peter akan benar-benar ngebut-ngebutan untuk menyelamatkan teman-temannya yang tersebar ke berbagai penjuru

peter00278774
Untung aja gak beneran sampai ke angkasa raya

 

Untuk mendaratkan cerita (dan semuanya) supaya enggak benar-benar sampai ke luar angkasa, film mengikat permasalahan Peter berakar pada masalah keluarga. Dalam hal ini, permasalahan seputar relationship seorang anak kepada ayah. Dan juga sebaliknya; permasalahan bagaimana menjadi ayah kepada seseorang yang dianggap sebagai anak. Peter yang tampak bandel bagi Thomas, dan masalah Peter yang langsung marah dikatain bandel despite usahanya untuk jadi lebih baik — ini adalah masalah ayah dan anak, written all over it! Mereka berdua hanya harus menyadari itu, sehingga Peter sebenarnya tidak perlu lagi mencari father figure ke tempat lain. Dan inilah sebabnya kenapa karakter Thomas McGregor – yang di film pertama merupakan semacam antagonis utama – kali ini lebih mencuri perhatian ketimbang Bea, atau Peter sekalipun.  Thomas memang masih kebagian porsi konyol juga (dia lari ngejar mobil itu ‘kartun’ banget dan favoritku adalah pas adegan menangisi rusa – comedic timing Domhnall Gleeson dapet banget!) tapi fungsi karakternya kali ini terutama adalah sebagai sarana penyadaran untuk Bea dan Peter. Dia menunjukkan cinta yang kuat. Meskipun masih sering bertengkar dengan Peter, tapi semua itu ada alasannya. Adegan Thomas ngobrol dengan Peter di menjelang babak tiga akan jadi hati untuk film ini.

Masalah Peter memang berakar dari absennya seorang ayah di dalam hidup. Peter jadi percaya dirinya berbeda, seorang ‘bad seed’. Tapi meskipun memang benar, Peter bandel, dan ayahnya seorang pencuri seperti yang diceritakan si Kelinci Tua, tidak berarti Peter harus tumbuh menjadi bener-bener bad. Karena kualitas seseorang tidak ditentukan dari bibitnya.

 

Wait, Thomas ngobrol dengan Peter??

Ya, sayangnya ini adalah hal yang aku merasa perlu untuk disebutkan sebagai spoiler, karena ini adalah satu lagi lompatan maut yang dilakukan oleh film. Untuk menjadi sebandel Peter, film merasa perlu untuk melanggar aturan buku Peter Rabbit, yakni hewan-hewan lucu itu tidak bicara kepada manusia. Film pertama menghandle aturan ini dengan lebih baik, mereka mencari celah supaya komunikasi bisa tetap terjadi. Namun, film kedua ini, mereka langsung saja seperti sebuah cara gampang untuk mengomunikasikan feeling antara Peter dan Thomas. Ya, secara konsep memang masuk, tapi tidak berarti tampak bagus dari kacamata penulisan skenario. Atau bahkan dari kacamata para fans hardcore, yang bisa aku bayangkan pada surprised. Karena kekhasan Peter Rabbit sendiri jadi ilang. Yang jelas, dari penulisan, aku memang berharap momen ‘wejangan’ seperti ini tidak digampangkan atau tidak dibikin ada begitu saja. There should be more clever and sweet ways untuk membuat hewan dan manusia membicarakan perasaan mereka dan memecahkan masalah bersama.

Film memang lantas jadi full over-the-top. Benar-benar melanggar bukunya, dengan adegan yang dipersembahkan sebagai meta itu tadi. Dengan pesan yang gak jelas lagi apa sasarannya. Peter Rabbit memang menjadi franchise sukses di dunia nyata, sementara di film ini kita melihat karakter Bea (yang merupakan nama asli penulis Peter Rabbit) enggak suka Peter Rabbit menyimpang dan jadi semata produk jualan. Tapi film di akhir memperlihatkan Peter Rabbit dan Bea benar-benar bertualang, melakukan hal menyimpang yang ia tolak sebagai buku berikutnya. Sehingga becandaan metanya ini jadi kabur, apa tujuannya. Kenapa film malah melakukan hal yang semestinya adalah ‘salah’ menurut kompas ceritanya. Dan ini membuat film jadi pretentious.

 

 

 

Orang Jawa bilang lihatlah sesuatu dari bibit, bobot, dan bebetnya. Well, untuk bobot, film ini punya muatan yang berharga sebagai tontonan keluarga. Yang membuatnya bisa konek dengan anak-anak, maupun orang tua. Untuk kriteria bebet, film ini punya konsep yang lebih unik dibandingkan film pertamanya. Tampil lebih berani, melompati banyak resiko untuk menjadi berbeda; menjadi lebih besar daripada bibitnya. Hal ini dapat jadi hal yang positif, jika menjadi berbeda dan lebih besar itu mengarah kepada kepastian menjadi better. Sayangnya film ini malah terlihat seperti menertawai bibitnya sendiri. Mencoba jadi beda tapi tidak berhasil memperjelas poin utama dari konsep yang mereka lakukan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PETER RABBIT 2: THE RUNAWAY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Ngomong-ngomong soal bibit-bobot-bebet, apakah menurut kalian menilai seseorang dari tiga kriteria tersebut masih relevan di masa sekarang ini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

LUCA Review

“You will be free the moment you stop worrying about what other people think of you”

 

Ah, libur memang menyenangkan. Meskipun di Indonesia gak ada yang namanya liburan musim panas, tapi toh anak-anak sekolah di sini juga merasakan libur panjang di pertengahan tahun sebagai jeda tahun ajaran. Anak-anak punya waktu seharian penuh selama berminggu-minggu yang cerah untuk bermain-main. Bertualang. Mengeksplorasi imajinasi mereka. Mencoba hal-hal baru. Bagi sebagian besar dari kita, kenangan ceria berkegiatan saat libur sekolah mungkin sudah jadi ingatan yang samar. Namun justru untuk itulah film terbaru Pixar, Luca, hadir kepada kita. Untuk mengingatkan bagaimana rasanya mengarungi dunia yang punya banyak kesempatan bagi anak-anak yang berani mencarinya.

Bagaimana dengan anak-anak yang enggak berani?

Luca yang merupakan debut penyutradaraan animasi-panjang dari Enrico Casarosa akan certainly berefek lebih kuat. Karena cerita film ini memang sebenarnya dikhususkan untuk anak-anak yang belum berani, yang masih pemalu, yang merasa hidupnya harus terus dikawal ketat oleh orangtua. 

See, Luca yang jadi tokoh utama dalam film ini adalah seorang anak monster-laut. Dia hidup di bawah air di sebuah kepulauan Italia bersama kedua orangtua yang terus mengingatkannya akan bahaya di permukaan sana. “Hati-hati sama perahu monster-darat, mereka memburu kita” Begitulah kurang lebih peringatan yang diberikan ibu kepada Luca saat menggembala ikan-ikan di laut. Tetapi Luca justru tertarik sama benda-benda manusia yang jatuh ke laut. Luca ingin ke atas sana, tapi dia takut. Alberto-lah yang membuat Luca jadi cukup berani untuk diam-diam naik ke daratan. Alberto-lah yang membuat Luca surprise, karena ternyata monster-laut seperti mereka bisa berubah menjadi manusia ketika berada di darat. Dan sekarang, a whole new world opens bagi Luca yang penasaran tapi pemalu itu. Dunia dengan ikan-ikan terang di angkasa pada malam hari. Dunia dengan mesin bernama Vespa yang bisa membawa ke mana saja mereka mau. Dunia dengan teman-teman baru. Ya, berhati-hati supaya tidak kena air yang dapat membocorkan wujud asli mereka, Luca dan Alberto pergi ke kota manusia. Bersama dengan seorang anak manusia, mereka ikutan lomba supaya bisa dapat duit membeli vespa untuk menjelajahi dunia. 

lucaluca-trailer-e1619617686812-kr47fr
Literally, monster-fish out of water story

 

Right off the bat, film udah ngajarin anak-anak untuk tidak takut. Satu-satunya penghalang Luca main ke atas permukaan air, ya cuma wanti-wanti ibunya yang terlalu cemas. Tidak ada tembok tinggi, tidak ada pintu terkunci, tidak ada pagar berduri. Tidak ada tabir apa-apa yang menghalangi Luca untuk ke mana-mana. Ariel si Little Mermaid aja harus menjual suaranya kepada Ursula supaya bisa punya kaki dan mengejar cintanya ke daratan. Luca hanya perlu memberanikan diri. Dan ini hanyalah satu dari sekian banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik oleh penonton cilik yang menyaksikan film ini.

Luca yang menyembunyikan wujud asli pada akhirnya akan memberi pelajaran kepada anak-anak untuk berani dan bangga jadi diri sendiri, tidak peduli pada kata orang lain karena begitulah hidup; Akan ada orang yang menyukai dan menerima kita, tapi juga akan selalu ada orang yang tidak menyukai kita, dan tidak ada yang bisa kita lakukan terhadap itu selain menjadi yang terbaik bagi diri kita sendiri. In turn, ini tentu saja juga mengajarkan untuk menerima perbedaan orang lain. Sementara orang dewasa juga bisa mengutip pelajaran soal memberikan kebebasan untuk berkembang bagi sesuatu yang kita cintai.

 

Tadinya memang kupikir film ini tuh seperti kartun klasik Disney tersebut, hanya saja dengan cerita yang lebih ringan, nyaris tak ada stake; Lebih anak-anaklah dengan wondrous adventure yang seperti tak bertujuan. Then it strikes me. Dengan segala kemagisan visual dan kesederhanaan ceritanya, Luca ini lebih mirip kayak Ponyo, animasi fantasi dari Studio Ghibli yang juga tentang makhluk air yang bisa menjadi manusia dan penasaran sama kehidupan di darat. Kemudian seiring durasi berjalan, lebih banyak lagi referensi atau kemiripan elemen-elemen Luca dengan film-film buatan Studio Ghibli. Kota yang mereka datangi, Portorosso, hanya beda satu huruf (dan satu spasi) dengan film Porco Rosso, pakaian baju belang merah-putih dan celana panjang biru yang dikenakan teman manusia Luca (si Giulia) mirip sama pakaian teman Kiki di Kiki’s Delivery Service. Bahkan flow cerita film Luca ini mirip dengan cerita anak-anak khas Jepang pada beberapa film Ghibli. Pixar kan biasanya cenderung untuk membangun dunia dan konsep-konsep world-building. Tapi kali ini lebih sederhana. Alih-alih membuat kita menyelam ke dalam dunia monster laut, monster-monster laut itulah yang tercengang-cengang belajar kehidupan manusia. Selain aturan gak boleh basah, dan keinginan punya vespa yang muncul di menjelang pertengahan, film Luca ini berjalan tanpa ada misi ataupun rule yang membentuk cerita. Karakter-karakter kita hanya mengisi hari. Membangun vespa dari perkakas bekas. Mencoba berbagai aktivitas yang tidak bisa dilakukan di air. Kita ‘cuma’ melihat persahabatan mereka tumbuh sepanjang musim panas itu.

Cerita antara dua anak laki-laki (younger and older boy) yang menjadi semakin erat, bersama-sama di sepanjang hari itu memang membuat Luca juga jadi punya vibe yang sama dengan film Call Me by Your Name (2017). Malah sudah ada tuh di Internet yang mlesetin film ini sebagai ‘Calamary by Your Name’. Persahabatan Luca dan Alberto memang terjalin begitu erat, ada cinta yang kuat di sana, tapi aku pikir ini tidak serta merta mengarah ke hubungan romansa. Bahkan Luca dengan Giulia yang bikin Alberto kayak jealous juga enggak benar-benar strike me as a romantic relationship. ‘Cemburunya’ Alberto lebih seperti manifestasi dari abandonment issue yang diidapnya. Alberto ini sebatang kara, tapi tidak pernah ditetapkan dengan gamblang apakah dia ditinggalkan ayahnya dengan sengaja atau gimana. Tapi yang jelas, Alberto sebenarnya memang selalu menunggu ayahnya kembali. Luca -satu-satunya sahabatnya – pergi belajar dengan Giulia jelas adalah trigger bagi Alberto. Itulah sebabnya kenapa adegan di pantai yang melibatkan mereka bertiga terasa sangat sedih dan menohok buatnya karena itu kejadian ditinggalin yang sangat traumatis bagi Alberto. Tapi tentu saja, selain itu, pesan film ini untuk tidak takut ataupun tidak malu menunjukkan diri sendiri, jelas juga adalah pesan yang sangat menguatkan untuk penonton LGBT.

Bagi Luca sendiri pun, both Alberto dan Giulia adalah sahabat yang penting. Mantra “Silenzio, Bruno” yang diajarkan Alberto terbukti jadi sokongan yang kuat untuk mengenyahkan kekhawatiran dan kecemasan Luca. Dan pengetahuan yang diajarkan Giulia membuat Luca sadar terhadap apa yang sebenarnya ia cari ketika pengen Vespa untuk menjelajah dunia. Jadi sekarang tinggal Luca yang harus belajar jadi confident – menjadi diri sendiri – berdamai dengan larangan orangtuanya untuk mengejar hal tersebut.

luca-trailer-1
Call Me by Your Ghibli Name

 

Cerita dan motivasi Luca memang menjadi semakin terarah nanti saat Giulia bergabung ke cerita. Mereka akan latihan bersama. Menghadapi pembully bersama. Kita akan jadi bisa lebih peduli sama Luca dan Alberto. Tapinya juga, memang, bagian-bagian awal film ini terasa kurang ngena. Penonton yang pengen berpegang pada motivasi akan susah mencari pegangan pada karakter Luca. Mungkin keinginan Luca untuk ke permukaan bisa lebih dicuatkan lagi dengan memperlihatkan kenapa sih Luca gak betah di dalam air. You know, Ariel aja punya satu lagu yang memperlihatkan kehidupan di bawah laut yang ingin ia tinggalkan — But then again, itu karena Kerajaan Ariel bukan tempat yang buruk. Jadi adegan itu akan membuat kontras yang menarik kenapa orang mau meninggalkan tempat/statusnya yang sudah tinggi. Dengan begitu, pada Luca yang monster-laut biasa ini, harusnya keadaan di bawah laut itu lebih suram sehingga dia jadi pengen ke atas. Tapi tentu saja itu bakal ngerusak tone cerita, sehingga film ini mencukupkan dengan menghadirkan karakter paman Luca (ikan Borat!) yang aneh dan mau membawanya ke laut terdalam yang kosong. Jadi, masalah dunia Luca yang kurang dikembangkan masih bisa aku maklumi tidak dilakukan film dengan lebih kontras lagi.

Meskipun begitu, aku punya dua hal lagi untuk direwelin perihal film ini. Pertama, antagonis cerita. Si pembully yang jago naik vespa, juara bertahan dalam lomba. Karakter ini terlalu dangkal. Dia sekadar jahat, gak pakek tapi. Padahal mestinya ada depth yang bisa digali dari karakter yang umurnya jauh lebih tua daripada Luca dan anak-anak lain yang jadi lawannya dalam lomba. Film sebenarnya bisa saja mengaitkan identitasnya tersebut dengan bagaimana Luca dan Alberto menyembunyikan wujud monster mereka. Kedua, adalah soal salah satu running-joke dalam cerita. Ayah dan Ibu Luca actually ikut ke kota, dan demi mencari Luca mereka menyiram atau menjatuhkan semua anak yang mereka lihat ke air. Ini lucu, no doubt. Aku ngakak selalu. Tapi kalo dipikir-pikir aneh juga, tidakkah itu akan membahayakan? I mean, di titik itu perspektif ayah dan ibu Luca adalah bahwa penduduk kota masih beringas memburu monster laut. Kalolah salah satu anak yang kesiram itu beneran Luca, anak itu akan terekspos di tengah kota, bukankah itu – dari perspektif mereka – akan membahayakan anak mereka sendiri? Jadi ada yang gak klop dari penulisan komedi itu menurutku.

 

 

Jadi, bagaimana kesimpulanku  mengenai film ini secara keseluruhan? Visual yang cantik, suara yang luar biasa, budget dan star power yang dimiliki Pixar digabung dengan kesederhanaan cerita ala Ghibli — Aku akan nonton kapanpun di mana pun. I hope dua studio animasi ini beneran kolab di kemudian hari. Tapi sekarang, kita punya film ini, dan menurutku ini lebih dari sekadar ‘teaser’. Aku suka. Ini tipe film yang bakal langsung kurekomendasikan ke adik-adikku di rumah. Film ini baik sekali untuk ditonton anak-anak. Punya pesan yang kuat, dan gampang dicerna. Walaupun memang penulisannya bermain di tempat yang sedikit terlalu dangkal. Ada beberapa hal yang mestinya bisa lebih diperdalam, tanpa memberatkan tone secara drastis. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for LUCA.

 

 

 

That’s all we have for now.

Berturut-turut kita nonton film dengan karakter yang ditinggal oleh orangtua. Ali di Ali & Ratu Ratu Queens (2021) dan Alberto di film ini. Juga di film ini, kita melihat Luca meninggalkan keluarga dan sahabat yang ia sayangi. Alberto sempat khawatir akan ditinggalkan Luca, tapi di akhir dia menerima. Menurut kalian, apa ada perbedaan antara tindakan Luca dengan abandonment yang dirasakan Alberto terhadap ayahnya?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

ALI & RATU RATU QUEENS Review

“Our life is a one-way journey”

 

Enggak setiap hari kita diajak jalan-jalan ke kota New York oleh film Indonesia. Tujuan destinasi film kita biasanya memang lokasi-lokasi dengan pemandangan eksotis. Bukannya New York tak indah, hanya saja untuk sebagian besar kota tersebut kurang lebih sama dengan kota-kota besar padat yang sibuk dan megah oleh gedung-gedung menjulang. Pemandangan unik yang dilihat Ali dalam film original Netflix Ali & Ratu Ratu Queens ‘cuma’ jalan-jalan satu arah yang ada hampir di setiap persimpangan distrik Queens. Namun bagi Ali, maupun bagi film ini sendiri, pemandangan bukan menjadi persoalan. Karena cerita ini adalah tentang perasaan. Ali bakal menyadari sesuatu tentang kehidupan dari jalan-satu arah yang ia lihat. Ali bakal belajar tentang hubungan keluarga yang sebenarnya. Ali & Ratu Ratu Queens berhasil menguarkan kehangatan pada kota yang bahkan di film-film dan serial televisi luar kerap digambarkan sebagai kota keras yang tidak ramah.

aliCSMh3V7vG
Oase di hutan gedung

 

Cerita film ini seperti sebuah unofficial sekuel dari Dua Garis Biru (2019), yang juga ditulis oleh Gina S. Noer. Enggak exactly berhubungan, tapi tak-urung terasa seperti kelanjutan. Dalam akhir Dua Garis Biru, si ibu-remaja memutuskan untuk terbang ke Korea mengejar mimpi dan menyambung pendidikannya, meninggalkan putranya untuk sementara bersama ayah-remaja di Indonesia. Ali & Ratu Ratu Queens, ceritanya dimulai dengan permasalahan yang mirip. Bedanya, pasangannya bukan remaja, perginya bukan ke Korea. Ali sudah berumur lima-tahun ketika ibunya pamit sebentar ke Amerika. Apa yang tadinya mestinya hanya enam bulan, berlanjut hingga bertahun-tahun. Ali hilang kontak dengan sang ibu. Sepeninggal ayah, Ali yang kini telah lulus sekolah menemukan bukti bahwa Ibu ternyata bukanlah seperti yang dikatakan oleh Om, Tante, dan saudara-saudaranya di Indonesia. Percaya setulus hati bahwa Ibu masih cinta dan menunggunya, Ali memutuskan untuk berangkat ke Amerika. Menjemput ibunya.

When entering this movie, I was thinking about a completely different movie. Materi-materi promosi yang kulihat berseliweran di sosmed/Internet telah sukses menggiringku ke arah yang salah perkara ‘mencari ibu’ yang dilakukan oleh Ali. Tadinya kupikir ini adalah tentang anak yang melakukan road trip ke Amerika, menemukan ibu yang tidak ia tahu pasti keberadaan, atau malah mungkin ‘siapa’ ibunya tersebut. Ternyata Ali & Ratu Ratu Queens enggak really about mencari. Ali dalam cerita ini tahu dan ingat siapa perempuan yang dia sebut ibu, Ali tahu tempat di mana dia harus mencari; dia punya alamat lama dan everything. Perjalanan Ali di sini bakal tampak sebagai sebuah kemudahan, apalagi Ali kemudian ditampung tinggal bersama geng ibu-ibu imigran dari Indonesia yang lagi nyari duit untuk buka bisnis kuliner di sana. Tapi sekali lagi, film ini bukan soal ‘mencari keberadaan’, melainkan soal memaknai keberadaan itu sendiri. Setelah plot poin di akhir babak pertama yang mengejutkan, fokus yang kemudian mengisi cerita adalah mengenai hubungan Ali dengan para ibu-ibu yang menyebut diri mereka Queens-nya kota Queens yang perlahan ikut tumbuh seiring dengan usaha Ali merajut kembali hubungan yang terputus dengan ibunya.

Jika ada yang Ali cari, maka itu adalah mencari makna keluarga. Dan life, in general. Karena film ini lewat perjalanan Ali juga punya muatan soal dalam hidup manusia punya tujuan, yang jalan menempuh tujuan tersebut bakal penuh pengorbanan, dan betapa berat perjuangannya untuk tidak stray away dari jalan tersebut. Jalan-satu-arah di kota Queens tersebut benar-benar tepat melambangkan jalan hidup yang kita lalui. Satu arah. Tidak ada kata mundur kembali dalam perjalanan mengejar mimpi.

 

Dalam prosesnya menceritakan jalan satu-arah, film ini mendobrak pandangan di sana-sini. Pertama, pandangan tradisional orang-kita yang berakar pada agama dan (sedikit terlalu banyak) patriarki terhadap gaya hidup Amerika dan kebebasan perempuan mengejar karir menentukan sendiri hidupnya. Ini dicerminkan oleh film lewat sikap menentang yang ditunjukkan oleh keluarga besar Ali di Indonesia. Mia, ibunda Ali yang sudah lama mia (alias ‘missing in action’ dalam urusan ibu rumahtangga) mereka anggap berdosa besar, dan itulah sebabnya Ali berusaha mereka jauhkan darinya. Karakter Ali di sini berfungsi sebagai perwakilan kita untuk mau/open melihat lebih dekat sebelum ngejudge. Ali langsung terjun ke Amerika. Merasakan sendiri perbedaan yang dianggap negatif ternyata reasonable secara manusiawi. Dan meskipun hal menjadi berat dan pedih bagi dirinya, Ali jadi mengerti kenapa ibunya melakukan yang ia lakukan tersebut. In turn, Ali paham dia juga harus menapaki jalannya sendiri karena dia adalah anak muda yang haruslah siap menghadapi dunia.

Kedua, pandangan stereotipe kota New York pada film dan serial televisi. Yang sering dieksplor dari Kota New York dalam media adalah kekerasannya. Dari The Simpsons hingga New Girl hingga ke film-film kriminal, New York lebih sering diperlihatkan sebagai daerah berbahaya, dengan penduduk yang cuek. Brookyn, Bronx, Staten Island; kota-kota “ghetto” aja yang terus dibahas. Film Ali & Ratu Ratu Queens ini tentunya asing bagi penonton Netflix di luar sana. Dan bagi orang Amerika, film ini bisa jadi pembuka mata. Karena bagi para pendatang atau imigran asing tersebut, Queens – kota di New York yang mereka bentuk sendiri sebagai tempat-keras – justru jadi tempat berlindung yang ramah. Ali dan para ibu-ibu tidak pernah diperlihatkan mendapat ancaman atau diskriminasi. Bahkan ada adegan ketika Ali mendapat simpati dan bantuan dari penduduk lokal. Bagi Ali, mungkin ibunya jauh lebih ‘kejam’ dibandingkan Queens. Bagi Ali dan ibunya dan ibu-ibu Queens, kota itu dengan jalan satu-arahnya adalah peluang untuk mewujudkan mimpi dan passion.

aliAli-Ratu-Ratu-Queens-4-750x422
Sepertinya benar juga kalo judul film ini adalah wordplay Alien the Queens. Imigran di Queens.

 

Jadi, natural (dan perlu banget) bagi film ini untuk menguatkan interaksi dan hubungan antara Ali, baik dengan ibu kandungnya, maupun dengan ibu-ibu yang nama gengnya disandingkan dengan namanya sendiri sebagai judul film. Marissa Anita sebagai ibu Ali mencuat di sini berkat tuntutan akting yang mengharuskannya bergulat dengan emosi. Baginya ini adalah menjadi ibu yang bertanggungjawab kepada keluarga sekaligus menjadi seorang perempuan yang bertanggungjawab terhadap dirinya sebagai manusia. Marissa nails this, khususnya pada dialog supermenyentuh ketika dia harus benar-benar ‘mengakui kesalahannya’ kepada Ali di menjelang akhir film. Suara tercekat yang emosional terdengar sangat genuine, seperti ia benar-benar terluka dan menyesal saat mengucapkannya. Momen-momen heartfelt memang datang dari interaksi Mia dan Ali, berkat how good dan pahamnya Marissa terhadap psikologis perannya.

Ali, on the other hand, tampak agak on dan off. Kita mengerti arc Ali, we’ve come to understand apa yang harus dimengerti oleh Ali. Namun Iqbaal Ramadhan tidak terasa begitu konsisten dalam menyampaikan apa yang seharusnya dirasakan oleh karakternya. Karakter Ali punya tuntutan range yang lumayan, kadang dia berupa seperti anak kecil yang belum mengerti dan masih harus banyak dididik oleh ibu-ibunya. Kadang dia harus bermain-main dengan mereka. Kadang dia harus confront emosi terdalamnya. Iqbaal tampak perlu full-guidance to get through all of this, one by one. Sayangnya, skrip film ini bukanlah skrip yang benar-benar seimbang. Babak pertama dan pada sebagian besar babak keduanya, difungsikan untuk membangun hubungan antara Ali dengan para ratu. Namun tidak banyak yang diberikan kepada Ali di sini. Dia tidak selalu ada di driver-seat. Keputusan-keputusan besar diserahkan kepada para ratu. Malah, Ali tinggal bareng mereka saja, bukan Ali yang memutuskan. Instead, Ali dapat bagian untuk memutuskan hal-hal seperti melarang para ratu pergi melabrak ibunya. Film ini seperti memberikan tone yang membingungkan bagi Iqbaal to play with. Karena para ratu itu – walaupun ingin dibagi adil porsinya dengan Ali – tapi tetap sebagian besar difungsikan sebagai penghibur suasana.

Para ratu tidak banyak diberikan ruang untuk pengembangan karakter. Mereka, katakanlah, sudah tercetak langsung jadi. Tika Panggabean sebagai ibu galak dengan anak gadis yang cantik, Happy Salma sebagai oddball, Nirina Zubir sebagai penengah, dan Asri Welas sebagai peran dirinya yang biasa. Sedikit kekhasan masing-masing tidak pernah benar-benar dijadikan sebagai sesuatu bahasan yang relevan untuk cerita. Hubungan Ali dengan mereka pun sebagian besar dilakukan lewat montase. Aku tidak merasa ada persahabatan yang benar-benar tumbuh di luar hubungan seperti antara anak muda dengan guardiannya. Sehingga pula, interaksi dengan mereka di dua babak awal malah jadi tampak sebagai distraksi buat permainan emosi yang harus dilakukan Iqbaal.

Sutradara Lucky Kuswandi pun sepertinya memang lebih lihai dalam adegan relationship yang lebih ‘intim’ antara dua karakter ketimbang antara banyak-karakter. Pada bagian akhir ketika cerita memfokuskan kepada hubungan Ali dengan karakter yang diperankan Aurora Ribero, film terasa lebih stabil. Ini juga adalah waktu ketika Ali yang berusaha memperbaiki banyak hal mulai berada dalam full-komando. Akting Iqbaal pun jadi lebih konsisten di sini. Aku sih pengennya film bisa sekonsisten ini dari awal hingga akhir. Tapi kalo memang filmnya sudah merasa cukup dengan memuaskan penonton lewat bagian akhir saja, well, this is just one-way to do it.

 

 

True, film ini adalah salah satu ‘good movie’ yang berhasil diproduksi oleh perfilman tanah air di tahun-tahun yang mencekik ini. Feel good dan sangat menghangatkan. Membawa kita jalan-jalan dan membawa oleh-oleh yang berbobot untuk dibawa pulang ke hati masing-masing. Film ini juga punya suara dan berani untuk mengoarkannya. Tapi, aku pikir ini bisa mencapai lebih banyak lagi. Karakter utamanya, Ali, bisa lebih diperkuat lagi. Para Queen-nya bisa lebih didalemi lagi. Tone quirky dengan dramatisnya bisa dibuat lebih ngeblend lagi. Jika itu semua tercapai, aku yakin film ini gak butuh untuk bersandar pada lagu-lagu populer. Really, bahkan di film ini yang sekarang pun, lagu-lagu tersebut terasa over. At this point, mereka itu ada terasa seperti film ini lagi flexing budget yang dipunya aja kepada kita.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ALI & RATU RATU QUEENS.

 

 

That’s all we have for now.

Karakter Ratu mana yang jadi favorit kalian? Kenapa?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

CRUELLA Review

“The worst enemy to creativity is self-doubt.”

 

Antagonis/penjahat perempuan dalam film-film Disney kebanyakan adalah feminis. Mungkin inilah sebabnya kenapa Disney memutuskan untuk berbondong-bondong bikin live-action dari sudut pandang mereka. Karena, memang, di zaman sekarang para antagonis tersebut dinilai lebih real dan punya kualitas yang lebih merepresentasikan perempuan; mereka mandiri, kuat, berambisi, tau apa yang mereka mau – dan bekerja keras untuk itu. Dan gak takluk pada keseragaman standar kecantikan. Perempuan kekinian tidak lagi duduk dan ‘menunggu diselamatkan oleh pria’ seperti Princess-Princess cerita Disney. Perempuan masa sekarang gak ragu untuk memegang kendali kehidupan mereka, persis seperti Maleficent, Ursula, (to some extent) Elsa, Ibu Tiri Cinderella. Dan ya, Cruella de Vil.

Cruella de Vil adalah antagonis utama dalam franchise 101 Dalmatians. Karakter ini terkenal dengan penampilannya yang nyentrik, serta motivasinya yang benar-benar kejam; menculik anak-anak anjing dalmatian untuk dijadikan mantel bulu! Kelihatan hampir mustahil membuat karakter dengan motivasi seperti itu menjadi semacam pahlawan, kan? But hey, everybody is a hero in their own story. Maka Disney mengajak kita untuk melihat Cruella de Vil sebelum dia bahkan dipanggil dengan nama seserem (dan sekeren) itu.

Film Cruella garapan Craig Gillespie memang diposisikan sebagai prekuel. Nama aslinya ternyata adalah Estella. Dan film ini – mengutip dialog si Estella itu sendiri – adalah tentang “Gadis jenius berubah menjadi gadis bodoh yang membunuh ibunya sendiri, dan kemudian menjadi kesepian” Estella tumbuh di jalanan, yatim piatu, keluarganya hanya dua orang cowok Jasper dan Horace, beserta dua ekor anjing peliharaan. Bakat dan minat yang besar terhadap fashion design membawa Estella bekerja untuk Baroness, designer terkenal favoritnya. Ternyata bos dan idolanya itu orangnya kasar banget. Tapi sebagaimana rambutnya terlahir berwarna hitam-putih yang dianggap sebagian besar orang aneh itu, Estella juga punya dark side di dalam dirinya. Sifat buruk si Baroness dia jadikan panutan, untuk membangkitkan kembali sisi gelap tersebut. Estella – kini Cruella – muncul sebagai penantang bagi Baroness. Upstaging semua penampilan Baroness, dan bahkan sepertinya juga mengungguli perilaku kejamnya.

cruelladownload
Dressed to kill!!

 

Awal penciptaannya memang karakter Cruella de Vil diadaptasi oleh Disney ke dalam film animasi sebagai semacam karikatur dari feminis. Seorang businesswoman yang comically kejam, terutama sama binatang-binatang. Dia punya anak buah yang bego sebagai kontras. Film live-action yang kali ini berusaha memberikan kedalaman kepada karakter ini. Ada banyak aspek yang bisa kita relasikan dari Estella. Misalnya berupa bagaimana dia adalah karakter yang ditekan oleh bosnya sendiri. Atau bagaimana soal dia adalah orang yang berbakat, tapi tidak dimengerti oleh banyak orang – tidak banyak orang yang mengapresiasi talenta yang ia miliki. Atau terutama soal itu semua tadi karena dia tidak diberikan rasa nyaman untuk menjadi dirinya sendiri. Aspek paling menarik dari karakter Cruella di film ini adalah karakternya yang punya dua persona. Untuk jangka waktu yang lama sekali, dia percaya bahwa ‘Cruella’ tidak baik baginya. Dia harus jadi Estella yang baik. Tapi ternyata Estella yang baik itu justru bukan dirinya yang sebenarnya. Melihat Estella berusaha mengembrace sisi gelapnya, dan melihat hidupnya berubah seketika  – for better or worse – setelah dia melakukan itu, membawa beragam emosi kepada kita penontonnya. Dan film memang terus berusaha membuat kita bersimpati kepada Estella.

Monolog Emma Stone di depan air mancur menjelang babak ketiga ketika dia sudah enggak ragu-ragu lagi tentang Estella atau Cruella, adalah momen yang powerful. Karena itulah momen saat keraguan karakternya akan diri sendiri hilang. Dan ultimately itu jugalah yang membuat Cruella begitu berbahaya. Karena dia tahu siapa dirinya, apa yang ia mau, dan apa yang ia bisa untuk mendapatkan itu. Sebagaimanapun klisenya, tapi Cruella menunjukkan menjadi diri sendiri – gak peduli apakah itu baik atau buruk bagi orang lain – adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan kepada diri kita sendiri.

 

Estella alias Cruella diberikan masalah yang sangat personal. Rivalry-nya dengan Baroness tidak dibuat sekadar persaingan orang-jenius-gila untuk menguasai bisnis fashion, ataupun memperebutkan kalung berharga. Melainkan diberikan backstory yang berkaitan dengan persoalan keluarga. Estella menyalahkan dirinya sendiri atas kematian sang ibu, padahal sebenarnya semua itu adalah ulah Baroness. Saat Estella mengetahui hal tersebut, di situlah saat film ini mulai menggali lapisan emosional, yang mengangkat konflik cerita ini. Memberatkannya dengan bobot sehingga karakter cartoonish tersebut kini bisa kita lihat sebagai manusia yang mungkin enggak begitu berbeda dengan kita. We all love our moms, tapi apakah membuka pintu neraka demi melindungi pintu surga itu adalah langkah yang benar?

Dengan muatan demikian, film ini jadi lumayan dark untuk jadi tontonan konsumsi anak-anak. Kisah hubungan anak dengan ibu ini dihiasi intrik demi intrik, mulai dari yang bisa digolongkan crime kecil-kecilan hingga ke percobaan pembunuhan. Dan ya di sini memang ada pembunuhan yang dilakukan dengan tidak benar-benar tersurat. Karakter utama kita bergerak dengan motivasi dendam, yang jelas butuh banyak penjelasan oleh orangtua kalo anak mereka diajak nonton dan mempertanyakan soal ini. Selera humor film ini juga cukup gelap. Kita memang mendapatkan kekonyolan semacam kejadian chaos yang lucu dari tikus di dalam nampan makanan, tapi sebagian besar keseruan rivalry Cruella dan Baroness berupa vandalisme atau hal-hal yang jelas akan ‘gak lucu’ kalo dilakukan oleh anak-anak. Tapi buat orang dewaa, memang film ini bisa terasa fun banget. Aku peduli sama cerita film ini lebih dari yang aku duga, karena aku memang bukan penggemar 101 Dalmatians. Tadinya aku juga mikir film ini bakal agenda-ish, mengingat betapa ikon feminisnya si Cruella de Vil itu sendiri. Di menit-menit awal memang film kayak ngarah ke sana.. tapi kebelakangnya ternyata tidak. As i said, film ini ternyata cerita yang sangat personal bagi karakter Cruella.

Jadi kualitas baiknya, film ini punya cerita yang intriguing. Visualnya juga cakep, penuh oleh fashion-fashion yang unik (dan punya statement, as we see much style Cruella used inspired by punk; yakni style yang juga melawan conformity). Dan juga punya penampilan akting duo Emma yang jadi sentral, yang menyatu banget, memperkuat kostum dan karakter yang mereka perankan. Emma Stone tak pernah tergagap bermain sebagai Estella dan Cruella. Begitu juga dengan Emma Thompson yang benar-benar menunjukkan betapa Baroness itu gorgeus sekaligus vicious.

cruella10694172_052521-wls-hosea-cruella-4p-vid
Are you ready for Emmaverse??!!

 

Penampil dan look yang sangat bisa berbicara itu ternyata bagi film masih belum cukup. Film ini masih mengandalkan musik atau lagu latar untuk menyampaikan perasaan. Lagu-lagu populer tahun 70an itu akan terus dimainkan, bahkan untuk adegan yang gak perlu ada lagunya. Okelah kalo pada sekuen aksi, atau dimainkan saat montase sebagai pengikat mood. Namun ini, Estella masuk butik aja ada soundtracknya. Lagu yang too much ini jadi membuat film seperti tidak bisa menciptakan tone cerita sendiri.

Sebagai sebuah prekuel, film ini membiarkan kita mengikat sendiri untaian-untaian cerita yang mereka lepas. Membiarkan kita mencoba memasukakalkan Estella yang di sini menjadi Cruella dan kemudian menjadi Cruella de Vil yang sudah kita kenal dari dua film animasi dan satu live-action jadul. Dan sesungguhnya itu adalah pe-er yang berat untuk kita semua. Karena sesungguhnya antara membangun simpati untuk Estella dengan actual cruel things yang dilakukan Cruella pada kisah originalnya tersebut gak pernah benar-benar add up atau terikat dengan masuk akal. Misalnya seperti ketika film memperlihatkan kita alasan kenapa Cruella jadi suka membuat mantel bulu dari anjing dalmatian. Jawaban yang diberikan film ini tidak akan memuaskan karena yang diperlihatkan di sini adalah bahwa itu semuanya cuma ‘gimmick’. Cuma sesuatu yang dijual si karakter atas nama ‘brand’nya sebagai Cruella de Vil. Dan itu ganggu continuity ketika disambungkan dengan film originalnya.

Lagipula lucu sekali toh. Film ini sendiri dibuat karena orang-orang ingin tau kenapa Cruella di 101 Dalmatians bisa jadi begitu jahat sampai-sampai ingin membunuh anak anjing untuk diambil bulunya. Tapi jawabannya ternyata cuma “Don’t worry, itu cuma taktik marketing brand.” Dan lantas film lanjut dengan seolah melempar lagi pertanyaan “Or is it?”. Pada akhirnya memang tujuan film ini enggak jelas karena bangunan karakter Cruella-nya itu sendiri enggak jelas. Karakternya dibuat mengundang simpati, kita jadi ngerti kenapa dia harus begini kenapa dia harus begitu, sehingga bahkan nama ‘Cruella’ itu tidak sesuai lagi karena kita tidak melihatnya sebagai orang yang kejam (yang kejam malah si Baroness). Lalu film berusaha membuat dia tampak kejam lagi dengan benar-benar vague terhadap sikapnya terhadap identitas Cruella yang ia pakai. Tapi mungkin, memang itulah salah satu kerelevanan film ini. Bahwa semua hal memang cuma pencitraan. Pura-pura jahat untuk branding. Marketing yang jenius. 

Or is it?

 

 

 

Yang bener-bener cruel alias kejam di sini itu adalah si filmnya ini sendiri. Punya penampil luar biasa, punya looks yang gaya, tapi masih merasa belum cukup. Dan malah lebih mengandalkan lagu soundtrack yang dimainkan sebagai latar. Punya cerita menarik, tapi implikasinya benar-benar dark. Dia menjadi seru dan menghibur lewat ke-dark-annya tersebut. Sementara karakternya sendiri – yang adalah karakter antagonis yang namanya literally ada kata ‘kejam’ – tidak benar-benar dieksplorasi atau ditampakkan sebagai orang yang kejam. Melainkan sebagai karakter yang mengundang simpati karena dia sudah melalui begitu banyak, ditipu, nyaris dibunuh dan sebagainya. Mungkin menuliskan karakternya seperti itulah hal paling kejam yang dilakukan film ini kepada kita.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for CRUELLA

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian melihat Cruella sebagai orang baik, atau orang jahat di sini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE MITCHELLS VS. THE MACHINES Review

“A father must lead his children; but first he must learn to follow.”

 

Cita-cita setiap remaja di seluruh dunia sebenarnya sama; pengen orangtua mendukung cita-cita mereka. Entah itu mau jadi pemusik, atlet, seniman. Pembuat film. Konten Kreator. Atau bahkan Youtuber. Buat kalian yang menyipitkan mata mendengar konten kreator sebagai cita-cita? See, inilah yang exactly dibahas oleh film The Mitchells vs. The Machines. Orangtua, sebagian besar, tidak mengerti pentingnya ‘cita-cita’ tersebut bagi anak mereka. Atau bahkan gak ngerti gimana ‘cita-cita’ tersebut termasuk sebagai kerjaan-asli. Animasi keluarga garapan Michael Rianda dan Jeff Rowe ini mengeksplorasi langsung ke inti permasalahan tersebut, yakni generation gap. Jurang antara anak dengan orangtua, yang terbentuk salah satunya oleh perkembangan teknologi. Rianda dan Rowe menceritakan persoalan itu lewat potret keluarga Mitchell yang aneh dan kocak. Dengan efektif ngeset tone dan menciptakan desain (cerita dan visual) sehingga cerita yang mereka angkat ini tidak pernah terasa seperti nasehat yang menggurui, melainkan literally sebuah perjalanan yang fun, seru, dan penuh warna. Petualangan yang relate sekali dengan identitas, dan juga selera remaja kekinian, beserta keluarganya sekalian!

Katie Mitchell udah gak sabar masuk kuliah. Bukan saja karena dia bakal bisa terus mengasah kemampuan membuat-filmnya, tapi juga karena akhirnya dia bakal berada di lingkungan yang benar-benar mengapreasiasi bakat dan hobinya tersebut. Di rumah, yang mau nonton film-film konyol buatannya cuma adik dan ibu. Sementara ayahnya, cuek. Gak ngerti ama film Katie. Khawatir, malah, sama pilihan Katie. Padahal dulu Katie ama ayahnya deket banget. Kini mereka seperti ada jarak. Gak nyambung, apalagi kalo udah ngomongin film dan tetek bengek teknologi. Makanya, untuk menghabiskan waktu bersama-sama lagi, Ayah memutuskan untuk mengantar Katie ke kampus. Naik mobil sekeluarga. Namun, saat keluarga Mitchell itu lagi seru-serunya bonding on the road, dunia diambil alih oleh A.I. di smartphone yang dendam sama perlakuan manusia terhadap teknologi. A.I. itu memerintahkan pasukan robot untuk menangkapi semua orang. Sampai hanya keluarga Mitchell-lah yang tersisa untuk menyelamatkan dunia.

mitchellscon_cld110.1170_lm_v1-1280
Tanyalah ke hatimu yang paling dalam, maukah kalian mempercayakan dunia kepada mereka?

 

Memang sih, cerita tentang hubungan anak dan orangtua yang merenggang, kemudian mereka berusaha untuk saling dekat kembali ini udah sering kita temukan bersemayam dalam film-film, apalagi untuk keluarga. Yang bikin The Mitchells vs. the Machines adalah karakterisasi yang mencerminkan gaya komedinya itu sendiri. Film ini punya selera humor yang quirky abis. Dan itu tercermin ke dalam pembentukan karakter-karakternya.

Karakter-karakter cerita itulah yang ultimately menjadi kekuatan film ini. Membuat kita gak capek dan terus mau peduli sama rintangan-rintangan yang mereka hadapi. Entah itu rintangan dari dalam, ataupun dari robot-robot. Katie (Abbi Jacobson menghidupkan karakter remaja awkward ini dengan penuh konfiden sehingga gak klise) adalah remaja cewek yang sangat kreatif, hobinya bikin video – actually video seriesnya di Youtube sukses menjadi viral – menggunakan properti bikinan sendiri seperti sarung tangan dan boneka dan sebagainya. Katie menjadikan anjing keluarga mereka, si Monchi, sebagai bintang. Si Monchi itu sendiri gak kalah unik. Dia anjing jenis pug yang matanya kaga sinkron, penampilan konyolnya ini nanti jadi running gag dan malah jadi salah satu kunci keberhasilan mereka mengalahkan pasukan robot. Ayah Katie, Rick (Danny McBride berhasil menjadi seorang ayah yang seimbang antara kocak dengan menyentuh) bener-bener seseorang yang gaptek, tapi dia bukan tipe boomer yang sok bener. Melainkan seorang ayah yang baik, yang mau berjuang demi keluarga yang ia sayangi, meskipun seringkali dengan caranya sendiri. Rick adalah satu-satunya ayah yang kutahu menghadiahi obeng kepada semua anggota keluarganya haha…  Rick berjuang menggunakan komputer dan teknologi juga jadi running gag yang gak pernah bosenin. Ibu dan adik Katie jatohnya lebih seperti karakter pendukung yang lebih minor. Tapi mereka juga punya keunikan, dan masalah, tersendiri. Ibu Katie pengen keluarga mereka tampil perfecto seperti tetangga sebelah. Dan si adik punya ‘penyakit’ nerd akut sama yang namanya dinosaurus. Mereka berperan besar membuat cerita terus bergulir dengan cara fun dan di-luar-perkiraan.

Namun sebenarnya yang membuat film ini terasa sangat unik, seperti film spesial sendiri, adalah lapisan yang membungkus drama keluarga yang harus belajar saling mengerti tersebut. Lapisan soal bagaimana manusia sudah menjadi begitu bergantung kepada teknologi. Kepada handphone. Kepada internet. Adegan paling ngakak buatku adalah ketika A.I. smartphone yang jadi antagonis (bayangkan Siri atau Alexa yang jadi jahat dan bergerak sendiri) mematikan wi-fi dan seluruh dunia langsung geger. Reaksi para manusia yang tiba-tiba terdiskonek dari internet yang udah jadi gaya hidup sehari-hari digambarkan dengan sangat kocak. Para manusia itu dengan mudah ditangkapi karena terjebak oleh tanda ‘wifi gratis’ hihihi.

Hebatnya, film ini menampilkan elemen cerita tersebut dengan berimbang. Para robot dan teknologi tidak ditampilkan semena-mena jahat. Film ini tidak berniat untuk memaksakan bahwa teknologi itu jahat, telah memisahkan orangtua dan anak, dan betapa manusia akan hidup lebih baik tanpanya. Tidak. Melainkan, film memperlihatkan dari dua sisi. Hidup dengan teknologi juga dipersembahkan sebagai hal positif dan unggul. Bukan salah teknologinya. Salah kita yang kurang bijak memanfaatkannya. Permasalah gap yang bikin renggang Katie dan ayahnya kan juga ditulis paralel dengan ini. Ayah Katie tidak pernah sekalipun menyalahkan teknologi. Malahan dia berusaha untuk mengenali teknologi. Berusaha menonton apa yang Katie bikin, dan berusaha mengerti apa arti kreasi tersebut bagi hidup putrinya.

Menjadi ayah yang baik ternyata sama dengan menjadi pengguna teknologi yang baik, Harus mau dan bisa belajar mengikuti. Sembari paham bahwa dirinya lah yang memegang kendali. Kita tidak boleh membiarkan diri terlena dalam menggunakan teknologi. Begitu juga ayah kepada anak-anaknya. Anak-anak itu berkembang. Ayah harus bisa untuk mengikuti perkembangan tersebut, aware sama masa depan anaknya. Itulah sebabnya kenapa ayah juga harus kuat. Karena ia harus melakukan semua itu sambil terus mengingat masa kecil anak-anaknya.

 

mitchells-vs-the-machines-monchi-1618568457
Kalo lagi puasa memang anjing ini diliat-liat mirip roti sih haha

 

Karakter unik, elemen cerita berlapis, dua hal tersebut menjadikan film ini keren dan kocak banget. Tapi, bahkan di samping itu semua, ada satu lagi yang istimewa. Hal yang jadi kekuatan utama film ini. Fondasi yang menjadi nyawa bagi film ini. Visualnya. Serius, ketika kita bicara tentang film animasi, hal pertama yang menjadi perhatian kita; hal pertama yang membedakan film tersebut dengan film lain adalah tampilan. Gaya gambar. Desain dan kreasi. Film ini juara. The Mitchells vs. the Machine diproduksi oleh Phil Lord dan Christopher Mille, yang sebelum ini memproduksi animasi Spider-Man: Into the Spiderverse (2018), animasi yang memorable lewat gaya visualnya (menang Oscar animasi terbaik!!). Pengaruh kreatif film tersebut lantas diturunkan ke The Mitchells vs. the Machines ini. Kelembutan animasi komputer dipadukan dengan shade-shade kayak buatan tangan, membuatnya gambar-gambar itu bukan saja menjadi semakin mulus dan hidup, tapi juga sekaligus pop up di layar.

Jika pada film Spiderverse itu animasinya menggunakan gaya ala komik dan grafiti alias seni jalanan, maka di film kali ini visual yang digunakan, dibuat dengan referensi kultur internet. Filter sosial media, Youtube, dan sebagainya. Membuat film ini semakin dekat dengan remaja yang ingin mereka representasikan. Leluconnya diinkorporasikan ke dalam bentuk visual, ke dalam gaya yang membuat film ini seperti dibuat oleh remaja seperti Katie yang sedang main sosial media. Dan itu memang jadi nilai plus yang dilakukan oleh film ini. Memang ada dua jenis gaya animasi yang dilakukan. Pertama, animasi dunia-nyata Katie. Dan kedua, animasi ketika film harus menampilkan video atau film viral kreasi Katie. Kedua gaya ini punya pembeda masing-masing. Namun seiring berjalannya cerita, ada masa ketika keduanya bercampur, dan film berhasil menghandlenya dengan seimbang.

Gaya dan lelucon yang katakanlah ‘kekinian’ itu kadang memang bisa terasa sedikit terlalu berlebihan. Ada resiko bakal membuat film ini kehilangan bobotnya. Film Pixar, sebagai perbandingan, menangani cerita seperti begini biasanya dengan memasukkan momen-momen slow. Untuk membiarkan kita mengambil napas dan mengapresiasi pesan cerita dengan lebih khusyuk. The Mitchells vs. the Machines enggak punya momen seperti demikian. Pacingnya superkencang. Membawa kita melaju melihat drama, filter, dan lelucon-lelucon lain. Tapi juga, tidak sekalipun film ini terasa kehilangan bobot. Seluruh desain tersebut (pacing dan visual dan lelucon) dilakukan sesuai dengan konteks yang sudah diniatkan. Untuk menimbulkan kesan yang hingar bingar. Dan film ini perlu kesan tersebut mengingat elemen ceritanya saja suda sedemikian ‘tabrakan’; hubungan ayah-anak dan ketergantung teknologi itu udah kayak dua cerita berbeda, belum lagi elemen road-trip dan petualangan pertempuran. Film ini sudah punya bobot emosional di dalam cerita. Dia hanya butuh perekat. Dan gaya desainnya itulah yang merekatkan. Kekinian dan segala macam itu tak lagi jadi supaya relate saja (dan nanti akan kemakan usia), tapi sudah menajdi seperti karakter tersendiri.

 

Film ini sebenarnya bisa saja mencukupkan dirinya menjadi animasi hura-hura yang bermain dalam budaya internet kekinian. Umur film ini bisa saja jadi sangat singkat. Bakalan outdated seiring munculnya budaya/tren baru. Tapi cerita yang dikandungnya ternyata terlalu penting dan terlalu beresonansi. Baik untuk remaja sekarang, maupun remaja jaman dulu (alias yang udah jadi orangtua). Kalo ada jembatan yang menghubungkan antargenerasi, maka film ini adalah bagian dari jembatan tersebut. Kocak, pintar, self-aware, dan menyentuh emosi dalam gayanya yang quirky. Desainnya lah yang jadi kekuatan utama. Menjadikan film ini tidak hanya sekadar rentetan referensi demi referensi internet. Melainkan jadi karakter tersendiri. Ini adalah tontonan spesial, yang tentu saja layak disaksikan bersama orang-orang terspesial di hidup kita. Keluarga.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE MITCHELLS VS. THE MACHINES.

 

 

That’s all we have for now.

Apakah benar teknologi membuat hubungan di dalam keluarga menjadi renggang?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

JAKOB’S WIFE Review

“It is not a lack of love, but a lack of friendship that makes unhappy marriages”

 

 

Menurut kalian horor yang bagus itu yang gimana sih? Jawaban yang kerap aku dengar setiap kali ngajuin pertanyaan itu adalah yang hantunya serem, atau yang pembunuhnya jahat, lagi sadis. Tentu saja, yang pasti, horor yang bagus itu adalah yang bisa bikin kita ngeri.  Persoalannya justru terletak pada bagaimana membuat kita merasa ngeri tersebut. Tidak bisa dengan hanya menampilkan hantu atau zombie atau psycho-killer. Mereka sebenarnya cuma bikin kaget. Ngeri itu datang dari kedekatan drama yang menjadi situasi pada cerita. Ya, drama. Horor yang bagus seringkali adalah horor yang berhasil membumbui drama yang relate terhadap banyak penonton dengan elemen horor semacam hantu, monster, dan kawan-kawannya.

Sutradara Travis Stevens mencoba untuk membuat Jakob’s Wife sebagai horor yang bagus. Di sini, dia meletakkan elemen vampir penghisap darah  ke dalam permasalahan suami-istri yang telah menikah demikian lama tanpa pernah merasakan compassion dalam berumah tangga.

Jadi menurut kalian pernikahan yang bagus itu yang gimana sih? Yang langgeng? Yang suami-istrinya gak pernah berantem? Pasalnya, Anne sudah tiga-puluh tahun menikah dengan Jakob, seorang pendeta terkemuka di kota mereka. Mereka gak pernah ribut, tapi tetap saja Anne merasa hidupnya menyedihkan. Hampa. Dia hanya duduk di sana, setia mendampingi suaminya. ‘Istri Jakob’, itulah identitasnya selama ini. Sampai akhirnya peristiwa mengerikan itu menimpanya. Anne digigit vampir. Perempuan itu merasa ada sesuatu yang bangkit di dalam dirinya. Dia merasa lebih hidup seiring perubahan yang terjadi di dirinya dan korban-korban berjatuhan di sekililingnya. Dan sekarang, pernikahannya yang menjemukan mungkin bisa berubah menjadi lebih sehat.

Jakobs-Wife-Trailer
Sekarang dia bisa dikenal sebagai si Vampir Tikus

 

Jakob’s Wife ini baru proyek film panjang kedua bagi Stevens. Film pertamanya tayang tahun lalu, dan juga telah kureview, berjudul Girl on the Third Floor (2020). Horor juga, dan aku suka meskipun film tersebut agak ‘segmented’. Alias agak susah dicerna oleh selera pasar. Sedari film tersebut, Stevens sudah mulai ngebuild up kelincahannya bergelut dengan budget yang gak banyak-banyak amat. Girl on the Third Floor berisi banyak praktikal efek untuk menghidupkan rumah yang seperti tubuh-hidup sendiri, mengeluarkan banyak cairan dan hal-hal bikin gak enak lainnya. Majukan satu tahun ke depan, Stevens ternyata masih cakap dalam bermain efek-efek seperti demikian. Jakob’s Wife juga meriah oleh efek-efek (kali ini lebih ke arah gory ketimbang nasty) yang membuat horor ala kelas B ini menjadi semakin grounded seramnya. Kita akan melihat vampir dengan mata merah berdarah-darah, kita akan melihat vampir yang meminum darah langsung dari leher korban yang kepalanya terbelah. Kita akan melihat luka-luka seperti gigitan di leher yang masih berdenyut, mulut yang menghitam terbakar sinar ultraviolet. Penonton yang punya perut sedikit lebih tebal, akan mengapresiasi film ini dengan nilai lebih. Untuk penonton yang perutnya ‘normal’, film ini masih punya hal lain yang bisa diapresiasi. Khususnya di bagian kedalaman dan bobot cerita.

Dua dari dua film horor Travis Stevens ini sebenarnya punya agenda kekinian. Filmnya yang pertama tadi membahas masalah toxic masculinity dari sudut pandang seorang pria. Sementara, filmnya yang kedua ini menilik soal perempuan yang identitasnya ditentukan oleh pria yang menjadi pasangannya. Sebagai manusia, Anne hanyalah istri seorang Jakob. Sedangkan saat sudah jadi vampir pun, dirinya menjawab kepada Master yang mengendalikan. Tidak sekalipun pada kedua film tersebut, Stevens bersikap terlalu mengagungkan agenda-agenda tersebut. Dalam film Jakob’s Wife ini, ya Anne si perempuan terkukung dalam relasi yang gak sehat. Zona nyaman yang dituntutkan baginya adalah sebagai pendamping pasif sang suami. Suami yang bahkan enggak pernah mendengarkan opini dirinya sampai selesai. Anne selalu disela dan dikecilkan. Suami yang kata Anne bahkan tidak pernah berjuang untuk dirinya. Namun film ini menggali dengan seimbang. Kita juga diperlihatkan seperti apa bagi suami yang pendeta tersebut.

Jika biasanya cerita seperti ini akan berakhir dengan pihak yang ‘bersalah’ akan kalah dan dihilangkan. Diberi ganjaran. Solusi tergampangnya tentu saja adalah dengan menunjukkan perempuan tidak perlu lelaki. Maka tidak ada jalan gampang yang diberikan oleh film ini. Baik Anne maupun Jakob, mereka tampak mau berjuang demi pernikahan mereka. Kita dapat melihat bahwa mereka sebenarnya memang saling cinta. Dan mereka memang berusaha untuk memperbaiki apa yang salah. Pada hubungan Anne dan Jakob inilah film mencapai kedalaman yang membuat ceritanya worthy untuk kita saksikan dan kita pedulikan.

Kebebasan seorang perempuan diperlihatkan cukup dengan perubahan sikapnya terhadap transformasi yang terjadi. Melihat Anne mengubah penampilan (bukan untuk gaya-gayaan melainkan untuk menutupi luka gigitan dan sebagainya), memindahkan sofa dan perabotan berat di ruang tamu rumahnya sesuka hati, berusaha berkompromi dengan nafsu laparnya terhadap darah; Melihat Anne menyukai dirinya yang sekarang, lebih terasa ketimbang harus melihat dia menaklukan orang-orang yang selama ini mengecilkannya. Anne tidak pernah bersikap seperti korban. Dan sikapnya ini mendorong Jakob untuk ‘bertransformasi’ juga. Pria itu kini harus belajar untuk mempercayai perempuan, untuk menganggap sosoknya sebagai seorang yang sejajar. Tipe kompromi ini jelas lebih kuat daripada kompromi protagonis dengan antagonis di I Care a Lot (2021) yang terasa dipaksakan, karena tidak ada dasar kemanusiaan yang relate di sana. Anne dan Jakob punya cinta, sehingga kita bisa paham darimana konflik dan aksi mereka berasal.

Rumah tangga Anne dan Jakob adalah salah satu bentuk dari rumah tangga yang abusif. Meskipun tidak dengan kekerasan, tapi nyatanya it sucked the life outta them, terutama Anne. Sesungguhnya ini adalah komentar untuk rumah tangga serupa di luar sana. Film ini ingin mengingatkan bahwa penyebabnya bukan karena tidak ada cinta. Melainkan masing-masing perlu untuk merasakan kembali sebagai teman, bahkan mungkin bisa juga sebagai lawan.

 

Untuk menghidupkan relasi utama yang menjadi poros film ini, Stevens mempercayakan Anne dan Jakob kepada dua aktor ikon horor 80-90an; Larry Fessenden dan Barbara Crampton (Barbara juga merupakan salah satu produser film ini). Dua aktor yang sudah berpengalaman di genre ini, dikawinkan naskah yang subtil dan karakter yang tidak satu-dimensi; now that is the perfect marriage untuk sebuah sinema! Mereka beneran terlihat sebagai pasangan tua yang udah mulai gerah hingga ke ubun-ubun, dan mencoba hidup rutin sebiasa mungkin. Tapi efeknya terasa ketika kita melihat mereka dalam ruang pribadi masing-masing. Barbara menghapus lipstik yang baru saja dikenakan oleh Anne karakternya. Larry yang ngasih ceramah soal menyayangi istri tapi tidak sekalipun melirik ke istrinya di barisan depan. Dan ketika mereka actually berinteraksi, dalam ‘setting’ yang udah berbeda, maaan interaksi dan chemistry Barbara dan Larry ini adalah kunci. They played off each other so good.  Mereka bisa tampak vulnerable, bisa tampak intens (ngomongin masalah rumah tangga dan vampir tentu tak bisa tanpa melibatkan hubungan badan yang hot), dan malah juga bisa lucu.

jakobcm-punk-wwe-1000x600
CM Punk muncul sebagai surprise entra.. eh salah, surprise cast

 

Naskah film memang bermain di garis komedi selain di garis dramatis. Selera komedi film ini boleh dibilang cukup lucu juga. Demi membuild up nafsu, sekaligus transformasi Anne, misalnya. Film menggunakan banyak shot gigi. Entah itu karakter yang lagi gosok gigi, ataupun saat mengunyah makanan. Dialog-dialog lucu juga digunakan, seringnya untuk mengomentari persoalan perempuan  yang didominasi atau di bawah power laki-laki. Aku ngakak ketika mendengar Anne kesel telah dipersalahkan oleh Jakob. Anne jadi korban diubah jadi vampir, namun tetap dia juga yang dipersalahkan karena itu. Komentar-komentar dalam film ini menyerang seperti demikian. Tidak terasa annoying, melainkan sangat cerdas.

Meskipun memang, komedi-komedi itu membuat film menjadi kurang imbang, secara tone. Ada adegan yang kesannya seram sekali, yang kesannya sangat serius, namun kemudian momentum itu terasa seperti sirna dengan adegan yang ‘nyeletuk’ seperti komedi tadi. Konsekuensi yang datang menyusul beberapa tindakan karakter juga seperti lenyap begitu saja ketika film menjadikan penyambungnya berupa komedi. Film ini belum sepenuhnya berhasil membangun jembatan yang pas untuk menyatukan dua tone yang berbeda jauh tersebut. Horor dengan komedi sesungguhnya memang dua elemen yang sukar untuk dimainkan. Banyak horor yang lebih bijak sebelum ini yang tergagap juga ketika berpindah dari drama ke komedi. Film ini mencoba, dan memang masih belum mulus. Mungkin hasil akhirnya bisa lebih baik jika film ini langsung fokus jadi komedi aja, atau jadi drama aja sedari awal. Sehingga style-nya lebih mencuat dan kentara. But that’s okay, ini baru karya kedua. Masih punya banyak ruang untuk menjadi semakin bagus.

 

 

 

 

Horor yang digarap Travis Stevens kali ini lebih terjangkau untuk penonton, tidak lagi ‘segmented’ seperti film pertama. Karena yang dibahas di sini di balik elemen vampirnya adalah soal rumah tangga yang enggak sehat. Juga menyinggung soal peran perempuan bagi lelaki. Semua itu dimainkan dengan dramatis yang menyerempet komedi. Menghasilkan tontonan yang menghibur, walau terkadang terasa kurang balance. Film ini didukung pertama oleh permainan akting yang hebat dari dua ikon horor pada masanya. They hit a lot of range together. Aspek genre horornya sendiri, tak ketinggalan, juga dibuat dengan sama menghiburnya. Ada makhluk menjijikkan, ada misteri, ada darah dan potongan tubuh. Penggemar horor sejati jelas tidak akan melewatkan film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for JAKOB’S WIFE.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Jadi setelah menonton ini, apakah kalian sudah punya gagasan perihal pernikahan yang bagus itu yang seperti gimana?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA