THE WAY BACK Review

“Never inflict your rage on another”
 

 
 
Hidup kayak pertandingan olahraga. Kita berjuang untuk bisa menang. Ketika kita memenangkan suatu tanding olahraga, bisa dibilang kita menang dalam hidup; kita udah sukses mendisiplinkan diri, memfokuskan diri pada tujuan, mengenyahkan kelemahan, dan sebagainya. Namun sebaliknya, ada lebih banyak cara untuk kalah dalam hidup dibandingkan di dalam kompetisis olahraga. Karena hidup bukan semata soal mengalahkan lawan, menjadi lebih baik daripada lawan. Sutradara Gavin 0’Connor yang sudah malang melintang di genre drama olahraga yang menginspirasi, kini hadir dengan sebuah sajian yang bukan hanya bakal membuat kita semangat melihat pertandingan basket, tapi sekaligus juga merenung dan belajar satu-dua hal dari kesalahan yang dilakukan oleh tokoh dalam ceritanya.
Bagian ‘olahraga’ dalam drama-olahraga The Way Back menghadirkan formula yang sudah kita hapal di luar kepala. Sebuah cerita underdog. Jack Cunningham, mantan top-player basket di masa SMA diminta untuk melatih tim di sekolah lamanya. Tim ini udah lama sekali enggak menang kejuaraan, terhitung sejak Jack lulus dari sana. Relasi antarmereka pun terjalin. Jack menemukan kembali kecintaannya terhadap olahraga ini, dan para pemain pun mendapat semangat baru. Tapi ini adalah sekolah Katolik yang lebih mengutamakan menjadi ‘orang baik’ ketimbang menang, sementara Jack yang meledak-ledak sumpah serapahnya setiap kali tanding dan lagi latihan dipandang memberikan contoh yang buruk. Terlebih Jack merupakan seorang peminum berat. Naskah The Way Back, however, lebih condong ke bagian ‘drama’. Pertanyaan utama yang menjadi tubuh cerita bukanlah ‘Apa Jack berhasil membuat tim basket ini menang kejuaraan?’, melainkan ceritanya disusun untuk menjawab ‘Kenapa Jack begitu doyan minum-minum?’

Jack drinks a shot, bukan ngeshot bola.

 
Babak ketiga film ini dapat menjadi surprise bagi penonton yang mengira ini bakalan jadi cerita olahraga yang biasa, terlebih karena The Way Back toh memang menggunakan trope-trope lumrah yang sering kita temui dalam genre ini. Arahannya seperti banting setir. Menjauh dari ‘Jalan Hollywood’ yang biasanya cerita-kompetisi akan berakhir dengan sebuah big-match. Sebenarnya ini justru menyegarkan. Film menggali cerita yang lebih personal. Tidak ada glorifikasi keadaan. Jika kau seorang alkoholik, tidak ada kompromi bagimu untuk bisa menjadi guru. Namun film tidak berkata dengan sehitam-putih begitu. Masih ada rasa yang dialamatkan. Kita harus ‘memandang’ ke gawang yang benar disarang oleh film ini.
Jadi supaya kita tahu film ini bukan exactly cerita kompetisi basket melainkan lebih kepada cerita tentang pergulatan addiction dan penebusan si Jack itu sendiri sehingga kita enggak membuild up ekspektasi ke arah yang salah dan kemudian kecewa untuk alasan yang tidak tepat, maka kita perlu memperhatikan naskah lewat struktur yang tercermin dari pembabakan film. Plot poin pertama cerita ini bukanlah soal memenangkan perlombaan. Yang kita lihat pada sekitar menit 28-30an (akhir babak satu ada di menit ini) adalah adegan Jack bertemu dengan istrinya – mereka sudah setahun berpisah. Inilah yang menentukan aksi Jack berikutnya. Diminta jadi pelatih basket diposisikan naskah sebagai inciting incident – alias datang lebih awal, yang diperlihatkan Jack bimbang memilih iya atau tidak. Dia mabuk dalam usahanya memutuskan ini. Pertemuannya dengan istri dan mengetahui ‘kabar’ hubungan merekalah yang jadi penentu aksi bagi Jack. Yang mengobarkan api di dalam Jack bukan semata nostalgia di lapangan basket, melainkan kenyataan pahit bahwa dirinya masih melakukan kesalahan. Dan inilah yang terus memakan Jack dari dalam, menjadi konflik pribadi yang harus ia selesaikan.
Tiga hal yang ditekankan oleh film sebagai petunjuk buat kita; Kebiasaan Jack minum yang diperlihatkan dengan berbagai cara menarik, seperti Jack bolak-balik kulkas dan memindahkan bir ke freezer sebelum meminumnya atau kaleng yang ada di shower. Kamera dengan flare yang seperti menggambarkan antara kenangan jaya masa lampau dan perasaan nanar dari sakit kepala terus-terusan. Dan si Jack itu sendiri; Ben Affleck memainkannya dengan luar biasa. Pendekatan yang diambil oleh Affleck dalam menghidupkan karakter ini adalah dengan seringkali diam, bahkan dari pakaiannya pun sudah terkesan ia tertutup rapat. Namun dia pemarah. Dicolek sedikit, nyambit. Ke-trigger. Kita bisa merasakan rage/berang itu terhimpun, merembes keluar karena botol yang bernama si Jack ini sudah kepenuhan oleh emosi dan rasa bersalah dan perasaan berduka. Minum alkohol ia jadikan sebagai outlet untuk menyalurkan rage yang berakar dari kematian putranya. Waktu beraktivitas sebagai pelatih, itulah satu-satunya waktu Jack jauh dari kaleng bir. Satu-satunya waktu dia tampak paling bahagia. Sebab di pinggir lapangan, neriakin wasit goblog, marahin pemain yang lalai, mengutuk lawan yang curang, itulah Jack punya alasan tepat untuk melepaskan rage/marahnya.
Kita bisa mabok jika kita minum setiap kali Jack ngamuk saat pertandingan

 
Seiring durasi; Jack seperti sudah stabil karena menemukan penyaluran emosi yang tepat dari pertandingan basket, pertanyaan baru membuka. Sebab perjalanan Jack tidak berakhir sebatas dia bisa marah-marah. Jack perlu mengerti kenapa dia marah. Bukan in sense penyebab marahnya, melainkan kenapa marah itu masih ada. Kepada siapa sebenarnya marah dan ragenya itu dialamatkan. Inilah yang menjadi  fokus pada babak ketiga. Untuk dapat berubah menjadi pribadi yang lebih baik, Jack harus menyelami – harus berkonfrontasi dengan kemarahan yang ia lepas tadi. Istrinya sudah move on, dia belum. Dia merasa dia berhak marah kepada istrinya karena hal tersebut. Namun sekali lagi, marahnya salah alamat. Inilah drama alias konflik yang digali oleh film. The Way Back adalah karakter-studi seorang pria seperti Jack. Pria yang kehilangan, tapi tidak sanggup mengakui bahwa kehilangan tersebut mungkin adalah salah dirinya.

Penyesalan, duka, kehilangan yang dihimpun begitu lama wajar bila meledak. Lebih sehat untuk keluar daripada ditahan-tahan terus menerus. Tapi jangan lantas dilampiaskan kepada orang lain. Emosimu, kemarahanmu adalah milikmu. Terlebih apabila kemarahan tersebut adalah kemarahan kepada diri sendiri. Jangan berikan kesedihan dan nestapa itu kepada orang lain. Demi kedamaian seperti yang dirasakan datang kepada Jack di akhir film, rasakan sendiri deritamu dengan tidak menyakiti orang-orang di sekitar.

 
Kita bisa ‘protes’ kepada film, memberinya masukan dan saran bahwa mestinya cerita menggali lebih banyak hubungan Jack dengan remaja-remaja pebasket yang ia latih. Karakter mereka ikut diperdalam, karena memang mereka ini cukup menarik. Ada anak yang suka menari sebelum pertandingan dimulai dan dijadikan oleh teman-temannya sebagai semacam ritual, ada anak yang fukboi, ada yang begitu cinta sama basket sayangnya ia sok jago, dan yang paling dikedepankan adalah kapten tim yang jenius dan cinta basket, hanya saja tidak didukung oleh orangtua sehingga dia sedikit tidak pedean. Aku sendiri akan suka banget kalo mereka-mereka ini dibahas lebih dalam lagi, diberikan lebih banyak waktu-tampil. Pertandingan basketnya diperlihatkan lebih sering karena kita bisa melihat jelas kepiawaian sutradara dalam menyuguhkan kompetisi olahraga. Tapi itu akan sama saja seperti menggiring bola dan menembakkannya tiga-poin ke keranjang yang tidak tepat. Karena tujuan film bukan di sana. Hubungan antara Jack dan anak-anak itu penting, sebagai pembelajaran bagi dirinya. Anak-anak itu adalah dirinya waktu masih muda, maka Jack dapat dengan mudah menjadikan mereka pelampiasan. Pembahasan mereka ini cukup pada masing-masing memberikan pengaruh baik, it’s enough kita percaya mereka kini sanggup memenangkan pertandingan melawan tim sekolah manapun Tapi bagi Jack, dan karena ini adalah cerita tentang dirinya, kemenangan yang paling penting itu bukanlah kemenangan olahraga. Melainkan kemenangan berkonfrontasi dengan grief dan kesalahan yang menjadi sumber amarah dan ketidaktenangan dirinya.
 
 
Makanya, film juga tidak merasa perlu membahas proses kesembuhan Jack dari kecanduan alkoholnya dengan detil. Sebab yang penting adalah redemption, dan proses yang ia lalui sebagai pembelajaran ke arah sana. Ini adalah drama olahraga yang difungsikan sebagai studi psikologi tokohnya. Yang ditekankan adalah konflik yang lebih personal. Menurutku, jika Mariposa (2020) memang berniat sebagai cerita parenting mestinya film tersebut bercerita seperti film ini; dengan membuat olimpiade sains tidak sebagai fokus, melainkan seperti pertandingan basket dalam film ini. Di sini tidak pernah dikesankan tokoh utamanya menganggap kemenangan basket penting sehingga kita juga tidak disuruh ngebuild up ke arah sana. Sedangkan olimpiade pada Mariposa ditampilkan sebagai sesuatu yang penting untuk dimenangkan, padahal kemudian belakangan diungkap tidak satupun tokohnya yang peduli sama sains. Sebagai film olahraga, film ini menggunakan tidak menggunakan formula dan trope yang baru. Namun sebagai drama tentang candu dan penebusan dosa, film ini kuat oleh karakter, yang dimainkan dengan real, dan naskah yang fokus.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE WAY BACK.

 
 
 
That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa orang lebih nyaman untuk nge-bottle rage and anger mereka? Benarkah mengekspresikannya lebih sehat?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE GENTLEMEN Review

“A good name is better than riches”
 

 
 
Setelah Aladdin (2019) yang tampak begitu mengekang baginya, sutradara Guy Ritchie tampak amat lepas dan bebas ‘menembakkan’ kembali gaya khasnya, bertubi-tubi. Editing cepat, dialog dan humor yang sama bandelnya, plot tentang dunia kriminal yang nyerempet nonsensical. Itu semua layaknya taman bermain bagi Ritchie. Namanya gede berangkat dari genre dan cerita seperti demikian. Di The Gentlemen kali ini, dia kembali menjadi raja. Menapaki yang sudah ia kuasai. Namun bukan tanpa kreasi baru. Karena ia sungguh-sungguh menggunakan kuasa dan kebebasannya untuk bersenang-senang menciptakan film.
Bukan kebetulan juga, film The Gentlemen ini sendiri juga membahas para raja-raja. Raja kriminal jalanan, lebih tepatnya. Penguasa bisnis narkoba, kepala preman, ketua geng, orang-orang semacam itulah yang akan kita temui di film ini. Particularly, yang disorot adalah seorang Amerika yang sukses jadi pedagang ganja ilegal terbesar di London; Mickey Pearson. Dia ingin menjual aset berharganya ini. Tentu saja ia harus selektif karena memang banyak yang mengincar. Ketika salah satu geng berhasil melacak salah satu ‘perkebunan’ rahasia miliknya, tahulan Pearson bahwa ada orang yang mencoba menjatuhkan dirinya. Film memberikan sugesti kepada kita untuk menebak, dengan memperkenalkan beragam possible suspect. Mulai dari Ketua mafia Cina yang masih muda hingga ke mitra bisnisnya. Bahkan bisa jadi anak buah Pearson sendiri yang ingin menghancurkan bisnis dan keluarga Pearson.
Sampai di sini, besar kemungkinan kalian yang belum nonton bertanya-tanya di dalam hati – lah di mana kreasi barunya? Teruntuk kalian yang menanyakan itu aku sarankan untuk tarik napas dulu. Duduk rileks. Nyandar, tuangkan anggur kalo perlu, isep cerutu biar kayak bos gangster juga. Cuci tangan dulu pakai sabun, biar gak kena corona. Mandi sekalian, kalo perlu. Sudah? oke, let me tell you this then; keseluruhan cerita Mickey Pearson tadi diceritakan oleh film lewat tokoh nyeleneh – seseorang bernama Fletcher – yang memotret semua kejadian diam-diam dan dia menggunakan segala informasi yang ia tahu untuk nge-blackmail Ray, orang kepercayaan Pearson, sekaligus berdiskusi karena ia telah menyusun naskah film berdasarkan semua cekcok antargeng tersebut dan ia ingin menjualnya kepada studio untuk lebih banyak cuan.

“aku mempertaruhkan pantatku bikin film ini”

 
 
Berkat hal tersebut, film terasa begitu meta. Secara personal aku suka ama film-film yang memberikan insight ‘membuat film’ seperti begini. Dalam The Gentlemen, dengan nada yang lucu, kita akan melihat Fletcher ngepitch naskahnya ini kepada Ray, meminta pendapat Ray tentang suatu scene karena in real-life Ray mengalami langsung. Kadang naskah Fletcher memberikan informasi berguna kepada Ray yang ingin membantu bosnya mencari siapa tersangka yang mau mencuri bisnis mereka. Diskusi mereka inilah yang jadi tubuh film. Kita melihat adegan berupa penggambaran naskah yang ditulis Fletcher, tapi terkadang adegan itu ‘dilebaykan’ olehnya jadi kita balik lagi dan melihat adegan sebenarnya yang terjadi menurut Ray. Dengan unreliable-narrator begini, menonton The Gentlemen ini malah jadi lebih asik. Film tidak pernah memberi garis tegas mana yang karangan, mana yang ‘asli’. Kita hanya akan mengerti saat cerita dikoreksi oleh tokoh, tapi terkadang ada yang seperti dibiarkan saja karena kita merasa lucu dan berpikir ‘well, gak mungkin itu kejadian’. Humor film memang sebagian besar berpijak dari sini. Kreatif bercerita Ritchie mencuat dari sini. Kadang ia mengubah ratio layar, karena Fletcher membayangkan filmnya nanti punya ratio kayak film klasik, dengan visual yang grainy dan sebagainya. There’s a whole lot of fun yang datang dari konsep bercerita film ini.
Konsep yang juga digunakan untuk memainkan tensi. Film dimulai dengan hook gede yang mengisyaratkan bahwa Pearson tewas terbunuh. Dan kemudian kita dibawa mundur dan melihat satu persatu orang-orang di sekelilingnya – melalui naskah Fletcher – leading up ke peristiwa pada adegan pembuka tadi. Setiap adegan pada film ini jadi terasa sangat menghibur. Karena cerita diceritakan lewat naskah buatan tokoh, maka kadang dialognya pun terdengar ‘dikarang’, alias janggal karena sering berima tidak pada tempatnya. Dalam menampilkan adegan kekerasan, film ini juga bersenda gurau dengan kita. Ia meninggalkan banyak momen untuk imajinasi kita, sementara di layar kita hanya muncratan darah atau hanya disambut oleh mayat di dalam kulkas.
Semua pemain juga tampak bersenang-senang menghidupi peran mereka. Matthew McConaughey juga seperti kembali ke singgasananya, memerankan sosok kharismatik dan disegani kayak Pearson ini udah paling klop buatnya, dan dia benar-benar luar biasa meyakinkan di sini. Namun sesungguhnya ada dua tokoh yang mencuri perhatianku di sini, yakni Colin Farrell yang berperan sebagai Coach. Sebagai tokoh, Coach juga amat menarik. Dia semacam mentor dari geng anak muda di sebuah boxing gym. Jika film ini bercerita tentang raja (kalimat renungan Pearson di awal film adalah koentji), maka Coach ini adalah raja alias ‘pemimpin’ yang paling gentelmen di antara tokoh-tokoh ketua dalam ini. Hubungan Coach dengan anak-anak didiknya begitu menarik sehingga aku pikir mereka pantas mendapatkan satu film khusus. Absolutely aku bakal nonton! Sementara, satu tokoh lagi yang mencuri perhatianku tentu saja adalah Hugh Grant yang incredibly funny sebagai Fletcher. Dia benar-benar melebur ke dalam perannya, nyaris tidak dikenali. Jika Pearson adalah tokoh sentral, maka Fletcher ini bisa dibilang merupakan sudut pandang utama. Dialah yang bercerita, dan dia jualah yang mendapat pembelajaran di akhir cerita.
Fletcher pongah, dia merasa bisa mengatur semua sesuai dengan keinginannya. Dia ingin bikin film, tapi terutama dia ingin memeras. Pengen kaya. Dia ingin mempermainkan bos-bos gangster ini. Namun dia tidak pernah seorang pemimpin. Film memperlihatkan Pearson juga mengancam dan memeras. Bedanya adalah Pearson beneran raja, sedangkan Fletcher bertingkah seolah raja. Pearson punya sesuatu yang tidak dipunya oleh Fletcher. Yaitu nama. Nama-lah, yang membuat Pearson disegani dan berkuasa. Disegani oleh anak buah sekaligus musuhnya Bukan semata kekayaan dan aset. Nama ini didapat dari perjuangan. Dalam film ini kita diperlihatkan penguasa yang ‘baik’ seperti Pearson ataupun Coach, dan orang yang masih bau kencur untuk bisa diberikan kekuasaan seperti Fletcher dan Dry Eye sang bos gangster Cina.

Seorang raja alias penguasa disegani oleh musuh. Dihormati oleh bawahan. Dihargai oleh sesama penguasa. Itu semua bukan semata karena mereka punya uang. Melainkan karena kepercayaan, kesohoran nama sebagai akibat perjuangan dan tempaan. Semua ini lebih dari soal uang. 

 

oh I just can’t wait to be kiiiingg

 
 
Film ini bisa bekerja lebih baik dan solid dengan hanya dari sudut pandang Fletcher, atau dari Pearson. Salah satu dari dua itu. Namun tidak akan menghasilkan sesuatu yang unik. Jadi dimasukkanlah kedua-duanya. Didesain konsep atau format bercerita yang menyatukan keduanya sehingga terasa berbeda. Dan mungkin film memang ingin sedikit mengecoh kita. Membuat seolah ini murni tentang Pearson, tapi ternyata ini tentang orang yang berusaha mengambil keuntungan dengan menjadikan dia sebagai pusat cerita. Memang, film ini bisa jatoh sedikit njelimet. Terutama di paruh pertama, saat penonton belum sepenuhnya mengerti outline cerita. Ditambah pula dengan berjubelnya dialog, dan tokoh yang dihadirkan – semua lewat tempo cepat – sehingga aku bisa mengerti kalo di awal-awal kalian bilang susah untuk menangkap dan peduli sama apa yang diomongin oleh para tokoh. Namun setelah pertengahan, ketika semua sudah diperkenalkan dan kita paham apa yang ingin dicapai oleh film – kemunculan Coach yang tenang dan grounded juga cukup membantu mengademkan cerita – maka The Gentlemen ini akan lebih mudah dinikmati dan film tidak berhenti untuk terus menghibur dan mengejutkan kita.
 
 
 
Lucunya, buatku kayak ginilah mestinya film Dilan dan Milea bercerita. Dua film itu kan juga basically menceritakan satu tokoh lewat tulisan tokoh lain. Alih-alih membuat tokoh nongol di depan komputer dan barely ada penutup soal tersebut, mestinya biar asik ya dibikin kayak yang dilakukan oleh film ini. Bercerita lewat dua tokoh yang mendiskusikan naskah. Bercanda tidak sebatas lewat dialog dan pengadeganan, melainkan juga lewat konsep storytellingnya secara utuh. Prestasi film ini adalah berhasil mencapai level menghibur yang berkesan karena luar biasa unik. Pun dihidupi oleh karakter-karakter menarik, yang diperankan dengan mengagumkan. Hanya saja sedikit kekurangan berupa cerita/percakapan yang sulit untuk diikuti di paruh awal karena penonton masih berusaha memahami konsep itu.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE GENTLEMEN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Film ini cukup banyak dikritik perihal dirinya dianggap gak gentelman karena banyak mengandung kalimat-kalimat ejekan yang berbau rasis.
Menurut kalian apa sih sebenarnya makna dari menjadi seorang gentelman itu sendiri?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

BUKU HARIANKU Review

“Your feelings so are important to write down, to capture, and to remember”
 

 
 
Menyimpan dan menulis di buku harian adalah seni yang hilang. Semenjak era digital, orang lebih suka curhat di sosial media karena bisa langsung mendapat tanggapan. Kenapa pula harus memendam sendiri jika bisa dikatakan secara anonim dan mendapat feedback dengan segera, kan. Ini juga seiring dengan menurunnya minat menulis karena sekarang apa-apa dapat tersampaikan lewat foto. Gambar, gif, meme. Emoji. Padahal ada sesuatu yang tidak benar-benar bisa ditangkap oleh visual, ada sesuatu yang tidak pernah bisa kita bagi sepenuhnya kepada orang. Yakni perasaan terjujur yang kita rasakan di satu momen tertentu. Hidup penuh bukan saja oleh kenangan besar, tetapi juga oleh hal-hal kecil yang seringkali kita lupa. Menuliskannya ke atas kertas, setelah kita mengalami semua itu, kemudian membacanya di kemudian hari akan terasa seperti mengalami sekali lagi; kenangan, detil-detil kecil, penggalan dari diri kita sendiri.

Film musikal anak-anak Buku Harianku akan memperlihatkan kepada generasi muda, dan kepada kita yang sempat lupa, bahwasanya menyimpan jurnal pribadi dapat menghantarkan banyak pengalaman manis dan sangat membantu mengingatkan kembali siapa diri kita sebenarnya. 

 
Buku harian itu, Kila punya satu. Ke mana lagi tempat gadis cilik itu mengadu kalo lagi dimarahin mama. Seperti kali ini, mama menunda liburan mereka ke Bali, karena harus membereskan kerja dahulu di Sukabumi. Kila dititipkan di rumah Kakek. Ugh. Meski sama-sama tentara, Kakek Prapto ini jauh berbeda dengan mendiang ayah Kila yang lembut. Kakek galak, suka maksa Kila makan sayur. Kila enggak tahu aja, sang kakek juga menyimpan satu buku harian. Kila juga enggak menduga di desa kecil itu dia mendapat teman, Rintik, yang malu bergaul lantaran disability yang membuatnya tidak dapat berbicara. Keceriaan Kila bertemu dengan ketulusan Rintik, dan bersama teman-teman lain, mereka berusaha mencegah peternakan Kakek jatuh ke tangan pebisnis licik yang berniat mengubah seantero desa menjadi kompleks vila.

untung buku harian Kila bukan punya si Tom Riddle

 
Film ini cukup membuat aku terkesan, karena coba deh baca lagi sinopsisnya. Ada banyak hal yang dibahas oleh film ini. Sementara biasanya, film anak-anak terutama untuk yang seusia Kila akan dibuat sederhana dalam artian masalahnya hanya satu, gak banyak-banyak. I mean, film remaja aja kadang berpuas dengan satu layer kok (lirik Mariposa) Buku Harianku ini surprisingly padet. Menonton ini kerasa sekali sutradara Angling Sagaran seperti pelan-pelan merajut satu pokok permasalahan ke pokok lain supaya mereka saling bertautan tanpa memberantakkan seantero film. Cerita bergerak maju cukup anggun dari elemen fish-out-of-water (Kila yang anak kota beradaptasi dengan kehidupan desa) ke permasalahan anak kecil yang enggak mau makan sayur, dan berjingkat terus ke permasalahan yang lebih dewasa, bahkan hingga menyebut soal penyakit Alzheimer segala. Selain melalui Kakek yang Alzheimer ringan ini, film memasukkan cerita dengan perspektif yang lebih dewasa lewat permasalahan orangtua seperti ibu Rintik yang harus menyingkapi kondisi anaknya.
Sebagian besar tokoh pendukung punya relasi yang menyumbang bobot bagi karakter Kila. Hampir susah untuk ngepinpoint ini cerita tentang apa. Film bicara tentang hubungan Kila dengan ayahnya; Kila memegang teguh pesan sang ayah untuk terus berani membela yang benar. Juga bicara tentang Kila dengan ibunya; tokoh utama kita ini adalah anak baik yang sayang banget ama orangtuanya, ada satu momen di menjelang akhir yang menunjukkan betapa manisnya ikatan ibu dan anak ini. Hubungan Kila dengan Rintik juga jadi salah satu pilar cerita karena ini membahas persahabatan dengan disabilitas yang tentu saja memberikan teladan yang baik bagi semua penonton, untuk tidak mengucilkan, tidak mempersulit mereka. Film tidak berpaling dari memperlihatkan salah-perlakuan yang mungkin kita lakukan dan meng-encourage penonton untuk berani meminta maaf seperti yang dilakukan oleh Kila. Petualangan dan persahabatan Kila dengan Rintik akan terasa begitu hangat dan menyenangkan. Kedua pemain tampak genuinely saling menyayangi. Widuri Puteri mendapat kesempatan untuk mengasah bakat naturalnya dengan menjawab tantangan memainkan karakter tunawicara dengan penampilan yang adorable. Kila Putri Alam yang meskipun tampak seolah bermain menjadi dirinya sendiri berhasil membuktikan keluwesan aktingnya. Dia tidak terkesan mendapat posisi ini hanya karena dia bisa bernyanyi. Kila beradu peran dan emosi dengan banyak aktor yang lebih berpengalaman. Salah satunya adalah dengan aktor senior Slamet Rahardjo.
Pusat cerita ini, however, adalah hubungan Kila dengan Kakek. Film took an extra mile untuk memperlihatkan dua tokoh ini berlawanan. Si Kakek bahkan dibuat seperti karakter bersifat grumpy dan menyebut anak kecil itu merepotkan, meskipun tidak pernah sepenuhnya sifat seperti ini muncul dalam sepanjang sisa durasi. Tapi mereka berlawanan justru karena punya banyak kesamaan. Sikap keras hatinya, dan ya itu tadi, sama-sama menyimpan buku diari. Ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh film ini ketika memperlihatkan Kakek mengenang masa lalu lewat diari tentang anaknya, dan hubungannya dengan sikap Kakek-Kila yang saling belum terbuka. Bagian terbaik dari film ini adalah babak ketiga ketika cerita mulai membuka untaian antara Kila dan Kakek. Di menit-menit terakhir juga buku harian yang menjadi judul baru benar-benar menunjukkan weight-nya kepada cerita. Dan adegan musikal Kila dengan Kakek; itulah puncak rasa yang diberikan film kepada kita. Adegan nyanyi dengan rentang feeling yang luas.

Hidup adalah cerita masing-masing yang ditulis hari demi hari, dan momen-momen ketika kita membaca kembali lembar-lembar kenangan itulah pembelajaran yang bakal mengingatkan siapa sebenarnya diri kita. Maka dari itulah, menyimpan diari bisa disebut sebagai semedi personal. Cara kita berinteraksi kembali dengan our genuine feelings, seperti yang terjadi pada Kakek Prapto – ataupun sebagai cerminan our true self kepada orang lain, seperti yang terjadi pada Kila dan ibunya.

 
Saat ngomongin nyanyian dan film anak-anak dalam satu napas, yang terpikirkan otomatis adalah film Disney. Disney selalu berhasil menyuguhkan adegan nyanyi yang deep-in-the-feel, yang menyatu mulus dengan keseluruhan filmnya. Yang membuat Disney mampu mencapai level klasik seperti demikian bukan hanya karena lirik lagu film-filmnya dan komposisi musiknya magis atau irama dan performancenya catchy, melainkan juga karena treatment dan penempatan adegan-adegan lagu itu sendiri. Pada saat momen-momen perasaan paling krusial terjadi di ceritalah, maka tokohnya bernyanyi. Adegan musikal atau nyanyian dijadikan sebagai cara yang menakjubkan untuk memperkenalkan kita kepada karakter dan perasaannya saat itu. Princess yang menyanyikan desire terdalam mereka. Juga, antagonis yang mendendangkan motivasi mereka. Setiap film musikal lantas menggunakan formula ini; menggunakan nyanyian di berbagai momen sehingga punya nada yang bervariasi, ada senang, sedih, marah, rindu, triumph; sesuai dengan perkembangan karakter.
Lagu-lagu pada Buku Harianku, sekitar 11-12 kalo gak salah, benar-benar mengemulasi perasaan Kila saat mengalami berbagai peristiwa sebagai anak-anak. Dia bernyanyi ketika gak mau disuruh makan, ketika kedinginan baru bangun, saat dia bermain bersama teman-teman. Semuanya menyenangkan. Namun selain adegan nyanyi terakhir bersama Kakek, lagu-lagu di film ini sejatinya hanya muncul untuk suka ria anak-anak. Tidak ada momen seperti Sherina bernyanyi sedih gak mau pindah sekolah di Petualangan Sherina (2000). Untuk mengenang ayahnya, Kila menyanyikan lagu tentang Burung Parkit. Ombang-ambing emosi tokoh ini tidak disampaikan lewat musikal yang penyebarannya sedikit kurang merata. Di bagian tengah ada cukup lama adegan-nyanyi absen. Dan ketika muncul, it was lagu belajar bahasa isyarat yang dicut berselingan dengan lagu dari antagonis…,

konsep yang unik, tetapi – selain kata-kata pada dua lirik itu enak di-matchcut-in – why?

 
Dengan sebagian besar lagu nadanya senang (hampir seperti film punya materi lagu dahulu, barulah kemudian berusaha memasukkan semuanya ke dalam cerita), film ini memang seperti tampak kurang berani menghadapkan atau membebani tokoh anak-anak pada emosi yang lebih tidak-ceria. Bagian emosional seperti demikian diserahkan kepada tokoh dewasa. Meskipun sering dimarahi, ada adegan nyasar di hutan malam hari, dan ada orang-jahat pada cerita, namun Kila tidak pernah benar-benar berada dalam ‘bahaya’ atau posisi yang down. Ini adalah pilihan yang diambil oleh film, tentu saja, akan tetapi sebaiknya mereka juga mempertimbangkan anak-anak mampu kok dihadapkan pada situasi yang serius.
Bahasan ini membawa kita kepada elemen film yang paling lemah, yaitu si komplotan ‘penjahat’, si bisnisman penipu. Cerita butuh figur untuk pembuktian Kila dalam berani membela kebenaran. Hanya saja tokoh antagonis ini dibuat komikal, dan pembahasan serta penyelesaian konfliknya tidak benar-benar berkesan. Terlebih karena formula lumrah dan begitu banyak elemen cerita pada film ini. Sehingga meskipun keberadaannya diperlukan, kita merasa lebih baik elemen penjahat tanah ini ditiadakan supaya cerita bisa lebih fokus kepada elemen lain. Misalnya, elemen persembahan tari kupu-kupu bersama Rintik dan teman-teman di Tujuhbelasan. Momen penampilan mereka itu sangat manis, tapi hadir seujug-ujug. Tidak ada penyebutan mengenai acara dan rasanya sayang aja tidak ada lebih banyak adegan yang menunjukkan interaksi antaranak-anak ini.
 
 
Anak-anak Indonesia dapat satu lagi teman baru. Kila lahir sebagai tokoh yang sangat mewakili mereka, baik, meski sedikit bandel, pinter, senang berteman, berani. Dia juga cukup unik, memberinya kekhususan – yakni pose berpikir – yang sekiranya jadi ciri khas dan ditiru juga oleh anak-anak. Film ini benar-benar memperlihatkan dunia berjalan dari sudut pandang anak, dengan konflik di sekitar mereka, yang mereka kenali dan beberapa yang mereka pahami secara emosi. Ada sejumlah pemeranan yang bagus di sini. Musik dan nyanyian yang ceria juga bakal mengisi hubungan hangat antarkarakter. Nada film ini hanya sedikit bablas menjadi komikal ketika menangani tokoh penjahatnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for BUKU HARIANKU.

 
 
 
That’s all we have for now.
Apakah kalian punya pengalaman seru mengenai buku harian?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

MARIPOSA Review

“Do not chase people.”
 

 
 
Mariposa akan bekerja dengan lebih baik jika dijadikan berfungsi sebagai cautionary tale – kisah peringatan – tentang naksir sampe mengejar cinta sesungguhnya dapat bermetamorfosis menjadi hal yang menjurus ke pelecehan atau interaksi yang tidak ‘sehat’. Hanya saja sutradara Fajar Bustomi mengarahkan cerita ini ke ranah romantisasi. Khas anak remaja yang mendambakan kehidupan cinta ajaib yang berbunga-bunga mekar pada waktunya.
Sebagian besar cerita akan mengambil tempat di lingkungan terdekat dengan remaja. Di sekolah, di rumah, ini adalah tempat-tempat sakral bagi remaja sebagaimana dua tokoh sentral cerita ini juga mendapat nasihat, masukan, dan bahkan larangan dari orangtua maupun sahabat perihal kehidupan sosial dan pendidikan mereka. Kita bertemu dengan Acha, gadis jago kimia, lagi curhat sama sahabatnya. Acha sudah lama naksir berat ama cowok pinter di kelas, si Iqbal, tapi si cowok ini cuek sehingga kini Acha sudah gak tahan lagi. Diwanti-wanti oleh sahabatnya, Acha justru semakin menggebu. Dia mendatangi Iqbal. Ngenalin diri. Nyerocosin eksposisi dalam waktu kurang dari lima menit. Kemudian practically ‘nembak’ Iqbal. Reaksi yang ia dapat? Dingin. Iqbal yang lebih tertarik memenangkan olimpiade sains tidak mempedulikan Acha. Namun ini malah membuat Acha semakin manja (dan maksa) dan terus mengejar Iqbal. Di lain pihak, si cowok ini gak bisa begitu saja mencampakkan Acha, karena mereka harus bekerja sama sebagai tim dalam olimpiade, mewakili sekolah mereka.

sekolah jaman now, hukumannya bukan bersihin wc, melainkan bersihin kolam renang!

 
 
Hal berbeda yang ditawarkan oleh film yang berangkat dari cerita di platform Wattpad ini adalah lekatnya para tokoh dengan ‘profesi’ mereka yakni pelajar. Biasanya cerita-cerita remaja meskipun lokasinya di dalam kelas, tapi jarang sekali menampilkan mereka belajar. Persoalan nilai atau prestasi akademik tak dibahas, tokohnya pada sibuk pacaran aja. Ini semua bisa ditelusuri akarnya, yakni pengaruh trope film-film barat bahwa dalam kelas sosial remaja, tokoh yang suka belajar alias pintar akan mengisi sebagai karakter cupu. Biasanya mereka akan jadi sidekick atau sahabat dari tokoh utama yang biasanya adalah anak baru atau berstatus anak yang biasa-biasa saja. Lawan dari karakter pintar dan cupu adalah tokoh populer, entah itu jago olahraga, atau supercakep, dan mereka ini biasanya jadi karakter antagonis dan seringkali suka membully. Dalam Mariposa, trope khas cerita barat seperti demikian tidak ada.  Trope ketimuranlah yang kental; kepintaran dihormati dan anak-anak pelajar mengambil posisi teratas di kelas sosial mereka. Acha maupun Iqbal tersohor di sekolah karena kepintaran mereka. Cerita pun mengaitkan konfliknya kepada aspek ‘pekerjaan’ mereka sebagai pelajar saat kita diperlihatkan momen-momen mereka membahas soal dan adegan di olimpiade sains. Pendidikan dijadikan salah satu poros utama, dan ini sesungguhnya dapat membawa gambaran dan pengaruh yang baik bagi penonton remaja, terutama yang sering ‘terwarnai’ oleh cerita remaja di barat yang situasinya tidak serta merta cocok. Kita tetap bisa menjadi anak pintar sekaligus cakep, populer, dan ya bahkan bisa punya pacar.
Pacar. Persoalan klasik anak muda. Meskipun film cukup menonjolkan kehidupan tokohnya sebagai anak sekolahan, tapi yang namanya remaja tetaplah remaja. Bagi mereka punya pacar itu adalah nomor satu. Bagi penonton yang lebih dewasa, konflik utama film ini besar kemungkinan akan terasa receh. Motivasi nomor satu Acha (lebih penting di atas menang olimpiade!) adalah punya pacar. Pacar bukan sembarang pacar. Iqbal. Harus Iqbal. Motivasi tokoh sesepele ini sebenarnya bukan masalah, it doesn’t necessarily make or break a movie. Ambil contoh salah satu karya Bustomi yang lain, Dilan 1990 (2018), di film itu motivasi Milea sang tokoh utama adalah mengenang cintanya waktu SMA. ‘Kecil’ sekali, tapi kita gak bisa bilang filmnya jelek hanya karena kita gak menganggap penting persoalan si tokoh. Melainkan kembali kepada penceritaannya. Mariposa ini persis Dilan 1990. Dengan role tokoh di balik. Tokoh utama ceweknya di sini lebih aktif. Sebagai tokoh utama, Acha lebih masuk, fit into structure, ketimbang Milea. But somehow, ceritanya terasa lebih ‘parah’.
Dilan dengan gombalan. Acha dengan centil manja. Sesungguhnya masing-masing tokoh ini adalah sisi dari satu koin yang sama; koin cringe alias koin bikin-geli-telinga. Adhisty Zara sangat pas memainkan karakter ini, dialog-dialog panjang ditampilkannya effortless dalam nada manja. Ini peran yang tampak paling nyaman dimainkan oleh Zara sepanjang karir filmnya yang masih muda. Tapi jika kita melihat perkembangannya; Zara dapat recognize pertama dari perannya sebagai Euis yang berkonflik dengan ayah yang mendadak miskin, lalu jadi tokoh yang hamil di usia sekolah, sebagai Acha yang sepertinya tidak begitu berbeda dengan remaja keseharian, dengan range yang relatif lebih sempit – She nails it, hanya saja tantangannya enggak besar –  Mariposa ini bisa dibilang sebagai kemunduran bagi Zara. Kelakuan Acha yang sangat agresif mengejar cinta Iqbal ditampilkan sebagai perbuatan yang lucu.  Disuruh ngelupain Iqbal, dia malah bilang jadi semakin kangen. Di dalam kelas, Acha yang pinter bisa mengerjakan latihan dengan lebih cepat dari siapapun, sehingga dia bisa memandangi pemandangan di kursi sebelahnya; tak lain-tak bukan adalah Iqbal. Acha ngomong, ngomong, dan ngomong dia suka kepada Iqbal, bahkan mengaku sebagai pacarnya padahal Iqbal bukan sekali dua kali menolak dan menunjukkan ketidaksukaan terang-terangan kepada Acha. Di mana ada Iqbal, di suatu tempat dekat situ ada Acha yang siap mendekati. Dia minta nomor telepon, begitu gak dikasih; ia cari sendiri. Acha terus berjuang, menahan diri untuk ‘menyerang’ Iqbal adalah hal yang susah buat Acha; tak-tertahankan. Baginya ini seperti menangkap kupu-kupu; terkejar tapi tak tergapai.
‘Unrequited love’ pada seni selalu dipandang sebagai elemen yang romantis. Cinta yang indah, begitupun tragis. Mariposa menampilkannya lewat warna-warni yang cerah, film ini terhampar penuh warna. Karena ini adalah cara Acha memandangnya; perjuangan cinta yang cute. Tapi ada batasan antara perjuangan dan perbuatan yang menjurus ke harassment. Salah satu filosofi Acha mengenai dirinya dan Iqbal adalah bahwa dia air dan Iqbal batu. Acha ingin menetesi Iqbal sampai berlubang karena menurutnya begitulah air dan batu bersatu. It’s a really twisted philosophy sebab batu yang kena air itu berlubang dan eventually bisa hancur. Dengan konstan ‘meneror’, memaksa Iqbal jatuh cinta kepadanya, bukan tidak mungkin hidup Iqbal beneran hancur karena Acha. Dan film actually memberikan penyelesaian dan ending yang menampilkan karakter Iqbal yang kayak ‘rusak’. Less-humane kalo boleh dibilang.
MariPusAp setiap kali Acha nyebut dia pacar Iqbal di Mariposa

 
Interaksi apapun, dari dan kepada siapapun, yang sifatnya tidak ada konsen mutual – dalam artian yang satu ngerasa seneng, yang satunya lagi merasa gak nyaman, atau dirugikan, atau direndahkan – masuk ke dalam kategori pelecehan. I mean, bayangkan kalo posisinya di balik. Iqbal ngejar-ngejar Acha meski sudah ditolak; mungkin akan ada bahasan restraining order dalam cerita. Namun jika pelakunya cewek, justru cowok yang menolak dan membentaknya yang dianggap berhati batu. Film bahkan nunjukin ada tokoh cowok pinter (kali ini tipe cupu) satu lagi yang nunjukin ada rasa ama Acha, tapi Acha yang cinta ke Iqbal menganggap si cupu itu mengganggu dan bikin sebal. Ini semacam standar ganda pada film. Tidak pernah ada konsekuensi pada Acha. Padahal mengejar orang yang enggak mau sama kita sebenarnya juga bisa bikin hidup sendiri berantakan. Kita bisa kehilangan kesempatan merasakan cinta yang asli, kita bakal halu sehingga mudah dimanfaatkan orang, apalagi kalo orang yang kita kejar bukan orang baek-baek kayak Iqbal. Sedihnya, film justru menghajar semua kepada Iqbal. Ada adegan Iqbal meledak karena gak tahan lagi karena ulah Acha, dan dia malah dikecam kasar oleh sahabat Acha. Di rumah, Iqbal semakin digencet oleh ayah yang ingin dia menang olimpiade, tapi karena Acha dia sakit, konsentrasinya belajar keganggu.
Dunia dalam film ini memaksa Iqbal untuk jadian sama Acha. Bahkan ada adegan yang memperlihatkan Iqbal dimanipulasi oleh teman-temannya untuk merasa galau ketika dia gak diundang ke pesta ulangtahun Acha. Film seperti bingung membuat kedua tokoh ini bersatu – karena supaya laku, tokoh haruslah jadian – maka sampai-sampai film pun ‘memaksa’ Iqbal untuk jatuh cinta, walaupun itu harus mengorbankan plot si tokoh. Aku beneran sedih melihat perkembangan Iqbal dalam film ini. Awalnya dia cool, hanya ngurusi urusan sendiri, dia pintar sehingga bisa terpilih jadi peserta olimpiade – Angga Yunanda paling cocok meranin tokoh ‘pendiem’ , namun seiring durasi, di balik kejengkelannya, ia tampak semakin galau. Benar-benar susah memastikan Iqbal genuinely in love kepada Acha – paling enggak, seperti cinta si cupu – atau karena seluruh dunia yang menyuruhnya. Motivasi tokoh ini kemudian dienyahkan begitu saja, dia gak punya apa-apa selain wujud yang dicintai oleh Acha. Kalimat yang ia ucapkan di bagian akhir film itulah yang ultimately break the movie for me, yang juga jadi bukti si batu sudah beneran hancur. Kurang lebih; “Aku gak suka sains. Aku gak mau kuliah ke luar negeri. Aku sukanya sama kamu.”  THAT’S DUMB. Okelah mungkin dia gak suka fisika, kimia, rumus-rumus, tapi sempit sekali yang ia suka cuma Acha. Setelah sepanjang film dia tampak beneran jengkel, tapi kemudian berubah. Hidupnya cuma Acha, dia membuang semua demi sesuatu yang sesungguhnya juga masih dipaksakan kepadanya. Bukankah bisa saja dia dibuat nerima beasiswa, dan masih suka sains, sambil pacaran ama Acha.

Berat memang suka ama orang tapi gak berbalas. Alih-alih berkutat dengan pesan ambigu dari film soal mendekati orang itu jangan dengan berisik (atau malah: berisik dahulu, ghosting kemudian?) sebaiknya kita berfokus kepada menjalankan hidup sesuai passion sendiri. Berhenti mengejar orang. Karena jika kita menjalankan hidup sebagai diri sendiri, orang yang tepat akan datang menemukan kita. 

 
 
 
Ini udah kayak Anti-La La Land. Dua tokohnya memilih untuk jadian dan membuang hidup mereka. Mereka bahkan tidak punya passion sedari awal, padahal pintar-pintar tapi gak ada yang beneran niat ikut olimpiade. Pembelaannya adalah, mereka masih pelajar. Mereka belum tau yang baik dalam hidup. Perjalanan mereka toh masih panjang. Biarlah mereka menikmati cinta. Dan jika kalian juga menikmati cinta monyet, kalian akan menikmati film ini, karena cerita mereka gak mulai dari langsung pacaran, melainkan ada perjalanan pedekate, nembak, ditolak, dan terus berjuang. Meski udah dikata-katai. Tapi jika bagi kalian ke-cringe-an mereka meromantisasi keinginan punya pacar itu annoying, atau dumb, atau bahkan ofensif karena menjurus harassment – perbuatan Acha dan sekitarnya bisa jadi membuat Iqbal berpikir ia juga cinta, atau lebih parah merasa bersalah udah pernah ngasarin – maka kalian gak akan asik menontonnya. Buatku, mestinya film ini difungsikan sebagai pembelajaran saja, gak ngejar pacaran, melainkan menemukan cinta itu sendiri; endingnya ya mesti gak bersatu.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for MARIPOSA.

 
 
 
That’s all we have for now.
Menurut kalian kapan dan apa yang membedakan cinta-yang-tak-terbalas dengan/menjadi kejahatan(harassment) atau gejala penyakit mental? Apa batas keinginan dengan obsesi? Bagaimana menurut kalian perbuatan Acha kepada Iqbal itu?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ONWARD Review

“A father’s a treasure; a brother’s a comfort; a friend is both.”
 

 
 
Tersamar di balik dongeng makhluk-makhluk fantasi yang hidup dalam dunia dengan kenyamanan dan kemudahan teknologi modern sehingga melupakan kemampuan ajaib mereka, ada pesan menyentuh tentang hubungan anak dengan orangtua yang gak sempat ia kenal, juga tentang eratnya persaudaraan yang bisa timbul dari situasi seperti demikian. Karena hubungan keluarga memang sebegitu magicnya, sehingga kita mau-tak mau bakal dapat merasakan keterikatan terhadap anggot keluarga pada setiap serat dari diri kita.
Pada ulangtahunnya yang ke-enambelas, Ian Lightfoot – seorang elf yang disuarakan oleh Tom Holland, orangnya pemalu, gak pedean, dan bukan seorang pemberani – menerima hadiah yang sudah disiapkan oleh ayah yang meninggal dunia semenjak ia masih dalam kandungan ibunya. Hadiah berupa sebuah tongkat kayu. Abang Ian, Barley, yang hobi main game kartu ala ‘Dungeons and Dragons’ percaya bahwa tongkat itu merupakan relik dari sejarah dunia fantasi mereka. Bukti bahwa bangsa mereka bisa sihir dan segala macam keajaiban yang kini sudah dianggap omong kosong oleh masyarakat. Ian juga tadinya enggak percaya sama abang yang menurut semua orang – dan ia sendiri setuju; aneh dan pecundang. Namun di tangannya sendiri, tongkat tersebut berhasil mengembalikan ayah, well… kaki sang ayah. Keajaiban memang ada dan Ia adalah pewarisnya. Ian bisa mengembalikan ayah khusus untuk satu hari asalkan bisa menemukan batu yang jadi sumber kekuatan. Maka berangkatlah Ian, bersama Barley yang dimainkan oleh Chris Pratt, dan bagian pinggang ke bawah ayah mereka, bertualang naik van rongsok demi berjumpa dengan ayah yang sangat ingin Ian kenal. Ian pengen menghabiskan hari, mengobrol, dan berbagi dengan sosok yang dijadikannya panutan tersebut.

untung gak jadi thriller “The Invisible Dad”

 
 
Sebagai abang (dari dua adek; cewek dan cowok) aku lumayan bangga dan terenyuh nonton film ini. Karena cukup jarang ada film – terutama film keluarga – yang benar-benar menghormati persaudaraan abang-adek seperti film ini. Enggak hanya dijadikan lelucon, atau diarahkan menjadi rivalry. Sure, bagi adek, abang-abang mereka seringkali kelihatan entah itu sok galak, nyebelin, atau sok asik. Di Onward juga nampilin seperti begitu; Ian sangat berbeda dengan sang abang. Malah, Ian bisa dibilang gak suka dan gak percaya sama Barley. Mereka tidak bermain bersama, mereka tidak punya hobi yang sama. Pada awalnya, Barley yang kekanakan dan penuh oleh ‘teori’ sejarah, memang terlihat seperti tokoh sidekick untuk lucu-lucuan. Kemudian seiring waktu, fokus film semakin jelas, dan ternyata hubungan persaudaraan Ian dengan Barley lah yang dijadikan menu utama. Akan ada banyak adegan mereka bonding mulai dari sekadar ngobrol atau melakukan tantangan bersama yang bakal mengingatkan kita kepada saudara di rumah. Ian bisa magic tapi dia gak percaya sepenuhnya, sehingga banyak momen-momen Barley menggempor semangatnya – mengajarinya dengan sabar. Adegan Ian gemetar menyeberang jurang dengan sihir jembatan-tak-terlihat dengan diikat tali yang dipegang oleh Barley, ia kerap neriakin “jangan dilepas” tanpa berani menoleh ke Barley di belakang, misalnya; ini seperti ketika seorang abang ngajarin adiknya naik sepeda, memegangi dari belakang. Adegan-adegan mereka seperti begini yang benar-benar hits home buatku.
Beberapa penonton mungkin merasa film ini gak konsisten karena seperti berganti topik; dari yang tadinya tentang anak yang ingin bertemu dengan ayah berubah menjadi tentang persaudaraan. Tapi memang justru itulah poin pembelajaran yang dialami oleh Ian di dalam film ini. Pixar selalu gemilang karena cerita-cerita yang disuguhkan selalu berhasil bekerja maksimal dalam formula/struktur penceritaan yang simpel-namun-bener. Supaya bisa gak merasa film ini enggak-konsisten, kita perlu mengingat hal paling dasar dalam premis dramatik seorang tokoh film. Yakni soal ‘wants’ dan ‘needs’; tokoh menginginkan sesuatu dan berjuang demi itu, hanya untuk menyadari hal sebenarnya yang ia butuhkan. Onward, pada inti emosionalnya, adalah tentang anak yatim yang ingin bertemu sekali saja dengan ayahnya – ia berjuang mencari tokoh panutan supaya bisa menjadi lebih baik dalam hidup, dan setelah petualangan yang ia lalui bersama abang, ia menyadari ia tak pernah kehilangan sosok itu. Selama ini, ada satu orang yang selalu menyemangati, mendorong dirinya menjadi lebih baik, percaya pada dirinya, dan orang itu harusnya ia hargai. Persoalan mencari ayah hanyalah lapisan luar dari permasalahan Ian. Dan film ini akan membuka hingga ke lapisan dalam dengan cara yang benar-benar menyentuh karena Ian juga serta merta harus come in terms dengan merelakan ayah yang tak pernah ia kenal.

Hanya abang atau saudara laki-laki yang lebih tua yang bisa mencintai seperti seorang ayah, menyebalkan kayak saudara cewek, peduli sebagaimana seorang ibu, sekaligus suportif dan bisa akrab layaknya sahabat karib.

 
Dan sesungguhnya kita beruntung film ini tidak memusatkan banyak kepada Ian dan kaki ayahnya. It’s a good thing film ini maju dan enggak mentok menjadi komedi konyol dua orang berusaha menyamarkan makhluk tak berbadan-atas sebagai orang normal. Kocak memang, tapi dengan cepat menjadi basi. Karena dunia mereka sudah terlalu fantastis. Melihat mereka berusaha memakaikan sweater dan kacamata hitam untuk samaran ayahnya – seolah bodinya utuh – terkesan jadi biasa saja karena normal di dunia cerita ini sendirinya sudah ajaib. Sukar membayangkan penduduk menjerit begitu melihat ayah mereka hanya kaki tatkala para penduduk itu adalah sebangsa cyclops, atau pixie, yang memelihara naga seolah anjing di rumah, dan unicorn kayak rakun atau pengais sampah. Onward ini kayak Shrek, atau animasi fantasi serupa, dengan elemen komedi menyamarkan ‘mayat’ ala Weekend at Bernie’s (1989). Komedi di film Bernie’s bisa sukses histerical karena dunianya adalah dunia normal kita – yang dibentrokkan dengan mayat didandani dan bisa jalan-jalan seolah masih hidup. Pada Onward, elemen kaki ayah ini enggak bisa menjadi lebih menonjol lagi komedinya karena sifat dunia yang emang udah fantastis sedari awal. Jadi, merupakan langkah bagus dari film untuk move on dan menjadikan koneksi Ian-Barley sebagai pusatnya.
Onward tampil sebagai film keluarga lucu, hangat, seru, menyentuh emosi. Yang tercapai berkat eksplorasi cerita yang berani keluar dari zona nyaman. Memperlihatkan kenyataan kepada anak-anak bahwa berkubang pada masa lalu, berpegang pada sesuatu yang bukan untuk kita, akan menghambat diri sendiri. Kadang yang sudah pergi tidak akan kembali. Film membuat anak-anak berani menerima kematian orangtua, dengan menunjukkan bahwa cinta itu datang dari sosok orangtua pengganti berupa keluarga kita yang lain. Onward juga menampilkan tokoh ibu yang tidak biasanya hadir di film-film seperti ini. Ian dan Barley tidak berjuang sendirian, ibu mereka tidak menunggu di rumah dan hanya muncul di awal dan akhir film saja. Peran ibu tidak diabaikan dalam pencarian mereka. Bagi ibu-ibu yang menikah lagi bisa memetik pelajaran dari ibu Ian yang sudah punya ‘pacar baru’ untuk membiarkan anak mencari tahu dan lebih mengenal ayah mereka sebagai proses perkembangan. Namun ada satu yang masih kurang penggalian, yaitu dari Barley si abang. Cerita ini harusnya membuat para abang di antara penonton bisa come to terms dengan tanggungjawab pada pundak masing-masing. Hanya saja, di film ini Barley tidak berubah banyak dan segala masalah mereka lenyap alias bisa ditangani karena Ian bisa sihir.

ultimate bro movie

 
Lapisan lain yang dimiliki film ini adalah soal magic yang kini sudah tersingkirkan. Karena orang terbuai oleh teknologi yang memudahkan. Dengan gampang kita dapat menarik garis paralel dunia modern mereka dengan dunia modern kita. Tapi bagaimana dengan dunia sebelumnya? Kita tentu saja tidak bisa mengharap ada sihir beneran yang melenyapkan semua persoalan dengan sebait mantra. Barley, adalah pengacara alias pengangguran-banyak-acara yang kerjaannya di rumah adalah main game dan di luar rumah sebagai aktivitis pelindung bangunan dan tempat bersejarah. Barley percaya pada magic masa lampau. Kesamaannya dengan tokoh Ian adalah mereka sama-sama berpegang pada past. Film menggagas past dan future seharusnya bisa berjalan beriring; kita belajar dari masa lalu demi masa depan. Tokoh Barley di film ini seringkali berlawanan dengan pesan tersebut karena dia selalu benar. Pengetahuannya tentang mitologi dunia fantasi seolah me-redeem dirinya yang disebut seorang screw-up oleh masyarakat. Di dunia nyata kita tidak bisa menjadi seperti Barley selamanya karena tidak akan selalu benar, dan jika salah akan ada keajaiban. Kita, dan Barley, perlu belajar tanggungjawab dan film tidak memperlihatkan itu.
 
 
Dunia monster dan magic selalu bicara soal kepahlawanan. Dan dalam keluarga, kepahlawanan itu berarti seorang kepala keluarga yang mengayomi, melindungi, menyemangati anggota keluarganya. Setiap dari kita punya sisi tersebut. Mungkin itulah yang dimaksud dalam film ini ketika memperlihatkan makhluk-makhluk yang melupakan kemampuan dasar mereka. Polisi centaurus yang emoh berlari karena sudah punya mobil (gimana cara dia duduk). Pixie yang jadi geng motor mengacuhkan sayap mereka. Ada banyak yang bisa dibahas dari animasi petualangan fantasi ini. Dengan hubungan abang-adik sebagai pusatnya. Film ini jadi pelajaran berharga bagi keluarga di zaman modern, karena berani menghadang persoalan sesuatu kadang tidak sesuai harapan. Juga merupakan cerita yang sangat menghibur dengan penampilan dan imajinasi yang ‘liar. However, ini bakal jadi sempurna, jika menggali lebih dalam terkait konsekuensi dan tanggungjawab.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ONWARD.

 
 
 
That’s all we have for now.
Apakah kalian punya cerita/pengalaman unik dengan abang – atau kakak?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

MEKAH I’M COMING Review

“Perhaps a great deed is belittled by an intention. And perhaps a small deed, by sincere intention, is made great”
 

 
 
Ditipu mengakibatkan korban penipuan merasa tak-berdaya, mudah dibodohi — merasa bego dan males ntar makin dibego-begoin orang sehingga urung melaporkan. Satu lagi yang mungkin dirasakan adalah; justru merasa dirinya bersalah. Kenapa bisa merasa bersalah. Bisa jadi karena menyadari alasan mereka bisa sampai tertipu pada awalnya. Menyadari bahwa niat mereka sudah salah sehingga tidak bisa melihat dengan jernih perangkap di depan mata. Niat mendapatkan sesuatu yang besar, melakukan sesuatu yang besar agar dipandang istimewa, tapi pengennya secara instan, lewat jalan pintas. Seperti niat pengen naik haji.
Seperti Eddy, pemuda warga Desa Cempluk, Jawa Tengah. Ia menggunakan naik haji sebagai alat supaya bisa menikahi Eni, pacarnya yang hendak dijodohkan dengan seorang juragan. Tapi berangkat haji itu ternyata bukan saja jika ‘mampu’, melainkan juga ‘mau’ menunggu antrian kuota hingga sepuluh tahun. Mana bisa Eddy menunggu selama itu, tahun ini dia kudu segera naik haji. Maka ia pun menjual bengkelnya, beralih ke jalur alternatif. Travel haji yang sedikit lebih mahal (ada diskon ding!), dan jauh lebih cepat gak ribet. Sayangnya semua itu hanya tipuan. Dan Eddy yang malu dan tentu ogah melihat Eni tersayang dinikahin ama orang lain, memutuskan untuk gak pulang ke kampung. Ia menetap di Jakarta, menjalankan usaha dagang, bersama orang-orang yang juga jadi korban penipuan haji. Berpura-pura jadi haji beneran kepada Eni dan ibunya di kampung.

kalo terjadi sekarang, berangkat hajinya ke-cancel virus corona

 
Permasalahan tipu-tipu jemaat haji ini dibingkai dalam komedi yang terasa segar sekali. Sebuah langkah bijak dari sutradara pendatang baru Jeihan Angga, sebab perlakuan dan arahan yang ia lakukan membuat film sama sekali tidak terasa preachy. Menyentil orang naik haji yang niatnya enggak-lurus, tanpa jatoh seperti menghakimi dan menyalahkan korban penipuan. Akan ada banyak sekali kita temukan gambaran-gambaran konyol yang mengomentari fenomena sosial yang relevan dengan masa sekarang. Film menggunakan beberapa plesetan untuk menyinggung tanpa benar-benar menuding. Melainkan mengajak kita menertawakannya bersama-sama. Seperti nama travel haji odong-odong yang digunakan Eddy; Second Travel, is clearly a jab to the First Travel, yang kasus penipuan hajinya marak tahun lalu.
Segala aspek seperti suara, musik, penataan gambar, dan kamer digunakan secara precise untuk menghasilkan efek komedi. Dan film ini sungguh gak malu-malu dalam menjelajahi ranah komedinya. Dunia film ini dihidupi oleh tokoh-tokoh yang begitu… weird, kalo gak mau dibilang receh. Si Eddy, pemuda yang punya bengkel kendaraan padahal begitu ‘sontoloyo’ dalam pekerjaannya sehingga suatu hari ia meledakkan mobil yang ia perbaiki. Kita melihat adegan ala kartun dengan asap mengepul sebagai latar desa yang tenang. Ibu Eddy digambarkan kumat ‘sakit’ setiap kali anaknya berulah, dan hanya bisa disembuhkan oleh totokan si anak. Eni dan bapaknya yang suka main gim Harvest Moon juga gak kalah ajaibnya; mereka bisa berkomunikasi dengan… suara hati! Kerecehan ini bukan sekadar dihadirkan supaya lucu, tetapi lucunya juga difungsikan sebagai device untuk memajukan narasi. Kita akan sering mendapati adegan yang circled back ke kerecehan ini sebagai usaha film menjadikannya sebagai sesuatu yang berarti. Film juga bersenang-senang dengan trope-trope drama seperti hujan turun saat tokoh bersedih dan berada di posisi rendah dalam hidupnya.
Kelucuan dalam film ini tidak terbatas pada situasi fantastis yang wallahua’lam bisa beneran terjadi di dunia nyata. Mekah I’m Coming juga menggunakan banyak situasi modern untuk memancing kelucuan, yang juga menyumbang banyak bagi bobot cerita. Misalnya fenomena selebgram atau vlogger-vlogger yang menjadi terkenal berkat konten mereka yang sebenarnya lebih banyak gak-jelasnya ketimbang manfaatnya. Film menertawakan ini, sekaligus menjadikannya sebagai sesuatu yang tak-terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat. Meskipun tidak membahas sampai sejauh konsekuensi (film menunjukkan ada tokoh yang alamatnya didatengi oleh orang dari kampung yang mencari Eddy, adegan ini sebenarnya punya implikasi mengerikan karena si tokoh sudah punya ribuan follower – bayangkan jika semua fansnya itu bisa nguntit sampe ke rumahnya) elemen selebgram dibuat menjadi penting dan punya keparalelan dengan gagasan film soal niat adalah hal esensial yang mampu mengubah sesuatu yang sepele dan begitu juga sebaliknya.

Salah satu hal menarik yang diperlihatkan oleh film ini adalah ternyata ada banyak orang seperti Eddy, yang tertipu oleh bisnis travel haji, tapi tak ada yang melapor. Film secara terselubung memberi tahu kepada kita bahwa mereka-mereka ini naik haji bukan karena murni pengen beribadah. Ketipunya Eddy tidak lagi dikasihani karena naik hajinya sudah menjadi kecil oleh alasan ia pengen pergi pada awalnya. Perbuatan baik akan menjadi sepele jika niatnya sepele. Dan sebaliknya, kerjaan nge-vlog yang receh bisa jadi penghasilan yang  bermanfaat jika diniatkan untuk menolong banyak orang.

 
Paling asik memang jika melihat aktor-aktor memainkan peran di luar kebiasaan akting mereka. Rizky Nazar dan Michelle Ziudith, memang baru Februari tahun lalu mereka bermain drama komedi dengan latar Jawa di Calon Bini, tapi Mekah I’m Coming ini tantangan komedinya berada di ranah yang completely berbeda. Dan dengan didukung oleh pemain-pemain yang sudah berpengalaman dalam bidang komedi, baik Nazar maupun Ziudith berhasil menyelesaikan tantangan akting mereka dengan gemilang. Tidak sekalipun bintang remaja ini tampak jaim. Film meminta mereka menjadi ajaib – Nazar disuruh bengong nampilin wajah bersalah dalam sebuah montase kocak, Ziudith disuruh nangis ngeluarin uneg-uneg tanpa suara – mereka berhasil natural menjadi ajaib. Logat Jawa bukan masalah bagi mereka. Highlight juga pantas disorotkan kepada mendiang aktor senior Ria Irawan yang menyuguhkan kepada kita peran ibu yang bermain di garis komedi dan drama tanpa kehilangan kharisma. Ini adalah penampilan terakhir yang mengesankan, dan kuharap media ataupun yang mengulas berfokus kepada pencapaiannya, bukan ke dialog dan adegannya tentang kematian.

penipunya aja ngerti kok naik haji itu bagi yang mampu fulus dan niatnya tulus

 
Naskah sudah dengan proper memberikan set up dan menghadirkan konflik, lengkap dengan hiasan berupa dialog-dialog cerdas yang lucu. Hanya saja penyelesaian film kurang memuaskan lantaran tidak banyak pada Eddy yang menunjukkan perubahan. Tokoh ini lebih banyak bereaksi ketimbang beraksi. Jika tidak ketahuan, mungkin dia bakal tetap bohong, dan entah kapan dia bakal ngakuin ke Eni dan ibu bahwa dia sebenarnya gagal naik haji. Dan justru bahasan entah kapan itu yang menarik. Karena seharusnya Eddy sendirilah yang mengambil tindakan pengen mengaku sebagai bukti pembelajaran, bukan karena terpaksa keadaan. Cerita akan lebih berisi jika Eddy pulang dengan jumawa tapi lantas dicurigai oleh tokoh terntu yang ternyata pernah ketipu juga, leading up ke pengakuannya dan bagaimana seisi kampung kini bereaksi terhadap Eddy. Sehingga dengan begitu film jadi bisa menghindar dari aspek terlemah yang ia punya; yakni bahwa cerita ini selesai karena saingan cintanya bukan orang yang baik, dan yang paling benci padanya ternyata adalah orang yang pernah mengalami pengalaman yang sama — alias karena ada tokoh yang lebih buruk daripada Eddy, bukan dari Eddy yang belajar untuk menjadi lebih baik dengan menyadari kesalahan.
Film pada akhirnya tetap meminta kita kasihan kepada Eddy karena dia adalah korban, dan kita diminta untuk menghargai jerih payah yang ia lakukan padaha, meskipun kita tahu dia haji hanya demi nikah, dan lagi dengan berbohong dia sudah jadi pelaku juga sekaligus. Eddy harusnya dibuat berubah lebih banyak, paling enggak dia bisa mengenali apa sebenarnya passion dirinya karena he was so bad kerja di bengkel.
 
 
Komedi absurd nan receh memang terasa sangat menghibur dan menyegarkan bagi penonton, serta sangat membebaskan bagi pembuat dan pelakunya. Ketika mereka membuat ini dengan niat menyampaikan sesuatu yang tulus – menyentil maupun memotret – maka akan beresonansi luar biasa kepada kita para penonton. Film ini berhasil membangun dunia sehingga kerecehannya tidak terasa dibuat-buat melainkan merupakan pandangan satir terhadap suatu kondisi. Film ini sesungguhnya mencapai lebih dari sekadar menghibur. Naskah dan karakternya gak annoying, meski di bagian penyelesaian harusnya bisa lebih konsisten lagi dengan gagasan sehingga tokoh utamanya benar-benar mengalami pembelajaran yang berarti.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for MEKAH I’M COMING.

 
 
 
That’s all we have for now.
Bagaimanapun juga, penipuan apa saja bentuknya tetap harus dilaporkan tidak bisa dibiarkan merajalela. Kalian ada kiat gak sih gimana supaya saat jadi korban bisa berani melapor? Dan perlakuan seperti apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap korban yang kita tahu menyalahkan diri dan tidak mau bersuara?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

#TEMANTAPIMENIKAH2 Review

“Unplanned moments are always better than planned ones.”
 

 
 
Namanya udah nikah, urusannya sudah bukan lagi siap atau tidak siap. Melainkan ‘harus siap’. Siap dalam mengubah kebiasaan. Siap dalam berhadapan dengan yang ‘terburuk’ dari teman hidup yang sudah dipilih. Terutama, siap untuk mengurungkan rencana hidup yang sudah disusun. Menjadi pasangan berarti kudu siap menerima kejutan-kejutan rumahtangga. Toh, lagipula hidup tidak akan pernah berjalan sesuai rencana, dan di situlah letak indah dan berharganya kehidupan.
Ayu dan Ditto belum benar-benar siap dalam menghadapi kehidupan baru mereka. Sekian lama menjadi sahabat akrab, hal menjadi sedikit kikuk pada awal-awal pernikahan mereka. Tapi kurang lebih, Ayu bahagia, karena hidup mereka tidak banyak berubah. Berkarir, jalan-jalan. Sampai datanglah karunia tak terduga itu. Ayu hamil. Kehidupan ia yang dulu, rencana-rencananya, jadi harus ditunda. Kalo enggak mau dibilang harus dikesampingkan begitu saja. Ayu stress. Terutama ia takut kehamilan ini akan mengubah total dirinya. Namun dengan berpikir demikian, ia sudah berubah. Kalo kata Ditto, Ayu sekarang berasa serigala. Keseluruhan durasi Teman tapi Menikah 2 ini akan membawa kita mengarungi hari-hari kehamilan Ayu yang dihiasi oleh pertengkarannya dengan Ditto, kecemasannya melahirkan sesar, dan manis yang nanti ia rasakan saat bingkisan karunia dari Pencipta itu hadir ke dunia.

Teman tapi Menyiksa

 
Hal terbaik dari film ini adalah penampilan akting Mawar Eva de Jongh yang memerankan Ayudia Bing Slamet. Dan ini ‘harga’nya mungkin cukup tinggi, karena film actually mengganti pemeran dari film pertamanya yang meraih lebih dari satu-juta-lima-ratus orang penonton. Film sampai melakukan reka ulang beberapa adegan di film pertama sebagai montase pembuka. Langkah ini menimbulkan tandatanya cukup besar karena biasanya jika sebuah film tergolong laku sampai mendorong hadirnya sebuah sekuel, maka pemain terutama pemain utama akan dipertahankan sebab penonton asumsinya sudah klop dengan mereka. Kalopun ada penggantian, maka akan lebih mudah mengganti semuanya misalnya dengan membuat cerita yang periodenya berjarak jauh, sehingga pergantian tersebut menjadi beralasan. Dalam kasus Mawar menggantikan Vanesha Prescilla di film kedua ini, kita tidak melihat alasan yang jelas selain pernyataan sebagian penonton yang beranggapan Vanesha masih belum matang untuk memainkan karakter Ayu di film ini. Kalo memang itu alasannya, maka menurutku Falcon ‘jahat’ juga karena film ini seharusnya jadi kesempatan Vanesha membuktikan dirinya sebagai aktor karena maaaan, Ayu di film ini punya range yang luar biasa. Dan Mawar, untungnya, berhasil capitalized this chance dengan menunjukkan permainan akting yang terasa seperti ia benar-benar melalui semua kecamuk, kegelisahan, bahkan kesenangannya menjadi seorang ibu di usia muda.
Interaksi Mawar dengan Ditto yang masih diperankan oleh Adipati Dolken juga terlihat natural, maupun saat berantem ataupun saat mode pacaran. Malah Adipati yang terlihat lebih ‘lemah’ aktingnya di sini karena dia gak ada peningkatan dari film pertama. Jika dulu Adipati dan Vanesha sama-sama lemah dalam adegan emosional seperti menangis, atau berantem, maka film itu bisa menutupi dengan lebih banyak menonjolkan interaksi unyu hubungan tanpa-status mereka. Namun kali ini, film punya cerita yang lebih menguras emosi. Dengan Mawar bermain luar biasa, momen-momen emosional sering jadi timpang. Ngeliat Ditto di film ini nangis, kita gak pernah yakin dia beneran nangis atau lagi ngelucu.
Kehamilan yang tak direncanakan merupakan sebuah situasi yang tumpah meruah oleh begitu banyak emosi. Takut, panik, bingung, excitement, dan kebahagiaan. Mawar, sebagai Ayu, akan mengalami itu semua satu persatu. Soal kehamilan yang tiba-tiba ini adalah inti dari cerita Teman tapi Menikah 2, yang harusnya bisa menjadi pembahasan yang lebih padat, lebih berisi, dan menginspirasi pasangan suami istri muda seperti Ayu dan Ditto. Film ini bersinar saat mengangkat pembahasan pentingnya suami dan istri untuk saling support, dan bagaimana mereka juga butuh space. Salah satu poin perkembangan karakter Ayu adalah awalnya dia merasa harus selalu dekat dengan Ditto sebagai usaha menunjukkan support. Namun dia akhirnya untuk tidak harus memaksakan, karena dirinya sendiri butuh penyesuaian, ada batasan yang hadir dengan kehamilan. Dan seperti halnya melahirkan; tidak bisa dengan asal ngepush.
Film mencoba mengangkat konflik dramatis dari pasangan muda yang masih punya ego masing-masing, serta bagaimana mereka masing-masing berjuang untuk damai dengan kenyataan bakal punya anak; bahwa mereka kini hanya punya waktu sembilan bulan untuk puas-puasin mengejar mimpi/cita-cita. Baik Ditto maupun Ayu pada awalnya menghitung bulan ini, untuk alasan yang berbeda. Ditto menghitung waktu kebebasan bagai orang yang lagi di penjara, sedangkan Ayu seolah menghitung mundur hari penghabisan bagi dirinya. Tidak keduanya berkesan positif bagi kelangsungan rumah tangga. Namun sembilan bulan itulah durasi pembelajaran bagi keduanya. Dua-ratus-tujuh-puluh hari adalah waktu yang cukup bagi kebanyakan orang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan, dan mengarahkan diri ke mindset yang lebih positif. Kita akan melihat Ayu semakin menumbuhkan cinta kepada bayi yang bertumbuh di dalam tubuhnya. Dia membuat banyak perubahan positif, dia berolahraga dengan benar, berusaha mencari cara kehamilan yang lebih sesuai. Begitu juga dengan Ditto yang mulai seperti mengeset ulang prioritas hidupnya. Setengah paruh akhir, sekitar babak ketiga film, adalah bagian yang paling ingin kita lihat dari cerita semacam ini. Di bagian ini lebih mudah untuk peduli kepada tokoh-tokohnya, karena saat ini kita melihat mereka memilih langkah yang, ditambah pula dengan penulisan yang lebih ketat dan lebih ekslusif kepada pekerjaan mereka sebagai publik figur alias bintang televisi. Layer inilah yang seharusnya ditonjolkan film sedari awal.

Terkadang kita harus menerima kenyataan bahwa beberapa hal tidak akan pernah kembali ke sedia kala. Things do change. Plans got scrapped, dan musti dipikirin lagi dari awal. Hanya ada satu yang konstan, dan itu adalah cinta. Si cinta ini bekerja secara misterius. Momen-momen yang terjadi atas nama cinta tidak bisa diprediksi. Sama seperti ketika Ayu yang tidak menyangka bakal nikah sama sahabatnya sendiri. Setiap bumil – direncanakan atau tidak – bakal merasakan kebahagiaan. Sehingga alih-alih berkubang pada hal yang harus digugurkan, nantikanlah cinta dan kedamaian yang hendak didapat sebagai gantinya.

 
Akan tetapi skenario seperti mengulur-ngulur dengan memasukkan banyak hal yang less-signifikan. Paruh awal, mungkin malah sekitar 60-70%nya diisi dengan konflik yang ngeselin. Film ini kasusnya seperti Dilan 1990 (2018) – bukan kesamaan dari cerita, melainkan sama-sama mengandung konflik, hanya saja sebagian besar konfliknya itu gak penting dan kayak diada-adain.

Teman tapi Memaksa

 
“Gak mungkinlah, kita kan baru nikah masa udah hamil” ucapan Ditto merefleksikan kualitas naskah film ini. Atau paling enggak, begitulah naskah nge-depict sifat kekanakan Ditto. Dengan narasi demikian, film seolah membuat kehamilan Ayu sebagai hal yang gak lumrah; ia berusaha membuat kehamilan ini lebih sebagai ‘kecelakaan’ ketimbang hal yang tidak direncanakan. Padahal mereka melakukan, lalu hamil, ya wajar, tapi film membuat mereka kaget karena mereka baru saja menikah. Reaksi ini terlalu dibuat-buat, bahkan untuk mereka berdua yang pasangan muda. I mean, mereka bukan di film Dua Garis Biru. Mereka menikah, komit, tahu cara kerja dan konsep kehamilan. Namun di awal-awal, oleh naskah kedua tokoh ini tampak seperti sedang main rumah-rumahan. Ini mungkin salah satunya disebabkan oleh film ingin tampil untuk penonton dengan rentang usia tiga-belas tahun ke atas, jadi pembahasannya gak boleh mature-mature amat.
Masalah yang membuat mereka berantem hanyalah masalah kecil seperti beda kebiasaan, sehingga setiap kali mereka ribut rasanya gak penting dan buang-buang waktu. Kita bisa melihat keduanya sama-sama salah. Dan ini terus berulang – formulanya selalu ribut, kemudian sadar udah emosi, kemudian maafan – dengan berbagai versi kejadian. Yang semakin mengada-ada. Di satu titik mereka berantem karena Ditti cemburu Ayu lebih perhatian kepada janinnya. See what I mean?
Dengan kejadian selemah itu, tidak pernah sekalipun mereka berantem terasa seperti hal yang mengancam. Kita tidak mengkhawatirkan mereka bakal pisah, kita tidak mencemaskan keadaan bayinya; tidak ada stake yang kuat. Film semestinya segera bermain dengan lapisan-lapisan supaya mereka berantem dengan masalah yang lebih natural dan gak repetitif. Soal kerjaan, soal posisi sebagai artis, soal duit, normal bagi film tentang pasangan muda membahas ini, dan normal juga untuk memantik sedikit dramatisasi demi film berjalan lebih menarik. Daging sesungguhnya ada di paruh akhir, namun pada poin itu sudah terlambat karena menjelang penghabisan film terasa nge-drag luar biasa.
 
 
 
It still has its charms. Ayu dan Ditto begitu lovable, kita suka melihat interaksi mereka. Dimainkan dengan sangat baik pula, terutama di bagian-bagian mereka berbagi suka. Secara narasi, film ini tidak terasa lebih besar dan signifikan dibanding film yang pertama. Padahal ceritanya sekarang mereka sudah menikah dan punya masalah dari kehadiran bayi yang tak-disangka. Masalah yang notabene lebih menguras emosi ketimbang persoalan ngungkapin cinta kepada sahabat. Mestinya ada banyak yang bisa digali, tapi film mengulur dengan menghadirkan konflik-konflik yang kurang menggigit sebagai penghantar.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for #TEMANTAPIMENIKAH2.

 
 
 
That’s all we have for now.
Kenapa sih menurut kalian menjadi ibu atau orangtua itu begitu membahagiakan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SONIC THE HEDGEHOG Review

“Home is something you run toward”
 

 
 
Lari film live-action dari tokoh video game ikon perusahaan Sega ini memang sempat diperlambat sedikit. Tadinya akan ditayangkan tahun 2019 yang lalu, akan tetapi begitu materi promosi pertama keluar; mereka nampilin penampakan Sonic yang desainnya jauh banget berbeda dari desain karakter yang asli, film lantas dicerca habis-habisan oleh fans. Sutradara baru Jeff Fowler menunjukkan bahwa ia benar-benar peduli dengan proyek yang ia tangani dengan mendesain ulang rupa Sonic menjadi seperti yang sudah kita kenal. Film ini mundur hingga ke 2020, dan berkat tindakan berdedikasi dari studio dan pembuatnya itulah kita mendapat sajian komedi dan aksi dari video game yang bukan sekadar ‘menguangkan nostalgia’ melainkan benar-benar menghibur. Dan dijamin tidak akan ada lagi keluhan dari penggemarnya mengenai karakter si Sonic ini sendiri, meskipun kisahnya sedikit berbeda dengan versi game (namanya juga adaptasi)
Sepanjang sepuluh tahun masa hidupnya, Sonic si landak biru elektrik (beneran bisa nyetrum!) disuruh untuk terus berlari. Supaya enggak kelihatan oleh musuh-musuh yang mengejarnya dari planet asal. Jika ketahuan, Sonic harus melempar cincinnya untuk membuka portal, berteleport kabur ke tempat lain. Kini Sonic bersembunyi di Bumi, di kota kecil bernama Green Hills (sayup-sayup terdengar sorakan nostalgia pemilik konsol Sega). Di tempat inilah Sonic merasa sangat kerasan. Dia merasa akrab dengan para penghuni, meskipun hanya dengan ‘mengintip’ aktivitas mereka setiap hari. Sonic kesepian. Dalam galaunya, Sonic gak sengaja bikin mati lampu seisi kota. Kekuatan listriknya tercium oleh pemerintah, yang mengirim ilmuwan mesin edan, Dr. Robotnik untuk memburu Sonic. Mau gak mau Sonic harus segera meninggalkan ‘rumah’, hanya saja saat jatidirinya ketahuan oleh seorang polisi lokal favoritnya yang bernama Tom, Sonic kehilangan cincin teleportasi yang begitu esensial untuk keselamatannya.

Pelari Film

 
Jika bagi Robotnik yang superpintar semua orang tampak sangat bego, maka bagi Sonic yang ngebut semua orang tampak bergerak lamban. Bahkan nyaris seperti diam di tempat. Film bermain-main dengan aspek kecepatan Sonic. Kita melihat berbagai aplikasi dari kekhususan Sonic dalam berbagai adegan dengan range mulai dari lucu-lucuan kayak adegan kartun – Sonic bisa berlari ke Samudra Pasifik untuk kemudian balik lagi karena menyadari ia gak bisa berenang, dalam beberapa detik – hingga ke adegan berantem yang fun ala Quicksilver di MCU dan X-Men atau ala Dragon Ball ketika Sonic marah dan mengumpulkan kekuatan listrik dari bulu-bulu landaknya yang tajam. Ada pembelajaran yang dilalui oleh Sonic, seperti dalam game yang setiap levelnya membuka ability/kemampuan baru untuk kita pelajari demi eksplorasi lebih luas dan mengalahkan musuh yang lebih tangguh. Film berusaha keras menempatkan Sonic yang supercepat ke dalam situasi yang membuatnya tidak bisa begitu saja menjadikan kecepatan sebagai jawaban.
Aku gak begitu gandrung main game Sonic. Terutama karena waktu kecil aku gak punya Sega; I’m more of a Nintendo and PlayStation boy, jadi aku jarang memainkan gamenya. Aku lebih mengenal Sonic lewat serial kartunnya yang dulu sempat tayang di televisi. Dan bahkan dengan sebegitu saja, film ini berhasil membawaku mengarungi euforia nostalgia. Banyak sekali referensi-referensi yang ditabur ke dalam film ini. Semuanya dilakukan dengan seksama, sepenuh hati, misalnya momen sepatu Sonic. Timingnya juga diperhatikan, seperti penggunaan sound-sound di game pada momen cerita yang pas. Film ini membuat detil kecil itu berarti. Sonic sendiri juga lucu sekali. Sifatnya bisa dijadikan teladan bagi anak-anak yang nonton, sedangkan sikapnya yang polos-tapi-cerewet membuatnya jadi seperti sahabat impian bagi anak-anak. Ben Schwartz menghidupkan karakter ini dengan kehangatan natural khas tokoh pahlawan anak. Makanya nonton filmnya jadi lebih menyenangkan meskipun Sonic harus berbagi porsi dengan tokoh manusia. Tokoh Robotnik alias Eggman yang terkenal nyentrik dan ‘bermulut ringan’ sudah paling pas dimainkan oleh the one and onlyJim Carrey. Tentu, tokoh ini ia mainkan dengan over-the-top; Carrey actually melakukan banyak improvisasi gerakan dan perkataan, karena begitulah penjahat dalam film kartun. Sonic the Hedgehog tidak berusaha menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Inilah yang membuatnya mencuat. Lebih menyenangkan ketimbang Pokemon Detective Pikachu (2019)yang entah apa sebabnya memilih menggunakan tokoh utama yang gak suka Pokemon… honestly, sampe sekarang aku masih heran sama film itu.
Mengadaptasi semesta kartun, Hollywood punya kebiasaan ‘memaksakan’ ada tokoh manusia, supaya penonton bisa lebih mudah relate. Seringnya adalah tokoh manusia itu tetap kalah menarik karena toh kita menonton bukan untuk melihat mereka, kan sebenarnya. Kita pengen menyaksikan Sonic, atau Pikachu, atau Smurf, hidup. Dalam film ini, tokoh manusia yang dimaksud adalah si polisi Tom yang diperankan karismatik oleh James Marsden. Walaupun aksi dan cerita tetap berpusat pada Sonic, film berhasil membuat Tom tetap menarik. Hal ini tercapai berkat penulisan tokohnya yang punya motivasi yang berkonflik pandangan Sonic. Konfliknya ini beda jenis dengan konflik Sonic dengan Robotnik; yang lebih in-the-face, berfungsi sebagai ancaman yang bikin anak kecil greget menontonnya. Konflik Sonic dengan Tom bersifat lebih emosional, ia berperan dalam pembangunan karakter; aspek yang lebih diapresiasi oleh penonton yang lebih dewasa. Sonic mendambakan kehidupan menetap, punya rumah, gak harus pindah, meskipun practically ia bisa ke mana saja asal ia mau, dia lebih memilih untuk tinggal di Green Hills sebab dia yang selama ini menonton kehidupan di sana sudah merasa begitu terattach dan menjadi bagian dari kota. Sedangkan Tom, polisi muda di kota kecil yang kehidupannya biasa-biasa saja, sudah sangat siap pindah ke tempat yang lebih menantang di mana ia bisa menjadi penyelamat beneran. Dua pandangan ini bertemu dalam mobil yang menuju San Fransisco, mereka berdebat, dan akhirnya menjadi teman baik karena masing-masing pendapat saling mengisi satu sama lain.

Dalam game Sonic, level disebut dengan istilah Zone. Dalam film Sonic, ‘Zone’ inilah yang persoalan Sonic. Zone as in safe zone, atau mungkin comfort zone. Sekilas, gagasan film terdengar aneh. Tom seperti mewakili perjuangan keluar dari comfort zone, sudah jadi rahasia umum untuk sukses kita harus berani keluar dari zona nyaman. Sonic seperti menentang ini, Sonic seperti menyugestikan untuk berkubang di zona nyaman.  Tapi sebenarnya bukan itu masalahnya, film lebih bicara soal zona aman. Yakni rumah. Ketenangan domestik. Sonic, Tom, dan kita semua semestinya tetap terus berlari demi mencari rumah. Keluar dari zona nyaman kalo perlu demi mencari ini. Tempat, di mana pun itu, yang berisi orang-orang yang kita sayangi.

 

saking cepatnya, Sonic bisa main baseball, jadi dua tim, menghidupkan banyak karakter sendirian

 
Secara plot, however, malah justru si Sonic yang perubahannya lebih sedikit ketimbang Tom. Polisi ini berubah jadi gak ingin pindah karena dia menyadari yang ia butuhkan. Sedangkan Sonic di akhir cerita memang mendapatkan yang ia inginkan, ia menyadari tak perlu pindah planet. sembari tetap butuh berlari mencapai yang ia inginkan tadi. Film belum benar-benar melingkar ketika membahas plot Sonic. Penyebabnya adalah karena kita hanya melihat Sonic pindah satu kali. Dia tidak lagi dikejar-kejar musuh aslinya selain pada adegan awal. Ini membuat Sonic tidak punya rutinitas yang bakal berubah di akhir cerita, karena yang kita lihat adalah Sonic di Bumi, harus pindah, lalu resolusi adalah dia diterima di Bumi — tidak ada breaking rutinitas (dari nyaman di Bumi kembali ke Bumi) seperti pada formula naskah biasanya.
Dan bukan sekali itu saja – tidak lagi membahas pengejar di awal – film melupakan hal yang mereka angkat. Babak satu berakhir pada poin yang cukup menegangkan bagi kedua karakter. Sonic diburu Robotnik, dan Tom; masuk berita dan dianggap sebagai teroris yang menghalangi pemerintah. Aspek Tom sebagai teroris ini tidak dapat follow-up lagi pada naskah, kita tidak melihat dia kesusahan masuk ke mana-mana, dia tidak kelihatan seperti orang yang dicari oleh negara. Pengejar mereka tetap satu, Robotnik. Tentu, ada dalih bahwa pemerintah juga sebenarnya tidak suka dengan Robotnik – mereka bisa bisa saja tidak percaya dan cap teroris itu disiarkan langsung oleh Robotnik sendiri – tapi dengan ditonton oleh orang banyak di televisi, seharusnya ada reaksi yang lebih genuine dari plot poin ini. Namun alih-alih itu, babak kedua film dihadirkan dengan cheesy, penuh selipan tren dan budaya-pop, bahkan untuk film yang esensialnya adalah kartun minggu pagi. Kita malah melihat mereka bersenang-senang di bar, menuhin bucket list Sonic yang ingin melakukan hal-hal normal dengan cara edan. Pada beberapa momen film menjadi bahkan kelewat cheesy, yakni saat mereka menggunakan iklan sponsor seperti restoran Olive Garden sebagai punchline.
 
 
 
Meskipun begitu, ada banyak cara yang lebih buruk dalam mengisi hari bersama si kecil, atau menghibur masa kecilmu; nonton film anjing yang anjingnya CGI misalnya. Setidaknya film ini lebih berdedikasi dan menghormati tokoh Sonic itu sendiri. Ceritanya menutup dengan teaser sekuel yang menggugah. Aksi dan interaksi antartokohnya menyenangkan. Beberapa cheesy karena film ini memang berada di jalur kartunnya. Punya bejibun referensi terhadap game, dan budaya pop masa kini sebagai penyeimbangnya. Jadilah film ini sangat menghibur, meski dengan naskah yang belum maksimal.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for SONIC THE HEDGEHOG

 
 
 
That’s all we have for now.
Desain Sonic sempat diganti karena netijen protes. Bagaimana kalian memandang fenomena ini? Baikkah jika penonton punya kontrol besar terhadap suatu karya? Haruskah pembuat film mendengar protes bahkan sebelum filmnya jadi? Atau apakah semua ini hanya taktik jualan sedari awal?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

BRAHMS: THE BOY II Review

“Traumatic experience early in life marks a person forever”
 

 
 
Mengalami langsung atau menyaksikan seseorang yang dicintai mengalami peristiwa menyakitkan secara fisik maupun emosional dapat mendatangkan trauma kepada siapa saja. Dan setiap kita bakal mengembangkan mekanisme yang berbeda-beda sebagai pertahanan atau perjuangan mengatasi trauma tersebut. Dalam Brahms: The Boy II kita melihat ibu dan anak laki-lakinya diserang di kediaman mereka sendiri oleh perampok. Sang ibu dipukul telak di kepalanya hingga tak sadarkan diri saat berusaha melawan. Si anak menyaksikan itu semua. Ketakutan. Tak berdaya.
Kemudian kita mengenal mereka berdua sebagai penyintas. Namun tidak tanpa ‘luka’ yang mendalam. Liza (Katie Holmes memimpin cerita dengan teror jasmani dan rohani pada dirinya) menjadi takut keluar rumah dan kerap dihantui mimpi/halusinasi diserang oleh rampok bertopeng ski. Anaknya, Jude (Christopher Convery diharuskan bermain dengan ekspresi terselubung sebagai bumbu misteri) jauh lebih ‘parah’. Anak ini completely shut himself down. Jude tidak lagi berbicara, ia berkomunikasi lewat tulisan dan gambar pada buku kosong yang selalu ia bawa. Liza dan Jude dibawa oleh ayah ke rumah terpencil, yang ternyata adalah bagian dari rumah cerita The Boy pertama (2016). Jude menemukan boneka antik yang terkubur di pekarangan (alias hutan di halaman belakang). Jude dan boneka yang bernama Brahms itu seketika menjadi teman. Liza dan suaminya pada awalnya senang-senang saja, Brahms disangka bisa menjadi langkah kesembuhan Jude. Namun ketika hal aneh mulai terjadi, Liza mulai gak yakin. Apakah Jude terlalu memproyeksikan dirinya kepada Brahms; menjadikan boneka tanpa ekspresi itu kambing hitam atas perbuatannya, atau memang Brahms beneran jahat dan mengendalikan semua tingkah Jude, termasuk membuat rencana membunuh semua orang.

Idih udah gede masih main boneka

 
The Boy pertama memberikan kita pengalaman horor yang unik. Bagian terbaik dari film itu adalah momen-momen tokoh utama yang dibayar untuk mengasuh boneka mulai merasa boneka tersebut hidup. Bunyi-bunyian, barang-barang yang berpindah tempat. Film bahkan tidak memperlihatkan boneka Brahms itu bergerak supaya kita juga penasaran dan merasakan ketakutan dan keraguan tokoh utama. Aku jauh lebih suka bagian awal film itu dibandingkan bagian akhirnya saat Brahms yang asli diungkap masih hidup dan tinggal di balik tembok rumah, bertahun-tahun sembunyi di sana. Tindakannyalah yang membuat seolah boneka tadi bergerak. Ya, jauh sebelum Parasite (2019) memang sudah banyak thriller ataupun horor yang menggunakan trope ‘orang-di-dalam-dinding’, karena berkat pengungkapan ini The Boy menjadi berkurang originalitasnya meskipun masih tetap Pengungkapan film ini, meskipun tidak original, tetap memberikan kejutan dan menjungkirbalikkan seluruh tone cerita.
Sekuelnya ini, persis seperti demikian. Kerja paling baiknya sesungguhnya adalah jika semua kejadian dibiarkan tetap sebagai teror dari kondisi psikologis. Baik itu dari Liza yang masih trauma sama ‘benda asing’ yang masuk ke rumah mereka sehingga dia melihat Brahms sebagai ancaman, ataupun memang tekanan trauma mengubah Jude; menimbulkan tanda-tanda perbuatan kekerasan sebagai channel keluar dan dia berlindung di balik bonekanya. Ada dua keadaan psikologis yang mencerminkan trauma yang bekerja berbeda pada dua orang tokoh. Film harusnya mengeksplorasi ini sebagai fokus karena membuat cerita lebih menarik dan intens. Aku duduk nonton ini setengah memohon bahwa gerak-gerak Brahms itu cuma ada di dalam kepala Liza, bahwa suara-suara yang didengar Jude cuma suara di kepalanya sebagai akibat dari trauma. Aku suka ide dan konsep The Boy adalah horor dengan boneka sebagai pusat semesta tanpa si boneka benar-benar melakukan apa-apa; bahwa sebenarnya ini adalah cerita trauma manusia.

Pengalaman traumatis akan mengubah kita selamanya jika terjadi pada usia muda. Karena pada usia tersebut, khususnya pada anak-anak, mental dan otak dan personality masih dalam tahap perkembangan. Efek trauma akan membekas sampai dewasa. Dalam film ini kita melihat Jude yang tadinya ceria dan gemar ngeprank menjadi sebisu boneka. Jude lama kelamaan menjadi seperti mirip Brahms, eventually seperti menyatu dengan Brahms. Di situlah horor sebenarnya. Wajar bagi anak yang sudah mengalami hal yang dialami Jude berubah menjadi punya tendensi pembunuh. Mereka perlu konseling dan penanganan secepatnya. Seserius mungkin.

 
Hanya saja tidak seperti film pertama yang masih memberikan kita momen-momen ambigu dan seolah membagi dua genre cerita dengan pengungkapan tadi, Brahms: The Boy II ini sedari awal sudah berniat untuk benar-benar menjadikan boneka Brahms sebagai makhluk supernatural. And this is why the movie sucks. Dia tidak lagi unik. Film ini hadir sebagai cerita boneka hantu standar, dengan trope anak kecil creepy yang berteman dengannya, dan orangtua yang gak percaya hingga semuanya sudah terlambat. Biasa banget. Cerita buku Goosebumps aja banyak yang kayak gini, bonekanya bisa diganti apapun yang bisa dirasuki makhluk halus. Akibatnya, Brahms malah jadi tak-ada ubahnya dengan Annabelle versi cowok. Boneka yang dimasuki roh. Dan hey, sudah ada Chucky sebelumnya, terlebih Chucky lebih ekspresif dan actually do something dengan segala kesadisan, jokes, dan kevulgaran (aku di sini bicara Chucky original bukan remake). Brahms hanya duduk di sana, gerak kepala dikit; gerakan kecil ini tak lagi berarti karena film sudah menetapkan dia beneran bisa ‘hidup’.

Aku menunggu Brahms menghardik Liza “fuck off, bitch!” tapi kemudian aku sadar ini bukan film Chucky.

 
Segala trauma tadi tak lagi jadi soal karena sekarang kita hanya menunggu si boneka melakukan aksi. Permasalahan kejiwaan Jude dan Liza tak lagi menggigit karena konfliknya sudah beralih ke misteri sosok Brahms. Malahan, Jude dibikin gak bicara hanya tampak sebagai alasan supaya film ini bisa punya tokoh yang berkomunikasi lewat tulisan – hanya sebagai gimmick untuk horornya. Gimmick yang juga tak benar-benar unik. Film ini juga mengulangi satu kesalahan di film pertama, yakni menggunakan banyak adegan mimpi. Adegan mimpi di sini justru menjadi semakin menjengkelkan karena kalo memang si Brahmsnya udah ditetapkan sebagai hantu, kenapa gak langsung saja si Liza ditakutin beneran. Kenapa film di bagian ini film masih berpura-pura Brahmsnya gak beneran hidup. You know what, jawabannya mungkin adalah kuota jumpscare. Horor sekarang di mata produser dan pembuat kayaknya bagai sayur tanpa garam jika tidak dibumbui dengan banyak jumpscare. Setiap horor harus ada jumpscare, betapapun maksa, fake, dan pointless-nya. Bahkan mungkin bagi mereka semakin pointless, semakin bagus, kayak di adegan mimpi. Film Brahms ini ada banyak jumpscare mulai dari hantu, mimpi, halusinasi, hewan, hingga prank bocah.
 
 
Build up dan gambar bagus dan set menawan itu jadi mubazir karena film tidak lagi unik dan horornya hanya bergantung jumpscare. Film ini mengacuhkan filmnya yang pertama, completely salah mengenali apa-apa yang dinikmati penonton. Keunikan boneka biasa yang dianggap berhantulah yang membuat cerita film itu menarik. Namun kali ini semua itu dibuang begitu saja. Film menjelma menjadi horor boneka-hantu standar, yang tak punya jati diri, selain kayak tiruan dari gabungan Annabelle dan Chucky alias Child’s Play. Yang paling aku ngakak adalah sekuen Liza membaca artikel-artikel tentang Brahms di internet, dan kita melihat foto-foto hitam putih Brahms ada dari zaman dulu dan kelihatan gambarnya kayak tempelan yang kasar ke foto tersebut haha.. Tapi hey, mungkin memang inilah yang disasar oleh pembuatnya. Mungkin The Boy memang hanya dijadikan tiruan, boneka mainan – so to speak, dari trope horor yang sudah ada; trope horor orang di balik dinding, dan di film ini ya trope boneka hantu.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for BRAHMS: THE BOY II

 
 
 
That’s all we have for now.
Apa kalian punya pengalaman menakutkan tentang boneka? Aku yakin itu bakalan lebih seram daripada film ini
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

KAJENG KLIWON Review

“This is the chance of a lifetime”
 

 
 
Tumben hari gini ada film horor yang mengangkat kisah dan budaya di luar mitos jawa. Skena klenik Indonesia sebenarnya memang sangat beragam, dan Bali merupakan salah satu yang aura mistisnya paling menggoda, bahkan hingga ke mancanegara. Kajeng Kliwon garapan Bambang Drias mengangkat kebudayaan Bali sebagai panggung kisah horor yang dijalin dengan permasalahan dua insan manusia. Kita akan mendengar musik khas, melihat ritual budaya, tarian, dan tentu saja penampakan makhluk gaib yang sangat lokal, sekaligus – hopefully – terhanyut dalam konflik cinta dan kecemburuan yang menjadi denyut emosi ceritanya.
Pernikahan bukan hanya menyatukan dua pribadi. Melainkan melibatkan asimilasi dua pendapat, dua pola pikir, dua kebiasaan, dan ya dua kebudayaan. Bu Dokter Agni (Amanda Manoppo memainkan tokoh yang menyebalkan) yang asli Bali sudah akan menikah dengan pacarnya seorang fotografer asal Jakarta. Mereka kini sedang dalam perundingan mengorganisir acara pernikahan. Dan guess what? Mereka gak kompak. Agni pengen A, Nicho calonnya bilang lebih baik B. Perselisihan kecil tak dapat dihindari. Sementara Agni berusaha memikirkan kembali apa sesungguhnya kesempatan satu kali seumur hidup yang harus ia usahakan, rumah sakit tempatnya bekerja ‘kedatangan’ mayat wanita dengan kepala tertebas secara misterius. Malam itu, tepat malam Kajeng Kliwon yang dipercaya malam ngecengnya para Leak, Agni bertemu dengan Rangda. Ratu dari segala Leak yang menjadi penanda ilmu hitam itu tampak mengincar dirinya. Perlahan Agni mengetahui bahwa misteri mayat dan teror Rangda berhubungan erat dengan acara pernikahannya yang terancam batal.

wajah cowok Agni pas denger dia memesan gaun pesta seharga dua-puluh-lima juta; priceless

 
Kajeng Kliwon sesungguhnya punya potensi untuk menjadi horor yang mumpuni. Ceritanya punya lapisan yang cukup untuk menjadikan misterinya menarik. Penggalian mitos Bali memberikan hal segar untuk kita simak. Meskipun istilah Kajeng Kliwon yang dijadikan judul sebenarnya enggak banyak dibahas; hanya ada satu-dua adegan yang menyebut ini dan cerita pun ternyata tidak hanya terjadi pada satu malam itu, tetapi penampakan Rangda dan penjelasan tentang ilmu hitam yang turun temurun membawa aroma kekhasan tersendiri. Setelah Mangkujiwo (2020) dan banyak lagi film-film yang mengandung unsur ritual atau santet dan semacamnya, Kajeng Kliwon hadir sebagai, katakanlah masih dalam spesies yang sama namun dalam varian warna yang berbeda.
Yang paling menarik dari film ini adalah motivasi tokoh jahat alias dalang semua kemalangan yang menimpa Agni. Bukan se’hitam’ balas dendam, atau ingin menguasai suatu pusaka, atau keinginan jahat yang biasa. Motivasi tokoh ini juga punya kedalaman yang berpotensi menjadi menantang – memantik diskusi – karena cukup kontroversial, sebenarnya. Kajeng Kliwon membahas seputar ilmu Leak, ilmu hitam yang diwariskan baik itu secara turun temurun lewat warisan darah atau pengajaran ala guru-murid. Tokoh jahat cerita ini adalah seorang yang memelihara ilmu tersebut sejak dahulu. Bertahun-tahun lamanya, dirinya berumur panjang karena ilmu ini. Dan dia punya kewajiban untuk menjaga ilmu tersebut dari kepunahan. Ikut menjaga warisan turun temurun. Di atas masalah pilihan personal, tokoh ini gak suka Agni menikah dengan Nicho terutama adalah karena dia gak mau ke-Bali-an di dalam diri Agni terkotorkan oleh muasal Nicho – apalagi karena Agni adalah salah satu figur kunci dalam pewarisan ilmu Leak. Jika digali dengan lebih serius dan penulisan yang lebih kompeten, antagonis dalam film ini akan menjadi lebih dari sekadar tokoh twist belaka sebab ia punya motivasi yang benar-benar challenging. Tumben-tumbenan tokoh di film horor Indonesia lowkey menarik kayak gini.

Yang mengandung bulir-bulir gagasan bahwa tidak semua aspek budaya harus dipertahankan, bahwa terkadang budaya turun temurun butuh penyesuaian karena simply sudah kuno atau tidak membawa nilai positif sama sekali.

 
Kata ‘tumben’ kutemukan dalam film ini awalnya sebagai bahan cemoohan. Gak sampai sepuluh menit cerita dimulai, kita dikasih dialog yang awalannya kata tumben semua. “Tumben, pagi ini kamu cantik”. “Tumben datangnya siang”. “Tumben datang ke sini” Aku ngakak, karena bahkan tumben bukan istilah dari Bali. Tapi ternyata menjadi menarik karena pengulangan ini menjadi tema yang diejakan secara terselubung kepada kita, meskipun mungkin bahkan filmnya sendiri enggak menyadari. Karena motivasi Agni secara keseluruhan adalah pengen nikah yang, katakanlah, mewah, sebab baginya pernikahan adalah ‘kesempatan yang datang satu sekali seumur hidup’. That’s the key sentence. Kalimat tersebut juga diulang-ulang oleh Agni, dan juga disebutkan oleh tantenya saat memberi pembelajaran kepadanya. Agni berjuang untuk satu momen gak-biasa, satu jendela-waktu luar biasa untuk mendapatkan atau melakukan sesuatu yang berharga, satu ‘ketumbenan’ yang hakiki. Jika malam kajeng kliwon adalah momen spesial yang dinanti oleh para Leak, maka bagi Agni momen itu adalah pernikahan. Dan semangatnya ini berlawanan dengan tokoh antagonis yang memegang prinsip keabadian; “a whole lifetime” alih-alih “once in a lifetime”

Ini adalah soal menikmati sesuatu yang bisa jadi hanya akan mampir satu kali dalam hidup kita. Yang harus dipikirkan adalah apa yang kita lakukan ketika kesempatan tersebut datang. Film ini mencontohkan pernikahan mewah – ini adalah momen yang ingin di-capitalize, disakralkan, oleh Agni. Akan tetapi pernikahan itu sendirinya tidak akan berlangsung seumur hidup jika Agni tidak bersama orang yang tepat. She should celebrate the person instead; cinta itulah kesempatan sekali seumur hidup yang harusnya ia perjuangkan. Film menunjukkan kepada kita untuk benar-benar mengenali mana hal yang merupakan kesempatan yang sebenarnya harus diperjuangkan. Karena, ya itu tadi, hidup cuma satu kali.

 
Ada sesuatu di antara konflik Agni dengan antagonis yang tidak kusebutkan namanya demi alasan spoiler. Pembelajaran Agni akan tercermin di akhir cerita dari perubahan perlakuannya kepada Nicho. Jika elemen cerita ini serius ditangani, dikerjakan dengan lebih kompeten, atau naskahnya melewati perbaikan dan pendalaman lagi, Kajeng Kliwon tak pelak bisa menjadi salah satu horor lokal berbobot yang pernah ditayangkan oleh bioskop Indonesia. Sayangnya, secara teknis film ini masih sangat hijau — kalo gak mau dibilang lemah. Durasinya terlalu singkat untuk dapat mengakomodir kedalaman yang diperlukan. Arahannya masih sebatas mengejakan perasaan. Naskahnya? Well, inilah bagian yang paling kurang performanya dari keseluruhan film Kajeng Kliwon.

dialognya ‘go ahead’ pas adegan melihat mayat buntung; film ini punya selera humor

 
 
Dialog dalam film ini standar sestandar-standarnya. Percakapan mereka jarang sekali mengandung development. Hanya sejumlah percakapan sehari-hari, argumen, dan eksposisi. Dan bahkan itu semua tidak benar-benar dipikirkan dengan matang. Misalnya ada kalimat yang merujuk kepada perubahan wujud yang bisa dilakukan oleh Rangda; si tokoh menyebut “anjing, kucing, manusia jawa, manusia bali, bule”. Pengelompokan dalam kalimat itu sangat aneh karena seolah manusia jawa dan manusia bali itu dua spesies yang berbeda seperti anjing dan kucing. It’s just not right of a group. Jangan pula dibayangkan argumentasi Agni dan Nicho seperti argumen pasangan di film Marriage Story yang dapat nominasi Oscar. Agni dan Nicho hanya ngotot vs. nolak dengan lembut, kita tidak pernah tergerak untuk mendukung salah satu dari mereka. Sebagian besar karena yang satu jatohnya annoying (mungkin karena namanya berarti api maka dia membakar kesabaran kita) dan satu laginya culun. Mereka ‘damai’ dan ribut ya sesuka naskahnya aja, gak ada build up yang natural. Film cukup memasang lagu pop patah hati untuk membuat penonton merasa harus ikut bersedih.
Poin-poin plot terasa sama ‘maksa’nya dengan Agni. Ada bagian ketika Nicho ketemu di tengah jalan dengan mantan kekasihnya, dan di akhir pertemuan itu mendadak saja si mantan menjadi begitu obsesif dan dia menyusun rencana ke orang pinter segala macam untuk menjauhkan Nicho dengan Agni. Si mantan ini sukses menjadi tokoh paling gak jelas karena tindakan yang ia maksud untuk menggagalkan pernikahan adalah … bukan ritual bukan santet.. melainkan langsung mencekek leher Agni setiap kali mereka bertemu! Dan tidak ada konsekuensi, dia tidak ditangkap, Agni tidak mengusut pencekekan lebih lanjut. Ketika Agni membunuh seseorang pun, film melangkahi persoalan itu begitu saja. Bicara soal teman dari masa lalu, Agni juga punya satu yakni Wijaya si pemilik cafe, yang kelihatan ingin mencampuri urusan pernikahan Agni. Menurutku, film juga mubazir dalam menangani Wijaya. Seharusnya biar efisien, dia saja yang menjadi wedding organizer yang selalu dijumpai Agni, dengan begitu Wijaya bisa masuk akal bisa terus tau masalah Agni.
 
 
Karena penggarapannya yang terasa di bawah standar, terutama di bagian penulisan, film ini gagal mencapai level – bahkan setengah dari level – yang seharusnya bisa ia capai. Tulisanku di atas benar-benar sebuah long reach karena saat menonton film semua hal tersebut tidak akan menonjol. Persoalan ‘tumben’ tadi, akan lebih terasa sebagai sebuah kekonyolan karena film tidak kelihatan menaruh banyak perhatian pada kesubtilan berkat dialognya yang begitu basic dan in-the-face. Bahkan Agni sebagai dokter saja tidak pernah tampil meyakinkan, dia hanya berteriak dan mondar-mandir meriksa pasien dengan stetoskop. Padahal jika adegan epilog (yang timeline-nya pada narasi juga gak jelas kapan) dijadikan sebagai pembuka oleh film, maka kita paling enggak akan dapat bukti si Agni beneran bisa nyembuhin orang – you know, that she can do her job as a doctor. Hantu Rangda yang original itupun pada akhirnya harus mereceh berkat penggunaan efek sub-par di bagian konfrontasi final. Film seharusnya bisa jauh lebih baik jika menggunakan kostum dan menghindari efek-efek komputer yang jelas-jelas enggak sesuai dengan kantong dan kemampuan mereka. Darahnya aja keliatan banget palsu. They should invest more ke hal yang paling penting dalam sebuah film; naskah.
The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for KAJENG KLIWON

 
 
 
That’s all we have for now.
Di dunia nyata beneran ada gak sih orang-orang yang keturunan Leak kayak Agni di film?
Bagaimana pendapat kalian tentang budaya-budaya kuno yang gak sesuai lagi dengan keadaan zaman? Apakah kalian setuju dengan antagonis film ini?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.