KERAMAT 2: CARUBAN LARANG Review

 

“Culture is the arts elevated to a set of beliefs.”

 

 

Yang keramat dari genre mockumentary (dokumenter ala-ala, yang sering ditampilkan dengan gaya found footage) adalah kesan otentiknya. Dalam artian, penting bagi genre ini untuk menjaga ilusi bahwa mereka adalah ‘dokumenter-asli’ meskipun kita semua tahu yang di layar itu cuma film yang bentuknya saja yang seperti dokumenter, sementara ceritanya adalah fiksi dan sebagian besarnya merupakan parodi dari bentuk-bentuk dokumenter yang ada. Untuk menjaga kesakralan ilusi otentik tersebut, maka biasanya mokumenter menggunakan gimmick-gimmick, mulai dari teknis seperti kamera handheld yang goyang-goyang, hidden cam, adegan-adegan interview, dan estetik kamera jadul – atau at least grainy supaya kesan raw footagenya dapet.  Beberapa bahkan sengaja dibuat dengan skrip minimalis (hanya poin-poin, sementara pemeran bebas improvisasi dialog, dan sebagainya). Hingga gimmick di luar teknis pembuatan, seperti pemasaran yang menyatakan filmnya adalah kisah nyata. Dan oh boy, betapa di horor, mokumenter dapat jadi storytelling yang begitu efektif. Film found footage The Blair Witch Project di tahun 1999 bisa sangat fenomenal – orang pada nyangka itu kejadian horor beneran – karena terbantu oleh mokumenter Curse of the Blair Witch yang ditayangkan di televisi sono beberapa minggu sebelumnya. Sementara di skena film lokal, Keramat – found footage tentang dokumentasi kru film – jadi sensasi di tahun 2009. Sukses membuat penonton yang belum kenal hiruk pikuk internet terheran-heran apakah itu kejadian yang beneran dialami oleh Poppy Sovia dkk saat syuting film.

Jadi, ya, memang yang harus digarisbawahi adalah kesan otentik – yang kini, bisa dibilang semakin ‘susah’ untuk dicapai. Pertama, karena people sekarang bisa lebih cepat tahu dan dapat informasi apapun dari internet. Ini terjadi juga di dunia pro-wrestling. Kayfabe is dead. Ilusi gimmick semacam Kane adalah adik dari Undertaker gak bakal laku dipakai di jaman sekarang karena orang-orang bisa nyari sendiri info siapa sebenarnya dua pegulat itu di real life. Dan kedua, karena seperti yang sudah sering kukeluhkan dalam review-review film mokumenter ataupun found footage sebelum ini; jaman sekarang orang bikin video YouTube saja sudah canggih semua. Grainy video sudah ditinggalkan, semua bisa dengan mudah ditouch up pake efek, sehingga bahkan video asli pun bisa dicurigai settingan saking semuanya overedit. Makanya buatku menarik, kini, setelah tiga-belas tahun, Monty Tiwa membuat sekuel dari Keramat. Tentu dengan gimmick dan estetik mokumenter yang disesuaikan dengan keadaan sekarang – keadaan di mana kesan otentik itu tampak tidak lagi begitu ajaib. Apakah film Keramat 2 ini bakal bisa jadi sensasi seperti pendahulunya? Trik apa yang akan mereka gunakan supaya bikin film ini terlihat ‘asli’? Atau mungkin, cerita seseram apa yang disajikan supaya kelemahan ilusi itu bisa teroverlook?

MKN di Langgar Penari

 

Ternyata setelah ditonton, tidak ada satupun kutemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut yang benar-benar memuaskan buatku.

Dari segi cerita, sebenarnya Keramat 2 dimulai dengan cukup menjanjikan. Set up karakternya ada, kenapa mereka harus ada di sana, backstory tugas akhir  dan persahabatan yang melandaskan stake para karakter di sini clearly terbangun lebih solid daripada film yang karakternya lagi KKN itu. Keramat 2 berkisah tentang Umay Shahab dan dua teman YouTubernya; Ajil Ditto dan Keanu pengen membantu mendokumentasikan tugas akhir kelompok tari gebetannya si Umay. Jadi pergilah mereka bersama Arla, Jojo, dan Maura ke Cirebon, ke sanggar tari Caruban Larang yang ternyata sudah lama kosong. Di sana, mereka membuka peti terlarang, dan menemukan soal The Lost Dance. Tarian yang sudah lama hilang (beserta penari-penarinya) semenjak jaman penjajahan Jepang. Saat meriset itulah mereka semua bersinggungan dengan dunia mistis. Dan seperti pada film pertama, anak-anak muda ini harus masuk ke dalam dunia gaib demi mencari teman mereka yang hilang. Selain itu juga ada substory tentang tim YouTuber Keanu, yang pecah karena Lutesha si cenayang memisahkan diri sehingga Keanu dan Ajil – yang gak punya kemampuan mistis – harus bikin channel horor yang baru  (MKN) sebisa mereka, yakni dengan bumbu komedi. Misteri kenapa Lutesha cabut nanti akan mengikat kepada masalah Lost Dance yang mereka semua harus hadapi.

Bicara tentang seni tari yang hilang, dari Keramat 2 sebenarnya kita bisa memetik pesan soal melestarikan seni. Heck, hantu di film ini aja kayak lebih aware soal itu dengan meminta tari mereka ditonton supaya bisa diturunkan ke manusia. Memang agak miris sih, ketika tarian – seni aktualnya justru hilang sementara ritual seputarnya tetap ada dan lestari menjadi pantangan-pantangan sakral (yang aneh dan kayak takhayul) yang tidak boleh dilanggar.

 

Benar-benar terlihat seperti set up cerita horor yang mumpuni. Semua karakter punya masalah, ada drama. Elemen mitologi dan investigasi mistis yang mampu membawa penonton ikutan nebak-nebak juga ada. Namun, kesemuanya itu ternyata tidak dikembangkan menjadi plot yang ‘bener’. Keramat 2 adalah tipe film yang menghabiskan paruh-paruh awal untuk setup dan untuk eksposisi, lalu tiga puluh menit terakhirnya hanya menampilkan karakter yang berlarian, berusaha mencari jalan keluar. Masing-masing karakter tidak punya progres journey yang personal. Pengalaman horor itu seperti tidak berarti apa-apa untuk growth mereka as a character, melainkan ya cuma untuk konten saja. Dan karena ini didesain dengan skrip yang gak ketat mengatur, maka dengan cepat karakter-karakter muda ini resort ke hal-hal yang annoying. Marah-marah, berantem, teriak-teriak. Keluar kata-kata makian. Untuk mengisi durasi, kadang mereka juga melakukan hal horor yang konyol. Yang jelas, mereka seperti lebih enjoy bermain di elemen konyol ketimbang horor – saat mereka harus ‘berpura-pura’ ketakutan. Mitologi penari juga tidak dikembangkan lebih jauh dari sekadar apa yang terjadi pada para penari sebenarnya. Padahal kupikir film ini bisa menggali fantasi tarian dan ritual yang seperti pada mitologi game Fatal Frame, ternyata harapanku terlalu muluk. Dan misteri soal Lutesha, itu juga sama zonknya. Lutesha nanti datang gitu aja. Dan karakter ini sebagian besar jadi convenience ke dalam plot. Ngasih petunjuk ini itu, harus kemana, harus ngapain. Totally membunuh misteri dan eksplorasi dalam cerita.

The best part tetap adalah bagian ketika mereka udah masuk dunia lain. Tapi, yah, experience horor yang dihadirkan film ini tidak pernah sekuat film yang pertama, Yang karakter-karakter saat itu bener-bener gaktau harus ngapain, sehingga kita seperti ikut mereka ‘meraba-raba’ misteri. Dalam Keramat 2, kita cuma menonton mereka ngikutin kata Lutesha. Tidak ada elemen surprise, pengungkapan edan, dan sebagainya. Ada sih satu yang menggelitik, yang bikin penggemar Keramat bakal gembira karena memperdalam galian mistis dunia tersebut. Dan kupikir itu juga ide yang bagus, tapi aku gak akan bocorin di sini, kecuali satu hal. Yakni sebaiknya memang kita nonton Keramat original dulu sebelum nonton sekuelnya ini. Ngomongin soal Keramat pertama, memang film kedua ini memakai formula yang sama. Seperti memegang teguh tradisi, Keramat 2 mengikuti Keramat pertama nyaris beat per beat. Hanya saja seperti salah menduga. Karena seperti yang sudah kutulis di atas, Keramat pertama jadi sensasi bukan semata karena adegan lari-larian, atau kelompok yang berantem, atau bahkan misterinya dieksekusi dengan baik, tapi juga karena ilusi otentik. Film tersebut berhasil menguarkan kesan raw yang kuat. Sebaliknya Keramat 2, dengan tampilan mulus seperti video-video YouTube masa kini, dan dengan karakter yang lebih nyaman melucu ketimbang berhoror ria, jadi tampak seperti video settingan yang panjang banget.

Nabrak kucing hitam, buka peti, main jailangkung, mau berapa larangan lagi yang mereka langgar sebelum jera?

 

Penonton yang lebih muda mungkin gak akan mempermasalahkan. Aku boleh jadi terdengar kayak bapak-bapak tua yang ngomel lihat kelakuan anak muda. Mungkin, bagi penonton muda otentik itu datang dari betapa naturalnya para karakter berinteraksi antarsesama. Like, mungkin memang ‘hectic’ seperti itulah anak muda bersosialisasi sekarang. Bukan soal kamera yang terlalu poles dan bagus, karena toh memang seperti itulah tren sekarang.  Sehingga ya, film ini masih mungkin untuk menjadi sensasi di kalangan penonton muda. Walau bukan untuk hal yang sama dengan film pertamanya. Tapi bahkan jika itu benar, bahwa mungkin aku saja yang sudah terlalu tua untuk film kayak ini, tetap saja magic dari movie itu sendiri yang sebenarnya dipermasalahkan. Dan visual itu membantu kita masuk dan percaya. Kualitas gambar yang sederhana membantu kita percaya bahwa video yang kita lihat benar-benar direkam candid, tidak ada settingan. Nonton awal-awal Keramat 2, adegan-adegan tampak meragukan – beneran hantu yang mereka lihat atau mereka lagi ngerekam prank atau trik sebagai konten YouTube.

 




Dalam mokumenter seperti begini, gak cukup hanya dengan menggunakan real name para aktor. Apalagi jika kita tahu mereka di real life tidak melakukan hal yang mereka lakukan di film. Semua konsepnya harus didesain matang demi mencapai ilusi otentik.  Effort ke sanalah yang masih tampak minimal dilakukan oleh film ini. Konsep mokumenternya sebenarnya kurang kuat. Film ini tidak akan banyak beda pencapaiannya jika dibuat dengan konsep penceritaan yang biasa. POVnya tidak terasa urgen karena gagal untuk digunakan  ngasih gambar-gambar horor yang unik (pas adegan terjun aja, pov kameranya gak dimainin). Mitologinya tidak dibahas mendalam, sebatas apa yang terjadi saja. Tidak ada hooknya ke journey personal karakter. Film ini seperti film pertamanya, tapi tanpa magic dan ilusi yang bikin film tersebut jadi disukuri ada sekuelnya. Setelah ditonton, yah, film ini tidak semembekas itu. Untuk seru-seruan bareng teman, sih sepertinya masih bisa. Bagian di hutan goibnya tambah menarik dengan surprise from the past. Karakternya yang annoying dan gak ngapa-ngapain mungkin masih bisa beresonansi dengan anak muda dan pergaulan keseharian mereka. Karena otentik film ini sepertinya dimunculkan dari sana.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for KERAMAT 2: CARUBAN LARANG

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, apa sih yang menarik dari genre mokumenter?

Share  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SRI ASIH Review

 

“The best fighter is never angry”

 

 

Waktu mewawancarai Sri Asih tempo hari (videonya bisa ditonton di sini), aku bertanya kenapa penting bagi film-film jaman sekarang untuk menampilkan karakter perempuan yang badass. Pevita Pearce dan Jefri Nichol kompak menjawab bahwa karena sudah bosan melihat pria-pria terus yang berantem dan jadi jagoan. Aku setuju dengan jawaban mereka. Perempuan bisa kok jadi jagoan. Setelah sekian lama selalu ditampilkan sebagai ‘dayang-dayang’ yang fungsinya untuk diselamatkan oleh pahlawan cowok, sekarang sudah waktunya untuk menampilkan keberdayaan perempuan. Film, khususnya genre superhero, harus aware karena inilah medium yang tepat untuk menyimbolkan hal tersebut. Like, tahun ini saja Marvel sudah membuat terobosan dengan mulai memperkenalkan ‘versi cewek’ dari  masing-masing karakter superhero laki-laki yang mereka punya. Perempuan mampu membela diri, menghajar orang jahat dan menyelamatkan dunia. Ini haruslah diperlihatkan dalam konten yang lebih daripada sekadar memperlihatkan perempuan bisa lebih jago daripada lelaki.

Dalam soal itulah aku agak kurang setuju dengan bagaimana Sri Asih garapan Upi menampilkan dan mengembangkan sosok karakter superhero perempuannya. Where do I start?

Alana punya origin story yang bisa dibilang paling aneh di antara superhero-superhero lain yang aku tahu, lokal maupun mancanegara. Alana tidak ditempa oleh tragedi. Dia seperti dilahirkan dengan kekuatan karena ibunya actually ngidam melihat gunungapi saat mengandung baby Alana. Seperti ada koneksi antara kekuatan api dengan dirinya semenjak masih bayi. Gunung Merapi seperti tahu kehadiran Alana yang keturunan Sri Asih, sehingga memuntahkan asap panas, Kedua orangtua Alana lantas meninggal dunia dalam peristiwa naas setelah mereka kabur dari letusan gunung. Alana jadi dibesarkan di panti asuhan, dan sejak kecil dia mimpi didatangi oleh Dian Sastro.. eh, Dewi Api! Mengenai kekuatannya, kita tidak diperlihatkan gimana Alana bisa mengendalikan atau dia sendiri tahu persisnya gimana. Karena sejak kecil dia sudah cakap berantem. Dia menghajar tukang bully di panti. Alana kecil lantas diadopsi oleh ibu-ibu yang ternyata adalah agen profesional underground fighter. Kali berikutnya kita melihat Alana, dia udah gede dan jadi fighter yang menghajar lawan-lawan cowok. See, jadi Alana ini adalah tipe karakter chosen one, tapi kita tidak pernah diperlihatkan dia belajar atau berjuang untuk menggunakan kekuatannya. Alana ini kayak Mulan yang versi live-action; yang sudah jago. Dan kesamaan itu otomatis jadi red flag.

Padahal Sri Asih mestinya bawa red selendang hihihi

 

Kenapa red flag, karena kalo sudah jago begitu, maka apa dong yang harus dipelajari oleh si protagonis? Journey apa yang harus ditempuh oleh karakter utama sebagai plot yang bisa kita simak. Mulan live-action adalah bukti kegagalan naskah mengeksplorasi cerita keberdayaan perempuan, dengan membuat karakternya sudah hebat dan gak punya pembelajaran. Beda dengan cerita film animasinya. film versi modern itu hanya seperti memperlihatkan si Mulan lebih jago dari siapapun, terutama laki-laki. Sri Asih sebenarnya masih punya ruang untuk menggali, film ini tidak sepenuhnya ngesok membuat Alana jagoan seperti yang dilakukan film Mulan kepada karakter pahlawan legendanya. Film Sri Asih sebenarnya masih membuka ruang untuk pengembangan dengan membuat Alana harus belajar mengendalikan amarahnya. Diceritakan meskipun Alana adalah keturunan Sri Asih, tapi jika dia membiarkan diri terbakar oleh rasa marah, maka kekuatan pengrusak dari Dewi Api – musuh dari Sri Asih – yang akan menguasainya. Jadi Alana, dengan bantuan teman-temannya, berusaha mengendalikan amarah.

Marah memang sebaiknya tidak ditahan-tahan. Marah jika disalurkan dengan baik, maka juga bisa jadi kekuatan – dan justru menyehatkan. Lihat saja Gohan di Dragon Ball. Kuncinya adalah di penyaluran. Alana harusnya membaca bukunya Lao Tzu. Karena founder Taoisme itu mengajarkan seorang pejuang haruslah tidak mempertontonkan amarah. Karena seorang pejuang bisa menang jika berpikir dengan tenang, membuat keputusan dengan melihat semua dengan jelas. Semua itu hanya bisa dilakukan ketika hati dan kepala tidak sedang terbakar oleh emosi.

 

Naskah harusnya berkutat di sini. Di pergulatan personal Alana dengan dirinya. Dengan amarahnya. Masalah pada naskah Sri Asih adalah it gets too ambitious. Durasi dua jam jika memang fokus kepada karakter Alana, luar – dalam, bukan soal dia mengalahkan lawan dalam caged fight saja, tentulah akan menghasilkan cerita yang lebih grounded. Cerita superhero yang lebih menginspirasi buat penonton, karena bagaimanapun juga manusia menonton film hakikatnya adalah untuk menyimak perjalanan seseorang dalam usaha menjadi orang yang lebih baik. Wonder Woman pertama (2017), misalnya. No wonder film itu jadi salah satu cerita superhero buku-komik terbaik – superhero wanita pula! sebab mengeksplorasi kenaifan Diana Prince yang menganggap manusia itu innocent. Film itu tahu sisi vulnerable Diana, dan sepanjang durasi dimanfaatkan untuk menggali hal tersebut. Diana ditempatkan di zona perang, dan sebagainya. Bagi Alana, sisi vulnerable itu adalah rage. Rasa marah. Formulanya sebenarnya bisa sama dengan Wonder Woman. Namun, naskah ambisius film ini membuat pembahasan soal itu melompat-lompat. Karena ada banyak lagi hal-hal di luar personal Alana yang hendak dibahas.

Kita bahkan gak pernah yakin si Alana ini jadi gampang marah karena apa. Masa iya karena sering mimpi api? Dari sebelumnya dia menang telak di dalam arena, kita lantas melihat Alana tanding gak stabil karena guncangan amarah. Tau-tau dia jadi disebut punya masalah kontrol emosi saja. Pengembangan soal Alana ini jadi semakin terasa choppy karena naskah tampak lebih tertarik nunjukin elemen cerita yang lebih berbau politik dengan segala kekelamannya. Orang kaya yang memandang rendah orang miskin. Polisi yang tidak memihak rakyat. Dan tentu mereka-mereka adalah cowok yang sebagian besar brengsek. Ada lebih banyak durasi yang digunakan untuk dengan gamblang menyebut cowok lawan cewek, ketimbang durasi yang disediakan untuk Alana confront emosinya. Like, kupikir dia bakal susah menjelma sebagai Sri Asih karena begitu banyak amarah. Tapi ternyata persoalan itu selesai dengan gampang. Alana tinggal menari tradisional dalam sebuah ritual untuk menerima/membangkitkan kekuatan Sri Asih. Enggak tau juga kapan dia belajar tariannya. Persoalan kostum juga sama sekelebatnya. Sudah tersediakan!

“Darimana mereka bisa tahu ukuran gue…?!” cue musik DHUAR DHUAR!!!

 

Sama halnya dengan Gundala (2019), film pertama dari Bumi Langit Universe, naskah Sri Asih dengan cepat membesar dari yang tadinya serius dalam ranah personal, menjadi seperti serius tapi semakin mendekati konyol. Serum amoral kini digantikan posisinya oleh tumbal mistis 1000 jiwa, dengan rakyat penghuni rusun miskin jadi calon korbannya. Buatku lucu sekali si tumbal mistis ini begitu spesifik sehingga kentara banget maksanya. Seribu jiwa harus dibunuh bersamaan. Like, emangnya siapa yang ngitung. Kalo kurang atau lebih satu, apakah si penjahat harus ngulang lagi ngumpulin seribu jiwa yang lain. Dan itu keadaannya jelas kurang satu, karena Tangguh – teman dari masa kecil Alana – sebagai salah satu penghuni rusun sudah tidak ikut terjebak karena ada di markas bareng Alana. Motif penjahat serta karakter jahatnya sendiri juga jadi tidak terestablish dengan baik, saking banyaknya yang mau diceritakan. Berpindah dari yang tadinya cowok kaya yang asshole abis ke sosok mistis dari mitologi ke seorang yang diniatkan sebagai revealing yang mengejutkan. Alias twist. Dan twist ini, sodara-sodara, justru bikin satu-satunya perspektif menarik yang digali oleh cerita, jadi kayak terbuang gitu aja. Karena tidak lagi berarti, toh ternyata si karakternya beneran jahat!

So yea, Sri Asih adalah tipikal film yang menganggap dirinya sangat serius sehingga semua dialognya jadi intense. Karakter yang ngucapinnya juga, kayak orang paling misterius dan serius-you-don’t-wanna-mess-with-me semua. Kalo butuh sedikit mencairkan suasana, film akan membuat Alana dan Tangguh ‘berubah’ jadi karakter dengan dialog ala Marvel sebentar. Tapi sebagian besar waktu, film ini punya dialog-dialog superintens, yang bahkan lebih intens daripada sekuen berantem superheronya.  Kalo mau diurutin bagian intensnya, nomor satu adalah dialog-dialog, kedua adalah berantem martial arts di arena fight, dan ketiga berantem superhero. Yang aku suka adalah berantem martial arts ala UFC yang grounded.  Tapi itu juga mungkin karena pengaruh Pevitanya, karena kita tahu dia menjalani ‘transformasi’ untuk peran ini – peran yang bisa dibilang di luar kebiasaannya, jadi kinda like melihat Pevita yang berantem. Kita jadi ada ketegangan ekstra, karena ada sedikit believe ni si Pevita yang jadi Alana bisa kalah. Camera worknya juga dibuat dramatis di adegan berantem yang ini. Beda dengan ketika sudah jadi full superhero. Karena sudah jagoan banget, kita udah ngerasa kayak mustahil Sri Asih kalah melawan gerombolan penjahat cecunguk yang senjatanya cuma pistol. Shot-shotnya pun sudah mulai pakai efek komputer kayak Sri Asih atau musuhnya beterbangan. Kesannya tidak sereal dan grounded lagi. Sehingga ya jadi kurang seru, gak peduli semirip apapun genjreng-genjreng musiknya dengan tema Wonder Woman.

 




Si Sri Asih memang ‘badass’. Aku setuju kita juga gak boleh ketinggalan menampilkan cerita dengan superhero perempuan, yang punya daya, bisa menyelamatkan dunia, dan bisa mengalahkan kelemahannya sendiri. Sosok Alana juga berhasil dihjdupkan dengan cukup ikonik oleh Pevita – yang aku yakin ke depan akan terus dipanggil orang sebagai Sri Asih berkat perannya di sini. Hanya saja, sebagai cerita, film ini sesuatu yang masih berantakan. Alurnya jadi lebih peduli sama hal yang lebih ambisius, alih-alih journey personal karakter perempuannya. Plot si protagonis jadi kayak lompat-lompat perkembangannya. It was just ‘bad’. Karakternya jadi kayak sudah jago aja. Dia kayak benar sedari awal. Makanya filmnya jadi kayak soal cewek bisa lebih jago daripada cowok saja.  Namun sukurnya, film ini masih menyisakan ruang untuk Alana sedikit belajar (meskipun tidak digarap maksimal oleh naskah) sehingga, yah lumayan lah,  tidak sampai segagal Mulan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SRI ASIH

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian siapa yang menang duel antara Sri Asih lawan Wonder Woman?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



TERRIFIER 2 Review

 

“Evil wants what it wants and won’t stop until it’s won or you kill it. And the only way to kill it is to be meaner than evil.”

 

 

Ini pertama kali aku kenal Art the Clown. Aku gak nonton film pertamanya. But, sekarang halloween, dan aku dengar sekuel dari film 2016 lalunya tayang, dan jadi hit box office di Amerika. Awalnya aku mutusin ikut nonton, mau bandingin aja horor laku di negara kita ama negara mereka sama-sama bego atau tidak. So, yea. Art the Clown ternyata badut yang lebih gila dari yang kusangka. Jahat. Sadis. Setan. Brutal. Jijik. Sinting. Edan. Busuk. And I like it!

Aku pun lantas tahu bahwa aku baru saja ‘berkenalan’ dengan ikon slasher modern yang sebenarnya. Art the Clown seperti didesain menjadi gabungan sekaligus berlawanan dengan ikon-ikon slasher dari 80-90an. Dia pendiam seperti Jason dan Michael Myers, tapi sekaligus usil dan berisik seperti Freddy Krueger. Bisa dibayangin tidak? Baiknya jangan deh, ntar mimpi buruk. Art juga dibikin gak bisa mati, dan seperti punya kekuatan mistis yang membuatnya bisa masih ‘aktif ya bun’ walau di kepalanya sendiri ada lubang menganga bekas peluru. Art juga bisa muncul di tempat-tempat yang mustahil, seolah bisa berteleport. Senjata pembunuhnya dibikin komikal, Art ke mana-mana membawa karung plastik berisi berbagai perkakas yang digunakannya untuk menyerang, mulai dari pisau berkarat hingga rantai.  Seperti badut-badut kebanyakan, Art memang hobi memainkan trik dan ketawa-ketawa, tapi ‘selera humor’ Art sungguh-sungguh menyakitkan bagi orang lain. Badut setan ini menganggap orang kesakitan itu lucu! Jadi, Art akan menyiksa korbannya, dan dia melakukannya seolah sedang bermain-main. Setelah mengelupasin batok kepala orang sehingga keliatan otak dalam salah satu adegan film ini, misalnya, Art akan ketawa dan tepuk tangan melihat korbannya itu menjerit kesakitan sejadi-jadinya. Ketawanya si Art bukannya nyaring dan mengerikan menyumpah serapah kayak Freddy, melainkan ketawa tanpa suara. Namun film membuatnya seolah jeritan korban menjadi suara tawa Art. Di lain adegan, suara rekaman di rumah hantu dijadikan seolah suara Art menikmati ‘show berdarah’ buatannya sendiri. David Howard Thornton benar-benar great menghidupkan psikonya, jahatnya, badut ini lewat mime yang seringjuga kocak tapi dijamin selalu creepy. Pennywise jadi kayak anak pesantren jika dibandingkan dengan Art.Film ini actually ngasih eksplorasi soal siapa – atau lebih tepatnya – apa sebenarnya si Art ini, ada pengembangan lore yang dilakukan sekaligus dengan mengaitkannya dengan apa yang sepertinya sebuah gagasan yang dikandung oleh cerita di balik semua pembunuhan berdarah itu.

Michael Myers bisa istirahat dengan tenang, karena ini waktunya era badut!!

 

Oh boy, menyebut ‘pembunuhan berdarah’ sebenarnya sangat-sangat mengecilkan apa yang ditampilkan oleh film ini. Berita soal banyak penonton bioskop di Amerika yang muntah, hingga sampai pingsan, yah sekarang aku yakin itu bukan strategi marketing biar viral. Aksi kekerasan film ini sungguh-sungguh di level repulsive yang tinggi seperti demikian. Kayaknya sudah lama aku enggak panas-dingin nonton horor yang gore. Sutradara Damien Leone gak sungkan-sungkan! Dia menampilkan adegan potong kepala, full on-cam. Adegan ngelupas-ngelupasin kulit. Kepala meledak. Body horror dengan efek yang jijik. Kekerasan kepada anak – Art gak pandang bulu, cowok, cewek, anak kecil, orang dewasa, semuanya disayat-sayat dan dibikinnya bermandi darah. Leone tahu persis bikin horor – apalagi slasher ampe gore-gorean (istilah serem buat jor-joran, hihihi) – kudu bikin protagonisnya tersiksa luar dalam. Itulah yang ia pastikan. Protagonis cerita ini, si Sienna, dan adiknya, dan juga manusia-manusia lain yang ketemu dengan Art (baca: yang jadi korban) bener-bener dibikin berdarah-darah. Efek praktikal yang digunakan menambah pekatnya level sadis dan jijik film ini. Membuat semua ‘pembunuhan berdarah’ film ini terasa real, maka jadi makin menyeramkan. Satu adegan yang buatku benar-benar merasa gak nyaman adalah ketika Art muncul menyambut dan membagikan permen kepada anak-anak yang lagi trick or treat. Permennya ditarok di kepala korban dong! Kepala yang sudah dipenggal itu, dibuka batoknya, trus ditempat yang tadinya otak, diganti jadi buat naro permen-permen, dan si Art dengan gaya biasa aja bagiin permen seolah kepala itu adalah baskom yang sudah dihias kayak kepala. Salah satu anak yang ngambil permen dengan polosnya bilang “Ih, jijik lengket” karena di permennya masih ada darah beneran (atau malah sel otak, ewwww) dari orang yang baru saja diacak-acak isi kepalanya! Sick man!!

Bukan cuma darah, there’s literally shit in this movie. Aku yang udah antisipasi bakal ketemu adegan menjijikkan saja gak siap begitu si  Little Pale Girl, tahu-tahu menumpahkan limbah coklatnya ke lantai. Just “Proottt!!”. ‘Ya Allah lindungilah kami dari setan yang terkutuk’ moment banget!! Di film ini Art diberikan semacam sidekick yaitu badut anak kecil, yang interesting, bukan saja karena diperankan tak kalah meyakinkan oleh Amelie McLain (kok anak-anak barat bisa bagus sih kalo akting?) tapi juga karakternya yang dibentuk sebagai ambigu. Gak jelas apakah cewek cilik ini hantu atau sesuatu yang lebih simbolik dan lebih sinister. Kalo kalian pengen tahu, mungkin nanti malam bisa tanya langsung PAS DIA DAN ART DATANGKEKAMARMU!!!

Yang jelas kalo kalian bertanya kepadaku, jadi apakah ini film eksploitatif yang ‘murahan’ yang hanya gore-fest saja? Maka aku akan menjawab “Iya dan tidak”. Soal murah, memang film ini tipikal low-budget movie, namun dia berpesta pora dengan apa yang ia punya. Film ini menyuguhkan yang terbaik dari segi visual, kebrutalan, desain produksi dan estetiknya, hanya dengan budget yang tidak di level studio raksasa. Malah konon, film ini difund  sum-sum oleh para penggemar yang menginginkan sekuel dari cerita Art. Dari orang-orang sakit yang mendukung film ini jadi lebih sadislah kita mestinya berterima kasih. Serius. Jangan ngarep deh studio gede bikin yang penuh resiko dan melanggar batas kayak yang film ini lakukan. Makanya penggemar horor harusnya merayakan ini. Lalu, untuk soal ‘hanya gore-fest’, aku dengan bangga bilang tidak karena film ini actually berusaha menjadi lebih daripada itu. Terrifier 2 berusaha untuk menjadikan elemen mistisnya bukan sekadar cheap supernatural, melainkan jadi surealis yang ARTsy (alias banyak si Art-nya hihihi) Sureal film ini terutama datang dari si Little Pale Girl, ketika eksplorasi power Art, dan terutama ketika menggali koneksi antara Art dengan protagonis cerita. Film ini ada meggunakan menakuti lewat mimpi, yang adegannya cukup panjang. Biasanya aku gak suka adegan mimpi, tapi film ini melakukannya dengan benar karena mimpi tersebut tidak dibentuk untuk mengecoh ‘udah serem-serem taunya mimpi’, melainkan kita diingatkan ini mimpi. Adegannya seramnya diselingi shot si Sienna lagi tidur, dan tidurnya gelisah. Mimpi ini adalah bagian dari galian karakterisasi, karena inilah waktu film menyelami psikologis Sienna. Dia memimpikan Art, dan mimpinya itu crossover dengan dunia nyata. Adegan tersebut jadi mengsetup banyak elemen cerita, tanpa kita merasa terkecoh melainkan jadi berpikir. Film ini bukan tipe gore yang kita tinggal istirahatin otak untuk bisa menikmatinya.

 

Aku, ketika teror sudah usai, tapi ternyata ada mid credit scene dengan Chris Jericho!

 

Film slasher biasanya tak ngembangin karakter karena tahu penonton bakal lebih suka untuk peduli sama karakter pembunuh maniaknya. Terrifier 2 gak mau jadi fllm slasher yang biasa. Adegan mimpi yang panjang itu jadi bukti Terrifier 2 peduli sama karakter manusia, dan benar-benar punya plot dan pengembangan untuk protagonisnya. Jadi ceritanya, Sienna dan adik cowoknya, Jonathan, yang masih 12 tahun, masing-masing sedang dealing with kematian ayah mereka yang sepertinya seorang komikus. Apa yang terjadi pada ayahnya mereka ini penting, dan direveal bertahap oleh film. Tapi tidak pernah sepenuhnya. Film masih menyisakan ruang untuk misteri dan kita berteori.  Yang jelas, si ayah meninggalkan buku yang berisi kasus-kasus si Art kepada Jonathan dan karakter superhero (wanita berarmor dan bersayap ala Valkyrie) kepada Sienna, yang actually membuat sendiri kostum sang superhero untuk halloween. Implikasinya adalah si ayah tahu tentang Art dan percaya Art bisa dibunuh dengan pedang si superhero. Koneksi ini, plus kedua kakak beradik ini juga bisa melihat The Little Pale Girl membuat Art menjadikan mereka sasaran utama. Sienna (Lauren LaVera tampak perfect di kostu, eh di perannya ini) kini harus berjuang untuk benar-benar bisa menjadi superhero bagi keluarganya, menyelamatkan mereka dari Art.

Ada drama keluarga yang legit membahas grief dan koneksi dari anggota keluarga yang ditinggalkan misteri di balik ini gore-fest yang memang jadi sajian utama. Drama dan konflik yang lebih personal yang dibuat oleh film tidak punya easy answer. Terrifier 2 tidak memberikan jawaban apa-apa. Melainkan membuat kita lebih berpikir lagi karena sekarang drama dan mistis dan lore dan koneksi ajaib para karakter, dan bahkan something dari film pertamanya, jadi satu. Jadi puzzle besar, yang setiap kepingannya begitu aneh, untuk kita susun. Film ini bijak tidak memberikan jawaban, melainkan memastikan ceritanya masuk ke dalam logika dunia yang mereka ciptakan. Inilah yang harusnya dilakukan oleh film-film horor. Bukan semata menciptakan misteri, kemudian memberikan jawabnya – or worse, bertingkah seolah ada jawaban untuk misterinya (“Ayo penonton yang bisa menangkap clue-cluenya berarti kalian cerdaasss”). Melainkan memberi ruang bagi penonton untuk menyelami misteri tersebut. Untuk berteori, kemudian merasa ngeri sendiri. Terrifier 2 memberikan itu semua kepada kita. Momen untuk jerit-jerit. Momen untuk mual. Momen untuk bergidik. Momen untuk refleksi ke karakter. Momen untuk menebak dan berteori, tanpa harus tahu mana yang benar-mana yang salah.

Teoriku, alasan Sienna dan Jonathan bisa melihat The Little Pale Girl seperti Art, adalah karena selain sebagai sosok ‘hantu’ si badut cilik ini adalah simbol darkness dalam diri. Sienna dan Jonathan bisa melihat karena mereka punya sisi kelam akibat ditinggal ayah. Itulah kenapa Art menyasar mereka. Karena untuk membunuh setan, manusia harus melakukan hal yang lebih kejam daripada setan itu sendiri. Sienna dan Jonathan bisa melihat si cilik, jadi bukti bahwa mereka berpotensi jadi ‘bahaya’ bagi Art. Terutama si Sienna, yang punya jiwa pemberani yang belum ia sadari. Jiwa yang jadi pembeda dirinya dengan Art. Makanya juga si karakter dari film pertama dimunculkan, karena dia survivor Art, yang actually jadi sinting seperti Art. Dia tidak punya yang dimiliki Sienna. Sifat pemberani dan heroik, yang lebih lanjut disimbolkan oleh armor, sayap, dan pedang kostum Valkyrie yang Sienna kenakan.

Art the Clown yang tak bisa mati sejatinya diniatkan oleh film sebagai perwujudan dari evil itu sendiri. Dan yang namanya evil tidak bisa dibunuh. Kenapa? karena untuk membunuh evil, seseorang harus bertindak lebih setan daripada si evil itu sendiri. Sehingga jadi semacam kejahatan melahirkan kejahatan. Ya, melahirkan. Menurutku itulah makna yang disimbolkan film ketika memperlihatkan kepala Art terlahir dari survivor kebrutalan dirinya. Orang yang selamat dari dirinya yang evil, berarti sendirinya telah menjadi evil yang bahkan lebih brutal. Siklus kejahatan akan terus berulang, jika tidak banyak yang seperti Sienna.

 




Totally, film ini bukan untuk yang faint-hearted, definitely tidak untuk ditonton saat makan (kecuali kalian lagi bikin video challenge try not to vomit) Karena film ini memberikan semua yang diminta, yang diidam-idamkan oleh penggemar horor slasher berdarah, yakni gore brutal yang kelewat real. Badanku literally panas-dingin nonton ini. Tapi aku suka, karena inilah yang kurindukan dari horor sadis. Karakter yang konyol tapi super seram. Suasana yang mencekam tapi ada surelisnya juga. Film ini memberikan itu semua, and more! Karena di sini, karakterisasi, plot, benar-benar diberikan pengembangan. Kita tidak hanya menonton orang-orang mati dibunuh dalam cara yang semakin bikin meringis. Film ini memang ngasih itu, tapi juga ada cerita – drama yang mumpuni di baliknya. Aktingnya juga gak jelek dan cheap kayak film-film horor biasa yang menjual wahana. Malah aku bisa bilang film ini berhasil menciptakan karakter yang bakal ikonik di horor. Antagonis, maupun protagonisnya. Ini adalah kontender legit untuk horor terbaik 2022, asal kita sanggup menguatkan diri untuk bertahan hingga durasinya habis. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TERRIFIER 2

 

 




That’s all we have for now.

Apa yang membuat karakter horor bisa menjadi ikon? Apakah kalian punya kriteria tertentu?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



V/H/S/99 Review

 

“An era can be said to end when its basic illusions are exhausted”

 

 

Generasi 90an dulunya tidak menghabiskan hari dengan menonton YouTube main TikTok. Mereka nonton MTV, Jackass, American Pie, tv show yang cheesy (mulai dari game show hingga acara horor seperti Goosebumps). Mereka bermain di luar, melakukan sesuatu yang bego. Jika pengen merekam video, mereka tidak melakukannya dengan kamera HD dan gadget canggih yang punya berbagai fitur edit. Mereka merekamnya dengan kamera yang gambarnya bakal bersemut-semut dan goyang-goyang. Aspek-aspek simpel namun fun dari 90an itulah yang ingin benar-benar disajikan oleh seri horor antologi V/H/S/ yang menggunakan konsep segmen atau clip dari rekaman video ketika mereka menggarap 94 tahun lalu. Tapi film itu kurang berhasil, tidak semua segmennya yang akur berusaha menghadirkan dunia 90an. Sehingga kini mereka, kinda rushed out, untuk menghadirkan V/H/S/99, yang setelah kutonton aku memang merasa seperti menonton video jadul beneran. Mulai dari estetik hingga jalan cerita yang simpel dan campy. Dan aku merasa superterhibur menontonnya, it’s a nice change of pace dari horor modern. Namun juga, aku bisa melihat film ini bakal membagi penonton, karena gak semua akan lantas terbiasa dengan bentuk 90an yang film ini sajikan luar-dalam.

Ada lima segmen atau cerita dalam V/H/S/99, plus satu cerita ekstra yang sebenarnya adalah bagian dari satu segmen tapi sebelum itu digunakan sebagai transisi antara satu segmen dengan segmen lain. Aku akan mengurutkan segmen-segmen ini berdasarkan dari yang paling aku suka hingga ke yang paling tak disuka. So, here they are:

  1.  Segmen “To Hell and Back”. Sutradara Joseph dan Vanessa Winter bikin yang bahkan sangat unik untuk standar horor-horor di  V/H/S/. Mereka membuat mockumentary singkat tentang aktivitas kelompok sekte di malam tahun baru. Jadi, dua kameramen dalam kisah ini ceritanya disewa untuk ngedokumentasiin ritual pemanggilan setan, tapi ada yang salah, sehingga kedua kru dokumentasi malah masuk ke neraka. Yang kita tonton adalah bagaimana mereka mencari jalan keluar kembali ke dunia manusia. Segmen ini dihandle dengan nada yang ‘tidak serius’, sehingga nontonnya jadi fun dan kocak.
  2.  Segmen “Suicide Bid”. Awalnya kupikir segmen ini bakal bikin aku jengkel, karena yang dihadirkan sutradara Johannes Roberts adalah seputar geng senior cewek yang mengospek anak baru yang mau masuk ke perkumpulan mereka. Tapi ternyata segmen ini ngasih pengalaman yang bener-bener horor. Karena ceritanya, si anak baru harus masuk ke peti dan dikubur sebagai bentuk ospek. Segmen ini ngasih pengalaman dikubur hidup-hidup, plus nanti ada sosok zombie/demon di dalam sana. Udah kayak cerita Goosebumps!
  3. Segmen “Ozzy’s Dungeon”. Ketika salah satu kontestan game show untuk anak-anak mengalami cedera, keluarga balas dendam dan menculik si host game show. Dia disuruh memainkan game ala-ala, yang ya bisa ditebak sebenarnya ditujukan supaya si host menderita. Sampai sini aja sebenarnya sutradara Flying Lotus sudah cukup kreatif. Dia memparodikan industri tv 90an ke dalam nada horor. Namun dia tancap gas, menjadikan ini horor yang lebih gross lagi dengan penutup berupa si keluarga dan si host masuk ke puncak permainan di game show tv, yang ternyata isinya adalah makhluk dan horor yang bisa bikin perut kita jungkir balik
  4. Segmen “The Gawkers”. Yang bikin segmen buatan sutradara Tyler MacIntrye masuk ke kotak yang tak aku suka adalah ceritanya terlalu simpel sehingga tidak terasa ada apa-apa. Sekelompok cowok remaja yang ngintipin tetangga baru yang kece. Mereka sampai masang kamera tersembunyi di rumah perempuan tersebut. Hanya untuk melihat sesuatu yang tak boleh mereka lihat. Misteri siapa sebenarnya perempuan itu sebenarnya sudah dibuild up sedari awal, dan revealingnya cukup bikin menggelinjang. Tapi ya, cerita ini hanya itu. Aku malah lebih suka cerita ekstra yang merupakan bagian awal dari segmen ini, yaitu ketika salah satu karakter memainkan tentara-tentara plastik kecil, dan bikin cerita perang lawan monster dari mainan-mainan. Konsep visual segmen ekstra ini menarik, hampir kayak stop-motion, dan ya seru dan kocak juga.
  5. Segmen “Shredding”. Harusnya garapan sutradara Maggie Levin ini bisa lebih lagi. Sekelompok remaja anak band yang suka onar karena kayaknya kebanyakan nonton Jackass masuk ke bawah tanah, tempat satu band perempuan beberapa tahun lalu meninggal karena terbakar dan terinjak-injak fans mereka sendiri. Kelompok remaja ini melakukan sesuatu yang disrespectful, dan yah, hantu para anggota band perempuan itu lantas ngamuk. Ini lebih parah daripada The Gawkers, karena cerita ini mestinya bisa menggali lebih soal backstory insiden, atau bahkan adegan kejar-kejarannya mestinya bisa dibuat lebih fun
Nostalgia 90an lewat video-video horor!

 

Bisa dilihat, V/H/S/99 benar-benar berusaha memasukkan hal-hal 90an dan menjadikan segmen-segmen itu begitu imersif seperti memang tidak dibikin pada hari ini. Baik itu dari estetik videonya, maupun dari apa yang mereka tampilkan. Like, aku gak tau apakah masih ada anak muda yang main tentara plastik kecil-kecil di jaman sekarang. Buat penonton yang terlahir dan besar di 90an, film ini sudah pasti jadi serangan nostalgia besar-besaran. Nostalgia ke gaya hidup jaman masih muda dahulu. Sebaliknya, bagi penonton yang lebih muda, pengalaman nonton film ini seperti bakal lebih mixed. Mungkin tampak aneh dan konyol. Namun itulah yang lebih diincar oleh film, lebih daripada nostalgia. Film ingin memperlihatkan kebiasaan dari, katakanlah, era yang telah lewat. Supaya penonton di masa sekarang membandingkan. Dan dengan suara horornya, film memperlihatkan bahwa ada alasannya kebiasaan dari era tersebut telah lewat. Merayakan milenium baru dengan menganggapnya sebagai hari kiamat, acara televisi yang gak actually ngasih hadiah kepada pemirsa, ospek alias perploncoan, remaja yang do nothing kecuali hal bego, perverted, dan tak berfaedah. See, ya ujung-ujungnya dikembalikan kepada penonton. Horor yang sebenarnya adalah ketika yang tampak aneh di layar ternyata masih ada relate-relatenya ke kita di masa sekarang.

Era 90an dengan segala kebiasaan dan gaya hidup yang terekam dalam video bersemutnya memang telah lewat seiring munculnya teknologi dan format video baru. Akan tetapi, paradigma atau cara berpikir masyarakat bisa saja terus berulang. Menjadikan era baru hanya sebagai ilusi berikutnya yang akan segera hilang.

 

Meski begitu, kalo ada kebiasaan 90an yang pengen diulang ke jaman sekarang, bagiku itu adalah kebiasaan orang bikin film dengan efek yang simpel dan praktikal. Film V/H/S/99 ini adalah salah satu yang membuatku pengen era praktikal efek itu kembali lagi. Terutama buat film horor. Nontonin segmen-segmen seperti “Suicide Bid”  dan “To Hell and Back” tentu akan berbeda rasanya jika aktornya berakting takut dengan green screen. Tapi dengan praktikal efek, prostetik, kostum, make up, kesan seram yang disturbing itu jadi benar-benar terasa real. Dan oh, dua segmen itu memang banyak banget makhluk seram kreatifnya. “Suicide Bid” cuma punya satu, tapi bakal nyantol di mimpi buruk. Kreasinya sungguh menakjubkan. Mereka di “To Hell and Back” benar-benar bikin lingkungan seperti-neraka, dengan segala makhluk-makhluk seramnya. Kesan low budget jika dimanfaatkan dengan baik memang akan menambah banyak untuk pengalaman horor. Karena bagaimanapun juga ‘sesuatu yang ada di sana’ akan terasa lebih real dan grounded. Kupikir mestinya filmmaker Indonesia yang sekarang lagi hobi bikin horor, lebih sering juga menerapkan efek praktikal. Efek komputer digunakan untuk meng-enhance saja. Kayak, kalo harus ada adegan binatang seperti kelabang dan sebagainya, pakai praktikal saja. Memudahkan juga bagi para aktor (apalagi genre horor sering pake aktor muda yang belum benar-benar matang berakting) untuk berakting takut dengan melihat yang benar-benar ada.

Here’s the thing about horror: yang mainnya harus beneran takut dulu

 

Sedangkan jika dibandingkan dengan film-film pendahulunya di franchise ini, V/H/S/99 mengambil resiko dengan menghilangkan adegan ‘benang merah’. Biasanya selalu ada adegan yang mengikat semua segmen, misalnya seperti film tahun lalu; semua klip alias segmen yang kita tonton adalah tayangan yang dilihat oleh polisi yang menyergap bangunan tempat terduga sekte. Adegan ‘benang merah’ ini sendirinya seringkali membuat keseluruhan film tampak ‘maksa’. V/H/S/99 meniadakan adegan semacam itu, tidak lagi repot memikirkan kenapa dan dari mana klip yang kita tonton itu bisa kita tonton, apa klip itu sebenarnya di dunia film, apa ada sesuatu yang lebih besar di baliknya. Sehingga film kali ini bisa lebih bebas mengeksplorasi segmen-segmen.  Yang kini terasa saling lepas, dan hanya diikat oleh benang merah berupa tema yang disebut pada judul. Yakni semuanya direkam pada tahun 99.  Buatku ini perubahan yang bisa dibilang positif, meskipun aku bisa melihat penggemar franchise ini akan terganggu. Karena tidak lagi ada progres dari yang sudah dibuild seri-seri terdahulu. Bahwa ada misteri yang mengikat video atau segmen ini semuanya.

 




Secara keseluruhan, memang film ini membagi penonton. Karakter-karakter yang bertingkah sok keren akan susah untuk dipedulikan sehingga pada akhirnya nasib yang menimpa mereka (karena berurusan dengan orang atau urban legend yang salah) tidak lagi terasa menakutkan bisa jadi penghambat utama penonton menyukai film ini. Begitu pula dengan kamera yang kelewat goyang-goyang.  Tapi itu semua adalah resiko yang diambil oleh film yang menginginkan  estetik 90an yang low budget dan amatir dan grounded terkesan real. It cannot get any simpler than this. Video demi video yang nunjukin cerita horor dengan kreasi dari era yang telah lewat. Buatku ini seperti baca Goosebumps, nonton horor jadul, nostalgia yang super refreshing. Tentu saja aku punya favorit, tapi kayaknya baru ini V/H/S/ yang kutak punya masalah berarti kepada masing-masing ceritanya. Sama seperti satu show WWE, tentu saja dalam satu antologi tidak bisa semuanya wah dan seru. Melainkan persoalan gimana mengaturnya supaya semuanya terangkai jadi satu tontonan yang punya flow dan pace yang stabil. Film ini adalah tontonan horor yang segmennya slightly terasa panjang, tapi terhimpun manis jadi pengalaman horor yang bikin merinding dan menghibur.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for V/H/S/99

 




That’s all we have for now.

Apa yang kalian rindukan atau yang paling ingin kalian lihat comeback dari tahun 90an?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



BLACK ADAM Review

 

“Sometimes it’s better to let people handle their own problems”

 

 

The Rock dijuluki sebagai The People’s Champion. Di sisi lain, The Rock menyuguhkan penampilan terbaik saat berperan sebagai heel/antagonis. Bahkan, sebagai babyface/protagonis pun, The Rock adalah seorang heel yang dahsyat untuk para antagonis. Kenapa aku malah mengungkit peran Dwayne Johnson di jaman dia masih bergulat di atas ring?  Karena dalam Black Adam garapan Jaume Collet-Serra, Dwayne seperti dikembalikan ke akar WWEnya tersebut. Karakter Black Adam originally adalah seorang penjahat, dan dia juga adalah Champion di antara bangsanya. Makanya, karakter ini dan Dwayne Johnson tampak begitu klik. Aku pergi menonton film superhero DC ini dengan sedikit harapan melihat Dwayne kembali ke persona lamanya, seenggaknya barang sedikit. You know, sudah mulai jenuh gak sih melihat Dwayne dapat peran template cowok jagoan berbadan kekar yang gitu-gitu melulu, yang rumornya bahkan dikontrak untuk tidak boleh tampak lemah apalagi kalah. Black Adam, memang memberikan aktor ini sesuatu yang bisa dibilang keluar dari kebiasaan yang belakangan. Hanya saja film ini kelupaan mengembalikan satu hal yang juga merupakan trait The Rock. Kharisma.  Di film ini, Dwayne sebagai Black Adam is all about action, tapi diberikan karakterisasi yang minim perkembangan, selain cuma “ternyata dia begini”

Jadi Black Adam aslinya bernama Teth-Adam. Juara Shazam pilihan para Wizard lima ribu tahun yang lalu. Dia ditunjuk setelah berani mengobarkan semangat revolusi pada bangsanya, bangsa Kahndaq, yang diperbudaq. Fast forward ke masa sekarang, bangsa negara fiktif itu ternyata masih belum merdeka. Tanah mereka kini dijajah oleh sindikat kriminal yang disebut Intergang yang mencari mahkota Sabbac, relik berkekuatan super yang disembunyikan oleh Teth-Adam di masa lalu. Makanya, supaya bangsanya selamat, Adrianna dan kelompok kecilnya berusaha menemukan mahkota itu terlebih dahulu. In the process, Adrianna membebaskan Teth-Adam. Bangsa Kahndaq modern yang mengenal Sang Juara lewat legenda, langsung mengelu-elukan makhluk super itu sebagai pahlawan yang bakal membebaskan mereka semua. Teth-Adam memang pelindung bangsa, hanya saja dia menegakkan keadilan dengan caranya sendiri. Cara yang membuat pasukan Justice Society pimpinan Hawkman harus datang dari jauh untuk campur tangan mengamankan Teth-Adam yang justru dianggap sebagai monster perusuh.

Si Adidaya yang selalu ikut campur urusan tetangga

 

Kepada genre superhero, film ini sebenarnya menawarkan cerita yang tak biasa. Mengangkat penggalian baru dengan sedikit mengubah Black Adam yang aslinya total villain menjadi lebih seperti anti-hero. Hero, tapi aksinya bikin gerah superhero yang lain.  Jadi si Adam ini punya sense of justice sendiri. Dia percaya yang namanya penjahat, penjajah, ya mestinya dibunuh. Kinda like ketika masyarakat udah geram ama hukum yang bertele-tele, terus lebih milih penghukuman ‘netijen’. Teth-Adam sendiri sebenarnya gak pernah mengakui dirinya pahlawan. Dia hanya mau bangsanya gak tunduk dan pasrah lagi. Dia maunya revolusi.  Seteru paling seru di film ini justru datang dari konflik antara Adam dengan Hawkman, pemimpin geng Justice Society yang datang untuk menangkap dirinya jika tidak mau bekerja sama. Jika Teth-Adam masih terus membunuh. Basically Hawkman di sini bertingkah seperti polisi moral, yang mencoba mengatur bagaimana cara menjadi pahlawan yang benar. Cara film ini menampilkan ‘cara’ Teth-Adam menghukum penjahat versus reaksi Hawkman seringkali jadi kocak. Walaupun konteksnya cukup dark, film berhasil menampilkan dalam nada yang cukup ringan sehingga menghibur melihat konflik paham antara Adam dengan Hawkman. Teth-Adam bukan saja tidak suka diatur, dia juga tidak suka melihat ada bangsa lain yang datang mengusik tanah airnya. Bagi Teth-Adam, Justice Society tak ada bedanya ama Intergang, sama penjajah yang mau ikut campur.

Bangsa Kahndaq cuma ingin merdeka. Mengatur sendiri urusan mereka. Menyelesaikan sendiri masalah mereka. Namun sejarah bangsa ini mencatat, sedari dulu mereka dijajah dan dicampuri oleh penguasa ataupun pihak dari luar yang lebih kuat. Makanya ketika Justice Society datang ke sana untuk menangkap sosok pahlawan bagi bangsa Kahndaq, keadaan menjadi semakin kacau. Inilah yang mestinya diperhatikan. Bahwa seringkali sebaiknya kita tidak mencampuri urusan pihak lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kita.

 

Menurutku tema cerita Black Adam ini menarik sekali, terutama karena datang dari negara yang terkenal suka ikut campur urusan negara orang lain. Bukan satu dua kali Amerika mengirimkan bala tentara ke negara-negara yang tengah berkonflik, untuk berperang dengan agenda membantu perdamaian. Bukan satu dua kali pula, Teth-Adam di film ini balas ngotot ke Hawkman untuk tidak ikut campur dan membiarkan dirinya dan bangsa Kahndaq mengenyahkan sendiri masalah mereka. Tadinya kupikir film ini sendiri akan memihak kepada Teth-Adam dan bangsa Kahndaq. Kupikir pembuat film ini akan berani menyentil negara mereka. Namun makin  ke sini dinamika itu tidak diubah. Hawkman dan Justice Society tidak mengubah pandangan mereka soal mencampuri urusan, mereka tetap memandang Adam sebagai monster yang harus dikerangkeng. Sekalipun akhirnya film menunjukkan Black Adam sadar dirinya memang pahlawan di balik segala dosa-dosa personal dan Adrianna beserta para rakyat Kahndaq diberikan kesempatan untuk berjuang membela tanah mereka, tapi tetap diperlihatkan mereka harus dibantu oleh pihak asing, yakni si Justice Society. Dan meskipun film menyebut Black Adam adalah white knight yang dibutuhkan, tapi pada kenyataannya cerita film ini literally membuat Doctor Fate dari Justice Society, dengan helm super, seolah kesatria berbaju zirah yang menggiring mereka kepada taktik keselamatan. Yang lucunya, tidak perlu dilakukan; Masalah tidak akan menjadi segede di akhir itu – mahkota Sabbac tidak akan jatuh ke tangan penjahat – jika Justice Society tidak pernah datang dan ikut campur dan membiarkan Adam membereskan urusan dengan caranya tersendiri sedari awal.

Setidaknya kali ini The Rock jauh-jauh dari template lingkungan hutan

 

Itulah tanda film ini punya masalah pada naskah. Alih-alih fokus mengembangkan bagaimana Teth-Adam di dunia modern, berusaha mengsort out urusan personalnya – pilihannya di masa lalu, membuat Teth-Adam belajar apa itu arti menjadi pahlawan,  film malah membagi perhatian kita kepada karakter superhero dari luar. Tau-tau kita dijejalin banyak karakter superhero. Ada Hawkman, Dr. Fate, Cyclone, Smasher. Karakter-karakter yang di atas kertas otomatis lebih menarik dibanding Adrianna dan putranya. Relationship antara Teth-Adam dengan kelompok Adrianna – relasi antara leluhur yang dianggap pahlawan dengan rakyat jadi terpingkirkan. Bahasan relasi itu masih ada, sebagai benang utama cerita, tapi tidak diceritakan dengan pengembangan. Melainkan hanya lewat revealing demi revealing, ‘ternyata’ demi ‘ternyata’. Karena film membagi porsi tadi. Progres cerita terutama datang dari pilihan Hawkman and the gank, dan Adam bereaksi terhadap itu. Poin-poin film jadi bergantung kepada karakter luar. Buatku menonton film ini jadi persis seperti yang dirasakan rakyat tertindas bangsa asing. Kenapa yang ditonton jadi malah disetir oleh orang-orang ini?

Mungkin masih bisa dimaafkan jika mereka-mereka itu benar-benar digali. Mind you, mereka ini bukan karakter yang pernah muncul di film lain sebelumnya, melainkan yang sama sekali baru. Yang juga butuh introduksi solid. Masalahnya, dengan begitu banyak karakter, semuanya jadi terasa instan saja. Para karakter superhero punya trait  dan kekuatan khusus, dan hanya dimensi itulah yang ditampilkan. Tak membantu pula beberapa di antara mereka mengingatkan kita kepada karakter superhero DC lain, bahkan kepada karakter superhero sebelah. The Rock jadi kena imbasnya. Sisi komedi hingga sisi humanis yang tampak diniatkan untuk karakter ini jadi tidak bisa mencapai maksimal karena cerita terus saja membawa kita kembali kepada seteru Hawkman dengan Teth-Adam. The Rock di sini jadi hanya marah dan berguyon di sela-sela menghajar musuh. Padahal yang sebenarnya dibutuhkan lebih banyak adalah The Rock bersama anak Adrianna, Teth-Adam menyelami fungsinya hadir di sana. Jadi tidak ada di antara mereka yang konek ke kita secara emosi. Film ini hanya aksi dan eksposisi, dengan sedikit komedi untuk mengikat kita kepada karakter. Kita tidak nyambung ke mereka melainkan hanya lewat unsur-unsur luar yang artifisial. Oh, si Cyclone cakep. Oh, si Smasher lucu. Oh, si Adam ngeyel kalo dibilangin. Actionnya juga sebenarnya imersif, bangunan-bangunan yang hancur karena ulah Teth-Adam ‘menyelamatkan’ dunia dijadikan integral ke dalam plot, namun karena ke karakter-karakter sendiri kita gak masuk, maka ya jadinya kita hanya sebatas melihat aksi saja.

 

 




Padahal dengan tema yang menarik, karakter anti-hero dan superhero yang menantang pemahaman terhadap konsep kepahlawanan, film ini harusnya bisa jadi sesuatu yang diperbincangkan. Teth-Adam yang tampak dibuild untuk menjadi penjahat besar seharusnya bisa dibuat benar-benar dramatis. Marvel sejauh ini baru Civil War yang benar-benar menggali di daerah moral antar-pahlawan itu sendiri. Sedangkan, film-film DC kalo kita lihat sepertinyalebih sering bermain-main dengan perspektif hitam-putih. Pahlawan-penjahat. Mereka lebih sering menjadikan cerita dengan villain sebagai perspektif utama. Bahkan superheronya saja juga diberikan pilihan yang menantang moral (we’re looking at you, Wonder Woman 2) Eksekusinya saja yang seringkali melempem. Film The Rock ini juga salah satu yang kurang nendang. Film ini malah menyesakkan diri dengan superhero lain. Tidak benar-benar membuat karakter judulnya mendapat eksplorasi yang mendalam. Batman lawan Superman, Justice League lawan ‘dark’ Superman, aku hanya berharap jika nanti Black Adam lawan Superman benar-benar terasa seperti clash epic alih-alih pertemuan yang ‘main aman’ seperti sebelumnya. Dan to be honest, harapanku itu mengecil melihat film ini belum apa-apa sudah mengesampingkan banyak penggalian karakternya. 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for BLACK ADAM




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian Hawkman dan Justice Society di film ini memang telah lancang mencampuri urusan negara orang?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 



HALLOWEEN ENDS Review

 

“Be careful fighting someone else’s demons – it may awaken your own”

 

 

Oke, this is it! Empat-puluh tahun trauma. Setelah begitu banyak korban berjatuhan, setelah begitu banyak sekuel-sekuel yang diberangus.  Kita akhirnya melihat klimaks dari Laurie Strode, one time a babysitter, dan Michael Myers, sang babysitter killer. Pertemuan akhir dua ikon horor ini benar-benar punya big-match feel. Meskipun film-filmnya sendiri kurang memuaskan, tapi toh sutradara David Gordon Green berhasil juga membuild up babak akhir dari trilogi Halloween modern, dengan perspektif yang fresh. Dalam Halloween (2018) dia membuat Laurie jadi penyintas paranoid, yang hampir berbalik dari yang diburu menjadi pemburu. Dan dalam Halloween Kills (2021), Green memperlihatkan betapa kuat dan mengerikannya demon yang harus disingkirkan oleh Laurie. Monster yang telah berefek begitu besar bahkan hingga ke seluruh penduduk Haddonfield. Saking gede feelnya, ini bisa dengan gampang kubayangkan nongol jadi headline match WrestleMania; Laurie vs. Michael! Namun karena sering nonton gulat itulah, aku jadi sudah sedikit mengantisipasi bahwa build up dan hype kadang bisa tak diikuti oleh eksekusi yang sepadan. Untuk final battle Laurie dan Michael ini, bayangkan kalo match Stone Cold lawan The Rock di WrestleMania 17 tapi sebagian besarnya diisi oleh interferensi kisah romance dari dua pegulat lain yang nongol mengacau. Karena itulah yang literally terjadi pada film terakhir dari trilogi Halloween David Gordon Green ini.

Halloween Ends memang memenuhi janji judulnya untuk mengakhiri semua mimpi buruk yang muncul setiap kali halloween di Haddonfield, tapi juga tidak terasa seperti akhir dari sebuah trilogi. Setting waktu kisah ini adalah empat tahun sesudah Halloween Kills (yang mengambil kejadian hanya beberapa menit setelah ending film pertamanya), dan dari waktunya ini saja keurgenan cerita sudah seperti lepas. Ketika kita masuk ke film terakhir ini, mood atau suasananya udah beda. Laurie sudah menata kehidupan baru bersama cucunya, Allyson. Sang cucu kini jadi perawat, sementara Laurie berusaha mencari ketenangan personal dengan menuliskan buku tentang Michael Myers. Si pembunuh bertopeng ini memang sudah lama tak tampak, namun setiap halloween teror dan trauma yang ia bawa masih membekas. Penduduk masih dirundung takut, walau kini mereka mengekspresikan takut tersebut dengan cara yang mulai mengkhawatirkan. Termasuk si Laurie. Diceritakan, Allyson pacaran sama pemuda bernama Corey. Sebagian besar durasi dihabiskan Laurie menjadi seorang nenek yang mengkhawatirkan (sampai menguntit) kehidupan cinta cucunya. Laurie memang kembali jadi gak tentram, Karena Laurie merasa, Corey si pemuda yang juga sedang berusaha merajut hidup setelah trauma yang berhubungan dengan tragedi malam halloween,  punya mata yang sama dengan Michael Myers.

Tatap mata, Ojan!

 

Sebenarnya, film ini punya cerita yang lebih baik dibanding film Halloween Kills yang hampa dan praktisnya gak ada plot, melainkan cuma Michael bunuhin penduduk kota yang bersatu maju memburunya (hal yang dilakukan dengan lebih ‘boss’ oleh Laurie di film pertama) Halloween Ends, seenggaknya, punya bahasan seputar inner demons. Bagaimana ketika sekelompok manusia adalah penyintas harus berdamai dengan trauma bersama, berusaha saling suport, sembari tidak saling membangkitkan demon masing-masing, karena setiap manusia punya momok tersendiri dalam kehidupannya. Kisah Corey yang diperankan dengan duality atau ambigu yang tepat oleh Rohan Campbell sesungguhnya adalah penggalian yang cukup dalam tentang seberapa besar efek trauma bisa membentuk orang. Karena Corey yang dituduh membunuh anak kecil bukan saja harus menyembuhkan diri dari itu, tapi dia melakukannya sembari didera oleh orang-orang yang berusaha menyembuhkan trauma mereka dengan ‘melemparkan batu’ kepada dirinya. Kisah Corey ini adalah materi yang bisa banget berdiri sendiri. Yang menurutku pantas untuk mendapat babak tersendiri. Halloween Ends tampak seperti masih berusaha mengekspansi cerita, walau sudah di penghujung. Alhasil, kisah Corey tidak bisa maksimal. Film mengecilkannya seperti hanya jadi persoalan cinta ‘terlarang’. Yang juga membawa kita ke karakter Allyson yang jadi semakin annoying sebab di umur segitu permasalahan yang ia punya cuma gak senang neneknya gak setuju dia pacaran ama Corey. Kasian banget memang si Andi Matichak. Percuma muncul di trilogi, tapi dari film pertama hingga terakhir, karakternya tidak mendapat peran yang benar-benar berarti.

Semua orang cepat atau lambat bakal berhadapan dengan demon atau masalah menakutkan tertentu di dalam hidupnya. Mentality fight atau flight ketika berhadapan dengan itu yang bakal menentukan jadi seperti apa seseorang ke depannya. Laurie tahu untuk tidak kabur dari demonnya. Dia memilih bertempur. Halloween Ends pada hakikatnya menegaskan yang sudah dibuild pada film yang lalu, bahwa bukan hanya Laurie yang trauma. Melainkan seluruh kota. Setelah empat tahun, semua orang masih berjuang untuk healing. Masalah yang dihadapi Laurie sekarang terjadi ketika dia berusaha membantu orang lain menghadapi demon mereka. Secara simbolik film memperlihatkan ketika kita bertarung dengan demon orang lain, kita harus berhati-hati untuk tidak membangkitkan demon dari diri sendiri.

 

Laurie Strode, di pihak satunya, jadi tidak banyak yang dilakukan untuk awal-awal. Film hanya memperlihatkan dia berusaha menjalin kehidupan normal, sementara tetap menaruh curiga dan mengkhawatirkan cucunya. Jujur, untuk yang udah kehype film ini bakal jadi duel terakhir Laurie, aku gak expect melihat karakternya direset ke bentuk baru oleh film. Padahal yang kebayang ya melihat Laurie langsung jadi badass, apalagi setelah di film kedua dia gak ngapa-ngapain. Dan memang, ketika pada akhirnya dapat kesempatan beraksi, Jamie Lee Curtis menunjukkan dia tahu dan paham menunjukkan di taraf ruthless seperti apa karakter yang sudah ia perankan bertahun-tahun tersebut. Kita nonton ini pengen lihat aksi Laurie, dan Curtis benar-benar jadi heroine yang cadas. Dia bahkan melakukan lebih banyak aksi ketimbang Tara Basro di dua film Pengabdi Setan digabung jadi satu. Untuk urusan aksi dan bunuh-bunuhan, film ini memang masih nunjukin kreativitas dan sisi fun di tingkat hiburan yang tinggi. Walaupun masih bersandar pada referensi dan throwback, tapi adegan-adegan mati di film ini terasa segar dan bikin melek. Favoritku adalah kill yang berhubungan dengan piringan hitam.

This is how you do a heroine in horror movie

 

Final battle Laurie dan Michael terdeliver secara emosional. Apalagi buat kita yang sudah bolak-balik ngikutin kisah mereka dalam berbagai versi. Halloween Ends ngasih sesuatu yang benar-benar terasa seperti this is the end. Namun ada ‘tapinya’. Aku merasa Michael Myers sedikit terlalu banyak kehilangan ‘tuahnya’ di sini. Istilahnya, terasa lemah. Michael persis seperti yang dikatakan oleh Corey kepadanya saat merebut topeng. Michael yang sekarang hanyalah si tua dengan topengnya. Film ini mengulang kesalahan yang ada pada Halloween 2018. Suasana mencekam malam halloween itu tidak terasa. Padahal itu yang sebenarnya jadi ciri khas setiap installment Halloween. Dan film ini bukannya meniatkan memang gak ada. Lihat saja openingnya. Keren sebenarnya. Horor dan trauma itu masih menyelimuti. Malah ada satu sekuen montase singkat yang memperlihatkan tetap terjadi berbagai pembunuhan yang dibuat seolah dilakukan oleh Michael Myers. Nah, sebenarnya kalo film benar-benar fokus mengeksplorasi, suasana mencekam itu harusnya hadir sejalan dengan aspek warga masih merasa diteror. Bahwa dalam healing mereka, justru muncul ‘Michael-Michael’ lain. Sejalan dengan kisah Corey. Film tidak berhasil memvisualkan maksudnya tersebut. Suasana mencekamnya hanya berusaha dihadirkan lewat aksi Corey setelah bertransformasi, tapi itupun kurang nendang karena malah tampak lebih seperti korban bully yang mau balas dendam. Singkatnya, film ini butuh presence real Michael Myers lebih banyak lagi.

Mungkin sebenarnya film pengen membuat Michael juga berhadapan dengan demonnya (which is his humanity) sehingga sekarang dia vulnerable dan terlihat lemah dan tak bertuah. Tapi jika benar demikian, film tidak melakukannya dengan baik dan jelas. Film terburu-buru memuat ada karakter baru yang sepertinya bakal jadi pembunuh bertopeng William Shatner kedua, sehingga dua sentral utama tidak mendapat pengembangan ultimate yang maksimal. Malah, semuanya tidak ada yang benar-benar maksimal. Corey itu malah kayak, bayangkan kalo dalam trilogi sekuel Star Wars, Anakin baru muncul di film ketiga – dia dari baik ke jatuh ke dark side dalam satu film. Corey kayak si Anakin. Sehingga mestinya cerita dia bisa juga dibuild up dari film pertama. Trilogi seharusnya seperti demikian. Sementara yang kita lihat pada Halloween Ends ini, kayak sekuel biasa. Yang malah jadi membahas orang baru, serta orang lama dengan karakterisasi yang baru (karena loncat empat tahun) Jadinya malah kayak another reboot.

 




For now, film ini memang benar tampak memenuhi janjinya sebagai kisah akhir Laurie dan Michael. Film memberikan kita final battle yang emosional – puncak dari nostalgia seluruh franchise dan build up yang dilakukan sedari dua film sebelumnya. Hanya saja, untuk sampai ke momen tersebut, film melakukan ekspansi yang mengundang pertanyaan. Kenapa mereka baru melakukan semua itu di film terakhir. Kenapa tidak dibuild up juga dari sebelumnya. Film ini punya kisah yang oke, yang kalo diberikan waktu lebih banyak, dijadikan babak atau episode tersendiri, akan bisa jadi bahasan yang keren. Namun karena film ini adalah bagian akhir trilogi, kisah yang dipersembahkan di sini terasa seperti lompatan jauh yang tidak benar-benar terajut ke dalam sebelumnya. Melainkan lebih mirip seperti sekuel yang mereset kisahnya menjadi satu episode yang baru. Sehingga ya, aku tidak bisa bilang trilogi Halloween modern ini sebagai trilogi yang bagus. Tentu, trilogi ini berhasil ngasih penggalian baru, tapi tidak terasa benar-benar work sebagai kesinambungan. Melainkan kayak corat-coret ide saja. Like, soal Corey dan kota Haddonfield, itu menurutku ide bagus. Cuma karena di film ini keliatannya cuma seperti pengisi durasi saja (dan malah jadi romance dan kisah bully cheesy), maka ya jadinya kayak berantakan. Apakah ini beneran cerita Laurie? Kenapa film malah lebih banyak bahas Corey, lalu ujug-ujug final battle Laurie dan Michael? 
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for HALLOWEEN ENDS

 

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian percaya film ini bakal jadi film Halloween terakhir? Kenapa?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



THREE THOUSAND YEARS OF LONGING Review

 

“The power of storytelling is to free us from isolation…”

 

 

Cerita tentang pengabulan permintaan semuanya selalu adalah nasehat atau kisah peringatan. Alithea dengan tegas bilang begitu kepada Djinn yang menghadiahinya tiga permintaan saat momen-momen awal pertemuan mereka dalam film Three Thousand Years of Longing. Dialog tersebut bertindak sebagai cara sutradara George Miller ngasih tahu ke kita bahwa film ini bukanlah kisah persahabatan manusia dan jin-pengabul-permintaan yang biasa. Karakter yang aware dengan dongeng dan konsep storytelling merefleksikan bahwa selain bertema cinta dan kesendirian, ini adalah film yang juga tentang story itu sendiri. Aku langsung ‘terjerat’, Aku mau dengar lebih banyak lagi obrolan karakternya. Tahun 2020 lalu, aku ngalamin sensasi menggelinjang serupa saat nonton Black Bear. Yang juga film tentang story dan storytelling, namun fokusnya adalah soal menulis cerita adalah proses healing bagi diri pribadi. Three Thousand Years of Longing membahas dari sisi satunya. Bahwa bercerita punya kekuatan amat sangat ajaib bagi audiensnya. Cerita hebat, yang diceritakan dengan sama hebatnya, mampu menyentuh hati manusia yang mendengarkan. Dan yah, membebaskan mereka.

Kekuatan sebuah storytelling tersebut digagaskan film lewat interaksi dua karakter sentralnya. Manusia dan jin. Alithea adalah seorang narratologist alias peneliti cerita. Mendalami sejarah, dongeng, dan mitos udah kerjaan Alithea sehari-hari. Makanya Alithea gak lantas girang saat jin yang keluar dari botol kaca unik yang ia beli di toko suvenir Istanbul memberinya tiga permintaan. Ini narasi yang sudah sering dia jumpai dalam studi cerita. Perempuan ini gak yakin jin yang tadinya raksasa dan berbahasa kuno tersebut adalah jin baek-baek. Sehingga si Djinn-lah yang ambil inisiatif untuk meyakinkan Alithea. Karena hanya dengan memenuhi tiga permintaan Alithea-lah, Djinn bisa sepenuhnya bebas. Alithe akhirnya duduk mendengarkan, mendiskusikan, cerita-cerita dari Djinn. Cerita-cerita yang mengaburkan batas ilmu sejarah dan ilmu agama yang ia ketahui, dengan insight pribadi dari si jin.

“Botol apaan, nih?”

 

Sense of wonder, elemen sihir, dan visual ajaib masih kita temukan mewarnai durasi, namun memang fondasi utama film ini adalah dialog antara Alithea dengan Djinn. Yang juga berarti, akar dari fondasi itu adalah penampilan akting.  Untuk memerankan Alithea yang cerdas tapi agak kaku socially, Tilda Swinton – dengan wig dan kacamata berbingkai besar – menggunakan gestur-gestur terbatas, tapi dia melepaskan emosi lewat ekspresi-ekspresi kecil yang bisa kita tangkap dan mengerti bahwa karakternya sebenarnya tertarik, tertantang, dengan cerita Djinn. Kevulnerablean khas seseorang yang di luar tampak skeptis dan cuek, tapi di lubuk hatinya dia merasa relate, tergambar lewat intonasi dan pandangan mata Tilda. Melihat Alithea kadang aku jadi teringat sama diri sendiri saat nonton film yang gak benar-benar kusuka tapi ada hal-hal yang relate yang kutemukan di film tersebut. Dengan kata lain, Tilda membuat karakter Alithea bisa konek juga dengan penonton. Kita jadi bisa melihat karakter ini di balik sikap scholarnya. Sementara itu, lawan mainnya, Idris Elba yang jadi Djinn… wah, tantangan peran ini adalah monolog-monolog panjang. Sebagai Djinn dia akan bercerita banyak kisah, lalu meyakinkan Alithea, dan juga menebar aura-aura ambigu kepada kita. Bukan perkara mudah, amazing sekali yang dicapai Idris Elba lewat akting-suara. Dia sukses terdengar meyakinkan, menenangkan, memantik simpati (Djinn nyaris memohon supaya Alithea mau ucapin keinginan), sekaligus agak sedikit ‘sus’

Karena memang begitulah dinamika – yang bakal menambah ke bobot growth karakter – yang dimiliki oleh struktur naskah film ini. Secara garis besar, memang film ini terbagi antara bagian cerita-cerita, dan baru di babak ketiga masuk ke bagian romance antara Alithea dengan Djinn. Resiko yang hadir dari bentuk narasi seperti itu adalah peran Alithea sebagai karakter utama jadi bisa terasa kurang menonjol. Like, dia baru mencuat di babak ketiga. Saat Djinn menceritakan kisah-kisah, Alithea bisa dianggap penonton sebagai pendengar saja. Tidak beraksi. Padahal Alithea sebenarnya sudah ‘beraksi’ sedari awal. Yakni lewat dinamika dia gakpercaya (gak mau ngucapin keinginan) dengan Djinn yang berusaha meyakinkan. Film tidak pernah saklek soal apakah jin-jin yang dilihat Alithea sebelum mendapat botol Djinn itu pertanda Alithea memang bisa melihat, atau hanya halusinasi, atau malah semua itu ulah Djinn yang berusaha memikat Alithea untuk datang. Nah, sikap Alithea terhadap itu yang jadi growth, secara subtil merayap di balik reaksi-reaksinya terhadap cerita Djinn. Yang menariknya lagi adalah, film tidak benar-benar menekankan apakah empat kisah yang diceritakan Djinn yang berhasil menyentuh hati Alithea benar-benar terjadi – dan Alithea genuinely relate dengan kisah itu – atau kisah itu sengaja didesain oleh Djinn relate ama Alithea supaya perempuan itu ‘terjerat’. Yang jelas, di babak akhir keduanya jadi saling cinta. Dan aksi Alithea lebih menonjol di akhir itu, sebagai tindakan orang yang berusaha tidak egois dengan harapan akan cinta. Alithea akhirnya bisa menggunakan permintaannya untuk membuat mereka merasakan cinta (sesuatu yang mereka damba sekian lama bersama)  tapi juga tidak mengikat.

Sudah sejak zaman dahulu kala, story dijadikan bukan saja sebagai media hiburan, tapi juga untuk menyampaikan pesan, moral, dan menggugah pikiran masyarakat penontonnya. Terciptalah teater, tv, film, dan sebagainya. Kita yang baca blog ini, tentu mengerti daya tarik dan kekuatan cerita lewat sebuah penceritaan. Karena kecintaan pada filmlah, maka kita gemar mendiskusikannya. Alithea yang mendengar kisah Djinn, is one of us. Dia tersentuh, merasa relate, dan akhirnya terkonek dengan Djinn, melalui storytelling dahsyat dari Djinn. Karena itulah kekuatan sebuah storytelling. Bisa membangun komunikasi yang benar-benar konek dalam level paling dekat. Great storytelling akan membebaskan kita melaui perasaan yang sudah saling tershare dengan personal.

 

Empat kisah yang diceritakan Djinn tergambar jadi visual yang seru, kadang juga creepy, yang distinctive satu sama lain. Kisah itu juga menarik karena ada irisan dengan keilmuan nyata yang kita ketahui, seperti ilmu agama, ataupun sejarah. Tapu yang gak kalah pentingnya, kisah-kisah tersebut lowkey paralel dengan kehidupan Alithea. Kisah pertama adalah tentang masa-masa sebelum Djinn dikurung di dalam botol. Djinn jadi penasehat Queen Sheba (Ratu Balqis), sampai Solomon (Sulaiman) datang memikat Sheba. Sheba lebih memilih Solomon, dan Djinn dibuang setelah sebelumnya dimasukkan ke dalam botol. Sheba paralel dengan masa muda Alithea yang membuang teman khayalannya dan memilih untuk fokus ke studi literatur. Kisah berikutnya adalah tentang gadis budak yang menemukan botol Djinn, dan menggunakan permintaannya untuk bisa menikah dengan Pangeran Mustafa. Si gadis budak sayangnya tidak pernah meminta keselamatan, sehingga sebelum tiga permintaannya beres, si gadis tewas terbunuh dalam sebuah peristiwa kudeta. Si gadis paralel dengan Alithea yang pernah menikah dan punya momongan tapi memilih untuk membiarkan dirinya ikutan ‘hancur’ ketika rumah tangganya ter’kudeta’. Kisah ketiga dari Djinn adalah tentang dua bersaudara yang harusnya jadi raja, yang harusnya bisa menemukan botol Djinn, tapi mereka menghancurkan diri mereka sendiri lantaran terlalu larut dalam hal yang mereka suka (dalam hal ini perang, dan wanita). Alithea setelah pernikahannya kandas juga begitu, menenggelamkan diri ke dalam studi. Sehingga akhirnya dia jadi stress sendiri, teroverwhelm oleh pengetahuan. Seperti nasib yang melanda tokoh pada kisah terakhir dari Djinn. Perempuan bernama Zefir yang ingin melihat dunia, meminta ilmu pengetahuan tak-terbatas. Keparalelan Alithea dengan kisah-kisah Djinn diperkuat oleh treatment shot yang dilakukan oleh film. Seperti saat memperlihatkan kebiasaan yang sama antara Alithea dengan Zefir, yakni menggoyangkan kaki saat membaca, Dan sama-sama hobi ngoleksi botol. Ataupun cara Alithea menelan ludah yang mirip dengan gestur yang dilakukan oleh Sheba.

George Miller sekali lagi menunjukkan range liarnya sebagai sutradara. Film babi, penguin, mad max, dan kemudian ini? Maan!

 

Keparalelan itulah yang membuat Alithea merasa relate dan tergugah. Kisah Djinn (mau itu Djinn sengaja atau tidak) sukses menciptakan koneksi tak-terbantahkan di antara mereka. Keduanya jadi saling cinta, Alithea become a better person. Kekuatan storytelling berhasil digambarkan film lewat hubungan kedua karakter ini. Satu pertanyaan tersisa. Apakah film ini sendiri – lewat penceritaan yang dilakukan sutradara – berhasil menyentuh kita-kita semua sebagai penontonnya, secara personal?

Sayangnya, aku gak yakin jawabannya “Ya!” Karena seperti yang sudah kusebut di atas, film ini ngambil resiko terlihat sebagai film dengan dua bagian, yang bagian satunya si protagonis kayak gak ngapa-ngapain. Film dengan banyak kisah seperti ini, ditambah dialog dan relasi tak-biasa antara dua karakter beda alam, dengan mudah membuat penonton merasa overwhelm.  Too much. Cerita ada bahas soal benang merah, dan jika dibawa ke film ini sendiri, ‘benang merah’ itu disimpan sedikit terlalu jauh untuk ditemukan oleh penonton. Three Thousand Years of Longing adalah tipe film yang percaya penonton itu semuanya cerdas, dan bisa menemukan sendiri koneksi mereka dengan cerita. Itu bagus, tidak menyuapi. Tapi film memilih melakukan hal justru ‘mempersulit’. Babak ketiga misalnya, kejadian Alithea dan Djinn jadi pasangan terasa abrupt. Alur yang jadi lebih personal, dapat ditafsirkan penonton sebagai film yang tadinya punya kisah menakjubkan, jadi mengerucut di babak final. Kebalikan dari biasanya cerita membesar semakin ke akhir. Babak ketiga itu juga bisa kulihat bakal jadi terlalu gaje oleh penonton. Serupa kayak kesan yang dihasilkan oleh Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) pas bagian sosok Jelita muncul. ‘Bantingan stir’ film ini membuat kesan ‘patahan’ yang kerasa banget. Harusnya bisa diperhalus. Masuknya ke bagian yang menunjukkan ternyata film ini juga adalah cerita yang membahas romance antara dua insan yang selama ini mendamba mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik lagi.

 




Tadinya aku nonton film ini ntuk pemanasan sebelum film Jin dan Jun selesai dibuat. But maan, ternyata film ini berada di level yang sama sekali tak-terbayangkan. Sungguh sebuah take yang unik dari kisah antara manusia bersahabat dengan jin. Ternyata film ini menawarkan bahasan yang lebih dalam soal cinta dan kesendirian. Sembari juga mengusung gagasan yang kuat tentang betapa kuatnya sebuah efek sebuah storytelling terhadap audiensnya. Itu aspek yang aku suka dari film ini. Secara gak langsung membuat kita sadar, film atau cerita itu gak sekadar untuk hiburan dan cuan. Ada tingkatan koneksi manusia yang harusnya bisa dicapai. Dan ngomong-ngomong soal hiburan, film ini juga punya elemen-elemen penunjang yang tak kalah serunya. Penampilan akting yang jempolan. Visual dongeng yang imajinatif. Mitologi dan hakikat jin yang dikisahkan pun terasa cukup dekat, dan akan menantang kita dengan perspektif fiksi yang fresh. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THREE THOUSAND YEARS OF LONGING

 




That’s all we have for now.

Kalo kalian dikasih tiga permintaan terkait / untuk film ini, apakah permintaan tersebut?

Share  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MIRACLE IN CELL NO.7 Review

 

“Poor people lose. Poor people lose all the time”

 

 

Miracle in Cell No.7 dari Korea Selatan sudah diremake setidaknya oleh empat negara lain sebelum Indonesia. Fakta bahwa cerita tentang mentally challenged person yang dipenjara dan dihukum mati atas kriminal yang tidak pernah ia lakukan ini cocok dan bisa sukses tertranslasikan ke dalam sejumlah kultur negara berbeda sesungguhnya bicara banyak soal bahwa hal yang merata dari sebuah keadilan adalah ketimpangannya. Sistem hukum yang lemah, yang tajamnya ke bawah doang, ternyata adalah masalah yang seragam, baik itu di Korea, Turki, India. Dan tentu saja di Indonesia. I’m not a big fan of remakes, yang cuma sekadar mengadegankan-ulang alias cuma meniru versi aslinya, tapi begitu melihat nama yang menggarapnya, aku tahu bisa menaruh sedikit harapan kepada Hanung Baramantyo. Yang aku percaya tidak akan membiarkan cerita ini lewat di depan hidungnya, bergerak di bawah tangannya, tanpa menambahkan perspektif atau statement atau gagasannya sendiri terhadap tema yang dikandung.

Dari segi cerita dan bangunan narasinya, ternyata, tidak banyak yang diubah. Film ini dengan ketat mengikuti versi original yang rilis tahun 2013.  Ceritanya dibingkai ke dalam sebuah persidangan.  Wanita pengacara muda mengajukan tuntutan terhadap kasus dari dua puluh tahun yang lalu. Kesaksiannya terhadap kasus tersebutlah yang actually kita simak sebagai narasi utuh. Tentang Dodo Rozak yang harus terpisah dari putrinya, Kartika, karena Dodo jadi tersangka tunggal kasus pembunuhan seorang anak kecil. Pria dengan keterbelakangan mental ini harus mendekam di penjara. Bayangkan John Coffey di The Green Mile (1999), film dari cerita karangan Stephen King, hanya tanpa badan kekar dan kekuatan ajaib. Itulah Dodo. Dia cuma punya satu keinginan, ketemu lagi sama Kartika. Tapi bukan lantas berarti Dodo tidak membawa mukjizat – atau miracle. Napi-napi yang satu sel dengannya-lah yang duluan merasakan pengaruh positif dari Dodo. Sifat baik hati Dodo menghangatkan selnya. Terlebih ketika para napi membantu untuk menyelundupkan Kartika ke dalam sel penjara. Wuih, langsung semarak! Bukan hanya satu sel, kelamaan Dodo memgubah satu penjara jadi tempat yang lebih hangat. Semua orang di sana kini berusaha membantu Dodo keluar dari penjara, membantu membuktikan Dodo tidak bersalah supaya dia bisa terus bersama Kartika. Halangannya cuma satu. Hukum yang dingin, menekan, dan semena-mena kepada orang kecil seperti Dodo dan Kartika.

Jangan sampai ruang sidang jadi kayak ruang kelas anak TK  juga hihihi

 

Perbedaan yang langsung ter-notice olehku adalah gak ada Sailor Moon. Pada film aslinya, ‘Kartika’ suka banget ama Sailor Moon, dan si karakter kartun Jepang ini actually jadi bagian penting yang membuat ‘Dodo’ sampai dipenjarakan. Kepentingan Sailor Moon tidak sampai di situ, karena film original turut menjadikannya sebagai penunjuk kepolosan si ‘Kartika’. Bahwa anak perempuan cerdas yang mengurus ayahnya tersebut masih punya sisi kanak-kanak. Sehingga menghilangkan motivasi Kartika untuk punya tas sekolah bergambar karakter tersebut, berarti menghilangkan sebagian identitas karakternya. Reaksi pertamaku adalah kasihan. Mungkin film enggak simply mengganti Sailor Moon dengan karakter lain karena susah menemukan simbol kanak-kanak apa yang hits. Itu kan artinya kasihan banget anak-anak Indonesia, gak punya karakter kartun idola. Masa iya harus diganti jadi tas bergambar idol K-pop haha.. Tapi itu take yang gak ngefek ke penilaian film keseluruhan, aku cuma miris aja sama anak-anak jaman sekarang. Untuk menilai film ini sendiri, kita harus melihat apa pengganti yang disiapkan oleh film, oleh Hanung, bagaimana dia membuat karakter Kartika tetap punya ruh sebagai anak yang mandiri, cerdas, namun, well, tetap masih anak-anak.

Keseluruhan konteks inilah yang dialter sedikit oleh Hanung. Kartika dibuat gedean, di film ini Kartika sudah bersekolah SD. Kartika membantu pekerjaan Dodo, yang di film ini dibuat sebagai tukang balon keliling. Balon inilah yang jadi simbol kepolosan Kartika – dan juga ayahnya – alih-alih Sailor Moon. Balon ini juga digunakan Hanung untuk semakin menguatkan hubungan tematik ke ending yang berhubungan dengan balon udara. Konteks simbol yang semakin jelas berhubungan seperti itu dilakukan lebih baik oleh film ini, sebab di film original kepentingan mereka dengan balon udara tidak benar-benar diestablish. Film Hanung ini sudah mengikatnya dengan erat sejak awal. Membuat Kartika slightly older juga memberikan ruang bagi film untuk menaikkan level dramatisasi dan keseriusan pada ceritanya. Film original diwarna dengan cerah, dan dijual lebih sebagai drama komedi. Hanung, sebaliknya, lebih fokus kepada drama. Makanya warnanya jadi kontras, kadang kuning, kadang biru agak gelap. Meskipun sama-sama dipajang sebagai tontonan untuk semua umur, Miracle in Cell versi Indonesia didesain sebagai sebuah drama yang sedikit lebih serius.

Hubungan karakternya lebih digali. Kita sekarang diberikan backstory tentang ibu Kartika. Bagaimana relasi dan pengaruh sosok si Ibu terhadap cara Dodo bersikap kepada sesama, dan membesarkan Kartika. Ini menambah depth bagi karakter sentral kita. Dodo dan Kartika versi ini lebih bisa kita mengerti. Lucunya versi Hanung ini adalah, dia menjadi lebih dramatis justru dengan mengembangkan karakternya keluar dari trope dramatic. Film originalnya bagiku memang masih beroperasi atau masih mengandalkan karakter dari trope dramatic. Like, gak mungkin kita gak bersimpati dan sedih melihat mentally challenged person yang baik hati terpisah dari anak, keluarga, satu-satunya. Tidak banyak growth atau perkembangan yang dialami oleh karakter. Film original itu lebih menyasar kepada kita, mengajak untuk tidak berprasangka dan segala macem. Film versi Hanung memberikan ruang bagi karakter untuk bertumbuh, dan lebih dalam daripada sekadar trope. Perjalanan Kartika menjadi pengacara demi menegakkan keadilan untuk ayahnya menjadi lebih terasa dramatis tatkala kita tahu sebenarnya Kartika diharapkan untuk menjadi dokter. Fokus utama memang tetap pada hubungan (tak terpisahkan!) antara Dodo dan Kartika, tapi film versi ini juga memberikan lebih banyak soal hubungan antara Kartika dengan ayah angkatnya (yakni kepala penjara) yang tersentuh oleh hubungan ayah-anak Dodo dan Kartika. Hubungan yang telah direnggut dari si kepala penjara.

Selain memperlihatkan soal hukum semena-mena sama rakyat kecil tak berdaya, film juga mengangkat soal kehilangan orang yang disayangi. Betapa itu jadi perasaan yang bakal terus menghantui. Gak bakal hilang. Dan adalah tergantung masing-masing untuk bersikap gimana terhadap perasaan tersebut. Kartika menggunakannya untuk mendewasakan diri. Kepala penjara bertekad untuk tidak membiarkan orang lain mengalami perasaan sedih serupa. Sementara antagonis di sini justru menyerah kepada perasaan duka tersebut dan membuat hal jadi semakin buruk dengan ‘menularkannya’ kepada orang lain. Sikap yang gak healing siapa-siapa.

 

Sailor Moon – Moon – Bulan – Moon cake – Kue terang bulan – Martabak!

 

Supaya gak depresi-depresi amat, humor yang jadi nilai jual film aslinya tetap dipertahankan. Di tangan sutradara lain ini bakal jadi tantangan yang berat, karena sekarang film memuat dua tone yang semakin kontras. Tapi Hanung yang memang kuat arahan dramatis dan karakternya, membuat itu tampak mudah. Range yang diperlihatkan film ini luar biasa. Antara bagian sedih (banget), adegan kekerasan polisi yang cukup bikin meringis, ama obrolan berbau komedi, mampu hadir tanpa terasa mentok. Melainkan berimbang dan natural. Contoh gampang untuk melihat ini: lihat saja karakter napi yang diperankan oleh Indro Warkop. Aku gak pernah melihat Indro bermain di luar role komedi receh. Tapi di sini, aku kadang jadi genuinely ngeri melihatnya kayak preman beneran, dan kadang kocak juga. Penampilan akting di film ini semuanya meyakinkan seperti demikian. Vino G. Bastian sebagai Dodo; tak pernah terlihat kayak mengolok-olok. Respek terhadap karakter, timing komedi, serta bobot drama berhasil ia sajikan tanpa over dan tumpang tindih. Yang make or break the movie jelas adalah akting karakter anak kecil. Serius. Bukan hanya di film Indonesia, tapi di film luar juga. Karakter anak kecil akan jadi penentu karena menggarap karakter anak kecil itu tantangan bagi orang dewasa. Jangan sampai anak kecil itu malah kelihatan seperti orang dewasa yang berusaha menjadi anak kecil. You know what I mean. Apalagi konteksnya adalah anak kecil yang mandiri dan cerdas. Untuk itu aku salut sama Graciella Abigail, yang mampu menerjemahkan tantangan peran yang diarahkan Hanung menjadi sebuah penampilan akting yang benar-benar deliver. Gak hanya tampak seperti dia dipakai karena jago nangis, atau karena mirip sama counterpart versi Korea. Inilah satu lagi kekuatan film ini. Di balik keberhasilannya jadi mirip sama versi Korea, film ini juga nawarin sesuatu yang lebih.

Setting Indonesia berhasil dirasukkan ke dalam cerita. Antagonis yang ketua partai politik menambah tajam gagasan soal hukum yang mudah dikendalikan sama yang punya kuasa. Choir yang jadi kasidah, suasana natal yang diubah menjadi menjelang lebaran, membuat film bukan hanya dekat tapi juga berhasil dimasukkan ke dalam bahasan soal pengampunan dan ‘terbang’ dalam muatan yang spiritual. Diversity film tetap terjaga lewat celetukan karakter dan adegan-adegan lain yang benar-benar menghidupkan suasana di penjara. Adegan yang menurutku dilakukan lebih baik oleh film ini dibandingkan dengan film aslinya adalah saat para Napi berusaha merekaulang kejadian kematian yang dituduhkan kepada Dodo. Adegan ini dilakukan di tengah-tengah lorong sel sehingga semua napi, bukan hanya yang satu sel, ikut melihat dan terinvolve ke dalam drama Dodo. Sehingga outcome dari adegan tersebut terasa lebih menggetarkan. Tapi ada juga adegan yang dilakukan film ini kurang kuat dibandingkan film aslinya. Misalnya pada adegan balon udara di menjelang akhir. Aku lebih suka adegan pada film aslinya, karena lebih gelora aja melihat para napi membantu menghalangi para polisi mengejar balon udara. Untuk soal adegan courtroom drama, aku gak sepenuhnya mengerti peradilan di Indonesia bedanya apa dengan di Korea Selatan, tapi buatku sebagai sebuah tontonan drama, adegan-adegan di courtroom tersebut sudah berhasil menjalankan fungsinya.

 




Melihatnya secara cerita memang tidak banyak perbedaan. Bangunan dan narasinya sama. Dialog-dialognya juga mirip dengan versi aslinya. Aku masih ingat karena malam sebelum ke bioskop aku tonton ulang versi Koreanya. Tapi film ini berhasil memasukkan konteks yang sedikit lebih dalam, dengan mengembangkan backstory dan relasi karakter lebih jauh lagi. Yang diincar oleh remake Indonesia ini adalah tontonan yang lebih dramatis. dengan mengusung konteks yang lebih lokal,  tanpa kehilangan ruh aslinya, Dan semua itu berhasil dilakukan. Dengan gemilang dan sungguh emosional.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MIRACLE IN CELL NO.7

 

 




That’s all we have for now.

Apakah memasukkan orangtua ke dalam penjara berarti memisahkan orangtua dari anaknya? Apakah itu hal yang manusiawi, atau hanya jadi manusiawi kalo orangtuanya adalah orang kaya seperti kasus di televisi yang tengah marak?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 5 (TOP GUN: MAVERICK. 12 CERITA GLEN ANGGARA, SAYAP-SAYAP PATAH, DC LEAGUE OF SUPER-PETS, BEAST, PREY, KAMU TIDAK SENDIRI, LIGHTYEAR)

 

 

Enggak kerasa kita udah berada di caturwulan terakhir 2022 aja! Orang bilang kalo sedang bersenang-senang, waktu memang serasa berlalu bagai terbang. Dan ya, memang empat bulan terakhir sepertinya terasa lebih cepat karena banyak film yang bagus-bagus.  Kayaknya belum pernah aku ngasih skor tinggi sesering beberapa bulan ini.  Dan mungkin jumlahnya masih  bertambah, karena ternyata masih ada beberapa film lagi yang belum sempat kuulas. Di sinilah tempatnya. Sekaranglah waktu untuk mereka. Delapan film, the last batch dari cawu kedua 2022,  inilah mini-review volume kelimaaaa!!

 

 

 

12 CERITA GLEN ANGGARA Review

Masalah utama yang lumrah kita temui dalam film cinta-cintaan remaja adalah tidak mengangkat kenapa si cowok dan si cewek karakter sentralnya harus jadi pasangan. Harus pacaran. Kebanyakan film tidak memberikan alasan yang lebih jauh selain karena kedua karakter itu sama-sama paling cakep, dan ‘cinta tak harus ada alasan’. Meski memang benar juga di dunia nyata toh kita bisa mendadak naksir kesengsem sama orang dalam sekali lihat, and we don’t know why pokoknya kita merasa harus jadian ama si dia, tapi tentu akan ada pelajaran yang kita dapatkan dari saat ternyata kita ditolak dan sebagainya. Singkatnya, cinta – seperti halnya perasaan lain seperti horor, trauma – memang harus digali, karena penggalian itu yang journey pada refleksi dunia nyata yang kita tonton sebagai film.

Karena itulah aku gasuka banget ama film Mariposa (2020), yang dangkal sekali memperlihatkan cewek menguber cowok, dan turns out mereka harus bersama itu benar sebagai reward yang dikasih gitu aja. Makanya juga, 12 Cerita Glen Anggara yang masih satu universe sama Mariposa ini, actually jadi cerita yang jauh lebih kuat dibandingkan film utamanya tersebut. Karena film garapan Fajar Bustomi ini benar-benar menggali kenapa Glen tertarik untuk memenuhi dua-belas permintaan Shena, dan akhirnya dia jadi jatuh cinta beneran. Tema ‘love make you a better person’ mengalir di balik kisah anak muda, yang juga menyisakan ruang untuk cerita persahabatan dan keluarga.

Yang masih kurang bagiku di film ini adalah stake. Tidak terestablish dengan kuat. Malah hampir seperti film takut untuk memberikan rintangan, karena di cerita ini yang diperlihatkan sebagai stake adalah persahabatan Glen dengan teman-temannya. Film seperti ngeri menggali kerenggangan Glen dengan teman-teman, dan akhirnya malah membuat cerita jadi aneh dengan justru bukan Glen yang harus berubah dan memilih sikap. Selain soal itu (dan soal film tidak banyak melakukan perubahan pada trope standar wish-of-dying-girl), film ini adalah peningkatan dari film utamanya, dan one of the better Indonesian’s teenager romantic story

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for 12 CERITA GLEN ANGGARA.

.

 

 

BEAST Review

Satu keluarga yang lagi berkunjung ke Afrika, diserang singa ngamuk yang melukai setiap manusia yang ditemui. Itulah film Beast kalo dilihat dari kulit luarnya. Sebuah aksi survival, kejar-kejaran manusia dengan hewan buas di alam liar. Namun jika ditilik ke lapisan di dalamnya, film garapan Baltasar Kormakur ini bercerita tentang pria, seorang dokter, yang masih diselimuti perasaan bersalah for not being there ketika istri dan keluarga membutuhkan dirinya. Perasaan yang dikontraskan dengan perasaan si singa yang mengamuk karena kawanannya ditembak mati oleh pemburu.

Film ini mengambil pendekatan yang grounded sehingga kita mengerti manusia dan hewan buas yang jadi pusat di sini adalah sama-sama ‘wounded animal’. Yang harus meresolve urusan masing-masing. Inilah yang mengangkat Beast di balik urusan menyelamatkan diri.  Nilai plus berikutnya datang dari kerja kamera. Dalam Beast banyak kita jumpai adegan-adegan long take, yang diambil supaya terkesan tanpa putus. Pengambilan seperti demikian menambah kepada dua hal. Pertama, kamera itu benar-benar menguatkan kesan manusia yang berada di tempat terbuka. Yang juga asing baginya. Kalo mau niruin rekaman audio di bioskop; kesan ‘all around you’ benar-benar tertonjolkan oleh film ini. Kedua tentu saja, menambah ke horor. Singa yang bisa tiba-tiba menerkam dari balik semak setelah kamera berputar mencari-mencari, mengikuti karakternya. Film ini gak gagal soal suspens dan kejutan, serta rintangan yang terus diberikan untuk karakter Idris Elba.

Yang pengen lihat Elba lawan singa, akan terpuaskanlah. Sayangnya, gak semua akting film ini konsisten grounded. Karakter dua putri Elba di sini akting dan sifatnya annoying banget. Mereka masuk ke tipe-tipe karakter konyol dan riweuh yang biasa ada (dan kita pengen mereka mati duluan) dalam genre serupa. Kalo gak ada mereka, atau seenggaknya, penulisan mereka dibikin lebih baik lagi, film ini akan menghibur maksimal

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BEAST

 

 

 

DC LEAGUE OF SUPER-PETS Review

Sayang lebaran sudah lewat. Karena aku mau minta maaf sama film ini. Minta maaf telah meremehkan dan ngirain ini cuma film animasi konyol untuk anak kecil melihat anjing bisa bicara dan bisa terbang. Itulah kenapa kita gak boleh judge film sebelum nonton. Gampang bagi kita untuk mutusin gak nonton hanya dari trailer, dari visual, dan bahkan dari judul. Tapi ketahuilah, film hanya bisa diketahui bagus setelah ditonton, dan kalo kita kelewat film bagus karena keburu judge di awal, kitalah yang rugi.

DC League of Super-Pets adalah contoh film yang gampang diremehkan. Tentu, ini memang proyek jual brand DC ke penonton cilik, tapi itu tidak lantas berarti filmnya jelek dan dangkal. Karya Jared Stern dan Sam J. Levine ini sukses bikin aku ternganga.  Ceritanya (walau simpel dan ‘gampang ketebak’ untuk standar penonton dewasa) actually punya muatan lebih dari sekadar kartun yang menghibur. Universe tempat SuperMan punya anjing peliharaan itu dibangun dengan seksama, kita bukan sekadar melihat ‘what if’ story, melainkan benar-benar ada karakter yang kuat. Di sini, The Rock menyuarakan Krypto, anjing super yang harus belajar makna pahlawan di luar kekuatan-super dari kawanan hewan peliharaan terbuang. Dan pada gilirannya, Krypto turut mengajarkan hewan-hewan tersebut bagaimana menjadi pahlawan. Ini sungguhlah cerita padat, dengan muatan pesan yang baik sekali untuk ditonton oleh anak-anak.

Humornya bisa sedikit agak vulgar, tapi harmless. Anak-anak akan teralihkan oleh kelucuan tingkah polah karakter. Aku yakin, kalo aku nonton ini saat masih berusia SD, film ini pasti akan jadi film favorit yang kutonton berulang-ulang. Sejajarlah dengan film Disney dan Pixar.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DC LEAGUE OF SUPER-PETS

 

 

 

KAMU TIDAK SENDIRI Review

Aku bisa mengerti kesulitan Kamu Tidak Sendiri dalam ‘menjual dirinya’ kepada penonton. Sutradara Arwin Wardhana truly membuat film yang susah untuk dijual, terutama di industri perfilman kita. Kamu Tidak Sendiri dia buat sebagai thriller ruang tertutup, tapi bukan exactly sebuah film kecelakaan lift. Bukan pula film bencana gempa. Ini bahkan bukan tentang whodunit, siapa yang menyebabkan semua itu terjadi. Sebenarnya Kamu Tidak Sendiri adalah drama psikologi seorang karakter yang menutup diri dari sosial – seorang bos yang tampil jutek. Ruang tertutup di sini bukan lift yang rusak itu, melainkan diri si karakter ini.

Jadi ya, film ini akan banyak sekali berisi dialog. Dimainkan oleh Adinia Wirasti, dengan desain karakter yang keras kepala dan unlikeable. Penonton yang mengharapkan kejadian seputar menyelamatkan diri dari bencana di lift akan cepat merasa terkecoh dan bosan begitu masuk ke babak kedua, saat lapisan dan backstory karakter si Adinia ini diungkap, lewat dialog-dialog dan kamera yang cenderung tak banyak bermanuver. It is hard sell buat penonton Indonesia. Makanya jarang film kayak gini muncul di industri perfilman kita. Sehingga, mau gak mau film ini harus kompromi dengan kemauan industri. Dan inilah yang bikin dirinya gak maksimal. Kamu Tidak Sendiri ini kalo mau bagus dan deep, ya memang harus embrace dirinya.  Full dialog tidak akan membuat film jadi boring, asalkan dialog-dialog tersebut benar-benar bermakna dan berfungsi menambah kepada bobot cerita. Tapi yang actually kita lihat adalah sebuah effort yang seperti berpindah-pindah begitu sampai ke titik-mentok, yakni titik yang dianggap gak bakal disukai. Dialog-dialognya juga kurang tight, dan lebih disibukkan dengan masukan candaan – karena takut penonton bosan.

Makanya film ini endingnya jadi lemah banget. Film gak berani bikin nasib satu karakter menyedihkan. Jadi ada satu karakter yang mestinya sudah mati, karena dengan kematiannya, Adinia sadar dan pembelajaran yang dialami karakternya mulai jalan. Tapi film membuat si karakter kunci ini enggak jadi mati (walaupun segala visual clue sudah nunjukin dia lebih cocok untuk mati), dan lemahlah sudah pembelajaran yang dialami karakter utama.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for KAMU TIDAK SENDIRI.

 




LIGHTYEAR Review

Setelah ditonton, kayaknya aku tahu alasan kenapa sensor di kita (dan beberapa negara lain) cukup ketat sehingga film ini tidak jadi tayang di bioskop. Di film ini ada adegan Buzz ke hyper space yang membuat dia mengalami waktu yang berbeda dengan seluruh semesta. Jadi, setiap kali Buzz pergi, semesta bertambah tua empat tahun. Nanti ada montase yang memperlihatkan Buzz kembali ke pangkalan setiap empat tahun sekali, dan setiap kembali, dia melihat rekannya yang cewek meneruskan hidup. Dari pacaran (sama sesama cewek), lalu empat tahun kemudian hamil, empat tahun kemudian punya anak, anaknya udah gede, punya cucu, dan akhirnya mati. Problemnya ada di pasangan sesama jenis yang hamil. Karena montase, maka tidak ada penjelasan, dan ini tentu akan bikin bingung anak-anak. Bisa-bisa mereka menganggap cewek ama cewek bisa hamil juga. It’s complicated things, yang butuh bantuan film menjelaskan.

So yea, Lightyear secara keseluruhan juga sama. Ceritanya yang mengusung tema eksistensi, kehidupan, dan umur, bisa tampak membingungkan bagi penonton anak-anak. Bagi penonton dewasa sih oke. Walau bagiku juga tampak ekstra ribet dengan segala konsep Buzz skip waktu dan sebagainya (nanti revealing Zork bahkan lebih complicated lagi), tapi secara usungan tema, film ini konsisten. Dan tema tersebut diceritakan dengan rapi. Menutup. Juga make sense semua alasan kenapa terjadinya. Urusan visual dan animasi, Lightyear masih memegang kuat standar Pixar. Film ini terlihat clean, mulus, aksi-aksinya banyak hal baru. Buzz yang dihidupkan sebagai manusia, bukan sebagai mainan lagi, terasa fully sebagai karakter, lengkap dengan backstory dan mannerism yang baru sekaligus bikin nostalgia. Mungkin yang sedikit aneh adalah, estetik filmnya yang terlalu keren itu agak terasa kurang cocok dengan ilusi atau gimmick yang studio angkat, yakni film ini adalah film yang ditonton oleh Andy dalam Toy Story tahun 1995. Tapi, yah, itu cuma nitpick kecil yang gak nambah banyak untuk bobot penilaian.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for LIGHTYEAR

 

 

 

PREY Review

Satu lagi film yang teroverlook olehku. Prey ternyata adalah prekuel dari Predator, dan seperti yang diindikasikan oleh judulnya, film ini actually beneran film Predator yang kreatif dibandingkan dengan film-film lain (yang judulnya ‘Predator apalah’ melulu)

Prey mengerti, dan membawa kita kembali ke akar yang membuat Predator jadi salah satu ujung tombak survival horor. Aspek dinamika antara pemburu dan yang diburu. Dalam predator original kita lihat gimana pria-pria militer berotot dan macho itu dioverpower oleh kekuatan lain di atas mereka. Sutradara Dan Trachtenberg semacam mengambil perspektif lain dari situasi ini. Perspektif yang juga fit perfectly ke dalam agenda feminism yang kerap diangkat di era sekarang. Prey kini mengambil sudut dari perempuan, pada masa kuno banget (we talk about tahun-tahun orang suku pedalaman), yang tentu saja masih menganggap perempuan inferior dari laki-laki. Dan begitu ada Predator, si perempuan harus membuktikan bahwa ‘si lemah’ bisa menaikkan status dirinya sendiri menjadi predator puncak.

Apa-apa yang kita rinduin dari survival horor klasik, ada di sini. Prey pun tidak berkutat dengan karakter annoying seperti pada Beast. Melainkan memang fokus memainkan dinamika kelemahan-jadi-kekuatan yang dipunya oleh protagonisnya. Aksinya bahkan lebih seru dengan kontras peralatan jaman dahulu melawan peralatan canggih. Satu lagi perbedaan yang bisa kita bandingkan dengan Beast, Prey menggunakan kamera yang lebih kalem. Di sini lebih banyak wide shot, karena perasaan yang diangkat di sini bukanlah sensasi danger di area terbuka, melainkan karakter yang harus memahami lingkungan di sekitarnya. Memanfaatkan lingkungan dan memperhatikan apa yang berbeda dari sana, semuanya adalah ‘senjata’ untuk berhadapan dengan musuh.

Lucunya nonton film adalah, kita bisa memasukakalkan ada alien pemburu ketemu suku pedalaman, tapi untuk logika seperti karakter yang berpindah tempat kita masih merasa perlu untuk benar-benar ada penjelasan ‘kok bisa’ . Nah, Prey ini bagiku kurang di bagian tersebut karena ada dua kali adegan karakter pingsan dan bangun-bangun dia sudah ada di situasi berbeda – dan  ada satu ‘jump’ ini yang buatku memudahkan penceritaan saja. Prey kurang tight di majunya plot saja. Selain itu, ini adalah film cantik, berbobot, dan sangat seru.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for PREY

 

 

 

SAYAP-SAYAP PATAH Review

Tak disangka tak dinyana, Sayap-Sayap Patah yang awalnya dapat preseden buruk karena isu politik, ternyata berhasil tembus dua juta penonton. Pertumbuhan organik yang benar-benar bisa dilihat keramaiannya. Tapi sebenarnya, kesuksesan jumlah penonton film ini bukan hal yang aneh. Kenapa?

Karena secara teori, sutradara Rudi Soedjarwo dalam comebacknya ini benar-benar memanfaatkan trope dramatis sebagai peluru utama. Trope soldier-with-pregnant-wife sudah terbukti ampuh untuk jadi alur dramatis yang membuat penonton kasihan sama nasib karakternya.  Coba tengok lagi film-film drama perang atau semacamnya, pasti banyak ditemui karakter pejuang yang punya istri hamil yang menunggu di rumah. Sayap-Sayap Patah memanfaatkan ini dengan maksimal. Lewat ngecast Nicholas Saputra, everyone’s darling since AADC, misalnya. Dan jelas membantu pula, film ini diangkat dari tragedi teroris nyata, yang terjadi bisa dibilang masih baru-baru ini. Itulah kekuatan utama Sayap-Sayap Patah. Bangunan dramatiknya secara genuine mengakar.  And that’s it.

Sesungguhnya film ini tidak melakukan banyak pengembangan. Ada tema soal kontras polisi dengan teroris (polisi tidak akan mengorbankan keluarga) sebagai tulang punggung development karakter utamanya, tapi pengembangannya kurang terasa natural karena si karakter ini tidak banyak diperlihatkan langsung bersinggungan dengan paham teroris tersebut pada awalnya. Film tidak banyak mengubah kejadian nyata, dan memasukkan ke dalam bangunan perspektif karakter. Yang dilakukan film hanya memilah, mana yang enak untuk masuk, dan kapannya. Itulah sebabnya film ini masih tampak berkutat sebagai propaganda. Pembahasannya masih kurang berimbang. Teroris diperlihatkan baik karena polisinya baik, tapi kita tidak melihat contoh polisi yang jahat di sini. Jadi seharusnya, semua teroris jadi baik, dong. Tapi tidak juga, karena di sini teroris harus jahat. Nah, bobot dinamikanya itu yang masih dangkal dilakukan oleh film ini.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for SAYAP-SAYAP PATAH

 

 

 

TOP GUN: MAVERICK Review

Bagi yang ngikutin blog ini cukup lama, pasti tahu aku paling kurang-semangat urusan film action. Banyak yang kupilih untuk diskip. Karena buatku, nulis tentang film action itu susah. Bingung mau angkat apa, sebab ya kekuatan film action ya di aksi-aksi itu. Bagaimana dengan budget dan teknologi sekarang, action bisa tercapai dengan semakin meyakinkan. Aku justru lebih tertarik kepada cerita, karena cerita bisa dijadikan bahan tulisan tanpa harus mengerti teknik-teknik bikin adegan kayak pada action. Makanya aku lewatin juga film karya Joseph Kosinski ini. You bet I’m not even watch the first film. Orang-orang yang merekomendasikan sekuel kali ini pun bilangnya “bagus, karena aksinya keren”. Tak menarik buatku.

Tapi nih ya, kalo kemaren ada yang bilang “tontonlah, ceritanya tentang si Tom Cruise yang udah pensiun jadi Top Gun, kini harus balik tapi dalam kapasitas mengajar. Dan salah satu muridnya adalah anak dari sahabatnya, yang tewas saat mereka beraksi di udara”. Aku pasti akan cabut ke bioskop saat itu juga. Nobody tells me about this movie dari ceritanya tentang apa. Dan begitu akhirnya aku nonton film ini, DHUARRR! rasanya mindblown banget melihat cerita mentorship dengan layer drama dan perspektif sekaya ini. I. Love. This movie. Film action yang gak hanya peduli pada aksi-aksi mahal dan menawan. Tapi juga sedemikian dalam menggali dan menghidupkan karakternya. Film sekuel yang tidak sekadar dibikin lagi untuk nostalgia. Tapi benar-benar melanjutkan cerita dari karakter yang begitu disukai.

Begitu tersold lewat penulisan, barulah aku jadi semakin mengapresiasi aksi-aksinya.  Karena ya, kalo kita sudah peduli sama karakter, stake aksi mereka di udara bakalan jadi demikian terasa. Bukan rahasia umum lagi, Tom Cruise selalu melakukan aksi-aksinya sendiri. Di film ini juga begitu, dan maaan, yang ia lakukan di sini bikin kita tahan napas. Karena aksinya grounded, gak terlalu wah, tapi kita tahu bahayanya seperti apa. Film ini punya kejar-kejaran pesawat yang seru dan fun. Yang paling aku suka adalah momen-momen Maverick melatih para Top Gun muda di udara.

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for TOP GUN: MAVERICK

 

 




That’s all we have for now

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



WWE Clash at the Castle Review

 

 

Terakhir kali WWE ngadain stadium show di United Kingdom itu sudah sekitar tiga-puluh tahun yang lalu. Tepatnya pada SummerSlam 1992. Main event saat itu adalah Kejuaraan Intercontinental antara Bret Hart yang mempertahankan gelarnya melawan hometown-boy British Bulldog. Dalam pertandingan yang dikenang sebagai pertandingan SummerSlam yang paling hebat tersebut, British Bulldog keluar sebagai pemenang. Diiringi sorak sorai penonton Eropa yang selalu bersemangat. Kejayaan itulah yang tampaknya pengen dirasakan oleh Drew McIntyre dalam Clash at the Castle. Ini adalah homecoming dari Drew, sehingga tidak ada lagi tempat dan saat yang lebih tepat bagi Scottish Warrior ini untuk menumbangkan Roman Reigns dari singgasana, di depan mata orang-orang sebangsa. Jadi stake bagi superstar yang paling kelihatan kematangannya ini sangat tinggi. Banyak fans, termasuk aku, yang percaya ini adalah waktu bagi Drew, tapi juga sulit membayangkan skenario Roman Reigns kalah seperti apa. Sehingga jadilah Clash at the Castle sebagai salah satu Premium Live Event WWE yang paling hype dan benar-benar dinantikan oleh fans, bukan hanya di Eropa tapi juga di seluruh dunia.

Kespesialan acara ini semakin diperkuat oleh reaksi penonton di Stadion Principality, Cardiff. Energi mereka seolah jadi tenaga listrik yang bikin show tambah semarak, aku bisa merasakan kemeriahan itu menguar ke luar layar komputerku. Yah, kita orang Indonesia memang cuma masih bisa mimpi merasakan keseruan nonton WWE langsung, dan menyaksikan Clash at the Castle kali ini rasa iriku sama penonton luar yang bisa nonton langsung semakin besar. Pecah banget soalnya! Penonton di arena terlihat sangat antusias dan have fun. Penonton Eropa memang gak ada lawan deh soal chant dan yel-yel. Mereka nyanyi-nyanyi manggil Bayley, sampai si Bayley yang mesti meranin heel jadi agak salah tingkah. Mati-matian mengembalikan heat kepada dirinya. Penonton Cardiff lalu nyanyiin bareng lagu Metalingus, waktu Edge keluar. Pop si Edge kayaknya yang paling meriah di antara yang lain. Satu-satunya yang ngalahin ramenya sorakan buat Edge ya si Drew McIntyre itu. Perjalanan karir Drew di WWE dirangkum epik lewat video footage, pake lagu entrance Broken Dreams yang dirindukan oleh semua orang, sebelum akhirnya Drew muncul dengan entrancenya yang sekarang. Disambut penuh gegap gempita. Menurutku WWE melewat kesempatan untuk jadi lebih heboh di sini. Alih-alih cuma di footage, kayaknya lebih dramatis kalo Drew memang muncul dengan entrance lamanya, sehingga dia berjalan ke ring bakal diiringi oleh nyanyian fans, seperti yang fans lakukan kepada Edge. Tapi mungkin saja WWE tidak menyangka penonton bakal seantusias dan terinvolve seperti itu. Gila memang. Bahkan di akhir acara, yang sedikit agak aneh itu, para fans di arena nyanyi bareng Drew McIntyre dan petinju Tyson Fury. Lagunya benar-benar outta nowhere. Lagu band Oasis!

Mungkin si Drew mau berpesan supaya penonton gak look back in anger terhadap hasil match main eventnya.

 

Dari Chosen One ke parodi anak band hingga ke Warrior seperti yang kita lihat sekarang, Drew telah menempuh banyak perkembangan. Actually, dia sempat memegang posisi teratas saat era pandemi. Sehingga match melawan Roman Reigns, di tanah bangsanya sendiri ini, memang berarti banyak bagi Drew McIntyre. Lebih daripada simbol slay the dragon yang jadi tema acara. Match mereka memang dibook oleh WWE sebagai sesuatu yang epik.  Rasakan deh feelnya, beda banget dengan tipikal main event WWE sebelum ini. Duelnya itu kerasa di sini. Masing-masing pihak merasa pantas jadi juara. Aku suka Roman Reigns nambah heat dengan ngambil mic dan minta penonton mengacknowledge dirinya di tengah-tengah berantem.  Finisher lawan finishernya pun tak terasa seperti spam. Gak kayak banyak-banyakan finisher. Melainkan ada intensitas terbuild setiap kalinya. Masing-masing kick out, bikin penonton semakin terhujam  ke dalam emosi. WWE juga kembali menggunakan interferensi, yang dimainkan sebagai penambah lapisan hiburan. Seperti misalnya saat Theory yang datang buat cash in, tapi malah kena bogem Tyson Fury dari sesi penonton. Puncak dramatisnya ya memang saat ending. Saat Drew seperti sudah mau menang, tapi ternyata ada satu anggota keluarga Roman Reigns lagi, satu Bloodline lagi yang menghalangi. Aku notice ada spanduk fans yang bertuliskan “If Roman wins, we riot”, dan aku setuju kalo Reigns menang dengan cara biasa, penonton bakal marah. Tapi kali ini WWE menghadirkan satu faktor yang baru. Faktor yang memperkuat tema maju bersama keluarga yang diincar oleh WWE.

Bicara tentang keluarga, ada satu lagi yang jadi sorotan di acara ini. Yakni keluarga Mysterio. Rey dan anaknya, Dominik, sudah cukup lama di-bully oleh faksi Judgment Day.  Di acara ini, Rey join forces dengan Edge, mantan ketua Judgment Day, melawan Damien Priest dan Finn Balor, dengan Rhea Ripley terus mengintai bukan hanya mereka tapi juga Dominik di luar ring. Secara match, aku memang gak ragu sama Rey dan Edge yang dulunya memang rekan tag team (they even beat Brock Lesnar sebagai team di 2002 itu). Yang menarik dari partai ini adalah ceritanya. Antara Edge kembali dikhianati oleh yang ia anggap teman, atau malah Rey yang dikhianati oleh anaknya sendiri. WWE akhirnya memberikan jawaban sesuai match dengan cara yang tetap mengejutkan, meskipun beberapa dari kita mungkin telah mengantisipasi. Plots thicken di sana-sini, membuat setiap match jadi semakin berarti.

Kayaknya udah lama sekali di WWE, pertandingan perempuan tidak menjadi highlight utama. Clash at the Castle punya 6 pertandingan, dan empat di antaranya benar-benar terasa kuat dan penting. Sementara dua pertandingan lagi – yang kebetulan adalah pertandingan perempuan – tidak sestrong empat yang lain. Bukan karena pertandingannya jelek, tapi hanya bukan fokus utama saja. Pertandingan pembuka tim Bianca, Asuka, dan Alexa melawan trio Bayley-Iyo-Dakota sangat amat fresh. Ini adalah kali pertama Damage Control bekerja sama sebagai tim. Certainly, ini bukan match yang enggak-penting. Malah partai ini salah satu selling point utama. Hanya saja memang tidak terasa seurgen match yang lain. WWE menggarap match ini, seperti layaknya match dengan banyak superstar, you know, bergantian unjuk kebolehan. Penonton pun tidak tampak benar-benar peduli sama matchnya, melainkan lebih ke seru-seruan dengan interaksi kepada para superstar. Bayley kayaknya yang paling mereka peduliin. Alexa, Asuka, Iyo mendapat respon yang standar, sementara Dakota Kai kasiannya kayak dapat respon paling minim. Sekali lagi, bukan karena mereka jelek. Penontonnya saja yang sepertinya belum panas, dan mau hore-hore saja di awal. Bianca Belair aja popnya tidak segede yang seharusnya.

Pertandingan cewek yang satunya, Kejuaraan Cewek antara Liv Morgan melawan Shayna Baszler adalah yang paling ‘dicuekin’ sama penonton yang heboh. Dan aku bisa melihat kenapa. Liv Morgan adalah fan favorit yang jadi juara karena Money in the Bank. Ngalahin Ronda Rousey.  Nah alih-alih membangun Liv sebagai juara yang membuktikan diri – bahwa kemenangannya atas Ronda bukanlah karena koper ataupun keberuntungan, WWE malah menaruh Liv sebagai juara underdog. Padahal build upnya sudah benar. Liv diceritakan belajar teknik submission, untuk mempersiapkan diri melawan penantang yang masih sekaliber dengan Ronda, yakni Shayna. Dalam match kita juga melihat gimana Liv berusaha menggunakan submission tapi dengan gampang ditepis oleh Shayna, dan Liv juga dibuat menang dengan clean. Tapi ini memang tidak dramatis karena belum benar-benar memperlihatkan struggle dari Liv. Itulah yang sebenarnya dicari oleh penonton, tapi tidak mereka dapat. WWE harus segera membook Liv dengan lebih kuat. Kalo kata aku mah, terusin saja storyline Liv belajar submission, dan bikin karakternya berkembang menjadi pengguna submission. Sehingga next time dia bertemu dengan Ronda, things would be very different, dan perkembangan Liv nyata terasa. Soalnya jarang juga kan ada storyline soal superstar yang berpindah gaya tarung.

Family Clash at the Castle

 

Liv harusnya dapat character development tegas seperti yang dilakukan WWE pada Matt Riddle. Karakter Riddle yang selama ini santuy kini diberikan match dan storyline yang emosional. Yang digali dari tempat personal. WWE dulu sering pake bumbu begini dalam storyline. Sehingga dulu feud itu benar-benar terasa kayak antara dua orang yang berantem dan saling benci beneran. Semoga dengan Triple H di belakang kemudi, feud-feud personal semakin banyak kita jumpai. Riddle dan Rollins benar-benar menyuguhkan pertandingan penuh emosi. Development Riddle di sini adalah dia yang biasanya enjoy kini bertarung dengan kepala panas, sehingga malah jadi mudah dimanfaatkan oleh Rollins.

Mengetahui kapan harus memainkan karakter, kapan harus menyerahkan semua kepada aksi ring yang intens, sepertinya itulah rahasia kesuksesan acara pro-wrestling di jaman fans yang pinter tapi cepat bosan seperti sekarang ini. Itulah sebabnya kenapa rejim Vince gak disukai, karena terlalu fokus kepada drama dan karakter. Penonton jadi cari alternatif match yang seru. Triple H berusaha menyeimbangkan ini. Dan dia sudah cukup banyak ‘latihan’ ketika menangani NXT. Triple H mengerti pentingnya match yang pure aksi bagi para fans. Maka dia memberikan kita match yang aku yakin disetujui banyak kalangan sebagai MATCH OF THE NIGHT, yakni Gunther melawan Sheamus, Aku mungkin salah ngitung jam, tapi aku yakin near fall pertama yang kita dapatkan terjadi di menit kelima belas match ini. Bayangkan. Sheamus dan Gunther fokus menyerang dengan tampar-menampar dada. Kalo dibaca mungkin terdengar konyol, tapi man, dada Sheamus langsung memar dan berdarah, padahal belum sampai satu menit match ini berjalan. Level main-fisik match ini luar biasa, tanpa kehilangan bobot drama, karena actually penonton jadi benar-benar tersedot. Dan lantas terombang-ambing begitu false finish after false finish berlangsung. Honestly aku sangsi Gunther bisa beradaptasi dengan style entertainment di main roster, tapi aku terbukti salah. Gunther bermain ke dalam gaya ini dengan sangat baik. Psikologi ringnya juga bagus. Dan dia tahu gimana mancing drama lewat move set. Seperti yang ia lakukan ketika menggunakan apa yang tampak kayak botch powerbomb tapi sesungguhnya adalah powerbomb terperinci yang khusus dilakukan untuk mencederai lower back Sheamus.  Powerbomb ngilu yang actually berbuah adegan dramatis sebagai finishing match.

 

Clash at the Castle adalah show yang heboh dan fun oleh reaksi dan semangat penonton. Didukung oleh empat (dari enam) match yang sangat-sangat terbuild up, punya cerita dan drama, serta aksi fisik yang seru dan meyakinkan. Acara kali ini begitu padat dan menghibur, ekuivalennya mungkin ya benar, seperti melihat orang melawan naga!

 

Tampar-tampar dada, they said. It’d be fun, they said

 

 




Full Results:

1. SIX WOMEN TAG TEAM  Bayley, Dakota Kai, Iyo Sky mengalahkan Biance Belair, Asuka, dan Alexa Bliss
2. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP Gunther bertahan dari Sheamus
3. SMACKDOWN  WOMEN’S CHAMPIONSHIP Liv Morgan masih juara ngalahin Shayna Baszler
4. TAG TEAM Edge dan Rey Mysterio menang dari The Judgment Day 
5. SINGLE Seth Rollins unggul dari Matt Riddle
6. UNDISPUTED WWE UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Juara Bertahan Roman Reigns masih memegang rekor juara terlama dengan ngalahin Drew McIntyre

 

 




That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.