CHILD’S PLAY Review

“And this is a friendship that will never ever end”

 

 

Lewat beragam poster teaser yang cerdas, meski sedikit terlampu nekat, digambarkan secara eksplisit Chucky membantai tokoh-tokoh mainan Toy Story. Reboot Child’s Play di negara asalnya memang tayang berbarengan dengan Toy Story 4 (2019). Dan ternyata, untuk menambah kesan ‘mengerikan’, kesamaan film ini dengan animasi Pixar tersebut tidak berakhir sampai di sana.

Pertama-tama, pemilik Chucky juga bernama Andy. Tapi tentu saja tidak semua film yang memajang tokoh anak kecil dimaksudkan sebagai tontonan untuk anak-anak. Terutama jika tokoh anak tadi punya mainan yang mengucapkan sumpah serapah dan bisa belajar untuk berbuat kekerasan. Chucky dalam Child’s Play adalah gambaran gelap dari keinginan Woody dan teman-teman dalam Toy Story. Film ini juga memiliki filosofi yang sama; semua mainan ingin dimainkan. Seperti Woody kepada Andy, Chucky kepada Andy-nya (as in, Andy miliknya satu-satunya) juga punya masalah ketergantungan. Hanya saja, ketergantungan Chucky – ‘kepolosan Chucky’ – enggak ada imut-imutnya sama sekali.

Dalam adegan pembuka kita melihat Chucky merupakan produk boneka modern merek Buddi yang diprogram untuk berteman selamanya dengan anak yang membeli. Tapi Chucky diprogram untuk bisa berbuat jahat, berkat salah satu pekerja yang sakit hati diperlakukan semena-mena oleh mandor pabrik mainan. Chucky yang matanya menyala merah alih-alih biru itu pun sampai di tangan Karen (peran ibu muda yang cool yang cocok banget dibawakan oleh Aubrey Plaza), seorang single-parent berjuang sebagai karyawan supermarket, yang menghadiahi Chucky kepada anaknya. Andy (Gabriel Bateman memainkan anak menjelang ABG yang edgy) yang tak punya teman di lingkungan baru mereka pada awalnya memang senang bermain dengan boneka Buddi yang canggih. Dengan ‘safe protocol’ tak pernah terinstall, Chucky punya keistimewaan yang membuat dirinya tidak semembosankan boneka-boneka yang lain. Tapi yang diperbuat oleh Chucky semakin lama tampak semakin berbahaya. Boneka ini hanya mau membuat Andy senang, namun dia tidak punya batasan. Andy yang merasa ngeri mulai menjauh, tapi itu hanya membuat Chucky semakin bernapsu untuk terus bermain bersama. Mayat-mayat pun mulai menumpuk di sekitar Andy, yang berjuang untuk membuktikan semua kejadian tersebut merupakan ulah dari sebuah boneka.

ide judul film horor: Hutang Buddi Dibawa Mati.. ayo, Produser-Produser, ditunggu teleponnya

 

Sejak 1988, Chucky susah untuk dibunuh. Literally. Bahkan pembuatnya saja, Don Mancini, gak sanggup untuk menghentikan lajunya bibit-bibit sekuel yang terus bermunculan. Child’s Play versi baru ini lucu lantaran lahir di saat sekuel orisinalnya masih berlanjut. Bahkan bakalan ada series yang menyambung timeline di cerita aslinya.  Sutradara asal Norwegia, Lars Klevberg, jelas punya visi yang begitu kuat sehingga dengan pedenya dia tetap membuat Child’s Play. Paling tidak, dia paham untuk membuat suatu reboot atau remake dibutuhkan perubahan dan alterasi yang benar-benar matang, perlu gagasan yang membuat cerita tadi terasa segar. Jadi, ya, kita akan melihat banyak perbedaan signifikan antara Child’s Play versi ini dengan versi orisinal-dan-peranakannya. Terutama dari si Chucky itu sendiri.

Untuk meremajakan kisah ini, Klevberg membuang elemen supernatural. Chucky tidak lagi dirasuki oleh jiwa Charles Lee Ray, seorang kriminal penyembah setan. Chucky di film ini adalah sebuah gadget sangat canggih. Dia boneka yang dibuat oleh perusahaan elektronik besar – bayangkan Apple yang tidak membuat telepon pintar melainkan boneka pintar. Chucky dan boneka-boneka Buddi punya sistem online yang membuat mereka terhubung dengan aplikasi-aplikasi seperti saluran televisi, layanan transportasi, dan mainan-mainan elektronik. Jadi begitu Chucky mengamuk di paruh akhir cerita dengan menggerakkan berbagai macam barang-barang, kita merasa lebih ngeri karena lebih mudah membayangkan teknologi yang kita miliki tiba-tiba malfungsi alih-alih membayangkan ada makhluk poltergeist mengendalikan mereka. Mungkin kita bakal merasa sedikit ditegur, karena film ini menunjukkan malapetaka bernama Chucky itu justru datang dari kelalaian manusia dalam menangani teknologi. Melihat Chucky, berarti kita melihat perjalanan sesuatu yang tadinya netral menjadi berbahaya karena manusia di sekitar Chucky memutuskan untuk menggunakannya untuk sesuatu yang buruk ataupun tak berfaedah. Chucky belajar membunuh lewat televisi; dia menyaksikan Andy dan teman-temannya terhibur oleh adegan sadis. Sebaliknya, melihat Andy, berarti kita melihat pembelajaran tentang betapa kita kadang tidak menyadari kita tidak memerlukan hal yang kita pinta, sebab film ini menunjukkan harapan-harapan Andy diwujudkan oleh Chucky secara mengerikan.

Persahabatan hingga-akhir yang disebut oleh film ini boleh jadi merujuk kepada hubungan saling ketergantungan antara manusia dengan teknologi. Manusia menciptakan sesuatu berkenaan dengan kebutuhannya akan penghiburan. Sebaliknya, hiburan yang diciptakan justru berbalik menjadi mempengaruhi manusia. Dalam film ini kita melihat pengaruh kekuatan Chucky bisa begitu luas lantaran manusia sudah sedemikian konsumtifnya terhadap penggunaan teknologi, sehingga manusia menjadi lepas kontrol.

 

Klevberg, untungnya tidak seperti Chucky yang galau gak diajak main sehingga melakukan hal-hal di luar norma. Klevberg tahu batasan dalam ‘bermain-main’. Child’s Play yang dibuatnya punya perbedaan signifikan tetap mempertahankan sisi-sisi yang membuat film aslinya menjadi sensasi horor-cult. Film ini, sukur alhamdulillah, tidak dibuatnya ekstra kelam dengan backstory yang serius. Film-film Chucky selalu merupakan film horor hiburan yang konyol. Sadis tapi menggelikan. Kita dimanjakannya dengan adegan-adegan kematian yang over-the-top. Banyak hal-hal horor yang hilarious bertebaran di sepanjang film. Rating R membuat film ini lebih leluasa dalam bercanda dan berslasher ria. Aku tantang kalian untuk tidak tertawa miris melihat semangka yang dihadiahkan Chucky kepada Andy. Film ini tahu cara menjadi horor 80-an yang baik. Kita punya keluarga  dengan dinamika yang khas – aku suka cara film menghubungkan Andy dengan ibunya dengan seorang polisi yang juga punya ibu. Kita punya geng anak-anak yang berusaha merahasiakan sesuatu, yang di luar nalar dan kemampuan mereka. Kita punya adegan ‘one last scare’ dan satu dialog pamungkas dari seorang ‘final girl’. Film ini sudah memenuhi kriteria horor yang ikonik – ia akan menjadi modern-klasik. Pembuat film tampak banyak bersenang-senang. Ada banyak adegan easter egg dan foreshadowing, seperti ketika di awal-awal kita melihat ibu Andy melakukan gestur gantung diri sebagai tanggapannya terhadap reaksi Andy ketika dihadiahi Chucky. Mark Hamill, terutama, terdengar sangat asik menyuarakan Chucky. Hamill memberikan ciri tersendiri yang membuatnya berbeda, sekaligus tak dipandang sebelah mata.

Andy tadinya mau ngasih nama Han Solo kepada boneka Buddinya hhihi

 

Dan sebagaimana pada horor-horor jadul, tokoh pada film ini pun tak banyak diberikan karakteristik. Beberapa di antara mereka sangat klise. Dalam teman segeng ada yang gendut, ada yang aneh, ada yang jahat. Ibunya Andy punya pacar dan si pacar itu brengsek satu-dimensi yang punya masalah dengan Andy. Semua trope karakter itu mungkin bisa dioverlook, karena kita lebih peduli sama cara mereka dibuat mati nantinya. Tapi tetep saja kita berpikir, kalo saja mereka ditulis dengan lebih baik.  Kita tidak harus menunggu mereka mati, tertawa ngeri, dan kemudian tak peduli. Inilah yang membuat film-film horor barat itu yang terkenalnya malah sosok pembunuhnya. Mereka malah menjadi ‘hero’ yang kita cheer. Kita tidak merasa kasihan sama manusia-manusia yang menjadi korban. Padahal mestinya paling enggak kita peduli sama mereka. Salah satu hubungan yang menurutku bakal bikin film semakin asik ditonton adalah antara ibu Andy dengan polisi tetangga mereka. Aku ngarep mereka lebih banyak ditonjolkan lagi.

Perbedaan yang dibuat oleh sutradara, selain memberikan rasa segar, juga menjadi salah satu kekurangan. Chucky dalam film ini kehilangan jiwa. Karena dia tak pernah seorang manusia seperti Chucky jaman dulu. Chucky kini hanya A.I. Film berusaha membuat dia tampak polos – seperti E.T. malah, dia belajar dari sekitar. Tapi bahkan E.T. adalah makhluk hidup. Sedangkan di sini kita sudah tahu bahwa Chucky hanya diprogram. Kita tahu perasaan ingin berteman dan membahagiakan Andy itu artifisial sedari awal. Kemudian kita tahu dia dibuat bisa melakukan kekerasan yang malah membuat kita mempertanyakan aturan main dari kejahatan di dalam ciri Chucky. Kenapa dia tidak langsung berkembang sedari awal. Pada titik mana tepatnya Chucky meninggalkan kebaikan. Film ini lumayan mengeksplorasi lingkungan sekitar, yang berkaitan dengan perkembangan Chucky – soal Andy yang juga termasuk ‘kasar’ karena Ibunya sedikit terlalu bebas dalam hal parenting. Tapi tetap saja, Chucky yang sekarang punya karakter yang lebih tipis ketimbang yang dulu. Salah satu cara film untuk memperlihatkan seolah Chucky punya karakter adalah dengan adegan dia ‘bercandar’ dengan Andy saat mengubah wajahnya. But it’s more silly karena memusatkan perhatian kita semua kepada betapa anehnya desain Chucky yang sekarang. Cukup susah untuk mempercayai desain creepy seperti itu dipilih sebagai mainan sahabat manusia.

 

 

 

Pada dasarnya ini adalah salah satu dari sedikit sekali remake/reboot yang bener; yang dibuat dengan bener-bener ada perubahan positif dan visi baru yang membuatnya tampak serupa tapi tak sama. Film ini juga berhasil tampil seru, menyenangkan, menghibur, sekaligus berdarah – khas horor klasik jaman dulu. Aku bener-bener senang di bulan Juli ini dapet dua horor yang tau persis cara membuat horor yang menghibur. Jika kalian bisa tahan sedikit jumpscare dan enggak masalah soal desain baru Chucky yang hanya sedikit lebih rupawan daripada Annabelle, film ini hiburan yang cocok ditonton berkali-kali. Karena pengkarakteran yang tipis itu tak-pernah menadi sandungan besar untuk film-film seperti ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for CHILD’S PLAY.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Child’s Play, tampaknya, adalah seri pertama dan satu-satunya yang diciptakan saat originalnya masih berlangsung. Kayak gak mau kalah ama Annabelle. Menurut kalian kenapa orang suka menjadikan benda-benda polos seperti boneka sebagai simbol horor?

Kenapa, seperti Andy dan teman-teman, kita begitu excited melihat benda-benda lucu melakukan hal-hal kasar/keji/tak-senonoh?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

Extreme Rules 2019 Review

 

Dalam pertandingan extreme rules, semua bisa terjadi. Kecuali, kata Becky Lynch kepada Seth Rollins sang pacar sekaligus partner tag teamnya, menyebabkan pasanganmu kehilangan sabuk kejuaraannya. Dengan menjadwalkan pertandingan ‘ganda campuran’ di mana dua sabuk tertinggi brand Raw dipertaruhkan bersamaan – tim yang menang, lantas berhak mengangkat sabuk kejuaraan tinggi-tinggi penuh jumawa – WWE tampak menge-push makna ekstrim yang menjadi judul acara ini lebih jauh lagi. Di kubu juara bertahan kita punya pasangan real-life Lynch dan Rollins, memainkan dinamika gender dengan ayunan yang menarik; kedua superstar ini sama-sama ‘jantan’. Rollins cowok beneran, sedangkan Lynch di-dub sebagai “The Man”. Sedangkan pada kubu penantang bersanding Lacey Evans dengan jurus maut tinjuan tangan kanan yang diberi nama “The Women’s Right” dan Baron Corbin, si putra favorit semua kota yang enggak ragu untuk melakukan apa saja.

Melalui pasangan-pasangan ini, WWE seperti menyimbolkan perjuangan yang relevan tentang kesetaraan gender. Ada gagasan yang dinarasikan yaitu pria dan wanita punya status dan ‘kekuatan’ yang sama. Mereka saling bertanggungjawab terhadap pasangannya dalam suatu hubungan. Tidak mesti harus selalu pria yang menyelamatkan wanita. Dan tidaklah memalukan untuk mengakui wanita kadang lebih nasty dari pria.

 

Di samping itu, dapat kita temukan banyak indikasi WWE berusaha tampil lebih edgy, lebih ‘kasar’ daripada produk-produk mereka belakangan ini. Mulai dari kamera yang secara sengaja ngezoom close up pantat Evans yang merungkuk masuk ke dalam ring, hingga menuju penutup pertandingan, WWE terus saja ‘menggoda’ penonton. Puncaknya tentu saja adalah ketika Corbin menyarangkan jurus pamungkasnya kepada Becky Lynch. Aku gak bohong, buatku momen itu terasa magical. Unworldly. Terutama melihat reaksi Rollins. Rasanya seperti melegakan, ada beban yang lepas. Karena, thing is, walaupun berjudul ‘mixed tag team extreme rules’, pertandingan main event ini masih terkungkung oleh banyak peraturan. Pertama ada peraturan tradisional tag team; kau tidak bisa masuk sebelum ‘disembar’, itu berarti sebagian besar waktu kau atau pasangan tag teammu harus menunggu di pojok luar tali ring. Kedua, superstar cowok harus bertarung dengan cowok, dan cewek harus dengan cewek. Tidak boleh cowok memukul cewek. Ini membuat pertandingan ini terlihat kurang menarik, karena setengah-setengah. Kenapa mereka tidak langsung saja diadu di dalam ring, empat-empatnya sekaligus. WWE dengan sengaja membuat seperti demikian, demi alasan storytelling. WWE ingin membangun antisipasi penonton. Mindsetnya adalah menahan-nahan memberikan yang penonton mau, dan ketika waktunya tiba, berikan sebagian kecil saja dan penonton akan puas. Malah meminta lebih dan penasaran pengen tau kelanjutan. Dan kupikir taktik yang mereka lakukan ini berhasil. Tentu saja dengan harga mahal berupa pertandingannya sendiri menjadi tidak seberapa menarik.

“Don’t be jealous cause they like what they see”

 

Tapi untuk menutupi itu, WWE menyiapkan banyak momen-momen menghibur di awal-awal. Beneran deh, in fact, the worst dari acara kali ini memang cuma dua match terakhir. Meskipun memang bummer sih, karena dua pertandingan besar itu adalah kejuaraan utama. Kofi Kingston melawan Samoa Joe benar-benar standar, dengan hasil pertandingan sangat melukai citra Joe sebagai kontender seram yang serius. Sisa partai dalam acara yang berlangsung di kampung halaman ECW ini (Philadelphia) bisa dikategorikan ke dalam bintang-tiga, jika kalian mau memberi skor masing-masingnya.

Lashley dan Braun Strowman menyuguhkan perang-monster yang cukup heboh. Hasil akhir dari Last Man Standing mereka dilakukan dengan teatrikal; Strowman menyeruak keluar dari kotak kayu, yang membuat pertandingan yang mestinya bisa lebih baik jika waktunya sedikit dipersingkat tersebut menjadi terasa baru dan menyegarkan. Handicap antara Bayley melawan Alexa Bliss dan Nikki Cross berfungsi untuk menguatkan tiga karakter ini secara bersamaan, dan untuk hal tersebut, pertandingan ini berhasil menjalankan fungsi. Alur dan aksinya sendiri tidak spesial-spesial amat – personally, aku kesel Bliss gak menang – but it makes so much sense. Belum jelas apakah ketiganya masih akan bareng dalam satu program lagi untuk berikutnya, tapi yang dapat kita simpulkan dari pertandingan ini baik Bayles, maupun tandem Bliss dan Cross, sama-sama masih jauh dari akhir babak saga mereka. Hal yang sama bisa kita simpulkan dari pertarungan AJ Styles melawan Ricochet dan pertarungan tagteam Revival melawan Kembar Uso. Mereka semua menghadirkan laga yang bikin kita menggigit kepalan tangan, namun masih terkesan ditahan-tahan. Surely, program mereka masing-masing masih akan terus berlanjut, karena masih  banyak potensial cerita dan karakter yang belum dikeluarkan.

Jika disuruh memilih superstar mana yang menjadi MVP pada malam ekstrim itu, maka jawabanku akan berputar di antara tiga superstar. Aleister Black. Otis dari tagteam Heavy Machinery. Dan, meskipun kedengarannya ‘aneh’ karena ketinggalan jaman; The Undertaker.

Debut-ulang Black dilakukan dengan sangat tepat. ‘Mengumpankannya’ kepada Cesaro jelas pilihan yang berbuah manis. Semua berakhir win-win dalam skenario ini. Cesaro yang punya teknik super secara natural menjadi lawan yang menarik untuk Black dengan serangan strike. Melihat Black dilempar ke sana sini sebelum akhirnya menyerang telak sungguh sebuah pengalaman yang memuaskan. Otis, on the other hand, adalah idola in the making. Aksi-aksi si superstar ini begitu menghibur untuk disaksikan. Dan tentu saja tidak ada ruginya memasangkan Heavy Machinery di antara tim-tim solid seperti New Day dan Daniel Bryan dan Erick Rowan. Semua superstar dalam triple threat tag team tersebut tampak kuat dan menarik. Untuk beberapa waktu aku sempat yakin Heavy Machinery yang bakal menang. Karena begitu asyiknya mereka terkonek kepada penonton.

Apakah singlet Undertaker kebalik?

 

Kemunculan Undertaker menolong Roman Reigns dalam perseteruan melawan geng Shane McMahon tak pelak memang mengangkat alis banyak orang. Terlebih Undertaker baru saja terlibat salah satu pertandingan terburuk di sepanjang karirnya; menonton matchnya melawan Goldberg di Saudi Arabia musim lebaran lalu seperti menonton kakek-kakek yang sedang rebutan remote tv. Penonton juga sebel melihat Shane yang terus-terusan mendapat spot, sementara Reigns berada di zona netral. Penonton pengen melihat benefit untuk Drew McIntyre, dan Elias, dengan keterlibatan mereka di storyline ini. Sepanjang match aku juga berharap fokus ada pada MyIntyre. Tapi Undertaker tampaknya adalah superstar yang paling overgiver yang pernah berjalan dalam ring WWE. Dengan cepat dia mencuri perhatian. Penampilannya begitu prima dalam pertandingan pembuka ini. Aksi pertandingan ini cukup keras, dan Undertaker tak tampak kepayahan. Interaksinya dengan McIntyre, juga dengan Shane, ternyata sangat menghibur. Sejurus kemudian akan menjadi jelas untuk kita bahwa pertandingan ini sebenarnya lebih berfungsi sebagai ‘pemulihan’ nama Undertaker. Dan mereka melakukannya dengan cukup baik.

Ketika pembicaraan beralih kepada momen paling keren, ada banyak kandidat yang bisa dipilih, range dari komentator Renee Young menyebut kata “fucked” hingga kemunculan Brock Lesnar ‘menguangkan’ kopernya. Namun yang paling mencuat tentu saja adalah momen speech dari Kevin Owens. Yang serta merta membuatnya menjadi MVP kejutan, orang keempat yang paling menarik sepanjang acara. Aku benar-benar suka pada arahan yang diberikan kepada Owens. Dia menyuarakan kejelekan-kejelekan yang ada pada WWE; gimana Shane selalu mendapat spot, gimana superstar-superstar yang lebih membutuhkan ditelantarkan begitu saja oleh WWE. Karakter Owens ini jika dilakukan dengan benar, bukan tidak mungkin akan menjadi Stone Cold versi kekinian. Yang punya attitude kritis, berani, penuh api, dan dibacking oleh jurus Stunner yang sungguh devastating. Penulisan cerita dan karakter yang meta seperti ini boleh jadi datang dari Eric Bischoff yang baru-baru ini diberitakan menjadi executive director untuk Smackdown, barengan dengan Heyman untuk brand Raw.

 

 

 

The change is coming. Perlahan-lahan WWE menunjukkan keterbukaan untuk menjadi lebih cadas. Lebih menggigit dengan konten-konten yang tidak melulu kekanakan dan bermain aman. Extreme Rules, adalah bagian dari proses perubahan tersebut. Pertandingan-pertandingan dalam acara ini sebagian besar seru, namun tidak terasa kosehif satu sama lain selain sama-sama berfungsi untuk menginvest kita kepada momen gede involving interaksi cowok-cewek di penghujung acara. The Palace of Wisdom memilih kejuaraan tag team Smackdown antara tim Daniel Bryan dan Rowan melawan Heavy Machinery melawan The New Day sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

Full Results:
1. NO HOLDS BARRED Undertaker dan Roman Reigns mengalahkan Shane McMahon dan Drew McIntyre
2. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Revival bertahan atas The Usos
3. SINGLE Aleister Black ngalahin Cesaro
4. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP HANDICAP Bayley tetep juara ngalahin Nikki Cross dan Alexa Bliss
5. LAST MAN STANDING Braun Strowman menghancurkan Lashley
6. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT The New Day jadi juara baru mengalahkan Daniel Bryan & Rowan serta Heavy Machinery 
7. UNITED STATES CHAMPIONSHIP AJ Styles merebut sabuk dari Ricochet
8. SINGLE Kevin Owens KOin Dolph Ziggler
9. WWE CHAMPIONSHIP Kofi Kingston retains over Samoa Joe
10. RAW WOMEN’S & UNIVERSAL CHAMPIONSHIP MIXED TAG TEAM EXTREME RULES Becky Lynch dan Seth Rollins menang dari Baron Corbin dan Lacey Evans
11. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP MITB CASH-IN Brock Lesnar jadi juara baru ngalahin Seth Rollins

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ROCKETMAN Review

“Worry about loving yourself instead of loving the idea of other people loving you”

 

 

Tidak semua orang tahu nama asli Elton John adalah Reginal Kenneth Dwigth, karena musisi ini memang mengganti namanya secara legal karena kecintaannya terhadap musik blues. Biopic musikal Rocketman garapan Dexter Fletcher bahkan menjadikan soal nama tersebut sebagai poin vokal. Disebutkan dalam film ini, bahkan Elton John sendiri berusaha untuk ‘melupakan’ nama kecilnya. Karena, seperti yang ia ceritakan kepada kita dan lingkaran grup sharing  – film dimulai dengan sangat menarik kita melihat John datang sempoyongan lengkap dengan kostum setan dalam balutan gaya pop – bahwa hubungan dirinya sedari kecil tidak begitu baik dengan kedua orangtuanya. Terutama kepada ayah. Padahal bakat jenius dalam bermusik yang ia miliki merupakan turunan dari sang ayah. Dia seringkali dicuekin. Hingga dia tumbuh gede menjadi musisi sukses dan mengganti namanya. Orang-orang suka Elton John, yang ironisnya membuat dia sendiri semakin ‘benci’ dengan dirinya yang asli – si Reggie Dwight, anak kecil malang. Sungguh sebuah harga yang mahal untuk sebuah pengakuan!

Elton John is a larger than life persona. Tetapi Rocketman mendaratkan tokoh ini sehingga John kita rasakan tak ubahnya sama dengan kita semua. Tak-kalah menyedihkannya. Setiap hari kita melihat orang-orang di sekitar, dan juga kita sendiri, berusaha mengerjakan sesuatu supaya sukses dalam bidang masing-masing. Ada yang pepatah luar yang bilang “bekerja keraslah hingga suatu hari kau tidak perlu lagi memperkenalkan namamu kepada semua orang”. Film ini memperlihatkan kepada kita, melalui sudut pandang Elton John seorang musisi besar, sejauh mana seseorang mampu bertindak demi diakui oleh orang. John begitu putus asa pengen dilirik oleh ayahnya. John terkenal, tapi itu hanya ‘persona’nya. Dirinya yang di dalam, the real him, menjadi sangat tak-penting sampai-sampai John sendiri tak mau mengenali. Ketika dia membicarakan kemunduran dan masalah di pertemuan sharing pada adegan pembuka itu, barulah John memanggil kembali dirinya. Untuk melihat keindahan cerita film ini, aku sarankan kalian mendengarkan dengan seksama cara John menyebut dirinya dari awal cerita hingga akhir. Rasakan perubahan tone yang bergerak berlawanan dengan kejadian demi kejadian di mana dirinya semakin ‘hancur’ yang mengisyaratkan penyadaran yang perlahan terbit di dalam diri tokoh ini.

Jangan meroket ketinggian oleh puja-pujaan sementara kita lupa mencintai diri sendiri. Lupa sama diri sendiri. Jangan korbankan diri untuk mencari cinta dan pengakuan dari orang lain. Jadikanlah Elton John dalam Rocketman sebagai contoh kasus; kita akan berakhir tak bahagi dan semakin membenci diri sendiri. Lakukanlah apa yang membuatmu bahagia, demi dirimu sendiri.

 

Kita akan melihat dari kacamata Elton John, dan kalian semua tahu betapa fabulous-nya kacamata Elton John

 

Sehubungan dengan itu; penampilan Taron Egerton sangat memukau. Dia tidak sekadar menjadi Elton John. Quick fact: tidak akan ada seorang pun yang bisa menjadi Elton John like Elton John did. Egerton menyeruak ke dalam perannya ini dengan ‘keanggunan’ khusus ciptaannya sendiri. Seperti beginilah akting yang sebenarnya akting. Bukan masalah gigi palsu, atau wig, atau dandanan rambut yang disama-samain. Ketika kau memerankan karakter, kau menghidupi jiwa karakter tersebut dengan pendekatan personalmu sendiri. Seperti yang dilakukan Taron Egerton di sini. Egerton menyanyikan semua adegan musikal. Meskipun suaranya memang terdengar berbeda dari Elton John yang asli, tapi kita melihat dan mendengar jauh beyond semua itu. Kita tidak mendengar ada yang nyinyir mengatakan Taron Egerton merusak lagu legenda. Karena penampilan akting yang ia suguhkan membuat kita semua konek dengan jiwa tokohnya.

Dexter Fletcher sepertinya belajar dari kekurangan pada Bohemian Rhapsody (2018), sama-sama film tentang biografi musik legendaris, yang ia ambil alih setelah sutradara asli film tersebut keluar. Di Rocketman, dia tak lagi ragu untuk membahas hal-hal personal. Beserta isu-isu sosial yang menyertainya. Tak pernah film ini terasa terlalu mengkultuskan tokoh yang ia ceritakan. Elton John tergambarkan dengan lebih bebas ketimbang Freddie Mercury dalam Bohemian Rhapsody. Ketika disorot dari cahaya ‘lampu yang buruk’, tidak ada usaha overprotektif terhadap tokohnya, cerita malahan dengan berani menerjunkan kita ke dalam kepala sang tokoh. Dan ini membuat kita secara natural semakin peduli dan tertarik kepadanya. Mereka tidak menirukan seorang tokoh, melainkan memfantasikan seluk beluk sang tokoh. Makanya film ini terasa benar-benar hidup.

Cara bercerita mengemas semua arahan dan penampilan sedemikian rupa sehingga membuat Rocketman amat sangat menarik dan menyenangkan untuk diikuti. Visual yang dihadirkan benar-benar mengikat fantasi ke dalam realita. Atau, realita ke dalam fantasi? Aku gak tahu karena film benar-benar mengaburkan batas, membuatnya mengasyikkan untuk diikuti. Musik-musik yang diperdengarkan di sini benar-benar dimainkan, dinyanyikan, sebagai bagian dari sebuah penceritaan. Adegan bernyanyi bukan sekadar muncul ketika Elton John nampil di depan penggemar. Melainkan menyatu dengan kebutuhan emosional cerita. Seperti misalnya ketika John Kecil merasa sedih, kemudian dia lantas bernyanyi. Dan dia memandangi ayahnya. Kemudian kita mendengar ayahnya ikutan bernyanyi, menyuarakan apa yang ia rasakan. Semua orang di film ini bernyanyi. Menari dengan koreografi, sebagai bagian dari fantasi yang dirasakan jauh di dalam hati John. Membuat setiap poin-poin cerita film ini terasa segar, asik untuk disimak.

setelah nonton Rocketman, kita perlu menanyakan kepada diri kita sendiri: “Rami Malek who?”

 

Cerita seorang tokoh, dalam kasus ini musisi, memang perlu untuk mengambil langkah berbeda seperti yang dilakukan oleh film ini. Lantaran sebagian besar contoh film-film genre ini kita dapati selalu memilih untuk jadi biografi. Sehingga punya format yang sama. Format yang ‘membosankan’ kalo boleh kutambahkan. Film biopik seringkali akan dimulai sedari tokoh masih kecil, dan berlanjut remaja, dewasa, memasukkan semua fakta-fakta tentang si tokoh (apa-apa saja yang terkenal dari si tokoh). Yang pada kelanjutannya membuat ceritanya membosankan karena terlalu melebar sehingga terasa episodik, dan gak benar-benar kohesif dengan gagasan yang ingin disampaikan. Itu juga kalo gagasannya ada, sebab sering juga biografi atau cerita tentang seorang tokoh dipenuhi oleh kepentingan untuk pencitraan semata. Untuk kasus cerita tentang musisi, konflik yang ada pun sebenarnya kurang lebih sama. Mereka terkenal dan jauh dari orang yang dicintai. Mereka depresi. Party, mabok-mabokan. Terlibat narkoba. Penyimpangan seksual. Terjangkit penyakit mematikan. Semua itu adalah trope-trope biasa yang sering kita temukan pada biopik musisi apa saja. Pada Rocketman pun seperti demikian. Rentetan kejadiannya sangat seusai dengan formula tradisional. Akar masalah sedari kecil – montase sukses – terpuruk – sakit – bertengkar dengan orang yang paling dekat dengannya – kemudian menyesal dan berusaha bangkit sendiri.

 

 

Jika diceritakan dengan ‘lurus-lurus’ saja, film ini pastilah akan membosankan. Pacing ceritanya tak pelak memang bermasalah. Tapi film ini tetap hadir menyenangkan dan menarik lantaran dia diarahkan dengan cara yang berbeda. Biopik ini tidak bermaksud menjadikan dirinya sebatas meniru kejadian yang asli. Melainkan sebagai sebuah fantasi tentang sesuatu pada seseorang yang pernah terjadi. Inilah yang membuatnya hebat. Penampilan akting yang berkharisma dan penuh emosi. Adegan musikal yang menghipnotis. Tak ketinggalan pula gagasan, pesan yang berakar pada hubungan antaranggota keluarga. Semua hal tersebut sukses memopang sudut pandang seseorang tokoh yang begitu lain daripada yang lain. Sehingga semua orang bisa mudah terkonek dengannya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ROCKETMAN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Kenapa ya banyak musisi terjatuh di lubang depresi yang sama?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

 

IQRO: MY UNIVERSE Review

“Finding a better way to live”

 

 

Semesta film Iqro: My Universe tampak seperti tempat yang lebih-baik untuk ditinggali. The girls here are kickin’ ass in a science fair! Periode cerita ini berlangsung memang tidak gamblang disebutkan, tapi kita semua bisa berharap dunia tempat tinggal Aqilla adalah masa depan yang baik yang enggak jauh-jauh amat dari dunia kita sekarang. Kenapa aku bilang masa depan? Karena di film ini kita melihat ilmu pengetahuan dan agama berjalan saling bersisian, saling dukung mendukung. Tidak ada yang ribut mempermasalahkan bentrokan ilmu agama dengan sains di lingkungan Aqilla. Sah-sah saja untuk anak perempuan, berhijab, pengen menjadi astronot. Aqilla tidak dicurigai pengen bikin bom ketika membuat roket. It seems like a perfect place to live.

Tapi sepengetahuan Aqilla, Bumi semakin rusak. Lewat narasi ia menceritakan keinginannya untuk menemukan planet hunian baru, yang lebih baik, supaya semua orang bisa pindah ke sana. Makanya Aqilla getol banget pengen jadi astronot beneran. Ia percaya dengan pindah, maka hidup akan menjadi lebih baik. Begitu ia menemukan lomba vlog berhadiah kunjungan ke pusat pelatihan astronot, Aqilla langsung semangat untuk ikutan. Tapi opa (kakek) Aqilla yang menginspirasinya menjadi astronot, tidak bisa diajak bikin vlog sebab beliau pindah bertugas ke Inggris. Hanya ada satu cara lagi supaya Aqilla bisa terpilih. Yakni membuat vlog bersama astronot wanita Indonesia, Tsurayya. Aqilla bekerja keras supaya mendapat approval dari Tsurayya, hingga berdampak ke prestasinya sekolah. Aqilla tidak peduli. Dia harus menang supaya impiannya jadi astronot yang menemukan tempat tinggal baru bisa terwujud, sekaligus mengalahkan saingannya di sekolah. Cita-cita memang harus tinggi, tapi Aqilla terlalu sibuk sama hal-hal yang jauh di atas, sehingga melupakan hal yang lebih penting, yang berada lebih dekat di darat.

Aku enggak nonton film Iqro yang pertama, tapi kupikir film itu pastilah banyak diminati sehingga cerita anak-anak ini dibuatkan sekuelnya. Dan dari apa yang kulihat pada film kedua ini, Iqro bisa jadi memang semesta khusus film-film yang baik. Film ini akan mengajarkan kepada anak-anak seperti Aqilla untuk berani mengejar cita-cita. Iqro: My Universe juga bekerja dalam level spiritual alias rohani, karena apa yang tampak di luar sebagai cerita anak yang ingin menjadi astronot supaya bisa mencari planet yang lebih baik sebenarnya berbicara tentang fenomena khas yang relevan dengan pemeluk agama Islam sekarang ini; soal hijrah. Kendati begitu, film ini juga tidak serta mengekslusifkan diri. Sutradara Iqbal Alfajri membahas hijrah dalam konteks yang universal. Film simply menyebutnya sebagai pindah, dan selain Aqilla kita mendapat dua contoh kasus hijrah lagi yang paralel dan mendukung sebagai pembelajaran ‘pindah’ yang diinginkan oleh Aqilla. Pertama, subplot si opa yang pindah ke Inggris yang menurut Aqilla meninggalkan dirinya, yang kemudian si opa dihadapkan pada pilihan untuk kembali ke negara yang lebih membutuhkan atau tetap di sana. Kedua, subplot kerabat Aqilla yang baru saja pindah dari desa ke kota, yang bakal harus memilih menjadi beban ayahnya dengan belajar di pesantren atau kembali ke desa.

Aqilla harus menyadari bahwa ini bukan soal mencari tempat yang lebih baik, melainkan membuat tempat tinggal menjadi tempat yang lebih baik untuk semua orang. Yaitu dengan melakukan kebaikan yang dimulai dari perbaikan sikap diri sendiri. Karena hijrah sesungguhnya adalah pergi meninggalkan yang buruk dan mendatangi yang baik-baik.

 

ketika kau ngajakin bikin vlog dan nyuruh narsumnya megangin kamera

 

Really, Aqilla’s story is not half bad. Tentu, lapisan terluarnya ditampilkan sebagai cerita hubungan anak dengan mentor yang lebih tua, yang ‘galak’, tapi toh paling tidak hubungan utama cerita ini bertumpu pada pasangan yang tak-biasa; seorang anak dengan astronot wanita. Paling enggak, ini menceritakan dunia astronot yang tidak semua orang tau. Atau malah mau peduli untuk mencari tahu. Ada banyak hal yang mestinya bisa digali dan diintegralkan dengan gagasan cerita. Momen-momen seperti Aqilla latihan ala astronot; berjalan di dalam air, running an errand mencari benda-benda yang penting untuk penelitian antariksa. Film harusnya lebih memperbanyak soal ini. Tapi sayangnya, film seperti tidak tahu apa yang mereka punya. Tokoh Aqilla sebenarnya tergambar menarik. Dia gigih, dia punya attitude yang mungkin membuatnya tampak sengak tapi cocok dengan pembelajaran yang bakal karakternya dapatkan. Aqilla kabur dari rumah, bohong sama ibu, hanya supaya bisa ketemuan sama Bu Tsurayya – padahal ini ceritanya lagi bulan puasa loh. Aku dulu waktu kecil sempat bercita-cita jadi astronot, dan melihat Aqilla di film ini aku malu sendiri tidak benar-benar serius mengejar cita-cita tersebut. Aisha Nurra Datau yang memerankannya juga gak ancur aktingnya. Dia seharusnya bisa menjadi salah satu ikon anak-anak jaman now. Pembuat film yang lebih kompeten akan mengeksplorasi relasi Aqilla dan Tsurayya habis-habisan, menantang Aisha untuk beradu akting dengan Maudy Koesnaedi dalam level yang berbeda.

Tapi film ini tidak melakukan apa-apa terhadap keunikan yang ia punya. Latar bulan puasa, budaya rohani tidak pernah benar-benar dicuatkan. Kita hanya melihat mereka berbuka dan makan sahur. Dan sesekali mengaji. Menyebutkan ayat-ayat yang dijadikan sumber perkembangan ilmu pengetahuan. Itupun dilakukan dengan paparan semata. Tidak ada arahan yang spesial digunakan untuk mengakomodir cerita yang unik ini.

Mentang-mentang judulnya Iqro (sepertinya lebih mengacu kepada kitab yang dibaca anak-anak pengajian alih-alih kata Iqra yang berarti bacalah), film ini diceritakan dengan sangat tekstual. Formula cerita dimainkan dengan standar; sedikit nilai plus ketika film berusaha semaksimal mungkin mengaitkan subplot-subplot – namun plot utama si Aqilla benar-benar biasa. Seperti membaca buku cetak pelajaran. Pengetahuan dan keilmuan astronot disebut begitu saja. Bayangkan melihat anak yang bersemangat berinteraksi dengan mentor yang sok cuek; seharusnya bisa mengasyikkan. Akan tetapi film malah memberi mereka dialog tentang penjelasan kegunaan bunga Chrysantemum dan zat-zat kimia. Jadinya membosankan. Dialog film ini memang sangat parah. Hampir seperti penulisnya tidak tahu bagaimana cara merangkai dialog yang menarik. Dialog dalam film sebaiknya – SEHARUSNYA – hanya digunakan antara untuk memajukan plot atau untuk menunjukkan karakter. Dialog dalam film ini jarang sekali berfungsi seperti demikian.

saking biasanya nonton film ini rasanya kayak naik roller coaster yang tak mampu membuat kita berteriak

 

Terlalu banyak dialog yang berisi eksposisi alias penjelasan yang enggak penting karena kita semua sudah tahu. Kayak dialog papa Aqilla menjelaskan ke mama soal pencurian barang-barang di museum. Literally yang diucapkan papa adalah ringkasan apa yang sudah kita lihat di adegan sebelumnya. Sungguh adegan yang mubazir. Kita sudah tahu apa yang terjadi, masing-masing kita sudah melihat kejadiannya dengan mata kepala sendiri, I mean, anak kecil yang nonton juga pasti ngerti sama kejadian tersebut – siapa yang bersalah, siapa yang nolongin, siapa yang enggak sengaja terlibat. Jadi kenapa harus ada dialog yang menginfokan rangkuman kejadian tersebut. Ini yang penonton kita apa mamanya Aqilla. Di menjelang pertengahan ada yang lebih parah dari itu. Aqilla buka puasa ke rumah kakaknya, mereka bertemu untuk pertama kalinya, dan dialog yang dimainkan oleh dua tokoh ini adalah… Aqilla menceritakan ulang semua kejadian yang sudah kita tonton hingga di titik itu. Ikut lomba vlog, opanya pergi ke Inggris, dia berusaha minta vlog kepada Tsurayya, empat puluh lima menit kejadian yang sudah kita saksikan dirangkum dalam percakapan Aqilla dengan kakaknya.

Ini juga menunjukkan betapa uselessnya tokoh Kak Raudah yang diperankan oleh finalis Gadsam Adhitya Putri. Dan dia bukan satu-satunya tokoh tak-berguna dalam film ini, yang ‘tugas’ mereka cuma nyampein satu ayat atau ngasih satu benda, dan kemudian hilang hingga akhir cerita. Menjelang tamat, kan ceritanya hari raya tuh, nah bahkan tokoh-tokoh ini gak muncul lagi ikut merayakan lebaran bersama Aqilla. Aku mengerti bahwa mungkin tokoh-tokoh tersebut ‘penting’ karena punya peran di film pertama, tapi ya jangan dipaksain muncul juga kalo gak mampu memberikan banyak fungsi untuk mereka. Pastilah ada cara yang lebih baik, sehubungan dengan pemanfaatan karakter, untuk ngasih Aqilla satu benda atau satu informasi. Cerita ini sebenarnya mampu berdiri sendiri, hanya saja film memilih untuk membuatnya tak-lepas dari film yang pertama dengan tetap memasukkan tokoh-tokoh yang sebenarnya tak penting.

 

 

 

Sungguh berat rasanya buatku menulis ulasan ini, karena filmnya sendiri sebenarnya tergolong film yang bergagasan baik. Yang punya nilai untuk ditonton oleh anak-anak dan keluarga. Tapi penggarapannya sangat standar. This movie was so text-book, it barely has a soul. Kualitas penulisannya di bawah rata-rata. Banyak karakter tapi dialognya hanya berupa eksposisi dan rangkuman kejadian. Sehingga mereka semua jadi mubazir tidak berguna. Film ini bicara tentang tidaklah apa-apa untuk berusaha menggapai bintang setinggi-tingginya, planet kalo perlu, sayangnya dirinya sendiri tidak bertindak sesuai dengan prinsip tersebut. Film ini membidik rendah, tidak meroket ke angkasa.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for IQRO: MY UNIVERSE.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana sih pandangan kalian tentang hijrah? Apa pendapat kalian tentang tren hijrah yang marak dewasa ini?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

PARASITE Review

“… one must climb the ladder from the first step.”

 

 

Kecerdasaan tidak ada hubungannya dengan kekayaan. Jenius matematika enggak lantas membuat kita kaya. Pun, punya duit banyak bukan berarti jaminan seseorang berarti cerdas luar biasa. Engkau bisa saja punya duit bermilyar-milyar namun tetap tertipu oleh seseorang licik yang bahkan tidak punya buku tabungan. Thriller drama keluarga terbaru dari Joon-ho Bong membahas anekdot tersebut, tentu saja dengan nada komedi yang membuat kita tertawa, hingga kita menyadari ini sesungguhnya adalah gambaran menyedihkan yang begitu dekat dan relevan tentang betapa bodohnya kita dalam memandang perbedaan kelas sosial.

Parasit itu adalah keluarga miskin seperti keluarga Ki-taek; empat orang usia-kerja namun tak berpekerjaan selain melipat kotak-kotak pizza saat wi-fi gratis yang mereka tebengi dikunci oleh password. Mereka tinggal di rumah berserangga bau yang letaknya nyaris di bawah tanah. Pemandangan dari jendela mereka adalah kerikil di jalanan, yang akan segera dikencingi oleh seorang pemabuk. Jika mereka bilang mereka berjuang, kita certainly tidak melihatnya. Paling tidak, bukan berjuang dengan cara yang benar. Padahal mereka bukan orang tak ber-skill. Nyonya Ki-taek adalah mantan atlet lempar peluru. Putri bungsu Ki-Taek berbakat di bidang seni. Dan putra sulungnya, meskipun tidak bisa lanjut kuliah, punya kemampuan bahasa Inggris yang sejajar dengan tingkat universitas. Kemampuan bahasa inggris itulah yang kemudian menjadi pintu kesempatan. Putra Ki-taek ditunjuk untuk menggantikan temannya sebagai guru privat di rumah keluarga kaya. Rumah yang tamannya ada di atas. Bagai gula dirubung semut, keluarga kaya itu lantas jadi inceran keluarga Ki-taek; yang menggunakan segala daya upaya (alias tipu muslihat) supaya seluruh anggota keluarga bisa bekerja di sana.

cerita home invasions dan squatters mengerikan karena, siapa sih yang mau diserang di tempat kita buang air paling nyaman?

 

Celetukan sosial bukan ranah asing buat sutradara Bong. Dia sudah pernah menempatkan kita di sudut pandang orang kecil yang berjuang melawan penguasa demi kesejahteraan lewat Snowpiercer (2013) yang punya dunia unik; ‘negara’ dalam cerita itu adalah literally kereta api yang berjalan tanpa henti. However, dalam Parasite, kita ditempatkan dalam posisi yang tak-biasa. Di film ini kita diminta untuk bergerak bersama ‘orang kecil’ yang berjuang supaya hidup enak dengan mengambil cara kriminal. Ada sekuen rinci yang memperlihatkan rencana penipuan yang dilakukan oleh protagonis kita. Yang kita lihat jelas-jelas salah, tapi kita tetap peduli dan mengkhawatirkan rencana tersebut – kita tetap ingin para tokoh miskin itu berhasil. Malahan kita akan bareng-bareng menertawakan kebegoan orang kaya yang dengan gampang tertipu oleh embel-embel “dari Amerika.” Ketika cerita berubah menjadi violent, emosi yang kita rasakan kepada tokohnya pun tidak berubah. Malah berlipat lebih kuat. Film mencoba membuat kejadian berdarah itu masih punya hati. Sehingga kita menyayangkan peristiwa yang terjadi.

Semua itu bisa saja bentuk sindiran Bong kepada negara. Pemilik rumah gedong yang ‘disatroni’ oleh keluarga Ki-taek bisa jadi adalah perlambangan dari pemerintah yang lebih memperhatikan dunia internasional dibandingkan rakyat jelatanya. Standar yang begitu tinggi ditetapkan sehingga untuk membantu orang pun, si petinggi itu milih-milih. Tapi ini semuapun sejatinya sudah pernah dibahas oleh Bong dalam The Host (2006), dengan lebih blak-blakan pula dalam upaya mengingatkan induk semang alias negara yang semestinya melindungi warganya tanpa pandang bulu. Parasite, bagaimanapun juga, adalah lebih tentang para rakyat itu. Membalut ceritanya dalam subgenre horor ‘home invasions’ yang ditubrukkan dengan satu lagi subgenre horor yakni ‘squatters’ (semacam home invasions tapi ancaman datang dari dalam rumah) tidak lain tidak bukan adalah cara film untuk menyuarakan kengerian ketika rakyat menyerang rumahnya sendiri. Yang ditekankan oleh cerita kali ini adalah bagaimana penduduk miskin rela bunuh-bunuhan demi memperebutkan remah-remah kekayaan. Makanya menonton ini terasa miris. Melihat keluarga Ki-taek dan satu keluarga lagi yang jadi kejutan di pertengahan cerita, membuat kita sadar bahwa mereka semestinya tidak melakukan itu, tapi mereka pikir harus begitu.

Dunia mungkin tampak terbalik. Bagaimana mungkin orang yang sukses ternyata tidak lebih pintar daripada kita? Sebagian orang mungkin akan menuding privilege. Atau mungkin nyalahin presiden. Jika rumah adalah negara, maka kita harusnya turut menjaga dan memeliharanya. Daripada memutar otak untuk terus dijamu dan jadi freeloader, sebaiknya kita mulai berpikir apa yang bisa kita lakukan untuk membuat rumah semakin nyaman ditinggali.

 

 

Rumah di bawah tanah dan hunian di lantai atas, orang kaya yang bego dan orang miskin yang cerdik, semua itu tentu saja ada maknanya. Bong ingin menunjukkan kepada kita bahwa satu-satunya pembeda antara si kaya dan si miskin – antara konglomerat dan melarat – bukan pada kecerdasan, bukan pada kesempatan, melainkan pada letaknya. Atas dan bawah yang sebenarnya terhubung oleh tangga. Tinggal menaiki tangga itulah yang menjadi soal. Tapi terkadang, orang untuk naik tangga aja males. Dan orang males ‘keunggulannya’ adalah pikirannya bisa lebih ‘cerdas’, kayak keluarga Ki-taek di film ini. Mereka mau bekerja, tapi hanya jika mereka bisa menyedot keuntungan darinya, dengan cara yang cepat. Ada yang lompat-lompat dari satu anak tangga ke dua anak tangga di atasnya. Ada yang berusaha mencari jalan naik yang lebih gampang. Tapi tentu saja resikonya besar. Bahkan yang hati-hati naik tangga saja bisa terpeleset dan jatuh.

Hanya ada satu cara untuk ke atas. Hanya ada satu cara untuk jadi sukses, kaya, atau makmur. Berusaha dengan giat. Bekerja dengan benar. Jangan ambil jalan pintas. Jangan anggap kesuksesan sebagai sesuatu yang harus dicurangi. Jika mengkehendaki sesuatu, kita harus mengusahakannya. 

 

Terpeleset di tangga actually dijadikan poin penggerak di dalam cerita. Kita melihat beberapa kali para tokoh ‘gagal’ mempertahankan posisi mereka di tangga, karena mereka tidak mengambil langkah yang benar. Di ending film, menaiki tangga  ditekankan kembali sebagai jalan keluar yang disadari oleh tokoh utama cerita. Yang lantas membuat kita ikut menghela napas, ah seandainya dari awal mereka begitu. Di sisi lain, gerak-maju narasi dalam film ini tampak terlalu penting untuk dimulai oleh adegan terjatuh di tangga yang membuatnya tampak sebagai kebetulan. Filosofi tangga dan pentingnya adegan tersebut kita bisa paham. Namun, membuat film ini sendiri menjadi terlalu fantastical. Membuatnya tampak konyol, malah. Dan ketika satu tokoh mengulangi kesalahan yang sama, jadinya annoying. Kita punya bangunan cerita yang kuat, dengan tokoh-tokoh unik yang membuat kita peduli, tapi cerita butuh untuk orang berdiri menguping di atas tangga dan kemudian terjatuh begitu saja; agak kurang memuaskan, dan ya, memaksa.

sudah jatuh, ditimpuk batu pajangan pula!

 

Tubuh besar cerita film ini memang tampak seperti terdiri dari dua bagian. Paruh pertama yang menitikberatkan kepada drama. Dan paruh kedua yang berupa sajian mendebarkan. Sekilas memang seperti kelokan yang cukup tajam, tetapi sebenarnya transformasi cerita ini sudah di-foreshadow di awal oleh kemunculan serangga-bau alias stinkbugs. Hewan ini memegang peranan cukup penting karena dia berfungsi sebagai perlambangan dan akar dari motivasi salah satu tokoh. Serangga-bau actually will come full-circle sebagai relik pada arc salah satu tokoh. Dan merupakan salah satu dari banyak elemen pada film ini yang bekerja efektif dan bertanggungjawab membuat cerita semakin menarik untuk diikuti.

 

 

 

Bermain dengan banyak tone cerita, film-film biasa akan tersandung, terjatuh bergulung-gulung menjadi satu gumpalan yang kacau. That’s not the case for this film. Dari awal hingga akhir, mata kita akan terpaut kepada adegan demi adegan. Memanfaatkan materi cerdas, permainan akting yang meyakinkan, dan kerja kamera yang membuat kita menyaksikan langsung seperti lalat yang hinggap di rumah film itu, penceritaan drama thriller ini bekerja dengan luar biasa efektif. Dia mengambil waktu, dan tidak terburu-buru mengembangkan semuanya. Demi menyampaikan gagasannya, film yang tadinya tampak manusiawi mau tak mau harus berkembang ke arah yang lebih fantastical – dalam sense edan dan di luar nalar – dengan beberapa plot poin memiliki unsur kebetulan. Bagi sebagian penonton hal tersebut dapat mengurangi kepentingan film ini, but still, film korea yang judul aslinya Gisaengchung ini adalah tontonan yang seru dari awal hingga akhir.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for PARASITE.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian, kenapa pinter tidak lantas membuat kita kaya? Apa sih yang sebenarnya membuat orang-orang miskin? Apakah karena beneran bodoh atau dibodoh-bodohi?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SPIDER-MAN: FAR FROM HOME Review

“Treated like children but expected to act like adults”

 

 

Blip – peristiwa di mana separuh penghuni Bumi lenyap oleh jentikan Thanos – mengakibatkan cukup kekacauan untuk membuat hidup sosial menjadi awkward. Yang selamat kini menjadi lima tahun lebih tua, karena waktu berjalan normal bagi mereka. Sementara orang-orang yang menjadi korban – kemudian dikembalikan oleh Hulk ke dunia dalam Avengers: Endgame (2019) – tetap di usia yang sama saat mereka menghilang meskipun seharusnya umur mereka sudah nambah lima tahun. Mereka ini yang harus menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitar yang tadinya lebih muda menjadi sebaya – atau bahkan lebih tua daripada mereka. Meskipun Spider-Man: Far from Home menggambarkannya dengan ringan dan membuat kita tertawa karena sepertinya hal tersebut tampak sangat komikal, tapi sesungguhnya dampak Blip tersebut enggak jauh-jauh amat dari yang kita duga. Blip memaksa remaja untuk menjadi lebih tua dari mereka seharusnya.

Karena remaja di dunia nyata pun menghadapi hal yang sama seperti Peter Parker, MJ, dan teman-teman setiap harinya; kecanggungan berinteraksi sosial di mana orang-orang mengharapkan mereka untuk bertindak seperti orang dewasa sekaligus masih meremehkan karena mereka dianggap masih kecil.

 

Sulitnya mengarungi hidup di masa remaja, di mana kita ingin dianggap dewasa tapi gak mau dihadapkan sama tanggungjawab orang dewasa, menjadi tema besar dalam sekuel dari Spider-Man: Homecoming (2017) garapan Jon Watts ini. Disimbolkan oleh kegalauan Peter Parker memilih prioritas hidupnya. Meskipun sudah diingatkan oleh Nick Fury bahwa dirinya sudah pernah bertempur di luar angkasa, Peter Parker masih merasa belum siap untuk menjadi pahlawan-super pembela kebenaran seperti Avengers. Seperti Tony Stark, mentor sekaligus figur ayah baginya. Mungkin sepatu besi itu memang terlalu besar untuk diisi. Atau mungkin Parker menyadari tanggungjawab pahlawan super begitu besar, dan bahkan bisa beresiko besar terhadap dirinya dan orang-orang sekitar. Yang jelas, saat study-tour bersama teman-teman sekelasnya, Parker cuma ingin satu hal. Bisa berliburan bersama M.J. Tapi trip mereka ke kota-kota di Benua Eropa somehow bertepatan dengan koordinat kemunculan monster-monster elemental. Membuat Parker harus memilih. Meneruskan hidupnya bersama teman-teman sebagai remaja yang mulai mekar rasa cinta. Atau mengemban tugas berat bersama Nick Fury dan Mysterio; seorang superhero dari dimensi lain untuk mengalahkan para monster dengan mempertaruhkan segala hal, termasuk masa remajanya tersebut.

What would Tony Stark do?

 

Seperti Homecoming, Far from Home juga bekerja terbaik sebagai film remaja. Ini udah kayak film remaja dengan topeng superhero. Kuatnya keinginan Parker terhadap M.J. sampai-sampai membuat kita bisa lupa loh kalo ini film superhero. Dan mereka berdua ini memang cute banget relationshipnya hhihi. Sutradara Jon Watts berhasil membangun elemen cinta-remaja ini sebagai fondasi yang menggerakkan sekaligus sebagai salah satu pilar cerita. Karena elemen tersebut merupakan faktor penting untuk menunjukkan kedewasaan Parker. Dan film sangat bijaksana dalam menangani proses pendewasaan ini. Parker tidak lantas dibuat sebagai si serius hanya karena dia sudah mengalami apa yang ia alami sebagai salah satu dari Avengers. Parker juga tidak digambarkan depresi atau terhanyut oleh dukanya terhadap Tony Stark. Parker dipersembahkan kepada kita sebagai cerminan remaja diri kita saat menghadapi masalah. Kita pengen bareng teman-teman. Kita pengen ‘liburan’ dari semua itu. Kita pengen menyerahkan beban itu kepada orang yang lebih dewasa. Menjadikan kita lebih takut akan kehilangan semua itu, lebih dari takut terhadap monster. Remaja punya ‘masalah penting’ sendiri, dan butuh proses untuk menyortir itu semua. Itulah yang disebut dengan pendewasaan. Dan apa yang terjadi pada Peter Parker dalam film ini menggambarkan itu semua dalam tingkatan yang lebih super, karena elemen superhero yang dimiliki oleh cerita.

Salah satu yang banyak dipertanyakan penonton pada Homecoming adalah soal Spidey yang gak punya ‘spider-sense’. Di film ini ternyata terbukti bahwa ‘spider-sense’ merupakan bagian dari proses pendewasaan si Spider-Man sendiri. Ada development yang dapat kita lihat mengenai kemampuan unik Spidey tersebut dalam film ini yang berhubungan dengan pembelajaran inner journey yang disadari oleh Peter Parker.

Makanya Tom Holland tampak sangat cocok dan nyaman bermain sebagai Peter Parker. Holland juga sedang dalam pendewasaan menjadi tokoh ini, film membuat mereka – Parker dan Holland – seperti tumbuh bersama. Sehingga kita mendapat satu karakter yang tampak benar-benar hidup. Aku sendiri gak akan punya masalah melihat Tom Holland terus memainkan Spider-Man, I mean, cukuplah gonta-ganti reboot-reboot lagi superhero yang satu ini. Lantaran mereka sepertinya sudah menemukan yang sangat pas. Chemistry awkward Holland dengan tokoh-tokoh lain juga sangat mengena. Khususnya kepada Zendaya yang menjadi MJ Aku suka banget couple ini.  Zendaya juga benar-benar cool memainkan versi karakter Mary Jane (meskipun namanya di sini adalah Michelle Jones) paling cool yang pernah aku lihat dalam film-film Spider-Man.

Di antara mencoba menarik perhatian MJ, dengan bersosialisasi bersama teman-teman, Parker juga harus beraksi memenuhi panggilan Nick Fury. Membuat film ini pun harus beranjak menggarap adegan aksi yang dipenuhi oleh efek-efek CGI yang menawan. Aksi Far from Home digarap dengan lebih intens dibandingkan film pendahulunya, kita merasakan stake, sebab Spidey di sini benar-benar digenjot untuk terus bergerak dan mengambil keputusan. Pun aksi di sini terasa lebih spesial lantaran berhubungan dengan kekuatan Mysterio. Buat penggemar komik ataupun game Spider-Man pasti sudah tahu siapa dan apa yang bisa dilakukan oleh Mysterio. Buat yang belum tahu, aku gak akan bilang banyak selain kekuatannya berhubungan dengan ilusi. Film melakukan ilusi-ilusi tersebut dengan sekuen aksi yang luar biasa. Untuk originnya sendiri, film mengambil cerita yang berbeda dengan versi komik sehingga Mysterio dalam film ini masih punya kejutan untuk para penggemarnya. Meskipun memang untuk penonton yang mengerti bagaimana film terstruktur, cerita sudah bisa tertebak. Agak sedikit obvious; mengingat Spider-Man yang ragu – malahan hampir seperti tak ingin – menjadi superhero, maka antagonis haruslah seseorang yang actually pengen dipanggil sebagai superhero. Penampilan Jake Gyllenhaal, however, membuat Mysterio karakter yang layak untuk diperhatikan, regardless. Dia membuat kita percaya, sebagaimana Mysterio membuat banyak tokoh di film ini percaya. Padahal sebenarnya banyak yang masih harus dimasukakalkan jika kita memperhatikan motivasi ataupun ke-plausible-an tindakan dan ‘cerita’ tokoh ini.

Tom Holland ada di Holland

 

Jika kita melakukan reach untuk melihat di balik keseruan menonton drama remaja superhero ini, maka sesungguhnya kita akan melihat banyak hal-hal yang patut dipertanyakan. Film menjawab itu semua dengan membuatnya sebagai komedi. Dan komedi dalam film ini memang berjalan efektif. Membuat kita tertawa. Membuat kita melupakan yang sebelumnya kita pertanyakan. Film menggunakan humor bukan hanya sebagai hiburan, melainkan juga sebagai alasan. Peristiwa Blip tadi, misalnya. Sehabis Endgame, internet meledak oleh teori-teori penonton tentang bagaimana film tersebut gagal memperlihatkan dampak pemulihan Blip terhadap kemanusiaan. Apakah Avengers masih bisa disebut sebagai pahlawan. Far from Home memberikan jawaban atas teori-teori penonton tersebut, tapi mereka tidak benar-benar menjawab melainkan ikut bermain-main dengannya. Efektif memang, kita merasa sudah terjawab dan puas oleh tertawa.

Akan ada banyak momen seperti demikian; ketika film mulai gak masuk akal dan mengalihkan perhatian kita dengan menyambungnya – dalam tingkatan tertentu mengubahnya – menjadi adegan kocak. Contoh yang paling ‘menggangguku’ adalah adegan yang melibatkan Spider-Man dengan kereta api. Film membawa kita melewati fase ini dengan cepat begitu saja saat kita diberikan aftermath yang berupa adegan komedi. Rombongan sekolah Parker juga sebenarnya hanya berfungsi sebagai transisi komedi. Mereka ada di sana, tidak pernah benar-benar berada dalam bahaya, hanya untuk melontarkan celetukan-celetukan lucu sembari menunggu untuk diselamatkan. Dan mengingat ada empat kali bencana yang mirip terjadi, maka porsi menyelamatkan mereka terasa lumayan repetitif. Malahan sedikit memaksa. Karena film harus terus memperlihatkan dua ‘habitat’ Parker ini; teman sekolah dan rekan menyelamatkan dunia.

 

 

 

Sebagai yang langsung menyambung runut kejadian Avengers: Endgame, juga sebagai film yang membungkus phase ketiga dari Marvel Cinematic Universe, film ini punya tanggung jawab besar untuk menjelaskan banyak hal. Dia memilih melaksanakan tugasnya dengan nada komedi. Komedi menjadi lebih penting lagi saat cerita remaja yang diusung harus memiliki kepentingan sebagai episode superhero. Jadi film berusaha menyeimbangkan tone cerita yang ia miliki. Untuk sebagian besar waktu, dia berhasil. Kita mendapat tontonan yang menyenangkan di atas petualangan cinta yang membuat kita gregetan. Kita terinvest ke dalam semua aspek ceritanya, tidak hanya ingin melihat Spidey beraksi. Semuanya terasa punya kepentingan sehingga menontonnya tidak bosan. Ceritanya sendiri pun terasa segar karena untuk pertama kalinya kita dapat cerita solo Spider-Man yang berlangsung di banyak tempat selain New York. Semua hal tersebut actually adalah ilusi yang dilakukan oleh film. Dan di momen-momen ketika kita ‘berkedip’, adakalanya kita melihat sesuatu yang tampak jelas disembunyikan oleh komedi dalam film ini, dan kita sadar cukup banyak yang agak maksa dalam film ini. Tapi di samping semua itu, film ini menyenangkan. Aku suka gimana mereka membuat tokoh-tokohnya berbeda dari yang kita kenal. Dan benar-benar excited setelah menyaksikan mid-credit scene film ini!
The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for SPIDER-MAN: FAR FROM HOME

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Kalimat judul ‘Far from Home’ bisa diartikan sebagai gambaran posisi Peter Parker yang sudah jauh dari remaja normal. Bahwa dia punya tanggungjawab, dan dia harus melaksanakannya. There’s no turning back. Sehubungan dengan itu, bagaimana sih pendapat kalian tentang remaja yang dituntut harus mengemban tanggung jawab orang dewasa? Haruskah?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

ANNABELLE COMES HOME Review

“Keep your enemies closer”

 

 

Suka duka jika engkau adalah anak dari pasangan orangtua yang pekerjaannya sebagai demonologis alias pengusir setan cukup banyak. Di antara sukanya adalah, orangtuamu sering bepergian maka tentu saja akan sering bawa oleh-oleh. Dukanya, oleh-oleh yang mereka bawa berupa barang atau jimat terkutuk. Sukanya lagi, orangtuamu akan dianggap pahlawan oleh beberapa orang. Dukanya, kamu bakal sering di-bully oleh orang-orang yang menganggap kalian keluarga tukang-tipu yang aneh.

Judy Warren yang mulai beranjak berpikir angsty layaknya remaja, mau gak mau merasa tertekan juga dengan kerjaan ibu dan ayahnya. Selain babysitter yang cakep, Judy gak punya teman lagi. Dia pun mulai melihat makhluk-makhluk gentayangan di sekitarnya. Namun, Judy mau-tak mau akan belajar untuk menerima pekerjaan orangtuanya beserta segala resiko, juga untuk mengerti kenapa ‘keunikan’ keluarganya dibutuhkan oleh dunia. Percayalah, jika oleh-oleh yang dipajang di ruang bawah tanah oleh orangtuamu adalah boneka Annabelle, kalian pun akan mengerti seperti Judy.

satu yang pasti; Halloween di keluarga tersebut pastilah super menyenangkan

 

Annabelle Comes Home adalah film ketiga dari Annabelle dan seri ketujuh dalam Semesta Conjuring, yang seharusnya adalah film pertama dari seri Annabelle. Kejadian pada film ini langsung menyambung dari penutup The Conjuring pertama (2013) saat Ed dan Lorraine memutuskan untuk tidak menghancurkan Annabelle, melainkan membawanya pulang. Menyegel boneka yang tidak dirasuki itu di gudang barang-barang jahat di rumah mereka. Frasa ‘boneka-yang-tidak-dirasuki’ itu bener-bener ditekankan oleh film. Beberapa kali Lorraine nerangin bahwa ‘cara kerja’ Annabelle itu seolah suar kanal yang menarik dan menyalurkan hantu-hantu jahat. Jadi, ya, tidak perlu memang kita mengetahui asal usul hantu – kenalan sama roh – yang pernah menggerakkan boneka tersebut. Dengan kata lain, sebenarnya film ini juga ngakuin bahwa film Annabelle pertama dan kedua tidak lain dan tidak bukan hanyalah proyek cash grab semata. Untungnya Annabelle kedua – Annabelle: Creation (2017) – jadi kita gak rugi-rugi amat.

Ed dan Lorraine asli memang sudah tiada – film ini actually dipersembahkan untuk mengenang Lorraine yang baru saja tutup usia April yang lalu – tapi legacy dan berkas-berkas kerjaan mereka akan terus hidup dalam semesta film ini. Memanfaatkan nama Vera Farmiga dan Patrick Wilson yang muncul basically sebagai cameo yang kelewat efektif, Annabelle Comes Home seperti ingin tampil sebagai film drama horor yang bener-bener niat. Yang jadi anak mereka pun diganti pemerannya, Judy di film ini jadi diperankan oleh McKenna Grace yang udah buktiin betapa dia calon aktor masa depan lewat Gifted (2017) dan serial The Haunting of Hill House; baru-baru Grace sempet nongol juga jadi Captain Marvel semasa kecil. Penampilan Grace menakjubkan di sini. Padahal skrip film ini juga gak bagus-bagus amat. Tapi aktingnya kerasa jomplang banget lah kalo dibandingin sama akting aktor-aktor cilik dalam film dan horor lokal kita.

Frame demi frame dihiasi oleh gambar-gambar yang ditangkap dengan cukup perhitungan. Permainan warna dan visual mampu menimbulkan kesan yang eerie. Nyaris seratus persen kejadian dalam film ini berada di dalam rumah keluarga Warren. Di tangan film yang benar-benar kompeten, sempitnya ruang ini akan dimanfaatkan maksimal untuk bermain super kreatif demi menggali momen-momen horor yang tak biasa. Harus benar-benar memikirkan kejadian horor seperti gimana lagi yang menampilkan sesuatu yang bercerita, yang mendukung para karakter. Secara tampilan luar, Annabelle Comes Home memang menarik. Judy, dan dua babysitternya, dibuat seperti mengarungi wahana rumah hantu, padahal mereka sedang berada di dalam rumah yang sudah mereka kenal. Dan kenyataannya, memang cuma penampilan luar inilah yang dipunya oleh film.

Tentu, film ini dimulai dengan set up untuk memperkenalkan para pemain yang akan jejeritan di dalam rumah. Kita diberikan backstory masing-masing tokoh – Judy dan dua babysitternya. Sehingga film bisa menemukan alasan untuk salah seorang remaja itu mengambil kunci bawah tanah, masuk ke sana menyentuh setiap barang supernatural yang bisa ia pegang, dan membuka kurungan kaca gereja yang menyegel Annabelle. Kita juga mengerti semua kejadian mengerikan yang terlepas berikutnya adalah supaya Judy bisa belajar mengembrace keadaan keluarganya. Tapi tidak pernah film menggali plot lebih dalam – tidak pernah menyentuh lapisan ‘kenapa’. Ketika semua benda-benda terkutuk itu merajalela, semua makhluk seram mulai dari baju zirah samurai, hantu serigala, hingga gaun pengantin berdarah beraksi menjadikan film ini kayak versi lebih dark dari Goosebumps (2015) – semua adegan hanya berupa para tokoh berjalan dalam lorong gelap menuju rentetan jumpscare demi jumpscare tanpa ada bobot dan kepentingan untuk membentuk plot para tokoh. Semua horor tersebut jadinya menyenangkan. Kita tertawa-tawa setelah dikagetkan dan bersiap untuk kaget berikutnya, untuk kemudian tertawa lagi. Nonton ini udah kayak masuk virtual rumah hantu atau escape room beneran, alih-alih nonton film. Kita tidak merasakan film ini membangun sesuatu, kita tidak melihat pembelajaran karakter. Pembelajaran hanya datang ketika film sudah mau undur diri, ketika sudah waktunya sekuen penyelesaian. Tidak ada journey karakter untuk ke sana; Tidak ada plot.

setelah merantau ke film superhero, Annabelle mudik juga

 

Mungkin tampak berbahaya menyimpan barang-barang berhantu di bawah atap yang sama dengan keluarga yang dicintai tidur. Tapi bagi Ed dan Lorraine, benda-benda itu merupakan pengingat bahwa setan atau kejahatan ada di dunia, dan akan selalu ada. Makanya, lebih mudah menjaga diri darinya jika kita bisa melihat mereka ada, jika kita tahu persis mereka akan ‘menyerang’ dari mana daripada melawan sesuatu yang kita tidak tahu.

 

Yang menakutkan dari film ini sebenarnya adalah fakta bahwa dia bakal laris. Dua film sebelumnya sudah membuktikan. Sosok Annabelle sudah menjadi pop-culture. Salah satu ikon horor modern. Film ini akan menurunkan pengaruh kepada skena perhororan, dan kemungkinan besar yang akan ditiru oleh horor-horor seperti pada sinema tanah air kita adalah jumpscarenya. Mengkhawatirkan sekali jika tumbuh mindset pada kalangan pencipta, juga penikmat film, bahwa horor yang bagus adalah horor yang seperti Annabelle lantaran filmnya laris. Mereka akan totally missing the point bahwa keunggulan horor berlokasi satu seperti ini bukan karena lebih murah dan banyak jumpscarenya. Orang-orang akan mengesampingkan karakterisasi. Semua film akan jadi wahana rumah hantu. Padahal horor seharusnya datang dari psikologis manusia. Horor seperti Hereditary, The Babadook, The Witch bagus tapi butuh penulisan yang kompleks – usaha yang belum menjamin jumlah penonton. Orang kadang suka ide, tapi berusaha mencari cara lain yang lebih mudah. Jenis horor laku seperti Annabelle Comes Home menawarkan cara mudah tersebut, dan kemungkinan besar inilah yang bakal ditiru. I mean, kita sendiri udah nyaksikan horor lokal yang ceritanya ala Hereditary tapi penulisan karakternya sangat sederhana dan hanya mengandalkan gore dan jumpscare sebagai jualan.

Makanya aku ingin menekankan kendatipun Annabelle Comes Home bukannya seram melainkan menyenangkan untuk ditonton, terutama oleh penonton yang suka dikaget-kagetin, kualitasnya sebagai film tidaklah benar-benar bagus. Ceritanya yang minus plot membuat semua kejadian jadi tidak punya unsur kejutan. Bahkan jumpscarenya pun kita semuanya pasti sudah tahu. Aku bertaruh; saat adegan tokohnya berjalan sendiri memeriksa sesuatu di tempat gelap, dengan suara latar dipelankan, kita semua sudah menutup telinga dan/atau menyipitkan mata. Kita sudah tahu apa yang bakal terjadi. Kita sudah tahu beberapa detik lagi akan ada jumpscare. Jadi apa bagusnya cerita atau katakanlah wahana yang kita sudah tahu titik-titik pamungkasnya? Atau malahan banyak sekali ketidaklogisan yang dipaksakan masuk supaya cerita bisa berjalan. Kita harus menerima bahwa seorang remaja dapat menjadi sebegitu begonya membuka kotak kaca berisi barang berhantu. Dia pastilah cukup percaya untuk mencoba, karena aksi remaja ini didasari keinginannya untuk minta maaf kepada ayahnya yang sudah tiada. Jika begitu, kenapa dia tidak minta baek-baek aja untuk dimediasikan sama Ed dan Lorraine? It’s okay kalo memang mencari tontonan untuk ketawa dan seru-seruan ama teman-teman, tapi setidaknya kita harus paham kenapa ini bukanlah film yang bagus. Supaya kita enggak mencampurbaurkan mana yang selera, mana yang beneran bagus. Karena toh yang kita suka tidak mesti selalu bagus.

 

 

Punya kreativitas yang cukup sehingga tampak seperti film horor beneran. Tapi film ini sesungguhnya hanya menggarap bagian luar tanpa benar-benar memperhatikan isi dalamnya. Karakternya tidak beneran punya plot. Mereka berubah dari A ke B tanpa benar-benar punya perjalanan. Karena isi film ini hanya berupa adegan demi adegan ketemu hantu. Jika ada yang dibangun, maka itu adalah jumpscare-jumpscarenya. Mereka lebih peduli kepada nampilin sebanyak-banyaknya setan, sehingga di lain waktu mereka punya kesempatan untuk membuat satu film khusus buat si hantu dan mengekspansi semesta ini. Film ini masih bisa menyenangkan untuk ditonton, tapi jika kalian berniat untuk nonton film horor beneran, kalian tidak akan mendapatkannya dengan membeli tiket film ini.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for ANNABELLE COMES HOME.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurutku kalian ada bedanya gak sih antara Annabelle dirasuki roh jahat dengan Annabelle enggak dirasuki melainkan hanya sebagai penyalur roh jahat? Kenapa menurut kalian film bersikeras membedakan hal tersebut?

Mumpung lagi mood tebak-tebakan, menurut kalian hantu mana di film ini yang bakal dibuatkan film sendiri berikutnya?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

KOKI-KOKI CILIK 2 Review

“You decide… who you want to become.”

 

 

Nyanyian, petualangan di alam terbuka, dan banyak teman-teman untuk bermain sekaligus berkompetisi, bisa jadi adalah bahan-bahan utama untuk ‘memasak’ film anak-anak yang menarik. Sebagaimana sudah dibuktikan oleh Koki-Koki Cilik (2018) yang angka raihan jumlah penontonnya tidak bisa disebut mengecewakan. Ditulis oleh orang yang sama – Vera Varidia – dengan yang menulis film sebelumnya, ‘resep’ Koki-Koki Cilik 2 kembali berusaha menempatkan bahan-bahan tersebut setepat guna mungkin sehingga sekali lagi dapat membawa kita berhaha-hihi-huhu mengikuti perjalanan anak-anak yang hobi memasak, yang actually punya bobot emosi lantaran berakar kepada permasalahan keluarga yang dijamin lekat sama target penontonnya. Tapi bahkan dengan bahan yang sama dan resep yang familiar pun, rasa masakan bisa berbeda karena sejatinya cita rasa tergantung dari sang koki, dalam kasus film; sutradaranya. Koki-Koki Cilik 2 yang kali ini diaduk oleh Viva Westi, buatku memang meninggalkan kesan dan pengalaman menonton yang secara drastis berbeda dengan film pertamanya.

Bima dan teman-teman geng Kolik (Koki Cilik) bermaksud menghabiskan masa libur dengan pergi reunian ke Cooking Camp, tempat pertemuan dan awal persahabatan mereka. Tapi tidak ada cooking camp musim panas ini. Yang dua tahun lalu perbukitan hijau yang terawat, kini hutan dan rerumputan yang mulai menggersang. Kandang kambing pun ikut-ikutan kosong tak terawat. Bima cs menemukan Chef galak yang dulu jadi mentor mereka, Chef Grant, dalam keadaan awut-awutan. Beliau kehilangan semangat untuk memasak, sama seperti anak-anak calon pengunjung camp yang tak lagi berniat untuk mendaftarkan diri. Cooking camp mereka sudah di’bury’ oleh pernyataan salah satu chef restoran top di televisi. Masa kemah masak tapi yang ngajarinnya entah-siapa yang gak punya restoran sendiri? Tapi Bima dan teman-teman tetap semangat. Dengan menyalurkan energi, mereka mendorong Grant untuk membuka sendiri cooking camp. Mereka jualan pake food truck untuk menggalang dana. Semangat mereka pun semakin menyala dengan bergabungnya Adit yang jago banget masak sandwich. Tapi Adit yang datang bersama tantenya yang cakep punya masalah sendiri yang membuatnya jadi terlalu fragile dalam urusan masak-memasak. Keutuhan tim mereka pun senantiasa terancam.

kalo enggak, pilihannya cuma antara buka warteg atau makan mi mentah

 

Film sekuel ini selain menyiapkan sejumlah tokoh baru, juga actually menyiapkan daging yang lebih tebal untuk diolah. Ada lebih banyak hal yang dilakukan geng Kolik dalam film kali ini. Mereka membangun kembali Camp yang hampir nyatu lagi ama hutan di sekitar. Kita melihat anak-anak itu belajar cara jualan. Menghadapi sepi-pelanggan, dan ketika lagi rame harus belajar caranya bekerja dengan efisien sehingga tidak kelimpungan. Juga sedikit ada bahasan mengenai menanggapi kritikan. Dan sebaliknya – bagaimana ternyata perkataan yang kita lontarkan terhadap seseorang atau sesuatu dapat berdampak lebih besar dari yang kita niatkan. Di atas semua itu, ada pelajaran berharga soal membuat bangga dan menyenangkan hati orangtua sekaligus tetap melakukan pekerjaan yang kita sukai.

Semua pelajaran hidup yang tak dapat ditemukan di sekolah tersebut – menjadikan film ini cocok sekali sebagai tontonan bermanfaat di kala liburan – dikemas dengan tidak berat. Tapi tetap tidak kehilangan hatinya. Salah satu adegan paling menyentuh dan menghangatkan dalam film ini adalah ketika tante Adit berusaha menenangakn Adit yang emosi karena masakan yang buat Adit sangat personal dikatain enggak enak. Koki-Koki Cilik 2 sangat respek dan catering kepada penonton cilik. Permasalahan keluarga, adegan-adegan emosional selalu diimbangi dengan keriangan. Misalnya; sebelum Adit dipaksa pulang dari camp, anak-anak itu sedang bercanda-canda ngejodohin Grant sama tante Adel. Atau Adit yang pendiam diberikan ‘kekuatan’ kocak yakni mampu meramal hujan lewat bersin. Kita melihat anak-anak tersebut dihadapkan kepada persoalan dewasa, dan film membiarkan mereka menjadi anak-anak yang berusaha menyingkapi dan memberikan solusi terhadap masalah tersebut. Sikap riang dan tingkah lucu para tokohnya menjadikan film ini seringan popcorn yang kita makan sembari menonton.

Untuk penonton dewasa, on the other hand, film ini dapat terasa terlalu menyuapi lantaran terlalu berusaha melayani penonton anak-anak. Ada beberapa dialog yang ditulis terlalu gamblang sehingga film jadi banyak cakap-cakap eksposisi. Buatku, film terasa agak kurang percaya sama pemahaman anak-anak. I mean, film-film kayak Toy Story 4 (2019) juga dibuat untuk anak-anak tapi tidak tampil terlalu literal. Dialog Koki-Koki Cilik 2 seharusnya juga tidak perlu terlalu menyuapi. Karena sering juga hal tersebut membuat pemeran anak-anaknya jadi terlihat kaku dan enggak lepas – mereka jadi ada ‘beban’ untuk menjelaskan alih-alih berakting sesuai imajinasi mereka. Perpindahan tone cerita dari yang riang menjadi lebih serius tersebut juga kadang terlalu cepat sehingga emosi yang diniatkan tidak mampu benar-benar tersampaikan. Dengan bahasan sebanyak yang film ini miliki, seharusnya diberikan alokasi waktu yang lebih panjang supaya emosi terbangun dengan lebih baik, supaya kita bisa lebih terinvest ke dalamnya. Tapi malahan editing pun tampak terburu-buru. Sering kita melihat adegan yang berakhir dengan mulut satu tokoh terbuka seolah hendak bicara, namun langsung dicut oleh pindah adegan. Adit di kala sendirinya suka berbicara dengan kalung; kebiasaan tersebut mustinya diperlihatkan cukup sering, tidak hanya dalam satu atau dua adegan. Begitu pula dengan pertunjukan boneka bayangan dari tantenya. Aku merasa seharusnya kita dapat adegan anak-anak menonton yang beneran dulu sebelum datang adegan boneka bayangan yang sebenarnya berfungsi untuk paparan informasi mengenai backstory Adit. Jadi elemen shadow puppet itu tak sekadar tampil sebagai aksesoris.

Kalian mungkin memperhatikan kenapa malah lebih banyak pembahasan tentang Adit (diperankan dengan susah payah oleh M. Adhiyat) yang anak baru dalam geng Bima. Itu karena memang sebenarnya menu utama dalam film ini adalah tentang persoalan Adit dengan ayahnya. Faras Fatik yang memainkan Bima, yang di film pertama jadi tokoh utama harus rela dikurangi perannya. Bima actually jadi ‘bergabung’ dengan teman-teman yang lain; tokoh utama film ini adalah geng Koki Cilik yang bergerak sebagai satu unit bareng-bareng

perannya sepiring bertujuh

 

Di sini kelemahan pengembangan cerita dapat terlihat. Dengan membuat para geng pemain lama tetap sebagai sorotan utama – besar kemungkinan karena mereka-mereka inilah yang membuat penonton jatuh hati, jadi film ingin seketika mempertemukan penonton dengan mereka – cerita menjadi berantakan dan terlihat gak fokus. Tokoh utama yang satu geng itu tampak ‘lemah’. Maksudku ini kayak cerita tentang anak-anak koki cilik yang pengen cooking camp kembali ada, tapi untuk mencapai itu mereka harus membantu membereskan persoalan Adit. Hanya saja mereka tidak melakukan, atau membantu, banyak untuk hal tersebut. Adit dan tokoh yang diperankan oleh Christian Sugiono seperti meresolve sendiri masalah mereka; mereka berdua yang setuju untuk cook off, mereka yang saling berkonfrontasi baek-baek.

Seharusnya sedari awal, Adit lebih ditonjolkan sebagai tokoh utama. Karena dia yang punya stake; anak-anak Kolik pada awalnya tidak punya stake apa-apa – sekiranya mereka gagal dalam membangkitkan kembali Cooking Camp, tidak ada yang ‘terluka’. Stake mulai muncul ketika kita sudah mengerti apa yang terjadi seputar karakter Adit. Dan itu munculnya cukup terlambat. Karena film memperlakukannya sebagai ‘rahasia’ yang berangsur terungkap. For a while, kejadian di film ini lempeng saja, tidak ada intensitas. Padahal jika dari awal langsung fokus sudah di Adit, kita akan lebih cepat ter-hook kepada cerita. Bayangkan jika film dibuka dengan langsung memberikan informasi keluarga Adit, siapa ayahnya, kenapa ia tinggal sama tantenya. Jika kita tahu Adit pengen masuk cooking camp tapi dilarang oleh ayahnya. Maka ia diam-diam ke sana ama tantenya. Sampai di camp, dia mengetahui bahwa tidak ada camp lagi karena ulah ayahnya sendiri. Ini memberikan konflik dramatis yang menarik, lantaran Adit justru pengen masuk camp karena ingin membuat bangga ayahnya. Adit memilih berusaha menghidupkan lagi cooking camp bersama Chef Grant. Para pemain lama bisa masuk setelah ini; Adit dan tante dan Grant butuh kru. Dari sini cerita bisa berlanjut sebagaimana yang film tampilkan; mereka bikin food truck, Adit ketahuan ayahnya, dan seterusnya. Efek yang sama akan tercapai, tapi dengan narasi yang lebih tight dan tokoh utama yang jadi lebih jelas dan kuat jika diarahkan seperti demikian.

Kadang ketika mengejar impian, kita lupa kenapa kita menginginkannya in the first place. Ayah Adit tidak lagi ingat kenapa dia pengen jadi chef. Tercemar oleh faktor orang lain, ia melupakan cintanya dan hanya mengingat pembuktian diri. Makanya dia yang udah sukses tak pernah memasak lagi. Adit lebih menyedihkan lagi; dia tak lagi peduli sama kesukaannya terhadap memasak karena yang ia pedulikan adalah bagaimana caranya dia bisa merasakan cinta sang ayah. Sesungguhnya semua itu memang tergantung Adit ataupun Ayahnya.

To cook or not cook. Lewat hubungan emosional antara anak-ayah, film menyugestikan bahwa tidak salah jika kita ingin berubah atau terpacu karena orang lain hanya saja harus ingat bahwa semua itu adalah keputusan kita. Dan untuk memutuskan suatu putusan kita perlu mengingat kembali segala yang kita cintai darinya.

 

Ketika mereview film pertamanya aku bilang Bima mengingatkanku kepada Deku di anime My Hero Academia karena kedua tokoh ini sama-sama perwujudan dari skenario cerita underdog yang baik. Di film kedua ini, aku pun masih teringat sama My Hero Academia lantaran Adit terlihat mirip sama tokoh yang bernama Todoroki. Mereka berdua sama-sama pendiam dan sok cool. Adit dan Todoroki sama-sama kehilangan ibu yang sangat mereka cintai, dan ayah menjadi motivasi terbesar buat mereka. Adit dan Todoroki sama-sama punya orangtua yang jago dalam pekerjaan mereka, yang kemudian diikuti jejaknya oleh sang anak. Adit dan Todoroki sama-sama mewarisi ‘kekuatan’ kedua orangtuanya – perbedaan mereka terletak di sini; Jika Todoroki lebih suka sama kekuatan ibu – dia membenci kekuatannya yang mirip sama kekuatan ayah dan sebisa mungkin tidak menggunakannya kecuali kepepet, maka si Adit justru menjadikan resep ayah sebagai masakan signaturenya, dan tidak menggunakan resep ibu hingga klimaks di akhir cerita. Dan menariknya lagi, nama Ibu Adit adalah Levi – nama tokoh dari anime lain; Attack on the Titan. Aku tahu ini kemungkinan besar hanyalah long reach, yang gak ngaruh juga di penilaian film, tapi aku gemar sama dua anime tersebut maka seneng aja ketika ada persamaan yang ternotice haha. Dan mungkin, pembuat film ini beneran juga penggemar anime.

 

 

 

Sekuel ini berhasil menyajikan diri sebagai tontonan anak-anak dengan permasalahan personal antara anak dengan orangtua yang lumayan kompleks – tidak sekadar mengantagoniskan satu pihak – sembari tetap menghibur dan terasa ringan. Sangat pantas untuk ditonton oleh anak-anak. Dan anak-anak tentu saja tidak akan peduli dengan kritikan atau kelemahan yang dipunya oleh film. They would love this movie more than us. Jadi aman untukku mengatakan bahwa film ini kalah rapi dibandingkan film pertamanya. Pengembangan-pengembangan pada cerita jatohnya malah seperti tempelan. Pacing ceritanya agak keteteran karena film enggak mau menjadi terlalu lambat demi anak-anak. Padahal sesungguhnya emosi yang dihadirkan bisa saja jadi lebih kuat disampaikan. Film ini bisa jadi lebih baik jika ‘dimasak’ lebih lama lagi, dan benar-benar menonjolkan main coursenya. Tapi anehnya, film ini kadang lebih milih yang instan – kayak jenggot Chef Grant yang keliatan banget kurang maksimalnya.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for KOKI-KOKI CILIK 2

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Siapakah yang menunjukkan gambaran ayah yang baik di film ini; Chef Grant atau papanya Adit? Menurut kalian apa sih resep menjadi orangtua yang baik?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

TOY STORY 4 Review

“It’s the broken toys that need the most love and attention”

 

 

Dalam semesta Toy Story, semua mainan bisa berbicara. Dapat bergerak sendiri, dan merasa sedih kalo tidak lagi diajak bermain oleh anak yang memiliki mereka. Karena itulah tujuan para mainan tersebut diciptakan. Dan mainan di sini ini bukan terbatas yang seperti Woody, Buzz Lightyear, Jesse, atau Rex, yang memang sebuah figur aksi, yang punya baterai, dan diprogram untuk dimainkan aja. Melainkan juga boneka porselen seperti Bo Peep yang sebenarnya hanya hiasan ruangan. Atau bahkan potongan-potongan bagian dari mainan pun bisa bergerak dan diam-diam pengen dimainkan oleh manusia.

Toy Story 4 memperkenalkan kita kepada ‘mainan’ baru. Bernama Forky, yang dibuat dari senpu (sendok-garpu) ditambah mata-mataan dan potongan ‘sampah’ lainnya. Woody menyaksikan sendiri gimana Bonnie, anak perempuan yang jadi ‘majikan’nya menciptakan Forky out of her insecurities di hari orientasi TK. Forky memang tercipta sebagai mainan hasil imajinasi anak-anak, tapi dia sendiri tidak tahu dirinya adalah mainan. Tapi bukan seperti Buzz pada film pertama yang gak sadar dirinya cuma mainan. Inilah yang membuat tokoh baru yang sebenarnya cukup annoying tersebut menarik. Karena Forky berbeda dari mainan-mainan yang sudah kita kenal. Untuk pertama kali, kita bertemu mainan yang tidak mengenali dirinya sebagai mainan. Alih-alih bermain bersama anak, insting natural Forky adalah kembali ke tempat sampah. Sikap Forky ini ‘mengganggu’ Woody. Penting bagi Woody – yang tadinya selalu berada dalam lemari karena tak-terpilih jadi teman bermain Bonnie yang lebih suka sheriff koboi cewek – untuk menjaga supaya Forky tetap berada di pelukan Bonnie. Karena ia tahu pentingnya mainan tersebut bagi Bonnie, dan juga inilah satu-satunya cara Woody bisa berguna bagi Bonnie. Jika Forky hilang kembali ke tempat sampah, itu berarti peran Woody selesai; yang berarti dia juga cepat atau lambat akan dibuang. Usaha Woody dalam mencegah semua itu terjadi membawa mereka ke sebuah petualangan yang tak-terduga. Pandangan Woody terbuka sebagaimana dia bertemu dengan berbagai mainan baru. Salah satunya adalah cengceman lamanya, si Bo Peep, yang justru tampak senang dan lebih oke sebagai mainan tanpa-pemilik.

sebelum jadi mainan aja eksistensinya udah membingungkan, sendok atau garpu

 

‘Mainan’ dalam Toy Story 4 mengandung makna yang luas. Mereka melambangkan semua hal yang dibutuhkan oleh anak-anak untuk mendapat ketentraman emosional, apapun bentuknya. Hubungan saling ketergantungan yang dapat terjadi antara mainan dan manusia digambarkan film ini seperti hubungan orangtua dan anak. Ada banyak adegan yang menekankan pada persamaan ini, seperti ketika Woody bertemu Bo Peep di taman dan secara serempak mereka melihat ke balik-balik semak-semak, saling bertanya “yang mana anakmu?”. Setiap orangtua menjadi teman bagi anak-anak mereka, hingga nanti si anak dewasa dan meninggalkan rumah. However, bagi Woody, sebenarnya perasaan tersebut berkembang menjadi lebih jauh. Woody si boneka mainan jadul dalam film ini beneran terlihat seperti kakek-kakek. Setelah pisah dengan anak-originalnya, Woody begitu ingin mengusahakan yang terbaik untuk Bonnie – yang bisa dibilang sebagai cucunya. Woody tampak seperti kakek yang begitu ikut campur, bukan hanya kepada Bonnie secara langsung, melainkan juga kepada hubungan Bonnie dengan Forky.

Bobot emosional datang terus menerus dari perjalanan Woody, bermula dari dirinya yang tak bisa ‘bersaing’ dengan mainan yang lebih baru. Status Woody sebagai mainan yang sudah tua ini paralel dengan tokoh penjahat yang dihadirkan oleh naskah. Sebuah boneka ‘susan’ di toko antik yang pengen banget punya teman anak cewek. Si boneka, Gabby Gabby, mencoba terlihat menarik bagi anak kecil. Jadi dia mengecat kembali freckles di wajahnya. Kotak suaranya yang rusak, berusaha ia ganti dengan kepunyaan Woody; usaha yang menjadi sumber ‘horor’ utama di dalam cerita. Jika dalam Toy Story 3 (2010) yang lalu kita mendapat tokoh yang sekilas baik namun ternyata jadi antagonis utama, maka film debut Josh Cooley sebagai sutradara film panjang ini kita mendapati Gabby Gabby yang tampak mengancam dengan pasukan boneka ventriloquistnya yang menyeramkan ternyata tidak seperti yang kita kira.

Seberapa jauh kita mencintai seseorang. Seberapa jauh kita melangkah untuk melindungi seseorang. Orang seperti Woody – kakek atau nenek – punya begitu banyak cinta dan kepedulian untuk dibagikan. Film meminta kepada mereka untuk melihat ke dalam hati nurani, untuk mengenali ‘mainan rusak’ sebenarnya yang harus diperbaiki. Dengan kata lain, film ingin meng-encourage kita untuk tahu kapan harus berhenti dan memusatkan perhatian kepada yang lebih membutuhkan.

 

Selain menilik lebih dalam hubungan antara Woody dengan pemiliknya – pengembangan karakter Bonnie hampir-hampir diperlakukan serupa dengan karakter Riley di Inside Out (2015) – , memparalelkan hubungan Woody dengan mainan tua lain yang sama-sama punya keinginan untuk ‘mengabdi’ kepada satu anak, film juga memberikan satu hubungan emosional lain yang menjadi roda gigi penggerak narasi. Yakni hubungan Woody dengan Bo Peep. Antara Woody dengan seseorang yang punya pandangan berbeda dengannya, yang actually menantang Woody dengan satu kemungkinan lain yang tak berani ia pikirkan selama ini. Bo Peep adalah karakter yang mendapat upgrade paling besar, dia lebih dari sekadar menjadi cewek jagoan yang mandiri – perfect heroine dalam standar Disney. Salah satu kalimat berdampak gede yang ia ucapkan kepada Woody adalah “siapa yang butuh kamar anak-anak ketika kita punya semua ini?” dengan merujuk kepada dunia luar yang luas. Dunia memang merupakan elemen kunci yang ditonjolkan oleh cerita. Sebab dengan berada di sanalah, Woody actually menyadari betapa kecilnya dia yang sebenarnya. Like, dengan melihat keluar barulah kita bisa memahami apa yang sebenarnya kita butuhkan demi diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar. Karena cerita dan para tokoh itu menantang kita untuk melihat dan mendengarkan hati nurani. Woody yang kadang menggunakan suara mainannya untuk mewakili kalimat yang ingin ia sebutkan, Buzz yang menekan tombol di dadanya untuk mendengarkan ‘nasehat’ apa yang harus ia lakukan, Gabby Gabby yang secara gamblang butuh ‘inner voice’ yang baru, semua elemen itu menggarisbawahi kepentingan elemen hati yang dibicarakan oleh film ini.

Dilihat dari tingkat keseramannya, Gabby Gabby lebih cocok bernama Annabelle

 

Begitu menakjubkan gimana dunia yang luas tersebut merangkul kita dengan begitu banyak emosi personal dari para tokohnya yang ditulis berlapis. Tentu saja semua itu tidak akan bekerja maksimal jika tidak ditunjang dengan pembangunan visual yang luar bisa menawan. Pixar sudah gak ada lawan dalam menyuguhkan gambar-gambar komputer yang tampak asli. Film ini tampak seperti foto asli, dengan gerakan-gerakan karakter yang mulus. Detil yang film ini tampilkan sangat mencengangkan. Lihat saja kilauan di kulit porselen Bo Peep, jahitan di kemeja Woody, bulu-bulu boneka dan kucing. Adegan pembuka menampilkan suasana hujan dengan air yang benar-benar tampak nyata.

Warna-warna segar juga turut datang dalam wujud tokoh-tokoh, baik itu yang baru maupun yang lama. Semua tokoh-tokoh itu punya peran yang dapat konek dengan berbagai tingkatan penonton. I mean, penonton cilik akan terhibur oleh keunikan desainnya. Humor film ini juga punya rentang yang cukup luas. Mungkin aku harus memberi peringatan bahwa humor film ini kadang cukup gelap. We do get some suicide attempts dari tokoh Forky yang pengen banget menetap di tempat sampah. Tapi digarap dengan halus dan innocent enough. Ini membuat Toy Story 4 jadi tontonan yang pas untuk semua anggota keluarga. Sementara memang lapisan emosionalnya mungkin bakal lebih terasa buat penonton dewasa yang sudah ngalamin pahitnya perpisahan. But that’s how good Pixar movies are. Mereka berani menjadi diri sendiri tanpa harus mematuhi kode-kode pasar dengan merecehkan atau terlalu mendramatisir cerita.

Banyaknya tokoh pada paruh awal cerita membuat kita merasa kurang pada beberapa penggalian seperti Woody dengan Buzz, ataupun dengan Jesse. Terkadang juga membuat cerita terasa seperti episode-episode yang sekedar bertualang bertemu orang-orang. Poin-poin adegan terasa agak ngawur, misalnya ketika Woody dan Forky sudah tinggal menyeberang jalan untuk ke trailer park tempat kendaraan keluarga Bonnie terparkir, tetapi Woody malah memilih masuk ke toko barang antik karena melihat lampu hias milik Bo Peep. Pada titik itu kita akan merasa bingung, apa pentingnya pilihan tersebut terhadap plot Woody secara keseluruhan. Bahkan hingga midpoint pun kita disuguhi backstory seorang tokoh baru yang baru kita lihat sehingga kita tidak yakin apa pengaruhnya. Tetapi semua itu, semua elemen cerita yang diperlihatkan oleh film ini, toh pada akhirnya terikat menjadi sesuatu yang memuaskan kita secara emosional. Episode-episode itu ternyata memang penting ketika kita sudah mengerti di paruh akhir ke mana arah cerita, walaupun tampak muncul random. Kalo mau bicara kekurangan, kupikir hanya soal tersebut yang bisa kupikirkan; Butuh waktu sedikit untuk mengikat semua elemennya. Selebihnya film ini seru dari awal hingga akhir.

 

 

 

Bagi yang sempat khawatir, entry keempat dari salah satu trilogi legendaris ini bisa kupastikan tidak mengecewakan. Film ini benar-benar masih punya sesuatu untuk diceritakan sebagai, katakanlah, ekstra dari film ketiga yang sungguh emosional. Ini bukan sekadar exist karena duit, ataupun karena filmnya sendiri tidak tahu kapan harus berhenti. Masih ada beberapa benang yang ingin diangkat, masih ada sudut pandang yang bisa dieksplorasi, dan film ini melakukannya dengan penuh penghormatan baik terhadap karakter-karakternya, maupun terhadap penonton yang sudah ikut tumbuh dan ‘bermain’ bersama ceritanya. Film ini sesungguhnya dapat saja berdiri sendiri, karena mereka melakukan kerja yang sangat efektif dalam melandaskan backstory terutama hubungan Woody dengan Bo Peep dan antara mainan dengan anak manusia di awal-awal cerita. Sehingga gak nonton triloginya pun bakal masih bisa menikmati dan terhanyut oleh cerita. Yang dapat menjadi dark dan lumayan emosional, tapi mungkin anak kecil tidak bakal terlalu memperhatikan ini karena visual yang menawan dan realistis (untuk standar dunia mainan).
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for TOY STORY 4

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa sebagian anak-anak susah move-on dari mainan masa kecil? Apakah itu akan mempengaruhi mereka saat sudah dewasa? Dan kenapa kakek-nenek kita begitu peduli, sehingga ada ungkapan yang bilang grandparent lebih sayang cucu ketimbang anak mereka sendiri?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Stomping Grounds 2019 Review

 

Banyak dari kita yang sudah siap meninggalkan WWE, ketika AEW meneriakkan angin-angin surga akan produk tayangan gulat yang edgy. Tapi dengan payperview terbaru mereka; Stomping Grounds, WWE menunjukkan bahwa mereka belum berniat untuk menggantung sepatu. Terlebih untuk pesaing yang bahkan barely bisa dibilang apple to apple.   

Menjelang hari-H, acara ini dibangun dengan sedikit sekali kejutan menyenangkan. Stomping Grounds diisi oleh deretan pertandingan yang entah itu sudah acap kita lihat per minggu – to make it worse hampir setengah pertandingan acara ini diisi oleh orang yang itu-itu juga semenjak house show hari lebaran di Arab Saudi – ataupun oleh pertandingan yang pesertanya membuat kita bertanya-tanya, kenapa jadi mereka yang tanding? kenapa dia malah di match yang itu – kirain mau tag team? Penjualan tiket Stomping Grounds pun diberitakan lesu. Vince McMahon mungkin memang orang yang keras kepala – terus menerus ngepush karakter yang ngebosenin hanya karena dia suka – tapi Vince juga adalah seorang pebisnis yang handal. Dan bagi pebisnis, tak ada cambukan yang lebih keras dibandingkan jumlah penjualan. Makanya, WWE kali ini berpikir cukup jernih.

Tak lagi bikin sesuatu yang kacau beliau kayak Money in the Bank 2019, ataupun bermain terlalu aman kayak Super Showdown, WWE seolah menekan tombol reset dan kembali ke formula acara yang sudah membuat mereka sukses untuk waktu yang lama; Pertunjukan solid wrestling dengan bumbu storyline yang masuk akal dan benar-benar memanfaatkan kekuatan pengkarakteran tokoh-tokohnya.

 

Coba itu kameranya digeser sedikit lagi ke kiri, kursi-kursi kosongnya gak kerekam tuuh

 

 

Kekuatan dari pertunjukan WWE biasanya adalah penonton yang baru saat itu menyaksikan, bakal langsung bisa mengerti tokoh-tokohnya. Siapa yang jahat, siapa yang baik. Siapa temannya siapa, siapa musuhnya siapa. Mana yang pacaran. Mana yang diam-diam mendendam. Inilah yang membuatku pertama kali tertarik menonton WWE. Ketika para superstar seperti beneran punya kehidupan yang sesuai dengan gimmick mereka di luar ring. WWE berusaha kembali membuat seperti ini dengan konsep Kejuaraan 24/7 yang bisa kita temukan sisipan perebutan gelarnya di pertengahan acara. Kita melihat juara bertahan Dave Maverick harus kalah pada hari pernikahannya sendiri ketika R Truth muncul mengepinnya dari belakang. Meskipun lebih berfungsi sebagai lucu-lucuan, tapi para penonton senang dan terhibur menyaksikan skit yang fresh ini lantaran akhirnya mereka punya sesuatu yang kontinu untuk diikuti. Dalam basis acara mingguan, memang lebih sering daripada enggak WWE mengesampingkan kekontinuan. Dan hal tersebut berdampak buruk pada karakter-karakter yang dimainkan oleh superstar. Membuat mereka membosankan. Membuat ceritanya enggak masuk akal.

Stomping Grounds adalah acara langka yang dihasilkan oleh WWE, karena actually acara ini terasa sangat contained. Menutup. Konsisten luar biasa. Dengan segmen A punya kesinambungan dengan segmen C. Dengan si anu punya dampak dan peran terhadap cerita si itu. Dinamika cerita-cerita yang mengisi acara ini berhasil membuat Stomping Grounds menjadi satu episode yang solid. Yang kita beneran peduli dan penasaran terhadap setiap karakter yang muncul, apalagi yang terjadi – siapa lagi yang mereka lawan, bagaimana jadinya pertemanan mereka, apakah mereka masih juara bulan depan. 

Aku sangat menikmati cerita antara Bayley, Alexa Bliss, dan Nikki Cross. Ketiga superstar sangat terbantu oleh pertandingan ini. Bagi Bliss secara personal, ini juga adalah ajang pembuktian dia masih belum akan gantung sepatu. Karakter Bliss butuh comeback yang kuat setelah ‘dipermalukan’ oleh Ronda Rousey. Dan Bliss sendiri juga perlu memperlihatkan kembalinya dia menjadi lebih kuat sebagai seorang pegulat semenjak rentetan cedera. Untuk Bayley, ini adalah sebuah redemption. Karakter Bayley mengalami upgrade semenjak Money in the Bank 2019, dia bukan lagi semata ‘anak manis’. Bayley menunjukkan sisi fierce yang semakin menguat, dan kemenangannya di sini membuktikan dengan kekuatan baru itulah makanya dia pantas menjadi juara. Sementara Nikki Cross; ia sedang melakukan transformasi karakter dan pengembangannya sejauh ini semakin menarik dengan akhir pertandingan ini yang punya sedikit twist.

Dari ‘mean girl’ Alexa Bliss kita pindah ke ‘mean boy’ Samoa Joe. Semenjak hari-harinya di TNA, kita udah tahu Joe bersinergi luar biasa efektif ketika dihadapkan dengan lawan yang ‘bisa terbang’. Dan semenjak golden era kita tahu WWE paling jago menggarap cerita underdog. Tidak susah untuk menambahkan satu dan satu menjadi dua. Match Joe melawan Ricochet adalah contoh klasik pertarungan dua sisi yang berbeda ukuran, WWE mengapitalisasi trope ini dengan sangat berhasil. Perbedaan gaya tarung kedua superstar juga menambah bobot kespesialan pertandingan. Melihat Ricochet ‘dibully’ tapi terus bangun dan menghimpun serangan, kita tidak bisa tidak terinvest ke dalam match tersebut. Dan semuanya terbayar oleh hasil mengejutkan yang terasa sangat memuaskan.

Ketika mau pergi makan dan tau-tau kau teringat ada gulat di internet

 

Cowok dan cewek dalam perseteruan kesetaraan yang tak ada habisnya. Hanya di WWE kesamaan itu mungkin paling bisa dipertontonkan. Paling enggak di WWE, semua superstarnya seragam pake sepatu boots. Dan hanya di WWE lah ada cewek bergelar The Man. WWE sendiri sepertinya memang sedang fokus kepada eksplorasi cerita tentang kesetaraan gender. Mereka terus saja mendorong cerita seteru antara The Man dengan The Sassy Southern Belle meskipun Lacey Evans masih tergolong hijau sehingga selalu berhasil menemukan cara untuk ‘tersandung’ saat menapak bumi. Pertandingan-pertandingan Evans selalu kurang sempurna, her timing’s often off, dan kita bisa melihat dia nyaris kesandung saat berjalan menuju ring di akhir-akhir acara. Tapi karakternya sangat kuat. Maka tidak heran jika tap-out cepat yang ia lakukan bukanlah pertanda ini bakal terakhir kali kita melihat Lynch melawan dirinya. Tie in yang dilakukan oleh WWE bukan terbatas kepada misteri apakah Brock Lesnar akan cash-in kontrak MITB, melainkan juga keterlibatan cewek-cewek dalam kejuaran cowok. Evans, dan Baron Corbin adalah jembatan yang menghubungkan antara dua divisi. Relationship real-life antara Becky Lynch dengan Seth Rollins actually digunakan oleh WWE (tunggu, apa mungkin mereka disuruh pacaran supaya storyline ini bisa berlanjut?) untuk further enchance storyline dalam kaitannya dengan revolusi wanita.

Beberapa orang akan menganggap main event Stomping Grounds sebagai pertandingan yang sangat bego, dan buang-buang slot. Tetapi sesungguhnya that whole match adalah sebuah pengembangan di mana semua karakter yang terlibat mendapat penggalian yang menyuburkan gimmick mereka saat ini. Hasil akhirnya pun tidak benar-benar predictable. Penonton menge-boo para heel, menyiratkan cerita yang berhasil. Aku sendiri penasaran ke mana akhirnya WWE akan membawa semua ini. Karena menurutku, WWE di sini mengambil resiko yang cukup berani. Semacam pergantian role dalam trope ‘damsel in distress’ yang mereka lakukan di atas trope ‘wasit korup’ yang sudah sering kita lihat.

Yea, akhirnya. Akhirnya ada perubahan dan resiko yang diambil. Dua partai kejuaraan tag team yang kita lihat di acara ini menggunakan formula yang fresh, sekaligus tetap berhasil menyuguhkan aksi yang bikin kita menghentak-hentakkan kaki. Kita melihat ketika heel actually berhasil menjalan strategi mereka; jika biasanya kita melihat satu anggota tim baik ‘dikurung’ di atas ring, maka itu akan berujung pada hot tag di mana situasi berbalik. Untuk kali ini, kita melihat hasil yang berbeda dari strategi semacam itu. Sementara pada tag team yang menampilkan Daniel Bryan dan Rowan melawan Heavy Machinery (konsep gimmicknya aja udah menarik; jagoan planet melawan ‘mesin’ alat-alat berat!), WWE akhirnya menemukan cara untuk membuat heel yang disukai penonton tetap terlihat jahat sehingga berhasil memancing reaksi yang diinginkan. Kedua pertandingan tag team amat menghibur. Spotlight paling gede adalah buat Heavy Machinery yang di sini mencuat tampak kuat dan benar-benar konek dengan penonton

ada yang lihat awkward momen antara Ricochet dengan Charlotte?

 

Tapi Stomping Grounds bukan acara yang sempurna. Masih ada juga momen yang bikin kita menyepak tanah dengan kesal. Atau mengetuk-ngetuk kaki ke lantai dengan tak-sabar. Pertandingan Roman Reigns melawan Drew McIntyre yang ditemenin oleh Shane McMahon, misalnya. Sebenarnya di awal menyenangkan untuk ditonton, tapi ternyata match ini diarahkan berbeda dari kelihatan di awal. Merek diberikan waktu yang cukup panjang sehingga jurus-jurus powerhouse itu dengan cepat membosankan. ‘Hiburan’ bergantung kepada aksi Shane yang berusaha curang, namun itu mengorbankan karakter McIntyre yang hanya tampak keluar sebagai anak buah, ketimbang main event player seperti yang seharusnya.

Kofi Kingston dan Dolph Ziggler juga begitu. They go all the waaaaay back. Jadi, stipulasi steel cage diniatkan sebagai sesuatu yang bisa menghasilkan efek ‘puncak seteru’. WWE juga membangun kandang itu sebagai lingkungan yang berkebalikan dari ‘habitat’ Kingston; Ruang gerak dan jelajah tali ring yang sempit, submission kelemahan Kingston yang tidak punya batas break. Dan tau kan gimana Kingston terkenal sebagai escape artist dari eliminasi Royal Rumble karena kemampuannya gak nyentuhin kaki ke lantai? Nah, pada Steel Cage justru Kofi mendapat tantangan dalam upayanya untuk sesegera mungkin nyentuhin kaki ke lantai di luar kandang. Konsep yang menarik, tetapi eksekusi mereka sangat membosankan. ‘Race’ untuk keluar dari kandang yang Kingston dan Ziggler lakukan tidak pernah tampak gereget, khususnya ketika pilihan ending yang dilakukan benar-benar ngepoint out betapa begonya gimmick cage match sedari awal. Alias sebenarnya sangat gampang untuk keluar dari kandang tersebut.

 

 

 

Diisi oleh pertandingan demi pertandingan yang solid, yang bercerita dengan baik, yang punya aksi memikat dan gak sekedar unjuk high-spot. Nyesel deh kayaknya penonton sono yang gak jadi beli tiket. Stomping Grounds adalah salah satu acara paling konsisten yang pernah diproduksi oleh WWE. Hanya saja, main eventnya yang lebih fokus pada cerita ketimbang aksi, dapat membuat banyak orang kecewa. Terutama karena Corbin dan Evans sudah demikian sukses menjadi karakter heel sehingga penonton enggak mau banget mereka harus dilawan lagi nanti ke depannya. The Palace of Wisdom actually kebingungan memilih MATCH OF THE NIGHT, karena semuanya berbobot. Namun pilihan tetap harus dijatuhkan, dan kami memilih Samoa Joe melawan Ricochet karena tingkat kesulitan aksi yang mereka lakukan.

 

Full Results:
1. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Becky Lynch bertahan dari Lacey Evans
2. TAG TEAM Kevin Owens dan Sami Zayn mengalahkan The New Day
3. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Ricochet jadi juara baru ngalahin Samoa Joe
4. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The New Daniel Bryan dan Rowan tetap juara menang atas Heavy Machinery
5. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley mempertahankan sabuknya dari Alexa Bliss
6. SINGLE Roman Reigns menghajar Drew McIntyre
7. WWE CHAMPIONSHIP STEEL CAGE Kofi Kingston tetap juara setelah keluar kandang lebih dulu daripada Dolph Ziggler
8. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP, with lacey evans sebagai wasit, juara bertahan Seth Rollins mengalahkan Baron Corbin 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.