SUZUME Review

 

“Closed but not forgotten”

 

 

Hidup di daerah rawan bencana kiranya telah membuat orang Jepang jadi begitu kreatif. Man, they are really gives a new meaning to our saying ‘mengubah musibah menjadi berkah’. Mulai dari legenda Godzilla hingga seri game Fatal Frame, memang ada begitu banyak cerita dari Jepang yang terinspirasi dari bencana alam. Mereka membuat cerita-cerita itu sebagai peringatan, dan juga sebagai bentuk penghormatan. Baik kepada alam, maupun kepada korban dan perjuangan itu sendiri. Makoto Shinkai, sutradara anime yang terkenal dengan genre fantasi romance, juga menjadikan bencana sebagai device penting ceritanya, at least dalam tiga film terakhirnya. Film Suzume ini ia hadirkan sebagai tribute buat korban-korban bencana gempa Tohoku yang terjadi 11 Maret 2011 dahulu. Dan film ini memang bakal terasa menggugah hati dari bagaimana Makoto menuliskan perjuangan karakternya bukan hanya untuk menyetop gempa, tapi juga berdamai dengan rasa kehilangan yang terus merundung semenjak tragedi naas tersebut.

Suzume, sang karakter utama, masih kecil ketika bencana itu melanda. Di adegan pembuka kita melihat sosok kecilnya mencari-cari ibu, di suatu tempat yang dingin. Pengalaman itu pasti traumatis banget bagi Suzume hingga sampai dimimpiin begitu. Suzume sendiri, sekarang 17 tahun, adalah gadis SMA yang cukup ceria. Kita lihat dia pamitan sama tantenya. Kita lihat dia berangkat sekolah naik sepeda. Dan kita lihat dia terbengong-bengong ngeliat pemuda berambut panjang di jalanan. Pemuda itu bernama Sota, dan nanya arah kepada Suzume. Arah ke reruntuhan kota di gunung. Suzume yang penasaran, malah bolos dan tiba duluan di reruntuhan tujuan Sota. Suzume melihat pintu yang dicari oleh Sota. Dan momen Suzume membuka pintu itu jadi momen petualangan fantasi cerita ini dimulai. Satu lagi ciri khas Makoto Shinkai adalah, alih-alih membawa kita dan karakter ke dunia fantasi, dia membawa fantasi itu kepada kita. Membawa fantasi itu ke dunia cerita yang selalu ia bikin grounded dan berdasarkan langsung dari dunia nyata. Film Suzume juga lantas kontan jadi intens karena ini. Dari pintu yang dibuka Suzume muncul cacing merah raksasa. Makhluk yang cuma bisa dilihat oleh Sota dan Suzume itu melayang di atas kota, dan bakal menghempaskan diri – Cacing raksasa itulah yang menyebabkan bencana gempa. Suzume dan Sota harus berkeliling Jepang, menutup pintu-pintu tempat Cacing itu keluar supaya tidak terjadi gempa mengerikan.

Wow, kita di Indonesia menyaksikan film ini tepat 12 tahun dari bencana aslinya

 

Cacing dari dunia-lain jadi penyebab gempa… ya, kreasi film ini memang seliar itu. Dan itu yang membuatnya fun dan terasa ajaib. Salah satu cara ngembangin ide kan dengan ngelantur. Like, kita lempar beberapa kata secara acak, dan baru pilih beberapa yang relevan untuk digabungkan sebagai cerita. Suzume sama sekali gak kekurangan imajinasi untuk jadi out-of-the-box dengan kehidupan sehari-hari. Selain cacing tadi, film ini punya batukunci yang bisa berubah jadi kucing. Pintu-pintu keluar cacing yang actually berbeda-beda; ada yang selembar pintu biasa, ada pintu geser, pintu ke permainan bianglala. Belum lagi ritual dan rule buat menutup pintu yang harus dilakukan Sota. Dan oh, Sota sendiri eventually dikutuk jadi kursi anak TK. Yang satu kakinya hilang pula! Jadi bayangkan gimana dia melakukan itu semua, kalo tanpa bantuan Suzume. Penonton sestudio ketawa-ketawa ngeliat para karakter. Lihat kucing-dewa yang imut tapi nyebelin. Lihat  Suzume yang harus keliling Jepang sambil bawa-bawa kursi. Lihat Sota sebagai kursi berusaha mengejar si kucing dengan gerakan kocak. Film acknowledge kekocakan ini. Semua disengaja biar film terasa renyah dan menghibur. Dunia kontemporer Suzume yang juga takjub ngeliat kursi bisa ngejar kucing (Sota dan si kucing actually jadi viral, jadi sensasi di internet mereka) bikin film ini jadi makin akrab buat kita.

Seolah keringanan, kefamiliaran, dan keunikan karakter belum cukup, film menampilkan dirinya lewat animasi hand-drawn yang luar biasa. Makoto suka menggambar tempat-tempat asli sebagai lokasi cerita, dan di sini lokasi-lokasi yang jadi background itu meledak oleh warna-warna. Bahkan tempat yang paling suram sekalipun. Animasi film ini sepertinya dienhanced oleh efek yang membuat visual semakin berkilau. Lihat saja ketika Cacing-cacing itu berubah menjadi hujan saat Suzume dan Sota berhasil menutup pintu. Wuih, ciamik! Semua itu ditampilkan lewat sudut ‘kamera’ yang benar-benar luwes. Shot-shot perspektifnya dimainkan dengan leluasa. Jantungku berdebar-debar setiap kali kedua karakter kita berhadapan dengan Cacing, atau malah setiap kali mereka berlari menuju tempat pintu berada.

Suzume adalah film perjalanan. Petualangannya lebih ke action, agak sedikit berbeda dengan dua film Makoto Shinkai sebelum ini. Ketiga film ini ceritanya memang tak berkesambungan, tapi punya elemen khas yang mirip. Kalo kalian belum nonton, atau kepengen nonton lagi Your Name (2016) dan Weathering with You (2019),  sekalian aku tarok aja deh link dan badge keduanya di sini, biar pada tinggal klik! https://apple.co/3ZP9GQa dan https://apple.co/3FcWpZY

Get it on Apple TV

Get it on Apple TV

Perjalanan Suzume bersama makhluk dan hewan yang bisa bicara juga ngingetin aku sama animasi pendek yang kutonton tempo hari. Tentang anak yang ‘diantar’ pulang oleh hewan-hewan seperti kuda, rubah, dan tikus tanah. Dialog di film itu juga sama seperti Suzume, ngasih something untuk kita pikirkan. Kalian bisa nonton itu dengan subscribe di link https://apple.co/3ZAMup1

Get it on Apple TV

 

 

Bersama Sota, Suzume menyusur Jepang, ngikuti jejak si kucing yang dicurigai sengaja membuka pintu Cacing di berbagai reruntuhan kota supaya terjadi gempa. Suasana yang terus baru membuat misi mereka yang sebenarnya cukup repetitif jadi tak membosankan. Malahan jadi makin seru karena Suzume dan Sota juga bertemu banyak orang baru di setiap daerah yang mereka lewati. Film dengan efektif menampilkan interaksi Suzume dengan orang-orang ini, yang walau singkat tapi terasa banget mereka jadi sahabat. Namun begitu, aku cukup terhenyak di paruh awal ini, tatkala menyadari reruntuhan yang sebenarnya adalah tempat-tempat bekas korban gempa itu merupakan tempat asli. Aku gak yakin apakah tempat itu aslinya memang pernah kena gempa, atau tidak, tapi tetap saja kebayang gimana orang Jepang nonton ini – realizing gempa could happen there. Mengingatkan bahwa mungkin bisa saja ada survivor seperti Suzume yang nonton, dan mereka harus kembali melihat puing-puing. Di situlah aku sadar bahwa film Makoto kali ini lebih personal bahkan daripada Weathering with You  dan Your Name. Bahwa cerita yang diusung kali ini lebih daripada kisah romansa dua anak muda. Tentu elemen itu ada, tapi bukan inti – bukan yang terbaik – dari keseluruhan penceritaan Suzume. Karena film ini adalah tentang survivor gempa. Tentang orang-orang seperti Suzume, penyintas Tohoku yang masih mencari ibunya. Mencari orang tercinta yang jadi korban bencana.

Yang dilakukan Suzume di sini mungkin merupakan hal tersusah yang harus dilakukan penyintas. Menutup pintu. Melihat hal di balik pintu itu, mengenang peristiwa sebelum bencana, hanya untuk menutup dan menguncinya rapat-rapat. But mind you, film ini tidak mengagas itu sebagai perbuatan tersebut dilakukan Suzume untuk melupakan tragedi atau traumanya. Untuk melupakan ibunya. Tidak. Menutup pintu yang disebutkan film ini justru adalah tindakan respek, yang juga menguatkan survivor untuk meneruskan hidup ke depan. Film ini justru ingin Suzume mengingat masa itu, supaya cewek ini sadar. Untuk melihat pengorbanan dan cinta di balik itu semua. Satu elemen kunci lagi pada film ini adalah hubungan antara Suzume dengan tante yang selama ini membesarkan dia. Tante yang sampai sekarang belum menikah. Tante, yang pada satu momen meledak, bilang, dia telah mengorbankan masa mudanya demi Suzume. Suzume sendiri memang belum memandang tantenya sebagai sosok ibu yang ia hormati pada saat itu. She can’t, karena deep inside masih mencari ibu aslinya. Pengorbanan Sota sebagai kursi anak TK. Pengorbanan si kucing untuk kembali jadi kunci. Petualangannya menutup pintu, sembari bertemu orang-orang yang menampungnya, membuatnya ingat dan sadar akan hal penting yang teroverlook selama ini.

Some people gone but not forgotten, tapi tragisnya beberapa orang rela memilih bertahan dan menggantikan yang hilang, tapi terlupakan. Mengenang itu penting, tapi menyadari bahwa yang tinggal juga mengorbankan sesuatu juga tak kalah pentingnya. Film ini ngasih tahu bahwa setiap ada bencana, semua orang jadi korban, dan akan ada cinta yang mereka korbankan. Ingatlah cinta itu.

 

Kalo lihat pintu selembar gitu, ku malah ngakak jangan-jangan ada Faarooq dan Bradshaw main poker di sebaliknya haha

 

Di luar pesan simbolisnya tersebut, Suzume sebenarnya lebih ringan dan lebih straightforwad dibandingkan dua film sebelumnya. Film tidak banyak menggali soal ritual dan pintu-pintu itu. Tidak ada penggalian mendalam fantasi atau role dunia seperti pada Your Name.  Nature petualangan ala road tripnya pun membuat cerita berjalan cepat dan sistematis. Ceritanya tidak mengalami transformasi seperti pada Your Name; Suzume tetap petualangan mencari pintu, hanya dengan intensitas yang semakin dramatis. Kisah cintanya juga bahkan tidak sedalam itu. Weathering with You malah lebih terasa romantis. Romance di Suzume cuma terasa kayak ‘formalitas’ aja, biar terus ada ciri khas Makoto. Pertemuan si Suzume dan Sota itungannya termasuk kebetulan. Mereka juga tidak terasa bonding se-real itu mengingat sebagian besar waktu Sota berada dalam wujud kursi. Kita aja, aku yakin, lebih draw toward Sota sebagai kursi ketimbang Sota manusia, hanya karena dia lebih banyak sebagai kursi. Asmara mereka berdua ketutupan banyak hal yang sebenarnya lebih esensial. Dari kursi itu saja sebenarnya agak ‘meragukan’, karena kursi itu sebenarnya kursi kenang-kenangan ibu untuk Suzume. Jadi attachment si Suzume kepada Sota agak bias, karena bisa jadi dia cuma ‘sayang’ sama nilai kursi itu. Dan soal itu gak benar-benar dibahas oleh film. Pokoknya Suzume cinta aja sama Sota sehingga mau berjuang ‘menyelamatkan’ Sota di paruh akhir. Si Sotanya juga dibikin tau-tau juga sudah suka Suzume sedari pandangan pertama.

Romansa yang harus ada ini pada akhirnya jadi ngaruh ke yang lain. Yang membuat film jadi kurang maksimal. Relasi antara Suzume dan Tante atau bibinya tadi, salah satunya. Menurutku film harusnya jadiin relasi ini sebagai fokus. Karena bahasan mereka pada yang sekarang ini sedikit banget. Bahwa ternyata Suzume seneng-seneng aja dianggap anak yang kabur dari rumah, kita gak pernah merasakan itu dengan total. Padahal Suzume memang merasa lebih bebas di luar rumah. Begitu juga Tantenya. Alih-alih ngebuild up drama kehidupannya, film hanya memperlihatkan sekelebat dan membuat karakter ini ‘meledak’ gitu aja, dalam adegan awkward yang kayak dipaksakan buat sekalian ngenalin sosok batukunci yang satu lagi. Suzume berdurasi dua jam lebih dikit, memuat banyak, tapi belum terasa imbang. Enggak terasa padat kayak dua film sebelumnya, karena bahasan yang lebih penting kurang maksimal.

 




Perlu satu hari bagiku untuk ‘mendiamkan’ film ini. Supaya terlepas dari kehebohannya. Karena memang film ini lebih seru, dan gambarnya juga cantik banget. Lovable sekali! Penonton sestudioku ketawa dan hepi sepanjang durasi. Aku gak nyangka film anime bisa sepenuh itu. Karena ya memang film kali ini lebih straightforward. Dan ya itu, karena utamain crowd pleaser, dan romansa yang harus ada alih-alih penting untuk ada – menjadikan film ini formulaic,  maka aku harus mutusin satu pilihan penting. Apakah film ini bakal jadi angka delapan pertama tahun ini, atau dia sebenarnya cuma another Avatar 2. Aku sudah akan menutup pintu keputusan, dan jawaban itu muncul. Film ini punya hal yang tidak ada pada Avatar 2 yang complete fantasy. Identitas budaya real di balik ceritanya. Faktor yang membuat anime ini lebih urgen, bahkan dari dua karya Makoto sebelumnya yang lebih superior. Ya, keputusan itu akhirnya bisa dikunci.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SUZUME

 




That’s all we have for now.

Kira-kira kalian punya teori gak, kenapa Suzume bisa jadi secinta itu sama Sota?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



YOUR NAME Review – [2016 RePOST]

 

“It’s always an out of body experience with you.”

 

yourname-poster

 

Jepang, yea that land of weird things, memberikan kepada kita sebuah cerita cinta remaja dengan premis konyol paling tak-biasa; TENTANG COWOK DAN CEWEK YANG BERTUKAR TUBUH. Tapi yang lebih aneh daripada itu, adalah fakta tak-terbantahkan bahwa that story is wonderfully worked. Sangat kuat secara emosional, dituturkan dengan cara paling unik, dan somewhat suspenseful. Menjadikan anime ini berada di atas sana sebagai salah satu drama romansa terbaik yang kita lihat di tahun 2016.

Mitsuha, cewek pedesaan yang ingin tinggal di kota, terbangun dari tidur dalam keadaan bingung. Dia lalu kedapatan sedang meraba tubuhnya sendiri. Sementara itu, seorang cowok bernama Taki, terjatuh dari ranjangnya di suatu apartemen di Tokyo. Dengan malu-malu, dia melihat ke tubuh bagian bawahnya. “Oh Tuhan, kenapa gue jadi punya ‘ini’?” pikiran itu tergaung oleh both Mitsuha dan Taki karena mereka baru saja sadar; mereka terbangun di dalam tubuh orang lain. Awalnya, Mitsuha dan Taki mengira mereka cuma sedang mimpi. But the phenomenon keeps happening, day after day. Dari reaksi kerabat sekitarlah, they learned bahwa secara random, tanpa tedeng aling-aling, mereka bertukar tubuh saat bangun tidur. Kenapa bisa? Kenapa mesti mereka? Padahal mereka tidak saling kenal. Padahal mereka tinggal berkilo-kilo meter jauhnya!

Cerita film ini adalah tentang gimana Mitsuha dan Taki yang harus mencari tahu kenapa hal ini terjadi kepada mereka while also harus figure out gimana menjalani hari sebagai orang lain. Ini bukan soal si cewek ntar jadi tomboy, sedangkan yang cowok jadi feminin. It explores more. You know, it really gives “try walking on my shoes” a whole new meaning, as kita ngeliat kedua karakter ini literally experiencing pepatah lama tersebut. Melalui rangkaian montage yang sweet dan kocak, kita akan menyaksikan apa yang tadinya kebingungan berubah menjadi kerja sama. Mitsuha dan Taki menemukan cara untuk berkomunikasi. Mereka saling larang, kebayang dong malunya gimana ketika orang lain tahu privasi kita. Or something like, “you can’t do that in my bod – I don’t do that!” Namun somehow, saat bertukar tubuh, mereka berdua tidak tahan untuk ‘ikut campur’ dan mencoba untuk mengimprove kehidupan rekan tukeran-tubuhnya. Eventually, mereka menumbuhkan rasa kagum dan appreciate one another as they learn about each other’s lives.

 kalo di Indonesia bisa jadi sinetron; Tubuh yang Tertukar..

Kalo di Indonesia bisa jadi sinetron; ‘Tubuh yang Tertukar’

 

But that just one element of the whole story. It was just merely a set-up, untuk membuat kita mengerti sedalem apa hubungan yang terjalin di antara mereka berdua. Film ini actually berkembang menjadi much more deeper, serious and adventurous, dengan dibalut misteri, as they prove cinta sejati will stand out against the test of space and time.

Apa yang bisa membuat dua orang yang tidak pernah bertemu, yang tidak saling kenal, bisa jatuh cinta? Your Name sesungguhnya mengeksplorasi kebudayaan remaja yang sangat relevan, bukan hanya di Jepang, melainkan juga di belahan lain dunia. Sering kita stumble on story of how dua pasangan bertemu dari kenalan lewat online. Kita bisa belajar banyak tentang seseorang dari pengalaman yang ia tulis, ia ceritakan, dari curhat-curhat mereka. We get too see dan fall in love with their personality. Dan film ini examined tema tersebut dengan cara yang sangat cantik. Mitsuha dan Taki belajar tentang kehidupan each other dengan mengalami. Dengan benar-benar menjadi orang tersebut. Jadi mereka bisa tahu lebih banyak tentang pribadi masing-masing dibandingkan dengan hanya mendengar. It was such a personal bonding. Itulah sebabnya film ini sangat unik, sebuah romansa yang diceritakan dengan sangat keren.

 

Aku bukan penggemar drama cinta, aku bahkan bukan penggemar besar film anime. Di luar kartun-kartun masa kecil, paling aku hanya ngikutin Studio Ghibli saja. Dan Your Name adalah pelipur ketakutan kita, ngingetin bahwa ternyata masih banyak director di luar sana yang masih berjuang membuat film-film animasi yang hebat, penuh imajinasi nan cantik. Cara berceritanya lain dari yang lain dalam mengangkat tema yang udah jadi lapangan bermain khas Makoto Shinkaitentang pasangan yang terpisahkan oleh sesuatu. And I love this movie so much. Film ini tidak terasa cengeng ataupun lebay buatku. Meski ada juga sih adegan-adegan ‘tragis’ kayak lari-lari terus jatuh kesandung, tapi film ini bukan cinta-cintaan remaja supermelodramatis seperti di sinetron atau ftv. Your Name adalah tontonan yang lebih daripada itu.

Sungguh refreshing, cerita yang sangat berbeda, aku belum pernah melihat drama dituturkan dengan cara yang amat SANGAT UNCONVENTIONAL. Karakter-karakternya ditulis dengan begitu menyenangkan. Mereka semua sangat likeable. Voice-over yang sangat ekspresif dan sukses berat menghidupkan para tokoh. Mone Kamishiraishi lively sangat sebagai Mitsuha, dan Ryunosuke Kamiki sanggup ngeluarin charm dari kedua tubuh yang ia perankan.
Juga ada banyak simbolisasi yang memparalelkan antara kejadian di alam semesta, mekanisme dunia film ini, dengan hubungan yang dimiliki oleh kedua tokoh leadnya. It never gets too confusing, malahan semakin menarik kita. Tidak membiarkan kita terlepas sedetik pun dari ceritanya.

Arahannya pun luar biasa menakjubkan. Film ini sesungguhnya punya dua tone cerita yang kontras, Your Name adalah film yang sangat emosional yang bukan saja very funny melakinkan juga punya cara sendiri menyentuh kita tanpa jadi terasa lebay. Tidak pernah kedua tone tersebut berbenturan keras kayak komet yang menghantam bumi. Kebanyakan film kesulitan menjembatani dua sisi cerita yang berbeda, you know, kita sering lihat film yang awalnya kocak dan as the story progress, menjadi lebih serius sehingga terasa kayak dua film yang berbeda. Your Name punya cara yang hebat sehingga transisi antara bagian yang kocak dan fun dengan part of story yang lebih serius, EMOTIONALLY POWERFUL, dan ultimately penuh suspens menjadi mulus tak terasa.

Ketika modern world terpana oleh pesona dan misteri dongeng

Ketika modern world terpana oleh pesona dan misteri dongeng

 

Film ini akan meminta kita untuk menghormati kebudayaan Jepang. Sama sekali tidak berusaha untuk terlihat seperti Hollywood. Konten lokalnya kuat. Kita akan melihat ritual bencana dan perayaan fenomena alam. Ada banyak referensi tentang adat Jepang yang bakal kita apresiasi lebih jika sedikit-banyak tahu tentangnya, atau paling enggak jika kita sering nonton anime sejenis. Humornya pun bakal terasa baru, that we’ve never heard before. Makanya film ini begitu fresh. Ditambah lagi, film ini tetap memakai animasi traditional yang digambar dengan tangan. You know, style anime dipush menjadi semakin gorgeous oleh film ini. It was as mesmerizing as the storytelling. Gerakannya begitu fluid, everything – dari penampakan dalam ruangan hingga pemandangan angkasa, perbukitan hijau – tergambar dengan sangat cantik. Aku seneng aja Jepang punya kebanggaan untuk tetap menggunakan animasi khas mereka di saat Amerika, bahkan Indonesia, nyaris benar-benar meninggalkan cel animation dan beralih ke CG. Sebenarnya enggak masalah sih, CG keren dan menyenangkan. Hanya saja gambar-tangan kesannya lebih majestic, lebih imajinatif, dan khusus kasus film ini, terbukti lebih beautiful.

Nenek Mitsuha menyuruhnya untuk “treasure the experience”, as in segala keindahan di sekitar kita setiap hari, sesungguhnya adalah sementara. Tapi kita lebih sering take so many little things for granted. Koneksi dengan orang-orang, contohnya. Cherish dan appreciate hubungan genuine yang kita punya dengan sekitar.

 

 

 




Punya keunikan penceritaan yang luar biasa, sampai-sampai aku tidak bisa menemukan apa yang aku tidak suka dari animasi yang cantik jelita ini. Humornya yang beda bekerja sukses, drama emosionalnya bekerja sukses, aspek misteri dan mekanisme dunianya bekerja sukses, everything works out great in this movie. Dengan cara unconventionalnya examining today’s youth culture dan apa yang bisa membuat dua orang jatuh cinta meski jika mereka belum pernah bersua. Yang berhasil dicapai oleh Makoto Shinkai pada filmnya ini adalah betapa accessiblenya film ini buat banyak lapisan penonton, as ceritanya tidak come off  terlalu abstrak. Film ini imbued with elemen mimpi. Namun tidak seperti mimpi yang lebih sering terlupakan saat kita bangun, film ini akan terus terngiang di kepala. Bahkan saking kuatnya sehingga kamu-kamu bisa saja bermimpi tentangnya.
The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for YOUR NAME (KIMI NO NA WA).

 

 




That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

 



KEMBANG API Review

 

“But in the end one needs more courage to live than to kill himself.”

 

 

Mari bicara tentang mati. Apa itu mati? Well, essentially, mati adalah ketika suatu kehidupan berakhir. Ketika suatu aktivitas berhenti total. Tapi dasar manusia begitu kompleks perasaannya, bagi kita mati bisa berarti berbeda-beda. Ada yang menganggapnya sebagai musibah, ada yang menganggap sebagai perpisahan, bahkan ada yang menganggapnya sebagai kesempatan – meski tragis. Empat karakter dalam film yang diadaptasi Herwin Novianto dari drama Jepang ini, misalnya. Kematian mereka anggap sebagai jalan keluar dari masalah rumit yang merundung hidup masing-masing. Kembang Api (aslinya berjudul 3Ft Ball & Souls) memang bicara tentang karakter-karakter yang janjian untuk bunuh diri bareng. Perspektif mereka yang udah nekat milih mati membuat film ini enggak seangker itu. Bahasan pengen bunuh diri yang disajikan jadi enggak seberat dan seserius itu, meskipun memang ditulis dengan penuh pemikiran dan rasa hormat terhadap topik tersebut. Dan yang membuat film ini jadi malah menarik untuk disimak – enggak depressing – adalah konsep time-loop yang digunakan sebagai device untuk mengulik bahasan itu.

Empat orang yang janjian mau bunuh diri itu, jangankan kita, masing-masing aja mereka gak saling kenal. Mereka ‘bertemu’ di grup chat dan telah sama-sama sepakat untuk melakukannya pakai bola kembang api besar yang dipunya oleh Langit Mendung, yang ternyata adalah seorang bapak-bapak. Mereka gak tahu nama asli dan wajah masing-masing. Jadi di awal cerita, kita akan melihat mereka kenalan dulu, ala kadarnya. Karena mereka punya aturan untuk tidak saling mengorek pribadi dan masalah masing-masing.  Yang diestablish oleh Kembang Api di menit-menit awal itu adalah gimana mereka tampaknya sudah bulat tekad. Sudah yakin. Si bapak Langit Mendung sendiri menjelaskan cara kerja kembang api dan gimana tubuh mereka akan berkeping-keping dengan antusias, ngasih sensasi dread tersendiri kepada kita yang melihat mereka. Mereka enggak peduli satu sama lain, dan cuma mau hidup mereka berakhir. Konflik datang ketika salah satu dari mereka ternyata masih anak SMA. Tiga orang dewasa itu merasa gak enak ngajak minor meninggoy, but show must go on. Lalu loop itu terjadi. Alih-alih bebas dari dunia, mereka semua justru terus saja kembali ke awal sebelum mereka ngumpul untuk meledak. Percaya bahwa ini adalah kutukan lantaran udah biarin anak muda bunuh diri, si bapak berusaha meyakinkan yang lain – Anggrek Hitam dan Tengkorak Putih – untuk melarang Anggun ikutan.

Betapa munafiknya, melarang orang sementara dia sendiri melakukan yang dilarang haha

 

Debat keempat karakter itulah yang jadi ‘api’ dalam film ini. Masing-masing mereka merasa punya alasan yang kuat, merasa paling berhak untuk bunuh diri. Bahkan si Anggun yang paling muda itulah yang disebutkan paling kuat tekadnya untuk mati berkeping-keping di antara mereka semua. Jadi gak gampang bagi Langit Mendung dan yang lain untuk membujuk remaja itu untuk mundur. Melalui keempat karakter, naskah sebenarnya sedang menguarkan gagasan perihal bunuh diri. Mereka-mereka ini mewakili perspektif dan reaksi yang berbeda. Dan time-loop itu bukan hanya menyimbolkan mereka mendapat kesempatan yang berbeda, tapi juga jadi tahapan pembelajaran mereka, untuk tidak ngejudge dan menganggap remeh masalah orang lain. Untuk memikirkan ulang keputusan sendiri. Karena time-loop dalam film ini didesain sedemikian rupa; meskipun waktunya berulang, tapi pikiran karakter kita tidak serta merta ter-reset juga, film actually memainkan soal reset dan mereka tetap ingat tersebut. Sekilas tampak kayak gimmick, tapi itu sebenarnya menunjukkan tahapan pembelajaran. Dari situlah aku tahu film ini respek terhadap topik bunuh diri yang diangkat. Ini yang membuat film jadi begitu efektif, jika memang dibuat untuk mencegah lebih banyak lagi orang yang ingin mengakhiri hidup.

Aku pernah bunuh diri. Waktu main game Yugioh. Malahan, bunuh-diri adalah taktik andalanku setiap kali main, kalo kombo-kombo kartuku digagalkan semua oleh lawan. Aku hantamkan saja monsterku ke monster lawan yang attack pointnya tinggi. Aku merasa lebih baik kalah on my own terms, ketimbang harus menelan serangan monster lawan. Jadi aku kind of understand, dignity yang dilihat orang ketika memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Rasanya lebih terhormat saja, karena at least kita yang memegang kendali itu sekarang. Makanya, kita tidak bisa menyepelekan gitu saja tindak bunuh diri, karena itu berkaitan langsung dengan orangnya. Orang yang sudah terluka mental – dan mungkin fisik. Menyepelekan ide mereka bukan tidak mungkin membuat hal menjadi lebih parah. Aku bisa mengerti concern dan ‘kehati-hatian’ film ini dalam membahas masalahnya. Karena aslinya, cerita ini dari Jepang. Tempat di mana bunuh diri jadi tradisi terhormat. Kembang Api juga membawa concern dan rasa hormat yang sama. Film ini memang berdiri sebagai cerita anti-bunuh diri. Memang mengusung bahwasanya suicide adalah perbuatan lemah, solusi gegabah dari orang yang kena mental, tapi tidak sekalipun film ini menyepelekan masalah yang dialami oleh tiap karakter. Masalah mereka benar-benar diperlihatkan membebani – kita dipahamkan kenapa mereka milih mati, karena sekilas itu seperti jalan keluar yang paling tepat. Debat dan diskusi para karakter menekankan perbincangan terhadap masalah masing-masing tersebut. Yang pada gilirannya, membuat film ini juga lantas menekankan kepada saling share problem itulah yang sebenarnya dibutuhkan. Bahwa kita gak sendirian. Everyone has their own problems, tapi kita bisa sama-sama saling menguatkan. Dan terus hidup.

Itulah makanya filsuf dari Perancis, Albert Camus mengatakan bahwa pada akhirnya akan ada banyak orang yang lebih berani mati, ketimbang hidup. Karena menjalani hidup berarti kita harus berani menempuh rintangan, menerjang resiko, dan terutama meminta bantuan. Sementara mati, meskipun menyakitkan, tapi merupakan jalan keluar yang paling gampang karena kita tidak perlu lagi dealing with anything. Lihat saja karakter di Kembang Api, mereka awalnya lebih memilih meledak berkali-kali, ketimbang melanjutkan hidup.

 

Karena sudah semacam ‘jadi tradisi’ itulah, makanya film original yang Jepang mengambil arahan yang lebih ringan. Yang lebih banyak sisipan komedi, bahkan di momen-momen yang serius. Mereka punya ‘beban ekstra’ untuk soften the blow. Akibatnya saat menonton, film asli tersebut tidak terasa sedramatis versi remakenya ini. Serius, I’m actually surprised Kembang Api jatohnya lebih baik ketimbang film original. Bahwa film ini ternyata bukan remake yang ketiplek nyontek. Naskah Kembang Api benar-benar disesuaikan dengan konteks yang lebih relate ke kita, serta berkembang menjadi lebih ke arah yang dramatis. Kembang Api memang masih punya sebaran komedi untuk memperingan suasana, tapi tidak pernah terasa ‘mengganggu’ momen-momen yang lebih serius. Kembang Api lebih fokus kepada perasaan bersalah yang kemudian menghantui, lebih fokus pada sisi sosial dari hubungan karakter-karakternya. Yang paling terasa itu adalah saat membandingkan resolusi dan ending antara Kembang Api dengan 3Ft Ball & Souls. Film versi Jepang tampak lebih fokus kepada eksistensi grup chat yang anonim yang dikontraskan dengan actual interaksi saat kita bisa mengetahui hal-hal personal lawan bicara. Mereka mencoba menggugah kehidupan individu yang berlaku di sana. Ending film original bahkan memperlihatkan keempat orang ini kembali ke kehidupan masing-masing, sementara kita yang di posisi ‘melihat semua’ menyaksikan bahwa kehidupan mereka sebenarnya saling berkait. Sementara pada versi Indonesia mereka semua berakhir jadi lebih dekat, mereka jadi sahabat. Yang difokuskan pada permasalahan adalah gimana mereka berusaha saling menolong dengan saling ngasih perspektif ke dalam masalah masing-masing, kayak si Tengkorak Putih yang ngasih Anggun sudut pandang ibu yang ditinggal mati anaknya. Resolusi Kembang Api juga lebih dramatis terkait mereka semua benar-benar berusaha menolong Anggun yang masih kekeuh pengen bunuh diri dengan memberikan kepadanya satu opsi lagi. Opsi ini gak ada di film original yang ngasih efek pertolongan itu lebih subtil dengan menyerahkannya kepada pilihan Tsukiko sendiri.

Tapi meski ini remake yang bagus, statementku masih tetap sama “Remake terooos, sekalinya bikin sendiri isinya freezer!”

 

Kembang Api menambah layer simbolik dengan memasukin kalimat ‘Urip iku urup’ yang ditampilkan pada bola kembang api. Sehingga nanti kita akan melihat dan mendengarnya dimunculkan terus. Makna dari kalimat itu akan jadi hal yang membawa para karakter kepada momen penyadaran. Secara overall, dengan hal itu, Kembang Api jadi lebih literal ketimbang film aslinya yang lebih subtil. Tapi kupikir ke-literal-an yang membuat film hampir seperti mengejakan gagasannya itu memang diperlukan ketika cerita ini sampai kepada lingkungan kita. Lingkungan yang masih belum begitu ‘aware’ dengan bunuh diri itu sendiri. Berbeda dengan versi Jepang yang pengen menggugah tanpa menyinggung. Film Kembang Api lebih seperti raise awareness dan mencegah orang-orang yang mungkin kepikiran untuk melakukan tindakan itu, tapi enggak benar-benar tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan. Sehingga tempo yang lebih lambat, dialog dan pengadeganan yang lebih to the point, diperlukan untuk menghantarkan maksud tersebut. Film ini bahkan memperjelas trigger time-loop mereka, dengan actually memperlihatkan yang menekan tombol detonator akan merasakan loop.

Tentu saja Kembang Api gak unggul dalam semua hal dibanding originalnya. Perbedaan mencolok yang menurutku membuat film aslinya lebih energik adalah kamera. Film aslinya itu dinamis banget, mereka gak terpaku pada ‘time loop maka shot-shot kejadian harus sama’. Kamera di versi original akan menangkap dari berbagai angle. Bermanuver di antara ruang sempit gudang yang jadi panggung cerita. My favorit shot adalah saat kamera merekam para karakter yang ngobrol confess dari belakang. Dari punggung mereka. Rasanya seperti mendengar cerita dari seseorang yang bersalah. Film Kembang Api gak punya momen-momen itu. Kamera cukup lincah untuk membuat shotnya beragam, tapi ‘terpaku’ pada tempat yang sama. Pada kebutuhan untuk menekankan konsep time-loop. Membuat adegan di waktu pertama, dengan waktu kedua, tampil sama. Ini membuat film jadi sedikit monoton, terutama di awal-awal. Film berusaha bermain lewat musik, tapi gak exactly works. Karena musiknya kadang malah jadi membuat adegan dramatis jadi overkill. Untungnya, keempat aktor bermain dengan brilian. They understand the assignment. Donny Damara, Ringgo Agus Rahman, Marsha Timothy,  dan Hanggini memainkan peran mereka dengan range emosi natural. Sehingga mereka tak lagi jadi perspektif untuk menyampaikan gagasan saja. Tapi jadi beneran ‘karakter’. Yang hidup. Yang punya masalah dan urgen untuk segera diselesaikan. Mereka membuat karakter mereka yang basically gak punya stake, jadi bahkan lebih dramatis, karena sekarang kita jadi peduli soal apakah mereka benar-benar perlu untuk bunuh diri. Tidak lagi hanya sekadar menonton ini untuk pengen lihat apakah mereka berhasil bunuh diri atau tidak.

 




Dua minggu ini aku nonton film tentang bunuh diri semua loh ternyata. The Whale, Otto, dan sekarang film ini (dan film originalnya). Semuanya menghandle bahasan ‘orang kepengen mati’ dengan sangat respectful, dan menekankan kepada pilihan si karakterlah yang paling penting. Yang membuat film yang satu ini berbeda adalah dialog soal pilihan itu sendiri. Memberikan solusi tanpa meremehkan pilihan pertama pada awalnya. Mengakui bahwa setiap manusia punya beban, dan ya ‘berhak’ bunuh diri. It also bicara hal yang sama dengan Virgo and the Sparklings , yakni soal komunikasi anak dan orangtua yang gak ketemu karena sang anak ‘takut’, padahal sesimpel bicara itu bisa jadi solusi. On the other hand, aku toh skeptis awalnya. Karena film ini remake, maka kupikir bakal ketiplek nyontek. Ternyata enggak. Film ini menyesuaikan ending, resolusi, tempo, dan bahkan beberapa dialog dan kejadian. Membuatnya lebih cocok dengan konteks sosial kita, dan actually terasa beda dengan film aslinya yang dari Jepang itu.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KEMBANG API

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah seseorang harus pernah mengalami dulu baru bisa respect menggarap sesuatu tentangnya, misalnya apakah pembuat film harus pernah nyoba bunuh diri dulu sebelum bisa respect membuat film tentang mencegah bunuh diri seperti film ini?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



VIRGO AND THE SPARKLINGS Review

 

“Inside every angry child is an emotion they haven’t been able to comprehend”

 

 

Menyelamatkan dunia bukan hanya hak orang dewasa. Tagline Virgo and the Sparklings tersebut kontan menggelitik. Menyelamatkan dunia kan sebenarnya adalah sesuatu yang diemban sebagai tugas, sebuah kewajiban. Tanggungjawab. Bukan sesuatu yang didapatkan dengan jumawa, untuk gaya-gayaan. Kentara sekali kalimat tersebut punya nada penuh kebanggaan, namun sedikit polos tapi juga angkuh terhadap orang dewasa, semacam ingin nunjukin mereka juga bisa dan melakukan dengan lebih baik. Mereka siapa? Siapa lagi yang bisa bersikap angkuh padahal aslinya perlu belajar lebih banyak kalo bukan anak muda. Remaja. So, sedari taglinenya saja, karya Ody C. Harahap ini sudah menguarkan identitas yang kuat. Bahwa superhero kali ini beda dari kakak-kakak hero Bumi Langit sebelumnya. Jagoan super kali ini adalah anak muda, dan kita akan ngikutin cerita dari dunia dan perspektif mereka. Percikan api gelora anak muda, dan permasalahan mereka dengan orangtua, jadi hati pada cerita. Bahkan mungkin bisa dibilang, ini adalah cerita remaja dengan kedok superhero.

Berkedok superhero. Aku bilang begitu karena memang Virgo and the Sparklings works best saat memperlihatkan interaksi antarkarakter remaja dan segudang permasalahan mereka. Riani nama karakter utama di sini. Gadis SMA yang agak pemalu itu jadi semakin gak suka nonjolin diri lagi lantaran dia punya ‘kebiasaan’ aneh. Bola api suka tau-tau berkobar muncul dari dua tangannya. Padahal Riani ini punya bakat nyanyi. Suaranya bagus banget. Waktu Riani nyanyi sendirian di dalam kelas kosong itulah, beberapa teman mendengar kebolehannya. Riani akhirnya diajak gabung ngeband bareng Ussy, Monica, dan manajer mereka; Sasmi. Band mereka dinamai Virgo (karena semua personel ternyata berzodiak Virgo, cute!) dan mereka ikutan semacam kontes battle of the band. Di kontes itu mereka bertemu dan akhirnya saingan sama girl rock band idola mereka, Scorpion Sisters. Bagian Riani membuka diri untuk bergaul dan bikin band bareng teman-teman itulah yang menyenangkan sekali untuk disimak. Karena situasinya benar-benar dibuat grounded. Khas pergaulan anak remaja sehari-hari. Dari situ juga masuklah bahasan tema utama cerita, karena teman-teman Riani sebenarnya gak ada yang boleh ngeband oleh orangtua masing-masing. Tapi mereka tetap nekat, sampai bikin topeng dan kostum biar identitas mereka gak ketahuan nanti pas nampil di panggung. Jadi kostum dan kekuatan api Riani – yang obviously bakal jadi karakter superheronya – di awal itu dihadirkan natural. Para karakter ini ‘hanya’ menjadikan itu sebagai gimmick mereka buat manggung. Buat dapat view. Momen-momen Riani dibantu oleh teman-teman mengendalikan kekuatan api juga terasa sangat lugu. Dia disuruh manasin air, dan juga masak mie. Tapi momen-momen sederhana itu jadi semakin serius, karena di balik keceriaan mereka, di background kita kerap mendengar berita tentang anak muda yang kesurupan dan mengamuk kepada orangtua mereka. Inilah yang jadi konflik, jadi sesuatu yang harus dibereskan oleh Riani terkait journeynya menjadi seorang patriot super.

Kekuatannya api, lagunya angin, zodiaknya tanah

 

Action-fantasi atau superhero yang grounded memang terbukti lebih menyenangkan. Apalagi yang settingnya kehidupan anak muda kayak gini. Yang ceria walau juga penuh drama. Tapi yang jelas, jauh dari ba-bi-bu intrik plot twist politik. Film Virgo juga cukup bijak nahan diri – tidak hingga momen credit kita melihat tie in universe Riani dengan superhero BCU lainnya. Cerita yang contained di dunia sendiri, membuat film jadi lebih fokus, dunianya itu terasa lebih hidup (walaupun memang tidak sepenuhnya dieksplorasi). At least, Virgo terasa punya identitas dan keunikan. Scott Pilgrim vs. The World masih jadi nomor teratas dalam daftar film favoritku setelah sepuluh tahun lebih untuk alasan tersebut. Film itu berlaga di dunianya sendiri, dan berhasil. Dan dunianya itu adalah dunia absurd, tapi sebenarnya adalah cerita khas anak muda. Seorang cowok yang ingin pacaran sama si cewek baru, tapi dia harus ‘ijin’ dulu sama tujuh mantan si cewek. Premis itu diwujudkan dalam aksi seperti pada komik dan video game, karakternya yang di awal kayak remaja sehari-hari ternyata pada punya kekuatan unik. Dan mereka juga tanding ngeband! See, no wonder aku bandingin Scott Pilgrim dengan Virgo ini.

Walau ternyata memang enggak seabsurd itu, Virgo hadir dengan energi remaja khasnya sendiri. Geng-gengan. Naksir-naksiran. Saing-saingan. Idol-idolan. Pertemanan yang akrab banget, tapi sesekali juga bisa berantem. Api kekuatan Riani yang tak terkendali itu bisa kita sambungkan sebagai simbol passion remaja yang sedang dalam masa pencarian tempatnya di dunia. Tapi yang paling penting di antara itu semua, film ini mengangkat value yang relate banget dengan setiap remaja manapun. Tentang komunikasi antara anak dengan orangtua, dengan orang dewasa. Dalam cerita ini, Riani akan menyelediki kenapa anak-anak yang menonton satu video misterius di YouTube pada mendadak kesurupan dan mengamuk. Nice play dari fenomena masa kini yang anak-anak cenderung dinilai lebih emosian kalo terekspos gadget terlalu lama. Memang di jaman sekarang, anak-anak lebih suka menghabiskan waktu di internet ketimbang dengan orangtua. Di salah satu adegan, teman sekelas Riani mengamuk dan ada yang minta untuk manggil guru. Namun Riani menjawab, guru bisa apa. Sekali lagi film ini nunjukin betapa anak muda seperti mereka tidak lagi memilih orangtua atau orang dewasa sebagai opsi yang terpercaya. Film lebih jauh mengeksplorasi masalah ini dengan memperlihatkan Riani dan kawan-kawan berusaha membereskan masalah mereka sendiri. Orangtua hanya berarti masalah.

Kebanyakan cerita dengan tokoh remaja memang biasanya ‘mengantagoniskan’ orangtua. Atau kalo perlu, kehadiran orangtua dihilangkan gitu aja, tidak disebut di dalam cerita. Yang membuat Virgo berbeda dari film-film atau cerita remaja serupa itu adalah, film ini actually mengungkap sudut pandang lain. Bahwa kemarahan anak, ketidakpercayaan anak yang disasar ke orangtua, hanyalah luapan emosi berapi-api yang mereka rasakan di umur segitu. Anak takut membuat marah orangtua, suka ngerasa akan makin susah, sehingga komunikasi itu gak ketemu. Padahal bisa jadi kalo masalah itu diomongin langsung malah jadi ‘plong’ Seperti yang ditunjukkan oleh film ini. Kids, your parents are not that bad.

 

So much fun ngelihat Adhisty Zara, Satine Zaneta, Ashira Zamita, Rebecca Klopper, dan aktor-aktor muda itu ‘dilepas’ di lingkungan yang akrab dan relate dengan keseharian mereka. Membuat film makin terasa genuine. Problem, however, mulai bermunculan ketika film mengangkat yang agak serius dan kehilangan pegangan kepada dunia remaja saat genre superhero itu harus ditegakkan. Virgo and the Sparklings memang terasa enggak balance, pada beberapa momen dapat berubah drastis dari menyenangkan menjadi cringe. Mungkin arahannya kurang bisa mengena ke pemain? Coba bandingkan dialog ’emangnya guru bisa apa’ tadi dengan dialog ‘polisi gak bisa ngapa-ngapain’ yang diucapkan Zara sebagai Riani di menjelang babak akhir nanti.  Celetukan yang lebih serius soal polisi itu terdengar agak cringe diucapkan. Enggak senatural murid yang gak percaya guru. Dan juga feel forced, karena di titik itu kita sudah tahu kekuatan Riani dan sebenarnya naturally dia tinggal bilang cuma dia yang bisa lihat ‘asap hitam’ penyebab semuanya.

Final battlenya juga terasa cringe, tidak tampak seperti ujung yang natural dari build up dan hubungan karakter yang telah dijalin. Situasi menjelangnya padahal masih terasa ceria dan lucu di balik keseriusan masalah. Geng Riani udah full jadi tim hero, tapi kehalang satu pintu terkunci aja mereka kocar-kacir. Lalu mereka yang pakai alat untuk menghalang kekuatan si penjahat jadi punya interaksi kocak karena alat itu membuat mereka tidak bisa mendengar satu sama lain. Tapi saat Riani sudah face-to-face dengan penjahatnya, dalang dari semua, semua terasa lop-sided.  Aksi pada Riani seperti terbatas pada lempar bola api (yang not destructive, tapi menyembuhkan korban dari pengaruh jahat) sehingga battlenya dengan cepat jadi monoton meski film berusaha membuatnya dramatis dengan kekuatan Riani sendiri mulai takes toll on her body. Yang buatku paling mengganjal di final battle itu adalah Riani kayak gak punya plight, perdebatan dengan si jahat. Dia enggak benar-benar menanggapi omongan si jahat, padahal si jahat ini adalah idolanya, padahal si jahat ini sudah menyebut mereka sebenarnya sama dan mengajak Riani bergabung dengannya. Riani cuma ngomong sekadarnya saat mereka bertemu untuk pertama kali sebelumnya, tapi di momen final, benar-benar gak banyak bantering antara mereka berdua. Buatku ini sedikit kekurangan pada naskah, serta missing opportunity. Naskah tidak benar-benar bisa memparalelkan antara Riani dengan si jahat, sehingga resolve konflik mereka kurang nendang. Missed opportunity, karena ini harusnya jadi momen kita melihat Zara dan Mawar Eva adu akting, tapi film gak benar-benar ngasih mereka sesuatu melainkan hanya gimmick cringe sebagai momen ‘berantem’.

Bulan baru, film Mawar baru!

 

Kalo mau jujur sih, adegan-adegan perform musik film ini menurutku sebenarnya juga masih tergolong missed opportunity. Kenapa? Karena di sini mereka punya assemble cast yang sebagian besar beneran bisa nyanyi dan bisa main alat musik tapi coba lihat sendiri deh gimana film ini ngesyut adegan-adegan perform tersebut. Bland dan seragam semua cara nampilinnya. Boring. Sekali lagi aku membandingkannya dengan Scott Pilgrim yang punya banyak adegan ngeband, dan masing-masing adegan tersebut berbeda treatment dan ada keunikannya satu sama lain. Ody Harahap memang bukan Edgar Wright yang ahli bercerita dengan gaya editing dan timing komedi yang khas, Ody punya cara tersendiri menampilkan komedi atau aksi, ataupun keduanya, tapi untuk nampilin perform musik yang energik, arahannya masih terlalu standar.  Adegan musik yang ceritanya direkam dengan hape Sasmi yang kakinya sakit, akan tertampil sama dengan adegan musik di panggung pertunjukan.  Kita selalu melihatnya dari kamera yang seperti kamera pada acara TV sehingga nyanyian tersebut tidak pernah dikesankan seperti dinyanyikan langsung. Mawar ataupun Zara harusnya bisa banget punya momen perform seperti Brie Larson nyanyi Black Sheep di Scott Pilgrim, tapi Virgo tidak pernah meng-utilized pemainnya seperti demikian. Performance mereka artifisial semua, enggak ada aksi panggung sehingga gak berhasil ngasih kesan ‘live’ kayak Brie.

 

 




Film ini buatku punya vibe yang sama dengan film dan video game favoritku, Scott Pilgrim dan seri River City Girls. Aku enjoy nonton bagian karakternya saling interaksi, latihan band, latihan menggunakan kekuatan superhero. Value yang dikandung ceritanya juga relate banget, terutama buat anak muda. Film ini bisa jadi hiburan sekaligus something untuk dipikirkan bagi penonton muda. Walaupun memang pada akhirnya naskah dan arahan cukup keteteran, aksinya berakhir cringe, kekuatan Riani  jatohnya underwhelming banget – apinya gak sakit, sinesthesianya cuma plot device untuk misteri kekuatan penjahatnya – adegan perfom musiknya enggak benar-benar nendang (walau lagunya enak-enak), dan banyak karakter yang bikin penasaran simply karena cerita tidak benar-benar bisa memanfaatkan waktu untuk mengeksplor mereka. But hey,  I’d take cheerful and grounded superhero movies any day ketimbang superhero yang sok-sok gelap dengan fantasi politikal yang melebar ke mana-mana. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for VIRGO AND THE SPARKLINGS

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa sih anak-anak muda gak percayaan sama orang dewasa?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



MINI REVIEW VOLUME 8 (THE WHALE, AFTERSUN, ALL QUIET ON THE WESTERN FRONT, NOKTAH MERAH PERKAWINAN, ELVIS, INFINITY POOL, WOMEN TALKING, BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER)

 

 

Normalnya, bulan Januari-Februari di bioskop itu agak adem ayem, karena biasanya film yang tayang di awal tahun itu ya tipe film yang ga rame enough untuk tayang di musim-musim liburan. Tapi di blog ini, bulan-bulan tersebut biasanya justru yang paling sibuk. Karena waktu tersebut merupakan last chance buat nontonin film-film yang kelewat di tahun sebelumnya, serta ngejar nontonin film-film yang masuk nominasi Oscar. Tahun yang sudah-sudah, blog ini entrynya paling banyak ya di bulan-bulan awal tersebut. Untuk itulah aku bersyukur bikin segmen Mini-Review.  Karena sekarang ku punya slot khusus untuk film-film itu, sehingga gak perlu kayak kebakaran jenggot lagi ngejar ngulasnya. Jadi, inilah Mini-Review pertama di 2023, yang di antaranya berisi tiga nominasi Best Picture Oscar yang baru saja ketonton!

 

 

 

AFTERSUN Review

Jika dirancang dengan baik, struktur penceritaan dapat mengangkat feeling yang terkandung di dalam narasi menjadi berkali-kali lipat lebih emosional. Aftersun, debut sutradara Charlotte Wells ini contohnya. Kisah seorang perempuan yang mengenang masa-masa liburan bersama sang ayah saat ia masih kecil, tidak diceritakan Charlotte dengan sedatar pakai flashback. Charlotte benar-benar paham dengan apa yang sedang ia sampaikan, dia punya visi yang kuat, sehingga tindak mengenang-masa tertentu itulah yang ia wujudkan lewat struktur dan gaya bercerita.

Nature dari kenangan yang episodik, dan much more dreamy dari reality itulah yang benar-benar divisualkan oleh film. Dijadikan hook emosional juga tatkala kenangan yang diambil itu dibentrokkan dengan apa yang terjadi di masa sekarang. Di sinilah ketika film sekali lagi berhasil menjelma dengan luar biasa emosional. Sophie yang berumur 11 tahun lagi liburan di Turki bareng ayah, mereka ke pantai, main game, kenalan sama orang baru, berenang – semua yang manis-manis itu ditangkap oleh film lewat estetik, kamera, warna, bahkan suara yang kontras dengan sesuatu yang membayangi. Melalui interaksi mereka, keingintahuan kita tentang ini sebenarnya cerita tentang apa menemukan pegangan pada sesuatu yang lebih naas. Bahwa ini anak yang sedang menelisik ulang, sedang berusaha mengenali lebih dekat siapa sosok ayahnya, lewat kenangan yang bisa jadi satu-satunya yang ia punya tentang sang ayah.  Keputusan film untuk tidak ‘meneriakkan’ yang merundung Sophie saat dewasa, lantas menghantarkan kita pada apa yang menurutku membagi dua penonton film ini. Tidak puas karena tidak ada finality yang jelas. Atau tercenung merasakan aftertaste getir yang luar biasa kuat.

Namun di luar itu semua, aku yakin penonton bakal satu suara soal betapa hangat dan manis (tapi tragisnya) hubungan ayah dan anak itu tergambar. Chemistry antara Paul Mescal dan Frankie Corio tak pelak jadi pesona utama yang bikin kita semua peduli dan menyimak sampai habis.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for AFTERSUN

.

 

 

ALL QUIET ON THE WESTERN FRONT Review

Semua film perang basically adalah propaganda anti-perang. Mereka menyampaikan itu dalam berbagai cara, ada yang menelisik propaganda untuk terjun perang itu sendiri, ada yang langsung mengajak penonton mengalami langsung suasana perang, ada yang mengeksplorasi dampak setelah perang, dan lain-lain. Intinya film-film itu akan menunjukkan betapa perang adalah sebuah horor kemanusiaan. Edward Berger dalam film perang adaptasi-novel ini, semacam menggunakan semua cara tersebut. All Quiet on the Western Front sungguh bakal jor-joran  membuat kita melihat horornya perang, dan membiarkan kita terhenyak dalam keheningan di ending, saat semua dar-der-dor dan dag-dig-dug dan asap tembakan itu hilang dari layar.

Momen yang buatku paling nohok adalah saat film actually memperlihatkan gimana para anak muda yang bersemangat jadi tentara itu sebenarnya gak tahu apa-apa, gak nyadar bahwa medan perang ternyata begitu mengerikan. Kontras antara yang mereka rasakan sebelum berangkat, dengan saat sudah berlarian diberondong peluru itulah yang buatku terasa baru di film ini. Sebagian besar dari karakter film ini ketakutan setengah mati! Kemudian emosi itu semakin menjadi-jadi tatkala kita melihat mereka sebenarnya tahu bahwa pihak lawan juga sama takut, sama tak berdaya, dan mungkin sama menyesalnya, tapi mereka tetap harus saling bunuh. Itulah yang buatku paling spesial dari film ini.

Sehingga bagian-bagian yang over-the-top kayak potongan tubuh di atas pohon, mayat-mayat dan sebagainya, teriakan dan desain musik yang agak trying too hard biar seram, terasa tidak lagi benar-benar diperlukan. Film ini sudah berhasil di momen-momen kecil yang menguarkan perasaan para pemuda di medan perang. Gimana mereka menikmati makan angsa colongan, untuk kemudian dikontraskan dengan kejadian di medan perang. Untuk film yang punya kata Quiet pada judul, narasinya sendiri agak terlalu banyak nge-generate noise yang menurutku bisa lebih diefektifkan lagi. But still, film ini tepat menembak sasarannya. Perang itu mengerikan!

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ALL QUIET ON WESTERN FRONT

 

 

 

BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER Review

Kepergian Chadwick Boseman certainly ninggalin lubang menganga di hati para penggemar dan kolega-koleganya, dan ini juga tercermin pada franchise superhero yang ia tinggalkan. Lubang menganga dari kepergian karakter T’Challa sebagai protagonis di Black Panther terasa begitu susah untuk ditutup, membuat sekuel yang digarap oleh Ryan Coogler secara naratif terasa berantakan. Rewrite yang mereka lakukan buat karakter-karakter yang ditinggalkan terasa banget membekas, jadi rajutan kasar pada overall sajian filmnya.

Wakanda Forever bekerja terbaik ketika mendalami soal kematian T’Challa. Gimana dampaknya bagi Ramonda yang jadi naik tahta lagi. Bagi Shuri yang merasakan grief sekaligus menyalahkan diri sendiri atas kematian sang abang. Dan pada rakyat Wakanda lainnya. Aku pikir harusnya film menahan diri dan berkutat dulu pada masalah ini. Bikin Wakanda Forever sebagai complete tribute, bagi sang karakter, sekaligus aktornya. Tapi mungkin karena agak segan cashin’ in cerita dari real tragedi, atau mungkin karena film ini bagaimana pun juga adalah roda-gigi dari proyek yang gak bisa segampang itu diubah rancangannya, maka Wakanda juga langsung mentackle sekuel sebagai aksi superhero. Hasilnya mungkin kedua kepentingan itu masih bisa terikat, tapi menghasilkan bentukan yang weird dan terutama agak maksa bagi karakter pengganti superhero utama, si Shuri.

Durasi lebih dari dua jam setengah nyatanya gak cukup untuk bikin naskah superpadet ini rapi. Kita masih akan sering berpindah dari Shuri, ke karakter lain, membuat development Shuri jadi tidak terasa benar-benar earned. Ada aspek dari dirinya yang jadi kayak dilupakan, makanya relasi Shuri dengan Namor tidak pernah benar-benar terasa genuine. Namor pun terasa kayak penjahat random yang aksinya gak benar-benar fit in ke dalam narasi keseluruhan, rencananya terlihat aneh. There’s so much going on. Makanya aku lebih suka Quantumania yang lebih contained dan terarah.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER

 

 

 

ELVIS Review

Yang unik dari biografi karya Baz Luhrman ini – selain karakter titularnya yang punya aksi nyentrik di panggung – adalah perspektif cerita. Kita tidak melihat cerita ini dari si Elvis himself, melainkan dari seorang Colonel Tom Parker. Manager sang Raja Rock ‘n Roll. Dan meskipun itu jadi modal film ini untuk bisa langsung netapin motivasi karakter itu sebagai penggerak cerita, dalam perkembangannya perspektif itu tidak pernah benar-benar jadi utama melainkan hanya terasa jadi excuse supaya cerita bisa ‘melayang’ dari satu titik di kehidupan dan karir Elvis ke titik lainnya, tanpa benar-benar mendalami kehidupan itu sendiri.

Padahal Austin Butler sudah benar-benar ‘serius’ menjelma jadi Elvis. Gaya bicara, mannerism, bahkan dandanannya terlihat lebih natural dan inviting ketimbang riasan over yang malah seringkali nutupin kecemerlangan akting Tom Hanks. Tapi film lebih memilih untuk merayakan teknis yang artifisial. Permainan montase dan editing terasa terlalu banyak, dan at times lebih glamor daripada gimana subjek (atau di sini jadi objek?) diperlihatkan oleh ceritanya sendiri. Permasalahan di karir seperti di-cancel TV karena aksi panggung yang seloroh, pandangan rasis waktu periode itu, dan lain sebagainya, tidak terasa benar-benar punya penyelesaian yang saklek. Hubungan naik-turun antara Elvis dan Colonel pun – karena ini supposedly cerita dari Colonel – tidak begitu memuaskan meskipun kita sudah berhasil tersedot untuk peduli.

Tapi di balik confused-nya diriku terhadap penceritaan dan fokus film ini, toh tak bisa dipungkiri juga film ini jadi punya energi luar biasa nyetrum. Dan mungkin inilah tujuannya. Membuat suatu presentasi yang seperti punya ruh Elvis itu sendiri. Sehingga ketika penonton menyaksikannya, film ini lebih dari sekadar menuturkan ulang kisah hidup si Bintang. Melainkan live-and-breath his personality.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ELVIS

 




INFINITY POOL Review

Nama Cronenberg memang tidak akan mengkhianati ekspektasi kita, karena Infinity Pool karya Brandon Cronenberg mungkin memang enggak se-jijik film bokapnya, tapi tetaplah sebuah pengalaman horor yang bikin badan jumpalitan saking aneh dan nekat konsepnya.

Film ini dimulai dengan premis yang sangat menarik. Penulis dan istrinya liburan di resort, mereka kemudian berteman dengan sesama turis, mereka have fun together, lalu uh-oh mobil mereka gak sengaja menabrak orang lokal hingga tewas. Si penulis, yang nyetir, dihukum mati oleh polisi setempat. Nah, hukuman matinya itulah tempat kegilaan konsep Brandon berada.  Ada sesuatu soal kelas sosial yang ingin dibicarakan di sini. Daerah turis yang melihat wisatawan sebagai kantong duit, dan turis yang merasa punya duit berarti bebas melakukan apapun; interaksi itulah yang membentuk konsep aneh cerita film ini.

Jadi aku menunggu. Nunggin buah apa yang bakal kita petik dari Penulis dan teman-teman kayanya sengaja berbuat onar karena mereka punya duit untuk membayar program clone.  Jadi yang dihukum mati adalah clone mereka, sementara mereka sendiri bebas ngelakuin apa saja termasuk kriminal. Tapi ternyata loop yang dimaksud pada judul, memang hanya repetisi. Dengan cepat keseruan tindak mereka jadi datar ketika tidak ada ujung, tidak ada konsekuensi nyata. Film kayak pengen bahas drama dari eksistensi, like, siapa tau si Penulis yang asli justru sudah mati – ketuker ama kloningan. Tapi enggak. Pengen bahas konflik antara Penulis dengan istrinya, juga enggak pernah benar-benar ke arah sana. Pada akhirnya yang kunikmati bahkan bukan gore-nya, namun kegilaan Mia Goth sebagai Gabi yang ternyata jauh lebih sinister dari kelihatannya. Calon adegan favorit tuh, Mia Goth teriak-teriak di babak ketiga hihihi

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for INFINITY POOL

 

 

 

NOKTAH MERAH PERKAWINAN Review

Film yang paling banyak direkues nih, untuk diulas. Tapi aku baru bisa menontonnya saat tayang di Netflix. Dan I’m sorry to say, karya Sabrina Rochelle Kalangie ini might be jadi runner up kalo akhir tahun kemaren aku jadi publish daftar Top-8 Film Paling Overrated 2022

Kita udah bahas gimana Aftersun dan Elvis melakukan sesuatu dengan cara berceritanya sehingga film itu jadi terangkat jadi something else. Aftersun menjadi lebih emosional dan genuine, sedangkan Elvis jadi punya perspektif unik sebagai landasan narasi. Noktah Merah juga berusaha membuat nature datar dari cerita rumah tangga yang sus ada perselingkuhan punya spark, dengan sedikit ‘mengacak’ perspektif. Tapi strukturnya itu tidak berbuah apa-apa selain perspektif yang aneh (kalo gak mau dibilang kacau). Film ini narasinya dibuka oleh karakter ‘pelakor’. Seolah dia karakter utama. Dia curhat kepada karakter lain soal dia cinta sama pria yang beristri, tapi yang kita lihat sebagai ‘cerita’ dari dia itu tidak pernah mewakili perspektifnya. Kita melihat drama biasa, yang actually di luar perspektif sang karakter. Cerita ini lebih cocok kalo membuat sang istri jadi karakter utama, jika perspektif istri yang jadi utama. Karena semua masalah itu sepertinya ada di kepala karakter ini. Walaupun nanti si pelakor dan istri bertemu, tapi perspektif para karakter ini gak pernah melingkar, karena cerita resolve (tau-tau) dari persoalan anak. Naskah film ini jadi benar-benar choppy setelah usaha untuk membuat penceritaannya bergaya.

Momen emosional film pun hanya bersandar pada dialog-dialog banal istri dan suami yang saling meledak. Sementara untuk momen-momen yang ‘diam’, yang diserahkan kepada kita untuk merasakan masalah atau emosi, film ini gak benar-benar punya. Karena dengan perspektif yang gak kuat, momen-momen tuduhan istri atau momen yang bisa jadi-masalah, ya hanya terlihat seperti kekeraskepalaan sang istri, atau suami yang ‘melarikan diri’. Momen-momen yang mestinya genuine feeling itu jadi hanya annoying.

The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for NOKTAH MERAH PERKAWINAN

 

 

 

THE WHALE Review

The Whale is beautiful. Sedih, sih, memang. Tapi beautiful, Aku jeles. See, aku orangnya masa bodo dan sering dikatain hidup di dunia sendiri, jadi iri adalah satu rasa yang paling gak relate buatku, tapi ya, aku berhasil dibuat Darren Aronofsky merasa iri kepada Charlie, pria yang really let himself go sampai membahayakan dirinya sendiri.

Aku iri karena Charlie masih bisa begitu optimis kepada orang lain, meskipun dirinya telah menyerah kepada dirinya sendiri. Loh? Iya, di situlah kompleksnya cerita film ini. Aku ingin seperti Charlie yang percaya bahwa masih ada cinta dan kepedulian pada semua orang, bahwa people incapable of not caring. Mereka cuma harus jujur kepada diri sendiri. Dan kepercayaan Charlie tersebut benar. Man, aku hampir nangis di ending. The Whale bukanlah cerita tentang orang yang gendut kemudian meratapi nasibnya. Justru sebaliknya, film ini adalah tentang orang yang sudah tahu dirinya tak tertolong, tapi dia percaya cinta itu ada, dan mencoba menolong orang-orang terdekatnya untuk menemukan hati mereka. Makanya karakter Charlie ini begitu kontras. Di kala sendiri kita melihat his destructive behavior terhadap diri sendiri, makan segitu banyak sampai jantungnya berontak. Gak mau ke dokter karena dia nyimpan duit untuk putrinya. Yang grew up membenci dirinya. Ada begitu banyak adegan yang hard to watch, hingga ke perilaku putri Charlie (Sadie Sink sukses jadi anak paling nyakitin sedunia akhirat) Tapi film bersikukuh untuk kita melihat Charlie tanpa belas kasihan, melihat Charlie menyerap itu semua sebagai hukuman diri, dan menumpahkan cintanya di balik itu semua. Tanpa harap kembali. Itulah bentuk dia dealing with grief dan rasa bersalahnya.

Drama di satu tempat tertutup, with nothing but dialog dan raw emotions. Ini adalah cerita seorang pria yang nothing to lose, melainkan punya banyak untuk dibagi kepada dunia yang bahkan terlalu jijik untuk memandangnya. Brendan Fraser juara banget di sini, kalo bukan karena persona dan pemahamannya terhadap Charlie, karakter dan film ini gak bakalan worked seindah – dan semenyedihkan – ini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for THE WHALE

 

 

 

WOMEN TALKING Review

Sebagai nominasi Best Picture Oscar, Women Talking karya Sarah Polley memang benar bicara tentang hal yang relevan, dengan cara yang menggugah pikiran dan hati kita sekaligus. Mengenai perjuangan perempuan, yang masih saja terus seperti berada di posisi jahiliyah di mata kuasa lelaki. Untuk itu saja, film ini mampu bikin kita tetap melek, pasang telinga, menyimak apa yang mereka permasalahkan. Untuk ikut mencari apa yang sebaiknya dilakukan. Untuk ikut peduli sama masalah ini, lebih dari soal feminis tapi jadi soal kemanusiaan pada dasarnya.

Perempuan-perempuan dalam film ini berembuk setelah sekali lagi, salah satu dari mereka terbangun dalam keadaan sudah tak-perawan. Dibius pake obat bius sapi. Diperkosa oleh laki-laki, sekampung sendiri. Para perempuan itu mendiskusikan apakah mereka akan tetap tinggal di koloni, dan berontak melawan. Atau pergi dari sana. Sebagian besar durasi film yang warna dan settingnya juga dibikin kayak kisah jadul ini membahas tentang debat para perempuan, mikirin pro dan con dari dua pilihan tersebut. Dan demi Tuhan – oh aku bakal dirujak ngatain ini – film ini jadi boring karenanya. Debat mereka repetitif, dan terasa seperti percakapan yang mengawang-awang ketimbang solving problem.

If anything, aku teringat dan jadi membandingkan ini sama 12 Angry Men (1957). Yang kayaknya kukasih 8 atau bahkan 9 kalo mau direview. Percakapan pada film itu terasa benar-benar lock dan punya weight dan pada gilirannya emosional untuk disimak, karena ironisnya punya dasar logika yang kuat. Orang bilang cowok naturally lebih pakai logika ketimbang perasaan, but no, justru masalah di cerita itu muncul ketika para juri pria itu mendakwa tersangka dengan perasaan. Prasangka. Dengan judgmental. Mereka, para cowok, juga harus belajar melihat dengan logika. Dan di situlah letak mengawang-awangnya Women Talking. Argumen-argumen mereka terasa seperti perbincangan logis yang diputar-putar oleh perasaan. Sehingga masalah itu enggak selesai-selesai. Mungkin memang itu tujuannya. Memperlihatkan bahwa bagi wanita, semuanya susah, apa-apa pasti dijudge, bahkan di antara mereka sendiri. Di sini protagonisnya karakter optimis juga kayak Charlie di The Whale, dia dihamili tapi masih percaya pada potensi dia akan memaafkan sang pelaku, siapapun itu. Sehingga keputusan yang mereka ambil dari sikap-sikap kayak gini jadi terasa emosional dan penting.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for WOMEN TALKING

 

 




That’s all we have for now

Dengan ini semua film nominasi Best Picture Oscar sudah kureview, silakan follow akun twitterku di @aryaapepe karena biasanya menjelang Oscar aku suka bikin prediksi di sana hehehe

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



PARA BETINA PENGIKUT IBLIS Review

 

“Once you shake hands with the devil, you have to accept they are in control”

 

 

Mawar Eva main dua film horor dalam rentang dua bulan, buatku tetap merupakan bagian dari kejutan perfilman di awal tahun 2023. Meskipun dari dua filmnya tersebut belum ada yang benar-benar work out perfectly. Tapi setidaknya Puisi Cinta yang Membunuh yang tayang bulan lalu itu, masih layak buat dimasukin ke museum karena punya sisi artistik yang lumayan. Tidak demikian dengan film Mawar kali ini, Para Betina Pengikut Iblis, yang baiknya segera ia kubur saja sedalam-dalamnya di tanah di tengah hutan. Karena film karya Rako Prijanto yang dijual sebagai film sadis ini, nyatanya lebih tepat disebut sebagai film komedi. Yang tak lucu. Yang setiap adegannya lebih konyol daripada adegan sebelumnya. Sebelum rilis, film ini sempat diributin perkara pemilihan kata ‘betina’ yang dianggap degrading bagi perempuan. Dan setelah akhirnya menonton filmnya, percayalah, jangankan perempuan, iblis saja bakal merasa malu dan terhina nonton kaumnya digambarkan oleh film ini!

Para Betina Pengikut Iblis punya ambisi untuk jadi cerita yang thought-provoking – yang menantang pikiran – dengan menghadirkan protagonis anti-hero. As in, simpatik tapi ngelakuin hal yang benar-benar salah secara moral. Karakter yang diperanin Mawar, si Sumi, misalnya, Cewek yang ingin ke kota, mencari ibu yang katanya ninggalin keluarga mereka. Tapi Sumi tidak bisa ke mana-mana, dia harus mengurus ayahnya yang sakit. Suasana rumah tradisional mereka di hutan itu memang jadi gak enak banget. Ayah yang terus ngeluh kesakitan (sebelah kakinya diamputasi dan lukanya gak kering-kering, btw) dan minta diurusin oleh Sumi bikin Sumi makin stress. Itulah yang bikin Iblis dengan senang hati datang kepada Sumi. Menawarkan Sumi cara untuk provide for her father. Bagaimana rencana si Iblis nyuruh Sumi bikin warung gule dengan bahan daging manusia itu bisa bikin Sumi percaya dirinya bisa segera ke kota, ataupun bisa mendatangkan manfaat untuk si Iblis sendiri, kita gak pernah tahu. Karena naskah dengan segera jadi berserak-serak membahas hal yang semakin di luar perspektif karakter dan di luar nalar kita. Somehow, cerita juga membahas soal Sari yang bersekutu dengan Iblis demi mencari pembunuh adiknya, dan soal Asih yang mungkin saking jelek make upnya jadi muncul dengan kain nutupin wajah.

Disuruh nyariin dokter, si Sumi sempat-sempatnya bobo cantik mimpiin Iblis

 

Aku pikir film ini simply kenak kasus ‘bite more than it can chew’. Disangkanya bikin cerita anti-hero saat protagonis gak punya pilihan lain selain ‘bersalaman’ dengan iblis itu gampang.  Cukup dengan masukin pembunuhan sadis, kata-kata kasar, tempatkan mereka di lingkungan terpencil, masukin dukun-dukunan dan ‘twist’ biar seru. Film ini sama sekali tidak memikirkan soal dilema moral yang harus dilalui karakternya, bagaimana mereka berpikir, bagaimana suatu kejadian berpengaruh kepada mereka. Enggak ada tuh, percakapan berbobot relasi Sumi dan ayahnya. Film ini pengen menghadirkan horor dengan materi dewasa yang lebih menantang pikiran, namun sendirinya tampil dengan sangat amat simplistik sehingga malah kayak ditulis oleh anak kecil yang lagi maen bunuh-bunuhan, untuk ditonton oleh anak kecil juga. Anak kecil yang belum tahu seluk beluk pikiran dan moral manusia dewasa. Sekali lagi aku jadi ngerasa sistem klasifikasi tontonan alias rating bioskop kita cuma dipakai untuk jualan. Supaya film-film bisa jadiin ‘rating dewasa’ dan kesadisan itu sebagai penarik minat remaja untuk menonton. Apalagi bioskop juga tidak pernah tegas mengatur penonton sesuai usia tontonan. Rating dewasa bukan dibuat film untuk bercerita atau membahas masalah yang problematik dengan lebih dalam. Kayak pas nonton The Doll 3 aja, kupikir ratingnya dewasa karena bakal membahas agak dalam soal bunuh diri pada anak (diceritakan sang adik bunuh diri karena ‘cemburu’ kakaknya mau nikah), tapi enggak, ujung-ujungnya ya hanya supaya adegan mati dan sadisnya bisa lebih seru aja. Film Para Betina Pengikut Iblis ini pun mengekor seperti itu, malah lebih parah. Dilema moral, setting komunitas terpencil, bahkan subtext agama dan kelas sosial gak berbuah apa-apa di cerita yang padahal punya ruang untuk membahas itu semua.

Menulis itu susah. Kita harus menyelam ke kepala karakter yang kita bikin. Nyiptain karakter jahat, unhinged, sinting gak bisa dengan modal nonton dan niruin karakter Joker doang. Ketika karakter kita gak dikasih groundwork dan segala macemnya, jadilah hanya kayak sok asik gajelas doang. Karakter dalam Para Betina Pengikut Iblis semuanya gini. Kecuali mungkin si Sumi pas di awal-awal. Ada sedikit build up dia tertarik sama darah, atau sama tindak pemotongan kambing. Mawar, being a good actor she is, di awal itu masih mampu menerjemahkan yang dirasakan karakternya lewat permainan ekspresi. Selebihnya, yang lain gak diselami karakternya. Mereka cuma disuruh berakting over-the-top, senyum-senyum dan melotot gila ke kamera.  Yang tadinya didesain seolah karakter baik, ternyata aslinya jahat, pas keungkap langsung pembawaan karakternya dibanting 180 derajat jadi banyak bicara dan sok asik. Beneran ngakak sendiri aku nontonin mereka. Yang paling parah ya karakter si Iblis. Pake jubah, badan putih, mata merah – udah kayak Palpatin versi cosplay perempatan alun-alun, joget-joget slow di pinggir danau, ketawa nyaring kayak campuran Joker Jared Leto dan nenek sihir, puncaknya dia teriak pake dua-suara ngucapin words cepet-cepet sampai gak kedengeran ngomong apa. Kalo di Indonesia ada Razzie Awards, Adipati Dolken sebagai Iblis kudu banget masuk nominasi di kategori pemeranan! Karakter ini gak punya apa-apa. Seram enggak, menarik enggak. Kita gak tahu motivasinya apa, ujung plannya juga gak jelas. Alih-alih sebagai karakter, Iblis di sini lebih tepat kayak sosok perpanjangan dari yang tertulis di naskah. Kejadian-kejadian gak nalar yang ada di naskah itu jadi bisa terjadi karena tinggal dianggap sebagai permainan dari si Iblis.

Setan dan iblis adalah musuh manusia yang nyata. Gak ada keraguan soal itu, mereka ada buat jerumuskan manusia. Jadi bayangkan ketika kata-kata iblis jadi satu-satunya yang bisa dipegang. Ketika tawaran iblis jadi satu-satunya jalan keluar. Para karakter perempuan di cerita ini berada di dunia yang seperti itu, betapa naasnya!

 

Jadi pada dasarnya, kita harus tahu apa yang kita tulis. Atau paling enggak, kita harus mau tahu pada apa yang bakal kita tulis. Film ini, enggak tahu dan gak mau tahu apa yang mereka hadirkan. Dikiranya kita semua bego, kali. Dikiranya, kita semua anak kecil yang gak bakal ngikik ketika lihat di rumah tradisional yang penerangannya aja masih pake lampu minyak itu, ada freezer daging! Oke, mungkin masih bisa dimaklumi film ini gak paham nulisin psikologi atau pemikiran karakter seperti Sumi, Iblis, dan lainnya. Karena memang itu sesungguhnya butuh studi yang gak sebentar. Minimal ‘riset’. Tapi lah masak iya, film ini gak paham juga saat nulisin perkara di lingkungan hidup karakter itu gak ada listrik sehingga mustahil bisa ada freezer gede! Like, come-on yang nulis lagi ngelindur apa begimane!?? Freezer terkutuk itu muncul sedari awal loh, dan berperan gede di sepanjang cerita, karena Sumi nyimpan bahan baku gule nya (alias mayat-mayat!) di dalam situ. Jadi sedari awal, bangunan cerita film ini sudah runtuh. Gak ada logika-cerita yang bisa kita pegang. Make-up, akting, dan efek-efek buruk itu semakin gak jadi soal karena film ini sudah ambruk bahkan sebelum fully berdiri.

Ayahnya Sumi bukannya takut ngeliat freezer, tapi heran ‘lu dapet listrik dari mana, Nduk?’

 

If anything, film ini sebenarnya telah mengeset tone konyol saat lihatin freezer di sepuluh menit pertama itu. Harusnya film embrace saja kekonyolan dan jadi horor-komedi receh. Mungkin bisa dibikin bahwa freezer itu ‘hadiah’ dari si Iblis, mungkin dia merayu Sumi dengan teknologi, kekayaan, atau semacamnya. Aku akan lebih senang hati nonton horor yang memang diniatkan sebagai seni absurd ketimbang film yang pengen serius tapi gak nyampe. Dan memang seperti itulah Para Betina Pengikut Iblis ini. Benar-benar take himself very seriously. Benar-benar menganggap dirinya si paling seram dan si paling sadis. Padahal konyol. Adegan potong-potong berdarahnya memang bisa bikin berjengit, tapi dengan konteks yang udah ngaco seperti tadi,  ya film ini gak menghasilkan kesan horor apa-apa. Setiap si Iblis berdialog, kita tertawa lihat betapa konyolnya Adipati di balik jubah dan riasan itu. Ngeliat si Sari main dukun dan detektifan, kita meringis-ringis berkat betapa cringe-nya semua terasa. Ngeliat Sumi? Ya jadinya sedih aja; Mawar berusaha sekuat tenaga, namun bahkan penampilan aktingnya gak bisa tampak konsisten karena film ini gak punya arahan dan penulisan yang mumpuni.

 




Yang paling lucu adalah, film dengan pedenya mejeng tulisan ‘to be continued’ di title card akhir. Yang berarti film ini dengan bangganya ngasih tahu bahwa ‘keajaiban sinematik’ (ajaib, as in kok bisa yang kayak gini lulus jadi film?) yang baru kita survived ini adalah origin dari petualangan-petualangan berikutnya! Wow, hahaha, udah ditonton sampe abis aja mestinya bersyukur banget. Namun itulah kebanyakan film jaman sekarang, Cuma produk. Mereka gak jor-joran bercerita  karena semuanya harus ada sekuel. Semuanya harus jadi IP. Film pertama ini jelek, mereka tinggal bilang kelanjutannya nanti lebih bagus. Kita dan para pemainnya jadi kayak beneran udah kontrak dengan iblis, no way to get out, karena makin banyak film yang ‘kelakuannya’ kayak gini. Film ini hanya film kedua (pertamanya remake Bayi Ajaib yang belum kutonton) dari proyek Falcon Black, whatever that is, dan ini bukan permulaan yang bagus. Kalo dipertahankan, masa depan horor bakal suram. Horor bukan sekadar soal sadis-sadisan, serem-sereman, cerita tetap yang nomor satu. Kita harus tegas bilang film yang logikanya asal-asalan kayak gini harusnya jangan lagi dikasih tempat. jangan kasih mereka power, seperti Sumi membiarkan hidupnya disetir Iblis. Film ini, seram enggak, menghibur pun kagak. Cuma ya dibawa ketawa aja biar gak kerasa amat ruginya. Kasiaaan deh, kita!
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for PARA BETINA PENGIKUT IBLIS

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang sistem klasifikasi umur yang malah kayak dijadikan bahan promosi/jualan oleh film?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ANT-MAN AND THE WASP: QUANTUMANIA Review

 

“It’s a small world after all”

 

 

Phase kelima dari Marvel Cinematic Universe dibuka oleh petualangan Ant-Man yang feels a lot like a Sunday-morning cartoon adventure episode. Petualangan keluarga di dunia yang… sedikit lebih grounded ketimbang multiverse, tapi toh tetap fantastis juga. Dunia yang diperkenalkan sutradara Peyton Reed di sini adalah dunia kuantum, dunia-kecil di dalam semesta. Yang konsepnya memang enggak asing dalam cerita kartun. Like, di kartun Rick & Morty kita ngelihat Rick dengan sengaja menciptakan civilization di dalam baterai mobilnya (supaya dapat energi gratis). Atau lebih mundur lagi, kita telah melihat gimana dalam salah satu episode The Simpsons, Lisa gak sengaja membuat gigi dalam larutan soda untuk science project sekolah jadi punya kehidupan manusia-mini dengan peradaban lebih maju di dalamnya. So yea, Quantumania punya resep untuk jadi wacky dan fun. Tapi tentu saja, being a Marvel movie, film ini punya keperluan untuk ngeset something yang bahkan lebih besar. Memperkenalkan Kang the Conqueror, orang yang menaklukkan begitu banyak universe, sebagai main villain Avengers nantinya. Sehingga film ini jadi starter yang cukup solid buat ke depan, namun bukan jadi cerita keluarga yang benar-benar mulus untuk dinikmati.

Padahal at heart, Quantumania bercerita tentang Scott Lang yang berusaha kembali ‘normal’ sebagai seorang ayah. Setelah semua aksi dan pertempurannya bareng Avengers, Scott Lang siap to put those all in the past, cukup dengan mencatat semua petualangannya di dalam sebuah buku. Kayak kita yang baru beres ‘survive’ dari era pandemi, Scott juga pengennya percaya semua sudah sudah kembali ke kehidupan normal. Dia lupa bahwa waktu terus berjalan. Putrinya kini sudah beranjak dewasa. Cassie (direcast jadi Kathryn Newton) tanpa sepengetahuan Scott jadi semacam aktivis, melakukan kegiatan ‘kepahlawanan’ behind his back. Bahkan momen pertama kita bertemu the-new Cassie, adalah ketika Scott disuruh menjemputnya di penjara. Di mata Scott, Cassie masih anak kecil – his little peanut – tapi toh aslinya Cassie dengan bantuan Hank berhasil membangun peternakan semut-pintar, dan mengirim sinyal ke dunia kuantum. Cassie juga bakal melakukan aksi yang gak diduga Scott, saat nanti mereka semua ‘terdampar’ di dunia kuantum dan berurusan dengan Kang. Memang, relasi antara Scott dan Cassie diikat pada konflik utama dengan Kang, oleh tema ‘jangan remehkan orang kecil’.  Karena di dunia kecil itu, Kang yang membangun dinasty, mendapat perlawanan dari rakyat yang ia taklukkan.

Oh wow, sekarang aku bisa officially bilang “twitku pernah direply ama superhero Marvel”

 

It’s a small wold, after all. Tapi bukan in sense of, dunia sempit jadi sering ketemu. Dunia kecil pada film ini merujuk pada dunia sesungguhnya penuh dengan rakyat-rakyat kecil, hal-hal kecil, yang seringkali dioverlook. Disepelekan. Kayak semut-semut, aja. Di film ini semut-semut itu memang diberikan teknologi super, tapi kita juga sering lupa bahwa semua di dunia nyata memang membangun dunia mereka sendiri dengan sistem koloni dan sebagainya. Di semesta yang tiada batas ini, kita sebenarnya juga sama kayak semut-semut itu. 

Kalo diliat-liat, Quantumania ini mirip-mirip ama Black Panther: Wakanda Forever (2022). Protagonis protege, dunia baru yang khusus (yang bukan multiverse), contained story/episode, dan tokoh jahat yang punya bala tentara. Tapi penulisan Quantumania terasa lebih koheren dibanding Wakanda Forever yang berpindah terlalu banyak dari Shuri (dan seperti kesulitan sendiri ngepush karakter ini sebagai protagonis utama) Quantumania juga punya banyak karakter, tapi perspektifnya terjaga. Narasi voice-over yang melingkar di awal dan akhir juga sukses ngasih kesan ceritanya yang menutup pada Scott Lang. Sekilas karakter ini jadi agak kurang lucu, tapi aku melihat bahwa itu karena di cerita ini karakter yang diperankan Paul Rudd ini sudah setingkat lebih dewasa. Aku juga suka gimana film ini tidak buru-buru menjadikan Cassie sebagai superhero. Dia gak langsung jago walaupun punya kostum Ant-Man. Kita melihat proses dia belajar menjadi superhero, kita melihat hal yang belum cakap ia lakukan, dan hal yang jadi strenght dirinya – yang in turn, tidak dimiliki oleh Scott. Cara film ini ngebuild up Kang sebagai calon penjahat utama Avengers ke depan juga sesistematis itu. Memperkenalkan dia awalnya sebagai pria yang tampak butuh bantuan, dan direveal sebagai siapa dia sebenarnya. Kita melihat itu bukan saja dari cerita Janet tapi juga dari gimana masyarakat di dunia kuantum berdesas-desus terhadap namanya. Kita melihat pengaruh kekuasannya dari gimana kehidupan orang kecil di dunia kuantum.

Sebagai karakter, Kang benar-benar menacing. Jonathan Majors berhasil deliver aura dan kharisma yang bikin kita percaya karakternya ini memang sepowerful dan semengerikan itu, di balik kesan awal yang tampak kayak orang baik. Dengerin aja ceramahnya soal waktu, ketika sedang mengintimidasi Scott. Relasi hero dan villain antara Scott dan Kang memang tak se’naik turun’ relasi antara Shuri dan Namor, tapi simplicity itu akhirnya work out lebih nicely. Apalagi bagi Scott di sini stake-nya adalah keselamatan putrinya, ancaman di balik negosiasi mereka jadi kontan terasa nyata. Satu lagi karakter yang mencuri perhatian di sini adalah M.O.D.O.K. Yang actually merupakan seseorang dari masa lalu Scott dan Cassie (alias dari film Ant-Man pertama) Sehingga dia dengan wujud uniknya sekarang ini bakal punya banyak interaksi menarik dengan karakter-karakter protagonis.

Ya, sebenarnya karakter-karakter superhero dan villain yang muncul di film ini menarik. Begitu juga dengan karakter di dunia kuantum dan dunia kuantum itu sendiri. Vibenya Star Wars banget. Mereka kayak alien-alien dengan desain yang unik dan konyol, dan kita menyaksikan mereka terlibat perang galaksi dengan emperor penguasa. Tapi tone alias nada film ini tidak pernah terasa benar-benar tepat dalam memuat mereka. Semuanya terasa terlalu dull, bland, terlalu beban, dan serius amat. Penonton yang ngarepin quirky khas yang biasa nongol di film Ant-Man sebelumnya akan merasa kehilangan. Dan kehilangan tersebut bakal terasa jadi missed opportunity ketika kita bisa melihat potensi fun yang semestinya dipunya oleh cerita. Dunia kuantum yang unik itu tidak tampak mengundang untuk dijelajahi. Tidak ada sense of wonder melihatnya. Dunia itu cuma… tempat. Semua ‘mekanik’ cerita di dalamnya juga tidak dibangun dengan terperinci. Singkatnya, alih-alih membuat dunia unik yang imersif, film ini kayak gak mau luangin waktu dan hanya bikin dunia itu ya, unik yang random aja.

Aku masih gak ngerti gimana minuman goo penerjemah itu bisa bekerja dua arah; membuat Scott dkk juga bisa dimengerti oleh orang kuantum.

 

Penggemar Hope (dan otomatis Evangeline Lilly) bakal dapat kecewa ekstra, karena gak begitu banyak yang dilakukan oleh The Wasp di sini. Basically dia cuma ada di sana sebagai anak Janet. Ibunya, lebih banyak dapat sorotan karena Janet, as we know it, pernah tinggal di dunia kuantum dan dia statusnya semacam figur terkenal di dunia itu. Karakter yang diperanin Michelle Pfeiffer itu memegang kunci soal siapa sebenarnya sosok Conqueror yang ditakuti para ‘kuantumers’ sehingga di sini Janet dapat porsi lebih besar. Namun sayangnya hanya sebagai ‘juru bicara’. Ya, film ini terbebani sekali oleh penjelasan-penjelasan. Memang penjelasan soal Kang jadi build up yang membuat karakter tersebut jadi semakin mencekam, hanya saja film ini tidak cuma memuat tentang Kang. Melainkan juga banyak penjelasan lain. Tentang teori dunia kuantum. Tentang senjata yang digunakan Kang. Tentang apa yang dilakukan Janet dulu saat di sana. Tentang pengaruh kejadian di sini dengan multiverse ke depan. Banyak sekali, dan film enggak bisa menemukan cara penyampaian yang enak. Karakter-karakter yang menarik itu hanya lebih banyak diam mendengarkan penjelasan, basically kayak kita yang cuma bisa manggut-manggut karena paruh awal itu beneran bergerak dari eksposisi ke pengungkapan ke eksposisi lagi. Interaksi antarkarakter itu jarang. Makanya M.O.D.O.K. bisa mencuri perhatian. Banyakan celetukan dia kok ketimbang Hope bahas masalah mereka secara personal dengan ibunya. Paruh pertama itu boring, paling sesekali kita ‘melek’ karena ada cameo ataupun sejumput aksi-aksi.

Bicara soal aksi, film ini punya sekuen final battle yang cukup epic – serangan berontak kuantumers jelata kepada pasukan Kang, also Scott jadi kayak Titan menjebol tembok pertahanan Kang – tapi karena warna yang bland (film ini bisa dibilang full CGI sehingga mereka gak mau main banyak di visual demi cost) aksi itu juga jadi gak maksimal serunya. Tidak terasa imersif. Arahan actionnya juga jadi kayak terbatas. Bakal ada adegan saat tiga superhero kita dibantu oleh bala bantuan buzze–eh salah, bala bantuan semut, dan itu adegannya ‘lurus’ aja. Mereka cuma berdiri di tengah jalur semut dan everything’s just sort of happen. Editing saat berantem juga aneh. Choppy. Kayak kalo di bioskop kita nonton film yang ada sensornya. Karakter yang abis dilempar, di frame berikut sudah ngumpul bareng karakter lain. Hal ini tentu saja mengganggu keseruan aksi, yang jelas-jelas bagian penting dari sebuah film superhero.

 

 




Buat yang nonton sekadar ingin tahu apa yang terjadi di phase kelima, siapa Kang yang bakal jadi musuh-akhir Avengers nanti, film ketiga dari Ant-Man ini kayaknya gak bakalan bermasalah. Karena kayaknya memang untuk itulah film ini dibuat. Cerita keluarga Scott Lang, petualangan mereka di dunia kuantum yang ternyata seluas itu, hanya jadi bumbu pemanis. Supaya info tadi itu ada karakternya haha.. Mungkin itu cara paling negatif untuk menggambarkan film ini. Petualangan keluarga yang terbebani oleh ambisi membangun bigger story untuk film-film berikutnya. Padahal materi cerita kali ini ya cocoknya dijadikan over-the-top kayak kartun. Dengan dunia dan karakter sewacky itu. Tapi karena justru digarap dengan banyak eksposisilah nonton film ini jadi tidak pernah total menyenangkan. Dan menurutku ini mengecewakan karena film ini sesungguhnya punya penulisan dan karakter yang koheren. Tapi ya jadi terkerdilkan oleh ‘machination storytelling’ tersebut, 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ANT-MAN AND THE WASP: QUANTUMANIA

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian film ini jadi pembuka phase lima yang kuat? Apa yang paling ingin kalian lihat di phase lima ke depannya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



BABYLON Review

 

“The cinema has no boundary; it is a ribbon of dream.”

 

 

Tempat paling ajaib di dunia, kata Damien Chazelle dalam karya terbarunya ini, adalah set alias tempat orang syuting film. Karena film memanglah seperti sebuah keajaiban – sihir!- yang ditangkap pada layar. Kita tahu satu adegan film saja, adalah kerja sama begitu banyak orang, begitu banyak keahlian, begitu banyak ‘trik’ untuk membuatnya entah itu beneran seperti sedang terbang atau sesimpel berjalan di hutan. Aku beruntung pernah diijinkan untuk tiga malam hang out di set film, melihat-lihat cara orang bikin dan merekam adegan, ngobrol ama kru-kru dan nanya-nanya ama pemain. Ya, suasana dan segala yang ada di situ memang terasa out-of-the-world. Saat itu aku menyaksikan gimana tembok bata dari rumah terbengkalai mereka sulap jadi gedung gereja, gimana papan kayu jadi sumur di tengah hutan. Yang kurasakan itu ‘baru’ dalam skala film lokal. Sedangkan yang diangkat oleh Damien Chazelle dalam film grande tiga jam lebih ini adalah studio film terbesar di jagat kita, Hollywood. Babylon merupakan kisah fiksi namun dengan latar yang tepat sesuai sejarah Hollywood, mengambil fokus kepada masa transisi dari era film bisu ke film bersuara. Dan di sini, Damien seolah benar-benar mengajak kita ke belakang tirai ajaib itu. Melihat kontras di balik film yang tampak romantis, elegan, penuh passion dan mimpi: Drugs, kehedonan, serta desperation dari karir-karir yang naik untuk kemudian lantas tergantikan.

Kata yang tepat untuk film ini mungkin, ya, surat cinta. Tapi Babylon bukan tipe surat cinta yang sama dengan yang dikirim Damien lewat La La Land (2017). Kali ini, Damien Chazelle merayakan kecintaannya kepada sinema, sekaligus menyentil industri Hollywood itu sendiri. Itulah kenapa film ini meledak-ledak, vulgar, dan over-the-top. Semuanya terasa chaotic, apalagi film ini punya banyak sekali karakter supaya kita benar-benar bisa melihat bagaimana industri film yang terus berkembang berdampak kepada manusia-manusia yang strive untuk mewujudkan mimpi dan passion mereka. Kita melihat gimana film-bersuara, menjadi peluang karir bagi seorang pemusik jazz kulit hitam. Sementara juga membuat penulis title/dialog film bisu kehilangan posisi. Dari semua karakter, tiga yang jadi fokus utama adalah Nellie LaRoy (Margot Robbie), Jack Conrad (Brad Pitt), Manny Torres (Diego Calva). Nellie seorang figuran muda, yang percaya dirinya adalah bintang.  Kesempatan untuknya menunjukkan sinar datang ketika dia dipilih buat meranin seorang pelayan bar, and she nails it. Tapi kemudian tantangan baru muncul ketika studio mulai pindah ke film bersuara. Also, gaya hidupnya yang kelewat glamor mulai berdampak buruk. Sebaliknya, Jack adalah aktor senior di MGM. Aktor dengan bayaran tertinggi. Konflik dirinya muncul tatkala semua film terbarunya flop di box office. Dia maunya percaya itu semua karena era baru film, tapi dia akhirnya harus nerima kenyataan yang lebih pahit lagi. Dan dari sudut lain ada Manny. Yang berangkat dari pelayan, ke tukang cari properti, ke asisten, hingga jadi studio executive. Ketika sudah di atas, Manny mulai merasakan efek dari sisi gelap industri, ketika dia mulai harus membuat keputusan-keputusan yang dia tahu enggak bener demi kemauan studio.

Menariknya lagi, karakter-karakter ini konon ditulis dengan referensi tokoh real di Hollywood

 

Melalui ketiga karakter tersebut  evolusi industri di Hollywood mulai dari tahun 1926 hingga ke 1930an dihamparkan. Kita akan melihat bagaimana mereka ‘bereaksi’ dan memilih aksi mengikuti perkembangan teknologi perfilman. Ketiga karakter ini pun bertransformasi sejalan dengan dunia mereka. Jadi bisa dibilang menonton Babylon ini seperti menonton karikatur sejarah Hollywood. Apalagi Babylon memang menggambarkan periode-periode itu dengan blak-blakan. Misalnya, ‘ajaib’ yang dimaksudkan saat berkata ‘set film adalah tempat paling ajaib di dunia’ tadi itu adalahbetapa rusuhnya sebenarnya proses syuting, tapi tetap berhasil tertangkap menjadi adegan dan film yang bagus. Saat nonton mereka syuting film perang kolosal bisu itu, aku beneran nyangka filmnya bakalan kacau. Gimana tidak coba; karena saat itu masih bisu, yang artinya studio hanya merekam gambar, di satu lokasi (padang gersang luas) ada banyak film/adegan yang disyut dalam waktu bersamaan. Dalam tone kocak, Babylon membuat syuting yang melibatkan banyak pemain ekstra tersebut dengan begitu rusuh. Skripnya ‘diperbaiki’ on the go, oleh Jack, sambil menenggak alkohol. Ekstra-ekstranya  ada yang terluka beneran (bahkan tewas hihihi). Kamera mereka rusak sehingga Manny harus ke kota minjem yang baru secepat mungkin, sebab sutradara mengejar waktu sunset. Dan ketika sudah mau mulai take adegan, si Jack udah terlalu mabok bahkan untuk berjalan. Semua itu kayak udah mau gagal. Tapi AJAIBNYA saat kamera roll, Jack mampu berakting ekspresi yang sempurna. Cahaya yang diincar dapet. Properti ledakan sukses. Semua kerusuhan dan kekacauan dan cek cok dilupakan. Semua bersorak mereka telah berhasil merekam adegan yang dahsyat. Babylon, dengan caranya tersendiri, berhasil membuat kita percaya para karakter – yang mewakili aktor-aktor dan pekerja film sekalian – adalah profesional yang benar-benar punya passion.

Sehingga industri Hollywood yang terus berkembang seiring teknologi dijadikan oleh film ini selain sebagai panggung, juga sebagai tantangan. Hollywood jadi karakter antagonis tersembunyi. Ketika teknologi untuk membuat film-bersuara ditemukan, kita diperlihatkan proses syuting yang kontras sekali dengan adegan syuting yang pertama tadi. Kali ini syuting dilakukan di dalam warehouse studio, tertutup, panas (karena kalo pakai AC nanti suaranya ikut kerekam). Bagi Nellie dan sutradara dan para kru, proses syuting film bersuara pertama mereka ini penuh tantangan, dan film sekali lagi menggambarkan frustasinya mereka dengan kocak. Enggak hanya harus menghapal naskah, Nellie disusahkan aktingnya oleh gerak yang kini terbatasi oleh posisi mic, misalnya. Tidak ada yang boleh bersuara. Kita bisa melihat take demi take untuk satu adegan yang terus aja ada salah teknis tu, membuat semua orang yang terlibat menjadi semakin senewen. Tapi karena passion itu tadi, they pulled through. Adegan sukses terekam (finally) dan semua bersorak. Melihat mereka berhasil rasanya ekivalen dengan kita menonton superhero berhasil mengalahkan musuhnya. Kekocakan dan kerusuhan bikin film tersebut lantas membawa kita kepada drama yang lebih personal tatkala tantangan itu semakin jauh dari zona nyaman para karakter. Ketika Hollywood terus melaju, menuntut mereka untuk memilih pada satu pilihan terakhir, stay atau pergi.

Sinema bagai mimpi yang tak terbatas. Itulah yang membuat Hollywood menjadi seperti kota Babylonia. Kota yang terus membangun menara setinggi langit, untuk mengejar posisi para dewa. Mengejar keabadian. Para ‘warga’ Hollywood juga mengejar hal yang sama. Dan dalam perjalanannya, tersilaukan oleh hal yang sama dengan yang membuat Babylonia ditertawai oleh para dewa. Ultimately, mereka harus sadar dari pesta pora. Bahwa – pepatah kita bilang manusia mati meninggalkan nama, no – manusia hanya bisa meninggalkan nama. Sementara film dan seni akan terus berkembang, manusia akan tergantikan. Beberapa tidak akan sampai ke puncak.

 

Ajaib tapi kasihan

 

Aku bahkan gak yakin di ending yang Manny nangis nonton Singin’ in the Rain itu harus merasakan apa. Merasa terkecoh, sih yang jelas. Karena seperti Tar (2022), ending Babylon juga sempat membuatku berpikir jangan-jangan film ini dari kisah nyata hahaa.. Tapi ini tentu saja terkecoh yang bagus, like, “that’s so good, you got me!” Pada momen itu memang Babylon mencuat jadi bagus, karena berhasil mengevoke dilema perasaan yang nyata. Apakah Manny nangis haru karena kisah mereka menginspirasi orang lain untuk film baru? Atau merasa kecewa karena bukan dia yang melihat itu sebagai karya? Babylon membuat kita mengalami chaosnya menjadi ‘penduduk’ dari sesuatu yang dengan cepat berubah, membuat kita melihat sesuatu yang grounded dari mereka semua.

Walaupun memang, dari presentasinya sendiri, Babylon ini merupakan film yang cukup susah untuk diikuti karena terlalu blak-blakan dan over-the-top. Film enggak takut untuk menjadi vulgar dan jorok, dan bahkan berdarah, karena di lain sisi, memang begitulah yang paling tepat untuk menggambarkan cara orang ‘survive’ di kota penggapai dewa tersebut. Selain tone dan gaya bercerita, banyaknya karakter juga bakal membuat penonton susah untuk attach. Pertama karena tidak semua dari mereka ditulis berimbang. Dan kedua, karena konsepnya adalah memperlihatkan bagaimana mereka bereaksi terhadap perkembangan jaman, maka film tidak benar-benar menyelam ke dalam journey mereka. Kita hanya melihat para karakter sebagai poin-poin. Mana motivasi, mana konflik, mana resolusi. Kita tidak pernah benar-benar utuh bersama dengan mereka. Akibatnya lagi, relationship yang terjalin antarkarakter jadi tidak mencapai efek maksimal. Salah satu hati dari cerita ini adalah hubungan yang terjalin antara Nellie dengan Manny. Aku suka dialog pas mereka pertama kali berjumpa. Mereka ngobrolin soal passion yang sama. Bahwa mereka akan sukses bareng di dunia perfilman. Itu salah satu momen genuine yang dipunya oleh film. Tapi pengembangan ini kemudian tidak terasa mengalir, karena ya kita hanya dibuat melihat mereka dari poin-poin itu tadi. Hubungan profesional dan hubungan mereka secara personal tidak pernah jadi diarahkan dengan jelas. Sehingga ketika di akhir mereka sepakat untuk hidup bareng, momennya kurang nendang. Aku gak tau apakah ini mungkin, tapi rasanya film ini perlu ngurangin sedikit energy chaoticnya supaya para karakter bisa lebih hidup lagi.

 




Film dalam film; film yang pakai adegan yang memperlihatkan backstage pembuatan atau bisnis film, selalu jadi soft-spot buatku. Makanya nonton film ini aku puas. Makin lama adegan-adegan mereka syuting, aku lebih senang. Dan di sini banyak banget adegan bikin-filmnya. Aku selalu kagum sama aktor yang berakting sedang akting, dan di sini mulai dari Margot Robbie hingga ke Brad Pitt nunjukkin penampilan akting yang demikian dengan sangat juara. Energi overall film yang chaotic dan over-the-top tidak menyentuh penampilan akting mereka yang total. Kecuali mungkin pas Nellie ceritanya mau melawan ular, itu konyol banget sumpah. Kayak kartun. Tapi sepertinya memang itulah konsep film ini. Kartun, parodi, dari bagaimana industri Hollywood berpengaruh kepada para pengejar mimpi seperti Nellie, Manny, Jack, dan banyak karakter lain. Cara lain untuk memandang film ini, adalah bahwa ia merupakan surat cinta tak-biasa, karena surat ini bukan hanya ungkapan perasaan yang merayakan cinta kepada sinema, tapi juga sentilan terhadap arahan industrinya. Perubahan itu bagus, dan bakal terus terjadi. Film sekarang bukan hanya bersuara, tapi berkembang lebih edan lagi dengan teknik digital, yang tentu saja ngasih challenge dan tuntutan baru. Semoga kecepatan itu tidak menjadi momok dan membuat kita lupa berpegang pada mimpi pada awalnya. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BABYLON

 




That’s all we have for now.

Jangankan Hollywood, di kita aja perputaran industri sudah cukup cepat. Salah satunya keciri dari cepatnya pergantian aktor-aktor muda. Bermunculan sutradara-sutradara baru dengan gampangnya. Apakah menurut kalian ini hal yang bagus atau gimana, mengingat state perfilman kita sekarang?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



WWE Royal Rumble 2023 Review

 

 

Semua mata tertuju pada event Royal Rumble pertama dalam rezim Triple H. Tentu saja alasan pertamanya adalah karena fans pengen lihat kejutan apa lagi yang bakal dihadirkan oleh si The Game. Semenjak jadi Head of Creative, Triple H memang telah mengejutkan banyak orang, dengan ngasih banyak surprise seputar return dari berbagai superstar. Match Royal Rumble yang memang selalu hype oleh surprise entrant, tak pelak klop dengan strategi Triple H tersebut. Makanya return atau bahkan cameo dari ‘certain’ superstar(s) seperti sangat amat sudah diantisipasi penonton. Alasan yang pertama ini sebenarnya cukup kontras dengan alasan kedua. Fans ingin kepastian, apakah Vince McMahon yang tahu-tahu balik  ke kursi jabatan telah kembali punya kendali dalam kreatif. Dua alasan itu membuat semua mata yang tertuju ke acara ini jadi menontonnya dengan ngeri-ngeri sedap. Sebab Royal Rumble 2023 ternyata menyuguhkan pertandingan yang minim surprise, tapi luar biasa solid secara storytelling. Sehingga pertanyaan itu terasa semakin urgen; Apakah Vince benar-benar sudah kembali?

Biasanya acara Royal Rumble memang memfokuskan build up kepada partai Royal Rumble. Tiga-puluh man, dan woman – dalam divisi masing-masing, mati-matian bertahan untuk stay di dalam ring, demi kesempatan emas mendapatkan kesempatan bertanding pada pertandingan kejuaraan dunia sebagai main event di WrestleMania. Hypenya ada di situ. Siapa yang berhak menang. Journey seperti apa yang membuat mereka pantas menang. Vince sendiri pernah menjadikan partai Royal Rumble sebagai cerita untuk satu orang superstar, saat Roman Reigns mempertahankan gelarnya dalam match tersebut. Segitu pentingnya partai ini sebagai salah satu dari empat acara besar di WWE. Aku gak tahu apakah kali ini ide Vince atau Triple H, yang jelas Royal Rumble 2023 adalah acara yang mengambil resiko besar. Acara ini tidak lagi menjadikan partai Royal Rumble itu sebagai pusat dari bangunan acara. Memang, ini bukan kali pertama match Royal Rumble tidak dijadikan main event. Sebelumnya, ada 6 kali saat acara Royal Rumble tidak ditutup sebagai match Royal Rumble sebagai puncak (tahun 88, 96, 97, 98, 2006, 2013). Tapi di saat-saat itu, match tersebut masih tetap terasa sebagai fokus. Beda dengan 2023 sekarang. Kayaknya baru sekarang match Royal Rumble cowok dijadikan pembuka acara. Bayangin ‘meminta’ penonton untuk jor-joran langsung dari awal, dalam sebuah show empat-jam! Kalo bukan ambil resiko, mungkin itu bisa dibilang bego. WWE gak mau main rahasia-rahasian dengan peserta Royal Rumble kali ini, Mereka ngereveal peserta yang ikut pada grafik promo matchnya.  Mereka ngereveal Cody Rhodes bakal balik, masuk Royal Rumble. Kalo pun ada surprise, palingan cuma Nia Jax (yang langsung diberondong “Boo!” oleh penonton hihihi) Aku hampir bilang WWE jadi kurang peduli sama Royal Rumble, tapi terhenti begitu menyaksikan sampai abis pertandingan Royal Rumble di sini.

Minimnya surprise entrant (yang biasanya kebanyakan diisi oleh nostalgia act, ataupun returning superstar) justru membuka ruang lebih banyak untuk WWE memadatkan cerita. Dan begitulah dua match Royal Rumble kali ini dibentuk. Memuat banyak storyline dari superstar yang memang masih aktif, sebagai landasan atau teaser seteru di WrestleMania beberapa bulan ke depan. Misalnya, di Royal Rumble cowok, kita melihat ada teaser Edge dengan Judgement Day, Dominik dengan Rey. Aku suka mereka membuat Rey gak muncul-muncul, dan ternyata peserta berikutnya adalah Dominik, dengan memakai topeng dirinya. Something dreadful terjadi di backstage, dan Dominik merebut topeng bapaknya. That’s rich for moving storyline. Seth Rollins dengan Logan Paul, juga menarik. Lesnar lawan Lashley, Lesnar lawan Gunther! Man, Gunther di sini dibikin kayak boss banget. Bertahan dari posisi pertama hingga final-two, facing Cody. Kayaknya aku belum pernah nonton final-two yang seintens duel mereka. Selain cerita, kehadiran superstar yang gak-surprise ini juga dibarengi dengan aksi gulat yang lebih solid. Royal Rumble cewek push action ini lebih jauh lagi, saat mereka melakukan sekuen yang sangat beresiko untuk kemenangan Rhe Ripley. Gimana gak resiko, mereka membuat Rhea yang tinggi itu gelantungan di rope sambil dihajar Liv. Salah-salah kedua kaki Rhea bisa nyentuh lantai, dan malah kalah. Mungkiiin, mereka sudah menyiapkan dua skenario pemenang, tapi ya tetap saja risky, Dan itulah yang bikin match tersebut jadi precious. Momen kemenangan, baik Cody maupun Rhea terasa real. If anything, dua match Royal Rumble ini ngingetin kita bahwa battle royal 30 orang itu bukan cuma soal surprise. Ngingetin kita bahwa wrestling, gak cuma punya one royal family… eh, itu mah lagunya Cody Rhodes. Maksudnya, wrestling gak cuma punya ‘kejadian tak-terduga’. Melainkan juga soal bercerita. ‘Kejutan’ bisa datang dari build up cerita yang benar-benar solid.

I really like the phrase “All Rhodes leads to WrestleMania”

 

Yang jadi fokus di acara ini sebenarnya adalah juara yang harus dihadapi pemenang Royal Rumble itu sendiri. Sang juara itu adalah Roman Reigns. The absolute dominant force. Head of the table, Chief dari keluarga gulatnya. Duel WrestleMania bisa jadi perang antara dua royalty family. Or ada something yang entirely different. Karena Roman sendiri sedang dalam puncak feud dengan Sami Zayn, yang selama beberapa bulan belakangan ini jadi honorary member dari keluarga Bloodline-nya. Man, storyline di main event acara ini adalah salah satu penceritaan terbaik dalam sejarah dunia entertainment. Match antara Kevin Owens dengan Roman Reigns sendiri sebenarnya gak begitu spesial, tapi itu karena match tersebut hanyalah build up untuk turning point dramatis storyline mereka semua. Drama antara Sami, Roman, dan Jey Uso di akhir itu bakal terus dibicarakan fans. Dengar saja betapa gede sorakan penonton saat Sami Zayn akhirnya memukul Roman. Build up momennya perfect dan efektif banget. Ending dramatis tersebut juga mengangkat pertanyaan besar pada penonton. Gimana WWE bakal mengikat storyline ini dengan kemenangan Cody Rhodes. Semuanya terasa sangat kompleks, dan stake gede banget ada di Roman Reigns. Kalo ada dua juara, tentu gak akan seheboh ini. Cody will simply melawan juara satu brand, sementara Sami bakal jadi penantang utama Roman Reigns di WrestleMania. Membuat Roman tetap sebagai pemegang dua sabuk, membuat hal menjadi semakin seru, karena stakenya tinggi, dan storylinenya bisa menjadi lebih gede!

Resiko lain yang diambil acara Royal Rumble kali ini, dan kayaknya enggak membuahkan hasil se-wahh yang di atas adalah membuat match ‘pesanan’ sponsor. Pitch Black match dari produk Mountain Dew antara L.A. Knight dan Bray Wyatt (dengan karakter misterius terbarunya) bikin penasaran fans berkat character work dari para superstar, serta dari seperti apa sih Pitch Black match itu sendiri. Antisipasi buat match ini juga sebenarnya cukup tinggi. Dan resiko dari membendung antisipasi gede seperti itu datang dari pay off semuanya. Pitch Black match ternyata cuma match no-dq dengan estetik lampu neon atau lampu glow in the dark. Seolah kita sedang dalam entrance Jeff Hardy digabung ama Naomi. Visualnya sih sebenarnya gak cheesy amat; tato tengkorak Bray yang kelihatan saat itu justru merupakan sebuah nice touch. Tapi dengan logo produk yang menyala, seantero match tetap terasa cringe.

Match tersebut diadakan back-to-back dengan Women’s Championship antara Alexa Bliss lawan Bianca Belair. As much as I love Alexa (setiap entrance dan aksinya adalah bliss buatku), tapi match yang ini terasa kering. WWE kurang dalam menyatukan dua story supranatural yang saling berkaitan ini. Kayak, percuma aja gitu keduanya dideketin, tapi gak benar-benar ada something yang mengikat keduanya. Momen Bray dan momen Alexa di akhir match masing-masing, yang berhubungan, tapi terasa kayak jalan sendiri-sendiri. WWE tampak masih ingin membuild up. Tapi jadinya muncul keraguan, apakah memang masih build up, atau sekali lagi WWE belum sepenuhnya yakin terhadap apa yang mau mereka lakukan dengan storyline ini. Apa goal dari storyline ini. Dan itu berpengaruh buruk pada dua karakter yang terlibat, karena selama storyline tersebut belum jelas arahnya, mereka juga tidak bisa maksimal di atas ring. Baik Bray ataupun Alexa bakal masih ‘tertahan’ oleh gimmick. Ujung-ujungnya fans bakalan bosan lagi sama mereka. Like, aku sempat mikir kalo Alexa gak stuck di gimmick ‘Potential Ratu iBliss’ ini, spot Liv Morgan di Royal Rumble bisa aja jadi spot buat dirinya, loh!

Menggigit tali dengan gemas, ‘semoga gue gak diumpanin ke Charlotte lagi’

 

Honestly, aku yakin Vince benar-benar kembali punya suara dominan di kreatif, walau aku tak yakin ini sepenuhnya adalah hal yang bagus. Sure, Vince gak bakal melewatkan kesempatan untuk bikin joke-joke boomer di sepanjang Royal Rumble, dan kali ini momen-momen itu gak ada, dan jadinya lebih solid. Belakangan aku memang sudah serabutan banget nonton weekly WWE, makanya jadi jarang review premium event. Ketika aku kembali ngikutin show menjelang Royal Rumble ini, memang terasa ada perbedaan. Ada hal-hal yang rasanya gak bakal terjadi di WWE sebelum era Triple H. Komentator yang terdengar lebih ‘bebas’. Pilihan yang lebih risky, for the sake of creative choice, bukan dalam artian yang memancing kontroversi. Kehadiran match sponsor kayak Pitch Black ataupun superstar datang cosplay jadi karakter untuk promoin produk  (di sini Zelina Vega dandan jadi karakter dari game Street Fighter 6) juga tampak cukup aneh. Tentu, WWE pernah melakuin ini sebelumnya – match zombie di WrestleMania untuk promoin film zombie Batista, tapi itu masih ada sangkut pautnya ama ‘keluarga’ wrestling mereka. Yang pengen kubilang adalah, WWE sekarang terasa kayak suatu produk yang berbeda; terkait gulat, terasa meningkat dan lebih solid, tapi dari sisi entertainment, mereka seperti lagi berubah menjadi satu bentuk yang lain lagi. I mean, di sini Asuka datang dengan dandanannya sebagai Kana di promotion lain. Zaman Vince mana boleh nyebut-nyebut ada acara gulat lain. Jadi perbedaan di entertainment-nya itu di sini. WWE sekarang lebih seperti mengandalkan hiburan yang dimengerti oleh fans garis-keras. Storyline Sami – Owens – Roman – Bloodline kita nikmati karena kita mengerti hubungan dan sejarah mereka. Tapi ‘kekuatan’ Vince juga tak harus dilupakan sepenuhnya. Kekuatannya untuk membuat sesuatu yang instantly captivating bagi penonton manapun. I do feel WWE kekinian kurang di aspek ini. Dan ini juga sebabnya kenapa acara Royal Rumble kurang nendang oleh surprise.

Menuju WrestleMania, WWE perlu menemukan keseimbangan antara rezim Vince dan rezim Triple H. Orevall Royal Rumble ini adalah show yang solid. Namun tes sesungguhnya adalah di WrestleMania, let the count down begin.. 5..4..3..2..1… teeet!!!

 

The Palace of Wisdom menobatkan Men Royal Rumble match sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

 




 

Full Result

1. 30-MAN ROYAL RUMBLE  Cody Rhodes menang, di final mengeliminasi Gunther
2. MOUNTAIN DEW PITCH BLACK Bray Wyatt mengalahkan
3. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bianca Belair bertahan atas Alexa Bliss 
4. 30-WOMAN ROYAL RUMBLE Rhea Ripley menang, berturut ngeluarin Asuka dan Liv Morgan di final-three
5. UNDISPUTED WWE UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Juara Bertahan Roman Reigns masih memegang rekor juara terlama dengan ngalahin Kevin Owens

 




That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.



PUSS IN BOOTS: THE LAST WISH Review

 

“Because you already have what you wish for”

 

 

Animasi dengan karakter kucing oren pake sepatu boot, tentunya gak ada urusan untuk bicara dalem perihal kematian, kan?  Inilah pasti kartun untuk tontonan anak kecil, kan? Well, film animasi – seperti halnya komik – memang masih sering dipandang sebelah mata. Ya, animasi memang sebagian besar dibuat supaya lebih appeal buat penonton muda. Tapi itu bukan berarti film animasi tidak bisa bercerita dengan bobot yang lebih kompleks. Justru sebaliknya, film animasi bisa banget diolah jadi medium yang efektif untuk memperkenalkan isu yang lebih matang kepada penonton. Film animasi bukan lantas berarti film anak-anak, but when they do, animasi mampu mengangkat kepada isu-isu real yang dianggap ‘angker’ oleh orang tua kepada anak-anak. Sutradara Guillermo del Toro literally bilang bahwa animasi adalah medium, bukan genre khusus (untuk anak-anak) dalam pidato kemenangan film Pinokionya di Golden Globes baru-baru ini. Memang, despite pandangan umum bahwa animasi hanyalah film anak, toh telah banyak animasi hebat yang bercerita dengan matang. Mengangkat isu yang real. Sementara tetap menghibur dalam melakukannya. Puss in Boots terbaru karya Joel Crawford adalah contoh berikutnya, perjuangan terbaru dari animasi untuk membuktikan kekuatan medium ini dalam ranah bercerita.

Aku gak ngikutin franchise Shrek. Ini, in fact, adalah film Puss in Boots pertama yang aku tonton. Dan sukur Alhamdulillah film ini ceritanya berdiri sendiri. ‘Modal’ nonton ini cukup dengan tahu bahwa universe-ceritanya adalah dunia dongeng alias cerita rakyat populer. Jadi, yea, ‘magic’ adalah hal yang bisa kita harapkan di film ini. Si Puss in Boots sendiri kan, sebenarnya dari dongeng klasik Italia. Oleh universe ini, dia adalah kucing jagoan ala Zorro. Dengan sikap sedikit narsis; pede, cerdas, suka pesta, dan tak kenal takut. “Aku tertawa di hadapan Kematian” adalah jargonnya sebelum beraksi menantang bahaya. Saking jumawanya, Puss memang sedikit careless. Selama bertualang ngalahin orang jahat itu, kucing oren ini actually sudah ‘menghabiskan’ delapan nyawanya. Tau dong, kalo konon kucing punya sembilan nyawa? Nah, di sini ceritanya si Puss sudah dalam nyawanya yang terakhir. Kenyataan ini telak menerpa dirinya. Puss kini tidak merasa segagah itu. Dia bener-bener takut saat sesosok serigala datang dan nyaris mengalahkannya. Satu-satunya harapan untuk mengembalikan kegagahannya adalah saat ia menemukan peta ke Falling Star yang mampu mengabulkan semua permintaan. Puss ingin meminta nyawanya dibanyakin lagi. Petualangan Puss in Boots bersama rekan baru dalam mencari permintaan itu pun dimulai. Petualangan yang penuh bahaya dan stake yang tinggi. Karena bukan dirinya saja yang mengincar permintaan tersebut. Plus, si serigala yang ternyata adalah Death himself, terus memburu kemanapun dia pergi.

Seketika aku jadi teringat perjuangan mencari Dragon Ball

 

Selain karena soal rebutan mencari pengabul permintaan, pengaruh anime – animasi Jepang – lain kuat terasa di sini. Salah satunya adalah sekuen berantem dengan raksasa di awal cerita. Aku benar-benar gak nyangka kalo film dari barat ini, punya sekuen aksi yang vibenya mirip banget ama aksi di Attack on Titan! Serius. The way si Puss meloncat-loncat lincah mendekat menuju sasaran yaitu titik lemah raksasa yang menjulang. Perspektif kamera dalam menangkap dimensi kedua karakter ini.  Bahkan settingnya di atap-atap rumah. Persis banget kayak Eren yang mau mengalahkan Titan. Sungguh kejutan menyenangkan buatku. Aku jadi semakin tertarik melihat apa lagi yang bisa dilakukan film ini terkait gaya animasi yang mereka pilih. Visualnya sendiri tampak fluid dan seru karena menggunakan gaya yang sama dengan animasi pada Spider-Verse dan Mitchell vs. The Machines. Gabungan animasi 3D dengan efek dan garis-garis 2D sehingga tampak kayak komik yang bergerak. Kayak video game yang begitu stylish. Animasi tersebut juga terasa selaras dengan quirk yang dikandung oleh karakter dan dunianya sendiri. Ditambah dengan sekuen-sekuen action tadi, Puss in Boots jadi terasa luar biasa enerjik dan ciamik.

Perkara tone cerita dan karakter, film ini memang secara overall dibuat untuk menyasar penonton yang lebih muda. Appeal dari estetik dongeng dan kekonyolan yang bisa dibawanya tetap jadi jualan nomor satu. Tapi film ini juga tidak segan-segan untuk menyelam lebih matang soal bahasan, maupun candaannya. Dinamika antara kekonyolan, fantasi, dan real talk yang dikandung inilah yang bikin Puss in Boots: The Last Wish jadi hiburan paket komplit. Membuatnya jadi hiburan bagi penonton dewasa, maupun penonton yang lebih muda. Film ini gak ragu untuk membahas soal takut akan kematian, soal panik menyadari diri yang semakin menua (something yang clearly gak kepikiran sama anak kecil) karena film ini tahu dia punya medium yang brilian dan cocok banget untuk menceritakan soal itu. Makanya bagi orang yang lebih dewasa, cerita film ini bisa jatohnya mengerikan, sementara anak-anak mungkin hanya melihatnya sebagai kisah Puss bertemu musuh kuat yang berbahaya. And that’s okay. Kenapa? karena film ini bakal jadi experience yang terus berubah buat anak-anak tersebut seiring mereka dewasa. Anak kecil yang sekarang nonton ini, jika menonton kembali saat sudah dewasa maka akan menyadari hal yang sebelumnya gak mereka notice. Like, bukankah rasanya wonderful jika film mampu terasa berbeda, bisa tetap terasa baru, walaupun kita menontonnya berulang kali. Nah, film ini punya kesempatan untuk menjadi wonderful seperti itu dengan tampil dinamis, mengandung bobot dan hiburan dengan sama mutunya.

Dalam petualangannya mencari bintang pengabul permintaan, si Puss bertemu banyak karakter. Kawan lama, kawan baru, maupun musuh baru. Karakter-karakter seperti Kitty Softpaws, si Serigala Kematian, dan si cihuahua imut yang nyamar jadi kucing, Perrito, akan ngajarin Puss (dan to some extent, kita) tentang kehidupan dan kematian. Tentang bagaimana hidup justru berharga jika ada batas waktunya. Karena mau gimana pun juga, kematian akan datang. Melihat Puss yang ingin meminta ‘perpanjangan’ nyawa membuat aku sendiri teringat sama kejadian pas aku lagi Tugas Akhir dulu. Tanggal presentasi sudah mepet, tapi tugasku belum selesai. Maka aku minta perpanjangan waktu sama mentor. Tau gak beliau bilang apa? Mau sepanjang apapun saya kasih waktu, tapi kalo kamu belum ready, kamu gak akan pernah ready. Waktu itu tidak akan pernah cukup buatmu. Ya, mau berapa banyak waktu yang kita punya, enggak akan jadi soal. Karena semua adalah soal apa yang kita lakukan terhadap waktu tersebut. Dibawa ke cerita film ini; siap menyambut kematian sebenarnya adalah soal sudah atau belumnya si Puss menghargai hidup. Kitty Softpaws, teman alias, ehm, mantan Puss ada di sana untuk mengingatkan apa yang harusnya bisa dimiliki oleh Puss sejak lama jika dia benar-benar menghargai hidup (dengan menghargai bahwa hidup bisa berakhir). Perrito, surprisingly, bakal jadi karakter favorit banyak orang, bakal banyak sekali mengajari Puss soal ya, live the life. Karakter Perrito yang polos, rada bloon namun blak-blakan banget sama perasaannya, ternyata jadi karakter yang bijak banget dibanding yang lain. Karena Perrito satu-satunya yang melihat dunia sebagai sesuatu yang harus dinikmati. Sementara Puss, Kitty, dan karakter lain yang bersaing nyari Bintang, saling tidak percaya satu sama lain.

Cat Attack on Tree Titan!

 

Perihal kematian tersebut lantas semakin didaratkan lagi oleh film ini menjadi bahasan permintaan. Banyak lagi karakter yang jadi saingan Puss in Boots untuk mencari pengabul permintaan. Ada Goldilock dan keluarga beruangnya. Ada juga Jack Horner, si kolektor barang-barang dongeng ajaib. Bahkan Kitty juga sempat jadi saingan. Bahasan soal permintaan ini akan lebih gampang untuk relate ke anak-anak. Dan film juga gak ragu untuk ngasih pelajaran berharga. Tidak ada satupun dari karakter tersebut yang mendapatkan apa yang ingin mereka minta. Semuanya gagal. Tapi kegagalan tersebut tidak diperlihatkan film sebagai sesuatu yang depressing, melainkan dalam semangat yang positif, Yang lebih menggelora. Karena di sini film ngajarin soal sesuatu yang sebenarnya basic dalam nulis cerita. Yaitu yang kita inginkan sebenarnya tidak benar-benar kita perlukan. Dan bahwa yang kita perlukan itu sebenarnya sudah ada di sekitar kita, kita hanya perlu menyadarinya saja. Karakter dalam film ini seperti terkena pamali Birthday Wish Rule, yaitu ngasih tau permintaannya apa ke orang lain, sehingga permintaan tersebut tidak akan terkabul. Padahal sebenarnya ‘pamali’ tersebut justru adalah jawaban dari pencarian mereka. Bahwa dengan share their wish, mereka akhirnya bonding dengan orang-orang yang actually jadi ‘jawaban’ atas permintaan mereka. Karena orang-orang terdekat yang dikasih tau their secret wish itulah yang tadinya kurang dihargai – teroverlook – oleh mereka yang terbuai oleh keajaiban.

Mengharapkan sesuatu ‘keajaiban’ tentu saja gak salah. Hanya saja, one way or another, sebenarnya yang kita inginkan bisa jadi sudah ada di sekitar kita. Bisa jadi permintaan itu sebenarnya sudah terwujud, bahkan sebelum diminta. Kita hanya belum sadar aja. Kita terlalu menggebu sampai tidak menyadari apa yang dipunya. Tidak menghargai apa yang dimiliki. Seperti Goldilock yang gak sadar ada keluarga yang selama ini bersamanya. Seperti Puss yang baru ngeh hidupnya setelah semuanya akan berakhir.

 




So yea, jangan lagi animasi ini jadi medium storytelling yang teroverlook oleh kita. Yang kurang kita hargai, hanya karena tampilan yang cerah, jokes yang konyol, dan seringkali dibuat untuk appeal ke anak kecil. Karena lagi dan lagi, terus bermunculan animasi yang berbobot seperti film ini. Yang di balik hiburannya, menghadirkan bahasan yang berbobot. Mengangkat topik yang ‘angker’ tapi berhasil disamarkan lewat warna yang segar, tanpa mengurangi kepentingannya. Film ini penuh aksi, sekuen berantemnya keren-keren dan kreatif, serta penuh berisi oleh fantasi yang mereferensikan dunia dongeng/cerita rakyat klasik, sambil juga menghantarkan pelajaran berharga tentang hidup kita yang dibatasi oleh waktu. Pelajaran yang tentu saja konek untuk segala lapisan usia. Cerita petualangannya sendiri mungkin memang tidak benar-benar ngasih hal baru (selain dunianya sendiri), tapi karena penceritaannya yang menawan dengan dinamika yang unik, aku terhibur, sekaligus tersentil juga oleh film ini. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PUSS IN BOOTS: THE LAST WISH

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian merasa pernah punya satu hal yang dipengenin banget, tapi kemudian sadar ternyata kalian sudah punya itu? Apa yang membuat kalian akhirnya sadar?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA