POOR THINGS Review

 

““God’ is whatever is the next obvious step towards wholeness in yourself and your life; ‘Ego’ is whatever within you stops you taking it.””

 

 

Bikin film adalah urusan menciptakan dunia. Ketika bikin karakter amnesia dirasa terlalu kacangan sementara bikin karakter alien sepertinya terlalu pasaran, maka sutradara Yorgos Lanthimos sekalian saja membuat dunia reka yang totally menantang akal sehat, supaya karakternya yang gak punya ingatan dan perjalanan yang ditempuhnya menuju aktualisasi-diri itu dapat terlaksana dengan spesial. Tapi meskipun dunia ceritanya kali ini aneh, dunia tersebut toh masih ada sama-samanya ama dunia kita. Karena di situ juga banyak makhluk-makhluk malang yang hidup di dalamnya. Dan sebagai drama komedi, yang paling lucu dari film ini adalah,  bahwa persepsi kita tentang siapa yang ‘makhluk malang’ – The Poor Things itu – akan berubah. Akan berbeda di akhir cerita.

Pernah dengar paradoks Kapal Theseus? Misalkan Kapal A, satu persatu secara bertahap bagiannya diganti dengan bagian yang baru, apakah kapal tersebut ketika semua bagiannya sudah baru, masih bisa disebut sebagai Kapal A? Lalu lantas jika bagian-bagian lamanya tadi dikumpulkan, dan dibangun kembali menjadi kapal dengan bentuk yang persis sama seperti sebelumnya, apakah hasil kapalnya itu bisa disebut kapal A? Mana yang kapal A sebenarnya di antara dua kapal ini? Paradoks tersebut mengulik soal makna identitas, dan mirip seperti itu jugalah cerita film Poor Things. Protagonis utamanya, yang diperankan dengan lugas dan berani oleh Emma Stone, adalah seorang perempuan yang  fisiknya dikenali oleh beberapa konglomerat sebagai Victoria, tapi dia sendiri tahunya dia bernama Bella Baxter. Gadis yang dibesarkan oleh seorang ilmuwan bernama Godwin, yang ia panggil dengan simply “God”. Dan memang persis seperti God – Tuhan-lah sosok Godwin bagi kehidupan Bella. Karena perempuan berambut hitam panjang itu actually diciptakan Dr. Godwin dari mayat Victoria yang otaknya diganti sama otak bayi dari dalam kandungan Victoria sendiri. Jadi Bella, tanpa maksud merendahkan, adalah freak of nature. Awalnya dia polos kayak anak-anak baru belajar bicara, Godwin-lah yang mengajari dia banyak pengetahuan. Tapi kelamaan, Bella mulai berani memilih jalan hidupnya sendiri. Selama ini gak boleh keluar rumah, dan dijodohkan sama asisten Godwin, Bella minta ijin untuk pergi bertualang melihat dunia luar. Walaupun orang-orang yang dia temui mencoba untuk – in some ways bisa disebut mengekang – Bella percaya dirinya adalah identitas utuh yang baru, yang punya pilihan dan keinginannya sendiri.

review poor things
Mereka yang aneh ini, anehnya, menurutku terasa seperti Kurotsuchi Mayuri dan Nemu versi yang lebih manusiawi

 

Bella hidup di London, dari kostumnya seperti di era Victorian, tapi teknologinya dunia Bella seperti bahkan lebih ‘canggih’ dari dunia kita. Canggih dalam artian absurd haha.. Like, jangan bayangkan ilmuwan Dr. Godwin seperti ilmuwan steril dan terpelajar. Godwin more like a mad scientist. Di rumahnya berkeliaran hewan-hewan ajaib seperti ayam berkepala babi, ataupun angsa berkaki empat. Kalo Godwin bersendawa, yang keluar bukan angin. Tapi gelembung kayak gelembung sabun. Dunia ini tentu saja difungsikan sebagai konteks yang memungkinkan cerita perempuan hasil transplant otak ini dapat bekerja, tanpa kita harus merisaukan perkara etika ataupun kelogisannya. Karena film selalu nomor satu adalah soal konteks. Terms seperti ‘retarded’ yang boleh saja secara moral kita terkesan degrading, akan terasa jadi ‘tak mengapa’ ketika kita sudah dilandaskan betul karakter yang menyebut term tersebut. Perspektif dan karakterisasi film ini mengalir kuat dari gimana tegas dan tanpa sungkannya ‘suara’ para karakter divokalkan. Ilmuwan yang dari luar tampak kurang etis, tapi ternyata punya sisi parenting yang humanis – eventho sisi itu ditempa dari kelamnya perbuatan yang ia terima di masa kecil. Dan Bella, dia dibuat seperti orang yang melihat dunia sebagai orang dewasa tapi dengan pandangan ‘polos’ anak kecil yang melihat dan ngalamin semua hal sebagai untuk pertama kali. Karakter Bella jadi ruang bagi film untuk menelisik sistem sosial yang cenderung patriarki, sehingga film bisa membenturkan banyak nilai feminis yang diharapkan membawa perbaikan dengan sistem yang mengukung. Lihat saja ketika film membuat solusi keuangan Bella di Paris adalah dengan bekerja di rumah bordil.

Dengan melandaskan dunia yang absurd, dan mindset ‘ilmuwan’ sebagai basic dari karakternya, film meminta kita untuk meninggalkan kacamata etika dan purely menyelam ke dalam pikiran Bella yang delevoping concern sesuai dengan yang ia lihat dari sekitar. Untuk experience tersebut, film gak segan mengganti lensa tanpa tedeng aling-aling sepanjang cerita. Kadang gambar yang kita lihat seperti melingkar, hampir kayak fish-eye. Kadang pemandangannya begitu wide. Kadang kita notice kamera ngezoom membuat sekeliling blur. Ini sebenarnya menyesuaikan dengan sense penasaran dan eksplorasi yang sedang dialami oleh Bella ketika dia melihat dunia. Pun, film menggunakan kode warna yang selaras dengan pandangan Bella. Di babak awal film, ketika Bella paling terasa kayak anak polos, yang gak boleh keluar rumah, yang cuma bisa tantrum ketika dilarang, layar film tergambar hitam putih. Tanpa warna. Namun begitu Bella mulai kenal sensasi kewanitaan, begitu dia keluar rumah menemukan segala sesuatu yang baru, begitu dia ngerasain yang namanya ‘furious jumping’, layar yang kita lihat meledak oleh warna. Teknik kamera dan coloring yang digunakan ini selain memvisualkan development karakter Bella, tentu juga bekerja sama efektifnya memperkuat kesan dunia absurd dan komedi pada cerita. Dengan setting dunia yang boleh saja terasa amat aneh, tapi Poor Things could not be any clearer dalam menyampaikan tema soal identitas dan self-actualization dari sudut pandang perempuan.

Menjadi diri sendiri di tengah dunia yang terus-terusan meminta kita untuk menjadi sesuatu yang lain, yang terus-terusan mendorong kita untuk mengikut keseragaman, yang terus-terusan mengingatkan kita untuk tahu diri – tidak melupakan dari mana kita berasal – jelas adalah suatu perjuangan yang berat. Bella Baxter memperlihatkan ini kepada kita. Dirinya  disuruh untuk realistis. Untuk berhenti berharap. Puncaknya, Bella disekap, akal dan nafsunya akan dirampas darinya. But they didn’t stop her.

 

Development Bella kerasa banget. Cara film bercerita pun dibuat ngikut dengan perkembangan itu. Ketika nalar Bella masih ‘bayi’, film ngambil resiko dengan seolah cerita ini dari sudut pandang Max, mahasiswa yang dimintai tolong jadi asisten di rumah mereka oleh Dr. Godwin. Cerita seolah dimiliki oleh Max dan Dr. Godwin, dua orang yang meneliti perilaku Bella. Perlahan, status mereka tersebut tergantikan. Dengan subtil – namun tegas – Bella mulai mengambil alih komando cerita. Dia mulai berani menyuarakan keinginan. Dia mulai berani mengambil aksi. Hingga di akhir babak satu, Bella membuat keputusan otonom. Ikut Mark Ruffalo ke luar negeri. Dari segi akting pun development Bella menguar, tadinya Bella dimainkan oleh Emma benar-benar limited. Ya dari kosa katanya, maupun dari geraknya. Tapi seiring identitasnya bertumbuh, raganya pun terisi dengan semakin matang. Bella using big words, sering mengutip bahasa-bahasa buku yang ia baca, gesturenya semakin percaya diri. Dominasi lelaki di sekitarnya pun, kita rasakan semakin mengendor. Dari sinilah film sebenarnya perlahan ngasih development sarkas yang ultimate. Bahwa yang dimaksud oleh judul sebagai Poor Things ternyata bukan Bella. Ternyata bukan perempuan yang hidupnya ditekan, diatur, diejakan oleh standar yang terbentuk dari kuasa laki-laki. Melainkan, ya, laki-laki itulah the real poor things.

Madame ngajarin Bella nasihat yang maknanya literally ‘Berani kotor itu baik’

 

Setiap manusia memang fight their own battle, dengan kondisi yang memaksa dan menantang mereka. Film dibuka dengan Emma Stone terjun dari jembatan, membuat kita membatin “kasihan sekali dia”. Kemudian adegan berikutnya kita melihat dia seperti orang yang cacat mental. Tapi di akhir cerita, Bella yang telah menyadari kekuatan dan tujuan dari eksistensinya menunjukkan kepada kita bahwa laki-laki seperti Duncan yang cengeng, Harry yang gak berani berharap, God yang bahkan gak bisa mengelak dari kematian dan lebih butuh dirinya ketimbang dia butuh Godwin, dan Alfie yang literally ditulis oleh naskah sebagai manifestasi traits terburuk dari lelaki; mereka-lah yang lebih malang. Bukan perempuan yang beraksi demi kebebasan menjadi dirinya sendiri itu yang kasihan. Adegan di akhir, ketika Bella ngajak Max nikah. Bukan hanya pembalikan dari momen di awal, tapi dari adegan tersebut terasa sekali ada shift. Max is the good one, ‘dosanya’ cuma dia tak pernah berani ‘nembak’ langsung. Kini justru Bella yang bukan saja sudah jadi ekual, tapi juga memegang kendali.

Di tangan naskah yang kurang cermat, karakter seperti Bella ini bisa terkesan sebagai terlalu ideal. Membuat cerita jadi pretentious, atau malah terlalu dibuat-buat. Terlalu muluk. Hal itu tidak pernah terasa ada pada Poor Things. Karena nyalinya tadi untuk menggali Bella sebagai orang dewasa yang melihat dunia dengan pemikiran seperti anak kecil. Semua dicoba. Pengen tahu apapun hal yang baru. Kemauannya harus dituruti. Ini oleh naskah dijadikan cela yang menambah layer karakternya itu sendiri. Yang akhirnya membentuk desain film seperti apa. Film jadi vulgar, lancang, bikin kita gak nyaman, sometimes degrading. Tapi lewat semua itulah pembelajaran Bella berlangsung. Enggak ada dunia yang sempurna. Bahkan dunia seabsurd ini pun tidak bisa sempurna. Bella tahu itu, dia akhirnya tahu salah dan benar, tapi juga dia tahu apa yang lebih penting dari itu. Yaitu untuk menjadi diri sendiri, dan terus berharap dan berusaha dirinya bisa mengubah dunia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada yang sempurna, tapi semua orang mestinya berjuang untuk menjadi lebih baik. Ah, ini pandangan ilmuwan sejati. Godwin pasti bangga pada Bella!

 

 




Akhirnya, semua film nominasi Best Picture Oscar 2024 sudah rampung semua direview di blog ini. Dan kurasa somehow tepat film ini jadi film penutup karena in some ways, film ini seperti gabungan dari film-film tersebut. Weird, hitam-putih, karakter yang dealing with siapa dirinya – apa yang ia kerjakan, sound desain dan dunia yang ajaib, dinamika relationship yang berpusat pada relasi kuasa perempuan dan laki-laki. Mungkinkah film ini yang bakal menang? Itu terserah Academy sepenuhnya.  Tapi yang jelas, drama komedi romance ini merupakan sebuah perjalanan dari karakter dengan sudut pandang dan suara yang kuat. Penulisannya pada development karakter juga kuat sekali. Film ini boleh saja aneh, tapi pesannya akan sangat tegas dan bisa kita cerna dengan relatif mudah. Dan film ini tak pernah jadi pretentious dalam melakukan hal tersebut. Also, film ini punya banyak penampilan akting yang menarik. Unik. Yang bikin kita gak nyangka aktornya berani melakukan itu. 
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for POOR THINGS.

 




 

 

That’s all we have for now.

Apa menurut kalian tindakan Bella nge-transplant otak kambing ke mantan suaminya hanyalah sebuah balas dendam, atau sebuah statement? Statement apa kira-kira? 

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE ZONE OF INTEREST Review

 

“When we ignore the world outside the walls, we suffer – as does it”

 

 

The Zone of Interest currently – menurut istilahku – ada di posisi tier 0 dalam kompetisi Piala Oscar tahun ini. Karya Jonathan Glazer ini sukses mengantongi empat nominasi utama; Skenario, Naskah, Film Internasional, dan Film Terbaik,  yang artinya film ini berpotensi sapu bersih nominasi-nominasi utama tersebut. So pasti interestku buat The Zone of Interest melambung tinggi, dengan skeptis dan perasaan tertantang membayangi di baliknya. Apa beneran sebagus itu. Kejadian berikutnya udah kayak iklan before after. Sebelum nonton aku tersenyum membayangkan sajian menantang seperti apa yang bakal disantap oleh mata dan pikiran. Dan setelah menonton, rasanya kayak kesan yang hadir saat melihat poster di atas. Hitam, hollow. Rasanya seperti kena tonjok tepat di nurani dan urat kemanusiaan. Telingaku rasanya berdenging sebuah dengkingan panjang yang kering. Itu semua bukan karena filmnya buruk atau mengecewakan. Film ini justru depicts so much truth, soal betapa canggihnya kemampuan manusia untuk nyuekin kekejian di sekitar, bahkan ketika semua itu mulai ada dampaknya bagi jiwa kita.

Target Pak Sutradara kentara untuk menghasilkan kesan realisme. Kita dapat menangkap ini dari gimana kamera film yang dibuat statis mungkin. Tidak ada zoom, tidak ada gerakan sensional, tidak ada drone shot fantastis. Kita dibuat seperti beneran di sana menyaksikan sendiri dari jarak yang cukup dekat kehidupan sehari-hari keluarga Komandan Rudolf Hoss di rumah mereka yang nyaman. Rumah itu cukup besar tapi tidak sedemikian mewah. Ruangannya kayak rumah dinas biasa, dipenuhi oleh sejumlah pelayan yang sibuk. Punya halaman hijau yang cukup luas. Ada kolam renang kecil. Ada kebun bunga dan sayur yang diurus oleh Hedwig, istri Hoss. Tidak jauh dari rumah ada sungai tempat Hoss dan anak-anaknya berenang. Nyobain sampan baru hadiah dari istrinya. Hoss dan istrinya cinta tempat itu, bahkan ketika disuruh pindah karena tugas pun, sang istri minta bertahan dan Hoss merelakan mereka harus ‘LDR’ sementara. Semua kenyamanan hidup tak terkira itu tentu saja demi anak-anak mereka. Komandan Hoss tampak relate dengan kita yang pengen keluarganya untuk bahagia sejahtera. Cumaa, Rudolf Hoss ini actually adalah komandan Nazi. Dan, ssstt, cobalah dengar suara-suara di luar rumah mereka. Ya, rumah impian keluarga tersebut tetanggaan sama concentration camp tempat Hoss bekerja. Camp Auschwitz, salah satu camp nazi yang paling dikenal karena tindakan kejam pembunuhan dan pembakaran terhadap orang-orang Yahudi di sana udah kayak rutinitas sehari-hari.

review the zone of interest
Yup, keluarga makmur yang hidup sehari-harinya gak beda jauh dari kita itu ternyata evil Nazi!

 

Pilihan film ini sekilas memang tampak ganjil, Kenapa tokoh utamanya adalah Nazi dan dimanusiakan sedemikian rupa kayak kepala keluarga biasa. Jangan keburu menjudgenya sebagai tontonan yang tidak berpihak kepada korban. ‘Nazi is evil’ tetap jadi headline utama. Hanya penggambarannya yang dilakukan dengan unik, dan terbukti menghasilkan kesan yang powerful, oleh film ini. Kekerasan, kejahatan, derita dan trauma tidak melulu harus digambarkan lewat visual. Lagipula, film adaptasi novel berdasarkan historical person dan event ini tentu saja tidak butuh lagi untuk memperlihatkan langsung gimana kejinya perlakuan Nazi, mempertontonkan hal itu hanya akan membuat film ini jadi eksploitasi. Jadi yang dilakukan film untuk mencuatkan kekejian mereka yang punya ideologi mereka manusia yang paling layak dibanding Yahudi adalah dengan mengontraskan kehidupan sehari-hari mereka sebagai manusia, dengan keadaan di luar rumah. Kontras yang memperlihatkan mereka bisa hidup biasa aja padahal di luar pagar mereka terjadi pembantaian dan penembakan.

Suara-suara tembakan, suara teriakan, suara perintah galak – yang kadang teredam oleh suara mesin motor ataupun kereta api – secara konstan terdengar memenuhi udara halaman mereka. Merayap di balik percakapan ringan ibu-ibu rumah tangga. Aku bahkan gaingat apakah film ini ada pakai skor musik atau enggak, karena suara-suara kejadian penyiksaan dan pembunuhan itu yang paling bergaung. Ngasih sensasi disturbing luar biasa karena di layar kita melihat orang-orang yang menjalani hidup seperti biasa. Film sudah ngasih kita peringatan untuk awas terhadap suara sejak dari momen pembuka yang cuma layar hitam dengan suara kayak mesin yang bikin feeling uneasy. Selain desain suara yang jelas-jelas jadi kekuatan khusus film ini, juga memperlihatkan kepada kita clue-clue visual. Pesawat pengebom yang ‘tersibak’ di langit di antara kain-kain putih yang dijemur. Asap yang muncul menghiasi background, menandakan lagi ada yang dapat giliran dibakar hidup-hidup di gedung sebelah. Air cucian sepatu boot Hoss yang berwarna merah, menandakan dia baru saja dari medan ‘pembunuhan’. Badan anak-anak Hoss yang penuh pasir saat dimandikan sepulang berenang di sungai, menandakan mereka baru saja berenang di air yang mengalirkan sisa pembakaran tadi. This is actually horrifying gimana keluarga ini menjalankan hidup normal padahal di sekitarnya orang-orang sedang dibantai. Gimana mereka memilih bertahan di sana dengan anak-anak mereka.

Itulah kejahatan manusiawi yang ingin ditonjolkan oleh film. Alih-alih membuat mereka berlaku kasar dan biadap seperti biasanya film-film menunjukkan kekejaman Nazi, film ingin memperlihatkan mereka jahat karena mereka tega-teganya hidup seperti itu. Dan pada gilirannya, kita juga kena sentil, karena walau mungkin dalam hati kita bilang gak akan pernah sejahat Nazi, tapi nyatanya film bisa menarik garis relate dari kita yang berusaha hidup tentram sekeluarga, sementara mungkin tetangga ada yang sedang kesusahan. Ketika kita membaca berita perang di timeline, menonton berita tragedi di tv atau di internet, posisi kita sudah seperti keluarga Hoss. Kita ‘mendengar’ jeritan itu. Namun seberapa besar tragedi itu mempengaruhi kita. Ending film ini mendorong gagasan itu lebih dekat lagi dengan actually memperlihatkan masa sekarang. Saat ‘hasil kerja’ Hoss dan gengnya nampang di museum. Memorabilia kejahatan itu dijaga, dipajang. Buat apa? Pengunjung museum datang melihat dan belajar sejarah, tapi nyatanya sejarah itu bakal terulang. Karena perang masih ada. Sedang berlangsung.

How do we all sleep at night? Nyenyakkah tidur kita di balik ‘pagar’ masing-masing, meskipun ‘mendengar’ masih banyak kekejian di luar sana?

Pertanyaan tersebut tidak dibiarkan terbuka oleh film ini.  Inilah yang actually bikin film lebih kuat. Karena dia bukan sekadar gambaran realis yang puitis dan menohok. Film punya jawaban dan itu bukan menuding kita semua sama jahatnya ama keluarga Hoss. Film ini justru memperlihatkan bagaimanapun Hoss dan keluarganya berusaha cuek, tapi deep inside mereka terpengaruh juga. Bahwa sebagai manusia, kita tidak akan pernah bisa untuk benar-benar tidak peduli. Dan sebenarnya manusia bakal sama-sama menderita atas kejahatan yang dilakukan kepada manusia lain.

Bukan suara dengung nyamuk yang mengusik saat duduk di taman ini

 

Film ini ingin menggugah kita. Makanya film yang mengincar realisme ini lantas gak ragu untuk di beberapa tempat menjadi sangat jarring. Tiba-tiba menggunakan transisi warna merah tok, misalnya. Film benar-benar ingin memastikan apa yang kita menonton, terasa mengganggu bagi kita. Satu adegan paling tak biasa yang dilakukan oleh film ini adalah adegan di malam hari dengan menggunakan kamera thermal. Kita melihat sesosok perempuan remaja, meletakkan buah-buahan di hutan dan di tempat-tempat yang sepertinya bakal dilewati oleh tahanan di camp. Dia melakukan itu saat hari sudah benar-benar gelap, dan film ini karena mengincar realisme tadi, tidak menggunakan lighting buatan. Melainkan pakai kamera yang memotret suhu tubuh. Alhasil nonton adegan tersebut bergidiknya bukan main. Sosok perempuan itu berpendar putih sementara latarnya gelap. Buatku adegan itu kesannya gadis itu kayak secercah harapan, sekaligus juga nunjukin manusia itu di dalamnya ya ‘putih’.  Baek. Tapi kita semakin jarang punya kesempatan atau keberanian untuk nunjukin itu.

Karakter nenek yang menginap, diceritakan akhirnya pulang diam-diam, karena nuraninya gak kuat mendengar jeritan yang semakin jelas di malam hari yang senyap. Dia gak bisa tidur. Anak-anak Hoss, ada yang diam-diam mengoleksi gigi korban dan merenunginya. Ada juga anak yang mendengar suara orang ditembak dan bergidik sebelum akhirnya kembali main tentara-tentaraan.  Gak ada yang sebenarnya bisa benar-benar hidup nyaman dalam kondisi berperang seperti begitu. Bahkan Hoss pun mendapat pengaruh secara psikologis. Ini jadi cara film untuk mendesain inner journey dari karakter utama. Untuk membuat dia bisa mendapat sedikit simpati, sekalipun aksi nyatanya membuat dia seorang protagonis yang selamanya tidak akan pernah kita jadikan hero ataupun layak mendapat simpati itu. Hoss yang kerjaannya bikin gas chamber, sedang pesta,  semacam dia naik pangkat. Tapi di akhir itu kita melihat dia curhat kepada istrinya lewat telefon, bahwa dia anehnya merasa pengen ngegas orang-orang Nazi di pesta itu. Ini hampir seperti nurani-nya yang bicara. Yang menyeruak keluar. Terbangkitkan karena selama ini dia tinggal begitu dekat dengan para korban. Perjuangan terakhir Hoss sebelum kita melihatnya menghilang ke dalam kegelapan saat turun tangga, adalah pergulatan batin nurani lawan ideologi. Hoss muntah tapi tidak ada yang keluar. This is as good as we can get dari journey dari karakter seperti Hoss, meski kita tahu siapa dari yang menang dari pergulatan personal tersebut.

 




Kupikir, begitu rasa penasaranku dari capaian nominasi film ini terpenuhi, alias sudah nonton, aku bisa tidur nyenyak. Ternyata enggak. Film ini berhasil bikin mikir sampai gak bisa tidur. Desain penceritaannya luar biasa. Menunjukkan betapa ngerinya manusia bukan dari kekejaman fisik, bukan dari eksploitasi kesadisan, ataupun menjual trauma, tapi dari mengontraskan situasi. Dari gimana satu keluarga berusaha hidup nyaman, dengan nyuekin hal di sekitar mereka. Naskah juga enggak puas dengan hanya menjadi gambaran itu. Inner journey karakter, juga tetap digali seperti relationship mereka turut dibahas. Dan film berhasil melakukan itu tanpa merusak gagasan yang diusung. Membuat kita simpati tapi tidak sampai membuat karakternya jadi hero ataupun pantas untuk simpati itu. Siap-siap saja kalau mau menonton ini, karena film ini boleh jadi adalah film paling menakutkan tahun ini. 
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE ZONE OF INTEREST.

 




That’s all we have for now.

Pernahkah kalian melakukan sesuatu yang membuat kalian tidur tidak nyenyak di malam hari? 

Jika berkenan, silakan share ceritanya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



AMERICAN FICTION Review

 

“We live in a fantasy world.. the great task in life is to find reality”

 

 

Kita sekarang hidup di dunia fiksi. Memperdagangkan trauma dan kesedihan. Itulah realita yang digambarkan dalam American Fiction, debut penyutradaraan Cord Jefferson. Film adaptasi novel ini di tangannya menjadi komedi satir yang aku pikir bakal bikin gerah beberapa orang, seperti penulis buku/pembuat karya yang memang jadi subjek di dalamnya. Dan walaupun di judulnya ada kata Amerika, satir di film ini gak akan luput mengenai kita di Indonesia. Karena ironisnya, cerita di film ini relate juga dengan kondisi di ‘rumah’. I mean, lihatlah pekarangan sosmedmu. Berapa banyak yang bikin konten yang menuai cuan dari cerita-cerita sedih, cerita orang-orang berantem, atau bahkan cerita kebegoan. Konten yang menjual kalangan minor, ataupun yang sengaja menyasar kepada stereotipe-stereotipe lainnya. Kita sekarang hidup di dunia fiksi. Dunia di mana, sesuai dengan salah satu dialog film ini yang bikin aku ngakak; “The dumber I behave, the richer I get” Film ini begitu lucu karena yang diceritakan benar adanya!

Ya, jaman sekarang idealisme dianggap tidak bisa menghasilkan apa-apa selain stress dan kelaparan. Di cerita film ini, seorang dosen, punya pendidikan dokter, dan penulis novel, Thelonious Ellison yang akrab dipanggil Monk, hidupnya juga mulai menghimpit tatkala novel-novel yang ia tulis dengan serius dan sepenuh hati, katakanlah, tidak laku. Satir film ini langsung ngegas saat publishernya yang kulit putih itu meminta Monk untuk menulis cerita yang lebih ‘black’. Bayangkan disuruh untuk menjadi lebih lokal oleh orang yang sama sekali tidak punya kaitan apa-apa sama kelokalanmu. Lagipula, lanjut sang publisher, pasar cuma butuh dahaga mereka akan konfirmasi bahwa mereka adalah orang yang peduli sama isu terpuaskan. Maka Monk kepikiran menulis novel satir yang isinya penuh oleh stereotipe yang dikenal publik pada ras kulit hitam. Dia menulis buku itu sebagai olokan. Tapi justru buku itu laku keras di pasaran. Kritik dan penikmat kasual – yang hampir semuanya kulit putih – menyukai novel yang sengaja dibikin sebagai pembuktian sampah oleh Monk. Novel, yang ia kasih gimmick ditulis bukan oleh dirinya, melainkan oleh seorang tokoh rekaan. Seorang napi yang kabur dari penjara. Makin meledaklah penjualan novel tersebut saat ‘identitas’ penulis itu diungkap. Sampai-sampai ada produser yang ingin memfilmkan novelnya. Monk, demi keuangan keluarganya, lantas harus memilih; antara tetap menjadi dirinya yang tak bisa menjual apa-apa, atau terpaksa menjadi penulis dan kisah-nyata bohongan yang ia ciptakan sendiri.

reviewamericanfiction
Abis nonton ini, ngereview pun lantas jadi was-was, takut kemakan jebakan pembuat yang seperti Monk

 

American Fiction tayang di bioskop Amerika bulan Desember tahun lalu, hampir bertepatan dengan waktu Jatuh Cinta Seperti di Film-Film memeriahkan bioskop tanah air. Menarik, karena dua film ini basically menggunakan konsep meta yang serupa. Pun sama-sama punya komentar soal industri film/karya tulis negara masing-masing (sama-sama parodiin produser/publisher hahaha). Jatuh Cinta Seperti di Film-Film yang tentang seorang penulis skenario berusaha menulis dan memfilmkan kisah romans dari kehidupan cintanya, currently bertengger di posisi ke delapan dalam daftar Top-8 2023 Movies-ku, dan alasan film itu berada di posisi tersebut adalah karena ada yang mengganjal dari struktur meta yang digunakan terhadap journey karakter utamanya. Film American Fiction ini lantas memberikan kepada kita contoh cara yang benar dalam menghandle konsep tersebut, sehingga journey Monk sebagai karakter utama terasa tetap ‘real’.  Karena American Fiction tidak lantas give in kepada gimmick cerita metanya. Alih-alih menggunakan hitam putih sebagai pembeda, film menggunakan layer akting yang beneran dikaitkan kepada narasi. Monk pria terpelajar kelihatan dari gaya dan cara bicara dia, tapi kita benar-benar ditekankan kepada Monk harus mengubah cara dia bicara, gaya dia menulis, menjadi sesuatu yang stereotipe dan menurutnya degrading ketika dia menulis novel sesuai tuntutan publisher. Akting Jeffrey Wright main betul, dan memang pantas diganjar nominasi. Cara film ini dalam menampilkan sebuah adegan yang ternyata hanya karangan Monk dilakukan dengan sureal namun tetap terang sehingga apa yang sebenarnya terjadi kepadanya tidak pernah tersamarkan sebagai kejadian yang tidak pernah beneran terjadi. Dalam artian, journey yang dilalui Monk tetap jelas, growth yang ia alami tetap kita lihat terjadi kepadanya.

Adegan Monk menulis novel full of stereotypes itu dilakukan dengan menarik oleh film. Monk udah kayak sutradara yang mengawasi dua karakternya berdialog, lalu karakter-karakter tersebut akan balik bertanya “Gue ngomong apalagi nih bos?” atau malah mengkritiknya “Gue ngomongnya gak kayak gitu!” Menyangkut ke perihal satirnya, adegan tersebut dirancang dengan precise sehingga untuk kita – yang merupakan salah satu sasaran sindiran – adegan tersebut akan menghasilkan sedikit perasaan mendua. Adegan dialog itu supposedly nunjukin parody yang jelek, atau beneran bagus. Ketika kita merasakan itulah, pembuktian satir film bekerja dengan benar. Lewat adegan menulis cerita penuh stereotype dan menjual ‘ras’ padahal sebenarnya shallow itulah film membuktikan benar bahwasanya kita sebagai konsumer kadang dengan begonya kemakan konten orang. Kita melihat ‘oh film dari ras minoritas pastilah real, emosinya raw, dan mengusung bahasan sosial yang penting’ padahal itu bisa jadi cuma gimmick. Bisa jadi penulis ceritanya seperti Monk, just making stuff up, memasukkan sebanyak mungkin stereotype karena memang itulah yang lebih gampang laku. Bahwa sekarang kita tidak melihat berdasarkan isi yang sebenarnya, melainkan hanya ikut-ikut tren agenda.

Sebagai seorang terpelajar, Monk tentu saja melawan industri seperti ini.  Ketika ada pengarang kulit hitam lainnya, menulis novel setipe (alias sama-sama jualan stereotipe ras mereka semata), ditambah dari sudut pandang perempuan pula, Monk melihat novel tersebut sebagai gimmick semata. Tentu saja orang akan suka, toh itu cerita hidup perempuan dari ras minoritas. Malah bukan ‘akan suka’ lagi, melainkan ‘harus suka’. Karena kalo ada orang yang tidak suka cerita itu, apalagi si orang yang tidak suka ini adalah kulit putih, maka dia akan beramai-ramai dicap sebagai seorang rasis yang gak peka. Kalo dia pria, maka niscaya dia akan dicap anti feminis. Sebagai pengulas film, aku bisa mengerti yang dirasakan Monk, karena seringkali aku juga merasa ada film yang kayak cuma ngejual stereotype, atau cuma ngejual agenda, tapi dalam menyampaikannya aku agak susah karena takut diserang balik sebagai gak dukung perempuan atau tone deaf terhadap sosial.  Dan permasalahan ini dijadikan film sebagai inner journey dari Monk. Dia yang awalnya berusaha idealis dan blak-blakan menolak, dihadapkan kepada situasi yang membuat dia melihat kenapa ‘industrinya’ jadi begini, dan ultimately dia harus memilih. Pilihannya nantilah yang jadi puncak satir film ini. Ending yang bakal ninggalin kita topik untuk dipikirkan. Karena film yang dibuat sebagai gambaran ini, tidak menawarkan solusi. Melainkan tetap berpegang kepada pencerminan dunia nyata.

Kisah-nyata seperti di fiksi-fiksi

 

Sebenarnya persoalan ini sudah pernah disentuh oleh Jordan Peele dalam filmnya yang berjudul Nope (2022). Secara umum film yang bentukannya horor-creature sci fi itu membicarakan gimana manusia suka mengekspoitasi hal yang berbeda sebagai spektakel. Atau tontonan hiburan. Dan hal yang berbeda itu bisa meliputi ke ras mereka yang dalam cerita film seringkali hanya digunakan sebagai role-role stereotipe dan cukup hanya di role tersebut. Film American Fiction ini tidak lain dan tidak bukan membahas persoalan tersebut lebih dalam dan lebih personal lagi. Stakenya dibuat lebih grounded, supaya filmnya sendiri tidak menjadi hal yang ia kritik. Inilah yang membuat film ini meskipun tidak ada solusi, tapi tetap terasa powerful sebagai gambaran. Karena semuanya dikembalikan kepada karakter yang terpaksa harus memilih. Karena keadaan. Therefore, kepada kitalah sebenarnya cerita ini meminta penyadaran.

Karena pasar gimanapun juga terbentuk oleh permintaan konsumen. Dunia kita sekarang adalah dunia fiksi yang jualan yang laku bukan jualan yang berbobot, melainkan jualan ringan dan not necessarily harus asli, asalkan jualan tersebut bisa membuat orang konsumernya merasa lebih mulia. Sehingga muncullah penjual-penjual yang memperdagangkan kepalsuan. Stereotype, cerita sedih, kebegoan. Semuanya semu, yang dijual maupun yang dirasakan oleh yang beli.

 

 

 

Jadi gimana cara film ini mempertahankan ke-real-an journey karakter? Dengan actually memparalelkan soal kerjaan Monk nulis buku, dengan konflik di dalam keluarganya, yang semuanya dokter. Monk punya adik dua orang (yang satunya mungkin jadi penyebab kenapa film ini gak tayang di bioskop Indonesia), punya asisten rumah tangga yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, punya Ibu yang mulai digerogoti Azheimer. Dan ayah mereka telah lama jadi urban legend di kota kelahiran, lantaran dulu bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri (film pun sempat-sempatnya menebar dark jokes seputar peristiwa ini dari karakter yang innocently lupa Monk punya riwayat tragedi tersebut). Yang terjadi kepada ayah, kepada ibu, kepada keluarganya keseluruhan digunakan oleh film sebagai stake dan pendorong bagi Monk untuk menentukan keputusan. Serta jadi tempat hati cerita ini berada. Benar-benar terasa seperti kisah karakter yang berjuang. Monk bisa saja menulis tentang keluarganya sendiri, tapi itu tetap belum cukup. Karena seperti ironi yang acapkali dicuatkan oleh film, itu tidak akan terasa real enough bagi pembaca. Satir pamungkas dilakukan oleh film ketika memperlihatkan adegan diskusi Monk dan sejawat sesama juri award literatur, pendapat otentik Monk sama sekali tidak didengarkan oleh juri yang lain, dengan alasan ‘black voices has to be heard’.

 

 




Semakin jauh Monk menulis dari kenyataan, semakin liar dia menggunakan stereotype dan identitas, semakin shallow bahasa yang ia gunakan, semakin nyeleneh judul novel yang ia ajukan, bukunya justru semakin laku. Aku rasa ini adalah salah satu film in recent years yang paling jago dalam menggunakan sindiran ke dalam penceritaan. Kena dan telak semua! Mungkin judulnya aja yang kurang tepat. Dan itupun karena kisah di film ini tidak hanya sedang terjadi di Amerika. Sindiran film akan mengena bahkan kepada kita. I honestly think, kayaknya ini adalah masalah global dunia yang tersentuh sosial media. Bahwa orang-orang peduli sama isu, bukan karena mereka benar-benar peduli sama isunya, melainkan karena dengan merasa peduli mereka merasa jadi pribadi yang lebih baik. Jadilah isu tersebut soal unjuk agenda kosong semata. Makanya film ini terasa urgent. Di luar itu, melihatnya sebagai drama keluarga pun film ini terasa sama kuatnya. Menunjukkan film ini juga punya hati, selain punya otak dan nyali. 
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for AMERICAN FICTION.

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah ada alasain lain kenapa sekarang kita seperti mudah kemakan sama konten-konten yang menjual gimmick ketimbang bobot?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 8 (THE WHALE, AFTERSUN, ALL QUIET ON THE WESTERN FRONT, NOKTAH MERAH PERKAWINAN, ELVIS, INFINITY POOL, WOMEN TALKING, BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER)

 

 

Normalnya, bulan Januari-Februari di bioskop itu agak adem ayem, karena biasanya film yang tayang di awal tahun itu ya tipe film yang ga rame enough untuk tayang di musim-musim liburan. Tapi di blog ini, bulan-bulan tersebut biasanya justru yang paling sibuk. Karena waktu tersebut merupakan last chance buat nontonin film-film yang kelewat di tahun sebelumnya, serta ngejar nontonin film-film yang masuk nominasi Oscar. Tahun yang sudah-sudah, blog ini entrynya paling banyak ya di bulan-bulan awal tersebut. Untuk itulah aku bersyukur bikin segmen Mini-Review.  Karena sekarang ku punya slot khusus untuk film-film itu, sehingga gak perlu kayak kebakaran jenggot lagi ngejar ngulasnya. Jadi, inilah Mini-Review pertama di 2023, yang di antaranya berisi tiga nominasi Best Picture Oscar yang baru saja ketonton!

 

 

 

AFTERSUN Review

Jika dirancang dengan baik, struktur penceritaan dapat mengangkat feeling yang terkandung di dalam narasi menjadi berkali-kali lipat lebih emosional. Aftersun, debut sutradara Charlotte Wells ini contohnya. Kisah seorang perempuan yang mengenang masa-masa liburan bersama sang ayah saat ia masih kecil, tidak diceritakan Charlotte dengan sedatar pakai flashback. Charlotte benar-benar paham dengan apa yang sedang ia sampaikan, dia punya visi yang kuat, sehingga tindak mengenang-masa tertentu itulah yang ia wujudkan lewat struktur dan gaya bercerita.

Nature dari kenangan yang episodik, dan much more dreamy dari reality itulah yang benar-benar divisualkan oleh film. Dijadikan hook emosional juga tatkala kenangan yang diambil itu dibentrokkan dengan apa yang terjadi di masa sekarang. Di sinilah ketika film sekali lagi berhasil menjelma dengan luar biasa emosional. Sophie yang berumur 11 tahun lagi liburan di Turki bareng ayah, mereka ke pantai, main game, kenalan sama orang baru, berenang – semua yang manis-manis itu ditangkap oleh film lewat estetik, kamera, warna, bahkan suara yang kontras dengan sesuatu yang membayangi. Melalui interaksi mereka, keingintahuan kita tentang ini sebenarnya cerita tentang apa menemukan pegangan pada sesuatu yang lebih naas. Bahwa ini anak yang sedang menelisik ulang, sedang berusaha mengenali lebih dekat siapa sosok ayahnya, lewat kenangan yang bisa jadi satu-satunya yang ia punya tentang sang ayah.  Keputusan film untuk tidak ‘meneriakkan’ yang merundung Sophie saat dewasa, lantas menghantarkan kita pada apa yang menurutku membagi dua penonton film ini. Tidak puas karena tidak ada finality yang jelas. Atau tercenung merasakan aftertaste getir yang luar biasa kuat.

Namun di luar itu semua, aku yakin penonton bakal satu suara soal betapa hangat dan manis (tapi tragisnya) hubungan ayah dan anak itu tergambar. Chemistry antara Paul Mescal dan Frankie Corio tak pelak jadi pesona utama yang bikin kita semua peduli dan menyimak sampai habis.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for AFTERSUN

.

 

 

ALL QUIET ON THE WESTERN FRONT Review

Semua film perang basically adalah propaganda anti-perang. Mereka menyampaikan itu dalam berbagai cara, ada yang menelisik propaganda untuk terjun perang itu sendiri, ada yang langsung mengajak penonton mengalami langsung suasana perang, ada yang mengeksplorasi dampak setelah perang, dan lain-lain. Intinya film-film itu akan menunjukkan betapa perang adalah sebuah horor kemanusiaan. Edward Berger dalam film perang adaptasi-novel ini, semacam menggunakan semua cara tersebut. All Quiet on the Western Front sungguh bakal jor-joran  membuat kita melihat horornya perang, dan membiarkan kita terhenyak dalam keheningan di ending, saat semua dar-der-dor dan dag-dig-dug dan asap tembakan itu hilang dari layar.

Momen yang buatku paling nohok adalah saat film actually memperlihatkan gimana para anak muda yang bersemangat jadi tentara itu sebenarnya gak tahu apa-apa, gak nyadar bahwa medan perang ternyata begitu mengerikan. Kontras antara yang mereka rasakan sebelum berangkat, dengan saat sudah berlarian diberondong peluru itulah yang buatku terasa baru di film ini. Sebagian besar dari karakter film ini ketakutan setengah mati! Kemudian emosi itu semakin menjadi-jadi tatkala kita melihat mereka sebenarnya tahu bahwa pihak lawan juga sama takut, sama tak berdaya, dan mungkin sama menyesalnya, tapi mereka tetap harus saling bunuh. Itulah yang buatku paling spesial dari film ini.

Sehingga bagian-bagian yang over-the-top kayak potongan tubuh di atas pohon, mayat-mayat dan sebagainya, teriakan dan desain musik yang agak trying too hard biar seram, terasa tidak lagi benar-benar diperlukan. Film ini sudah berhasil di momen-momen kecil yang menguarkan perasaan para pemuda di medan perang. Gimana mereka menikmati makan angsa colongan, untuk kemudian dikontraskan dengan kejadian di medan perang. Untuk film yang punya kata Quiet pada judul, narasinya sendiri agak terlalu banyak nge-generate noise yang menurutku bisa lebih diefektifkan lagi. But still, film ini tepat menembak sasarannya. Perang itu mengerikan!

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ALL QUIET ON WESTERN FRONT

 

 

 

BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER Review

Kepergian Chadwick Boseman certainly ninggalin lubang menganga di hati para penggemar dan kolega-koleganya, dan ini juga tercermin pada franchise superhero yang ia tinggalkan. Lubang menganga dari kepergian karakter T’Challa sebagai protagonis di Black Panther terasa begitu susah untuk ditutup, membuat sekuel yang digarap oleh Ryan Coogler secara naratif terasa berantakan. Rewrite yang mereka lakukan buat karakter-karakter yang ditinggalkan terasa banget membekas, jadi rajutan kasar pada overall sajian filmnya.

Wakanda Forever bekerja terbaik ketika mendalami soal kematian T’Challa. Gimana dampaknya bagi Ramonda yang jadi naik tahta lagi. Bagi Shuri yang merasakan grief sekaligus menyalahkan diri sendiri atas kematian sang abang. Dan pada rakyat Wakanda lainnya. Aku pikir harusnya film menahan diri dan berkutat dulu pada masalah ini. Bikin Wakanda Forever sebagai complete tribute, bagi sang karakter, sekaligus aktornya. Tapi mungkin karena agak segan cashin’ in cerita dari real tragedi, atau mungkin karena film ini bagaimana pun juga adalah roda-gigi dari proyek yang gak bisa segampang itu diubah rancangannya, maka Wakanda juga langsung mentackle sekuel sebagai aksi superhero. Hasilnya mungkin kedua kepentingan itu masih bisa terikat, tapi menghasilkan bentukan yang weird dan terutama agak maksa bagi karakter pengganti superhero utama, si Shuri.

Durasi lebih dari dua jam setengah nyatanya gak cukup untuk bikin naskah superpadet ini rapi. Kita masih akan sering berpindah dari Shuri, ke karakter lain, membuat development Shuri jadi tidak terasa benar-benar earned. Ada aspek dari dirinya yang jadi kayak dilupakan, makanya relasi Shuri dengan Namor tidak pernah benar-benar terasa genuine. Namor pun terasa kayak penjahat random yang aksinya gak benar-benar fit in ke dalam narasi keseluruhan, rencananya terlihat aneh. There’s so much going on. Makanya aku lebih suka Quantumania yang lebih contained dan terarah.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER

 

 

 

ELVIS Review

Yang unik dari biografi karya Baz Luhrman ini – selain karakter titularnya yang punya aksi nyentrik di panggung – adalah perspektif cerita. Kita tidak melihat cerita ini dari si Elvis himself, melainkan dari seorang Colonel Tom Parker. Manager sang Raja Rock ‘n Roll. Dan meskipun itu jadi modal film ini untuk bisa langsung netapin motivasi karakter itu sebagai penggerak cerita, dalam perkembangannya perspektif itu tidak pernah benar-benar jadi utama melainkan hanya terasa jadi excuse supaya cerita bisa ‘melayang’ dari satu titik di kehidupan dan karir Elvis ke titik lainnya, tanpa benar-benar mendalami kehidupan itu sendiri.

Padahal Austin Butler sudah benar-benar ‘serius’ menjelma jadi Elvis. Gaya bicara, mannerism, bahkan dandanannya terlihat lebih natural dan inviting ketimbang riasan over yang malah seringkali nutupin kecemerlangan akting Tom Hanks. Tapi film lebih memilih untuk merayakan teknis yang artifisial. Permainan montase dan editing terasa terlalu banyak, dan at times lebih glamor daripada gimana subjek (atau di sini jadi objek?) diperlihatkan oleh ceritanya sendiri. Permasalahan di karir seperti di-cancel TV karena aksi panggung yang seloroh, pandangan rasis waktu periode itu, dan lain sebagainya, tidak terasa benar-benar punya penyelesaian yang saklek. Hubungan naik-turun antara Elvis dan Colonel pun – karena ini supposedly cerita dari Colonel – tidak begitu memuaskan meskipun kita sudah berhasil tersedot untuk peduli.

Tapi di balik confused-nya diriku terhadap penceritaan dan fokus film ini, toh tak bisa dipungkiri juga film ini jadi punya energi luar biasa nyetrum. Dan mungkin inilah tujuannya. Membuat suatu presentasi yang seperti punya ruh Elvis itu sendiri. Sehingga ketika penonton menyaksikannya, film ini lebih dari sekadar menuturkan ulang kisah hidup si Bintang. Melainkan live-and-breath his personality.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ELVIS

 




INFINITY POOL Review

Nama Cronenberg memang tidak akan mengkhianati ekspektasi kita, karena Infinity Pool karya Brandon Cronenberg mungkin memang enggak se-jijik film bokapnya, tapi tetaplah sebuah pengalaman horor yang bikin badan jumpalitan saking aneh dan nekat konsepnya.

Film ini dimulai dengan premis yang sangat menarik. Penulis dan istrinya liburan di resort, mereka kemudian berteman dengan sesama turis, mereka have fun together, lalu uh-oh mobil mereka gak sengaja menabrak orang lokal hingga tewas. Si penulis, yang nyetir, dihukum mati oleh polisi setempat. Nah, hukuman matinya itulah tempat kegilaan konsep Brandon berada.  Ada sesuatu soal kelas sosial yang ingin dibicarakan di sini. Daerah turis yang melihat wisatawan sebagai kantong duit, dan turis yang merasa punya duit berarti bebas melakukan apapun; interaksi itulah yang membentuk konsep aneh cerita film ini.

Jadi aku menunggu. Nunggin buah apa yang bakal kita petik dari Penulis dan teman-teman kayanya sengaja berbuat onar karena mereka punya duit untuk membayar program clone.  Jadi yang dihukum mati adalah clone mereka, sementara mereka sendiri bebas ngelakuin apa saja termasuk kriminal. Tapi ternyata loop yang dimaksud pada judul, memang hanya repetisi. Dengan cepat keseruan tindak mereka jadi datar ketika tidak ada ujung, tidak ada konsekuensi nyata. Film kayak pengen bahas drama dari eksistensi, like, siapa tau si Penulis yang asli justru sudah mati – ketuker ama kloningan. Tapi enggak. Pengen bahas konflik antara Penulis dengan istrinya, juga enggak pernah benar-benar ke arah sana. Pada akhirnya yang kunikmati bahkan bukan gore-nya, namun kegilaan Mia Goth sebagai Gabi yang ternyata jauh lebih sinister dari kelihatannya. Calon adegan favorit tuh, Mia Goth teriak-teriak di babak ketiga hihihi

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for INFINITY POOL

 

 

 

NOKTAH MERAH PERKAWINAN Review

Film yang paling banyak direkues nih, untuk diulas. Tapi aku baru bisa menontonnya saat tayang di Netflix. Dan I’m sorry to say, karya Sabrina Rochelle Kalangie ini might be jadi runner up kalo akhir tahun kemaren aku jadi publish daftar Top-8 Film Paling Overrated 2022

Kita udah bahas gimana Aftersun dan Elvis melakukan sesuatu dengan cara berceritanya sehingga film itu jadi terangkat jadi something else. Aftersun menjadi lebih emosional dan genuine, sedangkan Elvis jadi punya perspektif unik sebagai landasan narasi. Noktah Merah juga berusaha membuat nature datar dari cerita rumah tangga yang sus ada perselingkuhan punya spark, dengan sedikit ‘mengacak’ perspektif. Tapi strukturnya itu tidak berbuah apa-apa selain perspektif yang aneh (kalo gak mau dibilang kacau). Film ini narasinya dibuka oleh karakter ‘pelakor’. Seolah dia karakter utama. Dia curhat kepada karakter lain soal dia cinta sama pria yang beristri, tapi yang kita lihat sebagai ‘cerita’ dari dia itu tidak pernah mewakili perspektifnya. Kita melihat drama biasa, yang actually di luar perspektif sang karakter. Cerita ini lebih cocok kalo membuat sang istri jadi karakter utama, jika perspektif istri yang jadi utama. Karena semua masalah itu sepertinya ada di kepala karakter ini. Walaupun nanti si pelakor dan istri bertemu, tapi perspektif para karakter ini gak pernah melingkar, karena cerita resolve (tau-tau) dari persoalan anak. Naskah film ini jadi benar-benar choppy setelah usaha untuk membuat penceritaannya bergaya.

Momen emosional film pun hanya bersandar pada dialog-dialog banal istri dan suami yang saling meledak. Sementara untuk momen-momen yang ‘diam’, yang diserahkan kepada kita untuk merasakan masalah atau emosi, film ini gak benar-benar punya. Karena dengan perspektif yang gak kuat, momen-momen tuduhan istri atau momen yang bisa jadi-masalah, ya hanya terlihat seperti kekeraskepalaan sang istri, atau suami yang ‘melarikan diri’. Momen-momen yang mestinya genuine feeling itu jadi hanya annoying.

The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for NOKTAH MERAH PERKAWINAN

 

 

 

THE WHALE Review

The Whale is beautiful. Sedih, sih, memang. Tapi beautiful, Aku jeles. See, aku orangnya masa bodo dan sering dikatain hidup di dunia sendiri, jadi iri adalah satu rasa yang paling gak relate buatku, tapi ya, aku berhasil dibuat Darren Aronofsky merasa iri kepada Charlie, pria yang really let himself go sampai membahayakan dirinya sendiri.

Aku iri karena Charlie masih bisa begitu optimis kepada orang lain, meskipun dirinya telah menyerah kepada dirinya sendiri. Loh? Iya, di situlah kompleksnya cerita film ini. Aku ingin seperti Charlie yang percaya bahwa masih ada cinta dan kepedulian pada semua orang, bahwa people incapable of not caring. Mereka cuma harus jujur kepada diri sendiri. Dan kepercayaan Charlie tersebut benar. Man, aku hampir nangis di ending. The Whale bukanlah cerita tentang orang yang gendut kemudian meratapi nasibnya. Justru sebaliknya, film ini adalah tentang orang yang sudah tahu dirinya tak tertolong, tapi dia percaya cinta itu ada, dan mencoba menolong orang-orang terdekatnya untuk menemukan hati mereka. Makanya karakter Charlie ini begitu kontras. Di kala sendiri kita melihat his destructive behavior terhadap diri sendiri, makan segitu banyak sampai jantungnya berontak. Gak mau ke dokter karena dia nyimpan duit untuk putrinya. Yang grew up membenci dirinya. Ada begitu banyak adegan yang hard to watch, hingga ke perilaku putri Charlie (Sadie Sink sukses jadi anak paling nyakitin sedunia akhirat) Tapi film bersikukuh untuk kita melihat Charlie tanpa belas kasihan, melihat Charlie menyerap itu semua sebagai hukuman diri, dan menumpahkan cintanya di balik itu semua. Tanpa harap kembali. Itulah bentuk dia dealing with grief dan rasa bersalahnya.

Drama di satu tempat tertutup, with nothing but dialog dan raw emotions. Ini adalah cerita seorang pria yang nothing to lose, melainkan punya banyak untuk dibagi kepada dunia yang bahkan terlalu jijik untuk memandangnya. Brendan Fraser juara banget di sini, kalo bukan karena persona dan pemahamannya terhadap Charlie, karakter dan film ini gak bakalan worked seindah – dan semenyedihkan – ini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for THE WHALE

 

 

 

WOMEN TALKING Review

Sebagai nominasi Best Picture Oscar, Women Talking karya Sarah Polley memang benar bicara tentang hal yang relevan, dengan cara yang menggugah pikiran dan hati kita sekaligus. Mengenai perjuangan perempuan, yang masih saja terus seperti berada di posisi jahiliyah di mata kuasa lelaki. Untuk itu saja, film ini mampu bikin kita tetap melek, pasang telinga, menyimak apa yang mereka permasalahkan. Untuk ikut mencari apa yang sebaiknya dilakukan. Untuk ikut peduli sama masalah ini, lebih dari soal feminis tapi jadi soal kemanusiaan pada dasarnya.

Perempuan-perempuan dalam film ini berembuk setelah sekali lagi, salah satu dari mereka terbangun dalam keadaan sudah tak-perawan. Dibius pake obat bius sapi. Diperkosa oleh laki-laki, sekampung sendiri. Para perempuan itu mendiskusikan apakah mereka akan tetap tinggal di koloni, dan berontak melawan. Atau pergi dari sana. Sebagian besar durasi film yang warna dan settingnya juga dibikin kayak kisah jadul ini membahas tentang debat para perempuan, mikirin pro dan con dari dua pilihan tersebut. Dan demi Tuhan – oh aku bakal dirujak ngatain ini – film ini jadi boring karenanya. Debat mereka repetitif, dan terasa seperti percakapan yang mengawang-awang ketimbang solving problem.

If anything, aku teringat dan jadi membandingkan ini sama 12 Angry Men (1957). Yang kayaknya kukasih 8 atau bahkan 9 kalo mau direview. Percakapan pada film itu terasa benar-benar lock dan punya weight dan pada gilirannya emosional untuk disimak, karena ironisnya punya dasar logika yang kuat. Orang bilang cowok naturally lebih pakai logika ketimbang perasaan, but no, justru masalah di cerita itu muncul ketika para juri pria itu mendakwa tersangka dengan perasaan. Prasangka. Dengan judgmental. Mereka, para cowok, juga harus belajar melihat dengan logika. Dan di situlah letak mengawang-awangnya Women Talking. Argumen-argumen mereka terasa seperti perbincangan logis yang diputar-putar oleh perasaan. Sehingga masalah itu enggak selesai-selesai. Mungkin memang itu tujuannya. Memperlihatkan bahwa bagi wanita, semuanya susah, apa-apa pasti dijudge, bahkan di antara mereka sendiri. Di sini protagonisnya karakter optimis juga kayak Charlie di The Whale, dia dihamili tapi masih percaya pada potensi dia akan memaafkan sang pelaku, siapapun itu. Sehingga keputusan yang mereka ambil dari sikap-sikap kayak gini jadi terasa emosional dan penting.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for WOMEN TALKING

 

 




That’s all we have for now

Dengan ini semua film nominasi Best Picture Oscar sudah kureview, silakan follow akun twitterku di @aryaapepe karena biasanya menjelang Oscar aku suka bikin prediksi di sana hehehe

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 7 (TAR, THE BANSHEES OF INISHERIN, DECISION TO LEAVE, THE FABELMANS, THE BIG 4, SHE SAID, RRR, HOLY SPIDER)

 

 

Wow, mini-review kali ini gede banget! Lihat saja film-filmnya. Salah-salah, artikel ini bisa disangka daftar film terbaik 2022. Secara banyak kontender Oscar! Sabaarr, daftar terbaikku masih belum keluar. Justru baru akan dikeluarkan setelah mini review ketujuh ini. Mini-review yang berisi batch terakhir dari film-film tahun 2022 yang kutonton dan kuulas. Tahun ini memang dahsyat, maka paling tepat kalo berakhir dengan membahas film-film yang dahsyat juga. Inilah, Mini-Review Edisi Desember, edisi penutup tahun 2022!

 

 

 

DECISION TO LEAVE Review

You named it; si kaya dengan si miskin, anak geng satu dengan geng lawannya, vampir dengan mangsanya, cerita forbidden love selalu seksi. Park Chan-wook mendorong ini lebih jauh lagi dengan menghadirkan romansa antara detektif dengan perempuan yang harusnya ia tangkap. Relationship dua karakter sentral inilah yang bikin kita semakin mantap memutuskan untuk enggak leave saat menonton Decision to Leave. Kebayang dong, gimana susah dan impossiblenya situasi mereka untuk bersama. Apa yang si detektif pertaruhkan untuk bersama dengan perempuan tersebut. Dan film ini gak mau kasih kendor. Semua layer ia isi dengan bobot. Pembahasan soal guilt, obsesi, dinamika rumah tangga dimasukkan oleh Park Chan-wook seolah penyair yang sedang menyempurnakan sajak puisinya dengan rima. Seperti itulah persisnya Decision to Leave. Thriller romance yang puitis.

Aku sempat mikir, film ini kayak berangkat dari anekdot ‘gadis di pemakaman’ yang mungkin kalian sudah pernah juga mendengar. Itu loh, anekdot yang nyeritain seorang wanita yang ngeliat cowok ganteng di pemakaman ibunya, lalu beberapa hari kemudian si wanita membunuh adiknya, dengan harapan bisa ketemu lagi dengan si cowok ganteng. Anekdot itu dikenal sebagai tes psikopat. Dan persis kayak itulah karakter si perempuan love interest detektif di film ini lama-kelamaan. Aku merasa pembunuhan kedua sengaja ia lakukan karena tau si detektif tinggal di daerah yang sama. Saking cintanya orang bisa melakukan hal yang psiko, bahkan si detektif juga menyerempet ‘gak-waras’ saat dia melindungi perempuan yang ia cinta tersebut.

Decision to Leave bisa sangat berat untuk ditonton karena pilihan-pilihan karakternya. Juga karena film memilih bercerita dengan cara yang, not exactly bolak-balik, tapi juga gak lurus. Honestly, aku sempat bingung juga nontonnya. Dibingungkan oleh, I’m sorry to say this, pemainnya kayak mirip-mirip semua. Aku harus nonton ini dua kali. Dan begitu udah tahu gambaran besarnya, aku mulai bisa ‘mengenali’ siapa yang siapa. Dan juga mulai lebih bisa mengapresiasi kejeniusan cara film ini dalam menceritakan bagian penyelidikan ataupun flashback; dengan meleburkan present dan past sehingga seolah karakter cerita itu langsung berada di sana.

 

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DECISION TO LEAVE

.

 

 

HOLY SPIDER Review

Dari cerita kriminal satu ke kriminal lainnya. Hanya saja there will be no love dalam film yang diangkat sutradara Ali Abbasi dari kasus kriminal nyata di kota Iran ini. Malahan, kesan setelah nonton Holy Spider beneran terasa seperti abis melihat laba-laba. Shock, ngeri. Merinding. Jijik.

Menit-menit awal dibuild up sebagai proses perjuangan jurnalis perempuan menulis dan mengungkap kasus pembunuhan berantai PSK di jalanan kota Mashhad. Perjuangan, as in, di daerah muslim seperti itu gerak perempuan seperti Rahimi jelas terbatas. Pertama, perempuan berambut pendek itu harus menutup aurat. Kedua, di sistem yang mengharuskan laki-laki sebagai pemimpin, tentu saja manusia-manusia lelakinya bisa kebablasan power dan Rahimi harus berurusan mulai dari polisi yang balik melecehkan dirinya hingga ke kerjaannya yang dipandang sebelah mata bahkan oleh keluarga korban. Cerita fiksi mungkin akan berakhir happy.  Orang yang jahat akan kalah, dan heroine kita dapat reward. Namun Holy Spider bukan fiksi. Sutradara kita mengambil materi asli bukan untuk lantas mengubahnya menjadi dongeng pengantar tidur. Holy Spider benar-benar akan menelisik keadaan di sana, mengangkat pertanyaan kenapa ini bisa terjadi, dan kemudian membenturkan Rahimi dengan si pelaku kejahatan.

Bagian yang membahas dari sisi pelaku, inilah paruh cerita yang bener-bener bikin kita shock. Gimana si pelaku malah dianggap pahlawan. Gimana keluarga pelaku malah bangga terhadap ayahnya. Film tidak melakukan ini dengan sengaja supaya dramatis, melainkan justru mengajak kita menelisik apa yang salah dengan society dan cara pandang mereka terhadap ajaran agama. Satu momen yang bikin aku percaya film ini dibuat dengan niat yang benar adalah ketika memperlihatkan pelaku kelimpungan ketika istrinya pulang padahal di ruang keluarga, dia baru saja membungkus mayat korban dengan karpet.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for HOLY SPIDER

 

 

 

RRR Review

Aku paling jarang nonton film India, but when I do, film yang kutonton karena katanya bagus itu, biasanya memang bagus. Termasuk RRR karya S.S. Rajamouli ini.

Pikirku aku telah melihat semuanya. Oh cerita dua cowok – yang begitu sama namun  juga begitu berbeda; membuat keduanya jadi kayak ‘good friends better enemies’ – yang dibuild up menuju pertarungan keduanya, kupikir akan berakhir ya di berantem. Namun momen berantem itu sudah muncul jauh sebelum durasi habis. Apalagi yang dibahas? Naskah film ini benar-benar menuntaskan cerita hingga ke sudut-sudut latarnya. Inilah yang bikin film India kayak RRR ini begitu megah, begitu besar. Durasi sepanjang itu bukan hanya digunakan untuk adegan-adegan aksi yang panjang. Bukan hanya untuk adegan-adegan nari yang konyol (toh film ini berhasil memasukkan adegan nari-nyanyi menjadi suatu kepentingan kultural) Tapi bahasan ceritanya juga. Film ini kayak, Goku-Bezita yang dikembangkan oleh berjilid-jilid komik Dragon Ball, dibahas tuntas dan bahkan lebih deep oleh film ini dalam sekali duduk pada Bheem dan Ram.

Dan soal actionnya, man. Film ini gak ragu untuk jadi over the top, tapi gak pernah terasa receh. Action-actionnya gak masuk akal, tapi karena landasan karakternya begitu kuat, kita jadi no problem ngesuspend our disbelief. Kita menikmati itu semua sebagai rintangan, sebagai kait drama yang harus dikalahkan oleh para karakter. Film ini buktiin kalo jadi over-the-top, gak musti harus berarti kehilangan otak dan hati.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for RRR

 

 

 

SHE SAID Review

Enggak beberapa lama setelah nonton Like & Share (2022) yang menurutku terlalu gamblang bicara soal numbuhin empati pake ‘lihat, dengar, dan rasakan’, aku menonton film temannya si ucup ini(“Si Sa-id” hihihi). Dan garapan Maria Schrader ini mengonfirmasi pernyataanku soal empati enggak harus pakai ‘lihat’. Cukup ‘dengar dan rasakan’

Diangkat dari kisah nyata perihal terungkapnya kasus pelecehan seksual dan abuse yang dilakukan oleh produser Harvey Weinstein kepada aktris-aktris selama beberapa tahun, She Said gambarin perjuangan tim jurnalis untuk meliput kasus tersebut. Kesusahan dan rintangan yang mereka temui, sebagian besar datang dari korban yang tidak berani mengakui. Yang sudah terikat hukum yang memihak kepada kubu yang lebih berpower. Yang aku suka dari film ini, yang bikin kita in-line dengan protagonis, adalah gak sekalipun film ini bercerita dengan eksploitatif terhadap korban. Tidak seperti Like & Share yang merasa perlu untuk memperlihatkan adegan diperkosa sampai dua kali supaya kita berempati sama karakter korban, She Said tidak sekalipun menampilkan adegan ‘reenactment’ atau apalah namanya. Spotlight tetap pada cerita korban, dan bagaimana yang mendengar harus percaya, karena itulah bukti yang mereka punya, mendengar itulah satu-satunya cara suara korban ini sampai ke telinga publik. Tanpa judgment lain.

Beberapa kali, aku duduk menatap layar, menggigit kuku dengan bimbang. She Said banyak menggunakan adegan reka-ulang. Setiap kali ada korban yang diwawancara, kita juga melihat adegan rekayasa kejadian si korban saat semua itu terjadi. Film ini akan jatuh eksploitatif jika memperlihatkan the exact moments pelecehan. Tapi tidak pernah, tidak satupun, momen tersebut digambarkan – dipertontonkan kepada kita. Alhasil, film ini jadi lebih powerful. Messagenya pun tersampaikan dengan anggun.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SHE SAID

 




TAR Review

Tod Field berhasil mengecoh banyak orang. Aku juga kecele. Kirain Lydia Tar adalah orang beneran, dan film ini adalah biopik. Ternyata enggak. Tar is completely fiction. Mengapa banyak orang bisa kemakan promo dan menganggap Tar kisah nyata? Jawabannya simpel. Karena Tar meskipun karakternya ‘ajaib’ tapi ceritanya grounded dan permasalahannya juga relevan. Orang bisa jatuh dari posisinya hanya karena berita, sudut pandang sepihak.

Yang menakjubkannya adalah Tar bicara semua itu lewat dunia yang gak familiar, setidaknya buatku. Aku mana paham soal kerjaan konduktor musik, mana ngeh soal seni musik klasik, mana open sama soal-menyoal sponsorhip dan politik untuk sebuah pagelaran konser musik klasik – I don’t even know if I’m using the right words!! Namun directing dan actingnya begitu precise, kita tidak bisa untuk tidak tersedot ke dalam dunia ceritanya. Sekuen ketika Lydia ngajarin anak muridnya yang gak mau mainin musik dari Bach karena si komposer terkenal misoginis, bener-bener akan buka mata kita tentang soal menjadi ‘woke’. Kalo kita masih bertanya-tanya gimana caranya misahin seseorang dengan karyanya, maka dialog Lydia pada adegan tersebut bisa dijadikan tutorial.

Ya, of course, nyawa Tar ada pada karakter utamanya. Ada pada pemerannya, Cate Blanchett. Mannerism-nya, sedikit keangkuhan tapi kita tak bisa menegasi kebrilianan karakter ini, menguar kuat dari penampilan akting Blanchett. Dia juga menunjukkan range luar biasa, saat cerita sampai pada titik terendah Lydia. Enggak semua momen film ini diniatkan serius dan berat, justru kebalikannya. Film ini tampak berusaha memanusiakan karakternya, sehingga kita dapat satu adegan musikal performance yang kocak berjudul Apartment for Sale. Weird Yankovic aja ampe kalah ‘sinting’ dari Lydia!!

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for TAR

 

 

 

THE BANSHEES OF INISHERIN Review

Sepintas, dua pria dewasa berantem diem-dieman sampai bakar-bakar rumah terdengar seperti sesuatu yang lucu. Sutradara Martin McDonagh juga memang meniatkan hal tersebut sebagai premis yang lucu sebagai pemantik drama. Tapi aku tahu aku tidak bisa membawa diriku untuk tertawa. Sebab buatku The Banshees of Inisherin hits too close to home. Alias nyaris amat relate sekali.

Film yang dishot secara cantik ini sungguhlah bicara tentang hal yang tragis. Naskah dan arahannya bener-bener tau cara menggarap tragedi menjadi komedi dengan efektif. Komedi di sini bukan untuk mengurangi impact tragedinya, melainkan jadi bangunan perspektif yang kokoh. Like, orang memang bisa sekonyol dan sekeras kepala Padraic ketika mereka tiba-tiba diantepin seperti demikian. Kita seringkali tidak sadar bagaimana orang memandang diri kita. Other people would find us annoying, too much, or… dull, dan kita seperti Padraic tidak bisa melihat itu sendiri. Kita butuh orang lain yang ngasih tau. Dan setelah itu, kita butuh something yang membantu kita mencerna dan mempercayai hal tersebut. Film ini bekerja dengan tone dan perspektif yang kuat dalam menggambarkan keadaan tersebut. Yang membuatnya lantas menjadi bahasan eksistensi, dan mutual respek. yang efektif. Seberapa tangguh kita menghadapi penolakan. Makanya salah satu adegan paling keren di film ini adalah saat ada anak muda yang nembak cewek yang lebih tua. Scene tersebut, udahlah maknanya nyess, tapi juga dimainkan dengan luar biasa oleh Barry Keoghan. I feel for everyone in this movie.

Lihat bagaimana Padraic masih saja melanggar padahal Colm sudah mengancam bakal memotong jarinya sendiri jika Padraic masih nekat bicara kepadanya. Aku terhenyak menonton ini. Aku dulu pernah ngejar ‘pertanggungjawaban’ orang yang ngedieminku, seperti Padraic ngejar Colm. Namun baru melalui film inilah aku ngerti apa yang sebenarnya ‘terjadi’ saat itu.  Film ini benar-benar hits hard.

Sekarang aku pengen bakar rumah.

The Palace of Wisdom gives 8.5 gold stars out of 10 for THE BANSHEES OF INISHERIN

 

 

 

THE BIG 4 Review

Mungkin, mungkin kalo aku masih SMP atau lebih muda lagi, aku bakal suka sama action komedi pertama Timo Tjahjanto ini. Karena The Big 4 adalah film simpel with nothing but aksi kocak, karakter ngelawak, dan kata-kata serapah. Yang paling bisa diapresasi dari film ini adalah melepaskan pemain dan karakter mereka dari belenggu jaim, sehingga kita semua dapat momen-momen gila mulai dari penjahat jago salsa, ariel mermaid joget, hingga ke grown man jatuh cinta sama senjata api. Tambahkan itu dengan adegan-adegan aksi yang benar-benar digarap playful. Jadilah entertainment. Gak perlu nontonnya pake otak.

Satu-satunya cara film ini jadi sesuatu adalah dengan literally ngasih sesuatu yang unik, khas dirinya sendiri. Kenapa? karena to be honest, tahun ini saja kita sudah dapat film semacam RRR dan Bullet Train yang membuktikan action absurd, konyol masih bisa dilakukan dengan naskah yang mumpuni. Bahwa ‘entertainment’ bisa dilakukan tanpa harus ninggalin otak di dalam lemari. Tanpa menciptakan kotaknya sendiri, The Big 4 hanya akan jadi batas bawah dari kelompok action absurd tersebut. Apalagi mengingat film ini memang tidak punya apa-apa lagi. Plotnya standar cerita geng ‘seperguruan’ kayak cerita-cerita film HongKong. Development karakternya gak ada karena ini adalah film yang naskahnya dikembangkan lebih dengan ‘ternyata’ ketimbang journey. Dan akting yang generik komedi-action (akting Abimana cukup mengejutkan, tho)

Film ini toh punya modal untuk jadi franchise aksi komedi yang benar-benar gokil. Semoga kalo dilanjutkan, filmnya digarap dengan jauh lebih baik lagi

The Palace of Wisdom gives 4 gold star out of 10 for THE BIG 4

 

 

 

THE FABELMANS Review

Tahun 2022 kita dapat dua film dari Steven Spielberg. Nikmat mana lagi yang mau kita dustakan.

Serius.

The Fabelmans terutama dan utama sekali, membuat kita semakin terinspirasi untuk bisa membuat film yang bagus. Secara ini adalah cerita yang diangkat dari keluarga dan masa kecil Spielberg himself. Film ini lebih impactful buatku ketimbang Licorice Pizza dan Belfast, dua film yang juga dari kisah hidup sutradaranya masing-masing, dan dua film itu jelas bukan film ecek-ecek. The Fabelmans terasa melampaui keduanya karena storytelling yang amat personal dari Spielberg dapat kita rasakan menguar dari adegan demi adegan. Mari bicara tentang adegan-adegan Sammy membuat film kecil-kecilan. Kita melihat dia sedari kecil suka dan bereksperimen dengan kamera. Film dengan keren membuild up kecintaan Sammy terhadap sinema dengan memperlihatkan reaksinya yang selalu terbayang adegan kecelakaan kereta api yang ia tonton di bioskop (awalnya dia takut masuk bioskop). Ini kan obsesi sebenarnya, tapi Spielberg yang paham selangkah tentang bercerita lewat perspektif anak kecil, menghandle itu semua dengan begitu… pure! Ketika gedean dikit, Sammy membuat film koboi untuk diputar di depan teman-teman sekelas. Momen dia menemukan cara untuk ngasih efek ledakan ke pita filmnya, maaannn, momen-momen kayak gini yang kumaksud ketika kubilang film ini menginspirasi. Dan lantas kita diperlihatkan dengan dramatis gimana film yang dibuat Sammy selalu sukses mempengaruhi, selalu menimbulkan kesan mendalam, kepada siapapun penontonnya. Aku pengen bisa kayak gitu!

Bagian itulah yang digunakan Spielberg untuk memasukkan konflik. Sammy menyelesaikan urusannya dengan tukang bully di sekolah. Sammy yang pertama kali menyadari ibunya enggak cinta dengan ayahnya. Lewat kerjaan dia membuat film, mengedit adegan.  Ya, at heart film ini cukup tragis dengan konflik keluarga. Tapi semua itu diceritakan film ini lewat tutur yang beautiful. Lewat akting yang cakep pula. Mulai dari Paul Dano, Seth Rogen, Michelle Williams, cameo David Lynch, serta Gabrielle LaBelle dan aktor muda lainnya (mataku khususnya tertuju kepada Julia Butters – terakhir kali lihat dia adu akting dengan DiCaprio di Once Upon a Time in Hollywood) Spielberg memang masterful dalam ngedirect. Semua visinya seperti mengalir deras ke karakter-karakter. The Fabelmans benar-benar film tentang magic of a movie!

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE FABELMANS

 

 




That’s all we have for now

Dengan ini rampung sudah reviewku untuk tahun 2022. Film-film yang sudah tertonton tapi belum direview akan kumasukkan ke penilaian 2023, jika ada. Yang jelas; Nantikan bulan depan ada Daftar Top-8 Movies tahun ini, serta My Dirt Sheet Awards yang akhirnya kuadain kembali.

Thanks for reading.

Selamat tahun baru semua. Enjoy cinema!

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



DRIVE MY CAR Review

“Silence is a universal language”

 

 

Utangku mengulas nominasi Best Picture Oscar 2022 tinggal satu ini, yakni film Drive My Car. Dari urutan, sebenarnya film ini bukan yang terakhir aku tonton dari sepuluh nominasi tersebut. Aku hanya, agak kesulitan menuntaskan tontonan drama berdurasi tiga-jam-kurang-semenit ini. Yea, durasi tersebut benar-benar kerasa di film ini. Ceritanya berjalan kaku, karakternya menjaga jarak bukan hanya kepada karakter lain, tapi juga kepada kita yang nonton. Meskipun kita udah tahu momok yang menghantui perasaannya, namun perasaan diskonek itu tetap ada. Baru kemudian aku menyadari, storytelling demikian ternyata memang disengaja, karena itulah ‘bahasa’ film ini. Dan bahasa actually jadi salah satu tema mencuat di dalam narasi. Sekarang setelah aku sudah bicara dengan ‘bahasa’ yang sama dengan film karya Ryusuke Hamaguchi ini, aku bisa bilang tepat film kuulas paling belakangan, karena objectively, sebagai bahasan karakter, this is indeed the best for the last.

Walau gak punya ketertarikan sama kendaraan apapun, I know for a fact bahwa ada cowok yang benar-benar sayang ama mobilnya. Sayang dalam artian menganggap mobil itu sebagai sesuatu yang sangat personal. Ayahku adalah salah satunya; beliau protektif banget sama mobil. Gak mau sembarangan ngasih ijin kepada orang-orang, bahkan kepada saudara, untuk mengendarai mobilnya. Di dalam kendaraan itu, ayah punya aturan sendiri. My dad is already a strict person, tapi di dalam mobil, dia bisa lebih keras lagi. Dari ngidupin mesin hingga buka jendela aja ada ‘tata kramanya’. Belajar nyetir pakai mobil itu udah jadi siksaan mental tersendiri bagiku. Jadi aku tahu, sebuah mobil bisa berarti sedemikian personal bagi pemiliknya.

Dari ‘fenomena’ semacam itulah, karakter dan cerita Drive My Car berangkat. Seorang aktor dan sutradara teater bernama Yusuke punya kebiasaan berlatih dialog di dalam mobil merahnya, selama perjalanan ke tempat bekerja. Namun Yusuke hidupnya semakin banyak masalah. Anaknya meninggal, istri yang selingkuh tapi belum sempat (baca: tega) ia konfrontasi meninggal, kini sebelah matanya pun punya masalah pandangan. Kontrak proyek teater terbaru yang ia terima, mengharuskan Yusuke untuk ke luar kota dengan diantar oleh sopir. Yusuke harus diantar ke mana-mana. Kebayang dong, perasaan Yusuke saat harus menyerahkan kuncinya kepada seorang wanita muda tak-dikenal bernama Misaki. Ternyata itu justru jadi healing yang mujarab. Bagi kedua pihak! Karena Misaki ternyata sama ‘pendiam’nya, sama-sama memendam kecamuk duka dan kehilangan dan rasa bersalah, seperti Yusuke.

carDrive-My-Car-1
Untung mobil merahnya bukan si jago mogok

 

Mobil dalam cerita ini tersimbolkan sebagai personal space. Di dalam mobilnya Yusuke punya ‘ritual’. Dia latihan dialog dengan suara rekaman istrinya. Dialog dari teater yang ia pilih merepresentasikan permasalahannya dengan sang istri. Secara fisik, gambaran mobil itu pun merepresentasikan kekhususan bagi Yusuke. Di jalanan dia tampak distinctive dengan warna merah, dan setir kiri (as opposed to setir kanan kayak di Indonesia). Yusuke kan juga ‘berbeda’ seperti itu. Dia lebih kalem dibandingkan orang-orang lain.

Film ini punya lapisan yang begitu banyak dari penyimbolan terkuat sehingga adegan-adegan terkuat dalam film justru adalah momen-momen Yusuke di dalam mobil. Khususnya saat dia berdiam diri di kursi belakang, dengan Misaki di kursi pengemudi menyetir dengan sama diamnya, suara yang kita dengar cuma suara istri Yusuke dari rekaman kaset yang terus diputar. Momen-momen ketika kedua karakter sentral terhanyut dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Tapi dari situ jualah mereka terkoneksi. Bukan sebagai pasangan, tidak sesederhana orang tua dengan anak muda, lebih dari semacam ayah-anak. Melainkan manusia terluka dengan manusia terluka. Alasan Yusuke menerima Misaki sebagai supir – meskipun awalnya menolak – bukan saja semata karena cara nyetir Misaki cocok sama dirinya, atau Misaki bisa merawat mobil. Melainkan karena mereka bicara ‘bahasa’ yang sama. Mereka share personal space yang sama karenanya. Deepernya hubungan seperti ini yang membuat film ini menjadi menarik.

Relasi Yusuke dengan karakter lain, serta peran mobil di cerita ini menunjukkan seberapa pentingnya personal space bagi hubungan antarmanusia. Space tersebut tidak bisa begitu saja dimasuki. Enggak gampang bagi kita untuk mengizinkan orang masuk, kecuali ketika kita sudah menemukan bahasa yang sama. Dalam film ini, silence jadi bahasa universal, Yusuke dan Misaki jadi terkoneksi olehnya. Yang juga membuat Yusuke selanjutnya lebih mudah berkoneksi dengan orang lain. Sebagaimana yang kita lihat di adegan paruh akhir, saat Yusuke berdialog dengan ‘antagonis’ di dalam mobilnya, yang berujung membuat dia balik melihat sesuatu yang lebih daripada yang ia kira dari si ‘antagonis’

 

Adegan-adegan latihan teater lebih lanjut menekankan persoalan ‘bahasa’ yang jadi topik penting dalam relasi karakter film ini. Yusuke diceritakan sebagai sutradara yang unik, ciri khasnya adalah menggunakan dialog multi-bahasa untuk karakter-karakter dalam pertunjukan teaternya. Ada yang berbahasa Inggris, Korea, Malaysia, dan termasuk Indonesia. Karakter-karakter tersebut berbahasa masing-masing, tapi mereka saling mengerti. Para aktor teater yang memerankannya pun dicasting oleh Yusuke, aktor yang memiliki bahasa ibu berbeda-beda. Jenius banget sebenarnya Yusuke, pertunjukan teaternya jadi semakin menarik. Orang-orang berbeda bahasa tapi bisa saling mengerti, karena mengalami emosi yang sama. Film menarik kontras dari kreatif Yusuke di panggung tersebut dengan gimana dia aslinya. Bahwa Yusuke di luar seorang sutradara teater, ternyata justru bicara dengan bahasa ‘diam’. Kita lihat dia gak pernah marah. Melihat istrinya selingkuh aja, dia gak langsung meledak. Tapi awalnya diam Yusuke memang dia tidak terkoneksi dengan orang lain. Salah satu faktor yang menjadi pembelajaran bagi karakter ini selain Misaki adalah produsernya yang orang Jepang, yang benar-benar bisa multi-language, yang mau belajar bahasa isyarat untuk bisa berkomunikasi dengan perempuan terkasihnya.

carDRIVE_MY_CAR_banner_660x320b
Judul film ini sebenarnya bisa berarti ‘Speak My Language’

 

Jadi jika bahasa dan komunikasi perasaan begitu penting bagi film ini, bagaimana dengan bahasa penyampaian film ini sendiri sebagai media komunikasi pembuatnya dengan kita para penonton? Well, now that’s a great question.

Durasi tiga jam memang melelahkan, kebanyakan film akan berusaha meminimalisir ‘damage’ dari durasi tersebut dengan mempercepat tempo, menggunakan banyak cut, dan ada juga yang memasukkan banyak aksi atau komedi atau apapun yang bikin cerita bernada ringan. Drive My Car guoblok kalo memasukkan hal-hal tersebut. Which is why film ini cerdas. Film ini tahu apa yang ia buat. Bahasa yang digunakan film ini adalah bahasa yang sama dengan yang digunakan oleh karakternya. Distant secara emosional. Cerdas memang berarti tidak mau mengambil resiko. Film mempertaruhkan penonton kasual bakal bosan, demi menghantarkan cerita yang benar-benar true mewakili emosi karakternya. Obat dari momen-momen ‘berat untuk ditonton’ film ini adalah sinematografi yang kece. Adegan-adegan yang disyut dengan menawan. Mulai dari set panggung teater hingga ke tempat-tempat yang dikunjungi, semuanya dibikin menarik di mata. Bahkan adegan reading teater ataupun di dalam mobil, adegan yang lokasinya sempit dan monoton dibuat bergeliat oleh kreasi subtil.

Resiko terbesar tentu saja adalah menjadikan ini cerita sepanjang itu. Karena film ini kan adaptasi dari cerita pendek. Cerita aslinya sebenarnya lebih pendek daripada ini. Pak Sutradara ngestretch materinya. Ini yang aku kagum. Sutradara menolak menggunakan flashback! Sutradara-sutradara lain mungkin akan stick to the original (apalagi kalo ini dibikin oleh Hollywood!). Cerita dimulai ketika Yusuke disuruh pake supir, dan kemudian baru akan sesekali terflashback ke masa lalu untuk melihat kenapa dia begitu muram, untuk melihat suara siapa sebenarnya yang ada di rekaman. Drive My Car buatan Hamaguchi ini tidak begitu, dia malah memulai dari masa-masa Yusuke bersama istrinya. Relationship unik mereka yang saling berbagi cerita di manapun (atau abis ngelakuin hal apapun). Cukup lama film berkutat di sini, ‘the real’ story baru dimulai di babak kedua. 

Downsidenya, Drive My Car jadi tampak tidak memenuhi yang diperlihatkan di babak awalnya. Penonton bisa merasa kecele karena dari babak awal itu mengira Drive My Car adalah cerita rumah tangga. Mengira ini adalah kisah perselingkuhan (yang lagi naik daun lagi di jagat tontonan negara kita). Menantikan adegan suami mengonfrontasi istrinya yang selingkuh, yang berkaitan dengan grief mereka terhadap putri yang telah tiada. Tentu penonton tidak salah mengharapkan itu karena film dimulai dengan memperlihatkan rumah tangga mereka, yang tampak baik-baik saja. Ketika bahasan sebenarnya tiba, film jadi kayak berbeda, dan inilah yang bikin film beneran tampak panjang buat beberapa penonton. Tapi dengan penceritaan linear seperti demikian, film nunjukin efek yang lebih kuat secara emosional. Karena dengan begini, kita mengerti siapa dan apa masalah yang menghantui protagonisnya. Penonton bisa langsung tenggelam di sana, membuat film ini jadi lebih powerful. Panjang, memang, tapi aku gak yakin Drive My Car bakal jadi semenohok ini jika bagian awal tersebut ditrim. Kita malah akan sibuk bolak-balik flashback aja nanti.

 

 

 

Apparently, film ini adalah salah satu favorit untuk memenangkan Best Picture Oscar. Aku bisa memahami kenapa banyak penonton film alias sinefil yang suka. Karena di atas gambar-gambar yang cakep, memang film ini bercerita dengan bahasa seni. Menilik perasaan manusia dengan sentimentil serta mendetil. Ada banyak lapisan dalam bangunan ceritanya. Sementara bagiku, aku merasa film ini terlalu personal untuk agenda Academy tahun ini. Aku respect film ini mengambil resiko besar dengan penceritaan panjang. Berani memilih untuk tidak pakai flashback dan linear saja. Meskipun itu membuat filmnya yang didesain distant dan kaku jadi semakin susah untuk konek secara emosi.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for DRIVE MY CAR.

 

 

 

That’s all we have for now.

Diam dan mobil yang love language si Yusuke kepada sesama manusia. Apa love language kalian?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

WEST SIDE STORY Review

“Hate cannot drive out hate; only love can do that”

 

 

Belakangan ini kita memang diberkahi banyak banget film musikal yang keren-keren. Annette (2021) yang menekankan kepada sisi absurd seninya. Tick, Tick…Boom! (2021) yang melekat berkat relate personal ceritanya. Ada begitu banyak pilihan musikal yang bagus, yang mampu membuat aku yang gak fans musik jadi jatuh cinta. Tapi dari semua, West Side Story garapan Steven Spielberg-lah yang paling pas untuk mengenakan mahkota. Karena film ini benar-benar goes for the big! Baik itu performance, musical numbers atau adegan musikalnya, produksi, hingga ke pesan, semuanya spektakuler. Spielberg ngedirect film ini dengan kemegahan yang cuma dia yang bisa. Dan itu berarti luar biasa karena film ini sendirinya sebenarnya adalah sebuah remake dari musikal yang enggak ‘kecil’. Spielberg membuat cerita ini lebih besar dan lebih relevan lagi!

Materi aslinya terinspirasi dari kisah Romeo dan Juliet. Namun alih-alih perseteruan keluarga, kisah cinta Tony dan Maria di West Side Story berada di tengah-tengah seteru dua kelompok etnis pemuda yang berbeda. Manhattan 1957 itu tempat tinggal yang jadi rebutan oleh penduduk imigran yang sudah turun temurun tinggal di sana. Di satu sisi ada kelompok Inggris, dengan geng Jet. Dan di sisi lain ada warga Puerto Rico dengan kelompok Shark. Dua kelompok ini terus saja berantem, cari ribut. Persaingan memenuhi kebutuhan hidup yang layak membuat kedua kelompok saling benci. Tapi tidak Tony dan Maria. Bertemu di pesta dansa (sementara geng masing-masing lagi rebutan lantai dansa), Tony yang mantan anggota Jet dan Maria yang adik dari ketua Shark jatuh cinta pada pandangan pertama. Mereka bermaksud hidup bersama, pergi dari kota dan start fresh. Tentu saja, kedekatan mereka berdua dijadikan alasan baru bagi Jet dan Shark untuk ribut. Dan kali ini benar-benar bakal ada nyawa yang jadi korban.

westsideDF_12072_R12_COMP
Rumbling, rumbling~~

 

Namanya juga musikal, semua permasalahan film ini diceritakan lewat lagu. Set drama di kota dilandaskan lewat adegan musikal di opening. Alasan Jet nyari ribut, juga lewat musikal. Bahkan pas sekuen berantem pun juga ada gerakan-gerakan seperti balet (sebelum akhirnya film ini nunjukin berantem yang cukup violent). Dari nonton West Side Story inilah aku jadi mikir, bahwa keberhasilan sebuah film memang gak pernah sesederhana ‘horor yang penting harus bisa bikin takut’, ‘komedi yang penting harus lucu,’ ataupun ‘romansa yang penting harus bisa bikin baper’. Karena dengan begitu berarti ‘musikal berarti harus bisa bikin ikut nyanyi’. Nah dengan logika itu, sampai kapanpun aku gak akan pernah nemuin musikal yang bagus karena aku yang gak suka musik gak akan pernah nyanyi menonton musikal. Dan kalo aku – kalo kita – menilai film dengan subjektivitas sesederhana fungsi tersebut, ya kitalah yang rugi. Kita gak akan tahu film bagus bahkan kalo film itu tayang di depan hidung kita. Dari musikal segrande West Side Story inilah kita bisa sadar bahwa meskipun kita gak konek dengan liriknya, atau dengan musiknya, atau bahkan dengan bahasanya, sebuah film masih akan tetap bagus dan itu dinilai dari objektivitas teknik film itu dibuat, cerita film itu ditulis, seperti apa gagasannya disampaikan. Bagaimana craft film dalam memuat isi kemudian menampilkannya ke dalam genre masing-masing, di situlah sebenarnya penilaian film bagus atau tidak. 

Dan West Side Story benar-benar dibuat dengan epik. Setiap adegannya, mau itu musikal ataupun pas ngobrol biasa, berwarna oleh detil, penempatan kamera, dan bahkan bloking orang-orangnya saja seperti bermakna. Adegannya tu gak pernah sekadar nari-nari rame-rame di tengah jalan. Saking banyaknya adegan bagus yang benar-benar nonjolin craft dan visi dari si filmmaker, aku bisa bikin listicle khusus di dalam tubuh ulasan ini. ‘Dua-puluh Adegan Terepik dalam West Side Story, Nomor Lima Bakal Bikin Kamu Ikutan Joget!’ Ya, bukan lima, bukan delapan. Dua puluh itu aja kayaknya belum semua deh yang keitung. Kamera dan perhatian Spielberg lewat bercerita visual mengangkat setiap adegan musikal menjadi momen-momen ajaib yang kita rugi kalo sampai ngedip and miss it. Adegan nyanyi di gang gelap, lalu Tony loncat ke kubangan, kamera lantas menyorot dari atas; memperlihatkan pantulan berpuluh-puluh lampu dari jendela lewat riak-riak kubangan tersebut, maaan siapa sih yang bisa kepikiran membuat adegan seperti itu. Shot-shot film ini memang sangat imajinatif, gak ada yang standar. Dua geng saling bertemu di dalam gudang yang gelap; Spielberg mempesona kita dengan menggambar dari bayangan kedua kubu. Lalu ada juga sekuen panjang saat adegan masuk ke ruang dansa. Kameranya kayak melayang gitu aja, nempel di tubuh lalat kali hahaha. Buatku, film seperti beginilah yang menantang – sekaligus menginspirasi. Film, yang saat menontonnya kita langsung penasaran mereka ngerekamnya seperti gimana, kameranya gimana. Kok bisa? 

Akhirnya ya kita yang nonton jadi merasa dapat lebih banyak daripada sekadar lirik atau irama yang catchy. Kita ujung-ujungnya jadi mengapreasiasi musikal itu secara keseluruhan. Aku paling suka adegan nyanyi Amerika, dan adegan nyanyi di dalam ruangan kantor polisi. Selain itu, dengan pengadeganan dan penampilan menawan seperti itu, perhatian kita juga jadi terpusat pada cerita. Hampir seperti kita gak butuh lagi sama dialog. Mungkin ini jugalah yang dimengerti oleh film, sehingga Spielberg tidak menampilkan subtitle untuk dialog-dialog dalam bahasa Spanyol. Spielberg melalukan ini demi respek terhadap karakter dan bahasa itu sendiri, tapi dia toh juga tidak mempersulit atau meminta terlalu banyak kepada penonton. Perhatikan saja adegan-adegan berbahasa Spanyol itu. Selalu hanya keluar dalam adegan yang konteksnya sudah terlandaskan dengan baik. Selalu punya weight ke dalam karakterisasi dan plot itu sendiri. Ketiadaan subtitle ini justru jadi penanda utama bahwa film ini telah demikian baik bercerita lewat visual dan penampilan atau juga musiknya.

Colorfulnya pengadeganan didesain kontras dengan kelamnya cerita. Aku nonton film ini duluan daripada film aslinya, aku gak tau sebelumnya ini ceritanya bakal seperti apa. Dan aku surprise juga saat menyaksikan ujung cerita film ini. Aku gak expect kalo film yang udah dibuat untuk penonton modern ini berani membuat sekelam itu. Mungkin inilah kenapa West Side Story kurang laku (selain karena musikal memang kurang perform untuk penonton kita). Modern audience kan gak bisa dikasih ending yang conflicted. Pengennya yang jelas. Happy, atau sedih. Kalo bisa sih yang happy aja. Gak boleh di antara keduanya. West Side Story berakhir tragis dengan cinta yang terpisah oleh kematian, tapi punya undertone yang optimis ke arah kehidupan yang lebih baik untuk semua orang di kota. This ending will hit alot.  Dan aku senang karena film ini mengambil resiko dengan ending seperti itu. Film ini telah melakukan cukup banyak penyesuaian – ada hal-hal yang dibikin berbeda dengan versi aslinya – tapi untungnya tidak diubah sesuai kesukaan penonton modern. Malah kalo dipikir-pikir, ending versi ini memang lebih menohok.

westside-side-story-trailer-
Si Maria mirip-mirip Susan Sameh gak sih?

 

Seperti pesaingnya di Best Picture Oscar, Coda (2021), film West Side Story juga melakukan remake yang melakukan perubahan positif dalam hal representasi. Spielberg tak lagi menggunakan aktor kulit putih yang dimake-up coklat, melainkan benar-benar menggunakan aktor latin untuk karakter-karakter Puerto Rico. Feels film ini jadi semakin otentik, selain juga respek sama ras yang diangkat. Soal casting ini memang benar-benar dimanfaatkan sebagai isi karakter. Ariana DeBose yang berkulit lebih gelap misalnya, diset untuk memerankan Anita yang nanti terlibat dialog soal kulit itu dengan sesama Puerto Rico, terkait konteks bagaimana prioritas Amerika kepada warganya. Terus, ada karakter yang benar-benar merepresentasikan trans-people, sementara film aslinya tahun 60an belum berani banget menampilkan. Lalu ada juga aktor yang gak sekadar jadi cameo dari film original, tapi diberikan peran yang dramatis terkait dia memerankan peran terdahulu dengan peran sekarang. Tapi yang paling penting soal cast ini adalah, Spielberg benar-benar ngedirect mereka untuk menghasilkan performa yang sama luar biasanya.

Masalah rasis yang jadi akar konflik film ini digambarkan dengan kompleks, dan jadi masalah yang terstruktur karena begitulah pondasi tempat tinggal daerah mereka. Tapi kalo mau disederhanakan, sebenarnya ini adalah masalah hate. Kebencian. Makanya hubungan cinta antara Tony dengan Maria jadi simbol penyelamat mereka semua. Mereka cuma harus bisa melihatnya. Walau kadang cara untuk sadar itu bisa demikian tragis.

Honestly, pas pertama kali nonton aku mikir film ini – terutama karena endingnya – agak problematis. Like, kenapa kulit putih mati jadi seperti savior. Bukankah, aku sempat mikir, lebih cocok dengan penonton modern kalo dibikin yang jadi ‘penyelamat’ itu adalah karakter cewek. Setelah dipikir-pikir, dikaitkan dengan arc Tony dan Maria, the whole ending ternyata memang harus terjadi seperti yang film ini lakukan. Tidak ada jalan lain yang lebih powerful.

 

Tony yang diperankan oleh Ansel Esgort di versi ini diberikan journey yang lebih dramatis. Backstorynya – mengapa dia keluar dari Jet, kenapa dia bisa punya hubungan baik dengan pemilik toko yang orang latin – benar-benar melandaskan arc penebusan diri. Benar-benar memperlihatkan Tony mencoba menjadi pribadi yang lebih baik, tapi tidak segampang itu berkat kuatnya pengaruh seteru dan hate tadi di kota. Arc si Tony baru akan melingkar sempurna dengan ending film ini, karena itulah penebusan dirinya yang sebenarnya. Bukan dengan pergi menumbuhkan cinta di tempat lain. Kota ini juga harus diresolve masalahnya. See, di sinilah letak kekuatan naskah West Side Story. Kota mereka juga jadi karakter tersendiri. Yang bakal ngalamin pembelajaran, melalui nasib dua karakter sentral. Maria, diperankan oleh Rachel Zegler dengan memukau meski ini adalah film pertamanya, punya arc tentang innocence lost. Maria adalah simbol atau perwujudan dari value positif; polos, penuh mimpi, optimis. Karakter Maria ini jadi makin penting saat ending itu, karena lewat dialah karakter-karakter di kota melihat apa yang telah mereka lakukan terhadap kota yang harusnya adalah tempat penuh harapan dan mimpi.

 

 

 

Ah, film yang indah. Baik itu pesannya, experience menontonnya, serta penampilan akting dan musikalnya (yang btw, bener-bener dinyanyikan oleh pemainnya). Dunianya terasa hidup, setiap adegan pantas banget untuk kita pelototin. Setiap scene terasa epik dan spektakuler. Everything about this movie feels grande. Aku harus menahan diri nulisnya, karena kalo gak, bakal panjang banget. Karena semuanya bisa dibahas mendalam. Semuanya punya makna. I’m okay film ini yang dipilih Oscar untuk mewakili genre musikal dibandingkan film yang lain. Bukan hanya karena nama Steven Spielberg. Pak sutradara berhasil membuktikan nama besanya bukan sekadar legenda. Tapi juga karena film ini terasa urgen meskipun dia adalah remake. Aku senang karena actually di line up Best Picture Oscar tahun ini, ada dua film remake yang tampil demikian kuat melebihi film original mereka.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for WEST SIDE STORY.

 

 

 

That’s all we have for now

Sayang sekali film ini flop di bioskop kita. Menurut kalian kenapa film musikal enggak perform dengan baik bagi penonton Indonesia?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

BELFAST Review

“To leave home is to break your own heart.”

 

Pembahasan Best Picture kita berikutnya adalah film Belfast. Ditulis dan disutradarai oleh Kenneth Branagh, sebagai sebuah semi-otobiografi. Branagh di sini bercerita dari pengalaman masa kecilnya sendiri di kampung halaman, Belfast di Utara Irlandia, tercinta. Melihat sembilan nominasi yang lain, Belfast memang yang paling ‘berbeda’. Satu-satunya yang hitam-putih, satu-satunya yang karakter utama anak kecil, dan satu-satunya yang bercerita di bawah seratus menit. Tapi ini bukan berarti lantas Belfast jadi anak-bawang. Malah bisa jadi ini justru kuda hitam(-putih). Sebab menonton Belfast rasanya sarat sekali. Sudut pandang anak-anak tersebut ternyata mampu membuat ceritanya kaya dan penuh oleh perasaan, tanpa jadi overly-ribet.

Basically ini adalah cerita tentang anak kecil yang gak mau pindah dari kota kelahirannya.Buddy (newcomer Jude Hill menghidupkan karakter refleksi masa kecil pak sutradara), dalam opening film, sedang bermain-main di daerah dekat rumah. Sungguh kawasan yang akrab. Semua orang di sana saling kenal, saling menyapa. Buddy main ksatria-ksatriaan, melawan naga dengan pedang kayu dan penangkis dari tutup tempat-sampah. Tapi mendadak daerah tersebut rusuh. Imajinasi berantem-beranteman Buddy seketika berganti jadi kericuhan yang nyata. Buddy ada di tengah-tengah kawanan pemuda Protestan menghancurleburkan properti, menyasar komunitas Katolik yang di tinggal di situ. Penangkis mainan Buddy kini benar-benar jadi pelindung dari lemparan batu-batu besar. Buddy yang masih kecil, gak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi. Tidak benar-benar paham hubungan kejadian tersebut dengan tempat tinggalnya, dengan orangtuanya.  Buddy cuma tahu satu. Dia gak mau pindah dari sana, karena di Belfast itulah ada kakek neneknya, ada teman-temannya, ada anak-perempuan yang ia sukai. Di Belfast itulah hidup dan hatinya.

belfast063-4184-BW-D012-00132
Aku bukan anak bawang!

 

Kenapa harus pindah itulah yang sebenarnya pelik. Film ini memotret cekcok dalam sejarah. Konflik antarpemuda dua agama, yang juga berkaitan dengan politik, yang actually berlangsung tigapuluh tahun lamanya. Dari film ini kita jadi tahu soal The Troubles itu, dan juga bahwa ternyata detektif Hercule Poirot era kita berasal dari Belfast dan menjadi salah satu dari sekian banyak penduduk sana yang terkena dampak harus bermigrasi mencari keselamatan. Jadi meskipun cerita ini sebenarnya sangat personal bagi Branagh, tapi Belfast punya muatan yang membuatnya tak sekadar sebuah memori masa kecil dan surat cinta untuk kota kelahiran. Tidak seperti Licorice Pizza (2022) yang just trip to memory lane, film ini punya konflik di dalamnya yang ternyata masih beresonansi kuat, masih relevan, dengan keadaan sekarang. Saat konflik-konflik keagamaan, konflik kependudukan masih terjadi. Kita mungkin sampai saat ini masih beruntung belum ngerti rasanya harus ninggalin rumah yang nyaman karena sekarang rumah tersebut berada dalam lingkaran target huru-hara, atau malah perang seperti Rusia-Ukraina. Kita bisa bersimpati pada rasa takut dan kesedihan dari naasnya, tapi tidak heartbreak yang lebih personal. Dan Belfast hadir dalam level yang lebih personal tersebut. Karena memang Branagh tidak membuat Belfast fantastis, ataupun overdramatis dengan gambaran tragedi. Melainkan tetap dalam ‘pandangan’ mata anak kecil yang belum bisa mencerna semuanya dengan benar. Branagh menekankan kepada komunitas atau kehidupan daerah tersebut

Daerah yang penduduknya constantly ribut memang sedikit ngingetin sama West Side Story (2022), tapi sebenarnya buatku, nonton film ini ada kesan yang mirip ama nonton Jojo Rabbit (2020). Karena elemen konflik dilihat dari sudut pandang anak tersebut. Di Belfast, si protagonis anak malah lebih ‘inosen’ lagi. Bagi Buddy masalah itu adalah bagaimana supaya nilai matematika bagus sehingga dia dipindah duduk ke barisan depan, sebelahan sama anak cewek berkepang dua yang manis itu. Bagaimana supaya kakeknya bisa sehat. Dan bagaimana supaya dia bisa ikut nenek nonton film di teater. Buddy aware ada kericuhan, ada orang yang terus nanyain ayahnya yang kerja di Inggris. Jika ayah pulang, Buddy sering juga menguping ayah bertengkar dengan ibu soal tinggal di tempat lain. Tapi semua masalah itu hanyalah ‘warna’ lain dalam kehidupan Buddy. Film fokus memperlihatkan komunitas yang akrab, mulai dari kebiasaan hidup orang-orangnya, hingga tentu saja ke bagaimana Buddy mengarungi hidupnya. Jadi nonton ini, rasanya seperti kita jadi turut jatuh cinta sama tempat tersebut, yang ultimately berarti kita peduli sama Buddy. Ada dramatic irony juga yang kita rasakan karena kita tahu ke mana cerita ini berujung. Dan kita benar-benar concern tentang bagaimana Buddy menangani akhir cerita nanti. Kita hanya bisa berharap cinta yang terus tumbuh seiring berjalannya hari itu gak berakhir menjadi patah-hati yang demikian besar.

Kehidupan sehar-hari jadi fokus, sehingga film ini berjalan agak seperti ngalor-ngidul. Seperti ‘kelemahan’ yang biasa terasa dalam cerita-cerita slice of life. Sudut pandang tersebut dibuat Branagh semakin menarik lagi dengan menggunakan charm komedi ala british sebagai warna lain dalam narasi. Again, membuatku semakin mendekatkan film ini sama Jojo Rabbit. Namun dalam komedi pun, Belfast tidak pernah menjadi sebombastis itu. Tone tetap dijaga sederhana oleh Branagh. Kesannya film ini jadi serius tapi santai. Kejenakaan sebagian besar datang dari tindakan Buddy, seperti misalnya ketika dia ikut menjarah toko, tapi yang diambilnya cuma ‘satu benda itu’. Naskah pun lantas meluncurkan nasihat-nasihat, petuah-petuah lewat karakter yang menyingkapi tindakan Buddy. Salah satu relationship paling hangat dan menghidupkan cerita adalah antara Buddy dengan kakeknya. Dialognya dapat terdengar agak wordy, tapi seperti Buddy kita ikut duduk di sana mendengarkan dan membayangkan setiap kata yang terucap.

Pindah memang bukan hal sepele. Entah itu untuk mencari kesempatan yang lebih baik, atau untuk mendapatkan keamanan, pindah berarti akan ada yang berubah di dalam hidup. Akan ada yang ditinggalkan. Akan ada hal baru yang harus diterima dan disesuaikan. Orang dewasa saja banyak yang gak siap dengan kepindahan. Apalagi anak kecil seperti Buddy. Film ini menelisik efek kepindahan tersebut, mampu mengubah jalan hidup banyak orang, despite kepindahan tersebut diperlukan atau tidak.

 

Dengan banyak ‘warna’ dalam penceritaan, maka penggunaan warna hitam putih untuk tampilan film jadi kontras yang membuat kita ‘hmmm, berarti ada maknanya..’ Hitam putih di sini jadi gak pretentious kayak film C’mon C’mon (yang juga ada karakter anak kecilnya) yang sampai sekarang aku belum review karena aku masih berkutat mikirin alasan yang bagus kenapa film tersebut dibuat dengan hitam putih. Dalam Belfast ini, penggunaan hitam putih itu sendiri aja punya banyak lapisan alasan. Pertama, kita bisa memaknainya sebagai kontras tadi; kontras antara saratnya bahasan dan elemen bercerita yang semuanya ditampilkan lewat sudut pandang kepolosan anak-anak. Kedua, hitam putih ini adalah penanda waktu 1969 yang jadi panggung utama cerita. Film actually menggunakan gambar berwarna ketika memperlihatkan Belfast modern di awal dan akhir durasi. Jadi perbandingan Belfast di dua periode itu nyata ke kita. Sekaligus menguatkan cerita ini adalah flashback memori. Alasan ketiga adalah yang paling menarik. Karena sebenarnya film juga menggunakan adegan berwarna saat nunjukin film-film atau pertunjukan yang ditonton oleh Buddy dan keluarganya.

Dan aku harus bilang, Buddy yang suka nonton ini membuat cerita terasa jadi lebih relate lagi. Di rumah, Buddy nonton serial Star Trek. Di bioskop, Buddy dan keluarga nonton film-film koboi dan film musikal kayak Chitty Chitty Bang Bang. Tontonan yang membuat keluarga mereka ceria, Buddy benar-benar menikmati waktunya saat menonton. Keluarga Buddy sepertinya sama ama kita, menonton sebagai eskapis. Dengan memberi gambar berwarna kepada tontonan-tontonan tersebut, maka film seperti menyimbolkan harapan buat hidup/kenangan hitam-putih Buddy (atau kita bisa bilang Branagh). You know, seolah Branagh ingin bilang bahwa di masa itu film sudah menjadi harapan baginya.

Belfast-e1630871382558
Jadi film ini juga jadi surat cinta Branagh kepada perfilman

 

Secara pesan, film ini sebenarnya sudah terangkum lewat tiga kalimat yang muncul di akhir cerita. Tapi Branagh menawarkan lebih banyak lagi. Kekurangan Belfast cuma tensi. Slice of life ini gak bisa mempertahankan atau membangun tensi, karena sudut pandang anak yang melihat semuanya sebagai ‘just another thing happening’. Di satu momen mungkin kita ikut merasa ngeri saat kamera menghantarkan kita menuju Buddy yang menguping orangtuanya berdebat dari balik jendela, namun momen berikutnya permasalahan itu menguap dari Buddy yang kali ini melihat orangtuanya menarik bak aktor dalam film yang ia tonton. Tapi jika dipikir lagi, ‘kekurangan’ bukanlah sebuah kesalahan, karena memang seperti demikianlah Branagh maunya. Bahwa dia merancang ceritanya untuk berjalan seperti demikian. Karena mungkin itulah yang ia rasakan saat kecil dulu. Enggak benar-benar mengerti masalah ‘orang dewasa’, semuanya just goes by, hingga akhirnya baru kerasa saat dia harus meninggalkan semua.

 

 

Sebagai projek yang sepertinya paling personal yang pernah ia tangani, film ini berhasil dibuat oleh Branagh melebihi target. Enggak sekadar untuk memori. Enggak cuma berbagi pengalaman masa lalu. Personalnya film ini begitu kuat, mengakar menjadi identitas yang bakal mencuatkan film ini di antara yang lain. Branagh membawakan kepada kita kisah kehidupan yang manis-manis pahit, yang senang-senang susah. Pengalaman hidup yang begitu kaya. Dan teramat beresonansi dengan keadaan hidup sekarang. Film ini termasuk yang paling ringan dan yang paling singkat di antara nominasi Best Picture Oscar 2022, tapi merupakan pesaing yang kuat soal urusan urgensi dan kepentingan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BELFAST.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Sedikit OOT, sistem nilai di sekolah Buddy yang mendudukkan murid di kursi sesuai dengan nilai mereka cukup unik atau cukup militan, tergantung dari bagaimana kita memandangnya. Bagaimana pendapat kalian tentang sistem tersebut? 

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

LICORICE PIZZA Review

“Aren’t grown up people just little children at heart?”

 

 

Selama enggak masalah sama adegan perempuan dewasa memperlihatkan dadanya kepada cowok remaja, atau sama candaan berbau rasis, Licorice Pizza memanglah sebuah tontonan kisah cinta sepasang darah muda yang manis. Dan untuk sebagian besar waktu, film ini tidak membesarkan dirinya lebih daripada tentang itu. Buatku, romance komedi bersetting di sebuah kota dalam bayang-bayang 70an ini adalah yang paling less-urgent di antara sepuluh nominasi Best Picture Oscar 2022. Karena pesonanya yang terletak pada cinta dalam bingkai personal, bukan pada menelisik kejadian-sekarang dan agenda-agenda yang relevan. Film ini lebih terasa seperti fantasi, atau ingatan ke masa muda, like, menontonnya seperti mendengar seorang teman yang menceritakan pengalaman cinta pertama yang sampai sekarang terus membara. Licorice Pizza dibuat seperti rayuan manja yang mengajak kita memanggil kembali jiwa muda yang masih ada di dalam sana, yang gak akan pernah pergi meskipun kita semua merasa sudah waktunya untuk bertumbuh. 

Paul Thomas Anderson selaku penulis naskah dan sutradara memang menyusun narasi Licorice Pizza ke dalam bentuk yang terasa seperti per episode, seolah sedang merekoleksi memori. Gary bertemu dengan Alana di sekolah, tapi mereka bukan teman sekelah. Mereka bahkan enggak seumuran. Alana saat itu lagi kerja, jadi asisten tukang foto untuk sekolahannya Gary. Seperti layaknya cowok remaja yang curious sama kakak-kakak cantik, Gary langsung naksir Alana. Dia bahkan malam itu bilang ke adiknya bahwa dia telah menemukan perempuan yang bakal jadi istrinya. Jadi, Gary terus mengejar Alana. Alana yang nyadar gap-umur, berusaha untuk gak nunjukin perasaan, tapi toh Alana selalu ada bersama Gary. Mulai dari jadi ‘babysitter’nya hingga jadi rekan bisnis kasur-air yang dibangun Gary. Di sinilah kesan ‘episodik’nya itu dimulai. Mereka berdua akan bertemu berbagai macam orang, yang bakal bikin hubungan mereka naik-turun, karena tentu saja akan ada cemburu-cemburuan juga di sana.

pizzaimage-w1280
Dan bakal banyak sekali lari-larian

 

Feeling yang dihasilkan memang begitu otentik. Dunia 70an itu ditangkap lewat lensa dan pencahayaan yang mainly consist of semburat keemasan, sehingga benar-benar terasa mewakili era lampau yang dikenang dengan nuansa fantasi. Setting waktu tersebut juga sangat mewarnai narasi. Suasana politik, kebiasaan masyarakat, keadaan ekonomi, hingga tren kasur air itu sendiri semakin menghidupkan dunia tempat para karakter berinteraksi. Tentu saja gak cukup hanya di panggungnya saja. Para karakter itu sendiri juga dihidupkan dengan maksimal. Dua karakter sentral, Gary dan Alana, haruslah natural dan punya chemistry semempesona dunia mereka. Anderson mempercayakan leads-nya ini kepada dua aktor yang sama sekali belum pernah berakting di film-panjang. Dan baik itu si Alana Haim (penyanyi pop yang memboyong keluarganya untuk memerankan Alana dan keluarga di dalam cerita) maupun Cooper Hoffman (putra dari mendiang aktor Philip Seymour Hoffman) benar-benar membuktikan bahwa Anderson bukanlah sedang gambling; melainkan membuat sebuah investasi tajam nan teruji. Akting mereka berdua sungguh meyakinkan, hampir seperti merekalah karakter tersebut. 

Gary orangnya supel, temannya banyak, ‘pengagumnya’ juga. Gary dikenal bukan saja oleh sepantarannya, tapi juga oleh orang-orang yang lebih dewasa. Pembawaannya memang lebih dewasa dibanding umurnya. Beda ama Alana yang lebih tertutup, ketus, belum pernah pacaran, penuh keinsecurean, di umur yang sepuluh tahun lebih tua itu galau dan cemburunya bisa melebihi anak remaja seusia Gary. Dinamika mereka memang bersumber dari jarak umur tersebut. Tapi naskah tidak membuat kita mempertanyakan mereka akhirnya jadian atau enggak. Itu sudah diestablish sejak menit-menit pembuka. Tidak ada pertanyaaan; mereka berdua saling suka. Naskah film ini adalah soal drama yang mereka ‘pilih’ untuk lalui walaupun mereka saling suka. Bahwa mereka kidding with their feelings, atas nama bertindak dewasa. Akting dan karakterisasi mereka, aku apresiasi. Namun I just can’t love them seperti seharusnya seorang penonton film kepada karakter cerita. Karena fokus narasinya tersebut. Ceritanya yang dreamy dan fantasi, tapi bukan tentang bagaimana mewujudkannya menjadi nyata – bisakah hubungan tersebut jadi nyata. Melainkan udah fixed, gak ada ruang pertanyaan lagi di cerita ini. Persoalan hubungan yang mestinya ‘bermasalah’ tersebut dianggap gak ada gitu aja.

Iya, mungkin aku sedikit iri sama Gary dan Alana. Jika gender-rolenya dibalik, they were me. Di dunia nyata jika dibalik, hubungan seperti Gary dan Alana tidak akan dianggap sweet dan keren. Yang ada malah akan dituduh mau ‘grooming’, pedo, dimarahin ortunya, ataupun hal-hal lain yang bisa diantagoniskan sebagai konten Tiktok. Gary dan Alana sama sekali gak genuine buatku karena gak bakal begitu di dunia nyata. Tapi mungkin juga di situlah poinnya. Semua akan berbeda, tergantung gender yang melakukan. Tergantung sudut pandangnya. Nah di sinilah masalah film ini buatku. Sudut pandang atau perspektif dari Gary maupun Alana tidak pernah digali dengan luas. Mereka tidak kita kenal di luar romance atau perasaan cinta mereka. Gary praktisnya tidak punya development. Karakternya sama dari awal hingga akhir, dia tidak perlu membuktikan diri dia bisa dewasa, karena dia sudah seperti itu sejak cerita dimulai. Dia tidak pernah menganggap jarak umur mereka sebagai masalah. Dengan begitu, karakter ini jadi tidak ada mengalami pembelajaran.

pizza5902
It’s my dream, (Tho) Mas. Not her!

 

Jadi, tinggal si Alana. Perlu diingat, ini bukan kayak cerita drama cinta yang si jutek akhirnya luluh dan jatuh cinta kepada yang terus memberikan perhatian kepadanya. Alana sedari awal sudah tertarik, cuma dia enggak menganggap Gary dengan serius karena dia menganggap Gary masih bocah. Ada beberapa kali adegan Alana menyipitkan mata, melihat Gary yang bahkan belum bisa nyetir itu gak ngerti politik ataupun situasi ekonomi. Plot dan pembelajaran Alana adalah dia akhirnya menyadari bahwa umur itu cuma angka. Kedewasaan sikap dan kematangan mental gak tercermin di umur. Dia harus ngakui bahwa dia bisa lebih ‘bocah’ ketimbang Gary. Untuk mencapai pembelajaran tersebut, film tidak ngasih jalan lewat eksplorasi dalam-diri si Alana, melainkan dari luar. Dari karakter-karakter pria dewasa yang ia temui – yang ternyata jauh lebih parah ketimbang Gary. Dan itu bukannya Alana gak aware sama sikap para cowok. Alana ini pinter. Tapi somehow dia kayak desperate. Dia cuek aja sama male gaze ataupun sikap merendahkan lain. Dia slow aja bikinian sendiri di tengah pesta yang semua orang berpakaian lengkap. Flirtation alias tarik ulurnya kepada Gary membuat karakter ini jadi gak konsisten. Ditambah dengan Alana gak pernah berinteraksi dengan orang untuk dirinya sendiri (di luar berkaitan dengan Gary), karakter Alana ini jadi dangkal dan annoying buatku.

Tapi dari Alana ini kita bisa menyimpulkan bahwa film memang ingin memperlihatkan bahwa umur tidak pernah jadi soal. Hanya angka. Semua orang punya sisi kekanakan dalam dirinya. Betapapun jauhnya kita bertumbuh, menjadi diri yang ‘baru’ dengan tempaan pengalaman dan sebagainya, bisa kembali ke sisi ‘anak’ di dalam diri merupakan kenyamanan tak terhingga. Inilah kenapa Alana akhirnya lari kembali kepada Gary, dan sepenuhnya menerimanya. Dan ngomong-ngomong soal lari, film ini memang menyimbolkan perasaan bebas khas anak-muda tersebut dengan adegan-adegan berlari.

 

Permasalahan drama cinta selalu sama. Film tidak berhasil ngasih alasan kenapa sepasang karakter sentral itu harus berakhir jadian. Licorice Pizza ngeskip ini gitu aja, walaupun dalam cerita seperti ini pembelajaran barulah akan ada dan terasa kuat bagi dua karakter jika mereka enggak berakhir bersama. Enggak lagi menarik menonton tarik ulur anak remaja dengan orang dewasa. Maka keputusan film bercerita dengan episodik jadi tepat, untuk konteks pengembangkan minimalis seperti ini. Makanya cameo-cameo dalam film ini selalu jadi scene-stealer. Bukan semata karena mereka diperankan aktor gede seperti Sean Penn, Bradley Cooper, atau Maya Rudolph. Tapi karena Gary dan Alana tidak ada atau minim sekali perkembangan. Peran-peran kecil para aktor gede tersebut jadi suntikan fresh, yang bikin kita ‘melek’ lagi setiap kali Gary dan Alana mulai terasa repetitif. Penonton mengapresiasi mereka di atar peran yang seksis ataupun candaan yang problematis. 

Orang-orang banyak menghujat Don’t Look Up (2021) karena komedi receh yang diperankan aktor ternama yang main di situ. Walaupun komedinya tepat menyinggung keadaan di era pandemi, orang-orang tetap menganggapnya trying too hard. Dan memilih untuk gak mengakui kepintaran penulisannya. In short, people just hate it meskipun recehnya itu gak menyinggung kecuali tepat konteks dan sasaran. Aku menganggap sikap orang-orang itu aneh, karena di film Licorice Pizza ini tak kalah banyaknya karakter-karakter receh yang dimainkan aktor gede, dengan joke yang actually benar-benar menyinggung seperti soal rasis untuk orang Jepang dan sebagainya. Kenapa Licorice Pizza ini gak dapat ‘hujatan’ yang sama? Menurutku malah harus lebih lagi, karena sekalipun karakter itu juga memainkan sindiran terhadap dunia 70an, tapi jika dipertahankan untuk ditonton dan jadi lelucon di tahun sekarang, ya itu baru namanya too hard buat jadi lucu. Film ini mengadakannya hanya karena hal tersebut ada sesuai ingatan pembuat, dan inilah yang mengurung naskah dan karakter, membuatnya jadi tak bisa berkembang. 

 

 

 

Jadi sebenarnya film ini bukan tentang kisah menjadi dewasa, melainkan kisah terus menjadi remaja. Ceritanya sendiri benar-benar seperti rekoleksi ingatan manis tentang cinta di masa muda. Film ini keren dan hidup sekali dalam menggambarkan perasaan. Baik itu perasaan tentang dunianya, maupun perasaan cinta yang dirasakan karakternya. Hanya saja, cuma perasaan cinta itu saja yang dipunya dan terus digali. Karakternya seperti gak punya concern lain di luar flirt dan bikin cemburu-cemburuan. Makanya buatku film ini gak sekelas sama nominasi Best Picture yang lain. Film ini kelasnya tuh di cinta-cintaan remaja film kita yang biasa, dan film ini ada di bagian puncak kelas tersebut berkat pencapaian teknis dan juga aktingnya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for LICORICE PIZZA.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Kenapa cowok muda menyukai perempuan yang jauh lebih dewasa dipandang lebih keren dan manis dibandingkan kalo cowok dewasa suka perempuan yang jauh lebih muda? 

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

KING RICHARD Review

“The odds will always favor the man with a plan”

 

 

 

Nominasi Oscar untuk tahun 2022 baru saja diumumkan. Dan seperti biasanya, ada aja yang diributin sama khalayak. Kenapa film anu yang masuk, kenapa film yang itu enggak masuk. Selalu ada kekecewaan. Tapi itu bagus, karena selama masih ada yang kecewa berarti subjektivitas menonton film itu masih ada. Kita belum menjadi robot yang seleranya samaaa semua. Subjektivitas itulah yang bikin film beragam, dan actually menciptakan persaingan yang memajukan perfilman. Dan soal subjektif; meskipun kalo ngereview film yang udah ditonton aku berusaha seobjektif mungkin, dalam hal memilih tontonan aku bisa jadi salah satu penonton paling bias sedunia. Banyak film yang gak mau kutonton hanya karena soal sepele seperti tweet sutradaranya, attitude aktornya, atau malah karena tingkah buzzernya. Nah, buatku, yang jadi permasalahan dari sepuluh film yang ada dalam daftar nominasi Best Picture adalah film King Richard. Kenapa? Karena aku simply gak suka ama Will Smith. Jadi aku males, aku gak mau nonton film-filmnya. Kecuali terpaksa. Dan dengan masuknya film ini di daftar nominasi, aku jadi terpaksa harus nonton. Harus ngereview. Dan, sebagai penilai yang harus seobjektif mungkin, kini aku terpaksa harus mengakui bahwa film ini memang layak masuk nominasi. Film biografi ini adalah drama yang menghibur, dan ya, penampilan akting Will Smith membuat karakter menjadi menarik dan asik untuk disimak, walau sedikit problematis.

Kira-kira seperti itulah yang juga kurasakan kepada Richard Williams. Aku gak suka karakter ini. Pria ini keras kepala, dia menuntut semua orang harus melakukan hal yang sesuai pertimbangan dan rencananya, tanpa mau menjelaskan atau berbagi pandangan soal rencana tersebut. Richard sudah punya rencana terhadap dua (dari lima) putrinya semenjak mereka masih kecil. Venus dan Serena ingin dia jadikan atlet tenis perempuan nomor satu di dunia. Menyadari tenis itu olahraga kulit putih, Richard tahu jalan bakal berliku bagi kedua putrinya. Tapi Richard ini sudah punya visi ke depan. Dia pun melatih, mendidik, hingga mengorbitkan putri-putrinya dengan caranya sendiri. Cara yang kadang tampak ekstrim. Hingga tak jarang Richard bentrok dengan pelatih yang sudah bersedia ngajarin mereka bermain secara profesional (tau-tau Richard bilang anak-anaknya gak bakal ikut turnamen kejuaraan!) dan bahkan bentrok dengan istrinya sendiri. 

Udah kayak orang India yang anaknya baru lahir udah ditetapkan harus jadi dokter

 

So yea, from certain point of view, Richard memang problematis. Film ini mengambil sudut pandang seorang patriarki, yang diperlihatkan bahwa berkat jasa-jasanya (termasuk kerasnya didikan dan keras kepala serta pilihan-pilihan anehnya) dunia dipertemukan sama dua atlet tenis perempuan paling hebat yang pernah ada. Like, kenapa bukan Venus atau Serena Williams aja yang diangkat. Kenapa bukan cerita perjuangan kedua atlet yang sudah dididik keras ini saja yang dijadikan sudut pandang utama. Karakter Richard Williams ini jika dimainkan oleh orang yang salah, jika ceritanya dikisahkan dengan cara yang salah, pastilah karakter dan film ini bakal dihujat. Namun dari menonton awalnya saja kita bisa tahu bahwa cerita ini berada dalam tangan-tangan yang tepat. Memang, belum lagi sebuah penceritaan yang sempurna. Tapi setidaknya King Richard mengangkat dengan respek, dan berhasil mencuri perhatian kita selama durasi dua jam setengah yang film ini minta.

Karakter yang gak aku suka, dimainkan oleh aktor yang gak aku suka, tapi nyatanya aku mulai merasakan sedikit simpati kepada perjuangan karakternya seiring cerita berjalan. Aku jadi ngerasa relate juga sama sikap Richard yang suka melakukan hal sesuai rencana. Kita pun mengerti pleadnya, mengerti kenapa dia sekeras dan sengotot itu mengarahkan hidup kedua putrinya yang masih kecil. King Richard memang bukan cerita kemenangan olahraga. Ini lebih kepada sebuah cerita tentang ‘kemenangan’ parenting dari orangtua, itupun jika parenting memang ada unsur kalah-menangnya. Richard, at least, berpikir begitu. Dia kalah jika anak-anaknya tidak mendapat hidup yang lebih baik. Karakter ini selain sebagai orang tua, diberikan layer personal. Richard sendiri adalah seorang, katakanlah, loser. “Ayah dihajar orang lagi!” seru anaknya kepada ibu, mengindikasikan ini bukan kali pertama ayah mereka babak belur. Naskah mengaitkan personal tersebut dengan akar, atau dari mana mereka berasal. Daerah tempat tinggal yang ‘keras’ dan penuh prasangka. Jadi film ini juga bicara tentang kesenjangan hidup terkait warna kulit atau ras.

Lapangan tenis yang bagus adalah yang keras supaya bola-bola hijau itu punya pantulan yang mantap. Begitulah analogi yang cocok untuk set up, latar, yang membentuk karakter-karakter yang menghidupi naskah film ini. Cerita berjalan terbaik ketika mengeksplorasi pribadi Richard. Ketika kita melihatnya sebagai orangtua yang mau melindungi anaknya. Sikapnya yang menarik putri-putrinya dari turnamen dan mau fokus ke pendidikan jadi bisa kita mengerti. Ketika jadi orangtua ini, Richard kelihatan punya flaw. Dia seringkali tampak susah melepaskan egonya, semacam dia mau jadi orangtua yang baik itu bukan seutuhnya demi anaknya, tapi demi dirinya sendiri. Yang bahkan dalam hal olahraga pun dia sebenarnya loser. Will Smith melakukan kerja maksimal dalam menghidupkan karakter ini. Menggunakan kepiawaiannya bermain di antara garis drama dan komedi, Smith membuat Richard tidak sampai menjadi annoying. Dia tetap tampak simpatik. Dan yang terutama, ya menghibur.

Manusia yang berencana, Tuhan yang menentukan. Pepatah itu tentu saja bukan nyuruh kita pasrah. Melainkan harus terus berusaha dengan hati ikhlas. Ikhlas bukan berarti pasrah. Karena ikhlas berarti tetap mengupayakan yang terbaik, meskipun pada akhirnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Richard Williams pantas dijadikan panutan untuk hal ini. Dia memegang teguh apa yang ia percaya. Dia berjuang sekeras ia bisa. Dia memimpin keluarganya dengan mantap, tidak menunjukkan keraguan walau apapun kata orang.

 

Baru ketika membahas urusan olahraga tenis itulah, Richard terlihat menjengkelkan. Pilihan-pilihan konyolnya, atas nama stick to the plan, itu membuatnya jadi tampak selalu benar. Film tidak benar-benar membuat kita masuk kepada karakter ini soal rencana tersebut. Malah ada yang dia tampak ambigu, entah itu membual atau tidak. Seperti misalnya ketika seorang pelatih yang melihat video latihan Venus dan Serena hanya mau melatih Venus seorang. Richard tampak keberatan mendengar ini, tapi dia tidak bisa berbuat banyak. Kemudian Serena yang merasa left out, berlatih sendiri. Dan di bagian akhir film kita melihat ada adegan dialog antara Richard yang menenangkan Serena dengan menyebut dia memang merencanakan Serena untuk kehebatan yang lebih besar. Dan kita semua tahu seperti apa besarnya nama Serena Williams sekarang. Berkenaan dengan karir olahraga tersebut, Richard benar-benar seperti yang paling tahu. Semua orang seharusnya tidak meragukan dirinya. Dan ini jadi terlalu berlebihan. Membuat karakternya enggak lagi punya sisi dramatis yang membuat kita peduli seperti di bahasan keluarga tadi. I mean, bahkan ayah dalam Captain Fantastic (2016) saja tidak selalu dibuat ngambil keputusan yang benar perihal pendidikan anak-anaknya. Karakter ayah dalam film fiksi tersebut jadi terasa lebih real dibandingkan ayah di drama biografi ini.

Richard malah kayak lebih pinter daripada pelatih tenis beneran

 

Arahan film semakin gak konsisten. Antara drama orangtua atau ke kompetisi olahraga. King Richard ditutup seperti cerita olahraga; dengan satu big match. Mendadak cerita jadi tentang Venus melawan pesaing yang seperti pakai taktik curang. Venus yang udah bertahun-tahun absen dari pertandingan karena disuruh latihan dulu terus dan menikmati masa muda oleh ayahnya, harus membuktikan kemampuannya. Oleh karena sebagian besar waktu dihabiskan film untuk membuat keputusan ayah terhadap pelatihan anaknya itu benar, maka drama olahraga ini jadi gak kena. Kita gak merasakan intensitas dari Venus. Ataupun juga dari match itu sendiri (karena sutradara Reinaldo Marcus Green memang tidak benar-benar mempersiapkan diri dengan adegan olahraga tenis). Kamera lebih sering pindah ke reaksi Richard dan keluarga Venus yang menonton. Bahkan di saat dia seperti udah pasti mau menjadikan film ini berakhir dengan olahraga, Green tahu dia tidak bisa lepas dari karakter utamanya. Maka hasilnya tidak maksimal. Terasa datar. Bahkan dalam kekalahan, Richard tidak merasa kalah. Bola drama ada pada anaknya, tapi anaknya tidak pernah benar-benar digali sedari awal.

Momen-momen Richard dengan anaknya itulah yang kurang. Venus dan Serena Williams jadi totally pendukung, walaupun kondisi yang sebenarnya di dinamika mereka kan ayahnya yang mendukung anak. Film ini cukup lihai. Mereka memberikan momen kepada Venus untuk memutuskan sendiri hidupnya, sehingga tidak lagi kayak diatur terus. Tapi tetap saja pilihan tersebut sejalan dengan Richard. Tetep ayahnya ini benar. Karakter Richard Williams jadi benar-benar kayak ‘dilindungi’. Cerita ini bakal lebih hidup jika lebih banyak momen seperti istri Richard mengonfrontasinya, membuat Richard bergulat dengan dirinya sendiri di dalam hati. Interaksi emosional anaknya yang mulai punya hidup sendiri dengan Richard dan ‘rencana-rencananya’ perlu ditampilkan lebih banyak. Dan konfrontasi itu enggak mesti harus fisik. Ini satu lagi kekurangan dalam penceritaan. Film ini perlu lebih banyak menggambarkan hal-hal emosional yang tak-terucap, ketimbangkan mewujudkannya atau mengucapkan dengan langsung. Literally, film lebih memilih untuk membuat Richard kentut sebagai tanda enggak setuju sama tawaran investor.

 

 

Kalo dibalikin lagi ke perumpaan tenis, film ini ya benar-benar kayak high profile match. Punya hype dan orang excited dan no matter what bakal terhibur. Padahal sebenarnya penguasaan bolanya masih kurang. Film ini masih kurang yakin mau menceritakan ayahnya saja, atau juga mengangkat dua pemain tenis dunia. And it is really weird pada cerita keberhasilan dua atlet cewek yang merepresentasikan ras mereka, mereka tidak diberi banyak sorotan. Melainkan membuat parenting yang ortodoks dan patriarki sudut pandang utama, yang menjadi sumber keberhasilan, dan punya keputusan-keputusan yang ternyata selalu benar. Film ini menghibur, tapi aku bisa paham juga kalo nanti ada yang bilang film ini cuma jadi serve untuk membuat Will Smith bisa jadi smash hit di Oscar.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for KING RICHARD

 

 

 

That’s all we have for now

Menurut kalian seberapa besar jasa Richard untuk karir anak-anaknya? Bagaimana membedakan antara mendukung dengan mengatur di dalam parenting?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA