My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books

Twist ending dan fake jumpscares, dua faktor utama yang terus dieksplorasi dalam banyak film horor masa kini, dapat kita telusuri jejaknya hingga ke seri buku horor anak-anak karya R.L. Stine; Goosebumps. Mungkin terbacanya sedikit aneh, bagaimana mungkin sebuah buku bisa berisi jumpscare, apalagi jadi  pengalaman seru dan menegangkan untuk dibaca? Di situlah ‘hebatnya’ penulisan cerita-cerita Goosebumps. Aku actually sudah membicarakan soal itu di review film Goosebumps (2016).

 

Bicara tentang bukunya, jika dibaca ketika kita udah gede, memang ceritanya yang tentang monster dan makhluk aneh bakal terdengar konyol. Tapi Goosebumps – yang ternyata pertama kali terbit tahun 1992, meski masuk ke Indonesia apalagi kampungku lumayan telat – dengan tepat menangkap hal-hal sederhana yang tampak horor di mata anak-anak. Permasalahan sehari-hari tentang ketakutan anak kecil sama guru, sama tetangga baru, sama tetangga yang halaman rumahnya diberantakin sama anjing peliharan miliknya, sama tukang bully, sama idola yang ternyata tidak sebaik yang diduga, dan terutama sama orangtua yang gak percayaan sama omongan kita.

Goosebumps adalah salah satu dari tiga seri buku (dua lainnya adalah Animorphs dan Lupus) yang berperan penting dalam tumbuhnya minatku terhadap menulis dan bercerita. Aku masih ingat gimana dulu waktu masih kelas enam SD, aku dan temenku setiap minggu ke taman bacaan. Kami menyewa masing-masing tiga buku Goosebumps, dan dalam waktu seminggu kami lalap enam buku tersebut. Enam-puluh-dua judul buku seri original Goosebumps itu aku baca di mana saja, meski sembunyi-sembunyi karena my dad said he will kill me jika dia melihatku baca buku yang bukan terbitan Tiga Serangkai (alias buku sekolahan). Dan sejujurnya, aku merasa ayahku tidak bercanda saat beliau mengatakan hal tersebut. Jadi, horor bagi anak-anak seusiaku saat itu adalah hal yang begitu dekat dan menarik – as in, apa aja bisa jadi horor buat kita saat masih kecil. Aku bawa buku Goosebumps ke sekolah, membacanya saat jam istirahat. Ke tempat ngaji, membacanya di bawah meja sebelum tiba giliranku membaca Al-Quran. Ke atas pohon cherry, di mana aku bisa bersembunyi dari tugas rumahan. Dan setelah baca semuanya, aku dan temenku itu, kami mengarang sendiri cerita komedi detektif berdasarkan judul-judul buku Goosebumps tersebut.

Beruntungnya, di era internet sekarang, kita bisa dengan lebih mudah dapatin bacaan klasik ini. Aku pun sekarang membacanya enggak mesti backstreet lagi. Upon re-reading, aku menemukan dan mengerti banyak hal soal kenapa buku-buku ini, cerita-cerita seramnya, bisa begitu melekat di hati anak-anak. Segala trope-trope horor, fantasi, monster-monster yang bisa kita temui di film-film, dapat kita dapatkan juga di sini. Imajinasi R.L. Stine luar biasa liar, sehingga seolah cerita-cerita karangannya – gimana dia menceritakan mereka – terasa seperti lebih maju pada jamannya. You know, dari gimana R.L. Stine terus memerah trope usang, menjadikannya cerita-cerita baru pun sepertinya banyak memberikan insipirasi. Buku-buku Goosebumps masih terus dibuat, malah banyak seri terbarunya yang belum pernah kubaca.

Demi menyambut rilisnya film Goosebumps yang kedua, menurutku tepat waktunya untuk membuat daftar delapan-besar buku Goosebumps original favoritku. Mereka terpilih berdasarkan seberapa besar ceritanya memberikan pengaruh, bukan hanya kepadaku. Dari seberapa banyak dia bisa relate kepada pembaca anak-anak. Dan tentu saja dari seberapa suksesnya membuat kita seru-seruan ber-goosebumps-ria!

 

 

HONORABLE MENTIONS

  • #10 Tetangga Hantu (arguably buku yang paling populer, dengan twist ala M Night Shyamalan untuk menutup cerita dengan hangat)
  • #08 Gadis Pencinta Monster (actually buku Goosebumps pertama dengan twist ending)
  • #11 Topeng Hantu (cerita bertema halloween tentang anak yang dikendalikan oleh topengnya, terdengar seperti Venom, bukan?)
  • #54 Kamar Hantu (ala Home Alone, tentang anak yang menginginkan keluarganya tidak ada)
  • #20 Teror Orang-Orangan Sawah (ketakutan anak kecil terhadap kakek dan neneknya, dan orang-orangan sawah)
  • #16 Suatu Hari di HorrorLand (gimana kalo taman rekreasi malah mencoba untuk membunuhmu, alih-alih hanya morotin duitmu)
  • #04 Bergaya Sebelum Mati (kamera yang bisa memotret kejadian buruk yang bakal menimpa objek yang dijepret, ini semacam cerita melawan takdir kayak Final Destination)
  • #61 Teror di Ruang Bawah Tanah (deskripsi paling disturbing jadi sajian buku ini)
  • #32 Boneka Hidup Beraksi II (kemunculan Slappy si Boneka Ventriloquist, antagonis paling populer seantero semesta Goosebumps)

 

 

 

8. MISTERI HANTU TANPA KEPALA (#37)

Ini adalah buku Goosebumps pertama yang aku baca. Dan efeknya masih terasa sampe sekarang. Cerita ini punya semua yang bisa anak kecil minta dari kisah horor. Rumah angker, eksplorasi, dan tentu saja; hantu.

Tentang Duane dan Stephanie ikutan tur rumah hantu. Aku sendiripun selalu tertarik ama wahana rumah hantu, tapi sayangnya di Indonesia aku belum nemu rumah hantu yang sistemnya kayak tur masuk museum seperti pada cerita ini. Kedua tokoh kita luar biasa tertarik mendengar kisah seram tentang rumah tersebut yang ternyata dihuni oleh hantu anak tanpa kepala. Saking tertariknya, mereka berdua memisahkan diri dari rombongan tur dan mengeksplorasi rumah tersebut sendirian. Umm, berdua. You get the point. Tentu saja , mereka menemukan hantu tersebut. Dan setelah minor twist, Duane dan Stephanie kudu berkeliling mencarikan kepala hantu yang hilang untuk bisa keluar dari sana.

Covernya aja udah bikin aku sulit memejamkan mata. Ditatap dingin begitu oleh kepala hantu berambut belah tengah. Actually, pertama kali tahu ada buku hantu namanya Goosebumps, memang aku milih-milih dari covernya mana yang kelihatan paling seram. Dan aku milih buku ini.

 

 

 

 

7. KENAPA AKU TAKUT LEBAH (#17)

Covernya lumayan disturbing. Aku selalu ngeri sendiri melihat makhluk-makhluk yang kepalanya besar, tidak proporsional dengan tubuhnya. Aku bahkan takut lihat figure bobble head, serius.

Tapi sejujurnya, sewaktu kecil, ini adalah salah satu buku yang kuskip dan baca belakangan, karena gak bener-bener ada hantunya. Dan dulu aku pikir cerita kayak gitu enggak seram. Sinopsis di bagian belakang bukunya juga ‘apa banget’. Gary Lutz yang takut lebah, dia sering dibully karenanya. Lelah dengan semua itu, Gary ikutan program bertukar tubuh di kotanya. Alih-alih menjadi anak lain, Gary malah masuk ke tubuh lebah. Fiksi ilmiah yang sangat aneh, kedengarannya ya.

Membaca cerita ini saat dewasa, aku bisa melihat apa yang sebenarnya ingin dibicarakan oleh R.L. Stine di buku ini. Adalah tentang mengatasi ketakutan dengan mencoba memahami ketakutan itu sendiri. Dengan menjadi hal yang kita takutkan. Cerita yang actually berlapis, tapi tetep konyol sih, lantaran konsep yang gak masuk akal dan lapisan terluar cerita ini beneran pelajaran tentang lebah. Anak-anak ya ogah disuruh belajar hihi.

 

 

 

 

 

6. TOPENG HANTU II (#36)

Meskipun waktu kecil dulu selalu mupeng lantaran enggak ada tradisi Halloween di lingkungan rumah, aku tahu betapa pentingnya mengenakan topeng paling seram yang bisa kita dapatkan. Apalagi buat anak seperti Steve. Yang keren dari cerita buku ini adalah, ceritanya terasa luas, kontinu, dan sangat fresh dengan role reversal. Steve sebenarnya adalah salah satu anak yang ngebully tokoh utama di Topeng Hantu pertama. Karena kejadian di buku pertama, kini mereka temenan. Tapi sebenarnya karena Steve pengen tampak paling keren dengan topeng ‘seotentik’ milik Carly Beth.

Di luar lapisan cerita tentang kehidupan sosial anak SD tersebut, buku ini menyimpan horor yang cukup dalem (untuk ukuran cerita buat anak kecil). Yaitu mengenai kengerian anak kecil menjadi orang tua. Topeng Steve membuatnya menjadi monster tua, dan cerita benar-benar mendeskripsikan ngerinya pengalaman Steve harus bertindak seperti yang diinginkan oleh topengnya

 

 

 

 

5. JAM ANTIK PEMBAWA BENCANA (#28)

Bukan tentang burung setan yang tinggal di dalam jam kukuk, sebenarnya ini adalah cerita tentang perjalanan waktu. Bayangkan episode Twilight Zone, hanya saja berbentuk buku.

Aku menemukan dua horor dalam cerita ini. Pertama tentang betapa ngerinya punya adek cewek yang begitu nyebelin, dia mengacau semua hal, dan malah kita yang dipersalahkan. Dan harus membereskan semuanya. Michael ‘dendam’ ama adeknya. Jadi, ketika mereka membeli sebuah jam kukuk antik, Michael berencana untuk merusakkan jam tersebut supaya dia bisa memfitnah sang adek. Tapi ada sesuatu yang ganjil ketika Michael mundurin jarum jam; dirinya juga ikut mundur ke masa lalu! Yang membawaku ke horor yang kedua; Betapa membetulkan kesalahan di masa lalu itu sungguh sulit untuk dilakukan, bahkan jika kau punya kemampuan untuk balik ke masa lalu. Konsekuensi akan selalu ada, dan buku ini benar-benar bikin kita ngeri bahwa seringnya hal-hal tertentu tidak bisa diubah.

 

 

 

 

 

4. HOROR DI CAMP JELLYJAM (#33)

Buku dengan ending paling “What the…!?” seantero seri original. Goosebumps memang terkenal dengan caranya mengakhiri cerita; antara ngegantung atau dengan twist super aneh. Dan buku ini, seberapapun sintingnya kau menerka, tetep akan meraih gelar juara ending paling aneh sedunia akhirat.

Di luar endingnya, sebenarnya buku ini punya gagasan cerita yang menarik. Kalian tahu gimana bagi anak kecil setiap aspek hidup bisa jadi lomba? Kita dulu girang bisa makan paling cepat. Bisa naik sepeda satu tangan. Ambisi kekanakan untuk terus menang itulah yang digali dalam cerita ini.

Camp Jellyjam adalah perkemahan musim panas bertema olahraga. Tiada hari tanpa kompetisi buat para peserta, karena setiap malam para pemenang kompetisi akan dikasih penghormatan dan hadiah. Anehnya, para pemenang tidak pernah kelihatan lagi esok hari. Jelas sekali ada misteri di balik semua ini, seperti surga yang ternyata adalah mulut manusia bagi tokoh-tokoh dalam animasi sarkas Sausage Party. Cerita buku ini punya selera humor, dan tetap berhasil menguarkan teror kengerian karena kita akan merasakan was-was itu sedari beberapa halaman pertama.

 

 

 

 

3. ARWAH PENASARAN (#56)

Cerita Goosebumps akan banyak yang mengambil setting di perkemahan karena memang ‘budaya’ orang sana untuk mengirim anak ke luar dari rumah, untuk beraktivitas di perkemahan sepanjang liburan musim panas. Dan dikirim oleh orangtua ke pondok banyak nyamuk, banyak binatang liar, bergaul dengan orang asing, tak pelak merupakan pengalaman yang mengerikan buat banyak anak-anak. Salah satunya Sarah dalam cerita ini. Dia membenci semua kegiatan di alam bebas, dia susah bergaul, dan orangtuanya malah tega mengirimnya ke perkemahan olahraga air.

Tak seperti Camp Jellyjam, cerita buku ini lebih girly dalam sense Regina George di film Mean Girls sekiranya pernah membaca buku ini waktu masih kecil. Ceritanya memang seputar mean girls yang harus dihadapi Sarah. Keputusan Sarah mengenai cara menghadapi mereka yang bikin buku ini terasa begitu gelap.

Sarah pura-pura mati dengan tenggelam di danau.

Bayangkan ini gimana kalo ditiru sama anak cewek yang baca? Tapi buku ini hadir di masa yang tidak terlalu sensitif, sehingga narasinya yang menyerempet ambang antara nelangsa dengan bego itu dijadikan aspek horor yang benar-benar mengerikan. Sarah yang pura-pura tenggelam mendapat teman, yang sudah mati beneran!

 

 

 

 

 

 

2. MESIN TIK HANTU (#55)

Saat masih kecil, ini adalah buku yang actually menggebahku untuk menulis cerita horor. Saat udah gede, aku semakin respek sama buku ini, karena sekarang aku bisa merasa semakin relate dengan tokohnya. Buatku, ini adalah cerita paling cool dalam di antara Goosebumps yang pernah aku baca.

Tokoh dalam cerita ini, Zackie, suka mengarang cerita seram. Bagai orang mengantuk disodorkan bantal, Zackie dikasih mesin tik dari seorang penjual barang antik yang tokonya kesambar petir. Tunggu. Anak-anak jaman sekarang pada tahu mesin tik ga nih? Itu loh, yang selalu dibawa-bawa pacarnya Starla. Anyway, kejadian menjadi menarik (horor tapi menarik) ketika semua cerita seram yang diketik Zackie pada mesin tik tersebut, menjadi kenyataan!

Menurutku, apa yang ingin disampaikan oleh R.L. Stine di sini adalah gimana tanggungjawab kita atas sesuatu masalah yang kita ciptakan sendiri. Ini adalah pesan yang penting bagi anak kecil, karena ya kita ngaku-ngaku aja, saat kecil kita cenderung egois – maunya benar melulu. Dari segi penulisan, kita juga bisa melihat Stine benar-benar enjoy menulis ini, dia tidak memberikan solusi mudah bagi tokohnya. Hampir terasa personal bagi dirinya, karena ini adalah penulisan tentang penulisan.

Dan ya, bagi yang penasaran; Mesin tik ini actually jadi senjata utama untuk mengalahkan para monster di film Goosebumps

 

 

 

 

 

Setiap buku Goosebumps memberikan pengalaman horor yang berbeda-beda. Kita tidak perlu baca semuanya, karena terkadang karakternya lumayan repetitif. Tapi meski begitu, kualitas cerita setiap buku sangat konstan. Bahkan buku yang berupa ‘sekuel’ pun bisa berdiri sendiri. Tapi kita akan merasa pengen untuk membaca semuanya. Karena kita penasaran ide apa lagi yang akan diangkat. R.L. Stine begitu berhasil membuat kita kepancing dan betah, sejak dari buku pertamanya.

Dan ya, inilah buku Goosebumps peringkat pertama kami:

1. SELAMAT DATANG DI RUMAH MATI (#01)

Diawali dengan sangat klasik; keluarga Benson sampai di kota baru mereka. Mereka mengalami kejadian ganjil, tentu saja di rumah baru mereka. Apakah rumah mereka berhantu? Well, hantunya boleh jadi adalah produk dari imajinasi keluarga Benson. Tapi nyatanya memang ada sesuatu yang jahat, di kota tersebut.

Apa yang tadinya kita kira adalah cerita rumah hantu, dengan perlahan tabir itu dibuka lapisan demi lapisan. Progres narasi buku ini terasa sangat natural. Kita akan belajar bersama tokoh cerita, menyusun kesimpulan gimana seluruh kota sudah mati, dan para penghuni yang tak lagi hidup itu menyiapkan perangkap bagi keluarga Benson; Mereka adalah korban berikutnya yang akan dihisap darahnya dan dijadikan zombie.

Jauh sebelum The Walking Dead, Goosebumps sudah bereksperimen dengan zombie-zombie dan buku ini sukses berat menghadirkan kengerian. Bahkan imaji-imaji mengerikan. Ada satu adegan di buku yang menceritakan para tokoh melelehkan wajah para zombie, atau hantu, atau apapun lah mereka. Buku ini sangat detil mendeskripsikan horornya. Jumpscarenya akan membuat kita turut melonjak, hanya dengan membayangkan saja.

Akan susah untuk enggak jatuh cinta dengan Goosebumps setelah kalian membaca buku ini.

 

 

 

 

 

Goosebumps penuh dengan monster, twist, dan cerita aneh. Itulah yang menyebabkannya begitu menyenangkan untuk dibaca. Seram, tapi semuanya dicraft dengan begitu baik sesuai dengan gaya yang menurut sang penulis dapat diterima oleh pembaca sasaran. Menurutku, setiap anak kecil perlu membaca, paling tidak, satu cerita seram semasa kanak-kanak mereka. Karena seperti kata R.L. Stine, monster atau hantu itu diciptakan supaya kita bisa siap menghadapi dunia nyata, letak horor sesungguhnya. Bukan hanya itu, R.L. Stine juga sudah berhasil membuat satu anak kecil jadi tertarik untuk menulis, untuk bercerita, menumbuhkan ketertarikan dengan monster-monster. Anak kecil itu, ya aku.

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa buku Goosebumps favorit kalian? Kenapa ya, kira-kira, Goosebumps yang dicetak ulang baru-baru ini kurang mendapat sambutan dari anak-anak? Apakah masa  buku dan media cetak memang sudah lewat? Apakah kenyataan tersebut tidak menyeramkan buat kalian? 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

Review buku ini terpilih untuk dimasukkan dalam kampanye “Blog Review Buku Terbaik,” dari penerbit bahan ajar pendidikan Twinkl.

ASIH Review

“None of us wants to be reminded that dementia is random, relentless, and frighteningly common.”

 

 

 

Kuntilanak itu bernama Asih. Tapi pada saat masih hidup, dia bernama Kasih. Kenapa perubahan namanya itu penting banget untuk dikasih tahu dalam cerita, aku juga tidak tahu. Malahan, tadinya aku mengira spin-off dari semesta Danur (adapatasi dari cerita Risa Saraswati) ini akan membahas banyak mengenai origin si Asih, kayak, kita akan melihat kehidupan dia semasa masih manusia, lebih jauh mengungkap siapa dirinya sebelum peristiwa naas yang ‘mengubah’ dirinya menjadi hantu. Tapi ternyata informasi lebih dalam tentang Asih paling penting menurut film ini adalah bahwa nama aslinya bukan Asih. Jadi, kita tidak melihat Asih semasa hidup lebih banyak dari apa yang sudah kita lihat di film pertama Danur: I Can See Ghosts (2017).

Kisah tragis Asih menjelang kematian dan tie-in-nya dengan Danur pertama diputer kembali di menit-menit awal, membuat penonton yang baru pertama kali menonton semesta kisah ini mengerti apa yang harus dihadapi. Buat penonton yang ketiduran di menit awal tersebut, film akan mengulang flashback penjelasan siapa Asih di sekuen pengungkapan. Tujuh-puluh-delapan menit durasi cerita akan terasa semakin singkat lagi berkat ‘usaha’ mereka menjalin satu cerita yang utuh. Jadi, ini adalah cerita tentang Asih saat dia masih jadi ABH. Pada tahu ABH gak? Sama kayak ABG, namun ‘Gede’nya diganti dengan ‘Hantu’. Baru seminggu dia menjadi hantu, Asih menyerang keluarga pasangan Citra Kirana dan Darius Sinathrya yang lagi bersiap menyambut kelahiran bayi Amelia. Tak bisa kita sangkal memang, Shareefa Daanish sungguh menyeramkan dengan dandanan setan. Enggak butuh efek sound yang menggelegar sebenarnya, jika kita sudah punya penampakan Danish yang lagi in-character sebagai hatu. Tapi di samping fakta bahwa dia adalah hantu, dan hantu kudu mengganggu orang yang masih hidup, kita tidak pernah benar-benar diajak menyelami konflik personal para tokohnya; akar yang menjadi penyebab kejadian-kejadian dalam film ini terjadi.

Asih mungkin kurang asi, atau salah asuhan.

 

Mitos, pamali, superstition, apapun namanya, tahun 1980 adalah masa keemasan bagi kepercayaan gaib semacam itu. Tidak banyak yang mempertanyakan, apalagi menentang. Suasana ini dijadikan panggung cerita oleh film. Ari-ari bayi yang harus dikubur dengan cara tertentu di pekarangan rumah, bunyi ciap-ciap anak ayam di malam hari, elemen-elemen mistis ini dimasukkan ke dalam cerita demi membangun suspens. It is interesting. Dan cukup berhasil menguarkan keseraman. Film juga membuat ‘aturan’ sendiri, seperti diceritakan jika kita mendengar bunyi pukulan ronda yang jumlah ketukannya lebih satu dari pukul berapa malam itu, maka itu berarti bukan karena si Penjaga Malam sudah pikun. Melainkan itu sebagai tanda ada makhluk halus tak-diundang yang berada di sekitar daerah tersebut. Eventually, ketika bunyi pukulan tiang itu beneran terdengar oleh tokoh film, kita bakal ikutan menghitung ketokannya sambil menahan napas.

Tingkatan tertinggi yang bisa dicapai oleh film ini adalah mereka sebenarnya bisa membuat Asih sebagai cerita tentang ketakutan orang tua terhadap kepikunan (senile). Kita melihat tokoh nenek yang sudah mulai pikun merasa kesulitan menangani kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya. Nenek ini bingung, satu kali dia mandi lupa mengambil handuk. Kali berikutnya dia merasa sudah memindahkan bayi ke teras, tapi ternyata bayi beserta kereta dorong (yang dalam nada polos yang kocak ia sebutkan lebih tua daripada usianya) tersebut masih mandi matahari yang panas di halaman rumah. Terduga pikun atau bukan ini actually menciptakan friksi dengan anggota keluarga lain, khususnya tokoh Citra Kirana. Dan menurutku bisa dikembangkan menjadi bagaimana jika orang yang muda juga mulai merasa dirinya pikun alias dementia. Film ini punya potensi menjadi sangat cerdas memparalelkan hantu dengan dementia, dia bisa memiliki sudut pandang yang unik dengan menggali aspek tersebut. Tapi film tidak mengacuhkan aspek cerita ini, karena film hanya mengincar nilai hiburan.

Menurunnya kemampuan mengingat atau istilah seramnya kehilangan ingatan secara perlahan adalah salah satu hal paling menakutkan yang bisa menimpa manusia. Lebih mengerikan daripada menjadi hantu. Buktinya, kita percaya, hantu ada karena mereka masih penasaran sebab terpisah oleh sesuatu yang ia sayangi. Yang berarti bahkan sebagai hantu sekalipun, kenangan atau ingatan itu masih ada; kita mau percaya bahwa ingatan adalah satu-satunya yang dipunya oleh hantu. Kengerian dementia lebih besar daripada itu karena kita bisa lupa pada apa yang kita cinta, bahkan saat kita masih hidup.

 

 

Selain tokoh si nenek yang barely punya karakter. Karakternya adalah kepikunannya, tokoh-tokoh yang lain tampil total polos. Tokoh Citra Kirana hanya seorang ibu yang mengkhawatirkan keselamatan putri yang baru lahir. Tokoh Darius Sinathrya adalah suami yang tidak percaya kepada kekhawatiran istrinya. Si bayi pada ujungnya akan diculik, seperti pada cerita-cerita horor Awi Suryadi sebelumnya. Dan tentu saja, ada paranormal misterius, dan nanti akan ada tokoh utama yang kesurupan. Pretty basic, dengan struktur cerita yang ala kadar, plot yang kosong. Tapi nilai hiburan film ini memang meningkat. Dalam artian, film mulai mengembrace kekonyolan yang ada, mereka kini tampak mengincar status “so bad, it’s good”. Eksposisi dilakukan dengan komedi. Adegan satpam dengan penjual nasi goreng itu tak ada kepentingan dan kelanjutan selain untuk membuat kita tertawa sembari mereka menjelaskan info seputar mitos menyeramkan. Adegan para tokoh berpegangan di meja makan adalah adegan paling kocak seantero semesta Danur. Menginteferensi tone, memang, tapi film sesungguhnya sudah membangun selera humornya yang aneh ini sedari awal-awal cerita. Selain lelucon, kita juga akan diajak bermain-main dengan jumpscare yang kali ini timingnya lebih diatur dan volumenya lebih dinaikkan lagi.

aku harap bayinya gak masuk angin malem-malem dimandiin di luar.

 

Dan segitulah batas kengerian film ini. Loud dan ngagetin. Sebagian besar adegan seram berawal dari seseorang yang merasa melihat orang lain lagi lewat di lorong rumah. Atau mereka merasa ada yang ganjil gitu aja ketika lagi nyuci atau lagi sembahyang. Dan mereka lanjut teriak-teriak mencari penghuni rumah yang lain. Kejadian begini sungguh amat lemah, usaha yang minimal sekali dalam memancing kengerian dalam film horor. I mean, masih mending jika setting cerita adalah di hutan dan para tokoh tersesat sehingga mereka teriak mencari rekannya. Perlu diingat, Asih mengambil tempat di dalam lingkungan sebuah rumah, yang bahkan tidak terlalu besar. Terus-terusan melihat orang dewasa penghuni berteriak-teriak mencari orang yang bahkan enggak hilang di lingkungan ‘sempit’ tersebut seolah mereka bocah kecil yang nyasar di mall memanggil emaknya, sungguhlah sebuah pengalaman yang jauh dari menyeramkan.

Coba tebak apa yang terjadi begitu si tokoh menemukan orang yang ia cari?

Yup, dialog menjemukan “Ibu tadi lewat sana?” “Enggak kok.” Dan kita supposedly merasa merinding menyaksikan percakapan mereka yang begitu-begitu melulu seperti demikian. Jeng-jeng! 

 




Adegan ngagetin yang dimaksudkan sebagai adegan seram -> eksposisi yang disamarkan dengan komedi -> development karakter berupa tokoh yang tadinya tak percaya menjadi percaya. Begitulah siklus penceritaan film ini. Buat yang belum pikun, film ini terasa enggak benar-benar unggul dari dua film Danur sebelumnya; ceritanya masih kosong, nyaris tanpa plot. Menakjubkan dengan durasi begini singkat betapa banyak flashback dan pengulangan adegan disuguhkan, seolah filmnya kesulitan mengisi durasi. Tapi paling tidak, arahannya mulai berani mengembrace aspek konyol, demi misi mereka membuat film untuk hiburan hantu-hantuan.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ASIH.

 




That’s all we have for now.
Jika hantu ada karena ingatannya, maka apakah orang yang terkena dementia atau malah hilang ingatan tidak akan bisa menjadi hantu? 

Bagaimana reaksi kalian jika disuruh melupakan suatu hal yang berharga seperti Asih yang harus melupakan tentang anaknya?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017



FIRST MAN Review

“Failures are great learning tools..”

 

 

 

Sejak jaman Jules Verne, manusia sudah mendambakan terbang ke bulan. Manusia butuh sesuatu yang tinggi sebagai simbol dari cerahnya harapan, sebagai tolak ukur pencapaian. Kita mendongak menatap sesuatu yang ingin kita gapai. Puncak perjalanan manusia kala itu adalah sampai ke bulan. Bahkan menjadi sebuah kompetisi, but it really moves human forward. Dan setelah asap roket dan asap kompetisi itu sirna, Neil Armstrong adalah sosok yang berdiri di sana, yang menjejakkan harapan umat manusia ke tempat setinggi-tingginya. Apa yang ia rasakan di atas situ. Apa makna perjalan tersebut bagi dirinya. First Man adalah cerita tentang diri Neil Armstrong, sebagai seorang manusia.

Ini bukan lagi soal kemajuan teknologi semata. Ini bukan perihal memenangkan perlombaan. Ini bukan catatan kemenangan negara yang superpower. Ini bahkan bukan tentang menjadi pahlawan yang dielu-elukan berhasil menjalankan misi. Ini adalah cerita tentang seorang manusia yang selama hidupnya pertama kali merasakan dirinya terbang oleh determinasinya untuk survive dari duka kehilangan dan kegagalan.

kalo ini film Indonesia, lagunya pasti “Ambilkan bulan, Pa”

 

Sejak George Melies ngajak kakek-nenek buyut kita jalan-jalan ke bulan lewat film pendeknya (A Trip to the Moon – 1902), para pembuat film juga berlomba-lomba menceritakan kisah perjalanan manusia ke luar angkasa. Mengeksplorasi ruang tanpa batas, menjelajah tempat yang tidak diketahui dengan ilmu pengetahuan, akan menjadi porsi utama cerita-cerita tersebut. First Man, berbeda dari lainnya, membawa kita ke atas sana sembari tetap menjejakkan kaki kita sedalam-dalamnya ke tanah paling akrab yang disebut dengan kemanusiaan yang berkekeluargaan.

Fokus cerita adalah Neil Armstrong dan keluarganya yang kehilangan putri pertama karena kondisi kesehatan. Grief yang selalu terpatri di dalam diri Armstrong, yang ia akui akan terus memberikan pengaruh kepada pekerjaannya sebagai seorang astronot NASA. Armstrong mengajukan diri dan terpilih dalam program antariksa terbang mencapai bulan. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan program tersebut, dan bagaimana itu semua mempengaruhi pribadinya, bagaimana dampaknya terhadap keluarga lah yang benar-benar dijadikan inti utama. Film ini tidak mengandalkan efek komputer sebanyak mereka mengandalkan penampilan akting Ryan Gosling dan Claire Foy (tuan dan nyonya Armstrong themselves) yang fenomenal. Gosling benar-benar membawakan ruh Armstrong ke dalam dirinya. Kita kerap mendapati permainan peran yang tersirat dan enggak exactly meledak-ledak dari Gosling, dan sebagai Armstrong pun dia menyuguhkan penampilan yang serupa. Tapi kadang terasa aneh juga, kekaleman Armstrong ini membuat kita terlepas dari cerita karena kita tidak pernah betul-betul tahu banyak ‘siapa dan darimana’ dirinya.

Alih-alih menyuguhkan sajian blockbuster memperlihatkan misi manusia yang berangkat ke bulan, Damien Chazelle mengembangkan cerita dari perspektif yang sangat personal. Bahkan, sang sutradara sendiri pun beranjak keluar dari zona nyamannya; Chazelle biasanya menggarap cerita yang bertemakan musik, namun dalam First Man kita akan melihat gimana Armstrong, yang disebutkan cakap bermain piano, menolak memainkan alat musik tersebut. Saat menonton First Man, kita tidak menjadi excited dengan melihat efek ledakan ataupun keseruan dari misi eksplorasi yang gone wrong. Hati kita jumpalitan melihat adegan Armstrong duduk bersama keluarganya di meja makan, malam sebelum ia menjalankan misi mencoba terbang ke bulan. Seorang ayah yang harus menjelaskan kepada putra-putranya dia harus pergi dan mungkin tidak akan pernah kembali. Seorang ibu yang duduk terdiam di sana, memahami situasi dan menelan rasa khawatirnya bulat-bulat sehingga ia tidak berteriak menuntut suaminya untuk menjalani pekerjaan normal seperti yang ia impikan.

Konflik kemanusiaan dalam ceritanya yang membuat kita bertahan duduk menghabiskan durasi film yang memang cukup panjang. Di lain kesempatan, film memparalelkan apa yang dirasakan oleh Armstrong mengenai pergi dan mengorbankan yang ia miliki demi sesuatu yang nun jauh di sana dengan keadaan sosial politik yang menimpa rakyat Amerika kala itu sehubungan dengan program ruang angkasa yang hendak ia jalani. Pemakaman sudah seperti menjadi jamuan bulanan buat Armstrong dan istrinya. Dia sudah kehilangan begitu banyak teman dan rekan kerja sesama ‘pelaut luar angkasa’ dalam usaha mereka menjalankan program tersebut. Dalam satu momen yang langka; Armstrong meninggikan suaranya, ia berseru bahwa kegagalan adalah keharusan lantaran mereka sudah sepatutnya gagal dan belajar dari kegagalan tersebut mumpung masih di bawah sini, supaya tidak ada kegagalan begitu sudah sampai ke atas sana. Bentrokannya adalah; at what cost? Film memperlihatkan gejolak dari masyarakat yang mempertanyakan keputusan pemerintah mengeluarkan dana besar untuk sesuatu yang berbahaya dan tak pasti, padahal masih ada hal yang lebih dekat lagi yang semestinya diberikan aliran dana.

orang sudah nyampe bulan, eee kita masih bingung bulan depan makan apa

 

 

Film berusaha menangkap semua aspek ceritanya dalam tampilan yang natural. Enggak dibuat-buat. Maka dari itu, aku menyarankan untuk tidak menonton film ini dalam keadaan perut yang kosong. Karena sebagai kontras dari adegan drama dan masalah keluarga yang direkam dengan relatif tenang, adegan-adegan yang berhubungan dengan astronot dan percobaan luar angkasa pun betul-betul dibuat senyata mungkin. Maksudku, kameranya – yang sedari awal sudah dibuat grainy biar sesuai dengan waktu kala itu – juga ditangani dengan sangat praktikal. Chazelle menggunakan teknik kamera handheld untuk sebagian besar adegan; di satu pihak dia berhasil menyatukan efek-efek dengan mulus, membuat setiap adegan tersebut sangat menakutkan dan penuh suspens. Namun di pihak lain, itu berarti kamera akan sering bergoyang hebat. Membuat kita seperti persis berada di dalam roket, mengalami semua guncangan yang dirasakan Armstrong dan teman-temannya. Dan ini bisa menjadi pengalaman yang membuat mual. Menonton ini aku jadi bersyukur aku kepentok dalam cita-citaku menjadi astronot, karena jika nonton film ini aja aku udah merasa mau muntah karena goyang-goyangnya, gimana kalo aku jadi pilot roket ke bulan beneran? Belum ninggalin atmosfer, bisa-bisa aku sudah pingsan duluan dengan bola mata berputar-putar kayak di film-film kartun.

Salah satu yang paling menakjubkan itu adalaha ketika Armstrong beneran nyampe ke bulan. Pengalaman menontonnya benar-benar terasa mengharukan. Suasana yang mendadak hening karena di sana enggak ada angin, padahal kita tahu di Bumi sana orang seluruh dunia mendengarkan siaran langsung misi mereka. Suara kresek-kresek komunikasi satelit mereka dengan menara NASA. Kalimat ikonik yang diucapkan oleh Armstrong. Seolah kita menjadi orang ketiga yang ikut, yang menjejakkan kaki di sana. Melihat dirinya terdiam di atas sana, hanya berdiri untuk beberapa saat.. Merinding! Atau paling tidak, aku merasa seperti orang-orang yang mendengarkan langsung siarannya saat peristiwa tersebut beneran terjadi bertahun lalu. Kita banyak mendengar berita bahwa film ini diprotes oleh warga Amerika lantaran tidak memperlihatkan adegan spesifik penancapan bendera. Setelah melihat film ini, dan menyaksikan sendiri sekuen di bulan tersebut, aku bisa melihat kenapa adegan penancapan bendera itu tidak disorot. Dan itu bukan karena pembuatnya gak nasionalis. Melainkan karena adegan tersebut akan mengganggu kekonsistenan tema film; sebab ini adalah tentang pencapaian manusia seutuhnya, yang diwakili oleh Armstrong di luar kewarganegaraannya.

Jika ada satu hal yang membuatku penasaran dari bagian di bulan tersebut, maka itu adalah hal personal yang dilakukan oleh Armstrong saat dia memandang kawah bulan dari dekat. Kalo disebutin, akan spoiler banget, aku yakin kalian keberatan jika terlalu spoiler. Maka aku hanya bisa bilang, aku cukup mendua perihal adegan tersebut. Adegan yang menyentuh tersebut, akan berkurang kekuatannya jika tidak benar-benar dilakukan oleh Armstrong di dunia nyata; dia hanya bersifat teatrikal belaka. Lain halnya jika hal itu beneran terjadi, dan kita baru pertama kali melihat sisi tersebut dari sosok Armstrong. Saat membuat film ini, diberitakan mereka memang melakukan riset dengan langsung mewawancarai keluarga Armstrong, jadi adegan yang kumaksudkan di sini bisa saja beneran terjadi, akan tetapi tidak ada informasi lebih jauh yang bisa mengonfirmasi hal tersebut.

 

 

 

Usaha yang sungguh-sungguh menjadikan cerita sejarah ini sebagai pandangan yang sangat personal tentang cinta, harapan, dan keluarga. Segala aspek dan teknis diperhatikan dengan seksama, sehingga terciptalah nuansa pengalaman yang otentik dan keaslian. Sedikit mengecewakan adalah koneksi emosi kita dengan Neil Armstrong yang kerap terasa terputus, karena tokohnya dimainkan dengan emosi yang terlampau detached pada tipe cerita yang mengajak kita untuk berpegang erat kepada karakternya. Ini bukan tentang kejadian apa, melainkan siapa yang mengalaminya. Kita ingin berkomunikasi lebih banyak dengan tokoh utamanya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for FIRST MAN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa yang kira-kira kalian lakukan jika kalian tahu tidak akan gagal? Apakah sesuatu hanya berharga jika berhasil dilakukan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

 

UNFRIENDED: DARK WEB Review

“The greatest myth of our times is that technology is communication.”

 

 

 

Kita tahu sekarang udah jaman komputer salah satunya adalah dari ketika kita nonton film aja dialog filmnya “Eh udahan dong internetannya, ada film baru nih, yuk nonton, seru!” Yang kita tonton pun tak jauh-jauh dari layar komputer juga. Chat orang-orang dijadikan tontonan. Jokes aside, film yang ceritanya dibangun seluruhnya berdasarkan perspektif komputer seorang tokoh sebenarnya sungguh impresif. Pintar, menjadikan layar komputer sebagai alat untuk bercerita; membangun dunia dengan lapisan misteri, juga karakter, dari penggalan-penggalan komunikasi menjadi rangkaian aksi. Buktinya Unfriended (2015), Searching (2018), meski masih punya ‘glitch’ dan masalah penceritaan di sana-sini, film-film bergimmick komputer itu tak pelak udah sukses bikin kita tersedot ke dalam ceritanya.

Dan sekarang, Unfriended dibuat sekuelnya, dengan maksud mengeksplorasi dunia siber dengan lebih dalam. Dari segi konsep, Unfriended masih lebih baik dan konsisten karena film tersebut berani untuk mempercayai penonton mampu menangkap semua yang berusaha untuk mereka ceritakan dengan tidak ‘mengkhianati’ gimmick layarnya sendiri. Layar komputer itu tidak akan di-zoom, karena sesuai dengan dunia nyata, ketika kita membuka laptop atau komputer, kita akan membuka banyak hal sekaligus. Kita dengar musik, kita buka video, kita chatting, kita buka google untuk mencari informasi atau gambar-gambar lucu sebagai penunjang bahan obrolan; layar komputer kita naturally akan tumpuk menumpuk. Mata kita sudah terbiasa untuk melihat mana yang perlu dilihat. Unfriended tidak memisahkan kita dari sensasi melihat layar tersebut, begitu juga pada film keduanya ini. Unfriended: Dark Web malah mencoba untuk melangkah ke zona realita itu dengan lebih jauh lagi. Tidak lagi kita akan melihat aspek supernatural alias hal-hal goib di sini. Film mempersembahkan sebuah kengerian yang timbul ketika kita tercemplung ke dalam sesuatu yang tidak kita mengerti. Sesuatu yang ternyata lebih besar dari kelihatannya.

Kalian tahu gimana katanya kita hanya menggunakan sepuluh persen dari kekuatan maksimal otak? well yea internet juga begitu. Selain halaman penuh hoax, caci maki, propaganda ketakutan, challenge-challenge fun tapi pointless, dan jutaaan selfie produk keinsecuran diri tersebut, sebenarnya ada porsi lain dari internet yang tidak bisa kita masuki sembarangan, yang tidak bakal nemu meski tangan kita pegel ngetik Enter di mesin pencari, yang disebut dengan Deep Web. Dan jaringan Deep Web ini luas banget. Salah satunya adalah lapisan atau jaringan Dark Net; tempat segala informasi yang bikin bulu kuduk berdiri. Segala macam kejahatan bisa ditemukan di sini (tentu saja jika kita bisa masuk dulu ke Webnya), semuanya yang bisa kita pikirkan ada di sini. Juga sangat berbahaya, karena ini adalah tempat hang outnya para hacker. Unfriended: Dark Web menceritakan tentang gimana seorang pengguna internet biasa harus berurusan hidup-mati dengan lingkaran hacker dan kriminal di Dark Net.

suddenly, your hidden ‘funny’ files don’t matter anymore

 

Mencoba untuk berkomunikasi lebih baik dengan kekasihnya yang tuna rungu, Matias (Colin Woodell sebelumnya juga ikut bagian dalam film ‘layar komputer’, Searching) mengembangkan sebuah aplikasi chatting yang bisa langsung menuliskan apa yang ia sebut, lengkap dengan kamus bahasa isyarat. Tapi komputernya lemot. Jadi, Matias ini langsung semangat begitu dapat laptop baru yang lebih kenceng. Facetime mereka jadi lebih lancar, aplikasi buatannya juga langsung dites buat pacaran. Tak lupa pula laptop baru ini dipamerkan kepada geng sahabatnya sembari mereka bermain game lewat video-call. Tak lama, Game Night mereka berubah menjadi malam petaka. Pemilik lama laptop Matias muncul di facebook, meminta kembali laptopnya. Keadaan menjadi sulit lantaran Matias keburu tahu rahasia si pemilik lama, dan tanpa sengaja ia mencampuri urusan lingkaran bisnis si Pemilik Laptop yang berhubungan dengan penculikan wanita dan tindak kriminal mengerikan lainnya di Dark Net. Semua orang yang Matias sayangi ikut-ikutan terseret bersamanya.

Dalam lapisan terdalam dari aspek romansa Matias dengan pacarnya yang berbahasa isyarat, sebenarnya film bicara tentang masalah komunikasi. Kita menciptakan alat untuk mempermudah komunikasi; sosial media di internet, gadget, dan sebagainya, tapi itu tidak berarti komunikasi itu sendiri seketika menjadi lancar. Malahan terkadang, teknologi seperti mengeliminasi seni komunikasi itu sendiri. Komunikasi adalah soal kita untuk mau mengerti lawan bicara, effort yang berasal dari diri sendiri dan tak akan bisa diwakili oleh teknologi secanggih apapun.

 

Salah satu teman Matias ada yang diceritakan berasal dari Jakarta. Bahkan ada adegan cukup panjang dia bicara dengan bahasa Indonesia. Aku terkesan pada separuh bagian awal film ini, bukan exactly karena hal tersebut.. Penceritaan film ini diperkuat oleh uniknya hubungan Matias dengan pacarnya. Kita bisa melihat sebenarnya dia lumayan berusaha, dia sempat belajar bahasa isyarat (entah karena bego atau memang gak serius belajarnya adalah misteri berikutnya yang minta dipecahkan), kemudian dia beralih ke membuat aplikasi. Yang justru membuat pacarnya enggak senang. Dan dia sempat didiemin, chatnya gak dibales. Di sini tercipta ‘lingkungan’ yang menarik. Kita mungkin bisa teriakin saran ke mereka, tinggal ketik chat doang apa susahnya – tinggal baca, tapi mereka ingin benar-benar ‘berbicara’. Rintangan tak-terlihat ini menambah bobot banyak bagi karakter mereka. Yang sangat disayangkan, semakin Matias terjun ke Dark Web, cerita semakin jauh masuk ke zona thrillernya, film seolah melupakan aspek tersebut. Film hanya sibuk dan berusaha keras untuk menakuti kita.

Dan tidak pernah berhasil karena landasan untuk kita takuti itu nyatanya semakin jauh ke realita. Maksudku, bahkan film pertama yang ada elemen hantu balas dendam lewat laptop aja terasa lebih seram dan ‘nyata’. Karena story di belakangnya adalah tentang tragedi perundungan. Hal-hal terrible yang menimpa Laura Barns, kita percaya semua itu bisa (bahkan mungkin sedang) terjadi kepada murid sekolah manapun di dunia saat ini. Kejadian-kejadian seramnya lebih mudah dipercaya karena, ya, memang kejadian supranatural. Pada Dark Web, mereka memperlihatkan kepada kita masalah tentang kriminal di Dark Net – yang mungkin juga terjadi, who knows, tapi yang dilakukan oleh ‘antagonis’ di film ini tidak dibangun untuk bisa kita percaya bisa terjadi beneran. Ada mitos Chiron dan Sungai Styx (dari mitologi Yunani soal penyeberangan ke dunia orang mati) yang dijadikan simbol yang tidak menambah banyak bagi cerita. Yang dilakukan para Chiron juga tampak terlalu dibesar-besarkan, tidak plausible. Gimana mereka bisa muncul dengan tepat di waktu yang benar. Kita diharuskan percaya bahwa mereka hacker sehingga bisa melakukan berbagai hal yang nyaris gaib, bikin penampakan mereka ngeglitch dan sebagainya. It’s just.. para tokohnya begitu perfect dalam kerjaan mereka. Bahkan Matias saja mengetik dengan sangat lancar seolah tidak berpikir dahulu; aspek detil pada film pertama yang tidak kita temukan di sini.

Mungkin karena tokohnya cowok jadi lebih tegas dan gak baperan

 

 

Sebuah film hanya akan semenarik dan sebagus endingnya. Setelah menonton film ini, aku mencari tahu tentang endingnya. Ternyata, film ini dibuat dengan dua ending. Dan yang aku tonton sepertinya adalah versi yang lebih jelek. Aku gak mau bicara banyak karena bakal spoiler parah. Yang aku bisa bilang adalah, versi yang aku tonton, pada babak ketiganya banyak adegan kematian yang dibuat sekenanya. Kayak ada satu tokoh yang diam begitu aja di tengah jalan. I mean, come on, nenek-nenek yang gak bisa ngapalin password facebooknya sendiri aja juga tau kalo diem di tengah jalan bisa berakibat ditabrak mobil. Ending yang aku tonton semacam memperlihatkan ‘gambar besar’ dari apa yang sebenarnya terjadi. Fokusnya menjadi lebih ke dunia pada cerita ini sendiri ketimbang pada tokoh utamanya. Yang membuat plot si Matias menjadi tidak melingkar; tidak menutup. Dari apa yang kubaca pada artikel tentang dua ending film ini; versi yang lain – meski nasib para tokoh di akhir cerita tidak mengalami banyak perubahan; hanya ada satu berbeda secara signifikan – memberikan kesimpulan cerita yang lebih memfasilitasi plot karakter tokoh utama. Ada permainan kalimat yang cerdas sehubungan dengan dialog Matias dengan pacarnya di awal film yang dimunculkan kembali tentang gimana Matias menyesal tidak belajar bahasa isyarat lebih giat. Jadi ya aku kesel juga malah dapat film yang versi ending kurang kuat.

 

 

 

 

Lebih sebagai sebuah sajian thriller ketimbang horor. Menakjubkan gimana penceritaan film ini dibuat dengan sedekat mungkin dengan kenyataan. Perspektif layar komputernya tetap, dan masih, menjadi hal yang paling menarik. Tapi dari aspek kejadian mengerikannya, film banyak meminta kita untuk menahan rasa tidak percaya itu hingga ke titik film ini punya kredibilitas yang bahkan lebih rendah daripada film pertamanya yang tentang hantu main facebook.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for UNFRIENDED: DARK WEB.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Penasaran gak sih, kalo laptop atau komputer milik kalian jatuh ke tangan orang lain, kira-kira ada hal paling menakutkan yang bisa mereka temukan di dalamnya?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

VENOM Review

“Love is a positive, symbiotic, reciprocal flow between two or more entities.”

 

 

Eddie Brock menjadi jurnalis investigasi terkenal tidak dengan berobjektif-ria melaporkan fakta yang bisa dibaca orang di tempat lain. Dia mengungkap sesuatu yang (mungkin) disembunyikan, membangun pendapat dan penilaian pribadinya, melakukan riset terhadap suatu cerita, kemudian mempersembahkannya sebagai berita. Brock ‘memeras’ urusan orang demi keuntungannya, begitulah cara dia menegakkan kebenaran. Jurnalis kayak Brock ini pasti punya banyak musuh, bahkan orang terdekat pun bisa terluka olehnya. “You’re pathologically self absorbed!” pungkas pacarnya ketika Brock membawa dirinya ikutan dipecat lantaran Brock melanggar batas dalam suatu sesi wawancara dengan ilmuwan ternama. Ternyata, pathologically self absorbed tersebut sungguh foreshadowing apa yang bakal terjadi kepada Brock. Sebuah (atau seekor?) parasit luar angkasa terserap masuk ke dalam dirinya, mengubah Brock menjadi monster mengerikan; sesuatu yang selama ini hanya dikatakan orang mengenai dirinya.

Dunia lebih butuh jurnalis-jurnalis monster seperti Eddie Brock, yang menghadirkan berita yang menggigit disertai dengan investigasi rumit sehingga data-datanya kumplit, as opposed to berita yang hanya nyari sensasi – untuk kemudian diketahui ternyata hoax

 

Kita suka Venom lantaran tokoh ini brutal, ya selera humornya yang terkadang aneh, ya aksi berantemnya sangar. Jadi keputusan membuat film ini dengan rating PG-13 cukup membuatku menjulurkan lidah. Tapi, ya, bisalah kita pahami karena boleh jadi mereka ingin mengolaborasikan Venom dengan Spider-Man dan superhero Marvel yang lain di kemudian hari. Jadi, tone-nya harus diseragamin ringan. Dan demi memikirkan kemungkinan ini, kedua mataku terbelalak lebar. Mungkinkah mereka bisa bersatu – Venom actually adalah yang pertama dari Marvel Universe garapan Sony, sedangkan Spidey sudah bersarang di Marvel Cinematic Universe milik Disney? Venom dan Spider-Man tidak bisa untuk tidak tampil bersama, but how they could pull it off – apakah bakal ada dua Spider-Man?? Skenario terburuk adalah franchise Spidey versi Andrew Garfield yang failed dihidupkan kembali oleh Sony karena film Venom ini atmosfernya deket banget dengan film Amazing Spider-Man tersebut.

kurang lebih begini juga tampangku memikirkannya

 

 

Kekhawatiranku itu harus ditunda dulu karena film ini sudah dimulai. Tapi enggak lama sih, karena dari adegan pembukanya saja kita langsung bisa menerka betapa plotnya bakal se-basic yang bisa kita dapatkan dari cerita superhero – meskipun Venom sebenarnya tidak benar-benar pahlawan, dia lebih dekat sebagai antihero. Perusahaan jahat membawa organisme alien ke Bumi untuk suatu rencana pemusnahan umat manusia, yang tentu saja menjadi senjata makan tuan lantaran organisme itu gagal untuk mereka kendalikan. Eddie Brock berusaha mengungkap tindak yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Yang membawanya langsung kepada salah satu organisme yang disebut Symbiote. Brock dan si Symbiote yang menjadikannya inang belajar untuk bersatu. Atas nama para pecundang alam semesta, mereka berusaha mengalahkan rencana jahat dan menyelamatkan dunia.

Ada banyak bualan dan berbagai bentuk pseudo-science yang tidak pernah tampak menarik barang satu kali pun. Kita tidak perlu berlama-lama dibuai oleh cerita origin. Mereka punya kesempatan untuk mengarang cerita origin baru yang menarik, yang berbeda dari komik, tapi yang berhasil mereka rangkai merupakan cerita yang begitu usang yang bahkan anak kecil yang sudah nonton superhero dua tahun terakhir bisa mengarang cerita lebih bagus dari ini. Karena yang kita ingin lihat sebenarnya adalah bagaimana Eddie Brock belajar untuk kompakan dengan Venom di dalam tubuhnya. Dan bahkan aspek tersebut pun terasa cukup biasa, lantaran baru-baru ini kita sudah disuguhkan pengalaman serupa tentang bagaimana manusia berkompromi dengan chip komputer yang mengendalikan tubuhnya dalam film Upgrade (2018)

pada akhirnya aku hanya ingin melihat apakah Brock jadi memberi makan si kucing atau tidak

 

Elemen Brock melihat dengan ngeri saat Venom mengambil alih tubuhnya, menyerang dan bahkan menyelematkan dirinya dengan sulur-sulur berotot, that’s one fun element yang sayangnya tidak mendapat perhatian lebih dari pembuat film. Tidak benar-benar menggali sesuatu yang baru, terlebih karena kita baru saja menonton Upgrade. Film Venom hanya mengandalkan CGI untuk menghasilkan efek pertempuran yang fantastis. Sementara pada Upgrade kita melihat permainan kamera, yang disertai dengan koreografi yang benar-benar diperhatikan; film ini biayanya gak gede. Lucunya, membandingkan dua film tersebut, kita justru melihat Venom yang seperti murahan – semuanya tampak gampangan pada Venom karena simply mereka punya budget yang gede. Tidak ada usaha untuk menampilkan pengalaman yang melampaui batas. Dan ya, Venom itu hitam, menampilkan aksinya dalam langit malam bukanlah usaha yang menarik. Taruh dia sebagian besar berantem di siang hari, kontraskan wujudnya dengan sekitar, nah itu baru menarik.

Tom Hardy adalah aktor yang hebat, gak ada yang bakal mendebat kalo kita bilang begini. Hanya saja sebagai baik sebagai Eddie Brock ataupun Venom sekalipun, tidak banyak hal spesial yang ia lakukan. Hardy membawakan dengan meyakinkan transformasi Brock dari sebelum kenalan ama Venom ampe dia bergabung dengan parasit itu. Kita bisa melihat pengaruh Venom mengonsumsi tubuhnya. Kita juga mendengar mereka menjalin hubungan ‘kerja sama’ antara sesama pecundang. Tapi elemen cerita ini hanya berlaku satu arah. I mean, susah untuk melihat monster sekeren itu sebagai pecundang di planetnya tanpa membayangkan betapa kocaknya pem-bully-an yang mungkin terjadi di planet asal mereka. Yang bisa bikin kita percaya adalah betapa ‘jinak’nya Venom di film ini terasa. Salah satu adegan paling manis film ini datang dari Venom mengingatkan Brock untuk minta maaf kepada pacarnya. Namun terkadang, Venom yang jinak ini seperti penantian yang tak memuaskan. Baru pada mid-point kita melihat Brock embracing hidupnya sebagai inang Venom. Alih-alih melihat yang ganas-ganas dari struggle Brock berkompromi dengan Venom – belajar mengenainya, mereka bisa saja membuat Venom menyantap apapun, apa aja dehyang membuat Brock dan kita semua trauma, namun yang kita dapatkan adalah adegan Brock dan Venom, dengan cara yang konyol, menakut-nakuti tetangga yang main musik dengan keras karena dia membuat Venom lemah.

Cinta mestinya adalah hubungan simbiosis yang positif. Kita tidak harus merasa tak lengkap, kehilangan identitas, atau bahkan menyalahkan pasangan karena setelah bersama kita merasa bukan diri kita yang sebenarnya. Memang, kadang kita perlu untuk mengattach diri kepada tumpuan hati, so to speak. Yang harus diingat adalah ketika kita merasa ada kebutuhan emosional yang tak terpenuhi, tetaplah dependen terhadap diri sendiri, toh it’s not like your other half suck the life out of you.

 

Sudah lama kita enggak melihat keseluruhan wajah Tom Hardy dalam film, you know, biasanya dia akting kelihatan mata doang. Mungkin ini cuma aku, tapi di film ini aku melihat Hardy kalo ngomong dan membangun ekspresi mirip-mirip Reza Rahadian haha. Bicara soal kemiripan dengan Reza, aku pikir meskipun ini gak separah Reza dan Benyamin Biang Kerok (2018), tapi apa yang terjadi sama Tom Hardy di Venom ini adalah taraf yang cukup rendah baginya; Diambil menjadi bagian dari universe yang mengincar nama dan tidak benar-benar memanfaatkan potensinya, ini bukan simbiosis yang menguntungkan bagi Hardy.

 

 

 

 

Eddie Brock dan symbiote Venom akhirnya memang bisa bersatu, manusia ini bisa berkompromi dengan monster pelahap kepala manusia. Tapi bukan mereka saja yang harus diseimbangkan. Tone kekerasan dan komedi brutal dari fitrah karakter Venom, dimaksudkan untuk merasuk mulus dalam tubuh yang PG-13.  Hubungan emosional dan koneksi efek visual juga mestinya disejajarkan. Namun, untuk dua pasangan tersebut, film gagal meraih titik seimbang. Film ini mestinya ambigu untuk menjadi menarik, karena itulah yang membuat tokoh Venom sendiri begitu digemari sebagai antihero dari Spider-Man. Hanya saja, selain interaksi yang menyenangkan, kita akan lebih banyak melihat ketidakjelasan dalam bentuk adegan berantem.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for VENOM.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa dirugikan dalam suatu hubungan; baik pacaran ataupun pertemanan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

LIAM DAN LAILA Review

“Some third person decides your fate: this is the whole essence of bureaucracy”

 

 

Pertanyaan pertama yang dilontarkan kepada Liam ketika dia menginjak ranah Minangkabau adalah “Apa agamamu?” Facebook boleh jadi sudah ketinggalan jaman, begitu pesatnya dunia bergerak. Namun adat istiadat tetap harus dipijak, dengan agama sebagai dasarnya. Bagi manusia seberadab Liam, pertanyaan tersebut bukanlah terdengar seperti kekangan. Melainkan garis yang musti ia kejar. Bukan pula sekedar syarat baginya untuk menikahi Laila. Tetapi merupakan tujuan hidup. Banyak pasangan seperti Liam dan Laila; yang mengusahakan perbedaan mereka tidak dijadikan penghalang. Saat aku menonton ini, pasangan yang duduk di barisan depanku juga pasangan bule dan wanita Indonesia. Mereka berbeda agama. “Film tadi membuka hati saya akan cinta yang sesungguhnya” kata si pria bule dengan mantap menggunakan bahasa Indonesia.

Bukan hanya agama, cinta juga sebenarnya enggak bisa main-main. Bukan karena Laila, maka Liam jadi pindah keyakinan.  Laila ‘hanyalah’ simbol cinta yang ditemukan oleh Liam dalam perjalanannya mencari cinta yang ia yakini sepenuh hati. Inilah yang membuatnya kontras dengan keluarga niniak mamak Laila. Mereka terlalu memandang tinggi adat, melampaui agama yang mestinya mereka lindungi dengan adat tersebut. Di akhir film, sesungguhnya bukan Liam yang banyak belajar agama dari mereka. Melainkan mereka yang secara tak sadar, diajarin cara meyakini oleh Liam.

 

Liam (Jonatan Cerrada cukup kocak, logat bule ama logat orang padang berbahasa Indonesia ternyata mirip haha) nekat datang untuk meminang Laila (Nirina Zubir, sebaliknya, tampak cukup mengesankan tampil serius dan emosional dengan berbahasa minang). Di depan kandang singa, Liam mengutarakan maksud hatinya. Dia ingin masuk Islam, dan memperistri Laila, cewek yang ia kenal di facebook, yang sudah mengajarinya banyak hal tentang agama penuh damai ini. Tapi tentu saja pindah agama bukan urusan yang sepele. Pun menerima orang asing, bule pula, ke dalam keluarga Gadang yang erat tradisi. So yea, cerita film ini bisa dibilang sanak dari cerita Crazy Rich Asians (2018)Di mana Liam harus membuktikan kesungguhannya memeluk Islam. Dia harus membuktikan dirinya dapat dipercaya. Karena dari sisi keluarga, selalu ada prasangka dan kecemasan. Apalagi di jaman sekarang. Kenalan lewat sosial media aja sudah dinilai sebagai cukup mencurigakan. Dengan visanya yang habis dalam tiga-puluh hari, waktu turut mengejar Liam. Dia harus segera mengikrarkan keyakinannya, sebelum didaulat pantas untuk mengucapkan ijab kabul.

Dan cowok pengusaha daging di Perancis ini menghabiskan 4 hari dari waktunya yang berharga dengan diam di kamar hotelnya (Hotel Mersi, pardon my french hihi) menunggu keputusan rapat keluarga Laila.

kirain bakal ada candaan klasik “Paris – Pariaman dan Sekitarnya” hihi

 

It’s really hard to pinpoint siapa yang dijadikan fokus utama cerita ini. Secara natural, aku pikir Liam akan jadi sudut pandang tubuh cerita; kita melihat tokoh ini muncul duluan di layar, dia diberikan batas waktu, dia yang punya misi untuk membuktikan diri. Tapi cerita tidak segera membuat tokoh ini menjadi tokoh utama. Dia gak ngapa-ngapain sebagian besar cerita. Dia hanya dibantu, ditempatkan dalam situasi, dan dia nurut aja karena memang dia tidak punya tempat untuk melawan adat. Liam akan melalui berbagai tata cara masuk Islam, dia membaca syahadat, kemudian disunat, tapi pilihan-pilihan yang tokoh ini ambil jarang sekali menambah atau bahkan punya kepentingan untuk bobot cerita. Untuk alasan kelucuan, dan menambah intensitas sekenanya kita akan melihat Liam yang masih bersarung abis sunatan dikejar-kejar satpam yang mengira dia mau kabur.

Mungkin karena dia cowok, jadinya harus less-drama apa gimana, tantangan yang diberikan film kepada Liam hanya berupa tantangan birokrasi. Dia dipersulit untuk masuk Islam. Dia harus bolak-balik Jakarta-Sumbar demi mengurus surat tanda belum menikah. Bahkan dia harus menunggu suratnya tersebut ditandatangan. Ada satu petugas KUA yang bakal bikin kita pengen mendalami ilmu palasik supaya bisa menyedot habis darahnya di tengahmalam, dan aspek ini pun enggak pernah terasa dua-sisi. It’s just.. birokrasi jelek, dan Liam dipersulit karena ketakutan tak wajar kepada penduduk asing. Semua hal tersebut tidak pernah tampak benar-benar menarik karena dari sisi keluarga besar Laila, kita tahu ada bentrokan pandangan yang sengit. Dan Liam bahkan tidak tahu soal itu. Dia tidak boleh – dan tidak pernah datang – setiap keluarga Laila mengadakan pertemuan di Rumah Gadang. Actually, ini tradisi Minangkabau, tradisi keluarga di sana memang ketat banget. Dan di keluarga Laila, semuanya diputuskan oleh Mak Tuo, sebagai anggota keluarga paling tua. Mak Tuo inilah yang paling ‘meragukan’ Liam – bayangkan ibu camer di Crazy Rich Asians, tetapi tanpa domino dan lebih banyak kata-kata kiasan – final words ada di dia, dan Liam bahkan enggak pernah ketemu dengan beliau hingga akhir film di mana semuanya, tentu saja, berakhir baik-baik saja.

siapa anak yang disenyumin Liam di Masjid? Kenapa kamera begitu on-point ngesyut mukanya?

 

Laila, dibangun sebagai karakter dengan sedikit lebih baik. Kita juga diperlihatkan pekerjaannya apa, gimana dia adalah cewek yang mandiri, berpikiran terbuka, dan lebih maju dari beberapa keluarganya yang lain. Orang-orang di sekitar rumahnya mulai bergosip soal masalah jodohnya yang membuat rumah mereka selalu ribut di malam hari. Namun, Laila sendiri juga tidak bisa berbuat banyak. Karena ya urusan adat istiadat tadi itu. Kita tidak akan melihat baik Liam maupun Laila melakukan sesuatu yang tergolong menarik. Mereka tidak pernah melanggar batas apapun. Hal terjauh yang dilakukan Laila adalah mengomel sambil menangis mengenai jodohnya yang selalu ditentang karena hal-hal tak-penting yang terus saja dibesar-besarkan dalam rapat keluarga.

Mungkin ambo salah, mungkin memang indak ado tokoh utama di siko. Atau mungkin judulnya hanya pengalihan sebab bisa jadi ini adalah cerita tentang paman Laila, Jamil (David Chalik juga menunjukkan lapisan akting saat dengan tepat menunjukkan ‘kekakuan’ orang minang berbahasa Indonesia) yang berusaha memperjuangkan, bukan hanya kelancaran birokrasi di negeri ini, melainkan juga kesempitan pandang mengenai adat istiadat. Karena Jamil lah yang eventually orang yang paling banyak berkorban dan bertindak dalam cerita. Begini, seperti yang dijelasin Laila, dalam tradisi mereka Paman adalah salah satu yang bertanggung jawab menyukseskan acara pernikahan kemenakan wanita. Jamil yang aparat negara, mempertaruhkan pekerjaannya dengan pergi kemana-mana membantu Liam, memastikan semuanya lancar, demi Laila.

 

 

Birokrasi nyusahin yang sudah menjadi tradisi, juga sebaliknya kadang tradisi udah kayak birokrasi – yang asal ditegakkan, walaupun kita tidak lagi melihat kemasukakalannya 

 

Filmnya sendiri sebenarnya lucu. Paling tidak, buat aku yang mengerti candaan dan bahasa orang Minang. Gimana orang di sana menyebut semua motor dengan “Onda” alias honda, misalnya. Berikut kukasih tahu, bahasa minang itu sendiri kata-kata dalam satu kalimatnya sebenarnya lebih lucu daripada keseluruhan arti kalimat tersebut. Juga bagaimana setiap orang minang punya cara tersendiri dalam mengucapkannya. Sajian yang menyegarkan, karena kita jarang sekali dibawa mengintip budaya dari Sumatera sana. Dan Minangkabau punya banyak untuk digali, selain kulinernya. Juga sempat ada candaan gimana abang Laila meledek Liam pelit, dan itu lucu karena stereotipe yang ada ialah orang minang yang terkenal pelit. Hanya saja, aku pikir, kita perlu melihat lebih dalam dari ceritanya sendiri, yang mana sangat relevan. Seharusnya lebih dari sekadara menyinggung birokrasi, tradisi, paling tidak porsi pembahasannya kedua sisinya dibuat lebih berimbang lagi.

 

 

 

 

Bukannya film tak boleh mengambil banyak perspektif. Justru sebenarnya bagus gimana film ini memperlihatkan semua tokoh ‘bertarung’ dalam ‘pertempuran’ mereka masing-masing. Bahkan si Mak Tuo tadi diberikan antagonis berupa datuk-datuk seniornya yang merasa dikucilkan. Para pemeran pun berhasil membawa warna tersendiri; dan di sinilah letak kekuatan film ini. Dia tampil sebagai warna yang baru dari cerita mengenai cinta yang terhalangi. Tapi film butuh sudut pandang utama sebagai tulang punggung cerita. Jika ini tentang Liam, maka seharusnya kita melihat origin si Liam – siapa dia sebelum masuk Islam, gimana hidupnya, seharusnya dieksplorasi supaya kita bisa merasakan perubahan terhadap si tokoh lebih dalam daripada sekedar dia sekarang sudah benar-benar memeluk Islam dan jadi suami orang Minang.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for LIAM DAN LAILA.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa disusahkan oleh birokrasi, entah itu di lingkungan kampus atau dalam pekerjaan?

Seberapa penting sih, menurut kalian, menjaga tradisi? Jika sebuah kapal diganti seluruh bodinya, kecuali mesin, apakah itu kapalnya baru atau masih kapal yang lama – jika sebuah tradisi diperbaharui disesuaikan dengan keadaan jaman, apakah itu berarti tradisi yang lama tadi sudah hilang?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

SOMETHING IN BETWEEN Review

“I’m searching for you, though I’ve met you not.”

 

 

 

Keenam kalinya bermain dalam film yang sama – lebih dari tiga film sebagai pasangan, chemistry Jefri Nichol dan Amanda Rawles tidak bisa lebih manis daripada ini. Seperti tidak ada apa-apa lagi di antara mereka; sebagai kekasih, akting mereka tampak sangat natural. Di Something in Between, mereka actually diberikan sesuatu yang serupa tapi tak sama untuk dimainkan. Sebab film ini bakal tak seperti kelihatannya. Jika Aruna & Lidahnya (2018) diam-diam memasukkan satu adegan spiritual (-ngeh gak yang manaa?), maka roman remaja garapan Asep Kudinar ini punya cerita yang totally dibangun dari konsep spiritual.

Dan yang ingin kusampaikan ini sebenarnya bukan spoiler. Meski memang film bakal ngereveal penjelasan mengenai apa yang terjadi di akhir, namun sedari menit-menit awal kita bisa menggunakan logika merangkai sendiri kesimpulan yang pun sebenarnya enggak benar-benar ditutupi tentang bagaimana dunia dalam cerita ini bekerja. Cerita bermula dari seorang cowok bernama Abi yang begitu terganggu dengan mimpi-mimpinya. Dia membuat sketsa tentang kejadian, tempat, dan orang-orang yang ia lihat di mimpinya. Tapi ada seorang gadis yang tidak bisa ia gambar wajahnya. Untuk mendapatkan closure mengenai mimpi anehnya tersebut, dia minta ijin meninggalkan rumah dan keluarganya di London. Dia pergi ke Jakarta, mencari tepatnya sekolah yang ia lihat dan gambarkan. Tentu saja dengan harapan, dia bisa bertemu dengan orang-orang yang ia lihat di mimpinya, terutama si cewek misterius, sehingga hidupnya bisa tenang.  Ketika dia menginjakkan kaki di lokasi yang benar, dari reaksi orang-orang di sekolah yang melihat dirinya – bahwasanya dulu ada murid di sana yang sangat mirip dengan Abi – jelas bahwa Abi sedang mengalami kenangan orang lain di dalam kepalanya. Ini bukan kasus seorang yang hilang ingatan, karena keluarga Abi juga tidak mengenali gambar-gambar yang ia buat. Dan semua kejadian tersebut sudah terjadi menjelang dua-puluh menit awal.

ah gue pikir gue jago gambar

 

 

Something in Between, to my surprise, lebih seperti versi yang lebih sederhana dari anime Your Name yang fenomenal di tahun 2016 lalu (top film 2016 versi My Dirt Sheet!) ketimbang cinta-cintaan anak sekolah yang bisa. Walaupun memang film ini menyerah kepada keinginannya untuk menjadi seperti Dilan 1990 (2018) yang sukses mengeset tren supaya tokoh cowok kudu bad boy baik hati yang suka ngegombal dengan tingkah yang dinilai aneh, tetapi Something in Between punya sesuatu yang lebih untuk ditawarkan. Film ini mencoba bicara tentang tema-tema spiritual seperti reinkarnasi, eksistensi, pencarian, di balik lapisan asmaranya. Bahkan ada bagian mengenai simbolisasi tangga yang dibicarakan dalam level kecil-kecilan, as opposed to Your Name yang adegan endingnya dibesarkan dengan simbol tangga. Untuk alasan tersebut, Something in Between sudah menjelma sebagai salah satu tontonan remaja paling dalem, dalam soal lapisan ceritanya, yang bisa kita dapatkan dari film Indonesia kekinian. Napas film ini adalah napas segar, pembuatnya juga cukup cerdas. Film ini bisa saja mengapitalisasi kefavoritan penonton akan cerita remaja dan hal-hal spiritual, in a good way.

Fakta bahwa banyak aktor senior di antaranya seperti Slamet Raharjo, Djenar Maesa Ayu, Yayu Unru,  mau ikutan bermain mungkin dapat kita artikan sebagai bentuk persetujuan mereka kepada Nichol dan Rawles; bahwa dua bintang remaja ini sudah bermain di level akting yang ‘matang’. Film bertumpu kepada hubungan antara tokoh Nichol dan Rawles. Nilai plusnya adalah mereka bermain dengan sangat meyakinkan. Unyunya mereka pacaran jadi daya pikat utama. Gimana tokoh Nichol mengejar hati tokoh Rawles. Film membuat tantangan yang dekat sama lingkungan anak sekolah; di mana seorang anak dari kelas biasa pengen masuk kelas unggul demi bareng gebetannya, semua drama sekolah yang bisa dipancing dari aspek ini membuat cerita punya suara tersendiri. Huruf gede tapinya adalah, film jadi terlalu fokus kepada porsi cerita ini. Mengapa pula hal tersebut menjadi masalah, tanyamu? Karena film enggak seharusnya tentang mereka berdua. Atau tepatnya; enggak seharusnya tentang tokoh mereka berdua pada saat itu.

Jadi begini, setelah sampai di sekolah yang ia gambar, Abi mendengar cerita tentang cowok yang mirip dengan dirinya – Gema. Adegan Abi menyusuri tempat-tempat yang penting pada hidup Gema di-intersplice dengan adegan kehidupan Gema di sekolah. Dan bagian cerita Gema ini, dia bertemu Maya – cewek tanpa wajah dalam gambar Abi, dia berusaha jadi pacarnya, mengalami berbagai tantangan (yang semuanya selesai dengan gampang), mengambil sebagian besar waktu cerita. Seolah ini film tentang Gema, bukan lagi tentang Abi yang mencari tahu siapa Gema. Yang kita ikuti adalah motivasi Gema, bukan Abi. Padahal Abi lah tokoh utama cerita. Tetapi tokoh ini jadi seperti tidak punya kehidupan sendiri sebagai Abi. Kita tidak pernah diperlihatkan siapa teman-teman Abi, bagaimana reaksi keluarganya begitu fakta tentang Abi dan Gema terungkap. Dia benar-benar sudah meninggalkan kehidupannya di London sana.

Abi hanyalah kotak kosong yang menggemakan karakter Gema.

 

 

Film seharusnya bercerita lebih banyak tentang gimana Abi dealing with the facts bahwa dirinya adalah reinkarnasi Gema. Bagian ini memang dibahas sedikit di akhir dan tak pelak lebih menarik. Kita akan melihat gimana dia harus mencari Maya di masa sekarang. Gimana dia berinteraksi dengan teman-teman Gema. Abi semacam muncul gitu aja di kota Gema, dan gimana reaksi sekitar cukup tergambarkan, meski porsinya mengalah banyak. Konflik yang dialami oleh ‘Maya’ yang baru jauh lebih menarik dibanding Abi. Suara tentang masalah eksistensi itu, like, siapa diri kita jika kita ternyata hanyalah sambungan dari keberadaan orang lain tentu lebih menantang daripada melihat apakah dua remaja ini pada akhirnya akan bersama. Maka dari itu juga, pointless membuat cerita jadi seolah menitikberatkan kepada apa yang sebenarnya terjadi. Adegan di rumah sakit di mana semua pemain ‘kebetulan’ ada di sana, sungguh overkill; tidak perlu. Kita tidak perlu untuk dipastikan bagaimana cara kerja arwah mereka terbang dan masuk ke bayi. Kita bisa menyimpulkan itu sendiri, bahkan tidak jadi soal mengenai jarak mereka, fokus dan apa mestinya digali adalah apa yang terjadi ketika kita mengetahui bahwa kita ditakdirkan bersama – namun bersama yang bukan sebagai pilihan kita sendiri.

Kita sungguh akan mengejar apa yang penting bagi kita. Jika itu cinta, kita tidak ingin dipisahkan darinya, kita ingin selamanya bersama. Akan tetapi, bagaimana jika yang kita kejar tersebut, yang ingin kita pertahankan itu, bukan benar-benar keinginan milik kita? Menakjubkan sejauh apa kita bertindak demi sesuatu yang kadang tidak kita ketahui ‘wujud’ aslinya.

 

Yang membuat film ini stuck di antara dua posisi adalah kecenderungannya untuk memfasilitasi kemalasanberpikir penonton. Walaupun cerita kita untuk remaja, bukan berarti harus bercerita dengan terlalu menuntun. Emangnya remaja pada bego semua apa. Dialog pada film ini banyak yang menjelaskan hal-hal yang sebenarnya tak pelru lagi dijelasin. Seperti pada adegan ketika Abi dan sepupunya menunggu chat dari seseorang. Kita sudah tahu pertanyaan mereka tidak dibalas, cerita juga sudah membangun ‘bunyi notifikasi’ pada adegan ini, tetapi naskah masih merasa perlu untuk menambahkan dialog “dia tidak menjawab pertanyaan kita”. Film ini sering bercerita dengan eksesif seperti demikian. Padahal semua yang dilakukan para tokoh, every little things comes full circle.

Aku bahkan sudah berniat ingin menjegal film ini dari aspek waktu cerita, you know, aku merasa bisa saja enggak mungkin si tokoh adalah reinkarnasi, jadi aku benar-benar memperhatikan petunjuk waktu yang disebar oleh film. Dan tahu apa, film ini dengan teliti dan tidak terburu-buru dalam menyebarkan informasi waktu; tanggal pada nisan, petunjuk umur tokoh cewek, perkiraan usia anak sahabat Gema, dan semua itu cocok dihubungkan – timelinenya bener. Jadi ya sungguh disayangkan aja sih, karena film sebenarnya cukup detil dalam membangun elemen cerita, tapi masih terlalu menuntun dan nyuapin dalam bercerita. Juga masih banyak trope-trope cerita remaja yang dimasukkan demi narasinya maju dengan gampang, seperti saingan cinta yang jahat begitu saja. Kadang pilihan yang dilakukan tokoh, terlihat aneh dan tanpa alasan, kecuali supaya cerita berlanjut ke poin plot berikutnya.

 

 

 

Mengejutkan akhirnya ada cerita remaja yang mengangkat hal berbeda sehubungan dengan romansanya sendiri. Film ini ditutup dengan nada yang sama dengan film Your Name. Yang membuat kecewa adalah ternyata film tak sepenuhnya berani untuk ‘move on’ dari berbagai trope dan kemudahan dalam bercerita. Film ini masih menganggap penontonnya yang kebanyakan remaja tak mampu berpikir dan menyimpulkan sendiri. Hal ini membuat dirinya tersangkut di antara bagus yang biasa aja dengan bagus yang luar biasa.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for SOMETHING IN BETWEEN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian mengejar sesuatu demi orang lain?

Bagaimana menurut kalian tentang tren remaja gombal di perfilman masa-masa ini? Apakah sebaiknya film remaja tetap dibiarkan ringan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017