““God’ is whatever is the next obvious step towards wholeness in yourself and your life; ‘Ego’ is whatever within you stops you taking it.””
Bikin film adalah urusan menciptakan dunia. Ketika bikin karakter amnesia dirasa terlalu kacangan sementara bikin karakter alien sepertinya terlalu pasaran, maka sutradara Yorgos Lanthimos sekalian saja membuat dunia reka yang totally menantang akal sehat, supaya karakternya yang gak punya ingatan dan perjalanan yang ditempuhnya menuju aktualisasi-diri itu dapat terlaksana dengan spesial. Tapi meskipun dunia ceritanya kali ini aneh, dunia tersebut toh masih ada sama-samanya ama dunia kita. Karena di situ juga banyak makhluk-makhluk malang yang hidup di dalamnya. Dan sebagai drama komedi, yang paling lucu dari film ini adalah, bahwa persepsi kita tentang siapa yang ‘makhluk malang’ – The Poor Things itu – akan berubah. Akan berbeda di akhir cerita.
Pernah dengar paradoks Kapal Theseus? Misalkan Kapal A, satu persatu secara bertahap bagiannya diganti dengan bagian yang baru, apakah kapal tersebut ketika semua bagiannya sudah baru, masih bisa disebut sebagai Kapal A? Lalu lantas jika bagian-bagian lamanya tadi dikumpulkan, dan dibangun kembali menjadi kapal dengan bentuk yang persis sama seperti sebelumnya, apakah hasil kapalnya itu bisa disebut kapal A? Mana yang kapal A sebenarnya di antara dua kapal ini? Paradoks tersebut mengulik soal makna identitas, dan mirip seperti itu jugalah cerita film Poor Things. Protagonis utamanya, yang diperankan dengan lugas dan berani oleh Emma Stone, adalah seorang perempuan yang fisiknya dikenali oleh beberapa konglomerat sebagai Victoria, tapi dia sendiri tahunya dia bernama Bella Baxter. Gadis yang dibesarkan oleh seorang ilmuwan bernama Godwin, yang ia panggil dengan simply “God”. Dan memang persis seperti God – Tuhan-lah sosok Godwin bagi kehidupan Bella. Karena perempuan berambut hitam panjang itu actually diciptakan Dr. Godwin dari mayat Victoria yang otaknya diganti sama otak bayi dari dalam kandungan Victoria sendiri. Jadi Bella, tanpa maksud merendahkan, adalah freak of nature. Awalnya dia polos kayak anak-anak baru belajar bicara, Godwin-lah yang mengajari dia banyak pengetahuan. Tapi kelamaan, Bella mulai berani memilih jalan hidupnya sendiri. Selama ini gak boleh keluar rumah, dan dijodohkan sama asisten Godwin, Bella minta ijin untuk pergi bertualang melihat dunia luar. Walaupun orang-orang yang dia temui mencoba untuk – in some ways bisa disebut mengekang – Bella percaya dirinya adalah identitas utuh yang baru, yang punya pilihan dan keinginannya sendiri.
Mereka yang aneh ini, anehnya, menurutku terasa seperti Kurotsuchi Mayuri dan Nemu versi yang lebih manusiawi
Bella hidup di London, dari kostumnya seperti di era Victorian, tapi teknologinya dunia Bella seperti bahkan lebih ‘canggih’ dari dunia kita. Canggih dalam artian absurd haha.. Like, jangan bayangkan ilmuwan Dr. Godwin seperti ilmuwan steril dan terpelajar. Godwin more like a mad scientist. Di rumahnya berkeliaran hewan-hewan ajaib seperti ayam berkepala babi, ataupun angsa berkaki empat. Kalo Godwin bersendawa, yang keluar bukan angin. Tapi gelembung kayak gelembung sabun. Dunia ini tentu saja difungsikan sebagai konteks yang memungkinkan cerita perempuan hasil transplant otak ini dapat bekerja, tanpa kita harus merisaukan perkara etika ataupun kelogisannya. Karena film selalu nomor satu adalah soal konteks. Terms seperti ‘retarded’ yang boleh saja secara moral kita terkesan degrading, akan terasa jadi ‘tak mengapa’ ketika kita sudah dilandaskan betul karakter yang menyebut term tersebut. Perspektif dan karakterisasi film ini mengalir kuat dari gimana tegas dan tanpa sungkannya ‘suara’ para karakter divokalkan. Ilmuwan yang dari luar tampak kurang etis, tapi ternyata punya sisi parenting yang humanis – eventho sisi itu ditempa dari kelamnya perbuatan yang ia terima di masa kecil. Dan Bella, dia dibuat seperti orang yang melihat dunia sebagai orang dewasa tapi dengan pandangan ‘polos’ anak kecil yang melihat dan ngalamin semua hal sebagai untuk pertama kali. Karakter Bella jadi ruang bagi film untuk menelisik sistem sosial yang cenderung patriarki, sehingga film bisa membenturkan banyak nilai feminis yang diharapkan membawa perbaikan dengan sistem yang mengukung. Lihat saja ketika film membuat solusi keuangan Bella di Paris adalah dengan bekerja di rumah bordil.
Dengan melandaskan dunia yang absurd, dan mindset ‘ilmuwan’ sebagai basic dari karakternya, film meminta kita untuk meninggalkan kacamata etika dan purely menyelam ke dalam pikiran Bella yang delevoping concern sesuai dengan yang ia lihat dari sekitar. Untuk experience tersebut, film gak segan mengganti lensa tanpa tedeng aling-aling sepanjang cerita. Kadang gambar yang kita lihat seperti melingkar, hampir kayak fish-eye. Kadang pemandangannya begitu wide. Kadang kita notice kamera ngezoom membuat sekeliling blur. Ini sebenarnya menyesuaikan dengan sense penasaran dan eksplorasi yang sedang dialami oleh Bella ketika dia melihat dunia. Pun, film menggunakan kode warna yang selaras dengan pandangan Bella. Di babak awal film, ketika Bella paling terasa kayak anak polos, yang gak boleh keluar rumah, yang cuma bisa tantrum ketika dilarang, layar film tergambar hitam putih. Tanpa warna. Namun begitu Bella mulai kenal sensasi kewanitaan, begitu dia keluar rumah menemukan segala sesuatu yang baru, begitu dia ngerasain yang namanya ‘furious jumping’, layar yang kita lihat meledak oleh warna. Teknik kamera dan coloring yang digunakan ini selain memvisualkan development karakter Bella, tentu juga bekerja sama efektifnya memperkuat kesan dunia absurd dan komedi pada cerita. Dengan setting dunia yang boleh saja terasa amat aneh, tapi Poor Things could not be any clearer dalam menyampaikan tema soal identitas dan self-actualization dari sudut pandang perempuan.
Menjadi diri sendiri di tengah dunia yang terus-terusan meminta kita untuk menjadi sesuatu yang lain, yang terus-terusan mendorong kita untuk mengikut keseragaman, yang terus-terusan mengingatkan kita untuk tahu diri – tidak melupakan dari mana kita berasal – jelas adalah suatu perjuangan yang berat. Bella Baxter memperlihatkan ini kepada kita. Dirinya disuruh untuk realistis. Untuk berhenti berharap. Puncaknya, Bella disekap, akal dan nafsunya akan dirampas darinya. But they didn’t stop her.
Development Bella kerasa banget. Cara film bercerita pun dibuat ngikut dengan perkembangan itu. Ketika nalar Bella masih ‘bayi’, film ngambil resiko dengan seolah cerita ini dari sudut pandang Max, mahasiswa yang dimintai tolong jadi asisten di rumah mereka oleh Dr. Godwin. Cerita seolah dimiliki oleh Max dan Dr. Godwin, dua orang yang meneliti perilaku Bella. Perlahan, status mereka tersebut tergantikan. Dengan subtil – namun tegas – Bella mulai mengambil alih komando cerita. Dia mulai berani menyuarakan keinginan. Dia mulai berani mengambil aksi. Hingga di akhir babak satu, Bella membuat keputusan otonom. Ikut Mark Ruffalo ke luar negeri. Dari segi akting pun development Bella menguar, tadinya Bella dimainkan oleh Emma benar-benar limited. Ya dari kosa katanya, maupun dari geraknya. Tapi seiring identitasnya bertumbuh, raganya pun terisi dengan semakin matang. Bella using big words, sering mengutip bahasa-bahasa buku yang ia baca, gesturenya semakin percaya diri. Dominasi lelaki di sekitarnya pun, kita rasakan semakin mengendor. Dari sinilah film sebenarnya perlahan ngasih development sarkas yang ultimate. Bahwa yang dimaksud oleh judul sebagai Poor Things ternyata bukan Bella. Ternyata bukan perempuan yang hidupnya ditekan, diatur, diejakan oleh standar yang terbentuk dari kuasa laki-laki. Melainkan, ya, laki-laki itulah the real poor things.
Madame ngajarin Bella nasihat yang maknanya literally ‘Berani kotor itu baik’
Setiap manusia memang fight their own battle, dengan kondisi yang memaksa dan menantang mereka. Film dibuka dengan Emma Stone terjun dari jembatan, membuat kita membatin “kasihan sekali dia”. Kemudian adegan berikutnya kita melihat dia seperti orang yang cacat mental. Tapi di akhir cerita, Bella yang telah menyadari kekuatan dan tujuan dari eksistensinya menunjukkan kepada kita bahwa laki-laki seperti Duncan yang cengeng, Harry yang gak berani berharap, God yang bahkan gak bisa mengelak dari kematian dan lebih butuh dirinya ketimbang dia butuh Godwin, dan Alfie yang literally ditulis oleh naskah sebagai manifestasi traits terburuk dari lelaki; mereka-lah yang lebih malang. Bukan perempuan yang beraksi demi kebebasan menjadi dirinya sendiri itu yang kasihan. Adegan di akhir, ketika Bella ngajak Max nikah. Bukan hanya pembalikan dari momen di awal, tapi dari adegan tersebut terasa sekali ada shift. Max is the good one, ‘dosanya’ cuma dia tak pernah berani ‘nembak’ langsung. Kini justru Bella yang bukan saja sudah jadi ekual, tapi juga memegang kendali.
Di tangan naskah yang kurang cermat, karakter seperti Bella ini bisa terkesan sebagai terlalu ideal. Membuat cerita jadi pretentious, atau malah terlalu dibuat-buat. Terlalu muluk. Hal itu tidak pernah terasa ada pada Poor Things. Karena nyalinya tadi untuk menggali Bella sebagai orang dewasa yang melihat dunia dengan pemikiran seperti anak kecil. Semua dicoba. Pengen tahu apapun hal yang baru. Kemauannya harus dituruti. Ini oleh naskah dijadikan cela yang menambah layer karakternya itu sendiri. Yang akhirnya membentuk desain film seperti apa. Film jadi vulgar, lancang, bikin kita gak nyaman, sometimes degrading. Tapi lewat semua itulah pembelajaran Bella berlangsung. Enggak ada dunia yang sempurna. Bahkan dunia seabsurd ini pun tidak bisa sempurna. Bella tahu itu, dia akhirnya tahu salah dan benar, tapi juga dia tahu apa yang lebih penting dari itu. Yaitu untuk menjadi diri sendiri, dan terus berharap dan berusaha dirinya bisa mengubah dunia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada yang sempurna, tapi semua orang mestinya berjuang untuk menjadi lebih baik. Ah, ini pandangan ilmuwan sejati. Godwin pasti bangga pada Bella!
Akhirnya, semua film nominasi Best Picture Oscar 2024 sudah rampung semua direview di blog ini. Dan kurasa somehow tepat film ini jadi film penutup karena in some ways, film ini seperti gabungan dari film-film tersebut. Weird, hitam-putih, karakter yang dealing with siapa dirinya – apa yang ia kerjakan, sound desain dan dunia yang ajaib, dinamika relationship yang berpusat pada relasi kuasa perempuan dan laki-laki. Mungkinkah film ini yang bakal menang? Itu terserah Academy sepenuhnya. Tapi yang jelas, drama komedi romance ini merupakan sebuah perjalanan dari karakter dengan sudut pandang dan suara yang kuat. Penulisannya pada development karakter juga kuat sekali. Film ini boleh saja aneh, tapi pesannya akan sangat tegas dan bisa kita cerna dengan relatif mudah. Dan film ini tak pernah jadi pretentious dalam melakukan hal tersebut. Also, film ini punya banyak penampilan akting yang menarik. Unik. Yang bikin kita gak nyangka aktornya berani melakukan itu.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for POOR THINGS.
That’s all we have for now.
Apa menurut kalian tindakan Bella nge-transplant otak kambing ke mantan suaminya hanyalah sebuah balas dendam, atau sebuah statement? Statement apa kira-kira?
Silakan share pendapatnya di komen yaa
Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Februari kita boleh saja mengecewakan karena 14 Februari yang bikin ‘blue’, namun kompilasi edisi kali ini meski dominan biru juga, at least bakal bikin terhibur juga. Karena itulah hebatnya film. Tidak perlu ‘bagus’ untuk menghibur. Tapi juga jangan salah, daftar ini juga memiliki beberapa film yang sukses jadi bagus dan menghibur. Mari kita lihat satu-satu
#OOTD: OUTFIT OF THE DESIGNER Review
Debut penyutradaraan aktor Dimas Anggara ini menawarkan sesuatu, tapi berakhir menjadi sesuatu yang lain.
Dari gimana ceritanya dimulai, film ini tampak seperti kisah mahasiswi desainer di luar negeri yang ingin menyelesaikan pagelaran fashion yang mencuatkan nilai budaya tanah air, sebagai tugas akhir kuliah. Aku menikmati, sebenarnya, cerita di awal-awal ini. Karena walau bukan film fashion pertama, tapi setting dan perspektifnya toh memang menarik. Melihat Nare-nya Jihane Almira berusaha mencari ide, bersosialisasi dengan teman-teman modelnya, menjalin romansa dengan fotografer. It is a nice change of pace-lah, meskipun secara arahan belum tajem karena adegannya banyak yang masih terasa kayak sekadar lintasan klip berlatar bagus (Lagu latar yang itu-itu melulu bakal bikin kita either ngakak atau jengkel setengah mati). Tapi kita peduli karena challenge yang harus dikerjakan protagonis menarik, sementara soal latar belakang keluarga antara dia dengan cowoknya juga dibuild up seolah bakal jadi konflik utama nantinya.
Ternyata, konflik utama film romance ini bakal beda lagi. Hubungan mereka mendapat tantangan ketika Nare ‘bablas’ saat mabok di pesta. Bahasan atau penanganan konfliknya sebenarnya gak buruk, menurutku lumayan sudut pandang baru juga dari bagaimana Nare menghandle situasinya. Like, kalo yang menimpa dia terjadi di dalam negeri, pada karakter yang lifestylenya ketimuran, mungkin choice actionnya bakal beda. Jadi, poin plus sebenarnya adalah film ini bener-bener ngasih sudut pandang asimilasi dari Nare yang orang Indonesia tapi punya cara pandang yang lebih, katakanlah, barat. Cuma, ya itu, film ini kayak masih banyak sekrup yang longgar. Dari naskahnya juga masih melebar sehingga jadi kayak dua cerita dalam satu, alih-alih melebur dengan mulus.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for #OOTD: OUTFIT OF THE DESIGNER
MEMORY Review
Orang yang gak bisa lupa, bertemu dengan orang yang pelupa. Kalo ini film komedi, mungkin premisnya cukup segitu. Tapi yang dibuat oleh Michael Franco bukan komedi, jadi seolah premis tadi dia kasih layer terus. Dan jadilah sebuah kisah cinta paling menyembuhkan yang bisa kita tonton tahun ini. Seorang perempuan yang masih dibayangi trauma dari kekerasan seksual yang dia alami waktu kecil, bertemu dengan pria dengan gangguan dementia.
Cara film menangani yang diderita oleh masing-masing karakter, benar-benar subtil tapi lantang. Aku gak ngerti gimana ungkapannya yang tepat haha.. tapi di sini kita sekali lihat karakternya Jessica Chastain, kita tahu dia punya trauma dan itu bikin efek gak enak ke kehidupannya sekarang, ke orang-orang sekitarnya sekarang. Film gak ragu menggali ke keluarga, tapi juga gak lancang dalam melakukannya. Timing penceritaannya begitu pas. Pertama kali Sylvia itu dan Saul ketemu, aku sampe rasanya gak sanggup nonton karena di awal itu Sylvia yakin Saul adalah kakak senior yang dulu pernah melecehkan dirinya di sekolah. Dan akar trauma Sylvia bahkan bukan peristiwa di sekolah. Film ini ngehandle segitu besar dan banyaknya raw emotions. Dan perlahan emosi-emosi itu digodok, dileburkan, diademkan
Makanya ngeliat relationship mereka terbentuk tu rasanya healing banget. Walau mungkin kita gak ngalamin yang tepatnya terjadi kepada karakter, tapi kita bisa ikut merasakan healing-nya mereka, have found each other like that. Nonton film ini kayak ngeliat kayu bakar kebakar api, tapi perlahan apinya padam, dan berangur kayu tersebut tumbuh lumut dan daun-daunnya menghijau kembali.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MEMORY
NIGHT SWIM Review
Keluarga pindah ke rumah baru, rumah tersebut ada kolam renang – yang perfect buat terapi kaki ayahnya, dan buat tempat bersantai dua anaknya – tapi ada sesuatu pada air di kolam tersebut yang menarik orang-orang tenggelam ke dalamnya.
Cerita horor keluarga yang sebenarnya simpel. Level enjoyablenya setara-lah dengan cerita-cerita horor di buku Goosebumps. Namun sutradara Bryce McGuire ternyata menemui kesulitan mengembangkan horor ini, kesulitan membuat bagaimana kolam tersebut seram tanpa membuat adegan-adegannya terasa repetitif dan makin ke sini semakin kayak mengada-ada. Jika kita melihat drama keluarga di baliknya, kita bisa melihat sumber masalah dari penceritaan film ini. Sudut pandangnya. Bayangkan jika The Shining tokoh utamanya bukan Jack Torrance. Bayangkan jika kita hanya melihatnya sebagai orang yang jadi gila dan pengen membunuh keluarganya, tanpa benar-benar kita dibuat menyelami kenapa dia bisa begitu. Kayak ‘skenario’ itulah Night Swim bekerja. Film ini anehnya, justru berpindah dari galian sudut pandang ayah ke ibu, begitu ayah mulai berperilaku aneh.
Jadi kentara kenapa film ini horornya gak kerasa, malah cenderung membosankan. Karena siapa juga yang bisa membuat tiga orang ‘dikerjai’ oleh kolam renang, tanpa membuatnya jadi itu-itu melulu. Penggalian harusnya datang dari karakter Ayah. Horor harusnya datang dari konflik dia yang ingin sembuh dan tertarik nurutin ‘kata-kata’ kolam, tapi tradenya keselamatan keluarga.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for NIGHT SWIM.
NO WAY UP Review
Satu lagi film horor/teror di air, dan sayangnya film yang satu ini juga enggak bagus. But at least,Claudio Fah tahu dia sedang bikin cerita yang konyol, sehingga film hiu ‘masuk’ pesawat ini berjalan mantap di garis standar rendahnya tersebut.
Karena bagaimana pun situasinya, dimangsa hiu tetaplah sebuah kejadian mengerikan yang gak ada satu orang pun yang mau terjadi kepadanya. Menambahkan setting pesawat yang tenggelam – dengan beberapa korban masih hidup dan harus segera berenang ke permukaan sebelum pesawat beneran terjun ke dasar – hanya akan menambah hal-hal tidak masuk akal yang harus dilandaskan Fah sebagai pembuat film kepada kita. Ya pada intinya, sebenarnya film ini sama kayak pesawat di air itu. Udah gak ketolong. Sutradarnya cuma bisa ngasih something supaya kita sedikit lebih betah.
Dan apa yang dia kasih? background karakter yang sebenarnya menarik – protagonis anak presiden, yang liburan sama temen-temen, tapi bawa-bawa bodyguard. Ada anak kecil sama kakek neneknya yang veteran di medan perang. Dua karakter itu berusaha dijadikan simpatik, sementara karakter-karakter lain tipikal karakter annoying yang berusaha ngelucu, atau teriak-teriak ribut sepanjang waktu. Bare mininum, yang akhirnya tercoreng dan gak jadi menarik juga karena annoying. Dan bahasan karakter yang dangkal.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for NO WAY UP
ORION AND THE DARK Review
Seorang anak kecil, bisa takut gelap. Takut bicara di depan kelas. Takut menyapa anak yang disukai. Takut jatuh dan terluka saat bermain. Takut dimarah orangtua. Banyak deh pokoknya hal yang bisa bikin takut anak-anak. Dan Orion and the Dark, supposedly adalah cerita petualangan yang bakal ngajarin anak untuk menumbuhkan keberanian dengan menghadapi rasa takut, bukan menghindarinya. Sementara itu, aku rasa fair juga kalo kita bilang, orang dewasa juga bisa ngalamin ketakutan yang sama (karena rasa takut saat kecil itu belum ‘sembuh’) Jadi mungkin itulah sebabnya film adaptasi karya Sean Charmatz ini kayak bingung, dirinya untuk anak kecil atau orang dewasa.
Aku senang sekali kreativitas film ini. Konsep kegelapan adalah makhluk, bahwa dunia malam penuh oleh makhluk-makhluk lain yang bekerja menjaga kestabilan alam dan bikin manusia tidur untuk istirahat, bahwa malam atau siang punya fungsi masing-masing, dan sama pentingnya, digambarkan menjadi karakter-karakter yang sangat imajinatif. Yang aku kurang sreg adalah bangunan cerita film ini. Film seperti pull the rug ketika di akhir babak pertama, cerita Orion adalah kisah yang sedang diceritakan Orion dewasa kepada putrinya. Like, kenapa gak sedari awal saja di set up ada anak perempuan yang sedang ‘dibacain’ cerita oleh Orion. Film ini pun jadi semacam mendua kayak OOTD tadi, apakah ini beneran tentang anak yang takut gelap, atau tentang orang tua yang sedang berusaha bonding dengan anaknya lewat mengarang cerita bersama.
Bahasan-bahasan itu memang akhirnya diikat juga oleh film sebagai satu bangunan cerita. Tapi tetap saja, untuk bercerita kisah untuk orang tua dan anak ini, Orion and the Dark memilih cara yang paling ribet – dan justru menyuapi penonton dengan pertanyaan yang diejakan oleh karakter, ketimbang berimajinasi dan berpikir kritis sendiri.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ORION AND THE DARK.
SINDEN GAIB Review
Ada adegan ketika para sinden melantunkan Lingsir Wengi – yang sudah lama dikenal jadi tembang pemanggil kunti – tiba-tiba sosok Ayu yang kerasukan Mbah Sarinten langsung menyanyikan Soro Wengi. Aku ngerasa adegan tersebut adalah sebuah statement dari Faozan Rizal, bahwa inilah ‘lagu hantu’ terbaru. Bahwa film ini adalah perkenalan kita dengan sosok mistis yang bisa jadi ikon horor terbaru.
And yea, they could be. Penampilan Sara Fajira cukup memorable juga dalam membawakan karakter yang unik ini. Makhluk gaib dan manusia dalam raga yang sama. Mereka cuma butuh cerita yang lebih solid. Karena film yang katanya diangkat dari kisah nyata Ayu ini seperti terkena ‘penyakit’ yang sama dengan film-film lain yang diangkat dari cerita orang asli. Terlalu ‘mengistimewakan’ si sosok. Dalam artian, cerita jadi kurang menyelami, melainkan hanya sebatas sosok itu menarik karena hal yang ia lakukan.
Kita gak dilihatkan siapa Ayu sebelum dia kesurupan, kita gak tahu journey personal dia apa. Kita gak tau apa peristiwa kesurupan Mbah Sarinten bagi dirinya, mereka memilih ‘bekerja sama’ di cerita hanya karena ada faktor luar. Alih-alih menggali karakter unik ini, film malah pindah fokus ke drama tiga orang yang datang menyelidiki dan hendak menolong kasus Ayu kesurupan. Film cuma menjadikan karakter unik Ayu sebagai sarana untuk peristiwa-peristiwa horor yang standarlah dilakukan oleh film horor pada umumnya. Jadi menurutku film ini benar-benar sebuah missed opportunity dalam penggalian sosok yang berpotensi jadi ikon baru.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for SINDEN GAIB.
SUNCOAST Review
Menarik sekali gimana Laura Chinn menceritakan hubungan antara remaja perempuan dengan ibunya dalam Suncoast ini. Kita tahu anak cewek dan ibu seringnya udah kayak tinggal menunggu waktu berantem. Sylvia di film Memory tadi, juga ‘berantem’ dengan ibunya. Dan berantem mereka ini selalu adalah soal komunikasi yang gak kena. Makanya cerita keluarga kayak itu bakal mengaduk-aduk emosi.
Yang bedanya, di Suncoast mereka gak lantas ribut. Doris tetap nurut apa kata ibunya, yang memang terlalu occupied oleh keadaan anak laki-laki – abang Doris – yang sakit, katakanlah dalam state tinggal nunggu waktu. Ibunya terus menyuruh Doris ini itu, ngelarang ngapa-ngapain. Ibunya ditulis nyerempet-nyerempet garis annoying, tapi seperti Doris, kitapun gak bisa sepenuhnya membenci si ibu. Karena kita tahu keadaan emosional mereka. Doris enggak meledak karena dia punya ‘pelampiasan’ yakni berteman dengan geng keren di sekolah, dan punya teman curhat berupa Woody Harrelson yang ceritanya selalu mengingatkan dia untuk mensyukuri hidup.
Suncoast kayak cerita sehari-hari, menyenangkan melihat karakter dan penampilan akting mereka yang ‘supel’ dan gak dibuat-buat, dan juga sedikit intens karena kita tahu kesedihan dan pertengkaran itu bisa ‘meledak’ kapan saja. Di antara film-film di kompilasi volume ini, menurutku film ini yang paling bergizi untuk ditonton bareng keluarga. Muatan dan pesan soal ‘cherish yang ada bersama kita’ sangat berharga. Kekurangannya cuma, sometimes kejadian film ini terasa terlalu dipas-pasin biar seru.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold star out of 10 for SUNCOAST.
THE ANIMAL KINGDOM Review
Dari anak perempuan dan ibunya, kita beralih ke koneksi antara anak laki-laki dengan ayahnya. The Animal Kingdom bertempat di dunia yang penduduknya terkena wabah misterius; yakni tiba-tiba, perlahan-lahan mulai berubah menjadi random animal. Dan karena belum ada obatnya, perubahan tersebut berbahaya bagi masyarakat. Para penderita jadi dijauhi. Mereka ditangkap untuk diteliti. Karakter sentral adalah Emile dan ayahnya, yang pindah ke kota kecil yang lebih dekat dengan facility tempat ibu yang kena wabah hendak diobati. Tapi si ibu lepas bersama sejumlah pasien lain. Mereka sembunyi di hutan. Dan Emile, mulai merasakan gejala dirinya berubah jadi serigala.
Karya Thomas Cailley ini terasa unik tapi sekaligus kayak belum maksimal. Unik karena dunia yang dia gambarkan begitu solid. Society yang ngeshun ‘animal people’. Orang-orang yang terpinggirkan. Kita bisa ngegrasp gagasannya soalnya how to treat each other equally. Elemen fantasy-nya pun terasa oke, karena makhluk setengah manusia dan setengah hewan itu tergambar meyakinkan. Struggle mereka pun meyakinkan, kita dibuat bisa merasakan pergulatan insting hewan mereka dengan kemanusiaan yang masih tersisa di dalam diri mereka. Gimana seseorang berusaha berpegang kepada kemanusiaannya, itulah yang paling utama ditonjolkan oleh film ini
Sehingga cukup sering, drama sentral antara Emile dan ayahnya tertahan, dan baru agak lama dibahas lagi. In a sense, maksudku adalah film ini masih agak terlalu bloated. Belum bekerja secara precise. Bahasan dan dunianya terlalu ‘luas’ sedangkan penceritaannya bergerak lebih ke arah kontemplatif. Dua hal itu membuat film terasa punya banyak rongga yang mestinya bisa diisi dengan sesuatu yang lebih menggenjot percakapan kita dengan filmnya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE ANIMAL KINGDOM.
That’s all we have for now
Lima volume mini-review tayang tiap bulan berturut. Mungkin karena semangat tahun baru, but I must warn you, bulan depan dan April mungkin review gak bisa sebanyak ini. Karena kalo mudik, aku jarang bisa nonton film hahaha.. So, kesempatan ini aku gunakan untuk mengucapkan selamat menuju bulan puasa hahaha
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“When we ignore the world outside the walls, we suffer – as does it”
The Zone of Interest currently – menurut istilahku – ada di posisi tier 0 dalam kompetisi Piala Oscar tahun ini. Karya Jonathan Glazer ini sukses mengantongi empat nominasi utama; Skenario, Naskah, Film Internasional, dan Film Terbaik, yang artinya film ini berpotensi sapu bersih nominasi-nominasi utama tersebut. So pasti interestku buat The Zone of Interest melambung tinggi, dengan skeptis dan perasaan tertantang membayangi di baliknya. Apa beneran sebagus itu. Kejadian berikutnya udah kayak iklan before after. Sebelum nonton aku tersenyum membayangkan sajian menantang seperti apa yang bakal disantap oleh mata dan pikiran. Dan setelah menonton, rasanya kayak kesan yang hadir saat melihat poster di atas. Hitam, hollow. Rasanya seperti kena tonjok tepat di nurani dan urat kemanusiaan. Telingaku rasanya berdenging sebuah dengkingan panjang yang kering. Itu semua bukan karena filmnya buruk atau mengecewakan. Film ini justru depicts so much truth, soal betapa canggihnya kemampuan manusia untuk nyuekin kekejian di sekitar, bahkan ketika semua itu mulai ada dampaknya bagi jiwa kita.
Target Pak Sutradara kentara untuk menghasilkan kesan realisme. Kita dapat menangkap ini dari gimana kamera film yang dibuat statis mungkin. Tidak ada zoom, tidak ada gerakan sensional, tidak ada drone shot fantastis. Kita dibuat seperti beneran di sana menyaksikan sendiri dari jarak yang cukup dekat kehidupan sehari-hari keluarga Komandan Rudolf Hoss di rumah mereka yang nyaman. Rumah itu cukup besar tapi tidak sedemikian mewah. Ruangannya kayak rumah dinas biasa, dipenuhi oleh sejumlah pelayan yang sibuk. Punya halaman hijau yang cukup luas. Ada kolam renang kecil. Ada kebun bunga dan sayur yang diurus oleh Hedwig, istri Hoss. Tidak jauh dari rumah ada sungai tempat Hoss dan anak-anaknya berenang. Nyobain sampan baru hadiah dari istrinya. Hoss dan istrinya cinta tempat itu, bahkan ketika disuruh pindah karena tugas pun, sang istri minta bertahan dan Hoss merelakan mereka harus ‘LDR’ sementara. Semua kenyamanan hidup tak terkira itu tentu saja demi anak-anak mereka. Komandan Hoss tampak relate dengan kita yang pengen keluarganya untuk bahagia sejahtera. Cumaa, Rudolf Hoss ini actually adalah komandan Nazi. Dan, ssstt, cobalah dengar suara-suara di luar rumah mereka. Ya, rumah impian keluarga tersebut tetanggaan sama concentration camp tempat Hoss bekerja. Camp Auschwitz, salah satu camp nazi yang paling dikenal karena tindakan kejam pembunuhan dan pembakaran terhadap orang-orang Yahudi di sana udah kayak rutinitas sehari-hari.
Yup, keluarga makmur yang hidup sehari-harinya gak beda jauh dari kita itu ternyata evil Nazi!
Pilihan film ini sekilas memang tampak ganjil, Kenapa tokoh utamanya adalah Nazi dan dimanusiakan sedemikian rupa kayak kepala keluarga biasa. Jangan keburu menjudgenya sebagai tontonan yang tidak berpihak kepada korban. ‘Nazi is evil’ tetap jadi headline utama. Hanya penggambarannya yang dilakukan dengan unik, dan terbukti menghasilkan kesan yang powerful, oleh film ini. Kekerasan, kejahatan, derita dan trauma tidak melulu harus digambarkan lewat visual. Lagipula, film adaptasi novel berdasarkan historical person dan event ini tentu saja tidak butuh lagi untuk memperlihatkan langsung gimana kejinya perlakuan Nazi, mempertontonkan hal itu hanya akan membuat film ini jadi eksploitasi. Jadi yang dilakukan film untuk mencuatkan kekejian mereka yang punya ideologi mereka manusia yang paling layak dibanding Yahudi adalah dengan mengontraskan kehidupan sehari-hari mereka sebagai manusia, dengan keadaan di luar rumah. Kontras yang memperlihatkan mereka bisa hidup biasa aja padahal di luar pagar mereka terjadi pembantaian dan penembakan.
Suara-suara tembakan, suara teriakan, suara perintah galak – yang kadang teredam oleh suara mesin motor ataupun kereta api – secara konstan terdengar memenuhi udara halaman mereka. Merayap di balik percakapan ringan ibu-ibu rumah tangga. Aku bahkan gaingat apakah film ini ada pakai skor musik atau enggak, karena suara-suara kejadian penyiksaan dan pembunuhan itu yang paling bergaung. Ngasih sensasi disturbing luar biasa karena di layar kita melihat orang-orang yang menjalani hidup seperti biasa. Film sudah ngasih kita peringatan untuk awas terhadap suara sejak dari momen pembuka yang cuma layar hitam dengan suara kayak mesin yang bikin feeling uneasy. Selain desain suara yang jelas-jelas jadi kekuatan khusus film ini, juga memperlihatkan kepada kita clue-clue visual. Pesawat pengebom yang ‘tersibak’ di langit di antara kain-kain putih yang dijemur. Asap yang muncul menghiasi background, menandakan lagi ada yang dapat giliran dibakar hidup-hidup di gedung sebelah. Air cucian sepatu boot Hoss yang berwarna merah, menandakan dia baru saja dari medan ‘pembunuhan’. Badan anak-anak Hoss yang penuh pasir saat dimandikan sepulang berenang di sungai, menandakan mereka baru saja berenang di air yang mengalirkan sisa pembakaran tadi. This is actually horrifying gimana keluarga ini menjalankan hidup normal padahal di sekitarnya orang-orang sedang dibantai. Gimana mereka memilih bertahan di sana dengan anak-anak mereka.
Itulah kejahatan manusiawi yang ingin ditonjolkan oleh film. Alih-alih membuat mereka berlaku kasar dan biadap seperti biasanya film-film menunjukkan kekejaman Nazi, film ingin memperlihatkan mereka jahat karena mereka tega-teganya hidup seperti itu. Dan pada gilirannya, kita juga kena sentil, karena walau mungkin dalam hati kita bilang gak akan pernah sejahat Nazi, tapi nyatanya film bisa menarik garis relate dari kita yang berusaha hidup tentram sekeluarga, sementara mungkin tetangga ada yang sedang kesusahan. Ketika kita membaca berita perang di timeline, menonton berita tragedi di tv atau di internet, posisi kita sudah seperti keluarga Hoss. Kita ‘mendengar’ jeritan itu. Namun seberapa besar tragedi itu mempengaruhi kita. Ending film ini mendorong gagasan itu lebih dekat lagi dengan actually memperlihatkan masa sekarang. Saat ‘hasil kerja’ Hoss dan gengnya nampang di museum. Memorabilia kejahatan itu dijaga, dipajang. Buat apa? Pengunjung museum datang melihat dan belajar sejarah, tapi nyatanya sejarah itu bakal terulang. Karena perang masih ada. Sedang berlangsung.
How do we all sleep at night? Nyenyakkah tidur kita di balik ‘pagar’ masing-masing, meskipun ‘mendengar’ masih banyak kekejian di luar sana?
Pertanyaan tersebut tidak dibiarkan terbuka oleh film ini. Inilah yang actually bikin film lebih kuat. Karena dia bukan sekadar gambaran realis yang puitis dan menohok. Film punya jawaban dan itu bukan menuding kita semua sama jahatnya ama keluarga Hoss. Film ini justru memperlihatkan bagaimanapun Hoss dan keluarganya berusaha cuek, tapi deep inside mereka terpengaruh juga. Bahwa sebagai manusia, kita tidak akan pernah bisa untuk benar-benar tidak peduli. Dan sebenarnya manusia bakal sama-sama menderita atas kejahatan yang dilakukan kepada manusia lain.
Bukan suara dengung nyamuk yang mengusik saat duduk di taman ini
Film ini ingin menggugah kita. Makanya film yang mengincar realisme ini lantas gak ragu untuk di beberapa tempat menjadi sangat jarring. Tiba-tiba menggunakan transisi warna merah tok, misalnya. Film benar-benar ingin memastikan apa yang kita menonton, terasa mengganggu bagi kita. Satu adegan paling tak biasa yang dilakukan oleh film ini adalah adegan di malam hari dengan menggunakan kamera thermal. Kita melihat sesosok perempuan remaja, meletakkan buah-buahan di hutan dan di tempat-tempat yang sepertinya bakal dilewati oleh tahanan di camp. Dia melakukan itu saat hari sudah benar-benar gelap, dan film ini karena mengincar realisme tadi, tidak menggunakan lighting buatan. Melainkan pakai kamera yang memotret suhu tubuh. Alhasil nonton adegan tersebut bergidiknya bukan main. Sosok perempuan itu berpendar putih sementara latarnya gelap. Buatku adegan itu kesannya gadis itu kayak secercah harapan, sekaligus juga nunjukin manusia itu di dalamnya ya ‘putih’. Baek. Tapi kita semakin jarang punya kesempatan atau keberanian untuk nunjukin itu.
Karakter nenek yang menginap, diceritakan akhirnya pulang diam-diam, karena nuraninya gak kuat mendengar jeritan yang semakin jelas di malam hari yang senyap. Dia gak bisa tidur. Anak-anak Hoss, ada yang diam-diam mengoleksi gigi korban dan merenunginya. Ada juga anak yang mendengar suara orang ditembak dan bergidik sebelum akhirnya kembali main tentara-tentaraan. Gak ada yang sebenarnya bisa benar-benar hidup nyaman dalam kondisi berperang seperti begitu. Bahkan Hoss pun mendapat pengaruh secara psikologis. Ini jadi cara film untuk mendesain inner journey dari karakter utama. Untuk membuat dia bisa mendapat sedikit simpati, sekalipun aksi nyatanya membuat dia seorang protagonis yang selamanya tidak akan pernah kita jadikan hero ataupun layak mendapat simpati itu. Hoss yang kerjaannya bikin gas chamber, sedang pesta, semacam dia naik pangkat. Tapi di akhir itu kita melihat dia curhat kepada istrinya lewat telefon, bahwa dia anehnya merasa pengen ngegas orang-orang Nazi di pesta itu. Ini hampir seperti nurani-nya yang bicara. Yang menyeruak keluar. Terbangkitkan karena selama ini dia tinggal begitu dekat dengan para korban. Perjuangan terakhir Hoss sebelum kita melihatnya menghilang ke dalam kegelapan saat turun tangga, adalah pergulatan batin nurani lawan ideologi. Hoss muntah tapi tidak ada yang keluar. This is as good as we can get dari journey dari karakter seperti Hoss, meski kita tahu siapa dari yang menang dari pergulatan personal tersebut.
Kupikir, begitu rasa penasaranku dari capaian nominasi film ini terpenuhi, alias sudah nonton, aku bisa tidur nyenyak. Ternyata enggak. Film ini berhasil bikin mikir sampai gak bisa tidur. Desain penceritaannya luar biasa. Menunjukkan betapa ngerinya manusia bukan dari kekejaman fisik, bukan dari eksploitasi kesadisan, ataupun menjual trauma, tapi dari mengontraskan situasi. Dari gimana satu keluarga berusaha hidup nyaman, dengan nyuekin hal di sekitar mereka. Naskah juga enggak puas dengan hanya menjadi gambaran itu. Inner journey karakter, juga tetap digali seperti relationship mereka turut dibahas. Dan film berhasil melakukan itu tanpa merusak gagasan yang diusung. Membuat kita simpati tapi tidak sampai membuat karakternya jadi hero ataupun pantas untuk simpati itu. Siap-siap saja kalau mau menonton ini, karena film ini boleh jadi adalah film paling menakutkan tahun ini.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE ZONE OF INTEREST.
That’s all we have for now.
Pernahkah kalian melakukan sesuatu yang membuat kalian tidur tidak nyenyak di malam hari?
Jika berkenan, silakan share ceritanya di komen yaa
Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Apa yang akan kau lakukan jika punya kekuatan bisa melihat alur kejadian di masa depan? Well, ya mungkin kau akan menggunakan kekuatan itu untuk menyelamatkan orang-orang yang penting bagimu, kau mungkin ingin mencegah hal buruk terjadi kepada orang-orang yang tak bersalah, atau kau mungkin gak mau ikut campur dan cuma ngasih komenan atau celetukan tersirat mengenai nasib mereka. Nah, sekarang apa yang kau lakukan jika kau seorang pembuat film dan lagi bikin cerita tentang superhero yang bisa melihat masa depan, dalam jagat universe yang masa depan karakter-karakter lainnya sudah kau ketahui? Kau mau bikin cerita superheronya menggunakan kekuatan menyelamatkan orang doang? Yang bener aja, rugi doongg. Lihat nih gimana S.J. Clarkson dalam debut penyutradaraan film-panjangnya. Dia meletakkan begitu banyak reference dan jokes perihal hidup superhero lain untuk disebutkan oleh karakter utamanya, yang tidak disisakan banyak selain sikap sarkas (tapi datar) dan petualangan yang nyaris tanpa intensitas.
Cerita tentang Cassandra Webb, gadis paramedik yang saat nyaris mati dalam bertugas, terbangkitkan kekuatan cenayangnya, ini harusnya memang sebuah cerita origin dari setidaknya empat superhero perempuan. Karena kejadian tadi, Cassie sekarang jadi bisa melihat kejadian di masa depan, khususnya kematian, beberapa saat sebelum kematian tersebut terjadi. Dalam salah satu penglihatannya, Cassie melihat tiga gadis remaja di kereta yang sedang ia tumpangi bakal dibunuh oleh pria misterius dengan kekuatan seperti laba-laba. Cassie menyelamatkan tiga remaja tersebut, dan mereka berempat lantas jadi buronan si pria laba-laba, all the while Cassie mikirin cara menggunakan kekuatannya untuk melawan. Tapi ini ternyata tipe cerita origin superhero yang take too long untuk membuat karakternya superhero (tiga gadis remaja tadi bahkan sama sekali belum jadi superhero hingga kredit bergulir). Ceritanya sangat aneh, tidak memuaskan baik itu ekspektasi penonton terhadap kisah superhero, maupun lingkaran journey karakter utamanya sendiri. Like, power Cassie yang sering bikin cerita atrek either ngasih keseruan atau kecohan, kayak berbanding terbalik dengan kebutuhannya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dia justru jadi better person dengan melihat masa lalu.
Cassie merasa dia gak punya waktu untuk mikirin masa depan, karena dia gak pernah mengerti masa lalunya. Dia hanya punya catatan/jurnal ibunya yang meninggal saat melahirkan dirinya, di pedalaman hutan Peru. Dia selalu menganggap pilihan ibunya sebagai tindakan negatif. Cassie berpikir hidupnya gak jelas karena sedari lahir memang udah gajelas. Tapi hidup ternyata tidak dimulai dari saat kita lahir. Karena hidup kita ternyata saling berhubungan dengan hidup orang lain.
Harusnya tayangnya pas April Mop ga sih, bukan pas Valentine
Mengambil pembelajaran dari tema ceritanya, mari kita melihat ke belakang. Ke film-film superhero 90an hingga awal 2000an. Kenapa ke masa itu? Karena persis seperti itulah vibe film ini, yang memang sesuai juga dengan timeline cerita yakni tahun 2003. Madame Web did a great job dalam mengemulasi estetik film superhero di era tersebut. Shot-shotnya, gerak kameranya, referensi pop kultur, hingga ehm.. spesial efeknya. Adegan suku manusia laba-laba di pembuka itu bahkan lebih mirip ke aksi-aksi dalam serial minggu pagi Power Rangers. Cheesy. Reaksi dan gerak-gerik karakter-karakternya pun juga punya nuansa ‘canggung’ yang sama dengan penampilan akting film-film jagoan 90an. Dialog dan ceritanya juga sama-sama over the top. Film ini terasa seperti film superhero keluaran awal 2000an, sebelum standar film superhero comic book dinaikkan oleh Marvel. Mungkin ini bisa disebut keberhasilan Madam Web, kalo kita bisa menjawab kenapanya. Kenapa film ini justru mau mengemulate era terburuk dari genre superhero? Soalnya biasanya kan, orang bikin reference nyamain ke satu jaman karena entah itu untuk tribute, karena jamannya punya banyak pengikut cult, atau mereka ingin mengambil yang terbaik dari era itu. Tapi film ini justru kayak menjadi secheesy itulah tujuan utamanya.
Di titik ini kita udah tahu Sony pengen bikin universe Spider-Man versi sendiri, but they can’t just do that karena ada MCU. Dan so far, Sony cuma bisa bikin film dari karakter-karakter di ‘sekitar’ Spider-Man, tanpa actually bisa memperlihatkan sang superhero laba-laba. Jadi mungkin Madame Web yang bisa lihat masa depan inilah kesempatan terdekat mereka untuk membuat reference, to take a shot, bercanda-canda dengan Spider-Man. Makanya film ini jadi banyak banget nyentil-nyentil Spider-Man. Bukan hanya ada Ben Parker, tapi beneran ada Peter Parker! Tapi masih bayi haha… inilah yang lantas kebablasan dilakukan oleh Sony. Film menjual Spider-Man dan lore nya lebih banyak ketimbang Madam Web jtu sendiri. Dan ini bukan sekadar karena penjahatnya seorang Spider-Person. Film beneran bersandar pada pengetahuan kita akan Spider-Man, naskah dan dialog ditulis around that. Ngebecandain Ben soal ditembak. Mancing-mancing soal nama bayi Peter. Film Madame Web ujug-ujug jadi persis kayak teman di circle kita yang ngerasa dirinya lucu dan edgy, yang dalam tiap kesempatan ngasih sneaky remarks about something dan bener-bener get in front of our faces bilang “Hahaha, get it? Get it? Ngerti doongg.. lucu kan yaa!!” padahal lucu kagak, yang ada malah annoying. Sebab penggarapan cerita utamanya malah ke mana-mana. Film ini justru kayak lebih concern sama ngait-ngaitin ke Spider-Man. Dakota Johnson jadi semakin cringe karena dialog-dialog dia sebagian besar bukan penggalian drama karakternya, melainkan celetukan dan tanggapan ke karakter lain yang sebenarnya adalah suara studio dalam menyampaikan reference Spider-Man. Deadpan-nya bukan lagi dry humor, tapi dead karena pemainnya kikuk menyampaikan dialog.
Stake cerita bahkan lebih terasa ketika kita meletakkan kepedulian kepada baby spidey haha.. My biggest care adalah Emma Roberts jadi mamak Spider-Man, dan ketika dia ikut terlibat dalam kejar-kejaran dengan si Spider-Person jahat, aku baru ngerasa peduli. Jangan sampai baby spidey batal lahir karena si jahat. Ini lucu karena momen itu cuma satu sekuen. Villain cerita ini khusus mengejar tiga gadis remaja yang ia takutkan bakal jadi superhero yang membunuhnya di masa depan (si Villain dapat penglihatan lewat mimpi soal kematian dirinya), tapi aku tidak pernah merasa peduli sama ketiga gadis tersebut. Kenapa, karena kita tidak tahu mereka sebelumnya. Dan film pun tidak actually memperlihatkan mereka berjuang dan balik melawan dan berakhir jadi superhero beneran. Beda rasanya ketika melihat mereka yang nobody dan gak dibuild up menjadi sesuatu yang pentingnya segimana (karena bahkan mimpi si jahat tidak pernah ditekankan sebagai reality betulan) dengan ketika kita melihat baby Peter dalam bahaya – karena selama ini kita sudah kenal betul sosok Spider-Man. Jadi anehnya film ini adalah pengetahuan kita akan hal yang di luar ceritanya justru memancing hal yang lebih dramatis ketimbang karakter dan cerita aktual mereka.
Dengan banyaknya referensi 2000an, aneh aja Cassie gak jelasin kekuatannya sebagai Final Destination yang era segitu amat populer kepada tiga remaja
Di sinilah terbukti film ini gak tau apa yang mau diincar. Bahwa film ini cuma ide-ide liar studio doang. Karena keluarga Parker pun lalu dikesampingkan gitu aja oleh film yang telat menyadari karakter sentral utama mereka cuma sekumpulan cewek-cewek atraktif dengan personality sekuat karakter sinetron. Heck, mungkin better kalo motivasi si penjahat supaya Peter Parker gak lahir, dan Madame Web dan tiga dara laba-laba jadi superhero yang berusaha menggagalkannya. Si Villain yang fokusnya cuma ngejar tiga gadis itu, akhirnya tampak seperti penjahat yang paling setengah hati jahatnya dan paling lemah. Dia ditabrak mobil dua kali oleh Cassie yang belum punya kekuatan berantem beneran. Aksinya tidak punya intensitas, dia malah lebih garang saat masih belum punya kekuatan ketimbang saat dia sudah jadi manusia laba-laba. Also, aktingnya juga bahkan lebih aneh lagi. Banyak adegan dia ngobrol yang kayak didubbing karena mulutnya gak gerak, tapi suaranya keluar. Aku gak tau mungkin mic mereka mati saat syuting apa gimana haha..
Yang jelas peran si penjahat ini ujung-ujungnya sama dengan cara film memanfaatkan kekuatan melihat masa depan. Cuma untuk mempermudah majunya cerita. Cassie sama sekali gak tau kenapa si Villain ingin membunuh tiga dara, dia gak tahu mereka bakal jadi superhero, tapi dia tetap menjaga mereka. Harusnya yang ditekankan di sini adalah drama yang terjalin antara mereka. Dia yang melihat mereka sama seperti dirinya, stray yang dibuang keluarga. Perjuangan mereka untuk survive harusnya bisa menyentuh hati, tapi oleh film semua itu didangkalkan. Cassie bisa berkomunikasi dengan si penjahat lewat mimpi, dan si penjahat membeberkan semua. Ini penulisan yang malas banget. Bandingkan usaha naskah ini nyisipin sneak remarks dalam tiap dialog dengan usaha naskah menggali konflik dramatis. Kelihatan kan, film ini sebenarnya bukan berniat mau ngasih cerita. Kekuatan Cassie kalo dipikir-pikir mirip dengan kekuatan Yhwach, boss di saga terakhir Bleach. Sama-sama menggunakan kemampuan melihat beberapa detik kejadian di masa depan untuk mengambil langkah dalam combat. Tapi si Cassie battlenya gak pernah keliatan seru. Melainkan konyol. Yhwach punya Ichigo yang mati-matian berusaha mengalahkannya. Cassie cuma punya penjahat yang setengah hati mengejarnya, gak pernah tampak benar-benar bahaya, dan film udah liatin goal battle mereka yang berhubungan dengan logo Pepsi Cola. Film ini lebih concern ke tamatnya harus kena logo itu!
Kesuksesan satu-satunya film ini adalah bikin tontonan dengan vibe film superhero era 2000an. Tapi buat apa? Itu adalah era yang orang senang sudah berpindah darinya, era yang gak dirindukan siapapun, dan it’s not like film ingin ngasih perbaikan dan nunjukin yang terbaik dari era tersebut. Film ini flat out mengemulasi yang terburuk dari situ. Karakter-karakter cringe dengan dialog dangkal – yang lebih diperparah lagi dengan kemauan film untuk constantly ngasih reference yang sok-sok mau bikin penasaran itu ada Spider-Man atau enggak. Aksi dan kejadian yang over the top. Konsep melihat masa depan kayak versi lite dari Final Destination, dan film never actually capitalized on that concept dengan aplikasi yang unik. Padahal kalo mau digarap bener-bener, mestinya bisa, karakternya sebenarnya punya journey. Tapi film ini mentang-mentang udah melihat ‘masa depan’ dari jagat cerita keseluruhan, jadi menaruh hati dan niatnya di tempat yang lain.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for MADAME WEB.
That’s all we have for now.
Jika hidup tidak dimulai dari saat kita lahir, apakah itu berarti hidup kita juga tidak berakhir saat kita mati?
Silakan share pendapatnya di komen yaa
Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
“What a heavy burden is a name that has become too famous”
Wrestling atau gulat pro, seperti halnya dunia hiburan yang lain, punya sisi gelap. Bintang-bintang tersohornya bisa dengan mudah jatuh ke dalam perangkap obat-obatan, misalnya. After all, ini adalah bisnis dengan tuntutan fisik dan mental yang sama menderanya. Di antara cerita-cerita kelam di balik gempitanya pertunjukan di atas ring, kisah keluarga Von Erich adalah salah satu yang paling kelam. Bayangkan dulu The Beatles, atau mungkin Koes Plus-lah yang sama-sama bersaudara, nah di tahun 70-80an, kepopuleran keluarga abang-beradik Von Erich di dunia gulat sepadan dengan kepopuleran grup tersebut di kancah musik. Dan tragedi yang bakal menimpa mereka satu persatu, membuat mereka bahkan lebih populer lagi. Sutradara Sean Durkin membawa kisah mereka ke layar lebar dalam bentuk drama biografi olahraga. Iron Claw yang jadi judulnya, merujuk kepada nama dari jurus/gerakan pamungkas gulat yang dipopulerkan oleh ayah dari abang beradik Von Erich, tapi nama tersebut akan lantas ngasih simbolisme mengerikan karena mereka memang pada akhirnya seperti tak bisa lepas dari cengkeraman besi tangan-tangan kematian. Sampai sekarang banyak fans yang menyebut keluarga ini dikutuk. Dan menariknya, Sean Durkin mengarahkan cerita ini justru ke nada yang tidak sekelam kisah yang kita tonton di episode dokumenter keluarga Von Erich. Durkin membuka sudut baru soal bagaimana tragedi mereka ini mungkin sama sekali bukan soal kutukan.
Kevin Von Erich (transformasi fisik Zach Efron sungguh niat, ampe beneran belajar teknik gulat) kini jadi tertua di antara adik-adiknya. Abang sulung mereka meninggal sejak masih kecil. Kevin ini begitu cinta kepada pro-wrestling. Dia sangat pengen memenangkan sabuk juara, seperti yang ditekankan terus oleh Bapak kepada dirinya dan kepada saudara-saudaranya. See, abu-abu itu sudah mulai terlihat. Sebenarnya Kevin hanya ingin terus bersama saudara-saudaranya. Melakukan apapun, selama bareng brothers. Tapi rumor tentang kutukan keluarga mereka mulai bothers him. Karena sekeras apapun dirinya merasa mereka berusaha, mereka masih belum berhasil. Kesempatan memenangkan sabuk emas tertinggi di bisnis mereka, belum ia dapatkan. Adik-adiknya juga terjun ke dunia gulat, tapi itupun karena mereka gagal di usaha masing-masing. Kepopuleran yang mereka dapat, itupun harus dibayar mahal. Satu persatu dari mereka bakal gugur menyedihkan saat meniti karir bergulat. Film ini did a great job at balancing soal kutukan dari nama keluarga yang Kevin dan saudara-saudaranya emban. Film ngasih kesempatan untuk terbukanya perbincangan. Perkara apakah kutukan yang Kevin takutkan itu mungkin datang dari keterpaksaan yang tak mereka akui dalam ngikutin kata atau maunya Bapak.
Transformasi yang mengagumkan, kecuali rambutnya
Bapak memang tidak kontan digambarkan oleh film sebagai pure diktator. Tapi Fritz Von Erich memanglah sosok patriarki di dalam keluarganya. Sosok yang dengan halus memantik kompetisi pada anak-anaknya. Pria yang dulunya juga seorang pegulat dan kini jadi promotor (produser) pertunjukan gulat sendiri tersebut secara casual bilang di depan muka anak-anaknya kalo dia punya ranking anak favorit. Kerry ranking satu, Kevin nomor dua, disusul David di posisi tiga, dan terakhir ada Mike yang badannya belum kebentuk karena kebanyakan main gitar ketimbang latihan gulat. Fritz menantang anak-anaknya, ranking itu bisa berubah tergantung ‘prestasi’ mereka. Sehingga sibling rivalry itu sebenarnya ada di dalam hati Kevin dan yang lain. Mereka yang semuanya cowok itu ingin menjadi yang berhasil menjawab tantangan bapak. Dari sini jualah drama itu muncul. Protagonis utama kita berkonflik, antara permintaan bapak, menjadi yang teratas di dunia gulat, tapi dia tidak ingin ‘meninggalkan’ adik-adiknya di belakang. Adalah ‘jurus’ sang bapak yang mencengkeram mereka. Yang membuat mereka mengemban nama dan kompetisi tersebut. Yang akhirnya justru membuat Kevin-lah yang ditinggalkan oleh adik-adiknya. As in, Kevin-lah satu-satunya keluarga Von Erich yang masih hidup hingga saat ini. Kevin di dalam cerita film ini, percaya kutukan itu datang dari nama belakang mereka. Sehingga ketika dia punya anak sendiri, dia tidak meneruskan nama Von Erich kepada anaknya.
Hati kisah ini ada pada hubungan persaudaraan yang terjalin dari abang beradik yang masing-masingnya berjuang untuk mengemban nama besar ayah. Seketika itu juga nama Von Erich jadi kutukan buat mereka. Karena gak ada beban yang lebih berat bagi seorang anak, selain memikul keinginan tak-kesampaian dari orang tua mereka. Namun film membahas ini dengan tidak serta merta menuduhkan bahwa mereka terpaksa, bahwa ayah mereka jahat atau gimana. Yang ingin ditekankan film adalah perspektif Kevin dalam melihat ini. Tentang gimana nama besar itu sebenarnya tidak lantas harus jadi beban, jika mereka berani memilih
Aspek gulat yang kayaknya susah dimengerti oleh penonton casual tentu saja adalah soal pertunjukan gulat itu sendiri. Serunya di mana, kan berantemnya bohongan. Terus, kalo pemenangnya udah diatur,sabuk juara itu gak berarti apa-apa dong? Aspek pergulatan si pegulat dengan kehidupannya, dengan kerjaan yang dia lakukan itulah yang menurutku dilakukan dengan baik oleh film. Karena bahkan kalo aku bandingkan dengan Fighting with My Family (2019) – my top movie 2019 – pun, finale film tersebut yang menampilkan kemenangan Paige alias keberhasilan Saraya jadi juara tidak terasa nendang bagi penonton casual karena mereka cuma tau wrestling itu sudah diatur, dan mereka gak dilandaskan makna menangnya itu apa. The Iron Claw, on the other hand, melandaskan makna sabuk juara tersebut terlebih dahulu. Kalo di Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023) kita melihat dialog penulis skenario berusaha menjelaskan kepada pacarnya yang awam film makna perpisahan La La Land bagi karakter cerita, maka di The Iron Claw kita dapat adegan dialog Zach Efron menjelaskan kepada Lily James yang berperan sebagai pasangan Kevin soal makna sabuk kejuaraan. Sehingga penonton ikut mendengar dan mengerti makna kejuaraan tersebut, bahwa yang bisa ditunjuk jadi juara adalah pegulat yang bekerja paling gigih, yang dinilai paling layak dan paling menjual. Bahwa usaha untuk memenangkan sabuk itu adalah usaha yang real, effort yang sebenarnya perjuangan, meskipun katakanlah ‘prosesi serah terimanya’ lewat pertandingan yang gerakan-gerakannya sudah diatur sedemikian rupa sehingga jadi tontonan intens yang menghibur. Dan bagi Kevin sabuk itu juga punya makna lebih, karena benda itu juga simbol approval ayah baginya.
Dan bicara soal match, film ini juga did a great job menjadikannya bukan sekadar tontonan gulat yang lebih teatrikal. Penonton juga akan diperlihatkan bahwa sekalipun matchnya scripted – film ini tidak malu untuk menampilkan Kevin dan lawannya berunding dulu soal alur pertandingan mereka di backstage sebelum mulai – tapi aksi yang dilakukan benar-benar perjuangan fisik. Kevin sakit dan gak bisa bangun beneran ketika dibanting di luar ring. Adiknya, Mike, cidera beneran karena salah mendarat dengan tangan saat sedang bertanding. Adegan-adegan tersebut juga menambah bobot kepada drama karena kita tahu mereka berusaha keras demi ayah – dan mendorong diri sendiri melewati batas – tapi tetap gagal. Menurutku film ini punya nyali cukup gede, karena beberapa Von Erich yang kita tahu di sini tergambarkan kayak terpaksa dan terlalu kompetitif demi sang ayah. Sehingga pertanyaan berikutnya yang muncul di kepala kita adalah apakah aslinya memang begitu?
Aku beneran pengen tau apa pendapat yang sejujur-jujurnya dari Kevin Von Erich yang asli terhadap film ini
Aslinya Von Erich adalah enam bersaudara. Di film ini cuma ada lima. Memang, sebuah film punya kebebasan untuk menyesuaikan beberapa hal supaya lebih cocok dengan formula naskah film. Meski film itu biografi, karena biografi bukan exactly sebuah dokumenter. Beberapa perubahan yang dilakukan oleh film ini dibandingkan kisah benerannya, aku bisa memahami. Kayak, anak-anak tertua Kevin dijadiin cowok (padahal aslinya cewek), dilakukan supaya film bisa punya ending yang membuat Kevin circled back ke soal persaudaraan dia dengan adek-adeknya yang cowok semua. Bahwa itu momen dia ikhlas dan tidak lagi menganggap yang terjadi pada kehidupan keluarganya sebagai kutukan. Melainkan melihat berkah di baliknya. Tapi tak sedikit juga perubahan yang dilakukan film, terasa agak aneh dan membuat cerita dari kisah nyata ini justru terasa dibuat-buat
Karena film tidak mau terlalu depressing, maka mereka menggabungkan kisah Chris dengan Mike, in result karakter Chris sebagai adik termuda dihilangkan sama sekali dari cerita. Mungkin yang diemban memang konsep rule of third, ada empat yang mati bakal repetitif, tapi menurutku tone dark dan depressing di cerita ini gak bisa dihindari. Justru film yang harus cari cara bagaimana membuat kekelaman itu bermuara kepada pencerahan yang dialami Kevin di akhir. Menghilangkan satu aspek, just seems kinda lazy. Cerita film ini jadi kurang mencengkeram kita dengan emosi. Perubahan aneh lagi yang dilakukan yaitu mengubah timeline kejadian. Kerry Von Erich – the most popular, satu-satunya Von Erich yang tembus main di tempatnya Vince McMahon (alias WWF yang kita kenal) mengalami kecelakaan yang mengakibatkan pergelangan kakinya diamputasi. Dan ini dilakukan film tepat setelah dia memenangkan sabuk juara dari Ric Flair. Kan aneh, kenapa setelah berhasil dia malah motoran galau hingga kecelakaan. Aslinya, kecelakaan Kerry terjadi dua tahun setelah match epik itu, dan dia galau karena masalah keluarganya sendiri. Jadi dengan mengubah kejadian, film ini justru kehilangan ritme. Berlangsung gitu aja. Film yang ingin fokus ke brotherhood justru terasa gak natural karena yang punya hidup di luar ring kayak cuma si Kevin.
Also, aku juga merasa sebaiknya adegan Von Erich yang gugur bertemu di afterlife itu gak usah ada. Karena udah bukan lagi kayak gak mau dark, tapi film jadi kayak memanis-maniskan tragedi mereka. Dan ini ngaruhnya ke message keseluruhan. Soalnya perjuangan personal Kevin untuk meyakini yang terjadi kepada keluarga mereka bukanlah kutukan, jadi berkurang karena alih-alih memperlihatkan adegan dia menerima kegelapan itu dan mengubahnya sebagai hal yang lebih positif, kita malah malah dikasih lihat kematian para adik adalah hal yang membahagiakan karena mereka di afterlife bisa jadi diri sendiri, bebas dari cengkeraman kemauan ayah.
Dengan banyak penampilan kuat dari pemeran (Jeremy Allen White sebagai Kerry juga sangat meyakinkan), beragam cameo dari real wrestler kayak Chavo Guerrero dan MJF, film ini sebenarnya film dunia gulat yang solid dan serius. Akting yang kurang kayaknya cuma yang jadi Ric Flair haha.. Mengangkat salah satu kisah terkelam dari balik ring, tapi ternyata film ini tidak diarahkan untuk menjadi sekelam itu. Posisi yang diincar film ini seperti di tengah-tengah The Wrestler dan Fighting with My Family. Gak mau terlalu ringan, tapi gak mau terlalu kelam juga. Hanya saja dengan mengincar itu film harus melakukan banyak penyesuaian yang berakhir jadi berbalik against mereka. Film yang dari kisah nyata ini justru jadi kayak drama yang terlalu dibuat-buat. It does try to open discussion soal tragedi mereka, berusaha respek sama karakter dan sama bisnis gulat itu sendiri, tapi porsi dramanya mestinya bisa ditonedown sedikit. Karena sebenarnya kan, biarlah kelam asal true, daripada berusaha mencari sesuatu tapi bukan dengan menggali lebih dalam melainkan mengatur posisinya sendiri.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE IRON CLAW.
That’s all we have for now.
Menurut kalian apakah Fritz di film ini memang sebenarnya memaksakan kehendak kepada anak-anaknya, memaksa mereka untuk terjun ke dunia gulat?
Silakan share pendapatnya di komen yaa
Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Kita sudah masuk bulan kedua di tahun yang baru, so how’s 2024 treating you so far? Adakah resolusi yang sudah beres? Atau masih banyak yang kangen sama tahun 2023? Well, untuk itulah award ini diadakan. Dua belas tahun yang lalu, aku pikir, gimana caranya menghimpun semua kejadian di tahun yang udah lewat dengan cara yang gak boring ya? Jadi, ya, pertama, My Dirt Sheet Awards bukan exactly kayak award film, tapi sebenarnya lebih seperti kaleidoskop tahunan yang merangkum apa-apa saja yang terjadi selama setahun. Kedua, award ini memang sudah setua itu. Dua belas tahun. Satu dua. Tu, Wa!
Dan demi benar seperti orang-orang tua berkata; yang penting semangatnya. Tahun baru berarti semangat baru. Semangat untuk terus menjadi lebih baik. Untuk itu, marilah kita meriahkan dulu award yang agak lain ini. Supaya kita ingat apa yang harusnya diperbaiki, dipertahankan, ditinggalkan, atau juga yang tidak divote saat Pemilu mendatang. Siap? Tu, Wa, ga, pat!!
TRENDING OF THE YEAR
2023 sama seperti tahun-tahun lain, akan dikenang baik itu dari baik maupun buruknya. Berikut nominasi dari hal-hal yang sukses ngetren ketika itu: 1. Barbenheimer Ketika film Barbie dan Oppenheimer rilis di waktu berbarengan, terjadilah fenomena luar biasa. Bioskop meledak karena dua film ini bukannya saingan, tapi malah jadi perayaan sinefil sejagat raya! 2. Chipi Chipi Chapa Chapa Mungkin inilah power TikTok. Lagu random dari tahun-tahun yang lalu, dari mana saja, bisa tiba-tiba populer dan seketika jadi meme viral. Seperti lagu anak 2000an yang penggalannya dipakai untuk bikin video kucing nari ini. 3. Grimace Shake Untuk peringati ultah salah satu maskotnya, McDonald di Amerika bikin menu minuman khusus berwarna ungu (sesuai warna Grimace, si maskot). Dan remaja di sana dengan kreativitas mereka bikin tren video-video efek ‘mengerikan’ dari meminumnya 4. Iklan Indro “Don’t Know? Kasih No!” Disebut-sebut sebagai iklan dengan copywriting terkreatif, iklan BCA yang nampilin Indro Warkop dan plesetan nama teman segrupnya jadi viral, karena selain fun iklan ini benar-benar lebih efektif ngasih edukasi tentang penipuan data-data digital 5. Joget Gemoy Dari film Popstar: Never Stop Never Stopping (2015) kita belajar, orang yang gak punya substance, maka yang bisa ia jual cuma stage act. Dan sayangnya, gimmick-gimmick begitu cenderung berhasil. Lihat saja senjata andalan Prabowo untuk nyapres ini. Joget yang sukses viral! 6. Kasus Penganiayaan David Memang bukan sekali ini kasus kriminal berhasil trending dan jadi bahasan masyarakat. Kayaknya hampir tiap tahun ada ya..ngeri… Kali ini kasusnya adalah pengeroyokan remaja, yang diduga dilakukan oleh anak-anak petinggi, atas hasutan perempuan yang juga bukan anak orang sembarangan, apparently. 7. Masbro Capybara Capybara yang asli Amerika Selatan terkenal lantaran tampangnya yang nyante jadi poster buat meme lucu, masuk ke Indonesia namanya ditambah “masbro” saking nyantenya tampang makhluk lucu itu 8. Putri Ariani Anak bangsa yang menggapai prestasi di ajang America’s Got Talent. Sukses jadi juara keempat. Dan video penampilannya itu telah ditonton lebih dari 50 juta kali
Kita semua berharap piala itu jatuh ke yang baik. Dan inilah pemenang The Dirtys pertama kali ini:Boom!! Sebagai penonton film, tentu fenomena Barbenheimer akan terus teringat olehku. Film-film ini menyatukan sinefil-sinefil yang suka berantem selera itu. Plus, Barbenheimer bikin orang kreatif dengan berbagai macam fan-art, poster editan, dan segala macam kaos dan asesoris.
Setelah penayangannya, film Barbie dan Oppenheimer tinggal mendulang kesuksesan masing-masing. Kayak di award ini, Barbie actually memecahkan rekor. Dua karakter ceritanya, Barbie dan Ken, actually berhasil menjadi pasangan pertama dalam sejarah dua belas tahun award ini, yang masuk nominasi Couple dan Feud – dua nominasi yang sangat berseberangan – dalam satu tahun yang sama! Berhasilkah mereka memenangkannya? Kita langsung lihat saja
COUPLE OF THE YEAR
Nominasinya adalah: 1. Bagus & Hana Pasangan yang membuktikan romantis itu bukan milik anak muda saja 2. Barbie & Ken Dua orang yang tercipta sebagai pasangan, akan terpatri untuk menjadi sahabat baik selamanya… iya kan? 3. Buya Hamka & Siti Raham Lambang kesetiaan cinta yang kembali diangkat dan diabadikan lewat film Buya Hamka 4. Ember & Wade Dalam hubungan yang penting adalah saling mengisi, dua elemen yang berbeda bisa menghasilkan chemistry luar biasa 5. Maddie & Percy Mereka awalnya boleh awkward dan agak red flag, tapi disatukan karena mentally, mereka saling butuh satu sama lain 6. Scott & Ramona Scott harus ngalahin tujuh mantan Ramona sebelum mereka bisa resmi pacaran! 7. Sherina & Sadam
Dua sahabat yang sepertinya ditakdirkan bersama, ah, pasti banyak banget yang nungguin mereka jadian 8. Suzume & Shouta Jika kisah cinta itu magical, maka apalagi yang lebih magical dari petualangan Suzume dan Shota – yang sempat jadi kursi anak TK?
Memang dalam cinta, kedua pihak harus sama-sama memperjuangkannya. Maka The Dirty kategori sweet ini diberikan kepadaaa
Dalam serial Netflixnya, diceritakan Ramona juga ternyata berjuang mati-matian untuk berdamai dengan masa lalu sebelum bisa menerima Scott. Love is some fight! Congrats guys, sekarang, pergilah sana beli coklat…
FEUD OF THE YEAR
Kategori ini nominasinya agak beda dari biasanya yang memang antara dua pihak. Sekarang, karena makin hobinya orang nyari ribut, seteru itu bisa datang dari antara orang dengan ide. Bayangkan! 1. Childfree vs. Parents Paham ‘banyak anak banyak rezeki” ditantang oleh paham kekinian yang katanya lebih baik tidak punya anak sama sekali 2. Elon Musk vs. Mark Zuckerberg Mark Zuckerberg bikin platform tandingan X (alias Twitter) yaitu Thread untuk pengguna Instagram. Digadangkan sebagai Pembunuh Twitter, Mark lalu terang-terangan menantang – dan disambut oleh Elon. Mau berantem fisik ala MMA, malah cage match juga katanya 3. Founding Titan Eren vs. Everyone Akhir serial Attack on Titan mempertarungkan Eren yang udah jadi Titan ‘raksasa’ yang pengen meluluhlantakkan bumi, melawan semua orang yang berusaha menyetop gagasannya. Klasik protagonis jadi antagonis 4. K-Popers vs. Fans Bola Rebutan stadion bola. Fans bola gak terima ketika stadion dipake buat acara konser-konseran seperti K-Pop 5. Ken vs. Barbie Merasa kurang diapreasiasi, Ken yang salah kaprah belajar soal maskulinitas berbalik jadi berusaha menguasai Barbie dengan sistem patriarki 6. Masjid vs. Transportasi Umum Di ujung masa jabatan, Ridwan Kamil dituntut untuk mempertimbangkan pembangunan transportasi yang lebih layak, tapi dia malah memilih secara over the top membangun mesjid 7. Pemerintah Lampung vs. Kritik Bima Bima hanyalah anak muda yang mengkritik pemerintah daerahnya, tapi pemerintah Lampung langsung bereaksi kelewat defensif 8. Pemilik Resto vs. Review Jujur Pemilik resto gak diterima ketika seorang food blogger/vlogger menilai makanan dan tempatnya dengan sedikit agak terlalu jujur 9. Rachel Zegler vs. Snow White
Rachel Zegler didapuk jadi pemeran di film live action Snow White yang akan datang. Tapi dia langsung kena cancel netizen berkat komennya yang menjelek-jelekkan Snow White original. 10. SAG-AFTRA vs. AMPTP
Ribuan aktor dan pekerja film anggota SAG-AFTRA berdemo kepada asosiasi, meminta kondisi kerja yang lebih layak, serta memprotes kebijakan penggunaan artificial intelligence dalam pembuatan film yang merugikan mereka
Seteru dapat jadi bermakna, jika sampai pada konklusi yang konkrit, dan pihak yang benar yang menang. Maka The Dirty jatuh kepadaa Hampir empat bulan loh aktor dan pekerja film di Hollywood sono mogok. Mereka benar-benar menolak ‘bikin film’ lagi kalo tuntutan mereka tidak dijamin. Dan hasil dari kesepakatan mereka, tentunya bakal bikin pelaku film happy sehingga film-film diharakan bisa lebih baik lagi.
Salah satu concern terbesarnya memang berangkat dari penggunaan A.I. Perlu diakui, kalo digunakan dengan bijak, A.I. memang bisa menolong dalam bikin karya, tanpa mendegradasi seniman asli. Tapi di tangan orang kikir, pemalas, dan gak peduli sama kreasi, A.I. jadi alat gampang dan cepat menuju hasil yang padahal sebenarnya pun gak bagus-bagus amat. Tapi karena less cost, A.I. jadi sering dipilih. Pekerja kreatif beneran jadi gak kepake, padahal mereka bekerja dengan ilmu dan pake hati. Bukan hanya kumpulan data doang. Karena itulah, My Dirt Sheet Award kali ini khusus bikin satu kategori. Untuk mempermalukan yang memang udah bebal alias tidak tahu malu.
MOST SHAMELESS USE OF A.I.
Para nominee berikut ini bukannya enggak diprotes loh. Mereka cukup banyak diserang dalam berbagai rupa, ditegur, diingatkan soal A.I. tapi ya cuek aja. Maka kita kasih piala sekalian. Pilihlah di antara mereka 1. Poster promosi film; Film Pasutri Gaje Poster promosi yang langsung dihujat. Pertama, karena pake A.I. sehingga banyak elemen gambarnya yang ngaco. Dan kedua, gak nyambung ama vibe film yang tentang pasangan PNS. Lah posternya malah cyber punk! 2. Cameo para Superman; Film The Flash Gak satupun aktor pemeran Superman sebelumnya, baik yang masih hidup, maupun pihak dari yang sudah tiada, dihubungi dan mendapat persenan dari adegan yang ‘nostalgia’ di film The Flash ini. Mentang-mentang bisa tinggal pake data A.I. 3. Propaganda untuk playing victim; Israel Orang bilang semua fair dalam cinta dan perang. Mungkin itu benar. Kecuali pakai A.I. untuk sebar berita bohong demi dapat simpati dari nunjukin pihak opresor sebagai victim teraniaya 4. “Art” Hidden Words; Netizen Netizen juga ‘berdosa’. Seru-seruan main cari kata dari gambar A.I. generated, yang bahkan gak lucu. Mending main-main ama stereogram deh 5. Klip video musik; Melly Goeslaw Meski sahabat, atau teman dekat, atau mungkin sudah dapat izin, tapi ‘menghidupkan’ kembali penyanyi yang sudah meninggal untuk menjual video klip musik seolah dia hidup dan turut bernyanyi tetap terasa kurang etika. Gak cukup hanya dengan foto aja? 6. Kampanye Pemilu; Prabowo dan Gibran Mungkin karena joget itu capek, maka Prabowo dan calon wakilnya, Gibran punya senjata lain untuk menarik masa. Gambar-gambar imut buatan A.I.!!
Dan, yang paling gak tau malu, adalaahh Hampir semua materi kampanye mereka pakai gambar A.I. Lucunya, gambar-gambar ‘gemoy’ mereka itu jadi gak konsisten gaya animasinya hahaha… masa sejak nyalon aja udah tidak buka kesempatan untuk artis/pekerja manusia, tapi kampanyenya janji menyejahterakan rakyat
Daripada capek ngomongin penyalahgunaan A.I. baiknya kita beralih ngomongin karya yang benar-benar melibatkan banyak bidang ilmu dan orang-orang ahli. Kategori berikut merupakan salah satu kategori favorit, karena membahas film – dan beberapa tahun belakangan mulai melirik ke series.
BEST SCENE IN MOVIE/SERIES
Yang mana adegan favorit kalian dari jajaran nominee ini? 1. Dog Attack; film When Evil Lurks Aku gak nyangka film ini tega bikin adegan anjing peliharaan seperti begini!! 2. Drone Scene; film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Adegan ikonik yang bakal diingat lama sekalii oleh sinefil tanah air, semoga bisa bikin orang makin jatuh cinta sama film 3. Grave Scene; film Saltburn Satu lagi adegan tak terduga, Sutradara ama aktornya pasti sinting beneran for doing this hahaha 4. Last Ritual; serial Servant season 4 Adegan bunuh diri yang puitis sekaligus seram banget sebagai akhir dari serial ini 5. M3GAN Dance: film M3GAN Tadinya sempat ragu, ini baiknya masuk Trending atau Best Scene, saking ngetrennya! 6. Ngomel di Kolam Lele; film Budi Pekerti Aku sontak ngakak melihat Prilly tau-tau ngomel. Lele-lele itu salah apaaa 7. Overhead Gun Fight; film John Wick Chapter 4 Adegan action ala video game terbaik yang muncul bukan dalam video game, tapi malahan dalam film 8. Victory Speech; film Oppenheimer Kalo kalian ngantuk nonton Oppenheimer, shame on you, and also – kalian pasti melek di adegan ini! 9. What’s Going On; film Teenage Mutant Ninja Turtles Mutant Mayhem
Siapa sangka adegan kejar-kejaran di film KKN ini make soundtrack lagu What’s Going On, yang bukan hanya versi original lagunya, tapi juga pake versi meme-nya!! 10. Zombie Shark; film Zom 100 Bucket List of the Dead
Aku yakin kalo judul film ini Zombie Shark, film ini lebih populer. Karena exactly itulah hal paling luar biasa di film ini, kemunculan hiu berkaki yang jadi zombie!!!
And The Osca–eh salah, The Dirty goes to
Aku gak pernah nyangka Christopher Nolan juga piawai bikin adegan psikologis yang menghantui seperti ini.
Kategori Best Scene dan Feud of the Year menjadi dua kategori dengan nominasi paling banyak, Tapi sebenarnya kategori berikut ini juga punya kandidat nominasi yang gak kalah banyak. Aku sampai bengong, kalo yang paling banyak itu di antaranya adalah Feud dan Bego, berarti memang orang jaman sekarang udah terlalu banyak pake ngotot apa gimana hahaha
BEGO OF THE YEAR
Beruntung aku bisa mengkerucutkan menjadi delapan nominasi. Karena ya malu juga, kok bisa yang bego-bego bisa sebanyak itu. Soalnya, kategori ini balik ada lagi aja sebenarnya udah malu-maluin kan. Oke, inilah nominasinya 1. Asam sulfat untuk ibu hamil Kebegoan ini perlu untuk kita selebrasi supaya jadi pelajaran, jangan suka pake istilah-istilah kalo gak benar-benar paham, dan betapa salah sebut itu bisa berdampak fatal hihihi 2. Bahasa Arab dikata lagi baca do’a Al-Quran memang ditulis dalam bahasa Arab, Tapi tidak berarti semua bahasa Arab berarti bacaan ayat suci, Maliihhhh!!! 3. Bercanda bom di dalam pesawat Anak kecil baru netes mestinya juga tau, gak boleh becanda soal bom di dalam pesawat. Penumpang yang satu ini totally deserved it karena udah sok keren dengan ngelucu tanpa tau aturan. 4. Freezer daging dan Iblis pada film Para Betina Pengikut Iblis Film Para Betina Pengikut Iblis jadi satu-satunya film di 2023 yang kukasih rating F (alias bego), pertama karena penampilan konyol Adipati Dolken yang jadi iblis, dan kedua karena ada freezer daging di desa yang lampu aja susyeee 5. Generasi TikTok gak ngerti cermin Serius deh, anak sekolah sekarang belajarnya apa sih, masak cermin dikata ajaib??? 6. Jokowi dkk salah tap kartu KRL Sebagian besar waktu memang dokumentasi memang cuma berniat untuk pencitraan, tapi ya, gak bisa ngasal kayak gini jugaa 7. Prewed bakar Bromo
Gak tau deh ide dari mana konsep foto prewed di alam dengan vegetasi yang mudah terbakar, pakai kembang api. 8. Pride parade di depan anak-anak kecil C’mon mereka masih kecil. Consent aja mereka belum ngerti, jangan dijejali dulu dengan pemandangan yang bisa banyak menimbulkan keruwetan. If anything, mereka harus tau dulu mereka bisa ada karena apa.
Mungkin memang intinya adalah edukasi. Zaman sekarang edukasi kayak agak terpinggirkan, karena sekarang tu, kayak, yang penting adalah perasaan. Akibatnya ya, kayak pemenang The Dirty inii
Tadinya kupikir cuma di luar sono. Tapi ternyata di sini juga mulai ramai video-video tiktok dari anak muda yang mempertanyakan cermin. Lalu di Twitter, ramai anak muda mempertanyakan bahasa kalimat soal cerita matematika. Mereka malah nyalahin bahasa pertanyaannya, yang dianggap ribet. Dan mengingat sekarang juga era konten, aku jadi ragu sendiri mereka memang beneran gak tau atau pura-pura demi konten. Tapi yang jelas, dua-duanya itu ya tindakan yang sama-sama bego
Generasi muda perlu banyak belajar. Gak usah dari yang tua-tua. Belajar dari sesama yang muda pun sebenarnya bisa, asal tau contoh yang benar. Ini bikin aku jadi kepikiran, anak-anak sekarang punya jagoan atau suri tauladan yang sesama anak-anak gak ya? Do they even watch film tentang anak-anak atau semacamnya, anymore? Mungkin ini salah yang tua-tua juga. Begitu disconnected dengan masa muda sehingga tak bisa menuliskan karakter anak yang menarik.
BEST CHILD CHARACTER
Kategori berikut ini, adalah untuk mengapresiasi penulisan karakter-karakter anak di berbagai media, yang berbobot tanpa melupakan kodrat mereka sebagai anak-anak. Something yang apparently susah tercapai oleh sebagian besar penulis cerita. 1. Cady, dalam film M3GAN Melalui Cady yang kehilangan kedua orang tua, film M3GAN bicara tentang ketakutan terbesar anak-anak, kehilangan figur terdekat 2. Ellie, dalam serial The Last of Us Ellie anaknya lucu, berani, dan yang paling penting dia mengembalikan naluri kebapakan dan memberikan kesempatan redemption kepada Joel 3. Mahito, dalam film The Boy and the Heron Bahkan orang dewasa perlu untuk belajar bagaimana menerima kehilangan. Mahito harus dealing with that lewat petualangan di dunia yang ajaib dan tidak bisa sepenuhnya ia mengerti 4. Margaret, dalam film Are You There God? It’s Me, Margaret. Biarkan anak menemukan sendiri jalan hidupnya. Margaret yang polos, berusaha mencari cara yang benar untuk berkomunikasi dengan Tuhan, yang dia juga gak tau Tuhan mana yang benar itu 5. Nirmala, dalam game A Space for the Unbound Karakter anak paling kompleks se2023 ternyata berasal dari game. Nirmala senang menulis, tapi dilarang ayahnya, dan dia juga kehilangan sahabat. Sehingga akhirnya dia ‘kabur’ ke dalam dunia karangan dalam kepalanya sendiri 6. Sophie, dalam film Aftersun Man, ternyata nyaris semua karakter anak di sini berhubungan dengan kehilangan haha.. Bedanya Sophie ini adalah she’s all about memory
The Dirty dibawa pulang oleehhh I don’t think karakter seperti Margaret bisa ada di film atau cerita negara kita. Bahasan agama dan kepercayaan terlalu kontroversial, apalagi dengan sudut pandang anak kecil. Makanya, selain Margaret dapat award, aku juga menobatkan filmnya sebagai TOP MOVIES 2023, daftar lengkapnya bisa dibaca di sini.
Kalo dari kecil udah bener, dijamin gedenya bisa agak bener. At least, gedenya gak bakal bikin konten kayak gak tau cara kerja cermin itu lagi. Gak ngisi dunia dengan bunyi-bunyian gak penting. Speaking of it, berikut kategori untuk kuote-kuote ajaib yang paling bikin jengkel sepanjang tahun 2023. Quote yang sebenarnya cringe, gak jelas, kelihata banget gimmick/bo’ong, tapi sialnya sering banget kedengeran karena cukup populer.
MOST ANNOYING QUOTE
Nominasinya adalah: 1. “Berchandyaa” yang dipopulerkan oleh mbak-mbak UGM 2. “Chika Womp Womp” rap si Awkwafina sebagai Scuttlebutt di film The Little Mermaid 3. “Menyiapkan sebelum dunia terbangun” sesumbar XXI dalam video iklan company mereka 4. “Pelan-pelan Pak Sopir!” dari video TikTok ibu-ibu 5. “Pinjam dulu seratus” jadi meme di sosmed 6. “Semua manusia di bumi ini bingung. Nanti gak bingung kalo sudah di Surga” ngelesnya Aldi Taher
And The Dirty goes toSampe Coldplay aja keracun loh, bayangin! Ahahaha
Kategori yang satu ini, sebaliknya, merupakan suara-suara yang enak dan lucu sekali didengar karena juga diiringi dengan penampilan yang oke (yaiyalah soalnya sebagian besar juga adegan dari film xD)
BEST MUSICAL PERFORMANCE
1. Alexa Bliss nampil di acara Masked Singer “Can’t Fight the Moment”
2. Bowser “Peaches”
3. Ken “I’m Just Ken”
4. Sebastian & Ariel “Under the Sea”
5. Theater Camp Kids “Camp isn’t Home”
6. Virgo and The Sparklings “Salah”
The Dirty jatuh kepada: “Joan, still!!!!” duh ku masih bergolak haru dan triumph kalo liat adegan performance film Theater Camp itu
Sehubungan dengan anak-anak itu, aku jadi kepikiran untuk kategori khusus satu lagi. Yakni kategori kakak-adik. Atau lebih spesifik, kategori untuk kakak-adik laki dan perempuan. Kayaknya udah mulai langka cerita yang sentralnya dinamika sepasang kakak adik seperti Lupus dan Lulu. Dan kebetulan di 2023, dinamika itu seperti muncul lagi. Jadi, kukumpulkanlah mereka untuk nominasi di kategori spesial ini:
BROTHER-SISTER OF THE YEAR (LUPUS-LULU AWARD)
Yang seru dari kakak-adik cowok dan cewek ini adalah mereka gak saingan. Gak saling cemburu. Seperti Lupus dan Lulu ataupun dalam cerita Goosebumps, mereka suka saling mengganggu, saling menjahili, tapi when time gets though, mereka akan saling bantu. 1. Archie-Rose Sandford, dalam film Leave the World Behind Mereka kayak classic Goosebumps siblings. Abang yang kinda lonely, harus jagain adiknya yang obses namatin serial Friends, saat sesuatu mengerikan terjadi di dunia tempat mereka tinggal 2. Boy-Ina, dalam film Catatan si Boy Kakak beradik ini yang jadi pemicu kategori ini lahir, ngingetin aku bahwa dinamika siblings seperti mereka cukup jarang ditemui 3. Cate-Kentaro, dalam serial Monarch: Legacy of Monsters Saudara tiri yang tadinya gak tau apa-apa tentang keberadaan masing-masing. Kerjaan ayah mereka yang misterius menyangkut Godzilla yang mempertemukan mereka berdua 4. Mike-Abby, dalam film Five Nights at Freddy’s Kakak adik harus saling melindungi, dan dua bersaudara ini amat sangat melambangkan hal tersebut 5. Mindy-Chad, dalam film Scream VI Siblings favorit fans kedua dari apa yang sepertinya bakal jadi Trilogi Scream modern. Udah keturunan, toh mereka adalah sanak dari Randy, fan favorit di OG Scream 6. Nina-Kyle Morgan, dalam film The Family Plan Tadinya saling cuek, tapi begitu terlibat masa lalu ayah mereka yang ternyata superspy, Nina dan Kyle Morgan jadi dekat dan mereka jadi kompak 7. Roderick-Madeline Usher, dalam serial The Fall of the House of Usher Gak ada yang gak bisa ditempuh oleh dua bersaudara ini. Kita melihat gimana mereka ini tumbuh hingga dewasa, basically menguasai dunia bisnis, dengan melakukan hal kelam, sampai dealing with devil segala! 8. Sultan-Bilqis, dalam film Gampang Cuan Karena sayang ibu-lah, dua anak rantau bersaudara ini nekat ‘menipu’ ibu mereka dengan berpura-pura sukses dan kaya raya. Nah loh??
Piala The Dirty ini jatuh kepadaaa Gampang Cuan suprisingly bikin karakter bersaudara yang terasa real, despite hal-hal nekat yang seringkali over the top hingga menyerempet kriminal yang mereka lakukan. Berantem, marah-marahan, kompak-kompakan, saling melindungi, semuanya mereka lakukan!
Sebagai anak cowok sulung yang punya adek cewek, dan adek cowok, aku bisa mastiin punya adek itu seru. Anak sulung itu punya kewajiban, terutama menjahili adik-adiknya. Dan anak sulung punya hak tak-terbantahkan untuk, selalu jadi Player 1 kalo lagi main video game hihihi… Tapi urusan main game itu, gak enaknya jadi abang adalah seringkali harus ngalah supaya adik masih mau main dan gak nangis. So yea, kalo ada adekku yang baca ini – anytime aku kalah main game, itu aku cuma pura-pura kalah aja ahahahaha!!
GAME OF THE YEAR
Oke, serius dikit. Video Game makin ke sini, tentu saja makin keren-keren. Industri Video Game juga punya award sendiri. Dan menurutku yang masih kurang ditonjolkan ketika orang bicara video game, adalah penulisannya. Buatku, kalo diurut yang penting dari game itu, pertama gameplay-nya, kedua tingkat kesulitan, ketiga penulisan, dan terakhir baru grafik, Hmm.. semoga pengantar itu enggak ngasih spoiler terlalu banyak soal siapa yang menang di antara nominasi berikut: 1. A Space for the Unbound Pixel arts buatan Indonesia yang udah kayak slice of life fantasi ala Studio Ghibli, tapi game! 2. Blasphemous 2 Sekuel dari Blasphemous, game metroidvania yang menonjolkan estetik berdarah dari mitologi/role Christianity 3. Hogwarts’ Legacy Game open world di mana kita jadi murid Hogwarts!! Siapa yang gak mau main ini? 4. Marvel Snap Membawa kita makin kenal dengan karakter-karakter Marvel lewat permainan kartu, game untuk smartphone ini nyaris instantly populer 5. Marvel’s Spider-Man 2 Best video game dari segi teknis, betul-betul nunjukin seberapa maju teknologi video game masa kini, plus simply punya cerita dunia Spider-Man yang sangat keren 6. The Legend of Zelda: Tears of the Kingdom Kalo suka genre fantasi, game terbaru Zelda ini akan lebih bikin kita tercengang. Animasi dunianya yang luas itu sangat cakep, banyak yang berargumen game ini adalah game Zelda terbaik 7. WrestleQuest
Konsep industri pro-wrestling dijadiin cerita petualangan fantasi ala game RPG. Sebagai penggemar wrestling dan game RPG, jelas buatku ini adalah game impian!
Baiklah tanpa banyak loading-loadingan, inilah pemenangnyaaa
Di channel YouTube My Dirt Sheet aku upload playthrough game ini dari awal sampai tamat. Bagi yang udah nonton, kalian tahulah betapa tercengangnya aku sama cerita game ini. Gameplaynya standar, gambarnya pixel arts yang sederhana, retro, tapi hey siapa bilang pixel arts gak bisa cantik dan ciamik? Aku suka banget pixel arts malah, ketimbang grafik yang fotorealistik. Tapi toh memang karakter-karakternya, cerita mereka, wuih, itulah yang menonjol dari game ini. Aku benar-benar berharap ada produser film yang mengadaptasi ini jadi feature film. Tema yang dibahaspun urgent, tentang bullying, tentang persahabatan, konsep fantasinya certainly bakal jadi tantangan seru untuk filmmaker. Bener loh, jangan sampai keduluan produser film negara lain yang ngangkat game anak bangsa ini. Karena di luar sono pun, game ini populer sekali. Bangga!
Dari cantik dan berprestasi satu, ke cantik dan berprestasi yang lain, kita sampai ke kategori favoritku
UNYU OP THE YEAR
Berikut adalah nama-nama biggest crush-ku sepanjang 2023, artis-artis cewek cantik, keren, dan aku percaya bakal bersinar di kemudian hari. 1. Arla Ailani Paling suka ngeliat Arla meranin karakter galak. Tapi di tahun 2023, dia expand aktingnya dengan mainin tipe karakter berbeda di Gita Cinta dari SMA, di Pamali 2: Dusun Pocong, juga di film pendek Kalau the Series season 2 2. Cailee Spaeny Tahun 2018 lalu Cailee pernah masuk nominasi, dan dia comeback. Stronger than ever. Aku suka banget liat peningkatannya aktingnya pas main sebagai kekasih Elvis di Priscilla 3. Kaitlyn Dever Salah satu penampilan horor terbaik di 2023, Kaitlyn Dever akting maksimal di No One Will Save You, fisik dan mental. Dan dia bahkan gak bersuara di film itu! 4. Kathryn Newton Penampilannya sebagai Casey Lang, anak Ant-Man, memang gak berkesan buat penonton yang udah jenuh film superhero, tapi Kathryn termasuk langganan di nominasi ini. Kusuka karena dia ramah banget, salah satu dari sedikit sekali artis luas yang bales kalo kukirimin sketch haha 5. Melissa Barrera Aku gak ngefans-ngefans amat, tapi respekku buat pemeran utama Scream VI ini naik berkali lipat karena sikap tegasnya berani bersuara mendukung Palestina, sampai-sampai dia dipecat dari Scream. And she didn’t even flinch. You rock, girl! 6. Nell Tiger Free Nominasi Nell memang tinggal nunggu waktu. Sedari Servant season awal, aku sudah naksir, dan penampilannya di season akhir ini udah gak bisa enggak lagi. Harus masuk nominasi! 7. Zoe Colletti
Penampilannya di The Family Man benar-benar mencuri perhatian, aku bakal duduk nungguin kalo ada film barunya lagi nanti
Daaan, akhirnya The Dirty dibawa pulang oleeehhh
Arla mukanya mirip-mirip Alessia Cara gak sih? Kalo menurutku sih iyes, I guess I have a type, karena dua-duanya pernah menang kategori ini hihihi..
Dan oh how lucky I am, di 2023 pernah ketemu langsung sama Arla. ngeinterview. Orangnya ramah bangeeet, dan ini membawa kita ke kategori berikutnya, karena berkaitan.
MY MOMENT OF THE YEAR
Aku dapat tanda tangan dua pemenang Unyu op the Year dooongg. Waktu ketemu langsung sama Arla, dan waktu ikut kontes review/komen drakor terbaru Lee Eun Saem (pemenang Unyu My Dirt Sheet Awards 11) ulasan singkatku kepilih jadi 1 dari 10 fans di SE Asia yang dapat polaroid bertandatangan si Ms. Shibal bareng Yeri Red Velvet yang jadi lawan mainnya di serial BitchXRich itu. Dapatin polaroid itu perjuangan juga, karena fotonya sempat ilang di pos Bandung hahaha
Jadi walaupun ku gak lolos lomba kritik film beneran karena tulisanku memang banyak menilai filmnya ketimbang jadi laporan ilmiah pake abstrak, aku seneng-seneng aja. Toh yang jelas tahun 2023 semakin produktif. Tulisanku tentang film dimuat di Zine dari Bandung Film Commission, ada lima edisi. Konten di channel YouTube juga makin giat. Rampung 5 playthrough game, salah satunya A Space for the Unbound tadi. Trus 2023 ngapain lagi ya? Oh iya, aku bareng temen-temen di FFB juga ikut lagi Liga Komik setelah tahun sebelumnya absen, Alhamdulillah masih bisa jadi runner ups. Dan akhirnya, aku mudik ke Riau setelah 3 tahun mendekam di Bandung karena gak bisa kemana-mana selama covid.
Tapi di balik kesenangan, juga ada kesedihan. I lost my cat. Si Ucil itu kirain musim kawin seperti biasa dua minggu sekali ada hilang 3 harian, tapi ternyata November itu Ucil memang sama sekali gak pulang. Sedih sih, kayak kehilangan anak. Karena Ucil yang adek Max itu juga dirawat dari baru lahir. Lima tahun digedein, dan dia ilang tanpa pamit (ya namanya juga ilang haha) Semoga hilang karena dapat rumah baru yang lebih baik ya, Cil!
Kehilangan yang kualami memang enggak seujung kuku bagi kehilangan yang dialami banyak orang lain di tahun 2023. Ada kapal selam karam, bencana alam, bahkan penembakan. Untuk korban gempa Syria, untuk korban riot di Perancis, untuk Emak, untuk Bray Wyatt yang pergi terlalu cepat, untuk Iron Sheik, untuk anak-anak dan orang tak bersalah korban genosida di Palestina. Untuk semua yang gugur, marilah kita panjatkan doa.
Mengheningkan cipta
MOMENT OF SILENCE
….
….
Mulai!
….
….
….
….
….
….
….
….
Selesai!
Harapan kita semua tentu saja semoga ada lebih banyak cinta di dunia. Semoga damai, apapun itu perbedaan pandang bahkan perbedaan pilihan politik kita semua.
Untuk menutup award ini, satu kategori lagi akan diberikan.
SHOCKER OF THE YEAR
Kategori untuk hal-hal mengejutkan yang terjadi di sepanjang 2023. Mari kita simak runner-ups terlebih dahulu: 1. Arab jadi hijau!? 2. Ash dan Pikachu tamat! 3. Wajah Kenny South Park akhirnya di-reveal!! 4. Yugioh original (OGC) hadir untuk region Indonesia! 5. Twitter ganti nama jadi X!!! 6. Anak presiden bisa daftar cawapres dan aturan yang dibengkokkan!!!?! 7. Slank bikin lagu Polisi Baik..?! Iya, Slank yang itu!! 8. Mantan intelligence service Amerika bilang bahwa Alien beneran ada!?!! 9. Deck Exodia boomer memenangkan turnamen yugi modern!! 10. Naik bus, laptop bisa berganti jadi keramik?!!! 11. Rick and Morty justru bagus tanpa kreator originalnya!!
Semoga belum pada jantungan, sebab inilah yang paling mengejutkan
Kutak bisa ber-word-word begitu melihat judul berita itu di timeline. Kenapa gak sekalian juga ya yang gila boleh nyalon jadi presiden. Eh, apa udah juga ini?
Yang jelas, Pemilu 2024 sudah menyongsong di depan mata. Dari beberapa nominasi award ini bisa dilihat, ibarat lomba, ini adalah lomba yang sedari babak pendaftarannya jelas ada peserta yang curang, tapi lomba ini tetap dilanjutkan dan yang curang itu malah diturutin maunya. Kalo aku sih, lebih milih lombanya yang diprotes dan baru diteruskan setelah semuanya bener supaya pasti gak ada kecurangan-kecurangan susulan. But that’s just me
That’s all we have for now.
Semoga hingga akhir tahun 2024 kita semua masih menyala oleh energi positif. Atau paling enggak masih punya energi, untuk ikutan award ini tahun depan hihihi
Remember in life, there are winners. And there are losers
We still the longest reigning BLOG KRITIK TERPILIH PIALA MAYA.
“We live in a fantasy world.. the great task in life is to find reality”
Kita sekarang hidup di dunia fiksi. Memperdagangkan trauma dan kesedihan. Itulah realita yang digambarkan dalam American Fiction, debut penyutradaraan Cord Jefferson. Film adaptasi novel ini di tangannya menjadi komedi satir yang aku pikir bakal bikin gerah beberapa orang, seperti penulis buku/pembuat karya yang memang jadi subjek di dalamnya. Dan walaupun di judulnya ada kata Amerika, satir di film ini gak akan luput mengenai kita di Indonesia. Karena ironisnya, cerita di film ini relate juga dengan kondisi di ‘rumah’. I mean, lihatlah pekarangan sosmedmu. Berapa banyak yang bikin konten yang menuai cuan dari cerita-cerita sedih, cerita orang-orang berantem, atau bahkan cerita kebegoan. Konten yang menjual kalangan minor, ataupun yang sengaja menyasar kepada stereotipe-stereotipe lainnya. Kita sekarang hidup di dunia fiksi. Dunia di mana, sesuai dengan salah satu dialog film ini yang bikin aku ngakak; “The dumber I behave, the richer I get” Film ini begitu lucu karena yang diceritakan benar adanya!
Ya, jaman sekarang idealisme dianggap tidak bisa menghasilkan apa-apa selain stress dan kelaparan. Di cerita film ini, seorang dosen, punya pendidikan dokter, dan penulis novel, Thelonious Ellison yang akrab dipanggil Monk, hidupnya juga mulai menghimpit tatkala novel-novel yang ia tulis dengan serius dan sepenuh hati, katakanlah, tidak laku. Satir film ini langsung ngegas saat publishernya yang kulit putih itu meminta Monk untuk menulis cerita yang lebih ‘black’. Bayangkan disuruh untuk menjadi lebih lokal oleh orang yang sama sekali tidak punya kaitan apa-apa sama kelokalanmu. Lagipula, lanjut sang publisher, pasar cuma butuh dahaga mereka akan konfirmasi bahwa mereka adalah orang yang peduli sama isu terpuaskan. Maka Monk kepikiran menulis novel satir yang isinya penuh oleh stereotipe yang dikenal publik pada ras kulit hitam. Dia menulis buku itu sebagai olokan. Tapi justru buku itu laku keras di pasaran. Kritik dan penikmat kasual – yang hampir semuanya kulit putih – menyukai novel yang sengaja dibikin sebagai pembuktian sampah oleh Monk. Novel, yang ia kasih gimmick ditulis bukan oleh dirinya, melainkan oleh seorang tokoh rekaan. Seorang napi yang kabur dari penjara. Makin meledaklah penjualan novel tersebut saat ‘identitas’ penulis itu diungkap. Sampai-sampai ada produser yang ingin memfilmkan novelnya. Monk, demi keuangan keluarganya, lantas harus memilih; antara tetap menjadi dirinya yang tak bisa menjual apa-apa, atau terpaksa menjadi penulis dan kisah-nyata bohongan yang ia ciptakan sendiri.
Abis nonton ini, ngereview pun lantas jadi was-was, takut kemakan jebakan pembuat yang seperti Monk
American Fiction tayang di bioskop Amerika bulan Desember tahun lalu, hampir bertepatan dengan waktu Jatuh Cinta Seperti di Film-Filmmemeriahkan bioskop tanah air. Menarik, karena dua film ini basically menggunakan konsep meta yang serupa. Pun sama-sama punya komentar soal industri film/karya tulis negara masing-masing (sama-sama parodiin produser/publisher hahaha). Jatuh Cinta Seperti di Film-Film yang tentang seorang penulis skenario berusaha menulis dan memfilmkan kisah romans dari kehidupan cintanya, currently bertengger di posisi ke delapan dalam daftar Top-8 2023 Movies-ku, dan alasan film itu berada di posisi tersebut adalah karena ada yang mengganjal dari struktur meta yang digunakan terhadap journey karakter utamanya. Film American Fiction ini lantas memberikan kepada kita contoh cara yang benar dalam menghandle konsep tersebut, sehingga journey Monk sebagai karakter utama terasa tetap ‘real’. Karena American Fiction tidak lantas give in kepada gimmick cerita metanya. Alih-alih menggunakan hitam putih sebagai pembeda, film menggunakan layer akting yang beneran dikaitkan kepada narasi. Monk pria terpelajar kelihatan dari gaya dan cara bicara dia, tapi kita benar-benar ditekankan kepada Monk harus mengubah cara dia bicara, gaya dia menulis, menjadi sesuatu yang stereotipe dan menurutnya degrading ketika dia menulis novel sesuai tuntutan publisher. Akting Jeffrey Wright main betul, dan memang pantas diganjar nominasi. Cara film ini dalam menampilkan sebuah adegan yang ternyata hanya karangan Monk dilakukan dengan sureal namun tetap terang sehingga apa yang sebenarnya terjadi kepadanya tidak pernah tersamarkan sebagai kejadian yang tidak pernah beneran terjadi. Dalam artian, journey yang dilalui Monk tetap jelas, growth yang ia alami tetap kita lihat terjadi kepadanya.
Adegan Monk menulis novel full of stereotypes itu dilakukan dengan menarik oleh film. Monk udah kayak sutradara yang mengawasi dua karakternya berdialog, lalu karakter-karakter tersebut akan balik bertanya “Gue ngomong apalagi nih bos?” atau malah mengkritiknya “Gue ngomongnya gak kayak gitu!” Menyangkut ke perihal satirnya, adegan tersebut dirancang dengan precise sehingga untuk kita – yang merupakan salah satu sasaran sindiran – adegan tersebut akan menghasilkan sedikit perasaan mendua. Adegan dialog itu supposedly nunjukin parody yang jelek, atau beneran bagus. Ketika kita merasakan itulah, pembuktian satir film bekerja dengan benar. Lewat adegan menulis cerita penuh stereotype dan menjual ‘ras’ padahal sebenarnya shallow itulah film membuktikan benar bahwasanya kita sebagai konsumer kadang dengan begonya kemakan konten orang. Kita melihat ‘oh film dari ras minoritas pastilah real, emosinya raw, dan mengusung bahasan sosial yang penting’ padahal itu bisa jadi cuma gimmick. Bisa jadi penulis ceritanya seperti Monk, just making stuff up, memasukkan sebanyak mungkin stereotype karena memang itulah yang lebih gampang laku. Bahwa sekarang kita tidak melihat berdasarkan isi yang sebenarnya, melainkan hanya ikut-ikut tren agenda.
Sebagai seorang terpelajar, Monk tentu saja melawan industri seperti ini. Ketika ada pengarang kulit hitam lainnya, menulis novel setipe (alias sama-sama jualan stereotipe ras mereka semata), ditambah dari sudut pandang perempuan pula, Monk melihat novel tersebut sebagai gimmick semata. Tentu saja orang akan suka, toh itu cerita hidup perempuan dari ras minoritas. Malah bukan ‘akan suka’ lagi, melainkan ‘harus suka’. Karena kalo ada orang yang tidak suka cerita itu, apalagi si orang yang tidak suka ini adalah kulit putih, maka dia akan beramai-ramai dicap sebagai seorang rasis yang gak peka. Kalo dia pria, maka niscaya dia akan dicap anti feminis. Sebagai pengulas film, aku bisa mengerti yang dirasakan Monk, karena seringkali aku juga merasa ada film yang kayak cuma ngejual stereotype, atau cuma ngejual agenda, tapi dalam menyampaikannya aku agak susah karena takut diserang balik sebagai gak dukung perempuan atau tone deaf terhadap sosial. Dan permasalahan ini dijadikan film sebagai inner journey dari Monk. Dia yang awalnya berusaha idealis dan blak-blakan menolak, dihadapkan kepada situasi yang membuat dia melihat kenapa ‘industrinya’ jadi begini, dan ultimately dia harus memilih. Pilihannya nantilah yang jadi puncak satir film ini. Ending yang bakal ninggalin kita topik untuk dipikirkan. Karena film yang dibuat sebagai gambaran ini, tidak menawarkan solusi. Melainkan tetap berpegang kepada pencerminan dunia nyata.
Kisah-nyata seperti di fiksi-fiksi
Sebenarnya persoalan ini sudah pernah disentuh oleh Jordan Peele dalam filmnya yang berjudul Nope (2022). Secara umum film yang bentukannya horor-creature sci fi itu membicarakan gimana manusia suka mengekspoitasi hal yang berbeda sebagai spektakel. Atau tontonan hiburan. Dan hal yang berbeda itu bisa meliputi ke ras mereka yang dalam cerita film seringkali hanya digunakan sebagai role-role stereotipe dan cukup hanya di role tersebut. Film American Fiction ini tidak lain dan tidak bukan membahas persoalan tersebut lebih dalam dan lebih personal lagi. Stakenya dibuat lebih grounded, supaya filmnya sendiri tidak menjadi hal yang ia kritik. Inilah yang membuat film ini meskipun tidak ada solusi, tapi tetap terasa powerful sebagai gambaran. Karena semuanya dikembalikan kepada karakter yang terpaksa harus memilih. Karena keadaan. Therefore, kepada kitalah sebenarnya cerita ini meminta penyadaran.
Karena pasar gimanapun juga terbentuk oleh permintaan konsumen. Dunia kita sekarang adalah dunia fiksi yang jualan yang laku bukan jualan yang berbobot, melainkan jualan ringan dan not necessarily harus asli, asalkan jualan tersebut bisa membuat orang konsumernya merasa lebih mulia. Sehingga muncullah penjual-penjual yang memperdagangkan kepalsuan. Stereotype, cerita sedih, kebegoan. Semuanya semu, yang dijual maupun yang dirasakan oleh yang beli.
Jadi gimana cara film ini mempertahankan ke-real-an journey karakter? Dengan actually memparalelkan soal kerjaan Monk nulis buku, dengan konflik di dalam keluarganya, yang semuanya dokter. Monk punya adik dua orang (yang satunya mungkin jadi penyebab kenapa film ini gak tayang di bioskop Indonesia), punya asisten rumah tangga yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, punya Ibu yang mulai digerogoti Azheimer. Dan ayah mereka telah lama jadi urban legend di kota kelahiran, lantaran dulu bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri (film pun sempat-sempatnya menebar dark jokes seputar peristiwa ini dari karakter yang innocently lupa Monk punya riwayat tragedi tersebut). Yang terjadi kepada ayah, kepada ibu, kepada keluarganya keseluruhan digunakan oleh film sebagai stake dan pendorong bagi Monk untuk menentukan keputusan. Serta jadi tempat hati cerita ini berada. Benar-benar terasa seperti kisah karakter yang berjuang. Monk bisa saja menulis tentang keluarganya sendiri, tapi itu tetap belum cukup. Karena seperti ironi yang acapkali dicuatkan oleh film, itu tidak akan terasa real enough bagi pembaca. Satir pamungkas dilakukan oleh film ketika memperlihatkan adegan diskusi Monk dan sejawat sesama juri award literatur, pendapat otentik Monk sama sekali tidak didengarkan oleh juri yang lain, dengan alasan ‘black voices has to be heard’.
Semakin jauh Monk menulis dari kenyataan, semakin liar dia menggunakan stereotype dan identitas, semakin shallow bahasa yang ia gunakan, semakin nyeleneh judul novel yang ia ajukan, bukunya justru semakin laku. Aku rasa ini adalah salah satu film in recent years yang paling jago dalam menggunakan sindiran ke dalam penceritaan. Kena dan telak semua! Mungkin judulnya aja yang kurang tepat. Dan itupun karena kisah di film ini tidak hanya sedang terjadi di Amerika. Sindiran film akan mengena bahkan kepada kita. I honestly think, kayaknya ini adalah masalah global dunia yang tersentuh sosial media. Bahwa orang-orang peduli sama isu, bukan karena mereka benar-benar peduli sama isunya, melainkan karena dengan merasa peduli mereka merasa jadi pribadi yang lebih baik. Jadilah isu tersebut soal unjuk agenda kosong semata. Makanya film ini terasa urgent. Di luar itu, melihatnya sebagai drama keluarga pun film ini terasa sama kuatnya. Menunjukkan film ini juga punya hati, selain punya otak dan nyali.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for AMERICAN FICTION.
That’s all we have for now.
Menurut kalian apakah ada alasain lain kenapa sekarang kita seperti mudah kemakan sama konten-konten yang menjual gimmick ketimbang bobot?
Silakan share pendapatnya di komen yaa
Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
“Trains are a reminder that life is always on the move.”
Naik kereta api, tut.. tut.. tut!! Siapa hendak semaput? Genre horor kita dibawa naik kereta api oleh sutradara Rizal Mantovani. Kereta api sendiri, selalu adalah setting yang menarik untuk dijadikan cerita. Malah udah kayak subgenre tersendiri. Mau itu misteri detektif kayak ceritanya Agatha Christie, Murder on the Orient Express, atau action kayak Bullet Train, drama thriller psikologis The Girl on the Train, atau bahkan kisah perjuangan kayak di film jadul Kereta Api Terakhir, mekanisme dan cara kerja kereta api yang melaju cepat dan banyak gerbong mampu menambah suasana semakin intens lewat konsep kereta api yang unik; ruang tertutup yang bisa mencakup begitu luas. Belum lagi ruang tersebut juga menawarkan tantangan pada pemandangan sinematik yang mungkin untuk dicapai. Metaforanya juga bisa banyak. Kereta api yang berhenti di tiap-tiap stasiun bisa dilihat sebagai perlambangan kehidupan. Bong Joon Ho, misalnya, mengomentari struktur kelas sosial masyarakat pada Snowpiercer, film sci-fi post apocalyptic yang menceritakan penyintas yang berada dalam kereta api yang melaju kelilingi dunia. Maka dari itulah film Kereta Berdarah ini bikin penasaran. Meskipun kecurigaanku soal film ini mungkin cuma ingin meniru Train to Busan (2016) – horor zombie populer dari Korea yang juga merupakan komentar sosial dari gaya hidup kapitalis yang individualis – ketat membayangi, aku menontonnya karena ingin tau apa yang mau ditawarkan oleh film ini dengan penggunaan set kereta api.
Sentral dari cerita adalah dua kakak beradik, Purnama dan Kembang. Purnama ngebook perjalanan naik kereta api khusus ke resort untuk menghabiskan hari bersama adik kesayangannya. Sebagai perayaan dia sudah keluar dari rumah sakit. Tapi dua kakak beradik, dan penumpang lainnya, hanyalah turis. Mereka gak tahu menahu kalo kereta dan jalurnya yang baru saja diresmikan itu punya masalah, bahkan sejak masih dalam proyek pengerjaan. Jalur Kereta Sangkara yang bergerbong lima, dibuat menembus hutan lebat keramat. Hutan yang kini penunggunya amat sangat marah. Perjalanan Purnama dan Kembang yang mestinya ceria berubah menjadi mengancam nyawa karena setiap kali kereta mereka masuk terowongan, akan ada gerbong yang menghilang. Diteror lalu diambil oleh sang penunggu untuk dijadikan bagian dari hutan.
Naik bis, terjebak konflik separatis. Naik keretaapi, kena teror hantu. Kak Hana lain kali naik pesawat aja yaa!
Keputusan film tepat dengan early membahas drama di balik hubungan Purnama dan Kembang. Purnama yang tampak bersemangat (dimainkan oleh Hana Malasan sebagai karakter yang tampak ceria, ekspresif, dan ratherflirtatious di luar) ternyata menyimpan sesuatu. ‘Rahasia’ Purnama akhirnya terbaca oleh Kembang (Zara Leola jadi adik yang tampak lebih ‘realistis’ dari kakaknya). Dan tahulah kita semua kalo Purnama yang baru keluar dari rumah sakit, ternyata bukan karena dia telah sembuh dari kanker. Purnama hanya mencuri waktu untuk menghabiskan hari-hari terakhirnya bersama sang adik. Bagi Purnama, hidupnya telah ada di stasiun terakhir. Dengan actually membicarakan hal ini di awal-awal, ketika nanti teror supernatural beneran terjadi menimpa Purnama dan Kembang, kita jadi punya pegangan dramatis untuk mengkhawatirkan mereka. Bukan lagi sekadar pengen mereka survive dari setan. Melainkan ada layer yang lebih dalam. Relasi dan konflik yang sudah dibangun ini menambah intensnya horor karena kita jadi peduli apakah mereka bakal tetap bersama atau tidak.
Namun hidup bukanlah stasiun, Hidup justru adalah kereta apinya. Inilah yang jadi inner journey Purnama. Hidup adalah kereta api yang terus bergerak, stops at no station. Dari lahir hingga mati, kehidupan merupakan perjalanan yang konstan oleh perubahan dan tantangan.
Sangkara yang jadi nama kereta api yang mereka tumpangi diambil dari bahasa sanskerta. Yang dapat diartikan sebagai perjalanan batin yang mencerminkan pengalaman, pertumbuhan, dan perubahan seseorang dalam konteks emosional dan spiritual. Ini klop dengan yang dilalui Purnama, seorang penderita kanker yang sudah mau menyerah dan pasrah menghadapi akhir hayatnya. Yang sudah capek berjuang. Horor dan teror gaib yang dia alami bersama adik yang berusaha ia lindungi akan membuka matanya untuk melanjutkan hidup. Sebagai protagonis utama, Purnama memang tidak terlalu banyak dikenai derita fisik lagi, tapi mentalnya-lah yang terus ‘diserang’. At one point, dia melakukan suatu hal mengerikan yang bisa dilakukan oleh manusia beradab, yaitu membunuh orang. Gak sengaja atau tidak, dia harus dealing with aksi yang ia lakukan ini mentally.
Secara desain memang penulisan film ini cukup niat. Dari urusan nama misalnya, bukan hanya Sangkara tadi yang seperti dipikirkan untuk perlambangan. Ada juga nama karakter yang bakal jadi kayak heads up terhadap apa yang terjadi pada karakter itu di akhir cerita. Perkara setting kereta api sebagai konsep horor, dimainkan oleh film menjadi teror yang time sensitive dari gerbong-gerbong yang menghilang setiap kali kereta masuk melewati terowongan. Ini menghasilkan dua efek yang berbeda, pertama karakter jadi berburu dengan waktu untuk segera keluar dari gerbong yang bakal menghilang – ini menambah keseruan. Dan kedua, membuat cerita jadi predictable dan repetitive. Sehingga jadi agak boring. Desain hantunya sendiri sebenarnya seram dan juga klop dengan cerita. Bentuknya berupa demon stration, eh salah, demon hutan, Setan dengan sulur-sulur kayu yang bakal menjerat korban. Membuat mereka keluar urat-urat sebelum akhirnya meledak. Mitologi kemarahan setan digali dari tema manusia dan alam, serta kepercayaan mistis vs, pandangan materialistis. Tapi dalam penceritaannya, disederhanakan lagi menjadi si kaya lawan si miskin. Di ‘gerbong’ inilah film stop bekerja original dan malah jadi kayak di’shoe-horned’ kepada cerita Train to Busan.
Kecurigaanku yang merambat tadi ternyata benar. Film ini jadi agak lupa diri karena di tengah, dia jadi lebih kayak kopian versi lite dari Train to Busan. Ujug-ujug ada soal orang kaya yang gak mau orang miskin masuk ke gerbong eksekutif/VIP mereka. Ada bisnisman jahat yang mau cari selamat sendiri. Ketika Train to Busan melakukan bahasan itu, tema ceritanya tepat dan konsisten. Film itu ingin menunjukkan gimana orang Korea modern lebih memilih untuk selamatkan diri sendiri, atau golongan mereka. Jurang pemisah antarkelas di sosial mereka terbentuk karena orang jadi individualis baru bisa sukses. Bahkan karakter utamanya paralel dengan bapak kaya yang egois, karena dia juga awalnya cuma mementingkan keselamatan putrinya. Pada Kereta Berdarah, bahasan si kaya dan si miskin kayak dipaksa masuk karena tidak benar-benar inline dengan permasalahan perjuangan hidup yang dimiliki Purnama dan adiknya. Pembahasannya pun seadanya kayak gimana orang kaya sombong kepada orang miskin seperti di sinetron-sinetron.
Serem-serem begitu, kereta api mah aman nyimpan uang di dalam tas, gak ada yang nuker jadi keramik
Ini makin unfortunate karena sebenarnya bahasan pekerja lawan bos juga sudah dibuild up. Tapi karena gak paralel dengan karakter utama, maka dua bahasan ini gak benar-benar saling menyokong. Dan Putri Ayudya yang berperan sebagai penumpang yang identitasnya adalah istri dari pekerja proyek rel yang hilang – yang udah ngasih penampilan akting sangat serius sebagai seorang dengan bantuan pendengaran, kayak melebihi dari yang diniatkan film – jadi kayak tidak diberdayakan maksimal oleh film ini. Dengan level akting begitu, mestinya ada lebih banyak adegan dan bahasan cerita tentang permasalahan karakternya. Buatku kasian sekali karakter dengan bobot tak kalah dramatis ini terkesampingkan. Penonton di studioku malah ketawa dengan nada “oh please not again” loh waktu dia untuk kesekian kalinya ngasih lihat foto suaminya kepada karakter lain. Menurutku, penonton gak salah juga bereaksi begitu. Toh basically memang cuma itu yang dilakukan oleh karakter Ramla ini pada sebagian besar durasi. She needs more screen time.
Di babak akhir, film memang kembali ke rel yang lurus yakni permasalahan Purnama dan Kembang, dan untuk beberapa waktu, mereka bersama Ramla. Film menghandle penyelesaian dengan cukup tepat, melingkar ke permasalahan Purnama di awal. Menutup journey-nya for good. Namun di bagian ini aku juga berpikir harusnya film bisa melakukan dengan lebih baik lagi. Karena ending film yang mestinya haru, sekaligus optimis, cenderung lebih terasa flat. Karena film kebanyakan mengeja apa yang sebenarnya terjadi kepada para karakter. Momen-momen penyelesaian itu diisi terlalu banyak oleh eksposisi penjelasan, padahal mestinya bisa lebih kuat (dan aku yakin penonton pun pasti bisa menyimpulkan sendiri) jika film menyerahkan kepada tanda-tanda fisik dari karakter yang selamat. Tapinya lagi, kalo diingat-ingat memang begitulah sebagian besar dialog film ini ketika hal sudah mulai ‘menapaki’ misteri. Dialognya suka berubah menjadi ejaan penjelasan. Takut yang dirasakan karakter aja sering kurang membekas karena dialog mereka jadi lebih menjelaskan gerbong hilang setelah lewat terowongan.
Film ini sebenarnya punya modal untuk jadi dirinya sendiri. Karakterisasi dan drama personal diberikan kepada tokoh utama ceritanya. Inner journeynya ada. Ini kan sebenarnya adalah perjuangan seorang penderita kanker untuk mengarungi hidup. Untuk memperkaya bahasan, film juga punya komentar tentang nasib pekerja di perusahaan yang cuma tau cuan dan citra. Film juga punya unsur lokal dengan kepercayaan tahayul, dikontrakan dengan pandangan modern. Desain horornya juga stands out enough. Tapi semua itu belum digodok dengan benar-benar matang. Film ini jadinya kayak mencukupkan diri dengan goal sederhana yaitu menjadi seperti Train to Busan, dan modal-modal tadi dijejalkan ke penceritaan yang serupa film tersebut. Agak sayang aja film ini kemungkinan hanya akan diingat karena bandingannya dengan film lain yang lebih populer, padahal mestinya kita bisa punya horor decent dengan setting kereta api,
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for KERETA BERDARAH.
That’s all we have for now.
Apa kalian punya pengalaman seram waktu naik kereta api? Apa film favorit kalian yang berlangsung di dalam kereta api?
Silakan share ceritanya di komen yaa
Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Wahana rumah hantu di pasar malam. Kalo ditengok-tengok, memang, dari setting-nya aja drama komedi dengan unsur horor karya Muhadkly Acho ini udah agak laen. Kok sepertinya merakyat sekali. Melihatnya sebagai horor, ini bukan horor tentang kutukan-kutukan, bukan horor ritual-ritualan, bukan budaya mistis, lain sebagainya. Pun melihatnya sebagai drama orang yang struggle berbisnis, film ini juga bukan membahas persoalan bisnis yang muluk-muluk. Hanya empat sekawan yang pengen wahana rumah hantu mereka di pasar malam (not even rumah hantu canggih di taman hiburan gede) rame, supaya mereka bisa punya cukup uang untuk kebutuhan hidup masing-masing. Melihatnya sebagai komedi, well ya, film ini pecah oleh guyonan, dan karena kedekatannya dengan jelata tersebut, maka jadi banyak juga yang membandingkan Agak Laen dengan film-film komedi Warkop DKI. Apalagi Agak Laen juga dipentoli oleh komedian (komika-komika stand up) yang punya acara cuap-cuap yang populer. Dan di film ini mereka juga menggunakan nama ‘panggung’ mereka yang asli. Menurutku pribadi, however, Agak Laen lebih sedikit berisi daripada komedi-komedi, bahkan Warkop. Jika di luar ada istilah elevated-horror, maka aku bilang film Agak Laen merupakan versi elevated dari gimana biasanya film-film kita menghandle komedi, apalagi dan horor bersamaan.
Yang bikin aku surprised terutama adalah pada penulisan karakternya. Aku gak nyangka film ini punya karakter utama. Karena biasanya kan komedi yang sentralnya adalah grup atau sekelompok-orang, akan membuat cerita yang seperti ensemble. Like, they will work as an unit of main characters. Kayak, di film Warkop misalnya. Penokohan Dono-Kasino-Indro bisa bertambah sesuai cerita filmnya, tapi pada setiap film tersebut fungsi mereka sama. Dono bisa jadi seorang anak orang kaya dari desa, tapi karakternya selalu yang polos sehingga sering dijahili, atau juga sial. Indro seringnya kebagian peran anak orang kaya, anak kota, yang sedikit belagu, Kasino jadi wild card, usil iya, oportunis iya, ngasal iya. Dan film-film mereka akan ultimately bekerja pada fungsi tersebut. Dalam film Agak Laen, drama-lah yang bekerja. Empat karakter sentral memang diberikan porsi masing-masing, tapi juga naskah dengan berani menunjuk satu orang sebagai perspektif utama. Sebagai sumber aksi, sumber drama, sebagai ‘pemimpin’ kalo boleh dibilang. Sementara karakter lainnya juga diberikan penokohan dan drama personal yang bukan sebatas gimmick pembeda.
Oki, di sini ceritanya adalah seorang mantan napi, melihat wahana rumah hantu pasar malam tempat Jegel, Bene, dan Boris bekerja sebagai peluang satu-satunya dia bisa mendapat uang untuk obat mamaknya yang sakit. Dialah tokoh utama cerita. Kita akan melihat dia sebagai flawed character – yang membuatnya jadi karakter utama yang menarik – melakukan aksi nekat supaya diterima menjadi bagian dari kru, dan gimana dia punya ide-ide untuk membuat wahana tersebut menjadi lebih seram lagi. Karena rumah hantu mereka itu sangat sepi. Pengunjung yang masuk lebih terhibur ngeledekin para hantu ketimbang oleh adrenalin rush ditakut-takuti. Ide si Oki bikin rumah hantu jadi semakin seram, sayangnya terlewat berhasil. Salah seorang pengunjung tewas ketakutan. Oki yang gak mau urusan ama polisi lagi, mengusulkan untuk menguburkan jenazah di bawah properti kuburan, dan teman-temannya yang juga butuh duit untuk urusan unik masing-masing setuju. Mereka akan berpura-pura tak tahu apa-apa. Sampai akhirnya hantu dari bapak yang tewas tersebut justru bikin rumah hantu mereka viral. Duit memang mengalir deras, tapi begitu juga rasa was-was mereka semua. Gimana kalo rahasia perusahaan mereka sampai ketahuan?
Aku dulu juga sempat kepikiran untuk buka usaha rumah hantu, karena ‘modal’ yang kupunya juga sama ama Oki dan kawan-kawan
Premisnya sebenarnya komedi sekali. Penulisannya pun sangat terukur dalam menempatkan pion-pion cerita, menanamkan poin-poin yang bakal mekar jadi punchline. Bene, Boris, Jegel juga diberikan permasalahan masing-masing yang situasinya kocak karena dekat juga dengan persoalan kita sehari-hari. Kepekaan mengembangkan situasi komedi memang tampak dimanfaatkan betul oleh para komika ini menjadi cerita yang liar tapi sangat koheren menuju akhir. Aku penasaran banget gimana mereka merancang cerita film ini, like, biasanya di stand up komedi kan ada tuh sesi yang mereka nyebut nama tempat random, nyebut nama kerjaan random, lalu bikin cerita lucu dari situ. Nah uniknya, film ini tuh kayak dibikin spontan seperti itu “Rumah hantu!” “Mantan napi!” tapi ujung-ujungnya bisa sangat koheren ngasilin tontonan yang menghibur, lagi punya kekuatan drama. Pengunjung yang meninggal itu seorang caleg, gimana dirinya yang mendadak menghilang bakal jadi berita, dia juga lagi selingkuh sehingga otomatis bakal ada yang nyari dia. Lalu tentu saja dalam setiap kasus bakal ada saksi mata, tapi alih-alih saksi yang secara kiasan sekaligus literal anak yang buta masalah orangtuanya seperti pada film serius Anatomy of a Fall (2024), film ini memenuhi janjinya sebagai komedi dengan menghadirkan saksi ‘bisu’.
Desain komedinya itu yang membuat Agak Laen menjadi sangat menghibur. Komedinya menyerempet ke mana-mana, mulai dari politik bahkan ke komedi meta bagi aktor-aktornya.Just like any good old comedy does, candaan di film ini berani menyerempet hal-hal yang mungkin sekarang dinilai sensitif. Leluconnya benar-benar outrageous. However, film ini juga ada beberapa kali nyelipin iklan sponsor, yang dilakukan dengan kocak meski memang ‘in-our-face’ sehingga honestly aku sempat ragu ini beneran iklan atau bukan. Tapi either way, ‘iklan’ itu memang agak sedikit mengganggu karena tetap membuat kita sedikit terlepas dari cerita yang sebenarnya. Anyway, buatku secara personal, ada dua aspek yang bikin film ini secara khusus terasa relate sehingga menjadi nambah lucu. Yaitu bahasa canda dialek Sumatra – although film tidak membatasi range diversitynya di sini karena bahasa daerah lainnya juga – yang membuatku agak rindu kampung halaman (dan rindu kucingku yang hilang, karena kalo di Bandung ini aku pakek gaya ngomong gitu cuma kalo ngobrol sama kucing haha). Dan bisnis rumah hantu. Dulu selepas kuliah dan mutusin out dari jalur jurusan, aku sempat kepikiran mau buka rumah hantu dan lantasi suka datengin, nyobain, berbagai macam wahana rumah hantu. Film ini membuatku ngakak karena aku baru kepikiran suka duka kerjaan itu
Dan memang penulisan yang terukur itulah, ditambah quick with wit, peka, dan penggalian yang fresh yang akhirnya bisa menyulap premis komedi soal rumah hantu viral karena hantu beneran itu menjadi drama menyentuh soal pemuda yang merasa gagal membanggakan ibu atau keluarganya. Bobot drama tersebut hadir di balik momen-momen komedi tadi dengan subtil. Kita gak akan nyadar muatan cerita ini sampai tiba-tiba kita merasa sorry for the characters. Kita tidak lagi menertawai mereka. Kita sadar kita jadi ikut tertawa, sedih, dan kalut bareng mereka. Para pemain utama pun seperti sudah mempersiapkan diri untuk momen-momen yang lebih dramatis. Jegel, Boris, dan khususnya Oki dan Bene mendapat ruang untuk menampilkan range, karakter mereka tidak melulu konyol dan serampangan. Hati film ini justru datang dari gimana masing-masing menghadapi permasalahan sendiri. Dan kepada masing-masing. Sebuah tantangan yang berhasil di-tackle karena film sama sekali tidak goyah tone maupun pace-nya saat membahas masalah yang lebih ‘drama’.
Memang cumak iklan-iklannya aja yang bikin agak malas
Semua orang pernah melakukan hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Semua orang pernah mengucapkan hal yang harusnya tidak mereka ucapkan. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Dan kesalahan-kesalahan tersebut bukanlah penanda mana orang yang baik, mana orang yang jahat. Bikin kesalahan tidak lantas berarti kita jadi orang jahat. Melainkan hanya berarti kita belum tau yang lebih baik. Dan salah juga bukan berarti gagal. Yang menandai kita jahat atau bukan, gagal atau bukan, justru adalah apa yang kita lakukan setelah melakukan kesalahan. Menyesal atau tidak. Berjuang untuk berubah atau tidak.
Satu lagi yang dilakukan dengan benar oleh film ini adalah tidak meniadakan konsekuensi. Ini nilai plus yang mengangkat cerita lebih tinggi lagi, karena biasanya film-film akan dengan mudah melupakan konsekuensi demi menjaga status karakter utamanya. Menerima konsekuensi ini penting bagi karakter karena itulah yang menandakan mereka sudah melalui pengembangan. Ketika mereka rela mendapat hukuman atas tindakannya, di situlah arc karakter mereka komplit. Journey mereka tercapai. Menghadapi konsekuensi juga berarti karakter-karakter di film ini tidak diberikan jalan keluar yang mudah bagi permasalahan mereka. Film ini memberikan akhir yang tepat bagi para karakter tanpa mengurangi bobot journey mereka, meskipun ada beberapa poin cerita yang terasa agak terlalu cepat. Misalnya, ketika ‘rahasia’ mereka diketahui oleh satu karakter. Proses ‘tahu’nya si karakter itu kayak cepat, kok dia bisa nyimpulin, gitu. Jadi kayak ejaan naskah saja jadinya. Tapi, paling enggak, film tetap melakukan itu di dalam konteks karakter. Kelihatannya saat nonton mereka ketahuan itu karena mereka kurang jago ngeles, ketimbang karena naskahnya kurang detil menuliskan proses.
Kalo sineas lokal bisa bikin dan produksi cerita merakyat yang fresh seperti ini, buat apa lagi kita meremake materi komedi horor dari negara laen? Aku salut banget sama Imajinari, yang film-filmnya kayak konsisten mengangkat cerita original, dan dengan range yang berbeda. Drama keluarga dengan kultur Batak di Ngeri-Ngeri Sedap (2022), drama romance dengan konsep meta filmmaking di Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023), dan sekarang drama komedi dengan unsur supernatural/horor. Bahkan perihal karakter utamanya aja Imajinari berani ambil resiko. Sepasang orang tua yang pengen anaknya pulang. Jatuh cinta di usia yang tak lagi muda. Gak peduli mereka sama penampilan ‘bintang’. Di film ini, protagonis dan gengnya adalah kru rumah hantu. Mereka cuek ngangkat cerita dari sudut pandang tak biasa, sehingga menghasilkan galian cerita yang terasa grounded pada level yang berbeda. Rancangan komedi menghantarkan penonton menuju hiburan non-stop, sementara muatan drama diam-diam mengangkat film ini menjadi tontonan yang bergizi. Tiga film, dan tiga-tiganya konstan di tier atas blog ini. Genre drama komedi, atau bahkan komedi horor kita punya standar yang baru.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for AGAK LAEN.
That’s all we have for now.
Apa pengalaman terseram kalian masuk wahana rumah hantu?
Silakan share ceritanya di komen yaa
Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL