STRONGER Review

“Trauma creates change you don’t choose.”

 

 

Tau gak kenapa acara Oprah itu terkenal banget, banyak orang-orang yang nonton padahal cerita yang dihadirkan oleh para narasumber di acara tersebut bukan cerita komedi, justru kisah yang menguras air mata? Karena sebagai manusia, kita suka mendengar cerita sedih nan pilu. Acara talkshow di tv lokal pun banyak yang kayak gitu, kita menonton orang menceritakan kembali trauma hidupnya, kita mendengar musik lembut di background, dan seketika kita menjadi terinspirasi. Menjadi semangat menjalani hidup dan segala ujiannya. Tapi pernahkah terpikir bahwa, untuk bisa duduk di sana, para narasumber sudah melewati suatu kerja keras yang sama sekali enggak inspiratif buat mereka sendiri. Narasumber itu adalah jiwa-jiwa yang berjuang dan menang mengalahkan trauma. Pelajarannya bukan terletak di trauma apa, kejadian besar apa yang berhasil mereka survive darinya. Kita harusnya melihat lebih jauh dari “Tuh, orang cacat aja giat bekerja”. Melainkan adalah bagaimana mereka berjuang untuk menjalin hubungan dengan orang-orang terdekat yang turut terguncang oleh peristiwa yang menimpa; bagaimana mereka berjuang untuk dapat hidup normal.

Jeff Bauman tidak mengerti di mana letak keren yang disebut oleh ibunya ketika dia mencoba berdiri dengan bantuan dua kaki mekanik. Lantaran dia sama sekali tidak merasa keren. Yang ada, dia malah kesakitan dan kelelahan. Jeff adalah korban peristiwa pengeboman acara marathon di Boston tahun 2013 lalu. Cowok dua-puluh-delapan tahun itu selamat, meski kedua kakinya harus diamputasi. Film ini memang diangkat dari kisah nyata Jeff yang hidupnya berubah setelah peristiwa tragis tersebut. Dia harus belajar menyesuaikan diri, begitu juga dengan manusia di sekitarnya; keluarga, teman, pacar, karena sekarang public menganggap Jeff sebagai pahlawan. Orang-orang akan datang sekadar berjabat tangan, atau meminta foto bareng, bahkan ada polisi yang urung menilang dirinya karena “hey, kau si Jeff Bauman yang itu rupanya!”. Dan perlakuan ini membuat Jeff gak nyaman. Yang dia lakukan hanya berdiri di sana, di tempat dan waktu yang salah sehingga kakinya buntung, dan mendadak orang-orang jadi mengelu-elukan dirinya. Jeff bingung, kenapa semua orang ‘mengasihani’ dirinya seperti begini? Apa sih makna “Boston Strong” yang dicamkan orang kepada dirinya?

cue lagu You Raise Me Up

 

Trauma enggak inspirational buat mereka yang mengalaminya. Malah lebih sebagai kerja keras yang memakan harapan sedikit demi sedikit, jika dihadapi sendiri. Perjuangan pasca trauma sangat bergantung kepada hubungan dengan kerabat dan orang tercinta di sekitar. Oleh karena itu, maka sesungguhnya ini adalah proses yang relasional. Kita harus belajar untuk saling berbagi. Dengar cerita inspirasional kehidupan orang lain, thank them as they say thanks to you. Jeff menemukan dirinya menjadi lebih kuat dari saling sharing. Kita tidak bisa berdiri dengan hanya satu atau tanpa kaki, toh.

 

Aku benar-benar gak nyangka aku tersentuh juga oleh aspek emosional film ini. Ceritanya sangat gut-wrenching. Sutradara David Gordon Green paham bahwa drama inspirasional bukan semata soal rintangan’luar’ yang harus dihadapi oleh tokohnya. Film ini juga membahas perjuangan internal yang membuat karakternya benar-benar bersinar. Oleh Green, bagaimana pun juga, kedua aspek ini berusaha ditangani dengan seimbang. Kekuatan arahannya terletak pada perspektif. Film ini membuat semua emosi sungguh-sungguh on point.

Ada banyak shot dan adegan yang membuat hatiku berasa ditarik-tarik. Kala pertama kali perban di kaki Jeff diganti oleh dokter misalnya, kita melihat gambar blur kedua paha Jeff di tengah layar, dibingkai oleh wajah Jeff dan wajah pacarnya – kita melihat seperti itu karena Jeff tidak berani melihat kakinya, dia lebih memilih untuk menatap mata si pacar. Atau juga pergerakan kamera yang berputar-putar mewakili perasaan Jeff di lokasi pengeboman beberapa menit setelah ledakan. Ekspresi para pemain tentu saja juga berperan besar. Di adegan Jeff disuruh jadi pembawa bendera di pertandingan football, kita bisa merasakan langsung kebingungan dan juga kemarahan perlahan merayap di wajah Jeff, buatku, ini adalah salah satu adegan yang paling gak-nyaman untuk dilihat sepanjang durasi. Dia gak tahan melihat orang-orang menatapnya seperti itu.

Saking mulusnya arahan, beberapa adegan film ini tampak kayak disyut secara spontan. Bergulir terjadi begitu saja. Bahkan para pemain ekstra pun, orang-orang yang minta foto sama Jeff, dokter dan para perawat rumah sakit, gak kelihatan kayak aktor yang dibayar. Reaksi mereka totally kayak regular people. Keluarga Jeff udah kayak interaksi sekumpulan orang-orang yang gede bareng, yang udah paham baik-buruk masing-masing. Alhasil, kita mantenginnya udah kayak  nontonin momen emosional beneran. Namun tentu saja, ujung tombak keberhasilan film ini adalah Jake Gyllenhaal yang bermain sebagai Jeff dan pacarnya, Erin, yang dimainkan dengan sama fantastisnya oleh Tatiana Maslany. Penampilan Jake di sini begitu luar biasa, dia terasa sangat nyata, orang ini enggak terasa kayak lagi berakting sebagai orang lain. Sosok Jeff benar-benar udah kayak mendarah daging pada dirinya. Setiap emosi yang dicurahkan, meski memang didesain untuk bikin sedih, tapi enggak lantas tampil over oleh Gyllenhaal.

Hubungan Jeff dengan Erin actually adalah salah satu aspek yang paling menyentuh yag dieksplorasi oleh cerita. Aku suka gimana kita bisa melihat dari dua sudut pandang sehingga bisa betul-betul paham internal drama mereka berdua. Sebelum tragedi bom tersebut, Jeff dan Erin sudah lama putus-nyambung. Jeff tidak pernah ada di sana setiap Erin butuhkan. Erin kesel ama sikap Jeff yang kayak anak-anak, dia curhat ke temennya bahwa mereka pacaran di rumah Jeff melulu. Ledakan bom sekalinya Jeff menepati omongannya untuk menunggu di garis finish, tak pelak menyatukan kedua manusia ini kembali. Bayangkan ada seseorang yang terluka hingga nyaris meninggal dalam usahanya membuktikan cinta kepadamu. Itulah yang dirasakan oleh Erin. Dia begitu concern sama Jeff, sehingga dia tidak lagi mempedulikan kans mereka pacaran di luar semakin kecil dengan kondisi Jeff yang sekarang. Hidup menjadi susah bagi Jeff, dia butuh banyak bantuan, dan setelah ‘asap bom’ tragedi itu menipis, mereka berdua kembali ribut. It’s just so powerful melihat kedua orang ini berusaha rekonek di tengah-tengah tragedi yang mengerikan.

kata orang sih, pertengkaran itu bumbu-bumbu cinta

 

Trauma membuat perubahan di dalam hidup yang tidak bisa kita pilih. Tetapi kita bisa memilih perubahan apa yang bakal kita lakukan sehubungan dengan langkah yang diambil untuk menyembuhkan trauma tersebut.

 

Selalu rada susah untuk mengulas film yang berdasarkan kepada kejadian dunia nyata, karena film-film seperti ini biasanya tidak completely ngikutin struktur naratif film sebagaimana mestinya. Mereka ingin menunjukkan peristiwa, dari awal hingga aftermathnya, dan cerita akan mengalir di luar aturan sekuens-sekuens film. Susah untuk enggak kedengaran terlalu kritikal soal ini, namun penuturan Stronger memang bisa terlihat sedikit berantakan. Kita sekonyong-konyong dapat adegan dia berenang, montage dia latihan menguatkan paha, dan sebagainya, yang gak really bermain dengan baik dengan format narasi tradisional.

 

 

Mengambil sudut pandang yang serius tentang trauma yang dialami seseorang dapat bertindak sebagai simbol harapan bagi orang lain. Ini adalah film inspirasional hebat yang menguar oleh emosi. Dan memang ada beberapa klise drama yang tak dihindari, penceritaan yang sedikit berantakan, namun penampilan akting yang fantastis dan arahan yang luar biasa membuat film ini benar-benar seperti kita melihat sekuens kehidupan nyata.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for STRONGER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

MATA BATIN Review

“Faith is believing without seeing.”

 

 

Menunggangi arus animo horor yang lagi tinggi-tingginya, Hitmaker Studios menyumbangkan satu film hantu lagi di tahun ini. Dan dengan Mata Batin, mereka tampaknya benar-benar sudah menemukan jalan sebagai pencetak horor-horor cult di era kekinian.

Mata Batin hadir dengan perwujudan cerita horor yang sangat main fisik di mana adegan slasher jadi nada tertinggi. Film menerapkan formula yang sama dengan yang mereka eksperimenkan di The Doll (2016) dan diestablish lagi di The Doll 2 (2017) Aku sangat surprise saat menonton The Doll 2, film itu seoah terbagi menjadi bagian psikologikal drama dan bagian bunuh-bunuhan, dan kedua bagian tersebut bekerja dengan baik. Pada Mata Batin ini, sutradara Rocky Soraya kembali menekankan kepada drama keluarga, tentu saja dengan twist demi twist yang membawa cerita berkelok ke arah yang berdarah. Nilai minus yang kuberikan kepada The Doll 2 datang dari penggunaan trope-trope horor yang actually menjadi beban dalam penceritaan, dan aku berharap mereka mengurangi trope-trope ini di film selanjutnya. Sayangnya, hal tersebut juga termasuk yang mereka pertahankan dalam film Mata Batin.

But actually, Mata Batin ini adalah salah satu film yang rada susye buatku untuk diulas.  Aku menemukan film ini sebagai tontonan yang sangat mixed dari segi penilaian. Aku menikmati filmnya, namun sekaligus aku juga kecewa. Ceritanya punya elemen horor yang bagus, mereka tahu apa yang harus digali, akan tetapi produk akhir yang kita saksikan ini, aku merasa berdosa kalo mengatakannya sebagai salah satu horor terbaik Indonesia tahun ini. Because it is not. Ada banyak poin lemah yang dipunya oleh film ini, tetapi mereka berusaha memainkannya sebagai nilai lebih, tapinya lagi usaha tersebut tidak benar-benar berhasil. Ini adalah jenis film yang bisa berdampak lebih besar jika mereka ngeubah arahannya sedikit atau jika mereka mengambil langkah yang sedikit lebih berbeda.

Indera Keenam semua memanggilku, Mata Ketiga itulah dirikuu

 

Babak satunya adalah yang paling lemah. Di luar sepuluh menit pertama yang digunakan untuk melandaskan pengertian bahwa film ini tak sungkan untuk menjadi sedikit sadis – kita melihat anak kecil dilukai, basically tidak ada kejadian menarik di babak ini. Mata Batin hanyalah cerita lain tentang seorang anak yang bisa melihat hantu, tetapi gak ada orang dewasa yang percaya sama dia. Kalo kalian tumbuh dengan baca Goosebumps dan banyak nonton film horor, trope begini jelas akan terasa sangat usang yang makin lama-makin gak masuk akal. I mean, c’mon, ada berapa anak kecil sih di dunia ini yang ngeliat hantu dan bukannya lari malah mandangin si hantu? Si anak kecil, Abel (Bianca Hello tidak diberikan banyak range emosi selain takut dan bingung), menjadi begitu ketakutan, dia menutup diri dengan memakai headphone dan sendirian di kamarnya. Setelah mereka dewasa, kakak Abel, si Alia (Nah Jessica Mila nih di sini yang dikasih kesempatan untuk main total) harus kembali ke Indonesia. Orangtua mereka meninggal dalam kecelakaan sehingga Alia lah yang mengurus Abel di rumah masa kecil mereka yang gede dan yang udah melukai Abel secara fisik dan mental.

Alih-alih mengeksplorasi tentang usaha Alia taking care Abel sehingga dia bisa hidup normal, film mengambil langkah tak terduga, menaikkan stake, menjadikan ini sebagai cerita tentang orang-orang bermata batin, yang bisa melihat hantu, yang berusaha hidup tenang di rumah mereka sendiri. Konflik utama lapisan terluar film ini adalah Abel dan Alia yang diganggu oleh hantu-hantu penasaran yang menempati rumah mereka. Mereka harus membantu hantu-hantu tersebut memecahkan misteri kematian, dan kemudian cerita berkembang menjadi seperti Insidious yang digabungkan dengan wahana rumah hantu.

Jika biasanya kita harus melihat dulu baru bisa percaya, maka Mata Batin dengan ceritanya akan memperlihatkan bahwa kita bisa yakin kepada sesuatu hal tanpa harus melihatnya. Malahan, film ini menegaskan bahwa kita harus percaya dulu, sebelum bisa melihat dan peduli kepada keyakinan orang lain. Karena terkadang ‘pandangan’ kita sempit oleh hal-hal yang tidak mau kita mengerti.

 

Serius deh, di bagian awal, film ini datar banget. Alia bisa jadi adalah salah satu tokoh utama film yang ditulis dengan paling plin-plan. Karakternya ditulis sebagai cewek yang berani, namun kita melihat dia pulang ke rumah aja ditemani oleh cowoknya. Davin (tokohnya Denny Sumargo di sini udah kayak kerikil) benar-benar dibuat tak banyak berguna. Padahal mestinya twist bukan alasan untuk bikin karakter menjadi antara ada dan tiada seperti ini. Dia cuma ngekor aja, hanya ada di sana. Karena nampaknya Alia memang selalu butuh support.

Di ‘jaman now’, setiap karya pada vokal bicara tentang pemberdayaan dan kemandirian. Eh, Mata Batin membuat tokoh ceweknya terlihat lemah, dan anak-anak dicuekin gitu aja. Ada anak yang terluka karena orang tak dikenal, dan mereka gak menjual rumah tersebut adalah tanda bahwa gak ada yang peduli sama Abel. Dan Abel ini bukannya completely nutup diri, dia sempat open up dengan bilang dia diikuti orang di sekolah, dan Alia gak melakukan apa-apa sehubungan dengan pernyataan tersebut.  Kakak paling cuek sedunia deh pokoknya. Bayangin nih, Alia dan Abel  kakak beradik yang sudah lama tak bertemu, orangtua mereka baru saja meninggal,  mereka berdua lalu pulang ke rumah yang tidak mereka tempati lagi sejak kecil, dan sesampainya di rumah itu, Alia malah berkeliling dengan Davin. Abel ditinggal sendirian, mengeksplorasi rumah yang dihuni hantu berkain dan bersuara musik yang keras.

Kalo lagi gak ada Davin, Alia akan menggenggam botol cola.

 

Babak kedua barulah ada kejadian menarik. Buatku, di sinilah film memilih sebuah langkah yang sangat unexpected. Kepada paranormal yang tahu-segala tapi dilarang oleh naskah untuk mengambil aksi, Alia meminta mata batinnya dibuka supaya dia bisa langsung melihat sendiri apa yang sudah membuat adiknya ketakutan. Ada banyak adegan seram yang menurutku punya undertone kocak yang datang dari reaksi Alia melihat makhluk-makhluk gaib itu. Dia actually berinteraksi dengan mereka. Aku ngakak ketika di satu adegan Alia menelpon Abel, dia curhat panjang lebar tentang kejadian aneh yang baru saja ia alami, ada hantu yang baru saja ngobrol dengannya, dan Abel menanggapinya dengan “Kakak belum liat yang lainnya.” Singkat. Padat. Di momen itu konteksnya terasa seolah jawaban tersebut adalah jari tengah gede yang disodorin Abel kepada Alia yang selama ini gak percaya sama dirinya. Ini seperti Abel bilang “I told you” dengan pelampiasan hati haha. Alia ketakutan di rumah sakit – notabene sarangnya hantu – dan I was like “WRONG MOVE, gurl!” melihat dia lari ke dalam elevator. Dan kemudian dia naik mobil dan nabrak hantu. Dan hantunya malah melotot. Ada banyak nuansa lucu, namun film tidak menggubris mereka. Film memandang dirinya sendiri terlalu serius. Sehingga berbagai ‘kebegoan’ yang muncul menjadi flaw, dan pada akhirnya membuat film ini tidak terasa begitu berbeda dari horor-horor yang lain.

“Mbak, tolong, eyke sudah mati kok ditabrak lagi”

 

Film tetap membuatku tertarik, karena mereka memasukkan banyak aspek-aspek yang bikin kocak. Alat pendeteksi hantu itu, misalnya. Aku acungin jempol deh. Anak-anak geologi aja belum ada yang kepikiran loh menjadikan kompas sebagai radar setan, biasanya kami hanya ngeplesetin alat itu jadi tempat bedak masker doang. Mata Batin memang berusaha melihat trope-trope horor dari sudut yang lain. Daripada bikin bandul yang lebih simpel, mereka menggunakan kompas. Daripada pake lagu Boneka Abdi, mereka sekarang pakai lagu Naik Kereta Api yang gak ada seram-seramnya sama sekali sebagai lagu hantu. Itu juga liriknya salah! Ahahaha aku gak tau kenapa si hantu nyanyinya “tut..tut..tuuutt… siapa hendak turun”. Mestinya lirik yang benar kan “turut” ya, I mean, apa gunanya bikin lagu tentang kereta api kalo liriknya malah nyuruh orang turun.

 

 

Dijamin ngakak deh, nonton film ini. Jika diarahkan sehingga bisa jadi modern cult classic, film ini sudah berada di jalan yang benar. Seharusnya mereka mengembrace adegan-adegan konyol yang hadir unintentionally tersebut supaya di masa depan akan ada banyak orang yang berkumpul untuk nonton ini dan tertawa-tawa having fun bersama. Karena jika dilihat dari tone yang serius, film ini terlalu banyak cela untuk bisa digolongkan sebagai film bagus. Walaupun memang dia punya cerita yang cukup menyentuh dan berani mengeksplorasi hubungan kakak dan adik bersaudari. Ada perbincangan tentang melepas orang yang kita cintai. Pun sebagai horor, film ini juga di level so-so. Masih bisa ditonton, tetapi tidak banyak berbeda dengan horor kebanyakan yang lantang dan ngagetin. Formula gore dan kesurupan yang mereka lakukan menarik, namun tanpa inovasi dengan cepat menjadi basi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for MATA BATIN.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

MAU JADI APA? Review

“Carpe diem quam minimum credula postero”

 

 

 

 

Reaksi orangtua ketika kalian bilang pengen ngambil jurusan Arkeologi, “Pfffttt hadeh mau jadi apa~?”

Ketika hari Minggu dan kita guling-gulingan di kamar seharian, “Heh ini main melulu, mau jadi apa!??”

Dan ketika kita denger lagu Susan “Susan, susan, susan, kalo gede, mau jadi apa?”

Bahasa tulisan itu asik, satu kalimat aja bisa ditafsirkan dengan emosi yang berbeda. Kalolah film ini kita gambarkan berkaitan dengan kalimat titularnya, maka Mau Jadi Apa? terasa cocok dibaca dengan nada versi lagu Susan; film ini ringan, ceritanya enggak mencemo’oh, enggak memarahi, melainkan bakal menanyakan kepada kita tentang motivasi hidup dengan menghibur. Mahasiswa bakal suka, terutama anak-anak Maba yang masih baru melangkah malu-malu menyongsong masa depan yang belum kepikiran pasti. “Nanti kita mau jadi apa sih?” yang nanya sambil nyengir ngakuin mereka juga kuliah dengan modal semangat doang.

 

Tahun 1997, rambut Soleh Solihun masih gondrong. Dia belum lagi seorang stand up komedian. Dia masih baru mulai bermimpi tentang hidup. Dia masih muda, yaah tapi tetep gak unch-unch juga, sih. Meski dia dan teman-teman segenknya sudah kuliah beberapa semester di Fikom Unpad, Soleh masih merasa dia sama cluelessnya dengan dirinya waktu masih dihukum senior lantaran gak sengaja mimpi basah selagi acara  ospek. Dia juga masih jomblo.  Supaya hidupnya ngerjain sesuatu yang berguna, dia ngelakuin apa-apa ya demi bisa deket sama Ros, cewek Slanker yang ia taksir. Soleh jadi ngikut masuk redaksi majalah mahasiswa, Fakta Jatinangor, yang topiknya serius banget. Ide-ide tulisan musik Soleh ditolak. Jadi, Soleh dan teman-temannya bikin media tandingan. Akhirnya mereka menemukan sesuatu yang bisa membuat hari-hari kuliah mereka berguna; bikin majalah hiburan. Selanjutnya, film akan menceritakan permasalahan yang timbul dari berita-berita gosip yang ditulis Soleh, dan bagaimana dia bersama teman-temannya berjuang atas nama persahabatan dan karir yang saat itu masih belum kebayang.

dan lahirlah nenek moyang Lambe Turah

 

Secara personal, film ini relatable banget buatku. Aku dulu juga kuliah di Unpad, aku juga dulu sama begonya enggak tahu mau kerja apa. Aku juga bikin buletin ulasan-film sendiri, yang juga diperbanyak dengan foto kopi, kuberi nama Kertas Buram. Aku malah selalu ngeluh aku salah jurusan. Pemandangan yang disuguhkan film ini tampak tidak asing buatku, secara harafiah maupun secara simbolis. Ngeliat Jembatan Cincin itu aku jadi teringat dulu pernah tengah malam duduk di sana demi membuktikan desas-desus horor, dan akhirnya aku memang pulang pontang-panting. Tapi bukan karena hantu, melainkan karena ngeri banyak preman hhihi. Anyway, film Mau Jadi Apa? yang berseting di kampus Fikom benar-benar kerasa semangat mahasiswanya. Dan walaupun timeline film ini tahun 97, permasalahan dan tema yang diangkat oleh film ini masih terasa relevan dengan kondisi mahasiswa sekarang.

Ngomongin bahagia, orang akan mengasosiasikannya dengan masa depan. Orang akan bikin rencana, nanti mau bikin apa, mau jadi apa.  Kenapa mesti nanti? Kenapa tidak bahagia dari sekarang. Kita bisa bikin karya meski sedang kuliah. Walau masih muda, kita mestinya bisa langsung bergerak mengejar mimpi. Hidup demi saat ini, hargailah dengan melakukan yang terbaik yang kita bisa.  Bahagia, dan bertanggungjawablah dengannya sesegera mungkin.

 

Menyutradarai, sekaligus memainkan cerita kehidupan sendiri tentu adalah sebuah cita-cita emas setiap pembuat film manapun. Soleh Solihun benar-benar total dan terlihat sangat passionate di sini. Props, pop-culture, dan semuanya diarahkan senyata mungkin. Detil-detil akhir masa 90an tak luput darinya. Dijadikan olehnya sebagai pemantik lelucon, dibuat olehnya sebagai jokes yang ngeforeshadow kejadian di masa kini.  Misalnya ketika ada cameo dari Ernest Prakasa yang kalo gak salah memang pernah di Bandung. Pada film ini Ernest disebut sebagai “anak dari toko cina yang di sebelah” yang merupakan direct reference ke filmnya Ernest. Also, they were throwing a shade about cina jadi gubernur. Kita juga ngeliat ‘cikal bakal’ grup band The Changcuters, serta bagaimana Sophia Latjuba mungkin saja suka sama vokalis band. Ini adalah kerja dari pandangan wartawan Solihun. Dia menangkap apa-apa yang ngetren. Untuk kemudian dia padukan dengan kegemarannya akan musik serta keahliannya menyusun punchline komedi. Lelucon-lelucon di sini ampuh sebagai ajang nostalgia karena begitu banyak melibatkan referensi 90an. Kelakar dialognya dari lagu Trio Kwek-Kwek, dari lagu Jamrud, Ada Cintanya Bening. Ada beberapa jokes yang harus mereka jelaskan sih, supaya penonton kekinian bisa menangkap maksudnya – contohnya ketika mereka menyebut Ali Topan dan Pamela Anderson, film juga menyertakan gambar tokoh tersebut. Sesungguhnya di sini, film sedikit tidak mempercayai penonton. Tapi aku bisa mengerti, karena toh 90an itu udah tergolong kuno untuk jaman sekarang.

Film ini sangat self-aware. Narasinya banyak bersenang-senang dengan membuat tokoh Soleh kerap breaking the fourth wall. Soleh akan menghadap ke kamera, dan ngobrol langsung dengan kita para penonton. Kadang dia menceritakan alur. Kadang dia hanya ngobrol kocak gitu ada. Ada banyak komedi yang datang dari sini. Di antaranya adalah bagian di mana Soleh menjelaskan kenapa musti dia yang main jadi tokoh utama, dia menyebut Reza Rahadian, dan segala macem penjelasan mengenai pilihan-pilihannya dalam membuat film. Aspek ini membuat film jadi refreshing. Masalahnya adalah, akting Soleh tidak pernah benar-benar mendarat di note yang tepat. Dan aku heran kok bisa beberapa penyampaian leluconnya malah jatoh jayus. Padahal kamera kan  bukan hal yang asing bagi komika. Tapi yah, tampil sedih mungkin memang langka bagi komedian. Akting memang sulit – bahkan kalo kita berakting sebagai diri kita yang masih muda. Solihun kebagian banyak adegan yang merefleksikan emosi, dia berjalan sendirian – kadang melawan arus mahasiswa yang lain, dengan rambut panjang dan tampang sedih – dan kita susah untuk merasakan apa yang tokoh ini rasakan. Kesannya malah tetap lucu.

“Aku gak e’ek, it’s not true. Aku gak e’ek. I did not….oh hai Ros!”

 

Hal yang patut disyukuri sebagai manusia adalah selain kita sendiri yang mengatur kapan kita bahagia, kita juga punya kesempatan belajar tak terhingga – asal kitanya mau cari pembelajaran. Kendala terbesar film Mau Jadi Apa? di luar komedi dan observasi hubungan sosialnya yang mengena, adalah, film ini enggak berdiri atas struktur yang kuat. Solihun dan timnya perlu belajar lebih giat soal bagaimana menceritakan kejadian nyata menjadi sebuah skenario film. Sama kayak mahasiswa-mahasiswa tingkat atas yang luntang-lantung, motivasi film ini juga datang terlambat. Susah untuk mengetahui film ini diarahkan mau jadi apa? Konfliknya datang dan pergi. Tokoh-tokoh pendukung diberikan backstory, mereka punya masalah sendiri, tapi tidak dibangun dengan baik. Ditambah begitu saja ke dalam narasi. Aku tidak bilang tokoh-tokoh it satu dimensi, tapi terkadang antara tingkah komedik mereka yang over the topAnggika Bolsterli main anti jaim banget, tokohnya begitu bersemangat she just squats outofnowhere – dengan bagian yang emosional terasa benturan tone yang cukup keras.

Untuk sepuluh menit pertama cerita tampak membangun keinginan Soleh buat macarin Ros, dan kita berakhir dengan cerita Soleh disidang dan elemen romansa itu malah terdorong jadi background. Struktur cerita mestinya bisa diperkuat lagi, masalah majalah kampus mestinya langsung diperkenalkan. Film ini sebenarnya punya kesamaan dengan Coco (2017), berbicara mengenai meninggalkan jejak karya supaya dikenal dan diingat orang. Hanya saja, Mau Jadi Apa? terlihat begitu convoluted oleh struktur yang tidak rapi. Aku suka bagian terakhir di ruang sidang, solusinya yang menekankan pada persahabatan lumayan keren, di sini film mengambil resiko dengan menurunkan peran dan tindakan tokoh Soleh sampe nyaris tidak ada yang ia lakukan di sana. Akan tetapi, hal tersebut ditambah faktor kebetulan pada narasi membuat semuanya – walaupun di ending Solihun bilang tidak ada yang fiktif – terlihat terlalu diorkesterasi.

Nino is such a jerk, padahal sweaternya juga kayak halaman buku tulis

 

Dengarkanlah kata hati, sebelum benar-benar terlambat untuk berhenti dan memulai kembali. Jika kalian sedang kuliah, dan tidak yakin apakah yang kalian tekuni sekarang enggak sesuai dengan passion, segeralah hentikan. Pindah jurusan, ambil yang kalian suka. Jangan pernah ambil yang kalian tidak suka. Jangan sekadar mengikuti teman-teman. Atau hanya supaya bisa bareng pacar maka kalian berada di sana. Pilih karena kalian percaya. Pilih karena hal itulah yang hati kalian ingin lakukan.

 

 

 

Cerita yang personal tentang mahasiswa dan motivasinya ini dikemas dalam balutan inside jokes. Penuh oleh referensi-referensi akhir 90an, membuat film ini bisa kita sebut sebagai sebuah PERIOD-PIECE COMEDY. Hadir ringan, dengan tidak judgmental, film ini menghibur. Terlebih jika disaksikan bareng teman-teman seperjuangan. Secara teknis, bagaimana pun juga, sebuah film harus punya skenario yang terstruktur kuat supaya bisa menghasilkan perjalanan yang lebih terasa daripada sebuah hiburan. Film ini mau seperti itu, namun dari yang kita tonton barusan, perjalanannya masih panjang.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for MAU JADI APA?

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

MURDER ON THE ORIENT EXPRESS Review

“…and we will never know balance without justice for all.”

 

 

Ada asap, mesti ada api. Ada yang dibunuh, maka detektif yang katanya sih dia mungkin detektif paling hebat di dunia itu akan langsung memutar otak mencari orang yang bertanggungjawab – mencari sang pembunuh untuk dihukum. Karena begitulah dunia seperti yang dilihat oleh Hercule Poirot; tempat yang harus seimbang. Ada benar, ada salah. Ada tinggi, ada rendah. Sebagaimana dia gerah melihat telur menu sarapannya enggak sama besar, Poirot juga kesel dan rela membatalkan liburannya ketika dia mendengar ada kasus. Dan tanpa ia sadari, perjalanan yang ditempuhnya di atas kereta Orient Express itu akan menghantarkan diri detektif nyentrik ini ke sebuah pelajaran berharga; sebuah kasus pembunuhan yang paling sulit diterima oleh otak cerdasnya.

 

Ada asap, ada kereta api

 

Kasus Pembunuhan di Orient Express ini adalah salah satu kasus Hercule Poirot dari novel karangan Agatha Christie yang paling sering didaptasi ke layar. Yang paling bagus tentu saja adalah versi keluaran tahun 1974  buatan Sidney Lumet; aku masih ingat aku benar-benar tercengang ketika setelah bermenit-menit mengikuti cerita ini untuk pertama kalinya – film tersebut memberi ruang untuk kita menebak, mengumpulkan analisis sendiri – dan menyaksikan kebenaran absolut yang tragis dan kelam. Setelah itu memang banyak reinkarnasi dari novel ini, sampe-sampe kebanyakan dari kita pasti sudah apal ama ceritanya. Seorang penumpang pria ditemukan dalam keadaan bersimbah darah di kabinnya, tubuhnya penuh luka tusuk. Hercule Poirot berusaha menyelidiki  kasus ini, namun dia dibuntukan oleh serabutannya bukti dan petunjuk yang ia dapatkan. Tersangkanya tentu saja adalah para penumpang dan seisi penghuni kereta, yang kini terdampar oleh longsoran salju. Tentu saja, Poirot mencari motif sebab tidak ada kasus tanpa motif. Dia menginterogasi para penumpang demi mencari tahu siapa yang paling diuntungkan dari kasus ini. Informasi yang didapat oleh Poirot tentu saja semakin membuatnya bingung.

Sebenarnya cukup lucu juga soal kenapa film ini wajib banget dibuat. Kan mestinya sesuatu diadaptasi lantaran belum ada yang berhasil bikin saduran yang bagus. Aku pribadi, aku gak akan ngeremake sesuatu cerita padahal sudah ada film yang mengadaptasi dengan sangat baik. Kecuali ada ide atau perspektif lain, ngapain? Mending aku nyari versi adaptasi yang buruk lalu naikin namaku dengan membuat versi film yang lebih baik. Tapi itu juga sebabnya kenapa aku ngetik di blog dan enggak kerja jadi pembuat film. Mereka pola pikirnya beda, apalagi Hollywood. Bagi mereka, kalo mau bikin remake atau adaptasi, ya bikinlah dari sumber yang  sudah populer dan dikenal banyak orang, supaya film yang kita bikin jaminan lakunya lebih gede.

Di tangan Kenneth Branagh, Murder on the Orient Express mengambil penjelmaan sebagai cerita misteri detektif yang lebih light-hearted. Desain produksinya cakep sekali. Semua kostumnya tampak fabulous. Gaya klasiknya menghibur sekali. Kalian tahu, sekarang sudah jarang kita melihat drama misteri yang menghibur dengan ringan seperti ini. Misteri kebanyakan digarap dengan gaya neo noir yang kelam dan serius. Film ini meriah, lihat saja babak awalnya. Sangat menghibur dengan benar-benar menetapkan kepintaran observasi dan karakter tokoh Poirot.

Kamera mengambil gambar-gambar dari sudut yang sama uniknya dengan tokoh utama kita, si Hercule Poirot, yang diperankan oleh sang sutradara sendiri. Film ini memang mengeksplorasi pembunuhan, namun jikalau ada kasus pencurian di sini, maka tersangka utamanya adalah Kenneth Branagh sebab dia sudah mencuri lampu sorot lewat interpretasinya memainkan Hercule Poirot. ‘Obsesi’nya tentang hal-hal seimbang kadang digambarkan dengan kocak. Dia kesel bukan karena nginjek kotoran bikin bau, tapi lebih kepada karena sekarang tinggi sepatunya jadi timpang – jadi dia nginjek dengan kaki sebelah lagi biar sama-sama bau. Poirot di sini dapat banyak momen ringan seperti itu, tetapi ketika dia mulai bekerja membaca dan mengurai petunjuk, kita seolah bisa melihat otaknya berputar dan dialog-dialog cerdas meledak keluar dari mulutnya, meninggalkan kita seolah kepintaran kita sedang berlomba lari dengan kereta api.

Kalo kalian masih butuh bukti bahwa Poirot begitu menghargai keseimbangan, lihat saja deh kumisnya hhihi

 

Yang diarahkan oleh Kenneth Branagh di film ini bukan aktor sembarang aktor. Nama-nama seperti Johnny Depp, Daisy Ridley, Josh Gad, Penelope Cruz, Michelle Pfeiffer, Judi Dench, Willem Dafoe, turut bermain di sini, gak kebayang deh gimana ‘repot’ mengurus tokoh mereka. Tapi each and every one of the casts berhasil memainkan peran dengan excellent. Mereka bermain kuat meski materi yang diberikan kepada mereka lumayan minim. Dan menurutku ini adalah kelemahan yang tidak terhindari oleh film. Banyak film akan kesulitan jika mereka berusaha bercerita dengan lokasi yang sempit, dengan tujuan untuk menyelubungi kenyataan. Ada kebutuhan memperlihatkan misteri. Dan pada film yang actually adalah cerita whodunit ini, karakter lain yang praktisnya adalah tersangka, begitu dijaga ketat sehingga mereka tidak memberikan terlalu banyak informasi mengenai siapa mereka, hal spesifik yang membuat mereka bisa ‘hidup’ sebagai karakter pendukung.  Akibatnya, memang selain Poirot, tokoh-tokoh film ini tampak sebatas sebagai karakter background. Karena misteri itu datang dari rahasia mereka, cerita butuh mereka untuk ‘tersembunyi’, mereka diflesh out seperlunya – aku mengerti integralnya dengan cerita – namun tetap saja, para tokoh ini terasa sia-sia. Mereka kayak pion yang digerakkan ke sana kemari oleh investigasi Poirot, sehingga terkadang deduksi Poirot tampak ajaib alih-alih  hasil analisa.

“Are you an innocent man?” tanya Poirot kepada Ratchett, yang menjawabnya dengan “I’m a businessman.” Dunia tidak pernah sesimpel bersalah  atau enggak. Dalam dosa, semua orang adalah tersangka. Poirot percaya bahwa semua hal di dunia harus seimbang; keadilan datang dari keseimbangan.  Namun, keadilan tidak melulu berarti semua orang mendapat kebenaran yang sama. Keadilan kadang berupa saat ketika orang diberikan kesempatan untuk mendapat sesuatu dengan setimpal.

 

Less an enssemble, Murder on the Orient Express adalah POIROT’S ONE-MAN SHOW. Film ini menganggap penonton sudah apal dengan misterinya, sehingga mereka lebih meniatkan film sebagai pembelajaran untuk karakter Poirot. Membuat detektif hebat yang sudah melegenda ini tampak manusiawi. Kita diberikan sedikit cerita latar tentang kehidupan cinta Poirot, yang sayangnya hanya memang sebatas latar. Sekuens jawaban misteri film juga tak pelak menjadi datar. For some reason, Poirot mendudukkan para tersangka dalam formasi kayak di lukisan The Last Supper, tetapi ‘pertunjukan analisisnya’ tersebut jauh dari kesan majestic. Karena film lebih fokus untuk membuat hal yang Poirot ungkap menjadi berat buat  dirinya sendiri. Film ingin menelaah reaksi Poirot, juga reaksi kita tentang main hakim sendiri, tentang apa sebenarnya yang adil di mata hukum dan kemanusiaan.

 

 

Mempersembahkan cerita yang secara natural adalah cerita berelemen kelam dalam bungkus yang menghibur, sesungguhnya film memang berjuang untuk menyeimbangkan tone cerita. Dibuat bukan secara komedi, melainkan sebagai drama dengan elemen ringan disulam di antaranya. Sayanganya, tone tersebut tidak pernah konsisten. Film ini punya jejeran pemain top yang sayang sekali hanya digunakan sebagai karakter latar, karena narasi benar-benar ingin menonjolkan Poirot. Yang mana adalah hal yang bagus untuk memperkuat tokoh utama, akan tetapi mestinya bisa dilakukan tanpa mengorbankan tokoh lain. Bagi penggemar misteri pada umumnya, dan penggemar Agatha Christie pada khususnya, film ini toh tetap bakal jadi sajian yang enjoyable untuk ditonton. Tapi kalo bioskopnya jauh, enggak perlu dikejar sampe naik kereta api segala sih.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for MURDER ON THE ORIENT EXPRESS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

COCO Review

“Always forgive, but never forget.”

 

 

Seandainya Pixar adalah mutant, maka kekuatan supernya pasti adalah kemampuan untuk membuat kita menangis. Menit-menit terakhir film Coco, aku serasa berada di rumah duka beneran. Studio penuh oleh suara sengau yang mengomentari cerita. Sekelilingku penuh oleh penonton yang bahunya naik turun, menahan isak tangis. Semua orang begitu terpengaruh oleh apa yang mereka saksikan, lantaran film ini benar-benar memanfaatkan waktu demi ngebangun  cerita tentang passion dan keluarga yang sungguh luar biasa. Coco adalah CERITA YANG AMAT SANGAT KAYA. Oleh tema, oleh budaya, oleh backstory para tokoh, sehingga begitu menontonnya kita seolah melangkah ke dalam suatu kehidupan yang sedang berlangsung. Dan hal tersebutlah, film ini seperti dunia yang bahkan sudah bekerja sebelum kita mengintipnya, yang merupakan salah satu aspek terhebat dalam film Coco.

Ceritanya tentang anak cowok bernama Miguel yang pengen banget menjadi musikus. Dia ingin mencipta lagu, dia ingin bernyanyi, dia ingin seperti tokoh idolanya, Ernesto de la Cruz yang sudah melegenda di Mexico. Miguel punya tempat persembunyian khusus yang ia dedikasikan untuk de la Cruz. Di tempat itu, Miguel diam-diam otodidak belajar main gitar dari menonton video-video lama Cruz. Miguel sembunyi-sembunyi begitu lantaran musik adalah hal yang dilarang dibicarakan di bawah atap keluarga. Semua sanak Miguel bekerja sebagai pembuat sepatu, dan Miguel diharapkan untuk mengikuti tradisi keluarga. Tidak boleh ada musik, jangan sampai Miguel berkelakuan serupa dengan kakek buyutnya yang meninggalkan nenek Coco demi karir. Keinginan Miguel makin tak terbendung di perayaan Hari Orang Mati, dia mencuri gitar di makam de la Cruz, yang kemudian membuatnya terdampar di dunia orang mati. Untuk bisa keluar, Miguel harus meminta restu dari keluarganya yang sudah mati, sembari mencari cara gimana supaya dia bisa tetap menekuni musik tanpa melukai hati saudara-saudara yang lain, terutama orangtua dan neneknya.

Nenek Coco kecilnya mirip Alessia Cara

 

Kekuatan spesial kedua kalo Pixar sebagai mutant adalah membuat  animasi senyata foto sebagai sesuatu hal yang klise untuk disebutin di dalam review. Detil-detil gambar pada Coco gila banget detilnya. Gerakan animasinya mulus. Shot-shot kota, jalanan, udah kayak foto beneran dan mereka seolah menyelipkan tokoh animasi ke dalamnya. Pemandangan dan festivenya dunia kematian dan perayaan di dalamnya sangat meriah sehingga walaupun bicara tentang dunia orang mati, tema ceritanya juga sebenarnya cukup kelam (kita akan bicarain ini di bawah), tapi film ini merekamnya dalam penampakan yang berwarna. Ini adalah film emosional menyentuh hari yang ceria. Dan aku belum ngomongin soal musiknya loh. Menakjubkan deh. Permainan gitar, nyanyiannya, semua terdengar begitu cantik.

Ada apa sih dengan Mexico dan Kematian? Dia de los Muertos adalah hari raya di Meksiko untuk mengenang orang yang sudah tiada. Pada hari itu dipercaya leluhur yang sudah meninggal akan mendatangi rumah kerabat yang masih hidup, selama mereka masih diingat. Hal tersebut dijadikan stake dalam film ini, salah satu tokoh membantu Miguel kembali ke dunia karena dia ingin Miguel segera memasang fotonya di rumah, supaya keluarganya ingat dan si tokoh tidak menghilang. Orang yang sudah mati tidak akan benar-benar pergi, sampai tidak ada lagi yang mengenang mereka. Kenangan kita atas merekalah yang membuat orang yang kita cintai bisa tetap hidup, walaupun umur mereka sudah lama habis.

 

Coco punya cerita yang kaya, punya tokoh yang bisa dengan mudah kita apresiasi. Aku bisa melihat film ini lebih disukai oleh orang dewasa, meski tidak tertutup kemungkinan ada anak kecil yang bisa melihat ke balik nyanyian dan tengkorak-tengkorak yang bertingkah lucu itu. Buatku, aku hanya sebatas menikmati, karena apa yang ditawarkan oleh cerita Coco sudah kelewat familiar bagiku. I do feel related to it, aku tahu persis gimana punya kerjaan yang gak disetujui orangtua. Namun cerita cantik dengan pesan yang amat menyentuh  film ini enggak terasa terlalu menyelimutiku karena ini hanya satu lagi cerita tentang anak muda yang ingin melakukan sesuatu di hidupnya tapi keluarga ingin dia melakukan hal lain sehingga dia kudu menemukan jalan tengah untuk menyenangkan keluarga sembari menjawab panggilan hatinya. Premis dasar tersebut, begitu juga dengan elemen anak sampai ke dunia lain dan belajar tentang hidup adalah hal-hal yang udah lumayan sering kita lihat dieksplorasi dalam film.

Belum lama ini, di tahun 2014  ada animasi berjudul The Book of Life yang bukan hanya punya tema cerita yang sama, settingnya juga mirip dengan film Coco. Akan tetapi, seperti halnya Antz buatan Dreamworks dengan A Bug’s Life nya Pixar yang keluar nyaris berbarengan di tahun 1998, kesamaan antara Coco dengan The Book of Life enggak semata kayak Pixar totally nyontek. Kedua film ini punya lapisan luar cerita yang sangat berbeda. The Book of Life yang bercerita tentang anak dari keluarga matador yang ingin main musik, namun dilarang, dan dia juga terdampar di Dunia Kematian mengambil aspek cinta segitiga untuk menekankan soal pencarian passion. Kalo seperti aku, kalian suka sama The Book of Life, maka kalian pasti akan teringat sama film ini ketika menonton Coco. Tapinya lagi, Coco bisa jadi adalah film yang kalian inginkan ketika kurang puas menonton The Book of Life. Karena pada film Coco, fokus tentang warisan keluarga, gimana usaha konek dengan keluarga itu, diceritakan dengan lebih terarah.

Dunia Kematian itu begitu semarak sehingga kita jadi gak sabar untuk mati. Eh?

 

Di balik limpahan musik dan budaya itu, kalo kita pikir-pikir, sesungguhnya ada implikasi kelam yang cukup mengerikan yang dapat kita petik dari Coco. Film ini antara lain bicara tentang mengabadikan diri lewat seni. Dengan karya, dengan kita menciptakan sesuatu, orang akan terus membicarakan kita. Ernesto de la Cruz hidup bak dewa  di dunia kematian karena lagunya begitu terkenal. Orang-orang terkenal berpesta pora di sana. Aspek kelam yang kumaksud adalah, tidak ada konsep baik-buruk di sini. Tidak peduli apa yang kita lakukan, entah karya seni ciptaan kita nyolong punya orang lain, entah kita pernah bersikap brengsek ke orang lain, dalam film ini kita masih akan hidup senang di tempat yang layaknya surga selama foto kita masih dipajang, nama kita masih disebut oleh kerabat atau orang yang masih hidup.

Dalam film ini, kita melihat ada tokoh yang baik, ia sebagai tengkorak benar-benar mati, sendirian di ranjang gantungnya, karena dia tidak punya apa-apa yang bisa membuatnya diingat orang.  Ini mencerminkan bahwa orang-orang biasa, yang hidup sebagai orang baik tapi gak nyiptain apa-apa, yang gak melakukan sesuatu yang membuat mereka tertulis di buku sejarah, hanya akan menunggu waktu mati itu datang lagi. Kebaikan enggak diingat orang. Hanya menjadi terkenal yang abadi. Tentu saja, di masa di mana satu video viral di youtube bisa bikin orang jadi sukses, implikasi pesan tersebut dapat menjadi bumerang sebab membuat terkenal, punya banyak fans, menjadi prioritas hidup nomor satu bagi anak kecil alih-alih ngelakuin hal baik lain. Makanya, kita yang mesti bisa ngingetin ke adik-adik saat nonton ini bahwa diingat dan direstui keluargalah yang paling penting.

 

 

 

 

 

Ada cerita indah nan menyentuh yang bisa diapresiasi oleh anak-anak pada film ini. Ada banyak hal positif yang bisa kita ambil mengenai keluarga, mengenai jalan hidup yang kita pilih. Film ini juga kaya oleh unsur budaya. Tapi tentu saja, seperti mata uang, ada sisi kelam di balik pesona dan keceriaannya. As the story standpoint goes, aku enggak bisa bilang aku benar-benar tersedot penuh ke dalam ceritanya, meskipun relatable buatku. Film ini terasa sangat familiar, hingga aku tidak merasakan keunikan yang dia miliki. This is just another story, yang diceritakan dengan sangat baik, pengisi suaranya mantep, musiknya catchy, arahannya sangat ketat.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for COCO.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

 

 

TURAH Review

“Either give up and die or die trying”

 

 

Satu lagi permata di antara kelimpahan batu, Turah adalah film yang berani mengangkat dan mengambil wujud berbeda dari film-film lain. Namun, ini adalah permata yang amat kasar. Menontonnya kita tidak akan merasa senang, atau gembira, atau berbunga, atau jumawa melihat tokoh baik berhasil mengalahkan tokoh jahat. Sebab depresi hidup adalah lawan yang berat; antagonis sebenarnya yang membawahi rasa takut, putus asa, dan berbagai macam perasaan negatif lain. Sutradara Wicaksono Wisnu Legowo menghimpun semua – tanpa memanis-maniskan keadaan – dan memperlihatkan kepada kita secara langsung seperti apa hidup yang untuk berharap aja, kita udah takut.

Kalo mau dideskripsikan, maka aku akan menggunakan istilah tempat jin buang anak untuk menjelaskan tempat seperti apa Kampung Tirang. Literally banyak mayat bayi yang ditemukan di kali dan dikubur di pinggir kampung. Tempat itu bahkan bukan ‘kampung’ beneran. Dia hanya sepetak tanah timbul dari endapan kali yang digunakan sebagai tempat tinggal buat orang-orang yang tidak mendapat tempat di dunia seberang kalinya. Orang-orang terbuang, dilepehkan mentah-mentah. Bagi kelas atas, mereka hanya tambahan suara saat pilkada. Janji-janji kesejahteraan itu tak perlu ditepati. Air bersih dan tempat tinggal yang layak? Pake aja apa yang ada! Turah sudah dari kecil tinggal di Kampung Tirang. Untuk memenuhi nafkah keluarga, dia dan para warga yang lain bekerja sebagai buruh pribadi Juragan Darso. Ternak kambing, barang bekas, tambak ikan, semua dijual ke Darso yang kemudian akan memberi upah kepada mereka.

Cukup? Tentu saja jauh!

 

Turah mungkin manut dan masih bisa legowo, istrinya dengan bijak menolak punya anak hanya untuk menambah korban sengsara, dapur mereka masih bisa ngebul walau hanya pas-pasan. Ditanyai apa ada kebutuhan yang masih kurang? Turah dan segenap penduduk menjawab “tidak ada, sudah cukup semua.” Namun tidak begitu dengan sahabatnya, si Jadag. Pemabuk ini sudah capek hidup susah, sudah bertahun-tahun dia bekerja kepada Darso namun hidupnya tak kunjung naik kelas. Dia cemburu sama Pakel yang sarjana. Jadag menyuarakan aspirasinya, mengajak Turah dan warga untuk membuka mata mereka, bahwa mereka bisa mendapat lebih, keringat mereka mestinya mengering masuk ke pundi-pundi masing-masing. Jadag mengambil rute protes yang beanr-benar frontal sehingga jika air kali yang tenang adalah Kampung Tirang, maka Jadag adalah batu yang dilempar ke sana, membuat riak-riak yang mengancam zona nyaman tempat terkutuk itu.

Hidup, sebagaimana yang diperlihatkan oleh film ini, adalah siklus yang selalu bertemu dengan kematian. Kita bisa menyerah dan mati. Atau mencoba, dan mati karenanya. Jadi, kenapa mesti takut? Keadaan suatu kaum tidak akan berubah, kecuali mereka mengubah keadaan mereka sendiri. Kita tidak bisa mengharapkan perubahan tanpa mengambil langkah untuk berubah.

 

Suara dan cahaya dalam film ini semuanya berasal dari alam. Kita tidak mendengar musik pengiring. Kita tidak melihat cahaya yang diekpos editing studio berlebihan. Hasilnya adalah sebuah gelaran gambar bergerak yang tampak nyata. Hampir seperti dokumenter ataupun live video. Sekuens menjelang penutup, yang malam-malam ujan gede itu, adalah yang paling membuatku takjub. Ditambah dengan pemahaman konteks cerita saat di titik itu, wuih bulu kudukku meremang saat menontonnya Film ini memang sangat suram. Hampir-hampir sukar untuk ditonton. Sekalipun ada humor yang terlontar dari percakapan para tokoh, maka itu adalah jenis humor yang bikin kita ragu apakah pantas menertawakan atau enggak. Sebab film ini cukup pintar untuk tidak menampilkan hal dalam satu dimensi. Bahkan tokoh Juragan Darso tidak semena-mena ditampilkan culas.

Penampilan akting para pemain nyaris sangat teatrikal. Aku gak bilang aktingnya kaku. Para aktor justru memainkan perannya, mendeliverkan emosi dengan sangat baik. Kita bisa merasakan pengaruh kata-kata Jadag merasuk lewat pancaran mata Ubaidillah yang memainkan Turah. Kita bisa merasakan geram dan later, kebimbangan menyeruak saat perlahan Slamet Ambari yang jadi Jadag runtuh oleh kesadaran tentang keadaan orang-orang di sekitarnya dan apa yang mereka pikirkan atas tindakan dirinya.  Dan menurutku ini agak berkonflik dengan kepentingan film untuk tampil serealistis mungkin. Ceritanya sendiri sudah cukup serius dan kelam, kita melihat penghuni kampung tersebut dalam keadaan susah – tak pernah senang – dan mereka tidak mengeluh. Tepatnya tidak berani mengeluh. I think film perlu memperlihatkan kepada kita gimana mereka tampak senang hidup di sana, sebagai kontras dari inner struggle yang dikubur dalam-dalam. Tapi enggak. Jadi kita dapat film yang muram dari awal hingga akhir, ditambah dengan dialog penuturan yang dibawakan dengan terlalu serius. Sangat menitikberatkan pada hal-hal emosional. Sehingga semakin ke ujung, aku kehilangan atmosfer otentik yang ingin ditonjolkan oleh film.

but seriously, mereka ngebuildnya begitu hebat aku jadi penasaran pengen lihat tokoh Ilah

 

Di satu sisi kita punya Jadag yang nyaris –nyaris menjadi over the top. Di sisi lain, tokoh utama cerita, Turah tidak benar-benar melakukan apa-apa. Tapi actually, ini adalah story arc dari Turah. Sebagian besar film, mengikuti Turah adalah kerjaan yang membosankan dibandingkan dengan adegan-adegan yang ada si Jadag. Turah kalah menarik. Dia tidak mengambil keputusan. Dia tidak memancing konflik. Dia berada di sana hanya bereaksi terhadap aksi yang dilakukan oleh Jadag. At times, aku kepikiran kalo Jadag bisa jadi adalah tokoh utama yang bisa membuat film lebih eventful. Tapi tentu saja, Turah punya kepentingan menyampaikan satu pesan tertentu pada narasi, yang aku bisa mengerti konteksnya kenapa film ini tetap menjadikan dia sebagai tokoh utama.

Meskipun usahanya tidak berbuah manis lantaran penuh oleh amarah, Jadag adalah pahlawan dalam cerita Turah. Sisa-sisa keberanian di dalam diri Turah terbangkitkan, dia belajar dari kesalahan yang dibuat oleh Jadag. Sekali lagi, ini adalah tentang diam saja atau mengambil tindakan. Pertanyaannya sekarang tindakan yang bagaimana. Jadag menggugurkan satu ekuasi, sehingga menyisakan satu lagi. Dan itu  sehubungan dengan kenapa mereka mau tinggal di sana. Kita tidak perlu stuck di satu tempat. Orang-orang di Kampung Tirang sebenarnya punya keahlian. Mereka memang pernah terbuang, tapi mereka bukan sampah. Mereka adalah leftovers yang enggak dipakek. Tindakan yang mereka ambil mestinya adalah sesimpel pergi mencari tempat yang membutuhkan kepandaian mereka.

 

 

 

Wakil terpilih dari film Indonesia untuk bersaing di Film Asing Terbaik ajang Oscar tahun 2018 mendatang. Makanya, aku sempat kecele pas Bandung enggak kebagian jadwal tayang film ini. Dan pada akhirnya, buatku, film Turah ini benar-benar seperti ‘sisa-sisa’ yang aku pungut dari bioskop alternatif, tapi perlu diingat, sisa-sisa bukan melulu berarti sampah. Karena aku justru merasa seperti baru saja menang lotere sehabis menonton film ini. Sisi kemanusiaan yang kuat, komentar tentang kecemburuan sosial, tentang kepemimpinan, film ini menyentuh jauh lebih luas dari sepetak tanah kampung. Kerelevanan ini membuatnya pantas terbang ke Oscar. Meski sebenarnya dia bukan pilihan satu-satunya, ada film yang lebih baik daripada ini – teknis maupun penulisan. Karena buat sebuah film yang menyuarakan harapan, film ini kadang tampil terlalu muram untuk membuat penonton peduli.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for TURAH.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

NAURA DAN GENK JUARA Review

“There are more important things in life than winning or losing.”

 

 

Bikin film anak-anak itu enggak gampang. Terutama, karena orang dewasa pembuat filmnya sudah lupa gimana caranya menjadi anak-anak. Nanti dulu bicara soal karena susah mengatur dan mengarahkan mereka, kita yang udah gede ini udah lumayan susye untuk tidak menyepelekan anak kecil. Kita bersikap terlalu manis kepada mereka, dengan alasan menjaga hati. Kita bicara dengan mengecilkan mereka, we’re sugarcoated everything for them, karena kita menganggap mereka tidak mengerti. Padahal kalo diingat-ingat lagi, sewaktu kecil kita justru paling keki kalo dianggap ‘anak ingusan’ sama orangtua.

Tidak ada penghargaan yang lebih besar buat anak kecil ketika mereka diperlakukan setara dengan orang dewasa, ketika mereka dipercaya untuk bertindak dan menyelesaikan masalah sendiri. Film Naura dan Genk Juara berusaha untuk memahami itu.

Para tokoh cilik film ini diberikan kesempatan untuk ‘menang’ di atas orang dewasa yang meremehkan mereka, bekerja sama memecahkan masalah sebelum orangtua menyadari, dan mereka melakukan semua itu dengan bersenang hati. Mereka nari dan bernyanyi!

 

Film ini ringan dan benar-benar menekankan kepada pentingnya persahabatan. Ceritanya dapat menginspirasi anak-anak. Naura berhasil menjadi ketua rombongan sekolah mereka di acara Kemah Kreatif. Ya, di film ini kita akan melihat anak-anak menggunakan teknologi untuk kegiatan yang kreatif dan positif. Karena pengalaman dan sifat memimpinnya, Naura kepilih walaupun proyek GPS pelacak binatang yang ia rancang masih kalah poin dari drone si Bimo . Peristiwa tersebut sempat menimbulkan tensi di antara mereka, membuat sekolah mereka agak tertinggal dari sekolah lain di perkemahan. Sebuah peristiwa penculikan hewan-hewan di penangkaran perkemahanlah yang membuat Naura dan Bimo dan Kipli dan teman-teman lain  bersatu. Mereka mengusut misteri sindikat penculikan, yang juga menyulik salah satu teman sekelas Naura, dan eventually anak-anak ini harus menggagalkan aksi pencuri sendirian, sebab para ranger pengawas sudah dikecoh oleh para penjahat.

“Jaket? Kaos kaki? Baju? Obat?” well Papa sih gak nanyain celana panjang, ketinggalan deh punya Naura

 

Sedikit lebih berwarna, akan sulit bagi kita untuk tidak membanding-bandingkan film ini dengan Petualangan Sherina yang tayang tahun 2000 waktu aku masih unyu-unyu. Keduanya sama-sama musikal. Keduanya berlokasi di hutan. Keduanya punya tokoh utama anak cewek. Sherina dalam film itu adalah seorang murid baru yang dikerjain oleh anak laki-laki badung, Sherina ini mandiri, kita ngeliat dia sengaja nempelin bandage luka di badannya biar kayak jagoan. Petualangan Sherina arahan Riri Riza terasa meyakinkan dan menarik karena hal-hal kecil seperti itu; Sesuatu yang tidak dimiliki oleh film Naura dan Genk Juara. Naura, sebagai tokoh utama, ditulis sebagai karakter yang…. actually, aku agak bengong kalo ditanya Naura ini anaknya bagaimana. Dia ingin sekolahnya juara. Dia bisa bernyanyi dengan baik, dia bisa ngedance dengan keren. Dia anak baik, and that’s it. Kita tidak tahu apa kebiasaannya, tidak ada yang memberi petunjuk tentang siapa tokoh ini lebih dalem lagi. Dia jarang membuat pilihan, dia tidak diberikan konflik internal. Semua yang ia capai diberikan begitu saja kepadanya. Naura bahkan enggak ‘berjuang’ demi alatnya sendiri, yang berantem membelanya malah temen yang lain. Di babak terakhir pun, Naura tidak secara langsung ikut ‘berperang’ bareng anak-anak yang lain. Plot karakter Bimo justru yang lebih menarik, malah menurutku kita bisa bikin cerita anak yang sedikit lebih kelam jika mengeksplorasi Bimo sebagai tokoh utama.

Petualangan Sherina membuat tokoh Sherina berbeda dari tokoh lain dengan memberinya karakter, hobi, motivasi yang kuat. Sedangkan film Naura dan genk Juara membuat Naura stands out dari anak-anak yang lain dengan memberinya hotpants. Pilihan pakaian tersebut merupakan bukti kelemahan penulisan film ini.

Tidak ada gunanya juara, jika kita tidak bisa melakukan sesuatu yang berguna lantaran kita sibuk memikirkan diri sendiri. Apa gunanya kita menang sendiri, sementara kemenangan tersebut tidak dishare bersama teman-teman. Atau lebih parah, tidak punya teman untuk dishare. Persahabatan adalah piala yang lebih berharga daripada piagam manapun di dunia.

 

Nilai lebih yang diberikan oleh sutradara Eugene Panji pada film ini adalah dia tidak ragu menghadirkan tokoh penjahat yang lebih menacing. Penjahat di sini enggak dibikin bego-bego amat. Mereka masih terlihat sebagai ancaman, dan kita melihat anak-anak itu benar-benar dibentak. Menurutku, ini adalah pilihan yang bagus karena biasanya tokoh penjahat di film anak, sepenuhnya dijadikan bagian komedi, sehingga stake dan bahaya itu enggak benar-benar terasa. Sekali lagi, karena kita biasanya memandang rendah kemampuan anak-anak, dalam hal ini mentalnya. Makanya banyak film anak yang punya masalah di tone cerita. However, film ini dengan elemen penjahat pun, tone-nya tetap berhasil tampil seimbang.

Lirik dan irama lagu-lagu dalam film ini catchy, gampang banget deh buat disukai. Tetapi, beberapa adegan musikal terasa terpisah dari narasi. Ada tokoh yang keluar-dari-karakter ketika bernyanyi. Tidak ada kesinambungan feel antara adegan nyanyi dengan adegan sesudahnya. Malah terkadang mereka bernyanyi gitu aja tanpa ada alasan, karena film enggak mampu merangkai adegan tersebut dengan baik ke dalam cerita. Sampai-sampai kita ngerasa ‘ini si Naura kerjaannya nyanyi doang sementara teman-teman di sekitarnya sibuk ngerakit alat-alat untuk proyek science.’ Kamera jadi tampak kebingungan antara ngesyut adegan anak-anak merakit atau Naura ngedance. Dan jadinya memang terlihat frantic banget. Apalagi di adegan opening di sekolah, editing film cepet banget berpindah dari anak-anak bikin percobaan ke adegan menari. Padahal menurutku, perlu juga dong memperlihatkan proses actual pembuatan percobaan-percobaan itu supaya anak-anak bisa tertarik untuk mencobanya di rumah, jadi bukan hanya nyobain narinya.

Satu lagi yang aku kurang sreg dari musikalnya adalah pemilihan lokasi. Serius deh, mereka syuting di hutan wisata, tapi nyanyi-nyanyi disyut di tempat yang itu –itu melulu. Ini bukan salah di kreativitas sih, menurutku, film hanya ingin tampil efisien – supaya syutingnya gampang or whatever. Yang jelas, film jadi sedikit membosankan.   Dan melihat banyaknya adegan iklan sisipan, sepertinya film ini punya sokongan dana yang enggak sedikit. Adegan pembukanya malah memperkenalkan kita dengan para tokoh lewat animasi tiga-dimensi yang halus. Actually, di menjelang babak ketiga kita bakal ngeliat satu lagi adegan animasi, kali ini kayak kartun klasik Jepang, yang aku gak paham entah apa maksudnya film memasukkan dua animasi dengan style yang berbeda.

ajarin kakak bikin hantu-hantuan dari asap dooongg

 

Aku sebenarnya gak suka membicarakan hal-hal lain di luar film, kayak gosip pemain, kehidupan pribadi si pembuat film, ataupun kontroversi seputar film. Karena ketika ngulas film, mestinya kita membicarakan tentang film itu thok! Apa yang bekerja pada unsur-unsurnya, apa yang tidak, mana yang kusuka, mana yang enggak sreg. Tapi mengenai film Naura ini banyak banget yang menanyakan, kita semua pasti sudah mendengar ada beberapa penonton yang enggak suka dengan penggambaran salah satu tokoh pada film ini, penggambaran yang dianggap melecehkan. Well, aku, bahkan pembuat filmnya pun sebenarnya enggak bisa berbuat apa-apa selain mungkin mereka menjelaskan dan menenangkan yang tersinggung. Ketika membuatnya, adalah langkah yang keren untuk membuat film terasa nyata oleh tokoh-tokohnya, tapi reaksi penonton tidak bisa dikendalikan sebab film adalah pengalaman personal.

Dan secara pribadi, dengan menonton langsung, aku tidak melihat hal-hal yang menyinggung dalam film ini. Malahan, di luar perkiraanku, film ini berhasil ngehindarin berbagai jebakan stereotipe, meski memang karakter-karakter yang ada berdimensi satu, di luar fungsinya sebagai pemantik komedi. Untuk kalimat istighfar dan takbir yang dipermasalahkan, aku menangkapnya bukan sebagai lelucon komentar budaya. Akan tetapi hanya sebatas seperti si tokoh kaget hingga latah, dan dalam latahnya itu ia mengucapkan Astaghfirullah. But still, mestinya kita-kita bisa mengambil tindakan positif. Gak musti langsung melarang orang menonton. Buat yang bikin pun, sepatah kata maaf juga sepertinya cukup untuk menenangkan. Karena seperti yang disampaikan cerita Naura – aku harus keluar dari karakter blog sebentar – tidak ada yang menang atau kalah kan di sini.

 

 

Buat yang susah nyari tontonan yang aman buat anak atau adiknya, film ini sangat bisa jadi pilihan tontonan keluarga. Anak-anak akan suka, sukur-sukur jadi kepancing untuk jadi ilmuwan nyiptain sesuatu yang berguna. Mereka bakal ingin seperti Naura yang jago nyanyi, tapi sebagian besar mungkin akan pengen terkenal seperti tokoh Naura yang diperankan oleh Adyla Rafa Naura Ayu. Karena tokoh film yang mereka ikuti di sini tidak benar-benar memberikan impresi dari sikapnya/ Dari wataknya. Penonton butuh tokoh yang bisa mereka cintai, bukan yang mereka sukai. Cinta itu datang dari tokoh yang terasa dekat, yang bercela seperti mereka. Film hanya tampil standar despite dirinya sangat dibutuhkan dalam scene perfilman tanah air yang kering hiburan untuk anak-anak.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for NAURA DAN GENK JUARA.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

MARROWBONE Review

“Shame is the feeling of being something wrong.”

 

 

Ibu membuat garis di lantai rumah tua yang berdebu. “Cerita kita dimulai dari sini” katanya. Dengan mantap ia membimbing keempat anaknya melangkahi garis tersebut sebagai simbol mereka memulai hidup yang baru. Dengan mengganti nama keluarga menjadi Marrowbone, mereka wujudkan keinginan mereka untuk hidup terasing. Jauh dari masa lalu. Malahan rumah gede yang mereka tempati sekarang jauh dari mana-mana. Tetangga terdekat mereka di bukit depan, satu jembatan jaraknya. Namun tak lama, Ibu meninggal dunia. Tragedi masa lalu pun sampai pula mengejar Jack dan tiga orang adiknya. Marrowbone sesungguhnya adalah cerita menyedihkan tentang kakak beradik yang berusaha untuk hidup tenang, tetapi terus diteror oleh ‘hantu’. Rumah tangga mereka terbangun atas dasar trauma dan rahasia, sehingga kita bisa saja membuang elemen hantu dalam narasi dan tetap saja film ini akan terasa sangat pilu.

ah, move on dari kenangan tidak pernah segampang melangkahi garis di lantai

 

Aku perlu menegaskan bahwa meskipun kerja paling baik dari Marrowbone adalah ketika film ini mengeksplorasi elemen supranatural, sesungguhnya kalian tidak akan mendapatkan horor sebenar-benarnya film hantu saat menonton ini. Menulis skenario drama seperti ini jelas bukan masalah besar bagi Sergio G. Sanchez yang sebelumnya turut ikutan menulis The Orphanage (2007) yang punya tone serupa dengan film ini. Tapi Marrowbone juga adalah debutnya duduk di kursi sutradara. Ketika bermain-main dengan build up, dengan mengarahkan para karakter, membuat rumah besar itu menjadi penuh misteri dengan segala bunyi-bunyi, cermin-cermin yang ditutupi, noda-noda tak terjelaskan di langit-langit, Marrowbone terlihat sangat efektif. Kita bisa ikut merasakan atmosfer dan suasananya. Ada sensasi terkungkung, ketakutan di layar sana yang menarik kita masuk.

Yang membuat kita betah mengikuti adalah penampilan akting dari para pemain yang masih pada muda-muda. Tokoh utama kita adalah Jack, si anak tertua. Sepeninggal Ibu, dia menjadi kepala keluarga. George Mackay butuh mengerahkan usaha yang esktra sebab perannya ini enggak hanya diwajibkan untuk tampil tertutup serba berahasia. Namun sekaligus juga bingung, ia ingin memenuhi wasiat ibunya, ingin melindungi adik-adiknya, tapi dia tidak sepenuhnya menyadari apa yang terjadi – pada dirinya, pada sekitarnya. Dia juga punya saingan cinta yang membuat tokoh ini lebih berwarna lagi, dan bahkan range emosi  semakin meluas ketika cerita sampai ke titik pengungkapan. Adik-adik Jack, sebaliknya, tidak diberikan kesempatan melakukan banyak. Mereka bersembunyi dari ayah dan dilarang keluar rumah oleh Jack demi keselamatan mereka. Mia Goth dan alumni Stranger Things Charlie Heaton memang agak disayangkan kebagian porsi yang sedikit, tapi mereka deliver apa-apa yang diminta oleh naskah dengan baik.

Sama seperti yang ia lakukan dalam The Witch (2016), Split (2017), dan Morgan (2016), Anya Taylor-Joy mencuri sorotan dan menjadi elemen terbaik yang dipunya oleh film. Di pertengahan film, perannya agak berkurang. Anya bermain sebagai Allie, tetangga terdekat sekaligus pacar dari Jack. Dia keluar-masuk cerita, barulah di babak terakhir perannya kebagian tindakan gede, Secara konstan penampilan Anya di sini baik sekali. Emosional, tokohnya enggak bego, tokohnya memang satu-satunya yang enggak menyimpan rahasia, dan dia bermain sama jujurnya – amat meyakinkan. Akan tetapi, serealistisnya penampilan Anya, dia tetap tidak mampu membuat keseluruhan film tampak menarik dan meyakinkan. Misteri-misteri yang dimasukkan tidak pernah menjadi misteri, maksudku mereka membingungkan oleh alasan yang lain. Kita tahu apa yang terjadi. Kita hanya tidak tahu apakah memasukkan elemen itu adalah keputusan yang tepat untuk film ini.

Keluarga Jack mengasingkan diri sebagai reaksi dari perlakuan kejam sang ayah, dan ironisnya mereka juga berusaha melarikan diri dari social shame. Mereka kehilangan self respect. Mereka menjadi lunak. Tapi untuk hidup, mereka harus kuat. Ditekan oleh banyak hal seperti ini, malu, takut, keinginan untuk bertahan, bisa dengan gampang merusak seseorang, jika ia menjalani hidupnya sendirian. Inilah yang disadari oleh Jack dan Allie di akhir cerita, bahwa seberapapun parahnya keadaan, mereka harus mengusahakan untuk tidak merasa sendirian.

 

sembunyi di balik kain transparan, kayak twist film ini

 

 

Susah untuk menceritakan garis besar Marrowbone tanpa membeberkan terlalu banyak poin yang semestinya dirahasiakan. Film ini adalah film yang tulang punggungnya ada pada twist, dan film ini paham twist yang baik adalah twist yang merupakan satu-satunya terusan yang logis buat cerita, bukan sekedar belokan tajam untuk mengecoh.  Beberapa film ragu memberikan petunjuk karena mereka menyangka twist yang bagus itu adalah yang tak-tertebak. Jadi pada kebanyakan film kita tau-tau dikejutkan oleh pengungkapan seperti siapa yang ternyata siapa, yang jahat ternyata si yang paling pendiam, atau semacamnya yang tak pernah dibuild up. Film ini tidak mempermasalahkan twistnya yang mudah tertebak. Sejak peluru pertama ditembakkan dan kita lompat ke enam bulan kemudian di sepuluh menitan pertama, aku yakin banyak di antara kita yang sudah bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi di bawah atap rumah Marrowbone. Film tetap pada track dan dia terus membangun suspens supaya ketika jawaban itu sudah di depan mata, kita dapat merasakan sensasi emosi yang gempita.

Gakpapa untuk sebuah film punya twist yang gampang ditebak, namun toh rasa malu itu tetap ada. Sama seperti kita yang sadar betul narsis itu udah lumrah, tapi kita kadang tetap merasa malu ngepost foto narsis sehingga kita memakai caption nyontek quote-nya Tere Liye supaya kita bisa jadi ada alasan bagus buat ngepost foto narsis. Trope-trope film lain, serta berbagai supplot serabutan, adalah laksana quote Tere Liye di foto selfie narsis bagi Marrowbone. Film ini melemparkan elemen cinta segitiga, rumah hantu, misteri pembunuhan, anak kecil yang paling peka sama yang goib-goib, ada juga blackmail soal duit, untuk menutupi twist yang sudah disiapkan. Dan tidak satupun yang tercampur dengan baik. Narasi menjadi amat berbelit. Mereka tidak membuat kita lupa terhadap twist, sama sekali tidak mengaburkannya, yang ada hanyalah elemen-elemen tersebut membuat film menjadi sesak dan tidak mencapai potensi suspens drama yang semestinya bisa dicapai.

 

 




Sejatinya ini adalah drama keluarga yang amat melankolis dengan dibayangi oleh lapisan supernatural. Mengeksplorasi tentang rasa bersalah, rasa malu, dan ketakutan. Punya tema, desain produksi, dan penampilan akting yang bakal menarik minat penggemar horor arthouse. Dibangun berdasarkan twist, membuat film ini pun ikut dilirik oleh penonton mainstream. Para aktor muda berusaha semampu mereka, sama seperti film ini berusaha sekuat tenaga untuk menutupi twist yang mereka tahu gampang ditebak. Jadinya, ada banyak elemen yang kita jumpai, yang hanya membuat plotnya convoluted. And it just doesn’t work. Banyak adegan yang kehilangan bobot karena kita gak sepenuhnya yakin itu hantu beneran, atau imajinasi, atau apakah mereka semua beneran ada di sana.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for MARROWBONE.

 




That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.



Survivor Series 2017 Review

 

Survivor Series, sejarahnya, adalah tradisi untuk memperingati hari Thanksgiving. Pesta panen. Dan yang namanya pesta, pasti melibatkan banyak orang. WWE menyimbolkan ini dengan memasangkan superstar-superstar, dengan karakter yang beragam, ke dalam tim dan mengadu tim-tim tersebut dalam sebuah match. Jadilah perang lima-lawan-lima. Dan showdown antara brand Raw dan Smackdown selalu merupakan pertunjukan yang menarik minat.

Masalahnya dengan tradisi yang coba dibangun ini adalah, lama kelamaan Survivor Series berubah menjadi literally berjuang untuk survive ketimbang perayaan menghidupkan tradisi.

Karena WWE sepertinya tidak memiliki rencana jangka panjang dalam membangun acara ini, yang mereka lakukan sekarang adalah mendaftar ulang apa-apa saja yang sekiranya diinginkan oleh penonton, apa yang terbaik yang mereka punya, dan menyuapkannya – melemparkan begitu saja dengan harapan mendapat hasil paling memuaskan.

“gobble up, wobbles!”

 

Aku bukannya bilang aku gak mau melihat New Day melawan the Shield, ataupun bilang lebih suka melihat Lesnar melawan Mahal ketimbang melawan Styles. Kurt Angle serta Triple H berlaga kembali? Tentu saja aku akan duduk menggelinjang di depan TV! Tapi ini adalah masalah gimana mereka menceritakannya. Survivor Series 2017 kelihatan seperti sebuah rencana yang banyak direvisi, dicorat-coret, dengan banyak bagian cerita yang ditulis ulang karena mereka merasa gak pede dengan apa yang sudah mereka punya pada awalnya. Ada banyak elemen yang bekerja membangun perseteruan Raw dengan Smackdown, yang ditinggalkan begitu saja – yang tidak menambah apa-apa pada ujungnya. Seolah ditinggalkan oleh penulis aslinya, dan ditangani oleh orang lain, persis kayak film Justice League (2017). Acara ini mempertemukan juara masing-masing brand, dan mereka tidak lagi mempedulikan konsep face melawan heel dalam acara ini.

Jinder Mahal menantang Brock Lesnar adalah percikan yang mengawali kemelut dua brand tahun ini. Tetapi, tembakan yang sebenarnya, diacknowledge oleh show datang dari Shane McMahon yang membawa pasukan Smackdown menginvasi acara Raw. Mereka membuat ini menjadi pertarungan dua manajer acara, tanpa memberikan stake buat masing-masing superstar untuk ikut membela timnya. Shane literally barking orders ke superstar Smackdown. Maksudku, itu mereka punya Mahal dengan motivasi personal (dari storyline standpoint) eh kemudian mereka mengganti Mahal dengan Styles, dengan alasan penonton lebih suka melihat Styles melawan Lesnar. Di sisi Raw, mereka punya storyline tentang Kurt Angle yang kredibilitasnya dipertanyakan karena dia punya anak yang gak benar-benar disukai dan jadi weak link buat tim, dan elemen ini pun dikesampingkan begitu saja.

Survivor Series 2017 pada akhirnya memang menjadi acara yang bergantung kepada starpower, lantaran WWE menyadari titik lemah dari konsep perang antar-brand ini. Yakni, mereka tidak berani mengambil resiko membuat salah satu brand tampak beneran lemah. Mereka tidak berani membuat skor yang jauh, seperti 5-2 atau malah 7-0. Kita akan selalu mendapat skor yang imbang, diceritakan dengan saling mengejar, dan ini membuat outcome beberapa match menjadi dapat dengan mudah ditebak. Jadi, WWE ingin membuat kita tetap tertarik dengan memberikan apa yang kita mau. Shield yang reuni melawan New Day yang sepanjang tahun ini udah konsisten menyuguhkan pertandingan bintang-empat, ditaruh sebagai match pembuka. Dan pertandingan ini sukses menjadi salah satu yang paling seru sebab kita melihat mereka saat skor masih nol-nol. Kepredictablean Roman Reigns bakal membawa timnya auto-win akan diabaikan sebab di titik ini kita hanya ingin melihat pertandingan yang seru. Dan mereka memang ngedeliver. Porsi awalnya agak lambat, namun di akhir banyak spot yang bikin kita menggelinjang.

Nyaingin partai tag tersebut,  AJ Styles melawan Brock Lesnar adalah penantang match terbaik di Survivor Series. Clearly, Lesnar lebih comfortable tanding dengan Styles, he looks like he have fun. Di luar beberapa botch karena antusiasme berlebihan, match dengan pace cepat ini kelihatan seperti pertarungan yang realistis. Offense-offense comeback dari Styles mengalir dengan natural dan meyakinkan. Sayangnya, match ini pun terbog down oleh kepredictablean skor. Saking gampang ditebaknya, bahkan salah satu peserta nonton bareng di Warung Darurat dapat menebak alur match dengan tepat, hingga ke bagian endingnya.

Pertemuan dua Wonder Woman WWE, Goddess melawan Queen, mainly diuntungkan karena berada persis di posisi skor dua sama. It was either Bliss or Lesnar yang akan menyetak angka buat Raw. Sehingga kita dapat dengan gampang terinvest ke dalam pertandingan ini. Actually, ini adalah satu-satunya partai yang mempertemukan antagonis melawan protagonis. Dan Charlotte tidak pernah benar-benar sukses sebagai seorang face. Penampilannya tidak konsisten dibandingkan Bliss yang tepat hingga ke gesture terkecil sebagai seorang yang jahat, jutek. At times, match ini tetap terasa seperti heel melawan heel. Bliss dan Charlotte actually saling mengisi, Bliss keliatan banget kalah dari segi teknikal, tapi kekuatan cerita tidak pernah putus darinya. Menonton match ini akan terasa seperti menonton cerita tentang seorang antagonis yang berusaha mengalahkan kelemahannya sendiri.

Serius Cole, jangan panggil Shin dong, emangnya Shinchan

 

Tradisi adalah soal generasi. Mempertanyakan kenapa John Cena 16 kali juara WWE sama dengan mempertanyakan kenapa Reza Rahadian melulu yang kebagian peran di film Indonesia. Pihak produser ataupun dalam kasus WWE, Vince McMahon, bukannya enggak percaya sama generasi, tapi mereka lebih aman memakai yang sudah terbukti menjual. Mereka lebih suka mempercayakan keranjang duit mereka dipegang oleh orang yang terpercaya, sembari mereka melatih tangan-tangan lain. Asuka, Roman Reigns, Braun Strowman adalah tangan-tangan yang mendapat push paling intens di antara superstar kekinian.

Selebihnya, Survivor Series masih bergantung kepada pegulat-pegulat lama. Main event acara ini melibatkan 10 orang yang sembilan di antaranya berusia di atas 35 tahun. Selain Braun Strowman, eliminasi yang terjadi dalam match ini adalah buah tangan Cena, Shane, Orton, Triple H, Kurt Angle. Ya, nama-nama yang sudah kita kenal sejak sepuluh tahun yang lalu. While awal match ini seru banget dengan menggoda kita dengan berbagai kemungkinan pertandingan impian (aku menggelinjang banget liat Balor ketemu Shinsuke Nakamura), setir masih dipegang oleh Triple H. This match is actually about him, dengan kepentingan ngepush Strowman sebagai face jadi agenda kedua. Sama seperti Traditional Survivor Series yang cewek, kita terinvest, namun pay off match ini tidak benar-benar berasa. Yang ada malah kita kebingungan sama ending match. I guess ekspresi Braun Strowman sangat tepat untuk mewakili wajah-wajah penonton Survivor Series. Saking bingungnya, crowd yang nonton live lebih heboh ngeliat Nia Jax lawan Tamina dibanding ngeliat The Bar lawan Uso loh, mantep.

 

 

Jika kita sudah sepakat Survivor Series adalah perayaan tradisi, maka sekarang coba kamu bayangkan balon-balon warna warni yang biasanya digantung dalam sebuah pesta perayaan. Ambil balon tersebut, kemudian kempeskan, niscaya balon tersebut tidak bisa terbang lagi. Survivor Series 2017 adalah balon yang terbaring kempes di lantai itu.
The Palace of Wisdom menobatkan Brock Lesnar melawan AJ Styles sebagai MATCH OF THE NIGHT

Full Result:
1. 6-MEN TAG TEAM The Shield ngalahin the New Day
2. WOMEN’S TRADITIONAL SURVIVOR SERIES TAG TEAM Asuka jadi sole survivor Team Raw mengalahkan Team Smackdown
3. INTERCONTINENTAL CHAMPION VS. UNITED STATES CHAMPION Baron Corbin mengalahkan The Miz
4. RAW TAG TEAM CHAMPIONS VS. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONS The Usos defeating Sheamus and Cesaro
5. RAW WOMEN’S CHAMPION VS. SMACKDOWN’S WOMEN’S CHAMPION Charlotte bikin Alexa Bliss tap out
6. UNIVERSAL CHAMPION VS. WWE CHAMPION Brock Lesnar mengalahkan AJ Styles
7. TRADITONAL SURVIVOR SERIES TAG TEAM MATCH Triple H dan Braun Strowman jadi survivor Team Raw mengalahkan Team Smackdown

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK Review

“We share the blame.”

 

 

Ada dua hal yang bisa kita lakukan saat rumah kita kemalingan; pasrah, atau melawan. Sebenarnya ada satu lagi yakni minta tolong. Tetapi jika rumah kita letaknya di tengah-tengah entah di bagian mana Sumba seperti rumah Marlina, teriak minta tolong jelas bukan pilihan yang cerdas.

Rumah Marlina selayaknya adalah sistem yang rusak, karena dia tidak lagi punya suami. Tanpa anak. Marlina adalah istri, seorang wanita yang tidak punya lagi pria sebagai sosok pelindung. Film dengan segera mencengkeram kevulnerablean Marlina melalui tujuh pria yang datang menyatroni rumahnya. Merampok ternak. Memakan sup ayam masakannya. Dan kalo masih ada waktu, bergiliran menidurinya.  Tapi Marlina beruntung, karena sistem di rumahnya akan terestorasi berkat tindakan para pria tak-diundang tersebut. Marlina masih akan berfungsi sebagai wanita; tunduk dalam bayang-bayang lelaki. Toh, ada dua hal yang bisa dilakukan dalam sebuah sistem yang rusak; diem-diem aja sejauh mana bisa bertahan, atau bergerak untuk mengubahnya. Marlina memilih mengayunkan parang. Empat babak cerita ini adalah tentang Marlina si pembunuh dari Sumba yang menunggang kuda, menenteng kepala pria, di sepanjang jalan berbukit nan tandus.

Dengan sebagian besar waktu menampilkan pemandangan alam, film ini tampak SEPERTI FILM KOBOi. Musiknya membuatku pengen bertualang lagi di wilderness  game Wild Arms. Tapi jagoan utama film ini bukanlah pria berpistol. Marlina tidak menunggang kudanya ke balik matahari tenggelam. Ini adalah western gaya timur, yang dengan berani mendobrak pakem-pakem yang ada. Film ini tidak seperti yang lain. Serius deh, aku sampai merasa kasihan sama penonton yang masih berbondong ngantri nonton superhero – bahkan sampai rela mendongak di barisan depan, sementara mereka sebenarnya bisa lega-legaan menonton Marlina yang tayang satu hari sesudahnya, dan menikmati kecantikan dan keindahan cerita yang jarang didapat.

Oh, betapa mereka tidak tahu apa yang mereka lewatkan..

 

Setiap pilihan yang diambil oleh sutradara Mouly Surya adalah beneran pilihan beresiko yang terbayar dengan amat memuaskan. Marlina boleh saja membawa kepala orang ke mana-mana, namun sebenarnya yang melakukan heavy-lifting di sini adalah Marsha Timothy. Dia membawa keseluruhan film ini dengan sangat meyakinkan, emosi perannya begitu menguar lewat penampilan yang penuh oleh ekspresi-ekspresi terkepal penampilan. In fact, arahan Mouly berhasil membuat semua tokoh film ini kuat oleh karakter, mereka terasa nyata.  Novi, teman Marlina yang sedang hamil tua, juga diberikan arc cerita yang berakar pada kenyamanan istri yang ‘ikut’ suami. Dea Panendra juga enggak tanggung-tanggung menampilkan emosi. Novi tadinya ingin pergi mencari suaminya yang kesel lantaran anak mereka belum lahir-lahir. Dari cara Novi bercerita, kita tahu dia masih ingin memegang hubungan yang erat dengan suami, meskipun suami sudah menyalahkannya – menuduhnya ada main dengan pria lain. Ini adalah ciri orang yang playing the victim banget. Mereka bertahan karena ada orang yang bisa mereka salahkan.

Tapi film ini cukup bijak menangani tema yang ingin disinggungnya. Kaum lelaki diberi kesempatan untuk triumph secara kemanusiaan. Film tidak terjebak dalam perangkap sebagai korban. Tidak semua pria digambarkan arogan seperti Markus dan teman-temannya.

Ya, terkadang orang-orang kampung Sumba itu tampak aneh, mengingatkan kita kepada tokoh-tokoh di serial Twin Peaks. Film ini memang sesekali menampilkan adegan yang brutal; pemenggalan kepala actually terpampang tanpa tedeng aling-aling, tetapi film bekerja dengan sangat efektif  ketika dia tampil sebagai KOMEDI YANG BENAR-BENAR DARK. Kebanyakan komedi datang dari reaksi penduduk saat mereka bertemu dengan Marlina. Sekali lagi komentar tentang status gender terucap saat kita melihat para lelaki akan ketakutan, sementara para wanita tampak tidak terlalu mencemaskan. Aku beneran ngakak dan harus menutup mulut demi mendengar salah satu penumpang truk  menanyakan dengan kepedulian “Tidak capek tanganmu, Nona?”, alih-alih berteriak ketakutan ngeliat Marlina menodong supir truk yang ia bajak dengan parang.

 

Dunia yang nestapa menjadikan kita cenderung nyaman berperan sebagai korban. Saat kita menyalahkan orang lain atas kejadian yang menimpa, sebenarnya kita meminta untuk dikasihani.  Bahwa kita enggak salah. Yang salah orang lain, yang jahat adalah orang lain. Kita menggunakan istilah blaming the victim  untuk menuntut keadilan, akan tetapi justru mengukuhkan bahwa kita adalah victim, korban.

 

Jika ditelanjangi dari tema status gendernya, pesan soal menjadi korban atau enggak tersebut masih dapat kita rasakan keluar dari film. Ini bukan lagi sebatas gender mana yang jadi korban, karena kita melihat di bagian akhir cerita, peran ‘korban’ tersebut digulir begitu saja dari cewek ke cowok. Sedari awal, Marlina menuju kantor polisi bukan untuk mengaku telah membunuh orang. Kepala itu dia bawa bukan untuk ditunjukkan sebagai bukti. Dia melakukan perjalanan ke kantor polisi untuk mengadukan pelecehan yang ia alami. Marlina juga menolak mengaku dosanya ke gereja. Karena dia percaya dia enggak bersalah. Butuh tiga babak bagi Marlina untuk menyadari bahwa dia masih memposisikan dirinya sebagai korban. Ya, memang, walaupun digadangkan senang membantu rakyat, instansi pemerintah seperti polisi tidak pernah keliatan menyenangkan ataupun benar-benar membantu dengan segala tetek bengek birokrasinya. Film ini pun mengomentari soal tersebut saat Marlina duduk menceritakan tragedi ke yang berwenang.  Tapi Marlina tidak mendapat reaksi yang diinginkan. Malahan polisi justru tampak menyalahkannya, “kok enggak ngelawan?” polisi basically bilang gitu. Barulah ketika Babak keempat yang diberi judul ‘Kelahiran’, Marlina menyadari dia bisa duduk sebagai pengemudi.

nonton ini enaknya sambil makan sop ayam.

 

Bicara visual, ini adalah film yang sangat menawan. Pencahayaannya, wuiihhh, sama dengan Leonardo DiCaprio’s The Revenant (2016), film ini juga menggunakan cahaya-cahaya alami. Matahari, lampu petromaks, api tungku, menghasilkan gambar-gambar yang bergaung kuat oleh emosi cerita. Momen Marlina berpikir di dapur, dengan api tungku menciptakan riak-riak bayangan adalah salah satu momen favoritku di film ini. Wide shot pemandangan bukit-bukit alam itu dimanfaatkan lebih dari sebuah latar belakang. Kamera menangkap hal-hal indah adalah kerjaan sinematografer, dan kerjaan sutradaralah yang mengomandoi penggunaan dan penggabungannya. Semuanya disunting dengan sempurna, semuanya tergelar tidak dengan sia-sia. Tidak ada satu shot pun yang terasa salah tempat.

 

 

Desain produksi kelas atas. Film ini boleh berbangga sudah menciptakan varian genre baru dalam dunia sinema, karena dia memang pantas untuk berbangga. Pilihan musiknya, pilihan cara bercerita, film ini sangat berani. Ia begitu berbeda dari film-film Indonesia kebanyakan. Robbery – Journey – Confession – Birth adalah babak yang juga menjadi mantra bangkitnya kesadaran internal yang dialami oleh Marlina, juga Novi. Film ini membuka mata bahwa kebanyakan wanita hidup di antara berusaha melawan dan ngikut sistem, mereka melihat sampai kapan mereka mampu. Akan tetapi, adalah hal yang memungkinkan untuk menjadi lebih daripada itu. Bahwa wanita, juga pria, bisa mengambil aksi tanpa harus menyalahkan siapa-siapa. Bahwa setiap kita bisa menjadi tokoh utama dalam kehidupan sendiri.

Tonton ini sesegera mungkin begitu ketertarikan itu tiba, karena kita gak punya hak buat nyalahin bioskop kalo-kalo filmnya keburu turun sebelum kita sempat menonton.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.