SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR Review

“Admitting we’re wrong is courage, not weakness”

 

 

 

Suzzahnya untuk enggak berprasangka buruk duluan terhadap film yang berusaha menghidupkan kembali legenda. Selalu ada dugaan, jangan-jangan ini proyek cari duit semata. Palingan cuma ngikut-ngikut Pengabdi Setan. Terlebih proyek ini sendiri sejak awal sudah dikonfirm bukan sebagai cerita remake, maupun reboot, melainkan cerita baru dengan tokoh Suzzanna – basically mereka membuat film berdasarkan mitos-mitos yang membuat seorang Suzzanna populer. Jadi, ya, aku bernapas dalam-dalam sebelum melangkah masuk ke bioskop menyaksikan film ini.

Dan saat kredit penutup bergulir, aku menghembuskan napasku dengan lega!

 

Suzzanna: Bernapas dalam Kubur bukan proyek berkedok ‘reborn’ yang dibuat ala kadarnya alias asal-asalan. Film ini benar-benar punya cerita untuk disampaikan, mereka menggali sudut pandang dengan lebih dalam. Film ini nyatanya juga menghibur, tetapi enggak terpuruk ke level receh, dan enggak sekadar menunggang ombak kepopuleran horor dan Suzanna itu sendiri. Kita bisa merasakan passion terhadap genre ini. Rasa hormat terhadap sang Ratu Horor pun menguar dengan kuat. Di kemudian hari, aku yakin this will be a ‘go to’ movie kalo kita lagi pengen maraton horor atau ngadain nobar. Film ini enggak takut untuk menggunakan formula standar, dengan cerita yang tradisional, karena mereka paham sudut mana yang belum tergali, dan film fokus dalam area ini. Sehingga terasa seperti sesuatu yang pernah kita lihat sebelumnya, namun sekaligus seger. Seperti Suzzanna sendiri; kita tahu siapa dirinya, tapi juga merasa masih banyak misteri padanya yang membuat kita penasaran.

Dalam film, jika ada tokoh yang mengucapkan janji, maka niscaya naskah akan sekuat tenaga membuat janji tersebut terlanggar. Satria (rambut Herjunot Ali membuatnya mirip Eddie Guerrero masih muda) berjanji kepada Suzzanna, istrinya, tidak akan membiarkan apapun mengganggu keluarga kecil mereka. Tidak berapa lama setelah itu, kerjaan mengirimnya ke Jepang – berpisah sementara dengan istri yang sedang mengandung. Meninggalkan Suzzanna (penampilan horor terbaik Luna Maya!) yang begitu cinta dan setia di rumah besar mereka ‘hanya’ bersama tiga orang pembantu. Benar-benar mangsa empuk buat empat karyawan Satria yang berniat menyatroni rumah. Merampok mereka. Malam minggu hujan deras itu, para rampok menjalankan aksi. Untuk beberapa saat, cerita mengambil bentuk thriller home-invasion, Suzzanna yang saat itu lagi sendirian harus berurusan dengan sekelompok orang yang menodai kedamaian malamnya. Dia melawan sekuat tenaga, bahkan membuat empat pria tersebut kalang kabut. Rencana matang itu berantakan. Dari yang tadinya tak berniat mencelakai sama sekali, perlawanan Suzzanna membuat para rampok terpaksa membunuhnya dengan tidak sengaja. Kebayang gak tuh, mentoknya gimana? terpaksa dengan tidak sengaja haha.. Cerita berkembang menjadi menarik ketika Suzzanna yang dikubur hidup-hidup bersama jabang bayinya dalam tanah basah yang dingin, terbangun di ranjangnya yang putih nan hangat. Bukan sebagai manusia, melainkan sebagai hantu Sundel Bolong yang sangat kuat. Dia ada di sana untuk balas dendam, namun terikat oleh cinta kepada sang suami. Dia bisa saja segera membunuh keempat perampok yang bikin rusuh keluarga mereka, akan tetapi itu akan membuatnya benar-benar terpisah dari suami yang sangat ia cintai.

Itu seperti ketika Nobita dalam kartun Doraemon pengen makan dorayaki tetapi ia enggak sudi makanannya habis. Konflik utama film ini datang dari Suzzanna yang mencoba figure out apa yang sebaiknya dia lakukan.  Lucu, kalo dalam konteks cerita anak-anak. Tidak demikian halnya ketika kita melihat dari sisi Suzzanna. Sedih melihat Suzzanna yang ingin menuntut balas, hanya saja dia tidak bisa langsung melakukannya. Sejatinya ini adalah kisah balas dendam. A GHOST’S REVENGE STORY. Film dengan pintar membalutnya ke dalam mitologi klenik lokal. Cerita menetapkan aturan-aturan soal gimana Sundel Bolong ‘bekerja’, bagaimana cara mengalahkannya, dan bekerja dengan konsisten di dalam kotak aturan tersebut. Strukturnya juga sangat jelas; dari set up kematian, babak kedua yang basically Suzzanna ‘bereksperimen’ dengan kekuatan hantunya, hingga penutup saat ‘kedoknya’ sebagai hantu yang menyamar menjadi manusia terungkap.

Jika tujuan hidupmu adalah balas dendam, apakah kau akan tetap melakukannya bahkan ketika itu berarti kau akan kehilangan orang yang kau sayangi? Film ini bicara tentang pengorbanan sebenar besar yang rela kita lakukan ketika begitu kuat rasa cinta tersebut mengakar.

 

Film ini tampak dibuat dengan usaha yang maksimal. Bernapas dalam Kubur adalah salah satu horor paling good-looking yang bisa kita saksikan tahun ini. Efek dan prostetiknya sangat meyakinkan. Untuk riasan Suzzanna sendiri, wah gak sia-sia sih mereka datangin tata rias dari Rusia. Penampilan wajah yang udah kayak diphotoshop ditunjang oleh permainan akting Luna yang diarahkan supaya mirip banget sama gestur dan cara ngomong Suzzanna. Dunia tahun 80an akhir itu pun semakin terlihat sempurna dengan detil-detil artistik yang begitu diperhatikan. Bahkan dialog dan pengucapannya pun terdengar vintage sekali. Film ini boleh dibilang lebih mirip sebuah tindak restorasi jika saja dia tidak memberikan cerita baru. Personally, aku suka opening credit yang menampilkan shot-shot dari angkasa, memberikan nuansa seperti pembuka dalam film horor Stanley Kubrick – yang juga berjaya di tahun 80an. Satu shot paling aku suka ketika Suzzanna melayang pergi sambil mengangkat kepala korbannya, momen kemenangan paling eery yang pernah kita lihat, dan kamera dengan bijaknya bergerak miring melakukan Dutch Tilt menghasilkan kesan yang luar biasa sureal.

Di akhir-akhir Suzzannanya jadi keriting dan jadi lebih mirip Boneka Sabrina hhihi

 

 

Bekerja dengan lumayan baik sebagai komedi, dari bagaimana Suzzanna yang passionate sekali dalam menghantui musuh-musuhnya. Dia tahu dia punya kekuatan atas mereka, kita melihat Suzzanna selalu bermain-main dengan mereka. Mencoba masuk ke dalam kepala mereka satu persatu, membuat mereka takut, memancing mereka ke tempat-tempat membahayakan nyawa, sehingga mereka bisa terbunuh secara tak langsung. Atau bahkan membuat mereka tidak sengaja saling membunuh. Ada satu perampok yang sangat ketakutan – dia actually dipelototin Suzzanna yang lagi meregang nyawa – sampai-sampai dia takut untuk tidur sebab setiap kali memejamkan mata, dia melihat wajah melotot Suzzanna. Cara yang pintar untuk menunjukkan psikologi seorang yang merasa bersalah, dan sedikit mengingatkanku pada elemen Freddy Krueger dalam seri horor A Nightmare on Elm Street. Film benar-benar memanfaatkan durasinya untuk pengembangan karakter, kita diberikan kesempatan untuk melihat dari sisi para perampok – gimana takutnya mereka, gimana usaha mereka untuk selamat dari dendam Suzzanna, bahkan ada satu yang diberikan motivasi yang cukup simpatik. Dan semua itu membuat cerita menjadi semakin berisi. Para penjahat enggak sekedar duduk di sana, menunggu giliran untuk dibunuh.

Dibutuhkan keberanian yang besar untuk mengakui kesalahan. Untuk meminta maaf. Dalam kasus ini, untuk mengakui perbuatan  kriminal kepada polisi. Suzzanna punya kekuatan atas para perampok bukan karena dia benar dan mereka salah. Berbuat kesalahan tidak membuat kita lemah. Tidak mengakuinya lah yang menunjukkan seberapa ‘kuat’ kita

 

 

Inilah yang menyebabkan porsi horor film ini tidak tampil sekuat versi dramanya. Kita tidak pernah benar-benar merasa takut kepada si Sundel Bolong, malahan kita mendukungnya. Kita senang melihat dia berhasil menemukan cara untuk balas dendam. Wujudnya memang mengerikan, tapi fakta bahwa Sundel Bolong hanya memburu orang yang terlibat dalam kematian dirinya, membuat kita merasa aman. Kita gak salah, jadi kita gak akan dikejar oleh Suzzanna. Well, kecuali kalo kalian pernah berbuat salah sama orang yang sudah meninggal, maka film ini tidak akan membuat kalian tersentak terbangun dari mimpi buruk. Sekuen-sekuen kematian hadir dengan cukup sadis, meyakinkan sekali, sehingga kadang muncul sedikit rasa kasihan juga melihat orang-orang jahat itu mendapatkan ganjarannya. Satu lagi dampak positif dari hantu sebagai tokoh utama ini adalah film tidak merasa perlu-perlu amat untuk bikin kita kaget dengan kemunculan Sundel Bolong, sehingga mereka dengan gagah berani memunculkan hantu begitu saja, tanpa disertai suara keras yang ngagetin. Suatu kemajuan buat horor Indonesia.

tanggal mati Suzzanna di film ini sama ama tanggal lahirku, hiii!

 

 

Untuk sebuah cerita yang memasang Suzzanna sebagai hantu yang mencoba hidup sebagai manusia, mengelabui pembantu-pembantu di rumahnya, film sebenarnya agak kurang memperlihatkan bagaimana keseharian Suzzanna. Para pembantu bingung oleh kabar dari tetangga sekitar, mereka bicara seputar gosip yang beredar, tapi kita enggak pernah benar-benar melihat efek Suzzanna terhadap penduduk kota mereka. Kita tidak banyak diperlihatkan bagaimana tepatnya dia berusaha tampil sebagai manusia, sampai menjelang babak akhir di mana Satria pulang ke rumah dan mendengar segala desas desus keanehan Suzzanna selama dia pergi. Sudah cukup bagus sebenarnya, film ngebangun Suzzanna tadinya seorang muslim yang rajin ke mesjid, dan kemudian kita diperlihatkan Suzzanna banyak alesan ketika diajak sholat oleh Satria. Kita merasakan sebersit ketakutan di mata Suzzanna – dia takut ketahuan sudah menjadi hantu – dan ini menakjubkan, maksudku, seberapa sering kita melihat adegan hantu yang ketakutan. Hampir enggak pernah, kan ya. Pun, Suzzanna-lah yang pada akhirnya belajar untuk melepaskan. Film ini memainkan semacam role-swap antara dua makhluk beda-dunia. Namun begitu, menurutku, ending yang dipilih oleh film justru melemahkan arc Suzzanna sendiri.

Aku tidak benar-benar setuju dengan keputusan film di akhir, karena membuat kejadian pada konfrontasi final yang enggak se-tight kejadian-kejadian pada bagian lain. Malah ada beberapa yang konyol seperti kenapa mereka yang bisa mengikat tangan Sundel Bolong enggak sekalian aja menyumpal mulutnya supaya dia enggak bisa bicara dan memperingatkan Satria. Tapi yang paling lucu buatku adalah gimana Satria melihat pantulan dari bola mata Suzzanna seolah sedang melihat cermin spion. Film seperti ‘kesusahan’ mencari cara supaya Satria percaya dan akhirnya melakukan langkah lucu yang tak perlu seperti demikian. Maksudku, toh kalo memang outcome dari pertarungan terakhir itu harus Satria luka di punggung (paralel dengan lubang di punggung Suzzanna), kenapa enggak membuat Satria tertusuk saja di sana? Kenapa mesti dia melihat pantulan dari bola mata, baru sadar, berantem, kemudian tertusuk. Ada cara yang lebih simpel dengan membuat langsung tertusuk dari belakang, sehingga Satria sadar, dan baru deh berantem.

 

 

 

Menyentuh melihat ada hantu yang rela kepanasan dengerin bacaan Al-Quran demi cintanya yang besar dan murni. Ini adalah salah satu film dengan cerita dan usaha yang paling fully-realized yang kutonton tahun ini. Yang perlu diingat adalah, film ini hebat bukan karena kesuksesannya meniru tokoh ataupun menghidupkan legenda. Film ini hebat karena berhasil membangun cerita, dan kemudian menyampaikannya sebagai sebuah tontonan drama cinta yang lumayan heartbreaking, dengan undertone horor yang meriah oleh warna darah. Menghibur juga, meski di akhir aspek fun tersebut agak sedikit kebablasan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Dalam cerita film ini, para penjahat menemukan solusi ekstrim untuk mengalahkan Suzzanna. Tapi apakah itu satu-satunya cara? Bagaimana jika ada satu penjahat yang insaf, dia bertobat dan rajin sholat – apakah menurut kalian dia bisa lolos dari Suzzanna, apakah tindakannya akan mempengaruhi banyak hal dalam cerita? Atau apakah menurut kalian balas dendam itu memang harus dituntaskan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

FANTASTIC BEASTS: THE CRIMES OF GRINDELWALD Review

“The question isn’t whether the world is perfect. The real question is: If it were, would you still be in it?”

 

 

 

 

Kejahatan yang dilakukan oleh Grindelwald bersumber dari keinginannya untuk membuat dunia penyihir hebat kembali.

 

Terdengar familiar? J.K. Rowling tampaknya memang punya visi yang lebih besar ketika diminta untuk melayarlebarkan buku saku kecilnya tentang binatang-binatang dunia sihir. Lanjutan dari petualangan seorang magizoologis, Newt Scamander, ini terhadir lebih sedikit tentang menangkap makhluk legendaris (bayangkan pokemon, hanya yang ini pake tongkat sihir alih-alih pokeball), dan lebih banyak tentang eksplorasi keadaan politik ala jaman Nazi – yang terkadang secara eksplisit diparalelkan dengan kehidupan modern kita yang sekarang.

Tidak butuh waktu lama buat penyihir sebrilian Grindelwald – yang ditahan di kementrian sihir Amerika di film pertama – untuk berhasil melarikan diri. Bermaksud mengumpulkan faksi, Grindelwald mengejar si cowok dengan kekuatan Obscural, si Credence, sampai ke negeri Perancis. Untuk alasan yang diungkap di momen terakhir film, Grindelwald percaya Credence adalah satu-satunya penyihir yang bisa mengalahkan Dumbledore, dan itu berarti mengenyahkan satu-satunya penyihir yang ia tahu mampu menghalangi niat mulia dirinya. Sementara itu, jagoan kita Newt Scamander sedang berjuang supaya larangan bepergiannya dicabut. Newt masih ingin mengoleksi hewan-hewan sihir. Saat itulah Dumbledore datang kepadanya; meminta Newt untuk mencari Credence ke Paris, sebelum Grindelwald berhasil merekrut sang pemuda malang yang sedang kebingungan dengan identitasnya. Cerita film ini sudah cukup njelimet sejak dari bagian awal. Perjuangan di film ini lebih kepada bagaimana mereka menempatkan Newt Scamander di tengah-tengah pusaran konflik dan pencarian identitas tersebut dan drama tokoh-tokoh yang datang silih berganti.

adegan paling lucu buatku adalah melihat bentuk boggart yang menampilkan ketakutan terbesar Newt Scamander

 

 

Sesekali film akan mencuri kesempatan membawa kita masuk ke dalam koper ajaib Newt, just to live it up to its title. kita akan melihat Newt berinteraksi dengan hewan dunia sihir. Ada satu adegan dengan CGI menakjubkan ketika Newt berenang menenangkan Kelpie – si kuda air peliharaannya. Film dengan susah payah berhasil menemukan cara untuk membuat makhluk-makhluk kesayangan Newt tampak berperan di dalam cerita yang punya undertone lebih kelam daripada film yang pertama. Namun, jika ingin menarik benang merah antara Newt sebagai tokoh utama dengan keseluruhan tema cerita, tempat pertama yang harus kita tengok adalah motivasi dari si tokoh itu sendiri. Bukan beban yang ringan sebenarnya bagi Eddie Redmayne untuk memainkan tokoh yang sejatinya diniatkan sebagai pengganti Harry Potter sebagai protagonis sihir yang benar-benar bikin kita peduli. Newt adalah karakter dengan punya banyak cinta untuk diberikan, tapi sikap dan gelagatnya yang eksentrik membuat dia terkadang tampak sama anehnya dengan makhluk yang ia pelajari di mata orang-orang. Cinta lah yang membuat Newt melakukan hal yang benar. Dan di film ini, cinta itu yang tepatnya membuat Newt melanggar peraturan bepergian yang disanksikan kepada dirinya. Newt ingin mencari Tina Goldstein, cewek auror yang ia cinta, yang ia ketahui berada di Paris untuk tujuan yang sama; menghentikan Grinderwald. Terlihat seperti cerita punya pijakan untuk memperkuat posisi Newt sebagai tokoh sentral; asmara itu bukan hanya satu, melainkan ada satu lagi yang bersumber dari Leta Lestrange yang lebih menarik karena menyangkut, well, kalian tahulah, Lestrange adalah nama yang cukup ‘besar’ dalam universe Harry Potter.

Untuk pertama kalinya film akan terasa nyaman untuk dinikmati, ketika cerita membawa kita ke balik dinding sekolah sihir; kita serasa alumni yang mengunjungi kembali sekolah kita yang lama. Dan ini lucu, mengingat kejadian di film ini adalah masa lampau dari cerita Harry Potter. Film terasa berhenti saat semua subplot dan tokoh-tokoh itu berganti menjadi suasana yang kita kenal. Kita melihat Dumbledore di masa mudanya. Di kesempatan berikutnya, kita melihat Newt dan Lestrange remaja. Kenapa mereka gak bikin film tentang mereka masih sekolah aja ya? Momen-momen ini yang kita pengen lebih banyak dimunculkan. Tapi film menemukan kembali rute chaotic-nya. Karena menjelang babak akhir, film banyak membahas drama silsilah keluarga Lestrange dan penelusuran darah Credence yang membingungkan sebelum akhirnya kembali diikat ke dalam masalah Grindelwald yang ingin mempersatukan penyihir di atas kaum non-penyihir.

Dunia yang sempurna adalah dunia di mana kita bisa menjadi diri sendiri dan bebas mencintai siapapun sesuai kata hati kita. Cinta sama muggle. Cinta sama makhluk aneh. Batasan itu bahkan bisa saja dinaikkan ke cinta sama jenis. Grindelwald ingin menciptakan dunia di mana penyihir bebas berkuasa, dia membujuk beberapa calon anggotanya dengan ‘bebas mencintai’. Tapi kebebasan mencinta tersebut sebenarnya adalah ekstensi dari kita tidak terpaksa oleh keadaan, atau rasa bersalah, ataupun rasa takut dan ketidakpastian

 

Yang dihormati Albus Dumbledore dari Newt adalah gimana Newt melakukan sesuatu yang benar tanpa ada apa-apanya, bahwasanya Newt tidak bergerak dengan motivasi mencari kekuasaan. Newt tak pelak adalah orang baik, namun dia sedikit terlalu baik. Karena, bahkan dalam film ini saja, dia enggak protes ketika porsinya tergeser oleh subplot-subplot yang susah dilihat koherensinya lantaran lebih terasa seperti pion-pion catur yang digerakkan, alih-alih progres natural cerita. Newt ‘pasrah’ aja (atau mungkin tepatnya; cuma bisa pasrah) padahal mestinya dia tokoh utama, dia seharusnya yang pimpin cerita. Ada banyak pengungkapan dalam narasi, tapi film tidak pernah terasa seberpetualang ataupun semengagetkan itu. Takjub yang kita rasakan sebagian besar datang dari efek visual, yang sering enggak benar-benar menambah pada bobot cerita.

Actually, banyak aspek pada film ini yang membuatku bertanya-tanya dalam hati “kok gini ya?” sehubungan dengan aspek kecil yang dijadikan detil dalam dunia film. Saat menonton Harry Potter, kita merasakan ada gejolak “whoaa, begitu ya ternyata penyihir itu” Ada sense of wonder melihat mereka begitu berbeda dengan muggle. Begitu kita masuk ke tembok Hogwarts, kita melihat dunia yang berbeda. Dunia dengan orang-orang yang berkeliaran dengan tongkat sihir dan jubah yang aneh. Aku tidak melihat atau merasakan yang serupa pada film ini. Para auror, pengikut Grindelwald, mereka mengenakan… jas. Mantel. Suit. Kenapa penyihir dalam film ini memakai busana yang sama dengan muggle? Bahkan Dumbledore; alih-alih jubah dan topi kerucut dan kacamata separuh bulan, Dumbledore di sini memakai setelan muggle yang sangat necis. Ingat gak betapa ‘norak’nya pakaian Dumbledore ketika dia mengunjungi Tom Riddle muda di panti asuhan muggle; dia pakai dress plum ungu. Kalo di film, dia pakai syal bermotif kembang-kembang. Apakah karena di kala itu Dumbledore sudah openly mengaku gay sedangkan di jaman Newt belum? Penyihir, di dunia Harry Potter yang itungannya modern, memandang aneh kepada selera muggle – mereka tidak tahu teknologi dan segala macem.

na gini dong, bukan begitu

 

Buatku aneh sekali hal seperti begini luput dari perhatian J.K. Rowling; jadi ini mungkin bukan kesalahan. Mungkin, aku mencoba untuk memahami elemen ini, mungkin di tahun 1927 itu hukum antara penyihir dan muggle belum disahkan. Mungkin saat itu mereka masih hidup berdampingan sehingga sedikit banyak fashion dan gaya hidup muggle berpengaruh terhadap penyihir. Tindak Grindelwald dan pengikutnyalah yang merenggangkan hubungan penyihir dengan muggle, yang menyebabkan gap di antara keduanya semakin jauh. Mungkin karena masalah sentimentil golongan aja yang menyebabkan di jaman Harry Potter, gaya hidup penyihir begitu berbeda dengan muggle. Who knows? Mungkin di seri berikutnya akan ada penjelasan mengenai ini.

Inilah menariknya dunia karangan J.K. Rowling. Kita bisa berspekulasi macam-macam. Dalam film ini, mungkin tokoh yang paling banyak dibicarakan adalah Nagini. Ular Pangeran Kegelapan yang ternyata dulunya manusia. Berasal dari Indonesia pula (bahkan sempat heboh kabarnya Acha Septriasa yang tadinya dapet peran ini sebelum akhirnya dibatalkan karena lagi hamil). Menarik melihat gimana tokoh Nagini diceritakan dalam film ini. Gimana tadinya dia adalah pemain sirkus. Bahkan gagasan ada sirkus di dunia penyihir aja sudah cukup aneh buatku haha. Anyway, Nagini dalam film ini dekat dengan Credence yang mencari sang ibu – mirip dengan Voldemort yang juga penasaran dengan ibunya. Ada sesuatu nih mestinyaa.. Film sepertinya menyimpan ini untuk cerita yang akan datang. Yang membuat aku penasaran karena ada bagian dari elemen Nagini yang enggak konsisten; dalam adegan disebutkan dia tidak akan bisa berubah lagi menjadi manusia setelah berubah menjadi ular, namun pada kenyataannya kita melihat Nagini bisa berubah wujud sebanyak yang ia mau. Aku hanya bisa berharap ini bukan kesalahan penulisan.

 

 

 

 

Bagian terburuknya adalah, setelah semua subplot yang bergilir muncul tanpa kesan yang berarti, seolah subplot-subplot itu ber-Disapparate begitu saja, cerita tidak benar-benar punya konklusi. Film ini hanya terasa sebagai jembatan untuk menghantarkan kita ke episode berikutnya. Kita tidak akan mengerti menonton ini jika tidak menonton film sebelumnya, pun kita tidak akan mendapat jawaban yang berarti sebelum menonton film berikutnya. Mengecewakan sekali, karena dari segi narasi, ini adalah cerita yang ‘penting’ dalam sejarah dunia sihir. J.K. Rowling sekali lagi menunjukkan kebolehannya membangun semesta yang kompleks. Tapi sepertinya memang lebih baik dibukukan terlebih dahulu. Sebagai naskah, it’s just too much. Para Potterhead sih, bakal seneng-seneng aja, soalnya mendapat eksplorasi dunia sihir yang lebih dalam. Tapi sebagai film, ini sudah bukan lagi cerita Newt Scamander. Ini adalah crimes of maksain cerita demi menghidupkan franchise yang semestinya sudah kelar.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for FANTASTIC BEASTS: THE CRIMES OF GRINDELWALD.

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Grindelwald dan Dumbledore punya motto “for the greater good” sebagai ungkapan untuk membenarkan aksi-aksi mereka. Apakah kalian setuju jika hasil itu adalah hal yang paling penting? Bagaimana menurut kalian perihal kita dibenarkan menempuh tindakan apapun demi kebaikan yang lebih besar?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

 

DREADOUT: Menjawab Ketakutan Para Fans – [Movie Preview]

 

Film horor Indonesia pertama yang diangkat dari game!

um… wait, let me rephrase that..

Game Indonesia pertama yang begitu sukses secara internasional akhirnya diangkat menjadi film!!!

panjang, but I like the sound of that better.

 

Karena DreadOut buatku, dan aku yakin buat penggemar game survival-horror lainnya juga, adalah game yang fenomenal. Aku malah pertama kali tahu game ini dari channel youtuber luar. Padahal game PC ini terlahir di Bandung, lho! Melalui crowdfunding, developer Digital Happiness berhasil mewujudkan khasanah mitologi horor lokal, terinspirasi dari mekanik game Fatal Frame (2001) dari Jepang, menggabungkan dua elemen tersebut membentuk dunia dan atmosfer yang nyata-nyata fresh nyeremin, seketika membuat para gamer di seluruh dunia berlomba-lomba untuk berpetualang motoin hantu bersama tokohnya, Linda. Jadi, mengatakan ini film pertama yang berani mengadaptasi dari game (lewatlah sudah adaptasi novel dan personal literatur) terdengar agak sedikit ‘mengecilkan’ di telingaku, lantaran, enggak setiap hari kita melihat ada game buatan Indonesia yang menarik perhatian dunia seperti yang berhasil dilakukan oleh game Dreadout. It was more than deserved to have its own movie. Dan lagi, buatku yang penggemar film, sekaligus penggemar game, also, horor adalah genre favoritku untuk keduanya, Dreadout adalah kulminasi dari apa yang namanya ultimate entertainment.

Fans sudah lama bermain-main dengan kemungkinan misteri Linda dengan The Lady in Red diangkat ke layar lebar. Beruntung produser Wida Handoyo
(Petak Umpet Minako)
yang kebetulan juga penggemar horor, dan pengembang DreadOut Rachmad Imron, peka dan actually listen to the fans, and long story short, ini teaser film DreadOut garapan mereka:

 

 

Tapi…. kok agak lain ya?

Seperti lumrahnya film adaptasi video game di luar negeri, DreadOut ini cukup ‘mengerikan’ buat fans gamenya. Karena ada ekspektasi, ada standar yang sudah di-set. Apakah film ini nantinya akan sesuai dengan ekspektasi. Kita takut filmnya nanti enggak sama. Takut kalo nanti hanya berupa proyek cari duit yang gagal paham mengenai apa sih yang membuat gamenya dicintai in the first place. Aku punya segudang pertanyaan yang menumpuk setelah melihat teaser tadi, to be honest, sebagian besar berupa keraguan.

Beruntung, Minggu tanggal 11 November lalu, aku dapat kesempatan duduk semeja bareng cast dan pembuat film DreadOut. Di antaranya ada Caitlin Halderman, Irsyadillah, Wida Handoyo, dan Rachmad Imron. Kita cuap-cuap seru seputar film ini. Pertanyaan pertamaku literally apakah pocong naik motor bakal ada dalam film hahaha.. Jadi ini dia, lima hal yang dikhawatirkan oleh para fans, dijelaskan dengan penuh passion oleh tim DreadOut:

 

Ceritanya kok beda?

Game DreadOut menceritakan tentang Linda bersama teman-teman sekolah dan ibu Guru mereka yang ‘terdampar’ di sebuah kota mati. Linda menemukan dia bisa melihat makhluk gaib lewat smartphonenya. Sebagai pemain, kita memerankan Linda; menguak misteri di kota, di sekolah kosong, di bangunan-bangunan angker, motoin hantu-hantu yang muncul sebagai cara untuk survive. Ada tema reinkarnasi pada plot game. Dari teaser, set versi film memang cukup mirip, hantu-hantunya bisa kita kenali, tapi ada sedikit perbedaan dari rangkaian adegan. Menurut sinopsis, film ini bakal bercerita tentang Linda dan teman-teman sekolahnya yang berkunjung ke apartemen kosong, dalam usaha mereka mencari konten yang bisa viral. Mereka menemukan portal ke dunia lain, dan semua kengerian terlepas dari sana. Tokoh-tokohnya pun ada yang tidak kita tahu. Seperti Irsyadillah, salah satu cast yang hadir malam itu, yang memerankan Beni – tokoh yang tidak ada di game.

Mbak Wida dan mas Imron menjelaskan, naskah film yang dikembangkan dalam empat tahun ini (gamenya rilis 2013) dikawal ketat oleh pengembang game. Perbedaan yang kita rasakan di teaser dikarenakan film DreadOut mengambil timeline sebelum kejadian yang dialami Linda di dalam game. IT’S A PREQUEL STORY. Film basically membawa kita berkenalan dengan Linda lebih jauh lagi, siapa dirinya, darimana dia mendapat ‘kekuatan’ bisa melihat makhluk halus lewat media tertentu. Film ini membahas akar dari mitologi semesta DreadOut, termasuk menggali lebih dalam hubungan Linda dengan Lady in Red dan The Three Sisters yang jadi bos terakhir dalam versi game.

 

 

Kok Kimo Stamboel sih?

Jika memikirkan sutradara Kimo Stamboel dan video game dalam satu frame konteks, maka aku akan kepikiran Mortal Kombat. Rasanya lebih klop. Kimo yang rekam jejaknya menggarap horor dengan aksi brutal berdarah-darah tampak long stretch jika dikaitkan dengan DreadOut; game survival yang senjata utama protagonisnya (cewek pula) adalah kamera. Hanya ada sedikit porsi aksi dalam game yang mengutamakan menguak misteri ini. Yang aku ingat hanya ada satu adegan laga di mana kita harus kabur dari kejaran teman Linda yang berubah menjadi semacam zombie. Jadi, sebenarnya ke mana arahan film ini akan dibawa? Apakah Kimo adalah pilihan yang tepat jika mengincar horor untuk remaja?

“Awalnya, memang film ini rasa mas Kimo banget” Mas Imron mengenang kisah pertama kali proyek DreadOut mendapat lampu hijau, “Sedari bikin gamenya dulu, saya memang sudah berangan-angan kalo ntar dijadiin film, sutradaranya kalo bisa Kimo Stamboel” Harapan tersebut kewujud, karena Kimo-nya sendiri yang menawarkan diri ikut kerja sama. Ada alasannya kenapa butuh empat tahun untuk merampungkan naskah. Masing-masing kepala bekerja untuk mencari jalan tengah yang paling baik. “Semuanya terasa kekeluargaan,” kata mbak Wida. Banyaknya re-write, brainstorming ide-ide, semua saling mendengarkan dan mengisi.

Rest assured, film DreadOut akan tetap punya ciri khas Kimo sebagai sutradara, ciri yang sudah menjadi trademark dan yang digemari oleh fans – mbak Wida bilang film akan jatuh di rating 17 – dengan tidak mengenyahkan elemen-elemen yang membuat gamenya begitu diminati. Elemen seperti memotret hantu tetap dijadikan sebagai poin utama.

 

 

Lindanya gimana, gak salah casting tuh?

Aku sendiri tidak pernah begitu mempermasalahkan soal casting, malah sebagai tukang review film, aku selalu senang jika ada pemain yang berani mengambil tantangan; yakni peran di luar kebiasaan genre film yang biasa dimainkannya. Apalagi bintang muda seperti Caitlin Halderman, yang masih punya banyak untuk dibuktikan.

Sebenarnya perihal ini, mbak Wida sama mas Imron-lah yang curhat, bahwa mereka mendapat banyak komen dari fans seputar pemilihan pemain regarding penampilan fisik. “Seperti ketika banyak yang protes Lara Croft dimainkan oleh Alicia Vikander,” ujar mbak Wida. Saat mencari pemain, mbak Wida ngescout talent dengan nonton film remaja, dan dia melihat ‘sesuatu’ dari Caitlin. Dia percaya aktris remaja tersebut bisa memberikan sesuatu buat Linda. Untungnya, Caitlin enggak menolak ditawarin main horor.

“Aku gak main gamenya, karena… alasan utamanya sih takut,” gelak Caitlin, “Tapi horor adalah pertama buatku. Aku biasanya main di drama, it’s a big opportunity buatku bisa main di horor, apalagi sutradaranya mas Kimo” Caitlin lebih lanjut menceritakan gimana Kimo ngepush para cast untuk memberikan penampilan yang berbeda, yang enggak standar. “Misalnya meja gerak sendiri nih, kalo di horor lain, kan, biasanya tokohnya ketakutan tapi takutnya itu takut bengong. Nah, mas Kimo mendorong kami untuk memberikan ekspresi takut yang benar-benar mendalam dengan gestur-gestur yang ekspresif,” sambil cerita Caitlin actually memperagakan dengan kocak mana yang takut bengong, mana takut yang nyata.

tips survive di horor game ala Linda dan Beni: Ikutlah menjerit saat yang main gamenya menjerit hhihi

 

Menjalani banyak latihan fisik yang intens, Caitlin bangga bisa melakukan sendiri stun-stun ‘keras’ yang diberikan kepada tokoh yang ia perankan. “Dilempar-lempar. Ditarik-tarik pake sling. Sampe kena celurit. Prop sih, tapi luka juga hahaha” Dari pengkarakteran sendiri, banyak ruang bagi Caitlin untuk menghidupkan Linda. Dalam game, Linda kan hampir enggak ada dialog – dia tipe silent character. Jadi tugas Caitlin-lah untuk meniupkan ruh kepada tokoh ini. “Nanti setelah filmnya keluar, penonton akan melihat Linda dalam film ini dan berpikir, ya inilah Linda yang sebenarnya” kata mas Imron.

 

 

Hantunya muncul semua gak?

Sayangnya, memang tidak semua hantu yang muncul di game bisa dihadirkan di film karena cerita yang mengambil set sebagai prekuel. The Three Sisters akan banyak mendapat sorotan sehubungan cerita yang menggali latar Linda. Tapi jangan khawatir, hantu-hantu lain yang ikonik seperti pocong-pocong bersenjata akan tetap muncul. Bahkan, menurut mas Imron, secara detil Kimo memasukkan throwback elemen-elemen yang ada di dalam gamenya sebagai reference atau ajang seru-seruan yang pasti langsung bisa dikenal oleh penonton yang pernah memainkan gamenya.

Pertimbangan kemunculan hantu-hantu ini adalah mereka tidak mau mengumbar terlalu banyak, para pembuat ingin menyimpan misteri untuk kesempatan yang akan datang.

 

Jadi apakah bakal ada sekuel? What next in line dalam franchise DreadOut?

Mitologi DreadOut memang luas sekali. “Kami memang sudah membuat cabang-cabang cerita dan lore di dunia game tersebut” kata mas Imron. Gamenya sendiri sudah dalam pembuatan sekuel. Harapannya memang filmnya juga bakal ada sekuel lantaran cerita yang begitu kompleks dari semesta ini. Makanya, film DreadOut ingin tampil netral; maksudnya mereka ingin DreadOut tidak hanya membuat penasaran para gamer, namun juga para penonton yang tidak bermain game. Pasar internasional juga turut menjadi inceran mengingat gamenya sendiri memang lebih banyak menuai untung dari pasar luar. “Yang diincar terutama adalah branding productnya” sambung mbak Wida. Mereka percaya para gamer pasti akan menonton film ini, tantangannya adalah bagaimana menarik appeal dari penonton casual. Melihat dari jajaran cast yang sudah punya fans base kuat – mereka juga memasang Jefri Nichol, Marsha Aruan, Hannah Al Rashid, Ciccio Manaserro, Susan Sameh – sepertinya jumlah penonton enggak bakal menjadi masalah buat film ini.

“Kalo game sehits DreadOut yang udah terkenal di luar negeri dibikin filmnya, masa iya sih penggemar game di sini pada gak mau nonton?”

 

 

 

Jadi apakah film ini bakal terhindar dari kutukan-film adaptasi game?

Well, kita hanya bisa menjawab pertanyaan itu setelah film DreadOut tayang bulan Januari 2019 nanti.

thank you, we’ll see you soon

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pada pernah main DreadOut belum? share dong momen terWTF kalian, hantu favorit, kejadian lucu dan segala macem hihi

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BURNING Review

If you play with fire you will get burned.”

 

 

 

Ketika kedinginan, menyalakan api berarti menimbulkan kehangatan. Secara metafora, menyalakan api berarti menimbulkan perubahan terhadap seseorang. Memberikan mereka entah itu harapan, semangat, ataupun gairah.

Seperti Jong-Su yang api cintanya menyala setelah bertemu dengan Hae-mi. Tadinya Jong-su ini hidupnya garing banget. Dia tinggal sendirian di rumah peternakannya di pinggiran Korea Selatan. Hae-mi, yang mengaku teman lama yang dulu tetanggaan ama Jong-su, mengajak cowok yang pengen jadi novelis itu main ke apartemennya. Mereka jadi intim. Tapi kangen-kangenan mereka enggak berlangsung lama. Hae-mi pergi liburan ke Afrika. Jong-su dengan sabar menunggu si cewek kece, mengasuh kucing Hae-mi yang tak pernah ia lihat setiap hari, sebelum akhirnya Hae-mi pulang bareng cowok yang seratus delapan puluh derajat berbeda ama dirinya. Ben, si cowok baru berdompet tebel, ‘boil’nya porsche, tinggal di Gangnam, orangnya super supel, dan semua-semuanya yang bikin Jong-su iri. Api kecemburuan itu berkobar dan dengan cepat berubah menjadi api kecurigaan. Ini memang tampak seperti kisah cinta segitiga normal, tapi enggak pernah ada yang sesimpel dan senormal itu dalam hidup. Jong-su ingin membuktikan ‘kejelekan’ Ben kepada Hae-mi. Masalahnya adalah, sebelum sempat membuktikan kecurigaannya, Hae-mi malah hilang entah kemana dan hanya Tuhan yang tahu penyebab hilangnya kenapa! Tapi itu tidak menghentikan pikiran Jong-su menyimpulkan kengerian apa yang terjadi

“….membakar jiwa yang meranaaa”

 

 

Menakjubkan, malah hampir seperti sihir, gimana film ini membuat misteri dari cerita yang sebenarnya begitu dekat dengan kita. Susah untuk mendeskripsikan perasaan yang dihasilkan olehnya setelah kita menonton. Ini SEPERTI MELIHAT ILUSI OPTIK. Pernah gak kalian melihat gambar ilusi optik berupa barisan kotak-kotak  yang jika kita memperhatikan gambar tersebut lekat-lekat, kemudian kita lihat titik-titik hitam muncul begitu saja di antara sudut-sudut antarkotak seperti titik rintikan air hujan (klik di sini untuk ilustrasi Grid Illusion). Atau gambar ilusi optik berupa tiga gambar pacman dan tiga sudut lancip yang diposisikan sedemikian rupa sehingga mata kita menangkap sebentuk segitiga di tengah (Kanizsa Triangle). Hanya saja tidak ada segitiga di sana. Titik hitam pada ilusi pertama juga sebenarnya tidak ada. Tapi mata kita terkecoh oleh persepsi dan menganggapnya ada. Dan saat sadar akan yang sebenarnya, kita tertohok sekaligus takjub pada saat yang bersamaan. Tema melihat apa yang tak ada seperti demikianlah yang mendasari cerita film ini. Petunjuk mengenai ini bisa kita dapatkan dari adegan Hae-mi yang berpantomim makan jeruk di depan Jong-su yang melongo di awal-awal cerita. Saking kayak realnya, Jong-su bisa ikut merasakan manisnya jeruk yang lagi dimakan oleh Hae-mi, tapi sebenarnya tidak ada jeruk sama sekali di sana. Film ini membingungkan, mencengkeram kita erat, bikin kita nelangsa oleh pikiran buruk kita sendiri, it’s so good and entertaining dalam caranya sendiri.

Adegan favoritku adalah ketika Hae-mi menari berlatar belakang keunguan langit senja dan musik jazz yang bikin suasana semakin magis. Ini berasa adegan David Lynch banget, buatku film-film Lynch punya gaya disturbing yang sangat kuat merekat. Burning berhasil nyaris menyamainya. Hanya kurang ‘aneh’ saja. Yang diomongin dalam film ini adalah misteri kenapa kita begitu mudah terbakar. Dan seperti lidah api itu sendiri, Burning dengan eloknya meliuk-liuk, menjilat pikiran dan hati kita, semua emosi kita akan berkobar di penghujung cerita.

Api dapat melalap habis apa saja tanpa bersisa, bahkan dalam kitab suci saja, dosa dengki disimbolkan sebagai api mampu melenyapkan pahala-pahala kita. Toh kita membutuhkan api; kecil menjadi teman, kata pepatah. Tapi yang harus kita sadari adalah betapa rentannya api tersebut menjadi besar. Terlalu dekat dengannya, kita pun sedemikian mudah terbakar. Dinamika manusia dengan api disejajarkan oleh film sebagai suatu attachment yang begitu emosional. Saat kita terbakar emosinya; kita akan berubah completely. Jadi apa? Paling sering sih, jadi abu.

 

Hae-mi adalah api dalam cerita Jong-su. Dan cewek itu bukan satu-satunya. Tokoh utama kita practically hidup di dalam lingkaran bara api, Jong-Su punya masa lalu yang tidak menyenangkan sehubungan dengan keluarganya. Banyak hal yang berarti siraman bensin buat dirinya. Rasa-rasanya aku belum pernah melihat tokoh utama yang begitu combustible seperti Jong-su, tapi kemudian film membuat kita berefleksi, dan bam! Jong-su mungkin tidak begitu jauh dari kita secara manusiawi.

hayoo siapa yang golongan sumbu pendek kayak si Jong-su?

 

 

Kejadian dalam film ini diniatkan sebagai misteri, terbuka bagi interpretasi setiap penontonnya, bagaimana masing-masing kita melihat suatu hal. Ketidakpastian akan apa yang sebenarnya terjadi adalah kekuatan utama film ini. Jadi, sampai di sinilah ranah non-spoiler ulasan ini. Karena jika kita ingin menyelam lebih dalam, aku tidak bisa melakukannya tanpa menyebut poin-poin plot penting yang sebenarnya tidak akan asik jika tidak kalian saksikan sendiri. Peringatanku adalah, jangan sampai kalian terbakar rasa penasaran dan membaca lebih lanjut sebelum menonton film ini, karena nanti pengalaman misterinya bakal berkurang. Kalian bisa saja tidak bakal merasakan apa-apa jika baru menonton filmnya setelah membaca.



 

With that being said; kecurigaan, kecemburuan, dan ketidakpastian benar-benar membakar habis Jong-su. Dia adalah pria yang insecure sedari awal karena dia tidak bisa mengingat sama sekali kenangan masa kecil yang Hae-mi bilang dialami oleh mereka berdua. Tambahkan faktor tragedi keluarganya, dosa terbesar Jong-su adalah dia selalu melihat yang terburuk dari semua orang. Dia percaya pada yang terburuk dari segala hal. Juga tidak membantu fakta bahwa di rumahnya, Jung-so digambarkan secara subtil dengan konstan mendengar siaran propaganda Korea Utara yang mengudara. Ketika Ben datang dan akrab dengan Hae-mi, Jong-su seketikanya melihatnya sebagai rival yang berbahaya. Momen-momen penyelidikian Jong-su adalah untuk mencari keburukan dari Ben. Dia terbakar oleh ide Ben seorang psikopat yang suka membakar rumah kaca. Terkadang, bikin frustasi gimana kita tidak diberikan kesempatan masuk ke dalam kepala Jong-su. Kita hanya melihat dari luar, kita melihat apa yang tidak ia lihat, kita punya kesimpulan berbeda dengannya, dan buatku menjelang babak tiga, sudah cukup jelas aku sedang melihat bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak dan tidak ada jalan untuk mencegahnya. Kadang film membuat kita powerless seperti demikian.

Beberapa petunjuk penting sudah sukses disebar oleh film, yang bisa kita jadikan pegangan untuk merangkai teori apa yang sesungguhnya terjadi. Kucing Hae-mi misalnya; apa makhluk ini beneran ada? apa dia benar kucing yang sama dengan kucing yang dipelihara oleh Ben setelah Hae-mi menghilang? Buatku, kucing itu ada dan dia bukan kucing yang ada di apartemen Ben. Kucing itu menurut ketika dipanggil tidak membuktikan apa-apa, karena dari mana kita tahu pasti kucing itu mengenali bahasa manusia? Ada adegan di awal yang membuktikan dugaanku ini, yaitu ketika Hae-mi memanggil kucingnya, si kucing tidak nongol – jadi kenapa kita mesti percaya itu kucing yang sama ketika dia mendekat kepada Jung-so yang memanggil namanya? Film tidak pernah menunjukkan si kucing mengenali namanya sendiri.

Dari situ aku mendapat kesimpulan, Hae-mi tidak pernah berbohong kepada Jung-so. Soal operasi plastik dan teman dekat itu benar adanya, dibuktikan dengan keluarga Hae-mi. Soal kucing, bener ada karena ada bukti kotoran dan makanan. Soal sumur, ibunya sendiri mengonfirmasi benar ada sumur di daerah rumah mereka. Soal Hae-mi yang jatuh ke dalam sumur, perlu kita ingat, ini adalah kebohongan Hae-mi, tapi tidak ditujukan kepada Jong-su. Melainkan kepada Ben. Hae-mi ingin Jong-su berpartisipasi dalam kebohongan ini, tapi Jong-su enggak mengerti. Dari perkataan Ben di kafe setelah dikonfrontasi oleh Jong-su begitu Hae-mi menghilang, ada pengungkapan bahwa Hae-mi menganggap Jong-su sangat penting – ada indikasi cewek ini beneran naksir – dan Ben merasa cemburu (meski cemburunya kepada siapa masih bisa diperdebatkan lagi) Jong-su tidak melihat semua ini. Dia hanya melihat ‘bukti-bukti’ lemah yang tidak menyimpulkan apa-apa. Ben bisa saja memang punya banyak teman cewek, mungkin dia beneran klepto sehingga punya banyak barang cewek di lemarinya, tapi yang pasti kita diperlihatkan satu adegan Ben mengenakan riasan kepada teman ceweknya. Jadi, di mana Hae-mi dalam cerita ini? Kebenaran mungkin lebih simpel dari yang ingin kita percaya. Pembahasan soal debt collector yang sempat diangkat boleh jadi cuma satu-satunya jawaban karena film tidak menampilkan kontradiksi terhadap hal ini, malahan didukung oleh pernyataan orangtua Hae-mi sendiri.

 

 

 

 

Adaptasi dari cerita pendek Murakami yang terinspirasi cerita pendek William Faulkner ini memang bukan film pertama tentang cewek yang menghilang pas lagi sayang-sayangnya. Tapi ini adalah salah satu yang pertama kali menggarapnya dengan keindahan balutan misteri dengan berakar kepada ketidakpastian yang menyulut berbagai perasaan dan pikiran jelek dalam hati seorang manusia. Penceritaannya yang subtil menghasilkan ilusi sebuah misteri yang begitu captivating. Para pemain pun berdedikasi sekali dalam ‘pertunjukan sihir’ ini, memberikan kemampuan terbaik mereka. Mengerikan gimana kita tidak bisa benar-benar paham isi kepala mereka. Tetapi terkadang hal tersebut tidak sepenuhnya menyenangkan jika kita membawanya kepada tokoh utama. Secara perlahan dimekarkan, kita tidak tahu motivasi protagonis sebelum peristiwa utama terjadi. Kita melihat dia mengaku pengen menulis novel, kita lihat dia banyak referensi bacaan, tapi sepanjang film yang ‘berhasil’ ia tulis hanya sebuah petisi untuk kasus ayahnya. Di bagian-bagian awal sebelum ‘api’ itu membesar, kita mungkin bakal susah mengikuti cerita. Tapi setelahnya – setelah beberapa kali pergantian tone dengan mulus tersebut – film ini akan membekas parah di benak kita, seperti jejak branding dari bara api panas pada sapi-sapi ternak.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BURNING.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Share dong menurut kalian apa yang sebenarnya terjadi pada Hae-mi dan siapa sebenarnya Ben. Apa Jong-su sudah melakukan hal yang benar?

Apa menurut kalian, seorang cowok yang ditinggalkan, pantas menuntut kejelasan kenapa ia ditinggalkan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

HANUM & RANGGA: FAITH & THE CITY Review

“If you don’t stand for something you’ll fall for anything.”

 

 

Satu pertanyaan yang diangkat pada trailer film ini berdering keras di ruang telingaku yang saat itu lagi cuek bebek mainin permen karet karena aku gak biasa nonton trailer, bahkan di dalam bioskop. “Apakah dunia akan menjadi lebih baik tanpa Islam?”

Jadi ya, aku penasaran sama gagasan film ini sehubungan dengan pertanyaan tersebut yang aku yakini jadi tema besar dalam ceritanya. Aku geregetan karena lalu lintas siang tadi begitu padat. Kendaraan jalannya pada tersendat-sendat. Maju dikit, stopnya sering. Jalan sebentar, eh berhentinya lama. Perempatan yang kulewati memang terkenal macet parah lantaran lampu merah yang berdurasi cukup lama. Kalo begini bisa-bisa bisa terlambat ke bioskop! Masa aku harus mengalah sama pengemudi jalur lain. Enak aja yang belok kiri boleh jalan terus. Padahal yang punya misi di sana, yang paling berkepentingan, adalah aku; Aku harus nonton duluan supaya bisa memberi tahu dunia, menyelamatkan dompet-dompet tidak berdosa, bahwa film ini bagus atau tidak. Pernah gak sih kalian kesel jalanan jadi macet karena lampu merah. Pernah gak kalian keki karena rencana atau acara kalian jadi terlambat sebab jalanan riweuh ada razia polisi.

Apakah trafik di jalanan bakal jadi lebih lancar tanpa ada lampu lalu lintas?

 

 

Pertanyaan yang begitu menantang tersebut dijadikan konsep acara televisi yang harus digarap oleh Hanum Salsabiela (Acha Septriasa reprising her role sebagai jurnalis wanita kritis yang cerdas dan taat beragama). Sebelum berangkat ke Vienna mengikuti suaminya yang ingin menyelesaikan studi, kesempatan datang mengetuk pintu rumah Hanum. Wanita ini ditawari kerja magang di stasiun televisi sensasional, GNTV. Ditawari oleh jurnalis idolanya pula. Atas izin suaminya yang pengertian, mereka memperpanjang tinggal di New York sehingga Hanum bisa mewujudkan mimpinya mengikuti program internship tiga minggu tersebut. Tapi bekerja di GNTV berarti Hanum harus meninggalkan agamanya di luar pintu. Sebab dalam bisnis televisi, rating-lah yang menjadi Tuhan. Hanum kudu stay professional sebagai reporter. Ada pandangan mengenai bisnis di balik meja redaksi televisi yang dipelrihatkan di sini. Ada banyak pilihan yang harus diambil Hanum; apakah dia menghormati narasumber atau ikut perintah atasan demi rating. Bagaimana cara dia memperlihatkan Islam sebagai ajaran yang baik lewat acara yang sudah diset untuk memojokkan Islam – menjual drama darinya.

Sementara itu, Rangga sang suami (Rio Dewanto sebagian besar waktu berusaha tampil simpatik) mengisi hari-harinya menunggu Hanum pulang dengan mengasuh anak dari seorang single mom yang dulu pernah dibantu oleh Hanum perihal keterkaitan keluarganya dengan jaringan teroris. Jadi, benih-benih kecemburuan mulai tertanam di hati masing-masing. Di satu sisi kita punya tokoh utama yang mengejar mimpinya, berjuang dengan kondisi yang mengharuskan dia memilih antara idealisme dengan realita bisnis media yang basically adalah pilihan antara karir dengan keyakinannya. Di sisi lain ada tokoh pendamping yang melihat lebih jernih, yang peduli sama istrinya, yang rela berkorban apa saja – dia melihat istrinya menapaki pilihan yang membuatnya khawatir. Tapi semuanya menjadi personal bagi sang istri. Setidaknya ada tiga lapisan yang bekerja koheren di dalam narasi. Hanum yang berusaha mengubah pandangan media luar tentang Islam, dan dia berusaha melakukannya dari dalam. Dan yang terutama disayangkan adalah, film tak lagi bergairah menjawab pertanyaan besar yang menjadi tema utama, melainkan sibuk bermehek-mehek ria dengan lebih mengeksplorasi elemen cemburu yang dimiliki oleh cerita.

dan ada hantu Maddah di film ini hhihi

 

 

Film ini bisa bekerja lebih baik sebagai komentar soal gender-role. I do think wanita enggak kalah sama pria, you know, buktinya WWE Evolution yang isinya pertandingan cewek semua terbukti lebih menarik dibanding kebanyakan acara normal WWE. Akan menarik melihat sudut pandang wanita seperti Hanum, cukup dikaitkan saja dengan agama. Karena kita mengerti apa yang dihadapi oleh Hanum dalam film ini, kita paham konflik yang bersarang di benaknya. Bayangkan sebuah balon yang ada pemberat batunya. Lepaskan batunya, dan balon akan melayang tinggi di angkasa. Balon adalah wanita-wanita mandiri nan cerdas seperti Hanum. Terikat kepada suami oleh pernikahan dan aturan agama yang ia yakini. Dunia kerja Hanum menggebah Hanum untuk melepaskan ‘batu’nya, supaya dia bisa berkembang pesat. Kita melihat, as story goes, Hanum mulai kehilangan keyakinannya. Dia lupa bahwa karena ijin suaminya lah dia bisa magang di GNTV. Dia enggak ingat bahwa dalam ajaran agama yang ia yakini – sebagai muslim yang sedang ia perjuangkan kebenaran ajarannya – ia harus mematuhi suami. Film bisa mengangkasa mencapai bintang jika benar-benar membahas ini; jika Hanum membuat pilihan yang menunjukkan dia menemukan kembali keyakinannya. Yang menunjukkan ia sadar dan punya kounter-argumen soal jawaban Islam bukannya menghambat. Film pun bisa saja terbang cukup tinggi jika membahas dan benar-benar memperlihatkan usaha Hanum mengubah sistem media atau pertelevisian dari dalam, dengan cara dan keyakinannya sendiri.

Mau tahu batu sebenarnya dalam kasus film ini? Elemen cemburu dan drama cintanya-lah yang sejatinya sebagai penghambat utama film ini menjadi sebuah cerita yang hebat. Adegan endingnya sendiri sebenarnya udah bener. Hanya saja, menjelang ke sana; momen relevasi film ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan ‘faith’ yang diumbar menjadi judul dan tema cerita. Hanum tersadar bukan karena keyakinan ataupun pemikiran sendiri, melainkan karena pengungkapan oleh satu tokoh. Jalan keluar datang dari kemampuan tokoh lain. Sepintas memang terlihat seperti Hanum adalah tokoh yang paling berjasa. Tapi jika diselidik lebih dalam, Hanum enggak benar-benar berbuat apa-apa secara langsung. Dia tidak mengubah keadaan kantornya. Dia bahkan enggak mengejar suaminya, padahal katanya ini film kesetaraan wanita. Yang ada, Hanum menjadi sama aja seperti media yang ia lawan; ia mengekspos kejelekan seseorang yang sudah memberinya makan. Orang-orang di sekitarnya terlihat lebih punya ‘faith’ ketimbang Hanum. Pada akhirnya, Hanum tetap menjadi tokoh yang paling tidak punya keyakinan pada cerita ini, bahkan si jurnalis ‘jahat’ saja punya pandangan yang terus ia junjung. Makanya dia begitu rapuh dan gampang terbawa pengaruh. Hanum hanya bergerak berdasarkan drama egonya. Dia tampak bangga sebagai korban, pada sekuen acara peringatan 9/11 yang disiarkan live. Cerita wanita yang kuat semestinya berakhir seperti pada Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017); dia merebut kendali, menolak dilabeli sebagai ‘si korban’

Hanum dalam film ini malah membuktikan stereotipe kuno bahwa bagaimana pun juga, betapapun tinggi pendidikannya, wanita tetaplah mendahulukan perasaan. Bukan pemikiran, bukan pula iman. Yang mana bertentangan sekali dengan pesan yang berusaha disampaikan oleh cerita.

 

Elemen dramatis film ini menciptakan banyak adegan yang gak make sense. Bahkan stake yang dikenai ke Hanum tak pernah benar-benar masuk akal buatku. Aku gak mengerti kenapa Hanum tidak berhenti saja setelah tugas interview pertama. The one that got high rating dan yang bikin Hanum ketiban bonus gede. Oh yea, mungkin karena bonusnya itu ya. Hanum sebenarnya bisa berhenti kapan saja. Untuk memanjangkan cerita, maka film butuh elemen drama yang menjadi masalah terbesar seperti yang kutuliskan tadi. Aneh sekali ada tokoh yang dengan penuh keteguhan hati mengucapkan “Aku single parent, aku harus bisa ngerjain apa aja sendiri” padahal kita lihat adegannya ia sedang meminta tolong kepada Rangga untuk membetulkan pipa air keran. Dan buatku adalah konyol dan maksa banget gimana penokohan Hanum dituliskan di film ini. Bagaimana mungkin jurnalis, yang pintar dan gak ecek-ecek seperti dirinya, yang tahu persis cara kerja media, bisa kesulut oleh desas-desus dan kebakar oleh foto-tanpa-konteks yang ia terima dari pesan whatsapp? Logika tokohnya enggak klop, enggak masuk akal buatku.

ganti aja judulnya dengan Feeling in the City

 

 

Film ini masih bisa bekerja kok tanpa drama yang dibuat-buat. Tantangan nyata yang dihadapi wanita Islam di dunia modern, kurang menyentuh apa coba. Mengubah sistem dengan kemampuan sendiri, sembari berpegang teguh pada keyakinan sendiri; kurang menginspirasi gimana coba. Tapi film memilih untuk menahan laju film, menambatnya dengan menjadikan dramatisasi kecemburuan wanita terhadap pasangannya sebagai poin utama. Melihat dari pengungkapannya, semua kejadian di film ini tidak perlu kita lalui jika saja salah satu tokoh menceritakan yang ia tahu kepada Hanum – naskah berusaha keras menjauhkan dua tokoh ini hingga babak akhir dan kita mendapat cerita dengan stake gak make sense karenanya. Pertanyaan di atas memang enggak benar-benar terjawab oleh cerita. Tapi setidaknya, kita punya satu pernyataan pasti buat film ini. This story will be a better movie without tear-jerker no sense drama.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for HANUM & RANGGA: FAITH & THE CITY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Benarkah pria lebih unggul dari wanita? Kenapa menurut kalian istri harus meminta izin kepada suami?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

OVERLORD Review

“Heroism has a dark side”

 

 

Hari-H memang bikin deg-degan. Kita belajar mati-matian menjelang ujian, dan menit-menit dalam perjalanan ke sekolah, kita diam tak bergeming mikirin segala hal yang buruk-buruk tentang kemungkinan kita gak lulus ujian. Di lain tempat, ada yang bersuka cita mau menikah, dan di malam hari tepat sebelum nikahan, nervous itu datang membuat terdiam duduk mikirin gimana kalo ternyata pilihan kita salah. Mungkin karena H-nya itu singkatan dari Hantu, kali ya, makanya bikin gugup dan gelisah. Membuat takut. Kita cuma bisa membayangkan gimana kecamuknya hati dan kepala para tentara yang dikirim untuk berperang. Yang pergi membela negara di medan tumpah darah. Yang beberapa saat lagi bakal dibunuh atau membunuh duluan. Yang tidak peduli lagi mana salah, mana yang benar.

“Kita harus jadi sebusuk para musuh” kata komandan dalam film Overlord, mencoba sebisa mungkin terdengar seperti Samuel L. Jackson. Dan itu bukan sekedar remark-sindiran dariku, karena poinku adalah film ini berusaha membuat kita bersimpati (nada dan gaya bicara Jackson memang terdengar penuh wibawa dan simpatis) dengan pilihan yang harus diambil oleh para protagonis dalam cerita perang di mana satu sisinya memang pure evil.

Kita bisa bilang film ini bermain-main dengan genre film perang lebih banyak daripada ia berusaha menggali dilema moral seperti layaknya cerita perang itu sendiri. Adegan pembukanya terlihat menggoda kita dengan memberikan komentar tentang kejadian di opening Saving Private Ryan (1998), film perang karya Stephen Spielberg. Lebih baik di atas pesawat daripada masuk medan dengan kapal-kapal, kata salah satu tokoh Overlord saat mereka dari udara mengawasi garis pantai Perancis. Saat itu malam buta, kala Perang Dunia Kedua, platon protagonis kita bersiap untuk melakukan pendaratan ke pedesaan Perancis yang sudah dikuasai oleh tentara Nazi Jerman. Dan tokoh utama kita, duduk diam di sana. Gemetar di dalam sepatunya sendiri. Si luapan perasaan bimbang dan takut itu namanya Boyce (Jovan Adepo memainkan tipe karakter yang biasanya mati duluan). Dia sempat diolok-olok oleh teman-temannya, dikatain enggak cocok berada di medan perang. Dan kemudian pesawat mereka diberondong peluru. Dalam sebuah long-shot keren, kita melihat Boyce berjuang selamat dengan terjun payung sementara backgroundnya penuh huru-hara.

Ngeliat si Boyce yang tadinya duduk cemas menunggu bahaya pasti akan datang, aku serta merta kepikiran; gimana ya kalo ada Final Destination yang set ceritanya tentang tentara mau perang kayak begini. Tokohnya mendapat penglihatan tentang peristiwa naas, yang kemudian membuatnya jadi bisa menolong teman-teman seperjuangan selamat dari perang. Kupikir itu akan memberi twist buat franchise tersebut, tapi aku tidak bisa mengkhayal terlalu lama, karena Overlord segera menarikku masuk kembali berkat ceritanya yang benar-benar menggigit. Misi pasukan Boyce adalah meledakkan menara komunikasi di desa. Film memastikan tone tegang dan berdarah-darah itu tetap menguar sedari awal, dan tak pernah terputus saat cerita berbelok menjadi sci-fi horor oleh pengungkapan yang disaksikan oleh Boyce. Nazi yang mereka hadapi bukan jahat sembarang jahat. Mereka literally gak manusiawi.

klop banget tadi malam aku habis menghajar beberapa Zombie Nazi di game South Park: The Stick of Truth (2014)

 

Menonton Overlord adalah pengalaman yang menyenangkan, terutama jika kita suka sama adegan-adegan laga bersimbah darah. Drama perangnya masih ada, tokoh utama kita adalah seorang dengan moral kompas yang lurus, dia enggak setuju dengan cara interogasi menghajar musuh. Bahkan ada cerita menarik dari masa-masa pelatihan mereka soal Boyce yang enggak sampai hati membunuh tikus, yang berujung seluruh pasukan mereka dihukum fisik. Hanya saja, kedalaman lapisan moral itu semakin mendangkal mendekati akhir film. Di mana cerita berubah menjadi sajian horor kemanusiaan melawan monster. Narasi tetap mengalir koheren, tetapi gizi itu lama-lama semakin menghilang. Menonton film ini kayak menyantap seporsi lengkap mie. Awalnya masih ada telor, ayam, mungkin sayur mayur. Ketika semua itu habis, hanya tersisa bumbu mie yang enggak begitu bergizi, namun rasanya masih enak untuk dinikmati.

Arc Boyce adalah soal gimana dia mempertahankan moral kemanusiaan dirinya. Dia berubah dari yang ogah-ogahan, gak cocok berperang, menjadi penyintas yang bahkan lebih dari berkompeten untuk memimpin pasukan kecilnya sendiri. Tapi dia tidak pernah kehilangan sense baik-buruk tersebut. Dia tidak pernah melanggar garis yang membuatnya menjadi sekeji pihak yang ia lawan. Sepanjang film, pilihan-pilihan yang diambil oleh Boyce yang membuat narasi bergerak maju. Yang membuat dirinya termasuk ke dalam situasi mengerikan, dan kita mendapatkan aksi-aksi yang seru. Tidak ada yang salah dari Boyce sebagai tokoh utama. Pemeranannya pun meyakinkan. Tapi aku tidak bisa bilang menyukai tokoh ini. Dia terlihat ‘terlalu sempurna’ di sana, kayak Pak Ustadz di dalam kelab malam. Dia terlalu lurus sehingga tampak lebih membosankan daripada temannya, Chase, yang lebih suka menembak dengan kamera alih-alih dengan senapan.

Kepahlawanan punya sisi gelap. Perang begitu mengkhawatirkan, karena tidak seperti ujian sekolah, kita tidak pernah benar-benar seutuhnya menang dalam peperangan. Dan, ironisnya, seperti ujian sekolah; kita perlu perang untuk menggenjot diri naik ke tingkat selanjutnya. 

 

 

Pun, plot tokoh seperti Boyce sudah sering kita temukan. Hal penting yang harus dilakukan pada plot semacam ini adalah kita diperlihatkan perubahan si tokoh, untuk itu kita harus tahu dia seperti apa sebelum sampai di medan perang. Full Metal Jacket (1987) bisa dijadikan acuan. Dalam film tersebut, Kubrick mengambil keputusan beresiko. Dia membuat kita melihat si tokoh sedari masa pelatihan, gimana dia lebih memilih jadi posisi jurnalis perang, dan akhirnya harus menarik pelatuk di hadapan musuh yang ternyata adalah wanita muda, tetapi film itu terasa terbagi menjadi dua bagian. Overlord sepertinya tidak ingin cerita menjadi seperti demikian, maka kita hanya mendengar cerita tentang Boyce sebelum masa perang. Untuk membuat Boyce menjadi jagoan, mereka simply menyederhakan cerita menjadi laga ala video game; Boyce dan pasukan harus menjalankan misi menyusup ke dalam markas musuh, menghabisi bos besar, dan berlari keluar dengan pemandangan markas musuh hancur lebur – exactly kayak ending-ending video game petualangan. Boyce, secara pribadi, sebenarnya enggak benar-benar berubah. Perubahan yang kita rasakan terjadi, berasal dari pandangan orang tentang dirinya. Teman-teman Boyce jadi lebih hormat kepadanya.

sepertinya masih perlu ya diingetin bahwa Nazi itu jahat?

 

Dengan penampilan yang seragam meyakinkannya, banyak tokoh-tokoh minor yang terasa lebih menarik dibandingkan si sudut pandang utama. Aku suka sekali sama hubungan yang terjalin antara salah satu tentara, Tibbet, dengan anak kecil yang mereka tolong. Sersan mereka yang sudah siap-segala-resiko pun lebih menggugah minat dan mengundang simpati. Tapi sekali lagi, ini adalah keputusan yang diambil oleh film. Jadi walaupun cerita jadi harus mengandalkan beberapa ‘kebetulan’, menggunakan elemen ‘damsel in distress’ yang usang, dan Boyce-nya kalah menarik, Boyce dinilai paling bentrok dengan antagonis, dia yang paling punya stake. Tidak ada yang lebih berharga lagi yang bisa dipertaruhkan daripada rasa kemanusiaan.

Setidaknya ada dua kali ‘bolak-balik’ pada cerita; tokoh yang udah sampai di tempat menarik, kemudian ditarik mundur lagi oleh cerita, yang mengindikasikan penulisan seharusnya bisa lebih baik lagi. Tapi tone cerita yang konsisten, mampu membuat elemen menghibur itu terus terjaga. Ringan, penuh aksi brutal, dan makhluk horor dengan prostetik yang tampak semakin creepy – low budget itu berhasil dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Estetiknya tidak pernah kelihatan jelek.

 

 

Ini adalah film yang berjaya di dalam dunianya sendiri. Jikapun bertahan di ranah horor drama perang, film ini tak pelak akan lebih bermakna, tapi dia tidak akan pernah benar-benar stand out karena sudah begitu banyak cerita yang seperti demikian. Pilihan yang membawa genre ini berfusion dengan body horror; katakanlah eksperimen yang mereka lakukan, pada akhirnya lebih mungkin membuat film menjadi seperti para pahlawan seharusnya; dikenang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for OVERLORD.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana cara yang tepat untuk menghadapi Nazi? Apakah kekerasan dibalas dengan kekerasan? Atau memilih berdiri di atas moral? Bagaimana sih moral yang tinggi itu? Apa maknanya memenangkan perang?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS Review

“With realization of one’s own potential and self-confidence in one’s ability, one can build a better world.”

 

 

 

Kurang garam rasanya kalo Disney tidak bercerita tentang Princess atau tentang anak yang ditinggal mati oleh orangtuanya. The Nutcracker and The Four Realms benar mengikuti formula serupa; Clara, si tengah dari tiga bersaudara, merasa ‘ditinggalin’ oleh ibunya yang telah tiada. Kakaknya mendapat gaun, adiknya diwarisi mainan tentara, dan dia; sebuah telur mekanik yang bahkan tidak bisa dibuka karena sepertinya Ibu lupa memberikan kuncinya kepada Clara. Ibu hanya melampirkan secarik tulisan, “Di dalamnya kamu akan mendapatkan semua yang kau perlukan” begitu bunyinya kurang lebih.

Jika Alice mengikuti kelinci, maka Clara masuk ke dunia fantasi setelah mengikuti benang emas di rumah kakek walinya, Morgan Freeman dengan eye-patch ala bajak laut. Clara disambut baik oleh penghuni dunia sana – manusia serdadu-mainan Nutcracker, manusia bunga, manusia es, dan manusia yang rambutnya terbuat gulali. Dengan segera Clara mengetahui dunia yang terdiri dari empat realm berbeda tersebut adalah ciptaan ibunya. Sang Ibu adalah Ratu di sana, membuat Clara Stahlbaum menjadi seorang Putri. Sebagai seorang Putri, Clara harus mengupayakan kedamaian di sana,  sebab ada satu realm, though, dihuni oleh tikus dan mainan, mereka gak akur dengan penduduk realm lain. Mereka bahkan mencuri kunci emas yang dicari Clara. Kunci penting membuka telur, dan rahasia di balik dunia yang dibuat oleh Ibu Clara.

Oh, Clara juga Ratu sih; ia memerintah dengan Hukum Fisika

 

Melanjutkan tema protagonis wanita masa kini yang mandiri, kuat, tanpa harus mementingkan punya pasangan kekasih yang sudah diusung Disney semenjak Frozen (2013), Clara akan menginspirasi anak-anak cewek kekinian berkat kepintaran dan keberaniannya. Daripada berdansa, Clara lebih suka merakit mekanisme untuk menangkap tikus. Tentu saja, membantu sekali fakta bahwa Mackenzie Foy is absolutely stunning. Antara presence-nya dan cerita dongeng ini, benar-benar sebuah peristiwa yang magical. Meskipun kadang aksennya sedikit goyah, namun Foy (pasti banget masuk nominasi Unyu op the Year tahun ini!) bermain dengan mantap. Entah itu menghadapi pasukan tikus yang bersatu membentuk tikus raksasa, menyisir pinggiran tebing yang basah dan dihuni kelelawar, ataupun memimpin serdadu menembus belantara hutan, Clara jarang sekali menunjukkan ekspresi ketakutan. Kevulnerabelan tokoh ini mudah direlasikan oleh semua orang; ketidakpercayadirian itu kadang menerpa di saat kita paling butuh untuk merasa berani.

Kadang kita butuh orang lain. Bukan untuk disuruh memuji dan mengelu-elukan kita sampai terbang. Bukan untuk diperintah melakukan hal yang tidak kita bisa. Tapi untuk mengingatkan siapa sebenarnya diri kita. Kekuatan dan kelemahan yang ada pada diri, sering kita lupa sehingga berputus asa. Padahal kita selalu punya semua yang kita butuhkan, kita hanya lupa dan butuh teman untuk mengingatkannya.

 

Dalam upayanya lolos dari Bechdel Test – tes kecil-kecilan untuk menentukan film punya karakter wanita yang ‘kuat’ dengan syarat: ada dua tokoh wanita yang saling bicara dan tidak membicarakan soal pacaran – cerita film ini diadaptasi dengan sedikit mengerdilkan beberapa aspek pada material aslinya. The Nutcracker berasal dari pertunjukan balet hasil saduran cerita The Nutcracker and The Mouse King. Balet sendiri hanya dijadikan sebagai pemanis. Didorong jauh ke belakang sehingga adegan balet pada film ini tak lebih dari sekedar media penceritaan eksposisi. Romansa sentral dari versi asli ini diubah oleh Disney menjadi cerita kemandirian, dengan mengangkat secara tersirat hubungan antar-ras. Si serdadu Nutcracker, pada film ini diperankan oleh aktor kulit hitam Jayden Fowora-Knight, tidak terasa sepenting orang yang namanya terpampang sebagai judul film. Nama tokohnya malah baru kita dengar setelah menjelang akhir petualangan.

Kreativitas film ini – toh tidak gampang mengadaptasi sesuatu sehingga menjadi kreasi baru – tampaknya hanya berhenti pada tingkatan ‘menyederhanakan’. Seolah film ini sebenarnya punya sesuatu pamungkas; menyiapkan sesuatu yang gede, tetapi pada akhirnya ambisi tersebut melempem dan mereka membanting arahan begitu saja, melupakan apa yang diniatkan.

Sama seperti judulnya; panjang dan sulit diucapkan namun juga tidak memberikan kejelasan apa-apa sebatas dunia film ini ada empat biji, banyak elemen pada film yang dibangun menjanjikan tetapi tidak pernah berujung kepada sebuah kepuasan. Empat dunia di sini, digambarkan dengan visual yang indah – tokoh-tokohnya meriah oleh riasan dan kostum fantastis, tapi kita kehilangan sensasi eksplorasi. Kita tidak melihat bagaimana exactly masing-masing dunia bekerja. Clara hanya tur sepintas. Bahkan Realm of Amusement yang sesungguhnya adalah sebuah ide menarik menyajikan ranah mainan dan sirkus menjadi tempat menyeramkan, kita hanya diperlihatkan secuil dari apa yang bisa saja dibuat menjadi saingan Negeri Nikmat di Pinokio. Basically hanya hutan gelap dan satu tenda mekanik. Tiga pemimpin Realm yang harusnya adalah pembimbing Clara, kita hanya difokuskan pada satu yang diperankan Keira Knightley dengan suara mencicit kayak anak kecil keselek tikus. Film yang punya dunia begitu luas, dengan banyak aspek cerita yang diangkat, tidak pernah mekar sempurna hingga waktunya tiba dan pergi meninggalkan kita. Hanya mengerucut, menjadi simpel tidak tergali. Karena, guess what, film mendedikasikan diri untuk membangun twist yang bahkan enggak punya motivasi yang cukup jelas sebagai labuhan satu-satunya cerita.

Clara dan empat dunia CGI

 

Sudah cukup aneh pilihan mengubah dongeng fantasi tontonan natal untuk anak kecil menjadi cerita perang. Semakin aneh lagi jika perang yang dikobarkan cerita sama sekali tidak punya penyebab yang jelas. Penjahat-sebenarnya cerita ini pengen gitu aja menyerang dunia atau realm yang lain, dia ingin menaklukkan semua dan sebagai pembelaan dia menyalahkan ibu Clara yang sudah tega meninggalkan dunia ciptaannya sendiri. Elemen perang rebutan kuasa sendiri sesungguhnya memang ada dalam kisah orisinilnya. Apa yang dilakukan oleh film ini, sayangnya, begitu berdedikasi untuk menghadirkan twist dari elemen originial tersebut; mereka memutarbalikkan peran, dan ultimately malah menjungkirbalikkan film ini secara keseluruhan. Mereka lupa memasukkan alasan yang kuat. Seharusnya ada motivasi lebih dalam daripada sekedar grasak grusuk masuk hutan, mengobarkan pasukan, demi merebut kunci emas.

Film ini seperti mengkhianati temanya sendiri. Ini tentang self-trust, keberanian. Dengan percaya kepada kemampuan dan potensi yang kita miliki, kita bisa mencapai begitu banyak hal hebat. Bahkan menciptakan dunia. Tetapi film, ia tidak yakin bisa membangun cerita. Ada begitu banyak hal yang seperti tambalan di sana-sini. Film malah seperti dua visi yang enggak klop. Lebih seperti pengen membuat produk ketimbang dunia imajinasi yang kreatif.

 

 

 

 

Pembangunan dunia dengan ‘aturan’ dan mitosnya tak pernah lebih jauh berfungsi kepada penceritaan. Dunia-dunia tersebut tak lebih dari perkenalan, you know, supaya kalo nanti ada wahananya di Disney, fans sudah tidak bertanya-tanya lagi. Untuk orang dewasa, film ini seperti mimpi yang ngaco – yang hanya terjadi dan lantas dilupakan karena memang tidak banyak hal menarik yang patut diingat. Semuanya serba tanggung. Bagi anak-anak, ada kesenangan dan ketakjuban melihat visual yang cantik, ada petualangan yang hadir dari makhluk-makhluk dengan desain cukup menyeramkan tersebut. Ada pesan yang bisa mereka bawa pulang. Mereka akan menikmati ini sampai twist tentang perang itu muncul mengubah tone film keseluruhan. Semanis-manis kata yang bisa kita ucapkan untuk film ini, bahwa ia adalah kekecewaan yang adorable, berkat Mackenzie Foy.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa makna teman bagi kalian? Mengapa kalian mau berteman dengan teman-teman kalian yang sekarang? Bagaimana kalian tanpa mereka?

Menurut kalian, bagaimana cara Ibu Clara menciptakan keempat realm tersebut?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE RETURNING Review

“Sometimes dead is better”

 

 

Seperti dicomot langsung dari halaman buku misteri milik Stephen King, The Returning adalah horor keluarga yang menilik masalah beratnya menghadapi kehilangan anggota keluarga; merelakan terkasih yang sudah pergi dan move on dengan kehidupan.

Karena, benar, mati jauh lebih baik ketimbang hidup cuma menanti yang tak bakal kembali. Karena sejatinya, kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Melainkan akhir dari derita. Yang harus kita sadari, bahwa kematian adalah saat kenangan-kenangan manis itu bermunculan.

 

Sudah tiga bulan berlalu, namun jasad Collin (dengan subtil Ario Bayu memainkan dua peran yang berbeda di sini) yang mengalami kecelakaan saat sedang berpanjat-tebing ria masih gagal diketemukan. Membuat Natalie (Laura Basuki diberikan tugas yang lumayan rumit sebagai tokoh utama) semakin nelangsa. Di saat kedua anak dan ibu mertuanya sudah merelakan Collin, semua orang praktisnya sudah menganggap Collin meninggal, Natalie masih belum ikhlas. Dia masih menanti sang suami sampai terbawa mimpi. Asa Natalie mendapat jawaban, Collin muncul begitu saja di pintu depan rumah mereka. Sehat wal’afiat. Keluarga ini lantas mencoba menyambung kembali kehidupan harmonis mereka. Namun ada yang janggal dari Collin. “Ayah berubah” kata Maggie, anak tertua Natalie, setelah menyaksikan ayahnya di tengah malam memakan apel dengan begitu rakus. Seperti kelelawar.

“Kelelawar sayapnya hi…jau!”

 

 

Film ini punya apa-apa yang jadi resep membuat horor yang bagus. Makhluk gargoyle seram yang bakal hinggap terbalik dalam mimpi buruk para penonton, drama keluarga yang erat tentang ibu dengan anak-anaknya, dampak kehilangan terhadap orang yang ditinggalkan; so much sehingga orang bisa sekuat tenaga berusaha memegang erat keluarganya yang tersisa. The Returning sepertinya mengerti bagaimana membuat horor yang bagus. Mereka mencoba membangun atmosfer seram dari rumah dan segala keganjilan yang terjadi. Dunia 97nya sendiri terbangun dengan detil, enggak dilambaikan di depan hidung kita, tapi kita masih tetap mengerti di kurun waktu kapan cerita ini terjadi. Mereka mencoba meng-grounding tokoh-tokoh dengan masalah yang relatable, sementara membangun misteri yang jadi landasan ‘mitologi’ horor cerita. Dan di sinilah masalahnya. The Returning terlihat berusaha terlalu keras. Hampir seperti, Witra Asliga dalam debut penyutradaraan film panjangnya ini, tidak mau ada yang salah.

Tidak ada yang salah banget dalam cerita ataupun ide yang ingin disampaikan. Secara materi, ini bisa menjadi horor dramatis – dan menyentuh ranah psikologis – yang asik untuk diikuti. Tapi nyatanya, aku tidak merasa senang (se-fun yang bisa dibangkitkan oleh horor), ataupun bahkan penasaran, dalam menontonnya. Setiap masing-masing adegan lebih terasa seperti misi yang ingin diselesaikan alih-alih sebuah penceritaan. Tidak membantu juga kenyataan bahwa film ini dibangun dengan twist sebagai tujuan. Tidak ada yang salah dengan twist, namun twist paling gak-asik itu adalah twist yang membuat kita enggak bisa sepenuhnya masuk ke dalam kepala tokoh utama. Kita mengerti motivasi Laura, tetapi hal-hal lain yang seharusnya adalah langkah-langkah yang ia ambil, ternyata berubah menjadi pengecohan – hanya untuk ngeswerve penonton. Semiring-miringnya niat tokoh utama, mereka haruslah membuat kita peduli, membuat kita memahami dirinya. Dalam film ini, kita merasa dibegoin dengan mendukung tokoh utama.

Jika titik-titik itu kita sambungkan – kalung, masalah Natalie dengan Oma, dengan Maggie – kita masih menemukan garis lurus. Semuanya masih terasa masuk akal. Tapi film masih tetap menyisakan misteri, yang sebetulnya adalah loose ends yang lupa diikat.  Aku gak mau spoil terlalu banyak, tapi ada satu hal yang gak klop buatku; Oma (ibu mertua Natalie) yang actually pertama kali melihat Collin di dalam mobil, dan secara urutan narasi, kejadian tersebut terjadi sebelum ‘ritual’ dilakukan. Jadi, bagaimana bisa Collin sudah ‘ada’ di sana? Karena kita tahu Oma tidak berhalusinasi; dalam cerita ini, hanya Natalie yang belum merelakan; Oma malah yang menyarankan untuk menyiapkan urusan pemakaman.

Subplot-subplot yang ada, pada akhirnya hanya berfungsi sebagai kambing hitam; pengalih perhatian supaya kita tidak menebak twistnya. Masalah-masalah seperti anak bungsu Natalie yang gak bisa bicara dan dibully di sekolah karenanya, Maggie yang katanya takut tumbuh dewasa, merupakan masalah yang bisa membawa pesan penting, namun pada akhirnya tidak mendapat penyelesaian karena hanya berfungsi sebagai red-herring. Banyak tokoh yang keberadaannya begitu mentah, mereka hanya terasa seperti throw-away character. Ada teman Natalie yang diajak pindah ke Jogja sama pacarnya – how is this important to the story? Ada saudara cowok Natalie yang ia marahi lantaran ngajak Collin pergi memancing – apa yang ingin dicapai dari masalah ini? Dan si bungsu Dom yang gak bisa bicara tau-tau bisa ngomong, dimaksudkan supaya kita kasihan kepadanya – it just doesn’t work. Aneh sekali cara film ini membangun Dom enggak bicara karena yang tertangkap adalah Dom tidak dikasih kesempatan bicara alih-alih memang ‘gak bisa’. Seperti ketika Collin baru pulang, Dom yang jago gambar memamerkan gambar buatannya ke ayah LEWAT perantara Maggie – kenapa dia enggak berkomunikasi sendiri dengan ayahnya. Di bagian pengungkapan, ada satu perkataan Natalie yang bikin aku ngakak; dia menyebut anak-anaknya menanyakan Collin terus menerus, dan ini sungguh kebohongan gede dari Natalie karena kita tahu justru Maggie yang sebel ibunya enggak move-on dari kepergian ayah, dan Dom, well, kan Dom sama sekali gak bisa berbicara gimana cara dia mendesak bertanya haha

hanya anak-anak yang jujur, that’s what makes them children.

 

 

Film berusaha untuk menjadi benar, namun pada akhirnya tetap melakukan pilihan-pilihan yang ganjil. Penggunaan jumpscare masih menjadi andalan, terlihat seperti film ini belum sepenuhnya yakin bisa membangun kengerian dari gambar dan editing semata. Padahal gambar dan editingnya sudah cukup precise.

Setiap kita punya kelemahan, dan adalah hal yang bagus kala kita menyadari kelemahan yang kita punya, dan kita berbuat sebaik mungkin around that weakness, mencoba untuk menutupinya. Atau paling tidak supaya kelemahan tersebut tidak kelihatan. Logikanya kan begitu; Jangan letakkan kelemahan itu di tempat terbuka. Dalam film, ya sebaiknya film jangan dimulai dari teknik filmmaking kita yang paling lemah, karena sepuluh menit pertama itu nentuin mood penonton banget. Strangely enough, film ini dibuka oleh adegan panjat tebing yang benar-benar terlihat tidak profesional. Adegan ini menciptakan kesan pertama yang enggak baik. Sebenarnya bisa dengan gampang diperbaiki; kita akan membahas itu sebentar lagi, aku ingin menunjukkan satu lagi pilihan aneh yang dilakukan oleh film ini.

Tokoh-tokoh film ini bicara tentang ayah mereka yang sudah berubah, “ayah biasanya gak begini”, dan kita harus percaya  gitu aja dari kata-kata mereka. Seharusnya diperlihatkan bagaimana Collin sebelum menghilang. Film memang memperlihatkan beberapa flashback yang menunjukkan kedekatan Collin dengan Natalie, maupun dengan Maggie. Tapi dalam sebuah skenario yang baik, flashback semestinya hanya jadi pilihan terakhir jika sudah mentok. Pada film ini, toh pilihan itu masih ada. This is how to fix this; Mereka bisa saja memulai cerita dari sebelum Collin kecelakaan. Sepuluh menit pertamanya bisa menunjukkan gimana Collin sebenarnya, lalu inciting incidentnya barulah dia jatuh dari tebing. That way, kita tidak perlu melihat adegan panjat tebing yang susah untuk difilmkan sebagai pembuka, yang ultimately jadi bagian paling tak meyakinkan dalam film ini.

 

 

 

Pertanyaan seram yang bisa bikin bulu kuduk merinding “itu ayah kita atau bukan?” tak pernah terangkat karena film sibuk membelok-belokkan kita, karena ia pengen terlihat menarik dan pinter dengan twistnya yang mengecoh. Inilah yang menyebabkan film menjadi enggak seram. Enggak genuine lagi suasana yang dihadirkan. Mereka jadi tergantung sama musik keras mengagetkan. Jadi, jangankan subplotnya, premis film sendiripun hanya dijadikan sebagai pengecoh – sebuah loose end yang sengaja enggak diikat. Aku tidak merasa enjoy saat menontonnya padahal film ini punya cerita yang menarik. Strukturnya pun bener, hingga mereka sadar durasi sudah hampir habis dan buru-buru menutup cerita dengan pengungkapan. Tidak ada yang spesial dari pengarahan sutradara baru ini. Tapi tetap saja, film ini menginspirasiku, karena aku juga pengen membuat film – tapi saat ini masih belum bisa, maka aku menulis review. For what it’s worth, anggaplah film ini sebagai pemanasan sebelum remake Pet Sematary (2019) rilis, atau paling enggak sebelum nonton The Hollow Child (2018) di studio sebelah.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE RETURNING.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan perkataan Collin kepada Maggie seputar kadang kita harus mengambil resiko? Apakah perubahan adalah resiko? Seberapa jauh resiko yang berani kalian ambil demi cinta?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

A STAR IS BORN Review

“Life is like a seesaw ride”

 

 

 

Sekalipun kelihatannya demikian, kesuksesan tak pernah murni suatu kebetulan. Nyatanya ia adalah rangkaian dari berbagai pilihan dan usaha yang kita buat. Yang terhubung dengan jalinan kehidupan orang lain. Jika Jackson Maine enggak kebelet minum malam itu, dia enggak akan mampir ke bar, dan tidak akan pernah bertemu dengan Ally. Atau bahkan jika aku yang berada di sepatu Jack, aku mungkin akan segera keluar begitu sadar bar yang kumasuki adalah bar waria, I would never met Ally at all. Bakat Ally pun tidak akan pernah diketemukan, dia tidak akan pernah jadi penyanyi sukses. Cinta hangat antara Jack dan Ally tidak bakal pernah kita saksikan. ‘Penyakit’ Jack-lah yang actually ngeset things in motion. Tapi akankah karir Jack masih tetap bersinar jika ia tidak pernah bertemu Ally. Apakah jika sukses kita terhubung dengan orang lain, maka kegagalan kita juga ada sangkut pautnya dengan orang lain?

Malang, memang, kisah cinta mereka harus membuat hidup seperti bermain jungkat-jungkit. Sendirian, gak bakal seru. Perlu dua orang untuk menikmatinya, tapi ini adalah sebuah kondisi di mana yang satu akan berada di bawah saat yang satunya lagi menggapai angkasa. Kondisi inlah yang sebenarnya membuat romansa Jack dan Ally begitu kuat; karena kita tahu segala macam emosi; hasrat, cinta, gairah, harapan, kesedihan, kecemburuan, melimpah ruah. Ini rupa dari cinta sejati

 

A Star is Born menceritakan kisah Jack si penyanyi rock country terkenal yang berada di ambang karirnya lantaran dia enggak bisa berhenti minum-minum. Dia bertemu dengan Ally dan bakatnya yang seketika membuat Jack terpesona. Hubungan dua orang ini, babak pertama film, penuh oleh momen-momen yang sangat menakjubkan. Aku sejujurnya jealous dengan mereka; aku berharap suatu saat bisa merasakan apa yang mereka alami. You know, jatuh cinta kepada seseorang karena kita begitu ter-mindblown oleh kemampuan mereka. Kemampuan musik yang dimiliki Ally membuat Jack merasa saklar hidupnya menyala kembali secara emosi dan creatively. Dan bagi Ally, Jack lebih dari kesempatan yang selama ini ia tunggu-tunggu. Mereka saling tertarik passionately, mereka ingin mencapai keagungan kreatif itu bersama-sama. Kita akan dibawa ke berbagai panggung penuh emosi, dan tentu saja musik-musik keren.

Bagian favoritku, dan kurasa sebagian besar kalian juga bakal setuju, adalah ketika Ally diajak ikutan nyanyi di panggung Coachella – di depan begitu banyak penonton. Ally yang selama ini hanya nyanyi di bar, dia mengaku tidak bisa masuk panggung pertunjukan karena hidungnya dinilai produser kegedean (hidung Ally, actually, akan membawa kita ke momen lain yang sama menyentuhnya), dan tau-tau dia diberikan kesempatan untuk menunjukkan bakat dan suara hatinya – menyanyikan lagu yang ia tulis sendiri. Perasaan yang dialami Ally saat itu, luapan emosi yang membuncah, yang ia salurkan lewat nyanyian, benar-benar membuatku merinding.

“Haaaa~ooooaaa~ooooaaaa~ooooo… Aku bertanya pada manusia tak ada jawabnyaaa”

 

 

Penggemar serial American Horror Story pasti masih ingat gimana intensnya Lady Gaga memainkan wanita immortal haus darah, namun begitu rapuh karena trauma masa lalu kala dia masih berupa manusia biasa. Dalam film romansa musik ini, Lady Gaga membawa keintensan emosi yang bahkan lebih kuat lagi. Meskipun, Ally tampak dibuat berdasarkan Lady Gaga sendiri. Dengan talenta seorang penampil yang luar biasa, suara yang begitu powerful, dan sedikit banyak Lady Gaga punya pengalaman sebagai seorang waitress, Ally seperti peran yang sempurna yang dibuat khusus untuk dirinya. Lady Gaga tampak bermain dengan sepenuh hati dan dia benar-benar menonjok hati kita (bukan wajah, untungnya) lewat permainan perannya di sini. Dia yang salah satu musisi paling hebat dunia, juga menunjukkan potensi yang enggak kalah gempitanya sebagai aktris.

Chemistry antara Lady Gaga dengan Bradley Cooper begitu menguar sehingga tampak mereka seperti pasangan beneran. Tidak terasa seperti akting. Kayak, kamera merekam hal yang sungguh-sungguh terjadi. Poin-poin cerita, kejadian-kejadian yang mereka lalui, sebenarnya formulaic. Terlebih ini adalah remake keempat dari source yang sama; A Star is Born orisinalnya adalah film keluaran tahun 1937. Seorang veteran yang tertarik sama bakat muda, tapi pada akhirnya keadaan mereka berbalik. Aku belum nonton satupun A Star is Born versi yang lain, tapi cerita dalam film ini, aku bahkan teringat adegan tangga di film The Artist (2011) olehnya. Apa yang diceritakan oleh film ini bukan sesuatu yang baru, tapi cara mereka dipersembahkan, penampilan-penampilan aktingnya, begitu kuat sehingga terasa bahkan lebih fresh dan nyata ketimbang biografi Bohemian Rhapsody (2018). Sangat mengesankan apa yang berhasil dicapai oleh Bradley Cooper dalam debut penyutradaraannya. Aku percaya Cooper bisa jadi sutradara hebat jika dia tetap mempertahankan gaya dan momentum filmmaking. Dia punya bakat luar biasa dalam mengontruksi adegan film.

Cooper, yang juga bermain sebagai Jack, membuktikan dia lebih dari sekedar aktor lucu di film komedi dan superhero. Cooper sebagai Jack menunjukkan banyak range emosi dan kedalaman akting. Dia enggak over-the-top memainkan seorang yang mabuk, walaupun ada satu adegan saat penyerahan Grammy naskah menuntutnya untuk menjadi pemabuk ‘jenis’ begitu. Cooper, ngerinya, tampak berusaha sadar bahkan saat kita tahu kepalanya mulai bergoyang-goyang. Dia tampak masih fungsional, dan kita takut – khawatir – dia akan mengambil keputusan yang salah. Ada kesubtilan dalam penampilannya. Cara dia berpindah dari seseorang yang ingin Ally berhasil menjadi seseorang yang sadar keberhasilan Ally tidak akan pernah sesuai dengan yang ia maksudkan, karena ia sadar bisnis mereka tak lagi sama, menghasilkan emosi yang begitu kuat menyentuh. Perjalanan Jack benar-benar dibuat terbalik dengan Ally dalam cara yang meremukkan hati – Jack semakin malu menyadari dirinya sedangkan Ally pada akhirnya berani menatap kita saat dirinya bernyanyi. Mengarahkan tokoh yang lain pun, Cooper sama pahamnya. Dia tidak membuat manajer Ally sebagai korporat satu-dimensi yang hanya peduli sama uang.

Ada satu lagi tokoh dan penampilan yang menurutku pantas untuk diganjar piala; yakni penampilan Sam Elliot sebagai abang dari Jack. Dia membantu Jack menyiapkan konser-konser, tapi harus berurusan dengan sikap negatif Jack, yang semuanya tidak ia tahu kenapa ditumpahkan Jack kepadanya. Penampilan akting yang diberikan Elliot kepada tokoh ini begitu contained, dia khawatir dan menahan marah di saat bersamaan. Speechnya kepada Ally terdengar begitu mendalam. Adegan di mobil ketika dia ‘menjawab’ tak langsung kata hati Jack yang telah sadar adalah satu lagi dari sekian banyak momen kuat dalam film ini.

Di satu sisi ada seniman yang direnggut oleh industri, dibentuk dan dibungkus menjadi sesuatu yang bukan lagi dirinya yang sebenarnya. Di sisi lain ada seniman yang sudah lama berkecimpung di industri sehingga dia punya banyak untuk dibagikan kepada bakat muda baik dan buruknya, tapi dia sudah terlalu lelah. Ada komentar yang kuat tersirat dalam cerita film ini tentang bagaimana industri hiburan – musik dalam kasus film ini – mengubah bakat dan kreativitas itu menjadi bahan konsumsi alih-alih sesuatu yang murni dari hati; bahwa seniman merasa jadi punya tanggung jawab terhadap penggemarnya.

 

coba sekali-kali kalo ketemu artis di jalan, alih-alih foto bareng untuk pamer di instagram, ajaklah dia ngobrol tentang ide-idenya, ide-ide kalian.

 

 

Bahkan dengan durasi yang mencapai dua jam lebih, film masih sedikit kesulitan menyeimbangkan pace di kala cerita butuh lompatan waktu. Ada momen seperti adegan di meja makan teman Jack, yang terasa agak terburu-buru. Seperti ada jarak development karakter yang tidak kita lihat, karena kita tidak merasakan bahwa ternyata beberapa waktu sudah dilompati oleh narasi. Masalah kecil pada penuturan sih sebenarnya, yang mungkin juga kalopun perkembangan hidup tokoh itu lebih difelsh out toh tidak menambah banyak kepada bobot, tapi tetep terasa ada yang mulus dalam perjalanan narasinya.

 

 

 

Selain hal tersebut, aku tidak menemukan kekurangan lagi dalam film ini. Akting-aktingnya memukau. Dalam dunia yang sempurna, kita akan dapat tiga nominasi Oscar dari segi penampilan, bahkan mungkin ditambah satu lagi dari kategori lain. Tapi kalo cuma satu yang masuk pun, aku gak masalah. Karena setidaknya film ini harus dapat satu ganjaran award. Musik-musiknya juga sangat asik, menyentuh dan paralel dengan cerita. Ada satu lagu Jack yang seolah ia tulis untuk dirinya sendiri di masa depan. Penulisan dan penampilan yang sangat cantik.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for A STAR IS BORN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Kenapa kita suka foto bareng sama artis? Seberapa penting menurut kalian, gimmick terhadap penampilan seorang penyanyi atau seniman?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BOHEMIAN RHAPSODY Review

“I feel like an outsider when I’m with my family”

 

 

Is this the real life?

Is this just fantasy?

Bohemian Rhapsody menjanjikan biografi seorang, kalo enggak mau disebut sebuah band, legenda musik rock. Namun kita hanya akan mengapung di atas rangkaian demi rangkaian perjalanan karya dan karir mereka, alih-alih dibawa menyelami kisahnya.

 

Terlahir dengan gigi ekstra ke dalam keluarga Parsi India, Farrokh dalam film Bohemian Rhapsody, hanya bangga dengan bawaan lahir yang pertama kali disebut. Menurutnya, empat gigi tambahan itu membantu menambah range vokal, senjata rahasia di balik kemampuan bernyanyi yang tak bisa disamai oleh siapapun di dunia (termasuk oleh Rami Malek, pemerannya sendiri). Dia dengan cepat mengganti nama menjadi Freddie, dan kemudian menjelang hari-hari terkenalnya, melengkapinya dengan Mercury. Menyempurnakan personanya yang mercurial; one-of-a-kind nan tak bisa ditebak.

Bahkan sebelum jadi anak band saja, keflamboyanan Freddie sudah mulai terlihat. Ini menjadi poin kunci cerita. Film tidak menerangkan dengan jelas apakah sikap dan gaya narsistiknya itu natural atau sebagai bentuk perlawanan kepada keluarganya yang konservatif, tapi yang jelas dalam lingkaran keluarga biologisnya sendiri, Freddie tidak merasa berada di tempat yang benar. Dia menemukan teman-teman band sebagai pelipur kesendirian, di mana dia merasa dirinya dibutuhkan. Queen sebagai band luar biasa dengan lagu-lagu yang susah untuk dikategorikan genrenya merupakan cerminan dari perjuangan Freddie itu sendiri, yang didukung oleh rekan-rekan anggota lainnya; keluarganya, kata Freddie. Tapi, Freddie adalah outsider seumur hidup. Cerita banyak mengeksplorasi kehidupan seksual penyanyi ini; di mana relasi asmaranya dengan seorang sahabat cewek berakhir setelah dugaan Freddie seorang homoseksual terjawab. Menjadi susah bagi Freddie untuk keep up with his families ketika keluarga bandnya tersebut beneran punya keluarga masing-masing di balik panggung, sesuatu yang tak bisa ia punya. Tapi paling enggak, dalam dua-puluh-menit konser amal terbesar tahun 1985 itu, Freddie si outsider menjadi juara dunia.

He will rock you!

 

Definitely, kisah Freddie Mercury memang punya potensi untuk diangkat menjadi biopic lumayan tragis yang penuh oleh nilai-nilai kekeluargaan. Tapi anehnya, elemen tersebut justru kurang mendapat perhatian, karena film ingin melingkupi banyak hal sekaligus. Mereka ingin mengajak kita bernostalgia juga, bernyanyi bersama lagu-lagu Queen, melihat pembuatannya. Tidak akan cukup waktu untuk ini semua. Jadi, aku mengerti kenapa film ini mendapat skor yang lumayan rendah, meski setiap orang yang kutanyai mengaku sangat ingin menontonnya. Sebagai sebuah film, Bohemian Rhapsody hanya tampil setengah-setengah, tidak ada elemen yang digali dengan sempurna. Formula yang digunakan begitu standar, dan ini ironis mengingat ada adegan di mana Freddie memaksa produser musik untuk berani memasarkan lagu mereka, karena Queen begitu unik dan menolak diseragamkan dengan formula yang ada.

Tapi, tahu enggak sih, kita gak harus nyesuaiin selera sama objektifitas para kritikus. Kita boleh aja suka sama yang gak bagus. Maksudku, aku sendiri setuju Bohemian Rhapsody bukanlah sebuah film yang hebat. Tapi hal yang paling membuatku kecewa saat menonton ini adalah bahwa kita gak boleh ikutan bernyanyi di dalam bioskop. Aku menikmati perjalanan Queen dalam merekam lagu, bagaimana mereka actually memasarkan lagu Bohemian Rhapsody yang basically enam-menit campuran kata-kata aneh, dan sekuen penutup di konser Live Aid itu, aku harus mencengkeram lengan kursiku erat-erat dalam upaya menahan diri untuk enggak berdiri dan nyanyi di atas kursi. Bisa melihat sesuatu secara kritis, bukan berarti menghalangi kita untuk menikmati sesuatu tersebut secara subjekif.

Tidak ada cela dalam penampilan Rami Malek sebagai Freddie Mercury. Jika pada film ini, Freddie berkata dia merasa sudah memenuhi takdirnya sebagai penampil, penyanyi di hadapan jutaan orang. Maka, Malek dalam film ini seperti sudah garis tangannya untuk memainkan sosok Freddie Mercury. Dan dia telah memenuhi panggilan tersebut. Seperti, dia terlahir di dunia demi film ini. Biar kita-kita yang lahir setelah jaman Queen tahu, seperti apa sosok legendaris ini baik keseharian maupun gaya panggungnya. Segala gestur, pembawaan, sikap, kecuali dialog sih ya – soalnya kadang penulisannya terdengar cheesy – fantastis sekali, kita percaya dia adalah Freddie.

kalo kalian mencari tontonan untuk halloween, kalian salah orang – freddie nya bedaaaa

 

 

Jatuh dalam perangkap biopik yang merasa perlu menceritakan sesuatu sedari awal, penceritaan film ini gak lebih menarik daripada Chrisye (2017). Buat Bohemian, ini bikin geregetan karena kita tahu ada banyak dari Freddie Mercury yang menarik untuk diangkat dan dijelajahi. Kita penasaran dari mana ia mendapat inspirasi penampilannya di atas panggung. Kita penasaran bagaimana ilham menulis lagu datang. Tapi film tidak memberikan ini. Proses kreatif Queen dalam menghasilkan lagu-lagu unik hanya diperlihatkan sebatas montase. Pun hanya ada beberapa adegan Freddie mengulik lirik di atas kertas. Sedari awal bikin band, mereka sudah terdengar seperti Queen; udah jago. Tapi mungkin juga memang begitu hebatnya Queen; mungkin mereka bisa menciptakan koreo, aksi panggung, konsep dengan sekali duduk. Mungkin Freddie memang jenius sehingga ide lagu Bohemian Rhapsody bisa muncul begitu saja di dalam kepalanya.

Kita tidak melihat cukup banyak siapa dirinya sebelum nge-band. Status keluarganya sebagai imigran tidak dikaitkan ke dalam konteks outsider yang menjadi identitas Freddie. Kita juga tidak diperkenalkan dengan betul-betul kepada anggota band yang lain. Mereka hanya ada di sana, dan meskipun sering beradu argumen dengan Freddie – mereka kadang terlihat terganggu bahkan menyindir penampilan Freddie – kita tidak pernah dibawa masuk ke dalam kepala ataupun melihat ‘masalah’ mereka. Hubungan Freddie dengan ayah dan ibunya adalah elemen yang penting, pengaruh mereka terasa dalam pembentukan karakter Freddie. Tapi pembahasan tentang mereka sedikit sekali. Mereka cuma muncul ketika naskah membutuhkan suntikan drama. Kita tidak pernah melihat bagaimana keluarga mereka ‘bekerja’ sebenarnya.

Bahagialah bagi yang punya orangtua yang mau mengerti pilihan kita, tanpa membandingkan dengan apa yang menurut mereka lebih baik. Karena Freddie tidak. Jangankan pilihan pasangan, main musik saja sudah dianggap masa depan suram oleh ayahnya. Tapi terkadang, tak ada salahnya kita mendengar nasihat mereka. Like, jika dalam anjuran mereka tidak ada yang ‘salah’ kenapa tidak coba diikuti. Dengan cara kita sendiri sekalipun.

 

 

Melihat dari konteks yang sudah dilandaskan pada adegan pembuka, sebenarnya film bekerja dengan pas di dalam konteksnya. Dan nantinya akan maju sesuai dengan pembelajaran yang dialami oleh Freddie. Awalnya kita melihat cerita ini dari sudut pandang dirinya di mana dialah spotlightnya. Perbedaan pov antara saat dia menuju panggung di awal dengan menjelang akhir film menunjukkan perubahan karakter Freddie. Di awal, dia melihat dirinya sebagai satu orang, dia enggak perhatian penuh ama sekitar. Makanya kita enggak diperkenalkan benar-benar dengan anggota band yang lain, sebab Freddie hanya ‘melihat’ mereka. Segala proses rekaman, manggung, masalah percintaan, kita melihatnya dari mata Freddie sebagai ‘one-man person’. Barulah setelah dia menyadari apa itu keluarga, saat dia benar-benar melihat dirinya bagian dari keluarga, sudut pandang dia dalam cerita ini berubah, dan kita merasakannya.

 

 

 

 

Jadi, film ini bisa saja mengeksplorasi lebih banyak dan detil tentang dunia Freddie Mercury, tapi itu akan mengeluarkannya dari roda konteks. Karena ini adalah tentang Freddie si outsider yang tadinya memandang dirinya sebagai terpisah, menjadi bagian dari keluarga. Menurutku, film secara spesifik sengaja mengambil penceritaan seperti demikian. Sengaja meninggalkan banyak hal penting yang ingin kita ketahui – serius deh, kita tidak beli tiket buat ngeliat penampilan musik ‘boongan’, kita dateng buat pengen tahu cerita humanis seorang legenda di balik layar – karena mereka ingin menempatkan kita di dalam kepala Freddie Mercury. Mungkin tidak sesuai dengan tontonan yang kita harapkan, tapi ini sajian “easy come, easy go” yang enak dinikmati.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for BOHEMIAN RHAPSODY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa lagu Queen favorit kalian? Apakah menurut kalian film ini juara atau hanya “another one bites the dust”?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017