THOSE WHO WISH ME DEAD Review

“No time to grieve for roses when the forests are burning”

 

Membahas sebuah film memang tak bisa dilakukan tanpa sedikit-banyak menceritakan tentang alur film tersebut. Namun, menceritakan tentang Those Who Wish Me Dead ini terasa mirip sekali dengan memantik api yang bakal menjalar membakar habis hutan. ‘Api’ di sini adalah spoiler, dan hutannya adalah the entire review. Karena film ini memang terdiri dari kejadian-kejadian kecil, yang kemudian membesar, menjalar, saling berhubungan membentuk konflik besar film. Ada perempuan yang trauma oleh kegagalannya sendiri, ada anak kecil yang dikejar pembunuh. Ini adalah thriller kejar-kejaran, sekaligus juga merupakan kisah bencana alam. Film ini begitu all over the place. Tapi juga so little – setelah api itu padam, tidak ada banyak hal tersisa selain abu untuk kita bicarakan. Yang jelas, ya, akan ada api besar, jadi kalian yang suka nontonin kebakaran masih akan bisa terhibur olehnya.

Tapi aku akan tetap mencoba. Ngasih tahu gambaran besar kisah film yang diangkat dari novel ini, dengan sesedikit mungkin membeberkan detil-detil di dalamnya. Cerita ini dimulai dari ayah dan anak yang sedang dikejar oleh dua pembunuh yang gak segan-segan melenyapkan siapapun yang menghalangi mereka. Dalam pelarian, ayah dan anak itu mengalami nasib naas sehingga kini tinggal si anak yang jadi buronan. Si anak kabur ke belantara hutan Montana. Di sana, dia ditolong oleh seorang pemadam kebakaran. Mereka berdua harus berjuang keluar dari hutan – segera menuju tempat yang bisa melindungi sang anak. Dengan dikejar oleh dua pihak yang memburu berapi-api; tim pembunuh, dan api beneran yang tengah berkobar melalap hutan tempat mereka bersembunyi.

dead013325_1142x642_637534307234461060
Some people just wanna watch the world burn.

 

Aku suka sama naskah tulisan Taylor Sheridan, khususnya Sicario (2015) dan Hell or High Water (2016). Naskahnya selalu berhasil memuat studi karakter yang kompleks ke dalam thriller yang menegangkan. Sheridan sepertinya juga cukup beruntung dapat sutradara yang sevisi, yang mampu menggambarkan apa yang ia niatkan. Dalam Those Who Wish Me Dead ini, sebenarnya naskah Sheridan juga lumayan kompleks. Setidaknya, sesuai dengan zona nyaman dia selama ini. Perempuan pemadam kebakaran dalam cerita ini adalah Hannah yang suka ngelakuin hal nekat (dan bodoh ala jackass) karena nurani dan perasaannya terbebani oleh kesalahan yang ia lakukan dalam tugas beberapa waktu yang lalu. Hannah trauma tidak bisa menyelamatkan tiga cowok remaja dari kebakaran. Pasal ini dibentrokkan oleh Sheridan dengan Connor, si anak kecil yang dikejar-kejar pembunuh. Naskah Sheridan berhasil mencuatkan bahwa Connor adalah kesempatan bagi Hannah menebus diri, sekaligus juga bahwa ada kesamaan pada keduanya. Yakni dua pribadi yang sama-sama mengalami trauma. Naskah film ini akanlah bersinar jika benar-benar mendalam membahas hubungan antara karakter Connor dengan Hannah.

Kali ini memang sepertinya Sheridan kurang mendapat kebebasan kreatif, walaupun dia juga merangkap sebagai sutradara. Karena film ini diadaptasi dari novel, yang juga melibatkan penulis novel aslinya. Jadi ada kebutuhan untuk membuat semirip mungkin dengan cerita novelnya. Dan di sinilah kejatuhan dari film Those Who Wish Me Dead (dan juga kejatuhan dari banyak film adaptasi novel yang penulis novelnya juga mendapat kredit nulis naskah). Film ini masih enggan lepas dari bentuk novelnya. Sudut pandang cerita ini tidak fokus, melainkan sering berpindah-pindah. Juggling dari Hannah-Connor ke pasangan lain yang ada di dalam kisah. Ada pasangan polisi lokal dengan istrinya yang tengah mengandung. Dan tentu saja duo pembunuh yang mengejar Connor. Dua pasangan itu juga punya cerita sendiri, tapi karena porsi mereka dibagi-bagi bersama porsi Hannah dan Connor, tidak ada pasangan ataupun satu karakter yang benar-benar mencuat sebagai tokoh utama. Mereka semua sama-sama kurang tergali. Sama-sama satu dimensi.

Kita harusnya peduli sama Connor dan Hannah, karena merekalah yang sebenarnya diniatkan sebagai center piece. Merekalah yang paling bertragedi. Namun film ini tidak berhasil membangun center itu sendiri. Dan malangnya, baik Connor dan Hannah kalah menarik dibandingkan dengan polisi-dan-istri dan dua pembunuh itu. Polisi dan istrinya basically adalah cool couple, terutama sang istri yang ternyata jago survival (including naik kuda sambil menembak senapan). Mereka punya stake yang tak kalah berharga – yakni bayi di kandungan. Dinamika keduanya asyik untuk diikuti, mereka dengan gampang bisa jadi tokoh utama film ini karena punya petualangan pribadi yang lebih seru. Terus, kedua pembunuh; mereka boleh jadi penjahat yang ‘hanya jahat tanpa karakter’, tapi sudut pandang jahat mereka ini menarik. Salah satu dari mereka ada yang bilang gak mau menyakiti wanita hamil, tapi di adegan pembuka film kita melihat baju mereka bebercak darah sehabis masuk rumah yang ada penghuni perempuan dan suara anak balita (and yes, they blow up the house after that). Atau ketika salah satu mereka bilang benci sekali sama kota ini. Aku lebih penasaran sama kenapa sikap mereka begitu ketimbang harus melihat lagi Hannah terkenang kejadian kebakaran hutan yang naas, ataupun Connor yang berperilaku sedikit lebih dewasa ketimbang usianya.

Sepertinya itu karena memang kekuatan naskah Sheridan masih kentara di balik keputusan kreatif lainnya. Kesubtilan naskah itu masih dapat kita rasakan, terutama ya pada kedua penjahat itu. Pada pihak yang jadi judul film ini; “Mereka yang ingin aku mati”. Mereka itu siapa? Tentunya ada kelompok yang lebih besar di balik dua pembunuh suruhan tersebut. Nah, naskah bermain cantik dengan hanya memberi tahu kita secara tersirat. Menggoda kita. Film menampakkan sedikit siapa dalangnya (diperankan oleh cameo Tyler Perry), tapi dengan bijak meninggalkan lebih banyak di dalam bayang-bayang. Ada serangkaian orang-orang berkuasa yang gak senang dengan kerjaan ayah Connor, dan itulah yang menyebar jadi masalah seperti api membakar hutan.

Sepercik kecil api mampu menghanguskan berhektar hutan. Ayah Connor sebagai forensic auditor mungkin dianggap memantik api tersebut, mengungkap banyak kasus, mungkin seperti korupsi, oleh orang-orang besar. Tapi sebenarnya yang dilakukan ayah Connor justru menyibak, mengingatkan bahwa ‘hutan’ itu memang sedang terbakar. Bahwa sedang ada masalah besar yang harus dihadapi. Ayah Connor melawan api dengan api.

 

dead41454350-9445619-image-m-36_1617806590435
Oke, api dan kebakaran memang cool untuk ditonton!

 

Kesubtilan problem dalam dunia cerita ini diseimbangkan dengan menampilkan visual yang benar-benar red hot sebagai puncaknya. Itulah saat ketika percikan-percikan kejadian akhirnya terhubung. Sheridan benar-benar menaruh kita dan karakternya di tengah kobaran api. Di momen inilah film mencapai titik tertingginya. Kebakarannya tampak beneran mengukung dan terkesan berbahaya. Adegan-adegan aksi seperti berantem di situ atau berlari dikejar api berhasil bikin kita menggigit jari dengan tegang. Angelina Jolie sebagai Hannah tampak nyaman sekali kembali ke ranah aksi, malah penampilannya di sini yang kerap menyadarkanku bahwa film ini sejatinya juga adalah sebuah laga survival.

Bahkan spektakel itupun terlambat untuk benar-benar menyelamatkan film. Tidak benar-benar ada sesuatu yang berisi di baliknya. Anak kecil yang nyawanya terancam, itu stake yang gampang sekali untuk dramatisasi. Film ini tidak berbuat banyak dalam menggali itu. Kejar-kejarannya jadi datar karena selain soal keselamatan nyawa, dan hubungan yang jadi makin akrab, tidak banyak perkembangan karakter yang diperlihatkan. Tidak banyak pertumbuhan yang personal. Dan lagi karena kita tidak benar-benar difokuskan kepada harus peduli ke siapa. Aku tidak berniat terdengar kasar atau terlihat terlalu menghina, tapi ya, pemandangan hutan yang terbakar lebih punya kedalaman ketimbang film ini secara keseluruhan.

 

 

Film ini bukan burung phoenix yang makin cantik setelah apinya padam. Film ini justru paling bagus saat kebakaran hutan dan konflik-konflik dari tiga pasang karakter itu bertemu dan ‘terbakar’ bersama. Setelahnya, film jadi datar karena kita tidak berhasil dibuat untuk peduli. Sepanjang perjalanan, cerita sibuk menjuggling kita dari satu pasangan karakter ke pasangan lainnya. Tidak tersisa banyak ruang dan waktu untuk pengembangan dan penggalian masing-masing. Melainkan hanya episode kejar-kejaran yang terlalu gampang untuk dituliskan. Karakter yang seharusnya jadi pusat cerita juga justru jadi kalah menarik. Ini definitely bukan karya terbaik dari Taylor Sheridan. Terasa subpar, malah jika dibandingkan dengan Sicario ataupun Hell or High Water. Naskah dan struktur bercerita perlu lebih banyak ditempa lagi supaya bisa benar-benar membentuk cetakan sebuah film.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THOSE WHO WISH ME DEAD.

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian siapa sebenarnya yang sudah terusik oleh ayah Connor? Bagaimana sekiranya laporan Connor ke media dapat menghentikan kasus tersebut?

Share  with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

NOBODY Review

“Obscurity can be liberating”

 

 

Menjadi bukan siapa-siapa ternyata merupakan sebuah impian – atau malah anugerah – bagi beberapa orang. Ketika normalnya kita berusaha, berjuang, bekerja sekeras mungkin untuk mendapat pengakuan sosial, untuk diterima dan kemudian dikenal mencuat lewat hal spesial yang ahli kita lakukan, ternyata ada sebagian orang yang ingin dan merindukan untuk dianggap biasa-biasa saja. Sebagian orang itu adalah mereka yang udah mencapai puncak. Udah sukses. Selebriti misalnya. Tak ada lebih mereka inginkan selain tidak jadi pusat perhatian dan dikerubutin saat mereka berada di tempat umum. Atau filmmaker sukses, yang hanya ingin bikin film murni untuk menceritakan isi hati tapi tidak bisa karena di atas situ karya buatannya akan selalu dibanding-bandingkan dan dioveranalyze. Atau juga karakter yang diperankan Bob Odenkirk dalam film Nobody.

Hutch nama pria tersebut. Dan yang ia inginkan adalah punya kehidupan berkeluarga yang biasa-biasa aja. Mengejar truk sampah di pagi hari. Membuat sarapan untuk anak dan istri. Berjalan kaki ke kantor. Pulang. Ketemu anak dan istri. Tidur. Hutch telah meninggalkan kehidupannya yang dulu. Kehidupan masa lalu Hutch yang disiratkan oleh film ini adalah kehidupan yang penuh bahaya. Hutch tidak ingin kembali ke sana, akan tetapi kehidupannya sebagai bukan siapa-siapa itu ternyata tidak berjalan seperti yang diidamkan olehnya. Dia malah merasa jadi semakin kecil, dan bahkan keamanan yang ia inginkan untuk keluarganya pun tidak pula terwujud. Karena rumah mereka malam itu kemalingan. Kejadian itu berbuntut panjang. Membuat Hutch harus bersinggungan dengan geng Rusia. Dan mau tak mau dia harus kembali ke siapa dirinya yang sebenarnya.

Nobody
Nobody is special. I am nobody. You do the math

 

Sepertinya memang dari permainan kata itulah sutradara Ilya Naishuller mengembangkan konsep karakter Hutch. Seorang yang mengaku nobody, tapi ternyata dia berkemampuan spesial. Memang, konsep film ini bukanlah konsep yang paling original seantero dunia sinema. Sudah banyak cerita yang menampilkan karakter yang sekilas kayak orang biasa padahal mempunyai kehebatan tersendiri. Malahan, film ini mirip sekali dengan John Wick (2014). Banyak aspek cerita Hutch yang membuatnya serupa-tapi-tak sama dengan John Wick, mulai dari dia adalah ‘pensiunan’ pembunuh, terus tak-sengaja terlibat masalah dengan sanak keluarga bos penjahat. Jika di John Wick pemicu utama kemarahan karakter adalah anjing peliharaan yang dibunuh, maka di Nobody ini Hutch mulai beraksi karena orang jahat yang menyatroni rumahnya telah mengambil gelang milik kucing peliharaan anaknya. Semua kemiripan tersebut tentu saja ditampilkan on-point karena memang penulis naskah dan produer kedua film ini merupakan orang yang sama. Yakni si Derek Kolstad. Sehingga kemiripannya tidak sampai di elemen karakter saja. Dalam soal koreografi aksi berantem pun, film Nobody ini tampil dengan gaya dan level kekerasan yang sama menghiburnya.

Perbedaan yang membuat Nobody distinctive dari John Wick terletak pada karakter Hutch dan cara sutradara membangun karakter tersebut. Cerita dan bangunan karakter Hutch sedikit lebih kompleks. Hutch ini adalah pria yang berusaha menyamankan dirinya sebagai bukan siapa-siapa, meskipun hidup normal yang ia jalani itu tidaklah menyenangkan. Dengan efektif Ilya menempatkan montase rutinitas kehidupan Hutch pada awal-awal durasi. Sehingga kita jadi tahu konflik yang melanda si Hutch ini secara pribadi. Life’s not great for him, keluarganya gak exactly suka padanya, tapi inilah kehidupan yang ia mau – yang ia pilih karena kehidupannya yang dulu jauh lebih berbahaya. Ketika dia memang harus kembali menapaki ‘jalan lamanya’, cerita pun tidak lantas membuat dia berubah. Ada keengganan yang ditampilkan. Ada keraguan dan kebimbangan dalam diri Hutch. Dia sempat urung membalas dendam kepada kedua perampok karena menemukan sesuatu di markas mereka yang membuat dirinya teringat akan nilai keluarga yang ia inginkan. Ilya membuat rangkaian kejadian yang melambangkan progres state of mind Hutch soal mau tidak mau dia harus kembali ke dirinya yang dulu. Dengan begitu, Ilya membuat kita mengerti apa yang harus rela dibuang oleh Hutch, kenapa dia harus kembali — persoalan personal inilah yang lantas jadi stake dalam cerita.

Menjadi bukan siapa-siapa memang kadang membuat frustasi dan bikin kita meragukan eksistensi diri sendiri. Tapi bukankah semua orang adalah bukan siapa-siapa bagi kebanyakan orang yang lain? Obscurity atau jadi bukan siapa-siapa itu hanyalah bagian dari journey kita dalam mencari apa yang ingin kita kerjakan. Jadikan itu sebagai kesempatan untuk memperbaiki dan meningkatkan diri.

 

Bob Odenkirk menerjemahkan karakterisasi tersebut dengan menarik pula. Olehnya, Hutch tidak tampak boring. Melainkan sangat vulnerable. Dia mengundang simpati, tapi juga bisa jadi badass, dan juga kocak dalam menampilkan kebadass-annya. Permainan akting dan penampilan aksi-aksi berantem (yang sebagian besar dilakukannya sendiri tanpa stunman) Hutch juga mempelihatkan progres yang dialami oleh karakternya. Sekuen berantem di dalam bus dengan anak-anak muda berandalan adalah contoh yang bagus untuk membahas ini. Di adegan-adegan itulah Hutch untuk pertama kalinya memantapkan diri kembali menjadi pembunuh. Hutch enggak langsung jago. Dia toh babak belur juga. Dikeroyok, dikerjai, dan dilempar keluar jendela oleh lawan-lawannya. Dia vulnerable, tapi bukan lemah. Seiring berjalannya durasi kita akan melihat Hutch menemukan kembali kenyamanan dalam kembali pada aksi-aksinya. Sampai akhirnya dia telah menemukan kembali dirinya yang lama. Dan kita akan mendapat adegan final fight yang meskipun terlalu perfect dan over-the-top, tapi amat sangat menghibur.

Untuk itu salut pantas kita panjatkan buat Bob Odenkirk. Karena selama ini, dia adalah aktor yang terkenal bukan sebagai aktor laga. Dia lebih sebagai spesialis peran dramatik dan komedi. Perannya sebagai Hutch adalah pertama kali namanya tersematkan sebagai bintang film laga. Dan di sini tantangan peran baginya bukan sekadar bermain fisik, tapi juga ada tuntutan untuk menyampaikan karakter Hutch itu sendiri.

null
Bayangkan kalo ada cross-over John Wick dengan Nobody, pasti seru!!

 

Nobody sebenarnya bisa saja menjadi the next John Wick. Sayangnya, film ini tidak mampu melepaskan diri dari bayang-bayang film tersebut. Pembuatnya seperti lupa bahwa cerita kali ini punya lebih banyak ruang untuk digali. Hutch punya keluarga, John Wick tidak. Tapi Nobody tetap dibuat ‘sama’ seperti John Wick, fokus di aksi seru nan menghibur. Mereka membiarkan keluarga itu tetap jadi lubang yang menanti untuk diisi. Hubungan Hutch dengan istri,  dengan anak laki-lakinya, dengan gadis ciliknya tak pernah digali dengan memadai oleh film ini. Keluarga Hutch hanya jadi bagian dari rutinitas sehari-hari. Tidak pernah terasa seperti layaknya karakter cerita. Musuh utama Hutch juga karakterisasinya lemah sekali. Padahal dia sudah punya latar yang menarik. Boss gede tapi kerjaannya penampil karaoke. Dinamika protagonis dan antagonis dalam film ini diikat oleh keparalelan yang tipis sekali. Masalah di antara mereka berdua malah hanya tercipta oleh suatu rangkaian kejadian yang terjadi secara kebetulan. Sekeren-kerennya Hutch berinteraksi dengan si bos, tetep tidak terasa ada kaitan atau bobot yang membuat pertemuan mereka benar-benar bisa kita pedulikan.

Yang membuat film ini akhirnya berada pada posisi di bawah John Wick adalah kesan bahwa film ini terlalu sibuk ngebuild untuk sekuel. John Wick punya dunia yang bikin penasaran sebagai latar, sementara kejadian seputar karakternya berlangsung dengan melingkar. Tidak banyak eksplorasi tapi juga tidak banyak menyisakan ruang yang sengaja dibiarkan kosong. Film itu straight-to-the-point, simpel, dan tuntas. Sekuelnya hadir dengan kesan natural, karena kita memang pengen melihat dunia John Wick dengan lebih luas. Sebaliknya, film Nobody lebih kompleks tapi justru meninggalkan banyak ruang tak-tereskplor. Berharap supaya kita tertarik untuk melihat lebih banyak partner dan ayah Hutch yang ternyata juga bukan ‘orang-biasa’. Memohon kepada kita untuk meminta ada sekuel yang membahas mereka. Malah ada adegan ekstra di kredit penutup untuk memancing ini. Padahal ini adalah cara yang salah. Karakter pendukung film ini – dengan minimnya bahasan – membuat mereka terlupakan oleh kita. Fokus kita tetap pada Hutch, yang setelah problemnya tuntas, setelah dia memilih untuk kembali ke siapa dirinya, ketertarikan dia kepadanya pun semakin berkurang. Karena walaupun dia berkemampuan khusus, karakternya sendiri tidaklah original ataupun spesial.

 

 

 

Buat yang suka aksi ala John Wick, film ini jelas sayang untuk dilewatkan. Ceritanya mirip. Laganya seru, dengan koreografi yang hard-hitting dan in-the-face dan bergaya sama dengan John Wick. Film ini pure seru dan menghibur. Apalagi ditambah dengan elemen-elemen tak biasa seperti karakter yang curhat sama radio, ataupun pemilihan musik yang beda dari musik-musik film laga biasanya. Salah satu daya tarik utama film ini adalah cast-nya. Bob Odenkirk kini merambah genre aksi, dan penampilan di sini bukanlah penampilan abal-abal. Melainkan sangat totalitas. Keren dan menghibur sekaligus. Film ini bisa menjadi lebih besar lagi, tapi terjebak dalam bayang-bayang John Wick. Potensi yang dipunya tidak direalisasikan semua, sehingga film ini dalam kondisi terbaiknya hanyalah berupa copy-paste beda varian dari film John Wick.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for NOBODY.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian menjadi nobody itu memang lebih baik daripada menjadi somebody?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MORTAL KOMBAT Review

“If you have the fear of losing the game even before starting it, then you will never be able to win the game.”

 

Video game dianggap sebagai mainan untuk anak-anak. Sampai game Mortal Kombat hadir di tahun 1992. Game bergenre fighting ini beda ama yang lain. Setiap serangan yang mengenai karakter-karakternya yang bermodel manusia beneran (plus beberapa monster) dimeriahkan oleh tumpahan darah merah yang kental. Game ini bahkan menggebah pemain untuk benar-benar menghabisi lawan mereka. Dan menyediakan banyak pilihan sadis untuk melakukan hal tersebut. Sebut saja Brutality; yakni menghajar lawan yang sudah tak berdaya bertubi-tubi sampai tubuh mereka meledak dan kita dihujani tulang belulang mereka. Animality; karakter jagoan pemain bisa berubah menjadi hewan dan memangsa musuh mereka. Yang paling digemari tentu saja adalah Fatality. Beragam kesadisan yang dijual sebagai ‘keren!’ bisa kita perintahkan untuk dilakukan oleh karakter di dalam video game. Mulai dari menarik lepas kepala (atau jantung) lawan, hingga membelah tubuh mereka bagai buah duren. Gemparlah orangtua. Game yang mereka sangka inosen di ruang main anak mereka ternyata menampilkan pembunuhan yang dramatis! Mortal Kombat adalah alasan dari terbentuknya sistem sensor dalam dunia pervideogamean. Sensor berupa rating ESRB (pengelompokan berdasarkan umur dengan penjelasan seperti berisi kekerasan, darah, dan sebagainya) harus diberikan untuk setiap video game yang dirilis. Sebegitulah populernya game yang ‘menjual’ kesadisan ini. Hingga sekarang, Mortal Kombat sudah berkembang biak menjadi delapan-belas judul berbeda, yang bahkan merambah genre di luar fighting.

Formula kesuksesan game Mortal Kombat sudah jelas. Orang-orang sudah tahu apa yang mereka ‘beli’ ketika mereka ngeluarin duit untuk benda berjudul Mortal Kombat. Mereka maunya itu. Lagi dan lagi. Bego kalo ada yang bikin Mortal Kombat, tapi memisahkannya dengan Fatality dan darah dan segala kekerasan fantasi lainnya.  Sutradara Simon McQuoid jelas bukan orang bego. Dia justru jelas seorang penggemar berat Mortal Kombat, yang respek dengan Mortal Kombat. Dan dia juga adalah seorang kreator yang tahu persis apa yang sedang ia jual. Lah, darimana kita tahu Simon McQuoid adalah semua itu? Tentu saja dari film reboot Mortal Kombat yang ia hasilkan!

Kalian tahu kan, gimana biasanya film dari adaptasi video game selalu menambah atau malah menghilangkan elemen dari game (seringkali justru elemen yang bikin gamenya menarik) sehingga jadi jauh banget dari ‘rasa’ game yang jadi materialnya. Gimana biasanya film tersebut terlalu ‘dimanusiakan’ sehingga jadi kebanyakan ngarang. Well, McQuoid di film Mortal Kombat ini tetap setia dan menampilkan elemen cerita dengan benar-benar sesuai sama lore dalam video game. Ini jelas merupakan fans-service yang luar biasa gede dan memanjakan bagi para penonton yang menggemari Mortal Kombat. Karakter-karakter yang ia munculkan dalam film ini, tampilan, bicaranya, dan berkelahinya dibuat semirip mungkin dengan video game.

mortalmk1200x
Yang paling sadis adalah fatality dari lembaga sensor Indonesia

 

Bola api Liu Kang? Ada. Tendangan sepedanya? Check! “Your soul is mine”-nya Shang Tsung? You bet! Hampir semua istilah dan gerakan yang bikin kita bernostalgia sama gamenya, ada semua. Brutality dan Fatality yang ikonik, semuanya ada, memuaskan haus darah penggemarnya. Di film ini kadang beberapa karakter malah seperti mengomentari pertarungan mereka sendiri dengan jargon-jargon khas seperti ‘finish him’ ataupun ‘flawless victory’. Budget film ini enggak gede, tapi dimainkan dengan maksimal untuk mewujudkan looks yang otentik dengan perpaduan yang pernah kita lihat di video game. Yang paling memukau tentu saja efek jurus es milik Sub-Zero. Film sepertinya memang menginvest lebih banyak untuk Sub-Zero, dan itu adalah investasi sangat memuaskan. Film ini tidak sekalipun tampak ‘murahan’. Kalopun sesekali ada efek dari jurus ataupun efek makhluk CGI yang terlihat masih kasar, tidak sampai mengganggu dan terlihat masih klop dengan tone film secara keseluruhan. Tidak pernah sekonyol efek dalam Mortal Kombat: Annihilation (sekuel dari film Mortal Kombat original)

Sebelum film ini, memang Mortal Kombat sudah pernah diadaptasi. Melahirkan dua film. Film keduanya – si Annihilation yang kusebut barusan – gatot alias gagal total. Film itu cheesy abis, aktingnya over-the-top, dengan efek yang banyak disebut orang kayak dibikin pake efek microsoft seadanya. Film originalnya – Mortal Kombat (1995), however, cukup bagus. Mendapat sambutan hangat dari fans. Karakter-karakter yang ditampilkan, walaupun aktingnya gak bagus-bagus amat, berhasil jadi ikonik (terutama si Shang Tsung!). Itu berkat penulisan yang berusaha keras membangkitkan semangat video gamenya. Film tersebut populer salah satunya juga karena musiknya. Mortal Kombat abis!! Jadi, film itulah yang jadi tolak ukur bagi Mortal Kombat buatan McQuoid. Dan memang, di film terbaru ini McQuoid memfokuskan kepada hal yang kurang dieksplorasi oleh film tersebut. Karakterisasi.  McQuoid memberikan banyak waktu untuk menampilkan relasi antarkarakter, yang berarti McQuoid memperhatikan development karakternya. Mortal Kombat sebagai game fighting yang sudah dua-puluh-sembilan tahun aral melintang melintas konsol dan arcade, tentulah punya karakter yang banyak. Di sinilah tantangan bagi McQuoid. Dia harus menyelam dalam-dalam sebagai fans untuk mengetahui mana yang benar-benar perlu untuk digali, dan memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menyusun kepingan-kepingan karakter itu ke dalam narasi film yang utuh.

Dan dia berhasil. Meskipun dari segi penampilan akting, masih bisa lebih baik lagi, tapi karakter-karakter tersebut langsung konek ke fans. Liu Kang dan Kung Lao misalnya. Film mampu mencuatkan mereka, sehingga walaupun di sini peran mereka bukanlah utama seperti pada gamenya, tapi kesan yang ditampilkan berhasil menguatkan kedua sepupu ini. Relasi yang mencuri perhatian berikutnya adalah antara Sonya dan Kano. Hiburan ringan banyaknya datang dari sini, aku pribadi suka lihat betapa miripnya Jessica McNamee dengan Sonya Blade di game jadul. Tapi terutama yang terutama jadi hiburan itu adalah Kano yang dimainkan oleh Josh Lawson dengan aura yang ngingetin aku sama karakter Mick Taylor di franchise thriller Australia, Wolf Creek. Film memainkan Sonya dan Kano dengan irama ‘teman-atau-lawan’ yang sangat menarik. Fans Mortal Kombat mungkin bisa menebak ke mana arah Kano nanti, tapi ternyata temanku yang bukan gamer, yang awam sama mitologi dan lore Mortal Kombat, mengaku surprise juga dengan perkembangan Kano di sini. Ini membuktikan build up dan swerve yang dilakukan oleh film ini berhasil membuat penonton peduli. Jadi, film ini ternyata mampu bekerja dengan baik untuk penonton yang awam. Gak harus tau gamenya untuk menikmati ini.

Relasi yang mencuri perhatian tentu saja adalah antara Scorpion dengan Sub-Zero. Di penggalian mereka inilah film terbaru ini menang telak dari film original. Di situ dua ninja ini ditampilkan sebagai anak buah yang bahkan gak ada dialog yang berarti. Di film ini, mereka benar-benar difungsikan sebagai ikon – persis seperti pada gamenya. Dua karakter yang paling banyak digemari ini diberikan porsi yang lebih gede di antara karakter lain. Sub-Zero digambarkan sangat kuat – membunuh Hanzo dan keluarga, menghancurkan dua lengan Jax, menyerang kota dengan hujan salju tajam – seolah dialah musuh utama di film ini. Scorpion juga tak kalah kuat, dia ditampilkan seperti tokoh utama di sini. Keputusan film untuk meng-cast Hiroyuki Sanada sebagai Scorpion dan Joe Taslim kita (kitaaa??) sebagai Sub-Zero adalah keputusan yang tepat, sebab keduanya sama-sama mencuatkan penampilan mereka. Dua aktor yang bisa beladiri, ditaruh di tengah, dan mereka memikul film ini lewat akting dan aksi berantem sama kuatnya. Untuk Joe Taslim, aku harap film ini bakal mengukuhkan namanya. By the looks of it, franchise reboot ini bakal setia dengan game, jadi sedikit spoiler untuk penggemar Taslim; Meskipun Sub-Zero memang bakal berganti, tapi Taslim masih mungkin akan kembali di sekuel, karena karakter yang ia perankan ini bakal hidup kembali dengan kekuatan dan nama baru. Kita hanya bisa berharap film ini tetap memakai Taslim dan tidak menggunakan CGI untuk karakter barunya tersebut.

mortalmaxresdefault
Apa kata Scorpion kepada Sub-Zero yang galau keingetan mantan? “GET OVER HER!”

 

Jadi, jika semua karakter dan jurus dan lorenya persis dengan game, lantas tindak adaptasi yang dilakukan film ini apa dong? Jawabannya adalah protagonis baru. Protagonis original yang khusus ada di film ini. Cole Young (diperankan oleh Lewis Tan) dijadikan sebagai sudut pandang utama yang kita ikuti, nyaris sepanjang durasi. Setelah adegan opening yang memperlihatkan pertarungan dua karakter ikonik di jaman dahulu, cerita akan membawa kita melompat ke masa kini. Melihat kehidupan profesional Cole Young yang mantan petarung MMA. Dia kini menafkahi keluarga dengan bertarung di arena underground. Tapi dia selalu kalah. Kita melihat Cole ternyata Juara Terpilih untuk Bumi dalam turnament Mortal Kombat berikutnya. Cole yang masih belum ngeh apa-apa dan bahkan belum punya kekuatan super, bergabung dengan pasukan Bumi, dan memulai pelatihannya di Kuil Raiden. Masalahnya adalah, pasukan Otherworld ShangTsung tidak mau ramalan soal Bumi akan memenangkan turnamen ke sepuluh ini jadi kenyataan. Sehingga Jadi, Otherworld main curang dan menyerang para Terpilih sebelum turnamen dimulai. Termasuk Cole dan keluarganya.

Cole selalu kalah karena dia menerima saja serangan yang diberikan. Pelatih meledeknya sebagai ‘human punching bag’. Anaknya kerap mengingatkannya ‘kalo pake uppecut pasti menang’ (reference kocak ke game Mortal Kombat; pukulan uppercut punya damage yang paling gede). Dia terlalu khawatir untuk bertahan demi keluarganya, dia jadi kalah sebelum bertanding. In a way, Cole serupa dengan Shang Tsung di cerita ini, yang menyerang di luar aturan hanya karena takut pasukannya kalah di turnamen nanti. Tapi, tidak seperti Shang Tsung, Cole akhirnya sadar apa makna mempertahankan yang sebenarnya, dan itulah yang jadi sumber Arkana bagi dirinya.

Menempatkan penonton di sudut pandang Cole ternyata efektif. Semua lore Mortal Kombal bisa dijelaskan tanpa membuang banyak waktu untuk introduksi dan origin story yang kepanjangan. Kita tidak perlu lagi melihat gimana Liu Kang jadi kuat atau semacamnya. Karakter-karakter video game yang sudah kita kenal itu sudah menempati posisi mereka masing-masing. Fokus growthnya tetap pada Cole, yang bersama kita berusaha memahami apa yang terjadi. Cole tidak digambarkan semata sebagai outsider. Ada backstory yang menghubungkan dia dengan semua lore tersebut, sehingga dia jadi punya alasan untuk berada dan berlaga bersama jagoan-jagoan favorit kita sejak lama. Hanya saja memang dari segi karakterisasi, Cole ini masih kurang terflesh out. Menarik menunggu kekuatan Arcananya muncul, kita penasaran apa kekuatan yang dipunya oleh Cole. Tapi selama menunggu tersebut, Cole ini mulai kehilangan keunikan. I mean, it’s so easy lupa kalo dia bukan Johnny Cage (karakter original Mortal Kombat yang tidak dimunculkan di film ini). I mean, perannya di cerita itu kayak gak ada beda kalo dia dikasih nama Johnny Cage, bahkan beberapa karakter menjuluki Cole sebagai ‘pretty boy’. Mirip ama gimmick Cage yang seorang bintang film tampan. Stake Cole dan keluarganya juga masih standar. Film actually terlalu sibuk menempatkan dia sebagai fish-out-of-water ketika berlatih bersama petarung lain, sehingga tidak ada ruang tersisa untuk mengembangkan keluarga dan bahkan misteri siapa Cole sebenarnya tidak banyak mendapat build up. Hanya sesekali saja sekelebat bayangan muncul di benak Cole, mengingatkan kita kepada tie in antara Cole dengan karakter lain. 

Film ini juga masih kurang rapi dalam memanfaatkan ruang dan pembangunan adegan. Masih ada yang tampil awkward dan seperti berseliweran. Misalnya seperti ketika masing-masing jagoan berantem dengan musuh, lalu tiba-tiba jagoan yang satu kalah dan berteriak memanggil jagoan lain. Si jagoan lain lagi berantem juga, dan kemudian beres cepet-cepet dan berlari ke tempat yang butuh pertolongan. Ini rangkaiannya terlalu kaku sehingga kurang enak dari segi pengalaman sinematik. Urutan dan rangkaian kejadian seperti ini mestinya bisa lebih diperhalus lagi. Ini ibaratnya seperti menggunting pinggiran, film ini melakukannya dengan terlalu menyudut sehingga jadi tampak kaku secara keseluruhan.

 

 

Sebenarnya ini termasuk adaptasi video game yang berhasil. Benar-benar setia dengan sumber materinya. Identitas dan role itu tetap dijaga. Berusaha untuk punya cerita yang grounded, enggak sekadar menyuguhkan aksi yang seru. Dan film ini memang punya aksi seru dan menghibur. Sadis, tapi menghibur. Penggemar gamenya pasti puas. Yang belum pernah main gamenya, bisa-bisa jadi kepengen nyobain main, kayak temenku. Satu-satunya film ini bisa disebut sebagai adaptasi yang jelek, adalah jika kita menyaksikannya sebagai penonton bioskop Indonesia. Karena apparently lembaga sensor di sini tidak mengerti konteks, dan malah memotong adegan kekerasan/fatality pada film yang diadaptasi dari video game yang populer dan beridentitas pada kekerasan/fatality tersebut. Aku bilang, film ini belum ‘flawless victory’. Jika sutradaranya sudah punya pengalaman lebih banyak (khususnya pada laga), pastilah bisa jadi lebih bagus dengan penulisan dan pengadeganan yang lebih rapi. For now, sudah cukup bagus dan menghibur. Yang jelas, aku menantikan sekuelnya. And I know you do too.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for MORTAL KOMBAT.

 

 

That’s all we have for now.

Kenapa menurut kalian Fatality dan jurus-jurus sadis Mortal Kombat begitu digemari?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

WrestleMania 37 -Night II Review

Meskipun ditambahin belakangan – alias ceritanya tak terasa berkembang natural karena seperti diubah dari rencana awal, tapi perseteruan antara Roman Reigns dengan Edge dengan Daniel Bryan tak pelak merupakan storyline terflesh-out yang dipunya oleh WrestleMania 37 secara keseluruhan. This is what we invested in the most. Pertandingan mereka ini benar-benar pantas mendapat posisi sebagai pertandingan terakhir. Sebagai main event. Main event di antara main event, kalo perlu. Makanya, WWE menempatkan ini pada Malam Kedua. Dan bicara soal storyline, pertandingan-pertandingan pada Malam Kedua ini memang punya cerita yang lebih terbentuk. Sebut saja seteru Randy Orton dengan The Fiend yang sudah dibangun sejak tahun lalu. Apollo Crews dengan Big E, yang bahkan sudah melewati satu pergantian arahan karakter dalam pengembangannya. Yang komedi seperti cerita teori konspirasi Samy Zayn aja cukup terbuild up. 

WrestleMania 37 Malam Kedua ini, di atas kertas, jadi terasa lebih solid. Padat oleh feud yang bukan cuma gede di nama-nama pemainnya. Apalagi, dengan absennya cuaca buruk yang mengganggu teknis, Malam Kedua diharapkan banyak penonton lebih baik daripada Malam Kesatu. Dan garis standar itu sudah diset dengan cukup tinggi oleh Malam Kesatu, yang sukses menghibur dan heboh walaupun sempat mengalami delay dan berbagai gangguan.

 

Nyatanya, Malam Kedua ini secara kualitas hiburan, dimulai dengan cukup bergelombang. Alias kurang begitu baik. Match horor antara Orton melawan The Fiend yang udah bikin penasaran banyak orang, ternyata enggak benar-benar sebuah match. Setidaknya, bukan dalam sense match yang punya akhir atau penyelesaian untuk feudnya. Match ini ternyata hanya jembatan untuk development berikutnya dari cerita The Fiend. Namun mengatakannya mengecewakan pun bagiku sebenarnya tidak tepat. Karena aku sudah punya dugaan, atau tepatnya kecurigaan. Karena selama ini pandemi ini match dari The Fiend selalu mengandalkan cut-cut teatrikal. Match dan storyline The Fiend yang karakternya supernatural itu didesain khusus untuk masa-masa arena enggak ada penonton. Sehingga WWE bisa bebas bereksperimen dengan trik-trik editing. Sedangkan, WrestleMania 37 sudah diisi kembali oleh penonton. Tanda tanya besar itu jadi muncul; bagaimana WWE melakukan match dan menyambung trik The Fiend ke depannya. Nah, inilah yang ternyata beneran jadi fokus oleh WWE. Orton melawan The Fiend di malam ini terasa sangat bland, karena basically tidak ada hal baru yang bisa mereka lakukan. Sehingga pilihan bagi WWE adalah menyingkat pertarungan, membuat penonton tetap hype dengan efek-efek pada entrance (The Fiend yang terbakar jadi sembuh, Alexa Bliss dengan kotak Jack-in-the-box gede), dan ‘mengganti’ arahan match pakai kejutan atau katakanlah twist dari segi cerita. Alexa Bliss mendistract Fiend, muncul lengkap dengan mahkota duri dan darah hitam mengalir deras dari keningnya.

wm9d0744c6-alexa-bliss-turns-on-the-fiend-as-randy-orton-wins-at-wrestlemania-37
Kenalin, Alexa iBliss

 

Adalah pilihan yang aneh dari WWE untuk menempatkan kejuaraan Tag Team Cewek sesudah pertandingan yang basically cuma promo-drama tersebut. Bukan apa-apa. Hanya saja aku tidak bisa mengingat ada penonton atau fans yang benar-benar minta pertandingan antara Shayna dan Nia, melawan Natalya dan Tamina. Heck, pertandingan ini adalah sambungan dari Malam Kesatu di mana Natalya dan Tamina memenangkan hak untuk menantang juara bertahan. Jadi pada dasarnya, build up pertandingan ini cuma satu hari. Permulaan yang benar-benar rough. WWE harus melakukan kerja ekstra keras membangun simpati kita kepada dua veteran, dua anak legend, dua superstar yang biasanya cuma jadi batu loncatan. WWE bahkan berusaha membuat kita peduli sama seteru antara Nia Jax dengan Tamina, yang pernah jadi rekanan tag team. In fact, Tamina-lah di sini yang dipush sebagai ‘tokoh utama’. And boy, sungguh kerja keras yang nyaris mustahil. Tapi bukan berarti tanpa hasil. WWE justru sebenarnya hampir berhasil dengan push dadakan ini. Aku toh tertarik juga menontonnya. Yang bikin match ini jadi datar, pada akhirnya adalah ke-sloppy-an eksekusi dari superstar.  Aksi di pertandingan itu rangenya mulai dari kayak ngebotch hingga serangan yang benar-benar telak (ampe bikin bibir berdarah!), karena low-key ngebotch itu hihihi….

Show ini pick up the pace setelahnya. Tiga single-match; Satu pertandingan papan-tengah, dan dua kejuaraan mid-card disusun beruntut untuk memastikan kita mendapat tontonan gulat yang berkualitas. Riddle dan Sheamus menyuguhkan kontes fisik yang absolutely entertaining dengan spot-spot gede nan berbahaya. Pertandingan mereka diakhiri dengan penyelesaian menggunakan kombinasi gerakan yang unik. Riddle pun ngesold dampaknya dengan meyakinkan. Dia terduduk bersandar di pembatas arena dengan mulut berdarah. Penilaianku untuk Riddle adalah oke. Pribadinya mungkin memang terlalu ‘sok-berattitude’ seperti yang dikabarkan, tapi sejauh ini dia tampak mau bekerja sama jika itu menyangkut aksi di dalam ring. Dan buatku, itu dulu yang penting.

Kevin Owens dan Sami Zayn, sudah bermain di  level khusus mereka sendiri. Mereka sudah begitu saling mengenal sehingga chemistry dan kekompakan (dalam pertengkaran) itu sudah natural. Mereka di sini berhasil membuat pertandingan yang sepertinya tadinya diniatkan untuk ‘komedi’ menjadi pertarungan legit. Dengan tentu saja tidak sedikitpun mengurangi nilai ‘menghibur’nya. Mereka berhasil membuat pertandingan mereka terasa spesial. Really, mereka gak butuh si Youtuber itu. Logan Paul memang gak menambah banyak untuk pertandingan ini. Dia gak terjun beraksi kayak Bad Bunny yang bikin orang surprise di Malam Kesatu. Surprise pada Malam Kedua ini justru datang di akhir pertandingan antara Big E dengan Apollo Crews. Match mereka dibikin singkat – bahkan mungkin terlalu singkat untuk live up to the name pertandingan Nigeria Drum Fight. Tapi pertandingan ini berfungsi sebagai bridge untuk melanjutkan feud, dan melakukan fungsi itu lebih baik dan memuaskan ketimbang pertandingan Orton dan Fiend di awal. 

wm20210411_WM37_RiddleSheamus_Alt--d0b0152d9fbd8df8a571af53ada17bf6
Sangat keras untuk sebuah pertandingan yang masalah utamanya adalah otoped.

 

Tapi acara ini dengan cepat kehilangan sensasi ‘big moment’nya. Match-match tersebut seru, tapi terasa normal. Semakin ke sini, aku semakin lupa sedang menyaksikan WrestleMania. Hal ini makin terasa pada match Kejuaraan Cewek dari brand Raw. Asuka melawan Rhea Ripley. Dua superstar dengan karakter yang cukup brutal (dibandingkan dengan average karakter superstar cewek yang lain), menyuguhkan pertandingan yang cukup keras, tapi rasanya datar. Kurang bumbu. Absennya cerita seteru yang compelling itu terasa banget di sini. Bahkan penampilan live rock yang mengiri entrance Rhea enggak berhasil mengangkat sensasi pada match ini. Tadinya kupikir ini merupakan kekurangan bagi acara. Namun lantas muncul kemungkinan baru. Bagaimana jika ternyata memang didesain seperti itu oleh WWE. Bagaimana jika WWE sengaja mengurangi intensitas match-match single yang actually bikin penonton penasaran tersebut. Tujuan apa? Supaya main event acara ini benar-benar sukses terasa gede. Bagaimana jika WWE memang sengaja menyimpan seluruh energi kita untuk pertandingan terakhir tersebut.

Ini tentu saja bukan perkiraan liar. Bertahun-tahun nonton WWE memang sudah terbukti, bahwa bukan rahasia umum lagi mereka seringkali mendesain urutan pertandingan untuk goal mempush up pertandingan utama. Menempatkan pertandingan cewek di antara dua pertandingan kejuaraan dunia, misalnya. Untuk kasus WrestleMania 37 ini, yang main eventnya sudah ‘tercemar’ oleh rewrite, yang udah berubah menjadi Triple Threat alih-alih Single Match (pertandingan satu-lawan-satu dipercaya sebagai lebih bergengsi), yang acaranya sendiri sudah dibagi dua dengan beberapa pertandingan filler ditempatkan di Malam Kesatu, jadi masuk akal kalo partai-partai yang berpotensi ‘steal the show’ harus dinerf oleh WWE sendiri. Seperti yang udah kusebut di atas, Roman Reigns dan Edge dan Daniel Bryan perlu untuk dipush-ulang, perlu untuk dikuatkan posisinya. This is the number one story right now. Sedangkan kita tahu, match tersebut mulai banyak dibecandain. Mulai banyak beredar meme soal Daniel Bryan memasukkan dirinya sendiri di dalam perkelahian apapun

wmEyPuUwYWEAEFy52
Kayak ini

 

Dan yang paling lucu ini:

wm168720053_1424098071281278_3347199088636487312_n

 

WWE ingin memastikan bahwa pertandingan tersebut tetap terasa berkelas. Dan mereka melakukan apapun yang mereka bisa. Dan mereka berhasil. Acara ini bergerak dengan tempo yang didesain oleh WWE. Main event pertandingan ini berhasil mengembalikan sensasi ‘big moment’ tersebut. Pertandingan tersebut berhasil mencuatkan cerita dramatis dari tiga superstar yang pulih dari sakit mereka, dan kini berebut spotlight. Tidak ada babyface cemen di sini. Tidak ada antagonis komikal di sini. Semua karakternya tampil dan berkembang dengan balance. Kita dengan gampang jadi peduli. Aksi-aksi mereka pun terdeliver dengan dahsyat. Baik Reigns, Edge, maupun Bryan semua bertanding seperti ini pertandingan terakhir mereka. Segitu emosionalnya pertandingan ini! Terdeliver dengan baik kepada kita karena kita sudah begitu siap, kita tidak lelah oleh berondongan keseruan. Dan kita meninggalkannya dengan semangat dan euforia gegap gempita. Ah, beginilah rasanya sebuah WrestleMania!!

 

 

 

Jadi, kalian bertanya bagaimana perbandingan Malam Satu dengan Malam Dua Wrestlemania 37? Well, jika kita melihat dari segi kualitas pertandingan satu persatu, Malam Kedua punya lebih banyak pertandingan seru nan berbobot. Tapi jika kita lihat secara overall sebagai sebuah acara hiburan, maka Malam Kesatu-lah yang membawa pulang piala. Sepertinya insiden badai dan segala ‘kekacauan’ yang menyertainya telah menjadi hal menguntungkan bagi Malam Kesatu. Karena jadi seperti mencuatkan dirinya sebagai sesuatu yang khusus. Apalagi karena itu adalah benar-benar pertama kalinya penonton bisa nonton kembali di stadion. Malam Kedua sedikit kurang terasa spesial karena WWE ingin memastikan main event mereka – setelah dua malam dan beragam match seru – tetap terasa spesial dan penonton enggak capek, jadi WWE sengaja menurunkan intensitas di tengah. Namun bagaimana pun juga, Kejuaraaan Universal antara Roman Reigns melawan Daniel Bryan melawan Edge berhasil menjadi Match of the Night. Of the Nights, malah, kalo boleh digabungkan.

 

 

 

Full Result:

1. SINGLE Randy Orton def. The Fiend Bray Wyatt
2. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP Shayna Baszler dan Nia Jax berhasil bertahan dari Natalya dan Tamina 
3. SINGLE Kevin Owens ngalahin Sami Zayn
4. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Sheamus merebut sabuk Riddle
5. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP NIGERIAN DRUM FIGHT Apollo Crews jadi juara baru mengalahkan Big E
6. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Rhea Ripley menghentikan reigns Asuka
7. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Roman Reigns kembali keluar sebagai juara atas Edge dan Daniel Bryan

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

WrestleMania 37 -Night I Review

 

 

Mengutip jargon superstar paling ‘nyetrum’ dalam sejarah olahraga-hiburan:

Finally…, the crowds have come back, to, Wres-tle-Maniaaaaaa!!!

Tentu saja, penonton-langsung di arena sangat vital perannya dalam acara hiburan seperti WWE. Makanya, malam kesatu dari WrestleMania 37 ini jadi malam bersejarah. Malam ini menandakan satu tahun perjuangan WWE sebagai show orang-orang bergulat untuk tetap mengudara tanpa penonton di arena, dan bahwa perjuangan itu kini usai sudah. Penonton sudah diperbolehkan hadir, tentu saja dengan mematuhi protokol kesehatan. Dan untuk menyambut mereka semua, sudah barang tentu WWE harus menghadirkan sesuatu yang spesial. Kata sambutan dari Vince McMahon himself (dengan jejeran ‘cast’ dan pengurus berbaris bersamanya), dan sebagai pertandingan yang paling pertama haruslah pertandingan yang dahsyat. Sudah barang tentu, musik pertama yang penonton dengar itu haruslah musik milik seorang pejuang yang benar-benar didukung.

Drew McIntyre merupakan satu-satunya pegulat di locker room itu yang paling pantas mendapat kehormatan tersebut. McIntyre sudah membopong WWE di pundak kekarnya selama pandemi, selama sepi penonton. Performa McIntyre yang sepanjang tahun itu sebagai juara dunia telah memastikan penonton enggak pindah channel. Sehingga make sense sekali – dan sama sekali tidak merendahkan kasta Kejuaraan WWE itu sendiri – McIntyre membuka malam kemenangan WWE atas pembatasan penonton tersebut. Dan teori tersebut memang langsung terbukti mujarab. Penonton di arena langsung sorak sorai (melupakan delay badai yang sempat menghambat acara) saat entrance teatrikal Drew McIntyre. Pertandingan McIntyre melawan Bobby Lashley pun memang sudah dinanti-nanti. Dua powerhouse ini saling hajar, saling banting, saling menunjukkan dominasi – membuat alur pertandingan jadi semakin menarik. Ini adalah salah satu pertandingan pembuka terbaik yang kita lihat dalam dua tahun belakangan. Perfectly signaling that WWE is really back in business.

wmEyooiWEXAAcGRVr
 Bisakah kita melupakan dua special host yang awkward itu dan hanya menikmati set panggung yang menakjubkan?

 

Seperti tahun sebelumnya, WrestleMania kali ini juga diadakan dalam dua malam. Ini membuat WWE punya banyak ruang untuk diisi dengan penampilan lebih banyak superstar. Dan bisa lebih fokus dalam menyusun pertandingan-pertandingannya. Namun tentu saja itu juga mendatangkan pertanyaan-pertanyaan baru yang harus dengan segera ditetapkan oleh WWE sebelum berkembang menjadi masalah. Dua malam itu, apakah berarti acara WrestleMania ini dibagi dua. Like, ketika kita bikin film panjang banget, lalu filmnya kita bagi dua jadi part 1 dan part 2, ditayangkan di waktu berbeda, yang ketika dinilai oleh kritikus, maka penilaiannya akan menganggap dua bagian itu sebagai dua film yang berbeda. Apakah WrestleMania ini juga seperti demikian; apakah pertandingan terakhir di malam kesatu ini bukanlah Main Event yang sebenarnya. Apakah seharusnya aku ngereview satu kali saja nanti setelah malam kedua beres.

Tidak seperti sebelumnya, WWE kini sudah siap untuk memastikan. Kedua malam tersebut bukan part satu dan part dua. Officially, WWE menyebutnya sebagai “WrestleMania 37 Saturday” dan “Wrestlemania 37 Sunday”. Yang menandakan bahwa kedua partai terakhir pada masing-masing malam tersebut adalah benar sebagai Main Event. Dan ini adalah langkah yang adil banget, karena seingatku baru sekali ini dua pemenang Royal Rumble (pemenang cowok dan pemenang cewek) bener-bener dihadiahi posisi main event. Pada malam kesatu ini, yang jadi main event adalah perebutan gelar Smackdown Women’s Champion antara Sasha Banks melawan Bianca Belair. Match yang memang harus disolidifikasi sebagai main event, karena muatan statusnya sebagai pencetak sejarah. Sasha dan Bianca adalah untuk pertama kalinya dua superstar kulit-hitam yang berlaga sebagai main event, yang berlaga memperebutkan kejuaraan tertinggi (sesuai divisinya)! Sebuah feat yang harus dicatat ke dalam history… em, mungkin dalam kasus ini tepatnya ‘herstory’.

Dan match mereka benar-benar terdeliver sebagai pertandingan penutup yang begitu bergengsi. Sejak Bianca didraft ke Smackdown, pertemuannya dengan Sasha sudah jadi dream-match buatku. Aku bersorak ketika Bianca menang Royal Rumble, dan setelahnya, kuakui ketertarikanku terhadap pertandingan mereka ini semakin berkurang. WWE did not do great job dalam ngebuild up cerita seteru mereka. Actually, hampir semua pertandingan atau rivalry di acara WrestleMania 37 ini punya masalah serupa. Terbayang keren, tapi build upnya kurang dari ‘lumayan-memuaskan’. Mungkin WWE sengaja, mungkin WWE ingin nunjukin ke kita kelebihan superstar masa kini. Para superstar kekinian begitu unggul di aksi ring, mereka gak benar-benar butuh build up! Sasha dan Bianca ngedeliver match yang superseru, match yang benar-benar bercerita banyak hal. Mulai dari pembuktian ESTnya Bianca, hingga ke cerita tentang bagaimana Sasha bisa dijuluki sebagai The Boss. Sasha yang terus mengincar rambut Bianca, perfectly membangun rambut tersebut sebagai senjata pamungkas, adalah sentuhan yang manis dalam alur pertandingan ini.

wm159487363_20361268393
Pasti pedih-pedih pas mandi

 

Untuk urusan mini-build up seperti begitu, memang tim WWE jago sekali. Di sini kita juga melihat gimana perfectnya WWE ngetease hal-hal seperti UFOnya Cesaro ke Seth Rollins, pembalasan dendam Braun buat Shane si tukang bully, dan aksi gulat Omos, bahkan aksinya si seleb Bad Bunny. WWE benar-benar tahu apa yang ingin kita lihat, kemudian ngeshape itu perlahan-lahan. Narasi yang diangkat adalah bahwa Rollins benci banget dipermalukan sama jurus puter-puternya Cesaro, jadi gerakan tersebut hanya benar-benar dilakukan di saat yang tepat. WWE tahu kita semua gak mau lihat Braun melawan Shane, jadi mereka membentuk match tersebut sebagai pesan moral, yang dilakukan dengan cukup kreatif lewat pertandingan di dalam kandang. Sampai di detik akhir sebenarnya aku masih kesal kenapa harus New Day lagi yang nampil di WrestleMania, tapi kemudian aku sadar bahwa itu semua adalah soal Omos saat komentator mulai menyebut bahwa yang dilakukan Omos di sini adalah pencapaian debut terbesar dalam beberapa tahun terakhir. New Day suka ngereference Dragon Ball, well, di match ini, Kofi dan Xavier Woods persis kayak Gohan dan Krillin yang dihajar bolak-balik oleh Nappa. Dan Bad Bunny… man, WWE sepertinya benar-benar sudah mulai selektif terhadap seleb yang bakal mereka ‘kasih ijin’ bertanding. Meskipun dari luar tampangnya snob dan gak-meyakinkan, Bad Bunny benar-benar punya move loh! Pertandingan tag teamnya bersama Damian Priest melawan Miz dan Morrison (original Dirt Sheet!) termasuk yang paling menghibur malam ini. Priest gak banyak tampil – dia lebih kayak abang yang jagain adiknya – dan sebagian besar aksi dilakukan oleh Bad Bunny sendiri. Termasuk gerakan Bunny Destroyer yang bikin takjub semua orang di arena!!

WWE mungkin memang sudah berhasil menaklukan corona (terbukti dari banyak juga penonton di arena yang masker mereka ‘kelupaan’ dipasang), tapi bukan berarti sudah tidak ada masalah. Acara ini sebenarnya sempat terdelay oleh cuaca buruk. Sekitar tiga-puluh menit di awal, arena sempat dikosongkan menunggu hujan berpetir reda, dan WWE mengisi durasi dengan wawancara demi wawancara impromptu. Keprofesional kru diuji. Namun sepandai-pandainya Jeff Hardy meloncat, sesekali bakal keselimpet juga. Botch-botch teknis secara sporadis terjadi. Mandy Rose yang jatuh terjerembap saat berjalan di ramp yang tampaknya masih belum kering dipel, suara mic yang gak stabil, announcer yang salah sebut nama pemenang – mungkin karena lagi rusuh di belakang sana. Hal-hal seperti itulah. First-half show ini terasa agak messy, tapi bisa dimaklumi. Meskipun sebenarnya aku cukup penasaran, apakah delay 30 menit itu menyebabkan beberapa match harus dipotong durasinya? Apakah karenanya, para superstar harus memodifikasi match yang sudah mereka latih sebelumnya untuk menyesuaikan waktu kembali? Jika iya, tentunya ini menambah nilai bagi keprofesionalan mereka semua. 

wmBayley
Acara ini butuh lebih banyak Bayley

 

Yang mengganggu buatku sebenarnya lebih ke presentasi acara. Ada satu match yang terasa mengganjal. Seperti gak klop dengan konteks acara ini. Konteks berupa bahwa malam kesatu ini sama pentingnya dengan malam kedua nanti. Match itu adalah pertandingan tag team turmoil divisi cewek. Stipulasi pertandingan tersebut adalah pemenangnya akan menantang juara Tag Team Nia Jax dan Shayna Baszler pada malam kedua esok. Sehingga ada kesan ‘naik level’ di sini. Ada kesan antara acara ini memang bersambung ke malam berikutnya, atau kesan bahwa acara ini belumlah puncak. Dan ini mengganggu karena acara dengan main event sebersejarah Bianca lawan Sasha itu haruslah dianggap sebagai acara yang sama pentingnya – tidak ada tingkat. Pertandingan Tag Team Turmoil itu sendiri menarik, walaupun gak bagus. Menarik karena akhirannya seperti Natalya melakukan pilihan di luar script. Dia batal nge-Sharpshooter, dan ngetag Tamina. Menyuruh partnernya itu untuk mem-‘finish her’ lawannya. Natalya memberikan kemenangan pin kepada Tamina.

 

Malam Kesatu WrestleMania 37 ini adalah show yang hebat. Penonton yang hadir benar-benar adalah bagian dari show, karena sekarang nonton WWE jadi seru kembali. Berisi match-match menghibur, bahkan ada yang di luar dugaan. Matchnya seru, terangkat dari build-up dan cerita feud mereka yang biasa-biasa aja. Setidaknya ‘rasa spesial’ itu hadir di sini. Di awal, sempat terkendala teknis karena cuaca buruk. Tapi hal yang menjadi satu-satunya kritikanku di sini adalah persoalan match ‘bersambung’ yang bentrok dengan niatan untuk membuat malam ini sebagai pagelaran penting yang punya main event sendiri. Untuk pertandingannya sendiri, aku menobatkan Sasha Banks melawan Bianca Belair, The Boss vs. EST of WWE sebagai Match of the Night.

See you at Night II!

 

 

 

Full Result:

1. WWE CHAMPIONSHIP Bobby Lashley bertahan dari Drew McIntyre
2. NO.1 CONTENDER TAG TEAM TURMOIL Natalya dan Tamina mengalahkan The Riott Squad, Carmella dan Billie Kay, Naomi dan Lana
3. SINGLE Cesaro ngalahin Seth Rollins
4. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP AJ Styles dan Omos merebut sabuk dari The New Day
5. STEEL CAGE Braun Strowman ngasih pelajaran ke Shane McMahon
6. TAG TEAM Bad Bunny dan Damian Priest menang atas The Miz dan John Morrison
7. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP bianca Belair jadi juara baru ngalahin Sasha Banks

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

GODZILLA VS. KONG Review

“Fight to protect”

 

Dua gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah. Tidak, aku tidak sedang ngajakin belajar peribahasa. I’m just saying peribahasa tersebut memberikanku gambaran gimana rusuhnya kalo ada dua makhluk besar kayak gajah bertengkar. Pelanduk di hutan yang kebelutan berada di sana sampai-sampai jadi korbannya. Sekarang coba bayangkan kalo dua gajah yang berantem itu dituker sama dua raksasa. Godzilla, si Raja Monster, yang bisa menembakkan sinar atomic dari mulutnya. King Kong, gorila-kelewat-subur yang bisa mencabut pohon hingga ke akarnya, seenteng nyabutin uban. Dua monster raksasa itu berkelahi. Dan memang, manusia – kita-kitalah – yang jadi pelanduknya. Tapi itu tidak berarti kita mati di tengah-tengah. Karena nyatanya, film Godzilla vs. Kong garapan Adam Wingard ini membuktikan kita justru happy sehappy-happy-nya berada tepat di tengah-tengah pertempuran kolosal tersebut. Menonton rangkaian aksi fantastis dengan decak kagum. This is pure entertainment. Seganas-ganasnya. Seliar-liarnya.

Adam Wingard paham betul bahwa orang-orang rela menghabiskan waktu dengan mendekam pake masker di bioskop demi melihat Kong dan Godzilla baku hantam. Apparently, bukan orang Indonesia saja yang doyan nonton keributan haha… Yang jelas, Wingard mengerti yang diinginkan oleh penonton. Maka dia membuat Godzilla vs. Kong sebagai sajian yang gak muluk-muluk dalam hal plot atau cerita. Simpel aja. Beberapa ilmuwan ingin mencari sumber energi baru. Jadi mereka memutuskan untuk mencari ke dunia tempat asal muasal para Raksasa. Mereka butuh Kong, untuk katakanlah, jadi guide ke Hollow Earth tersebut. Perjalanan panjang itu harus mereka lakukan dengan ‘diam-diam’ karena Kong dan Godzilla sudah turun temurun jadi bebuyutan. Apalagi Godzilla si penjaga bumi dari  monster-monster raksasa asing, sudah mulai aktif ya Bun.. eh maksudnya, sudah mulai aktif berpatroli kembali. Ada sesuatu yang mengganggu si Godzilla. Menyebabkan monster reptil raksasa itu jadi beringas. Para ilmuwan tentu saja tidak mau keberadaan Kong sampai diketahui oleh Godzilla. Tentu saja yang namanya malang, tak dapat ditolak. Tapi ternyata Godzilla memburu ke tempat yang salah. Bukan Kong yang harusnya diberangus oleh Godzilla. Melainkan maut yang secara rahasia dikembangkan oleh perusahaan Apex di tengah-tengah kota!

“Marthaaaa!!”

 

Aksi berantem para monster raksasa memang terdeliver dengan super seru. Seperti pada Godzilla: King of the Monsters tahun 2019 yang lalu, kita akan dibuat puas oleh adegan-adegan perkelahian antarmonster. Keunikan dan hal spesial dari masing-masing mereka, dicuatkan dalam pengadeganan dan koreografi aksi. Wingard pun sering bermain dengan kamera. Menaruhnya seakan di lengan Kong, misalnya. Membuat kita merasakan pov berantem itu secara langsung. Sutradara King Kong vs. Godzilla original (1954) versi Jepang, Ishiro Honda, pernah bilang bahwa kejadian ada King Kong melawan Godzilla itu kan sebenarnya konyol banget, tugas filmmaker di sini adalah bagaimana memanggungkannya. Bagaimana mendesain kejadian dan situasi sehingga perkelahian dua makhluk reka ini menjadi epik. Dalam film original tersebut, Honda membuat pertempuran Kong dengan Godzilla itu sebagai satir dari perang rating industri pertelevisian Jepang pada saat film itu dibuat. Dalam Godzilla vs. Kong terbaru ini, sutradara Wingard tidak mensatirkan macam-macam. It’s just a plain monster melawan monster, namun ternyata manusia adalah monster sebenarnya, dan kemudian balik lagi menjadi monster melawan monster. Kesimpelan itu dibikin impas oleh Wingard lewat visual yang luar biasa. Panggung yang dibicarakan oleh Honda, well, Wingard di film ini menciptakan bukan hanya satu, melainkan tiga panggung yang superinteraktif dalam perkelahian Kong dengan Godzilla. Pertempuran di tengah laut. Di dalam laut – dengan serpihan kapal dan pesawat bagai bintang-bintang di sekitar mereka. Pertempuran malam hari bermandikan lampu neon gedung-gedung di kota Hong Kong. Shot-shotnya keren semua. Pertempuran di kota normal, well, let’s make that a handicap – the more the merrier!! Wingard gak abis akal untuk mengisi separo dari durasi film ini dengan gempuran aksi. Semuanya benar-benar memanjakan imajinasi anak kecil yang tertidur di dalam diri kita. 

Actual improvement  yang dilakukan oleh Wingard terletak pada pengkarakteran. Dua film awal Monsterverse, Kong: Skull Island dan Godzilla: King of the Monsters punya dosa yang sama; yakni karakter manusianya gak ada development dan, terutama sangat boring. Nah, boring itu bukan sebuah masalah pada film ini. Wingard membumbui karakter-karakter yang ia punya, secukupnya. Kita akan lihat ada karakter seorang podcaster yang paranoid, dia percaya beberapa konspirasi. Karakter ini juga berfungsi sebagai comedic relief berkat reaksi-reaksinya. Millie Bobby Brown kembali melakoni perannya sebagai Madison Russell. Madison dalam cerita ini diberikan sidekick – yang diperankan dengan kocak oleh Jullian Denison, mereka eventually bakal team up dengan si podcaster. Petualangan kecil-kecilan mereka mengungkapkan rahasia perusahaan Apex sebenarnya cukup menghibur, hanya saja tidak banyak diberikan waktu. Porsi mereka harus mengalah kepada porsi tim ilmuwan yang melakukan perjalanan bersama Kong. Dalam tim tersebut karakter menariknya adalah seorang anak kecil perempuan bernama Jia (diperankan dengan adorable oleh aktor cilik tunarungu Kaylee Hottle) Anak ini punya hubungan khusus dengan Kong. Bayangkan film horor yang biasanya ada karakter anak kecil yang bisa berkomunikasi dengan hantu. Nah, Jia ini mirip seperti itu. Dia secretly bisa berkomunikasi dengan Kong pake bahasa isyarat. Malahan, hanya omongan Jia-lah yang mau didengar oleh Kong. Dinamika Jia dengan Kong memberikan hati kepada film ini. Cerita mereka cukup diflesh-out, kita diberitahu latar kenapa Jia bisa dekat dengan Kong, sehingga kita jadi peduli sama persahabatan keduanya.

Baik Godzilla maupun Kong, mereka sebenarnya berkelahi untuk melindungi. Untuk menjaga teritori. Untuk menjaga orang atau sesuatu yang dipedulikan. Dalam cerita ini, dan dalam kebanyakan hal, justru manusialah yang predator. Berkelahi untuk menguasai. Bertempur, dan menciptakan alat serta teknologi, untuk mendapatkan yang dimau.

 

Dan uniknya, bahkan karakter monster pun diberikan ‘warna’ lebih banyak oleh sutradara. Misalnya, si Kong. Actually malah kalo dipikir-pikir, Kong-lah yang jadi tokoh utama. Peran Kong di sini benar-benar integral ke dalam cerita. Dia punya arc, tidak lagi sekadar muncul sesekali untuk adegan aksi. Kita merasakan motivasi Kong untuk melindungi. Kong juga diberikan momen personal ketika dia kembali ke kampung halamannya (di situ kita juga disiratkan sedikit mengenai latar karakter Kong). Film melakukan langkah ekstra untuk meniupkan kepribadian ke dalam Kong. Salah satunya adalah dengan menggunakan lagu latar untuk beberapa adegan yang menunjukkan kegiatan ataupun apa yang dirasakan oleh Kong. Seperti pada adegan opening yang mengeset ada hubungan khusus antara Kong dengan si Jia, kita mendengar lagu tentang seseorang dengan gadis cilik. Karena tone keseluruhan dijaga untuk tetap ringan, maka pilihan lagu yang digunakan oleh film ini untuk Kong tersebut kadang-kadang bisa terdengar cheesy. Tapi sepertinya tidak akan mengganggu banget, karena kapan lagi kita melihat Kong diberikan karakter yang cukup banyak untuk bisa diperbincangkan. Sebaliknya, si Godzilla di film ini kurang banyak tampil. Godzilla di sini digambarkan agresif, sebagian besar waktu terlihat seperti dia-lah antagonisnya. Sehingga beberapa fansnya mungkin bakal kecewa, dan bisa jadi keberatan karena Godzilla sedikit keluar dari karakternya sebelum film ini. I know, karena walaupun aku bukan penggemar berat Godzilla, tapi melihat dia di-close up tersenyum jahat ala Bezita tetep saja terlihat aneh.

“King Kong phone home”

 

Memang harus diakui, film seperti ini akan selalu kebentur masalah dalam penyeimbangan antara aksi dengan karakterisasi. Dan eksposisi. Penonton boleh saja pengen melihat aksi seru, tapi yang sebenarnya akan diingat dan dinikmati oleh penonton tentu adalah ceritanya. Journey karakternya. Wingard berkutat dan akhirnya memilih formula yang sama. Nyaris 50 persen aksi, dan sebagiannya lagi adalah gabungan dari eksposisi dan karakter. Eksposisi tidak bisa dihilangkan karena bagaimana pun juga penjelasan terhadap apa yang terjadi, teknologi, mitos, serta konsep Hollow Earth itu sendiri perlu untuk diinformasikan.Wingard yang mau membuat film ini ringan dan total menghibur, tak punya pilihan lain selain mengorbankan development karakter. Sehingga Godzilla vs. Kong heboh di luar, tapi dalamnya tetap masih hampa. Aku tak mengerti kenapa formula ini terus dipakai. Kenapa memilih setting cerita yang butuh eksposisi, kenapa mereka tidak membuat pure dari sudut pandang monster raksasanya, misalnya. Di balik keseruan bag-big-bug, kita tidak terlalu perhatian lagi sama cerita. Malah mungkin, ada penonton yang gak peduli (dan gak ingat) ceritanya apaan. Kalo ada yang bilang film ini adalah “mindless destruction” maka itu benar. Dalam artian mindless yang betul-betul tidak mikirin apa-apa. Para Titan bertarung di kota, di antara gedung-gedung, yang hancur gitu aja seolah tempat itu kosong.

Ritme kejadiannya juga bisa lebih diperhatikan lagi. Karena film ini tuh kayak berjalan dengan aneh. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk memperlihatkan mengangkut Kong ke Hollow Earth, ketimbang petualangan di Hollow Earth itu sendiri. Menurutku durasinya terlalu singkat. Mungkin karena budget juga, maka Hollow Earth kurang dieksplor. Adegan Kong berantem ama Godzilla di sana aja gak ada. Padahal bisa seru kalo mereka berlaga di tengah medan yang gravitasinya berbeda. Film ini paling datar, ya memang di Hollow Earth itu. Aku bahkan gak ingat kalo Kong itu raksasa tinggi besar karena selama di sana sedikit sekali shot yang nampilin skala. Sedikit sekali yang menunjukkan betapa menakjubkannya ukuran dunia tersebut. Petualangan tim Millie Bobby Brown juga deserves more time. Dan kupikir lucu sekali, karakter Madison dan Jia sama sekali tidak pernah bertemu. Mereka tidak berkesempatan bertualang bersama. Tidak ada interaksi. Padahal bisa saja seru, soalnya Madison bisa dibilang kubu Godzilla sedangkan Jia sekutu dari Kong. Film seharusnya bisa menampilkan lebih banyak hal, sementara tetap ringan dan menghibur.

 

 

Kita ingin melihat dua monster raksasa yang ikonik berantem, dan persisnya itulah yang diberikan film ini kepada kita. Semua pertarungan diceritakan dengan memanjakan kehausan kita terhadap keributan skala epik. Dan yang membuatku tercengang adalah, film ini benar-benar ngasih kita pemenang pada duel maut ini! Karakter-karakter di dalam cerita dibuat tidak membosankan, mereka diberikan trait-trait yang unik. Pokoknya film ini seru dan menghibur. Dan di situlah film ini memberi garis batas. Karena dia gak pernah keluar dari garis tersebut. Tidak banyak development pada karakter-karakter menarik tadi. Alur ceritanya pun relatif simpel. Ini bisa jadi kelemahan atau sebaliknya jadi nilai lebih, tergantung darimana penonton menilai ‘hiburan’ bagi mereka sendiri. Bagiku, film ini oke, tapi memang mestinya bisa lebih seru lagi. Ritme dan petualangan, serta pertarungannya mestinya bisa lebih diperhatikan lagi. Karena ada beberapa bagian yang terasa seperti film ini melewatkan kesempatan besar.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GODZILLA VS. KONG

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Perusahaan jahat di film ini bernama Apex, yang diambil dari istilah ‘apex predator’. Mengisyaratkan bahwa manusia adalah predator puncak dari rantai makanan. Apakah menurut kalian predator memang lebih baik daripada makhluk lain di bawahnya? 

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Fastlane 2021 Review


 
Dengan Fastlane berada di antara WrestleMania dan Elimination Chamber, kali ini ‘Road to WrestleMania’ terasa jadi panjang banget. Aku gak ingat perjalanan menuju puncak itu bisa jadi seboring ini sebelumnya. I mean, sebenarnya sudah sejak 2016 WWE mengubah jadwal mereka dari yang tadinya hanya ada dua event (Royal Rumble dan No Way Out/Elimination Chamber) dalam kurun dua bulan menjelang WrestleMania, menjadi tiga event. Fastlane atau occasionally Roadblock atau satu pay-per-view ditambahkan sebagai filler/teaser WrestleMania. Dan selama itu, buatku, ya fine-fine aja. Biasanya pada Fastlane, cerita pertandingan-pertandingan yang diusung untuk WrestleMania sudah fixed. Tahun lalu bahkan Fastlane ditiadakan, dan diganti dengan ppv hura-hura di Arab Saudi. Jadi, meskipun kita tahu pertandingan di acara ini tidak penting, tapi setidaknya kita sudah hype ke WrestleMania. Tahun ini tidak terasa seperti demikian.

Fastlane selalu akan jadi ‘filler show’, tapi Fastlane tahun ini bahkan terasa lebih parah karena walking into it, WWE jelas sekali masih belum punya visi untuk WrestleMania.

 
Cerita yang ada dalam acara ini, berbagai rivalry yang bakal mengisi partai-partai di WrestleMania, masih seperti ngacak. Antara kemenangan Edge di Royal Rumble, ke memilih Roman Reigns yang sedang hot-hotnya sebagai pemimpin Smackdown, ke ‘kemunculan’ super-dramatis Daniel Bryan ke skena kejuaraan di Elimination Chamber; jalan cerita ini terasa memiliki cabang, yang tidak diniatkan melainkan cabang yang muncul karena WWE bersikap ‘lihat perkembangannya entar’. Kejuaraan Tag Team (baik divisi cowok maupun cewek) sama-sama tak-kelihatan hilalnya; dengan juara Tag Team cewek malah keseret dalam seteru Kejuaraan yang lain – praktisnya membuat mereka tak punya kandidat alias bangunan seteru yang solid untuk WrestleMania. Pada Fastlane kali ini, kita malah melihat beberapa feud baru nongol. Inilah yang menyebabkan jalan itu rasanya panjang sekali. WrestleMania hanya berjarak tiga minggu dari Fastlane, dan dengan melihat beberapa feud baru tampak mulai menuju fix pada Fastlane ini, maka kemungkinan besar pertandingan di WrestleMania akan terasa kurang hype karena praktisnya hanya ada tiga minggu untuk dibangun.

Seth Rollins pake term vision seperti menunjukkan bahwa Vince baru beres nonton serial Marvel

 
Aku sebenarnya udah hype banget sama Sasha Banks melawan Bianca Belair di WrestleMania nanti. Mereka punya ‘brand’ yang sama-sama menarik untuk diadu, untuk dijual. Yang satu The Boss, satunya lagi EST. Jangan dulu soal gimana nanti pertandingannya, ngebayangin seteru mereka aja udah bikin menggelinjang. Tapi ternyata WWE sama sekali tidak menemukan cerita yang cocok untuk kedua pegulat perempuan masa-depan ini. WWE malah ngebuild mereka ke dalam trope cerita penantang-yang-jadi-teman. Trope yang udah usang karena udah berkali-kali dilakukan. Dua superstar yang harusnya jadi rival, malah jadi satu tim dan mereka berusaha merebut sabuk tag team, hanya untuk menemukan bahwa mereka enggak cocok satu sama lain dan baru akhirnya berantem. Betul-betul sebuah kesempatan yang mubazir. Banks dan Belair harusnya punya dua bulan untuk saling mengungguli, saling ‘ribut’ mengembangkan karakter masing-masing, tapi alih-alih itu, mereka dibuat jadi sok-sok berteman dan mengejar sabuk dari juara yang juga enggak punya cerita apa-apa.
Makanya match tag team mereka di sini hambar sekali. Kita tidak sekalipun percaya mereka bakal menang. Kita tahu mereka bakal berantem. Dan seperti AEW dengan ledakan yang kecil dan malu-maluin, momen Belair dan Banks berantem di match ini pun terasa kecil dan malu-maluin. Dilakukan dengan basic, dan juga kikuk banget. Sasha Banks selalu bagus meranin karakter jahat, namun bahkan di sini pun dia tampak tak-meyakinkan. Shayna dan Nia Jax, the actual tag team champions, juga dirugikan oleh match ngadi-ngadi kayak gini, karena mereka seharusnya pun punya waktu dua bulan untuk membangun seteru dengan penantang yang lebih kredibel. Juara Tag Team kita sayangnya hanya jadi bidak dalam build-up konyol kejuaraan cewek yang harusnya bisa unik dan benar-benar gede.
Di Fastlane yang udah semepet ini dengan WrestleMania, WWE baru mulai memperkenalkan kita dengan feud-feud beraneka rupa. Ranging from Apollo Crews yang berganti karakter – yang ternyata menarik dan bikin penasaran banyak orang, hingga ke feud yang tak seorang pun minta, yakni antara Shane McMahon dengan Braun Strowman. Kalo menurutku pribadi sih, orang yang ngepitch Shane lawan Braun itu kudunya dipecat, tapi kalo ternyata ini idenya Vince sendiri ya apa boleh buat. Yang jelas, Shane dan Braun punya build yang begitu bego – melibatkan seember penuh cairan ijo (emangnya ini Nickelodeon!), sehingga fans mulai gusar di sosial media, dan WWE menghadiahi kita yang telah menyuarakan opini dengan mengubah match mereka di Fastlane ini menjadi Braun melawan Elias. Ini udah kayak kata bijak dari Minang. “Batuka baruang jo cigak”. It was a really troll move dari WWE. Satu-satunya hal yang bikin mata kita melek cuma Elbow Drop dari Elias, sisa matchnya datar, dan Shane dan Braun kemungkinan besar tetap akan jadi bertanding – di WrestleMania!
Kadang-kadang memang WWE seaneh itu. Kadang-kadang aku punya perasaan kalo Vince itu gak suka lihat kita senang, sebelum dia nyuruh kita untuk senang. Buktinya, fans udah tertarik ama rivalry antara Apollo Crews dengan Big E, tapi WWE memutuskan untuk meneruskan build up rivalry tersebut dengan cara yang… awkward mungkin kata yang tepat. Aku gak percaya akhiran match tersebut adalah botch. Jadi, Apollo ngeroll up Big E, dihitungan kedua Big E mengcounter sehingga kini dia yang ngepin Apollo, dan menang. Namun yang kelihatan di kita adalah mereka guling-gulingan dan wasit menghitung sampai lima. Sekali lagi, troll move dari WWE yang memutuskan untuk mengakhiri pertandingan Fastlane kedua superstar yang sudah saling membenci ini dengan sesepele itu. Padahal feud mereka yang menarik itu perlu untuk berakhir dengan big ending (no Big E pun intended). And also, intro musik Apollo Crews yang dia neriakin namanya itu cringe banget, mestinya ganti aja sama apa kek, nigerian war cry juga bisa.
Vince juga kayaknya baru beres nonton Black Panther.

 
Padahal kalo mereka mau, mereka bisa kok ngasih yang beneran seru dan menarik. Sheamus lawan Drew McIntyre, misalnya. Walaupun udah tiga kali nyaris berturut-turut kedua superstar itu ditandingkan, tapi WWE masih bisa nemuin narasi yang sesuai dan tetap menjaga hype pertandingannya. Eksekusinya pun beneran deliver. Match No-DQ kedua superstar-satu-kampung itu jadi total intens. Banyak spot-spot brutal yang bikin kita terhibur. Endingnya pun pas dan menutup, enggak kayak dipanjang-panjangin. Match ini fungsinya adalah untuk mengembalikan kembali (sekaligus juga reinvent) Drew McIntyre sebagai penantang kejuaraan untuk WrestleMania. Yang sedikit gak klop buatku adalah, seharusnya mereka juga ngebuild sang juara baru, yakni Bobby Lashley. Aku pikir Lashley bakalan muncul di sini, sekadar ngasih ‘message’ atau apa, tapi tidak.
Match yang benar-benar pas sesuai perkiraan, dan bekerja dengan efektif memenuhi fungsinya justru adalah match yang bukan exactly a match. Alexa Bliss melawan Randy Orton, pertandingan langka cowok melawan cewek, yang semua orang tahu akan berlangsung dalam gimmick teatrikal. Alias dengan gimmick editing kamera dan efek visual. WWE toh berhasil membuat ini tidak konyol dan menarik untuk disaksikan, meskipun kalo kata temenku “keliatan jelas bo’ongnya”. WWE kali ini membawa gimmick teatrikal tersebut lebih dekat ke atas ring. Kita akan melihat bola api terbang dan set lampu yang jatuh nyaris niban Orton, yang editannya cukup seamless. ‘Match’ berakhir dengan seperti yang sudah diduga oleh fans, yakni dengan kemunculan The Fiend. Serunya, WWE berhasil ngasih dua kejutan kecil. Pertama berupa penampilan baru dari The Fiend.
Dan kedua, cara Alexa Bliss ngepin Orton lol.

 
 
Pilihanku sebagai MATCH OF THE NIGHT jatuh kepada main event Universal Championship antara Roman Reigns melawan Daniel Bryan. Secara kualitas, match ini seru dan benar-benar bekerja dalam lingkup sebuah narasi. Bryan ingin mengalahkan Reigns, secara spesifik dengan membuatnya tap out. Maka sepanjang match, kedua superstar ini berusaha menunjukkan narasi tersebut. Bryan berusaha menjegal Reigns, berusaha menguncinya. Sedangkan Reigns berusaha mengoverpower Bryan. Simpel, tapi efektif. Bikin match jadi seru karena ada dinamika yang berjalan. Menjelang akhir, match ini memang jadi agak chaos ala-ala match di Attitude Era (meriah oleh interference dan kebegoan wasit), tapi narasi tadi tetap konsisten dilakukan. Kita akan melihat Reigns beneran tap out atau tidak; itulah yang diangkat terus oleh match ini. Nilai minusku untuk match ini cuma di-build up dan kehadiran Edge sebagai enforcer, yang menurutku kurang beralasan. Karena lucu aja kenapa Edge begitu peduli siapa yang bakal menang, padahal dia sendiri toh sudah pasti bertanding di WrestleMania. Tindakan Edge di sini seperti build up ke arah dia menjadi heel/antagonis, tapi bukankah masih ada cara lain untuk membuat dia menjadi jahat?
 
 
WWE Fastlane 2021 adalah show filler yang kalo gak ditonton pun sebenarnya gak rugi, kita tidak akan melewatkan banyak. Hanya ada satu match yang beneran penting yakni Reigns vs. Bryan, dengan campur tangan Edge. Dan satu match lagi yang fungsinya untuk pure-hiburan aja, yakni Alexa Bliss vs. Randy Orton. Selebihnya, bland, dengan beberapa aksi ring yang cukup seru. Berikut full resultnya:
1. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP Shayna Baszler dan Nia Jax bertahan lagi dari Sasha Banks dan Bianca Belair
2. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP Big E tetap juara ngalahin Apollo Crews
3. SINGLE Braun Strowman menghajar Elias
4. SINGLE Seth Rollins defeated Shinsuke Nakamura
5. NO HOLDS BARRED Drew McIntyre bikin Sheamus babak belur
6. NO-DQ(?) Alexa Bliss dibantu The Fiend mengalahkan Randy Orton
5. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Daniel Bryan gagal merebut sabuk dari Roman Reigns

 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ZACK SNYDER’S JUSTICE LEAGUE Review

“Acceptance is the first step to unity”
 

 
Dalam Justice League diceritakan para pahlawan super bersatu untuk menghidupkan kembali Superman. Siapa sangka keadaan di dunia nyata seputar film Justice League itu sendiri ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang diceritakan. Visi sutradara Zack Snyder-lah pahlawan yang gugur itu. Para penggemar DC bersatu, mengampanyekan supaya visi tersebut hidup kembali. Meminta supaya film Justice League yang sebenarnya; yang tidak dicampuri oleh Studio – dan tidak diwarna-warni oleh Joss Whedon, film yang seutuhnya dari kreasi Zack Snyder bisa dibuat dan ditayangkan. Sekarang, empat tahun setelah film Justice League (2017) tayang di bioskop, perjuangan tersebut akhirnya membuahkan hasil. Zack Snyder’s Justice League yang berdurasi empat-jam lebih akhirnya mendarat dengan dramatis di internet!
Ini adalah fenomena yang menarik. Karena kita semua tahu, term ‘Director’s Cut’ sendiri sebenarnya sudah mulai mengalami peyorasi berkat iklim industri film. Director’s Cut pertama kali dipopulerkan oleh Ridley Scott, yang mengeluarkan Blade Runner (1982) versi orisinil kreasinya. Misi mulia merestorasi visi seniman itu tentu saja langsung disambut oleh industri sebagai langkah untuk menjual-ulang kepada penonton film yang udah pernah mereka tonton. Director’s Cut lantas menjadi gimmick sales semata. Director’s Cut The Warriors ternyata hanya berisi tambahan satu menit ekstra, plus transisi dengan gaya visual ala komik. The Exorcist hanya memasukkan kembali adegan-adegan yang udah dicut, plus perbaikan visual efek, namun menjual-ulangnya sebagai versi never-before-seen di tahun 2000. Jangan tanya soal contoh di Indonesia. Aku belum punya rasa percaya yang cukup besar terhadap industri film di sini sehingga mau menonton versi director’s cut dari film-film Indonesia. I mean, film yang disebut sekuel aja, di perfilman kita yang konon udah maju ini, ternyata tak lebih dari potongan shot dan cut film sebelumnya yang digodok jadi satu (tunjuk idung Milea: Suara dari Dilan). Langka sekali ada Director’s Cut yang benar-benar terbukti memberikan pengalaman baru dan menambah banyak bagi film itu sendiri. Maka, melihat begitu hangatnya respon, dan mengingat actually memang cut ini sangat diinginkan oleh penonton, Snyder Cut Justice League kali ini boleh jadi merupakan titik balik yang mengembalikan Director’s Cut kepada tujuan mulianya semula.

Film revisi sebagai pemuas hati

 
 
Cerita film ini secara keseluruhan masih sama dengan versi Whedon 2017 yang lalu. Superman telah meninggal. Pasukan demon yang dipimpin Steppenwolf jadi berani datang ke Bumi, mencari tiga Mother Box yang kalo digabungkan bisa membuat Bumi jadi di bawah kendali Steppenwolf. Maka Batman berusaha mengumpulkan para manusia berkekuatan super; Wonder Woman, Aquaman, The Flash, dan Cyborg untuk bekerja sama membela Bumi. Tapi mereka tetep kalah tenaga. Jadi mereka bermaksud untuk menghidupkan kembali Superman. Aku gak akan bahas banyak dari segi cerita. Yang ingin kufokuskan di review Justice League kali ini adalah soal perbedaan-perbedaan signifikan di antara versi Snyder dengan versi Whedon. Dan yang kumaksud dengan ‘signifikan’ adalah bagaimana perbedaan tersebut berpengaruh; membuat film versi Snyder ini lebih baik (atau bahkan bisa jadi lebih buruk) ketimbang versi Whedon.
Aku mau pointed out dulu bahwa ternyata yang kukira di review Justice League 2017 itu salah. Kukira elemen kematian Superman dan konflik moral para superhero terkait menghidupkannya kembali itu adalah kreasi dari Snyder. Setelah nonton film yang empat jam ini, aku baru tahu kalo elemen tersebut justru adalah kreasi Whedon. Justice League 2017 menempatkan soal moral dan etik menghidupkan Superman sebagai tindak terakhir itu sebagai gagasan utama cerita. Persatuan yang dibicarakan oleh film tersebut adalah persatuan yang bersumber dari harapan yang dipicu oleh tekanan ketakutan. Superhero Justice League di sana menunjukkan kekuatan dari harapan, sementara lawan mereka kalah karena menggunakan ketakutan untuk mengendalikan persatuan. Harus kuakui, bahasan Whedon tersebut menarik. Sayangnya, si sutradara itu sendiri tidak punya pijakan dan posisi yang kuat. Gagasan itu timbul bukan karena dia purely ingin bercerita soal itu, melainkan dari pemikiran bahwa dia harus menyatukan materi cerita superhero yang padat ke dalam durasi yang berbatas. Aku tetap mengapreasiasi Whedon yang berhasil pulled off this theme, dia berusaha menyatukan banyak elemen ke dalam narasi sekonsisten mungkin, walaupun penceritaannya sendiri sloppy, terburu-buru, dan enggak ‘do justice’ terhadap karakter-karakter superhero yang terkandung di dalamnya.
Sementara Snyder, ternyata memang tidak berniat menceritakan soal moral sebuah resurrection. Snyder tetap berkutat pada soal yang lebih fundamental. Yakni soal keluarga. Justice League yang kita tonton selama empat jam ini adalah tentang karakter yang terpisah dari keluarga, dan kemudian menemukan tempat di kelompok, tapi sebelum itu mereka harus berjuang untuk acceptance, baik itu dari kelompoknya maupun acceptance dari diri mereka sendiri. Dengan durasi yang dua kali lebih panjang, Snyder punya ruang yang lebih banyak untuk mengeksplorasi setiap karakter, dan dia memainkan masing-masing mereka dengan konsisten pada tema tersebut. Batman yang yatim piatu, dialah yang jadi pencetus persatuan para superhero, dan di akhir cerita dia dapat nice closure berupa mendapat pujian tindakannya akan membuat orangtuanya bangga. The Flash kali ini mendapat backstory yang lebih solid perihal hubungannya dengan ayah yang berada di dalam penjara. Wonder Woman mendapat penggalian soal keluarga karena actually keluarga Amazonnya yang bersentuhan langsung dengan bahaya sebagai salah satu klan penjaga Mother Box.
“Cyborg mestinya dikasih kerjaan lebih banyak selain baca petunjuk dan menyatu dengan teknologi. Steppenwolf mestinya bisa dibuat lebih meyakinkan. Mestinya film bisa memberikan kedalaman yang lebih pada hubungan antartokoh, memberikan stake yang lebih mengena, memberikan ketakutan dan bahaya yang lebih kuat.” Itulah tiga kalimat terakhir yang aku tulis pada review Justice League 2017. Dan apparently, Snyder setuju bahwa tiga itulah aspek yang paling butuh untuk dikembalikan dan diperbaikin dalam film kali ini. Cyborg yang awkward dan tampak paling sepele itu kini jadi hati bagi film ini. Dia yang arc superhero-nya paling ngelingker di antara semua. Dia berkembang dari yang tadinya cowok setengah-robot angsty yang boring menjadi pahlawan super yang benar-benar menguar oleh konflik keluarga dan acceptance. Kalau tidak dipersembahkan sebagai sebuah ensemble story, maka Cyborg inilah yang paling pantas jadi tokoh utama. Aku bukannya mau memantik api ataupun bukannya mau memancing di air butek, tapi, menurutku Cyborg di sini sukses menjadi karakter yang lebih menarik daripada Iron Man di cerita akhir hayatnya. Steppenwolf di sini pun dibuat lebih besar. Bukan hanya dari desainnya, melainkan juga dari karakter. Di Snyder Cut ini, motivasi Steppenwolf lebih dieksplor. Di balik perburuan Mother Box, antagonis ini sedang dalam journey ngeredeem dirinya sendiri di mata Darkseid. Journey-nya tersebut dikontraskan dengan geng superhero Justice League; Steppenwolf juga mencari acceptance tapi sayangnya keluarga yang ia pilih tidak seperti ‘keluarga’ protagonis kita.

Bersatu berarti kita harus menerima kekurangan masing-masing. Dan untuk dapat saling menerima itu, kita tidak mesti berangkat dari satu keluarga. Banyak cerita yang mengobarkan semangat persatuan, memperlihatkan kubu yang berbeda mengesampingkan perbedaan untuk menjadi keluarga. Tapi Justice League dan Cyborg menunjukkan semua itu dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu.

 
Dengan karakter yang lebih ter-flesh out, maka final battle pun otomatis menjadi lebih seru. Kalian tentu masih ingat satu keluarga rusia yang diselamatkan oleh The Flash di Justice League Whedon? Tidak ingat? Bagus, karena itulah the worst part dari film tersebut. Keluarga rusia random itu adalah tambahan supaya final battle dramatis. Snyder tidak perlu dan sama sekali tidak pernah meniatkan mereka ada. Final battle Snyder berisi aksi brutal (earning them that R-rating) dan konflik cerita yang menutup arc para tokoh. Singkat kata, final battle Snyder lebih garang dan lebih padat. It is the best part of this movie. Semua karakter dapat kesempatan bersinar; unjuk kekuatan dan unjuk drama personal. Semuanya memenuhi fungsi.
Perbedaan-perbedaan lain yang dilakukan oleh film ini tidak termasuk ke dalam kategori ‘signifikan’ tapi bukan berarti tidak penting. Setidaknya bagi para penggemar, dan bagi penonton yang benar-benar menunggu kelanjutan film ini, hal yang dilakukan oleh Zack Snyder di sini akan bisa bikin ‘terwoah-woah!’ Snyder caters to the fans. Dia membuat Superman yang baru saja dihidupkan itu berkostum hitam, sama dengan di komik. Dia memasukkan karakter baru seperti Darkseid, dan juga Martian Manhunter. Keduanya tentu saja berperan penting dalam Justice League saga. Kemunculan pertama keduanya dalam medium film-panjang live-action ini tentulah surprise yang menyenangkan. Tak sampai di sana, Snyder juga memanfaatkan sisa durasi untuk menampilkan lebih banyak lagi fans-service berupa penampilan singkat-tapi-berkesan dari karakter favorit semacam Deathstroke ataupun Joker.

Parademon. Parade demon. Get it?

 
Selesai nonton, kita semua kompak kalo harusnya film ini aja yang ditayangkan di bioskop kemaren. Durasi empat jam film ini toh tidak terasa. Kalopun terasa, filmnya bisa dibagi menjadi dua. Tapi benarkah sesimpel itu? ‘Kasus’ dua Justice League ini tentu saja tidak sesimpel soal durasi. Melainkan soal bagaimana memanfaatkan durasi tersebut. Snyder Cut punya ruang yang lebih gede untuk eksplorasi dan development ketimbang versi Whedon. Pertanyaannya adalah apakah dia benar-benar memanfaatkannya dengan efektif? Versi Whedon serba terburu-buru, kurang development, cringe oleh dialog dan adegan yang abrupt, karena dia berusaha meringkas materi ke dalam dua jam. Belum lagi tuntutan untuk tampil ringan/menghibur. Usaha Whedon jelas bukan terbaik, tapi sesungguhnya begitu juga dengan Snyder di film ini. Tentu, ceritanya jauh lebih berbobot, tapi terasa tidak benar-benar perlu untuk menjadi empat jam. Snyder Cut ini mestinya bisa lebih dipadetin lagi. Struktur narasinya bisa lebih padu lagi. Fans service dan adegan extend di beberapa puluh menit setelah konflik film beres itu sebenarnya tidak perlu karena practically berfungsi sebagai adegan teaser untuk next film yang panjang sekali.
Film ini menggunakan chapter-chapter yang terasa seperti episode-episode. Setiap kali pindah chapter, atau malah setiap kali pindah fokus dari bahasan karakter satu ke karakter lain, film ini terasa terputus. Narasinya bersambung tidak mulus, tidak lebih baik dari yang alur penceritaan yang dilakukan oleh Whedon. Aku mengharap sesuatu yang lebih baik, tapi Snyder ternyata juga mempersembahkan urutan kejadian terlompat-lompat, seperti dari teroris pemboman ke penyerangan Amazon ke The Flash menyelamatkan cewek dari kecelakaan lalu lintas. Aku mengharapkan narasi yang lebih kohesif dari ini. Tapi Snyder memang lebih fokus ke nampilin aksi sebagai bentuk bercerita. Dan bicara tentang aksi, setiap chapter punya aksi-aksi seru. Yang kita dapatkan di Whedon, hanya sepersekian dari aksi sebenarnya di film ini. Tapi sekali lagi; episodik. Semuanya punya tempo dan treatment yang sama. Sehingga jadi monoton. Salah satu treatment favorit Snyder dalam nampilin aksi adalah menggunakan slow-motion. Bayangkan melihat slow-motion setiap kali adegan bertempur. Setiap kali Wonder Woman mau beraksi selalu ada musik dewa-dewi yang pelaaaann. Jadinya ya bosan dan terasa unnecessary. Slow-motion ini bahkan dilakukan pada karakter yang bukan The Flash. Jadi akibatnya, jika setiap karakter ternyata bisa bergerak cepat, maka kecepatan The Flash itu jadi tidak spesial lagi. Slow motion bisa jadi efek yang bagus pada adegan aksi, memberikan ketegangan atau semacamnya, tapi ketika dilakukan konstan, jadinya ya tidak spesial lagi. Dialog cheesy ala Whedon boleh saja sudah disingkirkan jauh-jauh oleh Snyder yang prefer tone dan warna gelap. Namun kecheesy-an itu kali ini terisikan perannya oleh slow-motion yang berlebihan.
 
 
Dengan senang hati sekali aku menunggu kalo ada filmmaker lain yang pengen membuat Cut versi dirinya; cut yang merangkum empat-jam film ini menjadi narasi yang lebih mulus dan tidak terasa terfragmen seperti ini. Dalam urusan memanfaatkan durasi, sebenarnya Snyder tidak melakukannya lebih baik daripada Whedon. Namun memang tak bisa dipungkiri, versi Snyder ini punya cerita yang lebih berbobot, punya final battle yang lebih seru, punya karakter yang lebih manusiawi. Director’s Cut yang dilakukan Snyder benar-benar bertindak sebagai pemuas hati. Sutradara senang karena filmnya sudah terestorasi sesuai visi. Kita senang karena akhirnya dapat film superhero yang antisipasi dan hypenya sesuai dengan yang disuguhkan. Mungkin inilah Justice yang disebut pada film ini. Keadilan bagi pembuat dan penikmat. It’s a win-win!
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ZACK SNYDER’S JUSTICE LEAGUE
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Jadi bagaimana? Apakah menurut kalian film ini berhasil membuat penonton bakal kembali peduli sama yang namanya Director’s Cut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

CHERRY Review

“Victorious warriors win first and then go to war, while defeated warriors go to war first and then seek to win”
 

 
 
Kita hidup di dunia yang untuk menjadi Spider-Man ternyata tidak cukup hanya dengan digigit laba-laba radioaktif saja, tetapi juga harus bermain dalam film yang ada perangnya nanti. No, of course I’m kidding. Tapi nyatanya, memang dari ketiga aktor yang memerankan Spider-Man semuanya kebagian jatah jadi tentara perang. Tobey Maguire dalam Brothers (2009), Andrew Garfield dalam Hacksaw Ridge (2016), dan kini Tom Holland dalam Cherry. Dan sepertinya Holland memang ingin mengekor kedua aktor pendahulunya yang telah berhasil menyabet nominasi penghargaan dalam perannya masing-masing. Kesempatan tersebut tentu saja masih terbuka. Film Cherry ini boleh jadi terangkat oleh penampilan akting Holland. Sementara itu pula, film ini sendiri sepertinya memang diset sebagai penantang buat Oscar oleh kedua pembuatnya. Anthony dan Joe Russo. Dua bersaudara yang menjadi semakin terkenal apalagi kalo bukan lewat proyek Avengers (Marvel-Disney) yang mereka tangani.
Setelah Avengers: Endgame (2019) yang disukai banyak penonton tapi hanya dilirik sedikit oleh Academy, Russo Brothers kini lewat Cherry ini berusaha membuktikan kemampuan membuat sesuatu yang bukan hanya berkebalikan total dengan laga superhero yang cheerful, meriah, dan gagah perkasa. Namun juga suatu tontonan yang khas, sehingga truly worthy untuk diganjar penghargaan. Makanya film Cherry yang durasinya dua-setengah-jam ini terasa ambisius dan pengen menonjol. Makanya juga, aku jadi merasa agak kasihan juga setelah menonton, karena pada akhirnya film Cherry ternyata tak terasa lebih baik daripada film-film ‘Oscar Bait’ kebanyakan.
Cherry ini berasa kayak gabungan antara Forrest Gump (1994) dengan Requiem for a Dream (2000). Ceritanya disampaikan lewat narasi voice-over si karakter utama, yang nanti dia akan ikut jadi tentara dan berperang, dan nantinya juga film ini akan membahas tentang kecanduan obat terlarang. Sehingga memang, tidak ada yang lugu dari karakter utama yang diperankan Tom Holland di film ini. Wait… What his name again?.. Aku gak yakin nama karakter ini pernah disebut di dalam film, tapi kalo menurut kredit sih, namanya ya judul film ini. Cherry. Si Cherry mendaftarkan diri sebagai tentara (dia memilih terjun ke unit medic) karena dia merasa gak tau harus ngapain lagi saat kekasihnya minta pisah. Tapi jarak ternyata gak mampu misahin dua orang yang cinta beneran (ingatlah ini, wahai pejuang LDR!). Cherry dan kekasihnya semakin dekat. Emily bahkan menunggu Cherry pulang dari medan perang. Namun setelah apa yang ia lalui dan lihat di medan perang, Cherry yang pulang kepada Emily bukan lagi Cherry yang dulu. Cherry yang trauma berjuang di kehidupan yang normal. Dia jadi kecanduan heroin. Jika kecanduan obat adalah perang, maka ini adalah perang yang lebih parah bagi Cherry. Karena kini ia membawa serta Emily ke dalam perang tersebut. Antara obat dan merampok demi uang untuk beli lebih banyak obat, kita akan melihat kedua karakter ini semakin larut ke dalam lingkaran setan.

Life is like a box of… heroin

 
Diadaptasi dari novel otobiografi karangan Nico Walker, film ini sebenarnya punya cerita yang menarik – karena kejadiannya memang beneran terjadi. Ini adalah tentang veteran perang yang jadi perampok bank. Ada berlapis bahasan tentang psikologi manusia yang bisa digali untuk dijadikan studi. Tapi ini juga adalah kisah yang gak banyak diketahui oleh orang. Penulis Nico Walker sendiri juga termasuk ‘baru’. Sehingga saat menonton film ini pun, sebagian besar penonton gak tahu ini ceritanya bakal tentang apa. Menceritakan kisah ini secara linier seperti kebanyakan biografi – mulai dari kecil hingga ke peristiwa penting yang jadi fokus utama – jelas akan membuat kita kesusahan untuk menempelkan diri kepada si karakter. Terutama jika si karakter itu sendiri memang tidak punya hal menarik selain peristiwa penting di jauhari. Maka dari itulah, film Cherry ini memilih untuk menggunakan struktur cerita yang bolak-balik. Dengan juga menggunakan narasi voice-over untuk menuntun, dan membuat kita langsung seolah dekat dengan karakternya. Cerita yang bolak-balik langsung menempatkan kita di puncak ketegangan pada awal durasi. Dengan begini, apa yang bakal jadi pertaruhan buat si karakter dapat terset dengan mantap. Kita jadi tahu ini cerita bakal ngarah ke mana. Sehingga paling tidak kita jadi peduli sama karakter itu. Lalu baru kemudian kita dituntun untuk melihat karakter pada masa-masa dia masih ‘innocent’; masa kuliah saat romansa berkembang. Film bahkan menggunakan pembagian chapter-chapter untuk membantu kita lebih lanjut memasuki babak-babak kehidupan karakter Cherry.
Usaha yang solid untuk membuat karakter utamanya bisa mendapat simpati. Permainan akting Tom Holland-lah yang akhirnya jadi penentu utama. Berkat aktingnya, Cherry jadi tampak hidup. Berkat ekspresi dan reaksinya, segala permasalahan Cherry tampak menggencet dan mudah untuk kita pedulikan. Development dan rangenya bisa kita rasakan dengan tegas di sana. Holland mulai dari memainkan Cherry si pemuda yang kasmaran, ke Cherry yang experiencing horor di peperangan, hingga ke Cherry yang junkie dan udah begitu broken down. Pada titik ini, Holland seperti sudah membuktikan bahwa dia memang aktor mumpuni yang cukup rounded. Menurutku, beruntung Tom Holland ini bule dan jadi aktor di Amerika – bukan di Indonesia. Karena kalo dia aktor di sini, pastilah tampangnya yang anak baek-baek itu akan mentok di peran cinta-cintaan remaja, seperti beberapa aktor remaja Indonesia yang kebagian peran itu-itu melulu. Holland menjawab tantangan pada naskah dengan actually mengangkat film ini. Dia dan Ciara Bravo (pemeran Emily) memberikan heart untuk kita pegang. Hanya mereka berdualah yang jadi penuntun kita, membuat kita ingat bahwa ada bahasan manusiawi yang dipunya oleh film ini.
Perang mengubah manusia.  Banyak pejuang yang gak siap dengan kehidupan setelah perang. Film ini memperlihatkan bahwa walaupun ada perayaan, tapi perang tidak berakhir bahagia. Ada gagasan soal nasib veteran perang di sini. Ada bahasan bagaimana perang berdampak buruk bagi mereka. Bukan hanya perihal jasa mereka gak dikenal atau gak dianggap oleh seluruh rakyat yang mereka bela, tapi juga ke hal yang lebih personal yakni mereka gak bisa keluar dari mimpi buruk, dari trauma. PTSD. Dan bagaimana itu senantiasa berpengaruh kepada orang terdekat.

Film memparalelkan dampak perang dengan kecanduan, sebagaimana candu ngobat itu jadi perang berikutnya yang harus dilalui oleh Cherry. Dan jika kecanduan itu adalah peperangan yang harus dimenangkan, maka sebenarnya addiction adalah perang yang tidak bisa kita menangkan. Dalam artian, candu gak bisa sembuh. Hanya ada tekad untuk tidak kembali kepada candu. Maka, satu-satunya cara untuk memenangkan perang ini adalah mengikuti kata filosofis Sun Tzu; yakni acknowledge dan bersiap.

 

Cherry juga jadi candu merampok bank

 
Sayangnya selain pilihan gaya bercerita bolak-balik, pilihan penceritaan lain yang dilakukan oleh Russo Bersaudara gak ada yang benar-benar beralasan dan masuk akal. Semuanya kayak dikakukan karena, ya karena mereka bisa aja. Kalo boleh dibilang, film ini sedikit terlampau banyak bergaya. Misalnya soal flare atau efek pada kamera. Ketika pertama kali ketemu Emily, treatment yang diberikan kepada kamera itu adalah semuanya bokeh. Semua orang di sekitar Cherry dan Emily dibuat blur. Seringkali adegan yang ada Emily – adegan yang menguar rasa cinta Cherry kepadanya – dibuat seperti berada di dunia artifisial atau surealis. Tadinya, karena keseluruhan film ini disampaikan dalam bentuk narasi voice-over, maka kupikir ‘okelah’; berarti yang kita lihat ini adalah memory Cherry. Masuk akal bila yang cakep-cakep diingat olehnya dengan cakep pula. Namun, tidak pernah lagi ada treatment visual seperti ini. Cherry terbagi atas banyak chapter yang masing-masingnya punya estetik tersendiri. Russo Brothers bermain entah itu di sinematografi, di komposisi shot, ataupun di aspect ratio. Hanya satu pada Emily tadi itulah yang estetiknya benar-benar tampak seperti kenangan. Selebihnya semuanya bland. Ketika keadaan perang yang mencekam, biasa aja. Ketika keadaan sakau dan chaos, tidak ada efek. Padahal semuanya itu masih dalam konteks kisah yang sedang diceritakan.
Pilihan-pilihan ‘stylish’ itupun makin ke akhir makin tampak lebih seperti dilakukan dengan random. Satu kali mereka ngasih lihat ke kita POV dari lubang pantat. Eh kok? Kan lucu. Beberapa kali juga film memberi kesempatan kepada Tom Holland untuk bernarasi pake gaya ‘breaking the fourth wall’, yang gak jelas kebutuhan dan timingnya. Sesukanya aja dimunculkan seperti itu. Selain itu juga mereka sok asik dengan penggunaan nama-nama. Nama bank misalnya. Alih-alih City Bank, film ini ngasih lihat ke kita kalo bank yang dirampok Cherry bernama Shitty Bank. Terus ada juga yang namanya Bank Fucks America. Nama dokter juga dimainin seperti begini, karena yang kita lihat bukan nama orang melainkan nama Dr. Whomever. Itu semua bikin kita gak lagi merasa cerita ini ‘nyata’. Bahkan jika memang konteksnya berupa kenangan. Kita bukannya merasakan kemarahan karakter sehingga nama-nama itu jadi ‘termodifikasi’ sesuai dengan ingatan dan perasaan Cherry terhadap bank dan dokter, melainkan kita malah jadi berpikir kisahnya ini kurang reliable. Bahwa ada kemungkinan itu semua hanya ada di kepala dia. This is a mind of a junkie, after all.
Bangunan cerita itu pelan-pelan jadi runtuh akibat kebanyakan gaya seperti demikian. Padahal film ini bergantung banget kepada kita percaya kepada karakter utamanya. Namun malah Narasi voice-over dia pun digarap naskah dengan semakin malas. Tidak lagi difungsikan untuk menceritakan yang tidak mampu tergambar,  tapi malah jadi eksposisi yang kayak shortcut aja. Ketika film gak mau repot nampilin perubahan satu karakter, maka film tinggal nyuruh Cherry untuk nyebut ‘karakter si anu kini bekerja sebagai apa’. Jadi semuanya untuk kemudahan plot aja. Chapter-chapter tadi pun jadi beneran berfungsi sebagai kotak-kotak episode, yang tidak dibarengi dengan progres alami, melainkan oleh narasi yang nyebutin sekarang waktunya apa. Gitu aja.
 
 
 
Kejadian yang dikandung cerita ini sebenarnya menarik. Apalagi ini berdasarkan kisah nyata. Tom Holland juga memainkan karakternya dengan sangat baik, memudahkan kita untuk bersimpati dan percaya kepadanya. Namun, everything falls short. Film ini mempunyai banyak kejadian dan aspek-aspek pada cerita, tapi pembuatnya melihat itu terutama sebagai lahan untuk bermain dengan gaya-gaya penceritaan. Dan malah fokus di sana. Inilah yang jadi kejatuhan baginya. Karena ternyata mereka juga punya candu; candu bikin sesuatu yang wow, alih-alih bercerita sesuai dengan konteksnya. Kisah karakter utama jadi tidak semeyakinkan yang seharusnya. Film ini punya hati, tidak membosankan, tapi saat selesai menontonnya kita tidak tahu lagi harus merasakan apa karena gaya berceritanya tidak in-line dengan jiwa ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for CHERRY.
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Sejarah manusia penuh oleh peperangan. Apakah menurut kalian perang adalah salah satu candu bagi manusia? Kenapa kira-kira manusia selalu berperang?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

RAYA AND THE LAST DRAGON Review

“The saddest thing about betrayal is that it never comes from your enemies”
 

 
Representasi dalam film itu penting. Karena film bukan milik satu golongan. Semua orang punya cerita untuk dibagikan. Representasi berarti mengakui keberagaman, dan film sudah seharusnya menyatukan keberagaman tersebut. Bukannya mengotak-ngotakkan mereka ke dalam stereotipe. Setiap bangsa, setiap kita, punya keunikan yang bersumber dari sudut pandang dan identitas. Masih banyak magic dan untouched land yang belum diangkat ke dalam film, dan Disney kini telah memalingkan wajahnya ke arah kita semua. Ke Asia Tenggara. Disney mengangkat cerita fantasi yang berakar kuat pada budaya dan mitologi – identitas – bangsa rumpun kita. Raya dalam film Raya and the Last Dragon Disney akan menjadi Princess pertama dari Asia Tenggara. Dan gadis sawo matang itu akan bertualang dalam sebuah pertunjukan animasi yang terasa seperti sangat bertuah, dekat, dan menakjubkan.
Seolah menekankan kepada kita bahwa mereka (Disney dan empat sutradara; Don Hall, Carlos Lopez Estrada, Paul Briggs, dan John Ripa) benar-benar peduli sama representasi, bahwa misi mereka bukan hanya menambang emas dari lahan belum-tergali, melainkan jauh lebih mulia yakni untuk mengusung semangat kebersamaan dan persatuan, cerita Raya and the Last Dragon dibangun dengan persatuan itu sebagai fondasinya.
Penduduk dalam semesta imaji ini tadinya bersatu, hidup berdampingan bahu-membahu bersama alam dan naga. Keharmonisan tersebut menciptakan dunia tempat tinggal yang bernama Kumandra yang udah kayak nirwana. Tapi kemunculan musuh para naga membuat mereka tercerai berai. Bukannya bersatu menghadapi musuh yang bisa mengubah apapun menjadi batu, Para penduduk Kumandra malah terpisah menjadi lima kelompok kecil yang saling memperebutkan batu mustika berisi kekuatan naga. Selama ini, batu ajaib tersebut dijaga oleh keluarga Raya. Raya akhirnya menyaksikan sendiri, dalam semangat saling curiga dan tak-percaya, batu mustika tersebut pecah diperebutkan oleh para kelompok yang ingin memilikinya untuk kepentingan masing-masing. Bertahun berlalu, Raya yang ingin mengembalikan ayahnya yang membatu, bertualang mengumpulkan pecahan batu yang tersebar, sembari berusaha mencari naga terakhir yang ia percaya masih ada untuk mengembalikan kedamaian di sisa-sisa Kumandra.

Apakah kita takut dikhianati? Atau kita berkhianat karena takut?

 
 
Raya sets on the grand adventure yang dibuat untuk gampang kita ikuti. Yang didesain untuk bisa dialami sebagai sebuah tontonan keluarga. Animasinya mulus dan detil sekali. Sepanjang petualangannya Raya akan berkunjung ke tempat-tempat yang punya pemandangan dan ciri khas berbeda. Bayangkan stage atau level dalam video game, nah begitu persisnya lingkungan yang menjadi panggung petualangan Raya. Difungsikan untuk memberikan tantangan sekaligus pembelajaran baru. Sehingga film pun terasa terus bergulir hidup (kinda like si Tuk Tuk, doesn’t it?) Aksi berantem juga digambarkan dengan sangat imajinatif, dengan kuat mengakar kepada bela diri khas Asia Tenggara. Kita akan melihat senjata dengan belati seperti keris, tapi dimodifikasi sehingga jadi bisa memanjang kayak pedang Zabimaru milik Renji di anime Bleach, kita akan melihat gaya bertarung pake dua tongkat kayak seni beladiri Filipina. Raya nantinya juga akan bertemu dengan karakter baru pada setiap tempat yang ia datangi tersebut. Karakter-karakter ini akan menjadi pendukung yang menambah kaya petualangan dan drama alias cerita film ini sendiri. Misalnya ada karakter bayi yang bisa kung-fu, yang tadinya mencopet Raya, tapi akhirnya mereka jadi berteman dan si Bayi ikut dalam petualangan Raya.
Singkatnya, karakter-karakter yang bakal jadi teman Raya itu tetap menjaga film ini kocak dan ajaib.
Panjangnya, karakter-karakter ini berfungsi sebagai kepingan yang harus disatukan oleh Raya – paralel dengan misi Raya menyatukan kepingan batu naga. Mereka semua itu adalah bagian dari suara film ini tentang persatuan itu sendiri. On the deeper level, petualangan Raya ini sesungguhnya adalah petualangan mempersatukan umat. Film ini menampilkan karakter dari banyak kelompok, yang harus belajar untuk saling percaya bahkan kepada kelompok yang udah mengkhianati mereka. Ada pembicaraan soal keberanian untuk memaafkan di sini. Ada pembicaraan soal keberanian untuk memulai itu sendiri. Raya dan generasi muda di sini adalah korban langsung dari perpecahan turun temurun, dan merekalah yang menanggung sakit. Mereka yang paling pantas untuk balas dendam dan meneruskan siklus tersebut, tapi mereka juga punya pilihan untuk menghentikan semua dan menaruh kepercayaan untuk hasil yang lebih baik ke depan. It is a tough choice, dan bahkan mungkin even tougher choice untuk memasukkan elemen cerita seperti ini ke dalam tayangan untuk keluarga. Untungnya, film ini percaya bahwa anak-anak sekalipun akan nonton sambil berpikir. Bahwa anak-anak sanggup dan perlu memahami plot yang benar-benar punya daging. Disney sepertinya memang udah paham kalo anak-anak butuh sesuatu untuk didiskusikan dengan ringan bersama orangtua atau keluarga, makanya setiap film mereka selalu bergizi oleh gagasan dan pembelajaran. Dan yang ingin dibicarakan oleh Raya ini adalah soal persatuan, soal mempercayai sesama. Siapa lagi yang paling perlu untuk mengerti dan memandang positif dari semua itu kalo bukan anak-anak?

Dikhianati itu memang menyakitkan, dan bikin trauma. Bikin kita susah untuk percaya lagi pada orang. Pengkhianatan itu terasa menyakitkan karena pengkhianatan itu adalah tusukan yang datang dari teman. Dari teman. Bukan musuh. Itulah yang harus kita ingat; bahwa that was our friend. Dengan teman seharusnya kita bersatu. Kita harus belajar untuk memaafkan dan belajar untuk menumbuhkan rasa percaya itu kembali. Demi teman. 

 
Makanya, relasi yang paling memorable dan paling berkesan di film ini bagiku adalah antara Raya dengan Namaari; anak dari kelompok sebelah yang udah mengkhianati Raya berkali-kali. Rivalry dan dinamika mereka sepanjang film terasa grounded dan sangat emosional. Beban dramatis kepada Namaari dan Raya itu kerasa banget, karena sangat personal. Bagi Namaari ini adalah tugas yang dipaksakan kepadanya oleh sang Ibu; tugas yang bertentangan dengan nuraninya sendiri. Sementara bagi Raya, dia udah bertekad untuk enggak percaya lagi. Satu-satunya yang Raya percaya adalah Susi — eh kebalik, Sisu sang naga air yang berhasil ia temukan. Relasi antara Raya dengan Sisu dimainkan dengan lebih ringan, dan difungsikan pertama sebagai hiburan. Raya dan Sisu ini kayak gabungan Aladdin-Genie dengan Marlin-Dory. Keajaiban Sisu disambut wonder yang seru dan mengasyikkan dari Raya, sementara itu juga sikap Sisu yang gampang percaya sering membuat Raya sedikit senewen, seperti Marlin yang enggak mau mempercayakan apapun kepada Dory padahal usulan Sisu dan Dory sebenarnya kita tau sama-sama benar. As for me, pada awalnya aku pun agak senewen juga sama karakter Sisu. Candaannya banyak yang agak kurang ngena, misalnya candaan soal kerja kelompok di sekolah. Lucu, tapi terasa terlalu modern. Kayak dilontarkan langsung oleh Awkwafina as a person. Pertama-tama memang aku ngerasa kurang sreg sama voice acting Awkwafina sebagai Sisu – aku gak bisa melihat dia sebagai karakter. Namun seiring berjalannya durasi, karakter Sisu grows on me, begitu juga dengan akting penyulih suaranya tersebut.

Daripada ngumpulin 7 bola naga, mendingan ngumpulin lima pecahan batu naga ajah!

 
 
Desain visualnya-lah yang terutama menonjolkan representasi tersebut. Sisu bentukannya beda banget ama naga-naga di Eropa. Ngeliatnya langsung terasa ‘Asia banget’. Salah satu elemen representasi menarik yang dilakukan oleh film ini adalah tentang bagaimana makanan menyatukan manusia. Akan ada beberapa kali adegan karakter berunding di meja makan, bahkan strategi ayah Raya untuk menyatukan kelima kelompok adalah dengan menjamu mereka makan. Kalo udah urusan perut memang kita biasanya akur, dan itu kayaknya terjadi buat semua manusia di muka bumi, tapi paling tidak dari elemen tersebut kita melihat beberapa sajian makanan yang bentuknya dibuat mirip sama makanan yang kita kenal.
Visual dan karakterisasi yang kuat berhasil dicapai. Perjuangan film ini adalah pada penceritaannya. Walaupun arahannya udah mantap, membuat film ini berjalan cepat dan mulus dan tidak pernah menjadi berat dan gak jelas kayak lore pada Frozen II (2019), tapi pada awalnya tidak demikian. Film seperti Raya and the Last Dragon selalu punya batu sandungan berupa eksposisi. Keperluan untuk menjelaskan dunia dan segala aturannya. Film ini berusaha melakukannya dengan penempatan yang asik, dan tentu saja lewat visual yang menarik – beberapa eksposisi film ini diceritakan pakai animasi yang kayak wayang – tapi tetap membuat film ini agak terbata sedikit. Perasaan dan pikiran para karakter pun terkadang cenderung untuk diejakan sehingga beberapa penonton mungkin akan merindukan sekuen nyanyi yang biasa muncul pada film Princess Disney yang difungsikan untuk memperlancar penyampaian eksposisi dan perasaan karakter.
 
 
 
Raya dalam bahasa kita berarti besar, dan film ini memang sebesar itu! Film kayak begini ini-lah yang bikin kita rindu sama bioskop. Film dengan visual yang menakjubkan dan menerbangkan imajinasi. Film yang menyuguhkan petualangan seru, sambil mengisi kita dengan gagasan yang berharga. Film yang bisa kita relasikan, baik dari cerita atau kejadian, maupun dari kedekatan representasi. Terasa seperti kita menjadi bagian dari film, dan terasa seperti kita diajak bicara langsung oleh filmnya. Film yang dihidupi oleh karakter-karakter yang beresonansi dan tidak mungkin terlupakan dalam waktu dekat. Film yang sendirinya terasa benar-benar berjuang mengatasi kelemahannya. Eksposisi tidak membuat gentar film ini, yang dengan semangat pick up the pace dan paham untuk tidak membuat kita berberat-berat ria. Semoga ini bukan jadi film terakhir yang berhasil seperti begini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for RAYA AND THE LAST DRAGON
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa kita damai di depan makanan? Bagaimana makanan dapat mempersatukan kita?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA