SPIDER-MAN: ACROSS THE SPIDER-VERSE Review

 

“You are your own worst enemy”

 

 

Orang bilang musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri. Miles Morales menyadari itu tatkala dia bertemu dengan Spider-Man – Spider-Man lain dari entah berapa banyak universe berbeda. Orang-orang yang basically adalah dirinya sendiri. Yang punya kekuatan yang sama. Punya garis hidup dan masalah yang sama. Tentu it’s all fun and games kalo mereka sedang akur. Masalahnya, Miles gak bisa diam saja mengetahui dirinya dan juga Spider-Man lain bakal ngalamin kehilangan orang tersayang. Apalagi karena Miles masih punya unresolved conflict dengan ayahnya tersebut. Maka Miles pun mulai bergerak sendiri. Melawan ‘canon’ cerita Spider-Man. Melawan Spider-Society yang berusaha menjaga ‘canon’ tersebut. Ya, bagian kedua dari trilogi Spider-Verse ini didesain oleh sutradara Joaquim Dos Santos, Kemp Powers, dan Justin K. Thompson sebagai perjuangan seseorang melawan takdir yang telah dituliskan.

Karena memang, meskipun telah digariskan, tapi kesempatan mengubah nasib masing-masing itu sebenarnya masih terbuka. Kita menulis cerita hidup kita sendiri. Kita cuma perlu mengalahkan diri sendiri untuk bisa melakukannya.

 

Kehadiran film animasi Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018) lalu mengubah pandangan banyak orang terhadap apa yang bisa dilakukan oleh film animasi. Film tersebut bukan cuma punya cerita yang grounded yang berhasil mengikat soal pilihan hidup dengan konsep multiverse, tapi juga memperlihatkan potensi gila yang dipunya medium ini, jika punya kreativitas dan cukup nekat untuk melakukannya. Estetik buku komik yang dihadirkannya membuat nonton film itu serasa baca komik yang bergerak sendiri! Visual fluid lagi unik yang begitu groundbreaking tersebut lantas diadaptasi oleh berbagai film animasi sukses lain setelahnya, named Puss in Boots terbaru  yang berestetik anime dan The Mitchells vs. The Machines yang pake gaya kultur internet. Itulah, ketika film berlomba-lomba untuk ngasih kualitas yang bagus (bukan cuma berlomba ngejar ‘sekian penonton telah beli tiket di bioskop’) maka yang akan kita dapatkan ya kualitas yang bakal terus meningkat. Animasi Spider-Verse ini, contohnya.

Supaya gak kalah sama yang terinspirasi oleh film pertamanya, Across the Spider-Verse up the ante. Di film ini gambar-gambarnya meriah oleh berbagai macam estetik yang digabung menjadi satu. Estetik atau gaya animasi yang dipakai dikaitkan menjadi identitas karakter. Jadi, berbagai karakter dari bermacam semesta itu akan hadir lebih konsisten dengan estetik masing-masing. Spider-Punk yang dari Inggris, misalnya. Karakternya akan digambar dengan gaya grafiti anarki jalanan, sejalan dengan sifat karakternya yang punk abis. Salah satu musuh mereka, si Vulture, diceritakan datang dari Eropa jaman dulu, dan bentukannya juga klasik banget. Seperti coretan di kanvas kuning, gitu. Kalo penjahat utamanya, estetiknya lain lagi. Di sini kita berkenalan dengan karakter villain yang tadinya kayak harmless. Miles malah menjulukinya “Villain of the Week”, yang maksudnya sih meledek kemampuan anehnya yang tak seberapa. The Spot yang bentukannya item-putih tanpa wajah itu ‘cuma’ bisa bikin lubang-lubang yang bertindak semacam portal. Fight scene Spidey dan Spot awalnya tampak konyol, tapi karena portal-portal tersebut, adegannya jadi seru dan sureal. Unpredictable. Apalagi The Spot ternyata punya motivasi dendam yang cukup kuat terhadap Miles, sehingga kemampuannya tersebut berkembang menjadi lebih ‘menyeramkan’. The Spot-lah yang membuat anomali pada Spider-Verse karena dia bisa berpindah semesta seenaknya, dan ngambil kekuatan dari sana. Anomali yang akhirnya bikin rusuh seantero multiverse.

Aku masih ngakak dengar Nick New Girl jadi Peter Parker

 

Kita juga akan dibawa ‘verse’nya si Spider-Gwen, yang dunianya mungkin adalah yang paling ‘romantis’. Karena tergambar seperti ledakan warna cat air, yang warna backgroundnya seringkali berubah, meredup atau mencerah, sesuai mood cerita saat itu. Actually cerita Gwen sebagai (sepertinya) satu-satunya Gwen Stacy, the other love interest, yang jadi Spider-(Wo)man jadi salah satu perspektif pilar film ini. Film ini justru dibuka dari bahasan tentang Gwen dan dunianya. Tadinya kupikir film dibuka dari Gwen hanya sebagai device eksposisi, yang fungsinya menyegarkan ingatan kita kembali pada cerita film yang lalu. Tapi ternyata bahasan di situ cukup mendalam. Bumi-65 tempat Gwen tinggal akan disorot cukup banyak, kita akan lihat story si Gwen dan apa yang terjadi dengan Peter Parker di dunianya itu. Kita akan diperlihatkan juga relasi Gwen dengan ayahnya, yang kapten polisi. Dan di dua puluh menit pertama itu aku mulai merasa seperti punya spider-sense yang ngasih tahu ada sesuatu yang kurang beres pada naskah film ini.

Karena setelah dua-puluh menit, cerita lantas berpindah ke dunia Miles Morales. Kita akan diperlihatkan masalahnya dengan ibu dan ayah. Masalah yang grounded seperti Gwen dan ayahnya tadi. Bahwa anak-anak yang jadi superhero ini punya jarak dengan ayah mereka yang polisi. Meskipun memang buatku ini jadi pondasi drama yang kuat – karena biasanya dalam cerita superhero, protagonis justru punya masalah karena mereka harus mencari father figure, lantaran banyak superhero yang tidak tumbuh dengan sosok ayah, entah itu ayah kandungnya entah itu mati atau jadi jahat – tapi tetap saja film ini jadi aneh karena terasa seperti punya dua babak pertama. Dua babak set up. Untuk dua karakter utamanya, yang sepertinya film ini bingung mau nonjolin yang mana. Kedua karakter akan bertemu di babak kedua, yang involve banyak adegan aksi superseru. Salah satunya kejar-kejaran antara Miles dengan para Spider-Man. Yang menurutku inilah alasan kenapa para sutradara ‘gak jadi’ bikin film ini jadi perspektif cerita Gwen. Yang membuat mereka kembali ke Miles. Bayangkan John Wick dikejar-kejar satu kota, tapi ini adalah Spider-Man, dikejar oleh berbagai macam versi Spider-Man dengan berbagai macam kekuatan dan visual. Mereka pasti merasa sayang melewatkan ini. Cerita mulai memisah lagi antara Gwen dan Miles di babak ketiga. Gwen meresolve konfliknya dengan ayah. Sementara Miles, babak ketiganya belum berakhir karena dibikin sebagai cliffhanger. Dengan tulisan ‘bersambung’ pada layar!

Pengen nangis rasanya.. Damn you, Sony, for putting me on this tough spot!!

 

Orang bilang musuh terbesar kita adalah diri sendiri. Dan saat nonton film ini seperti ada pertarungan dalam diriku. Antara aku yang nonton untuk enjoy things, dengan aku yang nonton untuk mengulas tontonan tersebut sebagai film. Karena memotong film di tengah tidak akan pernah jadi penciri film yang bagus. It was a corporate move, to sell products! Bahkan dalam sebuah episode trilogi, ‘bersambung’ mestinya hanya dipakai untuk memancing minat penonton ke episode berikutnya setelah episode yang ini selesai. Or at least, ada sesuatu arc yang selesai. Jika film ini tetap pada Gwen sebagai tokoh utama, ‘bersambung’nya tadi akan bisa dioverlooked. Karena memang bahasannya dengan ayah, menemui penyelesaian di akhir. Contohnya film bagian kedua dari Trilogi Fear Street (2021). Secara picture triloginya, film itu memang episode flashback untuk pembelajaran karakter utama trilogi terhadap kekuatan musuh. Namun kita juga bisa melihatnya sebagai film utuh, sebagai cerita tentang seorang perempuan yang dibully dan relasinya dengan kakaknya di perkemahan musim panas. Sebuah cerita tertutup yang juga bertindak sebagai bridge ke bagian terakhir trilogi. Spider-Man: Across the Spider-Verse mestinya bisa bertindak seperti itu dengan menjadikan Gwen tokoh utama. Menjadikan ini sebagai closed story Gwen.  Story Gwen memang berakhir, tapi film membagi dua, dengan tetap memberatkan pada Miles. Memfokuskan action-action pada Miles, dan mengangkat banyak bahasan juga dari sana. Itu yang akhirnya bikin film ini tidak bisa berdiri sendiri. Tidak seperti film pertamanya yang masih mengangkat pertanyaan, sembari menuntaskan soal Miles dengan pilihannya. Film kedua ini bahkan tidak benar-benar berusaha memparalelkan kedua perspektif utamanya, sehingga kita jadi dapat dua babak satu dan dua babak tiga (yang satunya lagi dipotong). Gak heran durasi cerita bisa sangat molor, padahal pace cerita dan aksinya cepat-cepat semua.

 

 




Ini jadi satu lagi film yang membuat aku menangis. Karena aku memang sudah sangat suka. Gaya visual yang beragam, begitu unik dan ngasih sensasi magic of movies yang kuat. Seseorang di Twitter bilang “film ini membuat kita seperti melihat warna untuk pertama kalinya”, and somewhat aku setuju. Karakter-karakternya juga sukses bikin aku terpesona. Mereka semua menarik, dan tentu saja sangat kocak (karena mereka semua adalah Spider-Man yang memang harus lucu!) Aksinya superseru. Romance Gwen dan Miles cute dan sweet. Dan selera humor film ini juga cocok buatku. Referensi dan nostalgianya mungkin memang agak rapet. Mungkin gak semua penonton casual bisa menangkap. Karena seringkali jokes di sini membutuhkan ‘pengetahuan’ terhadap perkara Spider-Man, baik itu komik, film, atau media lain, yang sudah ada bukan dari kemaren sore melainkan bertahun-tahun. Favoritku adalah ketika Donald Glover interaksi dengan Miles Morales. Ini kocaknya layered banget, bukan saja karena Donald jadi Prowler versi live-action, tapi juga karena karakter Miles sendiri aslinya terinspirasi dari Donald Glover yang pengen jadi Spider-Man, dan kreator Spider-Man simply melihat Donald pakai kostum Spider-Man dalam salah satu episode serial komedi Community. Tapi in the end, aku tahu as much as I love it, aku gak bisa ngasih skor yang tinggi untuk film ini. Karena ini cerita yang tidak tuntas. Dan cerita tersebut tidak harus dilakukan dengan seperti ini. Ada opsi lain, yang mungkin memang lebih risky. But hey, seperti Miles yang menghadapi Spider-Man lain, kita semua harus bertarung dengan diri sendiri. Film harus bertarung melawan sisi korporatnya. Aku, well, I’m done fighting untuk film ini. Perkara sisi baik atau sisi jahat yang menang, itu lain cerita.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SPIDER-MAN: ACROSS THE SPIDER-VERSE

 




That’s all we have for now.

Kira-kira apakah kalian akan akur dengan versi kalian dari universe lain? Atau apakah kalian punya versi dark sendiri, bagaimana kalian bisa mengalahkannya jika kalian harus bertarung?

Share di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 9 (SISU, RENFIELD, DEAR DAVID, GUY RITCHIE’S THE COVENANT, AIR, A MAN CALLED OTTO, KNOCK AT THE CABIN, CREED III)

 

 

Masa liburan memang biasanya blog ini kosong. Apalagi pas mau-mau lebaran. Wuih, jangankan nulis di depan komputer, menonton film aja aku jarang. Pengennya main video game sepanjang waktu hehehe… Alhasil seringkali aku balik ke realita, dengan pe-er seabrek. Kayak sekarang ini. Begitu banyak film yang dianggurin. Sebagian belum ditulis, sebagian belum kelar ditonton. Jadilah sepanjang bulan Mei ini aku kayak anak sekolah yang ngebut belajar sampai larut malam. Delapan film inilah yang akhirnya terpilih untuk ku kompilasi jadi mini-review volume ke-sembilan!

 

 

 

AIR Review

Sebagai anak nongkrong 90an, kata ‘Air Jordan’ memang cukup familiar buatku, walau aku bukan penggemar sepatu ataupun olahraga basket. Karena waktu itu, Air Jordan memang terkenal banget. Sepatu paling keren di dunia. Sehingga dijadikan guyon. Kalo anak-anak kampung seperti kami beli sepatu baru, pasti tuh sepatu langsung diinjak di tempat sama teman-teman yang lain sambil mereka bersorak “Wuih, sepatunya Air Jordan!!”

Baru di umur seginilah, berkat film Air karya Ben Affleck, aku paham ‘kekerenan’ Air Jordan. Bahwa itu adalah sepatu yang khusus dibuat Nike untuk Michael Jordan. Sepatu yang benar-benar diperjuangan supaya bisa dikenakan oleh calon mega atlet basket itu. Film ini dirancang memang bukan untuk membahas gimana Michael Jordan menciptakan kerjaan endorse, tapi lebih kepada cerita tentang Nike yang mengambil resiko besar. Gambling dengan stake yang begitu besar. Matt Damon’s Sonny, tokoh utama cerita, bahkan mempertaruhkan rumahnya, keluarganya. Stake, itulah yang benar-benar jadi kunci pada film ini. Kita melihat para karakter terus mengorbankan something yang terus membesar, karena mereka percaya pada si Michael Jordan. Film yang arahannya tidak cakap, akan ngelantur kemana-mana, tapi Air tetap pada jalur. Film ini sendirinya mengambil resiko dengan tidak ngecast Michael Jordan. Dalam film, karakternya cuma disorot dari belakang – tanpa dialog berarti dan tidak pernah jadi fokus kamera. Supaya ceritanya tetap pada perjuangan Sonny, pada gambling yang ia lakukan demi perusahaan.

Kekuatan Air berikutnya ada pada akting. Monolog si Sonny saat membujuk Jordan, jelas jadi highlight. Viola Davis juga jadi presence yang dominan meski screen timenya gak banyak. Dan aku juga terhibur sama Chris Tucker, ni orang kocak tapi jarang banget main film! Air dengan mudah jadi cerita dengan drama yang menghibur dan satisfying. Meskipun, dari segi penulisan, aku pengennya film ini lebih menggali Sonny sebagai person lagi. Plot karakternya yang sering ditegor kurang olahraga lebih dipertegas. Karena menurutku film ini kadang agak ‘rancu’ sudut utama di sini adalah Sonny, atau perusahaan Nike secara keseluruhan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for AIR

.

 

 

A MAN CALLED OTTO Review

A Man Called Otto karya Marc Forster ini semacam kebalikan dari Air. Karena film justru berangkat dari gak ada stake. Otto ceritanya udah mau mengakhiri hidup. Tanpa teman dan kerabat, dia yang baru saja pensiun merasa urusannya di dunia udah rampung semua. Menyusul istrinya yang udah duluan ‘pulang’. Tapi kemudian tetangga barunya menggedor pintu. Kerap minta bantuan, menginterupsi  Otto yang hendak bunuh diri dengan segala macam urusan sepele.

Perlahan, dramatic irony dan emotional feeling itu terbendung. Kita yang tadinya ngerasa cerita ini gak ada stake, akan terattach dengan Otto sehingga kini kita gak pengen dia bunuh diri. Kita bisa melihat bahwa Otto yang kesepian itu ternyata sangat berarti bagi tetangga-tetangganya (dan juga seekor kucing gelandangan). Bahwa masih ada alasan untuknya hidup di dunia. Journey emosional film ini terletak pada kita ingin Otto melihat alasan itu juga, Kita ingin pria tua penggerutu ini melihat bahwa dia sebenarnya gak kesepian. Film gak berhenti sampai di situ karena babak ketiga film ini bahkan bakal lebih kerasa lagi. Feeling serene, peaceful tapi tak pelak sedih, berhasil tercapai, membungkus film jadi perjalanan manis. Tom Hanks juara banget jadi Otto. Clearly, kisah adaptasi ini lebih tepat untuknya karena akhirnya kita yang muda-muda ini bisa lihat bukti betapa legendnya akting drama Tom Hanks. Sesekali film akan membawa kita ke masa muda Otto – untuk memperdalam bahasan cinta – dan karena aktornya beda, kadang akting di bagian flashback ini kerasa jomplang. Membuat kita pengen cepat-cepat balik lagi ke masa Otto yang sekarang.

However, yang paling menarik dari film ini tentu saja adalah gambaran kehidupan bertetangganya. Dan kupikir film ini bakal punya dampak esktra buat penonton modern yang gak ngalamin lingkungan tempat tinggal seperti ini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for A MAN CALLED OTTO

 

 

 

CREED III Review

Ketika Michael B. Jordan bilang dalam menggarap aksi film ini dia terinspirasi banyak anime, dia enggak bohong. Dan dia melakukan itu bukan hanya untuk gaya-gayaan, tapi karena dia tahu bahwa Creed III butuh pengadeganan yang khusus untuk mendeliver pukulan-pukulan emosional yang didera oleh karakternya.

Mana lagi coba film tinju yang bikin adegan saat bertinju, dua karakternya tau-tau ada di tengah ring dalam arena kosong melainkan oleh kabut-kabut psikologis. Dan suara yang kita dengar cuma suara mereka bertinju. Sungguh adegan antara dua orang yang sangat personal dan ngasih banyaklayer ketimbang bikin mereka bertinju seperti biasa. Creed III memang gak main-main soal film ini mau memfokuskan kepada karakter Adonis. Masa lalunya memang benar-benar dikonfront lewat banyak hal, yang puncaknya ya menjelma sebagai sahabat yang dulu pernah ia tinggalkan. Dengan kata lain, dalam Creed III terada ada banyak pertarungan, saking berlapisnya cerita.

Yang jadi permasalahan banyak orang dari film ini, termasuk bagiku adalah, mereka sama sekali tidak menampilkan Rocky. Padahal cerita Adonis berkaitan erat dengan Rocky. Heck, perjuangan Damian basically sama dengan perjuangan Rocky, bedanya Damian ini dipenuhi rasa cemburu. Bisa dibilang, Damian adalah Dark Rocky. Aku mengerti kenapa film memutuskan untuk gak menampilkan karakter Rocky dalam kisah yang pure tentang background Adonis. Alasannya sama dengan ketika Air memutuskan untuk gak full nampilin Michael Jordan. Supaya fokusnya tetap pada Adonis. But come on, bahkan Air saja bisa nemuin cara ‘cantik’ dalam menampilkan Michael Jordan. Rocky mestinya bisa tetap tampil dalam kapasitas dan treatment seperti demikian. Menge-cut dirinya secara keseluruhan justru bikin aneh cerita, karena hampir tidak terasa seperti kelanjutan normal franchise ini

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for CREED III

 

 

 

DEAR DAVID Review

Dulu pernah ada serial TV berjudul Aliens in America, yang salah satu episodenya tentang si karakter yang ketahuan suka menggambar vulgar tokoh-tokoh di dalam novel tugas sekolah. Sekolah jadi gempar, sampai buku-buku bacaan siswa diperiksa. Si karakter merasa bersalah, merasa ada yang gak beres dengan dirinya yang selalu mikir jorok, sehingga ayahnya akhirnya memberi penjelasan bahwa semua itu normal dan itu bukan salahnya. Penyelesaian dan pembahasan serial konyol dua-puluh-dua menit itu bahkan terasa lebih grounded dan manusiawi ketimbang Dear David karya Lucky Kuswandi.

Kenapa aku sampai tega bilang begitu? Karena Laras yang ketahuan mengarang cerita vulgar tentang teman sekelasnya, dalam Dear David, tidak pernah dibikin berkonfrontasi dengan gairahnya tersebut. Laras tau-tau di akhir film langsung mantap menyebut itu bukan salah dia, karena sebagai remaja dia punya gejolak. Sedangkan bagian tengah film, dihabiskan dengan ngalor-ngidul membahas hal-hal yang gak benar-benar paralel dengan tema tersebut. Tidak ada interaksi yang mengajarkan Laras atas masalahnya. Saking kemana-mananya, banyak penonton yang merasa tersinggung dan menganggap film ini tidak peka. Dengan malah membuat karakter korban jadi bucin pengen pacaran, misalnya. Padahal jika dilihat konklusi di akhir, film ini sebenarnya menunjuk antagonis pada sekolah. Yang tidak pernah mengayomi korban, tidak pernah melindungi murid, tidak benar-benar menganggap serius yang terjadi pada muridnya, melainkan hanya peduli pada citra sekolah. Tapi itu pun tidak pernah dibangun dengan mulus, cerita tidak langsung fokus kepada masalah itu.

Mungkin film ingin seperti slice of life. Menceritakan keseharian anak-anak di sekolah itu, dan bagaimana mereka bertindak saat ada kasus Laras. Antagonis sekolah bisa mencuat dari sana. Tapi kupikir, untuk mencapai ini, film harus meringankan tone-nya sedikit. Dear David took itself very seriously, sehingga sikap-sikap khas remaja karakternya tadi jadi tampak sebagai kekurangpekaan film.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DEAR DAVID

 




GUY RITCHIE’S THE COVENANT Review

Utang budi dibawa mati. Drama perang yang diangkat Guy Ritchie dari kisah-kisah tentara selama Perang Afganistan mencoba menggali bagaimana persahabatan yang begitu kuat bisa tumbuh antara tentara dengan seorang penerjemah lokal. Jake Gyllenhaal jadi sersan John Killey yang nyawanya diselamatkan oleh Dar Salim’s Ahmed, penerjemah yang tadinya kurang ia percaya. Jake dan Salim punya chemistry yang kuat, interaksi karakter mereka selalu menarik untuk disimak. Masalah pada film yang banyak shot survival tembak-tembakan keren dan efek psikologisnya kena ini buatku adalah porsi John ‘berhutang’ actually lebih exciting ketimbang porsi dia mencoba membayar kebaikan Ahmed – yang mana harusnya ini yang dijadikan sorotan utama.

Jadi film ini seperti terbagi atas dua cerita. Pertama saat pasukan John dibantai oleh pasukan Taliban, sehingga tinggal John dan Ahmed saja yang berusaha survive. Sampai akhirnya John tertembak, dan Ahmed menggotongnya, berjalan berhari-hari ke markas Amerika terdekat, tanpa ketahuan Taliban. Bagian kedua adalah tentang John – kini sehat wal afiat di rumahnya di Amerika – berusaha mencari keberadaan Ahmed yang jadi buronan Taliban sejak menyelamatkan dirinya. Bagian kedua ini tidak bisa se-wah bagian pertama, meski nanti John memang kembali ke afganistan, dan mereka jadi buron berdua. Bagian pertama, aksi dan interaksi saat elaborate. Intensnya terasa. Sedangkan pada bagian kedua yang lebih emosional, film tidak pernah yakin untuk fokus ke sana, sehingga bagian ini terasa setengah-setengah.

Bahasan film ini relevan dan penting. Menurutku cuma konsep penceritaannya saja yang mestinya bisa lebih dimainkan lagi karena, untuk kasus film ini, menceritakan dengan linear terasa kurang maksimal.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GUY RITCHIE’S THE COVENANT

 

 

 

KNOCK AT THE CABIN Review

Kita selalu kepikiran M. Night Shyamalan setiap kali dengar kata ‘plot-twist’. Kita selalu expect film-filmnya bakal punya somekind of surprise di akhir. Jadi, inilah kejutan yang ditawarkan Shyamalan pada Knock at the Cabin; tidak ada twist! Film ini ‘serius’ berbincang tentang cinta dan pengorbanan, lewat keadaan yang diset untuk terus membuat kita menebak-nebak.

Empat orang tak dikenal menyatroni kabin di tengah hutan, tempat seorang anak kecil dan dua ayahnya berlibur. Empat orang yang dipimpin oleh Batista itu memang berusaha tampak ramah, tapi mereka punya maksud kedatangan yang mengerikan. Mereka menyandera keluarga tersebut. Mereka bilang dunia sedang kiamat, dan cara menyetopnya adalah salah seorang dari keluarga bahagia di kabin itu harus mengorbankan diri. Bayangkan harus memilih antara bahagia tapi orang lain sengsara, atau berkorban – kehilangan satu orang yang kita cintai – supaya semua orang bahagia. Film ini akan memenuhi pikiran kita dengan pertanyaan-pertanyaan. Kesanku nonton ini persis kayak waktu dibentak dan ditanya-tanya senior pas ospek kuliah dulu. Stakenya tinggi, kita merasa tahu ke mana arah semuanya, tapi tetap kita terdiam dalam keraguan. Such power yang dimiliki oleh penceritaan film ini.

Batista sekali lagi nunjukin dia bukan sekadar mantan pegulat yang cari nafkah lain. Karena highlight film ini salah satunya ada pada aktingnya. Di sini dia bakal bawain monolog-monolog, serta juga ada aksi-aksi, dengan permainan emosi yang harus ditahan. Secara akting dan isi, film ini keren. Namun menurutku cerita seperti ini kurang mampu bertahan lama sebagai film panjang yang contained, karena hal bisa terasa repetitif di akhir. Poin-poin yang ditekankan dapat menjadi cringe setelah semua yang disangka oleh penonton ternyata tidak terbukti. Apalagi karena memang film kurang menggali protagonis ataupun karakternya – since mereka semua sebenarnya  ‘cuma’ sebagai konsep, sebagai ‘contoh kasus’ saja.

The Palace of Wisdom gives 6  gold stars out of 10 for KNOCK AT THE CABIN

 

 

 

RENFIELD Review

Relasi antara bos dan karyawan memang bisa jadi begitu toxic. Bos akan terus menjanjikan naik pangkat atau semacamnya, tapi gak pernah delivered. Karyawan yang sudah jadi bergantung, mau nuntut juga susah. Malah digaslight. Mau keluar apalagi. Chris McKay menyimbolkan relasi toxic itu ke dalam hubungan antara Familiar dengan masternya, Drakula. Ini jadi kocak, karena memang di cerita vampir-vampiran, jokes biasanya selalu datang dari Familiar – manusia pengabdi selalu dijanjikan bakal dijadiin vampir, tapi mana ada bos yang mau karyawannya jadi bos juga hahaha

Duet dua Nicolas jadi kunci film ini. Nicolas Cage, sekali lagi nunjukin betapa dia begitu komit dalam peran apapun. Di sini, dia ngasih performance yang sungguh menghibur sebagai Drakula. Seram dan jahat, iya. Tapi dia juga paham assignment, bahwa si Drakula ini adalah bos dari karyawan yang berusaha nuntut hak. Satunya lagi, Nicholas Hoult juga tampak simpatik, sebagai Familiar dia terasa familiar. Akrab. Alias gampang relate. Kecerdasan naskah ini ngasih perlambangan, ngarang pengadeganan, membuat film menjadi kocak menghibur. Bahkan ketika adegan aksi yang penuh gore over-the-top datang. Tetap seru.

Sayangnya film ini kebanyakan main-main. Persoalan polisi dan kelompok mafia pada akhirnya terasa jadi pengganggu dalam cerita Drakula dan abdinya. Membuat sudut pandang jadi ke mana-mana, tanpa ada ujung yang benar-benar ngefek ke cerita utama. Karakter polisi si Awkwafina buatku malah jatohnya jadi annoying, film jadi kayak mencoba too hard untuk membuat si polisi dan si Renfield jadi pasangan yang kocak dan sweet.

The Palace of Wisdom gives 5.5 gold star out of 10 for RENFIELD

 

 

 

SISU Review

Salah satu aspek menarik dari John Wick original adalah ketika dia dianggap Baba Yaga. Ketika semua orang-orang dunia hitam itu gemetar membicarakan nama dan reputasinya. Sisu karya Jalmari Helander membawa aspek ini ke level berikutnya.

Sisu bisa dibilang istilah Finlandia untuk momok semacam Baba Yaga. Sisu berarti keberanian, determinasi, tak kenal menyerah, tak bisa mati. Karakter utama kita, seorang bapak-bapak, mantan tentara yang kini hidup sebagai penambang emas. Ketika satu-satunya sumber nafkah itu direbut oleh Nazi yang bertemunya di jalan pulang, bisa dipastikan balas dendam gila akan terus terjadi. Bahkan tentara Nazi gemetar ketika tahu siapa sebenarnya bapak, yang bahkan gak pernah bicara, yang terus mengejar mereka itu. Jalmari Helander memang juga sekalian membawa ‘balas dendam gila’ ke level berikutnya.

Luar biasa memuaskan, melihat aksi-aksi gore brutal yang disajikan film. Inilah yang sepertinya diincar; supaya penonton melihat Nazi kocar-kacir secara mengenaskan. Aksi-aksi tak-masuk akal menghiasi adegan-adegan Sisu yang temponya dijaga cepat. Dan memang menghibur. Tapi ketika hal-hal tak masuk akal diletakkan kepada cara-cara si bapak bisa terus hidup walau sudah digantung atau semacamnya, film tak lagi menyenangkan. Malah jadinya lebay yang merampas kita dari stake cerita. Konsep Sisu yang tak-bisa mati membuat film bebas ngadain banyak cara supaya si bapak bisa tetap hidup, akhirnya membuat keseluruhan film jadi mati konyol bagiku. Tone dramatis yang dibangun film jadi seperti terlupakan. Aku malah perlahan jadi lebih tertarik sama karakter pemimpin Nazi, yang motivasi dan tantangan dan stakenya benar-benar ada – tak dilindungi oleh plot nonsense yang bikin karakternya tak lagi manusiawi.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SISU

 

 




That’s all we have for now

Kita sudah mulai masuk caturwulan kedua 2023, tapi ternyata aku belum menemukan film yang pantas mendapat nilai di atas 8. Gimana dengan kalian? Apakah kalian punya rekomendasi film 2023 yang mungkin terlewat olehku, dan kalian merasa film itu pantas dapat skor 8? Silakan share di komen.

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



GUARDIANS OF THE GALAXY VOL.3 Review

 

“All of us are imperfect human beings living in an imperfect world”

 

 

Sekali lagi kelompok misfit penjaga galaksi ini dikapteni oleh James Gunn. Tapi kali ini adalah terakhir kalinya Star-Lord, Nebula, Drax, Mantis, Rocket, Groot, Gamora, dan kawan-kawan bertualang bersama. Ini juga terakhir kalinya bagi pak sutradara berkiprah di jagat sinematik Marvel. Maka pantas saja beliau memastikan semuanya terasa spesial. Guardians of the Galaxy Volume Tiga ini ia bentuk sebagai salam perpisahan yang epik. Yang bukan para karakternya saja yang mendapat akhir perjalanan yang melingker dan benar-benar pengembangan keren dari awal mula mereka. Kita yang nonton pun merasa mendapatkan konklusi memuaskan dari petualangan panjang yang seru, penuh musik dan penuh warna. Film superhero Marvel yang satu ini buatku benar-benar terasa seperti akhir dari sebuah era!

Jalan cerita film ini juga sama seperti beberapa film Marvel belakangan ini. Contained di dunia sendiri, not really meddling around dengan multiverse yang membingungkan, dan terasa seperti episode kartun minggu pagi. Akibat serangan mendadak Adam Warlock ke  Knowhere – kota tempat para Guardians tinggal – Rocket terluka parah. Ini menyadarkan Peter Quill yang masih depresi kehilangan begitu banyak orang yang ia cintai. Gak mau kehilangan Rocket yang ia anggap sebagai bestie, Peter mengajak para Guardians yang lain untuk menginfiltrasi lab tempat Rocket ‘diciptakan’. Tapi aksi penyelamatan oleh Star-Lord dan kawan-kawan itu ternyata adalah jebakan. Karena dalang di balik penyerangan kota mereka adalah si High Evolutionary, orang yang merasa dirinya Tuhan, orang yang ingin menciptakan spesies dan dunia yang sempurna. Orang kejam yang bereksperimen dengan berbagai macam hewan, dan tanpa kasihan membunuhi ciptaannya yang gagal. Rocket actually adalah ciptaannya yang sukses, dan sekarang dia bermaksud untuk mengambil kembali otak cerdas si rakun!

Ketika Guardians of the Galaxy jadi pahlawan super PETA!

 

Cerita petualangan superhero bermuatan seperti yang dipunya film ini seolah ditakdirkan untuk sukses. Gampang disukai. Gimana tidak. Guardians of the Galaxy punya karakter yang begitu colorful sifatnya. Karakter yang sudah matang dimasak dari at least dua film sebelumnya. Interaksi mereka di sini jadi semakin natural. Ketika mereka bertengkar, saling menggoda, mereka terasa seperti keluarga beneran. Relate seperti interaksi antara orang-orang yang sudah sangat akrab. Duo Drax dan Mantis paling banyak mencuri tawa; Batista semakin jago ngelock-on timing komedinya, sementara Pom Klementieff pun semakin ahli membawakan karakternya yang bermata besar jadi adorable kayak cewek anime. Tapi tone ringan dan interaksi segar gak terbatas milik mereka. Volume Tiga actually punya banyak karakter, dan Gunn gak ragu untuk menggali sisi humanis mereka semua. Karen Gillan juga akan membuka sisi-baru karakternya karena di film ini journey Nebula jadi salah satu yang circled-backnya berakhir paling manis. Nebula akan berinteraksi dengan lebih banyak orang. Dan bicara tentang ‘orang’, Volume Tiga ini melakukan yang dilakukan oleh Taika Waititi kepada karakter utama dua film Thor terakhir, tapi juga kepada karakter anak buah musuh dan ‘NPC’. Menjadikan mereka bertingkah kayak orang normal di keseharian kita. Mereka semua kayak punya cerita dan kehidupan di luar momen mereka nampil di layar. Bahkan Adam Warlocknya si  Will Poulter yang mestinya jadi sub-boss dengan kekuatan mengancam aja, ternyata sayang binatang. Hal ini membuat vibe film ini terasa lebih dekat dan semakin kocak lagi.

Tentunya yang terpenting untuk film ketiga adalah fresh. Keunikan. Atau paling enggak kebaruan yang dimunculkan dari elemen yang familiar. Aspek ini terwujud lewat interaksi antara Gamora dengan para Guardians, khususnya dengan Peter Quill. Gamora yang bareng-bareng mereka, yang pacar si Peter itu, telah tewas, dan Gamora yang diperankan oleh Zoe Saldana di sini merupakan Gamora dari masa lalu yang belum kenal mereka. Gamora yang esentially pribadi yang berbeda. Sehingga dinamika karakter mereka pun jadi berbeda. Peter yang masih belum move on, berusaha terus mendekati Gamora, while cewek-hijau yang kini anggota Ravager itu terus menolak. Chris Pratt on mission kentara lebih menyenangkan untuk disaksikan ketimbang Pratt yang mabuk-mabukan di awal cerita. Development kecil yang dimiliki oleh Gamora dan Peter terkait relasi mereka di sini, jadi salah satu hati yang dipunya oleh cerita. Yang aku suka adalah film ini berani menegaskan diri sebagai ‘salam perpisahan’ yang membuat relasi dua orang ini terasa semakin dewasa. Karena ini basically cerita tentang dua lover yang jadi orang asing – some of us mungkin bisa relate dengan kisah cinta mereka. Film ini bisa membantu mencapai closure yang matang dari gimana Gamora dan Peter berakhir nantinya.

Arahan Gunn pun terasa kian matang. Volume Tiga terasa semakin enerjik lewat aksi cepat, di dunia yang imajinatif. Desain estetik lab biologisnya unik. Pun punya kontras yang chilling ketika film mulai menyentuh elemen cerita yang lebih dark. Yang paling kentara enerjiknya itu adalah gimana lagu-lagu rock populer yang sudah jadi ciri khas Guardians of the Galaxy dimasukkan sebagai suara-suara diegetik (suara yang beneran didengar oleh karakter di dalam cerita). Musik-musik itu selain bikin kita semakin seru menonton aksi yang dihadirkan, juga menambah layer adegan karena keberadaannya berhubungan langsung dengan pilihan karakter. Misalnya, di opening, Rocket berjalan keliling kota sambil muterin lagu Creep. Lagu yang cocok mewakili mood si Rocket yang lagi mengenang masa-masa dia pertama kali punya kesadaran (setelah jadi percobaan di lab High Evolutionary), yang turns out setelah kita sampai di bagian akhir film dan telah menangkap bahwa film ini adalah tentang orang-orang tak sempurna yang membuat dunia jadi terasa sempurna ternyata lagu itu juga mewakili tema dan plot keseluruhan film.

Bertahun-tahun High Evolutionary berusaha menciptakan spesies sempurna. Membangun, dan menghancurkan. Begitu terus. Dia tidak pernah mendapat kesempurnaan itu. Karena memang tidak ada yang sempurna. Hidup penuh oleh hal-hal yang tidak sempurna, oleh orang-orang yang tak sempurna. Justru dari situlah datangnya harmoni yang menjadikan hidup berharga. Guardians of the Galaxy pada akhirnya merayakan ketidaksempurnaan mereka, ketidaksempurnaan keluarga mereka. Salam perpisahan Peter Quill sejatinya adalah salamnya kembali pulang ke rumah, ke keluarganya yang tidak sempurna.

 

Ada banyak Shiragiku!!!

 

Selain sebagai salam perpisahan, film ini tepatnya bertindak sebagai transisi. Era James Gunn dengan Guardians Galaxy-nya memang telah berakhir, tapi seperti yang ditampilkan pada mid-credit scene, akan ada Guardians Galaxy generasi baru. Film Volume Tiga ini dengan baik mengeset perpindahan itu dengan membuat kita lebih dekat mengenal sosok yang berpengaruh nantinya, yakni si Rocket. Masa lalu Rocket sebagai makhluk ciptaan (dari rakun beneran) dieksplor habis-habisan di sini. Cerita akan bolak-balik antara misi penyelamatan oleh Star-Lord dkk dengan flashback masa lalu Rocket. Bagian flashback yang disebar di sana-sini tersebut memang penting dan tak bisa dipisahkan dari film, tapi ada kalanya flashback ini jadi problem bagi keseluruhan penceritaan. Yang jelas, tone jadi aneh. Volume Tiga really juggling dari ekstrim ke ekstrim. Dari ekstrim fun, ke esktrim dark. Gunn toh berusaha menjaga ritme dengan editing dan timing yang precise membangun feeling. Hanya saja sama seperti lirik lagu; gak semua yang ritmenya sama itu make sense. Kayak soal Rocket yang berkata dia gak akan membunuh High Evolutionary karena dia adalah Guardians of the Galaxy, perkataan yang cool kalo saja pada beberapa adegan sebelumnya kita enggak melihat Star-Lord literally membunuh si Mateo Superstore saat mereka terjun bebas kabur dari pesawat. Flashback-flashback itu seperti jadi mengganggu bangunan film.  Kadang flashback itu muncul dengan menyalahi aturan yang sudah disetup oleh film sendiri. Flashback yang merupakan kenangan dari Rocket itu tertangkap basah muncul tanpa ada Rocket – jadi setelah adegan dari karakter lain, tau-tau kita dibawa ke ingatan Rocket. Menurutku film ini mestinya bisa ngerem sedikit, untuk merapikan hal-hal yang seperti ini.

Bagian flashback itu yang bikin penonton banyak terharu. Ngelihat Rocket ternyata dulu punya teman-teman sesama makhluk buatan, dan tentu saja kita tahu ke arah mana nasib teman-teman Rocket itu. Bagus sebenarnya gimana dengan ini berarti ada film superhero yang gak melulu bicara tentang menyelamatkan manusia. Bahwa hewan juga adalah makhluk hidup, dan mereka juga sama pantasnya untuk diselamatkan dengan manusia. Masalahnya buatku adalah penjahat yang hanya cartoonish. High Evolutionary hanya seperti penjahat kartun yang kejam dan jahat. Gampang memancing simpati dan heat penonton dengan nunjukin orang yang bertindak kejam (and really loud) kepada hewan atau makhluk lemah. Menurutku High Evolutionary mestinya bisa diperdalam sedikit. Karena bahkan motivasinya yang pengen nyiptain spesies sempurna untuk dunia sempurnanya itu mirip-mirip sama motivasi Thanos – yang sudah terbukti bisa punya penggalian dan dimensi lebih banyak. Chukwudi Iwuji’s High Evolutionary cuma kejam, melotot, dan berteriak-teriak – masih mending kalo masih terasa kayak penjahat kartun, teriak ngamuk sekali lagi bisa-bisa ngeliat dia jadi berasa sama aja kayak ngeliat mertua galak di sinetron istri tersiksa hahaha

 




Nice send off buat era superhero misfit yang dibesarkan oleh James Gunn. Semua karakter utama mendapat development dan akhir journey yang memuaskan. Sekaligus bikin penasaran untuk film selanjutnya. Energi film ini benar-benar tumpah ruah, membuatnya jadi tontonan super yang menghibur, seru, dan tertawa-tawa. Film-film Guardians Galaxy selalu punya nilai lebih bagi penggemar rock, dan begitu juga dengan film ini. Tapi sama seperti yang dibicarakan naskah, bagiku juga tidak ada film yang sempurna. Penceritaan yang melibatkan bolak-balik antara petualangan dengan eksposisi backstory mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik lagi. Seenggaknya, bisa dilakukan dengan lebih konsisten pada rulenya sendiri. Secara objektif, flashbacknya masih kurang rapi. Tapi di samping itu, I have a blast watching this. Kayaknya aku bakal lanjut nonton film action barunya si kapten Amerika bareng Ana de Armas di Apple TV+ buat cooling down. Kalian bisa juga dengan subscribe di link ini yaa https://apple.co/3W0emlN

Get it on Apple TV

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 3

 

 

 




That’s all we have for now.

Orang berbuat kejam/kasar kepada hewan juga kerap terjadi di sekitar. Menurut kalian kenapa sih orang-orang bisa setega itu?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



THE SUPER MARIO BROS. MOVIE Review

 

“Physical bravery attracts most attention. But courage takes many forms”

 

 

Sega punya Sonic, Nintendo punya Mario. Sebagai anak 90an, itu perang-base pertama yang aku ikuti. Perang konsol video game rumahan, dengan maskot game masing-masing. I’m more of a Nintendo boy, tho. Aku lebih suka main Mario – yang menurutku lebih simpel dan lucu ketimbang Sonic. Gamenya juga kulebih menikmati buatan Nintendo (seenggaknya, sampai Sony PlayStation dengan Crash Bandicoot datang haha) Di ranah game-yang-jadi-film, however, kesuksesan Sega mengadaptasi Sonic sehingga dibikin sekuelnya, tampak bikin Nintendo gak mau kalah dan akhirnya mengeluarkan kembali IP game kesayangan mereka ini ke layar lebar!  Yup,  Mario Bros, memang dilindungi banget oleh Nintendo. Setelah live-action yang really cringe tahun 90an dulu itu, Mario hening. Gamenya aja yang terus keluar dengan berbagai variasi, tapi itu pun ekslusif untuk konsol Nintendo. Mulai dari side-scrolling, RPG, 3D Adventure, Balap, Berantem-berantem, bahkan random Sports. Aaron Horvath dan Michael Jelenic punya kesempatan emas dan lapangan bermain yang luas buat bikin film full CGI tukang ledeng bersaudara yang benar-benar compelling, melihat dari ragam dan gedenya IP ini. Jangan mau kalah dong ama Sonic. Tapi nyatanya, duo sutradara kita memang menebar banyak referensi dan merangkai cerita dari sana. Membuat film Mario Bros ini fun bagi kita yang mengenalnya, tapi hati film ini ada di ‘kastil’ yang lain.

Belajar dari kesalahan film live-actionnya dulu – serta kesalahan adaptasi game ataupun animasi yang suka tau-tau masukin karakter manusia yang gak ada di materi aslinya – film Mario Bros. sebenarnya memulai dengan langkah yang lebih mantap. Setidaknya, film tahu sisi unggul Mario Bros. Karakter manusia di tengah Mushroom Kingdom. Dan mereka membuatnya ya animasi semua. Didesain semirip mungkin dengan gamenya. Secara cerita, kubilang, film ini merangkai set up yang cukup bisa mendaratkan karakter. Mario dan Luigi hidup di ‘dunia nyata’, mereka bekerja sebagai tukang ledeng, dan mereka ini diledek oleh keluarga karenanya. Mario dan Luigi di film ini diceritakan sebagai dua orang dewasa yang diremehkan karena mereka kecil, dan kerjaan mereka juga dianggap sepele. Relasi antara Mario dan Luigi juga dibangun. Mario lebih berani dan jago, sementara Luigi orangnya agak penakut dan khawatiran. Sebagai animasi yang persis game, meski karakter mereka manusiawi, toh kita tetap melihat mereka melakukan kerjaan tukang ledeng dengan cara yang cartoonish, sehingga film tetap berjalan lucu dan menghibur. Saat ingin membantu beresin masalah banjir di kota Brooklyn, dua bersaudara ini tersedot pipa aneh yang membuat mereka terpisah. Mario sampai di Mushroom Kingdom, Luigi mendarat di wilayah Koopa yang dipimpin oleh Bowser, yang lagi dalam misi memperluas kekuasaan. Mario nanti akan bekerja sama dengan Princess Peach untuk mengalahkan Bowser, dan menyelamatkan Luigi

Ini bukan tentang Mario mukulin Bowser sampai pingsan, terus direkam, karena disuruh sama Peach loh ya

 

Yup, film ini memang punya kreasi tersendiri sebagai bentuk adaptasi yang mereka lakukan. Karakter Peach disesuaikan dengan masa sekarang, saat cewek gak lagi melulu diselamatkan. Peach di sini, digali sebagai Princess yang punya sisi petualang, yang lincah dan jagoan. Karakter-karakter lain seperti Donkey Kong, dan bahkan si Bowser sendiri juga diperlihatkan dari sisi yang berbeda, tapi kita masih tetap mengenali mereka sebagai karakter yang sudah kita kenal. Soal sedikit perbedaan ini, Mario sendiri juga disorot bahkan sebelum film ini tayang. Yakni soal aksen dan suara Mario yang terdengar berbeda dari versi video game. Chris Pratt yang nyuarain Mario sempat dirujak netijen karena suaranya beda, tapi ternyata film ini punya alasan untuk membuat Mario terdengar seperti ‘normal’. Karena ternyata aksen italia Mario dan Luigi itu, diceritakan sebagai gimmick mereka untuk iklan doang. Aksen itu cuma untuk menarik perhatian. Sehingga, sekarang kita bisa mewajarkan kenapa Mario suaranya seperti Chris Pratt bicara normal – karena Mario supposed to be orang biasa juga, yang masuk ke dunia ajaib di ujung pipa.

Bicara soal pengisi suara, menurutku Pratt menghidupkan Mario dengan baik, suaranya terdengar antusias, bingung, atau lainnya pada momen-momen yang tepat. Terkadang Mario akan bersorak ala game, dan Pratt tidak terdengar maksa ngucapinnya. Voice akting yang menonjol adalah si Jack Black sebagai Bowser. Aku hampir-hampir tidak menangkap itu suara Jack Black saat mendengar suara serak menggemuruh Bowser. Baru saat dia ada adegan menyanyi-lah, ciri khas Jack Black terdengar. Dan itu momen yang tepat, karena kita melihat Bowser dari sisi lain – sisi yang less barbaric. Salut buat Jack Black. Enggak kayak Seth Rogen yang suaranya gitu-gitu melulu. Begitu Donkey Kong ngomong, kita pasti langsung tau pengisi suaranya siapa haha. Seth mainin karakter ini standar. Anya Taylor-Joy juga di sini terdengar kurang nendang sebagai suara Peach. Tidak sememorable Bowser, atau juga Luigi. Charlie Day di sini memang juga cukup surprised buatku; Kupikir bakal annoying tapi Luiginya ternyata terdengar genuine, suaranya cocok sama dinamika karakter Luigi.

Karakter dalam Mario Bros. memakai berbagai item yang dikenal sebagai power ups untuk menjadi kuat. Ada bunga yang membuat mereka bisa menembakkan bola api. Ada kostum kucing yang membuat mereka jadi punya ‘jurus’ kucing. Dan ada jamur yang literally membuat mereka bertambah besar. Mario di sini gak suka jamur, tapi dia lebih gak suka lagi dikatain kecil. Jadi power ups benar-benar membantu. Tapi bukan power ups yang bikin Mario berani. Mario berani, karena dia gak ragu mengakui kelemahan dan memakai power ups. Mario berani, karena dia gak menyerah dan mencoba menyelesaikan tantangan platform terus menerus sampai berhasil.

 

Kreasi seperti pada set up karakter sayangnya tidak dilakukan utuh untuk menggarap cerita. Begitu sampai di Mushroom Kingdom, dan Mario, Peach, dan – di tempat terpisah – Luigi, harus bertualang, film mengganti kreasinya menjadi kreasi memunculkan referensi saja. Alur dan development, journey inner karakter, dijadikan minimal. Film cuma jadi serentetan adegan-adegan yang merujuk pada video game. Belum pernah aku merasa pengen balik buat main game, saat sedang nonton di bioskop, Mario Bros. memang senostalgia itu! Begitu banyak karakter (hampir semua musuh di game Mario hadir!), tempat, platform, dan bahkan musik yang bikin aku teringat sama sensasi main video gamenya. Tapi ini sudah bukan lagi jadi pujian. Karena di balik itu semua, petualangan Mario di Mushroom Kingdom, melawan Bowser, terasa kosong. Efek Mario pisah dengan Luigi sama sekali tidak digali. Pas battle terakhir mereka ketemu, dan penyadaran Mario datang begitu saja. Mario cuma ngikut ke mana karakter-karakter lain membawanya, ke mana naskah mengarahkannya, dia tidak benar-benar ‘memainkan’ petualangan itu. Like, masalah banjir di kota saja terlupakan karena Mario masuk ke Mushroom Kingdom. Dan kesempatan Mario balik ke kota dan menyelamatkan kota datang dari pertarungan dia dengan Bowser. Di tengah-tengah itu, Mario never reflect tentang kegagalan dia di awal atau semacamnya. Dia jadi hero dan diaccept keluarga dengan otomatis, petualangannya tidak terasa earned. Melainkan cuma kayak rentetan kejadian seru seperti pada video game. Film ini cuma punya hal-hal yang pernah kita lihat, dan kita lakukan di dalam video game. Tanpa ada konteks yang kuat – or rather, dengan konteks yang dibangun tapi dilupakan – menyaksikan itu semua ya jadinya kayak ngeliat iklan video game terbaru Mario saja ketimbang melihat film yang menceritakan soal Mario dan teman-teman.

Game- eh film Mario baru, with better graphics!

 

Seolah puluhan referensi game Mario belum cukup, film lantas masukin nostalgia 80an secara umum. Membuat film menjadi semakin tampak seperti cuma bergantung kepada nostalgia. Yang paling mengganggu buatku adalah lagu-lagu populer 80annya. Like, why. Aku sumringah setiap kali nada-nada dari game terdengar, mewarnai adegan sebagai background. Sebaliknya, aku mengernyit kenapa lagu Take On Me yang dimainkan saat mereka masuk ke wilayah Donkey Kong, bukannya muterin lagu theme game Donkey Kong. Apa hubungannya lagu-lagu populer itu dengan film dari game, toh gamenya tidak pakai lagu-lagu tersebut. Dari situ saja kita bisa menyimpulkan bahwa film ini ya benar-benar menyasar gelombang nostalgia semata. Enggak benar-benar punya cerita untuk disajikan. Bekerja terbalik alih-alih membangun cerita dan menghiasnya dengan referensi dan nostalgia, film ini justru ngumpulin referensi dan lantas menghubungkan semua itu dengan apa yang akhirnya mereka sebut sebagai cerita. Gak heran film ini jadi terasa tipis, bahkan kosong seperti tak-berhati.

Sebelum ini, aku nonton satu lagi film yang diangkat dari game populer di Nintendo, yang tokohnya juga pria berkumis (tapi bukan tukang ledeng). Tetris. Cerita pembuatan game itu ternyata udah kayak film aksi mata-mata! Kalian bisa baca reviewnya di sini. Dan yang pengen menontonnya, Tetris tersedia di Apple TV+, kalian bisa mulai berlangganan di https://apple.co/3nhEOdf
Get it on Apple TV

 




Urusan game, aku memang lebih suka Nintendo dengan game-game seperti Mario, Donkey Kong, Metroid, Kirby, dan lain-lain. Tapi untuk urusan game yang diadaptasi jadi film, Sega – saingan Nintendo sejak lama – ternyata masih unggul. Sonic satu. Mario nol. Film ini void, terasa kayak gak ada cerita. Padahal berangkat dari set up yang lumayan bikin film kerasa punya kreasi sendiri sebagai adaptasi. Tapi begitu petualangannya masuk, film ini tancap gas dan hanya berubah menjadi suguhan adegan-adegan seperti game. Dan lagu-lagu populer era lawas. Kalo dibilang menghibur dan menyenangkan, ya memang menghibur dan menyenangkan. Tapi bukan lantas berarti sinema, seperti kata Luigi. Iklan sirup aja bisa menghibur kok. Dan memang baru seperti itulah level film ini. Baru seperti iklan.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for THE SUPER MARIO BROS. MOVIE

 




That’s all we have for now.

Pernah dong main game Mario? Power up favorit kalian dalam seantero game Mario apa sih?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MOANA Review – [2016 RePOST]

 

“There’s (should be) more than meets the eyes.”

 

moana-poster

 

Kluk, kluk.

Hei hei, kenalin, namaku Heihei. Kalian tentu sudah menyaksikan petualanganku mengembara samudera dengan Putri Moana, bukan? Wah kalo belum, sayang sekali, kalian tidak melihat betapa keren dan cerdasnya aku di situ.

Wow, aku bisa mendengar sorakan kalian dari sini. Terima kasih, terima kasih. Tadinya kupikir cuma Moana yang bisa melihat kelebihanku. Aku tahu dia suka padaku. Sewaktu remaja dia pernah melarang seseorang untuk menjadikanku ayam goreng. Moana juga sering curhat – bicara padaku. Dan sebagaimana layaknya pendengar yang baik, aku akan mendengar keluh kesahnya tanpa berkedip sampai Moana selesai bicara. Yang biasanya ia lakukan abruptly, yang mana kutahu dia merasa amat terbantu oleh kehadiranku. Dan aku tahu kalian juga suka padaku. Setiap kali aku beraksi di layar, kalian pasti berseri dan tertawa-tawa.

Padahal sebenarnya aku seekor ayam biasa di desa. Well, oke, aku sedikit lebih tampan sih dibandingkan ayam-ayam lain. Mataku indah, sebesar bola pim… tenis! Kerjaanku sehari-hari di pulau ya cari makan, sama kayak penduduk desa yang lain. Aku suka matukin batu, selera makanku cukup gede. Kalian tentu sudah melihat betapa festivenya penduduk desa kami. Kehidupan suku kami memang menyenangkan seperti itu; bikin kerajinan tangan, memanen hasil-hasil alam sambil bernyanyi. Pemandangannya indah. Semuanya pada betah, tidak seorangpun mau repot penasaran terhadap apa yang ada di seberang lautan selepas batu karang sana. Yang kami tahu hanya ada ombak besar. Berbahaya. Lagipula ada legenda yang mengatakan penduduk harus tinggal di pulau.

Ladies and Gentlemen, sambutlaaaahhh: The Rock!!!

Ladies and Gentlemen, sambutlaaaahhh: The Rock!!!

 

Tidak seorangpun yang bermimpi untuk berlayar, kecuali Moana. Anaknya pemberani sekali. Moana adalah putri dari kepala suku kami, jadi tinggal tunggu waktu sebelum Moana diangkat menjadi pemimpin baru. Masalahnya adalah, Moana suka sekali sama air. Beneran. Dia pernah nekat berlayar bareng Pua si babi, dan sampan kayu mereka hancur dengan sukses diterjang ombak. Aku bersumpah untuk tidak akan jadi sebego Pua. Aku akan menjauh sejauh-jauh mungkin dari pantai.
Kemudian seantero desa terkena masalah, kelapa pada menghitam, panen-panen busuk. Legenda mengatakan ini adalah kutukan dari Te Fiti. Satu-satunya cara mencegah ‘wabah’ ini menyebar adalah dengan mengembalikan hati Te Fiti yang dibawa kabur oleh Maui, seorang Setengah-Dewa yang menghilang setelah kalah berantem sama sesosok makhluk kuno.

Langkah kaki mantap membawaku ke naungan sebuah gua yang besar dan tersembunyi. Sepertinya tidak ada penduduk desa lain yang tahu tempat ini. Kupikir jika tinggal di dalam gua leluhur suku Moana dengan banyak perahu-perahu yang ditinggalkan ini, maka aku bisa selamat meski seluruh pulau mati. Bukankah aku sudah bilang bahwa sebenarnya aku ini pinter? Hah! Aku ngendem di dalam salah satu kapal yang berisi banyak benda yang bisa kupatuki. Rencanaku sudah sempurna. Jadi jangan ketawakan aku yang teriak sekenceng-kencengnya begitu kali berikut aku diangkat oleh tangan lembut nan tegap Moana, aku mendapati kami berdua berada di tengah-tengah lautan biru!

Kukuuuuuuuukkkk!!!!

Kalian terkagum oleh ANIMASI LAUT YANG BEGITU REALISTIS sehingga kalian merasa kebawa seger dan ingin menyentuh air kepulauan tropis yang hangat nan indah. Well, aku bisa kasih tau; Airnya Dingin! Setidaknya bagi bulu ayamku. Aku sebenarnya mencoba kabur, namun Moana yang kini sobatan sama lautan berkat kekuatan dari jimat hati Te Fiti, malah mengurungku di dalam perahu. Misi kami adalah menemukan Maui. Moana memang nekat, despite her father’s wishes, dia tetep aja bertualang di lautan to set things straight.

Situasi yang memburuk bukan berarti adalah kesalahan dari orang yang kebetulan lagi memimpin. Akan tetapi, pemimpin kudu berani untuk mengambil resiko, to take on action untuk segera menyelesaikan masalah yang ada demi kebaikan yang lebih besar bagi semua orang.

 

Tapi senekat dan seberaninya Moana, sebenarnya ada satu masalah: cewek itu enggak tahu caranya mengemudikan perahu layar. Petualangan seru kami semakin menjadi kocak setelah Maui beneran bergabung. Mulanya aku agak bete lantaran makhluk sok-jago itu menyebutku sebagai kudapan. Namun ternyata hatinya cukup baik, dia peduli pada kesehatanku di laut, Maui kerap memberi biji-bijian untuk aku makan. Psst, Maui secretly ngefans loh sama aku, terbukti dari ketika ia kelepasan berubah wujud nyamain diriku yang tamvan pakek v. Sebaliknya, yang paling aku suka dari Maui adalah tatonya. Sekujur tubuh Maui ada tato yang bisa bergerak dan punya pikiran sendiri. Tato Maui bisa protes dan bereaksi terhadap tindakan Maui. Dia bicara kepada tato-tatonya, malahan ia sering dibikin jengkel lantaran tato tersebut kerap menyuruh Maui ngelakuin the right things to do; membantu Moana.

Aku terhibur sekali sepanjang perjalanan. Aku pikir kalian juga. Menyenangkan sekali melihat hubungan ombang-ambing antara Moana dan Maui, mereka bertengkar padahal mereka harus belajar bekerja sama. Dwayne Johnson menunjukkan kepawaian skillnya dalam dissing people dan ngomong tinggi terhadap dirinya sendiri. Sebagai tulang punggung cerita, reaksi dan timing dan ekspresi Auli’I Cravalho enggak menunjukkan kalo ini adalah debut voice-actingnya. Petualangan kami hidup oleh interaksi mereka. Aksi-aksi yang kami lewati pun sangat seru. Jangan salah, peranku vital loh! Kemampuanku menelan benda-benda keras jauh lebih bermanfaat dibanding keimutan si Pua. I eventually got hurt dalam pertarungan besar kami di akhir cerita. Meski begitu, aku bersyukur enggak terlibat sekuens di bawah laut saat Moana dan Maui berhadapan dengan seekor karakter ala-ala bajak laut yang sangat original. Soalnya aku masih menggigil akibat sebelumnya nyaris game over di tangan monster-monster Kakamora yang kayak buah kelapa yang mengejar perahu kami.

Mad Max Polynesian Road!

Mad Max Polynesian Road!

 

Semua tropes Disney klasik favorit pemirsa sekalian, hadir dalam kisah kami. Narasinya rada-rada klise; Dua tokoh lead yang saling enggak akur, hero yang beranjak dewasa yang belajar banyak tentang kehidupan – yang ternyata lebih luas dan lebih besar daripada dirinya sendiri. Pesona kisah kami terletak di setting budaya Kepulauan Polynesia yang baru pertama kali diangkat dan dijadikan fokus oleh Disney. Berbalut MITOS YANG FASCINATING. Aku beruntung bisa jadi bagian dari kehidupan sosial di sana. Aku beruntung bisa berada di tengah-tengah kejadian. Aku beruntung bisa kenal Moana. Dan kupikir, just get to watch her blossoms into something beautiful membuat kalian sama beruntungnya sepertiku.

Moana dan Maui juga pandai bernyanyi. Ada lebih dari satu lagu yang bikin buluku berdiri. Adegan musikal yang ada terdengar dan terlihat megah sekali. How Far I’ll Go could be the next Let It Go, catchy dan fun to listen to. Kalo ayam bisa nyanyi pastilah aku juga sudah ikut bernyanyi. Harapanku semoga lagu tersebut tidak jadi annoying, sih, kayak Let It Go yang mentang-mentang bagus, diputerin terus. Untungnya kami tidak punya radio atau internet di pulau. Kalo didenger-denger lirik lagu-lagu yang mereka nyanyikan memiliki arti dan turut berkembang bersama perjalanan mereka.

Memang, petualangan kami bertiga tidak sepadet kisah rekan-rekanku di film Zootopia (2016) yang pake baju dan bisa berbicara. Perjalanan kami lebih mudah diikuti oleh anak-anak karena tidak banyak yang tersembunyi di bawah permukaan. Zootopia yang bertema lebih mature akan membuat penonton tenggelam dalam pikiran demi pikiran yang menantang. Pesan dalam Moana lebih tembak-langsung dan dibumbui oleh banyak humor ringan dan sekuens aksi yang seru. Nilai entertainment petualangan kami jauh lebih tinggi. Kalian bisa bernyanyi, tertawa, dan terkagum oleh animasi tanpa perlu banyak berpikir. Kalian enggak perlu pinter banget dulu untuk ngakak melihat kelakukan dan tampang blo’onku.

Berkat Moana suku kami sukses mengarungi hidup yang lebih baik. Kemandiriannya mengajarkan banyak hal, terutama buat anak cewek. You don’t need to wait to be saved, that you can take the matters to your own hands and save all things you loved yourself. Bahkan mengajarkan hal tersebut kepada pria sekuat Maui yang berhasrat dielukan sebagai pahlawan; kita perlu bergerak untuk mewujudkan yang kita inginkan. Atau malah kepada seekor ayam, a village-idiot, sepertiku. Moana percaya ada sesuatu yang lebih deep, deep inside of me, dan itu membuatku sendiri percaya bahwa mungkin aku memang lebih pintar daripada kelihatannya. There’s more than meets the eyes. There should be. Kukukruyuuk!! #thechickenlives

 




Animasi luar biasa – dari tahun ke tahun Disney terus nunjukin peningkatan yang signifikan dalam urusan visual, voice acting yang benar-benar hidup, musical numbers yang megah, moral yang baik, pesan yang berharga, semua yang bisa kita minta sama animasi klasik Disney ada di sini. Ceritanya sangat exciting dan menyenangkan. At the same time, film ini enggak really punya banyak di dalam benaknya. But that’s not necessarily a flaw. Karena dirinya adalah film yang sangat menghibur, anak-anak akan menyukainya sementara orang yang lebih dewasa akan bisa terpuaskan melihat sorotan budaya yang disuguhkan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for MOANA.

 




That’s all we have for now.

Special thanks to Heihei the bantam rooster for typing his pieces.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.



DUNGEONS & DRAGONS: HONOR AMONG THIEVES Review

 

“The only person that was ever holding you back was yourself”

 

 

Dalam budaya ‘nerd’, Dungeons & Dragons – ngetrennya disingkat jadi D&D – adalah legend. Banyak yang menyebutnya sebagai cikal bakal role-play dalam dunia permainan. Menginspirasi begitu banyak game fantasi dengan konsep-konsep seperti job-class, magic, experience point, dan istilah-istilah petualangan lainnya. Padahal aslinya D&D permainan sederhana. Dimainkan oleh sekelompok orang, yang istilahnya mengkhayal menjadi karakter tertentu. Membangun cerita dan kehidupan karakter itu. Lantas melakukan aksi apapun yang ia mau, sesuai kocokan dadu. Petualangan pun dilakukan dengan dipandu oleh Dungeon Master yang menceritakan dunia khayal mereka dengan lengkap. Itulah pesona dari permainan ini; kebebasan storytelling. Petualangan ajaib, powered by our shared fantasies.  Telah banyak yang mengadaptasi D&D dalam berbagai rupa. Diekspand menjadi seri video game khusus, diadaptasi jadi kartu, film seri, konsepnya juga telah berkali-kali muncul dalam pop culture, seperti yang kita saksikan di Stranger Things atau Community, permainan ini jadi hobi atau dimainkan oleh karakter. Karya John Francis Daley dan Jonathan Goldstein kali ini actually adalah kali keempat D&D jadi film layar lebar. Dan ini adalah kesempatan mereka untuk membuat yang unik, yang beda dari yang sudah-sudah. Membuatnya jadi kayak orang main D&D beneran – saat satu karakter tertampil jadi karakter dalam permainan – tampaknya akan jadi mirip dengan konsep di film Jumanji versi The Rock. Jadi, John dan Jonathan harus mikirin cara lain. Guess what? Mereka membuat D&D ini sebagai cerita heist di dunia fantasi, ala Marvel!

Aku suka setting fantasinya, sih. Karakter-karakternya masih sesuai dengan job-class masing-masing. Ada yang penyihir, ada yang warrior, ada druid yang bisa berubah jadi hewan. Protagonis utama kita actually seorang bard, pemusik.  Di sini disebutnya Harper. Tapi perannya dalam kelompok sebagai strategist. Dan kelompok mereka, adalah kelompok pencuri. Dari sinilah tertanam kuat arahan buat jadi cerita heist itu. Jadi setelah kematian istrinya di tangan Penyihir Merah Thay, Edgin si Harper nyari nafkah untuk anak perempuannya lewat nyolong dari orang-orang kaya yang culas. Dia beraksi bersama kelompoknya. Bagaimana mereka bertemu, kita tak tahu karena masalah ini actually disajikan lewat montase eksposisi. Cerita justru mulai berjalan dua tahun setelah Ed, dan rekannya, Holga si wanita perkasa tertangkap dan dipenjara. Ed dan Holga kabur dari penjara, bermaksud menemui kembali putrinya yang dititipkan kepada Forge si Con-man. Tapi yah, namanya juga penipu, Forge sekarang telah menjadi orang kaya culas – telah menjadi musuh. Putri Ed dimanipulasi untuk membenci ayahnya. Maka, Ed dan Holga kini harus ‘mencuri’ dari si Forge, dan it’s not gonna be easy karena Forge punya pasukan dan penyihir.  Ed dan Holga harus mengumpulkan kembali anggota guna menyusup ke kota Forge. Persis kayak cerita film-film heist, kan? Yeah. Ugh.

Bukan role-play yang itu loh yaa

 

Look, I know, ketidaktertarikanku sama genre heist beserta trope-trope usangnya tidak lantas menjadikan film ini auto-jele. Untuk urusan fantasi, kedua sutradara toh memang punya arahan yang seru. Adegan-adegan aksinya tampak berbeda, keunikan karakter dimainkan dengan kuat semua. Mulai dari Holga menghajar orang-orang hingga party protagonis kita bahu-membahu melawan naga overweight, semuanya terhampar penuh energi dan fresh. It also looks very good, efek serta editing gak terlihat choppy. Mulus-mulus aja. Buktinya, adegan panjang ketika Doric si Druid yang lagi nguping penyihir jahat dalam wujud lalat terus ketahuan itu, tampak benar-benar seru dan intens. Dia akan dikejar oleh pasukan dan si penyihir, dan kita melihat dia berusaha kabur dengan berubah menjadi berbagai macam hewan, dan kamera dengan dinamis tetap mempertahankan perspektif kita lekat dengannya, sehingga jadi seolah kita turut kabur bersama. Desain karakter dan makhluk-makhluk pun tampak sama kerennya. Film ini bekerja efektif dalam membangun dunia panggung cerita.

Development karakter dalam ceritanya pun berasa. Seperti tiang penyangga pada sebuah bangunan berdesain unik yang heboh, kokoh membuatnya semuanya tetap berdiri. In a true game D&D fashion, masing-masing karakter di sini dirancang sebagai orang dengan spesifik skill, dan cuma itu yang mereka punya. Cuma skill itu yang mendefine mereka. Rancangan yang sesungguhnya merupakan ground yang risky, karena bisa membuat karakter jadi satu dimensi. Film ini justru mengembrace itu. Keterbatasan kemampuan, membuat karakter jadi harus bergerak dalam kelompok. Tempat di mana masing-masing mereka jadi bersinar karena saling melengkapi. Keterbatasan itu juga dijadikan hook dramatis. Bahwa mereka ini jadi bercela karenanya, beberapa dari mereka merasa worthless karena mereka bahkan belum benar-benar jago dalam melakukan satu hal yang define them. Penyihir yang gak ahli magic. Tukang bikin siasat yang bikin rencana muter-muter. Gagasan film soal seringkali kita terhambat justru oleh diri kita sendiri, masuk dari sini. Ed dan karakter lain akan belajar untuk mengakui kekurangan sendiri, dan bagaimana untuk tidak menjadikannya sebagai kelemahan, justru sebagai kekuatan. Apa yang dilakukan Ed pada benda pusaka, demi putrinya, di akhir cerita benar-benar menutup plot karakternya dengan manis.

Kita menyebutnya overthinking. Kita memilih untuk tidak mengejar sesuatu karena banyak mikir seperti bukan untuk kita, banyak yang lebih jago, waktunya gak tepat, dan sebagainya. Sering kita kalah sebelum bertanding seperti ini karena berpikir kita not good enough. Padahal, seperti yang ditunjukkan karakter film ini, justru pikiran kita itu yang jadi satu-satunya hambatan. Ternyata kita boleh jadi cuma selangkah dari sukses. Kita bisa melakukan apapun, jika percaya kita bisa melakukannya.

 

Gagasan kita bisa melakukan apapun, if we put our mind into it, sepertinya ditelan mentah-mentah bahkan oleh film ini sendiri. Kisah petualangan fantasi seperti ini memang paling cocok diceritakan ringan dan penuh hiburan. Dan film tepat berpikir mereka harus jadi se-ringan superhero Marvel. Yang salahnya adalah, mereka justru menjadi superhero Marvel. Mereka bahkan basically recreated adegan Hulk dan Loki di Avengers. D&D Honor Among Thieves mengakui kelemahan desainnya sendiri, karakter yang satu dimensi; di satu sisi mereka berhasil bikin itu jadi daya tarik karakter, tapi di sisi lain, untuk menjaga supaya film ini menghibur, para karakter tersebut dituliskan mengucap dialog yang seperti diketik oleh mesin-mesin peniru Marvel. Ed, Holga, dan yang lain akan constantly bicara lewat remark-remark one liner yang konyol. Yang completely di luar situasi, hanya untuk humor. Aku ngarepnya sih mereka ditulis lebih baik lagi, lebih original lagi. Apalagi di balik mereka; aktor-aktor di antaranya seperti Chris Pine, Hugh Grant, Michelle Rodriguez, Sophia Lilis, punya kapasitas menghidupkan karakter dengan cara sendiri. Tapi karakter mereka yang kita lihat di sini tuh kayak versi tiruan – bicara, mannerismnya, kayak standar karakter-karakter superhero kocak. Jadi kayak karakter generik petualangan yang fun.

Ketika game role-play, role-playing jadi cerita heist

 

Dan lagi, memang trope-trope heist itu menghambat kreativitas film ini. Batu yang cuma ‘pengganti’ walkie-talkie, atau intercom, ngumpulin kru dan bekerja terbalik dalam memperkenalkan mereka alih-alih menjalin genuine dari awal, turn ternyata karakter ini adalah siapa. Dengan ini keseluruhan film fantasi ini terasa jadi generik. Like, bukankah trope heist sudah jemu. Kenapa cerita petualangan fantasi ini akhirnya harus masuk ke dalam kotak genre yang formulaik dan gak magic-magic amat. Plus, terlalu banyak eksposisi. Game D&D memang bakal banyak eskposisi cerita dari Dungeon Master, tapi ketika sudah jadi film, kebanyakan tell dibanding show, jelas bukan bentuk yang bagus. Untuk memvariasikan eksposisi, film juga menggunakan komedi. Yang buatku juga gak benar-benar bekerja dengan konsisten. Karena beberapa adegan jadinya malah kayak pointless. Misalnya ketika Ed menceritakan masa lalunya untuk pertimbangan dia dibebaskan. Backstory dia, keluarganya, dan kelompok pencurinya diceritakan dramatis di sini, dia bahkan sudah dinyatakan bebas. Dan kemudian film berusaha ngasih punchline komedi dengan membuat Ed kabur needlessly. Momen-momen kayak gitu bukan malah membuat film jadi original, tapi jadi semakin terasa terlalu pengen absurd kayak film superhero itu.

 




Film dari game berkonsep role-play, namun sendirinya role-playing jadi sesuatu yang lain. Taste original yang mestinya masih bisa sedikit dipertahankan jadi sama sekali hilang. Itu sih yang aku sayangkan. Terutama karena di sepanjang durasinya itu kita melihat sendiri film ini bisa hadir genuine fun dan seru lewat aksi-aksi petualangan dan laga yang benar-benar memanfaatkan elemen fantasi sebagai karakter. Bukan sebagai properti, kayak waktu film ini membuat batu sihir jadi alat komunikasi jarak jauh kayak walkie-talkie atau intercom di heist dunia modern. Karakter-karakternya loveable, dan aku percaya mereka bisa melakukan lebih baik daripada jadi tukang nyeletuk lucu doang. Sebagai adaptasi dari board game, however, film ini berhasil masuk ke kotak ‘the better ones’. Mungkin gak akan membuat orang tertarik pengen main D&D beneran, tapi paling enggak bagi yang tahu, film ini cukup berhasil memasukkan elemen-elemen itu ke dalam bangunan yang berbeda. Bangunannya itu saja yang kuharap bisa lebih original lagi ke depan. I mean, masa sih untuk jadi ringan caranya cuma harus ngikutin template Marvel. Dieksplor lagi aja.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for DUNGEONS & DRAGONS: HONOR AMONG THIEVES

 




Penyihir di film ini buatku teringat kaloseason terbaru serial original Apple TV+, Servant yang penuh vibe mistis dan sihir di balik urusan keluarga kehilangan bayinya, udah tayang! https://apple.co/40MNvdM Kusuka banget misterinya, dan penasaran akhir ceritanya gimana. Beneran sihir atau bukan. Kalian yang belum subscribe platformnya, bisa langsung klik di sini biar gak ketinggalan serial dan konten film original lainnya yaaa
Get it on Apple TV

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian, apa sih appeal dari permainan D&D dan komunitasnya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



JOHN WICK: CHAPTER 4 Review

 

“Where there is no mutual respect, there’s trouble”

 

 

Tantangan utama dalam menggarap seri action segede John Wick adalah kita harus senantiasa membuat the next action set-piece yang lebih wah daripada sebelumnya. Enggak bisa hanya dengan menampilkan adegan berantem yang serupa terus-terusan. Semuanya harus digedein. Dicari sesuatu yang baru untuk mendesak protagonis utama cerita. Untuk alasan itulah, aku kagum sama ‘aksi’ penyutradaraan Chad Stahelski. Aku kagum sama cara dia ‘membesarkan’ John Wick dalam span empat film. Karena di setiap film ini, Chad sukses mengungguli dirinya sendiri. Dari cerita saja misalnya, bermula dari pria yang mengejar perusak mobil dan pembunuh anjingnya, hingga menjadi buron satu dunia! Dunia John Wick juga dibuat semakin meluas – ‘mitos’ siapa sebenarnya John Wick serta organisasi di belakangnya terus digali, dan semua itu berujung jadi bahkan lebih luar biasa lagi di chapter terakhir John Wick ini. Di film keempat ini stake couldn’t go any higher (walau di titik ini aku percaya Chad masih bakal menemukan cara liar lagi untuk somehow membuat jadi lebih gede lagi kalo dia bikin film kelima) karena cerita menjadi semakin personal bagi John Wick. Orang ini dihadapkan pada teman-teman lamanya sendiri, selagi dia bergerak dari satu negara ke negara lain. Tempat-tempat dan ‘musuh-musuh’ berbeda itu jadi semacam stage bagi petualangan epic John Wick membersihkan nama dan mencari kedamaian. Thus, membuat film ini jadi semacam one hell of a video game!!

John Wick yang sudah jadi excommunicado  itu ceritanya nyari refugee ke teman lama, tapi The High Table yang kini menyerahkan kepada seseorang borjuis keji bernama Marquis, memilih untuk jor-joran menghalau dia untuk keluar dari persembunyian. Semua yang pernah berhubungan dengan John Wick diperiksa. Dilenyapkan, jika tak mau bekerja sama. Salah satu bestie dari masa lalu John bahkan disewa (atau lebih tepatnya diblackmail) untuk memburu dirinya. Inilah yang jadi nilai personal pada cerita kali ini. Karena bagi John, ini jadi eye opener bahwa dia juga membahayakan teman-temannya, baik itu yang mau membantu, ataupun yang terpaksa tak bisa membantu. Untuk menyetop semua itu, ada satu cara yang bisa ditempuh oleh John, yakni menantang Marquis duel satu-lawan-satu di bawah peraturan The High Table. Hanya saja, ada syaratnya. John harus menjadi bagian dari satu keluarga. Serta tentu saja ada tantangan lain, berupa Marquis yang licik itu punya rencana lain untuk membuat John bahkan tidak bisa berdiri untuk bisa menuntaskan syarat-syaratnya.

I actually screamed, kupikir mereka mau duel Yugioh

 

Gimana gak kayak video game, coba. John Wick constantly diserang dan harus bertarung menyelamatkan diri ke manapun dia pergi, dan basically ada tiga ‘stage’ utama yang dia datangi. Hotel di Jepang, Kelab di Berlin, dan beberapa tempat di kota Paris. Tiga kota yang dihadirkan sebagai set-piece yang berbeda, menawarkan tantangan berbeda buat John – masing-masing tempat malah punya ‘boss’ sendiri – sehingga juga jadi suguhan dan pengalaman aksi berbeda buat kita yang menyaksikan.  Nonton ini pas bulan puasa dijamin enak banget, waktu nyaris tiga jam akan kelewat dengan tak terasa. Salah satu pesona aksi yang dimiliki John Wick, yang membuatnya berbeda dengan film laga lain adalah, aksi-aksi di John Wick – termasuk film keempat ini – lebih berfokus kepada aksi berantem ala kung-fu. Dengan memanfaatkan keadaan sekitar sebagai senjata ataupun koreo laganya. Inilah yang bikin kerasa intens. Apalagi aksi-aksi yang direkam in the moment ngikutin John Wick bergerak itu tampak plausible, dan Keanu Reeves selalu total melakukan semuanya. Yang bikin unik dan jadi ciri khas John Wick adalah pilihan senjata; pistol. Sekali lagi, art of Gun Fu (kung fu pake pistol) jadi sajian menghibur oleh film ini. Ngeliat John melakukan combat closed range dan menggunakan pistol sebagai finisher – menembak kepala lawan lewat celah di helm atau sebagainya – selalu terasa memuaskan. Dan seringkali juga kocak. Kayak, one time ada sekuen John harus berantem sambil menaiki 200 steps/tangga, dalam keadaan buru-buru mengejar waktu. Kebayang dong, beratnya gimana. Sekali ketendang, dia bisa menggelinding kembali ke bawah. Penonton sestudio heboh geregetan nih pas di adegan ini!

Makanya saat nonton aku ngerasa John Wick 4 ini bakal seru kalo dibikin game bergenre beat ’em up dicampur sama run ‘n gun. Bayangkan River City Girls atau Double Dragon, digabung dengan Contra. Cepat, energik, dan stylish. Persis Itulah vibe John Wick. Bahkan ada satu sekuen aksi yang treatmentnya udah video game banget; kamera dari langit-langit, melihat ke bawah memperlihatkan John merangsek masuk ke gedung sambil menembaki musuh, pake peluru yang dimodif jadi berapi upon contact. Aksi favoritku, however, adalah pas berantem di jalanan kota Paris. John dikejar, menghajar musuh, sambil berusaha nyebrang di jalan yang rame. Mobil berseliweran di sekitar mereka. Para musuh, dan John sendiri, tak ayal sering kena tabrak. Serunya jadi naik berkali lipat, apalagi ketika John mulai mencoba memanfaatkan traffic itu untuk menghajar lawan-lawannya. Wuih, kupikir ini sama sekali belum pernah kulihat sebelumnya. Set action yang bervariasi itu membuat film terus-terusan menghibur. Puncak dari semuanya adalah duel pistol klasik, ala koboy. Siapa yang lebih duluan draw pistol dan menembak (dengan tepat sasaran, tentunya) bakal menang. Film ini gak mau finale mereka berakhir sesimpel itu. Konteks adegan – dari relasi antarkarakter  membuat kita gak mau ngedip di adegan terakhir ini. Ketegangan benar-benar merasuk, karena kita tahu apa yang dipertaruhkan, kita penasaran bagaimana itu semua berakhir, resolusinya apa, apakah si Marquis yang curang itu bakal dapat ganjaran setimpal. Turns out, adegan itu bakal jadi sangat emosional sekaligus memuaskan. Aku bisa mendengar para penonton yang lain terkesiap dan nyeletuk lirih hal yang dilakukan oleh John sebagai jalan keluar. Rasanya pengen banget ngerewind klimaks dari adegan tersebut, berulang-ulang, saking memuaskannya.

Tentu saja film bisa mencapai momen sebegitu kerasa itu karena di balik aksi-aksi panjang dan seru itu, film ini masih punya cerita yang cukup mengakar. Memang gak dalam eksplorasinya, tapi cukup untuk melandaskan momen-momen dramatis. Dinamika antara teman dan lawan dijadikan benang merah bahasan cerita. Bahwa ini sebenarnya menggambarkan tentang mutual respect. John Wick enggak pernah protes saat teman lamanya datang pengen membunuhnya karena telah dibayar oleh High Table. Karena John Wick respek dengan sobatnya itu, John memahami posisi mereka. Begitu juga sebaliknya, kita merasakan bahwa bagi si teman, kerjaannya ini juga berat – dia sebenarnya gak ingin melakukannya, tapi gak punya pilihan, maka dia tetap melakukannya tapi tanpa membuang respeknya terhadap John sebagai teman.

Relasi mereka jadi hati pada narasi, dan dikontraskan dengan si penjahat Marquis yang tak pernah memandang orang lain – lawan ataupun bawahan – dengan respek. Selain soal itu, aku juga suka sama cara film mengakhiri saga John Wick ini. Cara film memberikan apa yang John mau, tapi di saat bersamaan memberikannya penyadaran akan hal yang harus ia terima sebagai wujud dari damai yang ia cari. Kupikir film telah berakhir mendapatkan cara yang benar-benar respek terhadap karakter dan emosional bagi kita untuk menyudahi franchise yang telah mengguncang skena sinema laga ini.

The JW that we can trust!

 

In a true video game fashion, John juga lantas tertampil kayak protagonis di video game. Dia making choices, beraksi dan segala macam tapi dia terasa sedikit lebih stoic dibanding karakter lain. Kayak di game, protagonis biasanya dialog dan emosinya lebih sedikit dibanding karakter lain, karena pemain yang supposedly jadi karakter utama. Di film ini, John secara mendalam tidak banyak dibahas karena film berasumsi bahwa kita udah tahu dan kenal betul sama karakter ini. Dia bisa kita pedulikan secara otomatis, seolah kita semua adalah John Wick itu sendiri. Ini kekurangan kecil aja sih, apalagi kalo membandingkan gimana John Wick dihadirkan di film-film sebelumnya, khususnya di film pertama. ‘Mitos’ tentang dirinya dulu benar-benar dibuild up lewat reaksi para penjahat yang mendengar namanya, info yang terasa kontras bagi kita yang melihat betapa ‘vulnerable’nya ini orang. Menurutku, John Wick itu sendiri sebenarnya sudah habis digali, sehingga sekarang karakter-karakter baru easily mencuri spotlight dari dirinya.

Dan oh boy, betapa karakter baru di film ini semuanya punya pesona dan menambah banyak untuk cerita film. Biar gak spoiler-spoiler amat, aku di sini hanya akan membahas tiga karakter saja. Pertama, si Marquis yang udah kurang lebih terbahas di atas. Ngecast Bill Skarsgard tampak seperti keputusan tepat berikutnya oleh film. Kedua, si sahabat yang sekarang dibayar untuk membunuh John. Assassin hebat ini actually buta, tapi personalitynya menarik sekali. Donnie Yen benar-benar ekstra mainin karakter Caine ini. Semua yang dia lakukan itu menarik, misalnya, dia menebak posisi lawan pake sensor bell kayak yang biasa dipasang orang di pintu. Alat-alat itu ia tempel di sekitar, dan nanti dia berantem berdasarkan petunjuk dari suara-suara alarm itu. Momen dia adu jurus lawan John, atau bahkan dia bekerja sama dengan John selalu menarik, karena kita bisa melihat alasan dari karakter ini melakukan itu. Ketiga, adalah karakter tak-bernama yang diperankan oleh Shamier Anderson. Seorang pemburu uang reward dari membunuh John. Yang unik dari karakter ini sebenarnya banyak banget. Dia gak beneran punya beef dengan John, melainkan cuma pengen duit imbalan saja. Tapi dia yang sniper handal ini gak mau buru-buru membunuh John karena pengen nunggu bounty/rewardnya naik, jadi sebagian besar waktu dia justru nolongin John supaya bisa terus hidup dan harganya naik. Relasi mereka jadi unik juga berkat ini. Apalagi, si nobody ini beraksi dengan anjing kesayangan yang galak banget. Tau sendiri, semua ini bermula dari anjing John dibunuh oleh orang. Film telah mempersiapkan momen khusus yang menautkan mereka nantinya.

 




So yea, memang agak aneh banyak ngomongin video game saat membahas film yang bahkan bukan dari video game. Tapi itulah bukti film ini memang seunik itu. Adegan aksinya memang sevariatif, seseru, sestylish, dan seenergik itu. Not to mention sinematografi yang ngeri. Film ini bisa jadi film laga yang tervisually mencengangkan buatku. Lokasinya dipilih yang kinclong semua. Bahkan adegan aksi yang direkam di tempat-tempat gelap pun tampak cemerlang. Sebagai kisah penutup, ceritanya juga digarap dengan memuaskan. Enggak dalem-dalem banget, tapi berhasil mengcover momen-momen yang bakal jadi hati dan emosional juga. Buatku, film ini tuh kayak apa yang aku minta dari film ketiganya empat tahun lalu itu. Sehingga aku ngerasa benar-benar terpuaskan, walaupun sebenarnya film ini memang terlalu extend cerita. Terbukti dari si karakter utamanya sendiri sebenarnya sudah habis penggalian. Karakter-karakter baru jadi terasa lebih menarik, seenggaknya sampai momen sebelum ending..
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for JOHN WICK: CHAPTER 4

 




 

Ohiya, ngomong-ngomong soal video game, akhir Maret ini di Apple TV+ bakal tayang film tentang video game legendaris; Tetris! https://apple.co/3nhEOdf Hahaha penasaran gak sih gimana game nyusun balok itu bisa jadi materi untuk film? Langganan Apple TV+ aja nih klik di link, biar pas filmnya tayang bisa langsung nontoon!!

Get it on Apple TV

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



SHAZAM! FURY OF THE GODS Review

 

“… the champions are never afraid of losing”

 

 

Salah satu alasan kenapa ada batasan umur yang mengatur hal seperti anak-anak belum boleh punya SIM, belum boleh ikut Pemilu, belum boleh beli rumah, belum legal untuk memberikan consent, adalah karena anak-anak yang itungannya belum dewasa itu masih dalam perkembangan fisik dan mental sehingga dianggap belum bisa bertanggungjawab sepenuhnya. Nah sekarang coba bayangkan ketika anak remaja yang bahkan belum bisa beli bir sendiri, memikul tanggung jawab melindungi bumi dari kriminal biasa hingga marabahaya seperti serangan monster, alien, atau bahkan amukan dewa. Virgo and the Sparklings (2023) sekilas sudah menyinggung soal remaja menjadikan kerjaan superhero sebagai hak mereka, Spider-Man versi Tom Holland telah membahas sudut pandang dramatis dari beban menjadi superhero remaja. Shazam! (2019) garapan David F. Sandberg lah yang pushed soal gimana jadinya jika remaja yang masih immature bertindak sebagai penyelamat kota lebih grounded dan berfokus dalam nada yang lebih kocak. Pesona Shazam! itulah yang membuat film ini jadi entry superhero DC yang jauh lebih ringan dan loveable, easily dianggap bisa head to head dengan colorfulnya superhero sebelah. Sekuel Shazam! kali ini pun dibuat dengan hati yang sama. Menjamin dua-jam durasi itu jadi pengalaman yang seru, lucu, dan juga nostalgic mengingat kita semua waktu kecil pasti pernah bermimpi jadi superhero yang menyelamatkan dunia sekenanya, just to impress teman-teman yang lain.

Semenjak membagikan kekuatan Shazam! kepada saudara-saudari keluarga angkatnya, Billy Batson bertindak sebagai leader dari kelompok superhero mereka. Tapi karena abandonment issue yang dia punya – seperti yang dibahas pada film pertama, Billy berpindah-pindah keluarga – Billy jadi pemimpin yang agak terlalu strict dan clingy. Dia agak ngerasa gimana gitu, saat Freddy, Mary, dan saudara yang lain punya agenda masing-masing dan not really do things his way. Sementara itu, masalah yang lebih besar muncul dalam bentuk keluarga yang lain. Keluarga dewa, tepatnya. Putri-Putri Atlas yang telah terbebas mencuri tongkat Shazam, dan mereka bermaksud untuk membalas dendam kepada Wizard dan para Champion. Kota Philadelphia lantas jadi bagai pelanduk di tengah-tengah seteru keluarga. Keluarga superhero immature yang malah lebih sering rusakin kota, dan keluarga dewa yang juga gak begitu akur satu sama lain.

Me, pitching supaya Wonder (kepala) Wizard jadi karakter secret di semua game DC

 

Alih-alih dielukan sebagai pahlawan lokal, Billy dan saudara-saudarinya sebenarnya justru dianggap warga malu-maluin dan nyusahin. Grup mereka disebut sebagai Philadelphia Fiasco. Pecundang Philadelphia. Karena Billy dan saudara-saudarinya memang sembrono. Wujudnya saja yang dewasa, kekar, dan tangguh. Di balik itu sesungguhnya mereka masih amat muda. Itulah aspek yang paling charming dari film ini. Enggak pernah lupa kalo karakter-karakternya masih belum berpengalaman, masih immature. Masih bergulat dengan ego masing-masing. Sifat ‘kekanakan’ mereka diperlihatkan terus, mulai dari bagaimana mereka berinteraksi hingga ke gimana mereka beraksi. Sekuen mereka bantuin jembatan kota runtuh benar-benar memperlihatkan gimana para superhero ingusan kita memilih aksi dan prioritas. Adegan runtuhnya jembatan itu sebenarnya gak kalah seram dengan yang di Final Destination 5, tapi karena aksi ngasal para Shazam! semua jadi kocak. Ngeliat sikap kekanakan begitu muncul lewat sosok dewasa, menghasilkan kontras yang jadi sumber kelucuan adegan-adegan film ini. Adegan mereka nego dengan para dewa, really killed me. Waktu nulis suratnya juga. Film ini did a great job dalam nulisin humor dari identitas karakter,

Arahan David F. Sandberg juga terasa kuat. Di balik hingar bingar lelucon dan aksi (dan oh boy, betapa Sandberg dikasih begitu banyak hal untuk dimainkan), kita bisa merasakan arahan yang grounded. Yang menarik kita lewat perspektif. Action di Shazam! Dua ini terasa significantly lebih besar dibanding film pertama, dan setiap momen-momen aksi itu terasa berbeda. Dan yang aku suka adalah, nuansa horor yang kental terasa di balik aksi-aksinya. Tahu dong, kalo si Sandberg ini memang karya horornya lah yang put him on the map in the first place. Dia ngegarap film pendek Lights Out, yang lantas dijadikan film panjang yang ngehits. Sutradara Swedia ini juga lantas menyumbang entry paling bagus dari franchise Annabelle, lewat Annabelle: Creation (2017)  Nah, vibe horornya itu seringkali keliatan di adegan-adegan Shazam! Dua ini. Adegan jembatan yang kubilang tadi, misalnya. Terus juga desain karakter-karakter monster yang nanti bakal muncul. Momen bareng naga di dalam kegelapan. Dan tentu saja adegan di museum, saat salah satu dewa membuat ruangan tertutup debu lalu semua orang membatu. Chilling banget! Semua itu kerasa horor salah satunya akibat dari kuatnya build up lewat perspektif. Ada beberapa kali Sandberg menempatkan kita pada perspektif korban saat kejadian bencana itu. Kita dibuat ngelihat monster muncul dari dalam kayu, kita ngerasain berada di dalam mobil yang mau jatuh dari jembatan, like, kita benar-benar dibuat merasakan perspektif orang di jalanan yang ngalamin peristiwa itu.

Shazam! Dua berhasil menyelipkan momen-momen itu ke dalam tone film yang ringan dan kocak. Nonton ini memang sepenuhnya jadi seru. Meski belum sukses penuh untuk membuat kita tidak merasakan kekurangan di balik narasi. That gaping hole yang terasa olehku adalah kesan dramatis dari cerita. Dari journey Billy Batson. Kita ambil saja Peter Parkernya Tom Holland sebagai perbandingan. Peter dan Billy sama-sama superhero remaja, yang belum benar-benar matang dan dewasa pemikirannya. Maka gol dari journey kedua karakter ini basically sama. Mereka akan jadi semakin matang, they will get there through some hardships. Peter diberikan banyak momen dramatis; mentornya tewas, bibinya tewas karena kesembronoan aksinya, pacarnya pun jadi dalam bahaya. Semua itu membentuknya untuk jadi sadar, pun berubahnya tidak langsung saja, melainkan dia melewati fase broken down dulu. Dia perlu mendapatkan keberanian dan confidentnya lagi. Billy Batson dalam film ini tidak melewati sesuatu yang mirip seperti itu. Saudara-saudarinya kehilangan kekuatan adalah hal mengerikan yang terjadi padanya. Dan itupun efeknya tidak permanen, mereka bisa dikasih kekuatan lagi dengan tongkat yang ada di tangan penjahat. Momen broken downnya datang begitu saja, dan selesai bukan exactly dari pembelajarannya sendiri, melainkan didorong oleh pembelajaran yang dialami Wizard. Yang mengakui dia salah meragukan pilihannya memilih Billy sebagai juara, dan bahwa Billy punya something yang gak dipunya orang. Billy bangkit setelah mendengar ini. Buatku ini terasa sebagai resolusi journey yang lemah karena tempaan ke Billy kurang kuat.

Juara tidak ditempa oleh kekuatan fisik semata. Melainkan ditempa oleh hati yang tegar. Itulah kenapa perbedaan mendasar antara juara yang sebenarnya dengan orang biasa adalah para juara sejati tidak takut untuk kalah. Mereka tidak takut kehilangan, karena mereka percaya mereka bisa merebutnya kembali. Bagi Billy, ini berarti banyak. Karena dia juga melihatnya sebagai berani melepaskan keluarga. Itulah yang akhirnya membuat Billy jadi benar-benar jawara Wizard yang asli

 

Permasalahan Billy juga sebenarnya berakar dari hubungan dengan orangtua angkatnya, terutama si Ibu. Hanya saja naskah menggali ini bahkan lebih sedikit lagi ketimbang Suzume (2023) membahas Suzume dengan Bibinya. Interaksi antara Billy dengan si Ibu palingan bisa diitung dengan jari. Membuat momen mereka akhirnya resolve drama mereka, jadi tidak terasa kuat. Padahal mestinya permasalahan Billy ini bisa dibuat paralel dengan masalah Billy dengan ketiga Putri Atlas – yang semuanya adalah older lady; mereka bisa banget jadi cerminan sosok yang ‘membantu’ Billy melihat something dari masalah dia dengan ibu asuhnya. Naskah malah membuat Freddy yang punya hubungan khusus dengan grup antagonis. Ngomong-ngomong soal itu, peran Freddy di film kedua ini memang terasa lebih besar daripada Billy. Bestie Billy yang pake tongkat itu ngelaluin hardship yang lebih banyak ketimbang Billy, punya relasi yang lebih banyak dan lebih terflesh out, dan bahkan punya romance yang gak sekadar lucu-lucuan. Aku malah nyangkanya film bakal mengganti Billy dengan Freddy, saking menonjolnya Freddy di cerita ini.

Intonasi dan pembawaan si Jack Dylan Grazer sebagai Freddy kayaknya cocok juga jadi live-action Morty hihihi

 

Intrik di dalam keluarga Atlas sendiri sebenarnya juga menarik. Tiga orang putri berbeda usia, berbeda kekuatan, dan diam-diam juga berbeda motivasi. Cerita tiga bersaudari ini sayangnya juga kurang tereksplorasi. Melainkan cuma dibikin sebagai lembaran turn demi turn. Dan karena hubungan mereka dengan si Billy Batson juga kurang tergali, jadinya perkembangan karakter mereka juga tak terasa dramatis.  Padahal ketiganya adalah karakter original, loh. Karakter yang enggak ada di komik. Jadi, kemungkinannya ada dua. Either film ini enggak mampu menuliskan karakter original dengan matang. Atau ya karena gak ada di komiklah, makanya mereka gak diberikan eksplorasi yang lebih dalam.

Ngomong-ngomong soal Sisters, kemaren aku nonton serial thriller komedi di Apple TV+ tentang lima bersaudari yang jadi tersangka setelah suami salah satu dari mereka ditemukan tewas. Kalo pada pengen nonton juga silakan klik https://apple.co/3JLLAAz dan subscribe mumpung masih ada free trial!

Get it on Apple TV

 




Zachary Levi tampak sudah semakin settle mainin superhero komedi versi dirinya sendiri; superhero yang kayak kena ‘penyakit’ man-child akut. Tapi memang di situlah pesona karakternya. Film ini toh dihuni oleh banyak karakter likeable, yang juga diperankan dengan sama-sama menyenangkannya. Interaksi mereka yang seringkali kocak, tingkah yang absurd, serta aksi seru yang tak kalah lucu – sekaligus ada tone horor merayap di baliknya – bikin keseluruhan film jadi pengalaman super fun. Ceritanya juga dengan klop masuk sebagai sambungan film pertama. Surprise di momen akhir sukses bikin satu studio tepuk tangan sambil ngakak. Hanya saja naskah kali ini belum sukses terasa solid.  Narasinya seperti kelupaan elemen dramatis, sebelum seluruh kota diserang dan ada yang harus mengorbankan dirinya. Journey karakternya juga begitu, tidak benar-benar dieksplor, sebelum akhirnya dimunculkan saat cerita sudah di titik hendak berakhir. Menurutku, harusnya ini bisa dilakukan dengan lebih baik lagi sehingga Billy Batson dan journey karakternya bisa lebih mencuat dan jadi lurus sebagai pondasi utama.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SHAZAM! FURY OF THE GODS

 




That’s all we have for now.

Kalo anak/remaja disepakati belum matang sehingga belum bisa dipercaya memikul tanggungjawab, kenapa tiap daerah/negara punya batasan umur-dewasa yang berbeda? Apa yang menyebabkan anak di satu daerah bisa dinilai lebih cepat dewasa ketimbang daerah lain?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SUZUME Review

 

“Closed but not forgotten”

 

 

Hidup di daerah rawan bencana kiranya telah membuat orang Jepang jadi begitu kreatif. Man, they are really gives a new meaning to our saying ‘mengubah musibah menjadi berkah’. Mulai dari legenda Godzilla hingga seri game Fatal Frame, memang ada begitu banyak cerita dari Jepang yang terinspirasi dari bencana alam. Mereka membuat cerita-cerita itu sebagai peringatan, dan juga sebagai bentuk penghormatan. Baik kepada alam, maupun kepada korban dan perjuangan itu sendiri. Makoto Shinkai, sutradara anime yang terkenal dengan genre fantasi romance, juga menjadikan bencana sebagai device penting ceritanya, at least dalam tiga film terakhirnya. Film Suzume ini ia hadirkan sebagai tribute buat korban-korban bencana gempa Tohoku yang terjadi 11 Maret 2011 dahulu. Dan film ini memang bakal terasa menggugah hati dari bagaimana Makoto menuliskan perjuangan karakternya bukan hanya untuk menyetop gempa, tapi juga berdamai dengan rasa kehilangan yang terus merundung semenjak tragedi naas tersebut.

Suzume, sang karakter utama, masih kecil ketika bencana itu melanda. Di adegan pembuka kita melihat sosok kecilnya mencari-cari ibu, di suatu tempat yang dingin. Pengalaman itu pasti traumatis banget bagi Suzume hingga sampai dimimpiin begitu. Suzume sendiri, sekarang 17 tahun, adalah gadis SMA yang cukup ceria. Kita lihat dia pamitan sama tantenya. Kita lihat dia berangkat sekolah naik sepeda. Dan kita lihat dia terbengong-bengong ngeliat pemuda berambut panjang di jalanan. Pemuda itu bernama Sota, dan nanya arah kepada Suzume. Arah ke reruntuhan kota di gunung. Suzume yang penasaran, malah bolos dan tiba duluan di reruntuhan tujuan Sota. Suzume melihat pintu yang dicari oleh Sota. Dan momen Suzume membuka pintu itu jadi momen petualangan fantasi cerita ini dimulai. Satu lagi ciri khas Makoto Shinkai adalah, alih-alih membawa kita dan karakter ke dunia fantasi, dia membawa fantasi itu kepada kita. Membawa fantasi itu ke dunia cerita yang selalu ia bikin grounded dan berdasarkan langsung dari dunia nyata. Film Suzume juga lantas kontan jadi intens karena ini. Dari pintu yang dibuka Suzume muncul cacing merah raksasa. Makhluk yang cuma bisa dilihat oleh Sota dan Suzume itu melayang di atas kota, dan bakal menghempaskan diri – Cacing raksasa itulah yang menyebabkan bencana gempa. Suzume dan Sota harus berkeliling Jepang, menutup pintu-pintu tempat Cacing itu keluar supaya tidak terjadi gempa mengerikan.

Wow, kita di Indonesia menyaksikan film ini tepat 12 tahun dari bencana aslinya

 

Cacing dari dunia-lain jadi penyebab gempa… ya, kreasi film ini memang seliar itu. Dan itu yang membuatnya fun dan terasa ajaib. Salah satu cara ngembangin ide kan dengan ngelantur. Like, kita lempar beberapa kata secara acak, dan baru pilih beberapa yang relevan untuk digabungkan sebagai cerita. Suzume sama sekali gak kekurangan imajinasi untuk jadi out-of-the-box dengan kehidupan sehari-hari. Selain cacing tadi, film ini punya batukunci yang bisa berubah jadi kucing. Pintu-pintu keluar cacing yang actually berbeda-beda; ada yang selembar pintu biasa, ada pintu geser, pintu ke permainan bianglala. Belum lagi ritual dan rule buat menutup pintu yang harus dilakukan Sota. Dan oh, Sota sendiri eventually dikutuk jadi kursi anak TK. Yang satu kakinya hilang pula! Jadi bayangkan gimana dia melakukan itu semua, kalo tanpa bantuan Suzume. Penonton sestudio ketawa-ketawa ngeliat para karakter. Lihat kucing-dewa yang imut tapi nyebelin. Lihat  Suzume yang harus keliling Jepang sambil bawa-bawa kursi. Lihat Sota sebagai kursi berusaha mengejar si kucing dengan gerakan kocak. Film acknowledge kekocakan ini. Semua disengaja biar film terasa renyah dan menghibur. Dunia kontemporer Suzume yang juga takjub ngeliat kursi bisa ngejar kucing (Sota dan si kucing actually jadi viral, jadi sensasi di internet mereka) bikin film ini jadi makin akrab buat kita.

Seolah keringanan, kefamiliaran, dan keunikan karakter belum cukup, film menampilkan dirinya lewat animasi hand-drawn yang luar biasa. Makoto suka menggambar tempat-tempat asli sebagai lokasi cerita, dan di sini lokasi-lokasi yang jadi background itu meledak oleh warna-warna. Bahkan tempat yang paling suram sekalipun. Animasi film ini sepertinya dienhanced oleh efek yang membuat visual semakin berkilau. Lihat saja ketika Cacing-cacing itu berubah menjadi hujan saat Suzume dan Sota berhasil menutup pintu. Wuih, ciamik! Semua itu ditampilkan lewat sudut ‘kamera’ yang benar-benar luwes. Shot-shot perspektifnya dimainkan dengan leluasa. Jantungku berdebar-debar setiap kali kedua karakter kita berhadapan dengan Cacing, atau malah setiap kali mereka berlari menuju tempat pintu berada.

Suzume adalah film perjalanan. Petualangannya lebih ke action, agak sedikit berbeda dengan dua film Makoto Shinkai sebelum ini. Ketiga film ini ceritanya memang tak berkesambungan, tapi punya elemen khas yang mirip. Kalo kalian belum nonton, atau kepengen nonton lagi Your Name (2016) dan Weathering with You (2019),  sekalian aku tarok aja deh link dan badge keduanya di sini, biar pada tinggal klik! https://apple.co/3ZP9GQa dan https://apple.co/3FcWpZY

Get it on Apple TV

Get it on Apple TV

Perjalanan Suzume bersama makhluk dan hewan yang bisa bicara juga ngingetin aku sama animasi pendek yang kutonton tempo hari. Tentang anak yang ‘diantar’ pulang oleh hewan-hewan seperti kuda, rubah, dan tikus tanah. Dialog di film itu juga sama seperti Suzume, ngasih something untuk kita pikirkan. Kalian bisa nonton itu dengan subscribe di link https://apple.co/3ZAMup1

Get it on Apple TV

 

 

Bersama Sota, Suzume menyusur Jepang, ngikuti jejak si kucing yang dicurigai sengaja membuka pintu Cacing di berbagai reruntuhan kota supaya terjadi gempa. Suasana yang terus baru membuat misi mereka yang sebenarnya cukup repetitif jadi tak membosankan. Malahan jadi makin seru karena Suzume dan Sota juga bertemu banyak orang baru di setiap daerah yang mereka lewati. Film dengan efektif menampilkan interaksi Suzume dengan orang-orang ini, yang walau singkat tapi terasa banget mereka jadi sahabat. Namun begitu, aku cukup terhenyak di paruh awal ini, tatkala menyadari reruntuhan yang sebenarnya adalah tempat-tempat bekas korban gempa itu merupakan tempat asli. Aku gak yakin apakah tempat itu aslinya memang pernah kena gempa, atau tidak, tapi tetap saja kebayang gimana orang Jepang nonton ini – realizing gempa could happen there. Mengingatkan bahwa mungkin bisa saja ada survivor seperti Suzume yang nonton, dan mereka harus kembali melihat puing-puing. Di situlah aku sadar bahwa film Makoto kali ini lebih personal bahkan daripada Weathering with You  dan Your Name. Bahwa cerita yang diusung kali ini lebih daripada kisah romansa dua anak muda. Tentu elemen itu ada, tapi bukan inti – bukan yang terbaik – dari keseluruhan penceritaan Suzume. Karena film ini adalah tentang survivor gempa. Tentang orang-orang seperti Suzume, penyintas Tohoku yang masih mencari ibunya. Mencari orang tercinta yang jadi korban bencana.

Yang dilakukan Suzume di sini mungkin merupakan hal tersusah yang harus dilakukan penyintas. Menutup pintu. Melihat hal di balik pintu itu, mengenang peristiwa sebelum bencana, hanya untuk menutup dan menguncinya rapat-rapat. But mind you, film ini tidak mengagas itu sebagai perbuatan tersebut dilakukan Suzume untuk melupakan tragedi atau traumanya. Untuk melupakan ibunya. Tidak. Menutup pintu yang disebutkan film ini justru adalah tindakan respek, yang juga menguatkan survivor untuk meneruskan hidup ke depan. Film ini justru ingin Suzume mengingat masa itu, supaya cewek ini sadar. Untuk melihat pengorbanan dan cinta di balik itu semua. Satu elemen kunci lagi pada film ini adalah hubungan antara Suzume dengan tante yang selama ini membesarkan dia. Tante yang sampai sekarang belum menikah. Tante, yang pada satu momen meledak, bilang, dia telah mengorbankan masa mudanya demi Suzume. Suzume sendiri memang belum memandang tantenya sebagai sosok ibu yang ia hormati pada saat itu. She can’t, karena deep inside masih mencari ibu aslinya. Pengorbanan Sota sebagai kursi anak TK. Pengorbanan si kucing untuk kembali jadi kunci. Petualangannya menutup pintu, sembari bertemu orang-orang yang menampungnya, membuatnya ingat dan sadar akan hal penting yang teroverlook selama ini.

Some people gone but not forgotten, tapi tragisnya beberapa orang rela memilih bertahan dan menggantikan yang hilang, tapi terlupakan. Mengenang itu penting, tapi menyadari bahwa yang tinggal juga mengorbankan sesuatu juga tak kalah pentingnya. Film ini ngasih tahu bahwa setiap ada bencana, semua orang jadi korban, dan akan ada cinta yang mereka korbankan. Ingatlah cinta itu.

 

Kalo lihat pintu selembar gitu, ku malah ngakak jangan-jangan ada Faarooq dan Bradshaw main poker di sebaliknya haha

 

Di luar pesan simbolisnya tersebut, Suzume sebenarnya lebih ringan dan lebih straightforwad dibandingkan dua film sebelumnya. Film tidak banyak menggali soal ritual dan pintu-pintu itu. Tidak ada penggalian mendalam fantasi atau role dunia seperti pada Your Name.  Nature petualangan ala road tripnya pun membuat cerita berjalan cepat dan sistematis. Ceritanya tidak mengalami transformasi seperti pada Your Name; Suzume tetap petualangan mencari pintu, hanya dengan intensitas yang semakin dramatis. Kisah cintanya juga bahkan tidak sedalam itu. Weathering with You malah lebih terasa romantis. Romance di Suzume cuma terasa kayak ‘formalitas’ aja, biar terus ada ciri khas Makoto. Pertemuan si Suzume dan Sota itungannya termasuk kebetulan. Mereka juga tidak terasa bonding se-real itu mengingat sebagian besar waktu Sota berada dalam wujud kursi. Kita aja, aku yakin, lebih draw toward Sota sebagai kursi ketimbang Sota manusia, hanya karena dia lebih banyak sebagai kursi. Asmara mereka berdua ketutupan banyak hal yang sebenarnya lebih esensial. Dari kursi itu saja sebenarnya agak ‘meragukan’, karena kursi itu sebenarnya kursi kenang-kenangan ibu untuk Suzume. Jadi attachment si Suzume kepada Sota agak bias, karena bisa jadi dia cuma ‘sayang’ sama nilai kursi itu. Dan soal itu gak benar-benar dibahas oleh film. Pokoknya Suzume cinta aja sama Sota sehingga mau berjuang ‘menyelamatkan’ Sota di paruh akhir. Si Sotanya juga dibikin tau-tau juga sudah suka Suzume sedari pandangan pertama.

Romansa yang harus ada ini pada akhirnya jadi ngaruh ke yang lain. Yang membuat film jadi kurang maksimal. Relasi antara Suzume dan Tante atau bibinya tadi, salah satunya. Menurutku film harusnya jadiin relasi ini sebagai fokus. Karena bahasan mereka pada yang sekarang ini sedikit banget. Bahwa ternyata Suzume seneng-seneng aja dianggap anak yang kabur dari rumah, kita gak pernah merasakan itu dengan total. Padahal Suzume memang merasa lebih bebas di luar rumah. Begitu juga Tantenya. Alih-alih ngebuild up drama kehidupannya, film hanya memperlihatkan sekelebat dan membuat karakter ini ‘meledak’ gitu aja, dalam adegan awkward yang kayak dipaksakan buat sekalian ngenalin sosok batukunci yang satu lagi. Suzume berdurasi dua jam lebih dikit, memuat banyak, tapi belum terasa imbang. Enggak terasa padat kayak dua film sebelumnya, karena bahasan yang lebih penting kurang maksimal.

 




Perlu satu hari bagiku untuk ‘mendiamkan’ film ini. Supaya terlepas dari kehebohannya. Karena memang film ini lebih seru, dan gambarnya juga cantik banget. Lovable sekali! Penonton sestudioku ketawa dan hepi sepanjang durasi. Aku gak nyangka film anime bisa sepenuh itu. Karena ya memang film kali ini lebih straightforward. Dan ya itu, karena utamain crowd pleaser, dan romansa yang harus ada alih-alih penting untuk ada – menjadikan film ini formulaic,  maka aku harus mutusin satu pilihan penting. Apakah film ini bakal jadi angka delapan pertama tahun ini, atau dia sebenarnya cuma another Avatar 2. Aku sudah akan menutup pintu keputusan, dan jawaban itu muncul. Film ini punya hal yang tidak ada pada Avatar 2 yang complete fantasy. Identitas budaya real di balik ceritanya. Faktor yang membuat anime ini lebih urgen, bahkan dari dua karya Makoto sebelumnya yang lebih superior. Ya, keputusan itu akhirnya bisa dikunci.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SUZUME

 




That’s all we have for now.

Kira-kira kalian punya teori gak, kenapa Suzume bisa jadi secinta itu sama Sota?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



VIRGO AND THE SPARKLINGS Review

 

“Inside every angry child is an emotion they haven’t been able to comprehend”

 

 

Menyelamatkan dunia bukan hanya hak orang dewasa. Tagline Virgo and the Sparklings tersebut kontan menggelitik. Menyelamatkan dunia kan sebenarnya adalah sesuatu yang diemban sebagai tugas, sebuah kewajiban. Tanggungjawab. Bukan sesuatu yang didapatkan dengan jumawa, untuk gaya-gayaan. Kentara sekali kalimat tersebut punya nada penuh kebanggaan, namun sedikit polos tapi juga angkuh terhadap orang dewasa, semacam ingin nunjukin mereka juga bisa dan melakukan dengan lebih baik. Mereka siapa? Siapa lagi yang bisa bersikap angkuh padahal aslinya perlu belajar lebih banyak kalo bukan anak muda. Remaja. So, sedari taglinenya saja, karya Ody C. Harahap ini sudah menguarkan identitas yang kuat. Bahwa superhero kali ini beda dari kakak-kakak hero Bumi Langit sebelumnya. Jagoan super kali ini adalah anak muda, dan kita akan ngikutin cerita dari dunia dan perspektif mereka. Percikan api gelora anak muda, dan permasalahan mereka dengan orangtua, jadi hati pada cerita. Bahkan mungkin bisa dibilang, ini adalah cerita remaja dengan kedok superhero.

Berkedok superhero. Aku bilang begitu karena memang Virgo and the Sparklings works best saat memperlihatkan interaksi antarkarakter remaja dan segudang permasalahan mereka. Riani nama karakter utama di sini. Gadis SMA yang agak pemalu itu jadi semakin gak suka nonjolin diri lagi lantaran dia punya ‘kebiasaan’ aneh. Bola api suka tau-tau berkobar muncul dari dua tangannya. Padahal Riani ini punya bakat nyanyi. Suaranya bagus banget. Waktu Riani nyanyi sendirian di dalam kelas kosong itulah, beberapa teman mendengar kebolehannya. Riani akhirnya diajak gabung ngeband bareng Ussy, Monica, dan manajer mereka; Sasmi. Band mereka dinamai Virgo (karena semua personel ternyata berzodiak Virgo, cute!) dan mereka ikutan semacam kontes battle of the band. Di kontes itu mereka bertemu dan akhirnya saingan sama girl rock band idola mereka, Scorpion Sisters. Bagian Riani membuka diri untuk bergaul dan bikin band bareng teman-teman itulah yang menyenangkan sekali untuk disimak. Karena situasinya benar-benar dibuat grounded. Khas pergaulan anak remaja sehari-hari. Dari situ juga masuklah bahasan tema utama cerita, karena teman-teman Riani sebenarnya gak ada yang boleh ngeband oleh orangtua masing-masing. Tapi mereka tetap nekat, sampai bikin topeng dan kostum biar identitas mereka gak ketahuan nanti pas nampil di panggung. Jadi kostum dan kekuatan api Riani – yang obviously bakal jadi karakter superheronya – di awal itu dihadirkan natural. Para karakter ini ‘hanya’ menjadikan itu sebagai gimmick mereka buat manggung. Buat dapat view. Momen-momen Riani dibantu oleh teman-teman mengendalikan kekuatan api juga terasa sangat lugu. Dia disuruh manasin air, dan juga masak mie. Tapi momen-momen sederhana itu jadi semakin serius, karena di balik keceriaan mereka, di background kita kerap mendengar berita tentang anak muda yang kesurupan dan mengamuk kepada orangtua mereka. Inilah yang jadi konflik, jadi sesuatu yang harus dibereskan oleh Riani terkait journeynya menjadi seorang patriot super.

Kekuatannya api, lagunya angin, zodiaknya tanah

 

Action-fantasi atau superhero yang grounded memang terbukti lebih menyenangkan. Apalagi yang settingnya kehidupan anak muda kayak gini. Yang ceria walau juga penuh drama. Tapi yang jelas, jauh dari ba-bi-bu intrik plot twist politik. Film Virgo juga cukup bijak nahan diri – tidak hingga momen credit kita melihat tie in universe Riani dengan superhero BCU lainnya. Cerita yang contained di dunia sendiri, membuat film jadi lebih fokus, dunianya itu terasa lebih hidup (walaupun memang tidak sepenuhnya dieksplorasi). At least, Virgo terasa punya identitas dan keunikan. Scott Pilgrim vs. The World masih jadi nomor teratas dalam daftar film favoritku setelah sepuluh tahun lebih untuk alasan tersebut. Film itu berlaga di dunianya sendiri, dan berhasil. Dan dunianya itu adalah dunia absurd, tapi sebenarnya adalah cerita khas anak muda. Seorang cowok yang ingin pacaran sama si cewek baru, tapi dia harus ‘ijin’ dulu sama tujuh mantan si cewek. Premis itu diwujudkan dalam aksi seperti pada komik dan video game, karakternya yang di awal kayak remaja sehari-hari ternyata pada punya kekuatan unik. Dan mereka juga tanding ngeband! See, no wonder aku bandingin Scott Pilgrim dengan Virgo ini.

Walau ternyata memang enggak seabsurd itu, Virgo hadir dengan energi remaja khasnya sendiri. Geng-gengan. Naksir-naksiran. Saing-saingan. Idol-idolan. Pertemanan yang akrab banget, tapi sesekali juga bisa berantem. Api kekuatan Riani yang tak terkendali itu bisa kita sambungkan sebagai simbol passion remaja yang sedang dalam masa pencarian tempatnya di dunia. Tapi yang paling penting di antara itu semua, film ini mengangkat value yang relate banget dengan setiap remaja manapun. Tentang komunikasi antara anak dengan orangtua, dengan orang dewasa. Dalam cerita ini, Riani akan menyelediki kenapa anak-anak yang menonton satu video misterius di YouTube pada mendadak kesurupan dan mengamuk. Nice play dari fenomena masa kini yang anak-anak cenderung dinilai lebih emosian kalo terekspos gadget terlalu lama. Memang di jaman sekarang, anak-anak lebih suka menghabiskan waktu di internet ketimbang dengan orangtua. Di salah satu adegan, teman sekelas Riani mengamuk dan ada yang minta untuk manggil guru. Namun Riani menjawab, guru bisa apa. Sekali lagi film ini nunjukin betapa anak muda seperti mereka tidak lagi memilih orangtua atau orang dewasa sebagai opsi yang terpercaya. Film lebih jauh mengeksplorasi masalah ini dengan memperlihatkan Riani dan kawan-kawan berusaha membereskan masalah mereka sendiri. Orangtua hanya berarti masalah.

Kebanyakan cerita dengan tokoh remaja memang biasanya ‘mengantagoniskan’ orangtua. Atau kalo perlu, kehadiran orangtua dihilangkan gitu aja, tidak disebut di dalam cerita. Yang membuat Virgo berbeda dari film-film atau cerita remaja serupa itu adalah, film ini actually mengungkap sudut pandang lain. Bahwa kemarahan anak, ketidakpercayaan anak yang disasar ke orangtua, hanyalah luapan emosi berapi-api yang mereka rasakan di umur segitu. Anak takut membuat marah orangtua, suka ngerasa akan makin susah, sehingga komunikasi itu gak ketemu. Padahal bisa jadi kalo masalah itu diomongin langsung malah jadi ‘plong’ Seperti yang ditunjukkan oleh film ini. Kids, your parents are not that bad.

 

So much fun ngelihat Adhisty Zara, Satine Zaneta, Ashira Zamita, Rebecca Klopper, dan aktor-aktor muda itu ‘dilepas’ di lingkungan yang akrab dan relate dengan keseharian mereka. Membuat film makin terasa genuine. Problem, however, mulai bermunculan ketika film mengangkat yang agak serius dan kehilangan pegangan kepada dunia remaja saat genre superhero itu harus ditegakkan. Virgo and the Sparklings memang terasa enggak balance, pada beberapa momen dapat berubah drastis dari menyenangkan menjadi cringe. Mungkin arahannya kurang bisa mengena ke pemain? Coba bandingkan dialog ’emangnya guru bisa apa’ tadi dengan dialog ‘polisi gak bisa ngapa-ngapain’ yang diucapkan Zara sebagai Riani di menjelang babak akhir nanti.  Celetukan yang lebih serius soal polisi itu terdengar agak cringe diucapkan. Enggak senatural murid yang gak percaya guru. Dan juga feel forced, karena di titik itu kita sudah tahu kekuatan Riani dan sebenarnya naturally dia tinggal bilang cuma dia yang bisa lihat ‘asap hitam’ penyebab semuanya.

Final battlenya juga terasa cringe, tidak tampak seperti ujung yang natural dari build up dan hubungan karakter yang telah dijalin. Situasi menjelangnya padahal masih terasa ceria dan lucu di balik keseriusan masalah. Geng Riani udah full jadi tim hero, tapi kehalang satu pintu terkunci aja mereka kocar-kacir. Lalu mereka yang pakai alat untuk menghalang kekuatan si penjahat jadi punya interaksi kocak karena alat itu membuat mereka tidak bisa mendengar satu sama lain. Tapi saat Riani sudah face-to-face dengan penjahatnya, dalang dari semua, semua terasa lop-sided.  Aksi pada Riani seperti terbatas pada lempar bola api (yang not destructive, tapi menyembuhkan korban dari pengaruh jahat) sehingga battlenya dengan cepat jadi monoton meski film berusaha membuatnya dramatis dengan kekuatan Riani sendiri mulai takes toll on her body. Yang buatku paling mengganjal di final battle itu adalah Riani kayak gak punya plight, perdebatan dengan si jahat. Dia enggak benar-benar menanggapi omongan si jahat, padahal si jahat ini adalah idolanya, padahal si jahat ini sudah menyebut mereka sebenarnya sama dan mengajak Riani bergabung dengannya. Riani cuma ngomong sekadarnya saat mereka bertemu untuk pertama kali sebelumnya, tapi di momen final, benar-benar gak banyak bantering antara mereka berdua. Buatku ini sedikit kekurangan pada naskah, serta missing opportunity. Naskah tidak benar-benar bisa memparalelkan antara Riani dengan si jahat, sehingga resolve konflik mereka kurang nendang. Missed opportunity, karena ini harusnya jadi momen kita melihat Zara dan Mawar Eva adu akting, tapi film gak benar-benar ngasih mereka sesuatu melainkan hanya gimmick cringe sebagai momen ‘berantem’.

Bulan baru, film Mawar baru!

 

Kalo mau jujur sih, adegan-adegan perform musik film ini menurutku sebenarnya juga masih tergolong missed opportunity. Kenapa? Karena di sini mereka punya assemble cast yang sebagian besar beneran bisa nyanyi dan bisa main alat musik tapi coba lihat sendiri deh gimana film ini ngesyut adegan-adegan perform tersebut. Bland dan seragam semua cara nampilinnya. Boring. Sekali lagi aku membandingkannya dengan Scott Pilgrim yang punya banyak adegan ngeband, dan masing-masing adegan tersebut berbeda treatment dan ada keunikannya satu sama lain. Ody Harahap memang bukan Edgar Wright yang ahli bercerita dengan gaya editing dan timing komedi yang khas, Ody punya cara tersendiri menampilkan komedi atau aksi, ataupun keduanya, tapi untuk nampilin perform musik yang energik, arahannya masih terlalu standar.  Adegan musik yang ceritanya direkam dengan hape Sasmi yang kakinya sakit, akan tertampil sama dengan adegan musik di panggung pertunjukan.  Kita selalu melihatnya dari kamera yang seperti kamera pada acara TV sehingga nyanyian tersebut tidak pernah dikesankan seperti dinyanyikan langsung. Mawar ataupun Zara harusnya bisa banget punya momen perform seperti Brie Larson nyanyi Black Sheep di Scott Pilgrim, tapi Virgo tidak pernah meng-utilized pemainnya seperti demikian. Performance mereka artifisial semua, enggak ada aksi panggung sehingga gak berhasil ngasih kesan ‘live’ kayak Brie.

 

 




Film ini buatku punya vibe yang sama dengan film dan video game favoritku, Scott Pilgrim dan seri River City Girls. Aku enjoy nonton bagian karakternya saling interaksi, latihan band, latihan menggunakan kekuatan superhero. Value yang dikandung ceritanya juga relate banget, terutama buat anak muda. Film ini bisa jadi hiburan sekaligus something untuk dipikirkan bagi penonton muda. Walaupun memang pada akhirnya naskah dan arahan cukup keteteran, aksinya berakhir cringe, kekuatan Riani  jatohnya underwhelming banget – apinya gak sakit, sinesthesianya cuma plot device untuk misteri kekuatan penjahatnya – adegan perfom musiknya enggak benar-benar nendang (walau lagunya enak-enak), dan banyak karakter yang bikin penasaran simply karena cerita tidak benar-benar bisa memanfaatkan waktu untuk mengeksplor mereka. But hey,  I’d take cheerful and grounded superhero movies any day ketimbang superhero yang sok-sok gelap dengan fantasi politikal yang melebar ke mana-mana. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for VIRGO AND THE SPARKLINGS

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa sih anak-anak muda gak percayaan sama orang dewasa?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA