THE BOY AND THE HERON Review

 

“Because you are a beautiful lie and I am  a painful truth”

 

 

Bagaimana menjalani hidup dengan benar? Caranya adalah dengan mengingat dan memahami kematian. Jawaban tersebut bisa kita dapatkan dari ajaran agama, atau dari menonton karya terbaru Hayao Miyazaki, sang Bapak Studio Ghibli. Sudah bukan rahasia, film-film Pak Hayao selalu personal, penuh makna, dan luar biasa menakjubkan lewat simbol-simbol dunia ajaib yang surealis. Namun The Boy and the Heron ini, bahkan lebih deep, dark, dan personal lagi. Kisahnya yang tentang seorang anak laki-laki yang kehilangan ibu akibat perang boleh saja bermula dengan kejadian yang berdasarkan pengalaman hidup Pak Hayao semasa kecil, tapi film ini berakhir dengan sesuatu yang seperti mencerminkan ujung dari dunia animasi magis buatannya sendiri. Film ini bisa jadi adalah hadiah terakhir dari Hayao Miyazaki kepada kita. Bagaimana kita hidup di dunia tanpa film-filmnya?

Fantasi, anak, dan perang. Hayao Miyazaki is up there untuk film-film yang bermain di tema tersebut (for me, he followed by Guillermo del Toro)  Hayao bicara tentang  kehilangan, duka, tragedi tapi lewat dunia fantasi yang menakjubkan. Dia tidak melihat itu sebagai musuh yang harus ditakuti, ataupun menjadikan sebagai sebuah pengalaman yang mengeksploitasi. Hayao, malahan, membuatnya sebagai entitas yang harus dihadapi. Dipelajari. Dihormati. Ini yang juga ia lakukan kepada tema kematian dalam The Boy and the Heron. Anak laki-laki dalam cerita ini, Mahito, menyongsong babak baru dalam hidupnya. Setelah ibunya tewas jadi korban perang, Mahito dibawa ayah pindah ke daerah pedesaan Tokyo. Hidup bersama istri ayahnya yang baru. Meskipun nurut, toh kita melihat penolakan itu dalam sikap Mahito. Penolakan untuk menganggap Natsuko sebagai ibu. Penolakan untuk nerima kenyataan ibunya bakal tergantikan. Inilah yang membuat Mahito diledek oleh burung cangak (sejenis bangau) yang bisa bicara yang secara misterius muncul di area sekitar rumah mereka. Cangak itu menyebut bahwa ibu Mahito masih hidup, dan ada di dalam reruntuhan menara di hutan. Dan bahwa Natsuko juga pergi ke sana. Dengan panah dan busur buatannya sendiri, Mahito pergi ke menara. Mencari ibunya. Meskipun dia tahu Cangak Abu itu berbohong. “I know it’s a lie, but I have to see” katanya mantap sebelum masuk ke ‘perangkap’ yang membuatnya terjebak di dunia sureal di bawah sana.

Kenapa translatenya enggak bangau aja ya? Atau burung kuntul sekalian. Judulnya jadi Anak Laki-Laki dan si Kuntul haha

 

See, Mahito sama sekali tidak takut sama Heron (kita manggilnya Heron aja lah ya hehe) yang menjebaknya. Dia sudah mempersenjati diri, fisik dan mental, untuk melawan tipu daya Heron. Yang actually, Heron ini kocak, karena ada dialog ambigu si Heron yang dengan bangga bilang “Benar, semua yang aku sebutkan adalah bohong” yang lantas ditembak oleh Mahito “Berarti itu bohong juga dong?” Mahito dan si Heron memang dalam perjalanan menjadi berkawan, mereka akan bekerja sama untuk ke puncak menara. Tempat kakek buyut Mahito selama ini bersemayam. Hayao Mayazaki kali ini memang benar-benar menyatukan dunia nyata dan fantasi, keanehan yang dilihat Mahito juga direcognized oleh karakter manusia lain. Petualangan yang dialami Mahito bukan terjadi di dunia mimpi yang bakal ngasih dia pembelajaran, melainkan benar ia lakukan. Realitas dalam cerita film ini memang didesain sebagai realitas dengan keanehan-keanehan. Yang bekerja di dalam konteks tema cerita, yaitu tidak takut kepada hal yang tidak kita mengerti. Seperti halnya Mahito yang tidak takut dengan keanehan dan kebohongan Heron. Mahito justru takut sama dunia nyata, dunia di mana dia harus punya ibu dan hidup baru. Saking gak siapnya Mahito dengan sekolah baru, dia sampai nekat melukai kepalanya sendiri dengan batu. Adegan yang bikin aku kaget, dan sejujurnya aku struggling untuk melihat kepentingan adegan self-harm di film yang harusnya untuk tontonan keluarga. Sampai di menjelang akhir, naskah akhirnya mengikat adegan tersebut dengan pembelajaran yang beautiful seputar sikap penerimaan dan penyadaran Mahito.

Dengan tema dan desain begitu, menurutku ada benarnya film ini juga adalah film ‘terberat’ dari Hayao Miyazaki. Film ini menantang kita untuk memahami emosi Mahito di lingkungan rumahnya yang baru. Mahito yang jarang bicara dan menutup diri. Film ini menantang kita untuk menyelami dan melihat makna di balik kejadian-kejadian dan karakter-karakter aneh yang ditemui oleh Mahito nanti selama petualangannya dalam menara. Karena di dalam sana, dia akan bertemu banyak banget hal-hal di luar nalar. Mulai dari rombongan makhluk imut putih, kawanan pelikan pemakan makhluk lain, tentara burung parkit, dan bahkan versi lain dari ibunya sendiri. Garis besar yang bisa aku sebutkan tanpa membuat review ini jadi ‘walkthrough spoiler’ adalah semua kejadian dibuat dengan maksud mempersiapkan Mahito untuk memahami kematian. Karena inilah yang dibutuhkan Mahito supaya dia bisa melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. Mahito harus bisa melihat makna hidup lewat mengerti tentang kematian, menurut karakter-karakter di sekitarnya. Kita bahkan bisa menangkap sedikit komentar tentang perang dan dampaknya terselip sebagai layer dalam cerita.

Ada anekdot menarik yang pernah aku baca soal Kehidupan dan Kematian. Jadi, Life bertanya kepada Death “Kenapa manusia mencintaiku, sedangkan dirimu sangat mereka benci?” Death dengan kalem menjawab “Karena kamu adalah kebohongan yang indah, sedangkan diriku adalah kebenaran yang menyakitkan”. Anekdot tersebut membantuku mencerna film ini lebih lanjut. Karena persis itulah yang sebenarnya yang dikatakan oleh film. Bahwa kematian tidak lebih dari sebuah kenyataan pahit. Bahwa semua hal akan menemui ‘ajalnya’. Bahwa semuanya fana. Tinggal kitanya saja yang mempersiapkan diri menyongsong kenyataan tersebut tiba.

 

Karena ini film yang personal, maka membaca film ini pun udah kayak membaca Hayao Miyazaki sendiri. Seperti menapak tilas film-filmnya selama ini. Karena penonton yang familiar dengan karyanya, akan merasakan The Boy and the Heron ini seperti sangat akrab. Not just in sense, karena memang sudah ciri khasnya membuat film seperti begini. Tapi on a deeper level, kayak sebuah self-tribute dari orang yang sedang melihat ke belakang, ke dalam dirinya sendiri. Di dalam cerita, kakek buyut Mahito membangun dunia sureal fantastis ini dan dia ingin Mahito meneruskan pekerjaannya. Dia ingin Mahito tinggal di sana, menjaga agar dunia tersebut tidak runtuh. Karena dia ngerasa gak sanggup. Dunia yang mestinya damai tanpa perang seperti dunia nyata itu, nyatanya tidak semenangkan itu. Burung-burung yang masuk ke sana jadi ganas. Penulisan story tersebut terasa seperti self-realization dari Hayao Miyazaki. Bahwa dunia-dunia yang dia bangun selama ini, yang dia ciptakan dalam film-film indah itu, tetaplah sebuah fantasi. Dan akan berakhir. Bahwa dia gak bisa menciptakan itu selamanya. Ada titik di mana dia harus berhenti. Titik di mana cerita-cerita itu ‘mati’. But also, Hayao tampak bergulat dengan dirinya sendiri lewat karakter anak-anak Mahito, tak akan ada hal yang benar-benar ‘mati’. Ibu masih akan tetap hidup di hati Mahito yang bakal tumbuh dan menjalani hidup. Begitu juga karyanya, akan tetap hidup abadi lewat kita-kita penontonnya, hingga generasi-generasi selanjutnya.

Supaya konsisten dengan tema unggas; film ini bisa jadi adalah swan song-nya Hayao Miyazaki.

 

Sayangnya, dari yang kulihat di studioku menonton, aku merasa resepsi penonton kasual terhadap film ini agak datar. Like, fakta bahwa kita bisa menyaksikan animasi magis Ghibli di layar lebar aja mestinya udah cukup untuk bikin “wah-wah” sendiri. Tapi aura yang kurasakan di studio saat itu biasa saja. Kayaknya film ini bakal mirip kayak Elemental (2023) waktu tayang musim panas lalu. Penonton expecting petualangan yang dahsyat, sehingga gak sadar sebenarnya film ini sedang bekerja wonderful dalam konteks dan bahasan yang ingin disampaikan. Also, kita sering agak terlalu cepat ngejudge film dengan tema berat sebagai film yang lambat, sebagai aneh dan gak jelas. Padahal film ini naskahnya berhasil mengembangkan dengan seksama konflik personal yang dirasakan oleh Mahito. Karakternya distant by design karena begitu cara dia awalnya berusaha dealing with kehilangan ibu. Sepuluh menit pertama, vibe ‘dark’ dan sureal itu sudah dilandaskan kuat oleh naskah. Adegan opening yang Mahito di antara orang-orang di area yang kebakaran, dengan visual api dan sosok-sosok manusia yang berdistorsi, kurang apa coba itu melandaskan seperti apa film ini nantinya. Jangan harap film ini menyuapi kita dengan apapun. Karena bahkan pengungkapan informasi penting pun, misalnya pengungkapan hubungan antarkarakter siapa dan apa, dilakukan oleh film dengan natural tanpa aba-aba yang menuntun “oh ini bakal masuk bagian penting”. Film menampilkan dirinya sebagai dunia mimpi, untuk kita eksplorasi dan pahami sendiri. Hebatnya film ini justru karena kita ikut menyelam, menguak, merasakan, dan berubah bersama karakternya.

 




Untuk menjawab pertanyaan sendiri di awal tadi, no I can’t. Studio Ghibli tahun-tahun belakangan ini struggle terus, setiap film barunya keluar- bahkan yang bukan buatan Hayao, kesannya seperti film terakhir terus. Tapi aku selalu percaya Hayao Miyazaki bakal comeback, mendaratkan film Ghibli kembali ke tengah-tengah kita. Aku gak bisa membayangkan kalo ini bakal beneran jadi film terakhirnya. That’s why aku gak bakal ngupdate list Top-8 Film Ghibli Favoritku dengan film ini. Bukannya karena jelek, atau aku tak suka. Film ini menceritakan hidup-mati dengan konsep yang wonderful. Lapisan-lapisan fantasi dan personal yang saling tersulam satu sama lain. Ngasih kita karakter-karakter absurd yang ikonik, seperti yang biasa mereka lakukan. Aku hanya belum mau mengakui bahwa ini adalah end of an era. Aku berharap bakal ada lagi film ajaib yang bikin aku mengubah list itu. Ya, turns out, aku lebih keras kepala daripada Mahito.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE BOY AND THE HERON

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang Hayao Miyazaki dan Studio Ghibli selama ini? Sebesar apa menurut kalian peran film-film mereka terhadap sinema atau kalian sendiri personally?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, satu lagi film yang kukasih score 8.5 tahun ini, bisa ke Apple TV untuk menonton Killers of the Flower Moon. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES: MUTANT MAYHEM Review

 

“Do it from love, not for love”

 

 

Bagiku Teenage Mutant Ninja Turtles adalah sebuah fase. Jauh sebelum suka Power Rangers dan pasukan superhero lain, aku yang masih balita suka sama empat kura-kura yang jago berantem ini. Aku gak ingat apa yang exactly kusuka dari Kura-Kura Ninja, aku bahkan gak ingat jalan cerita serial kartunnya di TV, tapi pokoknya waktu kecil saking sukanya sampai-sampai setiap jajan, aku selalu minta dibelikan pernak-pernik Kura-Kura Ninja mulai dari mainan hingga topeng. Saat gedean, tentu saja aku coba ngikutin Kura-Kura Ninja – yang ternyata memang franchise yang gede dan selalu dibuat ulang – soalnya penasaran kan, kok kata ortu dulu aku suka banget. Aku mengenal karakter-karakternya, jalan ceritanya, tapi ya ternyata aku gak suka-suka amat. Biasa aja sama kartun nya yang baru. Benci banget malah sama film live-action versi Michael Bay.  Looks like I grow up out of them, kecuali satu hal; game Kura-Kura Ninja. Always love them now and then. Baru-baru ini banget aku namatin game terbaru Kura-Kura Ninja (go check YouTube My Dirt Sheet untuk playtroughnya!) Selebihnya ya, Kura-Kura Ninja adalah fase masa kecil yang sudah kutinggalkan. Sampai, film karya Jeff Rowe yang diproduseri oleh Seth Rogen ini tayang! KKN: Mutant Mayhem adalah jawaban terdekat yang bisa kudapatkan kenapa waktu kecil aku suka Kura-Kura Ninja. Karena saat menonton ini, aku merasa seperti bocil yang baru saja menemukan jagoan favoritnya untuk pertama kali!

Can’t believe Seth Rogen restored my childhood just like that

 

Backstory karakter dalam film ini diubah sedikit dari cerita original KKN. Seperti karakter mutant yang aslinya adalah manusia, tapi di film ini diubah menjadi berasal dari hewan demi menyesuaikan dengan tema cerita. Ada juga karakter villain populer yang diubah jadi baik. Perubahan-perubahan ini bakal sedikit-banyak terasa aneh oleh hardcore fans, tapi percayalah tidak mengganggu. Karena film KKN kali ini memang berfungsi sebagai reboot, yang menghasilkan cerita baru tapi dengan ruh yang tetap terjaga. Di sini gak ada (belum ada!) Shredder. Permasalahan di film ini lebih ke konflik prejudice antara manusia dan hewan-hewan mutant. Sekilas konfliknya memang mengingatkan kita kepada cerita X-Men. Superfly, (mutant lalat, bukan nama pegulat hihihi) villain utama di cerita ini, punya plead yang sama dengan Magneto. Membasmi manusia dan membuat dunia yang lebih baik untuk para mutant. Yang bikin beda adalah cerita KKN yang ditujukan untuk penonton muda ini dibikin lebih hopeful dan mengutamakan kepada feel good moment, alih-alih politik kekuasaan.

Protagonis cerita, Leo, Ralph, Don, dan Mikey, kura-kura remaja yang ingin hidup bersama manusia, makhluk yang menurut mereka keren, tapi harus dijauhi, karena kata ayah mereka, mutant tikus bernama Splinter, manusia itu berbahaya. Manusia akan definitely melukai mereka karena mereka berbeda. Running joke yang diangkat dari sini adalah gimana manusia bakal memerah mutant sampai kering. Jokes yang kuakui sedikit kekanakan, tapi itu hanya karena ku sudah di luar target umurnya hahaha.. But hey, sekali lagi, ‘milking until dry‘ mungkin adalah joke yang paling jinak, tapi tetep berhasil, yang bisa diperah dari otak Seth Rogen yang biasanya ngehasilin komedi urakan. Jadi empat kura-kura jagoan kita ingin merebut hati manusia dengan jadi pahlawan. Mereka membantu membasmi kejahatan yang dilakukan oleh geng Superfly, dan dijadiin berita oleh April, gadis wartawan media sekolah. Masalahnya adalah ketika para KKN tatap muka dengan geng Superfly. Mereka sama-sama makhluk mutant. Mereka sama-sama punya keinginan hidup lebih baik, tidak lagi di dalam bayang-bayang. Jadi para KKN harus memilih; ikut Superfly membasmi manusia, atau tetap jadi pahlawan meskipun itu buat orang-orang yang gak menerima mereka.

Para Turtles menjadi pahlawan kota supaya mereka bisa diterima oleh manusia. Tapi mereka belum nyadar bahwa penerimaan itu berasal dari cinta. Menjadi pahlawan juga harusnya merupakan tindakan yang tulus. Jadi itulah yang harus dipelajari lebih dulu oleh mereka. Belajar menerima diri sendiri, belajar mencintai kekurangan sendiri, belajar untuk berbuat baik tanpa harus berharap disukai dan dianggap sebagai pahlawan.

 

Tema acceptance serta merta akan beresonansi dengan penonton muda. Pada generasi Z yang memang persoalan identitas jadi persoalan yang pelik. Tema tersebut membuat animasi hiburan ini jadi punya bobot. Namun memang tak bisa dipungkiri yang ngesold out penonton muda buat betah nonton ini sampai akhir adalah suara – literally dan figuratively- dari karakter-karakternya, Terutama para Kura-Kura Ninja. Para jagoan bertempurung itu benar-benar berjiwa dan bersemangat remaja, ditambah pula voice aktor yang memang anak-anak remaja. Jadi mereka kayak anak remaja beneran. Yang cablak, kadang sedikit angkuh, energik, ceroboh, dan ada sisi polos yang natural. Gimana mereka saling berinteraksi, udah persis kayak kakak adik sodaraan beneran. Kalian tahu dialog celetukan ala Marvel yang sering out of nowhere gak tepat sikon disebutkan oleh superhero dewasa? Nah, dialog para KKN juga seperti itu, namun karena mereka kerasa genuine seorang remaja, maka dialog celetukan seperti itu lebih mudah untuk kita maklumi.  Personality masing-masing Turtle benar-benar terflesh out. Leonardo yang sering diledek tukang ngadu, karena berusaha jadi pemimpin yang baik, Ralph yang pengen ngerasain sekolah, Mikey yang jago improv, Donatello yang hobi K-Pop dan anime. Yang mereka obrolin juga referensi yang kekinian banget. Bahas Marvel lah, Attack on Titan lah. Film ini memang menggila soal referensi, baik untuk generasi muda ataupun penonton yang lebih ‘uzur’, tapi walau ada juga referensi ke produk Nickelodeon,  gak sekalipun terasa cringe dan ganggu penceritaan.

Sampai sekarang aku masih gak percaya film ini bener-bener masukin versi meme dari lagu What’s Going On; meme kocak yang udah beredar enam-belas tahun di internet itu dijadikan musik latar saat adegan kejar-kejaran mobil! So wild!!

Kura-Kura jadi kambing hitam

 

As an older fan, aku turut mengapresiasi voice work dari aktor-aktor seperti Natasia Demetriou yang jadi Wingnut – mutant kelelawar, serta Jackie Chan yang meranin Splinter, dan Ice Cube yang jadi Superfly. Mereka terdengar begitu fun menghidupkan karakternya. Malah di sini Jackie Chan kayak gak hanya menyumbang suara, karena adegan Splinter berantem itu udah kayak adegan-adegan Jackie Chan dalam film-film laga. Berantem kocak dengan properti di sekelilingnya. Splinter dan Superfly sendiri memang punya keparalelan yang menarik, karena basically mereka sama-sama membenci manusia. Development karakternya-lah yang nanti bakal membedakan keduanya. Mendengar Jackie Chan dan Ice Cube di sini membuatku pengen melihat film Friday dibikin sekuel baru, dibintangi Ice Cube dan Chris Tucker dan Jackie Chan sekaligus hahahaha!

Untuk gaya visual, man, aku seneng banget di tahun-tahun belakangan ini kita dapat film animasi yang gaya gambarnya itu enggak seragam. Yang enggak kayak berusaha bikin yang sesuai standar tertentu. Mungkin semua ini memang pengaruh dari kesuksesan Spider-Man: Into the Spider-verse (2018), tapi aneka ragam gaya animasi memang perlu kita rayakan. KKN: Mutant Mayhem menggunakan gaya animasi unik yang konsepnya tuh kayak coret-coretan atau arsiran. Ada objek-objek seperti asap, lampu, bahkan bulan, yang terbentuk dari garis-garis berulang yang semrawut. Estetik tersebut actually menambah banyak untuk karakter dan vibe film ini. Terutama dari sisi latar tempat. Garis corat-coret itu seperti menghidupkan kesan rough dari kota New York. Personality kota itu penting, karena di situlah tempat prejudice manusia berbahaya, mutant berbahaya itu tumbuh. Film ini berhasil menggambarkan itu semua ke dalam  desain komposisi wujud dan warna yang fresh. Dan ngomong-ngomong soal desain, satu yang tampaknya mencuat pada penggemar Kura-Kura Ninja, yaitu desain karakter April. April di sini bukan lagi perempuan pirang, langsing, dan seorang jurnalis yang pede. Menurutku yang dilakukan oleh film ini selangkah lebih respek daripada sekadar meng-race swap. April dibikin seperti our everyday friend bukan lagi perempuan muda dengan standar kecantikan mainstream. Karakternya kini punya kelemahan yang semakin manusiawi (dia gak pede di depan kamera), meski tetap mandiri dan cerdas dan tak lantas jadi orang yang perlu diselamatkan.

Aku pengen bilang film ini hiburan yang perfect, kalo bukan karena satu hal kecil. Flow penceritaan di babak awal. Babak pengenalan film ini actually kurang mulus, dengan tempo yang agak tercekit-cekit, karena film menggunakan banyak flashback perspektif. Aku gak tau apakah itu istilah yang benar atau bukan, tapi yang kumaksud adalah banyak flashback dari sudut pandang karakter tertentu, guna menceritakan apa yang terjadi dari sudut pandang lain sebelum jagoan-jagoan kita exist di dunia. Sebenarnya ini cara yang lumrah, tapi untuk film ini aku tidak melihat alasan kenapa harus melakukannya seperti itu. Karena toh cerita bisa saja berlangsung dengan linear. Keputusan film mengskip langsung lima belas tahun kemudian, tapi lalu enggak lama setelah itu malah balik untuk flashback, buatku agak aneh dan kurang efektif. Membuat sampai ke plot poin pertama rasanya jadi lama banget, dan berjalan agak ngambang mau ke mana. Tapi memang hanya di 20-30 menit pertama itu saja. Selebihnya, KKN: Mutant Mayhem adalah suguhan seru dan bisa dibilang liar, yang asyik lagi berbobot.

 

 




Lapisan kebahagiaan dan kepuasaanku memang banyak banget setelah nonton film ini. Senang karena akhirnya ada lagi film KKN yang proper (Kura-Kura Ninja, loh, bukan KKN yang satu lagi). Senang karena terhibur oleh aksi dan keseruan dan akting suara yang dilakukan. Senang karena film animasi masih punya banyak ruang untuk berkembang dan gak melulu tampil dengan gaya yang sama.  Duh, sepertinya akhir tahun bakal susah nih milih film animasi yang terbaik di antara yang terbaik! Aku gak ngerti kenapa film ini malah berkurang layarnya di bioskop, padahal mestinya film ini jadi hiburan yang paling ‘aman’ dan respek buat keluarga. Meski diremajakan untuk penonton kekinian, isi film ini beresonansi dengan berbagai generasi. Dan karena ini basically reboot atau cerita baru, maka enggak perlu tahu film atau cerita lamanya. Penceritaan film ini bekerja baik dalam menghantarkan backstory setiap karakter. Setiap keinginan dan pembelajaran mereka bakal terbungkus seru. Mungkin akan sedikit mengingatkan kepada X-Men, tapi tone dan vibe dan developmentnya certainly one of a kind. Justru melewatkan ini bakal kowabunga, eh salah.. kebangetan!
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES: MUTANT MAYHEM

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apa yang berhasil dilakukan oleh film ini, yang gagal dilakukan oleh versi live-action Michael Bay?

Share pendapat kalian di comments yaa

Hijack, serial thriller bagus tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ sudah sampai ke episode finale. Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



ELEMENTAL Review

 

“The most important things in life are the connections you make with others”

 

 

Masih ingat lagu Olaf si boneka salju di Frozen? It goes like “The hot and the cold are both so intense, put them together? it just make sense!” Ya, perbedaan menyatukan. Opposites attract. Dan hey, kita bahkan tinggal di negara yang mottonya menyebut perbedaan sebagai alat persatuan. Sudah ada begitu banyak kisah tentang gimana dua orang yang begitu berbeda akhirnya menjadi pasangan yang serasi karena saling melengkapi, saling menghargai, dan kita semua suka cerita-cerita kemanusiaan seperti ini. Jadi pertanyaannya adalah di titik mana cerita tersebut menjadi klise – jika muatan yang terus relevan tersebut memang bisa untuk terasa klise. Tadinya, aku mengira titik itu ada di animasi Pixar terbaru ini. Tapi ternyata sutradara Peter Sohn bukan hanya sekadar membuat cerita tentang Gadis Api yang jadi couple dengan Cowok Air. Bukan hanya tentang chemistry yang terjalin dari perbedaan. Melainkan menggali ke dalam. Film ini menekankan kepada pentingnya koneksi emosional sebelum bicara tentang betapa indahnya koneksi fisik yang dihasilkan darinya.

Biasanya yang bersikap dingin itu digambarkan sebagai es. Uniknya di sini Sohn membuat bahwa yang panas ternyata juga bisa jadi ‘dingin’. Si Cewek Api, bernama Ember lah yang dalam cerita Elemental mengalami kesulitan untuk connect dengan orang-orang di Element City. Ember sudah berniat untuk kelak menggantikan posisi ayahnya sebagai pemilik toko keluarga, tapi dia kesulitan untuk melayani berbagai permintaan customer.  Ember suka meledak marah, like literally mengobarkan api sampai-sampai suatu ketika dia membuat pipa-pipa air di basement toko dan rumah mereka bocor. Masalah tersebut menyedot Wade si Cowok Air, yang actually tukang ngecek kelayakan bangunan di kota. Pertemuan mereka berujung pada Ember harus berjuang mendapatkan ijin toko hingga menyelamatkan toko tersebut dari terjangan air. Untuk itu Ember harus bisa meyakinkan petugas kota. Dan Wade yang memang punya sikap gampang tersentuh, berusaha membantu Ember untuk melakukan hal tersebut.

Cek Toko Sebelah, IPA edition

 

Notice gimana cerita terus menekankan kepada soal membangun koneksi? Mulai dari menjaga toko hingga berusaha menyakinkan Gale si awan pimpinan petugas kota, masalah yang ditemui Ember adalah karena dia gak bisa menyentuh orang-orang tersebut secara emosional. Beda sama Wade yang bahkan bisa membuat penonton satu stadion olahraga melakukan ‘ombak’ bareng. Sekilas Wade memang tampak sebagai humor relief karena mudah banget nangis, tapi karakter ini adalah pendukung yang sangat tepat bagi journey personal Ember. Wade bakal ngajarin Ember gimana membuka diri, untuk berani menjadi vulnerable di depan orang lain, dan menyadarkan Ember bahwa sebenarnya kunci dari masalah emosinya itu adalah karena Ember tidak berani jujur kepada dirinya sendiri. Crying game yang jadi permainan keluarga Wade juga sebenarnya bukan permainan lucu-lucuan saja, tapi secara inner permainan tersebut jadi tes bagi Ember, bagian dari proses belajarnya membuka diri secara emosional. Itulah kenapa Ember dan Wade akhirnya jadi pasangan yang bisa kita dukung. Karena film membuat kita mengerti bahwa kedua orang ini sebenarnya saling butuh satu sama lain. Film ngebuild up dengan manis proses mereka jadian, yang ditunjukkan dari mereka mau bersentuhan aja harus saling percaya dulu. Saling konek dulu secara emosional. And when they do touching each other, film ngetreat-nya seolah perayaan cinta yang begitu besar lewat permainan kimia dan fisika yang indah antara air dan api.

Membuka diri kepada orang memang penting, kayak di film aja, karakter cerita kita harus dibikin vulnerable supaya bisa relate dengan penonton, dan hanya jika penonton merasa relate-lah maka karakter dan film tersebut baru bisa dipedulikan. Kita perlu orang lain merasakan hal yang kita rasakan, kita perlu saling mengetuk hati satu sama lain. Tapi memang tidak semua orang berani melakukannya karena untuk bisa vulnerable tersebut maka kita harus membuka diri terhadap siapa kita sebenarnya, jujur dulu pada apa yang kita rasakan sebenarnya.

 

Hal itulah yang terjadi pada Ember. Dia susah konek ke orang, karena secara emosional dia belum siap membuka diri terhadap masalah personalnya sendiri. Dia belum siap mengakui bahwa dia sebenarnya gak mau ngikutin keinginan ayah untuk mengelola toko. Hubungan antara Ember dengan ayahnya juga jadi salah satu elemen penting di dalam cerita. Yang membuat film ini juga bertindak sebagai drama keluarga yang menghangatkan. Konflik yang perlahan dikembangkan seperti api dalam sekam, akhirnya mendapat penyelesaian yang tak kalah manis dengan elemen romansa. Kedua elemen pada cerita ini berjalan paralel sebagai inner journey yang solid. Inilah yang selalu jadi kekuatan naskah pada film-film Pixar. Berani untuk mengeksplor bahwa yang diinginkan oleh karakter, sebenarnya bukan hal yang mereka butuhkan. Elemental dan film-film Pixar lain berani untuk gak ngasih karakternya hal yang mereka inginkan di awal cerita. Beda sama film Indonesia yang seringnya ngasih lihat apa yang karakter mau di awal, itu yang bakal berhasil mereka dapatkan sebagai penutup cerita. Padahal momen karakter menyadari yang mereka inginkan not really good for them dan lantas membuat pilihan lain menuju yang kini mereka sadar lebih mereka butuhkan bakal selalu jadi momen pembelajaran yang kuat, yang membuat film Pixar selalu beresonansi buat penonton dewasa, dan juga penonton anak-anak.

Literally bikin ombak together

 

Ngomong-ngomong soal penonton anak. well, di sinilah mungkin Elemental bisa membagi dua penonton. Misi yang basically cuma mau dapetin ijin toko memang bukan petualangan benar-benar diharapkan penonton anak yang pengen petualangan yang lebih fantastis. . Bentukan film yang sebenarnya lebih seperti rom-com, komedi romantis, ketimbang actual adventure juga bisa bikin penonton yang lebih dewasa agak canggung mengajak adik-adik atau anak mereka menonton ini. Tapi kalo nanya aku, tentu saja kita gak bisa bilang film ini ‘buruk’ karena kurang fantastis, atau karena ngasih lihat anak-anak build up orang pacaran. Menurutku, pelajaran berharga yang dipunya cerita outweight sedikit kecanggungan ataupun kenormalan yang dipunya oleh animasi fantasi ini. Anak-anak justru bisa belajar banyak tentang romantic relationship yang sebenarnya juga tergolong ‘aman’ karena di film ini diajarkan untuk membangun rasa pengertian terlebih dahulu. Bahwa hubungan gak bisa langsung sosor fisik, melainkan harus punya dasar emosional, harus terjalin dari dalam. Film ini sebenarnya juga menggambarkan kehidupan sosial karena Ember dan keluarga dipotret sebagai semacam orang dari daerah kecil yang pindah mencari kehidupan baru di kota besar. Kota yang punya stigma negatif terhadap mereka (api dilambangkan susah bergaul dengan elemen lain seperti air dan tanah yang lebih gampang mix together). Sehingga keadaan keluarga Ember yang membangun sendiri tempat tinggal mereka, yang tinggal berkomunitas di pinggiran kota, gak merasa benar-benar cocok dengan penduduk lain dapat jadi pelajaran sosial yang berharga tentang saling menghargai.

Soal fantasi, memang Elemental gak punya dunia dengan high concept kayak Soul ataupun aturan-aturan seperti Inside Out, tapi bukan berarti film ini lack of creativity dan jadi animasi yang datar. Sebaliknya, Elemental membawa fantasi itu ke ranah yang lebih grounded dan bisa lebih mudah dipahami oleh penonton anak-anak. Para penduduk dan kota Element itu sendiri memang didesain untuk bertindak layaknya unsur alam beneran. Seperti yang dipelajari oleh anak-anak dalam pelajaran ilmu alam di sekolah. Gimana api dengan mineral, gimana air bisa menciptakan pelangi, gimana cahaya bisa diteruskan oleh air, gimana api ternyata digunakan untuk bikin kaca dan ornamen-ornamen yang unik. Dan bukan hanya dari hal-hal yang kita lihat, beberapa dialog film ini juga memuat banyak candaan yang diambil dari gimana elemen-elemen alam itu bekerja. Gimana awan hanya ikut kemana angin bertiup. Gimana  air diceritakan seolah pengen tahu apapun – padahal maksudnya juga adalah soal air selalu mengisi tempat/bejananya. Desain visual karakter juga dimainkan untuk menambah kepada karakterisasi. Misalnya kayak si Ember yang badan apinya actively semakin bergejolak sesuai dengan emosi yang ia tahan. Jadi ya, aku pikir penonton gak bakal kehabisan hal untuk dikagumi dari dunia film ini. Karena fantasinya dari ilmu beneran yang begitu well-crafted sehingga membentuk jadi dunia yang dihidupi karakter-karakter ajaib.

Dan jika adik-adikmu belum puas bertualang, di rumah tinggal setel saja Apple TV+ karena di sana ada serial animasi anak terbaru berjudul Stillwater tentang anak yang tetanggaan sama panda! Just click this link untuk subscribe~ https://apple.co/42U6Omf

Get it on Apple TV

 

 

 




Better jika kita masuk ke dalam film ini, fully realized kalo ceritanya bukan exactly sebuah petualangan fantastis. Karena memang film ini lebih seperti rom-com dan drama keluarga dengan karakter-karakter unik. Memang tak jadi terlalu fantastis dengan konsep dunia dan petualangannya, namun film ini ngeceklis semua kriteria sebuah film yang bagus dan benar tanpa cela yang kentara. Naskah yang solid dan development yang kuat membuatnya jadi tontonan yang berbobot. Really, aku tak menemukan pilihan yang salah dari film ini. Bahkan flashback yang mereka lakukan pada beberapa adegan tidak menghambat tempo dan punya alasan kuat untuk dilakukan demi menjaga cerita tetap berjalan dari sudut Ember. Sekilas terlihat biasa, tapi keunikan justru mencuat dari gimana film ini mengolah bahasan yang sudah sering lewat sudut fokus yang rada berbeda. Dari gimana kreasi fantasi itu diarahkan untuk menjadi lebih grounded supaya penonton lebih mudah mengerti dan terattach kepada karakter. Menurutku film ini cuma hadir di waktu yang kurang tepat; hadir di saat penonton selalu mengharapkan something explosive sebagai hiburan di bioskop (untuk alasan yang sama kenapa superhero yang lebih grounded dan simpel ala cerita kartun juga tidak benar-benar digandrungi dibandingkan superhero yang banyak kejutannya). Tapi aku percaya, ini adalah tipe film yang seiring berjalannya waktu akan semakin diapresiasi oleh penonton yang lambat laun menyadari how well-rounded penceritaan yang ia miliki.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for ELEMENTAL

 




That’s all we have for now.

Mengapa menurut kalian film ini menganggap persoalan emotional connection perlu diajarkan kepada anak-anak?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SPIDER-MAN: ACROSS THE SPIDER-VERSE Review

 

“You are your own worst enemy”

 

 

Orang bilang musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri. Miles Morales menyadari itu tatkala dia bertemu dengan Spider-Man – Spider-Man lain dari entah berapa banyak universe berbeda. Orang-orang yang basically adalah dirinya sendiri. Yang punya kekuatan yang sama. Punya garis hidup dan masalah yang sama. Tentu it’s all fun and games kalo mereka sedang akur. Masalahnya, Miles gak bisa diam saja mengetahui dirinya dan juga Spider-Man lain bakal ngalamin kehilangan orang tersayang. Apalagi karena Miles masih punya unresolved conflict dengan ayahnya tersebut. Maka Miles pun mulai bergerak sendiri. Melawan ‘canon’ cerita Spider-Man. Melawan Spider-Society yang berusaha menjaga ‘canon’ tersebut. Ya, bagian kedua dari trilogi Spider-Verse ini didesain oleh sutradara Joaquim Dos Santos, Kemp Powers, dan Justin K. Thompson sebagai perjuangan seseorang melawan takdir yang telah dituliskan.

Karena memang, meskipun telah digariskan, tapi kesempatan mengubah nasib masing-masing itu sebenarnya masih terbuka. Kita menulis cerita hidup kita sendiri. Kita cuma perlu mengalahkan diri sendiri untuk bisa melakukannya.

 

Kehadiran film animasi Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018) lalu mengubah pandangan banyak orang terhadap apa yang bisa dilakukan oleh film animasi. Film tersebut bukan cuma punya cerita yang grounded yang berhasil mengikat soal pilihan hidup dengan konsep multiverse, tapi juga memperlihatkan potensi gila yang dipunya medium ini, jika punya kreativitas dan cukup nekat untuk melakukannya. Estetik buku komik yang dihadirkannya membuat nonton film itu serasa baca komik yang bergerak sendiri! Visual fluid lagi unik yang begitu groundbreaking tersebut lantas diadaptasi oleh berbagai film animasi sukses lain setelahnya, named Puss in Boots terbaru  yang berestetik anime dan The Mitchells vs. The Machines yang pake gaya kultur internet. Itulah, ketika film berlomba-lomba untuk ngasih kualitas yang bagus (bukan cuma berlomba ngejar ‘sekian penonton telah beli tiket di bioskop’) maka yang akan kita dapatkan ya kualitas yang bakal terus meningkat. Animasi Spider-Verse ini, contohnya.

Supaya gak kalah sama yang terinspirasi oleh film pertamanya, Across the Spider-Verse up the ante. Di film ini gambar-gambarnya meriah oleh berbagai macam estetik yang digabung menjadi satu. Estetik atau gaya animasi yang dipakai dikaitkan menjadi identitas karakter. Jadi, berbagai karakter dari bermacam semesta itu akan hadir lebih konsisten dengan estetik masing-masing. Spider-Punk yang dari Inggris, misalnya. Karakternya akan digambar dengan gaya grafiti anarki jalanan, sejalan dengan sifat karakternya yang punk abis. Salah satu musuh mereka, si Vulture, diceritakan datang dari Eropa jaman dulu, dan bentukannya juga klasik banget. Seperti coretan di kanvas kuning, gitu. Kalo penjahat utamanya, estetiknya lain lagi. Di sini kita berkenalan dengan karakter villain yang tadinya kayak harmless. Miles malah menjulukinya “Villain of the Week”, yang maksudnya sih meledek kemampuan anehnya yang tak seberapa. The Spot yang bentukannya item-putih tanpa wajah itu ‘cuma’ bisa bikin lubang-lubang yang bertindak semacam portal. Fight scene Spidey dan Spot awalnya tampak konyol, tapi karena portal-portal tersebut, adegannya jadi seru dan sureal. Unpredictable. Apalagi The Spot ternyata punya motivasi dendam yang cukup kuat terhadap Miles, sehingga kemampuannya tersebut berkembang menjadi lebih ‘menyeramkan’. The Spot-lah yang membuat anomali pada Spider-Verse karena dia bisa berpindah semesta seenaknya, dan ngambil kekuatan dari sana. Anomali yang akhirnya bikin rusuh seantero multiverse.

Aku masih ngakak dengar Nick New Girl jadi Peter Parker

 

Kita juga akan dibawa ‘verse’nya si Spider-Gwen, yang dunianya mungkin adalah yang paling ‘romantis’. Karena tergambar seperti ledakan warna cat air, yang warna backgroundnya seringkali berubah, meredup atau mencerah, sesuai mood cerita saat itu. Actually cerita Gwen sebagai (sepertinya) satu-satunya Gwen Stacy, the other love interest, yang jadi Spider-(Wo)man jadi salah satu perspektif pilar film ini. Film ini justru dibuka dari bahasan tentang Gwen dan dunianya. Tadinya kupikir film dibuka dari Gwen hanya sebagai device eksposisi, yang fungsinya menyegarkan ingatan kita kembali pada cerita film yang lalu. Tapi ternyata bahasan di situ cukup mendalam. Bumi-65 tempat Gwen tinggal akan disorot cukup banyak, kita akan lihat story si Gwen dan apa yang terjadi dengan Peter Parker di dunianya itu. Kita akan diperlihatkan juga relasi Gwen dengan ayahnya, yang kapten polisi. Dan di dua puluh menit pertama itu aku mulai merasa seperti punya spider-sense yang ngasih tahu ada sesuatu yang kurang beres pada naskah film ini.

Karena setelah dua-puluh menit, cerita lantas berpindah ke dunia Miles Morales. Kita akan diperlihatkan masalahnya dengan ibu dan ayah. Masalah yang grounded seperti Gwen dan ayahnya tadi. Bahwa anak-anak yang jadi superhero ini punya jarak dengan ayah mereka yang polisi. Meskipun memang buatku ini jadi pondasi drama yang kuat – karena biasanya dalam cerita superhero, protagonis justru punya masalah karena mereka harus mencari father figure, lantaran banyak superhero yang tidak tumbuh dengan sosok ayah, entah itu ayah kandungnya entah itu mati atau jadi jahat – tapi tetap saja film ini jadi aneh karena terasa seperti punya dua babak pertama. Dua babak set up. Untuk dua karakter utamanya, yang sepertinya film ini bingung mau nonjolin yang mana. Kedua karakter akan bertemu di babak kedua, yang involve banyak adegan aksi superseru. Salah satunya kejar-kejaran antara Miles dengan para Spider-Man. Yang menurutku inilah alasan kenapa para sutradara ‘gak jadi’ bikin film ini jadi perspektif cerita Gwen. Yang membuat mereka kembali ke Miles. Bayangkan John Wick dikejar-kejar satu kota, tapi ini adalah Spider-Man, dikejar oleh berbagai macam versi Spider-Man dengan berbagai macam kekuatan dan visual. Mereka pasti merasa sayang melewatkan ini. Cerita mulai memisah lagi antara Gwen dan Miles di babak ketiga. Gwen meresolve konfliknya dengan ayah. Sementara Miles, babak ketiganya belum berakhir karena dibikin sebagai cliffhanger. Dengan tulisan ‘bersambung’ pada layar!

Pengen nangis rasanya.. Damn you, Sony, for putting me on this tough spot!!

 

Orang bilang musuh terbesar kita adalah diri sendiri. Dan saat nonton film ini seperti ada pertarungan dalam diriku. Antara aku yang nonton untuk enjoy things, dengan aku yang nonton untuk mengulas tontonan tersebut sebagai film. Karena memotong film di tengah tidak akan pernah jadi penciri film yang bagus. It was a corporate move, to sell products! Bahkan dalam sebuah episode trilogi, ‘bersambung’ mestinya hanya dipakai untuk memancing minat penonton ke episode berikutnya setelah episode yang ini selesai. Or at least, ada sesuatu arc yang selesai. Jika film ini tetap pada Gwen sebagai tokoh utama, ‘bersambung’nya tadi akan bisa dioverlooked. Karena memang bahasannya dengan ayah, menemui penyelesaian di akhir. Contohnya film bagian kedua dari Trilogi Fear Street (2021). Secara picture triloginya, film itu memang episode flashback untuk pembelajaran karakter utama trilogi terhadap kekuatan musuh. Namun kita juga bisa melihatnya sebagai film utuh, sebagai cerita tentang seorang perempuan yang dibully dan relasinya dengan kakaknya di perkemahan musim panas. Sebuah cerita tertutup yang juga bertindak sebagai bridge ke bagian terakhir trilogi. Spider-Man: Across the Spider-Verse mestinya bisa bertindak seperti itu dengan menjadikan Gwen tokoh utama. Menjadikan ini sebagai closed story Gwen.  Story Gwen memang berakhir, tapi film membagi dua, dengan tetap memberatkan pada Miles. Memfokuskan action-action pada Miles, dan mengangkat banyak bahasan juga dari sana. Itu yang akhirnya bikin film ini tidak bisa berdiri sendiri. Tidak seperti film pertamanya yang masih mengangkat pertanyaan, sembari menuntaskan soal Miles dengan pilihannya. Film kedua ini bahkan tidak benar-benar berusaha memparalelkan kedua perspektif utamanya, sehingga kita jadi dapat dua babak satu dan dua babak tiga (yang satunya lagi dipotong). Gak heran durasi cerita bisa sangat molor, padahal pace cerita dan aksinya cepat-cepat semua.

 

 




Ini jadi satu lagi film yang membuat aku menangis. Karena aku memang sudah sangat suka. Gaya visual yang beragam, begitu unik dan ngasih sensasi magic of movies yang kuat. Seseorang di Twitter bilang “film ini membuat kita seperti melihat warna untuk pertama kalinya”, and somewhat aku setuju. Karakter-karakternya juga sukses bikin aku terpesona. Mereka semua menarik, dan tentu saja sangat kocak (karena mereka semua adalah Spider-Man yang memang harus lucu!) Aksinya superseru. Romance Gwen dan Miles cute dan sweet. Dan selera humor film ini juga cocok buatku. Referensi dan nostalgianya mungkin memang agak rapet. Mungkin gak semua penonton casual bisa menangkap. Karena seringkali jokes di sini membutuhkan ‘pengetahuan’ terhadap perkara Spider-Man, baik itu komik, film, atau media lain, yang sudah ada bukan dari kemaren sore melainkan bertahun-tahun. Favoritku adalah ketika Donald Glover interaksi dengan Miles Morales. Ini kocaknya layered banget, bukan saja karena Donald jadi Prowler versi live-action, tapi juga karena karakter Miles sendiri aslinya terinspirasi dari Donald Glover yang pengen jadi Spider-Man, dan kreator Spider-Man simply melihat Donald pakai kostum Spider-Man dalam salah satu episode serial komedi Community. Tapi in the end, aku tahu as much as I love it, aku gak bisa ngasih skor yang tinggi untuk film ini. Karena ini cerita yang tidak tuntas. Dan cerita tersebut tidak harus dilakukan dengan seperti ini. Ada opsi lain, yang mungkin memang lebih risky. But hey, seperti Miles yang menghadapi Spider-Man lain, kita semua harus bertarung dengan diri sendiri. Film harus bertarung melawan sisi korporatnya. Aku, well, I’m done fighting untuk film ini. Perkara sisi baik atau sisi jahat yang menang, itu lain cerita.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SPIDER-MAN: ACROSS THE SPIDER-VERSE

 




That’s all we have for now.

Kira-kira apakah kalian akan akur dengan versi kalian dari universe lain? Atau apakah kalian punya versi dark sendiri, bagaimana kalian bisa mengalahkannya jika kalian harus bertarung?

Share di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



THE SUPER MARIO BROS. MOVIE Review

 

“Physical bravery attracts most attention. But courage takes many forms”

 

 

Sega punya Sonic, Nintendo punya Mario. Sebagai anak 90an, itu perang-base pertama yang aku ikuti. Perang konsol video game rumahan, dengan maskot game masing-masing. I’m more of a Nintendo boy, tho. Aku lebih suka main Mario – yang menurutku lebih simpel dan lucu ketimbang Sonic. Gamenya juga kulebih menikmati buatan Nintendo (seenggaknya, sampai Sony PlayStation dengan Crash Bandicoot datang haha) Di ranah game-yang-jadi-film, however, kesuksesan Sega mengadaptasi Sonic sehingga dibikin sekuelnya, tampak bikin Nintendo gak mau kalah dan akhirnya mengeluarkan kembali IP game kesayangan mereka ini ke layar lebar!  Yup,  Mario Bros, memang dilindungi banget oleh Nintendo. Setelah live-action yang really cringe tahun 90an dulu itu, Mario hening. Gamenya aja yang terus keluar dengan berbagai variasi, tapi itu pun ekslusif untuk konsol Nintendo. Mulai dari side-scrolling, RPG, 3D Adventure, Balap, Berantem-berantem, bahkan random Sports. Aaron Horvath dan Michael Jelenic punya kesempatan emas dan lapangan bermain yang luas buat bikin film full CGI tukang ledeng bersaudara yang benar-benar compelling, melihat dari ragam dan gedenya IP ini. Jangan mau kalah dong ama Sonic. Tapi nyatanya, duo sutradara kita memang menebar banyak referensi dan merangkai cerita dari sana. Membuat film Mario Bros ini fun bagi kita yang mengenalnya, tapi hati film ini ada di ‘kastil’ yang lain.

Belajar dari kesalahan film live-actionnya dulu – serta kesalahan adaptasi game ataupun animasi yang suka tau-tau masukin karakter manusia yang gak ada di materi aslinya – film Mario Bros. sebenarnya memulai dengan langkah yang lebih mantap. Setidaknya, film tahu sisi unggul Mario Bros. Karakter manusia di tengah Mushroom Kingdom. Dan mereka membuatnya ya animasi semua. Didesain semirip mungkin dengan gamenya. Secara cerita, kubilang, film ini merangkai set up yang cukup bisa mendaratkan karakter. Mario dan Luigi hidup di ‘dunia nyata’, mereka bekerja sebagai tukang ledeng, dan mereka ini diledek oleh keluarga karenanya. Mario dan Luigi di film ini diceritakan sebagai dua orang dewasa yang diremehkan karena mereka kecil, dan kerjaan mereka juga dianggap sepele. Relasi antara Mario dan Luigi juga dibangun. Mario lebih berani dan jago, sementara Luigi orangnya agak penakut dan khawatiran. Sebagai animasi yang persis game, meski karakter mereka manusiawi, toh kita tetap melihat mereka melakukan kerjaan tukang ledeng dengan cara yang cartoonish, sehingga film tetap berjalan lucu dan menghibur. Saat ingin membantu beresin masalah banjir di kota Brooklyn, dua bersaudara ini tersedot pipa aneh yang membuat mereka terpisah. Mario sampai di Mushroom Kingdom, Luigi mendarat di wilayah Koopa yang dipimpin oleh Bowser, yang lagi dalam misi memperluas kekuasaan. Mario nanti akan bekerja sama dengan Princess Peach untuk mengalahkan Bowser, dan menyelamatkan Luigi

Ini bukan tentang Mario mukulin Bowser sampai pingsan, terus direkam, karena disuruh sama Peach loh ya

 

Yup, film ini memang punya kreasi tersendiri sebagai bentuk adaptasi yang mereka lakukan. Karakter Peach disesuaikan dengan masa sekarang, saat cewek gak lagi melulu diselamatkan. Peach di sini, digali sebagai Princess yang punya sisi petualang, yang lincah dan jagoan. Karakter-karakter lain seperti Donkey Kong, dan bahkan si Bowser sendiri juga diperlihatkan dari sisi yang berbeda, tapi kita masih tetap mengenali mereka sebagai karakter yang sudah kita kenal. Soal sedikit perbedaan ini, Mario sendiri juga disorot bahkan sebelum film ini tayang. Yakni soal aksen dan suara Mario yang terdengar berbeda dari versi video game. Chris Pratt yang nyuarain Mario sempat dirujak netijen karena suaranya beda, tapi ternyata film ini punya alasan untuk membuat Mario terdengar seperti ‘normal’. Karena ternyata aksen italia Mario dan Luigi itu, diceritakan sebagai gimmick mereka untuk iklan doang. Aksen itu cuma untuk menarik perhatian. Sehingga, sekarang kita bisa mewajarkan kenapa Mario suaranya seperti Chris Pratt bicara normal – karena Mario supposed to be orang biasa juga, yang masuk ke dunia ajaib di ujung pipa.

Bicara soal pengisi suara, menurutku Pratt menghidupkan Mario dengan baik, suaranya terdengar antusias, bingung, atau lainnya pada momen-momen yang tepat. Terkadang Mario akan bersorak ala game, dan Pratt tidak terdengar maksa ngucapinnya. Voice akting yang menonjol adalah si Jack Black sebagai Bowser. Aku hampir-hampir tidak menangkap itu suara Jack Black saat mendengar suara serak menggemuruh Bowser. Baru saat dia ada adegan menyanyi-lah, ciri khas Jack Black terdengar. Dan itu momen yang tepat, karena kita melihat Bowser dari sisi lain – sisi yang less barbaric. Salut buat Jack Black. Enggak kayak Seth Rogen yang suaranya gitu-gitu melulu. Begitu Donkey Kong ngomong, kita pasti langsung tau pengisi suaranya siapa haha. Seth mainin karakter ini standar. Anya Taylor-Joy juga di sini terdengar kurang nendang sebagai suara Peach. Tidak sememorable Bowser, atau juga Luigi. Charlie Day di sini memang juga cukup surprised buatku; Kupikir bakal annoying tapi Luiginya ternyata terdengar genuine, suaranya cocok sama dinamika karakter Luigi.

Karakter dalam Mario Bros. memakai berbagai item yang dikenal sebagai power ups untuk menjadi kuat. Ada bunga yang membuat mereka bisa menembakkan bola api. Ada kostum kucing yang membuat mereka jadi punya ‘jurus’ kucing. Dan ada jamur yang literally membuat mereka bertambah besar. Mario di sini gak suka jamur, tapi dia lebih gak suka lagi dikatain kecil. Jadi power ups benar-benar membantu. Tapi bukan power ups yang bikin Mario berani. Mario berani, karena dia gak ragu mengakui kelemahan dan memakai power ups. Mario berani, karena dia gak menyerah dan mencoba menyelesaikan tantangan platform terus menerus sampai berhasil.

 

Kreasi seperti pada set up karakter sayangnya tidak dilakukan utuh untuk menggarap cerita. Begitu sampai di Mushroom Kingdom, dan Mario, Peach, dan – di tempat terpisah – Luigi, harus bertualang, film mengganti kreasinya menjadi kreasi memunculkan referensi saja. Alur dan development, journey inner karakter, dijadikan minimal. Film cuma jadi serentetan adegan-adegan yang merujuk pada video game. Belum pernah aku merasa pengen balik buat main game, saat sedang nonton di bioskop, Mario Bros. memang senostalgia itu! Begitu banyak karakter (hampir semua musuh di game Mario hadir!), tempat, platform, dan bahkan musik yang bikin aku teringat sama sensasi main video gamenya. Tapi ini sudah bukan lagi jadi pujian. Karena di balik itu semua, petualangan Mario di Mushroom Kingdom, melawan Bowser, terasa kosong. Efek Mario pisah dengan Luigi sama sekali tidak digali. Pas battle terakhir mereka ketemu, dan penyadaran Mario datang begitu saja. Mario cuma ngikut ke mana karakter-karakter lain membawanya, ke mana naskah mengarahkannya, dia tidak benar-benar ‘memainkan’ petualangan itu. Like, masalah banjir di kota saja terlupakan karena Mario masuk ke Mushroom Kingdom. Dan kesempatan Mario balik ke kota dan menyelamatkan kota datang dari pertarungan dia dengan Bowser. Di tengah-tengah itu, Mario never reflect tentang kegagalan dia di awal atau semacamnya. Dia jadi hero dan diaccept keluarga dengan otomatis, petualangannya tidak terasa earned. Melainkan cuma kayak rentetan kejadian seru seperti pada video game. Film ini cuma punya hal-hal yang pernah kita lihat, dan kita lakukan di dalam video game. Tanpa ada konteks yang kuat – or rather, dengan konteks yang dibangun tapi dilupakan – menyaksikan itu semua ya jadinya kayak ngeliat iklan video game terbaru Mario saja ketimbang melihat film yang menceritakan soal Mario dan teman-teman.

Game- eh film Mario baru, with better graphics!

 

Seolah puluhan referensi game Mario belum cukup, film lantas masukin nostalgia 80an secara umum. Membuat film menjadi semakin tampak seperti cuma bergantung kepada nostalgia. Yang paling mengganggu buatku adalah lagu-lagu populer 80annya. Like, why. Aku sumringah setiap kali nada-nada dari game terdengar, mewarnai adegan sebagai background. Sebaliknya, aku mengernyit kenapa lagu Take On Me yang dimainkan saat mereka masuk ke wilayah Donkey Kong, bukannya muterin lagu theme game Donkey Kong. Apa hubungannya lagu-lagu populer itu dengan film dari game, toh gamenya tidak pakai lagu-lagu tersebut. Dari situ saja kita bisa menyimpulkan bahwa film ini ya benar-benar menyasar gelombang nostalgia semata. Enggak benar-benar punya cerita untuk disajikan. Bekerja terbalik alih-alih membangun cerita dan menghiasnya dengan referensi dan nostalgia, film ini justru ngumpulin referensi dan lantas menghubungkan semua itu dengan apa yang akhirnya mereka sebut sebagai cerita. Gak heran film ini jadi terasa tipis, bahkan kosong seperti tak-berhati.

Sebelum ini, aku nonton satu lagi film yang diangkat dari game populer di Nintendo, yang tokohnya juga pria berkumis (tapi bukan tukang ledeng). Tetris. Cerita pembuatan game itu ternyata udah kayak film aksi mata-mata! Kalian bisa baca reviewnya di sini. Dan yang pengen menontonnya, Tetris tersedia di Apple TV+, kalian bisa mulai berlangganan di https://apple.co/3nhEOdf
Get it on Apple TV

 




Urusan game, aku memang lebih suka Nintendo dengan game-game seperti Mario, Donkey Kong, Metroid, Kirby, dan lain-lain. Tapi untuk urusan game yang diadaptasi jadi film, Sega – saingan Nintendo sejak lama – ternyata masih unggul. Sonic satu. Mario nol. Film ini void, terasa kayak gak ada cerita. Padahal berangkat dari set up yang lumayan bikin film kerasa punya kreasi sendiri sebagai adaptasi. Tapi begitu petualangannya masuk, film ini tancap gas dan hanya berubah menjadi suguhan adegan-adegan seperti game. Dan lagu-lagu populer era lawas. Kalo dibilang menghibur dan menyenangkan, ya memang menghibur dan menyenangkan. Tapi bukan lantas berarti sinema, seperti kata Luigi. Iklan sirup aja bisa menghibur kok. Dan memang baru seperti itulah level film ini. Baru seperti iklan.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for THE SUPER MARIO BROS. MOVIE

 




That’s all we have for now.

Pernah dong main game Mario? Power up favorit kalian dalam seantero game Mario apa sih?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MOANA Review – [2016 RePOST]

 

“There’s (should be) more than meets the eyes.”

 

moana-poster

 

Kluk, kluk.

Hei hei, kenalin, namaku Heihei. Kalian tentu sudah menyaksikan petualanganku mengembara samudera dengan Putri Moana, bukan? Wah kalo belum, sayang sekali, kalian tidak melihat betapa keren dan cerdasnya aku di situ.

Wow, aku bisa mendengar sorakan kalian dari sini. Terima kasih, terima kasih. Tadinya kupikir cuma Moana yang bisa melihat kelebihanku. Aku tahu dia suka padaku. Sewaktu remaja dia pernah melarang seseorang untuk menjadikanku ayam goreng. Moana juga sering curhat – bicara padaku. Dan sebagaimana layaknya pendengar yang baik, aku akan mendengar keluh kesahnya tanpa berkedip sampai Moana selesai bicara. Yang biasanya ia lakukan abruptly, yang mana kutahu dia merasa amat terbantu oleh kehadiranku. Dan aku tahu kalian juga suka padaku. Setiap kali aku beraksi di layar, kalian pasti berseri dan tertawa-tawa.

Padahal sebenarnya aku seekor ayam biasa di desa. Well, oke, aku sedikit lebih tampan sih dibandingkan ayam-ayam lain. Mataku indah, sebesar bola pim… tenis! Kerjaanku sehari-hari di pulau ya cari makan, sama kayak penduduk desa yang lain. Aku suka matukin batu, selera makanku cukup gede. Kalian tentu sudah melihat betapa festivenya penduduk desa kami. Kehidupan suku kami memang menyenangkan seperti itu; bikin kerajinan tangan, memanen hasil-hasil alam sambil bernyanyi. Pemandangannya indah. Semuanya pada betah, tidak seorangpun mau repot penasaran terhadap apa yang ada di seberang lautan selepas batu karang sana. Yang kami tahu hanya ada ombak besar. Berbahaya. Lagipula ada legenda yang mengatakan penduduk harus tinggal di pulau.

Ladies and Gentlemen, sambutlaaaahhh: The Rock!!!

Ladies and Gentlemen, sambutlaaaahhh: The Rock!!!

 

Tidak seorangpun yang bermimpi untuk berlayar, kecuali Moana. Anaknya pemberani sekali. Moana adalah putri dari kepala suku kami, jadi tinggal tunggu waktu sebelum Moana diangkat menjadi pemimpin baru. Masalahnya adalah, Moana suka sekali sama air. Beneran. Dia pernah nekat berlayar bareng Pua si babi, dan sampan kayu mereka hancur dengan sukses diterjang ombak. Aku bersumpah untuk tidak akan jadi sebego Pua. Aku akan menjauh sejauh-jauh mungkin dari pantai.
Kemudian seantero desa terkena masalah, kelapa pada menghitam, panen-panen busuk. Legenda mengatakan ini adalah kutukan dari Te Fiti. Satu-satunya cara mencegah ‘wabah’ ini menyebar adalah dengan mengembalikan hati Te Fiti yang dibawa kabur oleh Maui, seorang Setengah-Dewa yang menghilang setelah kalah berantem sama sesosok makhluk kuno.

Langkah kaki mantap membawaku ke naungan sebuah gua yang besar dan tersembunyi. Sepertinya tidak ada penduduk desa lain yang tahu tempat ini. Kupikir jika tinggal di dalam gua leluhur suku Moana dengan banyak perahu-perahu yang ditinggalkan ini, maka aku bisa selamat meski seluruh pulau mati. Bukankah aku sudah bilang bahwa sebenarnya aku ini pinter? Hah! Aku ngendem di dalam salah satu kapal yang berisi banyak benda yang bisa kupatuki. Rencanaku sudah sempurna. Jadi jangan ketawakan aku yang teriak sekenceng-kencengnya begitu kali berikut aku diangkat oleh tangan lembut nan tegap Moana, aku mendapati kami berdua berada di tengah-tengah lautan biru!

Kukuuuuuuuukkkk!!!!

Kalian terkagum oleh ANIMASI LAUT YANG BEGITU REALISTIS sehingga kalian merasa kebawa seger dan ingin menyentuh air kepulauan tropis yang hangat nan indah. Well, aku bisa kasih tau; Airnya Dingin! Setidaknya bagi bulu ayamku. Aku sebenarnya mencoba kabur, namun Moana yang kini sobatan sama lautan berkat kekuatan dari jimat hati Te Fiti, malah mengurungku di dalam perahu. Misi kami adalah menemukan Maui. Moana memang nekat, despite her father’s wishes, dia tetep aja bertualang di lautan to set things straight.

Situasi yang memburuk bukan berarti adalah kesalahan dari orang yang kebetulan lagi memimpin. Akan tetapi, pemimpin kudu berani untuk mengambil resiko, to take on action untuk segera menyelesaikan masalah yang ada demi kebaikan yang lebih besar bagi semua orang.

 

Tapi senekat dan seberaninya Moana, sebenarnya ada satu masalah: cewek itu enggak tahu caranya mengemudikan perahu layar. Petualangan seru kami semakin menjadi kocak setelah Maui beneran bergabung. Mulanya aku agak bete lantaran makhluk sok-jago itu menyebutku sebagai kudapan. Namun ternyata hatinya cukup baik, dia peduli pada kesehatanku di laut, Maui kerap memberi biji-bijian untuk aku makan. Psst, Maui secretly ngefans loh sama aku, terbukti dari ketika ia kelepasan berubah wujud nyamain diriku yang tamvan pakek v. Sebaliknya, yang paling aku suka dari Maui adalah tatonya. Sekujur tubuh Maui ada tato yang bisa bergerak dan punya pikiran sendiri. Tato Maui bisa protes dan bereaksi terhadap tindakan Maui. Dia bicara kepada tato-tatonya, malahan ia sering dibikin jengkel lantaran tato tersebut kerap menyuruh Maui ngelakuin the right things to do; membantu Moana.

Aku terhibur sekali sepanjang perjalanan. Aku pikir kalian juga. Menyenangkan sekali melihat hubungan ombang-ambing antara Moana dan Maui, mereka bertengkar padahal mereka harus belajar bekerja sama. Dwayne Johnson menunjukkan kepawaian skillnya dalam dissing people dan ngomong tinggi terhadap dirinya sendiri. Sebagai tulang punggung cerita, reaksi dan timing dan ekspresi Auli’I Cravalho enggak menunjukkan kalo ini adalah debut voice-actingnya. Petualangan kami hidup oleh interaksi mereka. Aksi-aksi yang kami lewati pun sangat seru. Jangan salah, peranku vital loh! Kemampuanku menelan benda-benda keras jauh lebih bermanfaat dibanding keimutan si Pua. I eventually got hurt dalam pertarungan besar kami di akhir cerita. Meski begitu, aku bersyukur enggak terlibat sekuens di bawah laut saat Moana dan Maui berhadapan dengan seekor karakter ala-ala bajak laut yang sangat original. Soalnya aku masih menggigil akibat sebelumnya nyaris game over di tangan monster-monster Kakamora yang kayak buah kelapa yang mengejar perahu kami.

Mad Max Polynesian Road!

Mad Max Polynesian Road!

 

Semua tropes Disney klasik favorit pemirsa sekalian, hadir dalam kisah kami. Narasinya rada-rada klise; Dua tokoh lead yang saling enggak akur, hero yang beranjak dewasa yang belajar banyak tentang kehidupan – yang ternyata lebih luas dan lebih besar daripada dirinya sendiri. Pesona kisah kami terletak di setting budaya Kepulauan Polynesia yang baru pertama kali diangkat dan dijadikan fokus oleh Disney. Berbalut MITOS YANG FASCINATING. Aku beruntung bisa jadi bagian dari kehidupan sosial di sana. Aku beruntung bisa berada di tengah-tengah kejadian. Aku beruntung bisa kenal Moana. Dan kupikir, just get to watch her blossoms into something beautiful membuat kalian sama beruntungnya sepertiku.

Moana dan Maui juga pandai bernyanyi. Ada lebih dari satu lagu yang bikin buluku berdiri. Adegan musikal yang ada terdengar dan terlihat megah sekali. How Far I’ll Go could be the next Let It Go, catchy dan fun to listen to. Kalo ayam bisa nyanyi pastilah aku juga sudah ikut bernyanyi. Harapanku semoga lagu tersebut tidak jadi annoying, sih, kayak Let It Go yang mentang-mentang bagus, diputerin terus. Untungnya kami tidak punya radio atau internet di pulau. Kalo didenger-denger lirik lagu-lagu yang mereka nyanyikan memiliki arti dan turut berkembang bersama perjalanan mereka.

Memang, petualangan kami bertiga tidak sepadet kisah rekan-rekanku di film Zootopia (2016) yang pake baju dan bisa berbicara. Perjalanan kami lebih mudah diikuti oleh anak-anak karena tidak banyak yang tersembunyi di bawah permukaan. Zootopia yang bertema lebih mature akan membuat penonton tenggelam dalam pikiran demi pikiran yang menantang. Pesan dalam Moana lebih tembak-langsung dan dibumbui oleh banyak humor ringan dan sekuens aksi yang seru. Nilai entertainment petualangan kami jauh lebih tinggi. Kalian bisa bernyanyi, tertawa, dan terkagum oleh animasi tanpa perlu banyak berpikir. Kalian enggak perlu pinter banget dulu untuk ngakak melihat kelakukan dan tampang blo’onku.

Berkat Moana suku kami sukses mengarungi hidup yang lebih baik. Kemandiriannya mengajarkan banyak hal, terutama buat anak cewek. You don’t need to wait to be saved, that you can take the matters to your own hands and save all things you loved yourself. Bahkan mengajarkan hal tersebut kepada pria sekuat Maui yang berhasrat dielukan sebagai pahlawan; kita perlu bergerak untuk mewujudkan yang kita inginkan. Atau malah kepada seekor ayam, a village-idiot, sepertiku. Moana percaya ada sesuatu yang lebih deep, deep inside of me, dan itu membuatku sendiri percaya bahwa mungkin aku memang lebih pintar daripada kelihatannya. There’s more than meets the eyes. There should be. Kukukruyuuk!! #thechickenlives

 




Animasi luar biasa – dari tahun ke tahun Disney terus nunjukin peningkatan yang signifikan dalam urusan visual, voice acting yang benar-benar hidup, musical numbers yang megah, moral yang baik, pesan yang berharga, semua yang bisa kita minta sama animasi klasik Disney ada di sini. Ceritanya sangat exciting dan menyenangkan. At the same time, film ini enggak really punya banyak di dalam benaknya. But that’s not necessarily a flaw. Karena dirinya adalah film yang sangat menghibur, anak-anak akan menyukainya sementara orang yang lebih dewasa akan bisa terpuaskan melihat sorotan budaya yang disuguhkan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for MOANA.

 




That’s all we have for now.

Special thanks to Heihei the bantam rooster for typing his pieces.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.



PUSS IN BOOTS: THE LAST WISH Review

 

“Because you already have what you wish for”

 

 

Animasi dengan karakter kucing oren pake sepatu boot, tentunya gak ada urusan untuk bicara dalem perihal kematian, kan?  Inilah pasti kartun untuk tontonan anak kecil, kan? Well, film animasi – seperti halnya komik – memang masih sering dipandang sebelah mata. Ya, animasi memang sebagian besar dibuat supaya lebih appeal buat penonton muda. Tapi itu bukan berarti film animasi tidak bisa bercerita dengan bobot yang lebih kompleks. Justru sebaliknya, film animasi bisa banget diolah jadi medium yang efektif untuk memperkenalkan isu yang lebih matang kepada penonton. Film animasi bukan lantas berarti film anak-anak, but when they do, animasi mampu mengangkat kepada isu-isu real yang dianggap ‘angker’ oleh orang tua kepada anak-anak. Sutradara Guillermo del Toro literally bilang bahwa animasi adalah medium, bukan genre khusus (untuk anak-anak) dalam pidato kemenangan film Pinokionya di Golden Globes baru-baru ini. Memang, despite pandangan umum bahwa animasi hanyalah film anak, toh telah banyak animasi hebat yang bercerita dengan matang. Mengangkat isu yang real. Sementara tetap menghibur dalam melakukannya. Puss in Boots terbaru karya Joel Crawford adalah contoh berikutnya, perjuangan terbaru dari animasi untuk membuktikan kekuatan medium ini dalam ranah bercerita.

Aku gak ngikutin franchise Shrek. Ini, in fact, adalah film Puss in Boots pertama yang aku tonton. Dan sukur Alhamdulillah film ini ceritanya berdiri sendiri. ‘Modal’ nonton ini cukup dengan tahu bahwa universe-ceritanya adalah dunia dongeng alias cerita rakyat populer. Jadi, yea, ‘magic’ adalah hal yang bisa kita harapkan di film ini. Si Puss in Boots sendiri kan, sebenarnya dari dongeng klasik Italia. Oleh universe ini, dia adalah kucing jagoan ala Zorro. Dengan sikap sedikit narsis; pede, cerdas, suka pesta, dan tak kenal takut. “Aku tertawa di hadapan Kematian” adalah jargonnya sebelum beraksi menantang bahaya. Saking jumawanya, Puss memang sedikit careless. Selama bertualang ngalahin orang jahat itu, kucing oren ini actually sudah ‘menghabiskan’ delapan nyawanya. Tau dong, kalo konon kucing punya sembilan nyawa? Nah, di sini ceritanya si Puss sudah dalam nyawanya yang terakhir. Kenyataan ini telak menerpa dirinya. Puss kini tidak merasa segagah itu. Dia bener-bener takut saat sesosok serigala datang dan nyaris mengalahkannya. Satu-satunya harapan untuk mengembalikan kegagahannya adalah saat ia menemukan peta ke Falling Star yang mampu mengabulkan semua permintaan. Puss ingin meminta nyawanya dibanyakin lagi. Petualangan Puss in Boots bersama rekan baru dalam mencari permintaan itu pun dimulai. Petualangan yang penuh bahaya dan stake yang tinggi. Karena bukan dirinya saja yang mengincar permintaan tersebut. Plus, si serigala yang ternyata adalah Death himself, terus memburu kemanapun dia pergi.

Seketika aku jadi teringat perjuangan mencari Dragon Ball

 

Selain karena soal rebutan mencari pengabul permintaan, pengaruh anime – animasi Jepang – lain kuat terasa di sini. Salah satunya adalah sekuen berantem dengan raksasa di awal cerita. Aku benar-benar gak nyangka kalo film dari barat ini, punya sekuen aksi yang vibenya mirip banget ama aksi di Attack on Titan! Serius. The way si Puss meloncat-loncat lincah mendekat menuju sasaran yaitu titik lemah raksasa yang menjulang. Perspektif kamera dalam menangkap dimensi kedua karakter ini.  Bahkan settingnya di atap-atap rumah. Persis banget kayak Eren yang mau mengalahkan Titan. Sungguh kejutan menyenangkan buatku. Aku jadi semakin tertarik melihat apa lagi yang bisa dilakukan film ini terkait gaya animasi yang mereka pilih. Visualnya sendiri tampak fluid dan seru karena menggunakan gaya yang sama dengan animasi pada Spider-Verse dan Mitchell vs. The Machines. Gabungan animasi 3D dengan efek dan garis-garis 2D sehingga tampak kayak komik yang bergerak. Kayak video game yang begitu stylish. Animasi tersebut juga terasa selaras dengan quirk yang dikandung oleh karakter dan dunianya sendiri. Ditambah dengan sekuen-sekuen action tadi, Puss in Boots jadi terasa luar biasa enerjik dan ciamik.

Perkara tone cerita dan karakter, film ini memang secara overall dibuat untuk menyasar penonton yang lebih muda. Appeal dari estetik dongeng dan kekonyolan yang bisa dibawanya tetap jadi jualan nomor satu. Tapi film ini juga tidak segan-segan untuk menyelam lebih matang soal bahasan, maupun candaannya. Dinamika antara kekonyolan, fantasi, dan real talk yang dikandung inilah yang bikin Puss in Boots: The Last Wish jadi hiburan paket komplit. Membuatnya jadi hiburan bagi penonton dewasa, maupun penonton yang lebih muda. Film ini gak ragu untuk membahas soal takut akan kematian, soal panik menyadari diri yang semakin menua (something yang clearly gak kepikiran sama anak kecil) karena film ini tahu dia punya medium yang brilian dan cocok banget untuk menceritakan soal itu. Makanya bagi orang yang lebih dewasa, cerita film ini bisa jatohnya mengerikan, sementara anak-anak mungkin hanya melihatnya sebagai kisah Puss bertemu musuh kuat yang berbahaya. And that’s okay. Kenapa? karena film ini bakal jadi experience yang terus berubah buat anak-anak tersebut seiring mereka dewasa. Anak kecil yang sekarang nonton ini, jika menonton kembali saat sudah dewasa maka akan menyadari hal yang sebelumnya gak mereka notice. Like, bukankah rasanya wonderful jika film mampu terasa berbeda, bisa tetap terasa baru, walaupun kita menontonnya berulang kali. Nah, film ini punya kesempatan untuk menjadi wonderful seperti itu dengan tampil dinamis, mengandung bobot dan hiburan dengan sama mutunya.

Dalam petualangannya mencari bintang pengabul permintaan, si Puss bertemu banyak karakter. Kawan lama, kawan baru, maupun musuh baru. Karakter-karakter seperti Kitty Softpaws, si Serigala Kematian, dan si cihuahua imut yang nyamar jadi kucing, Perrito, akan ngajarin Puss (dan to some extent, kita) tentang kehidupan dan kematian. Tentang bagaimana hidup justru berharga jika ada batas waktunya. Karena mau gimana pun juga, kematian akan datang. Melihat Puss yang ingin meminta ‘perpanjangan’ nyawa membuat aku sendiri teringat sama kejadian pas aku lagi Tugas Akhir dulu. Tanggal presentasi sudah mepet, tapi tugasku belum selesai. Maka aku minta perpanjangan waktu sama mentor. Tau gak beliau bilang apa? Mau sepanjang apapun saya kasih waktu, tapi kalo kamu belum ready, kamu gak akan pernah ready. Waktu itu tidak akan pernah cukup buatmu. Ya, mau berapa banyak waktu yang kita punya, enggak akan jadi soal. Karena semua adalah soal apa yang kita lakukan terhadap waktu tersebut. Dibawa ke cerita film ini; siap menyambut kematian sebenarnya adalah soal sudah atau belumnya si Puss menghargai hidup. Kitty Softpaws, teman alias, ehm, mantan Puss ada di sana untuk mengingatkan apa yang harusnya bisa dimiliki oleh Puss sejak lama jika dia benar-benar menghargai hidup (dengan menghargai bahwa hidup bisa berakhir). Perrito, surprisingly, bakal jadi karakter favorit banyak orang, bakal banyak sekali mengajari Puss soal ya, live the life. Karakter Perrito yang polos, rada bloon namun blak-blakan banget sama perasaannya, ternyata jadi karakter yang bijak banget dibanding yang lain. Karena Perrito satu-satunya yang melihat dunia sebagai sesuatu yang harus dinikmati. Sementara Puss, Kitty, dan karakter lain yang bersaing nyari Bintang, saling tidak percaya satu sama lain.

Cat Attack on Tree Titan!

 

Perihal kematian tersebut lantas semakin didaratkan lagi oleh film ini menjadi bahasan permintaan. Banyak lagi karakter yang jadi saingan Puss in Boots untuk mencari pengabul permintaan. Ada Goldilock dan keluarga beruangnya. Ada juga Jack Horner, si kolektor barang-barang dongeng ajaib. Bahkan Kitty juga sempat jadi saingan. Bahasan soal permintaan ini akan lebih gampang untuk relate ke anak-anak. Dan film juga gak ragu untuk ngasih pelajaran berharga. Tidak ada satupun dari karakter tersebut yang mendapatkan apa yang ingin mereka minta. Semuanya gagal. Tapi kegagalan tersebut tidak diperlihatkan film sebagai sesuatu yang depressing, melainkan dalam semangat yang positif, Yang lebih menggelora. Karena di sini film ngajarin soal sesuatu yang sebenarnya basic dalam nulis cerita. Yaitu yang kita inginkan sebenarnya tidak benar-benar kita perlukan. Dan bahwa yang kita perlukan itu sebenarnya sudah ada di sekitar kita, kita hanya perlu menyadarinya saja. Karakter dalam film ini seperti terkena pamali Birthday Wish Rule, yaitu ngasih tau permintaannya apa ke orang lain, sehingga permintaan tersebut tidak akan terkabul. Padahal sebenarnya ‘pamali’ tersebut justru adalah jawaban dari pencarian mereka. Bahwa dengan share their wish, mereka akhirnya bonding dengan orang-orang yang actually jadi ‘jawaban’ atas permintaan mereka. Karena orang-orang terdekat yang dikasih tau their secret wish itulah yang tadinya kurang dihargai – teroverlook – oleh mereka yang terbuai oleh keajaiban.

Mengharapkan sesuatu ‘keajaiban’ tentu saja gak salah. Hanya saja, one way or another, sebenarnya yang kita inginkan bisa jadi sudah ada di sekitar kita. Bisa jadi permintaan itu sebenarnya sudah terwujud, bahkan sebelum diminta. Kita hanya belum sadar aja. Kita terlalu menggebu sampai tidak menyadari apa yang dipunya. Tidak menghargai apa yang dimiliki. Seperti Goldilock yang gak sadar ada keluarga yang selama ini bersamanya. Seperti Puss yang baru ngeh hidupnya setelah semuanya akan berakhir.

 




So yea, jangan lagi animasi ini jadi medium storytelling yang teroverlook oleh kita. Yang kurang kita hargai, hanya karena tampilan yang cerah, jokes yang konyol, dan seringkali dibuat untuk appeal ke anak kecil. Karena lagi dan lagi, terus bermunculan animasi yang berbobot seperti film ini. Yang di balik hiburannya, menghadirkan bahasan yang berbobot. Mengangkat topik yang ‘angker’ tapi berhasil disamarkan lewat warna yang segar, tanpa mengurangi kepentingannya. Film ini penuh aksi, sekuen berantemnya keren-keren dan kreatif, serta penuh berisi oleh fantasi yang mereferensikan dunia dongeng/cerita rakyat klasik, sambil juga menghantarkan pelajaran berharga tentang hidup kita yang dibatasi oleh waktu. Pelajaran yang tentu saja konek untuk segala lapisan usia. Cerita petualangannya sendiri mungkin memang tidak benar-benar ngasih hal baru (selain dunianya sendiri), tapi karena penceritaannya yang menawan dengan dinamika yang unik, aku terhibur, sekaligus tersentil juga oleh film ini. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PUSS IN BOOTS: THE LAST WISH

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian merasa pernah punya satu hal yang dipengenin banget, tapi kemudian sadar ternyata kalian sudah punya itu? Apa yang membuat kalian akhirnya sadar?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2022

 

It has been a blessed year for cinema. Gimana tidak. Bayangkan, tahun ini kita dapat dua film dari Guillermo del Toro. Dua film dari Steven Spielberg. Tiga film yang loosely berdasarkan kehidupan masa kecil/remaja sutradaranya masing-masing. Dua film Pinokio. Film studio gede maupun film yang lebih ‘sederhana’ saling susul menyusul bikin cerita dalam konsep dunia multiverse. Avatar, making a comeback dengan sekuel. Kita dapat akhir dari seteru ikonik antara Laurie Strode dengan Michael Myers. Yang lantas diikuti oleh banyak lagi horor-horor yang berusaha ngasih sesuatu yang revolutionary. Slasher, Whodunit, dan bahkan monster creature yang juga berisi kritik/satir isu sosial. Film dialog dengan jin juga ada. Also, Voldemort jadi chef sinting sekarang. Gila, horor memang lagi lucu-lucunya sekarang. Di Indonesia juga gitu. Horor marak lagi. Mumun jump into a big screen! Ada juga horor yang bikin satu apartemen jadi kayak satu wahana rumah hantu besar. Salah satu horor nembus nyaris sepuluh juta penonton, walaupun yah secara kualitas filmnya masih jauh di bawah. Tapi di sini, di daftar film-film top saat ini, kita hanya akan bahas yang baik-baik aja. So yea., Mulai bermunculan horor-horor yang lebih nyeni, yang lebih berisi daripada sekadar parade jumpscare. Ada superhero horor sekarang. Ada horor religi juga. Jumlah penonton semakin bergerak naik setelah sekian lama berkurung sebab pandemi. Selain horor, kita dapat lebih banyak lagi film-film yang mengangkat isu perempuan, dua film Gina S. Noer, film superhero lokal, dan film-film komedi yang mulai berani untuk menunjukkan kematangan tema secara serius.

Pokoknya, jadi penggemar film di tahun ini rasanya puas banget. Puas bisa kembali ke bioskop. Puas sama pilihan dan variasi tontonan yang semakin banyak. Puas, karena actually ada lebih banyak film bagus sekarang ketimbang film jeleknya. At least buatku. Waktu ngerecap nilai-nilai film yang udah direview sepanjang tahun – My Dirt Sheet sukses mereview 122 film di tahun 2022 (peningkatan dari tahun sebelumnya) – aku notice kalo tahun ini film yang dapat skor B ke atas (6 ke atas) jumlahnya banyak. Jumlah yang dapat S (8 ke atas) kayaknya paling banyak di tahun ini, selama aku ngereview di blog ini. 

Aku cuma bisa senyam-senyum. Film-film itu ngingetin aku kenapa kita semua cinta pada film pada awalnya. Ngingetin bahwa film bisa begitu menginspirasi. Nah supaya senyumku enggak kelamaan (khawatir giginya kering!) maka kita mulai saja daftar Top-8 Movies 2022!!

 

 

HONORABLE MENTIONS

  • Before, Now & Then (Nana) (or as I called it ‘Selamanya Nana Terkurung’; film yang kayak perempuan Indonesia; cantik, tapi somehow tragis)
  • Black Phone (film horor tentang anak-anak yang benar-benar mencekam dan gak sekadar membuat mereka jadi objek.)
  • Bullet Train (di balik fast-paced action dan karakter-karakter unik nan kocak, film ini masih sempat nyiapin filosofi soal luck)
  • DC League of Super Pets (kelihatannya kayak kartun anak-anak yang simpel, tapi actually punya bobot yang gede. Film terbaik The Rock!!)
  • Nope (Jordan Peele strikes again, kali ini dalam horor creature yang ciamik!)
  • She Said (benar-benar ngasih lihat bahwa untuk empati kita hanya butuh ‘dengar dan rasakan’)
  • Tar (faux-biography komposer perempuan yang intens, Cate Blanchett show!!)
  • The Banshees of Inisherin (komedi tragis tentang gimana manusia menghadapi penolakan)
  • The Batman (temukan sendiri gimana rasanya benih harapan itu tumbuh pada kisah Batman dalam fase ’emo’ sebagai pahlawan)
  • Top Gun: Maverick (bukan hanya soal aksi-aksi pesawat tempur – yang beneran dilakuin Tom Cruise sendiri – film ini juga punya naskah yang supersolid)
  • West Side Story (kali pertama Spielberg garap musikal, rasanya sudah langsung ‘on another level’!!)
  • X – Pearl (dua dari trilogi horor Ti West yang benar-benar membekas berkat range luar biasa si Mia Goth)

Serta, Special Mention buat Ngeri-Ngeri Sedap, yang video ulasannya paling banyak ditonton di channel YouTube My Dirt Sheet. Dan kepada KKN di Desa Penari sebagai film dengan ulasan paling banyak dibaca di blog My Dirt Sheet tahun 2022. Man, film itu mecahin rekor di mana-mana

 

Oke, sekarang inilah DELAPAN BESAR 2022!! 

–PS: seperti biasa, klik di judulnya untuk dibawa ke halaman full-review masing-masing

 

 

 

8. GUILLERMO DEL TORO’S PINOCCHIO

Director: Guillermo del Toro
Stars: David Bradley, Gregory Mann, Ewan McGregor
MPAA: Rated PG 
IMDB Ratings: 7.7/10
“You did bring me joy. Terrible, terrible joy.”

 

Guillermo del Toro merebut kembali dongeng si boneka kayu yang mau dibawa Disney entah ke mana. Tadinya aku udah hopeless. Versi live-action Disney yang rilis beberapa bulan sebelumnya, mengubah Pinokio jadi propaganda ‘woke’ semata. Kehilangan magis karakter dan dongengnya. Guillermo del Toro mengembalikan itu semua lewat Pinocchio versi animasi stop-motion yang bener-bener sebuah penceritaan dongeng yang fantastis dan magical.

Ceritanya kurang lebih sama, tapi dibuat ke dalam warna yang sedikit lebih dark. Kualitas desain produksi yang bisa kita harapkan dari om del Toro, hadir semua di sini. Desain karakter yang unik, panggung era perang, tema yang bicara soal kematian di balik hubungan anak dengan orangtua. Dia membuat Pinokio benar-benar jadi miliknya sendiri.

Karena film ini, aku jadi kembali percaya, sinema modern kita masih punya kekuatan ajaib dalam bercerita. Seni mendongeng itu masih ada, and it might be stronger than ever!!

My Favorite Scene:
Aku masih terkagum-kagum gimana Guillermo del Toro kepikiran mengganti Negeri Nikmat dengan Kamp Pelatihan Perang untuk Anak-Anak. Arena bermain digantinya dengan panjat-panjatan dan obstacle courses buat latihan. Message yang diparalelkan loud-and-clear. Anak-anak yang terlalu patuh dan kaku tidak lebih baik daripada anak berandal yang bandel. Tentara sama aja kayak keledai, just follow rules! Adek-adek, cinta terkadang butuh kita untuk melanggar aturan!! 

 

 

 

 

 

 

7. SCREAM

Director: Matt Bettinelli-Olpin, Tyler Gillett
Stars: Neve Campbell, Jena Ortega, Melissa Barrera
MPAA: Rated R 
IMDB Ratings: 6.3/10
“Because nobody takes the true fans seriously, not really. They just laugh at us, and why? Because we love something? We’re just a fucking joke to them! How can fandom be toxic? It’s about love! You don’t fucking understand, these movies are important to people.”

 

Wes Craven tidak membuat Scream sebagai slasher whodunit semata. Sejak film originalnya, Scream selalu juga bertindak sebagai komentar meta tentang genre horor itu sendiri; apa yang terjadi pada skena per-horor-an pada masa film itu dibuat. Itulah yang terutama membuat Scream konek dengan fans. Itulah yang membuatnya sebagai slasher yang cerdas.

Sebagai honor terhadap Wes Craven tersebutlah, Scream dilanjutkan kembali. Dan ya, film ini bukan soal membahas legacy Sidney semata. Film ini menyentil soal yang terpisahkan dari dunia film; penonton, penggemar. Fandom, yang di masa sekarang bisa menjadi begitu toxic, sampai-sampai membuat studio harus meluncurkan sekuel-sekuel reboot yang nothing but a cash cow. Sebagai penggemar-sejati, bahasan tersebut, yang merayap di balik kelanjutan teror Ghostface, menjadi menarik untuk dinikmati. Film ini actually ngelahirin istilah baru – rekuel – dan menikam apa-apa yang salah dari rekuel-rekuel tersebut.

Scream sendirinya adalah rekuel, namun mereka berani untuk ningkatin stake dan membuat dirinya terasa beneran urgen dengan karakter baru dan permasalahan (lama tapi) baru.

My Favorite Scene:
Film-film Scream juga biasanya suka ‘becandain’ adegan-adegan film original. Di film ini, salah satunya adalah bikin adegan yang mirip ama kejadian di basement rumah Tatum di film pertama. Dan ini adalah adegan yang bikin aku jatuh cinta sama Amber – my new favorite Scream character! Di dialog basement tersebut udah keliatan dia ini ada gila-gilanya sedikit hihihi

 

 

 

 

 

6. THE MENU

Director: Mark Mylod
Stars: Anya Taylor-Joy, Ralph Fiennes, Nicholas Hault
MPAA: Rated R 
IMDB Ratings: 7.5/10
“Because. I need to know if you’re with us or with them.”

 

Makanan sering disimbolkan sebagai hal yang lain pada film. Termasuk pada The Menu, yang bicara soal menjadi snob dan gatekeeping art lewat cerita chef yang jadi ‘sinting’ dan mau bunuh diri beserta anak buah dan para tamunya dalam sebuah jamuan makan malam mewah terakhir.

This movie really hits me. Penampilan luar biasa Ralph Fiennes benar-benar membuatku memikirkan soal bagaimana cara yang benar untuk mengapresiasi seni, mengapresiasi film. Karena yang kita lihat di sini adalah chef yang great at what he does, yang percaya sama seni kuliner sampai ke akar filosofisnya, yang membuat rangkaian menu dengan tujuan dan konsep matang sebagaimana filmmaker menyiapkan filmnya, tapi di saat yang sama dia juga adalah orang yang telah kehilangan passion terhadap hal yang ia lakukan tersebut. 

Nonton film ini ya awalnya tertarik, lalu ngeri, terus jadi kepikiran sendiri. Sungguh sebuah konsep luar biasa menarik dipunya oleh film ini. Dijual sebagai dark komedi thriller, padahal sebenarnya merupakan food for our thought. Pada lihat dong, gimana kondisi kuliner di sana seperti menyimbolkan sinema juga? Amit-amit kita jadi sinefil yang snob kayak foodies di film itu yaa

My Favorite Scene:

Ketika heroine kita berusaha mengembalikan sedikit passion itu kepada si chef, dengan memintanya membuatkan cheeseburger – as opposed to fancy meals. Maaan, adegan bikin burgernya bener-bener menggiurkan!!

 

 

 

 

 

 

5. TRIANGLE OF SADNESS

Director: Robert Oslund
Stars: Harris Dickinson, Charlbi Dean, Dolly de Leon, Woody Harrelson
MPAA: Rated R
IMDB Ratings: 7.6/10
“I sell shit.”

 

Berawal dari model disuruh pasang tampang semakin jutek, seiring semakin mahal busana yang dikenakan, ke persoalan split bill cewek-cowok, ke persoalan orang kaya karena jualan tai, ke terdampar di pulau, Triangle of Sadness adalah satir yang menyenggol gender-role dan kelas sosial.

Setiap dialog, setiap adegan, akan membuat kita menempelkan mata dan telinga, karena semuanya dibuat dengan begitu menarik. Kita tahu film ini ingin menyampaikan sesuatu di balik kejadian yang sekilas tampak shooting fish in the barrel. Kayak cuma pengen mengolok orang kaya, tapi sebenarnya naskah mengembangkan mereka dengan berimbang. Film ini salah satu contoh lagi dari naskah yang dibuat dengan penuh pemikiran dan maksud. Enggak sekadar lucu-lucuan. Strukturnya sendiri kalo kita cermati seksama chapter-chapternya, ya kayak segitiga juga. Karena film ini sesungguhnya memuncak di tengah, dan di akhirnya adalah situasi yang sama kayak di awal, hanya dengan pembalikan role buat karakter-karakternya.

Keren banget gimana film ini bisa membuat dunia yang mungkin gak familiar itu – gaya hidup model dan orang kaya – dijadikan candaan, tapi kemudian lantas jadi relevan.

My Favorite Scene:
Badai di kapal! Serius, film ini gila banget masukin adegan seover itu tapi bisa gak tampak receh hahaha

Beberapa detik sebelum ‘badai’ menerpa

 

 

 

 

 

 

4. NOT OKAY

Director: Quinn Shephard
Stars: Zoey Deutch, Mia Isaac, Dylan O’Brien
MPAA: Rated R 
IMDB Ratings: 6/10
“So maybe one day, I’ll forgive you. But we will never be OK.”

 

Man, di pembuka aku ngomongin horor lagi make a new hits, tapi yang akhirnya masuk daftarku malah komedi satir banyaknya hahaha.. I guess aku bener-bener naruh perhatian lebih buat naskah yang menarik dan cerdas. Not Okay mungkin film yang jarang terdengar di daftar-daftar terbaik,  tapi inilah dia. Aku suka gimana film ini dengan perfect menangkap fenomena sosial media jaman sekarang. Sedari nulis reviewnya Juni lalu, aku sudah bilang aku bakal masukin ini ke daftar film teratasku. Segitu sukanya aku sama film ini. 

Bukan hanya soal konten bohong demi viral, karakter Zoey Deutch – penampilan aktingnya ngalir banget di sini, sukak! – di film ini benar-benar tepat menggambarkan gimana seorang influencer bisa sok peduli dan akhirnya terjerat dalam lingkaran kebohongannya sendiri. The lie gets bigger. Dan film mentackle bahasan ini dengan membawanya ke ranah yang grounded secara emosional.

Yang hebatnya pada naskah film ini adalah caranya menggarap protagonis yang unlikeable seperti demikian. Film tidak lantas menjadikannya pahlawan – mendapat redemption setelah dicancel. Karena itu akan sangatlah tidak adil, sebab si protagonis kita sesungguhnya adalah outsider dari bahasan yang sok ia angkat dan pedulikan. Ini menunjukkan film benar-benar paham dan tahu apa yang sebenarnya pengen mereka kritik pada konsep influencer masa sekarang.

My Favorite Scene:
Ini mungkin spoiler, tapi yah mau gimana.., Yang bikin aku suka ama film ini adalah pilihan yang mereka bikin diambil oleh karakter Zoey Deutch. Yaitu memutuskan untuk tidak jadi meminta maaf. Karena it’s not about her. Ini gak kayak di kita, yang banyak influencer bikin salah lalu segampang itu tinggal minta maaf. Film ini benar-benar mengerti dan membuat karakternya menyadari hal tersebut.

 

 

 

 

 

 

3. THE FABELMANS

Director: Steven Spielberg
Stars: Gabriel LaBelle, Michelle Williams, Paul Dano
MPAA: Rated PG-13 
IMDB Ratings: 7.7/10
“Movies are dreams that you never forget.”

 

Dari tiga film tentang kehidupan masa kecil/muda sutradara tahun ini, yang paling konek dan berkesan buatku adalah The Fabelmans karya Spielberg. Tadinya aku sudah nge-book spot buat West Side Story, ternyata Spielberg bikin film lagi, dan The Fabelmans ini actually resonance banget buatku yang pengen bisa bercerita seindah itu lewat film.

Terlihat jelas bahwa film sungguhlah penting bagi Spielberg. Karena di sini diceritakan tentang Sammy yang menemukan hidupnya dari kerjaan mengolah pita-pita yang ia rekam. Dari kerjaannya bikin video entah itu film untuk teman sekelas, maupun video liburan keluarga. At the emotional heart, film ini bicara tentang anak yang menemukan duluan ibunya ternyata tidak cinta dengan ayah. Kepentingan medium film berhasil dimasukkan berkait dengan aspek emosional tersebut. Yang menginspirasi adalah adegan-adegan saat Sammy menggarap video-video. Bagaimana dia menciptakan efek, bagaimana dia mengarahkan temannya. Dan gimana film yang ia hasilkan menyentuh setiap orang yang menonton. Lewat itu semua, Spielberg menunjukkan kekuatan sinema, bagaimana gerakan kamera dan segala macam aspek yang direkam dengan hati bisa mempengaruhi orang.

Kunci kesuksesan film ini juga datang dari penampilan akting. Sudah bukan rahasia lagi gimana Spielberg piawai ngedirect pemain-pemain, terutama yang muda-muda. Di film ini range arahannya tersebut, terbukti sangat luas. Seth Rogen saja bisa dibikinnya humanis!

My Favorite Scene:
Akting singkat nan berkesan paling memorable adalah cameo David Lynch di akhir. Gila, di menit-menit akhir itu film masih sempat ngajak kita bercanda dengan dialog Lynch dan pergerakan kamera yang selaras dengannya pas di momen final film. Bisa aja!!

 

 

 

 

 

 

2. EVERYTHING EVERYWHERE ALL AT ONCE

Director: Dan Kwan, Daniel Scheinert
Stars: Michelle Yeoh, Stephanie Hsu, Ke Huy Quan, Jamie Lee Curtis
MPAA: Rated R
IMDB Ratings: 8.1/10
“So, even though you have broken my heart yet again, I wanted to say, in another life, I would have really liked just doing laundry and taxes with you.”

 

Awalnya aku hanya memandang ini sebagai Rick and Morty versi film keluarga. Lalu sebagai multiverse yang lebih keren daripada Dr. Strange. Tapi semakin ditonton, semakin kita masuk ke dalam durasi yang memperlihatkan perjuangan seorang ibu lintas multiverse, maka jelaslah sudah film ini jauh lebih besar dari semua itu. 

Pertama, film ini juga menginspirasi untuk bikin film bagus, karena film ini actually bukan produksi gede. Budgetnya gak raksasa, timnya gak banyak. Tapi pencapaian visualnya luar biasa. Mereka membuat banyak sekali dunia yang ajaib, sebagai bagian dari multiverse, dan berhasil mengedit itu semua ke dalam penceritaan yang super duper kompleks. Syarat yang dipenuhi oleh film sehingga ceritanya tidak jadi bikin bingung – walau dunianya banyak dan bicara soal konsep nihilisme sebagai antagonis – adalah punya konflik yang grounded. Konflik ibu dan anak perempuannya, Konflik istri dengan suaminya yang terlalu baik.

Kedua, soal action. Film ini ngambil step yang jauh lebih gede dari konsep berantem ala kung-fu yang biasa kita lihat. Karena di sini, panggungnya adalah multiverse. Film menggunakan banyak sekali elemen-elemen unik dari panggung cerita, dari karakter (gimana awalnya gak bisa berantem, lalu jadi jago) sehingga semuanya jadi seru. Jamie Lee Curtis aja di sini bisa gilak gitu berantemnya. Harusnya jurus itu yang dia bawa pas ngelawan Michael Myers hihihi.

Ketiga, tentu saja naskahnya. Walau dunia, karakter, dan konsepnya zany, tapi karena kebutuhan film ini bukan jadi komedi meta kayak Rick and Morty yang basically punya konsep dunia yang sama, dialog-dialog di sini tuh bakal bikin hati kita diaduk-aduk alih-alih bikin bingung.

My Favorite Scene:
Adegan batu. Aku sampai masukin itu ke nominasi Best Scene di My Dirt Sheet Awards 11 nanti. Perbincangannya benar-benar ngena, jadi kontras yang bergaung banget setelah semua kehebohan multiverse dan donat-donat sebelumnya.

 

 

 

 

Okeh, tinggal film puncaknya. Well, yang sudah lama ngikutin blog ini mungkin sudah bisa lihat polanya. Aku hampir selalu meletakkan film yang objectively beneran best di posisi nomor dua, karena posisi satu akan kuberikan untuk film yang benar-benar ‘gue banget’. Makanya tiap tahun, selalu banyak yang surprise haha.. Kenapa konsepnya begitu? karena this list is supposed to be subjective. Aku selalu berusaha seobjektif mungkin di review-review, berusaha ngasih skor yang paling mewakili kualitas filmnya secara teori dan penulisan naskah. Sekarang, saatnya ngumpulin film-film itu ke dalam satu daftar teratas, yang kalo orang lihat mereka langsung tahu “oh ini pasti daftarnya si Arya.” Daftar My Dirt Sheet. Aku gak mau ini list Top-8 ku ini saking seragamnya jadi kayak kayak daftar yang disusun oleh A.I.. Enggak. Cukup sketsa dan gambar saja yang dibikinin oleh komputer. Let me have this one! 

Maka dari itu, inilah film yang menurutku paling pantas kuletakkan sebagai posisi puncak. Film yang bukan saja menginspirasi karena juga budgetnya gak gede, tapi juga mengembalikan cintaku kepada genre yang telah membuatku tertarik untuk nonton lebih banyak film lagi sedari awal. 

 

 

1. TERRIFIER 2

Director: Damien Leone
Stars: Lauren LaVera, David Howard Thornton, Amelie McLain
MPAA: Not rated
IMDB Ratings: 6.2/10
“Cause food’s a little funny, at the Clown Cafe”

 

Nasib horor/slasher modern ada di tangan Art the Clown.

Aku gak muluk bilang begitu karena kapan terakhir kali kita nonton horor yang gak ribet sama pesan politik atau isu sosial berlebihan, sekaligus gak takut untuk melanggar batas-batas sadis, brutal, jorok, dan lainnya, dan sanggup bikin karakter ikonik? Terrifier 2 berani dan melakukan itu semua. Setelah nonton film ini, aku gak khawatir lagi, Michael Myers can rest in peace.

Bukan berarti film ini kosong kayak ciki anak SD. Terrifier 2 adalah upgrade besar-besaran dari film pertamanya yang memang cuma gore-fest. Kali ini, Terrifier 2 dihadirkan dengan muatan drama dan plot yang berarti. Tentang kakak beradik sepeninggal ayah mereka. Kakak yang harus jadi pelindung bagi adiknya, pengganti sosok ayah, tapi si kakak ini masih galau dan gak percaya dia sanggup untuk semua itu. Plot sederhana yang berhasil jadi nyawa film ini, merayap di balik adegan-adegan pembunuhan yang gak nahan apapun. Inilah yang selama ini kuminta pada horor. Soalnya gak banyak horor atau slasher yang punya plot dan kesadisan sekaligus. Memang sih, karena level sadisnya, film ini bukan untuk semua orang. Kalo mau ajak pacar nonton ini juga kayaknya harus mikir dulu, it could be too gross. Totally, film ini bukan untuk yang faint-hearted, definitely tidak untuk ditonton saat makan. Aku aja panas dingin kok nontonnya. Dan itu membuktikan betapa film ini berhasil menciptakan ‘dunianya’. Terrifier 2 begitu kreatif, mereka juga gak punya budget gede, tapi berhasil ngasih sesuatu yang berdamage luar biasa dengan efek-efek horor/gore praktikal.

Secara akting, juga melebihi ekspektasi. Final girl dan si Art, bahkan si badut kecil yang bikin film ini jadi punya elemen mistis, semuanya dapat nominasi di My Dirt Sheet Awards. Pokoknya gak kayak horor Indonesia yang entah kenapa belakangan suka bikin final girlnya gak tersentuh, film ini beneran ‘menyiksa’ si karakter. Membuat survivalnya penuh oleh growth dan development, yang bikin kita ngecheer dia. Mengenai si Art, karakter ini bakal jadi ikonik karena punya kekhasan. Dia gilanya beda ama badut-badut di horor lainnya. To be honest, dibandingkan dengan Art yang bener-bener edan dan selalu sukses bunuh korban tanpa ba-bi-bu, Pennywise di It jadi kelihatan kayak anak pesantren yang alim hihihi

My Favorite Scene:
Aku jarang sekali suka sama adegan mimpi, karena biasanya cuma digunakan untuk mancing cheap scare, tapi adegan mimpi di Terrifier 2 begitu elaborate dan penting dalam bangunan narasi. Begitu banyak kengerian dan kegilaan di sekuen panjang mimpi tersebut!!

 

 

 

 

 

So, that’s all we have for now.

Itulah daftar Top Movies 2022 My Dirt Sheet. The word here is the ‘magic of cinema’.

Berikut lengkapnya 122 film yang sudah direview dan dinilai di sepanjang tahun:

Apa film favorit kalian di tahun 2022? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2023?

Share with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

 
 

MINI REVIEW VOLUME 5 (TOP GUN: MAVERICK. 12 CERITA GLEN ANGGARA, SAYAP-SAYAP PATAH, DC LEAGUE OF SUPER-PETS, BEAST, PREY, KAMU TIDAK SENDIRI, LIGHTYEAR)

 

 

Enggak kerasa kita udah berada di caturwulan terakhir 2022 aja! Orang bilang kalo sedang bersenang-senang, waktu memang serasa berlalu bagai terbang. Dan ya, memang empat bulan terakhir sepertinya terasa lebih cepat karena banyak film yang bagus-bagus.  Kayaknya belum pernah aku ngasih skor tinggi sesering beberapa bulan ini.  Dan mungkin jumlahnya masih  bertambah, karena ternyata masih ada beberapa film lagi yang belum sempat kuulas. Di sinilah tempatnya. Sekaranglah waktu untuk mereka. Delapan film, the last batch dari cawu kedua 2022,  inilah mini-review volume kelimaaaa!!

 

 

 

12 CERITA GLEN ANGGARA Review

Masalah utama yang lumrah kita temui dalam film cinta-cintaan remaja adalah tidak mengangkat kenapa si cowok dan si cewek karakter sentralnya harus jadi pasangan. Harus pacaran. Kebanyakan film tidak memberikan alasan yang lebih jauh selain karena kedua karakter itu sama-sama paling cakep, dan ‘cinta tak harus ada alasan’. Meski memang benar juga di dunia nyata toh kita bisa mendadak naksir kesengsem sama orang dalam sekali lihat, and we don’t know why pokoknya kita merasa harus jadian ama si dia, tapi tentu akan ada pelajaran yang kita dapatkan dari saat ternyata kita ditolak dan sebagainya. Singkatnya, cinta – seperti halnya perasaan lain seperti horor, trauma – memang harus digali, karena penggalian itu yang journey pada refleksi dunia nyata yang kita tonton sebagai film.

Karena itulah aku gasuka banget ama film Mariposa (2020), yang dangkal sekali memperlihatkan cewek menguber cowok, dan turns out mereka harus bersama itu benar sebagai reward yang dikasih gitu aja. Makanya juga, 12 Cerita Glen Anggara yang masih satu universe sama Mariposa ini, actually jadi cerita yang jauh lebih kuat dibandingkan film utamanya tersebut. Karena film garapan Fajar Bustomi ini benar-benar menggali kenapa Glen tertarik untuk memenuhi dua-belas permintaan Shena, dan akhirnya dia jadi jatuh cinta beneran. Tema ‘love make you a better person’ mengalir di balik kisah anak muda, yang juga menyisakan ruang untuk cerita persahabatan dan keluarga.

Yang masih kurang bagiku di film ini adalah stake. Tidak terestablish dengan kuat. Malah hampir seperti film takut untuk memberikan rintangan, karena di cerita ini yang diperlihatkan sebagai stake adalah persahabatan Glen dengan teman-temannya. Film seperti ngeri menggali kerenggangan Glen dengan teman-teman, dan akhirnya malah membuat cerita jadi aneh dengan justru bukan Glen yang harus berubah dan memilih sikap. Selain soal itu (dan soal film tidak banyak melakukan perubahan pada trope standar wish-of-dying-girl), film ini adalah peningkatan dari film utamanya, dan one of the better Indonesian’s teenager romantic story

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for 12 CERITA GLEN ANGGARA.

.

 

 

BEAST Review

Satu keluarga yang lagi berkunjung ke Afrika, diserang singa ngamuk yang melukai setiap manusia yang ditemui. Itulah film Beast kalo dilihat dari kulit luarnya. Sebuah aksi survival, kejar-kejaran manusia dengan hewan buas di alam liar. Namun jika ditilik ke lapisan di dalamnya, film garapan Baltasar Kormakur ini bercerita tentang pria, seorang dokter, yang masih diselimuti perasaan bersalah for not being there ketika istri dan keluarga membutuhkan dirinya. Perasaan yang dikontraskan dengan perasaan si singa yang mengamuk karena kawanannya ditembak mati oleh pemburu.

Film ini mengambil pendekatan yang grounded sehingga kita mengerti manusia dan hewan buas yang jadi pusat di sini adalah sama-sama ‘wounded animal’. Yang harus meresolve urusan masing-masing. Inilah yang mengangkat Beast di balik urusan menyelamatkan diri.  Nilai plus berikutnya datang dari kerja kamera. Dalam Beast banyak kita jumpai adegan-adegan long take, yang diambil supaya terkesan tanpa putus. Pengambilan seperti demikian menambah kepada dua hal. Pertama, kamera itu benar-benar menguatkan kesan manusia yang berada di tempat terbuka. Yang juga asing baginya. Kalo mau niruin rekaman audio di bioskop; kesan ‘all around you’ benar-benar tertonjolkan oleh film ini. Kedua tentu saja, menambah ke horor. Singa yang bisa tiba-tiba menerkam dari balik semak setelah kamera berputar mencari-mencari, mengikuti karakternya. Film ini gak gagal soal suspens dan kejutan, serta rintangan yang terus diberikan untuk karakter Idris Elba.

Yang pengen lihat Elba lawan singa, akan terpuaskanlah. Sayangnya, gak semua akting film ini konsisten grounded. Karakter dua putri Elba di sini akting dan sifatnya annoying banget. Mereka masuk ke tipe-tipe karakter konyol dan riweuh yang biasa ada (dan kita pengen mereka mati duluan) dalam genre serupa. Kalo gak ada mereka, atau seenggaknya, penulisan mereka dibikin lebih baik lagi, film ini akan menghibur maksimal

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BEAST

 

 

 

DC LEAGUE OF SUPER-PETS Review

Sayang lebaran sudah lewat. Karena aku mau minta maaf sama film ini. Minta maaf telah meremehkan dan ngirain ini cuma film animasi konyol untuk anak kecil melihat anjing bisa bicara dan bisa terbang. Itulah kenapa kita gak boleh judge film sebelum nonton. Gampang bagi kita untuk mutusin gak nonton hanya dari trailer, dari visual, dan bahkan dari judul. Tapi ketahuilah, film hanya bisa diketahui bagus setelah ditonton, dan kalo kita kelewat film bagus karena keburu judge di awal, kitalah yang rugi.

DC League of Super-Pets adalah contoh film yang gampang diremehkan. Tentu, ini memang proyek jual brand DC ke penonton cilik, tapi itu tidak lantas berarti filmnya jelek dan dangkal. Karya Jared Stern dan Sam J. Levine ini sukses bikin aku ternganga.  Ceritanya (walau simpel dan ‘gampang ketebak’ untuk standar penonton dewasa) actually punya muatan lebih dari sekadar kartun yang menghibur. Universe tempat SuperMan punya anjing peliharaan itu dibangun dengan seksama, kita bukan sekadar melihat ‘what if’ story, melainkan benar-benar ada karakter yang kuat. Di sini, The Rock menyuarakan Krypto, anjing super yang harus belajar makna pahlawan di luar kekuatan-super dari kawanan hewan peliharaan terbuang. Dan pada gilirannya, Krypto turut mengajarkan hewan-hewan tersebut bagaimana menjadi pahlawan. Ini sungguhlah cerita padat, dengan muatan pesan yang baik sekali untuk ditonton oleh anak-anak.

Humornya bisa sedikit agak vulgar, tapi harmless. Anak-anak akan teralihkan oleh kelucuan tingkah polah karakter. Aku yakin, kalo aku nonton ini saat masih berusia SD, film ini pasti akan jadi film favorit yang kutonton berulang-ulang. Sejajarlah dengan film Disney dan Pixar.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DC LEAGUE OF SUPER-PETS

 

 

 

KAMU TIDAK SENDIRI Review

Aku bisa mengerti kesulitan Kamu Tidak Sendiri dalam ‘menjual dirinya’ kepada penonton. Sutradara Arwin Wardhana truly membuat film yang susah untuk dijual, terutama di industri perfilman kita. Kamu Tidak Sendiri dia buat sebagai thriller ruang tertutup, tapi bukan exactly sebuah film kecelakaan lift. Bukan pula film bencana gempa. Ini bahkan bukan tentang whodunit, siapa yang menyebabkan semua itu terjadi. Sebenarnya Kamu Tidak Sendiri adalah drama psikologi seorang karakter yang menutup diri dari sosial – seorang bos yang tampil jutek. Ruang tertutup di sini bukan lift yang rusak itu, melainkan diri si karakter ini.

Jadi ya, film ini akan banyak sekali berisi dialog. Dimainkan oleh Adinia Wirasti, dengan desain karakter yang keras kepala dan unlikeable. Penonton yang mengharapkan kejadian seputar menyelamatkan diri dari bencana di lift akan cepat merasa terkecoh dan bosan begitu masuk ke babak kedua, saat lapisan dan backstory karakter si Adinia ini diungkap, lewat dialog-dialog dan kamera yang cenderung tak banyak bermanuver. It is hard sell buat penonton Indonesia. Makanya jarang film kayak gini muncul di industri perfilman kita. Sehingga, mau gak mau film ini harus kompromi dengan kemauan industri. Dan inilah yang bikin dirinya gak maksimal. Kamu Tidak Sendiri ini kalo mau bagus dan deep, ya memang harus embrace dirinya.  Full dialog tidak akan membuat film jadi boring, asalkan dialog-dialog tersebut benar-benar bermakna dan berfungsi menambah kepada bobot cerita. Tapi yang actually kita lihat adalah sebuah effort yang seperti berpindah-pindah begitu sampai ke titik-mentok, yakni titik yang dianggap gak bakal disukai. Dialog-dialognya juga kurang tight, dan lebih disibukkan dengan masukan candaan – karena takut penonton bosan.

Makanya film ini endingnya jadi lemah banget. Film gak berani bikin nasib satu karakter menyedihkan. Jadi ada satu karakter yang mestinya sudah mati, karena dengan kematiannya, Adinia sadar dan pembelajaran yang dialami karakternya mulai jalan. Tapi film membuat si karakter kunci ini enggak jadi mati (walaupun segala visual clue sudah nunjukin dia lebih cocok untuk mati), dan lemahlah sudah pembelajaran yang dialami karakter utama.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for KAMU TIDAK SENDIRI.

 




LIGHTYEAR Review

Setelah ditonton, kayaknya aku tahu alasan kenapa sensor di kita (dan beberapa negara lain) cukup ketat sehingga film ini tidak jadi tayang di bioskop. Di film ini ada adegan Buzz ke hyper space yang membuat dia mengalami waktu yang berbeda dengan seluruh semesta. Jadi, setiap kali Buzz pergi, semesta bertambah tua empat tahun. Nanti ada montase yang memperlihatkan Buzz kembali ke pangkalan setiap empat tahun sekali, dan setiap kembali, dia melihat rekannya yang cewek meneruskan hidup. Dari pacaran (sama sesama cewek), lalu empat tahun kemudian hamil, empat tahun kemudian punya anak, anaknya udah gede, punya cucu, dan akhirnya mati. Problemnya ada di pasangan sesama jenis yang hamil. Karena montase, maka tidak ada penjelasan, dan ini tentu akan bikin bingung anak-anak. Bisa-bisa mereka menganggap cewek ama cewek bisa hamil juga. It’s complicated things, yang butuh bantuan film menjelaskan.

So yea, Lightyear secara keseluruhan juga sama. Ceritanya yang mengusung tema eksistensi, kehidupan, dan umur, bisa tampak membingungkan bagi penonton anak-anak. Bagi penonton dewasa sih oke. Walau bagiku juga tampak ekstra ribet dengan segala konsep Buzz skip waktu dan sebagainya (nanti revealing Zork bahkan lebih complicated lagi), tapi secara usungan tema, film ini konsisten. Dan tema tersebut diceritakan dengan rapi. Menutup. Juga make sense semua alasan kenapa terjadinya. Urusan visual dan animasi, Lightyear masih memegang kuat standar Pixar. Film ini terlihat clean, mulus, aksi-aksinya banyak hal baru. Buzz yang dihidupkan sebagai manusia, bukan sebagai mainan lagi, terasa fully sebagai karakter, lengkap dengan backstory dan mannerism yang baru sekaligus bikin nostalgia. Mungkin yang sedikit aneh adalah, estetik filmnya yang terlalu keren itu agak terasa kurang cocok dengan ilusi atau gimmick yang studio angkat, yakni film ini adalah film yang ditonton oleh Andy dalam Toy Story tahun 1995. Tapi, yah, itu cuma nitpick kecil yang gak nambah banyak untuk bobot penilaian.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for LIGHTYEAR

 

 

 

PREY Review

Satu lagi film yang teroverlook olehku. Prey ternyata adalah prekuel dari Predator, dan seperti yang diindikasikan oleh judulnya, film ini actually beneran film Predator yang kreatif dibandingkan dengan film-film lain (yang judulnya ‘Predator apalah’ melulu)

Prey mengerti, dan membawa kita kembali ke akar yang membuat Predator jadi salah satu ujung tombak survival horor. Aspek dinamika antara pemburu dan yang diburu. Dalam predator original kita lihat gimana pria-pria militer berotot dan macho itu dioverpower oleh kekuatan lain di atas mereka. Sutradara Dan Trachtenberg semacam mengambil perspektif lain dari situasi ini. Perspektif yang juga fit perfectly ke dalam agenda feminism yang kerap diangkat di era sekarang. Prey kini mengambil sudut dari perempuan, pada masa kuno banget (we talk about tahun-tahun orang suku pedalaman), yang tentu saja masih menganggap perempuan inferior dari laki-laki. Dan begitu ada Predator, si perempuan harus membuktikan bahwa ‘si lemah’ bisa menaikkan status dirinya sendiri menjadi predator puncak.

Apa-apa yang kita rinduin dari survival horor klasik, ada di sini. Prey pun tidak berkutat dengan karakter annoying seperti pada Beast. Melainkan memang fokus memainkan dinamika kelemahan-jadi-kekuatan yang dipunya oleh protagonisnya. Aksinya bahkan lebih seru dengan kontras peralatan jaman dahulu melawan peralatan canggih. Satu lagi perbedaan yang bisa kita bandingkan dengan Beast, Prey menggunakan kamera yang lebih kalem. Di sini lebih banyak wide shot, karena perasaan yang diangkat di sini bukanlah sensasi danger di area terbuka, melainkan karakter yang harus memahami lingkungan di sekitarnya. Memanfaatkan lingkungan dan memperhatikan apa yang berbeda dari sana, semuanya adalah ‘senjata’ untuk berhadapan dengan musuh.

Lucunya nonton film adalah, kita bisa memasukakalkan ada alien pemburu ketemu suku pedalaman, tapi untuk logika seperti karakter yang berpindah tempat kita masih merasa perlu untuk benar-benar ada penjelasan ‘kok bisa’ . Nah, Prey ini bagiku kurang di bagian tersebut karena ada dua kali adegan karakter pingsan dan bangun-bangun dia sudah ada di situasi berbeda – dan  ada satu ‘jump’ ini yang buatku memudahkan penceritaan saja. Prey kurang tight di majunya plot saja. Selain itu, ini adalah film cantik, berbobot, dan sangat seru.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for PREY

 

 

 

SAYAP-SAYAP PATAH Review

Tak disangka tak dinyana, Sayap-Sayap Patah yang awalnya dapat preseden buruk karena isu politik, ternyata berhasil tembus dua juta penonton. Pertumbuhan organik yang benar-benar bisa dilihat keramaiannya. Tapi sebenarnya, kesuksesan jumlah penonton film ini bukan hal yang aneh. Kenapa?

Karena secara teori, sutradara Rudi Soedjarwo dalam comebacknya ini benar-benar memanfaatkan trope dramatis sebagai peluru utama. Trope soldier-with-pregnant-wife sudah terbukti ampuh untuk jadi alur dramatis yang membuat penonton kasihan sama nasib karakternya.  Coba tengok lagi film-film drama perang atau semacamnya, pasti banyak ditemui karakter pejuang yang punya istri hamil yang menunggu di rumah. Sayap-Sayap Patah memanfaatkan ini dengan maksimal. Lewat ngecast Nicholas Saputra, everyone’s darling since AADC, misalnya. Dan jelas membantu pula, film ini diangkat dari tragedi teroris nyata, yang terjadi bisa dibilang masih baru-baru ini. Itulah kekuatan utama Sayap-Sayap Patah. Bangunan dramatiknya secara genuine mengakar.  And that’s it.

Sesungguhnya film ini tidak melakukan banyak pengembangan. Ada tema soal kontras polisi dengan teroris (polisi tidak akan mengorbankan keluarga) sebagai tulang punggung development karakter utamanya, tapi pengembangannya kurang terasa natural karena si karakter ini tidak banyak diperlihatkan langsung bersinggungan dengan paham teroris tersebut pada awalnya. Film tidak banyak mengubah kejadian nyata, dan memasukkan ke dalam bangunan perspektif karakter. Yang dilakukan film hanya memilah, mana yang enak untuk masuk, dan kapannya. Itulah sebabnya film ini masih tampak berkutat sebagai propaganda. Pembahasannya masih kurang berimbang. Teroris diperlihatkan baik karena polisinya baik, tapi kita tidak melihat contoh polisi yang jahat di sini. Jadi seharusnya, semua teroris jadi baik, dong. Tapi tidak juga, karena di sini teroris harus jahat. Nah, bobot dinamikanya itu yang masih dangkal dilakukan oleh film ini.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for SAYAP-SAYAP PATAH

 

 

 

TOP GUN: MAVERICK Review

Bagi yang ngikutin blog ini cukup lama, pasti tahu aku paling kurang-semangat urusan film action. Banyak yang kupilih untuk diskip. Karena buatku, nulis tentang film action itu susah. Bingung mau angkat apa, sebab ya kekuatan film action ya di aksi-aksi itu. Bagaimana dengan budget dan teknologi sekarang, action bisa tercapai dengan semakin meyakinkan. Aku justru lebih tertarik kepada cerita, karena cerita bisa dijadikan bahan tulisan tanpa harus mengerti teknik-teknik bikin adegan kayak pada action. Makanya aku lewatin juga film karya Joseph Kosinski ini. You bet I’m not even watch the first film. Orang-orang yang merekomendasikan sekuel kali ini pun bilangnya “bagus, karena aksinya keren”. Tak menarik buatku.

Tapi nih ya, kalo kemaren ada yang bilang “tontonlah, ceritanya tentang si Tom Cruise yang udah pensiun jadi Top Gun, kini harus balik tapi dalam kapasitas mengajar. Dan salah satu muridnya adalah anak dari sahabatnya, yang tewas saat mereka beraksi di udara”. Aku pasti akan cabut ke bioskop saat itu juga. Nobody tells me about this movie dari ceritanya tentang apa. Dan begitu akhirnya aku nonton film ini, DHUARRR! rasanya mindblown banget melihat cerita mentorship dengan layer drama dan perspektif sekaya ini. I. Love. This movie. Film action yang gak hanya peduli pada aksi-aksi mahal dan menawan. Tapi juga sedemikian dalam menggali dan menghidupkan karakternya. Film sekuel yang tidak sekadar dibikin lagi untuk nostalgia. Tapi benar-benar melanjutkan cerita dari karakter yang begitu disukai.

Begitu tersold lewat penulisan, barulah aku jadi semakin mengapresiasi aksi-aksinya.  Karena ya, kalo kita sudah peduli sama karakter, stake aksi mereka di udara bakalan jadi demikian terasa. Bukan rahasia umum lagi, Tom Cruise selalu melakukan aksi-aksinya sendiri. Di film ini juga begitu, dan maaan, yang ia lakukan di sini bikin kita tahan napas. Karena aksinya grounded, gak terlalu wah, tapi kita tahu bahayanya seperti apa. Film ini punya kejar-kejaran pesawat yang seru dan fun. Yang paling aku suka adalah momen-momen Maverick melatih para Top Gun muda di udara.

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for TOP GUN: MAVERICK

 

 




That’s all we have for now

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 4 (RANAH 3 WARNA, INCANTATION, DUAL, PERJALANAN PERTAMA, METAL LORDS, THE UNBEARABLE WEIGHT OF MASSIVE TALENT, HUSTLE, CHIP ‘N DALE RESCUE RANGERS)

 

 

So, banyak yang nanya ‘Mini Review ini buat film-film yang kurang penting, ya?’ Nope, Enggak. Bukan. Wrong. Sama sekali tidak. If anything, justru buatku ini adalah tempat film-film yang lebih ‘susah’ untuk diulas. Karena seringnya, aku masukin film ke segmen ini karena aku gak bisa langsung merampungkan ulasan setelah nonton. Masih ada bagian yang harus dipertimbangkan. Masih ada bias yang masih harus diademkan. Atau masih merasa perlu untuk nonton filmnya lagi. Dan karena didiamkan dahulu itulah, filmnya jadi ‘tergilas’ film baru yang tayang berikutnya.  Jadi simpelnya, Mini Review ini gak ada hubungannya ama kelas kepentingan film, melainkan hanya soal aku telat menyelesaikan proses nulis atau nontonnya saja.

Buktinya? Nih lihat aja judul-judul yang terangkum di Volume 4 ini!

 

 

CHIP ‘N DALE: RESCUE RANGERS Review

Sebagai anak 90an, mengatakan aku cukup akrab dengan Chip ‘N Dale sungguhlah basa-basi. Dua tupai ini muncul di setiap komik dan majalah Donal Bebek yang kubaca (di kita nama mereka ‘diterjemahkan’ jadi Koko dan Kiki). Dan game petualangan mereka di Nintendo, jadi favoritku waktu kecil. The game was like monopoly, bisa merusak persahabatan. Aku actually bertengkar dengan teman, karena di situ kita bisa salah angkat teman sendiri, dan ‘gak sengaja’ melempar mereka ke jurang. Yea, ‘gak sengaja’ hihihi

Anyway, aku berasa seperti anak kecil lagi saat nonton film ini. Demi ngeliat karakter-karakter kartun dari masa lalu tersebut. But also, conflicted, karena ya tahulah gimana film-film dari nostalgia masa kecil dimanfaatkan sebagai parade IP semata.  Chip ‘N Dale ini juga sebenarnya dibuat dengan niat seperti itu. Namun sutradara Akiva Schaffer mendorong konsep ‘hey, here are your favorite childhood characters‘ lebih jauh lagi. Yang menyenangkan dari film ini adalah mereka memang memperlihatkan perkembangan. Mereka semacam membangun dunia-cerita yang meta, dan mengeksplor cerita dari sana. Dale (disuarakan dengan pas oleh Andy Sandberg) capek jadi sidekick Chip di serial kartun mereka, sehingga memutuskan untuk nyari proyek solo, dan begitulah akhirnya duo ini pisah. Hingga sekarang. Dale operasi dirinya jadi animasi 3D untuk stay relevant dan Chip kerja di balik meja. Dengan setting yang menarik tersebut, film seperti berusaha ngasih lihat perkembangan animasi di balik nostalgia. Mencoba membayangkan gimana para tokoh kartun ini sebagai aktor beneran. Dan hasilnya memang lucu dan supermenarik. Banyak karakter dari berbagai kartun dihadirkan, dan permasalahan mereka disangkutkan dengan soal kartun-kartun bajakan.

Tapi ya itu tadi, film ini tidak pernah diniatkan untuk dibuat mendalam. Hey, ini ada masalah bootleg, ini ada issue soal trend animasi, mari kita bikin cerita yang actually memberikan gagasan tentang semua itu. Tidak. Chip ‘N Dale bukan great film karena memilih untuk membangun penceritaan berdasarkan surprise dan nostalgia value, sehingga banyak menomorduakan kaidah-kaidah film beneran. In the end, ini masih kayak kartun mereka dulu, tapi dengan setting berbeda. Kuharap film ini dibuatkan juga versi gamenya.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CHIP ‘N DALE: RESCUE RANGERS.

.

 

 

DUAL Review

Kita biasanya gak peduli sama apa yang kita punya, sampai sesuatu yang dipunya itu hendak direbut oleh orang lain. Kadang nilai sesuatu baru kita hargai, baru terasa, saat kita sudah kehilangan. Kupikir bahasan tentang hal tersebut bakal selalu jadi bahasan yang tragis. Tapi sutradara Riley Stearns somehow berhasil mengarahkannya ke dalam cerita dark comedy. Aku merasa bersalah juga, banyak ketawa miris melihat Karen Gillan yang di sini jadi Sarah yang hidupnya dicolong oleh kloningannya sendiri.

Sarah orangnya pendiam, gak asik, dia bosan ama hidupnya. Gak ada passion lagi ke pasangannya, juga selalu menghindar saat ditelpon ibunya. Momen pertama karakter ini kocak-tapi-sedih banget adalah ketika dia biasa aja saat dikasih tahu dokter hidupnya tinggal beberapa waktu lagi. Sarah justru kayak senang ketika dia sadar masalah hidupnya bakal jadi masalah kloningan. Ya. di dunia antah-berantah tempat tinggal Sarah, ada teknologi klone yang disediakan khusus untuk keluarga pasien yang hendak meninggal. Supaya gak sedih-sedih amat lah. Masalah baru muncul ketika Sarah gak jadi mati, jadi kloningannya sesuai hukum harus ‘dimatikan’ tapi si kloning menjalani hidupnya lebih baik daripada yang Sarah lakukan. Bahkan orang-orang terdekat Sarah lebih suka si kloningan ketimbang Sarah yang asli. Di titik cerita ini, aku benar-benar merasa gak enak udah ketawa.

Kupikir itulah kekuatan sekaligus juga kelemahan film Dual. Berhasil menemukan titik tengah tempat penonton bisa mengobservasi sekaligus berefleksi juga. Medan yang ditempuh film sebenarnya sulit. Sarah, misalnya, harus tampil ‘jauh’, terlepas dari penonton. Dan memang susah ngikutin karakter yang gak ada semangat sama sekali seperti ini. Tapi ketika waktunya tiba, Sarah harus bisa mendapat simpati, dan itu hanya bisa dilakukan dari seberapa kuatnya film menjalin kita lewat situasi metafora. Dual meminta banyak kepada kita.  Tapi memang ketika konek, film ini jadi seru. Paruh akhirnya buatku bisa jadi celah untuk film mulai menggali lebih dalam perihal hidup dan eksistensi. Sayangnya, film ini memilih untuk membungkus cerita dengan cara yang seperti mengelak dari bahasan tersebut. Dan itu membuat journey Sarah jadi mentah, karena ternyata film hanya menjadikan semuanya sebagai ‘hukuman’. Bukan pembelajaran baginya.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for DUAL

 

 

 

HUSTLE Review

Meskipun setting ceritanya memang di lingkungan basket, tapi sutradara Jeremiah Zagar tidak semata membuat film tentang olahraga basket, melainkan lebih sebagai drama tentang keluarga dan ambisi. Sehingga kita gak perlu untuk jadi penggemar basket dulu untuk menonton Hustle. Malah, dijamin, Hustle akan menyentuh setiap penonton yang menyaksikan ceritanya.

Adam Sandler sekali lagi membuktikan kematangan aktingnya. Dengan ini namanya tidak lagi disinonimkan dengan komedi-komedi receh. Sandler justru memperlihatkan taringnya sebagai aktor drama keluarga yang punya range natural sehingga karakter yang ia mainkan terasa hidup. Di sini dia adalah mantan pebasket yang kini jadi pencari talent karena cintanya dia terhadap olahraga ini. Dan memang penampilan akting Adam Sandler-lah yang membuat film ini menyenangkan untuk diikuti. Yang membuat naik turun dramanya  tidak seperti bola basket yang didrible keras. Melainkan melantun dengan emosional. Center film ini adalah hubungan antara Sandler dengan pria yang ia temukan jago bermain basket, tapi pria ini not yet ready. Jadi dia harus digembleng, dengan segala permasalahan seputar tim Sandler tidak percaya, dan Sandler melatih orang ini menggunakan biaya dari kantongnya sendiri.

See, Sandler sendiri di sini harus bekerja sebagai tim. Apalagi lawan mainnya kebanyakan adalah pemain basket beneran yang baru sekali ini berakting. Mungkin karena permainan Sandler tinggi di atas yang lain itulah, aku merasa agak kurang konek dengan aktor lain. Terutama lawan mainnya. Aku tidak benar-benar merasa si pria bernama Bo ini pengen banget jadi pemain basket. The reason he played juga gak ditonjolin kuat, hingga ke paruh akhir saat permasalahan baru personal bagi dirinya. Inilah yang membuatku agak sedikit kurang berada di belakang perjuangan mereka saat awal hingga pertengahan cerita. Untuk sebagian besar waktu aku merasa duduk di sana untuk melihat the magic of basketball cinema saja, karakternya kurang. Hanya Sandler yang menonjol.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HUSTLE

 

 

 

INCANTATION Review

Yup, there’s no doubt film ini menunggangi kepopuleran The Medium tahun lalu. Hadir dengan tema horor supernatural, kepercayaan dewa-dewa, dan bercerita dengan teknik found footage.

Dalam beberapa hal, sutradara Taiwan Kevin Ko sebenarnya melakukan lebih baik daripada The Medium. Dia bercerita dengan konsep found footage yang lebih solid ketimbang The Medium yang di awal malah tampak seperti mockumentary lalu lantas ngescrap konsep itu dan beralih jadi full cuplikan kamera. Karakter utamanya juga lebih kuat. Incantation ini adalah cerita tentang seorang perempuan yang di masa lalu pernah melanggar suatu ritual, dan sekarang dampak dari perbuatannya berhasil catching up, dan nyawa putri ciliknya jadi taruhan. Gak kayak Medium, perspektif tokoh utama film Incantation ini lebih fokus dan gak pindah-pindah. Dari aspek horor, selain gimmick pov langsung dari kamera, Incantation juga punya elemen body horror yang langsung menyerang fobia penonton. Diperkuat juga dengan bahasan soal persepsi; gimana kutukan dan berkah sebenarnya tergantung cara orang memandangnya.

Hanya saja film ini gak pede. Atau mungkin, film ini terlalu mengincar seru-seruan ketimbang bercerita dengan benar. Karena film ini actually ngebutcher kejadian atau runtutan peristiwanya. Lalu disusun dengan alur bolak-balik, yang seperti tanpa bendungan tensi. Kita akan bolak-balik antara rekaman video karakter di masa lalu dengan di masa sekarang, yang seringkali setiap perpindahan bikin kita lepas dari kejadian sebelumnya. Sehingga nonton ini jadi kerasa capeknya aja. Keseraman, apalagi journey karakternya, jadi nyaris tidak terasa karena sibuk pindah-pindah.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INCANTATION.

 

 

 

METAL LORDS Review

Sebelum Eddie Munson yang bikin semua orang bersimpati, sebenarnya Netflix sudah punya kisah rocker baik hati. Metal Lords garapan sutradara Peter Sollett berkisah tentang dua remaja sekolahan misfit yang mencoba naik-kelas popularitas dengan membentuk grup metal supaya bisa menangin Battle of the Bands.

Selain sebagai cerita coming of age dan persahabatan dua remaja cowok (yang akan involving salah satunya deket ama cewek sehingag mereka jadi renggang), film ini punya ruh metal yang kental. Sehingga tampak seperti sebuah surat cinta terhadap genre musik tersebut. Film membahas tentang bagaimana genre ini di kalangan anak jaman sekarang. Yang lantas semakin berdampak kurang bagus bagi keinginan dua karakter sentralnya untuk populer. Pembahasannya sebenarnya cukup formulaik, alias gak banyak ngasih sesuatu yang baru. Tapi hubungan antarkarakter yang menghidupi ceritanya feels real. Seperti saat melihat Eddie di serial Stranger Things yang membuka mata bahwa, yah, rocker juga manusia, film ini juga memberikan kita insight di balik apa yang dianggap banyak orang sebagai stereotipe seorang anak penyuka musik keras.

Ngomong-ngomong soal keras, I do feel like film ini masih sedikit terlalu berhati-hati, like, masih terlalu ngincar feel good moment. Sedikit pull out punches. Tidak banyak adegan memorable terkait drama. Enggak menjadi sedalam Sing Street. Tapi untuk urusan musik metal, well, film ini memang cukup cadas.  Di adegan battle of the bands, kita akan dapat satu performance musikal yang keren. Bersama satu transformasi karakter yang sama kerennya!

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for METAL LORDS.

 

 

 

PERJALANAN PERTAMA Review

Ini film paling baru yang masuk daftar Mini Review. Artikel ini kurampungkan Jumat, sedangkan Kamisnya aku baru saja menonton film ini. Aku sebenarnya punya waktu untuk nulis ini ke dalam review panjang. Namun pas nulis kemaren, aku merasa perlu lebih banyak waktu. Sebelum akhirnya aku sampai pada kesimpulan, bahwa karya Arief Malinmudo ini sebenarnya memang mengandung nilai-nilai baik. Bukan hanya kepada anak, ini bisa dijadikan pelajaran buat kita semua untuk tidak memandang sesuatu dengan mengedepankan kebencian. Tapi dalam penceritaannya, masih clunky. Cerita ini punya dua sudut pandang, dan film tidak mulus – tidak benar-benar paralel dalam membahas keduanya.

Jadi ini adalah kisah tentang anak kecil yang dibesarkan oleh kakeknya. Dia tidak pernah tahu siapa kedua orangtuanya, kakeknya masih menyimpan rahasia. Sehingga si anak kesel. Ketika si Kakek pergi mengantarkan lukisan pesenan orang, si anak yang tadinya ogah-ogahan akhirnya mau ikut menemani. Di tengah perjalanan, lukisannya dicari orang, sehingga mereka harus menemukan. Tapi masalahnya, si anak gak tahu lukisan kakek seperti apa. Dan si kakek gak mau cerita. Film benar-benar ingin menyampaikan perasaan kesal si anak kepada kita sehingga di paruh awal cerita banyak sekali bagian-bagian narasi yang bikin kesel dan konyol. Ini adalah jenis film yang gets better di akhir, saat semuanya sudah diungkap. Tapi untuk film ini, bagian tersebut agak sedikit terlalu lambat datangnya. Membuat kita berlama-lama di bagian yang gajelas  di awal.

Dialog film ini sebenarnya cukup kaya oleh lapisan. Kayak kalimat ‘orangnya sudah ketemu’ di akhir film yang bermakna dua karena diucapkan oleh karakter yang di awal deny bahwa perempuan harus dicari, bukan mencari. Aku gede di Sumatera, jadi aku tahu Melayu dan Sumatera Barat yang jadi latar film ini memang sangat kuat dalam perumpamaan, dan nilai-nilai budi yang baik. Film ini berusaha menjadi sesuai latarnya itu, tapi tidak benar-benar mulus melakukan. Sehingga di awal-awal banyak muatan adegan-adegan yang seperti pesan-pesan random, kurang integral dengan permasalahan inner karakter. Beberapa malah konyol. Kayak ada adegan mereka ngejar bis, nganterin seorang penumpang anak kecil yang tertinggal. Dan lalu ada suara ibunya yang ngomen dari atas bus, lalu lantas si ibu ngajak anaknya selfie. Konyol sekali.

The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for PERJALANAN PERTAMA.

 

 

 

RANAH 3 WARNA Review

Satu lagi cerita dari tanah Minang, yang juga menjunjung nilai-nilai kebaikan dan berakar kuat kepada adat. Bedanya, Ranah 3 Warna diadaptasi dari novel, dan merupakan cerita sekuel. Sehingga punya advantage dari sisi dunia-cerita dan karakter-karakter yang sudah lebih established. Tapi itu tidak lantas berarti lebih baik dalam penceritaan.

Ranah 3 Warna memang lebih imersif. Di sini karakternya akan berdialog minang dan hanya berbahasa Indonesia kepada karakter yang gak bisa bahasa daerah. Persoalan bahasa benar-benar dikuatkan, karena setting tempat benar-benar masuk ke dalam narasi. Sesuai judulnya, akan ada 3 daerah, banyak budaya, banyak bahasa yang jadi panggung dan mempengaruhi karakter sentral. Tapi ini juga lantas membuat film jadi episodik, karena Ranah 3 Warna diarahkan Guntur Soeharjanto lebih seperti novel, ketimbang seperti film. Dalam film biasanya, konflik karakter akan dibuild up, stake naik, dan solusi baru ketemu di babak akhir cerita, sehingga segala usaha dan pay offnya jadi terasa gede sebagai akhir perjalanan. Ranah 3 Warna ini, konflik itu hadir sebagai permasalahan yang sama dihadapi oleh karakter di setiap tempat yang berbeda. Mereka tidak mengembangkan untuk satu film, tapi satu tempat. Lalu mengulang permasalahan itu ketika karakter kita pindah ke tempat yang baru. Jadinya terasa sangat repetitif.

Apa permasalahannya? soal kesabaran. Jadi ketika di Bandung, karakter kita dihadapkan kepada situasi yang menguji kesabarannya, lalu dia belajar dari nasihat orang, dan lalu ketemu solusi. Adegan berikutnya, pindah tinggal di negara lain. Dan formula konfliknya berulang kembali, walaupun seharusnya karakter utama sudah belajar tentang kesabaran itu di problem sebelumnya. Penonton awam mungkin gak akan masalah, apalagi karena film ini dihidupi oleh karakter-karakter menyenangkan, dengan pesan-pesan yang baik. Film ini bakal menang award cerita berbudi luhur (kalo ada). Tapi sebagai film, ini masih berupa pesan yang disampaikan berulang kali. Nonton ini, aku yang merasa harus belajar sabar.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for RANAH 3 WARNA

 

 

 

THE UNBEARABLE WEIGHT OF MASSIVE TALENT Review

Dibuka oleh film meta, ditutup oleh film meta. Yup, sama seperti Chip ‘N Dale yang mengangkat kisah petualangan beneran dari aktor film kartun, film Unbearable ini juga begitu. Mengangkat kisah aktor yang harus ngalamin petualangan beneran. Aktor yang dimaksud adalah Nicolas Cage, yang di sini memainkan versi aktor dari dirinya sendiri. Karakter Nick Cage yang ia perankan dibentuk dari meme, gosip, isu, dan perjalanan karir ikonik yang ditempuhnya dalam real life. So yea, ini adalah film yang sangat lucu, bermain-main dengan karir aktor pemerannya.

Sutradara Tom Gormican tidak lantas membuatnya sebagai perjalanan nostalgia. Melainkan benar-benar mengolah cerita dari sudut pandang aktor Nick Cage. Bagaimana jika persona tersebut dijadikan karakter. Dimainkan langsung oleh Nicolas Cage hanya menambah lapisan di dalam karakter ini. Jika film harus bisa memblurkan antara fiksi dan realita, maka film ini garis tersebut tidak bisa lebih blur lagi. Penceritaannya dibuat ringan, sehingga tidak lantas ujug-ujug jadi  Birdman versi real. Lucunya, film ini membuat hal menjadi lebih besar lagi dengan membenturkan yang namanya film character driven, dengan film action. Dua tone ini meluncur mulus, dan ini membuktikan betapa Nicolas Cage benar-benar fluid dan versatile, di atas punya selera humor yang juga juara.

Tentu saja film bukan hanya tentang satu orang, walaupun basically build around ‘myth’ tentang dirinya. Film juga punya karakter-karakter lain. Dan di sini, semua karakter berhasil mencuri perhatian. At heart, film ini juga adalah tentang persahabatan. Nick Cage akan berteman dengan seorang yang ternyata berkaitan dengan kelompok mafia. Dan persahabatan mereka, yang involving mereka menggarap naskah film bersama-sama menjadi highlight yang bikin ini semakin menyenangkan untuk diikuti.  Jika kalian snob film, film ini akan menghibur tanpa ‘memangsa’ sel otakmu. Jika kalian suka film action heboh, film ini akan membuatmu lebih dari sekadar puas. Jika kalian suka Nicolas Cage, kalian akan treasure this movie forever.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE UNBEARABLE WEIGHT OF MASSIVE TALENT.

 

 

 

That’s all we have for now

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA