MIRACLE IN CELL NO.7 Review

 

“Poor people lose. Poor people lose all the time”

 

 

Miracle in Cell No.7 dari Korea Selatan sudah diremake setidaknya oleh empat negara lain sebelum Indonesia. Fakta bahwa cerita tentang mentally challenged person yang dipenjara dan dihukum mati atas kriminal yang tidak pernah ia lakukan ini cocok dan bisa sukses tertranslasikan ke dalam sejumlah kultur negara berbeda sesungguhnya bicara banyak soal bahwa hal yang merata dari sebuah keadilan adalah ketimpangannya. Sistem hukum yang lemah, yang tajamnya ke bawah doang, ternyata adalah masalah yang seragam, baik itu di Korea, Turki, India. Dan tentu saja di Indonesia. I’m not a big fan of remakes, yang cuma sekadar mengadegankan-ulang alias cuma meniru versi aslinya, tapi begitu melihat nama yang menggarapnya, aku tahu bisa menaruh sedikit harapan kepada Hanung Baramantyo. Yang aku percaya tidak akan membiarkan cerita ini lewat di depan hidungnya, bergerak di bawah tangannya, tanpa menambahkan perspektif atau statement atau gagasannya sendiri terhadap tema yang dikandung.

Dari segi cerita dan bangunan narasinya, ternyata, tidak banyak yang diubah. Film ini dengan ketat mengikuti versi original yang rilis tahun 2013.  Ceritanya dibingkai ke dalam sebuah persidangan.  Wanita pengacara muda mengajukan tuntutan terhadap kasus dari dua puluh tahun yang lalu. Kesaksiannya terhadap kasus tersebutlah yang actually kita simak sebagai narasi utuh. Tentang Dodo Rozak yang harus terpisah dari putrinya, Kartika, karena Dodo jadi tersangka tunggal kasus pembunuhan seorang anak kecil. Pria dengan keterbelakangan mental ini harus mendekam di penjara. Bayangkan John Coffey di The Green Mile (1999), film dari cerita karangan Stephen King, hanya tanpa badan kekar dan kekuatan ajaib. Itulah Dodo. Dia cuma punya satu keinginan, ketemu lagi sama Kartika. Tapi bukan lantas berarti Dodo tidak membawa mukjizat – atau miracle. Napi-napi yang satu sel dengannya-lah yang duluan merasakan pengaruh positif dari Dodo. Sifat baik hati Dodo menghangatkan selnya. Terlebih ketika para napi membantu untuk menyelundupkan Kartika ke dalam sel penjara. Wuih, langsung semarak! Bukan hanya satu sel, kelamaan Dodo memgubah satu penjara jadi tempat yang lebih hangat. Semua orang di sana kini berusaha membantu Dodo keluar dari penjara, membantu membuktikan Dodo tidak bersalah supaya dia bisa terus bersama Kartika. Halangannya cuma satu. Hukum yang dingin, menekan, dan semena-mena kepada orang kecil seperti Dodo dan Kartika.

Jangan sampai ruang sidang jadi kayak ruang kelas anak TK  juga hihihi

 

Perbedaan yang langsung ter-notice olehku adalah gak ada Sailor Moon. Pada film aslinya, ‘Kartika’ suka banget ama Sailor Moon, dan si karakter kartun Jepang ini actually jadi bagian penting yang membuat ‘Dodo’ sampai dipenjarakan. Kepentingan Sailor Moon tidak sampai di situ, karena film original turut menjadikannya sebagai penunjuk kepolosan si ‘Kartika’. Bahwa anak perempuan cerdas yang mengurus ayahnya tersebut masih punya sisi kanak-kanak. Sehingga menghilangkan motivasi Kartika untuk punya tas sekolah bergambar karakter tersebut, berarti menghilangkan sebagian identitas karakternya. Reaksi pertamaku adalah kasihan. Mungkin film enggak simply mengganti Sailor Moon dengan karakter lain karena susah menemukan simbol kanak-kanak apa yang hits. Itu kan artinya kasihan banget anak-anak Indonesia, gak punya karakter kartun idola. Masa iya harus diganti jadi tas bergambar idol K-pop haha.. Tapi itu take yang gak ngefek ke penilaian film keseluruhan, aku cuma miris aja sama anak-anak jaman sekarang. Untuk menilai film ini sendiri, kita harus melihat apa pengganti yang disiapkan oleh film, oleh Hanung, bagaimana dia membuat karakter Kartika tetap punya ruh sebagai anak yang mandiri, cerdas, namun, well, tetap masih anak-anak.

Keseluruhan konteks inilah yang dialter sedikit oleh Hanung. Kartika dibuat gedean, di film ini Kartika sudah bersekolah SD. Kartika membantu pekerjaan Dodo, yang di film ini dibuat sebagai tukang balon keliling. Balon inilah yang jadi simbol kepolosan Kartika – dan juga ayahnya – alih-alih Sailor Moon. Balon ini juga digunakan Hanung untuk semakin menguatkan hubungan tematik ke ending yang berhubungan dengan balon udara. Konteks simbol yang semakin jelas berhubungan seperti itu dilakukan lebih baik oleh film ini, sebab di film original kepentingan mereka dengan balon udara tidak benar-benar diestablish. Film Hanung ini sudah mengikatnya dengan erat sejak awal. Membuat Kartika slightly older juga memberikan ruang bagi film untuk menaikkan level dramatisasi dan keseriusan pada ceritanya. Film original diwarna dengan cerah, dan dijual lebih sebagai drama komedi. Hanung, sebaliknya, lebih fokus kepada drama. Makanya warnanya jadi kontras, kadang kuning, kadang biru agak gelap. Meskipun sama-sama dipajang sebagai tontonan untuk semua umur, Miracle in Cell versi Indonesia didesain sebagai sebuah drama yang sedikit lebih serius.

Hubungan karakternya lebih digali. Kita sekarang diberikan backstory tentang ibu Kartika. Bagaimana relasi dan pengaruh sosok si Ibu terhadap cara Dodo bersikap kepada sesama, dan membesarkan Kartika. Ini menambah depth bagi karakter sentral kita. Dodo dan Kartika versi ini lebih bisa kita mengerti. Lucunya versi Hanung ini adalah, dia menjadi lebih dramatis justru dengan mengembangkan karakternya keluar dari trope dramatic. Film originalnya bagiku memang masih beroperasi atau masih mengandalkan karakter dari trope dramatic. Like, gak mungkin kita gak bersimpati dan sedih melihat mentally challenged person yang baik hati terpisah dari anak, keluarga, satu-satunya. Tidak banyak growth atau perkembangan yang dialami oleh karakter. Film original itu lebih menyasar kepada kita, mengajak untuk tidak berprasangka dan segala macem. Film versi Hanung memberikan ruang bagi karakter untuk bertumbuh, dan lebih dalam daripada sekadar trope. Perjalanan Kartika menjadi pengacara demi menegakkan keadilan untuk ayahnya menjadi lebih terasa dramatis tatkala kita tahu sebenarnya Kartika diharapkan untuk menjadi dokter. Fokus utama memang tetap pada hubungan (tak terpisahkan!) antara Dodo dan Kartika, tapi film versi ini juga memberikan lebih banyak soal hubungan antara Kartika dengan ayah angkatnya (yakni kepala penjara) yang tersentuh oleh hubungan ayah-anak Dodo dan Kartika. Hubungan yang telah direnggut dari si kepala penjara.

Selain memperlihatkan soal hukum semena-mena sama rakyat kecil tak berdaya, film juga mengangkat soal kehilangan orang yang disayangi. Betapa itu jadi perasaan yang bakal terus menghantui. Gak bakal hilang. Dan adalah tergantung masing-masing untuk bersikap gimana terhadap perasaan tersebut. Kartika menggunakannya untuk mendewasakan diri. Kepala penjara bertekad untuk tidak membiarkan orang lain mengalami perasaan sedih serupa. Sementara antagonis di sini justru menyerah kepada perasaan duka tersebut dan membuat hal jadi semakin buruk dengan ‘menularkannya’ kepada orang lain. Sikap yang gak healing siapa-siapa.

 

Sailor Moon – Moon – Bulan – Moon cake – Kue terang bulan – Martabak!

 

Supaya gak depresi-depresi amat, humor yang jadi nilai jual film aslinya tetap dipertahankan. Di tangan sutradara lain ini bakal jadi tantangan yang berat, karena sekarang film memuat dua tone yang semakin kontras. Tapi Hanung yang memang kuat arahan dramatis dan karakternya, membuat itu tampak mudah. Range yang diperlihatkan film ini luar biasa. Antara bagian sedih (banget), adegan kekerasan polisi yang cukup bikin meringis, ama obrolan berbau komedi, mampu hadir tanpa terasa mentok. Melainkan berimbang dan natural. Contoh gampang untuk melihat ini: lihat saja karakter napi yang diperankan oleh Indro Warkop. Aku gak pernah melihat Indro bermain di luar role komedi receh. Tapi di sini, aku kadang jadi genuinely ngeri melihatnya kayak preman beneran, dan kadang kocak juga. Penampilan akting di film ini semuanya meyakinkan seperti demikian. Vino G. Bastian sebagai Dodo; tak pernah terlihat kayak mengolok-olok. Respek terhadap karakter, timing komedi, serta bobot drama berhasil ia sajikan tanpa over dan tumpang tindih. Yang make or break the movie jelas adalah akting karakter anak kecil. Serius. Bukan hanya di film Indonesia, tapi di film luar juga. Karakter anak kecil akan jadi penentu karena menggarap karakter anak kecil itu tantangan bagi orang dewasa. Jangan sampai anak kecil itu malah kelihatan seperti orang dewasa yang berusaha menjadi anak kecil. You know what I mean. Apalagi konteksnya adalah anak kecil yang mandiri dan cerdas. Untuk itu aku salut sama Graciella Abigail, yang mampu menerjemahkan tantangan peran yang diarahkan Hanung menjadi sebuah penampilan akting yang benar-benar deliver. Gak hanya tampak seperti dia dipakai karena jago nangis, atau karena mirip sama counterpart versi Korea. Inilah satu lagi kekuatan film ini. Di balik keberhasilannya jadi mirip sama versi Korea, film ini juga nawarin sesuatu yang lebih.

Setting Indonesia berhasil dirasukkan ke dalam cerita. Antagonis yang ketua partai politik menambah tajam gagasan soal hukum yang mudah dikendalikan sama yang punya kuasa. Choir yang jadi kasidah, suasana natal yang diubah menjadi menjelang lebaran, membuat film bukan hanya dekat tapi juga berhasil dimasukkan ke dalam bahasan soal pengampunan dan ‘terbang’ dalam muatan yang spiritual. Diversity film tetap terjaga lewat celetukan karakter dan adegan-adegan lain yang benar-benar menghidupkan suasana di penjara. Adegan yang menurutku dilakukan lebih baik oleh film ini dibandingkan dengan film aslinya adalah saat para Napi berusaha merekaulang kejadian kematian yang dituduhkan kepada Dodo. Adegan ini dilakukan di tengah-tengah lorong sel sehingga semua napi, bukan hanya yang satu sel, ikut melihat dan terinvolve ke dalam drama Dodo. Sehingga outcome dari adegan tersebut terasa lebih menggetarkan. Tapi ada juga adegan yang dilakukan film ini kurang kuat dibandingkan film aslinya. Misalnya pada adegan balon udara di menjelang akhir. Aku lebih suka adegan pada film aslinya, karena lebih gelora aja melihat para napi membantu menghalangi para polisi mengejar balon udara. Untuk soal adegan courtroom drama, aku gak sepenuhnya mengerti peradilan di Indonesia bedanya apa dengan di Korea Selatan, tapi buatku sebagai sebuah tontonan drama, adegan-adegan di courtroom tersebut sudah berhasil menjalankan fungsinya.

 




Melihatnya secara cerita memang tidak banyak perbedaan. Bangunan dan narasinya sama. Dialog-dialognya juga mirip dengan versi aslinya. Aku masih ingat karena malam sebelum ke bioskop aku tonton ulang versi Koreanya. Tapi film ini berhasil memasukkan konteks yang sedikit lebih dalam, dengan mengembangkan backstory dan relasi karakter lebih jauh lagi. Yang diincar oleh remake Indonesia ini adalah tontonan yang lebih dramatis. dengan mengusung konteks yang lebih lokal,  tanpa kehilangan ruh aslinya, Dan semua itu berhasil dilakukan. Dengan gemilang dan sungguh emosional.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MIRACLE IN CELL NO.7

 

 




That’s all we have for now.

Apakah memasukkan orangtua ke dalam penjara berarti memisahkan orangtua dari anaknya? Apakah itu hal yang manusiawi, atau hanya jadi manusiawi kalo orangtuanya adalah orang kaya seperti kasus di televisi yang tengah marak?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MENCURI RADEN SALEH Review

 

“The wealthy and better-educated are more likely to shoplift. They are more likely to cheat at games of chance. They are often less empathetic.”

 

 

Mencuri sesuatu seharusnya adalah tentang sesuatu itu, bukan tentang mencurinya. Kalimat tersebut diucapkan oleh Rick, dalam episode serial kartun Rick and Morty yang didedikasikan untuk menyentil film-film bergenre heist yang semakin populer, semakin salah kaprah. Lebih mengutamakan aksi dan trik merampoknya ketimbang menggali kenapa protagonisnya harus merampok. You know, persoalan inner journey. Nah genre heist ini masih tergolong baru untuk film Indonesia, makanya aku pergi menonton karya terbaru Angga Dwimas Sasongko ini dengan perasaan was-was. Jangan bilang kalo nanti isinya cuma montase sok-sok asik ngumpulin anggota dan trik-trik merampok ala film heist barat doang. Dan ternyata, film ini tampil lebih baik daripada yang kukhawatirkan. Walau masih bisa dijumpai trope-trope usang genre heist yang disindir oleh Rick and Morty, tapi Mencuri Raden Saleh juga actually punya perhatian soal drama dan perjalanan karakter-karakternya. At least, mereka tidak merampok hanya karena lukisan Raden Saleh bernilai tinggi.

Untuk beresonansi dengan penonton, Mencuri Raden Saleh membahas soal persahabatan, persaudaraan, juga soal hubungan ayah dan putranya. Iqbaal Ramadhan dan Angga Yunanda memainkan duo mahasiswa yang bertindak sebagai semacam pemimpin dari komplotan, semua bermulai dari mereka. Iqbaal jadi Piko yang jago banget malsuin lukisan seniman, sementara Angga jadi si hacker Ucup yang bertugas dapetin job pemalsuan lukisan. Mereka dapat duit lumayan dari kerja rahasia ini. Tapi Piko butuh lebih banyak duit untuk membantu ayahnya yang di penjara. Mereka ngambil proyek berbayaran gede dari seorang mantan presiden (Tyo Pakusadewo). Mereka disuruh memalsukan dan menukar lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh yang terkenal itu. Proyek kali ini bukan saja lebih gede, tapi juga lebih berbahaya. Maka, mereka perlu ngumpulin kru dulu. Ada pacar Piko (Aghniny Haque) yang jago bela diri, dua kakak-beradik (Ari Irham dan Umay Shahab) yang pengen buka bengkel sendiri, serta cewek tajir (Rachel Amanda) yang hobi jadi bandar judi jalanan. Mereka menyusun rencana, play into their respective talents, dan segala macem, only to terjerat dalam sebuah pengkhianatan. Yang membuat mereka kini bukan saja gak jadi dapat duit, tapi malah punya lebih-sedikit dari sebelum mereka memulai heist. Para karakter yang berkomplot untuk mencuri itu memang awalnya bergerak karena uang, tapi karena cerita film ini enggak sekadar soal pencurian, maka masing-masing mereka diberikan layer yang membuat mereka akan mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari uang itu sendiri. Bahwa ya, heist itu jadi lebih personal.

Mencuri juga ada filosofinya. Filosofi Piko!

 

Berdurasi dua jam setengah, film ini membagi porsi aksi heist dengan drama. Gaya penceritaan yang biasa dijumpai di genre heist yang karakternya banyak ini juga dilakukan oleh film. Ada kilasan balik saat satu karakter bercerita, memvisualkan informasi tersebut. Ada montase persiapan dan bikin alat-alat. Gaya yang dipakai supaya durasi panjang itu tidak membosankan. Editing film ini mumpuni untuk menyampaikan penceritaan tersebut. In fact, seperti halnya para karakter yang harus bekerja sama, aspek-aspek teknis film ini pun menampilkan kualitas kerja sama yang sama solidnya. Menghasilkan tontonan yang gak susah untuk kita ikuti. Para bintang muda yang main di sini juga tampak sangat fun. Enggak setiap hari mereka dapat kesempatan main film di luar drama remaja, film yang actually ngasih lapangan main yang berbeda. Yang punya tantangan berbeda. Mencuri Raden Saleh memberikan heist rasa Hollywood (film ini bahkan admit mereka pake referensi banyak film luar melalui gagasan karakternya) tapi dengan konflik ataupun drama yang grounded dan lokal punya. Kita bakal bisa merelatekan masalah mereka dengan kita.

Sebagai sutradara, Angga Sasongko menebar banyak komentar kepada negara, mumpung cerita filmnya masih gak jauh dari setting politik dan negara. Beberapa di antaranya membuatku terkikik karena dimainkan ke dalam apa yang mestinya jadi kelemahan cerita. Kayak, pas Ucup dengan gampangnya dapat data-data lukisan Raden Saleh tersebut; Yang sebenarnya bisa kita sebut sebagai sebuah convenience dalam naskah – kalo saja film enggak ‘ngeles’ itu karena database atau arsip digital negara kita bisa dibobol dengan segampang itu. Komentar yang tepat sasaran dan relevan mengingat situasi baru-baru ini. Angga memasukkan hal-hal seperti ini dengan smooth. Bahkan product placement aja bisa disebarnya tanpa terasa sekurang-ajar yang dilakukan oleh film Satria Dewa: Gatotkaca sebelum ini. I honestly lebih suka film ini sebagai drama dan lemparan komentar saja ketimbang sebuah aksi heist. Meski tak dipungkiri juga film berusaha menjadikan trope-trope itu sesuatu, atau mengikatnya dengan gagasan. Aku suka bagaimana lukisan Penangkapan Diponegoro itu dikaitkan dengan journey karakter lewat simbolisme pengkhianatan. Film ini rich ngomongin pengkhianatan tersebut, bukan hanya soal negara tapi juga di level yang lebih relate lagi yaitu antara sahabat, antara orangtua dengan anak, dan bahkan antara si kaya dan si miskin. Pengkhianatan itu sendiri sebenarnya salah satu trope andalan dalam genre heist, as in, selalu ada bagian ketika karakter genre ini disurprise oleh pengungkapan bahwa si anu yang di dalam grupnya ternyata jahat, atau something like that. Selalu ada karakter yang di-doublecross dalam cerita heist. Di film ini juga ada, tapi trope tersebut dimainkan lebih jauh ke dalam konteks cerita.

Satu lagi aspek yang relevan dengan kejadian baru-baru ini pada Mencuri Raden Saleh adalah soal orang kaya bukan lantas berarti gak mencuri. Bahwa mencuri bukan kerjaan orang kecil saja. Di film ini diperlihatkan orang kaya dan berprivilege seperti Fella dan si mantan presiden lebih lihai mencuri/berbuat curang dibandingkan dengan orang miskin tapi berkeahlian seperti Piko ataupun Tuktuk. Karena mencuri ternyata bukan soal gak punya duit. Melainkan soal gak punya empati.

 

Dari segi aksinya, aku cukup suka bagian mereka pertama kali beraksi. Ketika mereka mau menyabotase proses pengantaran lukisan di jalan raya. Yang menarik di situ buatku adalah gimana film tidak serta merta memperlihatkan mereka langsung jago. Terjadi sesuatu di luar perhitungan mereka. Piko dan teman-temannya panik. Ini benar-benar membuktikan kecemasan mereka saat ngambil job ini sedari awal. Bahwa mereka bukan pencuri. Ada dialog dari Piko yang membuatku merasa Angga Sasongko yang juga punya concern serius terhadap pembajakan film, pengen nyeletuk perihal itu juga. Jadi si Piko bilang bahwa dia bukan mencuri, dia forging lukisan hanya untuk nyari penghasilan tambahan. Untukku, itu terdengar seperti alasan yang bakal diucapin juga oleh pembajak film yang secara general bukanlah sindikat mafia, melainkan ya orang-orang seperti Piko. Anak muda yang pengen cari tambahan jajan tanpa menyadari perbuatan mereka termasuk pencurian besar. Sehingga kupikir film bakal lowkey membentuk journey Piko sebagai pembelajaran soal pencurian dan bagaimana sebenarnya bukan uang yang penting. Setelah aksi pertama yang membuat Piko dan kawan-kawan harus regroup, mereka terbentur dan normalnya bakal belajar banyak dari pengalaman ini, film mulai berjalan ke arah yang totally menggali grup pencuri paling lihai dengan sensasional.

“Harusnya ujungnya gak kayak gini!” Setuju, Om!

 

Warning, ini bakalan lumayan spoiler…!

Jadi setelah regroup, Piko dan teman-teman found out bahwa kegagalan mereka memang telah diharapkan dan kini lukisan palsu buatan Piko sedang ada di pameran Negara, sementara yang asli ada di tangan si mantan presiden. Orang itulah antagonisnya. Grup Piko cuma dijadikan bidak. Tidak ada milyar buat mereka. Nah, setelah itulah yang janggal buatku. Film  membuat Piko balik merampok lukisan asli dari si Ex-Presiden yang bikin acara ultah di rumah gedenya.  Jadilah kita dapat action set piece untuk final heist. Tapi yang gak klik bagiku di plot ini adalah, mengapa Piko pengen lukisan asli tersebut. Apa untungnya bagi mereka merampok lukisan itu? Mereka gak bakal dapat duit karena orang si Ex-Presidenlah yang actually ngasih mereka job. Kalo ketahuan, mereka yang udah dilepasin dari tuduhan polisi bakal jadi tersangka beneran, dan bagaimana itu membantu goal Piko sedari awal yakni membebaskan ayahnya yang terpenjara. Aksi terakhir itu udah keluar dari tujuan Piko di awal. Melainkan cuma sebuah aksi balas dendam yang kosong. Film actually berusaha membuat hal make sense dengan subplot ayah Piko ada sangkut pautnya dengan semua, tapi karena Piko sama sekali gak tahu sebelumnya, maka tetap saja pilihan yang ia ambil itu aneh. Piko just do something yang gak ada benefit langsung, yang gak membantu ayahnya, dari sudut pandang dirinya.

Kalo mau logis ya, lebih make sense kalo final heist itu adalah Piko and the genk ngerampok pameran. Mencuri lukisan palsu, dan menuduhkan kesalahan kepada Ex-Presiden yang mereka ketahui punya lukisan asli di rumah. Piko bakal dapat lukisan palsu karya yang memang miliknya (yang masih mungkin mereka jual di lelang nanti untuk bebasin ayah), serta si Ex-Presiden bakal ketangkep polisi – bentuk balas dendam mereka nyata, Either way, yang jelas, film harus ngasih alasan kenapa Piko harus merampok lagi. Sebenarnya, dari yang dilakukan film, bisa make sense asalkan Piko sudah berkomplot dengan penghianat dari dalam geng Ex-Presiden. Jadi Piko sudah dijamin punya cara untuk menguangkan lukisan asli yang ia curi. Tapi film bahkan tidak membuat yang seperti itu. Yang dibuat film sebagai ending adalah, tau-tau ada orang dalam si musuh yang menghubungi dan menawarkan duit lukisan kepada mereka. Ini seperti Piko mendapat solusi win yang ajaib dengan begitu saja di akhir cerita.

Jadi yah, plotwise, film ini menurutku harusnya bisa lebih baik lagi. Terutama di paruh akhir itu terlihat seperti ada pengembangan yang banting stir dari pembangunan di paruh awal. Sesuatu yang seperti baka berkembang menjadi A, tau-tau jadi B, atau malah dilupakan dan jadi sesuatu yang completely different. Misalnya kayak permasalahan Piko dengan pacarnya merasa di-left out. Pacar kayak cemburu ama bromance Piko dan Ucup. Piko pun tampak kurang gimana gitu ke si cewek. Dia malah kabur ninggalin si cewek pas diserbu polisi, mereka memang confront soal ini tapi belum memuaskan. Malah di pesta, si Sarah pacar Piko ini dikasih momen berantem bareng cowok asing, mereka kayak jadi ada koneksi. Tapi lantas persoalan itu gak pernah dibahas lagi. Lalu juga soal Ucup yang jati dirinya sudah diketahui polisi. Kupikir hal ini bakal jadi obstacle tambahan, tapi ternyata gak pernah jadi hambatan. Ucup masih bisa ikut rencana di pesta ultah. Hal-hal seperti itu mestinya bisa ditangani dengan lebih cakap lagi oleh naskah.

 




Ikut bergembira dan apresiasi buat eksistensi film ini. Memberi warna baru di perfilman kita dengan genre heist, Dari garapan genrenya sendiri masih Hollywood-sentris, yang di Hollywood itu sendiri genre ini sudah mulai jenuh karena banyak trope yang dianggap usang dan melenceng dari kekuatan genrenya yang sebenarnya. Akan tetapi, film ini juga berusaha memberikan value yang lebih. Dari sisi cerita, gagasan, dan karakter. Dan memang di sinilah kekuatan film ini. Permasalahan karakternya bisa kita dukung karena dekat alias grounded, karakternya pada loveable, dan komentar atau statement di balik journey mereka relevan. Akhir film ini sepertinya open untuk sekuel atau mungkin series, yang nyeritain petualangan Piko dan kawan-kawan lebih lanjut, dan ya karena film ini punya struktur yang menutup, aku jadi genuine tertarik kalo ada lanjutannya. Harapanku semoga next time penulisannya bisa lebih baik lagi supaya bisa benar-benar jadi national treasure di perfilman tanah air.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MENCURI RADEN SALEH.




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang orang kaya yang mengutil? Kenapa orang yang kaya masih mengutil, korupsi, nimbun barang, monopoli, dan sebagainya?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ORPHAN: FIRST KILL Review

 

“A person’s greatest emotional need is to feel appreciated”

 

 

Waktu tidak bisa lebih tepat lagi daripada sekarang, buat yang mau luncurin prekuel dari Orphan; psikologikal horor 2009 yang populer karena udah ngemindblown penonton lewat revealing identitas karakternya yang ikonik. Bahwa Esther si anak yatimpiatu itu sebenarnya bukanlah seorang ‘anak kecil’ melainkan psikopat dewasa yang punya kelainan hormon sehingga tubuhnya tetap seperti anak kecil. Kenapa kubilang sekarang adalah waktu yang tepat untuk bikin prekuelnya? Karena pemeran Esther alias Leena, yaitu si Isabelle Fuhrman, kini sudah mendekati usia karakter yang ia perankan tersebut. Let’s think about that for a moment. Di film original, Isabelle berusia sebelas tahun, dia yang masih kecil berakting jadi wanita dewasa yang berpura-pura jadi anak kecil, dan saat menit-menit akhir revealing karakter, dia memakai make up supaya tampak dewasa. Nah kini, Isabelle yang sudah dewasa tentunya bisa dengan lebih natural memainkan si Leena – cerita bisa dengan bebas mengeksplorasi origin kenapa Leena bisa jadi psikopat dengan modus operandi nyamar jadi anak-anak. Tanpa harus pake efek riasan (kecuali mungkin efek tinggi badan). Tapi tentu saja origin dengan sesuatu yang completely new seperti itu pertaruhannya tinggi. Sebab yang bikin Orphan ikonik justru gimmick nyamar-jadi-anak-kecil. Produser pasti keberatan kalo gimmick itu dihilangkan. Sehingga jadilah Orphan: First Kill garapan William Brent Bell hadir sebagai prekuel yang mengulang pengalaman yang sudah kita dapatkan pada film originalnya. Tawaran barunya cuma twist bahwa ada yang lebih jahat daripada Leena. Dan dengan menjadi seperti demikian, film ini mengkhianati judulnya sendiri.

Orphan: First Kill actually bukan tentang pembunuhan pertama yang dilakukan Leena. Di cerita kali ini, Leena sudah terestablish sebagai pasien paling berbahaya di mental asylum di Estonia. Di tempat itu, Leena sudah dikenal sebagai pembunuh dengan taktik menyamar atau bersikap sebagai anak-anak. Keahlian taktiknya itu langsung dibuktikan Leena saat suatu malam dia kabur dari asylum. Rencana kabur selanjutnya dari Leena adalah mengubah penampilannya menjadi mirip seperti Esther, anak Amerika yang diberitakan hilang, yang ia lihat di internet. Leena kini sebagai Esther, found her way ke rumah keluarga asli si anak malang. Keluarga yang ternyata punya rahasia kelam tersendiri, sebagai ‘musuh’ yang harus dihadapi oleh Leena.

Bahkan pembunuh psikopat pun tidak bisa memilih keluarga idealnya sendiri

 

While it’s true yang paling diingat orang dari Orphan original adalah soal si Esther yang ternyata adalah orang dewasa bernama Leena,  film tersebut juga didukung oleh naskah yang kuat memuat bahasan ketakutan psikologis seorang ibu akan kehilangan anak, suami – keluarganya. Esther alias Leena di situ ada sebagai antagonis, perwujudan dari momok yang bakal merebut keluarga dari sang ibu. It was a dark, juga terasa personal dan grounded sebagai sebuah cerita. Film keduanya ini, dengan timeline sebelum kejadian pertama, menempatkan kita di perspektif Leena. Yang tentu saja punya potensi tak kalah menarik jika juga dikembangkan sebagai horor psikologis. Karena siapa sih yang gak tertarik menyelami kepala ‘orang gila’, Tapi William ternyata memilih filmnya ini untuk tampil lebih simpel. Dan dia seperti benar-benar menyajikan kembali rangkuman film pertama jadi film yang sekarang. Leena jadi Esther, masuk ke keluarga dengan saudara laki-laki yang gak suka padanya, dan ayah yang menyayanginya (Leena selalu jatuh cinta pada ‘ayah angkatnya’) ‘Lawan’ Leena tetap adalah ibu dari keluarga yang ia masuki. Hanya saja, karena ingin simpel, film tidak memberikan bahasan mendalam dari dua perempuan ini. Maka supaya gak sama-sama banget, film ngasih sesuatu yang cukup mengejutkan. Bikin si ibu ternyata lebih ‘parah’ dibandingkan Leena. Dinamikanya berubah menjadi keduanya adalah orang jahat yang terpaksa harus tampak akur, tapi diam-diam mencoba saling bunuh. Again, dinamika seperti ini bisa jadi menarik, jika memang ada sesuatu gagasan atau bahasan di baliknya. Namun ya itu, film hanya menempatkan sebagai kejutan, yang membedakan film ini dengan originalnya.

Beban menulis karakter jahat sebagai protagonis dalam ceritanya sendiri adalah bagaimana untuk tidak membuat dia malah tampak seperti karakter yang memohon simpati. Status dia sebagai villain harus tetap melekat, jangan sampai dia malah jadi hero dan menganulir semua kesalahannya. Kita cukup dibuat mengerti kenapa dia melakukannya, apa yang mendorong dia memilih untuk jadi jahat, untuk bisa melihat dia sebagai manusia bercela yang memilih ‘dark side’. Dia perlu diperlihatkan sebagai human, tapi jangan sampai membuat dia jadi panutan atau sesuatu yang dielukan. Banyak prekuel origin penjahat yang gagal karena membuat si karakter jadi ‘baik’ gitu aja. Contohnya Don’t Breathe 2 (2021). Yang mengubah si kakek buta pembunuh dan pemerkosa jadi pahlawan. Leena dalam Orphan: First Kill sayangnya jatuh di kesalahan yang nyaris sama.

Dengan menjadikan cerita lebih simpel, gak ada bahasan psikologis ataupun pendalaman perspektif, Leena jadi tampak dipaksa untuk terlihat simpatik. Sisi humanis yang bisa digali dari Leena sebenarnya ada, seperti soal dia pengen merasakan cinta. Tampak dari adegan Leena yang memilih untuk balik dan tetap tinggal di keluarga tersebut, walaupun dia bisa menyelinap keluar dan kabur dengan mudah. Momen-momen manusiawi Leena seharusnya bisa digali dari dia yang merasa disupport oleh ayah angkat, yang sama-sama suka melukis. Karena itu jugalah yang gak ada dibahas di film original yang bukan dari perspektif utama Leena. Persoalan Leena yang jatuh cinta sama suami di keluarga yang ia masuki. Film prekuel ini gagal melihat kebutuhan itu. Film ini masih memainkan itu sebagai rencana jahat Leena, sebagai intrik. Alih-alih genuine membuat kita merasakan sisi manusia dan vulnerable dari Leena (secukupnya untuk membuat dia cocok disebut protagonis dalam ceritanya sendiri), film malah mengoverpush simpati itu kepada karakternya.  Untuk membuat Leena ‘baik’, makanya film membuat kejutan si ibu adalah orang jahat. Membuat keluarga itu punya rahasia yang bisa dibilang sadis dan kelam. Keluarga yang manipulatif. Bahkan Leena di sini diberi teman berupa seekor tikus yang hidup di ventilasi udara di kamarnya.

Emangnya si Leena itu Cinderella yang dijahatin ibu tiri?

 

Jadi ya, buatku film ini terasa konyol. Statusnya sebagai prekuel hanya menjawab bagaimana Leena bisa sampai di Amerika dan  darimana Leena mendapat nama Esther, juga kenapa dia memakai nama itu seterusnya. Tidak benar-benar bicara tentang Leena itu sendiri. Kejadian yang kita simak pun kebanyakan masih pengulangan hal-hal yang sudah kita lihat di film original. To be honest, buatku, persoalan Esther ternyata orang dewasa itu ya sudah beres begitu rahasianya diungkap di babak ketiga film original. Apa lagi yang mau diperlihatkan dari menyamar sebagai anak kecil itu. Film ini hanya menempuh tantangan yang tidak perlu ketika membuat Isabelle Fuhrman harus kembali jadi orang dewasa yang berpura-pura jadi anak kecil. Film ini beruntung,  secara akting, Isabelle masih konsisten. Dia memang sudah paham kegilaan sebagai Leena dan tantangan dan tipuan sebagai Esther. Tantangan itu datang dari fisik. Okelah, soal tinggi badan, bisa diakali dengan stunt double ataupun dengan trik kamera. Di shot dari belakang, sosok Leena/Esther tampak beneran kayak anak kecil. Namun begitu dari depan, man, perawakan dan raut Isabelle sudah susah untuk masuk ke ilusi ini adalah karakternya beberapa tahun sebelum film original. Mau pake make-up ataupun efek de-aging segimana pun, tetap visibly terlihat lebih gede. Lebih tua.

Sedari awal, karakter Leena atau Esther memang dibentuk sebagai seorang yang ingin dapat keluarga yang menerima dirinya. Bahkan Isabelle Fuhrman sempat menyebut dalam sebuah interview, bahwa Esther tidak membuat dirinya takut karena karakter itu punya keinginan yang sama dengan setiap manusia. Ingin dicintai. Ingin diapresiasi. Ingin menemukan keluarga yang bisa menerima dirinya. Ini jugalah alasan kenapa Esther di film kali ini memilih untuk balik lagi dan tetap tinggal di sana. Di balik cinta psikopatnya, dia merasakan penerimaan itu dari ayah yang genuinely merasa dia beneran anaknya yang bisa melukis, dan juga dari ibu walaupun cintanya palsu.

 

Kupikir itu juga sebabnya kenapa film ini membuat cerita yang tidak mengharuskan Leena banyak menyamar sebagai anak kecil. Membuat cerita yang karakter lain tahu si Leena bukan anak kecil beneran. Supaya tuanya yang tampak jelas itu enggak benar-benar mengganggu. Tapi kan ya, berarti gak benar-benar perlu dibuat seperti itu. Gak benar-benar perlu cerita dibuat masih seputar Leena menyamar jadi anak kecil. Dengan itu, maka buatku film ini memang tidak benar-benar punya sesuatu untuk diceritakan. Melainkan cuma mau milking the gimmick. Bukan untuk mengexpand semesta dan karakter dari film Orphan.

 




Menilai film sebagai objek for what it is, not for what it should be, film ini bagiku terasa sebagai pengulangan yang dangkal, hampir seperti rangkuman dari film originalnya. Secara tontonan horor, memang ini bisa berarti hiburan yang lebih seru, karena ringkas – penonton bakal lebih cepat mendapat adegan-adegan berdarah. Gimmick ikoniknya juga masih dipertahankan. Mati-matian, kalo boleh kubilang. Karena secara fisik, sudah semakin susah bagi ilusi tersebut untuk dipertahankan. Dan juga memang tidak perlu dipertahankan, kecuali dari sudut pandang untuk penjualan. Sebagai prekuel, film ini justru tidak terasa benar-benar ngasih banyak soal seperti apa sebelum kejadian originalnya.  Karena pengulangan itu tadi, simpelnya, film ini bahkan tidak tampil sesuai dengan judulnya. Tawaran barunya cuma situasi keluarga, itupun tidak dimainkan sebagai pembahasan yang actually say something, melainkan hanya kejutan belaka. Cerita dengan perspektif utama dari karakter jahat seharusnya  bisa jadi bahan galian yang menarik, tapi film hanya memasang si karakter jadi pengemis simpati.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ORPHAN: FIRST KILL

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian setiap karakter evil perlu untuk dibuatkan cerita prekuel atau originnya? Apa yang kalian harapkan ada dalam cerita-cerita dari sudut pandang karakter jahat seperti ini?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



WEST SIDE STORY Review

“Hate cannot drive out hate; only love can do that”

 

 

Belakangan ini kita memang diberkahi banyak banget film musikal yang keren-keren. Annette (2021) yang menekankan kepada sisi absurd seninya. Tick, Tick…Boom! (2021) yang melekat berkat relate personal ceritanya. Ada begitu banyak pilihan musikal yang bagus, yang mampu membuat aku yang gak fans musik jadi jatuh cinta. Tapi dari semua, West Side Story garapan Steven Spielberg-lah yang paling pas untuk mengenakan mahkota. Karena film ini benar-benar goes for the big! Baik itu performance, musical numbers atau adegan musikalnya, produksi, hingga ke pesan, semuanya spektakuler. Spielberg ngedirect film ini dengan kemegahan yang cuma dia yang bisa. Dan itu berarti luar biasa karena film ini sendirinya sebenarnya adalah sebuah remake dari musikal yang enggak ‘kecil’. Spielberg membuat cerita ini lebih besar dan lebih relevan lagi!

Materi aslinya terinspirasi dari kisah Romeo dan Juliet. Namun alih-alih perseteruan keluarga, kisah cinta Tony dan Maria di West Side Story berada di tengah-tengah seteru dua kelompok etnis pemuda yang berbeda. Manhattan 1957 itu tempat tinggal yang jadi rebutan oleh penduduk imigran yang sudah turun temurun tinggal di sana. Di satu sisi ada kelompok Inggris, dengan geng Jet. Dan di sisi lain ada warga Puerto Rico dengan kelompok Shark. Dua kelompok ini terus saja berantem, cari ribut. Persaingan memenuhi kebutuhan hidup yang layak membuat kedua kelompok saling benci. Tapi tidak Tony dan Maria. Bertemu di pesta dansa (sementara geng masing-masing lagi rebutan lantai dansa), Tony yang mantan anggota Jet dan Maria yang adik dari ketua Shark jatuh cinta pada pandangan pertama. Mereka bermaksud hidup bersama, pergi dari kota dan start fresh. Tentu saja, kedekatan mereka berdua dijadikan alasan baru bagi Jet dan Shark untuk ribut. Dan kali ini benar-benar bakal ada nyawa yang jadi korban.

westsideDF_12072_R12_COMP
Rumbling, rumbling~~

 

Namanya juga musikal, semua permasalahan film ini diceritakan lewat lagu. Set drama di kota dilandaskan lewat adegan musikal di opening. Alasan Jet nyari ribut, juga lewat musikal. Bahkan pas sekuen berantem pun juga ada gerakan-gerakan seperti balet (sebelum akhirnya film ini nunjukin berantem yang cukup violent). Dari nonton West Side Story inilah aku jadi mikir, bahwa keberhasilan sebuah film memang gak pernah sesederhana ‘horor yang penting harus bisa bikin takut’, ‘komedi yang penting harus lucu,’ ataupun ‘romansa yang penting harus bisa bikin baper’. Karena dengan begitu berarti ‘musikal berarti harus bisa bikin ikut nyanyi’. Nah dengan logika itu, sampai kapanpun aku gak akan pernah nemuin musikal yang bagus karena aku yang gak suka musik gak akan pernah nyanyi menonton musikal. Dan kalo aku – kalo kita – menilai film dengan subjektivitas sesederhana fungsi tersebut, ya kitalah yang rugi. Kita gak akan tahu film bagus bahkan kalo film itu tayang di depan hidung kita. Dari musikal segrande West Side Story inilah kita bisa sadar bahwa meskipun kita gak konek dengan liriknya, atau dengan musiknya, atau bahkan dengan bahasanya, sebuah film masih akan tetap bagus dan itu dinilai dari objektivitas teknik film itu dibuat, cerita film itu ditulis, seperti apa gagasannya disampaikan. Bagaimana craft film dalam memuat isi kemudian menampilkannya ke dalam genre masing-masing, di situlah sebenarnya penilaian film bagus atau tidak. 

Dan West Side Story benar-benar dibuat dengan epik. Setiap adegannya, mau itu musikal ataupun pas ngobrol biasa, berwarna oleh detil, penempatan kamera, dan bahkan bloking orang-orangnya saja seperti bermakna. Adegannya tu gak pernah sekadar nari-nari rame-rame di tengah jalan. Saking banyaknya adegan bagus yang benar-benar nonjolin craft dan visi dari si filmmaker, aku bisa bikin listicle khusus di dalam tubuh ulasan ini. ‘Dua-puluh Adegan Terepik dalam West Side Story, Nomor Lima Bakal Bikin Kamu Ikutan Joget!’ Ya, bukan lima, bukan delapan. Dua puluh itu aja kayaknya belum semua deh yang keitung. Kamera dan perhatian Spielberg lewat bercerita visual mengangkat setiap adegan musikal menjadi momen-momen ajaib yang kita rugi kalo sampai ngedip and miss it. Adegan nyanyi di gang gelap, lalu Tony loncat ke kubangan, kamera lantas menyorot dari atas; memperlihatkan pantulan berpuluh-puluh lampu dari jendela lewat riak-riak kubangan tersebut, maaan siapa sih yang bisa kepikiran membuat adegan seperti itu. Shot-shot film ini memang sangat imajinatif, gak ada yang standar. Dua geng saling bertemu di dalam gudang yang gelap; Spielberg mempesona kita dengan menggambar dari bayangan kedua kubu. Lalu ada juga sekuen panjang saat adegan masuk ke ruang dansa. Kameranya kayak melayang gitu aja, nempel di tubuh lalat kali hahaha. Buatku, film seperti beginilah yang menantang – sekaligus menginspirasi. Film, yang saat menontonnya kita langsung penasaran mereka ngerekamnya seperti gimana, kameranya gimana. Kok bisa? 

Akhirnya ya kita yang nonton jadi merasa dapat lebih banyak daripada sekadar lirik atau irama yang catchy. Kita ujung-ujungnya jadi mengapreasiasi musikal itu secara keseluruhan. Aku paling suka adegan nyanyi Amerika, dan adegan nyanyi di dalam ruangan kantor polisi. Selain itu, dengan pengadeganan dan penampilan menawan seperti itu, perhatian kita juga jadi terpusat pada cerita. Hampir seperti kita gak butuh lagi sama dialog. Mungkin ini jugalah yang dimengerti oleh film, sehingga Spielberg tidak menampilkan subtitle untuk dialog-dialog dalam bahasa Spanyol. Spielberg melalukan ini demi respek terhadap karakter dan bahasa itu sendiri, tapi dia toh juga tidak mempersulit atau meminta terlalu banyak kepada penonton. Perhatikan saja adegan-adegan berbahasa Spanyol itu. Selalu hanya keluar dalam adegan yang konteksnya sudah terlandaskan dengan baik. Selalu punya weight ke dalam karakterisasi dan plot itu sendiri. Ketiadaan subtitle ini justru jadi penanda utama bahwa film ini telah demikian baik bercerita lewat visual dan penampilan atau juga musiknya.

Colorfulnya pengadeganan didesain kontras dengan kelamnya cerita. Aku nonton film ini duluan daripada film aslinya, aku gak tau sebelumnya ini ceritanya bakal seperti apa. Dan aku surprise juga saat menyaksikan ujung cerita film ini. Aku gak expect kalo film yang udah dibuat untuk penonton modern ini berani membuat sekelam itu. Mungkin inilah kenapa West Side Story kurang laku (selain karena musikal memang kurang perform untuk penonton kita). Modern audience kan gak bisa dikasih ending yang conflicted. Pengennya yang jelas. Happy, atau sedih. Kalo bisa sih yang happy aja. Gak boleh di antara keduanya. West Side Story berakhir tragis dengan cinta yang terpisah oleh kematian, tapi punya undertone yang optimis ke arah kehidupan yang lebih baik untuk semua orang di kota. This ending will hit alot.  Dan aku senang karena film ini mengambil resiko dengan ending seperti itu. Film ini telah melakukan cukup banyak penyesuaian – ada hal-hal yang dibikin berbeda dengan versi aslinya – tapi untungnya tidak diubah sesuai kesukaan penonton modern. Malah kalo dipikir-pikir, ending versi ini memang lebih menohok.

westside-side-story-trailer-
Si Maria mirip-mirip Susan Sameh gak sih?

 

Seperti pesaingnya di Best Picture Oscar, Coda (2021), film West Side Story juga melakukan remake yang melakukan perubahan positif dalam hal representasi. Spielberg tak lagi menggunakan aktor kulit putih yang dimake-up coklat, melainkan benar-benar menggunakan aktor latin untuk karakter-karakter Puerto Rico. Feels film ini jadi semakin otentik, selain juga respek sama ras yang diangkat. Soal casting ini memang benar-benar dimanfaatkan sebagai isi karakter. Ariana DeBose yang berkulit lebih gelap misalnya, diset untuk memerankan Anita yang nanti terlibat dialog soal kulit itu dengan sesama Puerto Rico, terkait konteks bagaimana prioritas Amerika kepada warganya. Terus, ada karakter yang benar-benar merepresentasikan trans-people, sementara film aslinya tahun 60an belum berani banget menampilkan. Lalu ada juga aktor yang gak sekadar jadi cameo dari film original, tapi diberikan peran yang dramatis terkait dia memerankan peran terdahulu dengan peran sekarang. Tapi yang paling penting soal cast ini adalah, Spielberg benar-benar ngedirect mereka untuk menghasilkan performa yang sama luar biasanya.

Masalah rasis yang jadi akar konflik film ini digambarkan dengan kompleks, dan jadi masalah yang terstruktur karena begitulah pondasi tempat tinggal daerah mereka. Tapi kalo mau disederhanakan, sebenarnya ini adalah masalah hate. Kebencian. Makanya hubungan cinta antara Tony dengan Maria jadi simbol penyelamat mereka semua. Mereka cuma harus bisa melihatnya. Walau kadang cara untuk sadar itu bisa demikian tragis.

Honestly, pas pertama kali nonton aku mikir film ini – terutama karena endingnya – agak problematis. Like, kenapa kulit putih mati jadi seperti savior. Bukankah, aku sempat mikir, lebih cocok dengan penonton modern kalo dibikin yang jadi ‘penyelamat’ itu adalah karakter cewek. Setelah dipikir-pikir, dikaitkan dengan arc Tony dan Maria, the whole ending ternyata memang harus terjadi seperti yang film ini lakukan. Tidak ada jalan lain yang lebih powerful.

 

Tony yang diperankan oleh Ansel Esgort di versi ini diberikan journey yang lebih dramatis. Backstorynya – mengapa dia keluar dari Jet, kenapa dia bisa punya hubungan baik dengan pemilik toko yang orang latin – benar-benar melandaskan arc penebusan diri. Benar-benar memperlihatkan Tony mencoba menjadi pribadi yang lebih baik, tapi tidak segampang itu berkat kuatnya pengaruh seteru dan hate tadi di kota. Arc si Tony baru akan melingkar sempurna dengan ending film ini, karena itulah penebusan dirinya yang sebenarnya. Bukan dengan pergi menumbuhkan cinta di tempat lain. Kota ini juga harus diresolve masalahnya. See, di sinilah letak kekuatan naskah West Side Story. Kota mereka juga jadi karakter tersendiri. Yang bakal ngalamin pembelajaran, melalui nasib dua karakter sentral. Maria, diperankan oleh Rachel Zegler dengan memukau meski ini adalah film pertamanya, punya arc tentang innocence lost. Maria adalah simbol atau perwujudan dari value positif; polos, penuh mimpi, optimis. Karakter Maria ini jadi makin penting saat ending itu, karena lewat dialah karakter-karakter di kota melihat apa yang telah mereka lakukan terhadap kota yang harusnya adalah tempat penuh harapan dan mimpi.

 

 

 

Ah, film yang indah. Baik itu pesannya, experience menontonnya, serta penampilan akting dan musikalnya (yang btw, bener-bener dinyanyikan oleh pemainnya). Dunianya terasa hidup, setiap adegan pantas banget untuk kita pelototin. Setiap scene terasa epik dan spektakuler. Everything about this movie feels grande. Aku harus menahan diri nulisnya, karena kalo gak, bakal panjang banget. Karena semuanya bisa dibahas mendalam. Semuanya punya makna. I’m okay film ini yang dipilih Oscar untuk mewakili genre musikal dibandingkan film yang lain. Bukan hanya karena nama Steven Spielberg. Pak sutradara berhasil membuktikan nama besanya bukan sekadar legenda. Tapi juga karena film ini terasa urgen meskipun dia adalah remake. Aku senang karena actually di line up Best Picture Oscar tahun ini, ada dua film remake yang tampil demikian kuat melebihi film original mereka.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for WEST SIDE STORY.

 

 

 

That’s all we have for now

Sayang sekali film ini flop di bioskop kita. Menurut kalian kenapa film musikal enggak perform dengan baik bagi penonton Indonesia?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE BATMAN Review

“Vengeance is not the point; change is.”

 

Perdebatan ‘superhero dark atau harus colorful’ antarkubu fans bakal makin sengit dengan tayangnya film Batman terbaru ini. Pasalnya, si Batman itu sendiri memang sudah punya begitu banyak versi, mulai dari yang ringan, yang extremely comical, yang aneh, hingga yang ‘so serious‘. Jadi Batman benar-benar cocok mewakili perdebatan tersebut. Salah satu penyebab kenapa Batman jadi salah satu tokoh pahlawan super paling populer dan ikonik sehingga terus dibuatkan cerita ini adalah karena dia easily salah satu yang paling grounded. Dia gak punya kekuatan super. ‘Cuma’ punya jubah hitam dan alat-alat mahal. Makanya Batman ini fleksibel, bisa dibuat either way. Dan bagus atau enggaknya memang tergantung dari bagaimana pembuat meracik itu semua. Nah, The Batman garapan Matt Reeves ternyata berhasil nyetak begitu banyak skor dengan hadir sebagai kisah yang superkelam, dengan tetap memegang kuat ruh sebagai epik kesuperheroan. Film ini udah kayak cerita detektif dengan misteri kasus yang rumit, dengan penekanan yang kuat kepada sisi personal sang karakter, tapi di saat bersamaan juga menunjukkan perjuangan dalam menyelamatkan kota dan banyak orang. Jadi dengan kata lain, The Batman ini sukses hadir dengan memberikan warnanya tersendiri.

Jika dalam menjadi superhero itu kita anggap sama seperti pertumbuhan orang menjadi dewasa, maka film ini bisa dibilang adalah cerita coming-of-age Bruce Wayne sebagai seorang pahlawan. Diceritakan, dia baru dua tahun jadi Batman. Dia masih dalam proses ‘mencari jati diri’, pahlawan seperti apa dia untuk Gotham. Opening film ini bahkan dimulai dari Bruce yang menarasikan diarinya. Bruce percaya dia adalah pahlawan vengeance. Setiap malam, begitu sinyal lampu menyala, dia keluar. Menakuti para kriminal di jalanan dengan auranya. Dan menjatuhkan pukulan-pukulan balas dendam itu kepada mereka semua. Bagi Bruce, setiap kriminal di kota adalah orang yang telah membunuh orangtuanya. Bruce jadi pahlawan atas dasar ini; balas dendam demi meneruskan legacy kebaikan orangtuanya. Batman memang jadi ditakuti, oleh kriminal dan juga oleh orang-orang yang ia tolong. Polisi-polisi pun gak respek sama dia. Kecuali Gordon, yang membawanya ikut memecahkan kasus dan jadi kayak partner bagi Batman. Ketika mereka berhadapan dengan rangkaian kasus pembunuhan orang-orang penting di Gotham, eksistensi superhero Batman ditantang. Puzzle demi puzzle dari Riddler yang ia pecahkan membawanya pada rahasia kelam menyangkut kota, hingga warisan sebenarnya dari orangtuanya.

batman1d9b29573ce687ddd08151eb85c91af2ce5c563-16x9-x0y250w7684h4322
Teka-Teki Tikus

 

Kita gak bisa misahin Batman dari Gotham, karena kota tersebut akan selalu jadi bagian dari karakter Batman. Pak sutradara benar-benar mengerti akan hal ini. Maka kota Gotham tersebut juga ia hidupkan sebagai karakter. Bukan hanya lewat tampilan dan sudut-sudut pengambilan kamera – yang mana dilakukan dengan menakjubkan, seram rasanya berada di malam hari di tengah kota Gotham modern yang kelam dan sering hujan, tapi juga jadi bagian penting di dalam narasi. Rangkaian kasus yang ditangain Batman dirancang untuk membawa karakter ini menyelam ke dalam jaring-jaring politik gelap yang praktisnya menggerakkan kota Gotham. Dari mafia seperti Penguin (aku masih gak percaya kalo itu adalah Colin Farrel!!) hingga ke wali kota, dari klub rahasia hingga ke kantor polisi, korupsi itu udah kayak turun temurun di Gotham. Inilah yang bikin The Batman terasa begitu immersive. Dunianya benar-benar hidup. Kita merasakan setiap karakter yang tampil punya kepentingan berada di sana. Bukan sekadar seperti kepingan puzzle. Batman gak akan ngumpulin mereka di ruangan, dan memaparkan jawaban teka-teki dan menunjuk ke satu orang ‘kaulah pelakunya!’ Penjahat film ini bicara tentang membuka kedok kota, dan misteri pembunuhan dalam film ini sendirinya adalah ‘kedok’ untuk banyak lagi lapisan yang menyusun narasi film ini.

Enggak sekalipun aku merasa film ini kayak produk-yang-lain dari suatu jagat universe. The Batman terasa seperti cerita sendiri, bukan hanya di franchise Batman, tapi juga di cinematic universe keseluruhan. Inilah kekuatan sutradara yang gak kutemukan dalam film-film superhero modern yang kebanyakan kayak template. Tentu ada sejumlah callbacks ke film-film Batman terdahulu yang bisa ditemukan oleh superfans, tapi di film ini setiap aksi, setiap shot, terasa spesial dan ekslusif untuk cerita ini. Reeves benar-benar mengarahkan semuanya dengan visi. Dengan teramat sangat dramatis, pula. Dia bisa menguatkan kesan kelam dan brutal walaupun harus bergulat dengan rating 13+, yang berarti dia berhasil menggunakan ‘restriksi’ tersebut untuk keuntungan penceritaannya. Selalu ada cara efektif yang ia temukan untuk menyamarkan aksi-aksi sadis. Fokus blur, permainan kamera, atau bahkan membiarkannya terjadi off-screen (hampir semua adegan pembunuhan sadis oleh Riddler dilakukan di luar kamera), film menyerahkannya kepada imajinasi penonton. Dan memang lebih efektif dilakukan seperti begitu.

Off-screen bukan berarti film ini takut dan luput merekam emosi. Misalnya saat Batman kalap nonjokin wajah penjahat. Hasil gebukannya memang gak diliatin, tapi ‘prosesnya’ direkam dengan steady. Kamera diam aja memperlihatkan emosinya si Batman. Beberapa aksi berantem yang lebih fluid pun juga dilakukan tanpa goyang berlebihan. Batman dengan Catwoman (Zoe Kravitz level coolnessnya tinggi yaw), misalnya, aku justru lebih ngerasain ‘tensi’ di antara mereka saat lagi berantem ketimbang ngobrol. Adegan aksi paling dahsyat yang dipunya film ini adalah saat kejar-kejaran mobil bersama Penguin. Reeves juga sukses bikin Batmobile jadi kayak karakter sendiri – seperti makhluk buas yang mengintai dari balik kegelapan dan menerkam. Dan di akhir balap maut itu ada shot yang sangat keren dan memorable dari sudut pandang si Penguin. Ngomong-ngomong soal itu, film ini memang beberapa kali menggunakan pov shot dari berbagai karakter. Yang semuanya selalu berhasil menguatkan perspektif, karena didukung dengan visual maupun suara. Napas berdegup si Riddler, reaksi paniknya Penguin, ataupun hanya bunyi-bunyi derap kaki Batman dari dalam kegelapan pekat yang dilihat oleh kriminal yang ketakutan. Momen-momen itu menghiasi film sehingga mustahil ngantuk dan bosen menyaksikannya walau durasi memang panjang dan melelahkan.

Perspektif merupakan kata kunci di sini. Pandangan Batman mengenai memberantas kejahatan dibenturkan dengan pandangan maniak si Riddler terhadap keadilan jadi pusat yang menggerakkan cerita. Dan yah, tibalah saatnya menilai penampilan Robert Pattinson sebagai Batman dan Bruce Wayne. Kayaknya cuma dia yang meranin Batman dan Bruce sebagai orang yang sama – I mean, gak kayak Batman-Batman lain yang selalu ada beda sedikit dengan versi Bruce mereka. Maksudku di sini bukan Rob bermain jelek, kesamaan tersebut memang jadi konteks karakter Batman/Bruce yang ia perankan. Karena di titik ini Bruce gak pedulikan soal menyamarkan diri. Bruce di film ini justru pengen dirinya itu Batman ‘selamanya’. Dia lebih nyaman menjadi Bruce yang mengenakan topeng, dia merasa kuat dan lebih pegang kendali. Di film ini memang porsi Robert lebih banyak bermain sebagai Batman. Sedikit sekali saat dia jadi Bruce, dan di momen-momen sebagai Bruce, karakternya lebih banyak diam. Hanya menatap orang-orang. Malah ada satu adegan yang memperlihatkan Bruce dengan riasan mata yang luntur abis pake topeng, sehingga dia kayak sedih dan kuyu banget. Ekspresi Rob lebih kuat saat Bruce menjadi Batman. Segala mannerism – cara dia berjalan, dia memandang, hingga pandangan matanya berkata lebih banyak tentang Bruce sebagai Batman itu kepada kita.

batmandownload
Batman Rob punya sparkle… not in literal way

 

Revenge is an act of passion. Makanya aksi balas dendam bukanlah inti dari perjuangan kita menuntut keadilan. Harusnya inti dari perjuangan tersebut adalah perubahan apa yang kita timbulkan. Balas dendam gak akan mengubah banyak hal. Inilah yang harus dipelajari oleh Batman, yang masih terus galau dan dihantui keinginan membalaskan dendam orangtuanya kepada kriminal-kriminal di kota.

 

Aku benar-benar suka ama grounded film ini membuat ceritanya jadi semacam kasus misteri. Batman udah jadi kayak detektif, like he should be in the first place. Dia menggunakan kecerdasan, dan juga teamwork. Entah itu dengan Alfred, dengan Catwoman, ataupun dengan Gordon. Riddler yang over-the-topnya udah kuat merekat berkat penampilan Jim Carrey, di film ini juga jadi sangat grounded diperankan oleh Paul Dano. Riddler di sini jadi seperti serial killer yang mungkin bisa terjadi di dunia nyata kita. Seru aja ngeliat adegan-adegan memecahkan petunjuk dan teka-teki, meski Batman yang pintar itu agak jarang ngajak-ngajak. Dia sekali lihat bisa langsung tahu jawabannya. Tapi at least, dia ngeshare jawaban dan alasan kenapa itu jawabannya kepada kita. Dan mostly, teka-teki si Riddler adalah permainan kata yang lucu. Seperti soal ‘thumbnail drive’ ataupun ketika dia nanya ‘kalo seorang pembohong meninggal, dia ngapain?’ Jawabannya bikin aku ketawa, karena ‘He lie still’ berarti dua; dia tetap berbohong atau dia diam tak-bergerak. Lucu-lucu kecil seperti demikian jadi sangat diapresiasi karena The Batman ini memang gak pake dialog-dialog one-liner konyol. Satu lagi yang bikin cekikik ringan adalah Penguin yang karena tangan dan kakinya diikat, jadi berjalan kayak burung penguin beneran hihihi

Untuk mengembalikan fitrah film ini sebagai superhero (dan bukan film detektif) – juga karena pada titik itu karakter Batman yang semakin galau belum mendapat pembelajaran – maka setelah sekuen false resolution, Reeves menuliskan konflik menyelamatkan kota dari bencana besar ke dalam naskahnya. Batman harus menyelamatkan banyak penduduk, menyetop final wave of bad guy, untuk membuktikan dia bukan pribadi yang sama dengan dia di awal cerita. Bahwa pandangannya sudah sedikit berubah, dan bagaimana pengaruh perubahan tersebut kepada masyarakat; kepada kota. The Batman sah saja dikeluhkan kepanjangan, namun film ini masih tetap memperhatikan penulisan. Pembabakan dilakukan dengan clear di akhir. Dan perlu aku tekankan, sedikit lebih clear dibandingkan saat awal-awal babak kedua. Masalah yang tersisa adalah soal si Riddler yang rencananya semakin tidak grounded dan terlihat enggak lagi sesuai dengan bagaimana dia memperlakukan rencananya di awal.

 

 

Superhero detektif yang personal, sekaligus penuh aksi-aksi seru, dengan banyak karakter dan penampilan akting yang asik di baliknya. Kegelapan di sini bukan lagi soal cara bercerita, melainkan jadi karakter tersendiri. Kekuatan film ini memang pada karakter tersebut. Mampu menghidupkan lewat perspektif maupun visual. Bahkan suara. Aku gak memperhatikan musik, tapi desain suara film ini yang memang gak banyak dialog melainkan lebih detail menghidupkan suasana lewat suara, sungguhlah bikin kita terbawa suasana. Teka-tekinya fun. Jembatan antara cerita detektif dengan cerita superheronya memang kurang mulus, tapi banyaknya pencapaian storytelling dan teknis lain yang bisa dinikmati could easily outweighed kekurangan kecil itu. Aku yakin the only way film ini flop adalah kalo orang-orang pengen banget ngeliat Robert Pattinson memenuhi janjinya dan main film xxx.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE BATMAN.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana film superhero yang ideal menurutmu?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DEATH ON THE NILE Review

“Loving someone means you will do anything for them”

 

Istri raja-raja Fir’aun di Mesir Kuno dikubur hidup-hidup di dalam piramid bersama jasad suami mereka. Pastilah mereka berteriak ketakutan di dalam sana. Namun hal paling seram dari itu adalah beberapa dari istri tersebut ada yang rela melakukan hal tersebut. Demi cintanya kepada suami. Salah satu karakter dalam sekuel film detektif dari buku Agatha Christie, Death on the Nile, menceritakan legenda sejarah tersebut Hercule Poirot. Detektif yang mendengarkan dengan alis mengernyit di atas kumis spektakuler miliknya. Kasus yang ia tangani di atas kapal mewah di sungai Nil ternyata membawa tantangan tersendiri, karena kasus tersebut paralel dengan istri-istri Fir’aun. Kasus yang berhubungan dengan hal yang tidak dimengerti oleh Poirot. Cinta.

Sosok detektif ini memang dikenal sebagai pribadi yang dingin, tajam-logika, suka menyombongkan kepintaran dan kemampuan analisisnya. “Aku gak pernah salah” katanya mantap dalam salah satu adegan. Kita semua sudah melihat sisi unggul detektif tersebut di film pertamanya, Murder on the Orient Express (2017). Pada film kedua ini, Kenneth Branagh, yang jadi sutradara sekaligus pemeran Hercule Poirot, berusaha menggali sisi yang lebih manusiawi dari karakter. Poirot sekarang jadi punya layer. Perasaan kesepiannya dieksplorasi. Masa lalunya digali. Adegan opening film ini bukan hanya berfungsi untuk ‘lucu-lucuan’ soal origin kumisnya yang ikonik. Melainkan juga ngeset kenapa Poirot menjadi seperti sekarang. Poirot diceritakan punya relationship yang kandas, sehingga dia tidak bisa mengerti ketika menjumpai perbuatan yang seperti rela melakukan apapun demi cinta. Perbuatan yang menjadi kunci kasus pembunuhan yang harus ia pecahkan.

Mengenai kasus pembunuhan itupun, kini dilakukan oleh film dengan lebih banyak pembangunan. Durasi dua jam film ini enggak habis di misteri pemecahan kasus saja. Film mengambil waktu untuk mendevelop setting dan latar di belakang kasus tersebut. Diceritakan saat Poirot menikmati liburan di Mesir, dia bertemu sahabatnya dari film pertama, Bouc. Bouc yang diundang ke pesta perayaan pernikahan temannya yang ‘horang kayah’ mengajak Poirot serta. Ternyata Poirot pernah bertemu dengan dua mempelai beberapa minggu sebelumnya. Dan dalam pertemuan itu Poirot tahu bahwa Simon, si pengantin cowok seharusnya bertunangan dengan perempuan lain. Di situlah letak awal masalahnya. Mantan pacar Simon ternyata beneran ngekor mereka. Menyebabkan istri Simon, Linnet, terusik sehingga meminta sang detektif untuk ikut ke acara mereka di kapal yang berlayar di sungai Nil. Linnet merasa gak aman, karena selain mantan pacar suaminya, Linnet merasa semua tamu pesta yang adalah kerabat dan sahabatnya itu mengincar harta dirinya. Pembunuhan itu baru terjadi di midpoint cerita, sekitar satu jam setelah opening. Poirot harus memeriksa satu persatu hubungan para karakter, harus menganalisa hal yang bertentangan dengan pengalaman cintanya sendiri yang minim. Intensitas makin tinggi ketika jumlah korban terus bertambah. Death on the Nile bukan saja soal kasus, tapi juga soal pembelajaran bagi detektif jagoan ini.

nilegal-gadot-starrer-death-on-the-nile-banned-in-kuwait-001-1068x561
Ooo dari film ini ternyata muasal meme ‘fill the nile with champagne’ si Gal Gadot

 

Buatku, Death on the Nile jadi lebih fun. Poirot yang sekarang ini tidak lagi kubandingkan dengan Poirot versi film jadul, karena dengan tambahan layer alias galian, Branagh seperti sudah ‘sah’ menciptakan Poirot versi dirinya sendiri. Poirot Branagh punya sisi dramatis yang menyenangkan untuk disimak, entah itu keangkuhannya sebagai detektif paling hebat atau kevulnerable-an sebagai manusia yang paling kurang pengalaman dalam hal relationship. Poirot di film ini selain penuh ego, juga kadang terlihat canggung. Dia bahkan enggak senyaman itu berada di atas kapal. Panggung tertutup kali ini menjadi salah satu ‘kelemahan’ bagi Poirot yang menyebut kapal bukan salah satu cara bepergian favoritnya. Dan itu semua membuat karakternya manusiawi. Film tidak lagi seperti mendewakan Poirot. Dua belas karakter suspect pun tak lagi seperti karakter latar yang ada hanya untuk ngasih atau sebagai petunjuk misteri. Mereka kini punya backstory dan relationship, yang semuanya harus ditelusuri oleh Poirot. Bahkan sebelum kasus pembunuhan terjadi. 

Sebanyak itu karakter, eksposisi memang tak terhindarkan. Sekuen pengenalan karakter tetap penuh dialog, kita dilihatin satu orang, yang apa-apa tentangnya dijelaskan lewat dialog yang ngasih tahu siapa mereka ke Poirot. Kalikan itu hingga dua belas. Film ini bisa sangat terbebani jika hanya bergantung kepada eksposisi tersebut. Untungnya, film ini sedikit lebih luwes. Melihat para karakter dari mata elang Poirot, berarti kita juga melihat mereka lewat sesuatu yang tersirat. Yang hanya ditunjukkan oleh kamera. Kebiasaan mereka, apa yang mereka bawa, inilah cara film membuat kita ikut curiga dan berpikir bersama Poirot. Sehingga ngikutin cerita yang cukup padat ini jadi selalu menyenangkan. Adegan interogasi, misalnya, di film ini diperlihatkan Poirot menginterogasi masing-masing tersangka pembunuhan dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang langsung dikonfrontasi, ada yang diajak duduk makan kue, ada yang ditanyai kayak interogasi resmi polisi. Dari adegan interogasi saja, film sudah membangun karakter Poirot dan karakter yang sedang ditanya sekaligus. Menunjukkan kepahaman Poirot dalam dealing with karakter mereka, serta membuka sedikit lebih banyak lagi tentang karakter yang lain.

Karena lebih berlayer itu, maka penampilan akting para pemain turut serta jadi lebih asyik untuk diikuti. Film ngasih role yang tepat kepada aktor, dan mereka bermain untuk efek yang maksimal. Gal Gadot bermain sebagai karakter penuh kharisma seperti Cleopatra, tapi dia di sini gak dibikin sesempurna Wonder Woman. Dia gak cuma melakukan hal yang biasa Gal Gadot lakukan. Film ini literally ngambil waktu satu jam untuk bikin kita naik-turun mengamati para karakter itu sikap mereka seperti apa. Menanamkan relationship yang harus disibak oleh Poirot. Untuk melakukan itu, setiap aktor harus bermain sama berlayernya. Favoritku di antara semua adalah karakter Jacqueline yang diperankan oleh Emma Mackey (aku gak akan bohong – aku sempat ngira dia adalah Margot Robbie lol) Mantan tunangan Simon yang terus muncul gangguin orang pesta. Banyak banget percikan emosi datang dari karakter ini. Poirot aja bahkan bisa dibilang banyak belajar dari dia.

Mantan mau-maunya datang karena diundang. Mantan terus datang tanpa diundang. Siapa pun yang pernah jatuh cinta pasti setuju manusia bisa jadi senekat dan segakmikirin diri sendiri itu kalo udah menyangkut perasaan cinta sama seseorang. Tentunya itu seperti yang ditunjukkan oleh film ini, dapat menjadi hal yang positif maupun negatif. Poirot pengen kekasihnya mau stay demi dirinya apa adanya, tapi di sisi lain dia juga melihat ada orang yang ngotot stay dan itu tidak berujung kepada hal yang baik. Cinta memang pengorbanan dan kompromi, tapi seharusnya ada batas untuk itu semua.

nileFilmReview-DeathontheNile-WBOX-021122-01
Aku cinta makanan, but small food scares me

 

Tapi bagai pedang bermata dua, padatnya cerita dan kasus yang gak langsung muncul itu dapat juga dianggap oleh penonton sebagai cerita film yang lambat. The worst casenya film ini dianggap membosankan di paruh awal karena penonton pengen langsung ke kasus, dan mereka gak benar-benar peduli sama drama karakter. Afterall, motif cinta memang sudah terlalu sering digunakan. Untuk kritikan soal ini, aku setuju pada beberapa bagian. Cerita latar atau cerita personal karakter memang perlu dikembangkan tapi mungkin tidak sepanjang itu. Mestinya bisa lebih diperketat lagi. Supaya enggak kemana-mana. Kayak, opening yang nunjukin Poirot muda di medan perang. Aku tidak merasa harus banget cerita awal itu di medan perang. Tema konsekuensi tak-terduga, tema kekasih yang pergi karena tidak menerima diri apa adanya, bisa saja diceritakan dengan setting yang lain. Bukan apa-apa, setting perang di awal malah seolah misleading, karena film ini nantinya kan gak bakal balik ke persoalan perang. Jadi enggak harus sedetil itu di awal. Cukup ngeliatin sesuatu terjadi pada fisik Poirot tanpa menimbulkan dua seting/tone yang berbeda di dalam cerita. 

Dan ngomong-ngomong soal tone, aku suka sekuel ini mempertahankan tone ringan, quirky, dengan sprinkle-sprinkle komedi. Visualnya juga dibuat tetap megah. Film kedua ini menampilkan pemandangan Mesir yang menakjubkan, kebanyakan digunakan sebagai transisi adegan. Lingkungan cerita menjadi hidup. Kita gak pernah lupa ini cerita ada di mana. Kepentingan kenapa harus Mesir itu juga diestablish lewat keparalelan yang kusebut di awal review. Cuma, ada beberapa kali film ini bablas. Menampilkan hal yang tidak perlu terkait, katakanlah, ‘stereotipe’ Mesir. Yang tidak benar-benar ngaruh ke cerita. Kayak misalnya, adegan Gal Gadot kena jumpscare sama ular. Easily adegan tersebut bisa dipotong. Atau paling tidak, waktunya digunakan untuk melihat lebih banyak ke dalam Poirot. Karena di film ini masih ada beberapa hal yang dilakukan oleh Poirot yang kita gak tahu. Yang berarti film masih melepas-pasang kita kepada si tokoh utama.

 

 

 

Dibandingkan film pertamanya, aku lebih suka sekuel ini. Menurutku ini lebih fun, lebih banyak bermain dengan karakter. Tidak hanya menganggap mereka sebagai kepingan puzzle dalam misteri whodunit. Malahan, film ini memang baru menjadi whodunit di pertengahan akhir. Awalnya padat oleh backstory dan drama karakter. Yang diniatkan untuk menarik kita semakin masuk. Aku suka perkembangan karakter Poirot, dan kurasa Branagh sudah sah mengembangkan karakter ini sebagai visinya, sebagai versinya. Aku certainly gak sabar pengen lihat petualangan Poirot berikutnya. Namun aku sadar yang biasanya aku sebut fun itu boring untuk sebagian penonton. Karena fun di sini adalah banyak obrolan karakter. Maka film ini masih terasa bisa diperbaiki sedikit lagi. Masih banyak yang bisa ‘ditrim’ untuk menjadi lebih efektif. Setidaknya untuk membuat ceritanya lebih cepat menjelma kepada yang menjadi alasan penonton membeli tiketnya sedari awal.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for DEATH ON THE NILE

 

 

 

That’s all we have for now

Seberapa jauh kalian rela bertindak demi sesuatu yang dicinta? Di mana kalian meletakkan garis antara cinta dengan obsesi tak-sehat?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

HOUSE OF GUCCI Review

“Marriage is never meant to be a power struggle”

 

Lewat House of Gucci, Ridley Scott mengajak kita mengunjungi kembali peristiwa kriminal yang pernah menggemparkan dunia fashion di tahun 1995. Pembunuhan Maurizio Gucci – yang saat itu adalah kepala dari rumah fashion Gucci – oleh istrinya sendiri. Technically, aku baru saja ngasih spoiler ending film, tapi sebagaimana Scott yang membuat film berdasarkan kasus yang hasil akhirnya sudah diketahui semua orang, kita harusnya gak peduli. House of Gucci bukanlah cerita yang ditonton untuk mengetahui akhirnya apa. Scott membuat ini untuk kita menyaksikan drama power struggle dalam sebuah pernikahan, dan dalam sebuah keluarga besar. Menyaksikan relationship dan konflik yang menyebabkan peristiwa kriminal tersebut bisa sampai terjadi. House of Gucci harusnya adalah drama ketamakan manusia yang sensasional. Namun antara keglamoran dunia fashion, intrik keluarga italia, dan karakter penghuni cerita yang ambisius dan eksentrik, film ini tampil kurang efektif dalam menyuguhkan cerita tersebut.

guccimerlin_198002253_589f1b9f-9b6b-4be7-963f-21eb8264c413-superJumbo
Harta, tahta, wanita, dan fashionista

 

Bisnis bareng keluarga itu susah. Jangankan bisnis. Barang dipinjam ama keluarga aja, kita segan memintanya kembali. Disetel untuk menjadi cerita sepanjang dua jam setengah, Ridley Scott memang meluangkan waktu untuk mengembangkan drama dan relationship para karakter di balik bisnis keluarga Gucci. Bisnis fashion item dengan drama keluarga. Scott memperlihatkan awal semuanya. Memperlihatkan bagaimana Maurizio Gucci bertemu pertama kali dengan perempuan yang soon-to-be-his wife, Patrizia. Cinta yang mekar tersebut tidak direstui oleh ayah Maurizio. Yang membuat Maruizio rela meninggalkan semua privilege dan kekayaannya, demi Patrizia. Tapi begitu mereka menikah, perempuan dari ‘rakyat jelata’ yang ia nikahi tersebut sadar betapa besar nama belakang yang kini melekat juga sebagai namanya. By then, Gucci yang dibangun sebagai bisnis keluarga sudah jadi brand fashion ternama. Patrizia lantas ‘menyemangati’ Maurizio untuk ikut berkecimpung kembali ke bisnis itu. Cerita kemudian mulai jadi ‘seram’ karena begitu karakter-karakter tersebut mencicipi hasil usaha, mereka pengen nambah lagi dan lagi. Maurizio dan Patrizia bahkan pengen mengangkangi bisnis tersebut sendiri saja, mendepak keluarga yang lain – yang telah membantu mereka. Dan ya, ini tidak berakhir baik bagi mereka berdua beserta seluruh keluarga.

Yang paling kita nikmati pada film ini adalah alurnya. Konflik yang bertumbuh semakin pelik, karena perlahan kita mulai melihat sisi kelam karakter, dan mereka memilih untuk terjun ke dalamnya. House of Gucci seperti terbagi dalam episode cerita yang jelas. Berawal dari romansa, ke perjuangan memajukan bisnis, kemudian berkembang lagi menjadi intrik dan konsekuensi yang lebih kelam. Taring penyutradaraan Scott kelihatan di sini. Dari intensitas cerita yang perlahan semakin membesar. Semakin serius. Kita tahu apa yang bakal terjadi, dan Scott memanfaatkan pengetahuan kita tersebut – katakanlah, spoiler ending tadi – untuk menghasilkan dramatic irony yang kuat. Film ini dimulai dengan kisah roman, supaya kita bisa tumbuh peduli sama karakter Maurizio dan Patrizia. Lalu tantangan bagi film ini adalah membuat dua karakter tersebut punya sisi kelam, mereka melakukan pilihan yang bakal bertentangan dengan moral kita, tapi dilakukan tanpa membuat kita otomatis meninggalkan mereka. Tantangan tersebut berhasil dijawab dengan cukup sukses oleh film.

Maurizio dan Patrizia legit kayak pasangan beneran, dan saat waktunya tiba mereka completely kelihatan sebagai orang egois. Film berhasil menunjukkan kepada kita pengaruh power kepada manusia. Kuasa bahkan bisa menjatuhkan cinta dari singgasana. Supaya elemen ini tidak membuat film serta merta menjadi melodramatis saking kelamnya, Scott berusaha menghidupkan sisi glamor dari bisnis fashion Gucci itu sendiri. Perkara tetek bengek bisnisnya, film sebenarnya cukup berhasil. Cerita tidak jadi membosankan ketika yang kita lihat di layar adalah meeting dan negosiasi. Kita juga gak perlu ngerti fashion atau akrab ama produk Gucci untuk bisa paham. Film menyediakan latar belakang yang cukup lewat hubungan keluarga Maurizio, lewat karakter-karakter unik itu semua. Scott memang melakukan sedikit penyederhanaan. Keluarga besar Gucci tidak semuanya disorot, malah hanya ayah, paman, dan sepupu Maurizio saja yang diadakan di dalam narasi. Scott ingin memastikan ceritanya fokus. Namun masalah yang dipunya film ini bukan dari penyederhanaan tersebut, melainkan dari penyeimbangan yang dilakukan oleh film setelah usaha-usaha memadatkan narasi.

Seperti misalnya pada karakter. Adam Driver memainkan Maurizio dengan tone drama yang simpatik dan serius. Dia inilah karakter yang bakal paling ekstrim menunjukkan perubahan, tapi juga dia yang bakal dapat konsekuensi paling naas. Maka dia jugalah karakter yang harus dibentuk sebagai loveable karakter; kita harus benar-benar peduli padanya. Jika film ini bekerja pada rancangan yang sama dengan rancangan untuk karakter Maurizio seorang, maka film ini bakal jadi drama yang serius. Yang enggak benar-benar sesuai dengan dunia glamor atau keeksentrikan lapangan bermainnya. Dunia desainer dan bisnis. Karakter keluarga Gucci yang lainnya semuanya udah kayak over-the-top. Ayah Maurizio diperankan oleh Jeremy Irons merupakan mantan aktor film yang kini tegas dan idealis. Pamannya, Aldo diperankan dengan looks so easy oleh Al Pacino, karakternya lebih nyantai. Sepupunya, Paolo, udah kayak komedi dibawakan oleh Jared Leto dengan aksen dan sikap yang benar-benar tak biasa. Mereka semua itu udah kayak karikatur jika dibandingkan dengan karakter Maurizio.

guccithequint_2021-07_734e0c34-124a-4cce-8b2d-0698d21dbcff_hh
Aku mengucek mataku berulang kali karena aku gak bisa lihat Jared Leto di adegan ini!

 

Karakter Maurizio butuh jembatan untuk ke mereka, butuh penghubung tone dramatis dengan yang lebih nyentrik. Karakter Patrizia-lah jembatan tersebut. Lady Gaga memainkan karakter yang dibikin romantis tapi juga penuh ambisi. Dan karenanya, Gaga seperti yang paling kena getahnya. Gaga memainkan Patrizia dengan cemerlang, jangan salah. Tapi cemerlang dalam konteks dan fungsi sebagai jembatan di sini berarti Gaga memainkan karakter yang paling gak konsisten pada tone. Pada pembawaan. Dia ada di antara over-the-top dengan drama yang serius. Beberapa momen karakternya (misalnya saat bersama ‘penasihat’nya yang seorang peramal) tampak lucu dan mengundang tawa, walaupun mereka sedang berkomplot untuk suatu tindak kejahatan. Film ini hebat menampilkan fashion dan kostum-kostum. Tapi begitu di Gaga, kelihatannya setengah-setengah. Aku melihat Gaga jauh lebih over-the-top dengan kostum-kostum pada serial American Horror Story: Hotel ketimbang pada film ini.

Padahal Patrizia yang paling kompleks. Dia tokoh utama cerita. Kita bisa melihatnya sebagai banyak. Perempuan yang masuk ke dalam keluarga bisnis patriarki. Jelata yang masuk ke dalam sebuah ‘dinasti’. Orang biasa yang masuk ke dalam lingkaran para pedagang dan seniman. Hampir setiap kesempatan Patrizia diingatkan bahwa dia bukan siapa-siapa. Patrizia ingin benar-benar mengenakan nama Gucci itu sebagai lencana. Bukan sebatas itu, perempuan ini pengen buktiin dia lebih berharga untuk nama dan bisnis tersebut. Namun naskah tidak seketat itu mengikutinya. Pada pertengahan kita sering dilepaskan darinya. Kita juga jarang sekali benar-benar dibuat memasuki pikirannya; ketakutannya, ambisinya, cintanya. Kita baru masuk mendalam lagi ke Patrizia menjelang akhir, dan itu jatohnya malah datar. Kita telah melewati perpindahan perspektif. Ditambah pula dengan tone karakter ini yang di tengah-tengah, susah untuk dengan segera konek kembali kepadanya.

Alasan sebenarnya Patrizia membunuh Maurizio adalah karena dia merasa dikucilkan dari power atau kekuasaan Gucci yang berusaha dia rebut demi suami in the first place. Walau Patrizia memang cinta sama Maurizio, tapi kecemburuannya bukan semata sama suaminya yang dekat ama cewek lain. It is a power struggle. Pada akhirnya kedua karakter ini gagal karena mereka tidak lagi melihat pernikahan sebagai penyatuan kekuatan. 

 

Bagian paling penting yang tidak diperlihatkan detil oleh film adalah momen-momen penangkapan Patrizia. Mungkin karena sudah kepanjangan atau karena bagian tersebut udah tercover oleh berita tentang kasusnya di dunia nyata. Tapi, sebagai karakter utama, sikapnya yang menolak dipanggil dengan nama-belakang asli; hingga detik terakhir Patrizia bersikekeuh untuk dipanggil sebagai Nyonya Gucci, adalah sikap yang penting untuk narasi. Film sebenarnya perlu menekankan adegan tersebut, memberikan lebih banyak konteks, ketimbang memperlihatkan sekilas sehingga malah terkesan kayak gaya-gayaan. Ending film ini mestinya powerful sekali, tapi efek yang dihasilkan tidak maksimal karena naskah yang tak seketat itu ada pada Patrizia. Ujungnya, ya keputusan menjadikan karakter utama sebagai ‘jembatan’ jadi terlihat seperti keputusan yang aneh. Tidak efektif untuk penceritaan.

 

 

 

Cerita yang menyuguhkan begitu banyak ini, baik itu konflik maupun karakter, jadinya kayak sajian prasmanan yang gak semuanya bisa kita nikmati karena tidak benar-benar sejalan atau melengkapi antara satu dengan yang lain. Pada film ini yang tidak sejalan itu adalah tone antara dramatis, kelam, dan kemunculan elemen over-the-top sebagai panggung dunia cerita. Karakter-karakter yang dibawakan seperti parodi aksen berbenturan dengan elemen dramatis, dan sebagai penghubung keduanya adalah karakter utama. Si karakter jadi seperti tak konsisten. Ditambah pula dengan kita tidak selalu berada bersama perspektifnya. Kembali ke sajian; film ini adalah sajian yang mahal, exciting, excuisite, tapi menunya perlu diseimbangkan ulang.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for HOUSE OF GUCCI

 

 

 

That’s all we have for now

Film ini bicara tentang bisnis keluarga yang gagal, dalam artian tidak menyatukan keluarga. Justru Gucci kini berhasil tanpa drama keluarga Gucci di baliknya. Bagaimana pendapat kalian tentang seteru keluarga dalam bisnis ini? Mengapa kayaknya susah sekali berbisnis dengan keluarga?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

NIGHTMARE ALLEY Review

“Man is not what he thinks he is, he is what he hides.”

 

Dongeng. Film-film Guillermo del Toro, mau itu horor, romans, ataupun sci-fi, selalu terasa seperti fantasi ajaib yang penuh makna. Bukan karena filmnya sukses menghantarkan tidur. Film del Toro terasa seperti lantunan dongeng karena begitu crafty-nya dia bercerita. Dari cara dia menampilkan visual, membangun atmosfer, hingga ke desain dan karakterisasi yang seperti ditarik dari ruang imajinasi terdalam benak manusia. Film Guillermo del Toro adalah dongeng yang justru rugi jika kita sampai tertidur menontonnya. Nightmare Alley yang ia adaptasi dari novel 1947an pun hadir seperti demikian. Dengan setting di dunia sirkus dan karnival yang penuh muslihat, del Toro berkisah tentang pria yang terbuai oleh tipudaya sendiri. Di balik thriller-noir yang mencekam dan bikin penasaran, ini sesungguhnya adalah dongeng tragis manusia yang mendambakan seluruh isi dunia, tapi malang, ia menemukan dirinya terperosok ke dalam gang suram tanpa jalan keluar.

Pertama kali berjumpa dengannya, kita tidak diberitahu apa-apa tentang pria ini sama sekali. Film tidak memberikannya dialog. Kita tidak mendengar orang memanggil atau mengucapkan namanya. Kita hanya melihat dirinya menyeret mayat ke dalam lubang di sebuah rumah, lalu membakar rumah tersebut. Pria itu lantas pergi meninggalkan semuanya. Tidak banyak film yang bisa ‘lolos’ dengan menampilkan sedikit sekali identitas sang protagonis cerita. Biasanya, film dituntut harus segera mengestablish hal-hal penting berkenaan dengan protagonis; siapa dia, keinginannya, namanya – supaya penonton bisa langsung menempelkan diri untuk mengikuti cerita/journey si karakter. Di sinilah letak bukti bahwa Guillermo del Toro adalah pendongeng sejati. Menit-menit krusial miliknya, diisi oleh karakter ‘misterius’, tapi lewat penceritaan visual yang mengalun tegas dalam balutan gambar-gambar malam di pinggiran yang menakjubkan, bibit-bibit tentang karakter ini telah disemai. Dan dengan melihat itu semuanya, kita ternyata bisa mengerti. This poor man has done something terrible, bahwa dia desperate meninggalkan masa lalunya, dan dia butuh duit. Sekarang, kita telah dibuat mau mengikutinya, karena kita ingin mendengar dari si karakter sendiri; siapa dirinya dan apa yang telah ia lakukan.

See, bukan saja film ini berhasil melandaskan karakter utama tanpa banyak berkata-kata. Film ini juga berhasil melandaskan konteks gagasannya. Bagaimana seseorang mengatakan siapa dirinya. Bagaimana seseorang mempersembahkan dirinya kepada orang lain. Bagaimana seseorang berpikir siapa sih dirinya. Setelah itu terlandaskan, barulah film menyebut siapa nama si Pria. Stan. But honestly, nama tidak akan jadi soal. Karena hanya nama baik yang akan diingat, dan Stan bukanlah pria yang benar-benar baik.

Perjalanannya membuat Stan sampai di tenda-tenda karnaval. Gagah dan masih muda, Stan mendapat pekerjaan di sana. Dunia belakang panggung karnaval tersebut jadi panggung cerita yang menarik. Khususnya bagi Stan. Karena karnaval bukanlah tempat paling jujur di dunia. Segala macam bentuk tipuan, mulai dari trik alat, trik merayu pengunjung, trik membualkan cerita, hingga trik sulap berkumpul di sana. Secara khusus, Stan tertarik sama pertunjukan mentalis. Maka belajarlah dia. Setelah merasa cukup menimba ilmu, Stan bersama perempuan yang dicintainya, pergi meninggalkan karnaval. Membuka pertunjukan mentalis sendiri, di tempat-tempat yang jauh lebih bonafid. Sampai akhirnya trik Stan ditantang oleh seorang psikiater wanita. Dan Stan, yang terus bertekad untuk menunjukkan siapa dirinya, mulai melanggar aturan yang bahkan ditaati oleh penipu-penipu di bisnis karnaval. Aturan untuk tidak bikin pertunjukan yang melibatkan hantu-hantuan.

alleynightmare-alley-guillermo-del-toro-trailer
Bukan horor, tapi bisa lebih seram daripada American Horror Story Freak Show

 

Magic sesungguhnya justru adalah penceritaan film ini. Del Toro berhasil mengangkat keajaiban dari sudut-sudut karnaval yang gelap dan kumuh. Kameranya berhasil membuat orang bongkar tenda aja tampak jadi sebuah pengalaman sinematik yang legit. Beberapa kali sutradara yang paling populer lewat kiprah horornya ini seperti menggoda kita dengan hal-hal berbau horor. Ada adegan pencarian seseorang ‘freak’ yang kabur masuk ke dalam wahana rumah hantu. Ada penampakan makhluk bayi yang diawetkan, yang katakanlah, kayak Dajjal dengan mata besar di dahi. Del Toro memainkan tone seram ke dalam simbol-simbol cerita yang lebih humanis, hanya untuk membuat kita menyadari bahwa tidak ada yang lebih horor daripada manusia yang terjerumus ke dalam downward spiral, seperti yang sudah kita antisipasi bakal terjadi kepada Stan.

Does Stan think he’s better than the place, than anyone else? He sure thinks so. Interaksi Stan dengan komunitas karnaval memang tampak berjarak. Film membuatnya kontras dengan interaksi dalam komunitas itu sendiri. Para pelakunya menghormati pekerjaan mereka, menganggap keluarga satu sama lain. Tak ragu berbagi ilmu. Jika kalian belum puas melihat akting Willem Dafoe di Spider-Man kemaren, well, di Nightmare Alley dia menyuguhkan permainan karakter yang enggak kurang dari luar biasa. In fact, film ini penuh oleh banyak lagi penampilan akting level Oscar yang semuanya tampil prima. Membawakan cerita yang telah diarahkan, dengan sangat baik. Jika simpati kita buat Stan sukar tumbuh, karakter-karakter pendukung inilah yang akan memastikan kita merasakan sesuatu. Ada cukup banyak drama di sini. Kita melihat mereka dari sudut pandang Stan. Selalu dari sudut pandang Stan. Dia memandang mereka seperti murid yang haus ilmu. Paling banter, seperti anak memandang ayah. Relationship yang tampaknya jadi sumber konflik – sumber masalah dalam kehidupan Stan.

Banyak sebenarnya yang bisa dibicarakan mengenai drama dan karakter-karakter di porsi karnaval. Aku certainly lebih suka ketika cerita masih bertempat di sini. Nada tragis memang konstan terasa sepanjang durasi film, tapi di bagian awal ini – dengan begitu banyak karakter menarik, setting yang juga unik – film terasa lebih hidup. Dan untuk sesaat kita pun jadi lupa sama masalah yang merayap di balik karakter Stan. Kita akan ikut tertarik melihat dia bertumbuh jadi lebih akrab, lebih jago trik, dan ultimately katakanlah menyelamatkan karnaval dari razia. Porsi kedua cerita adalah tentang Stan yang sudah mandiri sebagai mentalist di hotel mewah dengan seteru – lalu kerja samanya – dengan karakter psikiater yang diperankan begitu intimidating oleh Cate Blanchett. Fun sebenarnya melihat Stan menebak orang-orang, udah kayak detektif. Tapi Stan juga mulai kelihatan belang yang sesungguhnya. Cerita pun menjadi lebih gelap. Miris semakin tak terbendung melihat klien-klien Stan termakan oleh ‘trik mentalist hantu’, bahwa mereka ditipu pakai harapan mereka sendiri untuk berkomunikasi dengan terkasih yang sudah tiada. Pokoknya ada deh satu adegan pasangan tua yang bakal bikin hati kita hancur saking kasiannya.

alleyNightmare-Alley-Traile
Kacaunya, orang jaman sekarang tetap masih ada aja yang percaya padahal sejak jaman baheula komunikasi sama arwah itu telah terbukti cuma scam nyari cuan

 

Permasalahan sebenarnya tetap sama-sama menarik. Namun pada paruh kedua film ini (at least sampai sebelum babak ketiganya muncul) pace lambat dan durasi panjang film ini makin kentara terasa adalah karena ada romansa juga yang sepertinya mau diceritakan. Ini yang mengalihkan perhatian kita. Stan dan Molly (diperankan dengan manis oleh Rooney Mara) hampir seperti mendadak jatuh cinta, dan ketika kita peduli sama hubungan mereka, relationship mereka itu tidak benar-benar dicuatkan seutuhnya. Molly tidak pernah digali. Bagaimana perasaannya yang dijanjikan seisi dunia padahal nyatanya cuma jadi asisten sulap mentalist, bagaimana Stan mulai bikin show yang dia tahu itu ‘salah’. Karakter Molly dalam cerita praktisnya memang cuma jadi ‘asisten’ bagi karakter Stan, yang tidak pernah benar-benar melihat cinta sebagai tujuan utama. Di garapan romansa inilah, kita dan Stan – yang memang gak pernah diniatkan untuk benar-benar segarispandang – menjadi total berjarak. Sehingga kita terlepas dari cerita. Di titik ini, kita hanya ikut cerita, karena kita lebih peduli pada Molly, sementara film tetap pada perspektif Stan. Film melakukan ini bukan tanpa alasan. Film ingin kita untuk benar-benar melihat bagaimana tragisnya ‘faustian bargain’ itu bisa terjadi kepada manusia. Karena Stan sesungguhnya adalah contoh klasik seseorang yang menukarkan value kemanusiaannya demi glory, uang, kuasa – yang selama ini tidak pernah ia dapatkan, karena ia merasa selalu menjadi subordinat dari ayah yang ia benci.

Sebagai orang yang merasa dirinya lebih baik dari semua penipu. Yang merasa dia lebih baik daripada ayahnya. Yang merasa dirinya berhak mendapat seisi dunia sehingga dia tidak masalah untuk menjadi orang jahat demi hak tersebut. Yang telah terbutakan oleh tipuannya sendiri, Bradley Cooper telah memberikan penampilan akting terbaik dalam karirnya sejauh ini kepada kita. Stan ini menurutku adalah salah satu karakter yang memang harus didukung oleh fisik pemainnya. Cooper punya fisik dan kharisma yang benar-benar kontras dengan sekecil apa Stan deep inside, dan Cooper sadar ini. Dia tahu bagaimana psikologis karakternya, dengan trauma-trauma dan masa lalu kelam itu, bekerja. Dan dia membuat karakter ini benar-benar seperti ekslusif untuk dia mainkan. Dedikasi dan kepahaman Cooper memainkan Stan dapat kita lihat di adegan terakhir film ini. Ending Nightmare Alley adalah salah satu ending terkuat, yang benar-benar poetic – circle back ke kejadian di awal (bukan hanya ke certain dialog tentang cara mencari orang untuk pertunjukan tertentu, tapi bahkan hingga ke pertama kali karakter ini membuka suara) Dan di situ akting Cooper benar-benar juara. Begitu banyak emosi ditampilkannya.

Salah satu dialog kunci film ini mengatakan bahwa manusia itu begitu desperate untuk dilihat orang. Itulah yang jadi tema dongeng tragis ini. Jadi, manusia berusaha menjadi yang terbaik. Tapi sering juga kita merasa diri kita lebih baik dari yang sebenarnya. Kita bablas. Alih-alih berjuang, kita menutupi kekurangan. Kita menipu diri sendiri. Film ini adalah dongeng tragis apa yang terjadi ketika manusia terhanyut dalam menipu dirinya sendiri.

 

 

Aku akan mendukung kalo film ini berlaga di Oscar. Karena film ini begitu tragis, endingnya adalah salah satu yang terbaik, dan aku ingin melihat dia berkompetisi dengan The Lost Daughter (2022), yang juga punya ending poetic nan tragis – and it’s like versi anak cewek dari cerita tentang anak cowok ini. Dan tentu saja Bradley Cooper juga harusnya dilirik berkat penampilan yang gak kalah tragisnya dengan Olivia Colman. Tentu, ini bukan terbaik dari Guillermo, design ceritanya agak sedikit jadi bumerang di pertengahan, tapi for sure design produksi film ini adalah kelas juara. Ada begitu banyak yang bisa dinikmati sepanjang durasi. Mulai dari karakter, simbol-simbol, belakang panggung bisnis karnaval, mentalist lawan ilmu psikiater, serta visual dan hasil tangkapan kameranya itu sendiri. Penceritaannya juga terasa khas.  Sehingga aku kasihan sama orang yang tertidur dan walk out pas nonton ini. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NIGHTMARE ALLEY

 

 

 

That’s all we have for now

Salah satu simbol yang berulang kali muncul di film ini adalah mata/gambar mata. Apa menurut kalian makna dari mata di dalam gagasan cerita ini?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

PENYALIN CAHAYA Review

“If he cannot silence her absolutely, he tries to make sure no one listens”

 

 

As of right now, people are just projecting their hate onto this movie. Kebencian yang memang layak sekali untuk dikoarkan karena bersumber dari dugaan kekerasan seksual yang ditutupi, yang ironisnya jadi tema dalam cerita. Sehingga orang-orang sekarang either mengasihani korban, atau mengutuk pelaku yang malah dapat penghargaan dengan menuliskan cerita ini. Like, hampir semua orang yang kulihat di timeline Twitter, yang memilih untuk menonton film ini, menyaksikannya supaya bisa membuktikan dosa itu benar tercermin ke dalam cerita. Menontonnya supaya bisa mengutuknya. Menonton tanpa apresiasi – apalagi memuji dan menikmati – sebagai bentuk solidaritas dan pembelaan kepada penyintas-penyintas yang didramakan. Mengutuk kekerasan seksual dan mengutuk pelakunya jelas adalah perbuatan yang benar. Tidak akan ada yang meragukan di sisi mana kita berpihak when it comes to case like this. Everyone should condemn it. Namun, film tentu bukan persoalan satu orang. Hanya untuk menilai salah-benar adalah alasan yang ‘kurang tepat’ untuk menonton film. Karena menonton harusnya pertama-tama untuk personal.

Aku gak meminta kalian untuk berhenti menyuarakan kebenaran dan berhenti membenci kasusnya. Aku hanya meminta untuk sejenak kita memisahkan film ini dari pelakunya. Toh film hanya ‘mesin fotokopi,’ bukan satu orang yang menyalinkan sesuatu di atasnya. Aku ingin meminta waktu sebentar untuk kita memikirkan apa yang diomongkan Penyalin Cahaya kepada kita, masing-masing. Seperti apa kira-kira dialog kita dengan film ini. Jika kita bukan korban, jika kita bukan pelaku, maka siapa kita, kata film, di cerita ini. Di mana posisi kita. Apa yang kita lakukan di cerita ini. 

penyalinmedia
Kenapa di akhir itu cuma dua cewek yang mendorong mesin fotokopi ke atas gedung? Karena yang cowok Tariq

 

Penyalin Cahaya bercerita tentang mahasiswi berprestasi bernama Suryani. Perempuan yang aktif di kegiatan teater kampus, sekaligus sibuk membantu usaha warung makanan milik orangtuanya. Selain sedikit masalah dengan ayahnya yang keras, things seem going well untuk Sur. Permohonan beasiswanya hampir tembus. Pertunjukan teater mereka sukses berat. Namun semua itu sirna ketika Sur menemukan dirinya terbangun kesiangan esok hari. Beredar foto-foto dia lagi mabok dan berpesta pora di acara sukuran klub teater tadi malam. Permohonan beasiswanya lantas ditolak. Sur diusir dari rumah. Sur yang sama sekali tidak ingat apa-apa kini berusaha membersihkan namanya. Mencari tahu siapa yang telah mengambil foto dan menguploadnya, hanya untuk menemukan perbuatan mengerikan lain yang malam itu terjadi kepadanya. Dan mungkin kepada banyak lagi teman lainnya.

Jadi, di mana aku dalam cerita Sur Menuntut Kebenaran dan Keadilan ini? Aku ngikutin perjuangan Sur menyibak misteri. Aku melihat ketika Sur malah balik dipersalahkan. Dia bicara dan mempertahankan diri tapi, aku menyaksikannya, jadi malah berbalik dituduh melempar fitnah dan meminta maaf walaupun di sini dialah yang paling dirugikan. Hidupnya hancur. Dan apa yang kulakukan? Aku hanya bisa merasa malu. Sedih dan marah juga sih, tapi yang paling nyesek kurasakan adalah malu. Karena film ini memperlihatkan kepadaku kesusahan yang harus dilalui Sur saat speak up sebagai korban. Diperlihatkan dengan emosi yang sangat mendetil, dalam teknis visual yang terlihat begitu luwes bermain close up dan warna-warna, sehingga kadang seperti realm fantasi tapi terasa menampar saking realnya semua terasa. Film ini dihadirkan ringan, tapi karena itulah justru terasa semakin menohok. Karena aku yang sama sekali gak tahu sesusah apa bagi korban seperti Suryani, yang merasa semua bisa selesai dengan enteng, jadi benar-benar merasa tersadarkan dengan tamparan. Malu karena ternyata sesusah itu bagi Suryani, dan Suryani-Suryani lain di luar sana. Malu karena kita gak doing enough to help them

Film ini paham bahwa awareness terhadap itu harus ditingkatkan. Jadi mereka membuat Sur menempuh semua yang kita jatuhkan kepada korban pelapor setiap kali ada kasus seperti ini. Sur akan dicurigai berbohong. Sur dipersalahkan karena ceroboh. Sur dianggap mencemarkan nama baik. Semua itu ditampilkan film dalam gambaran yang begitu naas, bukan semata demi dramatisasi ataupun glorifikasi penderitaan korban. Melainkan untuk ngeshame kita yang entah kenapa selalu takut untuk mempercayai korban. Kita malah lebih suka mempertanyakan mereka. Akhirnya membuat mereka senewen sendiri, merasa diri merekalah yang salah. This is the worst feeling. Film dengan berani mengangkat itu. Konflik personal Sur dieksplorasi. Dia merasa bersalah melanggar aturan ayahnya. Dia merasa bersalah nuduh temannya. Telah ngebajak hape mereka. Adegan Sur dan teman-teman nonton rekaman CCTV dan kemudian tuduhannya berbalik menjadi Sur malah disalahin teman-teman, duduk terdiam di sana, dengan pikiran berkecamuk antara apa ia dia salah dengan masih ada satu hal yang gak kejawab baginya, merupakan salah satu yang paling menohok. Menciptakan intensitas, dan karakter building yang kuat. Sur tidak digambarkan tak-bercela, dia tidak selalu benar, dan ini jadi menambah lapisan konflik. Ke kita, yang selalu failed mengenali urgensi korban. Bahwa sekalipun korban tampak bersalah, itu tidak mengurangi kenyataan bahwa dia adalah korban kasus kekerasan. It still happened to her. Help her.

Dengan begitu, ironi yang digambarkan film ini jadi semakin kuat. Sur, untuk speak up, terpaksa harus bertindak sendiri. Tanpa dukungan. Dia harus melanggar hukum untuk membuktikan dirinya tak bersalah dan adalah korban dari ini semua. Arahan untuk perjalanan karakter ini terasa begitu kuat. Mantap mengarah kepada efek yang diniatkan. Thriller bergaya misteri whodunnit dipilih untuk semakin mengontraskan. Kenapa? karena whodunnit biasanya simpel. Everybody is suspect tapi ujungnya selalu siapa yang salah, siapa yang benar. Sur pikir dia tinggal menemukan siapa yang upload. Siapa yang membiusnya. Sayangnya, urusan kasus kekerasan seksual di kita belum bisa jadi sesederhana itu. Tidak dengan relasi kuasa dan ketimpangan gender masih merajalela. Padahal seharusnya ya sederhana, orang yang berbuat salah, ya harus dihukum. Tapi kenapa Sur yang jadi semakin susah dan sendirian. Di pilihan bercerita inilah gagasan film sesungguhnya juga berada.

Bahkan penampilan akting Shenina Cinnamon sebagai Suryani tampak dikawal sangat ketat. Seperti misalnya ada beberapa dialog yang diucapkan dengan sedikit belibet olehnya, tapi oleh cara film ini mempersembahkan, belibet itu jadi tampak sesuai dengan konteks. Bahwa karakter ini memang sedang mengalami kejadian yang emosionalnya harus ia pendam sendiri. Sehingga ia ‘bergetar’ menahan semua itu.

Yang ditunjukkan dengan begitu emosional oleh film ini adalah bahwa pilihan satu-satunya bagi korban kekerasan  adalah untuk diam. Bukan karena mereka mau diam. Melainkan karena diam berarti pilihan yang paling aman. Karena keignorance kita-lah mereka memilih itu. Angkat bicara menjadi sulit. Bukan saja membuka trauma, tapi juga sebab kita masih lebih cenderung tidak mempercayai korban. Sementara pelaku dengan gampangnya memainkan kuasa untuk mendiamkan, bahkan balik menuding mereka. 

 

Mitologi medusa jadi alegori yang tepat. Dalam adegan revealing yang dibuat sangat teatrikal, mendadak realm fantasi tadi mendobrak kesan realism yang dibangun, kita diperlihatkan pelaku yang sebenarnya beraksi kayak wayang orang di tengah asap, berdialog soal medusa dan perseus. Di depan korban-korban yang dibekep. Adegan ini memang terlihat aneh dan over the top. Tapi masih berfungsi efektif dalam memuat gagasan. Karena beginilah gambaran korban-korban kekerasan seksual di dunia nyata. Mereka dibungkam. Mereka jadi terdiam. Membatu, kayak korban Medusa. Pelaku di cerita ini bilang dirinya Perseus, but really, pelaku sebenarnya lebih cocok dikatain medusa. Karena udah bikin korban membatu. Pelaku bebas bergerak. Terus beraksi ke sana kemari, menepis tudingan sana-sini, dan balik menyalahkan korban. Memastikan tidak ada yang mendengarkan mereka. Dan kita simply tidak melihat itu.

penyalininopsis-Film-Penyalin-Cahaya-Angkat-Cerita-Tentang-Kekerasan-Seksual
But now we know, dan kita kasih cermin ke Medusa. Mereka kini yang diam membatu.

 

Menjadi whodunnit ternyata punya lubang jebakan sendiri. Dan penulisan film ini enggak seanggun arahannya, sehingga film kecemplung juga beberapa kali. Dalam pengembangan misteri misalnya. Untuk membuat penonton tetap engage ke misteri, film paham harus mengungkap perlahan. Hanya saja, misteri ini terlalu dielaborate. Dari siapa pelaku upload, hingga ke pelaku pelecehan yang lebih besar, film terlalu sibuk mengembangkan seolah ini adalah kejahatan cerdas. Terselubung, terencana dengan matang. The crime keeps getting bigger. Hingga jadi kayak mustahil. Ya mustahil terjadi, mustahil gak ketahuan, mustahil ada yang bantuin. Kasusnya sendiri, jadi kayak ngada-ngada. Di sini aku bisa lihat penonton yang udah tahu kasusnya bakal ilfeel lagi saat menonton. Karena film tampak seperti mau ngepush kehebatan pelaku. Yang berlawanan dengan gagasan dan sasaran dialog film. Kita. Penyalin Cahaya harusnya ngepush narasi dari perspektif Sur untuk menegur kita yang gak melakukan apa-apa melainkan mempersulit korban. Bukan untuk memperlihatkan soal rencana sinting dan rapi si pelaku. 

Sehingga film terasa jadi lebih panjang daripada seharusnya, untuk urusan kasus yang tidak perlu terlampau digayain. Seharusnya waktu dipakai untuk ngeresolve beberapa hal. Terutama dari sudut pandang korban seperti Sur dan yang lain. Turn around mereka perlu dieksplorasi lagi karena berkenaan dengan kesukaran membuka suara. Aku sendiri sebenarnya pengen banget konflik Sur dan ayahnya diresolve, seperti Sur dengan ibu. Terutama karena ayahnya yang paling keras tidak mau mempercayai Sur, sementara dia juga ada benarnya – kalo ayah gak nyuruh Sur pake baju dalam, Sur gak akan pernah menyadari satu kejanggalan kunci yang membuatnya yakin dirinya ‘dikerjai’. Yang paling kurang greget sebenarnya adalah karakter Amin (Chicco Kurniawan di sini mirip John Cho ya haha) sahabat Sur yang tukang fotokopi dan menampung/memfasilitasi usaha Sur. Kalo kita balik ke kasus, menurutku ke dalam karakter inilah co-writer menuangkan dirinya. Pelaku in the past, dan kini berusaha meredeem diri dengan membantu Sur. Tapi yang dilakukan Amin tidak cukup. Hanya sebatas memberi mesin fotokopi. Sikapnya tidak pernah diselesaikan. Pengkhianatannya dirasakan oleh Sur, sebesar ‘pengkhianatan’ yang penonton rasakan sehingga banyak yang akhirnya memilih untuk tidak lagi mendukung film penting ini.

 

 

With all of that being said, pendapatku terhadap film ini – dan kasusnya –  ada dua. Pertama untuk filmnya sendiri. Aku masih menganggap film ini layak menang Terbaik FFI. Karena pesan dan relevansinya. Karena arahan dan teknis dan permainan aktingnya. Tapi tidak untuk sebagian lagi, terutama untuk penulisan. Yang memang terlalu bombastis, seringkali tidak sesuai dengan niat filmnya sendiri. Kedua, mengenai tujuan film dan kasus itu sendiri. I feel like, keberadaan film ini penting karena menyadarkan kita bahwa korban-korban itu susah mendapat keadilan, maka permudahlah. Bantu mereka sebarkan suara, karena itulah justice yang paling mungkin bisa mereka dapatkan. Akan tetapi, kalo dengan keberadaan film ini malah membuat korban semakin merasa tak diperlakukan adil, membuat mereka makin susah mendapat justice, maka menurutku hate it if we must. Sebaiknya film ini bertindak tegas dan merestore itu. Jangan sampai film ini hadir tapi jadi bertentangan dengan makna keberadaannya sendiri. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PENYALIN CAHAYA

 

 

 

That’s all we have for now

Kenapa kebanyakan orang masih begitu sulit mempercayai korban?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

TEKA-TEKI TIKA Review

“You are a piece of the puzzle of someone else’s life”

 

Tidak mudah keluar dari zona nyaman. Butuh kemauan dan keberanian yang sama besarnya. Inilah yang dilakukan Ernest Prakasa. Sudah mendapat tempat yang kerasan di blantika film komedi, tapi Ernest malah menantang dirinya sendiri dengan membuat thriller Teka-Teki Tika. Cobaan pertama langsung menerpa. Film ini sempat dirujak netizen, dikatain nyontek Knives Out (2019). Nah, itulah kenapa kita tidak boleh main hakim hanya dari melihat trailer saja. Teka-Teki Tika sama sekali tidak mirip film whodunit tersebut. Melainkan, lebih sebagai thriller dalam lingkup keluarga, tentang apa yang telah dilakukan oleh karakter sehingga kini ia takut rahasianya itu dibongkar oleh orang. Revealing yang mencengangkan, yang jawabannya kita tunggu-tunggu, memang tetap ada. Dan boleh jadi lebih surprise daripada yang kita harapkan sebelumnya. Karena ternyata film ini adalah thriller bergaya ujar jenaka khas Ernest, dengan tambahan twist ala Shyamalan!

teka202112040754-main
Padahal bahkan si Shyamalan sendiri enggak selalu bisa bikin ‘twist ala Shyamalan’ yang berhasil

 

Sebagian besar durasi, cerita akan bertempat di sebuah rumah mewah. Milik Budiman, seorang konglomerat yang akan segera mendapat proyek besar dari pemerintah. Maka Budiman dan istrinya, mengundang dua anak mereka untuk menghabiskan akhir pekan di rumah. Arnold dan Andre, dua ‘putra mahkota’ yang siap mewarisi segala milik ayah mereka. Tapi keduanya kurang akur, punya gaya hidup berbeda, dan pandangan yang juga tak sama mengenai ‘how to do business‘. Si sulung Arnold yang datang bersama istri yang tengah hamil tua, katakanlah lebih bertanggungjawab. Namun juga lebih boring ketimbang adiknya, Andre, yang suka gonta-ganti pacar (kali ini dia membawa pacar baru yang jauh lebih muda) dan lebih mementingkan nge-club dengan alasan networking. Ada konflik yang berusaha ditarik cerita di antara mereka, sekaligus juga mengeluarkan celetukan-celetukan komedi dari enam karakter keluarga ini.

Menarik? Kurang? Well, karena itulah dihadirkan Tika. To stir things up. Malam itu Tika muncul di pintu depan rumah Budiman. Dengan gaya slengekan – yang begitu kontras dengan lingkungannya, bahkan dengan Andre sekalipun – cewek berambut seleher itu memperkenalkan diri sebagai anak kandung Budiman yang ditelantarkan. Tika gak bakal pergi sebelum mendapat yang ia mau. Dan tak segampang itu bagi Budiman dan keluarga mengusirnya, sebab Tika ternyata tahu banyak tentang rahasia semua orang di sana. 

Bukan hanya bagi Budiman, bagi kita pertanyaan-pertanyaan yang sama pun seketika bermunculan. Siapa Tika? Kenapa dia tahu begitu banyak tentang keluarga Budiman? Apakah dia berkata jujur? Apa yang sebenarnya dia mau? Misteri inilah yang jadi pondasi naskah Teka-Teki Tika. Untuk itu, kita harus peduli dulu sama para karakter lain. Karena hidup mereka seolah jadi bergantung sama Tika yang bisa saja membocorkan rahasia dan bikin keluarga kaya itu hancur berantakan. Bagaimana membuat penonton peduli sama karakter-karakternya itulah yang jadi teka-teki yang harus dipecahkan oleh Ernest selaku pembuat film. Jika ini adalah komedi, Ernest would’ve cracked the code easily. Karakter akan dibuat seunik mungkin, dengan dialog lucu dan motivasi yang mungkin kontras sedih supaya memantik drama. Tapi kali ini ranah yang dijamahnya adalah thriller. Dengan desain berupa motivasi karakter yang disembunyikan. Rahasia mereka itulah yang jadi drama. Dengan begitu, sutradara berpaling kepada hal yang ia tahu. Dialog lucu. Inilah awal kenapa tone film ini membuat cerita yang kita saksikan kurang terasa intensitasnya. Film ini masih terasa bersandar kepada komedi, padahal mestinya ia adalah cerita thriller yang membuat kita mengkhawatirkan para karakter. Sehingga membuat kita justru susah bersimpati kepada stake yang merundung karakternya.

Porsi komedi di sini memang jauh lebih sedikit dibandingkan film-film Ernest sebelumnya. Tapi, komedi itulah yang satu-satunya dipunya karakter-karakter film ini sebagai usaha untuk membuat mereka terlihat menarik. Ketika para karakter berdebat di meja makan soal mengurus bisnis, kita gak masuk ke dalam mereka. Ketika Tika ngancem mau buka rahasia pun, kita tidak merasakan apa-apa. Barulah ketika karakter pacar si Andre yang ‘lugu’ nyeletukin hal yang gak nyambung, kita tertawa. Masalahnya, celetukan dan komedi-komedi itu gak ada sangkut pautnya sama konflik atau misteri pada cerita. Obrolan intens jadi runtuh begitu saja ketika lelucon disuntikkan di sela-sela obrolan. Sindiran soal penguasa yang relevan dengan keadaan sekarang kita pun jadi sepintas lalu saja, tidak benar-benar punya weight padahal bisa dibilang merupaka tema yang konsisten dibahas dalam narasi. Para pemain pun tampak lebih rileks memainkan komedi daripada bermain serius. There’s a reason kenapa Morgan Oey, Tansri Kemala, dan Sheila Dara tampak menonjol dibandingkan yang lain. Tidak banyak yang bisa digali oleh para aktor ketika mereka disuruh untuk serius dan bermisterius.

Ungkapan kita adalah kepingan puzzle dalam hidup orang lain, biasanya bernada romantis. Film ini seperti sisi gelap dari ungkapan tersebut. Karena ceritanya menunjukkan ketidakhadiran kita dapat membuat hidup orang lain menjadi tak-lengkap dalam artian susah. Sometime, kita perlu jujur dan mengakui perbuatan supaya tidak menjadi lubang menganga dalam hidup orang di sekitar kita.

 

Sebenarnya nuansa thriller itu masih bisa digapai lewat teknis. Cut, zoom in, panning perlahan, biasanya hal-hal semacam itu dilakukan oleh kamera dalam film-film thriller untuk memperkuat intensitas suatu adegan. Namun sebagaimana thriller adalah hal baru baginya, cerita dengan ensemble karakter sebagai pusat juga merupakan hal baru bagi Ernest. Jadi concern-nya terbagi. Kita bisa melihat film ini berusaha keras untuk menampilkan variasi dari bagaimana kesemua karakter tampil dalam satu frame. Bagaimana menampilkan gambar yang memaksimalkan lokasi dan visual yang menarik (salah satunya adalah shot yang salah dinilai banyak orang sebagai niru Knives Out). Sehingga menampilkan intensitas thrillernya, terlupakan. Kamera Teka-Teki Tika paling hanya muterin ruangan, dan selebihnya kebanyakan hanya menyorot dari depan dalam diam. Beberapa ada yang dilakukan dengan sudah tepat, seperti keputusan untuk benar-benar fokus ke wajah Tika hanya datang setelah dia memberi tahu siapa dirinya. Yang berarti kita sudah ‘diijinkan’ untuk masuk mengenal karakter ini lebih dalam.

Namun ketika karakter ngobrol dengan mengancam, tidak ada gerakan yang memperkuat intensitas atau semacamnya. Pada adegan Tika digiring keluar rumah, kemudian di tengah jalan dia mengancam membuka satu rahasia, sehingga pengusirannya distop oleh Budiman, misalnya. Ada banyak yang mestinya bisa dilakukan oleh kamera dan editing dalam menampilkan ini, mestinya bisa dipecah jadi beberapa shot biar efeknya nyampe. Namun film hanya melakukannya dengan merekam dari depan, dan kamera mundur seiring semua karakter berjalan ke depan. Semua orang ada di dalam frame, tapi kita tidak merasakan emosinya ketika ada yang bicara, mengancam, atau sebagainya. Alur emosi yang ada pada adegan itu jadi datar karena direkam dengan datar.

Also, maaan, film modern memanglah aneh. ‘Film modern’ yang kumaksud adalah film yang memuat elemen gadget dan teknologi kita seperti smartphone dan sebagainya. Karena biasanya kan yang kita tahu kamera yang ngesyut orang dengan sudut rendah sehingga orang itu tampak menjulang biasanya digunakan untuk menguatkan karakter si orang itu sebagai penguasa atau yang dominan. Film ini openingnya adegan Budiman video call dengan ‘atasan’, ada bagian ketika kamera mengambil perspektif si lawan bicara, yang membuat Budiman dan istrinya tampak menjulang, memandang kita ke bawah, karena gadget mereka ditaruh di atas meja. Ini menghasilkan kesan yang aneh kayak kebalik. Kenapa malah si ‘bos’ yang kecil. Atau mungkin memang adegan itu untuk melandaskan Budiman adalah orang gede, tapi dia juga punya atasan. Dan kayaknya inilah yang membuat kita susah konek dengan dia sebagai karakter utama. Konglomerat biasanya memang sudah sus sedari awal, dan film gak pernah benar-benar membuat karakter ini simpatik hingga akhir nanti.

tekateka-teki-tika_54df5178-1b29-4a59-962b-fcd3809fb8bc
Treatment kamera juga membuat revealing siapa Tika dan rahasia-rahasia lainnya tak pernah terasa ‘wah’

 

Adegan-adegan dari kedatangan Tika sepertinya dirasa memang kurang menarik, sehingga film membuat si Tika ini jadi serbabisa. Dia dibuat tahu medis. Dia malah dibuat bisa berantem ternyata. Jagoan. Tapi malangnya, kepandaian Tika berantem ini juga mengharuskan film untuk memuat adegan aksi. Sesuatu yang berada di garis spektrum lain dari thriller rahasia, drama keluarga, dan bahkan komedi karakter. Nah bayangkan ketika urusan thriller dan drama dan elemen rahasia saja masih keteteran, lalu malah ditambah harus ngurusin orang berantem. It’s too much. Ernest menantang dirinya terlampau banyak. Seperti kata Arnold kepada Andre “Semua jadi tidak terkontrol”. Plus, ini membuat Tika yang tetap dipertahankan misterius menjadi ‘mary sue’; istilah untuk karakter serbabisa. Yang justru membuat kita menarik diri darinya. Seketika Tika menjadi membosankan. Kayak, bener-bener fixed gak perlu lagi kita mempedulikan dirinya karena toh naskah akan membuat dia bisa melakukan apapun begitu saja.

Sehingga, begitu cerita abis dan semua rahasia terungkap, dan semua masalah sirna (kecuali soal rumah mereka yang dengan entengnya dianggap Ibu sebagai “Udah, gak usah dipikirkan”) film masih belum terasa istimewa dan menarik.

Lalu datanglah twist itu. Ending film ternyata baru di ‘false resolution’. Ada misteri yang sebenarnya belum usai. Kupikir ini disengaja untuk hook kalo-kalo mau ada sekuel. Tapi enggak. Kocaknya, justru langsung dibahas lewat cerita ekstra yang muncul begitu kredit bergulir. Cerita yang membuat genre Teka-Teki Tika ini berubah total. Persis kayak twist M. Night Shyamalan yang mengubah genre (dari thriller ke superhero pada Unbreakable, atau dari horor ke sci-fi pada Old). Thriller komedi drama keluarga Teka-Teki Tika berubah menjadi sebuah action-spy! Bahkan setelah itu, visual di kredit title pun berubah jadi menunjukkan Tika sama sekali berbeda dengan yang kita lihat di sepanjang film tadi. Kurang menarik apa lagi coba!!

 

 

 

Kadang kita menyuap terlalu banyak dari yang mampu kita kunyah. I’m afraid inilah yang terjadi di film ini. Nyebrang dari komedi ke thriller sebenarnya sudah tantangan yang cukup tanpa harus ditambah sehingga membuat film jadi terbang ke mana-mana. Padahal belum ada dari tantangan itu yang bisa dijawab dengan memuaskan. Ibarat ngerjain puzzle, tapi belum beres malah mau nambah kepingan lagi. Film ini tampak jadi sebuah karya ambisius, meski banyak yang perlu dibenahi lagi. Terutama soal karakternya yang bisa digali dan diberikan development, ketimbang revealing demi revealing saja. Lalu soal intensitas dan bobot misteri yang belum terasa.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for TEKA-TEKI TIKA.

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian tertarik jika Tika diberikan universe sendiri – katakanlah, jika dibikin jadi ‘saingan’ Arini di Love for Sale, hanya saja si Tika ini khusus di action?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA