“Withered before bloom”
“Kamu mau jadi apa?” adalah pertanyaan tersulit yang bisa ditanyakan atau pernah hinggap ke benak remaja enam-belas tahun. Lulus sekolah saja belum, tapi dianggap sudah harus bisa menentukan jalan hidup sendiri. Di umur segitu aku bahkan bingung mau masuk IPA atau IPS. Kuliah di mana nanti pun aku gak ada bayangan sama sekali. Di situlah aku relate dengan yang dialami Yuni. Dan aku sadar, permasalahan yang kualami dulu sebagai cowok remaja itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Yuni di film ini. Pertanyaan “Kamu mau jadi apa?” tersebut beribu kali lebih mendesak ditodongkan ke pikiran Yuni. Bagi cewek-cewek remaja seperti dirinya, yang tinggal di kampung/pinggiran, dengan sosial yang masih erat tradisi patriarki, ditanyain pertanyaan tadi itu saja sebenarnya sudah luar biasa. Sebab pertanyaan itu sebenarnya cuma basa-basi. Semua orang di sana tahu: cewek itu ya urusannya di sumur, dapur, ama kasur. Ngapain sekolah tinggi-tinggi. Kalo udah dilamar, ya tunggu apalagi. Pamali menolak rejeki.
Pamali.
Satu kata itu bakal menghantui Yuni sepanjang durasi. Setiap pilihan Yuni akan selalu dikaitkan dengan pamali. Oh aku inginnya begini, tapi nanti pamali. Semua orang di sekitar Yuni percaya pada pamali. Haruskah Yuni percaya juga. Atau haruskah Yuni memperjuangkan pilihannya sendiri, dengan konsekuensi dia benar-benar sendiri. Jika Lady Di dalam Spencer (2021) dipenjara dalam sangkar emas; istana dengan segala tata dan aturannya, maka Yuni dalam film yang terinspirasi dari puisi Hujan Bulan Juni ini terkekang dalam norma masyarakat patriarki atas nama ekonomi, yang semua orang tahu itu tidak indah, tapi mereka bertindak seolah tidak ada pilihan.
Padahal Yuni (kenalin, Arawinda Kirana bintang masa depan!) di tahun terakhir SMA-nya itu, mau fokus untuk masuk ke perguruan tinggi. Dia mengincar sebuah program beasiswa. Syaratnya; pertama nilai harus bagus. Itu gampang, dia tinggal nyelesaikan tugas ulasan puisi dari guru idolanya, Pak Damar (Dimas Aditya jadi pengajar yang cerdas dan simpatik). Kedua, tidak menikah. Syarat keduanya inilah yang susah-susah gampang. Yuni sendiri sebenarnya kepikiran pacaran aja enggak. Ada sih yang naksir, Yoga (pesona Kevin Ardilova keluar sebagai cowok pemalu), tapi Yuni lebih milih makan cilok. Yuni memang masih seperti anak remaja umumnya. Suka ngumpul-ngumpul bercanda sama teman segeng. Ngoleksi benda-benda berwarna ungu. Tapi kemudian seorang pria yang barely ia kenal, datang melamar. Yuni lantas jadi perbincangan di desa karena menolak lamaran itu. Membuat Yuni meragukan keputusannya. Apalagi kemudian lamaran-lamaran lain – dengan calon yang semakin gak ideal secara umur – terus berdatangan. Salah satunya terang-terangan membeli keperawanan Yuni.
Sutradara Kamila Andini menyiapkan film Yuni dalam dua versi berbeda. Versi untuk tayang di festival dan versi untuk tayang di bioskop. Secara esensi kedua versi ini masih sama. Tadi aku sempat menyebut Spencer, dan ya, sebagai cerita yang sama-sama tentang perempuan yang terkukung, dua versi Yuni punya esensi yang lebih baik ketimbang Spencer. Yuni yang memang anak remaja tidak pernah ditampilkan cengeng, atau merengek, atau sebatas pengen melakukan yang ia mau. Penggalian Yuni terhadap kungkungannya dilakukan dengan pendekatan yang lebih dewasa. Pamali dan patriariki itu mengurung tidak pernah diantagoniskan. Bahkan para lelaki yang jadi personifikasi patriarki tidak mutlak digambarkan sebagai lawan, atau sebagai pelaku. Yang tampak jahat saja, ternyata sendirinya adalah korban dari ekspresi feminis yang ditekan. Yuni terlihat mencoba memahami pamali dan patriarki, mencoba menelisik apa yang terjadi kalo dia ‘menentangnya’, sementara dia juga terus melihat sekitar; ke orang-orang yang lebih dulu terjerat. Sehingga cerita Yuni jadi lebih tragis dan membekas.
Untuk menambah layer karakter Yuni yang diceritakan mandiri, pintar, dan lebih berani dari teman-temannya, film memberinya hobi. Yang kerap kelewat aneh. Yaitu suka dengan segala hal berwarna ungu. Semua yang ungu dikoleksi sama dia. Aneh, karena Yuni gak segan nyolong benda ungu milik orang lain (dan lantas berkelahi kalo ketahuan) Detil kecil seperti inilah yang membuat film menjadi semakin hidup. Bukan exactly soal warna ungunya, tapi hobi Yuni mengoleksi benda ungu itu seperti mencerminkan keinginan besar Yuni untuk stay true ke identitasnya, ke dirinya sendiri. Bahwa dia tak ragu untuk melakukan apapun untuk membuat dirinya komplit. Kita melihat ini terwujud ketika Yuni datang ke klub, ataupun datang sendiri ke rumah bapak yang melamarnya, dan menolak lamaran tersebut, setelah sebelumnya melakukan sesuatu yang membuat dirinya punya alasan untuk menolak. Barulah nanti ketika diledek warna janda, Yuni ngamuk. Karena itu seperti mengonfirmasi ketakutannya telah menolak lamaran.
Sepertinya memang remaja dituntut terlalu banyak. Mereka yang sedang dalam masa perkembangan, diharapkan untuk tumbuh, tapi seringkali tidak diberikan ruang tumbuh atau, katakanlah pupuk, yang sesuai. Yuni dan teman-teman misalnya, mereka diharapkan untuk kawin setelah sekolah. Itu saja sudah aneh, tapi bahkan lebih aneh lagi saat mereka itu enggak dikasih tahu apa yang dihadapi saat menikah nanti. Mereka tidak diberikan pendidikan seks, tidak diberikan arahan berumah tangga. Melainkan hanya disuruh patuh sama suami karena yang diajarkan kepada mereka selalu soal perempuan tidak bisa sendirian tanpa laki-laki. Makanya remaja-remaja seperti Yuni tragis seperti layu duluan sebelum berkembang.
Dari sekolah yang mau ngadain tes keperawanan hingga ke nenek yang menasehati dengan “pernikahan itu rezeki”, film ini bercerita dengan sederhana. Nuansa kesehariannya terasa. Yuni luar biasa di sini. Aku malah pernah dengar saat menang di TIFF 2021 lalu, orang luar bengong melihat fenomena anak muslim yang hanya pakai jilbab di sekolah saja; padahal itu sesuatu yang normal tampak di keseharian kita. Jadi itu menunjukkan betapa film ini kuat di karakter. Otentik dengan tampil sederhana.
Tidak melulu karakter-karakter menceritakan dengan nada depresif, melainkan lebih seperti bercerita sehari-hari. Seperti misalnya karakter yang diperankan Asmara Abigail. Dia jadi perias di salon, karakter yang wild, cheerful, “preedom abis” tapi punya masa lalu nikah muda dan dicampakkan suami juga. Ketika bercerita pengalaman traumanya itu, film tidak membuatnya jadi kisah overdramatis. Untuk menguatkan karakter, dan menekankan bahwa kasus seperti ini ‘terpaksa’ terus teroverlook karena dianggap normal, si karakter itu ya bicara dengan nada senormal dirinya bicara. Yuni dan kitalah yang dibiarkan untuk meresapi kejadian tersebut. Di versi festival, adegan berceritanya itu malah lebih dikontraskan lagi, berupa kita hanya mendengar suara si karakter bercerita, tapi gambarnya adalah adegan Yuni dan dirinya lagi foto-foto ceria.
Versi bioskop memang memuat lebih banyak eksplorasi karakter pendukung, sehingga naturally sedikit lebih ‘berwarna’ ketimbang versi festival yang lebih memfokuskan kepada Yuni itu sendiri. Karakter-karakter dalam Yuni serta permasalahan mereka yang masing-masing mewakilkan contoh kasus ‘perempuan terikat patriarki’ akan sangat bisa kita pedulikan, akan sangat mudah beresonansi dengan kita, sehingga wajar versi bioskop akan lebih digemari oleh penonton.
Tapi, kalo memang mau dibandingkan……
Bagiku film Yuni versi festival tampil lebih baik dibandingkan dengan Yuni versi bioskop.
Perbedaannya yang kerasa itu bukan exactly pada ending atau tone yang lebih ringan atau durasi yang lebih panjang. Melainkan bersumber pada strukturnya. Kedua versi film Yuni ini actually sudah banyak perbedaan dari cara suatu adegan ditampilkan (baik dari kamera ataupun editingnya) dan dari urutan adegan-adegannya sendiri. Versi bioskop memperlihatkan Yuni dapat tugas puisi duluan, sebelum dilamar untuk pertama kali. Sementara versi festival Yuni dilamar duluan. Kenapa urutan ini penting, karena membentuk bangunan cerita. Dengan menempatkannya duluan dalam sepuluh menit pertama, versi festival langsung jelas memperlihatkan itu sebagai inciting inciden. Bahwa ini adalah cerita gadis remaja yang pengen kuliah, tapi tiba-tiba dia dilamar. Struktur versi festival lebih fit secara universal sebagai cerita film. Ke belakangnya strukturnya jadi tetap jelas. Lamaran versi bioskop, sebaliknya, ada sebagai plot poin pertama. Setelah sekitar tigapuluh menit. Set upnya yang panjang, yang membahas banyak – hingga adegan Yuni nyanyi segala – membuat versi ini berjalan seperti, katakanlah aimlessly. Yuni yang diberi tugas puisi untuk naikin nilainya enggak benar-benar ngasih hook yang koheren dengan kungkungan yang disetup pada lingkungannya.
Versi bioskop benar-benar menjelaskan runut adegan. Padahal gak semuanya juga signifikan. Yuni kenalan dengan si pelamar pertama aja sebenarnya justru terasa mereduksi adegan lamaran itu sendiri. Karena yang versi festival terasa lebih kuat saat Yuni dilamar seseorang yang kita gak tahu. Menguatkan bagaimana perempuan bisa benar-benar dihadapkan pada hal yang tak bisa mereka kendalikan. Lagipula karakter si pelamar itu toh gak bakal dimunculin lagi, jadi ya buat apa juga dielaborate keberadaannya. Misalnya lagi soal teman sekelas Yuni yang udah punya anak, udah nikah, tapi semacam ditinggal oleh suami yang tak pernah lagi pulang ke rumah. Di versi bioskop di-elaborate hingga ada adegan Yuni dan teman-teman datang ke rumah melihat bayinya. Lalu Yuni melihat ternyata kakak-kakak perempuan si teman juga mengalami nasib serupa. Informasi yang redundan, terlebih karena nanti juga ada adegan Yuni ngobrol dengan si teman itu perihal hal yang bersangkutan. Versi festival hanya punya adegan ngobrol itu, dan dengan bijak meninggalkan adegan ke rumah. Sehingga penceritaan versi festival terasa lebih efisien dan efektif.
Semua kisah perempuan yang dimuat dalam versi bioskop itu penting. Menambah layer. Tapi tidak bisa hanya ditambahkan seperti demikian. Percakapan soal suara haram yang terselip, tanpa ada flow yang bener-bener natural, ya hanya jadi memolorkan strukturnya saja. Versi yang diniatkan untuk merunutkan ini akhirnya malah terasa lebih lompat-lompat dibandingkan dengan versi festival yang karakter-karakternya sering ditampilkan tanpa introduksi yang proper. Percakapan soal LGBT juga. Adegannya padahal bagus banget, tapi karena sedari awal Yuni gak pernah ada concern ke situ, jadi ya kayak tambalan aja. Di festival, musik dan LGBT hanya disinggung sekilas, tapi toh tidak mengurangi esensi yg dirasakan oleh Yuni. Yang pentingnya poinnya dapet, ada karakter LGBT, dan ada banyak kungkungan kepada perempuan.
Memang, yang versi festival bisa tampil sedikit lebih berat. Lebih nyuruh fokus dan mikir. Dan bisa juga terlalu depressing untuk penonton mainstream. Maka versi bioskop memang dirancang untuk soften the blow. Endingnya yang heartbreaking itu, gak boleh sedih-sedih amat, sehingga dibikinlah adegan ending yang sama sekali berbeda. Ending yang ada harapan dan kesan saling menguatkan. Tapi ya secara konteks cerita, aneh sih. Karena di versi bioskop yang banyak memperlihatkan kasus-kasus patriarki, Yuni ini mengerti perempuan-perempuan di sana struggle di hidup mereka masing-masing. Mereka berjuang hingga sekarang. Yuni malah memilih aksi, well, yang ia pilih. Kesannya di akhir itu kenapa dia malah seperti ‘menyerah’ di saat perempuan lain dia tahu masih berjuang. Apalagi setelah ada adegan perbincangan dengan ayahnya. Kalo yang versi festival kan, Yuni tahu bukan hanya dirinya yang terkukung, tapi dia gak tau tepatnya seperti apa. Maka keputusan Yuni dianggap sebagai pembebasan diri.
Maka, untuk pertama kalinya aku akan memberikan dua skor untuk satu film (eventho dengan dua versi editing ini mestinya film ini sudah dianggap dua film berbeda). Secara esensi, film ini memanglah termasuk salah satu yang paling penting yang udah diproduce oleh filmmaker tanah air. Digarap dengan berani, mengangkat bahasan yang mungkin bisa jadi kontroversi, tapi kupikir tidak akan karena film ini kekuatannya adalah di karakter. It won’t offend too much. Terasa sangat otentik sekaligus sangat nyeni. Respek juga sama karakter dan inspirasinya. Tapi kalo aku nonton yang versi bioskop duluan, versi yang lebih ramai dan menggapai lebih banyak lagi, aku akan bilang versi itu cukup overkill, agak redundan, dan perlu untuk ditrim sehingga bisa lebih fokus ke Yuni. Karena pilihan Yunilah atas keadaannyalah yang lebih tragis ketimbang dia mendengarkan cerita tentang karakter lain. Dan actually itulah yang kurasakan pada versi festival. More intimate, more focus, more effective sebagai bangunan film.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for YUNI theatrical version, and 8.5 out of 10 gold stars for YUNI festival version
That’s all we have for now
Sudahkah kalian menonton dua versi Yuni? Versi mana yang lebih kalian suka, kenapa?
Share pendapat kalian in the comments yaa
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA