QODRAT Review

 

“When the devil tempts you to doubt, don’t let your circumstance determine your God”

 

 

Horor dulu simpel. Baik lawan jahat. Hitam lawan putih. Setan lawan Tuhan. Namun hal jadi semakin kompleks seiring kita sadar kalo manusia dapat menjadi lebih iblis daripada setan.  Bahwa agama sekarang bisa dijadiin kedok oleh manusia untuk nurutin hawa nafsunya. Like, setan aja minder ngelihat perilaku manusia sekarang. Agama direduce jadi alat politik, kampanye kebencian. Malah tahun 2000an dulu sempat marak acara tv yang menjual ustadz bak superhero pengusir setan dengan jungkir balik baca ayat yang dijadikan mantra. Sehingga orang jadi gak percaya. Kini semua itu jadi membaur, yang putih ternyata hitam, dan yang hitam ternyata bisa jadi pihak yang baik. Makanya film horor pun sekarang banyak yang agak ‘ribet’. Film Qodrat garapan Charles Gozali tampak dibuat untuk mengembalikan kodrat baik lawan jahat yang mulai mengabu tersebut. Mengembalikan harapan akan masih ada pembela kebenaran, ustadz-ustadz, orang-orang yang truly baik, yang benar-benar bisa memberikan pertolongan.  Orang-orang seperti Ustadz Qodrat.

Ketika kita pertama kali bertemu dengannya, Ustadz Qodrat sedang dalam titik terendah dalam hidupnya. Dia gagal merukiyah putranya sendiri. Alif, sang putra, tewas. Qodrat dipenjara, Dan dia jadi ogah sholat. Setelah kejadian horor yang membuatnya sempat ngerasain mati, Ustadz Qodrat pulang ke Pesantren Kahuripan. Hanya untuk menemukan pesantren dan desanya dalam kondisi bak neraka dunia. Gersang, air dan makanan kurang, dan banyak penduduk, terutama anak-anak yang sakit dan kesurupan. Salah satu dari mereka adalah putra dari Yasmin, yang kebetulan juga bernama Alif. Kesamaan itulah yang digunakan oleh setan musuh bebuyutan Ustadz Qodrat untuk sekali lagi membunuh Qodrat dan mengkafirkan sebanyak mungkin manusia di sana dalam prosesnya.

Pak Ustadz pake jaket kulit jadi kayak Kotaro Minami

 

Kesurupan memang trope yang sudah sering dipake, baik itu di horor lokal maupun horor mancanegara. Qodrat sendiri bahkan sudah ngasih nod  – adegan dengan sesuatu yang clearly mereferensikan – ke film horor yang memulai soal kesurupan dan usir setan, The Exorcist (1973) di adegan pembuka.  Dengan menyajikannya di depan seperti demikian, film tidak hanya ngasih respek ke film ‘senior’ tersebut, tapi juga ngasih tahu ke kita “oke, we’ve done the reference, itu selesai, sekarang; inilah yang baru, yang kami tawarkan”  Dan memang sesegera itu Qodrat berusaha bermain-main dengan cara menampilkan trope kesurupan, dan berusaha menjadi dirinya sendiri. Kayak di awal itu, film actually menggunakan pov orang-pertama, jadi kita belum melihat wajah Qodrat. Kita seolah melihat dari posisi Qodrat langsung, bagaimana tampang si anaknya ketika setan Assauala merajalela di dalam sana. Menit-menit awal itu udah kayak mainin game first-person horor. Setelah itu, vibe film ini jadi kayak film silat jadul, apalagi dengan lokasi desa di bukit. Si Qodrat udah kayak pesilat yang mengembara hingga sampai ke suatu desa. Bedanya. pesantren dan desa itu adalah semacam kampung halaman baginya. Tapi tempat itu jadi nyaris sepenuhnya asing bagi Qodrat. Ini memberikan lapisan kepada konflik karakternya karena menyelamatkan desa tersebut bagi Qodrat juga berarti adalah menyelamatkan sesuatu yang dia kenal, menyelamatkan dirinya sendiri.

Setan telah bersumpah untuk berusaha sekuat tenaga tak kenal lelah demi menyesatkan umat manusia. Kita melihat di film ini bahkan pemuka agama seperti Qodrat berada pada ancaman terjerumus yang nyata. Pesan moral kebaikan dan kejahatan yang dikandung film ini memang tidak lantas menjadikan cerita hitam-putih polos aja, melainkan jadi cerita dengan elemen hitam dan putih yang begitu volatile, dan kita akan merasakan dan merefleksikan kengerian dari bagaimana kedua elemen itu tertampilkan dalam desain film ini.

 

Vibe film silat makin berasa karena ustadz-ustadz di sini jago berantem semua. Rukiyah yang mereka lakukan didesain oleh film melibatkan aksi-aksi fighting seolah ustadz adalah hero dan setan yang merasuki orang adalah supervillain. Tapi tidak pake jurus-jurus flashy, sehingga film ini terasa lebih grounded daripada Jagat Arwah (2022) yang memang lebih menguatkan pada fantasi. Dan perlu diingat, yang dirasuki di sini ini adalah sebagian besar anak kecil jadi aksi di film ini bisa terasa sangat intens. Ustadz Qodrat pasang jurus tapi bukan untuk melukai, tapi setan yang mengamuk lewat wujud anak kecil akan full force menyerang melakukan hal-hal mengancam nyawa. Mereka gak peduli nyakitin siapa saja. Untuk tetap stay true dengan genre horornya, film ini tak lupa memasukkan adegan-adegan yang pure hantu-hantuan. Yang dilakukan dengan cukup variatif, enggak hanya sekadar orang kesurupan teriak-teriak. Ada makhluk-makhluk  horor dengan make up dan efek seram, pastinya. Malah ada creature anjing besar hitam yang berhasil juga blend dengan environment sehingga tampilannya mulus. Terus ada adegan surealis juga; favoritku adalah adegan kue ulang tahun. Yang jadi Bapak di sekuen itu (sori, aku gak tau nama aktornya), kupikir aktingnya brilian juga ngasih vibe supercreepy. Aktor-aktor cilik yang kesurupan juga lumayan sih, cuma aku kurang suka ketika untuk adegan kesurupan maksimal, film mengoverlay suara mereka dengan suara seram. Aku susah mendengar yang mereka katakan, dan kuharap film juga ngasih subtitle untuk dialog-dialog kesurupan, jangan cuma pada dialog ayat Al-Qur’an aja. Bicara soal itu, selalu merinding melihat setan mencemo’oh manusia dengan ayat-ayat kitab suci, dan film ini ngasih banyak momen merinding seperti demikian. Also, film berhasil ngambang di batas yang netral sehingga bacaan ayat-ayat di sini tidak terdengar kayak jampi-jampi konyol ala acara tv pengusir setan, ataupun tidak terdengar totally preachy.

Sebelum ini, di thriller horor Inang (2022) kita sudah gimana pasangan ibu dan anak di real life,  dicast sebagai antagonis dan protagonis, dijadikan efek ekstra untuk horor yang dipersembahkan cerita. Tapi film yang lebih psikologis itu tidak memberikan momen ibu dan anak ini berantem horor beneran. Nah di Qodrat ini, akhirnya kita mendapat hal yang semacam itu. Film ini ngecast Vino G. Bastian sebagai Ustadz Qodrat, dan istri aslinya, Marsha Timothy sebagai Yasmin, janda dua anak yang minta pertolongan karena anaknya kesurupan.  Dan later sebagai final battle kita akan lihat Vino dan Marsha ‘bunuh-bunuhan’. Maan, pastilah fun bagi mereka hahaha. Bagi kita, however, intens adegan tersebut jadi semakin bertambah. Karena selain kita udah terbuild up bahwa mereka pasangan beneran, kita juga terbuild up dan terinvest sama karakter masing-masing.  Film actually memberi subplot keluarga Yasmin porsi yang cukup besar, it was easy bersimpati kepada single mother yang anaknya yang masih kecil kesurupan, sementara anaknya yang remaja, well, berada di umur gak suka semua yang dilakukan ibunya. Vino dan Marsha memainkan part mereka dengan baik, namun naskahlah yang sebenarnya berhasil membuat Ustadz Qodrat tidak kerebut spotlightnya oleh Yasmin. Naskah actually berjuang untuk terus mengembalikan kendali di Ustadz Qodrat sebagai tokoh utama. Yaitu dengan cara membuat semua masalah di film ini berakar kepada luka menganga di hatinya yang terbentuk sejak gagal menyelamatkan putranya sendiri.

Bahkan dengan elemen sebanyak itu, film ini sepertinya masih menyimpan lebih banyak lagi untuk very-possible sekuel!!

 

Enggak gampang dengan muatan elemen sebanyak itu menjaga cerita masih tetap pada rel karakter utama. Black Adam (2022) aja gagal kok, film itu malah jadi kayak cerita karakter lain. Makanya, aku mengapresiasi film Qodrat ini, karena usahanya untuk melakukan hal yang benar terkait naskah. But yea, it is a hard thing to do. Qodrat ceritanya oke, karakternya punya plot, naskah menjaga supaya karakter utamanya tetap utama, hanya saja berusaha navigate cerita supaya ‘benar’ dengan elemen sebanyak itu, Qodrat terasa clunky saat berjalan. Pengembangannya masih belum mengalir benar, masih kayak poin-poin saja. Perubahan si Qodrat dari yang tadinya mulai goyah iman gak mau shalat ke menasehati orang supaya memegang kuat iman terasa berlangsung gitu aja. Segampang efek mati suri saja. Padahal efek-efek itu yang mestinya jadi tempat film menggali supaya lebih genuine. Efek setelah sembuh dari kesurupan yang saat kesurupan melukai keluarga sendiri. Efek setelah sahabat meninggal. Alih-alih itu, film berjalan simply karena naskah menuliskan. Bukan seperti rangkaian progresi natural yang ditulis menjadi naskah. Akibat yang utama terasa adalah karakternya jadi kurang bebas terekspresikan.  Ustadz Qodrat jadi kayak beneran munafik ‘berdakwah’ pada orang lain tentang Tuhan sementara dirinya sendiri masih bergulat dengan rasa bersalahnya hingga tak mau shalat subuh. Karakter putrinya si Yasmin juga begitu. Dia jadi kayak beneran gak sayang sama adiknya lantaran naskah menginginkan Qodrat lah yang membongkar kuburan, menyelamatkan anak bungsu Yasmin. Usaha si cewek remaja tersebut menggali kuburan jadi tidak genuine seperti usaha seorang kakak menyelamatkan adiknya yang dikubur hidup-hidup. Nah, itulah maksudku soal naskah menemukan kesulitan membuat situasi jadi genuine dalam usahanya menjaga supaya si Qodrat yang tetap beraksi, supaya semua kembali kepada masalah personal Qodrat.

Contoh yang terakhir sebenarnya agak lucu sih. Jadi setelah menyelamatkan desa dan Kepala Pesantren, Qodrat dapat reward berupa… motor keren!! Hahaha, ini kayak outofnowhere banget. Karena kita gak pernah diperlihatkan interest Qodrat ama motor, ataupun transportasi sendiri sebelumnya. Motor itu sepertinya diberikan sepertinya karena nanti di sekuel Qodrat harus punya kendaraan atau semacamnya. Jadi motor itu gak terasa genuine masuk sebagai reward, melainkan dituliskan karena ya harus ada itu, gitu. But at least, karena ini toh kita jadi dapat adegan keren Ustadz Qodrat naik motor di jalanan sepi, udah persis kayak penutup Satria Baja Hitam 90an! XD

 




This could be start for an exciting franchise. For real, this time. Franchise  yang superhero-ish tapi genre horor bermuatan lokal. I’ve been saying this for a long time: mungkin genre superhero Indonesia akan benar-benar meledak bukan dari meniru jagoan-jagoan super dari komik luar melainkan, dari mengangkat cerita-cerita seperti Wali Songo, pahlawan nasional, atau sesuatu yang lokal seperti yang dilakukan film ini, yang dibentuk menjadi seperti superhero. Yang ditiru cukup konsep jagat sinematiknya saja. Mungkin Ustadz memerangi setan seperti inilah konsep superhero yang cocok bergaung pada masyarakat kita. Aku senang film ini hadir dengan kelihatan seperti benar-benar mengembalikan kodrat film ala Indonesia itu seperti apa. Ceritanya ngasih putih lawan hitam, tapi dengan pemikiran yang tidak saklek lewat pengembangan karakternya. Punya banyak elemen, yang sekaligus mengset up sekuel, tapi berhasil membuat cerita stay di jalur milik karakter utama. Walaupun memang, progres ceritanya jadi clunky, ngalirnya kurang genuine. Tapi sekali lagi, film ini mungkin jadi awal franchise kesuperhero-superheroan yang sebenarnya bagi Indonesia, setelah cukup banyak superhero ala barat yang kesannya hanya adem ayem saja.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for QODRAT

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian film ini berhasil ngasih cerita yang kental agama tanpa menjadi preachy? Apakah menurut kalian film modern butuh untuk kembali seperti film jadul yang punya garis hitam-putih yang jelas?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



TERRIFIER 2 Review

 

“Evil wants what it wants and won’t stop until it’s won or you kill it. And the only way to kill it is to be meaner than evil.”

 

 

Ini pertama kali aku kenal Art the Clown. Aku gak nonton film pertamanya. But, sekarang halloween, dan aku dengar sekuel dari film 2016 lalunya tayang, dan jadi hit box office di Amerika. Awalnya aku mutusin ikut nonton, mau bandingin aja horor laku di negara kita ama negara mereka sama-sama bego atau tidak. So, yea. Art the Clown ternyata badut yang lebih gila dari yang kusangka. Jahat. Sadis. Setan. Brutal. Jijik. Sinting. Edan. Busuk. And I like it!

Aku pun lantas tahu bahwa aku baru saja ‘berkenalan’ dengan ikon slasher modern yang sebenarnya. Art the Clown seperti didesain menjadi gabungan sekaligus berlawanan dengan ikon-ikon slasher dari 80-90an. Dia pendiam seperti Jason dan Michael Myers, tapi sekaligus usil dan berisik seperti Freddy Krueger. Bisa dibayangin tidak? Baiknya jangan deh, ntar mimpi buruk. Art juga dibikin gak bisa mati, dan seperti punya kekuatan mistis yang membuatnya bisa masih ‘aktif ya bun’ walau di kepalanya sendiri ada lubang menganga bekas peluru. Art juga bisa muncul di tempat-tempat yang mustahil, seolah bisa berteleport. Senjata pembunuhnya dibikin komikal, Art ke mana-mana membawa karung plastik berisi berbagai perkakas yang digunakannya untuk menyerang, mulai dari pisau berkarat hingga rantai.  Seperti badut-badut kebanyakan, Art memang hobi memainkan trik dan ketawa-ketawa, tapi ‘selera humor’ Art sungguh-sungguh menyakitkan bagi orang lain. Badut setan ini menganggap orang kesakitan itu lucu! Jadi, Art akan menyiksa korbannya, dan dia melakukannya seolah sedang bermain-main. Setelah mengelupasin batok kepala orang sehingga keliatan otak dalam salah satu adegan film ini, misalnya, Art akan ketawa dan tepuk tangan melihat korbannya itu menjerit kesakitan sejadi-jadinya. Ketawanya si Art bukannya nyaring dan mengerikan menyumpah serapah kayak Freddy, melainkan ketawa tanpa suara. Namun film membuatnya seolah jeritan korban menjadi suara tawa Art. Di lain adegan, suara rekaman di rumah hantu dijadikan seolah suara Art menikmati ‘show berdarah’ buatannya sendiri. David Howard Thornton benar-benar great menghidupkan psikonya, jahatnya, badut ini lewat mime yang seringjuga kocak tapi dijamin selalu creepy. Pennywise jadi kayak anak pesantren jika dibandingkan dengan Art.Film ini actually ngasih eksplorasi soal siapa – atau lebih tepatnya – apa sebenarnya si Art ini, ada pengembangan lore yang dilakukan sekaligus dengan mengaitkannya dengan apa yang sepertinya sebuah gagasan yang dikandung oleh cerita di balik semua pembunuhan berdarah itu.

Michael Myers bisa istirahat dengan tenang, karena ini waktunya era badut!!

 

Oh boy, menyebut ‘pembunuhan berdarah’ sebenarnya sangat-sangat mengecilkan apa yang ditampilkan oleh film ini. Berita soal banyak penonton bioskop di Amerika yang muntah, hingga sampai pingsan, yah sekarang aku yakin itu bukan strategi marketing biar viral. Aksi kekerasan film ini sungguh-sungguh di level repulsive yang tinggi seperti demikian. Kayaknya sudah lama aku enggak panas-dingin nonton horor yang gore. Sutradara Damien Leone gak sungkan-sungkan! Dia menampilkan adegan potong kepala, full on-cam. Adegan ngelupas-ngelupasin kulit. Kepala meledak. Body horror dengan efek yang jijik. Kekerasan kepada anak – Art gak pandang bulu, cowok, cewek, anak kecil, orang dewasa, semuanya disayat-sayat dan dibikinnya bermandi darah. Leone tahu persis bikin horor – apalagi slasher ampe gore-gorean (istilah serem buat jor-joran, hihihi) – kudu bikin protagonisnya tersiksa luar dalam. Itulah yang ia pastikan. Protagonis cerita ini, si Sienna, dan adiknya, dan juga manusia-manusia lain yang ketemu dengan Art (baca: yang jadi korban) bener-bener dibikin berdarah-darah. Efek praktikal yang digunakan menambah pekatnya level sadis dan jijik film ini. Membuat semua ‘pembunuhan berdarah’ film ini terasa real, maka jadi makin menyeramkan. Satu adegan yang buatku benar-benar merasa gak nyaman adalah ketika Art muncul menyambut dan membagikan permen kepada anak-anak yang lagi trick or treat. Permennya ditarok di kepala korban dong! Kepala yang sudah dipenggal itu, dibuka batoknya, trus ditempat yang tadinya otak, diganti jadi buat naro permen-permen, dan si Art dengan gaya biasa aja bagiin permen seolah kepala itu adalah baskom yang sudah dihias kayak kepala. Salah satu anak yang ngambil permen dengan polosnya bilang “Ih, jijik lengket” karena di permennya masih ada darah beneran (atau malah sel otak, ewwww) dari orang yang baru saja diacak-acak isi kepalanya! Sick man!!

Bukan cuma darah, there’s literally shit in this movie. Aku yang udah antisipasi bakal ketemu adegan menjijikkan saja gak siap begitu si  Little Pale Girl, tahu-tahu menumpahkan limbah coklatnya ke lantai. Just “Proottt!!”. ‘Ya Allah lindungilah kami dari setan yang terkutuk’ moment banget!! Di film ini Art diberikan semacam sidekick yaitu badut anak kecil, yang interesting, bukan saja karena diperankan tak kalah meyakinkan oleh Amelie McLain (kok anak-anak barat bisa bagus sih kalo akting?) tapi juga karakternya yang dibentuk sebagai ambigu. Gak jelas apakah cewek cilik ini hantu atau sesuatu yang lebih simbolik dan lebih sinister. Kalo kalian pengen tahu, mungkin nanti malam bisa tanya langsung PAS DIA DAN ART DATANGKEKAMARMU!!!

Yang jelas kalo kalian bertanya kepadaku, jadi apakah ini film eksploitatif yang ‘murahan’ yang hanya gore-fest saja? Maka aku akan menjawab “Iya dan tidak”. Soal murah, memang film ini tipikal low-budget movie, namun dia berpesta pora dengan apa yang ia punya. Film ini menyuguhkan yang terbaik dari segi visual, kebrutalan, desain produksi dan estetiknya, hanya dengan budget yang tidak di level studio raksasa. Malah konon, film ini difund  sum-sum oleh para penggemar yang menginginkan sekuel dari cerita Art. Dari orang-orang sakit yang mendukung film ini jadi lebih sadislah kita mestinya berterima kasih. Serius. Jangan ngarep deh studio gede bikin yang penuh resiko dan melanggar batas kayak yang film ini lakukan. Makanya penggemar horor harusnya merayakan ini. Lalu, untuk soal ‘hanya gore-fest’, aku dengan bangga bilang tidak karena film ini actually berusaha menjadi lebih daripada itu. Terrifier 2 berusaha untuk menjadikan elemen mistisnya bukan sekadar cheap supernatural, melainkan jadi surealis yang ARTsy (alias banyak si Art-nya hihihi) Sureal film ini terutama datang dari si Little Pale Girl, ketika eksplorasi power Art, dan terutama ketika menggali koneksi antara Art dengan protagonis cerita. Film ini ada meggunakan menakuti lewat mimpi, yang adegannya cukup panjang. Biasanya aku gak suka adegan mimpi, tapi film ini melakukannya dengan benar karena mimpi tersebut tidak dibentuk untuk mengecoh ‘udah serem-serem taunya mimpi’, melainkan kita diingatkan ini mimpi. Adegannya seramnya diselingi shot si Sienna lagi tidur, dan tidurnya gelisah. Mimpi ini adalah bagian dari galian karakterisasi, karena inilah waktu film menyelami psikologis Sienna. Dia memimpikan Art, dan mimpinya itu crossover dengan dunia nyata. Adegan tersebut jadi mengsetup banyak elemen cerita, tanpa kita merasa terkecoh melainkan jadi berpikir. Film ini bukan tipe gore yang kita tinggal istirahatin otak untuk bisa menikmatinya.

 

Aku, ketika teror sudah usai, tapi ternyata ada mid credit scene dengan Chris Jericho!

 

Film slasher biasanya tak ngembangin karakter karena tahu penonton bakal lebih suka untuk peduli sama karakter pembunuh maniaknya. Terrifier 2 gak mau jadi fllm slasher yang biasa. Adegan mimpi yang panjang itu jadi bukti Terrifier 2 peduli sama karakter manusia, dan benar-benar punya plot dan pengembangan untuk protagonisnya. Jadi ceritanya, Sienna dan adik cowoknya, Jonathan, yang masih 12 tahun, masing-masing sedang dealing with kematian ayah mereka yang sepertinya seorang komikus. Apa yang terjadi pada ayahnya mereka ini penting, dan direveal bertahap oleh film. Tapi tidak pernah sepenuhnya. Film masih menyisakan ruang untuk misteri dan kita berteori.  Yang jelas, si ayah meninggalkan buku yang berisi kasus-kasus si Art kepada Jonathan dan karakter superhero (wanita berarmor dan bersayap ala Valkyrie) kepada Sienna, yang actually membuat sendiri kostum sang superhero untuk halloween. Implikasinya adalah si ayah tahu tentang Art dan percaya Art bisa dibunuh dengan pedang si superhero. Koneksi ini, plus kedua kakak beradik ini juga bisa melihat The Little Pale Girl membuat Art menjadikan mereka sasaran utama. Sienna (Lauren LaVera tampak perfect di kostu, eh di perannya ini) kini harus berjuang untuk benar-benar bisa menjadi superhero bagi keluarganya, menyelamatkan mereka dari Art.

Ada drama keluarga yang legit membahas grief dan koneksi dari anggota keluarga yang ditinggalkan misteri di balik ini gore-fest yang memang jadi sajian utama. Drama dan konflik yang lebih personal yang dibuat oleh film tidak punya easy answer. Terrifier 2 tidak memberikan jawaban apa-apa. Melainkan membuat kita lebih berpikir lagi karena sekarang drama dan mistis dan lore dan koneksi ajaib para karakter, dan bahkan something dari film pertamanya, jadi satu. Jadi puzzle besar, yang setiap kepingannya begitu aneh, untuk kita susun. Film ini bijak tidak memberikan jawaban, melainkan memastikan ceritanya masuk ke dalam logika dunia yang mereka ciptakan. Inilah yang harusnya dilakukan oleh film-film horor. Bukan semata menciptakan misteri, kemudian memberikan jawabnya – or worse, bertingkah seolah ada jawaban untuk misterinya (“Ayo penonton yang bisa menangkap clue-cluenya berarti kalian cerdaasss”). Melainkan memberi ruang bagi penonton untuk menyelami misteri tersebut. Untuk berteori, kemudian merasa ngeri sendiri. Terrifier 2 memberikan itu semua kepada kita. Momen untuk jerit-jerit. Momen untuk mual. Momen untuk bergidik. Momen untuk refleksi ke karakter. Momen untuk menebak dan berteori, tanpa harus tahu mana yang benar-mana yang salah.

Teoriku, alasan Sienna dan Jonathan bisa melihat The Little Pale Girl seperti Art, adalah karena selain sebagai sosok ‘hantu’ si badut cilik ini adalah simbol darkness dalam diri. Sienna dan Jonathan bisa melihat karena mereka punya sisi kelam akibat ditinggal ayah. Itulah kenapa Art menyasar mereka. Karena untuk membunuh setan, manusia harus melakukan hal yang lebih kejam daripada setan itu sendiri. Sienna dan Jonathan bisa melihat si cilik, jadi bukti bahwa mereka berpotensi jadi ‘bahaya’ bagi Art. Terutama si Sienna, yang punya jiwa pemberani yang belum ia sadari. Jiwa yang jadi pembeda dirinya dengan Art. Makanya juga si karakter dari film pertama dimunculkan, karena dia survivor Art, yang actually jadi sinting seperti Art. Dia tidak punya yang dimiliki Sienna. Sifat pemberani dan heroik, yang lebih lanjut disimbolkan oleh armor, sayap, dan pedang kostum Valkyrie yang Sienna kenakan.

Art the Clown yang tak bisa mati sejatinya diniatkan oleh film sebagai perwujudan dari evil itu sendiri. Dan yang namanya evil tidak bisa dibunuh. Kenapa? karena untuk membunuh evil, seseorang harus bertindak lebih setan daripada si evil itu sendiri. Sehingga jadi semacam kejahatan melahirkan kejahatan. Ya, melahirkan. Menurutku itulah makna yang disimbolkan film ketika memperlihatkan kepala Art terlahir dari survivor kebrutalan dirinya. Orang yang selamat dari dirinya yang evil, berarti sendirinya telah menjadi evil yang bahkan lebih brutal. Siklus kejahatan akan terus berulang, jika tidak banyak yang seperti Sienna.

 




Totally, film ini bukan untuk yang faint-hearted, definitely tidak untuk ditonton saat makan (kecuali kalian lagi bikin video challenge try not to vomit) Karena film ini memberikan semua yang diminta, yang diidam-idamkan oleh penggemar horor slasher berdarah, yakni gore brutal yang kelewat real. Badanku literally panas-dingin nonton ini. Tapi aku suka, karena inilah yang kurindukan dari horor sadis. Karakter yang konyol tapi super seram. Suasana yang mencekam tapi ada surelisnya juga. Film ini memberikan itu semua, and more! Karena di sini, karakterisasi, plot, benar-benar diberikan pengembangan. Kita tidak hanya menonton orang-orang mati dibunuh dalam cara yang semakin bikin meringis. Film ini memang ngasih itu, tapi juga ada cerita – drama yang mumpuni di baliknya. Aktingnya juga gak jelek dan cheap kayak film-film horor biasa yang menjual wahana. Malah aku bisa bilang film ini berhasil menciptakan karakter yang bakal ikonik di horor. Antagonis, maupun protagonisnya. Ini adalah kontender legit untuk horor terbaik 2022, asal kita sanggup menguatkan diri untuk bertahan hingga durasinya habis. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TERRIFIER 2

 

 




That’s all we have for now.

Apa yang membuat karakter horor bisa menjadi ikon? Apakah kalian punya kriteria tertentu?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



V/H/S/99 Review

 

“An era can be said to end when its basic illusions are exhausted”

 

 

Generasi 90an dulunya tidak menghabiskan hari dengan menonton YouTube main TikTok. Mereka nonton MTV, Jackass, American Pie, tv show yang cheesy (mulai dari game show hingga acara horor seperti Goosebumps). Mereka bermain di luar, melakukan sesuatu yang bego. Jika pengen merekam video, mereka tidak melakukannya dengan kamera HD dan gadget canggih yang punya berbagai fitur edit. Mereka merekamnya dengan kamera yang gambarnya bakal bersemut-semut dan goyang-goyang. Aspek-aspek simpel namun fun dari 90an itulah yang ingin benar-benar disajikan oleh seri horor antologi V/H/S/ yang menggunakan konsep segmen atau clip dari rekaman video ketika mereka menggarap 94 tahun lalu. Tapi film itu kurang berhasil, tidak semua segmennya yang akur berusaha menghadirkan dunia 90an. Sehingga kini mereka, kinda rushed out, untuk menghadirkan V/H/S/99, yang setelah kutonton aku memang merasa seperti menonton video jadul beneran. Mulai dari estetik hingga jalan cerita yang simpel dan campy. Dan aku merasa superterhibur menontonnya, it’s a nice change of pace dari horor modern. Namun juga, aku bisa melihat film ini bakal membagi penonton, karena gak semua akan lantas terbiasa dengan bentuk 90an yang film ini sajikan luar-dalam.

Ada lima segmen atau cerita dalam V/H/S/99, plus satu cerita ekstra yang sebenarnya adalah bagian dari satu segmen tapi sebelum itu digunakan sebagai transisi antara satu segmen dengan segmen lain. Aku akan mengurutkan segmen-segmen ini berdasarkan dari yang paling aku suka hingga ke yang paling tak disuka. So, here they are:

  1.  Segmen “To Hell and Back”. Sutradara Joseph dan Vanessa Winter bikin yang bahkan sangat unik untuk standar horor-horor di  V/H/S/. Mereka membuat mockumentary singkat tentang aktivitas kelompok sekte di malam tahun baru. Jadi, dua kameramen dalam kisah ini ceritanya disewa untuk ngedokumentasiin ritual pemanggilan setan, tapi ada yang salah, sehingga kedua kru dokumentasi malah masuk ke neraka. Yang kita tonton adalah bagaimana mereka mencari jalan keluar kembali ke dunia manusia. Segmen ini dihandle dengan nada yang ‘tidak serius’, sehingga nontonnya jadi fun dan kocak.
  2.  Segmen “Suicide Bid”. Awalnya kupikir segmen ini bakal bikin aku jengkel, karena yang dihadirkan sutradara Johannes Roberts adalah seputar geng senior cewek yang mengospek anak baru yang mau masuk ke perkumpulan mereka. Tapi ternyata segmen ini ngasih pengalaman yang bener-bener horor. Karena ceritanya, si anak baru harus masuk ke peti dan dikubur sebagai bentuk ospek. Segmen ini ngasih pengalaman dikubur hidup-hidup, plus nanti ada sosok zombie/demon di dalam sana. Udah kayak cerita Goosebumps!
  3. Segmen “Ozzy’s Dungeon”. Ketika salah satu kontestan game show untuk anak-anak mengalami cedera, keluarga balas dendam dan menculik si host game show. Dia disuruh memainkan game ala-ala, yang ya bisa ditebak sebenarnya ditujukan supaya si host menderita. Sampai sini aja sebenarnya sutradara Flying Lotus sudah cukup kreatif. Dia memparodikan industri tv 90an ke dalam nada horor. Namun dia tancap gas, menjadikan ini horor yang lebih gross lagi dengan penutup berupa si keluarga dan si host masuk ke puncak permainan di game show tv, yang ternyata isinya adalah makhluk dan horor yang bisa bikin perut kita jungkir balik
  4. Segmen “The Gawkers”. Yang bikin segmen buatan sutradara Tyler MacIntrye masuk ke kotak yang tak aku suka adalah ceritanya terlalu simpel sehingga tidak terasa ada apa-apa. Sekelompok cowok remaja yang ngintipin tetangga baru yang kece. Mereka sampai masang kamera tersembunyi di rumah perempuan tersebut. Hanya untuk melihat sesuatu yang tak boleh mereka lihat. Misteri siapa sebenarnya perempuan itu sebenarnya sudah dibuild up sedari awal, dan revealingnya cukup bikin menggelinjang. Tapi ya, cerita ini hanya itu. Aku malah lebih suka cerita ekstra yang merupakan bagian awal dari segmen ini, yaitu ketika salah satu karakter memainkan tentara-tentara plastik kecil, dan bikin cerita perang lawan monster dari mainan-mainan. Konsep visual segmen ekstra ini menarik, hampir kayak stop-motion, dan ya seru dan kocak juga.
  5. Segmen “Shredding”. Harusnya garapan sutradara Maggie Levin ini bisa lebih lagi. Sekelompok remaja anak band yang suka onar karena kayaknya kebanyakan nonton Jackass masuk ke bawah tanah, tempat satu band perempuan beberapa tahun lalu meninggal karena terbakar dan terinjak-injak fans mereka sendiri. Kelompok remaja ini melakukan sesuatu yang disrespectful, dan yah, hantu para anggota band perempuan itu lantas ngamuk. Ini lebih parah daripada The Gawkers, karena cerita ini mestinya bisa menggali lebih soal backstory insiden, atau bahkan adegan kejar-kejarannya mestinya bisa dibuat lebih fun
Nostalgia 90an lewat video-video horor!

 

Bisa dilihat, V/H/S/99 benar-benar berusaha memasukkan hal-hal 90an dan menjadikan segmen-segmen itu begitu imersif seperti memang tidak dibikin pada hari ini. Baik itu dari estetik videonya, maupun dari apa yang mereka tampilkan. Like, aku gak tau apakah masih ada anak muda yang main tentara plastik kecil-kecil di jaman sekarang. Buat penonton yang terlahir dan besar di 90an, film ini sudah pasti jadi serangan nostalgia besar-besaran. Nostalgia ke gaya hidup jaman masih muda dahulu. Sebaliknya, bagi penonton yang lebih muda, pengalaman nonton film ini seperti bakal lebih mixed. Mungkin tampak aneh dan konyol. Namun itulah yang lebih diincar oleh film, lebih daripada nostalgia. Film ingin memperlihatkan kebiasaan dari, katakanlah, era yang telah lewat. Supaya penonton di masa sekarang membandingkan. Dan dengan suara horornya, film memperlihatkan bahwa ada alasannya kebiasaan dari era tersebut telah lewat. Merayakan milenium baru dengan menganggapnya sebagai hari kiamat, acara televisi yang gak actually ngasih hadiah kepada pemirsa, ospek alias perploncoan, remaja yang do nothing kecuali hal bego, perverted, dan tak berfaedah. See, ya ujung-ujungnya dikembalikan kepada penonton. Horor yang sebenarnya adalah ketika yang tampak aneh di layar ternyata masih ada relate-relatenya ke kita di masa sekarang.

Era 90an dengan segala kebiasaan dan gaya hidup yang terekam dalam video bersemutnya memang telah lewat seiring munculnya teknologi dan format video baru. Akan tetapi, paradigma atau cara berpikir masyarakat bisa saja terus berulang. Menjadikan era baru hanya sebagai ilusi berikutnya yang akan segera hilang.

 

Meski begitu, kalo ada kebiasaan 90an yang pengen diulang ke jaman sekarang, bagiku itu adalah kebiasaan orang bikin film dengan efek yang simpel dan praktikal. Film V/H/S/99 ini adalah salah satu yang membuatku pengen era praktikal efek itu kembali lagi. Terutama buat film horor. Nontonin segmen-segmen seperti “Suicide Bid”  dan “To Hell and Back” tentu akan berbeda rasanya jika aktornya berakting takut dengan green screen. Tapi dengan praktikal efek, prostetik, kostum, make up, kesan seram yang disturbing itu jadi benar-benar terasa real. Dan oh, dua segmen itu memang banyak banget makhluk seram kreatifnya. “Suicide Bid” cuma punya satu, tapi bakal nyantol di mimpi buruk. Kreasinya sungguh menakjubkan. Mereka di “To Hell and Back” benar-benar bikin lingkungan seperti-neraka, dengan segala makhluk-makhluk seramnya. Kesan low budget jika dimanfaatkan dengan baik memang akan menambah banyak untuk pengalaman horor. Karena bagaimanapun juga ‘sesuatu yang ada di sana’ akan terasa lebih real dan grounded. Kupikir mestinya filmmaker Indonesia yang sekarang lagi hobi bikin horor, lebih sering juga menerapkan efek praktikal. Efek komputer digunakan untuk meng-enhance saja. Kayak, kalo harus ada adegan binatang seperti kelabang dan sebagainya, pakai praktikal saja. Memudahkan juga bagi para aktor (apalagi genre horor sering pake aktor muda yang belum benar-benar matang berakting) untuk berakting takut dengan melihat yang benar-benar ada.

Here’s the thing about horror: yang mainnya harus beneran takut dulu

 

Sedangkan jika dibandingkan dengan film-film pendahulunya di franchise ini, V/H/S/99 mengambil resiko dengan menghilangkan adegan ‘benang merah’. Biasanya selalu ada adegan yang mengikat semua segmen, misalnya seperti film tahun lalu; semua klip alias segmen yang kita tonton adalah tayangan yang dilihat oleh polisi yang menyergap bangunan tempat terduga sekte. Adegan ‘benang merah’ ini sendirinya seringkali membuat keseluruhan film tampak ‘maksa’. V/H/S/99 meniadakan adegan semacam itu, tidak lagi repot memikirkan kenapa dan dari mana klip yang kita tonton itu bisa kita tonton, apa klip itu sebenarnya di dunia film, apa ada sesuatu yang lebih besar di baliknya. Sehingga film kali ini bisa lebih bebas mengeksplorasi segmen-segmen.  Yang kini terasa saling lepas, dan hanya diikat oleh benang merah berupa tema yang disebut pada judul. Yakni semuanya direkam pada tahun 99.  Buatku ini perubahan yang bisa dibilang positif, meskipun aku bisa melihat penggemar franchise ini akan terganggu. Karena tidak lagi ada progres dari yang sudah dibuild seri-seri terdahulu. Bahwa ada misteri yang mengikat video atau segmen ini semuanya.

 




Secara keseluruhan, memang film ini membagi penonton. Karakter-karakter yang bertingkah sok keren akan susah untuk dipedulikan sehingga pada akhirnya nasib yang menimpa mereka (karena berurusan dengan orang atau urban legend yang salah) tidak lagi terasa menakutkan bisa jadi penghambat utama penonton menyukai film ini. Begitu pula dengan kamera yang kelewat goyang-goyang.  Tapi itu semua adalah resiko yang diambil oleh film yang menginginkan  estetik 90an yang low budget dan amatir dan grounded terkesan real. It cannot get any simpler than this. Video demi video yang nunjukin cerita horor dengan kreasi dari era yang telah lewat. Buatku ini seperti baca Goosebumps, nonton horor jadul, nostalgia yang super refreshing. Tentu saja aku punya favorit, tapi kayaknya baru ini V/H/S/ yang kutak punya masalah berarti kepada masing-masing ceritanya. Sama seperti satu show WWE, tentu saja dalam satu antologi tidak bisa semuanya wah dan seru. Melainkan persoalan gimana mengaturnya supaya semuanya terangkai jadi satu tontonan yang punya flow dan pace yang stabil. Film ini adalah tontonan horor yang segmennya slightly terasa panjang, tapi terhimpun manis jadi pengalaman horor yang bikin merinding dan menghibur.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for V/H/S/99

 




That’s all we have for now.

Apa yang kalian rindukan atau yang paling ingin kalian lihat comeback dari tahun 90an?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



HALLOWEEN ENDS Review

 

“Be careful fighting someone else’s demons – it may awaken your own”

 

 

Oke, this is it! Empat-puluh tahun trauma. Setelah begitu banyak korban berjatuhan, setelah begitu banyak sekuel-sekuel yang diberangus.  Kita akhirnya melihat klimaks dari Laurie Strode, one time a babysitter, dan Michael Myers, sang babysitter killer. Pertemuan akhir dua ikon horor ini benar-benar punya big-match feel. Meskipun film-filmnya sendiri kurang memuaskan, tapi toh sutradara David Gordon Green berhasil juga membuild up babak akhir dari trilogi Halloween modern, dengan perspektif yang fresh. Dalam Halloween (2018) dia membuat Laurie jadi penyintas paranoid, yang hampir berbalik dari yang diburu menjadi pemburu. Dan dalam Halloween Kills (2021), Green memperlihatkan betapa kuat dan mengerikannya demon yang harus disingkirkan oleh Laurie. Monster yang telah berefek begitu besar bahkan hingga ke seluruh penduduk Haddonfield. Saking gede feelnya, ini bisa dengan gampang kubayangkan nongol jadi headline match WrestleMania; Laurie vs. Michael! Namun karena sering nonton gulat itulah, aku jadi sudah sedikit mengantisipasi bahwa build up dan hype kadang bisa tak diikuti oleh eksekusi yang sepadan. Untuk final battle Laurie dan Michael ini, bayangkan kalo match Stone Cold lawan The Rock di WrestleMania 17 tapi sebagian besarnya diisi oleh interferensi kisah romance dari dua pegulat lain yang nongol mengacau. Karena itulah yang literally terjadi pada film terakhir dari trilogi Halloween David Gordon Green ini.

Halloween Ends memang memenuhi janji judulnya untuk mengakhiri semua mimpi buruk yang muncul setiap kali halloween di Haddonfield, tapi juga tidak terasa seperti akhir dari sebuah trilogi. Setting waktu kisah ini adalah empat tahun sesudah Halloween Kills (yang mengambil kejadian hanya beberapa menit setelah ending film pertamanya), dan dari waktunya ini saja keurgenan cerita sudah seperti lepas. Ketika kita masuk ke film terakhir ini, mood atau suasananya udah beda. Laurie sudah menata kehidupan baru bersama cucunya, Allyson. Sang cucu kini jadi perawat, sementara Laurie berusaha mencari ketenangan personal dengan menuliskan buku tentang Michael Myers. Si pembunuh bertopeng ini memang sudah lama tak tampak, namun setiap halloween teror dan trauma yang ia bawa masih membekas. Penduduk masih dirundung takut, walau kini mereka mengekspresikan takut tersebut dengan cara yang mulai mengkhawatirkan. Termasuk si Laurie. Diceritakan, Allyson pacaran sama pemuda bernama Corey. Sebagian besar durasi dihabiskan Laurie menjadi seorang nenek yang mengkhawatirkan (sampai menguntit) kehidupan cinta cucunya. Laurie memang kembali jadi gak tentram, Karena Laurie merasa, Corey si pemuda yang juga sedang berusaha merajut hidup setelah trauma yang berhubungan dengan tragedi malam halloween,  punya mata yang sama dengan Michael Myers.

Tatap mata, Ojan!

 

Sebenarnya, film ini punya cerita yang lebih baik dibanding film Halloween Kills yang hampa dan praktisnya gak ada plot, melainkan cuma Michael bunuhin penduduk kota yang bersatu maju memburunya (hal yang dilakukan dengan lebih ‘boss’ oleh Laurie di film pertama) Halloween Ends, seenggaknya, punya bahasan seputar inner demons. Bagaimana ketika sekelompok manusia adalah penyintas harus berdamai dengan trauma bersama, berusaha saling suport, sembari tidak saling membangkitkan demon masing-masing, karena setiap manusia punya momok tersendiri dalam kehidupannya. Kisah Corey yang diperankan dengan duality atau ambigu yang tepat oleh Rohan Campbell sesungguhnya adalah penggalian yang cukup dalam tentang seberapa besar efek trauma bisa membentuk orang. Karena Corey yang dituduh membunuh anak kecil bukan saja harus menyembuhkan diri dari itu, tapi dia melakukannya sembari didera oleh orang-orang yang berusaha menyembuhkan trauma mereka dengan ‘melemparkan batu’ kepada dirinya. Kisah Corey ini adalah materi yang bisa banget berdiri sendiri. Yang menurutku pantas untuk mendapat babak tersendiri. Halloween Ends tampak seperti masih berusaha mengekspansi cerita, walau sudah di penghujung. Alhasil, kisah Corey tidak bisa maksimal. Film mengecilkannya seperti hanya jadi persoalan cinta ‘terlarang’. Yang juga membawa kita ke karakter Allyson yang jadi semakin annoying sebab di umur segitu permasalahan yang ia punya cuma gak senang neneknya gak setuju dia pacaran ama Corey. Kasian banget memang si Andi Matichak. Percuma muncul di trilogi, tapi dari film pertama hingga terakhir, karakternya tidak mendapat peran yang benar-benar berarti.

Semua orang cepat atau lambat bakal berhadapan dengan demon atau masalah menakutkan tertentu di dalam hidupnya. Mentality fight atau flight ketika berhadapan dengan itu yang bakal menentukan jadi seperti apa seseorang ke depannya. Laurie tahu untuk tidak kabur dari demonnya. Dia memilih bertempur. Halloween Ends pada hakikatnya menegaskan yang sudah dibuild pada film yang lalu, bahwa bukan hanya Laurie yang trauma. Melainkan seluruh kota. Setelah empat tahun, semua orang masih berjuang untuk healing. Masalah yang dihadapi Laurie sekarang terjadi ketika dia berusaha membantu orang lain menghadapi demon mereka. Secara simbolik film memperlihatkan ketika kita bertarung dengan demon orang lain, kita harus berhati-hati untuk tidak membangkitkan demon dari diri sendiri.

 

Laurie Strode, di pihak satunya, jadi tidak banyak yang dilakukan untuk awal-awal. Film hanya memperlihatkan dia berusaha menjalin kehidupan normal, sementara tetap menaruh curiga dan mengkhawatirkan cucunya. Jujur, untuk yang udah kehype film ini bakal jadi duel terakhir Laurie, aku gak expect melihat karakternya direset ke bentuk baru oleh film. Padahal yang kebayang ya melihat Laurie langsung jadi badass, apalagi setelah di film kedua dia gak ngapa-ngapain. Dan memang, ketika pada akhirnya dapat kesempatan beraksi, Jamie Lee Curtis menunjukkan dia tahu dan paham menunjukkan di taraf ruthless seperti apa karakter yang sudah ia perankan bertahun-tahun tersebut. Kita nonton ini pengen lihat aksi Laurie, dan Curtis benar-benar jadi heroine yang cadas. Dia bahkan melakukan lebih banyak aksi ketimbang Tara Basro di dua film Pengabdi Setan digabung jadi satu. Untuk urusan aksi dan bunuh-bunuhan, film ini memang masih nunjukin kreativitas dan sisi fun di tingkat hiburan yang tinggi. Walaupun masih bersandar pada referensi dan throwback, tapi adegan-adegan mati di film ini terasa segar dan bikin melek. Favoritku adalah kill yang berhubungan dengan piringan hitam.

This is how you do a heroine in horror movie

 

Final battle Laurie dan Michael terdeliver secara emosional. Apalagi buat kita yang sudah bolak-balik ngikutin kisah mereka dalam berbagai versi. Halloween Ends ngasih sesuatu yang benar-benar terasa seperti this is the end. Namun ada ‘tapinya’. Aku merasa Michael Myers sedikit terlalu banyak kehilangan ‘tuahnya’ di sini. Istilahnya, terasa lemah. Michael persis seperti yang dikatakan oleh Corey kepadanya saat merebut topeng. Michael yang sekarang hanyalah si tua dengan topengnya. Film ini mengulang kesalahan yang ada pada Halloween 2018. Suasana mencekam malam halloween itu tidak terasa. Padahal itu yang sebenarnya jadi ciri khas setiap installment Halloween. Dan film ini bukannya meniatkan memang gak ada. Lihat saja openingnya. Keren sebenarnya. Horor dan trauma itu masih menyelimuti. Malah ada satu sekuen montase singkat yang memperlihatkan tetap terjadi berbagai pembunuhan yang dibuat seolah dilakukan oleh Michael Myers. Nah, sebenarnya kalo film benar-benar fokus mengeksplorasi, suasana mencekam itu harusnya hadir sejalan dengan aspek warga masih merasa diteror. Bahwa dalam healing mereka, justru muncul ‘Michael-Michael’ lain. Sejalan dengan kisah Corey. Film tidak berhasil memvisualkan maksudnya tersebut. Suasana mencekamnya hanya berusaha dihadirkan lewat aksi Corey setelah bertransformasi, tapi itupun kurang nendang karena malah tampak lebih seperti korban bully yang mau balas dendam. Singkatnya, film ini butuh presence real Michael Myers lebih banyak lagi.

Mungkin sebenarnya film pengen membuat Michael juga berhadapan dengan demonnya (which is his humanity) sehingga sekarang dia vulnerable dan terlihat lemah dan tak bertuah. Tapi jika benar demikian, film tidak melakukannya dengan baik dan jelas. Film terburu-buru memuat ada karakter baru yang sepertinya bakal jadi pembunuh bertopeng William Shatner kedua, sehingga dua sentral utama tidak mendapat pengembangan ultimate yang maksimal. Malah, semuanya tidak ada yang benar-benar maksimal. Corey itu malah kayak, bayangkan kalo dalam trilogi sekuel Star Wars, Anakin baru muncul di film ketiga – dia dari baik ke jatuh ke dark side dalam satu film. Corey kayak si Anakin. Sehingga mestinya cerita dia bisa juga dibuild up dari film pertama. Trilogi seharusnya seperti demikian. Sementara yang kita lihat pada Halloween Ends ini, kayak sekuel biasa. Yang malah jadi membahas orang baru, serta orang lama dengan karakterisasi yang baru (karena loncat empat tahun) Jadinya malah kayak another reboot.

 




For now, film ini memang benar tampak memenuhi janjinya sebagai kisah akhir Laurie dan Michael. Film memberikan kita final battle yang emosional – puncak dari nostalgia seluruh franchise dan build up yang dilakukan sedari dua film sebelumnya. Hanya saja, untuk sampai ke momen tersebut, film melakukan ekspansi yang mengundang pertanyaan. Kenapa mereka baru melakukan semua itu di film terakhir. Kenapa tidak dibuild up juga dari sebelumnya. Film ini punya kisah yang oke, yang kalo diberikan waktu lebih banyak, dijadikan babak atau episode tersendiri, akan bisa jadi bahasan yang keren. Namun karena film ini adalah bagian akhir trilogi, kisah yang dipersembahkan di sini terasa seperti lompatan jauh yang tidak benar-benar terajut ke dalam sebelumnya. Melainkan lebih mirip seperti sekuel yang mereset kisahnya menjadi satu episode yang baru. Sehingga ya, aku tidak bisa bilang trilogi Halloween modern ini sebagai trilogi yang bagus. Tentu, trilogi ini berhasil ngasih penggalian baru, tapi tidak terasa benar-benar work sebagai kesinambungan. Melainkan kayak corat-coret ide saja. Like, soal Corey dan kota Haddonfield, itu menurutku ide bagus. Cuma karena di film ini keliatannya cuma seperti pengisi durasi saja (dan malah jadi romance dan kisah bully cheesy), maka ya jadinya kayak berantakan. Apakah ini beneran cerita Laurie? Kenapa film malah lebih banyak bahas Corey, lalu ujug-ujug final battle Laurie dan Michael? 
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for HALLOWEEN ENDS

 

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian percaya film ini bakal jadi film Halloween terakhir? Kenapa?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



INANG Review

 

“A lot of times, we are trapped by our own false sense of security.”

 

 

Rilis di tanggal 13, angka dianggap banyak orang sebagai angka sial, Inang sendiri memang bicara seputar mitos malapetaka atau kesialan. Ada sebuah hari yang menurut penanggalan Jawa disebut sebagai Rebo Wekasan. Beberapa orang percaya di hari Rabu terakhir bulan Safar tersebut, diturunkan berbagai bala alias hal-hal negatif. Sampai-sampai, bayi yang terlahir pada hari atau tanggal tersebut harus diruwat, supaya terhindar dari nasib naas. Perihal anak yang lahir Rebo Wekasan tersebut dikemas oleh Fajar Nugros menjadi cerita pengalaman horor seorang perempuan yang hendak melahirkan. Sementara horor itu sendiri, bagaikan anak pertama bagi karir penyutradaraan Fajar Nugros, sehingga kita bisa merasakan sesuatu yang spesial coba untuk disajikan. Karena scare dalam Inang tidak sebatas hantu-hantuan, melainkan scare yang lumayan kaya. Kengerian Inang menguar dari gambar-gambar dan perasaan, yang seringkali mengontraskan antara kenyamanan dengan sesuatu yang lebih mengancam di baliknya.

Inang yang tayang perdana di Bucheon International Fantastic Film Festival, Juli lalu, memang bercerita terbaik saat membahas persoalan Wulan. Sang perempuan yang di ambang melahirkan bayi seorang diri (karena lakiknya ogah tanggungjawab). Masalahnya, Wulan bukan orang dengan ekonomi yang stabil. Dia cuma kasir supermarket. Jadi Wulan benar-benar mencemaskan nasib bayinya. Alih-alih aborsi, sebagai langkah terakhir, Wulan ikut program ibu asuh yang dia temukan di facebook. Di situlah Wulan dipertemukan dengan pasangan suami istri tua yang manis dan perhatian banget, yang bukan saja bersedia mengadopsi bayi tapi juga merawat dan membantu proses Wulan melahirkan di rumah mereka yang sangat berkecukupan. Wulan boleh saja merasa aman (dan sangat nyaman), tapi mendadak dia mulai dihantui mimpi buruk di rumah tersebut. Ada sesuatu yang aneh pada pasangan suami istri itu. Sesuatu di balik ritual-ritual yang harus ia jalani atas saran mereka, membuat Wulan tak lagi merasa bisa mempercayakan keselamatan dirinya dan anak yang dikandungnya kepada mereka.
Si Ladybug Bullet Train lahirnya di Rabu Wekasan juga deh pasti!

 

Meskipun gak spesifik menyebut diri sebagai sutradara komedi, toh Fajar Nugros memang punya kecenderungan mengolah drama berbau komedi. Dari Yowis Ben hingga Srimulat (2022) ia cukup piawai bermain di nada komedi. Dan di film Inang ini kita bisa merasakan insting komedi cukup berhasil juga menghantarkannya mengolah drama horor, hampir seperti keberhasilan horor filmmaker di luar yang berangkat dari komedi. Dalam Inang, Nugros keliatan punya ketajaman komentar sosial serupa yang dilakukan komedian Jordan Peele waktu bikin thriller horor Get Out (2017). Nugros juga mengisi layarnya dengan celetukan, gagasan, pandangan terhadap keadaan sosial. Terutama, soal perempuan kelas pekerja. Gimana perempuan-perempuan seperti Wulan harus melakukan sesuatu yang ‘ekstra’ untuk mencari nafkah. Memang komentar-komentar yang diselipkan tersebut lebih baik tidak banyak dibeberkan, lebih baik dibiarkan untuk penonton menemukan sendiri, tapi jelas, Nugros benar-benar bersenang-senang dengan gambar-gambar dan situasi yang ia masukkan. Image-image dalam film ini kayak punya sesuatu celetuk di baliknya. Cover buku yang menyebut ibu dan negara, misalnya. Atau bahkan ada selipan promo buat projek film Nugros berikutnya. Selain itu tentu saja film ini juga punya gambar-gambar horor, yang juga sama-sama ‘fun’. Nugros juga perlihatkan kedalamannya membuat adegan beratmosfer. Satu kali, dia menyelingi adegan Wulan masuk ke rumah ibu asuh dengan shot seekor tikus masuk ke perangkap. Memberikan kita perasaan tak-nyaman yang sedari awal langsung menghantui bahwa Wulan juga sama seperti si tikus. Sedang masuk dalam perangkap. Bagi film ini enggak masalah kalo kita tahu atau bisa nebak duluan bahwa suami istri itu gak bener, karena perasaan uneasy kita terhadap Wulan-lah yang diniatkan. Sehingga dramatic irony muncul, dan kita jadi semakin peduli kepada apa yang terjadi kepada si tokoh utama.

Perihal casting juga sama funnya. Kita telah melihat gimana Fajar Nugros menyusun personil Srimulat sehingga benar-benar terasa menyerupai ruh aslinya. Dalam Inang ini, well, Nugros tampak mengcast pemain dengan ‘kejutan-kejutan’ yang bermain dengan ekspektasi dan pengetahuan penonton akan si aktor itu sendiri. Naysila Mirdad, yang dikenal penonton sebagai salah satu spesialis pemeran perempuan lembut teraniaya, diberikan tweak pada karakter yang ia perankan di sini. Wulan yang ia perankan juga basically perempuan ‘teraniaya’; kekurangan duit, coba dimanfaatkan oleh lelaki, hingga dijebak ke situasi mengerikan oleh orang yang tampaknya baik. Belum lagi, nyaris seluruh durasi dihabiskannya dengan begitu vulnerable sebagai orang hamil. Tapi Wulan bukan karakter lembut. Foul mouth, malah. Ini, aku bisa lihat, jadi semacam kejutan kecil yang menyenangkan bagi penonton karena diperlihatkan sisi lain dari tipe karakter yang biasa. Naysila sendiri juga tampak have fun bermain sebagai Wulan ini. Dia menjaga aktingnya tetap natural, sehingga walaupun di luar kebiasaan, penonton tidak merasa aneh melihat ‘karakter barunya’. Also, Nugros mengcast ibu asli Naysila, Lidya Kandou sebagai ibu asuh yang tampak baik tapi punya maksud gelap terselubung. Yang juga memberikan lapisan ‘familiar’ tersendiri terhadap kesan kita saat menonton. Nah kesan itu paralel dengan tema di dalam cerita, bahwa film ini – seperti rumah asuh bagi Wulan – menyambut kita hangat. Meninabobokkan kita dalam sense of familiarity, seperti Wulan yang merasa nyaman terlena dalam sesuatu yang menurutnya aman, kemudian baru-lah horor dan kengerian yang perlahan tapi pasti menerjang.

Dunia yang kita hidupi memang keras, makanya gampang bagi kita untuk terjebak sendiri ke dalam rasa aman dan nyaman. Bahkan ritual yang dilakukan itu sendiri juga adalah bentuk dari false security dari orangtua yang takut anaknya ketiban sial. Tapi terutama, film ini kayak ngasih lihat kontras antara rude atau kasarnya lapisan bawah ternyata jauh lebih baik karena setidaknya orang-orang di jalanan, yang vulgar dan tampak barbar, mereka lebih ‘jujur’ Tampil ada adanya. Ketimbang lapisan atas, higher power, yang seperti menawarkan hal yang lebih baik tapi punya maksud yang lebih buruk di balik segala kemanisan tersebut. 

 

Tema narasi tentang perempuan hamil yang berurusan dengan pasangan tua yang tampak terlalu ‘ramah’ ke jabang bayinya memang lantas mengingatkan kita kepada salah satu horor masterpiecenya Roman Polanski, Rosemary’s Baby (1968). Yang sayangnya bagi Inang. standar itu berarti cukup tinggi. Perbandingan dengan Rosemary’s Baby jadi mengungkap banyak kelemahan pada naskah film Inang, yang ditulis oleh Deo Mahameru. Terutama dari segi eksplorasi. Rosemary’s Baby yang tentang perempuan hamil mendapat perlakuan manis dari tetangganya, yang ternyata mengincar bayi dalam kandungan untuk cult pemuja setan, benar-benar menyelam ke dalam psikologis karakter utamanya. Si Rosemary dibikin bingung dan curiga kepada gelagat baik tetangganya, ada peristiwa yang ganjil yang terjadi berhubungan dengan mereka, ada yang aneh di balik sikap mereka, dan konflik digali film tersebut dari kecurigaan Rosemary ditantang oleh orang-orang sekitar yang justru menyalahkan dirinya yang dianggap tak stabil secara mental. Sampai ke titik dia sendiri percaya dia yang senewen. Film Inang, gak punya semua itu. Karena sedari awal, kita sudah dikasih momen dramatis Wulan masuk ke rumah orang jahat, misteri yang ada hanya soal apa yang sebenarnya terjadi. Dan film gak benar-benar melakukan banyak terhadap bagaimana misteri di sana akhirnya terungkap.

Nugrosemary’s Baby

 

Adegan mimpi banyak digunakan untuk memantik suasana horor. Dan kita semua tahu, adegan mimpi dalam horor atau thriller merupakan aspek yang tricky untuk dilakukan. Mimpi jadi bagus saat digunakan untuk menggambarkan psikologis yang mendera karakter. Horornya bisa jadi sangat sureal dan benar-benar disturbing. Film Inang, seperti yang telah kusebut, punya imageries yang kualitas top. Ada makhluk creepy juga yang sempat muncul dalam mimpi Wulan. Selama memang digunakan untuk memvisualkan ketaknyamanan atau kecurigaan Wulan yang kian membesar, adegan mimpi film ini bekerja dengan efektif. Hanya saja, selain itu, film juga membuat adegan mimpi yang memperlihatkan Wulan ketemu sama korban-korban ritual sebelum dirinya. Dan karena ini tidak disebut alasannya kenapa bisa Wulan melihat mereka, atau tidak pernah ditekankan bahwa memang ada hantu yang semacam minta tolong, maka adegan-adegan mimpi yang melibatkan hantu korban itu jadi hanya berupa cara gampang film meletakkan eksposisi saja. Ini tidak lagi jadi menambah buat film, karena malah meminimalkan ‘kerjaan’ Wulan. Dia hanya disuapi info lewat mimpi, dan kemudian lebih lanjut lagi film mengkerdilkan peran perempuan yang set up dan perjuangannya sudah bagus itu menjadi seorang dalam situasi damsel in distress semata.

Selewat paruh pertama, film memperkenalkan karakter anak dari pasangan suami istri asuh tersebut, yang diperankan Dimas Anggara, yang praktisnya menjadi hero dalam cerita.  Si Bergas ini bakal menyelematkan Wulan, cerita juga berubah menjadi tentang dirinya yang berkonfrontasi dengan apa yang dilakukan oleh orangtuanya selama ini, dia juga harus berdamai dengan siapa dirinya. Wulan, dengan segala permasalahan perempuannya, jadi tersingkirkan. Jadi hanya sebagai orang untuk diselamatkan. Dan baru di ending, Wulan dikasih transformasi yang bertujuan untuk mengembalikan kembali posisinya sebagai karakter utama.

Bukannya mau bilang aku bisa bikin cerita yang lebih bagus (because I can’t), dan terutama reviewer gak boleh bandingan satu film dengan cerita yang gak exist. Tapi aku hanya ingin pointed out bahwa yang dipilih oleh film Inang, membuat karakter utamanya kehilangan power. Gak ngapa-ngapain yang membuatnya ‘deserved’ the transformation. Film memilih untuk mereduce karakter utama perempuan menjadi ‘korban yang harus diselamatkan’ oleh karakter lain yang dibuat lebih pantas dan lebih berkonflik langsung dengan ritual dan mitos Rabu Wekasan. Aku hanya ingin menyebut bahwa narasi Inang gak mesti mentok seperti ini. Masih banyak pilihan yang bisa diambil untuk mengembangkan ini, untuk membuat karakter utamanya lebih deserved all that. Misalnya, mungkin dengan membuat bayi yang Wulan lahirkan pas ritual actually bayi terkutuk, like devil-kid. Sehingga di akhir, rumah itu jadi chaos karena malapetaka yang dibawa, Wulan keluar dengan menderita, terluka juga oleh anaknya, dan dari perlawanan dia mempertahankan bayinya dari semua orang di sana. Yang jelas, Wulan membawa si anak yang she comes to love sehingga transformasi di akhir dia menjadi ibu pembunuh demi anaknya, jadi lebih dramatis, dan lebih well-earned. Masih ada cara untuk membuat Wulan gak ketinggalan action, dan tetap kuat sebagai tokoh utama. Plus mimpi-mimpi Wulan jadi ada musababnya dengan jika si anak dibuat ternyata berkekuatan gaib.

 

 




Cerita tentang perempuan yang mengusahakan kelahiran bayinya, di tengah kesulitan duniawi yang menghimpit, sehingga akhirnya terjebak ke dalam bujuk rayu ritual sesat sesungguhnya adalah materi horor thriller yang demikian dramatis. Film ini punya bahan-bahan yang tepat untuk menjadi drama mengerikan yang membuahkan banyak gagasan lewat komentar-komentar sosial. Bagusnya lagi, film ini bijak untuk tidak menjadi wahana rumah hantu, melainkan benar-benar menguatkan di atmosfer dan pada perasaan uneasy dan kelam sebagai faktor ketakutan nomor satu.  Sialnya, cerita ini tidak dibesarkan dengan benar-benar fokus di situ. Film berpindah ke masalah karakter lain, dan actually mengesampingkan permasalahan karakter utama. Hingga ke titik dia tidak benar-benar melakukan apapun, selain diselamatkan. Dan ceritanya dibuat melingkar begitu saja sebagai shock di akhir semata. Itu yang membuatku jadi tidak benar-benar bisa menyukai drama horor ini. Formulanya padahal sudah benar, protagonis yang melewati ketakutan sedemikian parah, babak belur fisik dan mental, sehingga ‘bertransformasi’ oleh horor yang ia lalui. Tapi film ini shift ke karakter lain, dan karakter utamanya skip gitu aja langsung ke ‘transformasi’. Ada denyut yang hilang di nada horor film ini.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INANG

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian percaya sama yang namanya hari sial? Bagaimana pandangan kalian soal kesialan itu sendiri?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



PAMALI Review

 

“Sometimes superstitions can have a soothing effect, relieving anxiety about the unknown and giving people a sense of control over their lives.”

 

 

Pernah sekali aku main game Pamali. Nyaliku langsung ciut pas diketawain kuntilanak dari atas atap. Aku ambil kunci di dinding, dan membuat karakter game itu keluar dari pagar rumah secepat kilat.  Ya, prestasiku memang tidak membanggakan untuk urusan game dengan sudut-pandang first-person. Bawaannya takut kena jumpscare melulu. Makanya, begitu tahu game ini diadaptasi menjadi film layar lebar, aku girang. Karena akhirnya aku akan bisa mengexperience misteri cerita yang katanya diangkat dari mitos-mitos lokal atau takhayul khas Indonesia. Sutradara Bobby Prasetyo memang bekerja sedekat mungkin dengan materi aslinya, menghidupkan misi membersihkan rumah angker untuk dijual tersebut ke dalam sebuah cerita drama pilu, surrounding rumah yang jadi berhantu. Meski memang tidak berhasil menjadi sedalam ataupun senendang drama horor seri ‘Haunting of’ kayak yang di luar itu, namun yah, paling tidak film Pamali cukup bisa menjadi cerita pengantar mimpi buruk. At least, bisa jadi pilihan untuk membuka musim Halloween tahun ini.

Sama seperti pada chapter gamenya, kita akan ngikutin karakter bernama Jaka yang kembali ke rumah masa kecilnya yang sudah lama tidak dihuni. Rumah di pedesaan ini hendak dijual, sudah ada yang menawar, sehingga Jaka harus memastikan rumah tersebut cakep dan layak huni. Di sinilah letak masalahnya. Rumah Jaka keadaannya jauh dari layak-ditinggali. Bukan karena berantakan dan listriknya mati, melainkan karena rumah tersebut dibayangi oleh ruh kakak Jaka.  Tapi Jaka belum ingat ini. Karena dia sudah tidak tinggal di sana sejak umur enam tahun, maka cowok itu cuek aja ngajak istrinya yang tengah hamil turut serta nginap dan membersihkan rumah itu selama tiga hari. Pengalaman mereka selama di sanalah yang perlahan membawa ingatan buruk kembali ke Jaka.

The White Lady enjoys AEW’s National Scissoring Day

 

Keunikan yang jadi ciri khas yang membuat game Pamali populer, bahkan hingga di kalangan gamer horor luar negeri, adalah banyaknya skenario konsekuensi tindakan yang dilakukan para pemain selama tiga malam membersihkan dan mengungkap misteri di rumah tersebut. Pemain diberikan kebebasan penuh. Bisa beneran beresin rumah sambil memecahkan misteri lewat membaca beragam catatan yang ditemukan, atau mau kayak aku yang langsung cabut dan gak jadi jual rumah pun bisa. Game akan memberikan beragam ending tergantung pilihan tindakan pemain. Sebagian besar dari cabang ending itu berasal dari sikap pemain terhadap pamali itu sendiri. Kita bisa menyingkirkan sesajen, yang mengakibatkan hantunya bakal marah, misalnya. Kita bisa membuang gunting, yang nantinya bakal berujung roh jahat berdatangan. Atau sebaliknya, pemain bisa memilih untuk jadi orang paling percaya takhayul sedunia dengan patuh sama pamali-pamali dan mendapat good ending. Nah, ruh Pamali ada di sana. Ini bukan hanya cerita tentang tragedi keluarga salah satu karakternya, tapi juga memuat bagaimana pamali itu sendiri bisa menjadi bagian dari misteri.

Ketika tertranslasikan jadi film, pilihan-pilihan yang free dilakukan oleh pemain dibentuk ke dalam karakteristik karakter cerita. Film Pamali menambah karakter, bukan hanya Jaka, tapi jadi ada Rika istri Jaka, lalu ada Cecep yang bantu menjaga rumah. Merekalah yang nanti akan kita lihat melakukan hal-hal, entah itu melanggar pamali, atau menekankan kepentingan respek terhadap benda-benda atau kegiatan tertentu. Film cukup bijak untuk tidak membuat hal menjadi annoying, membuat karakter skeptis yang bertingkah sompral atau semacamnya. Sompral sendiri memang jadi ‘gaya humor’ dalam gamenya, tapi film ini, berusaha membuat duo karakter sentral sebagai karakter yang berpikir logis dahulu, sebelum kemudian akhirnya mulai ‘terganggu’ oleh pamali, Sebelum akhirnya mereka mulai memikirkan dan terkena dampak pamali-pamali. Dengan melakukan seperti ini, film masih menapak di ground yang balance. Tidak hadir dengan menyuruh penonton ikutan superstitious, dan juga tidak menampik itu keras-keras. Perhatian penonton malah lebih diarahkan kepada karakter-karakter dari backstory juga dihidupkan oleh film. Menjadi orang-orang yang kita tonton alih-alih hanya membaca tentang mereka. Pamali tidak sekadar ingin membuat penonton takut, tapi juga pilu. Tidak seperti film horor biasanya yang baru mereveal siapa sebenarnya hantu di babak akhir, Pamali membuat kita langsung dibuat mengikuti perjalanan sedih karakter hantunya. Sejalan dengan pengalaman mengerikan ataupun catatan yang dibaca oleh Jaka ataupun istrinya, kita akan langsung dibuat flashback ke kehidupan Nenden sebelum ia jadi hantu.

Teknik begini membuat Pamali jadi salah satu horor Indonesia dengan cerita yang paling ter-flesh out. Karena ada begitu banyak waktu yang diberikan untuk kita mengenal karakter-karakternya. Dari yang awalnya mungkin meragukan ‘kecerdasan’ Jaka membawa istrinya yang hamil nginap di antah berantah, kita jadi peduli sama kesusahan yang harus mereka lewati bersama. Kita terinvest sama keselamatan karakter yang diperankan Putri Ayudya. Kita pengen tahu lebih banyak kenapa Marthino Lio bisa gak ingat sama kejadian masa kecil, dan kita jadi pengen lihat terus. Kepada Nenden yang jadi hantu juga, maan, Taskya Namya sukses menghidupkan karakter tragis ini, baik pas jadi manusia ataupun hantu. Suara tawanya saja bisa menghasilkan kesan yang berbeda. Yang jelas, suara tokek itu kalah seram begitu suara kekeh khas sejak dari versi gamenya terdengar jadi backsound adegan.

Hidup memang terkadang mengerikan. Like, perempuan hamil seperti Rika saja masih harus ikut membersihkan rumah kosong, supaya mendapat perbaikan nasib. Karena hidup berurusan dengan resiko-resiko seperti itulah, aturan-aturan muncul di masyarakat. To protect their own. Aturan-aturan yang akhirnya jadi sebuah pamali, sesungguhnya hanyalah reaksi manusia untuk saling melindungi, khususnya ketika dalam hidup ada begitu banyak hal yang tidak bisa diatur oleh manusia. 

 

Resiko film hadir seperti ini adalah dapat terasa ‘berat’ di cerita. Untuk memperingan ini, biasanya pembuat film akan berusaha mencari cara menceritakan backstory dan kejadian seram di present day dengan intensitas yang semakin naik, jika tidak bisa semakin unik. Karena jika tidak, penonton akan bosan. Cerita akan cepat menjadi repetitif karena penonton pasti akan berusaha mengaitkan apa yang terjadi di masa lalu dengan kejadian sekarang, lebih cepat dari yang dilakukan film. Di sinilah kekurangan film Pamali. Tidak berbuat banyak untuk meningkatkan pace ataupun intensitas cerita. Sehingga tiga malam yang dilalui Jaka dan istrinya terasa sangat dragging. Film benar-benar membuatnya terasa seperti video game. Setelah setiap malam akan ada ruangan baru yang bisa dijelajahi untuk membuka informasi baru. Ruangan ultimate yang harus dibuka adalah kamar Nenden. Hanya saja, sebagai film, excitement dari eksplorasi tentu saja sudah berganti menjadi eksposisi. Jadi dalam film ini, ruangan-ruangan itu terbuka untuk sebuah eksposisi baru. Yang terbuka setelah sejumlah eksposisi kita cerna. Makanya nonton ini bisa jadi suntuk. Film kurang menghiasi diri dengan adegan-adegan seram. Instead, film berusaha menggunakan humor sebagai change of pace. Yang mungkin masih bisa berhasil, kalo film melakukannya dengan tidak setengah-setengah.

Jadi terngiang-ngiang lagu gula jawa

 

Sebenarnya film memberikan porsi komedi dengan natural, lewat karakter Cecep yang diperankan oleh Fajar Nugra. Karakter ini tampak kayak warga lokal yang pengen beramah tamah, Tapi kemudian menjadi ‘aneh’ tatkala film memberikannya tugas untuk menyembunyikan tentang Nenden. Tingkah lucunya yang berusaha mengelak dari pertanyaan kemudian menjadi annoying karena gak benar-benar ada alasan kenapa dia gak mau cerita. Film hanya melakukannya untuk ngelama-lamain durasi. Karena kalo dia cerita, urusan jadi beres, padahal mestinya Jaka dan istrinya harus tiga hari ada di rumah itu (supaya sama ama gamenya). Nah, aspek mengulur-ngulur gak jelas ini yang bikin film makin tersendat di pertengahan babak kedua.

Yang paling bikin aku gak abis pikir adalah demi mengulur itu, film sampai membuat si Cecep membawa tukang listrik dan tukang kunci di hari yang berbeda, padahal tukang listrik dan tukang kuncinya diperankan oleh aktor yang sama! (Iang Darmawan) Ini kan lantas jadi menimbulkan pertanyaan bagi kita yang nonton. Film memancing ‘keanehan’ gak jelas yang sebenarnya gak ada fungsi apa-apa bagi misteri cerita. Like, dengan satu orang jadi dua karakter yang beda, tentu kita akan mempertanyakan apakah ceritanya dia memang kembar, atau malah apa mereka pengen nipu, atau apa kan? Pada akhirnya keputusan mengulur plot poin ini bikin penonton terdistraksi, kepada hal-hal yang mungkin sebenarnya trivial. Film harusnya bisa mengisi durasi dengan lebih padat dan tak mengulur-ngulur. Bikin saja Jaka langsung berurusan dengan memori masa kecilnya, kembangkan sepanjang durasi, daripada hanya dimunculkan di malam terakhir. Terutama, gak semua elemen narasi film harus dibikin benar-benar sama dengan di game. Jaka dan istrinya tidak harus nunggu tiga malam, baru semuanya memuncak. Malahan, ketika kita bicara film, himpitan waktu justru adalah hal yang diincar untuk meningkatkan stake dan intensitas. Jika dibikin dalam satu malam saja, mungkin bakal bisa bikin horor di film ini jadi lebih urgen – sehingga jadi lebih seram. Kita gak harus berlama-lama ngikutin kisah yang malah jadi terasa boring dan repetitif.

 




Horor Indonesia memang membanggakan, setidaknya sudah sering direcognize oleh luar, baik itu film maupun video game. Film ini salah satu yang ada karena sukses video game. Ceritanya berhasil memuat ruh dan karakteristik versi gamenya dengan baik. Hanya saja, seperti halnya adaptasi-adaptasi yang lain, ‘terpaku harus sama dengan game’ pada akhirnya jadi batu sandungan film ini. Karena pengen sama banget, film ini jadi mengulur-ngulur bahasan. Sehingga apa yang tadinya adalah sebuah cerita tragedi keluarga yang pilu, dan terflesh out, malah terasa jadi kisah yang membosankan dan repetitif, Padahal film ini punya karakter hantu dan desain musik serta suara yang horor abis. Namun tidak banyak adegan-adegan horor yang fresh dan nendang sebagai pengisinya. Film ini harusnya bisa jadi memorable, terutama karena ini baru film adaptasi game horor kedua yang dipunya Indonesia, akan tetapi karena penceritaannya yang tidak banyak menaikkan intensitas, film ini malah jadi datar dan takutnya hanya akan jadi another horror movie yang nangkring di bioskop.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PAMALI

 




That’s all we have for now.

Apakah pamali dan takhayul itu perlu disingkapi dengan respek?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



JAGAT ARWAH Review

 

The choices we make are ultimately our responsibility”

 

 

Dengan hitsnya horor dan superhero, hanya masalah waktu sampai ada yang menggabungkan keduanya. Bayangkan kalo para hantu lokal ‘kesayangan’ kita berkumpul membentuk tim pemberantas kejahatan. Well, ya itulah yang basically terjadi dalam Jagat Arwah, garapan sutradara Ruben Adrian. Konsep yang sangat menarik. Jagat Arwah tampak punya niat dan ambisi besar untuk menjadi sebuah cerita petualangan fantasi yang unik berdasarkan mitologi khas Indonesia.  Aku tertarik. Dan dari apa yang kutonton, film ini memang kayaknya sudah memilih untuk menjadikan ini sinematik universe yang gak kalah gede dari film-film superhero. Jagat Arwah bisa dengan mudah dikembangkan menjadi sekuel-sekuel. Namun seperti yang digagaskan oleh cerita filmnya, ketika sudah memilih berarti ada tanggungjawab untuk melakukan pilihan tersebut sebaik-baiknya. Tanggungjawab bercerita dengan baik inilah yang kulihat masih belum tampak betul adanya. Sebab film Jagat Arwah ini masih terasa seperti ledakan ide-ide keren semata.

Setelah menit-menit awal yang menampilkan seseorang bertindak bego terhadap alat guillotine, kita akan dapat eksposisi mitologi cerita film yang dilakukan sepenuhnya lewat animasi visual yang ciamik (untuk ukuran efek Indonesia). Penjelasan di eksposisi pembuka itu juga cukup encer dan mudah dicerna. Penjelasannya tentang pusaka Batu Jagat membantu mengeset tone fantasi. Dan kemudian, setelah the most unconvincing musical performance ever in movies, kita akhirnya bertemu dengan karakter utama. Raga, anak muda yang lebih suka ngeband bareng teman-temannya daripada ikut jualan obat bareng ayahnya. Raga belum tau saja bahwa ternyata ayahnya punya kekuatan, darah mereka adalah turunan penjaga Batu Jagat, dan bahwa dirinya sendiri telah ditakdirkan untuk menjadi Aditya Ketujuh yang punya kekuatan membuka portal ruang dan waktu. Informasi tersebut diketahui oleh Raga setelah tragedi menimpa sang ayah. Sekarang Raga harus digembleng dulu oleh Pak Le. Sebab pemuda ini diwarisi begitu banyak. Tugas, tanggungjawab, serta penjaga-penjaga ghoib yang ditugasi membantu keluarganya secara turun temurun.

Malah jadi kayak Kera Sakti; 3 siluman mengabdi kepada seorang annoying

 

Meskipun memang situasinya cukup kelam (anak yang mendadak harus dealing with kematian orangtua satu-satunya), tapi toh dunia dan mitologi cerita ini memang menarik. Mendadak punya pengawal Genderuwo yang suka cekakak-cekikik. Mendadak ada Kuntilanak yang practically bilang ‘I miss you‘ setelah selama ini diam-diam ngikutin terus kemana-mana. Mendadak belajar banyak hal di luar dunia manusia. Bertemu banyak hal tak kasat mata. Experience ini mestinya dieksplor oleh film. Kita harusnya menyelami ini bareng Raga. Tapi film membuat Raga sungguh-sungguh tak antusias. Antipati sama semua. Bayangkan kalo Harry Potter pas dikasih tahu dirinya penyihir cuma bilang ‘oh’ lalu ‘kalian semua penyihir pada di mana saat keluargaku dibunuh Voldemort, ha! HA!!!?’ Hagrid pasti mingkem dan nangis-nangis di pojokan. Begitulah Raga didesign oleh film ini. Dirinya tenggelam di antara sedih dan marah sehingga cuek bebek sama keadaan dirinya sekarang jadi jagoan dua dunia. Kenegatifan Raga membuat kita pun jadi tidak bisa menikmati konsep film sepenuhnya.

Sikap Raga sebenarnya bisa dimaklumi. Dia toh memang mendadak dibebani tanggungjawab yang berat. Apalagi selama ini dia juga lebih suka bermusik. Gagasan atau pesan film di balik kisah Raga ini sepertinya adalah soal tanggungjawab kita terletak pada hal yang kita pilih. Raga enggak mau semua jagat-jagatan itu, dia tidak mau punya pengawal genderuwo, dia tidak mau dan tidak akan bisa memenuhi takdirnya sebagai Aditya terkuat, sampai dirinya sendiri memilih untuk memikul semua itu in the first place. Sesungguhnya yang dirasakan Raga adalah hal yang relate untuk anak muda. Karena gak sedikit anak-anak muda yang terpaksa harus melanjutkan apa yang telah dicanangkan orangtua kepada mereka. Harus kuliah jurusan ini. Harus kerja di bidang itu. Film tampaknya ingin ngasih satu dua hal dalam menjembatani keinginan orangtua dan keinginan anak seperti demikian. Makanya dalam Jagat Arwah juga diperlihatkan solusi berupa Raga harus ‘ngomong’ langsung dulu dengan ayahnya. Relationship yang harus dijalin itulah yang jadi kunci, yang sudah terlambat untuk dilakukan Raga karena ayahnya tewas. Sehingga kini dia harus melakukan itu lewat hubungan-hubungannya dengan hantu-hantu pelindung warisan ayahnya.

Yang harus diingat adalah setiap orang hanya bertanggungjawab atas pilihan yang mereka buat sendiri. Raga enggan memikul takdir karena takdir tersebut sudah dibebankan kepadanya sedari lahir. Apapun yang ayah lakukan untuk mempersiapkan Raga tidak akan bisa membuatnya mau menyandang tanggungjawab, karena itu bukan pilihannya. Raga harus kenal dan memilih dulu. Pembelajaran soal tanggungjawab ini pada akhirnya tercermin pada diri Raga saat dia membebaskan para hantu pelindung dari tanggungjawab, dan menyuruh mereka memilih mau masing-masing apa.

 

Di atas kertas memang kayaknya enak. Film ini punya konsep dan gagasan yang tertulis menarik dan menantang. Hanya saja eksekusinya yang jauh dari kata bagus. Efek visual gak akan bisa mendorong film ini maju jauh jika tidak diimbangi dengan teknik bercerita lainnya. Contoh kekurangan film ini  salah satunya ada pada si Raga itu sendiri. Konflik Raga yang berontak gak dikasih kesempatan memilih sendiri hidupnya dilakukan oleh film segitu minimnya sehingga Raga malah kelihatan seperti anak cengeng yang manja. Ada adegan ketika dia disuruh jaga lapak obat, terus ternyata dia dikeroyok oleh anak muda di pasar karena that was a weird job, dan sampai di rumah Raga misuh-misuh bilang semua gara-gara ngikutin kerjaan ayah, padahal dia sukanya musik. Di sini Raga kesannya merengek dan manja karena film tidak membangun dulu seperti apa sikap ayah terhadap Raga dan main musik. Kita hanya melihat murungnya Raga, Ketika pindah ke ayah, kita diperlihatkan sosok orangtua yang baik, hangat, tidak menentang dengan keras soal musik. In fact, introduksi ayah dilakukan lebih baik oleh film ini. Kita diperlihatkan dia mengusir ruh jahat dari rumah penduduk, dan menolak dikasih imbalan. Bandingkan dengan cara film memperkenalkan Raga. Tidak memperlihatkan personality apa-apa. Begitu ada konflik, langsung merengek dan marah-marah aja. Gimana kita tidak ter-alienated  ke dia. Aku malah lebih simpati kepada ayahnya, meski aku yang waktu kuliah disuruh ngambil jurusan yang bukan keinginan sendiri harusnya lebih relate ke Raga.

Jangankan itu, aku malah merasa kok lebih enak si Genderuwo yang diperankan Ganindra Bimo sebagai tokoh utama. Personalitynya lebih menarik. Genderuwo agak usil, suka ledekin Raga yang menurutnya lemah. Genderuwo yang udah ikut ayah bertahun-tahun kini dipersalahkan oleh Raga (sekali lagi Raga terlihat kayak anak manja). Dituduh lalai melindungi ayahnya. Ini jadi retakan konflik di antara keduanya. Sampai akhirnya Raga mengusir Genderuwo. Dan nanti si Genderuwo harus dealing with all of this, dan bahkan melakukan sesuatu pengorbanan untuk melindungi Raga. Perasaan Genderuwo jiga tak kalah kompleks dari Raga. Malahan, mungkin yang paling terflesh out. Hantu-hantu lain kayak si hantu belanda Nonik Cinta Laura cuma jadi healer setia, dan si Kunti Sheila Dara cuma bucin. Yang lucunya dari interaksi Raga dengan mereka-mereka ini adalah si Raga kalo sama Genderuwo marah-marah nyalahin melulu, sementara sama hantu yang cewek dia baik. Dan karena si Raga ini baiknya cuma kalo pas ngobrol sama hantu cewek, dia jadi malah kayak ngeflirt ke hantu. Aku gak tau kenapa film memantik romansa antara Raga dengan Kunti, karena ini bahkan lebih aneh daripada Bella dan Edward. Dan lagi, yang bikin parah, relasi Raga dan Kunti menghancurkan pesan soal memilih tanggungjawab yang diusung naskah. Bahkan penonton di sebelahku aja nyeletuk ‘kacau’ kok. Karena pas di akhir itu, Raga memaksa Kunti untuk ikut meskipun Kunti sudah memilih untuk pergi karena tugasnya sudah berakhir.

Raga, si agen arwah 007

 

Kesan lemah dan manja itu muncul berkat akting Ari Irham yang memang sama sekali tidak bertenaga. Mungkin di Mencuri Raden Saleh (2022) dia masih tampak santai bilang “Nyet” dan akting kebut-kebutan. Karakternya gak banyak yang dilakukan secara emosi. Sayangnya bagi kita, perannya kali ini, Raga adalah karakter dengan gejolak perasaan sehingga banyak sekali adegan yang mengharuskan dia teriak emosi, marah, frustasi dan sebagainya. Ari Irham gak bisa lepas. Teriakannya kayak tertahan, sehingga jadi emotionless. Cuma gedein suara doang. Lihat saja pas bagian dia marah kepada ayahnya setelah dipukuli di pasar. Kelihatannya manja alih-alih luapan emosi seorang anak yang merasa gak bebas. Perkembangan karakter Raga yang memang kayak langsung lompat dari gak mau ke ‘ayuk kita latihan’ juga membuat akting Irham semakin kayak akting-di-momen-terpisah aja. Gak kayak kesinambungan progres karakter yang belajar dan memperbaiki dirinya. Dengan kata lain, Raga gak pernah tampak natural. Dari pemuda yang tertekan ke punya kekuatan, semuanya terjadi gitu aja. Yang konsisten cuma tampak lemahnya saja. Satu hal yang buatku dilewatkan oleh film ini adalah soal Raga dengan hobi musiknya. Harusnya bisa dibuat musik itu sebagai cara unik Raga menyalurkan kekuatan, karena musik selama ini adalah cara dia mengekspresikan diri. Raga gak harus jadi orang super yang generik (sama gayanya ama karakter ayah dan lainnya) karena dia toh punya musik. Kenapa film tidak lagi mengeksplor musik sebagai identitas Raga adalah hal yang buatku lebih misterius ketimbang scheme Pak Le Raga.

Yea I said it. It was supposed to be a spoiler, but I said it.  Pak Le yang diperankan oleh Oka Antara adalah surprise antagonis, dan aku harus menyebut ini karena ingin menyinggung soal betapa basic dan kadaluarsanya karakter ini dibentuk oleh film. C’mon, tahun berapa ini sekarang. Trope karakter yang ternyata-jahat lalu tiba-tiba sikapnya berubah jadi sok asik, ini sudah ketinggalan jaman banget. Gak semua karakter yang dari baik ternyata diungkap jahat harus mengalami perubahan sikap. Kenapa begitu jadi jahat orang harus berubah jadi bersikap sok asik. Sok gila.  Sok keren. Yang jadi masalah lagi adalah di film ini gak pernah dikasih lihat jelas apakah si Pak Le beneran jahat atau hanya pengaruh Hollow dari guillotine, mengingat ada karakter manusia satu lagi yang jadi jahat karena Hollow. Sehingga film inilah yang jadinya terasa sok asik.

 




Mistis dan horor adalah kesukaanku. Aku literally punya mainan kuntilanak karena aku suka apapun yang menyangkut mitologi hantu-hantuan. Film ini jadi mengecewakan buatku. Aku tertarik sama konsepnya yang menjadikan hantu jadi kayak superhero, memberantas kejahatan dalam petualangan fantasi. Aku suka sama desain karakternya, membuat hantu jadi stylish dan segala macem. Sayang, eksekusi bercerita film ini masih standar dan generik. Mau terlihat keren tapi melupakan banyak aspek dan detil penceritaan. Sehingga jadinya ya kayak Raga. Letoy. Pengembangannya karakternya kurang. Karakter utamanya jadi annoying karena malah terlihat manja ketimbang berkecamuk oleh konflik. Antagonisnya juga annoying karena sok asik. Hantu-hantu jagoannya malah underdevelop, dengan hanya si Genderuwo yang menarik, kayak Kera Sakti yang sering ribut ama biksu Tong Sam Chong.  Kalo benar ini mau dikembangkan jadi banyak petualangan lagi, aku mengharapkan perbaikan yang sebesar-besarnya.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for JAGAT ARWAH

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana cara yang tepat untuk memberikan tanggungjawab kepada anak muda?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



BODIES BODIES BODIES Review

 

“Sometimes your dearest friend whom you reveal most of your secrets to becomes so deadly and unfriendly…”

 

 

Bersahabat berarti kita tahu baik-dan-boroknya perangai sobat-sobat sekalian. Tolerate them, just like they tolerate us – at some degree. Nah, batasan degree inilah yang menarik. Berbagai cerita telah mengeksplor apa yang terjadi kepada satu grup pertemanan saat dark secret masing-masing dibongkar, dihamparkan keluar. Udah jadi kayak trope tersendiri. The ‘revealed secrets’ trope. Serial sitcom Community, misalnya, punya tiga episode dengan trope ini. Karena memang menarik mengulik karakter melalui rahasia terdalam mereka, dan tentunya juga membuat relationship mereka jadi semakin berwarna. Namun, belum banyak yang menggali trope ini lewat lensa horor atau thriller. Itulah hal fresh yang dibawa oleh Bodies Bodies Bodies garapan Halina Raijn. Yang dalam prosesnya, juga balik menyajikan sesuatu yang baru terhadap perspektif dan juga trope lain, yakni, whodunit itu sendiri.

Kata Bodies Bodies Bodies merujuk kepada permainan yang dilakukan oleh geng karakter di film ini. Mereka berkumpul di rumah gede, merayakan kembalinya Sophie dari rehab. Di luar lagi badai, jadi mereka mengisi waktu dengan permainan yang mirip kayak Werewolf atau Among Us. Mereka akan berusaha menebak satu ‘killer’. Dan saat itulah tuduh-tuduhan itu semakin menjadi. Dari dialog-dialog kita bisa mendengar bahwa ada rekah-rekah kecil – tapi serius – di balik keakraban mereka. Kehadiran orang baru seperti Bee, pacar baru Sophie, juga tidak banyak membantu. Ketegangan menjadi benar-benar memuncak menjadi horor saat salah satu dari mereka ditemukan tewas dengan luka sabetan pada leher. Ada ‘killer beneran’ yang menginginkan mereka semua mati satu persatu. Kita lantas melihat geng ini semakin hancur as semua mulai saling serang dengan fakta-fakta kelam demi mencari siapa pembunuh di antara mereka.

Anak Borat main film thriller!!

 

Yang nonton film ini mengharapkan whodunit standar, bakal either surprise berat atau malah kecewa parah. Dan itu bukan salah penonton, melainkan karena memang itulah resiko yang diambil oleh film ini. Misteri siapa pelakunya, apakah pelakunya ada di antara mereka atau ada orang lain (ada satu anggota geng yang menghilang sedari awal cerita dimulai) memang dibangun penuh tensi dan misteri. Namun di balik tensi dan mayat-mayat bersimbah darahnya, Bodies Bodies Bodies sebenarnya terutama diniatkan sebagai satir. Sindiran buat perilaku komunikasi sosial seperti yang diperlihatkan oleh karakter-karakternya. Sophie dan gengnya adalah anak-anak orang kaya, trendi, mereka ini istilahnya anak gaul banget. Bahkan karakter utama kita, Bee, walaupun berasal dari luar circle, dia foreigner di antara yang lain, gak share lifestyle yang sama, tapi tetap punya ‘gaya’ sosial yang serupa. Salah satu dialog yang jadi diulang saat Sophie muncul bersama Bee di rumah itu adalah persoalan anak-anak yang lain surprise melihat Sophie beneran dateng karena selama rehab Sophie tidak pernah membalas grup chat di Whatsapp. Ya, karakter-karakter di cerita ini merepresentasikan Generasi Z. Anak-anak muda yang secara konstan bergaul di internet, sosial media. Karakter-karakter di sini punya podcast, bicara dengan kamus ala anak-anak woke di Twitter, dan cari pacar di dating app. Furthermore, film ngasih lihat sedikit perbandingan antara generasi mereka dengan generasi yang sedikit lebih tua lewat karakter Greg. Outsider seperti Bee, karena adalah pacar tinder si Alice, salah satu teman geng Sophie.

Rahasia buruk mereka semua berkenaan dengan betapa fake-nya mereka terhadap masing-masing. Satu adegan menunjukkan mereka nari TikTok bareng, lalu ada juga adegan lain yang nunjukin mereka berargumen soal apakah satu orang karakter beneran suka sama podcast karakter yang satunya. See, dari karakter-karakternya saja film ini sudah divisive. Sebagian penonton akan merasa relate sama permasalahan sosial ‘kekinian’, sebagian penonton lagi akan jengkel. Aku termasuk yang sebagian kedua. Buatku mereka semua annoying,  candaan mereka gak masuk ke aku, aku tahu kalo aku seatap dengan circle seperti mereka itu aku pasti sudah cabut daritadi. Aku hanya bisa relate sama game bodies bodies bodies mereka karena.. well, karena game. Selebihnya aku hanya seperti benar-benar menonton saja. Nah, ketika seorang yang gak care dan gak relate bisa betah menonton, itu sebenarnya sudah ‘prestasi’. Bahwa di balik itu, film ini punya ‘sesuatu’. Dan ‘sesuatu’ itu bukan hanya soal misteri whodunit atau misteri bunuh-bunuhannya saja, melainkan juga pesan di dalamnya. Relate atau tidak, suka atau tidak dengan revealing di endingnya (mungkin lebih tepatnya, merasa ‘tertipu’ atau tidak) gagasan film ini adalah sesuatu yang beresonansi dengan kita yang hidup di masa sekarang. Film hanya membungkusnya dengan rapi ke dalam misteri whodunit dan karakter-karakter annoying.

Memikirkan tujuannya sebagai satir untuk pergaulan Gen Z, film ini sebenarnya cukup ‘keras’. Banyak dialog yang benar-benar menyindir tajam betapa insignifikan hal yang merasa jadi masalah buat mereka. Gen Z yang nonton kayaknya bakal tersentil. Like, sebegitu pentingnyakah orang harus balas chat Whatsapp sehingga dia datang saja dianggap ‘tiba-tiba’ dan dianggap sombong sama teman satu geng. Atau soal podcast, segitu pentingnyakah kita harus suka sama konten yang dibuat teman kita untuk populer di sosmed. Ini kayak gue like punya lu, lu like punya gue, karena harus saling menghargai usaha bikin konten. Atau juga soal bahasan toxic, dan istilah-istilah itu. Film dengan blatant menyebut anak jaman sekarang menggunakan istilah-istilah trending just because it is trend, dan padahal sebenarnya mereka tidak punya pendapat personal soal permasalahan yang bersangkutan. Bagian-bagian mencekam ketika lampu mati dan mereka harus berjalan dalam gelap hanya dengan bantuan cahaya dari layar hp seperti menguatkan gagasan film soal betapa anak muda sudah merasa gede dan ‘aman’ hanya dengan melihat lewat gadget. Ultimately, ending filmlah yang ngasih toyoran paling kuat. Film rela whodunitnya jadi ‘agak laen’ supaya gagasan dan sindiran tersebut benar-benar nonjok.

Yang film ini ingin tunjukkan adalah betapa lemahnya pertemanan dan bahkan relationship yang didasari oleh bagaimana orang bertindak di internet. Yea, sesama teman mungkin bisa khilaf dan keeping secret lalu membocorkan rahasia, tapi dengan perilaku bersosial media sekarang, semua itu terasa lebih rapuh. People will have no idea how to act genuinely ketika berhadapan langsung, dan bakal ended up hurting each other more. Yang baru saja kita lihat adalah kisah bagaimana sekelompok Gen Z menghancurkan koneksi, menghancurkan diri mereka sendiri karena ketika bertemu, mereka tidak bisa bonding secara natural melainkan jadi merasa saling ekspos satu sama lain

Mungkin karena settingnya seringkali gelap, tapi si Emma ini sekilas-kilas tampak mirip Mawar de Jongh

 

Horor atau thriller biasanya suka membunuh karakter yang paling likeable atau simpatik, you know, untuk menaikkan tensi dramatis. Untuk karakter utama, kematian karakter likeable ini biasanya diset sebagai pukulan berat. Malangnya bagiku, karakterBodies, Bodies, Bodies yang likeable – yang mikir pakai logika dan gak berdialog pake istilah-istilah kekinian –  juga dibuat mati, yang berarti aku ditinggal bersama karakter-karakter annoying, dengan situasi kematiannya yang juga sama-sama annoying. Karena dari adegan kematiannya itulah aku sadar bahwa karakter utama film ini juga tidak akan diniatkan untuk belajar inline dengan penonton. Bahwa karakter utamanya juga bergerak dalam design tipikal karakter Gen Z. Itulah yang jadi bahan koreksi untukku pada film horor keluaran A24 ini. Karakter utamanya, si Bee, tidak benar-benar punya pembelajaran yang kuat, melainkan hanya dijadikan sadar, dan dia itu tetap adalah bagian dari kerapuhan relasi.

Maria Bakalova sebenarnya memerankan Bee dengan sesuai. Dia mengerti kebutuhan naskah, paham kapan harus mengundang simpati, kapan harus bertingkah sus, kapan harus cerdik, dan mainly itu dilakukannya dengan ekspresi. Sama seperti si Amanda Stenberg yang jadi Sophie, jago dan ngertinya juga dalam memainkan ekspresi. Design karakter mereka saja yang ngambil resiko. Kayak si Bee,  momen dia membunuh karakter likeable satu-satunya, adalah momen kita meragukan dirinya sebagai tokoh utama. Momen ketika tokoh utama tidak bertindak seperti penonton jika mereka ada di posisi yang sama. Karena kita tidak bisa melihat alasan dia harus membunuh. Bee hanya berubah dari yang tadinya cinta, overly kalo boleh disimpulkan sesuai aksinya, ke jadi takut sama pacarnya. Ini bukan plot yang kuat untuk karakter utama. Sehingga karakternya malah jadi kurang kuat punya alasan untuk ada di sana, melainkan hanya sebagai pasangan dari karakter lain. Film tidak mengeksplorasi banyak siapa dirinya. Aku malah mikir, kalo karakter Bee gak ada, ceritanya jadi hanya tentang Sophie yang balik dari rehab untuk menjalin pertemanan lagi dengan teman-teman gengnya – film ini masih bisa jalan. Gagasan dan sindiriannya masih bisa juga tersampaikan tanpa harus lewat sudut pandang Bee. So yea, Maria Bakalova memainkan Bee dengan hebat, hanya saja Bee ini kurang kuat sebagai karakter. Hampir seperti dia ada karena film butuh romance, dan butuh dua orang untuk moment final.

 

 




Aku gak nyangka bisa betah juga nonton film yang karakternya benar-benar annoying semua dan gak relate. Mungkin itulah kekuatan dari cerita. Kekuatan dari naskah. Film ini benar-benar punya sesuatu untuk dikatakan, dan mendesign ceritanya untuk memenuhi itu. Menempuh banyak resiko, di antaranya membuat bangunan misteri whodunit jadi punya ‘surprise’ yang might not working well buat penonton. Untukku, endingnya worked great, design atau konsepnya bisa dimaklumi karena film ini mengincar ini sebagai satir. Yang kurang hanya pembangunan karakter utamanya, yang gak benar-benar dieksplor. Cerita dan fungsi film menurutku masih bisa jalan tanpa dia
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BODIES BODIES BODIES

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian society generasi kekinian memang akan menghancurkan dirinya sendiri?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



JAILANGKUNG: SANDEKALA Review

 

“Family means no one gets left behind”

 

 

Skor sejauh ini untuk franchise Jailangkung modern adalah 0-2. As in, dari dua film pertamanya (Jailangkung tahun 2017 dan Jailangkung 2 tahun 2018) belum ada satupun yang memenuhi standar ‘bagus’. Sekadar menghibur pun tidak. Bukan salah temanya. Tema berkomunikasi dengan arwah (lewat perantara boneka, ataupun medium lain) sesungguhnya memang beresonansi dan punya daya tarik tersendiri bagi kita manusia yang bakal hampir selalu berurusan dengan kehilangan. Sehingga masih banyak sudut untuk digali. Buktinya, di luar juga ada ‘permainan memanggil arwah’ yang seperti jailangkung, dan sering juga dijadikan film.  Franchise Jailangkung ini sendiri toh memang berusaha menggali dengan memasukkan mitos lokal lain sebagai balut dari kisah kehilangan dalam keluarga. Sebelum ini ada Mati Anak, legenda kapal SS Ourang Medan, dan kini mereka mengangkat Sandekala. Pamali anak kecil bermain di kala senja. Dan Kimo Stamboel – yang sebelum ini cukup mengangkat sedikit ‘derajat’ franchise Danur lewat spin off Ivanna – kali ini seperti diemban misi yang sama. Visi dan gayanya diharapkan bisa menyelamatkan franchise horor yang nyaris kandas, tapi belum mau mati ini.

Tantangan is up there bagi Kimo, karena Jailangkung: Sandekala memilih untuk tetap grounded dengan cerita keluarga. If I’m not wrong, film ini adalah kali pertama Kimo bermain horor di lingkup 13+ alih-alih 17+ yang biasa ia garap. So yea,  di film ini Kimo akan  punya lebih sedikit darah dan kebrutalan (meski tidak hilang sama sekali), dan harus lebih fokus mengangkat cerita dan drama dari situasi horor yang merundungi keluarga Sandra sebagai sentral narasi.

Kita bertemu keluarga Sandra saat mereka sedang family trip ke danau. Tapi ini bukan acara jalan-jalan liburan yang happy-happy. Melainkan dalam rangka meluruskan hal-hal kusut dalam keluarga mereka. Dari dialog-dialog, kita mendapat informasi bahwa Sandra yang tengah hamil, lagi ‘dimusuhi’ sama putri sulungnya, Niki. Film actually cukup decent dalam menampilkan potret keluarga ini layaknya keluarga beneran dengan segala masalah-masalah kecilnya, walaupun masih standar trope keluarga dalam film horor. Anak remaja yang mulai renggang dengan orangtua.  Adek yang overly curious sehingga bikin kakaknya lebih jengkel lagi. Ayah yang berusaha jadi penengah. Ibu yang semakin stres karena tidak mengerti tingkah anaknya. Ketakutan Sandra  akan kehilangan anaknya jadi terwujud dalam bentuk yang lebih mengerikan. Si putra bungsu, Kinan, yang mengeksplorasi hutan sekitar danau sore itu tiba-tiba menghilang. Polisi segera diberitahu, pencarian dilakukan tapi nihil. Daerah tersebut memang dikenal dengan kasus anak-hilang sehingga sekarang penyelidikian di luar yang dilakukan pihak berwenang harus dilakukan. Niki dan keluarganya dengan segera tahu mereka bukan berurusan dengan penculik dari kalangan manusia.

So glad mereka menyingkirkan mantra “Datang gendong, pulang bopong” dan kembali ke mantra Jailangkung yang biasa.

 

Detil kecil yang membuatku meluluskan interaksi mereka sebagai masalah keluarga yang felt real adalah Niki menunjukkan rasa marah dengan memanggil ibunya dengan nama. Like, in real life, aku pernah beberapa kali mendengar langsung anak-anak cewek yang sedang marah kepada ibu mereka, mengekspresikan emosi tersebut dengan tidak lagi memanggil ‘ibu’ melainkan langsung nyebut nama. Also, belum banyak film indonesia yang menampilkan ‘pertengkaran’ ibu dan anak lewat cara relate seperti ini. I’m not sure, but it might be the first. Sungguh terasa baru, dan tanpa tahu masalahnya pun kita bisa lantas mengerti ada ketegangan serius antara Niki dan Sandra.  Masalah Kinan, si bungsu, yang hilang diculik hantu di hutan seharusnya benar-benar bisa jadi cara ibu dan anak cewek ini meresolve masalah mereka. Mendekatkan apa yang renggang melalui kesulitan dan kengerian yang dilalui bersama. Tapi sayangnya tidak lanjut mengeksplor soal tersebut. Persoalan memanggil nama saja, misalnya, tidak ada tahapan resolvenya. Setelah sempat saling menyalahkan waktu malam Kinan menghilang, Sandra dan Niki jadi otomatis baikan. Niki sudah memanggil ibu kepada Sandra di hari esoknya. Film yang jeli melihat drama dan konflik karakter, pasti tidak akan segampang itu membuat Niki mau memanggil ibu lagi. Bahkan jika mereka di depan orang asing, dialog Niki akan dibuat tidak akan menyebut ibu dulu. Memanggil Sandra dengan ibu akan dijadikan titik balik penyadaran karakter yang dramatis, yang harusnya disimpan untuk momen akhir, dalam sebuah cerita yang dramatis.  Buatku, film bukan saja melewatkan kesempatan, melainkan benar-benar lupa total ada bahasan yang harus diselesaikan di antara karakter. Bahasan ibu dan anak cewek inilah yang padahal jadi ruh sebenarnya cerita.

Yang namanya orangtua pasti takut kehilangan anaknya, by any means. Film ini sebenarnya cukup kuat menekankan persoalan tersebut, dengan membuat kisah kehilangan menjadi horor, secara paralel dialami baik oleh protagonis maupun antagonisnya. Kontras dimainkan dengan membuat Niki, si anak yang mulai menjauhi keluarganya, lebih pantas menjadi sudut pandang utama. Kehilangan adik, dan resiko kehilangan seluruh keluarga oleh bahaya pada akhirnya jadi pelajaran utama yang tersampaikan kepada penonton. Bahwa apapun yang dirasakan sesaat, gak ada orang yang mau kehilangan keluarganya.

 

Usaha untuk menjadikan ini sebagai cerita yang lebih grounded sebenarnya terasa. Gak jauh-jauh, kita bisa bandingkan racikan horor Kimo di film ini dengan di Ivanna yang tayang berdekatan. Sandekala, meski eksplorasinya masih kurang, tapi fokusnya memang lebih kuat sebagai drama keluarga yang harus berurusan dengan kehilangan anak. Misteri hantunya juga ada,  dengan sekuen-sekuen penyelidikan sederhana dan segala macam, tapi di film ini kita bisa lihat misteri itu dihadirkan bareng untuk memuat mitologi sandekala dan jailangkung, serta untuk mendorong para karakter untuk semakin diteror kehilangan. Bukan hanya misteri yang diungkap lewat eksposisi, yang karakternya gak banyak ngapa-ngapain selain jerit-jeritan. Karakter dalam Jailangkung: Sandekala melewati perjalanan atau range emosi yang lebih kentara. Syifa Hadju sebagai Niki menempuh hal-hal yang memang biasa dialami oleh protagonis dalam horor yang decent. Walaupun skala yang dilakukan masih kecil alias sederhana, tapi tahapan protagonis dan perkembangan karakternya ada.  Sandra yang diperankan Titi Kamal didesain lebih sederhana lagi, tapi at least kevulnerable-an seorang ibu dari karakter ini dipush terus. Yang gak maksimal buatku pada Sandra adalah bahwa karakter ini diberikan ‘handicap’ yaitu dibuat hamil, tidak benar-benar menambah banyak untuk cerita. Hanya untuk membuatnya semakin vulnerable saja. Gak banyak dimainkan ke dalam perkembangan cerita ataupun obstacle horor yang harus ditempuhnya. Mungkin juga itu karena Kimo harus menahan diri di elemen horor. Like, cerita 13+ certainly gak bakal boleh ngasih lihat something gory/gross dengan kehamilan atau semacamnya. But he did ngasih Titi Kamal sekuen yang bikin penonton di sebelahku melonjak-lonjak histeris di kursinya.

Jika biasanya Kimo suka bermain horor di lingkungan tertutup, tapi brutal sebebasnya, maka film ini kayak kebalikannya. Kebrutalan dia batasi tidak terlalu gamblang dan emosional pada adegan mati yang sadis, tapi environment horornya sekarang luas. Satu wilayah; hutan, danau, beserta desanya. Aku suka usaha film menghidupkan lokasi. Bukan lagi menjadikan sebagai lokasi yang membatasi gerak. Tetapi harus hidup dengan pamali sandekala dan kasus-kasus misterius. Bahkan waktu senja juga berusaha dihidupkan. Film actually ngasih grading kuning yang gloom dan serem sebagai penanda ini waktu bagi hantu keluar. Momen-momen awal saat senja kuning di hutan lebat, dan Niki berusaha mengimbangi langkah adiknya yang jalan duluan excited oleh pemandangan, membuatku serasa mengexperience ulang game Fatal Frame 2 yang konteks adegan, lokasi, dan warnanya sama. It’s a compliment karena Fatal Frame 2 adalah salah satu game horor tersukses lewat atmosfer desa misterius dan mitologi adik kembar yang hilang. Yang berarti film ini, setidaknya, buatku menghasilan kesan yang serupa. Yang berarti atmosfer horornya dapet. Film juga ngasih lihat suasana senja di desa, saat anak-anak digiring masuk rumah masing-masing oleh orangtua mereka. Membuat horor dan desa itu sendiri jadi hidup. Semuanya juga melingkar dibuat oleh film. Portal, tempat bermain anak, yang kita lihat di awal, akan jadi sesuatu di akhir. Film juga memasukkan elemen red herring berupa ada karakter yang dituduh jadi pelaku penculikan anak oleh polisi.

Hampir jadi kayak Miracle in Cell No,7 versi horor, dong!

 

Memang, lagi-lagi momok dalam sinema horor Indonesia adalah naskah. Kayak takut gitu bikin naskah yang benar-benar mendalam. Seperti contoh masalah ibu dan anak cewek yang gak lanjut dibahas tadi, film ini naskahnya stop menggali at some point. Majunya narasi jadi mulai sekenanya aja. Sesederhana dialek dan bahasa karakternya pun, film ini gak mau konsisten menggali. Beberapa kali ada karakter yang mestinya desa dan sunda banget, malah jadi terdengar kayak orang kota biasa. Jelas ini membuat karakternya jadi less-believable. Mengembangkan soal Niki, juga begitu. Alih-alih benar-benar menunjukkan sisi Niki udah gak betah dekat ama keluarganya lama-lama dengan lebih natural, film membuat dia jadi kayak punya kebiasaan ‘bego’ ninggalin keluarga. Adiknya ditinggal pipis di pinggir danau. Ibunya ditinggal di rumah orang asing di tengah hutan, dengan alasan aneh dia ikut sama Faisal – ponakan polisi yang membantu mereka – ngambil mobil. Reasoning kenapa dia harus ikut Faisal itulah yang gak dipunya naskah. Jadinya ‘maksa’. Film harusnya benar-benar mematangkan segala tindakan karakter. Bagaimana menempatkan mereka di titik A dan B untuk majunya cerita harusnya bisa dipikirkan dengan lebih baik lagi.

Ngomong-ngomong soal titik-titik cerita, well, cerita anak hilang di hutan memang bukan cerita original. Tapi menurutku film ini sebenarnya punya kisah yang lumayan fresh karena balutan ibu yang bertengkar dengan anak perempuannya, juga mitos jailangkung dimainkan ke dalam mitos sandekala dari Sunda. Sayangnya, seperti naskah yang tidak jadi dikembangkan dengan dalam dan fresh, film ini juga tidak menjadikan adegan-adegannya sebagai kisah yang baru. Okelah soal sensasi mirip Fatal Frame 2, atau ada karakter yang ngingetin sama Miracle in Cell.  Namun untuk horornya juga ternyata film memilih untuk memainkan-ulang adegan-adegan atau poin-poin dari film atau media horor lain yang lebih banyak diketahui orang. Seperti misalnya adegan sesuatu yang menyeramkan menyeret orang dari lubang, dan nanti dia ngintip dari lubang sambil menyeringai. Siapapun yang nonton pasti langsung ngeh itu adegan It saat si badut menarik tangan bocah di opening. Paling blatant meniru adalah bagian ketika Niki masuk ke dunia lain. Dunia yang sebenarnya sama dengan dunia normal, hanya lebih mengerikan. Di situ dia akhirnya menemukan adiknya yang hilang dan  dia mendengar suara-suara ibunya dari dunia normal. Yes, benar, ini replika Upside Down-nya Stranger Things. Film ini niruin konsep serial Netflix populer tersebut hingga ke aturan dan segala macemnya. Bedanya cuma, boneka jailangkung adalah kunci untuk membuka portal masuk ke Upside Down hahaha

 

 




Set up dan ‘panggung’ sebenarnya lebih imersif, tapi ternyata cerita tidak mampu mengimbangi. Akhirnya, ya hanya menjadi horor generik. Padahal film ini punya potensi untuk menjadi drama horor keluarga yang deep dan berbobot. Tapi seolah hampir seperti ada batasan yang harus dipatuhi oleh pembuat film horor, yakni jangan sampai terlalu dalem. Batasan inilah yang mestinya dirubuhkan bareng-bareng. Oleh pembuat dan oleh penonton. Karena kita gak akan pernah dapat horor yang benar-benar bagus, kalo ceritanya sendiri takut menggali perasaan tergelap manusia lebih dalam. Tapi dibilang kecewapun, aku tidak sepenuhnya kecewa sama film ini. Aku lebih suka yang dilakukan Kimo di sini ketimbang di Ivanna. Dia mencoba ngasih kita lihat bahwa dia punya lebih daripada sekadar mati-mati yang sadis. Hell, jelas film ini lebih baik dibandingkan dua Jailangkung modern sebelumnya. 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for JAILANGKUNG: SANDEKALA

 

 




That’s all we have for now.

Mitologi lokal apalagi yang pengen kalian lihat dimash up dengan jailangkung untuk ke depannya?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



MINI REVIEW VOLUME 5 (TOP GUN: MAVERICK. 12 CERITA GLEN ANGGARA, SAYAP-SAYAP PATAH, DC LEAGUE OF SUPER-PETS, BEAST, PREY, KAMU TIDAK SENDIRI, LIGHTYEAR)

 

 

Enggak kerasa kita udah berada di caturwulan terakhir 2022 aja! Orang bilang kalo sedang bersenang-senang, waktu memang serasa berlalu bagai terbang. Dan ya, memang empat bulan terakhir sepertinya terasa lebih cepat karena banyak film yang bagus-bagus.  Kayaknya belum pernah aku ngasih skor tinggi sesering beberapa bulan ini.  Dan mungkin jumlahnya masih  bertambah, karena ternyata masih ada beberapa film lagi yang belum sempat kuulas. Di sinilah tempatnya. Sekaranglah waktu untuk mereka. Delapan film, the last batch dari cawu kedua 2022,  inilah mini-review volume kelimaaaa!!

 

 

 

12 CERITA GLEN ANGGARA Review

Masalah utama yang lumrah kita temui dalam film cinta-cintaan remaja adalah tidak mengangkat kenapa si cowok dan si cewek karakter sentralnya harus jadi pasangan. Harus pacaran. Kebanyakan film tidak memberikan alasan yang lebih jauh selain karena kedua karakter itu sama-sama paling cakep, dan ‘cinta tak harus ada alasan’. Meski memang benar juga di dunia nyata toh kita bisa mendadak naksir kesengsem sama orang dalam sekali lihat, and we don’t know why pokoknya kita merasa harus jadian ama si dia, tapi tentu akan ada pelajaran yang kita dapatkan dari saat ternyata kita ditolak dan sebagainya. Singkatnya, cinta – seperti halnya perasaan lain seperti horor, trauma – memang harus digali, karena penggalian itu yang journey pada refleksi dunia nyata yang kita tonton sebagai film.

Karena itulah aku gasuka banget ama film Mariposa (2020), yang dangkal sekali memperlihatkan cewek menguber cowok, dan turns out mereka harus bersama itu benar sebagai reward yang dikasih gitu aja. Makanya juga, 12 Cerita Glen Anggara yang masih satu universe sama Mariposa ini, actually jadi cerita yang jauh lebih kuat dibandingkan film utamanya tersebut. Karena film garapan Fajar Bustomi ini benar-benar menggali kenapa Glen tertarik untuk memenuhi dua-belas permintaan Shena, dan akhirnya dia jadi jatuh cinta beneran. Tema ‘love make you a better person’ mengalir di balik kisah anak muda, yang juga menyisakan ruang untuk cerita persahabatan dan keluarga.

Yang masih kurang bagiku di film ini adalah stake. Tidak terestablish dengan kuat. Malah hampir seperti film takut untuk memberikan rintangan, karena di cerita ini yang diperlihatkan sebagai stake adalah persahabatan Glen dengan teman-temannya. Film seperti ngeri menggali kerenggangan Glen dengan teman-teman, dan akhirnya malah membuat cerita jadi aneh dengan justru bukan Glen yang harus berubah dan memilih sikap. Selain soal itu (dan soal film tidak banyak melakukan perubahan pada trope standar wish-of-dying-girl), film ini adalah peningkatan dari film utamanya, dan one of the better Indonesian’s teenager romantic story

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for 12 CERITA GLEN ANGGARA.

.

 

 

BEAST Review

Satu keluarga yang lagi berkunjung ke Afrika, diserang singa ngamuk yang melukai setiap manusia yang ditemui. Itulah film Beast kalo dilihat dari kulit luarnya. Sebuah aksi survival, kejar-kejaran manusia dengan hewan buas di alam liar. Namun jika ditilik ke lapisan di dalamnya, film garapan Baltasar Kormakur ini bercerita tentang pria, seorang dokter, yang masih diselimuti perasaan bersalah for not being there ketika istri dan keluarga membutuhkan dirinya. Perasaan yang dikontraskan dengan perasaan si singa yang mengamuk karena kawanannya ditembak mati oleh pemburu.

Film ini mengambil pendekatan yang grounded sehingga kita mengerti manusia dan hewan buas yang jadi pusat di sini adalah sama-sama ‘wounded animal’. Yang harus meresolve urusan masing-masing. Inilah yang mengangkat Beast di balik urusan menyelamatkan diri.  Nilai plus berikutnya datang dari kerja kamera. Dalam Beast banyak kita jumpai adegan-adegan long take, yang diambil supaya terkesan tanpa putus. Pengambilan seperti demikian menambah kepada dua hal. Pertama, kamera itu benar-benar menguatkan kesan manusia yang berada di tempat terbuka. Yang juga asing baginya. Kalo mau niruin rekaman audio di bioskop; kesan ‘all around you’ benar-benar tertonjolkan oleh film ini. Kedua tentu saja, menambah ke horor. Singa yang bisa tiba-tiba menerkam dari balik semak setelah kamera berputar mencari-mencari, mengikuti karakternya. Film ini gak gagal soal suspens dan kejutan, serta rintangan yang terus diberikan untuk karakter Idris Elba.

Yang pengen lihat Elba lawan singa, akan terpuaskanlah. Sayangnya, gak semua akting film ini konsisten grounded. Karakter dua putri Elba di sini akting dan sifatnya annoying banget. Mereka masuk ke tipe-tipe karakter konyol dan riweuh yang biasa ada (dan kita pengen mereka mati duluan) dalam genre serupa. Kalo gak ada mereka, atau seenggaknya, penulisan mereka dibikin lebih baik lagi, film ini akan menghibur maksimal

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BEAST

 

 

 

DC LEAGUE OF SUPER-PETS Review

Sayang lebaran sudah lewat. Karena aku mau minta maaf sama film ini. Minta maaf telah meremehkan dan ngirain ini cuma film animasi konyol untuk anak kecil melihat anjing bisa bicara dan bisa terbang. Itulah kenapa kita gak boleh judge film sebelum nonton. Gampang bagi kita untuk mutusin gak nonton hanya dari trailer, dari visual, dan bahkan dari judul. Tapi ketahuilah, film hanya bisa diketahui bagus setelah ditonton, dan kalo kita kelewat film bagus karena keburu judge di awal, kitalah yang rugi.

DC League of Super-Pets adalah contoh film yang gampang diremehkan. Tentu, ini memang proyek jual brand DC ke penonton cilik, tapi itu tidak lantas berarti filmnya jelek dan dangkal. Karya Jared Stern dan Sam J. Levine ini sukses bikin aku ternganga.  Ceritanya (walau simpel dan ‘gampang ketebak’ untuk standar penonton dewasa) actually punya muatan lebih dari sekadar kartun yang menghibur. Universe tempat SuperMan punya anjing peliharaan itu dibangun dengan seksama, kita bukan sekadar melihat ‘what if’ story, melainkan benar-benar ada karakter yang kuat. Di sini, The Rock menyuarakan Krypto, anjing super yang harus belajar makna pahlawan di luar kekuatan-super dari kawanan hewan peliharaan terbuang. Dan pada gilirannya, Krypto turut mengajarkan hewan-hewan tersebut bagaimana menjadi pahlawan. Ini sungguhlah cerita padat, dengan muatan pesan yang baik sekali untuk ditonton oleh anak-anak.

Humornya bisa sedikit agak vulgar, tapi harmless. Anak-anak akan teralihkan oleh kelucuan tingkah polah karakter. Aku yakin, kalo aku nonton ini saat masih berusia SD, film ini pasti akan jadi film favorit yang kutonton berulang-ulang. Sejajarlah dengan film Disney dan Pixar.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DC LEAGUE OF SUPER-PETS

 

 

 

KAMU TIDAK SENDIRI Review

Aku bisa mengerti kesulitan Kamu Tidak Sendiri dalam ‘menjual dirinya’ kepada penonton. Sutradara Arwin Wardhana truly membuat film yang susah untuk dijual, terutama di industri perfilman kita. Kamu Tidak Sendiri dia buat sebagai thriller ruang tertutup, tapi bukan exactly sebuah film kecelakaan lift. Bukan pula film bencana gempa. Ini bahkan bukan tentang whodunit, siapa yang menyebabkan semua itu terjadi. Sebenarnya Kamu Tidak Sendiri adalah drama psikologi seorang karakter yang menutup diri dari sosial – seorang bos yang tampil jutek. Ruang tertutup di sini bukan lift yang rusak itu, melainkan diri si karakter ini.

Jadi ya, film ini akan banyak sekali berisi dialog. Dimainkan oleh Adinia Wirasti, dengan desain karakter yang keras kepala dan unlikeable. Penonton yang mengharapkan kejadian seputar menyelamatkan diri dari bencana di lift akan cepat merasa terkecoh dan bosan begitu masuk ke babak kedua, saat lapisan dan backstory karakter si Adinia ini diungkap, lewat dialog-dialog dan kamera yang cenderung tak banyak bermanuver. It is hard sell buat penonton Indonesia. Makanya jarang film kayak gini muncul di industri perfilman kita. Sehingga, mau gak mau film ini harus kompromi dengan kemauan industri. Dan inilah yang bikin dirinya gak maksimal. Kamu Tidak Sendiri ini kalo mau bagus dan deep, ya memang harus embrace dirinya.  Full dialog tidak akan membuat film jadi boring, asalkan dialog-dialog tersebut benar-benar bermakna dan berfungsi menambah kepada bobot cerita. Tapi yang actually kita lihat adalah sebuah effort yang seperti berpindah-pindah begitu sampai ke titik-mentok, yakni titik yang dianggap gak bakal disukai. Dialog-dialognya juga kurang tight, dan lebih disibukkan dengan masukan candaan – karena takut penonton bosan.

Makanya film ini endingnya jadi lemah banget. Film gak berani bikin nasib satu karakter menyedihkan. Jadi ada satu karakter yang mestinya sudah mati, karena dengan kematiannya, Adinia sadar dan pembelajaran yang dialami karakternya mulai jalan. Tapi film membuat si karakter kunci ini enggak jadi mati (walaupun segala visual clue sudah nunjukin dia lebih cocok untuk mati), dan lemahlah sudah pembelajaran yang dialami karakter utama.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for KAMU TIDAK SENDIRI.

 




LIGHTYEAR Review

Setelah ditonton, kayaknya aku tahu alasan kenapa sensor di kita (dan beberapa negara lain) cukup ketat sehingga film ini tidak jadi tayang di bioskop. Di film ini ada adegan Buzz ke hyper space yang membuat dia mengalami waktu yang berbeda dengan seluruh semesta. Jadi, setiap kali Buzz pergi, semesta bertambah tua empat tahun. Nanti ada montase yang memperlihatkan Buzz kembali ke pangkalan setiap empat tahun sekali, dan setiap kembali, dia melihat rekannya yang cewek meneruskan hidup. Dari pacaran (sama sesama cewek), lalu empat tahun kemudian hamil, empat tahun kemudian punya anak, anaknya udah gede, punya cucu, dan akhirnya mati. Problemnya ada di pasangan sesama jenis yang hamil. Karena montase, maka tidak ada penjelasan, dan ini tentu akan bikin bingung anak-anak. Bisa-bisa mereka menganggap cewek ama cewek bisa hamil juga. It’s complicated things, yang butuh bantuan film menjelaskan.

So yea, Lightyear secara keseluruhan juga sama. Ceritanya yang mengusung tema eksistensi, kehidupan, dan umur, bisa tampak membingungkan bagi penonton anak-anak. Bagi penonton dewasa sih oke. Walau bagiku juga tampak ekstra ribet dengan segala konsep Buzz skip waktu dan sebagainya (nanti revealing Zork bahkan lebih complicated lagi), tapi secara usungan tema, film ini konsisten. Dan tema tersebut diceritakan dengan rapi. Menutup. Juga make sense semua alasan kenapa terjadinya. Urusan visual dan animasi, Lightyear masih memegang kuat standar Pixar. Film ini terlihat clean, mulus, aksi-aksinya banyak hal baru. Buzz yang dihidupkan sebagai manusia, bukan sebagai mainan lagi, terasa fully sebagai karakter, lengkap dengan backstory dan mannerism yang baru sekaligus bikin nostalgia. Mungkin yang sedikit aneh adalah, estetik filmnya yang terlalu keren itu agak terasa kurang cocok dengan ilusi atau gimmick yang studio angkat, yakni film ini adalah film yang ditonton oleh Andy dalam Toy Story tahun 1995. Tapi, yah, itu cuma nitpick kecil yang gak nambah banyak untuk bobot penilaian.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for LIGHTYEAR

 

 

 

PREY Review

Satu lagi film yang teroverlook olehku. Prey ternyata adalah prekuel dari Predator, dan seperti yang diindikasikan oleh judulnya, film ini actually beneran film Predator yang kreatif dibandingkan dengan film-film lain (yang judulnya ‘Predator apalah’ melulu)

Prey mengerti, dan membawa kita kembali ke akar yang membuat Predator jadi salah satu ujung tombak survival horor. Aspek dinamika antara pemburu dan yang diburu. Dalam predator original kita lihat gimana pria-pria militer berotot dan macho itu dioverpower oleh kekuatan lain di atas mereka. Sutradara Dan Trachtenberg semacam mengambil perspektif lain dari situasi ini. Perspektif yang juga fit perfectly ke dalam agenda feminism yang kerap diangkat di era sekarang. Prey kini mengambil sudut dari perempuan, pada masa kuno banget (we talk about tahun-tahun orang suku pedalaman), yang tentu saja masih menganggap perempuan inferior dari laki-laki. Dan begitu ada Predator, si perempuan harus membuktikan bahwa ‘si lemah’ bisa menaikkan status dirinya sendiri menjadi predator puncak.

Apa-apa yang kita rinduin dari survival horor klasik, ada di sini. Prey pun tidak berkutat dengan karakter annoying seperti pada Beast. Melainkan memang fokus memainkan dinamika kelemahan-jadi-kekuatan yang dipunya oleh protagonisnya. Aksinya bahkan lebih seru dengan kontras peralatan jaman dahulu melawan peralatan canggih. Satu lagi perbedaan yang bisa kita bandingkan dengan Beast, Prey menggunakan kamera yang lebih kalem. Di sini lebih banyak wide shot, karena perasaan yang diangkat di sini bukanlah sensasi danger di area terbuka, melainkan karakter yang harus memahami lingkungan di sekitarnya. Memanfaatkan lingkungan dan memperhatikan apa yang berbeda dari sana, semuanya adalah ‘senjata’ untuk berhadapan dengan musuh.

Lucunya nonton film adalah, kita bisa memasukakalkan ada alien pemburu ketemu suku pedalaman, tapi untuk logika seperti karakter yang berpindah tempat kita masih merasa perlu untuk benar-benar ada penjelasan ‘kok bisa’ . Nah, Prey ini bagiku kurang di bagian tersebut karena ada dua kali adegan karakter pingsan dan bangun-bangun dia sudah ada di situasi berbeda – dan  ada satu ‘jump’ ini yang buatku memudahkan penceritaan saja. Prey kurang tight di majunya plot saja. Selain itu, ini adalah film cantik, berbobot, dan sangat seru.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for PREY

 

 

 

SAYAP-SAYAP PATAH Review

Tak disangka tak dinyana, Sayap-Sayap Patah yang awalnya dapat preseden buruk karena isu politik, ternyata berhasil tembus dua juta penonton. Pertumbuhan organik yang benar-benar bisa dilihat keramaiannya. Tapi sebenarnya, kesuksesan jumlah penonton film ini bukan hal yang aneh. Kenapa?

Karena secara teori, sutradara Rudi Soedjarwo dalam comebacknya ini benar-benar memanfaatkan trope dramatis sebagai peluru utama. Trope soldier-with-pregnant-wife sudah terbukti ampuh untuk jadi alur dramatis yang membuat penonton kasihan sama nasib karakternya.  Coba tengok lagi film-film drama perang atau semacamnya, pasti banyak ditemui karakter pejuang yang punya istri hamil yang menunggu di rumah. Sayap-Sayap Patah memanfaatkan ini dengan maksimal. Lewat ngecast Nicholas Saputra, everyone’s darling since AADC, misalnya. Dan jelas membantu pula, film ini diangkat dari tragedi teroris nyata, yang terjadi bisa dibilang masih baru-baru ini. Itulah kekuatan utama Sayap-Sayap Patah. Bangunan dramatiknya secara genuine mengakar.  And that’s it.

Sesungguhnya film ini tidak melakukan banyak pengembangan. Ada tema soal kontras polisi dengan teroris (polisi tidak akan mengorbankan keluarga) sebagai tulang punggung development karakter utamanya, tapi pengembangannya kurang terasa natural karena si karakter ini tidak banyak diperlihatkan langsung bersinggungan dengan paham teroris tersebut pada awalnya. Film tidak banyak mengubah kejadian nyata, dan memasukkan ke dalam bangunan perspektif karakter. Yang dilakukan film hanya memilah, mana yang enak untuk masuk, dan kapannya. Itulah sebabnya film ini masih tampak berkutat sebagai propaganda. Pembahasannya masih kurang berimbang. Teroris diperlihatkan baik karena polisinya baik, tapi kita tidak melihat contoh polisi yang jahat di sini. Jadi seharusnya, semua teroris jadi baik, dong. Tapi tidak juga, karena di sini teroris harus jahat. Nah, bobot dinamikanya itu yang masih dangkal dilakukan oleh film ini.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for SAYAP-SAYAP PATAH

 

 

 

TOP GUN: MAVERICK Review

Bagi yang ngikutin blog ini cukup lama, pasti tahu aku paling kurang-semangat urusan film action. Banyak yang kupilih untuk diskip. Karena buatku, nulis tentang film action itu susah. Bingung mau angkat apa, sebab ya kekuatan film action ya di aksi-aksi itu. Bagaimana dengan budget dan teknologi sekarang, action bisa tercapai dengan semakin meyakinkan. Aku justru lebih tertarik kepada cerita, karena cerita bisa dijadikan bahan tulisan tanpa harus mengerti teknik-teknik bikin adegan kayak pada action. Makanya aku lewatin juga film karya Joseph Kosinski ini. You bet I’m not even watch the first film. Orang-orang yang merekomendasikan sekuel kali ini pun bilangnya “bagus, karena aksinya keren”. Tak menarik buatku.

Tapi nih ya, kalo kemaren ada yang bilang “tontonlah, ceritanya tentang si Tom Cruise yang udah pensiun jadi Top Gun, kini harus balik tapi dalam kapasitas mengajar. Dan salah satu muridnya adalah anak dari sahabatnya, yang tewas saat mereka beraksi di udara”. Aku pasti akan cabut ke bioskop saat itu juga. Nobody tells me about this movie dari ceritanya tentang apa. Dan begitu akhirnya aku nonton film ini, DHUARRR! rasanya mindblown banget melihat cerita mentorship dengan layer drama dan perspektif sekaya ini. I. Love. This movie. Film action yang gak hanya peduli pada aksi-aksi mahal dan menawan. Tapi juga sedemikian dalam menggali dan menghidupkan karakternya. Film sekuel yang tidak sekadar dibikin lagi untuk nostalgia. Tapi benar-benar melanjutkan cerita dari karakter yang begitu disukai.

Begitu tersold lewat penulisan, barulah aku jadi semakin mengapresiasi aksi-aksinya.  Karena ya, kalo kita sudah peduli sama karakter, stake aksi mereka di udara bakalan jadi demikian terasa. Bukan rahasia umum lagi, Tom Cruise selalu melakukan aksi-aksinya sendiri. Di film ini juga begitu, dan maaan, yang ia lakukan di sini bikin kita tahan napas. Karena aksinya grounded, gak terlalu wah, tapi kita tahu bahayanya seperti apa. Film ini punya kejar-kejaran pesawat yang seru dan fun. Yang paling aku suka adalah momen-momen Maverick melatih para Top Gun muda di udara.

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for TOP GUN: MAVERICK

 

 




That’s all we have for now

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA