“What if God was one of us?”
Aneh!
Apaan sih ini!?
Sinting.
Gila.
MIRING!!
Karya terbaru Darren Aronofsky, Mother!, akan terus jadi perbincangan penggemar film untuk bertahun lamanya karena film yang satu ini bikin frustasi ngebingungin kita. Ada kali, satu juta cara yang berbeda menginterpretasi film ini karena ceritanya dipenuhi oleh metafora, denyut-denyut psikologi yang bikin gak nyaman, ditambah dengan imaji visual yang benar-benar mengundang tebakan. Malahan bakal banyak orang yang akan jatuh membencinya, mengatai film ini pretentious, atau flat out tersinggung sama apa yang disampaikan. Darren Aronofsky juga terkenal karena filmnya yang suka niruin film lain, dan kita bisa menyerang Mother! karena dia cukup ngingetin sama Rosemary’s Baby (1968). I could totally see film ini bakal mendapat reaksi beragam, aku paham kenapa sulit tayang – bahkan gak bakal – di bioskop Indonesia, dan sepertinya ‘perpecahan’ pendapat inilah yang benar-benar dicari oleh Aronofksy. Dia sukses berat untuk itu – tak ada sangkal.
Jika kalian ditanya oleh teman Mother! ini film tentang apa, maka kalian bisa dengan simpel menjawabnya sebagai film yang bercerita tentang suami istri Jennifer Lawrence dan Javier Bardem yang rumah tenang nan damai mereka mendadak kedatangan banyak tamu tak-diundang. Orang-orang asing tersebut awalnya datang sebagai fan yang bersilaturahmi sebentar, tokoh Bardem adalah seorang pujangga terkenal, jadi wajar dia punya banyak pengagum. Awalnya nerimo dengan tangan terbuka, namun kelamaan Jennifer Lawrence gondok juga. Rumah mereka yang masih dalam tahap renovasi jadi berantakan. Tamu-tamu itu gak punya respek terhadap privasi ataupun sense kepemilikan. Kerja keras Jennifer ngerawat rumah tidak dipedulikan.

Memperbaiki sesuatu yang rusak sebenarnya justru lebih susah untuk dilakukan ketimbang menciptakan seusatu dari awal. Makanya, tindak merawat, menjaga sesuatu, adalah sebuah tindakan yang harusnya mendapat perhatian lebih. Karena ia membutuhkan dedikasi; memberikan cinta, lagi dan lagi.
Akan tetapi, saat kalian menjelaskan, buatlah mimik wajah yang paling misterius sekaligus paling nyebelin di seluruh semesta. Karena memang seperti itulah film ini. Dari dokter seorang, besoknya datang istrinya, hari berikutnya anak-anaknya, terus saja semakin banyak random people yang datang, dan Jennifer menemukan lantai rumah mereka berlubang dan mengeluarkan darah, dan ternyata di balik tembok-tembok kayu yang dirawat mati-matian olehnya, rumah mereka punya jantung!
Film ini mengeksplorasi tentang banyak hal. Setiap percakapan dengan tamu mengandung makna yang berbeda untuk kita tangkap. Ada juga menyinggung isu lingkungan. Membahas tentang gimana ketenaran bisa mempengaruhi kita dan orang sekitar. Menilik dinamika hubungan rumah tangga. Namun, yang paling kuat menguar dari narasi film ini, tentu saja adalah tema teologinya. Ya, menonton film ini sama SEPERTI BELAJAR HUBUNGAN MANUSIA DALAM PELAJARAN AGAMA. Membahas hubungan sosial dengan sesama, dengan alam, dan dengan Tuhan.
Sebelum lanjut, aku mau ngasih tau sebentar kalo aku sengaja milih lay out blog yang menempatkan tags di awal, di atas isi ulasan, supaya bagi kalian yang membaca, kalian akan menemukan label spoiler di sana. Jadi, pertimbangkan juga ini sebagai peringatan karena aku akan jarang sekali minta izin untuk membeberkan apa yang kuperlukan dalam mengulas suatu film. With that being said, Javier dan Jennifer dalam film ini memainkan tokoh yang merupakan personifikasi dari Tuhan dan, ya, alam. Tokoh mereka enggak diberikan nama, Javier simply disebut sebagai dia; Him dengan huruf H besar. Dan Jennifer adalah Mother. Ibu. As in Ibu alam.
What if God was one of us?
Dia suka dipuja. Hanya pria, seorang kepala keluarga yang ingin rumahnya penuh oleh kehidupan. Jadi dia mengundang kita masuk ke rumahnya. Mempersilakan kepada kita semua fasilitas. Menyuruh istrinya untuk menyiapkan segala yang kita perlukan. Tapi sampai sejauh apa kita overstaying her welcome? Sampai kapan kita terus menyangkal kerusakan yang kita lakukan sementara sang istri terus beri dan memberi hingga tidak ada lagi yang bisa diberi? Tuhan menciptakan, alam menyediakan, dan manusia menghabiskan. SIklus eksistensi dunia. Kita mengambil seenaknya, use everything as we pleased. Dan reperkusinya hanyalah alam yang menderita.
Ada banyak referensi kejadian di kitab suci. Luka di rusuk yang dilihat Jennifer pada si dokter, mengisyaratkan bahwa tamu yang diundang oleh suaminya itu adalah Adam. Adegan di pagi berikutnya membuktikan referensi ini; kita melihat istri si dokter muncul gitu aja di pintu depan Jennifer. Larangan suami Jennifer dilanggar oleh dokter dan istri. Dan kemudian kita melihat anak mereka berkelahi, yang satu membunuh yang lain sebagai referensi dari kisah Habil dan Qabil. Sikap ignorant para tamu yang tetep duduk di wastafel, menyebabkan wastafelnya rubuh dan pipa air bocor, Jennifer ngamuk dan mengusir semua tamu keluar adalah penggambaran gimana manusia suka mengabaikan peringatan alam. You know, kita sering kebanjiran karena ulah kita sendiri.
Bagian favoritku adalah setengah bagian akhir. Kegilaan total terjadi di sini. Ada sekuen yang ofensif sekaligus disturbing. Rumah mereka dipadati orang sepadat-padatnya, pokoknya tempat itu udah gak berbentuk. Mereka membuat setiap ruang sebagai tempat pemujaan kaum masing-masing, lengkap dengan ritual dan segala macem hal disturbing. Menunjukkan bahwa kita terkotak-kotak padahal memuja satu yang sama. Kita melakukan hal yang gak rasional, supaya apa? atas nama Tuhan biar makin disayang terus dikasih tambahan rezeki? Dalam film ini memang Tuhan digambarkan sangat baik. Tokoh Javier Bardem gapeduli barang-barangnya rusak karena toh barang bisa dibuat lagi. Dia memberi izin. Sekalipun marah, dia meredam, dia biarkan dirinya dan istri menanggung luka

Cerita yang dicraft dengan sangat baik. Godly, kalau aku lagi mood bikin pun, tapi aku masih terguncang oleh film ini. Aku masih kepikiran, aku masih kebanyak bentuk, malahan warna rumah itu. Gimana setiap sudutnya mengeluarkan suara. Aku merasa masih ada layer yang belum kuungkap. Masih banyak simbolisme yang tidak aku mengerti. Dan mungkin aku tidak bakal pernah mengerti lantaran aku bukan orang yang seratus persen relijius. Karena bahkan tata kamera, sinematografi film ini diarahkan untuk punya arti. Setiap kali ada Jennifer Lawrence, dan aktor ini hanya absen di adegan pembuka dan penutup film, kamera terus menempel wajahnya. Selalu close-up shots, entah itu kita melihat rautnya yang bingung ataupun kita melihat rambutnya tergantung. Sampai-sampai kita jadi pengen berdoa, meminta wide shots, karena kita pengen melihat lebih jelas hal aneh menakutkan apa yang dilihat oleh tokoh ini.
Dengan sebagian besar waktu kamera ngikutin wajahnya, Jennifer Lawrence tidak bisa untuk tidak bermain total. Dia tampak innocent. Dia sangat vulnerable. Dia acak-acakan di sini. Kalo Oscar enggak ragu sama peran film aneh seperti begini, menurutku penampilan JenLaw sebagai Ibu pantas untuk diganjar piala emas tersebut. Javier Bardem turut menampilkan performa yang menarik. He looks full of himself, tapi tidak pernah dalam kesan yang antagonis. Satu hal yang menarik lagi adalah, demi bikin atmosfer randomnya orang-orang yang namu ke rumah, Aronofsky juga memasang aktor yang random. Aku gak tau apa-apa soal film ini, aku gak nonton trailer, gak baca sinopsis, sebelum nonton aku jahiliyah film ini tentang apa, apalagi mengenai pemainnya – I have no idea siapa aja, dan buatku, begitu aku melihat aktor-aktor yang pop out rasanya memang random banget. Membuat film ini semakin kuat mengakar.
Tapinya lagi, Aronofsky juga mengambil resiko agar filmnya ini bermain dalam lingkup konteks. Alur narasi ini juga bisa kita lihat sebagai semacam ramalan, dan dunia kita berada di babak ketiga film. Tinggal nunggu waktu kiamat haha. Dan actually, ini menjadikan pace film agak bermasalah. Kita melihat hal-hal simbolik yang gila, pengalaman sosial yang canggung dan unsettled, untuk kemudian tensi film menurun; kembali ke keadaan sehari-hari, dan berlanjut dengan gila kembali. Hal ini bisa bikin kita gak sabar, beberapa adegan juga dibuat sangat dragging, ditambah pula dengan banyaknya topik yang dijejalkan. So yeah, gak semua orang bakal suka. Bahkan aku bisa lihat bakal banyak yang benci. Filmnya aneh, menyinggung, mengganggu. Namun tak pelak, film ini bakal dibicarain banyak orang. Aku sendiri enjoy menontonnya, and it certainly can affect us all.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for MOTHER!
That’s all we have for now.
Remember, in life there winners.
And there are losers.
We? We be the judge.