A SILENT VOICE Review

“It’s the way you say it.”

 

 

A Silent Voice menampilkan tokoh tunarungu-wicara, namun tidak sulit bagi kita untuk dapat mendengar bahwa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh  anime ini adalah komunikasi merupakan hal yang harus kita pelajari, karena kita semua, kebanyakan, tidak bisa berkomunikasi dengan benar.

 

Aku jadi kepikiran buat mencanangkan November sebagai bulan apresiasi anime sebab sudah beberapa tahun belakangan ini, setiap sekitaran November, aku selalu mendapat suntikan harapan bahwa masih akan selalu ada pembuat-pembuat film anime di luar sana yang berani menembus batas dan mengeluarkan tayangan berkualitas semacam Your Name (2016) dan A Silent Voice ini.  I mean, yea, memang memprihatinkan melihat Studio Ghibli masih harus berjuang secara keuangan, namun ternyata ini bukan akhir dari anime. Aku senang, meskipun aku bukan penggemar anime garis keras. Aku hanya memberikan kredit kepada yang pantas. Dan anime adalah salah satu media yang paling sering dioverlook. Di sini, aku ingin membujuk kalian buat meluangkan waktu dan mencari anime-anime yang baik. A Silent Voice adalah satu yang kurekomendasikan. Aku melewatkan film ini saat tayang di bioskop, dan lumayan nyesel karena ternyata ini film yang bagus banget. Bahkan jika kalian bukan penggemar anime, aku yakin setiap yang menontonnya akan  bisa menemukan apa yang bisa diapresiasi dari film ini.

Pada lapisan yang paling luar, kita bisa melihat film ini sebagai kisah drama relationship antara seorang cowok dengan cewek yang tunarungu-wicara. Tapi cerita ini tidak digarap dengan klise. Ceritanya bicara lebih banyak daripada romansa semata. Film ini menghindari banyak melodrama dan elemen-elemen pemancing baper yang banyak anime bahkan film lain terjerumus ke dalamnya. Tentu, salah satu bagian paling manis film ini adalah bagian percakapan antara kedua tokoh dengan menggunakan bahasa isyarat. Akan ada banyak kesempatan ketika mereka bercakap-cakap, saling melempar bahasa isyarat – dalam diam, semua emosi itu kita baca lewat pandangan mata mereka. Semua itu dapat tersampaikan dengan amat baik lewat animasi yang benar-benar menawan. Ini adalah film yang cantik dan punya cerita yang sangat menyentuh.

‘Menyentuh’ sebenarnya cukup mengecilkan karena apa yang tepatnya dilakukan oleh film adalah; ia menggenggam hati kita, kemudian meremasnya erat-erat. Membuat kita merasa sesak. Nyaris sebagian besar film ini terisi oleh adegan-adegan yang tough untuk ditonton. Terutama jika kalian pernah menjadi korban bully, pernah dikucilkan oleh teman-teman di sekolah. DAMPAK PERUNDUNGAN MENJADI KONFLIK UTAMA yang menyelimuti narasi. Dan film ini tidak ragu untuk menjadi menyedihkan. Namun tidak pernah sekalipun tokohnya meminta kita untuk mengasihani mereka. Film ini melakukan hal dengan sangat berbeda.  Biasanya film-film akan menempatkan kita di sudut pandang tokoh yang paling gampang dikasihani, dalam kasus film ini; sudut pandang Nishimiya, si cewek tunarungu-wicara yang dibully. Kita sudah pasti akan menginginkan Nishimiya untuk hidup bahagia. Film ini paham membahas dari perspektif demikian hanya akan membuat cerita menjadi terlalu dramatis dan kurang menantang. Jadi, cerita menempatkan kita di belakang Shoya Ishida, cowok yang tadinya paling getol ngebully Nishimiya.

senjata makan tuan adalah ungkapan yang tepat

 

Saat masih duduk di kelas enam, kelas Ishida kedatangan murid pindahan. Seorang anak perempuan yang membawa buku catatan ke mana-mana karena ia begitu bersemangat untuk mengobrol dengan teman-teman baru. Nishimiya tidak dapat mendengar, ia tidak dapat berbicara dengan lancar, jadi dia menggunakan tulisan untuk berkomunikasi. Teman-temannya disodorkan buku sebagai cara untuk bicara kepadanya. Tak butuh waktu lama bagi teman-teman satu kelas untuk menganggap Nishimiya merepotkan. Apalagi ketika mereka disuruh belajar bahasa isyarat, wuih Ishida langsung menertawakan. Di saat teman-teman yang lain mulai menjauhi Nishimiya, Ishida menjadikan anak itu bahan candaan. Dia meledek cara Nishimiya berbicara. Dia membuang buku komunikasi Nishimiya ke kolam. Ishida bahkan nekat mencabut alat bantu pendengaran dari telinga Nishimiya dan melemparkannya ke mana-mana. Eventually, hal tersebut membuat Nishimiya pindah dari sekolah mereka. Ishida pun dikecam teman-teman yang lain sebagai tukang bully kelas kakap, sekarang gantian ia yang dijauhi. Dikucilkan. Dan dikerjai oleh anak-anak satu sekolah. Kemudian film akan membawa kita melompati beberapa tahun hingga Ishida SMA. Dan yang kita lihat tidak lagi anak laki-laki yang ceria, melainkan seorang cowok yang begitu sendirian, tak punya teman, traumatized oleh kelakukan masa kanak-kanaknya sendiri.

Normal bagi anak kecil untuk menggoda, mengganggu, teman yang mereka sukai. Karena begitulah cara mereka berkomunikasi. Kekanakan, kata orang. Namun, Ishida tidak mendapat kesempatan untuk tumbuh dan mengerti itu. Sudah terlambat untuk dia mengerti apa yang ia lakukan sudah kelewat batas, segala yang ia lakukan berbalik kepadanya. Dia tumbuh menjadi cowok dengan trauma mendalam oleh derita yang ia berikan kepada orang lain. Begitu traumanya sehingga dia tidak mengerti apa itu teman, apa yang membuat seseorang bisa dianggap sebagai teman.

 

Biasanya dalam anime romantis kita dapat dua tokoh yang saling menyintai dan mereka terpisahkan oleh sirkumtansi dari luar, entah itu jarak ataupun hal lain. Dalam A Silent Voice, Ishida dan Nishimiya benar saling menyintai, tapi masing-masing mereka merasa bersalah – sudah melakukan hal mengerikan di masa lalu – sehingga mereka tidak tahu harus bagaimana untuk meruntuhkan tembok itu, bagaimana harus menjadi teman. Kita melihat usaha Ishida untuk mencari keberadaan Nishimiya saat mereka remaja. Ishida sungguh-sungguh belajar bahasa isyarat, karena dia menyangka karena tidak bisa saling bicara itulah masalah mereka. Tapi redemption itu tak kunjung datang kepadanya.

bahkan setelah gede pun kita masih paling sok kasar sama orang yang disukai

 

Komunikasi itu bukan masalah suara. Komunikasi bisa berbentuk apa saja. Akan tetapi, Ishida remaja bahkan menolak untuk kontak mata dengan orang lain. Dia tidak lagi tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan orang, dia takut salah, takut dipersalahkan. Film ini mengambil langkah kreatif yang sangat kuat dalam menggambarkan keengganan dan ketakutan Ishida terhadap suara-suara sosial. Wajah semua orang di sekitar Ishida akan ditempeli tanda silang gede. Ketika ada orang yang mengajaknya bicara, berusaha berhubungan dengan Ishida, barulah tanda silang ini terlepas jatuh ke lantai.

 

 

Lebih memfokuskan kepada struggle yang dihadapi oleh remaja seperti Ishida, juga Nishimiya, film ini adalah studi karakter yang sangat relevan, terutama lantaran banyak anak-anak di luar sana yang juga berurusan dengan masalah perundungan. Korban maupun pelaku, semua kena dampaknya. Film ini dengan berani membahas semua itu, dengan lingkupan sudut pandang yang berbeda. Namun dua jam lebih durasi itu bisa sangat memberatkan, apalagi film ini begitu menoreh hati kita, it’s hard to watch sometimes. Penting bagi film untuk memperlihatkan interaksi antara Ishida dengan tokoh selain Nishimiya, akan tetapi masih banyak kita jumpai adegan-adegan percakapan antara para tokoh sampingan ini yang enggak begitu mempengaruhi atau menyumbangkan bobot emosi kepada fokus cerita. Film mestinya bisa memangkas beberapa, membuat cerita lebih ketat. Di luar itu, ini adalah film penting, and I really like it. Serta menurutku, film ini masih memiliki lapisan lain yang bisa kita eksplorasi, karena ada beberapa bagian yang sangat tersirat seperti reinkarnasi ataupun kenapa kita tidak pernah diperlihatkan wajah kakak Ishida, yang belum sepenuhnya aku mengerti.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for A SILENT VOICE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

WAGE Review

“Music can change the world because it can change people”

 

 

Karya musik tidak bisa sepenuhnya kita hargai tanpa mengenal penciptanya. ‘Mengenal’ bukan sekedar tahu nama loh. Melainkan mengetahui dari mana dia ‘berasal’. Apa yang sudah ia laluli sehingga bisa dapat ilham mengarang lagu. Selama ini, kita mungkin hanya tahu siapa nama pencipta lagu Indonesia Raya, lagu Ibu Kita Kartini. Kalo ada sepuluh orang yang kita tanyai, mungkin sembilan orang bisa menjawab “WR Supratman” dengan benar. Jika pertanyaannya dilanjut menjadi apa kepanjangan dari WR itu, mungkin hanya setengah dari sepuluh tadi yang bisa menjawab. Jika ditambah lagi pertanyaannya menjadi siapa yang tahu perjuangan apa yang dilakukan WR Supratman dalam menciptakan kemudian mengumandangkan lagu tersebut? Kesepuluh orang tadi kemungkinan gede hanya bisa diem. Aku sendiri dulu sempat kesel kenapa Indonesia Raya enggak diciptain lebih pendek,  empat baris aja gitu, supaya gak perlu berlama panas-panasan setiap kali upacara bendera. Dan setelah nonton film Wage, serta merta aku merasa durhaka pernah berpikiran seperti demikian.

dan kalo pertanyaannya nyuruh nyanyi, aku mundur duluan

 

Dalam film Wage, kita akan melihat hidup komponis ini sedari kecil. Supratman cilik sudah suka dengan musik, dia tertarik pengen mainin alat musik. Akan diperlihatkan banyak sisi kehidupan tokoh kemerdekaan ini yang belum kita tahu; bahwa dia pernah gabung ama band jazz, bahwa dia pernah mengadu nasib jadi jurnalis, bikin cerita roman.  Oleh seorang Belanda, dia diberi nama Rudolf, dan diajarkan main biola – alat musik pamungkasnya. Dengan biola, Supratman berhasil menciptakan musik yang mempengaruhi banyak orang.  Sampai-sampai pemerintah Belanda merasa terancam. Musiknya menghimpun keberanian rakyat, Supratman dianggap penghasut. Sebagai orang yang berbahaya. Fokus cerita sebagian besar adalah soal ‘perang dingin personal’ antara Supratman dengan polisi utusan Belanda, seorang yang berdarah campuran Belanda-Indonesia, yang ditugaskan untuk menangkapnya.

Ketika aku mendengar bahwa Wage disebut sebagai film noir, seketika itu juga aku tertarik. Alasannya simpel; Kita tidak bisa membuat sebuah cerita tentang pahlawan ke dalam cerita yang hitam – ke dalam cerita antihero. I mean, how could you. Noir bukan semata tentang pri berjas, berstelan rapi, yang merokok. Ultimately, film noir bukan film yang berakhir bahagia. Noir adalah cerita yang penuh muslihat, tentang kemunduran seorang tokoh. Jika bicara tentang cinta, maka film noir akan menyebut cinta satu nafas bersama kematian. Aku tertarik karena kupikir Wage akan diarahkan sama sekali berbeda dengan biopik kepahlawanan Indonesia yang sudah ada. Kupikir pembuat filmnya punya satu sudut pandang unik yang dengan nekat dia jadiin film. Kupikir sutradara John De Rantau mampu mengubah kepahlawanan menjadi anti hero yang bakal bikin kita tercenung. I know, it’s a hard thing to achieve. Dan ternyata memang, Wage enggak bisa. Menyebut film ini sebuah noir sesungguhnya adalah mislead. Wage lebih sebagai sebuah DRAMA YANG TERINSPIRASI OLEH GAYA NOIR.

There’s just no way kita bisa melihat Supratman sebagai antihero dalam film ini. Sepuluh menit pertama kita dibuat bersimpati dengan melihatnya kena cambuk, melihatnya menangis ditinggal meninggal oleh sang ibunda. Ada beberapa sekuens di babak awal yang memperlihatkan Supratman sebagai pemuda pemusik yang pesta pora, dia literally bobok di atas uang, namun kemudian film dengan cepat menetapkan Supratman sebagai pihak putih. Dia dibuat sadar, dia beribadah, dan dia bertekad untuk membantu kemerdekaan Indonesia dengan caranya sendiri; lewat musik. Ini adalah perjalanan karakter yang progresif.

Musik yang hebat dapat mengubah dunia. Musik dapat menggerakkan massa, menjadi alat pemersatu bangsa seperti yang sudah dibuktikan oleh Wage dan Indonesia Raya. Karena musik adalah bentuk ekspresi seni yang punya keuntungan mudah dipahami dan diresapi. Ini adalah bahasa universal yang bisa menginspirasi banyak orang karena kita mendengarkan musik dengan cara yang sama.

 

Kita memang melihat perjuangan Supratman menciptakan lagu, tapi film menunjukkan aspek ini dengan sedikit berbeda dari yang kubayangkan. Kita melihat Supratman terinspirasi oleh suara denting-denting penempa besi, kita lihat dia berulang kali merevisi nada di catatan partitur. It’s nice ngeliat detil dan usaha seperti demikian, namun yang sebenarnya pengen kita lihat adalah usaha dia sebagai komponis yang ingin memperdengarkan lagu. Kita ingin lihat dia menentang aturan, kita ingin lihat dia sembunyi-sembunyi bermain musik, kita ingin lihat his ups-and-downs, perjuangan mati-matian. Rendra Bagus Pamungkas sangat hebat menghidupkan tokoh ini, sehingga semakin disayangkan naskah tidak memberinya banyak hal untuk dilakukan. Sebagian besar waktu, Supratman kita temukan diberi saran oleh teman-temannya. Dia disemangati. Padahal tokoh ini punya api yang berkobar di hati, film menyia-nyiakan ini.

Lihat saja betapa menariknya Wage setiap kali dia mempertemukan Supratman dengan polisi Belanda yang terus mengikutinya, Fritz. Aku gak yakin banget, tapi sepertinya Fritz bukan tokoh sejarah asli dan murni diciptakan oleh film. Dan Teuku Rifnu Wikana benar-benar total menjual peran tersebut. Meskipun scoring film terkadang membawanya ke ranah ‘over-the-top’, namun Teuku Rifnu berhasil mengrounding tokoh ini. Fritz adalah tokoh yang paling menarik, dia setengah Belanda – setengah Indonesia, dia ditugaskan mengikuti Supratman, menangkapnya at once begitu kaki Supratman melanggar batas. Tetapi Fritz merasa lebih banyak dari yang diperlihatkannya. Dia tahu enggak segampang itu mememenjarakan Supratman, dia mengerti reperkusi tindakan tersebut. Fritz pintar, dinamikanya dengan Supratman yang juga cerdas dan berkemauan keras adalah penyelamat kebosananku saat nonton. Tindakan Fritz kadang menjadi jalan selamat buat Supratman. Dari sekian banyak yang ia lakukan (atau tidak ia lakukan), kita tidak pernah pasti Fritz sengaja melakukannya, ataupu apakah darahnya bergejolak jua diam-diam mendengarkan lagu-lagu Supratman.

Violin Hero!

 

Adegan antara Supratman dengan Fritz itu layaknya emas di tengah-tengah hamparan batu-batu yang bopong. Di waktu-waktu ketika bukan percakapan mereka yang jadi pusat, dialog-dialog film ini terasa sangat tak-bernyawa. Eksposisi selalu tak terhindar dalam film sejarah, hanya saja mestinya bisa dikemas dengan lebih menarik. Pada Wage, dialog-dialog sejarah itu terasa disadur flat out dari buku sejarah. Kita tidak merasakan apa yang mereka obrolkan, situasinya tidak tergambar, emosinya tersampaikan dengan datar. Mereka kayak ngobrolin teks-teks di buku sejarah, tanpa ada bobot emosi yang meyakinkan di dalamnya.

Film ini juga gemar membangun sesuatu tanpa berujung apa-apa. Ada adegan rapat Kongres Pemuda lagi ribut membahas bahasa persatuan, dan mereka memainkannya lebih seperti kepada untuk tujuan humor – you know, bahasa-bahasa daerah saling cekcok, kan lucu tuh kedengerannya – lantaran kita tidak diberikan penyelesaiannya. Gak dibahas lagi.  Pertemuan Supratman dengan tokoh Prisia Nasution malahan hanya dibuild sekali – Prisia ngeliat Supratman main biola – dan kali lain kita melihat mereka, mereka sudah seperti pasangan. Dan Prisia tidak muncul lagi dalam adegan manapun setelah itu. Banyak aspek yang dibangun hanya untuk jadi latar belakang saja. Contohnya lagi ketika Supratman ngasih harga tinggi buat nampil di kafe, dia keren sekali saat menolak itu, tapi kemudian kita malah melihat dia tau-tau jadi jurnalis berita maling ayam. Katanya dia mulai bosan main musik. Aspek-aspek cerita didorong ke background, dan itupun tidak rapi keiket.

Adegan yang paling bikin aku penasaran adalah gimana mereka bakal nampilin debut Supratman dengan Indonesia Raya di Kongres Pemuda II, kalian tahu, adegan yang sering jadi pertanyaan saat ujian sejarah di sekolah. Build up menuju ke sana padahal bagus banget. Kita lihat Supratman dilarang begitu nada pertama mulai digesek. Kita melihat mereka membicarakan, menego agar bisa ditampilkan, dan akhirnya Supratman benar-benar berdiri di depan semua orang memainkan Indonesia Raya untuk pertama kali. Syaratnya satu; tanpa lirik. Kita semua tahu gimana kejadiannya di buku sejarah. Film lantas ngeclose up dawai, menunjukkan tetesan air, hal-hal yang jadi inspirasi Supratman mencipta. Dan ketika lagu tersebut actually dimainkan, kita mendengar lagu yang ada liriknya. I mean why? Kenapa gak musik aja seperti di kejadian nyata. Kan bisa juga nanti setelah itu baru dimasukin lagu berlirik. Seolah malah film ini sendiri yang gak yakin sama kekuatan musik. Seolah film ini gak yakin sama kekuatan Indonesia Raya tanpa lirik. Seolah film gak yakin penonton enggak tahu kalo itu adalah lagu kebangsaan jika tampil tanpa lirik.

 

 

Orang-orang akan lebih banyak menonton film Indonesia lain yang tayang barengan film ini. Padahal mestinya ini adalah film sejarah yang benar-benar penting untuk diketahui. Relevan dan juga baru banget, belum pernah ada yang mengangat sudut pandang lagu kebangsaan. Namun sepertinya sudah tiba waktunya bagi pembuat film biopik tanah air untuk mengerti (dan berani!) bahwa biopik enggak mesti menceritakan dari kecil. Bahwa mereka bisa saja mengambil satu peristiwa penting dalam sejarah dan memfilmkannya. Mereka bisa bikin sesuatu yang lebih menarik dan fokus jika misalnya mereka mengeksplorasi dari Kongres Pemuda Dua saja; bikin contained ruang tertutup kayak 12 Angry Men (1957) di mana selisih di adegan rapat dan Supratman berusaha lagunya dimainkan demi persatuan. Atau kalo memang mau bikin film noir, sudut pandang Fritz sebagai tokoh utama akan bisa lebih pas – karena tokohnya dengan gampang ditulis sebagai antihero yang terpengaruh oleh lagu Supratman, believe in him, tapi tetap memihak kepada Belanda. Ada begitu banyak yang bisa mereka lakukan, namun film ini memilih untuk tetap di jalur yang tak membawa perubahan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 god stars for WAGE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

JIGSAW Review

“If you obey all the rules, you’ll miss all the fun.”

 

 

Kita kadang suka ngeyel kalo dilarang, kalo dikasih aturan-aturan. Di mana asiknya hidup kaku, apa-apa gak boleh. Peraturan kan dibuat untuk dilanggar. Well, coba deh pikir lagi. Prinsip tersebut tidak bakal banyak berguna dalam menyelamatkan nyawa, jika kalian tertangkap dan dipaksa bermain X-Factor maut oleh Jigsaw. Kunci selamat dari jebakan-jebakan maut John Kramer memang sesederhana itu; ikuti aturan – terkadang malah disebutkan harafiah olehnya, dan kalian akan bisa melihat mentari besok pagi. Masalahnya, ngikuti aturan tidak akan pernah sesimpel kedengarannya.

Pengalamanku mengenal film ya dimulai dari nonton film-film berdarah kayak gini. In fact, dulu aku hanya nonton slasher, thriller, horror, aku menikmati adrenalin rush dari ngeliat orang dikejar-kejar oleh monster berparang nan menyeramkan. Aku terhibur sekali melihat tokoh-tokoh bego menemui ajal secara menggenaskan karena ulah tolol mereka sendiri. Dan setelah nemu film Saw yang pertama (2004), aku jadi sadar bahwa film sadis enggak melulu musti bego. Bahwa ada metode di balik kegilaan para pembunuh berantai. ADA PERATURAN YANG MEREKA TAATI. Akar Saw adalah elemen psikologis yang membuat kita berpikir soal apa kesalahan para korban karena kita bisa melihat palu justifikasi yang disandang oleh pelaku. Kenapa mereka pantas berada di sana. Hukuman-hukuman Jigsaw dirancang untuk ‘menyembuhkan’ penyakit para korban – untuk membantu mereka menghapus dosa. Pada film pertama, elemen ini begitu kuat terfokus, dan itulah yang membuatku selalu menantikan sekuel-sekuelnya. Meskipun setelah film yang kedua, franchise Saw semakin melupakan akar psikologis dan malah berubah menjadi ‘torture porn’.

cap cip cup kembang kuncup

 

Seri Saw harusnya sudah berakhir di film ketujuh yang tayang di tahun 2010. I still remember it fondly, itu pertama kalinya aku nonton Saw di bioskop. Dan filmnya memang jelek, terburuk di antara franchise ini kalo boleh kutambahkan. John Kramer – dalang di balik jebakan Saw – sudah lama mati (sejak Saw III) dan setelah itu ceritanya jadi fokus antara persaingan anak-anak murid Kramer. Tujuh tahun setelah itu kita  mendapati lima orang diculik dan diperangkap dalam permainan penuh jebakan maut. Pesan suara dikirim kepada kepolisian, menantang mereka sekaligus ngasih tahu Jigsaw Killer sudah kembali. Siapa di baliknya? Sekedar peniru ataukah Kramer beneran hidup lagi? Aku excited banget duduk nonton film ini, terlebih karena Jigsaw ditangani oleh, tidak hanya satu melainkan dua orang sutradara – Michael dan Peter Spierig – yang sama sekali belum pernah terlibat dalam franchise Saw. Jadi, aku tahu kita bisa mengharapkan pembaruan besar-besaran.

Perubahan yang Spierig Bersaudara lakukan terletak pada gaya film. Jigsaw lebih terlihat LEBIH CINEMATIK  berkat pilihan aspek rasio layar yang mereka pilih. Kesannya lebih serius dibandingkan beberapa sekuel terakhir Saw yang lebih kelihatan seperti serial TV. Tidak lagi kita jumpai editing quick-cut antara jebakan dengan wajah korban. Efek suara aneh dan teriakan over-the-top pun juga dihilangkan di sini. Jebakan-jebakan pada Jigsaw tidak sesadis seri-seri terburuk Saw, makanya semua adegan film ini jadi bisa lolos dari gunting sensor badan perfilman tanah air.

 

“Hello, filmmakers.

I want you to play a game.

Ada penggemar yang suka Saw karena elemen psikologis dan mereka terganggu sama efek darah dan gore yang berlebihan.

Ada penggemar yang totally haus darah dan semakin sadis jebakan, semakin menggelinjang mereka.

Pilihlah dengan bijak”

Begitu kiranya kata boneka badut bersepeda kepada mereka, dan mereka melanjutkan dengan mengambil pilihan yang aman. Film ini enggak benar-benar liar dalam nampilin gore, banyak adegan berdarah namun tidak bikin kita bergidik dan pengen muntah ngeliatnya. Seperti pada film pertama, Jigsaw banyak mengcut dim omen-momen yang tepat dan membiarkan imajinasi kita membayangkan apa potongan paling besar yang tersisa dari tubuh korban. Di lain pihak, film juga tidak kontan kembali ke ranah psikologis. Jigsaw tampak ingin memuaskan kedua golongan penonton, film berusaha mempertahankan sekaligus menyeimbangkan aspek-aspek khas franchise Saw.

Akibatnya, Jigsaw tidak melakukan hal yang benar-benar baru. Film ini ngikutin formula dan ‘aturan’ yang sudah ditetapkan oleh pendahulunya. Kita dapat dua cerita kali ini. Sekelompok detektif yang berusaha mencari tahu siapa pelaku di balik kasus jigsaw yang baru. Dan tentu saja ada sekelompok orang berdosa yang sedang diuji nuraninya, terkurung di suatu tempat. Tokoh-tokoh ini pun generic sekali, kita udah pernah dapet yang serupa. Mereka selalu adalah Si Tenang dan Pintar, Si Clueless, Si Baik Hati, Si Egois, dan Si Paling Nyusahin Mati Aja Lo!

The Deadfast Club

 

Kedua cerita ini, however, akan bertemu di babak ketiga, di mana bakal ada big reveal – twist yang membuat kita “ooh begitu, njir keren banget gak kepikiran!” Inilah yang membuat aku kecewa. Sebab, aturan memang ada untuk dilanggar, ngikutin aturan hanya akan membuat kita melewatkan hal-hal yang menyenangkan. Dalam kasus ini, dengan begitu ngikutin formula, film Jigsaw melewatkan kesempatan melakukan pembaruan yang asyik. Tujuh tahun, dan tetep aja tidak ada alasan menarik atas kembalinya franchise ini, selain studio ingin memperkenalkan ulang Saw.

Aku berharap lebih dari sisi cerita. Aku tidak ngerasa peduli-peduli amat sama lima orang yang tertangkap, ataupun kepada lima polisi yang berusaha melacak Jigsaw. Mereka sebenarnya berjalan paralel, kejutan yang disiapkan oleh film lah yang tidak. Dan dari standpoint kejutan ini, Jigsaw buatku adalah salah satu sekuel yang punya twist jinak dan dapat ditebak. Maksudku, kita sudah dibekali dan belajar dari tujuh film sebelum ini, dan Jigsaw tidak melakukan hal yang baru. So yea, we saw that twist coming. Dan menurutku, twistnya ini hanya bekerja kepada kita para penonton. Jika kita memposisikan diri sebagai salah satu detektif, kita tidak akan melihat hebohnya pengungkapan di akhir. Kita tidak ngerasain apa yang dilakukan oleh si Jigsaw. Yang akan kita tahu hanyalah mayat-mayat ditemukan, dan dari mereka ada petunjuk yang membawa kita ke sarang Jigsaw yang baru. Kita tidak akan ngeliat efek pintar dari dua timeline yang diparalelkan. Jadi memang twistnya lebih terasa seperti menipu. Kita akan merasa “wah, ternyata dia! Bagaimana bisa?!!” lalu terungkap lagi kenyataan setelah false resolution yang bikin kita “oh ternyata enggak”

Mengakui kesalahan itu enggak gampang. Apalagi mengakui orang lain benar, dan kita salah. Perangkap Jigsaw adalah tentang mematuhi aturan, mematuhi mana yang benar. Jangan injak, jangan melarikan diri, jangan tembak – dan orang-orang tetap melakukannya. Jigsaw memperlihatkan kepada kita bahwa di saat nyawa di ujung tanduk pun, kebanyakan orang masih berusaha menentang perintah atau aturan yang diberikan, demikian beratlnya mengaku dosa.

 

 

Untuk sebuah kejutan setelah tujuh tahun, film tidak berubah banyak selain secara gaya penyajian. Aku memang sedikit kecewa, namun juga tidak menyangkal aku terhibur. Ini adalah sajian yang lebih baik daripada kebanyakan sekuel Saw. Tidak lagi dia menjadi fokus ke alat-alat penyiksaan, film ini tidak terlalu sadis, pun tidak terasa begitu psikologikal. Berada di level oke di mana para penggemar beratnya tidak akan keberatan menyukai walaupun filmnya tidak luput dari banyak kritikan, karena toh sejatinya banyak kekurangan dari standpoint cerita. Yang harus diingat cuma satu; tidak ada peraturan baku bahwa kita hanya boleh suka sama film-film bagus. It’s your choice.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for JIGSAW.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

GASING TENGKORAK Review

“Don’t let your struggle become your identity.”

 

 

Gasing Tengkorak merupakan cabang ilmu santet dari Sumatera Barat, yang begitu populer sampai-sampai mereka membuat lagu tentangnya. Beneran deh, aku bisa tahu ada ilmu hitam yang namanya Gasiang Tangkurak karena dulu setiap siang, stasiun radio yang dipantengin ibuku selalu muterin lagu ini. Ada aja pendengar yang ngerekues! Lagu itu mendendangkan dengan kocak mantra yang dirapalkan oleh dukun ketika menyantet korban. Basically, isi lagu tersebut mirip ama adegan pembuka film ini; memperkenalkan kepada kita bagaimana sih cara kerja dan peraturan santet Gasing Tengkorak. Dan kemudian, barulah kita melihat tokoh utama.

Nikita Willy di film ini memerankan seorang penyanyi papan atas bernama Veronica yang sedang tur konser ke beberapa tempat.  Karena letih, Vero sempat jatoh di atas panggung. Tapi Vero adalah pribadi yang kuat, dia menyemangati dirinya hingga bangkit. Dalam dunia hiburan, kita memang dituntut harus bisa menjaga diri sendiri. Dan Vero adalah orang yang benar- benar mandiri. Semuanya sendiri. Dia punya pesawat sendiri. Dia punya asisten sendiri yang bisa disuruh untuk mencari villa private di tempat terpencil. Di villa itulah, Vero memutuskan untuk rehat beberapa hari dari padatnya jadwal konser. Dia ingin menyendiri. Dia ingin jingkrak-jingkrakan nyanyi lagu rock Jamrud,  meneriakkan resah di hati. Di sela-sela kontemplasinya antara nulis lagu jujur atau lagu yang laku, Vero juga main catur. Tapi Vero tidak lagi sepenuhnya sendiri. Saat malam tiba, tidurnya enggak lelap oleh mimpi buruk. Dia mendengar suara-suara. Matanya menangkap sekelabatan sosok. Ada orang atau sesuatu di luar sana yang ingin berbuat jahat kepada Vero dengan menggunakan gasing yang konon dibuat dari tulang jidat mayat anak kecil!

hari gini masih main gasing? Fidget Spinner dooonggg

 

Film ini akan menjadi psikologikal horor yang sangat menakjubkan, jika saja para pembuatnya tahu apa yang sedang mereka lakukan. Gasing Tengkorak punya karakter berani dan rasional, dan mereka punya set up lokasi terpencil yang perfect banget. Kita bisa menyebut kualitas terbaik yang dimiliki film ini adalah kerja kamera dan sinematografi, namun itu sudah diharapkan karena sungguh gampang menghasilkan gambar yang bagus dengan pemandangan dan segala hal mewah itu. Redeeming quality yang dipunya oleh film ini justru terletak pada konsep ‘artis dan nama panggung’ yang belum pernah dijamah oleh horor ataupun film lain.

Ketika seorang nampil di panggung hiburan, dia akan diberikan nama alias, diberikan gaya, gimmick, supaya berbeda dan mencuat dari penampil yang lain. Karakter mereka di panggung, di televisi, akan berbeda dengan karakter sehari-hari. Persona panggung selebriti diberikan putaran psikologis yang menarik di sini. Veronica dijadikan sebagai tempat pelarian dari pribadi yang terluka oleh trauma masa lalu. Terkadang, kita begitu malu dan merasa bersalah atas  apa yang pernah kita lakukan, sehingga kita membentuk identitas baru. Kita mencoba menjadi seseorang yang berbeda. Veronica sudah nyaman dengan pelariannya, tapi persoalan menjadi ruwet, karena di sisi lain, dia mulai jenuh jadi artis. Bagi Veronica, ini berubah menjadi pilihan identitas mana yang harus dibunuh.

Namun film just drop the ball gitu aja. Dari seting lokasi tertutup yang terpencil ditambah karakter yang kerap bicara sendiri – jelas ada yang enggak beres di kepalanya – film hanya kepikiran untuk menarik horor dari jumpscare. Padahal, taring cerita ini justru pada elemen psikologis. Alih-alih itu, kita malah dapat adegan Vero bermain virtual reality PS4. Serius, aku ngakak, ini mereka ngiklanin produk apa gimana sih.  Tentu saja enggak, Arya kok bego sih, nampilin satu game aja pasti biayanya gede banget. Jadi tahu gak apa yang film ini lakukan? Mereka ngesyut adegan ‘video game’ sendiri. Saat device VR itu dipake oleh Vero, kita berpindah ke  adegan dengan sudut pandang kamera orang pertama, siap untuk menembaki zombie-zombie di gedung terbengkalai yang gelap. I mean, wow, sekuens main game ini benar-benar ditujukan untuk festival jumpscare. Ini adalah salah satu adegan terbego yang pernah aku lihat di film horor. Cara picik untuk memancing ketakutan, dan sama sekali enggak ada hubungannya dengan cerita film, selain buat buktiin Vero memang berani. Saking beraninya, dia main game zombie, sendirian, malam-malam, di tempat yang dicurigai ada hantunya.

Bayangkan sebuah gasing yang ada porosnya; twist adalah poros utama film ini. Maksudku, as I watch this, aku bisa melihat kalo ini adalah film yang berkembang dari twist yang sudah direncanakan. Semua elemen misteri, semua aspek cerita, semua pembahasan tekanan yang dialami oleh artis, dieksekusi dengan favor ke twist ini. Dan twist tersebut enggak benar-benar make sense, at all. Kenapa hantunya muncul untuk main gasing, padahal dia bisa dengan mudah mencekek sendiri leher Vero. Siapa yang kerap ditelfon Vero, yang tahu begitu banyak tentang ilmu Gasing Tengkorak. Kenapa setelah baru saja diserang, setelah jatuh dari kamar ke kolam renang, Vero balik lagi ke kamar dengan santai ngeringin rambutnya. Dan kenapa pipi hantunya gembung nahan napas saat masuk ke dalam air???

Hal-hal tersebut adalah apa yang membuat film lemah, those were some rather weak subtle clues, dan semakin goyah lagi setelah jawabannya tersaji lewat pengungkapan twist. Film ini menyangka dirinya akan otomatis menjadi pintar dengan twist, padahal enggak. Malahan, film ini tidak harus punya twist. Film ini tidak wajib untuk ada elemen hantu ngagetin untuk jadi seram. Mereka bisa saja membuat ini sebagai drama psikologikal thriller tentang artis yang struggle antara dua identitas, yang bakal lebih menarik dan menegangkan, but they just don’t see that. Film Split (2017) bukan sukses karena penonton enggak tahu tokoh James McAvoy mengidap kepribadian ganda, twist film itu adalah bahwa ternyata ia adalah film superhero. Dan walaupun belum semeyakinkan McAvoy, Nikita Willy sudah cukup lumayan memainkan range dan level pribadi yang berbeda, perannya juga lumayan fisikal di sini. Menurutku, Willy mampu tampil lebih jika naskah memberikan kesempatan.

setiap kali hantunya lari, aku gak bisa nahan diri untuk tertawa

 

Jika ini tentang keadaan psikologis Veronica, maka di manakah hubungannya dengan Gasing Tengkorak, kalian tanya?

Jawabannya adalah tidak ada. Paling enggak, tidak secara langsung.

Gasiang tangkurak hanyalah elemen tambahan, yang bahkan bisa saja dihilangkan sama sekali, dan enggak akan mempengaruhi cerita.

 

 

Dengan remake Flatliners (2017)-lah, film ini punya banyak kesamaan. Kita literally bisa menemukan ranjang medis scanner otak di kedua film. Mereka juga sama-sama clueless dan enggak nyadar sudah menyetir horor ke arah yang salah. Mereka gak paham gimana horor-di-dalam-kepala bekerja. I mean, semua teror yang terjadi di film adalah kreasi kepala Veronica, kan. Jadi kenapa ada jumpscare yang ngagetin penonton. Kenapa bisa ada penampakan hantu di belakang Vero – hantu yang tidak ia lihat. Apakah kepalanya bilang, yuk kita nyebayangin di belakang kita mendadak ada hantu supaya penonton pada menjerit kaget hihihi. ‘Unggul’nya sih, film ini masukin insert adegan rekaan video game yang enggak relevan sama perjalanan karakter. What a way to break a new ground, right. Ini bisa jadi menu pilihan lain kali aku mau bikin nonton bareng film-film horor yang so bad, it’s hilarious.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for GASING TENGKORAK.

 

 

That’s all we have for now.

Buat yang penasaran sama lagu Gasiang Tengkorak, nih, ada teksnya kalian bisa ikutan nyanyi loh xD

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

FLATLINERS Review

“Sometimes a little near death experience helps put things into perspective”

 

 

Wajar kita penasaran sama kematian. Karena kenyataan keras yang mesti kita hadapi adalah bahwa tujuan akhir dari kehidupan adalah mati. Hidup dan mati selalu adalah misteri; apa yang terjadi begitu kita mati? Apakah kita hidup sebagai ruh – ataukah kita bobok panjang sampai kiamat tiba? Beberapa orang, untungnya bisa menggambarkan sedikit ‘jawaban’. Orang-orang yang pernah nyaris-mati, kita banyak mendengar cerita tentang orang yang mengalami mati suri. Gimana mereka melihat cahaya; bertemu dengan kerabat yang sudah duluan almarhum, cerita-cerita semacam ini selalu menarik. Aku sendiri dulu pernah nyobain teori sleep paralysis, itu loh tidur melepas ruh yang katanya kita bisa terbang dan melihat tubuh sendiri. Aku pernah sangat penasaran dan sesiangan menekuni teori yang katanya ilmiah itu – ceile ‘menekuni’, padahal niat mulianya sih lagi males dan pengen nyari alasan bolos kuliah hihi. Jadi, kita bisa bayangkan para murid kedokteran yang setiap hari berurusan langsung dengan orang sakit, orang mati, orang-orang yang tersadar dari koma. Ide atas apa yang sebenarnya terjadi setelah kematian tentu saja begitu menggoda bagi mereka.

Flatliners yang disutradarai oleh Niels Arden Oplev adalah reimagining dari psikologikal thriller Flatliners (1990), mengambil konsep menarik tentang afterlife tersebut. Ceritanya kurang lebih sama, dengan modernisasi di beberapa poin. Lima orang murid kedokteran melakukan eksperimen, mereka mencari cara untuk merekam kerja otak ketika seseorang dalam keadaan mati. Mereka ingin melihat sendiri apa yang terjadi ketika mati, membuktikan cerita-cerita mulut tentang ada kehidupan setelah mati. Usaha mereka berhasil, bergiliran Courtney, Jamie, Marlo, Sophia  nyobain sensasi mati, dan dihidupkan kembali setelah beberapa menit oleh Ray yang setia berjaga.  Awalnya memang tampak aman, mereka bahkan dapat semacam enlightment dari berflatline-ria tersebut. Namun kemudian, berbagai penampakan mengerikan dari masalalu mulai meneror mereka satu persatu

“rohku melayaaang, tak kembaliiiiii bila kau pun pergiiiiii~hii”

 

Film ini adalah contoh yang nyata bahwa tidak peduli betapa cakapnya seorang sutradara, betapa kerennya penampilan akting seorang aktor, pada akhirnya kekuatan naskah, dan produksi lah yang menentukan film apa yang sebenarnya ingin mereka bikin.  Enggak salah memang film ini diberi judul Flatliners, lantaran toh benar filmnya tidak berkembang menjadi apa-apa. Datar. Flatliners mengemban konsep dan ide cerita yang unik, dan mengubahnya menjadi PESTA PORA JUMPSCARE di antara banyak hal yang berusaha mereka capai.

To be honest, aku enggak yakin sedang menonton apa. Film ini dimulai dengan perlandasan drama seputar dunia sekolah kedokteran, kita ngeliat apa yang dilakukan dan backstory karakter-karakternya yang masih muda,  aku sempat teringat sama buku Cado-Cado yang aku suka namun tidak kutonton filmnya ( tayang tahun 2016) lantaran terlihat seperti cinta ala Korea. Drama pada Flatliners  berubah menjadi lebih gelap tentang rasa bersalah sehubungan dengan masa lalu para tokoh, dan ultimately film berubah menjadi thriller saat para tokoh menyadari bahwa eksperimen flatlining yang mereka lakukan ternyata memiliki konsekuensi jumpscare film horor. Dari sudut penulisan, film ini mengambil banyak keputusan aneh tak-terjabarkan. Dan yang kumaksud dengan tak-terjabarkan adalah kita enggak bisa melihat apa produk akhir dari yang mereka inginkan. Nonton film ini dan akan jelas sekali tidak ada cukup komunikasi yang terjalin antara sutradara, penulis, studio, aktor, sebab semua orang terlihat berada dalam film yang berbeda. Flatliners terasa seperi dirancang oleh banyak otak dengan ide berbeda. Dan inilah yang kita dapatkan; sebuah usaha bersama yang tidak berbuah manis.

Sebagai pembelaan, film originalnya sebenarnya juga enggak hebat-hebat amat. Tapi paling enggak, mereka lebih terarah. Tokoh-tokohnya mencari thrill dari sensasi kematian. Dan ketika sampai di aspek cerita yang mengerikan, film tersebut mengeksplorasi misteri dari apakah yang para tokoh alami adalah psikologikal atau memang sebuah fenomena supranatural. Pertanyaan yang diangkat apakah mereka memang melihat hantu atau otak mereka memang sudah rusak karena nge-flatline. Begonya Flatliners versi 2017 ini adalah mereka tidak mengindahkan (atau malah tidak mengerti) framework dari sourcenya sendiri. Heck, mereka bahkan tidak mengerti cara kerja halusinasi. Maksudku, penampakan-penampakan seram itu muncul dengan cara yang ngagetin penonton! Tokohnya malah enggak melihat mereka, penampakannya muncul sekelabat di belakang tokoh. Padahal kan penampakan itu terjadi di dalam kepala si tokoh.

Bagian ‘terbaik’ dari film ini adalah aspek setelah mencicipi pengalaman nyaris-mati, para tokoh mmendapat kemampuan istimewa. Courtney jadi bisa main piano dengan sempurna, dia bisa menjawab pertanyaan dari dosen – bahkan sebelum pertanyaannya selesai diucapkan. Jamie jadi tahan cuaca dingin, mereka literally bermain-main di hujan salju dengan pakaian dalam. Motivasi Sophia ngeflatline adalah demi jadi pinter, dan dia memang terbukti jadi bisa nyelesain kubus rubik dengan amat cepat. It is hilarious dalam cerita tentang orang-orang yang menghentikan jantung mereka, kemudian menghidupkannya lagi, reperkusi yang turut ditonjolkan oleh film ini adalah mereka jadi punya kelebihan. Aspek ini pun kemudian tidak berkembang jadi lebih berarti, they are just there supaya keren.

Obviously, Flatlining adalah metafora dari menggunakan narkoba. Kedua tindakan itu adalah sama-sama kerjaan yang bercanda dengan maut. Kita ‘terbang’ setelah makek drugs, beberapa orang ngerasa lebih kreatif dan produktif dengan obat-obatan. Lucunya Flatliners adalah, film ini juga gagal dalam memperlihatkan bahaya dari eksperimen mereka. Underlying message yang ada ialah beberapa orang harus melakukan hal ekstrim sebelum akhirnya sadar bahwa mereka pernah melakukan kesalahan. Dan kesalahan tersebut bisa dihapus dengan meminta maaf.

 

Dan sama seperti versi baru Pengabdi Setan (2017), Flatliners juga tidak berani menyinggung agama. Padahal dalam film yang dulu, konsep kehidupan-dan-kematiannya berdasarkan teologi Kristen. Dalam film yang sekarang ini, kita tidak pernah diberikan pandangan soal apa yang dipercaya oleh karakter, dan ini hanya menyebabkan karakter-karakternya semakin hampa.

Hubungan antarkelima tokoh sudah minimalis sedari awal. Mereka enggak berteman, mereka cuma seangkatan yang tadinya saling ‘berkompetisi’ sebagai calon dokter. Dengan hubungan yang enggak kuat, film ini sungguh punya nyali untuk mengganti sudut pandang, mengubah tokoh utama di tengah-tengah cerita. Saat cerita berpindah dari tentang Courtney ke tentang Marlo, kita tidak merasakan ada bobot emosional karena mereka tidak terestablish punya hubungan yang dekat. Ellen Page adalah satu-satunya alasan orang datang nonton ini ke bioskop, I know I do. She was so talented dan Courtney benar adalah tokoh yang paling menarik. Dan film ini menghilangkan tokoh yang ia perankan di pertengahan cerita, meninggalkan kita bersama karakter-karakter klise yang mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi saat mereka ‘mati’.

persetan dengan teknik medis, kalian gak bisa gitu aja nyentuh dada Nina Dobrev

 

Bahkan setelah kepergian Courtney, aku masih berusaha bertahan menyelesaikan nonton film ini, melewati semua adegan-adegan horor klise. Melewati efek-efek pasaran. Melewati suara rekaman tangis bayi yang sudah kita dengar sejak film horor tahun 90an. What really does it for me adalah ketika satu dialog bego terlontar dari salah satu tokoh saat mereka mulai bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Sophia, dalam kebijakannya yang tiada tara, menyebut dengan gusar “Maksudmu, kamu tahu ada dampak negatif dari flatlining?” HA!!! Ini bego banget, perfectly menyimpulkan keignorant semua aspek yang berusaha bekerja dalam film ini. I mean, itu sama saja dengan dia menanyakan apakah ada dampak negatif dari mencoba merasakan kematian. Well yea; negatifnya jelas adalah MATI beneran, duh!

 

 

 

Mereka tidak membuat ulang ini karena punya sesuatu yang baru. Mereka tidak menggarap ini karena ingin mengimprove sesuatu dari film yang lama. Mereka tidak punya sudut pandang personal sehubungan dengan materialnya. Mereka cuma ingin manufacturing suatu produk. Makanya kita dapat cerita yang terasa lebih seperti kumpulan ide-ide standar dari studio film. Aku tidak mau menjelekkan siapapun, aku tidak melarang kalian nonton ini, sah-sah aja kalo suka, tapi ini adalah contoh film di mana yang terlibat just dropped the ball. Salah satu film paling membosankan tahun ini, menonton ini adalah cara yang paling aman buat kita ngerasain gimana sih pengalaman nyaris-mati itu.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for FLATLINERS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

GOOD TIME Review

“Bad times don’t last, but bad guys do.”

 

 

Apalah artinya masa-masa sulit. Semuanya akan terasa ringan jika kita hadapi bareng orang yang kita cinta. Jadi, demi melewati semua masa-masa keras tersebut, Connie mengajak adiknya menghabiskan waktu berkualitas bersama dengan merampok bank.

Kedua bersaudara ini sudah semestinya saling menjaga. Namun kemudian, Nick, adik Connie tertangkap saat mereka melarikan diri dari kejaran polisi. Connie dan Nick memang adalah saudara yang sama-sama dibesarkan dalam lingkungan di mana kata panci dan gunting diasosiasikan sebagai kesakitan oleh Nick. Dan Connie lebih yakin dari sekedar positif bahwa adiknya yang mengalami gangguan mental itu tidak akan bertahan di dalam penjara. Tidak semalam pun. Maka Connie melakukan apapun yang dia bisa, dan kita tahu cowok ini enggak akan segan menggali lubang sedalam-dalamnya, untuk mencari uang guna membebaskan Nick.

Kita akan mengikuti petualangan Connie basically secara real time, dari pagi, ke malam, dan ke pagi lagi. Cerita menjadi sangat urgen dan really contained. Kita tidak pernah terlepas dari perpindahan waktu dan segala tindakan, aksi yang terjadi, terasa begitu in-the-moment. Dan cara kamera merekam suasana malam yang ia lalui adalah sangat mengundang kita untuk terus mengintip ke dalam kota itu. Kita akan dapat banyak close ups yang menguatkan ketegangan dan stres yang dialami oleh karakter. Film bisa menjadi seperti sebuah dokumenter karena banyaknya long takes yang digunakan untuk merekam perjalanan, benar-benar terasa real bagaimana kumuh dan kerasnya keadaan malam tersebut. Suasana malam itu berdengung, literally scoring musik akan mengalun ngebuzz memberikan suasana restless yang disturbing. Gaya dan perspektif yang unik dan begitu klop, adegan pembukanya saja sudah begitu kuat ketempel oleh emosi sebagaimana kita melihat Nick menjawab pertanyaan-pertanyaan game dari seorang psikiater.

“Apa lagu favoritmu?” / “Hard Times”

 

Masa sulit membuat kita sering mempertanyakan apa gunanya mencoba. Si bijak Homer Simpsons malah pernah bilang “Pelajarannya adalah, jangan pernah berusaha”. Namun film ini memberikan kita pelajaran yang lain untuk kita petik.  Sesulit-sulitnya hidup, semua itu tidak akan bertahan lama. Hanya persoalan gimana kita memandang, mempercayai, dan menjalankannya. Sekaligus juga film ini memberi kita peringatan, bahwa perbuatan jahat awetnya seumur-umur. Sekali kita menjustifikasi satu perbuatan miring yang kita lakukan, tak sulit lagi bagi kita untuk mengambil tindakan salah berikutnya – dan kemudian kembali menganggapnya benar.

 

Berkebalikan dengan hidup, dalam dunia sinema justru bad films last, dan bad acting tidak mesti bertahan. Robert Pattinson dan para aktor Twilight (2008) adalah contoh hidupnya. Di saat kejelekan Twilight akan tetap abadi kayak vampire-vampire pengisinya, karir para pemainnya toh masih bisa berkembang menjadi lebih baik. Di semester awal tahun 2017, kita sudah melihat penampilan terbaik dari Kristen Stewart dalam Personal Shopper. Dan dalam Good Time, di mana dia berperan sebagai Connie si total a-hole, Robert Pattinson gak mau kalah, dia pun menyuguhkan permainan akting yang sangat ngegrunge, dia menyelam sempurna ke dalam karakter. Ini benar adalah performa terbaik yang pernah Pattinson tampilkan kepada kita.

Penampilan yang sangat unhinged ditambah penulisan karakter yang teramat nekad menghasilkan sebuah FILM YANG BENAR-BENAR LANCANG. Tidak ada kualitas baik dari dalam pribadi Connie. Dia melakukan hal yang kurang ajar. Dia mengatakan hal-hal yang so politically incorrect, yang enggak semua orang berani mengatakannya di dalam film, terlebih di dunia nyata. Satu-satunya hal yang bisa membuat kita sedikit simpatik adalah kecintaannya terhadap sang adik. Dan film ini paham, itu sudah cukup. Dalam dunia film ini, kehidupan jalanan yang keras, para kriminal itu setidaknya ingin melakukan sesuatu yang baik buat satu orang, sekali saja. Kita melihat mereka saling bantu, jika diperlukan. Tapi tidak pernah terlalu ramah untuk menjadi satu kesatuan pembela kebenaran moral. Mereka hanya punya pemahaman, dan mereka melakukan apa yang harus mereka lakukan.

Benny dan Josh Safdie, dua bersaudara yang menulis sekaligus menyutradarai film ini, menyetir cerita ke arah yang jauh sekali dari keHollywood-Hollywoodan. Enggak bakal ketemu deh adegan pemanis di mana tokoh utamanya menjadi pahlawan. Good Time adalah versi lain dari Hell or High Water (2016). Actually, Benny ikutan bermain, dia berperan sebagai Nick yang mengalami cacat mental. Dia bermain sama kerennya dengan dia mengepalai film ini. Adegan pembuka berhasil membuka mata kita, membuat kita sangat tertarik. Ketika Nick ditanyai oleh psikiater, kita bisa melihat pertanyaan-pertanyaan tersebut mengganggunya. Kepedihan tertampang jelas di ekspresi diamnya, kita bisa ngerasain. Kita paham dia benci hidupnya, dia benci duduk di sana, ditanyain, dipaksa mengingat masa lalu. Rasa ingin melihat Nick dan Connie berhasil tak tertangkap dan sukses memulai hidup baru dalam diri kita datang dari sini.

oke jadi sudah jelas kan ini bukan film tentang biskuit chocochips

 

Babak pertama film ini praktisnya dapat kita sebut sebagai kesempurnaan. Tone, karakter, style, semua disetup dengan sungguh menarik. Menurutku film ini fresh banget, serta extremely surprising. Namun di bagian tengah, ketika Connie menumpang di rumah orang untuk beberapa waktu, pacenya agak melambat. Kita akan gak sabar menanti cerita untuk bergerak lagi. Terkadang, film memang sengaja memperlambat tempo. Mereka mempersembahkan karakter baru, dan membiarkan si tokoh ini bercerita tentang apa yang terjadi kepada dirinya, supaya kita bisa sedikit tertarik. Esensinya sih, film ingin memperlihatkan paralelnya tokoh ini dengan Connie sehubungan dengan ‘good times’ yang mereka lalui.

 

 

Oleh Benny dan Josh, film ini menjelma menjadi sesuatu yang bisa kita nikmati sambil duduk santai, kerja kameranya teramat impresif, padahal kita enggak sungguh-sungguh enjoy sama apa yang kita lihat di layar. Misalnya, satu adegan ciuman yang luar biasa cringe-worthy itu. Kita tidak lagi melihat aktor bermain peran di sini, yang kita lihat adalah kriminal-kriminal beneran yang melakukan hal-hal filthy. Kenekatan menampilan tindakan gross senyata ini tak pelak adalah kenekatan yang semestinya mendapat respek. Aku angkat topi buat filmmakers dan para aktor yang melakukannya. Ini udah sukses jadi salah satu thriller urban favoritku. Pastilah salah satu waktu yang baik ketika kita menontonnya, dan impresinya dijamin bertahan lama.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for GOOD TIME.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are loser.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

HUJAN BULAN JUNI Review

“Love is walking in the rain together”

 

 

 

Previously on My Dirt Sheet:

Writer: “Oke ehem.. jadi, ini adalah film tentang seorang pengemudi bus yang menulis puisi..”
Studio: (tanpa mengangkat kepala, pura-pura baca sinopsis padahal lagi ngeliatin foto ibu guru si Amel di hp) “Terus? Terus? Ntar bomnya di mana?”
Writer: “anu.. enggak ada bom.. dia cuma nulis puisi.”
Studio: “Enggak ada bom? Teroris ada? Kebut-kebutan di jalan harus ada sih ya, biar seru.” (sinopsisnya sekarang dijadiin kipas, maklum gerah mau ujan)
Writer: “umm..bisnya ntar sempat rusak sih sekali.. electrical problem gitu..”
Studio: “Bisnya enggak bisa jalan-jalan ke luar negeri dong? Cinta segitiganya mana? Vampirnya?”
Writer: “e..e..enggak ada”
Studio: (ngobrol di telepon)
Writer: “gimana he, Pak?… Pak?”

 

Di atas barusan adalah kutipan dialog yang kutulis Februari silam di halaman ulasan Paterson (2016), sebuah film puisi yang begitu mengena walaupun digarap dan bercerita dengan teramat sederhana, sehingga membuat aku takjub membayangkan usaha keras yang punya ide untuk menjadikannya sebuah film. Karena bikin film itu sudah susah sejak dari tahap meyakinkan yang punya dana bahwa cerita kita menjual. Studio, produser, atau PH  pengen jaminan duit kembali; yang biasanya berupa cerita yang sudah laris sebagai novel, apalagi kalo cerita dengan tema cinta yang bisa bikin baper. Hujan Bulan Juni berawal dari puisi, yang kemudian dipindah duniakan menjadi novel dan banyak lagi sebelum akhirnya, berdasarkan novelnya, mengambil wujud sebuah film yang sedang kita bicarakan sekarang.

Hujan Bulan Juni adalah kelanjutan dari apa yang terjadi kalo penulis Paterson mengalah kepada studio dan membiarkan ceritanya dirombak susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan aspek-aspek yang ditujukan demi menjadi ngepop.

 

Sepasang dosen UI yang sedang saling cinta. Pingkan yang dosen sastra Jepang dengan Sarwono yang asli Solo mengajar di Antropologi. Informasi ini dengan cepat melandaskan kepada penonton bahwa jarak akan dengan gampang menjadi musuh mereka. Pingkan hendak distudikan ke Jepang selama dua tahun, sedangkan Sarwono jelas harus bepergian di dalam ruang batas wilayah Indonesia. Menjelang waktu keberangkatan Pingkan, misalnya, Sarwono ditugaskan ke Manado. Pingkan yang berkampung halaman di Manado dibawa serta, “Aku butuh guide. Setiap saat aku butuh kamu.” Tampaknya bukan jarak saja yang menguji coba cinta mereka; kedekatan Pingkan dengan sepupu angkatnya, keakraban Pingkan dengan sejawat dari Jepang, perjodohan, beda kepercayaan, dan rasa percaya itu sendiri. Pingkan bukan tak menyadari. Cinta adalah usaha. Sebuah misi. Dan ini adalah tentang siapa yang berusaha di dalam cinta.

Sarwono, Katsuo, Solo, Manado, karena puisi ada rima maka nama Pingkan mestilah Pingkan Mambo!

 

Sosok penyair yang sudah menulis puisi dan novel Hujan Bulan Juni yang udah sukses bikin baper banyak orang dapat kita saksikan dalam film ini. Sapardi Djoko Damano kebagian peran singkat sebagai ayah dari Sarwono. Dan aku enggak tahu seberapa besar peran beliau di dalam pembuatan film ini, apakah hanya sebagai cameo atau punya andil yang lebih besar lagi. Karena to be honest, aku berulang kali mengucek mata saat menonton. Mengucek bukan karena ngantuk bosen, tetapi mengucek karena aku tidak percaya pada apa yang kulihat. Dan kuharap dugaanku benar bahwa penulis puisinya tidak banyak campur tangan. Ada begitu banyak pilihan yang diambil oleh film, yang membuat keseluruhan presentasinya terasa disulam tambal oleh aspek-aspek yang enggak bekerja dengan baik dalam konteks memfilmkan puisi.

Bait-bait puisi kerap muncul di layar, disuarakan oleh para tokoh. Bayangkan seperti voice over narasi, namun yang ini berupa bacaan puisi. Bukanlah seberapa indah kata, melainkan seberapa besar kata tersebut menyampaikan rasa. Masalah film ini datang ketika ia memindahwacanakan bahasa kata-kata itu ke dalam bahasa gambar. Kutekankan sekali lagi, ini bukan masalah source materialnya. Puisi Sapardi bergaung lantang oleh kata-kata yang mencerminkan rasanya. Namun saat menjadi film, puisi dan segala keadaan diolah TERLALU CATERING KE BIKIN PENONTON BAPER – tanpa benar-benar memikirkan apakah sudah diset-up, apakah worked atau enggak. Misalnya kalimat “Apa angin sudah sampai ke situ, tadi aku titip salam buat kamu ke dia” yang dikirim Sarwono lewat pesan Whatsapp. Kalimat tersebut puitis dan bekerja baik jika dituliskan di buku, dikirimkan secara tidak langsung, dan si Pingkan baru membacanya ketika dia merasa sangat rindu. Namun ketika Sarwono ngeWA, bilang langsung, kontan itu adalah pesan paling gombal yang pernah dikirimkan oleh seseorang lewat hape. Kesan puitisnya berkurang drastis sebab, hey Whatsapp itu practically langsung bicara ke orang, kita bisa bilang rindu tanpa muter-muter bragging bilang nitip salam ke angin.

Dosen-dosen itu bicara bahasa puisi, tetapi most of the time ketika lagi dua-duaan, mereka terutama  Pingkan terdengar kayak remaja yang lagi pacaran. Mungkin memang benar cewek kalo lagi bareng orang yang dicinta akan bertingkah seperti anak kecil, dan film sering menampilkan seperti itu sehingga aku sering lupa sedang menonton orang dewasa. Velove Vexia memainkan peran yang cenderung gampang buat dirinya, she hits the notes just perfectly. Adipati Dolken sekali lagi bermain sebagai karakter yang bisa dikatakan cenderung posesif. Sarwono digambarkan sebagai tokoh yang kelewat insecure. Kerjaannya cemburu, malah ketika Pingkan lagi nari pesta sama keluarga, si Sarwono ngeliat cemburu sampe menimbulkan efek trippy di kamera hhihihi… Dolken di sini seharusnya jadi orang Jawa, but he’s not really good at it. Dan ketika membacakan dialog-dialog panjang yang subtil, ataupun dengar ketika dia berpuisi, dia melafalkannya dengan kayak orang lagi ngafal teks banget. Aku enggak bisa melihat Sarwono sebagai seorang penyair. Buatku, departemen akting diselamatkan oleh Baim Wong yang berperan sebagai sepupu angkat Pingkan. Wong sangat underrated di Moammar Emka’s Jakarta Undercover (2017), dan kali ini pun dia mencuri perhatian. Dia menghidupkan dinamika antara Sarwono dan Pingkan.

Sudah semestinya Sarwono cemburu, spotlightnya direbut oleh Benny

 

Puisi menggambarkan lewat kata-kata, sementara film menggambarkan lewat visual. Sinematografi bekerja dengan baik, shotnya cantik-cantik. Aku suka terutama di adegan-adegan surreal mimpi Pingkan. Malahan, menurutku film bisa menjadi lebih asyik dinikmati jika adegan-adegan surreal mendominasi film. Like,  just drop the whole road trip element, dan tampilkan saja perbincangan dengan suasana aneh. Alih-alih dari itu, kita dapatkan banyak pilihan gajelas dalam bercerita. Di awal mereka nyewa dua kamar hotel, kemudian di pertengahan mereka nyewa hotel satu kamar – ini adalah bentuk keinkonsistensian yang tak terjelaskan yang dapat kita temui. Wide shots kebanyakan difungsi sebagai papan iklan sponsor. Ada satu shot yang membuatku bingung, yaitu ketika di meja makan keluarga Pingkan, mereka makan sambil ngobrol serius tentang hubungan Pingkan, dan tau-tau kamera nyorot tempe. Ada banyak hal gapenting kayak gitu yang terekam, bukan sebatas  visual. Film juga mengajak kita mengikuti perbincangan tentang pembagian jurusan di kampus yang mereka datangi di Manado,  yang ternyata hanya dimainkan untuk komedi. Yeah, apa banget.

Sesungguhnya mengenai kenapa mesti Jepang, aku juga sempat bingung. Masa iya sih karena Japanesse dan Javanesse itu cuma beda satu huruf? Apa mungkin film ingin mempertemukan puisi dengan haiku? Di sepuluh menit pertama Jepang begitu dijejelin kepada kita, namun film berubah menjadi cerita perjalanan dengan tokoh yang cemburu dan cewek yang ramah dan ditaksir banyak orang. Barulah di akhir, Jepang kembali lagi. Actually, Jepang penting lantaran film banyak menggunakan analogi sakura dan samurai untuk menggambarkan perjalanan inner Pingkan dan Sarwono.

Ini bisa menjawab puisi Hujan Bulan Juni: Jika seseorang bisa membuat dirinya terperangkap, maka dia pasti bisa membebaskan diri sendiri. Kau yang memulai, dan benar, kaulah yang mengakhiri. Dan setelahnya usai, akan ada pelangi di sana. Hujan di bulan Juni biasanya tidak pernah ada, dan ini adalah metafora yang pas mengenai apa yang terjadi kepada Pingkan dan Sarwono.

 

Dalam denyut nadinya, film mengangkat tentang permasalahan beda agama yang membayangi relationship Pingkan dan Sarwono. Dan seperti Pingkan yang tidak menjawab pertanyaan Ben tentang anak mereka nanti ikut siapa, film ini juga tidak memberikan jawaban terhadap polemik yang diangkatnya. Film dalam kepentingannya membuat penonton baper memilih jawaban termudah yang pernah diambil oleh film-film. Aku gak akan bilang, tapi kalian pasti punya dugaan, dan setelah menonton sendiri, kalian juga pasti akan kecewa.

Actually, kita bisa bikin teori lengkap mengenai kapan tepatnya timeline kejadian di film ini berlangsung. Para tokoh berkomunikasi dengan whatsapp, mereka sudah kenal selfie, penyair puisi dilabeli jadul, semuanya mengisyaratkan kejadian berset di Juni somewhat recent. Tapi seberapa recent? Sarwono sempat mengatakan mereka duduk makan seperti di bulan Ramadhan, yang berarti Juni itu mereka belum puasa. Jadi kemungkinan enggak jauh-jauh amat di belakang tahun 2017. Namun yang bikin mindblown adalah tahun yang tertera di buku puisi Sarwono adalah 1991. Puisi tak lekang waktu, dan Sarwono mengatakan pusinya ada di dunia sendiri. Mungkin film ini memang bertempat di universe yang surreal dari sudut pandang ingatan Pingkan. Atau yang lebih likely; sekali lagi film menggunakan perkataan Sarwono tadi sebagai jawaban termudah.

 

 

 

Menonton ini diniatkan sebagai pengalaman membaca puisi dalam sebuah buku dengan gambar yang bergerak. Tetapi film terlalu mengorkestrasi keadaan. Menafsirkan puisi dengan lingkupan dan cara yang cheesy, dan beserta pretty much good things about this movie dibuat jadi latar belakang sebuah roman yang sudah acap kita lihat. Mengambil banyak pilihan untuk humor dan baper, sebagai langkah menjawab permintaan pasar. Aku bisa lihat film ini akan menemukan tak sedikit penggemar yang tidak akan mempedulikan sejumlah kekurangan pada penceritaannya. Dan lantaran ini dari puisi Sapardi, khalayak sastra akan bisa jadi bias melihat atau menyingkapinya. Apalagi ini adalah kali pertama sastra puisi nongol di ranah mainstream kekinian, which is a good thing buat perkembangan kesusastraan. Tapi puisi ya puisi, film ya film. Film ini bukan dibuat oleh Sapardi, dan filmnya jelek enggak seketika berarti sastranya juga jelek.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HUJAN BULAN JUNI.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE GLASS CASTLE Review

“Family are the people who must make you feel ashamed when you are deserving of shame”

 

 

Lumrah adanya orangtua suka bohong kepada anak-anak. Dan pada gilirannya akan membuat anak-anak suka bohong kepada – dan terutama, tentang – orangtua mereka. Waktu kecil, beberapa dari kita ada yang enggak mau ngajak teman main ke rumah kalo ayah dan ibu lagi enggak kerja. Terkadang kalo lagi ngobrol bareng teman-teman, kita akan menceritakan yang keren-keren tentang keluarga kita. Keluarga, bagi kita jauh di dalam adalah salah satu kebanggaan terbesar, namun kita masih sering merasa malu karena mereka. Dan tak jarang, perasaan malu saat keluarga ini kebawa hingga dewasa. Memperkenalkan pasangan kepada orangtua jelas adalah momok buat sebagian besar orang. Karena setiap keluarga punya rahasia, tidak ada keluarga yang sempurna. “Let me do the lying about my family,” begitu kara Jeanette Walls kepada tunangannya, mengisyaratkan setelah selama bertahun-tahun diajarkan mandiri dengan cara sangat tak-konvensional, Jeannette masih respek sekaligus malu sama keluarganya.

Tahun 2016 kita dibuat kagum sama Captain Fantastic yang dengan cueknya menantang moral kita dengan gaya hidup dan parenting orangtua yang mengajarkan anak-anaknya dekat dengan alam dan melawan sistem. Aku pikir, wah kalo beneran ada keluarga kayak gitu gimana ya. Dan kemudian, di tahun 2017, keluarlah The Glass Castle; film yang membuktikan bahwa aku tidak tahu banyak. Karena film ini adalah kisah nyata. Jeannette Walls adalah pengarang dan jurnalis, terutama terkenal sebagai  columnist gossip yang nulis memoir tentang masa kecilnya. Jeannette adalah saksi hidup seorang anak yang dibesarkan oleh orangtua dengan pemahaman begitu nyentrik; orangtua yang membiarkan anak dua-belas tahunnya masak sendiri, yang melempar anaknya begitu saja ke kolam, orangtua yang memberikan bintang di langit sebagai kado natal.

Aku dilarang keras berada di rumah kalo teman-teman cewek adekku dateng, mainly she was afraid norakku kumat.

 

 

Kita akan dibawa maju mundur, antara masa kini (1989) dan masa lalu, ketika Jeannette dewasa berkontemplasi tentang masa kecilnya. Kita bisa melihat jelas betapa sukarnya hidup Jeannette dan keluarga. Mereka berpindah-pindah tinggal dari satu bangunan kosong, ke rumah reyot lain. Dari Woody Harrelson sebagai ayah yang tak pernah menyelesaikan apa yang dia mulai ke Naomi Watts seorang ibu yang lebih mentingin ngelukis-tak-dibayar daripada masak, film ini dipersembahkan dalam lingkupan keluarga yang berakting sangat baik. Sebagai ujung tombak dari sekumpulan talenta, film punya Brie Larson  dan Ella Anderson yang menyuguhkan penampilan yang amat stricken sebagai sudut pandang utama. Jadi, ada alasannya kenapa saat menonton ini kita akan merasakan tone yang sangat berbenturan. Jeannette kecil dan saudara-saudaranya percaya bahwa apa yang dilakukan ayah mereka adalah hal yang benar. Bahwa mereka enggak miskin, bahwa yang mereka lakukan adalah melawan sistem demi kebaikan yang lebih besar.

Sesungguhnya, memang ada cara yang benar dan cara yang salah dalam hidup. Rumah tangga Wells terbangun dari cara-cara benar yang dilanggar. Istana mereka memang transparan, namun ada atap kaca patriarki yang tidak bisa dipecahkan oleh Jeanette. Akan tetapi pada akhirya, seperti kata Ibu, strugglelah yang membuat indah. Pengalaman kita bersama keluarga, baik atau buruk, akan membentuk integritas personal, keberanian, suatu jati diri. Jika kita tidak bisa menghargai keluarga satu persatu, palign tidak hargailah apa yang sudah keluarga sumbangkan dalam membentuk siapa kita.

 

Film mengeksplorasi aspek kelam dari kehidupan keluarga Jeanette. Narasinya panen drama dan emosi. Masalah alkohol sang ayah, juga ada situasi yang benar-benar disturbing dengan nenek mereka. Kita melihat banyak hal dan situasi terrible terjadi kepada keluarga Jeannette. Namun masalahnya adalah, film tidak paham akan kelamnya apa yang terjadi kepada mereka. Kita melihat basic skenario yang sama dimainkan berulang kali, sehingga lama-kelamaan jadinya bosenin. Kita kerap terflashback ke masa lalu, lalu kembali ke saat mereka dewasa, tapi ketertarikan itu malah semakin sirna. Sudut pandang Jeannette yang mixed banget digambarkan oleh film lewat benturan tone. Akibat dari ini adalah beberapa adegan really misses the mark lantaran malah terlihat dimainkan sebagai komedi.

Aku selalu punya masalah dengan film-film yang menggunakan musik yang terlalu menyuruh penonton untuk merasakan suatu emosi tertentu. Di film ini, aku mendapati musiknya sangat gak klop nan mengganggu penyampaian emosi. Film ini mencoba membuat kita merasakan apa yang dirasa oleh anak-anak itu ketika orangtua memanfaatkan mereka dengan harapan. Maksudku, sangat sering kita jumpai dalam film ini adegan-adegan yang sebenarnya tragis, sedih dengan dilatari oleh score musikal yang ‘memaksa’ kita untuk melihat bahwa ini adalah adegan yang bahagia. Pemandangan seorang ayah dan ibu yang basically membiarkan anak mereka enggak makan, ataupun mengambil duit tabungan anak mereka, atau membiarkan mereka berada dalam situasi yang berbahaya sesungguhnya adalah pemandangan yang sukar untuk dilihat – disturbing. Akan tetapi, musik yang dimainkan saat adegan kelam ini begitu uplifting seolah itu adalah momen keluarga yang hangat. Mungkin sebagian orang akan suka dengan cara bercerita seperti ini, namun buatku adegan-adegan tersebut menjadi kurang otentik, emosi yang disampaikan tidak tersampaikan dengan impactful.

keluarga kaca apa keluarga cemara

 

 

Kurang-kurangin deh berbohong kepada anak-anak. Berikan anak-anak kredit perspektif yang lebih sehingga mereka bisa melihat sebening melihat kaca. Buat mereka mengerti situasi dengan mempersembahkan konsekuensi, bahaya, ketakutan, kejelekan dengan transparan. Karena hanya dengan begitu, orangtua akan lebih dihormati oleh anak-anak yang tumbuh lebih kuat.

 

 

Dengan tema yang sama-sama mengangkat pertanyaan apakah membesarkan anak jauh dari sistem dan sosial adalah hal yang bertanggung jawab, film ini tetap terasa tumpul dan kurang greget. Absennya ambiguitas moral yang membuat film ini kalah menarik dan penting dibandingkan Captain Fantastic. Naskah meminta kita untuk merasakan suatu perasaan tertentu untuk karakter-karakter yang ada, namun apa yang kita lihat-kita dapatkan- kita rasakan tidak selaras dengan perasaan mengangkat yang diberikan dengan terlalu banyak. Rex Walls bisa saja memang jujur terhadap anak-anaknya mengenai teori sistem sosial yang ia percaya. Film ini, however, tidak transparan dalam menyampaikan emosi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE GLASS CASTLE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

1922 Review

“It’s easier to fool people than to convince them that they have been fooled”

 

 

“Di tahun 1922, kebanggaan seorang pria adalah tanah miliknya. Juga putranya. “ Dengan suara bergetar dan tangan gemetar, dari dalam kamar hotel, Wilfred James menceritakan pengakuan atas apa yang sudah ia lakukan ke atas kertas.  Di tahun 1922, tulisnya, aku membunuh istriku.

Di balik pria yang hebat, ada wanita yang hebat. Wilfred tahu dia bukan pria yang bego. Makanya dia menolak keras keinginan istrinya untuk menjual tanah pertanian dan pindah hidup ke kota. “Kota itu tempat orang bego” cerca Wilfred. Ego adalah soal hati, dan hati Wilfred sudah meyakinkannya bahwa pergi ke kota sama dengan menyerah pada keuangan, mengakui bahwa dia bukan petani yang cakap. Wilf punya pepatah tandingan yang lebih ia percaya; di dalam setiap pria, ada pria lain. Seorang asing. Seorang pria yang siap melakukan tindakan yang amoral dan ilegal. Setelah argument demi argument tak berkesudahan dengan istrinya, Wilfred tampaknya mulai berpaling kepada si pria di dalam dirinya. Petani tersebut lantas menyusun rencana untuk membunuh sang istri, dan dia akan membujuk putra kebanggaannya untuk membantu.

Di tahun 1922, untung belum ada Sadako

 

2017 adalah waktu yang paling asyik untuk menjadi penggemar Stephen King. Susul menyusul film adaptasi dari cerita si maestro horor spesialis cerita balas dendam ini bermunculan. Dari The Dark Tower, ke It, ke Gerald’s Game, it keeps getting better and better. 1922 diangkat dari cerita pendek, dan jika dibandingkan dengan dua horor King lain yang kita dapatkan recently, memang  1922 adalah film adaptasi yang paling lemah. Tapi tetap saja, ini adalah cerita psikologis yang sangat menegangkan. Oleh sutradara Zak Hilditch, source material dijadikan panduan layaknya ngikutin walkthrough game sehingga film ini menjadi sangat setia dengan cerita pendek orisinalnya. Dan itu bagus, sebab film ini berhasil tepat menggambarkan gimana rasanya diuber-uber oleh dosa sudah menghilangkan nyawa. Perasaan terkungkung juga dibawa keluar oleh sense klaustrofobik yang sangat kental. Shot-shot ruang tertutup dengan tikus-tikus, sebagian nyata sebagian lagi hanya produk imajinasi trauma, membuat film menjadi beneran tertutup rapat. Basically, penceritaan film ini bilang kita enggak bisa lari dari guilt, dari trauma masa kecil, trauma pernikahan yang gak sehat. Masalah keuangan yang dihadirkan sesungguhnya hanyalah device untuk mengikat kita dengan pesan bagaimana satu keputusan yang salah dapat menghancurkan, bukan hanya hidup sendiri, melainkan juga hidup orang lain.

Buat kita yang belum pernah membunuh, tindak pembunuhan hanyalah sebuah contoh dari perbuatan yang mengerikan. Sebuah kejahatan yang besar dan meski dihukum seberat-beratnya. Film ini akan membawa kita masuk ke dalam pribadi seorang yang sudah meyakinkan dirinya sendiri untuk membunuh istri – pasangan hidupnya. Dan dari sini kita tahu, bahwa membunuh adalah dosa tak termaafkan yang akan selamanya mengutuk pelaku – dan orang-orang yang membantunya.

 

Babak pertama benar-benar membuatku melongo. Wilfred mulai memikirkan rencana pembunuhan, dengan seksama membujuk putranya untuk membantu. Practically, dia memanfaatkan remaja lima-belas tahun itu, menggunakan kelemahannya – kalo ikut Ibu ke kota, kau tak akan bisa bersama pacarmu lagi. Sedari awal, narasi menyerang cinta sebagai titik lemah, dan ini sejalan dengan tokoh Wilf yang berkembang menjadi benci kepada istrinya. Dan selagi rencana pembunuhan tersebut terbangun, kita akan dikurung dalam suspens dan ketegangan.

Ketika aksi berdarah itu tiba, film tidak menggambarkannya dengan, katakanlah, dengan glorious. Aksi bunuh dalam 1922 tidak seperti pada film lain, ambil pisau-tusuk-darah yang banyak-dan mati. Semuanya dihandle dengan sangat cakap, setiap frame menghasilkan ketegangan yang terus bertambah. Sekaligus semakin memberatkan sisi emosional. Wilfred tidak mau membunuh dengan menyekap nafas dengan bantal seperti yang disarankan anaknya, sebab itu akan terlalu menyakitkan. Beberapa kekerasan dalam film ini kadang jatoh lebih seperti dark-comedy lantaran benar-benar menyentuh emosi manusiawi. Terutama perasaan bersalah.

aku sudah lama enggak nyaris ketawa liat sapi menderita sejak game Earthworm Jim 2

 

Memasuki babak kedua, pace film menjadi semakin melambat lagi. Fokus cerita sekarang adalah tentang seorang pria dan putranya yang secara perlahan digerogoti rasa bersalah. Sebegitu gampanganya mereka membujuk – dan dibujuk, apakah benar tidak ada cara lain. Wilfred dan si anak ‘membusuk’ karenanya. Sebagai Wilfred, aktor Thomas Jane memberikan penampilan terbaiknya. Actually ini adalah film adaptasi Stephen King ketiga yang dilakoni oleh Thomas, sebelumnya dia main di Dreamcather (2003) dan The Mist (2007), dan perannya di kedua film tersebut enggak ada apa-apanya dibandingkan dengan perannya sebagai Wilfred. Ia paham bahwa Wilfred bukanlah petani yang simple-minded, melainkan seorang yang sangat pintar. Seorang yang tahu apa yang ia mau, dan dia enggak ragu untuk meyakinkan moralnya terhadap cara-cara keji yang ia tempuh. Wilfred akan tersiksa jiwa dan raga, dan Thomas sangat menakjubkan pada kedua teror tersebut.

Reperkusi dari sebuah tindakan dosa yang sangat berat adalah mental dan perasaan yang semakin terbebani olehnya. Rasa itu akan terbendung tak terkira sehingga hal-hal lain di luar masalah tersebut akan menjadi tak penting lagi – kita tak akan bisa mikirin apa-apa selain rasa bersalah. It would consume our life, dan hampir semua hal, semua orang di sekitar kita. Ultimately, akan memburamkan kompas mana yang baik dan mana yang buruk seperti yang terjadi pada putra Wilfred.  

 

Ketika kita ingin  mengadaptasi dengan loyal sebuah cerita pendek menjadi film panjang, tak pelak akan ada beberapa bagian yang terasa dipanjang-panjangin. Inilah yang menjadi aspek paling lemah dari 1922. Setelah poin ceritanya tersampaikan, film seperti enggak tahu lagi musti ngapain. Maka mereka kerap mengulang-ngulang adegan dengan maksud yang sama, meskipun mereka fully aware poin tersebut sudah disampaikan. Melihat Wilfred tersiksa, dia ‘membusuk’ begitu saja, film ini bisa saja menjadi lebih singkat – aku enggak melihat ada kepentingan untuk menjadi satu jam empat puluh menit. Malahan akan bisa menjadi lebih padet sekiranya mereka memangkas menjadi sekita delapan puluh atau sembilan puluh menit.

 

 

 

 

Pesan mengenai dampak, konsekuensi raksasa sebuah pilihan tindakan yang salah terhantar dengan teramat baik. Ini adalah salah satu adaptasi Stephen King yang paling setia dengan sumber aslinya, indah, cerita yang sangat contained. Thriller psikologis dengan beberapa creepy imageries yang semakin manusiawi berkat permainan akting yang menarik dan meyakinkan. Terasa sedikit terlalu panjang, membuat pacing sedikit keteteran. But all in all, aku pikir enggak bakal sulit untuk meyakinkan kalian untuk menonton film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for 1922.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

THOR: RAGNAROK Review

“We would have all been the same anywhere else”

 

 

Apa sih sebenarnya pekerjaan dewa-dewa? Maksudku, apa tepatnya yang mereka lakukan di atas sana, tugasnya ngapain aja; masa iya sepanjang waktu mereka cuma duduk di singgasana mengawasi rakyat sambil makan anggur.  Dalam dunia film, sutradara bisa dikatakan sebagai dewa, sutradaralah yang mengontrol semua – memastikan setiap elemen film bekerja membentuk kesatuan sesuai dengan visi yang ia inginkan. Dan tugas sebenarnya seorang sutradara ialah menciptakan tubuh naratif tersendiri dan menampilkan dengan keaslian. Taika Waititi dapat melihat bahwasanya cara terbaik menginterpretasi tokoh Thor adalah memandangnya sebagai tokoh komedi aksi. Sedari film-film awalnya, juga ketika muncul di Avengers, ada sense of humor yang terkandung di dalam tokoh dewa dari dunia lain ini. Ada dinamika menarik antara sikap hot-head dan jiwa pembela kebenarannya. Jadi, Waititi menggunakan keahlian terbaiknya ketika ditunjuk sebagai sutradara. Apa yang tepatnya ia lakukan? Basically, Waititi menghancurkan aspek serius dari dua film Thor sebelumnya, menyuntikkan berdosis-dosis komedi, sehingga baik dalam konteks cerita maupun penokohan, tokoh (sekaligus film) Thor benar-benar harus memulai dari awal.

Thor: Ragnarok adalah film superhero paling lucu yang pernah dikeluarkan oleh Marvel Studio. Definitely yang terbaik dari seri film solo Thor. Narasinya banyak bermain-main dengan gimmick dewa-dewi Asgard, bersenang-senang dengan trope karakter-karakter superhero Marvel. Yang perlu diingat adalah bermain-main bukan berarti enggak serius. Bersenang-senang bukan berarti melupakan nilai seni. PADA FILM INI SENI ADALAH KOMEDI, pada bagaimana dia bermain-main.

Komedi yang quirky menjadi pesona utama yang membuat film ini berdiri paling tinggi, bahkan di antara film-film superhero komik yang lain. Tidak hanya membuat tokoh dengan kekuataan super itu membumi layaknya manusia seperti kita-kita, yang mana begitulah formula superhero yang baik; setiap tokoh pahlawan harus bisa kita lihat sebagai orang biasa. Dalam film ini para tokoh dibikin ‘enggak keren’. Mereka begitu off-beat. Thor adalah seorang yang konyol, yang sering gak nangkep suatu poin, sekaligus sosok yang kharismatik dan tangguh. Loki, menyamar menjadi Odin, menciptakan teater sandiwara yang bercerita tentang epos kepahlawanan dirinya, hanya supaya rakyat lebih ngeworship dirinya yang dipercaya publik sudah meninggal.

Gestur-gestur kecil buah dari reaksi emosional manusiawi membuat film ini menyenangkan. Gini, jika kalian pernah membayangkan gimana kalo kita menjadi dewa atau punya kekuatan, maka dalam bayangan tersebut sosok kita pasti bakal keren banget. Sok cool gitu. Namun tidak seperti itu di dalam kenyataan, kecanggungan kita enggak hilang hanya karena kita seorang dewa. Memegang pedang keren bukan berarti kita otomatis berhenti nyengir di depan kamera. Tampil gagah dan tampak keren bukanlah job desk seorang pahlawan atau dalam film ini, dewa. Thor: Ragnarok enggak berpaling dari reaksi-reaksi manusiawi, ia malah mengambil sisi humor darinya. Kita akan melihat Hulk mengumpat kesal, Dewi Kematian ngibasin rambut panjangnya sebelum berantem, dan tak jarang seorang karakter meralat kata-kata bijak yang sedetik lalu ia ucapkan, karena keadaan berubah natural dengan cepat dan udah gak sesuai lagi ama konteks yang ia sampaikan.

Bisa-bisanya Kat Dennings malah absen saat film ini jadi komedi

 

Arahan Waititi berhasil mengeluarkan yang terbaik dari para aktor. Tidak banyak dari kita yang melihat potensi komedik dari Chris Hemsworth, dan di film ini kita akan dibuat sangat melek. Kerja komedi Hemsworth sangat marvelous, delivery – timing – ekspresi, renyah semua berhasil bikin ngakak. Pada adegan Thor hendak dicukur, aku benar-benar meledak ngakak, it really hits home for me. Seperti pada dua film komedi terakhirnya, What We Do in the Shadows (2015) dan Hunt for the Wilderpeople (2016), Waititi mengandalkan kepada hubungan antar karakter untuk menghantarkan kita melewati plot poin satu ke poin yang lain. Aku belum pernah melihat interaksi antara dua superhero paling fresh dan semenyenangkan antara Thor dengan Hulk di film ini. Aku gak mau beberin banyak soal Hulk, jadi, ya secara garis besar peran Mark Ruffalo ini terdevelop dengan cukup banyak, personalitynya nambah, dan aku pikir elemen-elemen baru dari Hulk akan memancing reaksi berbeda dari penonton. It’s kinda love it or hate it. Buatku pribadi, aku suka. Tokoh Hulk ini memang rada tricky untuk dikembangkan, dan selama ini ia hanya jadi powerhouse sebagai ekualiser kekuatan musuh. Dalam Ragnarok, dia ada kepentingan lebih dari  sekadar “friend from work” untuk berada di sana, meski dia sendiri enggak sadar. Thor menyebut kelompok kecil mereka sebagai Revengers – kumpulan orang-orang yang punya dendam kepada Hela, dan cuma Hulk yang bengong karena enggak merasa ada dendam apa-apa. Peran Hulk di sini adalah sebagai cermin buat Thor, karena jauh di dalam, kedua orang ini adalah pribadi yang punya banyak kesamaan.

Ramalan Ragnarok sudah hampir terwujud. Bayangkan ramalan suku maya 2012, hanya saja ramalan ini adalah kenyataan buat Thor. Demi mencegah itu terjadi, Thor langsung bertindak  Dia enggak mau Asgard hancur.  Mimpi buruk semakin nyata ketika Odin meninggal, dan kekuatan yang selama ini disegel oleh Bapak Thor itu terlepas. Thor dan Loki akhirnya berkenalan dengan kakak sulung mereka, Hela di Dewi Kematian. Namun tentu saja itu bukan jenis perkenalan yang mesra dan penuh peluk rindu. Ini adalah perkenalan yang literally menghancurkan Mjolnir, palu andalan Thor. Drama keluarga dewa tersebut beralaskan darah dan air mata. Hela menuntut tahta, dia menginginkan Asgard kembali seperti zaman kekuasaan ia dan Odin dahulu. Segera saja, Thor menemukan dirinya kehilangan semua. Kehilangan ayah, kehilangan saudara, kehilangan senjata, kehilangan tanah air. Thor sempat terdampar di planet berisi orang-orang terbuang, di sana dia dijadikan gladiator, dan di situlah dia bertemu kembali dengan Loki, Hulk, dan banyak teman baru. Jadi sekarang, setelah kekuatan dan pasukan terhimpun, Thor harus bergegas mencari jalan untuk kembali ke Asgard, untuk mengalahkan Hela demi mencegah Ragnarok terwujud.

Nasionalisme tak pernah adalah soal tempat. Selama ini kita terkotak-kotak oleh batas negara, oleh batas wilayah, sehingga tercipta ilusi persatuan terbentuk atas kesamaan tempat, kesamaan asal usul, kesamaan kampung halaman, that we have to protect the place. Tapi enggak, persatuan adalah soal rakyat. Tidak peduli di mana kita, tidak peduli pribumi atau nonpribumi, ketika kita hidup berkelompok – kita sejatinya menumbuhkan perasaan menyatu atas apa yang kita hadapi bersama. Dan ketika orang berperang atas nama nasionalisme, bukan tempatlah yang dipertahankan. Melainkan persatuan.

 

Selalu menarik melihat penjahat yang punya motivasi dan kebenaran pribadi, dan ia memegang teguh sudut pandangnya itu dengan intensitas yang tinggi. Cate Blanchett memerankan salah satu penjahat yang paling kuat dalam dunia superhero Marvel, Hela tampak berbahaya, dia actually mampu membunuh banyak prajurit. Penampilan akting Blanchett yang meyakinkan hanya membantu tokoh itu stand out lebih jauh lagi. Jika dibandingkan dengan Hela, tokoh Loki dalam film ini akan terlihat sangat lemah. Namun bukan berarti God of Mischief ini terkesampingkan. Tom Hiddleston justru tampil lebih mendua di sini, ekspresinya poker face banget, kita enggak tahu pasti kapan Loki beneran ikhlas membantu, kapan dia memainkan muslihat untuk kepentingan dirinya sendiri.

Ada paralel yang menarik antara ketiga anak Odin ini. Thor, Loki, dan bahkan Hela sebenarnya sama-sama pengen menyelamatkan Asgard, untuk kepentingan yang berbeda. Khusus untuk Hela, ini menjadi semacam history melawan herstory. You know, jika kalian kalah, nama kalian akan keluar dari sejarah. Akan tetapi, baik si kalah maupun si menang punya catatan sejarah sendiri. Loki, di awal film, jelas-jelas ingin membangun sejarahnya sendiri dengan theater sandiwara itu. Dalam film ini ada satu tokoh baru, pejuang cewek yang merupakan mantan Valkyrie – semacam militer Asgard, pasukan khusus cewek.  Dia adalah satu-satunya Valkyrie yang tersisa dan ia menyimpan tragedi  Valkyrie itu rapat-rapat, sebab pihak yang kalah tidak punya kendali atas sejarah.

 

Penceritaan Thor: Ragnarok tidak dibuat dengan terlalu rumit. Set up dan penyelesaiannya dirangkai sederhana, adegan pembuka film  masih nyambung dengan ending. Beberapa penonton mungkin bermasalah dengan tone ceritanya, narasi seperti terbagi menjadi dua; komedi dan eksposisi. Kita akan sering bolak-balik antara kedua bagian ini, dan sesekali menemukan aksi seru di antaranya. Sebagaimana layaknya komedi  ada punchline di setiap akhir poin cerita. Secara visual pun, film ini bermain-main. Banyak penggunaan angle yang tak-biasa dalam menangkap adegan. Efeknya bagus tapi itu sudah kita semua harapkan. Sekuens aksinya, however, terekam dengan sangat fun. Pacenya cepet dengan begitu banyak yang mata kita bisa nikmati per bingkainya. Lagu Immigrant Song tepat sekali menjadi musik tema, dan film ini tahu persis kapan dan di mana harus menggunakannya. Semua penilaian tersebut, semua aspek komedi sampai ke bagian terkecil bekerja dengan sangat baik, tentu saja mengacu kepada penyuntingan yang benar-benar jawara.

Yaaahh yoyo saktinya hancur

 

Salah satu yang sering menjadi hambatan buat film-film Marvel adalah kepentingan untuk merangkai dengan judul lain, bahwa terkadang film bisa menjadi seperti setup gede untuk film lain. Kita akan melihat banyak cameo yang enggak ada hubungannya ama cerita. Pada Thor: Ragnarok juga dijumpai aspek ini. Thor sempat berurusan dengan Doctor Strange, yang sebenarnya bisa dihilangkan atau diberikan peran yang lebih besar lagi. Narasi memainkan cameo sebagai bahan komedi, sehingga membuat kita bisa memaafkan bagian cerita yang kurang signifikan ini.

 

 

Superhero Marvel sedari awal memang diceritakan dengan light-hearted, dan Waititi enggak malu-malu untuk mengubah film ini menjadi komedi yang tentu saja ringan. Namun bukan berarti tidak serius. Para aktor kelihatan sangat menikmati permainan peran mereka, bahkan Waititi sendiri turut nampil sebagai Korg si alien batu yang memperkuat departemen komedi. Di sini para karakter dibuat self-aware, dibuat gak keren-keren amat, dan itu hanya akan membuat mereka menjadi lebih populer dan dekat kepada penonton. Kita mungkin bisa enggak peduli sama mekanisme dan mitologi Asgard yang jauh banget dari Bumi, akan tetapi apa yang mereka lakukan – apa yang mereka hadapi terasa dekat. Ini adalah sajian superhero paling lucu yang bahkan enggak perlu menjadi kasar untuk bisa mencapai kelucuan.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 for THOR: RAGNAROK.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.