A QUIET PLACE: DAY ONE Review

 

“Life is found in the dance between your deepest desire and your greatest fear”

 

 

Diam-diam,  A Quiet Place ternyata ngembangin franchise horor survival yang kuat muatan kemanusiaannya. Sudah tiga film – termasuk yang sekarang digarap oleh Michael Sarnoski ini – dan ketiga-tiganya selalu lebih dari sekadar tontonan hiburan dari gimmick invasi makhluk alien yang punya pendengaran super. Bukan cuma soal tidak bersuara jika ingin selamat. Film pertamanya, yang rilis 2018 silam, mengusung pengorbanan demi keluarga lewat persoalan survive dengan tahu kapan harus bersuara, kapan harus diam. Lalu sekuelnya, yang kali itu ceritanya meluas karena keluarga karakter berinteraksi dengan survivor lain, merupakan soal pengorbanan demi kemanusiaan, bagaimana pentingnya membantu orang lain meskipun sekilas seperti mereka tak worthy untuk diselamatkan, dan untuk itu kita tidak bisa dengan tinggal diam. Film ketiganya ini, yang secara timeline dinyatakan sebagai prekuel – hari pertama dari invasi maut itu – bicara tentang keinginan untuk hidup. Keinginan yang sengaja atau mungkin tidak bisa lagi terucapkan, karena situasi yang mengharuskan. Skala lokasinya satu kota besar, tapi cerita kembali menjadi bahkan lebih personal lagi. Film ini memang sedikit lebih serius, lebih ke drama, dan less soal action survivor ataupun horor monster. Tapi tidak sampai sedemikian berat karena afterall ini juga soal menikmati hidup. Motivasi utama protagonisnya saja – di dunia yang mendadak kacau beliau itu – adalah makan pizza favoritnya!

Serius deh, ini harusnya dinormalisasi. Perkara karakter punya tujuan sederhana (atau bisa dibilang out-of-place ketika dikontraskan dengan situasi dunia atau konflik yang sedang terjadi) seharusnya lebih sering dilakukan oleh film-film, sebab itu membuat karakternya tampak lebih beresonansi. Kayak waktu Tallahassee yang berkeliling menumpas zombie di Zombieland (2009) karena dia sedang dalam misi mencari snack Twinkies kesukaannya. Atau recently dalam Leave the World Behind (2023), ada anak kecil yang cuma pengen namatin nonton serial Friends, despite orangtuanya sibuk ketakutan oleh dunia sedang kacau balau kena serangan cyber misterius. Film itu bahkan dengan beraninya mengakhiri cerita bukan dengan menuntaskan konflik global, melainkan menyelesaikan keinginan si anak. Konyol? Bisa dibilang begitu tapi tidak juga sebenarnya. Motivasi sederhana mereka itu jadi seperti api kecil harapan di balik keadaan yang sedang tidak baik-baik saja. Motivasi tersebut jadi simbol. Keinginan Samira makan pizza dari toko di kota New York, penting karena memuat gagasan dan tema utama karakter dan cerita keseluruhan A Quiet Place: Day One.

Begini, Samira adalah pasien kanker yang nasibnya sudah pasti. Hidupnya tak lama lagi. Di momen pertama kita ‘berkenalan’ dengannya kita tahu Sam udah sebodo amat, Sam bacain puisi tentang segala hal di dunia ini sampah – it was a good, cold, poet tho. Udah eneg banget kayaknya dia hidup. Pizza-lah satu-satunya hal yang masih ‘enak’ baginya, Karena pizza ngingetin dia sama masa lalu yang hangat. Jadi karena dijanjiin pizza, maka Sam mau ikut perawatnya ke New York. Tapi hari itu ternyata bukan hari yang baik untuk makan pizza ke New York. Sebab itu adalah hari saat invasi monster asing terjadi. Korban berjatuhan. Kota porak poranda. Ketika semua orang berusaha menyelamatkan diri naik kapal, Sam bersama kucing kesayangannya malah menyusuri jalan. Masih ngotot mencari pizza, Sam akhirnya malah bertemu dengan teman seperjalanan yang membuatnya kembali merasakan hangatnya semangat hidup.

Kebayang gak sih kalo lagi nahan suara takut monster gitu, tau-tau ada yang kentut

 

Saat nonton dua film terdahulu, mungkin ada yang sempat kepikiran gimana prosesnya survivor bisa tahu bahwa monster ini peka ama suara, butuh berapa lama sampai para manusia sadar mereka harus tak-bersuara agar selamat? Well, film Day One ini ngasih jawaban yang jelas. Enggak lama. Kericuhan memang terjadi pas monster-monster itu baru muncul. Bagi Sam yang sudah terbiasa diam dan mengelak dari interaksi dengan manusia, mungkin bukan benar-benar masalah, tapi manusia-manusia lain di sekitarnya? Ketakutanku soal cerita ini bakal jadi teror monster biasa memang hampir jadi kenyataan, tapi itu enggak lama. Begitu Sam siuman dari pingsan, para survivor telah mengerti cara supaya aman dari serangan. Bahwa mereka harus diam. Film ini memang ingin menunjukkan betapa manusia punya survival insting yang kuat. Punya keinginan untuk hidup yang kuat. Sehingga mereka cepat beradaptasi dan menemukan celah dari serangan monster. Keinginan untuk hidup itulah yang jadi kata kunci di film ini.

Rasa kasihan dan kepedulian kita kepada Sam datang dari benturan antara dua hal itu. Kita ngerti Sam yang terminally ill basically udah gak punya keinginan untuk hidup, tapi kita juga lihat daya survivalnya tinggi karena dia pengen banget makan pizza untuk terakhir kali. Nontonin Sam ini rasanya diri berkecamuk sendiri – pengen neriakin Sam supaya benar-benar nikmatin hidupnya, tapi gak bisa karena ya kalo teriak takutnya monster denger. Film ini konsep horornya udah kuat merekat, ditambah pula karakter yang bikin kita ya akhirnya hanya bisa diam juga. Tapi untuk penyadaran Sam itulah – karena kita sebagai penonton gak punya ‘power’ ngasih tau karakter – naskah menghadirkan Eric. Pria yang seperti counter-point dari Sam. Teman seperjalanan yang awalnya ogah-ogahan diterima oleh Sam. Eric, basically, adalah orang yang selama ini mendedikasikan hidupnya untuk hal yang tak bisa ia tolak. Kata-katanya soal law school seolah dia memang diharapkan jadi pengacara dan itulah yang ia lakukan. Tapi keadaan dunia yang hancur sekarang, membuat dia tak perlu lagi jadi pengacara. Eric adalah orang yang merasa punya kesempatan mengejar hidup baru. tapi dia gak bisa apa-apa karena tak melakukan hal lain. Sam dan Eric eventually akan saling ‘mengisi’. Connection di antara mereka jadi hati yang mengangkat film ini. Adegan di jazz club benar-benar mereveal dan nunjukin development yang hangat pada dua karakter yang menguar oleh empati. Itu jadi adegan puncak, Ada keindahan sendiri pada storytelling film ini saat menempatkan adegan full of life itu di tengah-tengah teror, bahaya, dan luluh lantak dunia yang penuh monster mengerikan.

Hidup adalah apa yang kita lakukan ketika menggapai yang diinginkan, meskipun harus melewati ketakutan terbesar. Film ini nunjukin bagi tiap orang ‘hidup’ – being alive – itu berbeda-beda. Makanya ending film ini jadi terasa monumental, sebuah pilihan akhiran cerita yang benar-benar tepat untuk menamatkan kisah hidup Samira; karakter yang divonis mati, di dunia yang juga udah harus ikhlas bakal mati, tapi alih-alih diam, menemukan cara baru untuk benar-benar menyuarakan hidupnya.

 

Lupita Nyong’o dan Joseph Quinn benar-benar paham membuat karakter mereka tampak kontras, punya dinamika yang tantangan menampilkannya sangat berat karena mereka harus lebih banyak diam. Film dengan konsep mengontraskan aksi dengan elemen emosional yang tanpa suara ini memang bergantung kepada akting. Pemainnya dituntut harus bisa bicara lewat gerak kecil, sorot mata, pokoknya seluruh tubuhnya harus bicara menyampaikan psikologi ataupun yang dirasakan karakternya. Informasi tentang mereka terbatas dari sini. Lupita terutama; capeknya dia, frustasinya dia, senangnya, takutnya, marahnya, penolakannya, terekspresikan semua. Film ngasih challenge; muka belepotan abu lah, harus berhadapan dengan monster lah, semua itu ditackle tanpa lepas dari emosi karakter. Yang aku suka satu lagi dari Sam dan Eric adalah kenyataan bahwa mereka ini dipertemukan oleh kucing. Hewan yang dikenal sebagai salah satu hewan paling mandiri bought them together. Seolah ini adalah kiasan berikutnya bahwa mandiri bukan berarti kita tidak berempati ataupun tidak butuh koneksi dengan orang – atau bahkan makhluk – lain.

Salut buat akting kucingnya yang bisa diam, karena aku dulu punya kucing dan aku yakin kalo aku bawa kucingku ke dunia A Quiet Place, baru lima detik kami pasti sudah dimangsa monster

 

Tapi di balik nilai plusnya, tentu kita juga tidak bisa mendiamkan beberapa aspek lemah dari arahan dan penulisan film. Yang paling mengganjal buatku adalah kemunculan Eric. Karakter ini muncul tanpa set up. Literally dia muncul dari sebuah jumpscare. Kirain dia ini gak penting dan bakal mati cepet, tapi ternyata justru kebalikannya. Mungkin film ingin memperkuat kesan bahwa yang namanya hidup, ya unexpected things happen. Kita gak bisa milih siapa yang bakal masuk dan berperan dalam hidup. Bahwa pembelajaran bisa datang dari mana saja. Namun tetap saja yang namanya film, akan selalu lebih baik jika karakter dibuild up dengan proper, atau paling enggak, tidak muncul begitu saja di dalam cerita. I mean, bahkan dalam cerita plot twist paling kacrut pun, karakter yang diungkap sebagai ‘penjahat sebenarnya’ biasanya sudah ada ‘clue’ atau dimunculkan seenggaknya sekilas di awal-awal. Cara film ini mengintroduce Eric dengan abrupt terkesan naskah belum demikian matang memuat racikan konsep cerita.

Dan ngomong-ngomong soal matang, film ini toh tersandung juga ketika mencoba mempersembahkan diri sebagai bagian dari sebuah universe cerita. Film sekenanya aja ketika mulai nyambung-nyambungin antara karakter yang ada di film sebelumnya.  Aku gak ngerasa karakter Henri penting untuk ada di sini. Adegannya ‘mengurusi’ salah satu warga yang panik oleh monster terasa gak penting karena cuma itu satu-satunya bagian dia tampak mencuat. Selanjutnya dia tidak dibahas lagi hingga akhir. Bahkan kalo mau nunjukin paralel antara sikapnya dengan sikap Sam nanti ketika dealing with kepanikan Eric, harusnya keberadaan dia mestinya bisa lebih ditekankan lagi. Karena kalo cuma seperti yang kita saksikan, keberadaan dia kayak maksa, biar kelihatan ini beneran satu universe aja.

 

 




Also, judulnya buatku bisa bikin beberapa penonton merasa terkecoh. Ini mungkin lebih tepat dibahas sebagai problem judul film masa kini yang udah kayak ngincer SEO, kali ya. Maksudku, dari judulnya sekilas film seperti ingin membahas hari pertama di semesta A Quiet Place. Penonton bakal ngarepin aksi ataupun keadaan yang menyeluruh dari ‘hari pertama’ tersebut. Padahal ceritanya sendiri actually adalah cerita yang sangat personal. Yang sangat intimate antara dua survivor. Ditambah pula dengan less-aksi dan more of bahasan karakter, film ini bakal jadi entry paling boring. Namun secara muatan cerita, sebenarnya film ini paling kompleks. Dari ketiganya so far, yang paling ‘elevated’ sebagai horor invasi ya film ini. Kekurangan sebenarnya cuma di beberapa titik kurang matang, atau pilihannya aneh. Sementara karakter dan journeynya, kalo mau memperhatikan, mereka semua meluap oleh emosi yang memang tidak disampaikan dengan sekadar cuap-cuap.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for A QUIET PLACE: DAY ONE

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana menurut kalian tentang motivasi karakter yang ‘sepele’ seperti ini? Apakah kalian setuju dengan pendapatku di atas?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



ORPHAN: FIRST KILL Review

 

“A person’s greatest emotional need is to feel appreciated”

 

 

Waktu tidak bisa lebih tepat lagi daripada sekarang, buat yang mau luncurin prekuel dari Orphan; psikologikal horor 2009 yang populer karena udah ngemindblown penonton lewat revealing identitas karakternya yang ikonik. Bahwa Esther si anak yatimpiatu itu sebenarnya bukanlah seorang ‘anak kecil’ melainkan psikopat dewasa yang punya kelainan hormon sehingga tubuhnya tetap seperti anak kecil. Kenapa kubilang sekarang adalah waktu yang tepat untuk bikin prekuelnya? Karena pemeran Esther alias Leena, yaitu si Isabelle Fuhrman, kini sudah mendekati usia karakter yang ia perankan tersebut. Let’s think about that for a moment. Di film original, Isabelle berusia sebelas tahun, dia yang masih kecil berakting jadi wanita dewasa yang berpura-pura jadi anak kecil, dan saat menit-menit akhir revealing karakter, dia memakai make up supaya tampak dewasa. Nah kini, Isabelle yang sudah dewasa tentunya bisa dengan lebih natural memainkan si Leena – cerita bisa dengan bebas mengeksplorasi origin kenapa Leena bisa jadi psikopat dengan modus operandi nyamar jadi anak-anak. Tanpa harus pake efek riasan (kecuali mungkin efek tinggi badan). Tapi tentu saja origin dengan sesuatu yang completely new seperti itu pertaruhannya tinggi. Sebab yang bikin Orphan ikonik justru gimmick nyamar-jadi-anak-kecil. Produser pasti keberatan kalo gimmick itu dihilangkan. Sehingga jadilah Orphan: First Kill garapan William Brent Bell hadir sebagai prekuel yang mengulang pengalaman yang sudah kita dapatkan pada film originalnya. Tawaran barunya cuma twist bahwa ada yang lebih jahat daripada Leena. Dan dengan menjadi seperti demikian, film ini mengkhianati judulnya sendiri.

Orphan: First Kill actually bukan tentang pembunuhan pertama yang dilakukan Leena. Di cerita kali ini, Leena sudah terestablish sebagai pasien paling berbahaya di mental asylum di Estonia. Di tempat itu, Leena sudah dikenal sebagai pembunuh dengan taktik menyamar atau bersikap sebagai anak-anak. Keahlian taktiknya itu langsung dibuktikan Leena saat suatu malam dia kabur dari asylum. Rencana kabur selanjutnya dari Leena adalah mengubah penampilannya menjadi mirip seperti Esther, anak Amerika yang diberitakan hilang, yang ia lihat di internet. Leena kini sebagai Esther, found her way ke rumah keluarga asli si anak malang. Keluarga yang ternyata punya rahasia kelam tersendiri, sebagai ‘musuh’ yang harus dihadapi oleh Leena.

Bahkan pembunuh psikopat pun tidak bisa memilih keluarga idealnya sendiri

 

While it’s true yang paling diingat orang dari Orphan original adalah soal si Esther yang ternyata adalah orang dewasa bernama Leena,  film tersebut juga didukung oleh naskah yang kuat memuat bahasan ketakutan psikologis seorang ibu akan kehilangan anak, suami – keluarganya. Esther alias Leena di situ ada sebagai antagonis, perwujudan dari momok yang bakal merebut keluarga dari sang ibu. It was a dark, juga terasa personal dan grounded sebagai sebuah cerita. Film keduanya ini, dengan timeline sebelum kejadian pertama, menempatkan kita di perspektif Leena. Yang tentu saja punya potensi tak kalah menarik jika juga dikembangkan sebagai horor psikologis. Karena siapa sih yang gak tertarik menyelami kepala ‘orang gila’, Tapi William ternyata memilih filmnya ini untuk tampil lebih simpel. Dan dia seperti benar-benar menyajikan kembali rangkuman film pertama jadi film yang sekarang. Leena jadi Esther, masuk ke keluarga dengan saudara laki-laki yang gak suka padanya, dan ayah yang menyayanginya (Leena selalu jatuh cinta pada ‘ayah angkatnya’) ‘Lawan’ Leena tetap adalah ibu dari keluarga yang ia masuki. Hanya saja, karena ingin simpel, film tidak memberikan bahasan mendalam dari dua perempuan ini. Maka supaya gak sama-sama banget, film ngasih sesuatu yang cukup mengejutkan. Bikin si ibu ternyata lebih ‘parah’ dibandingkan Leena. Dinamikanya berubah menjadi keduanya adalah orang jahat yang terpaksa harus tampak akur, tapi diam-diam mencoba saling bunuh. Again, dinamika seperti ini bisa jadi menarik, jika memang ada sesuatu gagasan atau bahasan di baliknya. Namun ya itu, film hanya menempatkan sebagai kejutan, yang membedakan film ini dengan originalnya.

Beban menulis karakter jahat sebagai protagonis dalam ceritanya sendiri adalah bagaimana untuk tidak membuat dia malah tampak seperti karakter yang memohon simpati. Status dia sebagai villain harus tetap melekat, jangan sampai dia malah jadi hero dan menganulir semua kesalahannya. Kita cukup dibuat mengerti kenapa dia melakukannya, apa yang mendorong dia memilih untuk jadi jahat, untuk bisa melihat dia sebagai manusia bercela yang memilih ‘dark side’. Dia perlu diperlihatkan sebagai human, tapi jangan sampai membuat dia jadi panutan atau sesuatu yang dielukan. Banyak prekuel origin penjahat yang gagal karena membuat si karakter jadi ‘baik’ gitu aja. Contohnya Don’t Breathe 2 (2021). Yang mengubah si kakek buta pembunuh dan pemerkosa jadi pahlawan. Leena dalam Orphan: First Kill sayangnya jatuh di kesalahan yang nyaris sama.

Dengan menjadikan cerita lebih simpel, gak ada bahasan psikologis ataupun pendalaman perspektif, Leena jadi tampak dipaksa untuk terlihat simpatik. Sisi humanis yang bisa digali dari Leena sebenarnya ada, seperti soal dia pengen merasakan cinta. Tampak dari adegan Leena yang memilih untuk balik dan tetap tinggal di keluarga tersebut, walaupun dia bisa menyelinap keluar dan kabur dengan mudah. Momen-momen manusiawi Leena seharusnya bisa digali dari dia yang merasa disupport oleh ayah angkat, yang sama-sama suka melukis. Karena itu jugalah yang gak ada dibahas di film original yang bukan dari perspektif utama Leena. Persoalan Leena yang jatuh cinta sama suami di keluarga yang ia masuki. Film prekuel ini gagal melihat kebutuhan itu. Film ini masih memainkan itu sebagai rencana jahat Leena, sebagai intrik. Alih-alih genuine membuat kita merasakan sisi manusia dan vulnerable dari Leena (secukupnya untuk membuat dia cocok disebut protagonis dalam ceritanya sendiri), film malah mengoverpush simpati itu kepada karakternya.  Untuk membuat Leena ‘baik’, makanya film membuat kejutan si ibu adalah orang jahat. Membuat keluarga itu punya rahasia yang bisa dibilang sadis dan kelam. Keluarga yang manipulatif. Bahkan Leena di sini diberi teman berupa seekor tikus yang hidup di ventilasi udara di kamarnya.

Emangnya si Leena itu Cinderella yang dijahatin ibu tiri?

 

Jadi ya, buatku film ini terasa konyol. Statusnya sebagai prekuel hanya menjawab bagaimana Leena bisa sampai di Amerika dan  darimana Leena mendapat nama Esther, juga kenapa dia memakai nama itu seterusnya. Tidak benar-benar bicara tentang Leena itu sendiri. Kejadian yang kita simak pun kebanyakan masih pengulangan hal-hal yang sudah kita lihat di film original. To be honest, buatku, persoalan Esther ternyata orang dewasa itu ya sudah beres begitu rahasianya diungkap di babak ketiga film original. Apa lagi yang mau diperlihatkan dari menyamar sebagai anak kecil itu. Film ini hanya menempuh tantangan yang tidak perlu ketika membuat Isabelle Fuhrman harus kembali jadi orang dewasa yang berpura-pura jadi anak kecil. Film ini beruntung,  secara akting, Isabelle masih konsisten. Dia memang sudah paham kegilaan sebagai Leena dan tantangan dan tipuan sebagai Esther. Tantangan itu datang dari fisik. Okelah, soal tinggi badan, bisa diakali dengan stunt double ataupun dengan trik kamera. Di shot dari belakang, sosok Leena/Esther tampak beneran kayak anak kecil. Namun begitu dari depan, man, perawakan dan raut Isabelle sudah susah untuk masuk ke ilusi ini adalah karakternya beberapa tahun sebelum film original. Mau pake make-up ataupun efek de-aging segimana pun, tetap visibly terlihat lebih gede. Lebih tua.

Sedari awal, karakter Leena atau Esther memang dibentuk sebagai seorang yang ingin dapat keluarga yang menerima dirinya. Bahkan Isabelle Fuhrman sempat menyebut dalam sebuah interview, bahwa Esther tidak membuat dirinya takut karena karakter itu punya keinginan yang sama dengan setiap manusia. Ingin dicintai. Ingin diapresiasi. Ingin menemukan keluarga yang bisa menerima dirinya. Ini jugalah alasan kenapa Esther di film kali ini memilih untuk balik lagi dan tetap tinggal di sana. Di balik cinta psikopatnya, dia merasakan penerimaan itu dari ayah yang genuinely merasa dia beneran anaknya yang bisa melukis, dan juga dari ibu walaupun cintanya palsu.

 

Kupikir itu juga sebabnya kenapa film ini membuat cerita yang tidak mengharuskan Leena banyak menyamar sebagai anak kecil. Membuat cerita yang karakter lain tahu si Leena bukan anak kecil beneran. Supaya tuanya yang tampak jelas itu enggak benar-benar mengganggu. Tapi kan ya, berarti gak benar-benar perlu dibuat seperti itu. Gak benar-benar perlu cerita dibuat masih seputar Leena menyamar jadi anak kecil. Dengan itu, maka buatku film ini memang tidak benar-benar punya sesuatu untuk diceritakan. Melainkan cuma mau milking the gimmick. Bukan untuk mengexpand semesta dan karakter dari film Orphan.

 




Menilai film sebagai objek for what it is, not for what it should be, film ini bagiku terasa sebagai pengulangan yang dangkal, hampir seperti rangkuman dari film originalnya. Secara tontonan horor, memang ini bisa berarti hiburan yang lebih seru, karena ringkas – penonton bakal lebih cepat mendapat adegan-adegan berdarah. Gimmick ikoniknya juga masih dipertahankan. Mati-matian, kalo boleh kubilang. Karena secara fisik, sudah semakin susah bagi ilusi tersebut untuk dipertahankan. Dan juga memang tidak perlu dipertahankan, kecuali dari sudut pandang untuk penjualan. Sebagai prekuel, film ini justru tidak terasa benar-benar ngasih banyak soal seperti apa sebelum kejadian originalnya.  Karena pengulangan itu tadi, simpelnya, film ini bahkan tidak tampil sesuai dengan judulnya. Tawaran barunya cuma situasi keluarga, itupun tidak dimainkan sebagai pembahasan yang actually say something, melainkan hanya kejutan belaka. Cerita dengan perspektif utama dari karakter jahat seharusnya  bisa jadi bahan galian yang menarik, tapi film hanya memasang si karakter jadi pengemis simpati.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ORPHAN: FIRST KILL

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian setiap karakter evil perlu untuk dibuatkan cerita prekuel atau originnya? Apa yang kalian harapkan ada dalam cerita-cerita dari sudut pandang karakter jahat seperti ini?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



ARMY OF THIEVES Review

“Do it for the sake of love”

 

 

I blame Marvel. Karena telah membuat jagat-sinematik tampak sebagai taktik jitu supaya laku, dan juga membuatnya tampak mudah. Aku menyalahkan Marvel, karena telah menginisiasi cinematic universe, yang membuat banyak pedagang film lain meniru. Walaupun mereka sebenarnya gak benar-benar punya brand atau produk untuk dibuatin universenya. Marvel tidak berangkat dari nol, melainkan dari komik yang telah bertahun-tahun jadi ikonik. Orang-orang tahu dan kenal tokoh-tokoh ceritanya. Namun lihatlah para peniru, banyak sekarang bermunculan film-film yang dipaksakan ada sebagai sebuah universe. Bahkan film drama aja ada – drama yang gak berasal dari apapun sebelumnya (kecuali mungkin satu buku nostalgia tanpa narasi); satu film berkembang jadi satu film baru yang mengangkat karakter minor, dan kemudian film baru muncul lagi dari karakter yang tak-kalah nobody nya di film tersebut.

Oh, kalian mau contoh yang disebutin judulnya? Army of Thieves. Ya, film yang hendak kita ulas kali ini, merupakan bagian berikutnya dari rancangan universe zombie karya Zack Snyder. Except, film ini bukanlah film tentang zombie. Melainkan film tentang heist atau perampokan bank. Dan yang jadi pengikat antara film ini dengan Army of the Dead (2021) – film pertamanya – adalah seorang karakter yang aku sejujurnya kaget sekali dan tak-percaya bahwa dia begitu difavoritin sehingga banyak yang minta film solonya.

Thieves-Army-of-Thieves
Emang ada yang kecuri hatinya sama si Ludwig?

 

Mengambil setting enam tahun sebelum peristiwa film Army of the Dead. Dari tayangan televisi dalam cerita kali ini, kita melihat zombie outbreak barulah mulai di Las Vegas. Di Eropa, tempat cerita ini bermula, ada masalah yang lebih urgen harus dihadapi oleh kepolisian. Masalah tersebut yaitu rangkaian perampokan bank. Ketika agen interpol masih menyusun teori (dan pemimpin mereka punya tebakan bagus, dan eventually bakal jadi semacam antagonis bagi geng karakter utama), kita sudah dibawa mengenal lima orang di balik perampokan tersebut. Tepatnya empat orang perampok internasional, dan Sebastian, cowok kikuk penggemar brankas. Sebastian diajak oleh kawanan perampok yang dipimpin oleh cewek keren bernama Gwendoline, berkat kemampuan dan pengetahuannya mengenai legenda empat brankas yang terkenal paling rumit dan susah untuk dipecahkan kuncinya. Itulah yang coba dibobol oleh mereka. Bagi Sebastian, yang selama ini hidup datar dan membosankan, tentu saja tawaran itu tak bisa ditolak. Kapan lagi dia bisa mengasah kemampuan dan berinteraksi langsung dengan legenda. (Plus si Gwendoline itu kece banget Sebastian jadi naksir)

Jadi, mari beralih dulu ke kru perampok dan aksi heist itu sendiri.

Genre heist sendiri sebenarnya sudah mulai jenuh. Serial animasi Rick and Morty bahkan sudah menelanjangi genre ini hingga ke trope dan klise-klisenya di episode 3 season 4 akhir tahun 2019 lalu. Army of Thieves, untungnya, tahu untuk tidak terjebak ke dalam klise-klise tersebut. Film ini gak mau jadi parodi dari genre ini. Maka mereka berusaha merancang formula heist yang berbeda, atau paling enggak bermain-main dengan trope yang telah ada. Misalnya, film ini gak pake sekuen ngumpulin anggota geng yang tersebar dan meminta mereka kembali ikut beraksi (lucunya, sekuen ini justru adanya di Army of the Dead – yang ternyata adalah film heist dan zombie sekaligus). Sekuen itu biasanya difungsikan untuk menyoroti masing-masing karakter anggota/kru, memberikan mereka spotlight untuk menceritakan backstory dan motivasi. Alih-alih pake sekuen itu, Army of Thieves mencapai tujuan menceritakan backstory dan memperkenalkan karakter lewat actual flashback – flashback origin para karakter.

Film ini juga gak pake twist demi twist yang menunjukkan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti yang biasa ada dalam genre heist. Cekcok antaranggota memang tetap ada, tapi diceritakan lebih frontal. Dimasukkan ke dalam elemen cinta segitiga antara Sebastian, Gwendoline, dan Brad Cage. Lalu, biasanya film heist juga punya sekuen montase saat karakter menjabarkan rencana perampokan kepada kru. Dalam Army of Thieves, sekuen seperti itu ada, akan tetapi dilakukan dalam bentuk komedi yang seperti ngebecandain trope itu sendiri. Nah pasti kebayang, bahwa film ini memanfaatkan beragam teknik editing untuk mendukung penceritaan. Dan berhasil. Karenanya, porsi heist dan aksi film ini memang lebih menarik. Ada angin segar-lah, seenggaknya.

Editing cut-to-cut yang cepat juga digunakan film ini untuk menyamarkan masalah pacing yang timbul dari setup karakter yang datar, terlebih karena memang film ini punya karakter-karakter yang enggak baru. Gwendoline, Brad Cage, Rolph, dan Korina memang keren, tapi mereka sendiri sebenarnya masuk ke dalam trope karakterisasi yang lumrah, atau sudah ada sebelumnya. Pemimpin yang cinta mati ama film action dan Amerika. Cewek hacker yang glamor. Pengemudi yang hobi makan. Kriminal yang menganggap geng mereka keluarga. Bahkan aksi membuka brankas juga bukanlah aksi yang benar-benar fresh. Film ini justru banyak mencuri dari film lain, dan sudah sepatutnya mereka melakukan sesuatu supaya kita tetap excited menontonnya. Melihat dari usaha-usaha yang disebut di atas, sebenarnya film ini masih punya kesempatan. Kalo saja dirinya ini bukan hadir demi eksistensi satu orang.

thievesarmy-of-thieves-trailer
Kalo Korina sih, silakan deh mencuri hatiku

 

Serius. Aku gak dapet di mana appeal atau daya tarik karakter Sebastian. Bagiku dia mirip seperti Newt Scamander (lakon dalam Fantastic Beast – another karakter yang dipaksain jadi jagat-sinematik), tapi versi kikuk yang annoying. Di Army of the Dead, Sebastian hadir sebagai pembuka brankas (yang actually adalah brankas legendaris terakhir), dia dijadikan comedic-relief dengan tingkahnya yang suka teriak-teriak, dan jadi penyeimbang buat karakter-karakter maskulin. Kali ini, di film yang bertindak sebagai prekuel cerita tersebut, Sebastian juga ngelakuin hal yang sama. Teriak-teriak saat keadaan memanas, nge-geek out dan fanboying hard sebelum membuka kunci brankas, dan socially awkward di tengah-tengah kelompok yang macho. Jadi, ya, gak ada perkembangan yang dialami karakter ini dari cerita dimulai hingga ke Army of the Dead berakhir. Bayangkan dua film, tapi karaktermu itu-itu melulu! Yang berubah pada karakter ini cuma nama. Di film pertama, actually, kita mengenalnya sebagai Ludwig Dieter. Di film ini, kita akan melihat dari mana nama tersebut berasal. Seolah itu merupakan hal yang penting.

Karakter utama memang harus dibikin penting. Namun tugas itu dapat menjadi demikian susah jika materi karakternya memang tidak banyak sedari awal. Matthias Schweighofer lantas didapuk sebagai sutradara dengan harapan dia sudah mengerti karakter Sebastian/Ludwig yang ia perankan itu luar dalam. Dan memang, Matthias paham apa yang klik di balik benak sang karakter. Dia mengerti bahwa bagi Sebastian, brankas-brankas itu bukan semata benda yang harus dibobol dan diambil uangnya, melainkan benda yang melambangkan pencapaian. Kekaguman seperti seorang anak bertemu idolanya, dan mendapat pengakuan dari idola tersebut karena si anak telah berhasil melampaui prestasinya. Begitulah Sebastian melihat kunci-kunci besi itu. Dan kita bisa merasakannya, kekaguman terpancar dari karakter ini. Tapi itu saja belum cukup untuk menghidupkan film ini secara keseluruhan.

Yang beresonansi dari Sebastian kepada kita adalah kecintaannya terhadap yang ia lakukan. Sebastian tidak melakukan perampokan demi uang. Dia melakukannya supaya bisa bertemu dengan hal yang paling berarti baginya di dunia ini. Brankas dengan sistem kunci yang legendaris. Dan tentu saja, Gwendoline yang ia katakan kepada kita telah mengubah hidupnya. Ditunjukkannya bahwa hidup lebih dari sekadar cari duit. Pengalaman mendebarkan, dan cinta, jauh lebih berharga.

 

Di luar ketertarikan dan ke-nerdy-annya sama brankas, Sebastian enggak banyak ngelakuin hal lain. Film memberikannya sekuen aksi – naik sepeda keliling kota dikejar polisi – yang cukup kocak dan sangat kita apreasiasi di tengah kering kerontang dan membosankannya karakter ini. Sebelum diajak jadi geng rampok, secara inner, Sebastian enggak punya masalah di dalam hidupnya. Backstory kenapa dia hobi ngulik brankas dan kenapa dia gak gaul hanya disebutkan sepintas. Sepanjang durasi (yang memang panjang amat!) karakter ini kebanyakan hanya bereaksi. Terbawa-bawa. Seperti yang sudah disebutkan di atas tadi, Sebastian tidak punya development. Lantaran memang tidak ada yang bisa digali. Untuk mengisi kekosongan, naskah memusatkannya kepada romansa. Sebastian naksir Gwendoline, yang sudah punya cowok yakni si paling macho dalam kelompok mereka. Elemen itu juga gak dibahas mendalam. Enggak pernah lebih dari sebatas cowok cupu yang jatuh cinta sama gadis pertama yang mengajaknya bicara. Basic sekali.

Sedari awal itu dia sudah jago buka brankas. Dia bahkan enggak peduli sama kejaran waktu. Oh, mereka cuma punya waktu sempit sebelum penjaga dan sekuriti bank sadar, dan memanggil polisi untuk menghentikan aksi perampokan? Sebastian gak peduli sama itu. Dia sempat-sempatnya cerita panjang lebar tentang mitologi di balik masing-masing brankas. Mitologi yang sebenarnya menarik, karena mencerminkan keadaan cinta segitiganya dengan Gwendoline. Hanya tak terasa sebagai waktu yang tepat. Film menjadikan ‘bad timing‘ ini sebagai quirk dari karakter Sebastian, dengan harapan dapat membuatnya semakin tampak sebagai karakter yang menarik. Dan juga disetup bahwa Sebastian begitu pintar dan ahli jadi dia bisa membuka kunci-kunci rumit itu dalam waktu singkat. Akan tetapi karena situasinya adalah perampokan, ketika karakter utama gak peduli sama desakan waktu, dia gak merasa dirinya diburu-buruin, kita yang nonton jadi gak ngerasain lagi stake perampokan tersebut. Kita jadi bodo amat. Dia jago, kok.

Apalagi karena kita gak bisa berpartisipasi kepada tindakan yang Sebastian lakukan. Gimana coba membuat orang memutar-mutar kenop di brankas jadi aksi menarik yang breathtaking? Gak ada. Film ini menggunakan visual CGI yang menggambarkan mekanisme kunci yang sedang berusaha dipecahkan oleh Sebastian. Semua itu gak ngehasilin perasaan apa-apa. Ketika dia berhasil membuka kunci, kita gak ikut bersorak bersamanya. Karena kita gak diajak ikut mikir, kayak kalo misalnya ada kode atau teka-teki yang harus dipecahin dalam jangka waktu terbatas.

Oiya, ada ding, satu lagi yang dilakukan Sebastian, sebagai bagian dari karakternya. Mimpi tentang zombie-zombie! Lame. Upaya yang sangat payah dari film ini untuk mengikat dan ngingetin kita sama universe zombie film ini. Seringnya adegan mimpi diserang zombie itu justru merusak tone cerita, dan nambah-nambah hal gak perlu bagi karakternya. So what, Sebastian is a psychic too? Who cares!

 

 

 

Ini baru film kedua dari proyek zombie universe Snyder loh. Dia masih punya cerita-cerita lain yang siap ditayangkan. Honestly, aku berharap dia menerapkan apa yang diajarkan Sebastian kepada kita di film ini. Untuk tidak melakukannya semata demi cuan. Aku merasa film yang kali ini, tidak benar-benar penting eksistensinya. Masih bisa dinikmati, berkat garapan aksi dan permainan editing yang masuk ke dalam humor. Tapi gak menambah banyak untuk karakter yang sepertinya bakal terus muncul di universe ini nanti (karena kalo dia gak muncul lagi nanti, makin tak-ada gunanya lah kita nonton film ini) Mending bikin film heist generik aja yang benar-benar bercerita tentang kejadian dan trik-trik perampokan. Untuk mitologi dunianya juga, gak banyak berarti. Ini adalah film yang bisa ditonton, dan setelahnya ya beres gitu aja. Film ini membuktikan kalo sedari awal udah angin, ya gak bakal bisa jadi emas.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for ARMY OF THIEVES.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pandangan kalian terhadap genre heist? Is it dead? Bagaimana cara membuatnya kembali menarik?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

CRUELLA Review

“The worst enemy to creativity is self-doubt.”

 

Antagonis/penjahat perempuan dalam film-film Disney kebanyakan adalah feminis. Mungkin inilah sebabnya kenapa Disney memutuskan untuk berbondong-bondong bikin live-action dari sudut pandang mereka. Karena, memang, di zaman sekarang para antagonis tersebut dinilai lebih real dan punya kualitas yang lebih merepresentasikan perempuan; mereka mandiri, kuat, berambisi, tau apa yang mereka mau – dan bekerja keras untuk itu. Dan gak takluk pada keseragaman standar kecantikan. Perempuan kekinian tidak lagi duduk dan ‘menunggu diselamatkan oleh pria’ seperti Princess-Princess cerita Disney. Perempuan masa sekarang gak ragu untuk memegang kendali kehidupan mereka, persis seperti Maleficent, Ursula, (to some extent) Elsa, Ibu Tiri Cinderella. Dan ya, Cruella de Vil.

Cruella de Vil adalah antagonis utama dalam franchise 101 Dalmatians. Karakter ini terkenal dengan penampilannya yang nyentrik, serta motivasinya yang benar-benar kejam; menculik anak-anak anjing dalmatian untuk dijadikan mantel bulu! Kelihatan hampir mustahil membuat karakter dengan motivasi seperti itu menjadi semacam pahlawan, kan? But hey, everybody is a hero in their own story. Maka Disney mengajak kita untuk melihat Cruella de Vil sebelum dia bahkan dipanggil dengan nama seserem (dan sekeren) itu.

Film Cruella garapan Craig Gillespie memang diposisikan sebagai prekuel. Nama aslinya ternyata adalah Estella. Dan film ini – mengutip dialog si Estella itu sendiri – adalah tentang “Gadis jenius berubah menjadi gadis bodoh yang membunuh ibunya sendiri, dan kemudian menjadi kesepian” Estella tumbuh di jalanan, yatim piatu, keluarganya hanya dua orang cowok Jasper dan Horace, beserta dua ekor anjing peliharaan. Bakat dan minat yang besar terhadap fashion design membawa Estella bekerja untuk Baroness, designer terkenal favoritnya. Ternyata bos dan idolanya itu orangnya kasar banget. Tapi sebagaimana rambutnya terlahir berwarna hitam-putih yang dianggap sebagian besar orang aneh itu, Estella juga punya dark side di dalam dirinya. Sifat buruk si Baroness dia jadikan panutan, untuk membangkitkan kembali sisi gelap tersebut. Estella – kini Cruella – muncul sebagai penantang bagi Baroness. Upstaging semua penampilan Baroness, dan bahkan sepertinya juga mengungguli perilaku kejamnya.

cruelladownload
Dressed to kill!!

 

Awal penciptaannya memang karakter Cruella de Vil diadaptasi oleh Disney ke dalam film animasi sebagai semacam karikatur dari feminis. Seorang businesswoman yang comically kejam, terutama sama binatang-binatang. Dia punya anak buah yang bego sebagai kontras. Film live-action yang kali ini berusaha memberikan kedalaman kepada karakter ini. Ada banyak aspek yang bisa kita relasikan dari Estella. Misalnya berupa bagaimana dia adalah karakter yang ditekan oleh bosnya sendiri. Atau bagaimana soal dia adalah orang yang berbakat, tapi tidak dimengerti oleh banyak orang – tidak banyak orang yang mengapresiasi talenta yang ia miliki. Atau terutama soal itu semua tadi karena dia tidak diberikan rasa nyaman untuk menjadi dirinya sendiri. Aspek paling menarik dari karakter Cruella di film ini adalah karakternya yang punya dua persona. Untuk jangka waktu yang lama sekali, dia percaya bahwa ‘Cruella’ tidak baik baginya. Dia harus jadi Estella yang baik. Tapi ternyata Estella yang baik itu justru bukan dirinya yang sebenarnya. Melihat Estella berusaha mengembrace sisi gelapnya, dan melihat hidupnya berubah seketika  – for better or worse – setelah dia melakukan itu, membawa beragam emosi kepada kita penontonnya. Dan film memang terus berusaha membuat kita bersimpati kepada Estella.

Monolog Emma Stone di depan air mancur menjelang babak ketiga ketika dia sudah enggak ragu-ragu lagi tentang Estella atau Cruella, adalah momen yang powerful. Karena itulah momen saat keraguan karakternya akan diri sendiri hilang. Dan ultimately itu jugalah yang membuat Cruella begitu berbahaya. Karena dia tahu siapa dirinya, apa yang ia mau, dan apa yang ia bisa untuk mendapatkan itu. Sebagaimanapun klisenya, tapi Cruella menunjukkan menjadi diri sendiri – gak peduli apakah itu baik atau buruk bagi orang lain – adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan kepada diri kita sendiri.

 

Estella alias Cruella diberikan masalah yang sangat personal. Rivalry-nya dengan Baroness tidak dibuat sekadar persaingan orang-jenius-gila untuk menguasai bisnis fashion, ataupun memperebutkan kalung berharga. Melainkan diberikan backstory yang berkaitan dengan persoalan keluarga. Estella menyalahkan dirinya sendiri atas kematian sang ibu, padahal sebenarnya semua itu adalah ulah Baroness. Saat Estella mengetahui hal tersebut, di situlah saat film ini mulai menggali lapisan emosional, yang mengangkat konflik cerita ini. Memberatkannya dengan bobot sehingga karakter cartoonish tersebut kini bisa kita lihat sebagai manusia yang mungkin enggak begitu berbeda dengan kita. We all love our moms, tapi apakah membuka pintu neraka demi melindungi pintu surga itu adalah langkah yang benar?

Dengan muatan demikian, film ini jadi lumayan dark untuk jadi tontonan konsumsi anak-anak. Kisah hubungan anak dengan ibu ini dihiasi intrik demi intrik, mulai dari yang bisa digolongkan crime kecil-kecilan hingga ke percobaan pembunuhan. Dan ya di sini memang ada pembunuhan yang dilakukan dengan tidak benar-benar tersurat. Karakter utama kita bergerak dengan motivasi dendam, yang jelas butuh banyak penjelasan oleh orangtua kalo anak mereka diajak nonton dan mempertanyakan soal ini. Selera humor film ini juga cukup gelap. Kita memang mendapatkan kekonyolan semacam kejadian chaos yang lucu dari tikus di dalam nampan makanan, tapi sebagian besar keseruan rivalry Cruella dan Baroness berupa vandalisme atau hal-hal yang jelas akan ‘gak lucu’ kalo dilakukan oleh anak-anak. Tapi buat orang dewaa, memang film ini bisa terasa fun banget. Aku peduli sama cerita film ini lebih dari yang aku duga, karena aku memang bukan penggemar 101 Dalmatians. Tadinya aku juga mikir film ini bakal agenda-ish, mengingat betapa ikon feminisnya si Cruella de Vil itu sendiri. Di menit-menit awal memang film kayak ngarah ke sana.. tapi kebelakangnya ternyata tidak. As i said, film ini ternyata cerita yang sangat personal bagi karakter Cruella.

Jadi kualitas baiknya, film ini punya cerita yang intriguing. Visualnya juga cakep, penuh oleh fashion-fashion yang unik (dan punya statement, as we see much style Cruella used inspired by punk; yakni style yang juga melawan conformity). Dan juga punya penampilan akting duo Emma yang jadi sentral, yang menyatu banget, memperkuat kostum dan karakter yang mereka perankan. Emma Stone tak pernah tergagap bermain sebagai Estella dan Cruella. Begitu juga dengan Emma Thompson yang benar-benar menunjukkan betapa Baroness itu gorgeus sekaligus vicious.

cruella10694172_052521-wls-hosea-cruella-4p-vid
Are you ready for Emmaverse??!!

 

Penampil dan look yang sangat bisa berbicara itu ternyata bagi film masih belum cukup. Film ini masih mengandalkan musik atau lagu latar untuk menyampaikan perasaan. Lagu-lagu populer tahun 70an itu akan terus dimainkan, bahkan untuk adegan yang gak perlu ada lagunya. Okelah kalo pada sekuen aksi, atau dimainkan saat montase sebagai pengikat mood. Namun ini, Estella masuk butik aja ada soundtracknya. Lagu yang too much ini jadi membuat film seperti tidak bisa menciptakan tone cerita sendiri.

Sebagai sebuah prekuel, film ini membiarkan kita mengikat sendiri untaian-untaian cerita yang mereka lepas. Membiarkan kita mencoba memasukakalkan Estella yang di sini menjadi Cruella dan kemudian menjadi Cruella de Vil yang sudah kita kenal dari dua film animasi dan satu live-action jadul. Dan sesungguhnya itu adalah pe-er yang berat untuk kita semua. Karena sesungguhnya antara membangun simpati untuk Estella dengan actual cruel things yang dilakukan Cruella pada kisah originalnya tersebut gak pernah benar-benar add up atau terikat dengan masuk akal. Misalnya seperti ketika film memperlihatkan kita alasan kenapa Cruella jadi suka membuat mantel bulu dari anjing dalmatian. Jawaban yang diberikan film ini tidak akan memuaskan karena yang diperlihatkan di sini adalah bahwa itu semuanya cuma ‘gimmick’. Cuma sesuatu yang dijual si karakter atas nama ‘brand’nya sebagai Cruella de Vil. Dan itu ganggu continuity ketika disambungkan dengan film originalnya.

Lagipula lucu sekali toh. Film ini sendiri dibuat karena orang-orang ingin tau kenapa Cruella di 101 Dalmatians bisa jadi begitu jahat sampai-sampai ingin membunuh anak anjing untuk diambil bulunya. Tapi jawabannya ternyata cuma “Don’t worry, itu cuma taktik marketing brand.” Dan lantas film lanjut dengan seolah melempar lagi pertanyaan “Or is it?”. Pada akhirnya memang tujuan film ini enggak jelas karena bangunan karakter Cruella-nya itu sendiri enggak jelas. Karakternya dibuat mengundang simpati, kita jadi ngerti kenapa dia harus begini kenapa dia harus begitu, sehingga bahkan nama ‘Cruella’ itu tidak sesuai lagi karena kita tidak melihatnya sebagai orang yang kejam (yang kejam malah si Baroness). Lalu film berusaha membuat dia tampak kejam lagi dengan benar-benar vague terhadap sikapnya terhadap identitas Cruella yang ia pakai. Tapi mungkin, memang itulah salah satu kerelevanan film ini. Bahwa semua hal memang cuma pencitraan. Pura-pura jahat untuk branding. Marketing yang jenius. 

Or is it?

 

 

 

Yang bener-bener cruel alias kejam di sini itu adalah si filmnya ini sendiri. Punya penampil luar biasa, punya looks yang gaya, tapi masih merasa belum cukup. Dan malah lebih mengandalkan lagu soundtrack yang dimainkan sebagai latar. Punya cerita menarik, tapi implikasinya benar-benar dark. Dia menjadi seru dan menghibur lewat ke-dark-annya tersebut. Sementara karakternya sendiri – yang adalah karakter antagonis yang namanya literally ada kata ‘kejam’ – tidak benar-benar dieksplorasi atau ditampakkan sebagai orang yang kejam. Melainkan sebagai karakter yang mengundang simpati karena dia sudah melalui begitu banyak, ditipu, nyaris dibunuh dan sebagainya. Mungkin menuliskan karakternya seperti itulah hal paling kejam yang dilakukan film ini kepada kita.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for CRUELLA

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian melihat Cruella sebagai orang baik, atau orang jahat di sini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

RUMAH KENTANG: THE BEGINNING Review

“Being unwanted, unloved, uncared for, forgotten by everybody, I think that is a much greater hunger”
 

 
Bagaimana membuat kentang tampak menakutkan?
Tantangan film ini luar biasa sulit, dan ia berhasuk membuat horor dari benda seumum kentang. Membuat kita percaya bahwa benda yang bisa dimakan, bisa ‘memakan’ balik. Dikaitkan juga dengan penggalian mitos hantu anak kecil yang meneror rumah dengan penampakan sejumlah kentang-kentang gaib, yang membuat semua orang penasaran….. NOT!!! I’m kidding.
Tidak ada urgensi dari mitos kenapa rumah kentang bisa jadi misteri. Dan tentunya tidak ada seorang pun yang menganggap kentang adalah hal yang menakutkan. Perkara mustahil membuat kentang menjadi horor. Kita punya peluang berhasil yang lebih besar membangun candi dalam waktu satu malam ketimbang menakuti-nakuti seisi bioskop dengan kentang. Para aktor pun terlihat jelas kesusahan untuk terlihat ketakutan tatkala ada kentang menggelinding, atau pun menimpuk mereka. Semua yang dilakukan film ini untuk ‘menjual’ kentang sebagai hal yang menyeramkan; gagal total. Malah jatoh menggelikan. Bayangkan ini: kentang-kentang itu menggelinding di lantai, saling tumpuk, bersatu, kemudian berubah membentuk sesosok hantu. Atau ada juga kebalikannya. Hantu berubah menjadi tumpukan kentang yang lantas berjatuhan menimpuk orang. Seram gak menurut kalian? Bahkan sambil ngetik ini aja bahuku goyang-goyang menahan kikik.

Rasanya pengen nyanyiin lagu Papoy “Bananaaaa.. potatonaaaa”

 
 
Karya teranyar Rizal Mantovani ini membawa kita mundur ke era 80an saat Luna Maya dan Christian Sugiono membawa tiga anak mereka – dan uwak Jajang C. Noer – mengunjungi rumah masa kecil Luna di sebuah perkebunan kentang. Rumah tersebut merupakan tempat kedua orangtua Luna menghilang sewaktu ia kecil. Alasan mereka semua sepakat berkunjung ke tempat horor itu sudah cukup menggelikan. Luna dan Sugiono adalah pasangan pembuat novel misteri. Sugiono penulis cerita dan Luna ilustratornya. Karena penjualan buku yang menurun, penerbit meminta Sugiono dan Luna untuk menulis horor dari pengalaman mereka sendiri. Nah lo, gimana coba – mereka disuruh nyari hantu beneran untuk menjual cerita. Hilarious!  Jadi mereka kembali ke rumah Luna, dan tentu saja di sana kejadian horor dimulai. Kentang bermunculan secara miserius. Satu persatu anak Luna dibawa ke dalam wadah sup besar oleh hantu cilik yang bisa berubah wujud. Luna pun mulai menggambar yang aneh-aneh, yang ia sendiri tak ingat kapan menggambarnya. Yang Luna ‘gambar’ itu adalah semacam premonisi mengerikan mengenai apa yang sebenarnya terjadi kepada anaknya. Luna pun harus berusaha menguak misteri hantu yang berkaitan langsung dengan tragedi yang menimpa ibu bapaknya.
Cerita semacam ini sesungguhnya punya elemen-elemen yang ada pada horor yang berhasil. Keluarga. Tragedi. Ketakutan seorang ibu akan nasib anaknya. Sungguh banyak horor sukses yang berangkat dari elemen tersebut. Aku sudah pernah bahas ini juga di review Lorong (2019) bahwa maternity adalah sumber hebat horor yang manusiawi yang paling banyak digali pada horor modern. Set film juga cukup menggugah selera. Perkebunan itu tampak seram. Rumahnya sendiri punya banyak ruang rahasia yang dimainkan maksimal sebagai panggung kejadian. Film juga berani untuk membawa tokohnya beredar hingga ke perkampungan, sehingga menimbulkan kesan kejadian pada cerita memiliki skala yang besar.
Namun jelas sekali, film ini sama sekali tidak memahami apa yang mereka kerjakan. Mereka hanya berfokus kepada kentang, alih-alih keseraman yang timbul dari perasaan terdalam manusia. Bukti kuat film ini has no idea adalah pada saat menjelang ending, tokoh Christian Sugiono diwawancarai oleh penmbaca yang menanyakan pelajaran apa yang ia dapatkan dari kejadian menyeramkan yang menimpa ia sekeluarga. Ini seharusnya bisa menjadi wadah bagi pembuat film untuk menyuarakan gagasan. Kita sendiri yang nonton bisa melihat ada horor soal orangtua yang menjual anaknya karena ia merasa sang anak tak berguna. Ini seharusnya bisa menjadi pelajaran penting, dan meskipun sebenarnya tidak bijak dengan gamblang menyebut gagasan yang kamu masukkan ke dalam film, namun ketika ‘terpaksa’ ada dialog yang mengungkap itu, ya pilihan terbaiknya ya gagasannya sebaiknya dikatakan saja. Akan tetapi jawaban Sugiono – yang tentu saja mewakili jawaban film – terhadap pertanyaan tadi adalah “saya belajar bahwa dunia gaib itu ada… uang bukan segalanya blablabla… jangan berjanji sama setan blablabla”
Benar-benar menunjukkan kedangkalan eksplorasi cerita. Karakter-karakter Rumah Kentang: The Beginning benar-benar persis kentang. Punya kulit yang tipis. Kulit dalam artian lapisan cerita. Tokoh-tokoh film ini bland, dan enggak punya plot alias journey. Penulis benar-benar gak peduli untuk memberikan mereka kedalaman padahal banyak yang bisa digali dari horor keluarga semacam ini. Hubungan Luna Maya dengan tiga anaknya tidak digali dengan baik. Hanya standar seorang ibu. Jadi ketika anaknya menghilang, kita sebatas “oh kasian hilang” tanpa ada kepedulian lebih lanjut. Tentu saja kasihan melihat keluarga terpisahkan, ibu kehilangan anaknya, namun cerita film butuh motivasi dan penggalian yang lebih supaya tokoh-tokohnya tidak seperti template. Perubahan tokoh Luna sekadar dari wanita yang tak percaya jimat menjadi wanita yang percaya sama jimat. Film seharusnya menggali kontras perlakuan Luna kepada anaknya dengan ‘antagonis’ terhadap anaknya. Karakter Sugiono lebih parah lagi. Tapi paling tidak ada satu koneksi antara dia dan anak tertua. Selebihnya, dia hanya dituntut untuk tampil clueless. Dan tiga anak tak lebih sebagai mangsa. Tapi aku suka anak yang kedua, karena gadis cilik ini pinter, dan gak bego dan sok creepy kayak adeknya.
hantu kentang yang pandai menggambar

 

Ironi terbesar yang hadir dalam cerita film ini adalah bahwa hantu kentang yang muncul karena praktek penumbalan untuk memakmurkan satu keluarga justru adalah makhluk paling lapar di seluruh dunia. Karena dia merupakan anak yang tidak diinginkan oleh ibunya. Seperti kata Bunda Teresa; menjadi orang yang tidak diinginkan, tidak dicintai, tidak diperhatikan, dilupakan oleh semua orang, adalah kelaparan – kemiskinan – yang jauh lebih besar daripada orang yang tidak punya apa-apa untuk dimakan.

 
Arahan sutradara juga tidak banyak menambah bobot untuk film. Mitos ‘Rumah Kentang’ yang dikenal luas sebenarnya menyangkut penampakan hantu anak kecil yang disertai bau kentang rebus. Tidak sekalipun film ini menunjukkan bau tersebut. Ia seperti tidak mampu menuangkan deskripsi indera itu ke dalam penceritaan. Padahal justru inilah tantangan sebenarnya yang harus ia taklukkan. Bagaimana membuat penonton merasakan – bukan hanya melihat penampakan atau mendengar jumpscare. Film terasa tumpul karena tidak mampu menghadirkan sensasi kemunculan hantu yang sudah punya mitos tersebut.
Maka film banyak mengandalkan visual. Kentang-kentang konyol tadi. Hantu yang bisa berubah bentuk menjadi siapa saja. Horor yang generiklah yang mampu dihasilkan. Satu hal menyenangkan yang datang dari sini adalah Luna Maya yang jadi harus memainkan dua versi tokoh. Pertama dia memainkan tokohnya yang normal (dan dangkal tanpa pengembangan. Dan yang kedua, dia memainkan hantu anak kecil yang menyamar menjadi dirinya kepada keluarga. Kedua versi ini sangat jelas perbedaannya, dan itulah yang membuatnya menarik untuk dilihat. It’s just fun melihat tokoh-tokoh yang dengan gampangnya tertipu. Yang meskipun mereka sudah curiga, tapi tetep mengikuti. Dan film cukup kreatif untuk memvariasikan adegan mereka semua sadar namun sudah terlalu terlambat.
 
 
 
Jika kalian tidak keberatan menyaksikan mindless horror, film ini bakal cukup menghibur. Tapi jika kalian pengen ada daging, atau gizi lebih, sebagai pelengkap di antara kentang-kentang itu; kalian akan mengecap rasa hambar saat nonton film ini. Selain sajian yang cukup berdarah, dan lingkungan yang cukup luas, tidak banyak yang menggugah selera kita.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for RUMAH KENTANG: THE BEGINNING

KELUARGA CEMARA Review

“Having family responsibilities and concerns just has to make you a more understanding person.”

 

 

Keluarga Cemara, sebagian orang mengingatnya sebagai sinetron yang menghangatkan ruang keluarga di masa kecil. Sebagian lagi mungkin mengingatnya sebagai cerita serial tentang kejujuran buah tangan dari Arswendo Atmowiloto. Sebagian yang lebih muda akan mengenalinya dari lagu “Selamat pagi Emak, selamat pagi Abah, mentari hari ini berseri indah” dan guyonan “Harta yang paling berharga”. Visinema Pictures, lewat film adaptasinya ini, mengakurkan semua orang – membuat kita semua sepakat untuk mengingat Keluarga Cemara sebagai salah satu film keluarga paling manis – paling sederhana yang bisa kita dapatkan di masa sekarang – yang mengajarkan tentang kejujuran dan rasa bersyukur. And also ada JKT48 di dalamnya, wotaaaa!!

Dalam Keluarga Cemara versi ini, Abah adalah Ringgo Agus Rahman (jangan biarkan tampang kocaknya mengelabui urat hati dan nadi air matamu) yang terpaksa harus memberikan kabar buruk kepada keluarga kecilnya; mereka jatuh miskin. Bisnis mereka hancur akibat ulah sanak famili sendiri, mengharuskan Abah dan keluarga mengungsi selamanya ke rumah warisan di desa Jawa Barat. Emak yang setia (di balik ketabahan tokohnya, mata Nirina Zubir seolah menembus perasaan kita semua) jadi musti berjualan opak. Kepindahan ini, paling berat adalah terasa bagi Euis (detach-nya ZaraJKT48 jadi pas banget ama karakter tokohnya, dan dia gak punya masalah segera menyambung dengan emosi yang tepat) yang harus berpisah dengan Jakarta dan kelompok modern dance, in which she very skilled at. Kepindahan dan kondisi keluarga mereka pun dengan segera mempengaruhi Ara (so adorable, Widuri Puteri tampaknya digebleng langsung oleh sang ayah Dwi ‘Mas Adi’ Sasono), si bungsu yang tadinya bahkan belum mengerti apa itu bangkrut dan kenapa emaknya menangis saat mengandung dedek bayi.

Jika keluarga A Quiet Place yang dirundung monster aja bisa punya bayi, kenapa kita tidak bisa? horee!!

 

Aku tadinya sudah hampir-hampir yakin bakal disuguhi drama keluarga tearjerker yang menguangkan kesedihan dari segala trope-trope orang kaya yang mendadak hidup dalam kemiskinan. Tapi enggak. Sutradara Yandi Laurens mengarahkan film panjang debutnya ini menjauh dari cara-cara yang gampang. Skenario pun dengan bijaksana memfokuskan konflik bukan pada uang. Kita tidak diminta mengasihani karena mereka gak punya uang. Kita tidak ditagih air mata demi melihat mereka kesusahan hidup di tempat seadanya. Melainkan, konflik dipusatkan kepada suatu hal yang menurut setiap orang, terutama cowok, adalah kepunyaannya sejak lahir yang paling berharga. Harga diri.

Adalah Abah tokoh utama dalam cerita ini, bukan Ara meskipun judul merujuk kepada namanya. Karena keluarga Ara sama seperti pohon cemara. Punya satu batang yang besar sebagai poros, yang dikelilingi cabang-cabang yang tumbuh dengan rapat. Abah, sebagai satu-satunya pria di sana, adalah batang tersebut, poros yang membuat pohonnya berdiri kokoh. Atau paling tidak, begitulah Abah memposisikan dirinya yang kepala keluarga. Dia bekerja sekeras tenaga dan sejujur yang moralnya bisa. Kita melihat Abah mati-matian mencari kerja, dia melakukan apa saja, tapi baginya itu semata bukan soal duit untuk menghidupi keluarganya. Saat menonton ini aku memang merasa agak aneh; alih-alih berprogres dari mencoba usaha paling gampang ke yang paling susah, Abah bersusah payah menjadi kuli dahulu baru kemudian menjadi ojek online. Kenapa film masih berjalan jika jawabannya sudah ditemukan? Ternyata, memang bukan itu pertanyaannya. Ini bukan soal apa yang Abah lakukan untuk mencari uang. Ini soal apa yang ia lakukan sebagai pengukuhan dia adalah kepala keluarga.

Bukan kaki Abah yang patah, melainkan kebanggaannya. Untuk sebuah cerita tentang kejujuran dan rasa bersyukur, film memainkan janji dan kekecewaan sebagai konflik utamanya. Adalah janji-janji yang tak ia penuhi yang menyebabkan Abah berada di titik rendah yang sekarang. Baginya, adalah mutlak salah dirinya maka mereka jadi bangkrut. Ada adegan yang sangat emosional antara Abah dengan Euis yang membahas soal ini, Euis mengucapkan sesuatu yang telak mengkonfirmasi ketakutan Abah mengenai apa yang ia perbuat kepada keluarganya. Makanya setelah itu kita melihat Abah menjadi galak, dia menjadi ‘tegas’ terutama kepada Euis. Dia merasa tak-berdaya sebagai seorang laki-laki, dia merasa powerless melihat istrinya yang mengandung namun masih berjualan opak. Perjuangan Abah adalah perjuangan menegakkan kembali kehormatannya. Adegan Abah meledak penuh emosi menjelang babak ketiga merupakan teriakan dari sisa-sisa kebanggaan yang masih ia miliki. Dia berusaha keras memenuhi janji, tapi Abah sepertinya selalu salah dalam memilih keputusan untuk keluarganya. Yang Abah tak sadari hingga momen realisasi adalah selama ini dia melakukannya hanya untuk merestorasi perannya sebagai ayah.

Setiap manusia bertanggung jawab atas tindakan yang diambilnya. Ketika engkau adalah pemimpin, you would take responsibility in the name of your family. Tapi yang harus diingat adalah kebahagiaan keluarga seharusnya menjadi prioritas utama. Dan itu tidak bisa dicapai dengan mendahulukan ego tanpa mempertimbangkan anggota yang lain. Sebab mereka juga punya tanggungjawab, punya peran, yang tidak bisa kita kecilkan. Bertanggungjawab kepada keluarga mestinya membuat kita lebih pengertian.

 

Hubungan Abah dengan Euis menjadi sajian utama yang mewarnai cerita. Euislah yang paling sering dikecewakan oleh janji-janji Abah. Dan nantinya Euis akan balik merasakan seperti apa rasanya disebut mengecewakan orang lain. Abah dan Euis memenuhi konteks yang diusung. Jika Abah butuh untuk belajar melihat bukan dirinya sendiri yang bertanggung jawab terhadap keluarga, maka Euis akan belajar keluarga mana yang harusnya ia berikan janji-janji. Dibandingkan dengan konflik Abah dengan Euis, anggota keluarga yang lain memang jadinya terasa seperti pelengkap kayak ranting-ranting pohon cemara. Namun toh keberadaannya cukup penting, sehingga jika tidak ada ‘ranting-ranting’ tersebut, cemara yakni film ini tidak akan menjadi seindah yang kita saksikan.

sekuelnya, kalo ada, musti lebih banyak tentang Ara nih kayaknya

 

Film berhasil membaurkan drama dengan komedi dengan mulus. Setiap potongan kecil adegan menjadi sama berkesannya dengan momen-momen besar. Film penuh dengan adegan-adegan yang menimbulkan bekas, entah itu karena menyentuh maupun karena lucu. Film melakukan kerja yang baik dalam membangun dunia di sekitar keluarga Cemara. Ada banyak kameo; tokoh-tokoh yang diperankan oleh nama populer meski hanya muncul sekali dua kali. Aku pribadi agak mixed soal ini. Hukum Karakter Ekonomi-nya kritikus Roger Ebert jelas tidak bisa diterapkan buat film kayak Keluarga Cemara ini, karena akan membingungkan kita. Maksudku, mereka semua terlihat ‘penting’, tetapi ternyata enggak. Saking banyaknya peran yang satu-dimensi dan weightless di sini, sehingga membuat rintangan-rintangan yang dihadapi Abah dan keluarga menjadi seperti terselesaikan dengan sendirinya. Menjelang akhir, begitu kita paham ini bukan soal uang – kita sudah mengerti konteks sebenarnya, film tidak lagi terasa punya ‘ancaman’ apa-apa. Ataupun ada sudut pandang baru. Tapi penceritaannya, penampilan pemainnya, tidak pernah membuat film menjadi membosankan.

 

 

 

Kita semua tahu semua kejadian dalam film ini dibangun dengan nyanyian “Harta yang paling berharga adalah keluarga” sebagai puncaknya. Kita semua sudah bisa ekspek film ini akan sedih. Nothing surprised us, tapi tetap saja kita dengan sukses dibuat menitikkan air mata. Lantaran semuanya dilakukan dengan sangat manis, dan enggak total dibuat-buat. Membuatnya jadi begitu gampang dicinta, begitu menyentuh, dan mampu mendekatkan keluarga-keluarga yang sedang menyaksikannya. Semuanya terlihat hangat, jujur, indah. Meskipun membahas persoalan yang ‘matang’, tetapi film masih memberikan ruang diskusi kepada anak-anak dan orangtua mereka. Satu lagi yang agak mengganjal buatku adalah masalah bingkai waktu cerita, namun kupikir ini adalah resiko yang film pilih menimbang mereka perlu untuk menampilkan semua tokoh-tokoh yang sudah dikenal ini secara utuh. Jika film ini diniatkan sebagai prekuel dari reboot yang dimodernkan, maka ia sudah melakukan kerja yang sangat gemilang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KELUARGA CEMARA.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Abah berusaha hidup jujur dan memegang janji-janjinya. Bisa gak sih kita bahagia hanya dengan kejujuran? Masih ada gak sih orang yang hidup dari kejujuran?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

ASIH Review

“None of us wants to be reminded that dementia is random, relentless, and frighteningly common.”

 

 

 

Kuntilanak itu bernama Asih. Tapi pada saat masih hidup, dia bernama Kasih. Kenapa perubahan namanya itu penting banget untuk dikasih tahu dalam cerita, aku juga tidak tahu. Malahan, tadinya aku mengira spin-off dari semesta Danur (adapatasi dari cerita Risa Saraswati) ini akan membahas banyak mengenai origin si Asih, kayak, kita akan melihat kehidupan dia semasa masih manusia, lebih jauh mengungkap siapa dirinya sebelum peristiwa naas yang ‘mengubah’ dirinya menjadi hantu. Tapi ternyata informasi lebih dalam tentang Asih paling penting menurut film ini adalah bahwa nama aslinya bukan Asih. Jadi, kita tidak melihat Asih semasa hidup lebih banyak dari apa yang sudah kita lihat di film pertama Danur: I Can See Ghosts (2017).

Kisah tragis Asih menjelang kematian dan tie-in-nya dengan Danur pertama diputer kembali di menit-menit awal, membuat penonton yang baru pertama kali menonton semesta kisah ini mengerti apa yang harus dihadapi. Buat penonton yang ketiduran di menit awal tersebut, film akan mengulang flashback penjelasan siapa Asih di sekuen pengungkapan. Tujuh-puluh-delapan menit durasi cerita akan terasa semakin singkat lagi berkat ‘usaha’ mereka menjalin satu cerita yang utuh. Jadi, ini adalah cerita tentang Asih saat dia masih jadi ABH. Pada tahu ABH gak? Sama kayak ABG, namun ‘Gede’nya diganti dengan ‘Hantu’. Baru seminggu dia menjadi hantu, Asih menyerang keluarga pasangan Citra Kirana dan Darius Sinathrya yang lagi bersiap menyambut kelahiran bayi Amelia. Tak bisa kita sangkal memang, Shareefa Daanish sungguh menyeramkan dengan dandanan setan. Enggak butuh efek sound yang menggelegar sebenarnya, jika kita sudah punya penampakan Danish yang lagi in-character sebagai hatu. Tapi di samping fakta bahwa dia adalah hantu, dan hantu kudu mengganggu orang yang masih hidup, kita tidak pernah benar-benar diajak menyelami konflik personal para tokohnya; akar yang menjadi penyebab kejadian-kejadian dalam film ini terjadi.

Asih mungkin kurang asi, atau salah asuhan.

 

Mitos, pamali, superstition, apapun namanya, tahun 1980 adalah masa keemasan bagi kepercayaan gaib semacam itu. Tidak banyak yang mempertanyakan, apalagi menentang. Suasana ini dijadikan panggung cerita oleh film. Ari-ari bayi yang harus dikubur dengan cara tertentu di pekarangan rumah, bunyi ciap-ciap anak ayam di malam hari, elemen-elemen mistis ini dimasukkan ke dalam cerita demi membangun suspens. It is interesting. Dan cukup berhasil menguarkan keseraman. Film juga membuat ‘aturan’ sendiri, seperti diceritakan jika kita mendengar bunyi pukulan ronda yang jumlah ketukannya lebih satu dari pukul berapa malam itu, maka itu berarti bukan karena si Penjaga Malam sudah pikun. Melainkan itu sebagai tanda ada makhluk halus tak-diundang yang berada di sekitar daerah tersebut. Eventually, ketika bunyi pukulan tiang itu beneran terdengar oleh tokoh film, kita bakal ikutan menghitung ketokannya sambil menahan napas.

Tingkatan tertinggi yang bisa dicapai oleh film ini adalah mereka sebenarnya bisa membuat Asih sebagai cerita tentang ketakutan orang tua terhadap kepikunan (senile). Kita melihat tokoh nenek yang sudah mulai pikun merasa kesulitan menangani kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya. Nenek ini bingung, satu kali dia mandi lupa mengambil handuk. Kali berikutnya dia merasa sudah memindahkan bayi ke teras, tapi ternyata bayi beserta kereta dorong (yang dalam nada polos yang kocak ia sebutkan lebih tua daripada usianya) tersebut masih mandi matahari yang panas di halaman rumah. Terduga pikun atau bukan ini actually menciptakan friksi dengan anggota keluarga lain, khususnya tokoh Citra Kirana. Dan menurutku bisa dikembangkan menjadi bagaimana jika orang yang muda juga mulai merasa dirinya pikun alias dementia. Film ini punya potensi menjadi sangat cerdas memparalelkan hantu dengan dementia, dia bisa memiliki sudut pandang yang unik dengan menggali aspek tersebut. Tapi film tidak mengacuhkan aspek cerita ini, karena film hanya mengincar nilai hiburan.

Menurunnya kemampuan mengingat atau istilah seramnya kehilangan ingatan secara perlahan adalah salah satu hal paling menakutkan yang bisa menimpa manusia. Lebih mengerikan daripada menjadi hantu. Buktinya, kita percaya, hantu ada karena mereka masih penasaran sebab terpisah oleh sesuatu yang ia sayangi. Yang berarti bahkan sebagai hantu sekalipun, kenangan atau ingatan itu masih ada; kita mau percaya bahwa ingatan adalah satu-satunya yang dipunya oleh hantu. Kengerian dementia lebih besar daripada itu karena kita bisa lupa pada apa yang kita cinta, bahkan saat kita masih hidup.

 

 

Selain tokoh si nenek yang barely punya karakter. Karakternya adalah kepikunannya, tokoh-tokoh yang lain tampil total polos. Tokoh Citra Kirana hanya seorang ibu yang mengkhawatirkan keselamatan putri yang baru lahir. Tokoh Darius Sinathrya adalah suami yang tidak percaya kepada kekhawatiran istrinya. Si bayi pada ujungnya akan diculik, seperti pada cerita-cerita horor Awi Suryadi sebelumnya. Dan tentu saja, ada paranormal misterius, dan nanti akan ada tokoh utama yang kesurupan. Pretty basic, dengan struktur cerita yang ala kadar, plot yang kosong. Tapi nilai hiburan film ini memang meningkat. Dalam artian, film mulai mengembrace kekonyolan yang ada, mereka kini tampak mengincar status “so bad, it’s good”. Eksposisi dilakukan dengan komedi. Adegan satpam dengan penjual nasi goreng itu tak ada kepentingan dan kelanjutan selain untuk membuat kita tertawa sembari mereka menjelaskan info seputar mitos menyeramkan. Adegan para tokoh berpegangan di meja makan adalah adegan paling kocak seantero semesta Danur. Menginteferensi tone, memang, tapi film sesungguhnya sudah membangun selera humornya yang aneh ini sedari awal-awal cerita. Selain lelucon, kita juga akan diajak bermain-main dengan jumpscare yang kali ini timingnya lebih diatur dan volumenya lebih dinaikkan lagi.

aku harap bayinya gak masuk angin malem-malem dimandiin di luar.

 

Dan segitulah batas kengerian film ini. Loud dan ngagetin. Sebagian besar adegan seram berawal dari seseorang yang merasa melihat orang lain lagi lewat di lorong rumah. Atau mereka merasa ada yang ganjil gitu aja ketika lagi nyuci atau lagi sembahyang. Dan mereka lanjut teriak-teriak mencari penghuni rumah yang lain. Kejadian begini sungguh amat lemah, usaha yang minimal sekali dalam memancing kengerian dalam film horor. I mean, masih mending jika setting cerita adalah di hutan dan para tokoh tersesat sehingga mereka teriak mencari rekannya. Perlu diingat, Asih mengambil tempat di dalam lingkungan sebuah rumah, yang bahkan tidak terlalu besar. Terus-terusan melihat orang dewasa penghuni berteriak-teriak mencari orang yang bahkan enggak hilang di lingkungan ‘sempit’ tersebut seolah mereka bocah kecil yang nyasar di mall memanggil emaknya, sungguhlah sebuah pengalaman yang jauh dari menyeramkan.

Coba tebak apa yang terjadi begitu si tokoh menemukan orang yang ia cari?

Yup, dialog menjemukan “Ibu tadi lewat sana?” “Enggak kok.” Dan kita supposedly merasa merinding menyaksikan percakapan mereka yang begitu-begitu melulu seperti demikian. Jeng-jeng! 

 




Adegan ngagetin yang dimaksudkan sebagai adegan seram -> eksposisi yang disamarkan dengan komedi -> development karakter berupa tokoh yang tadinya tak percaya menjadi percaya. Begitulah siklus penceritaan film ini. Buat yang belum pikun, film ini terasa enggak benar-benar unggul dari dua film Danur sebelumnya; ceritanya masih kosong, nyaris tanpa plot. Menakjubkan dengan durasi begini singkat betapa banyak flashback dan pengulangan adegan disuguhkan, seolah filmnya kesulitan mengisi durasi. Tapi paling tidak, arahannya mulai berani mengembrace aspek konyol, demi misi mereka membuat film untuk hiburan hantu-hantuan.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ASIH.

 




That’s all we have for now.
Jika hantu ada karena ingatannya, maka apakah orang yang terkena dementia atau malah hilang ingatan tidak akan bisa menjadi hantu? 

Bagaimana reaksi kalian jika disuruh melupakan suatu hal yang berharga seperti Asih yang harus melupakan tentang anaknya?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017



THE FIRST PURGE Review

“Politics have no relation to morals.”

 

 

 

Untuk melepas penat kerja sepekan, kita perlu waktu libur satu hari. Liburan diciptakan supaya dinamika performa kita harmonis; agar stres yang menumpuk, mumet dan kebosanan yang terhimpun selama hari-hari rutinitas, dapat terlampiaskan. Sehingga kita merasa lega, dan siap untuk dihujani dengan tugas dan kerjaan berikutnya. Semua perlu liburan sebagaimana butuh kerja. Orang yang kurang piknik, akan gampang marah-marah, isi twitnya dijamin bakalan nyolot ga tentu arah hihi

Konsep melepas beban tersebut juga berlaku dalam praktek kehidupan sosial yang lebih luas. Kriminalitas yang terjadi di masyarakat mungkin salah satunya disebabkan oleh pelaku yang merasa terbebani oleh peraturan. Jadi, mereka melakukan kejahatan sebagai bentuk penyaluran. Supaya mereka bisa lega dan dapat melanjutkan menjadi orang yang baik hari berikutnya. Maka, sudah semestinyalah, perlu diberikan waktu khusus untuk semua orang supaya bisa melampiaskan nafsu bejat mereka, tanpa perlu takut kena hukuman. Kurang lebih kayak liburan, cuma yang ini adalah libur dari kebaikan. Dunia dijamin menjadi tempat yang lebih baik jika hal tersebut dilakukan. Benarkah demikian?

Sejak diluncurkan tahun 2013 yang lalu, The Purge sudah berusaha untuk membawa kita berdiskusi ke ranah yang menyeramkan soal apakah sebaiknya disediakan waktu khusus di mana semua orang bisa melanggar hukum semaunya. Aku sendiri sangat tertarik dengan tema moral dan hubungan sosial yang dibincangkan oleh film ini, makanya setiap ada sekuelnya yang keluar, aku selalu menonton dengan antusias. Mengerikan memang, membayangkan gimana cara kerja Malam Purge di dunia nyata. Kota yang dengan lantas berubah menjadi seperti wasteland di dunia Mad Max; dengan geng-geng haus darah berkuasa di setiap bloknya. Aku bergidik sendiri mengingat gimana jadinya kalo di Indonesia beneran ada yang kayak gini. Apa aku akan bikin gang sendiri, atau malah jadi duluan yang terbunuh haha

What’s your favorite Purge movie? / The first Purge / Oo yang baru / Bukaan, film yang pertamaaa

 

 

The First Purge membawa kita melihat reaksi masyarakat Staten Island ketika mereka mengetahui tempat tinggal mereka dijadikan tempat uji coba Purge oleh partai New Founding Fathers, yang mana membuat mereka semua adalah tikus percobaannya. Para warga bebas untuk memilih enggak ikutan dan mengungsi sebentar ke daerah lain. Atau; mereka bisa tinggal di rumah dengan dibayar, dan bahkan dibayar lebih gede lagi jika ikutan berpartisipasi melepas stres dalam 12 jam bebas hukum tersebut. Ini adalah elemen yang sudah banyak diperbincangkan orang saat film pertama Purge keluar. Benerkah orang-orang akan langsung bunuh-bunuhan jika membunuh dilegalkan. Tapi kita – apalagi kalo sudah menonton American Animals (2018) – tahu lebih baik. Berbuat jahat itu tak segampang dan semenarik yang kita bayangkan. Malahan, hanya ada satu orang yang diperlihatkan oleh The First Purge sebagai yang benar-benar menikmati Purge sebagai ajang pemuas nafsu bunuh-bunuhan. Penduduk yang lain, ya mereka menjarah, merampok, melakukan vandalisme, tapi setelah itu mereka lantas berpesta. Tidak ada darah yang diteteskan. Kondisi yang seperti ragu-ragu, reaksi pertama terhadap percobaan Purge, inilah yang membuat separuh awal The First Purge terasa segar.

Film ingin menunjukkan kemanusiaan belumlah sirna dari dunia, sesakit apapun keadaan sepertinya. Bahwa chaos sejatinya tidak terjadi begitu saja. Melainkan karena dirancang. Program Purge tidak akan berhasil jika tidak ada pihak yang menyetir, yang menyebarkan ketakutan, yang menggunakannya sebagai alat politik. Yang menyebabkan manusia begitu berbahaya bukan karena insting bertahan hidup, melainkan karena manusia adalah makhluk yang berpolitik. 

 

 

Film ini juga bermain-main dengan trope di dalam semestanya sendiri. Seperti kenapa peserta Purge selalu memakai topeng. Kenapa masih menutupi identitas padahal pada malam Purge semua tindak kejahatan dilegalkan. The First Purge mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan mengaitkannya dengan sisi psikologis. Bahwa mungkin rasa malu itu masih ada. Menyadari ikut serta karena punya dendam yang tak berani diselesaikan dengan baek-baek, mengakui bahwa mengikuti nafsu binatang adalah perbuatan tercela, bahwa membunuh, merampok, memperkosa, sekalipun legal masihlah tindakan yang tidak pantas dibanggakan. Maka orang-orang lebih suka memakai topeng. Untuk meyakinkan bahwa mereka pada malam Purge bukanlah mereka yang sebenarnya. Di samping masalah psikologis tersebut, The First Purge juga memperlihatkan alasan lain tentang mengapa topeng digunakan. Sayangnya, alasan kedua yang mereka angkat ini tidaklah semenarik yang pertama, dan lebih disayangkan lagi justru alasan kedua itulah yang benar-benar diangkat menjadi topik utama oleh film.

Hadir pertama kali berbungkus thriller home invasion, Purge kemudian menghadirkan sekuel yang menjawab permintaan penonton. Orang-orang ingin melihat lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi saat malam Purge. Jadi di film kedua kita melihat cakupan yang lebih luas, kita dibawa turun ke jalanan pada malam paling berbahaya di Amerika tersebut. Setelah film kedua itu, semesta Purge mandek. Mereka hanya memperlihatkan hal yang basically sama pada film sesudahnya. Tidak ada pandangan yang lebih jauh mengenai Purge itu sendiri. The First Purge menjanjikan sudut pandang ketika acara tersebut pertama kali dicetuskan, dan film ini gagal memenuhi janjinya tersebut. The First Purge is exactly kayak film yang sudah-sudah. Mereka tetap tidak mengangkat sudut yang lain. Formulanya masih sama, berupa orang-orang yang harus mempersiapkan diri beberapa menit menjelang sirene dibunyikan, dan kemudian mereka terjebak situasi Purge, dan mereka harus bertahan hidup. Elemen-elemen psikologis hanya jadi latar. Cerita aktual tentang bagaimana Purge bisa dicetuskan tetap berupa eksposisi sepintas lewat montase headline berita.

Purge adalah Halloween khusus dewasa

 

 

Sebenarnya di film ini kita akan beneran bertemu dengan pencipta konsep Purge sebagai bagian dari kampanye politik partainya. Tapi karakter yang mestinya punya beban konflik moral, punya dilema, yang menarik untuk digali ini pun hanya terasa seperti tempelan. Karena fokus jarang sekali jatuh padanya. Kehadiran tokoh ini lebih terasa seperti karena film butuh sesuatu untuk direveal; kalian tahu, kayak kebanyakan film yang merasa perlu untuk masukin unsur twist. Kita diperkenalkan kepadanya begitu saja, ‘undur diri’nya juga turut terasa abrupt sekali. Instead, cerita akan berfokus kepada seorang pemimpin gang. Bandar narkoba muda yang sudah meraja di kota tersebut. Moral konflik yang dipasangkan kepadanya sebagai kait cerita adalah bahwa gimana dia menolak Purge yang membunuh manusia dalam satu malam, sementara kerjaannya sendiri merusak manusia 364 hari non-stop. Susah untuk peduli sama si tokoh utama – walaupun Y’lan Noel mainnya lumayan berkharisma dan cukup meyakinkan. Maka, film membawa cerita mengarah kepada warna ‘melindungi rumah sendiri’ dalam usahanya menyinari tokoh utama dengan cahaya simpati; gimana lingkungan tempat tinggal mereka digugah oleh kepentingan, dan mereka harus bekerja sama melindungi kemanusiaan di dalamnya.

The First Purge tetap seperti home invasion skala besar, dengan bukan saja unsur kekerasan yang dikurangi (karena cerita ini seperti setengah psikologis, dan setengah ‘ah sudahlah bikin yang heboh seperti biasa aja’), secara teknis film ini juga tampak lebih ‘murah’ ketimbang film-filmnya sebelum ini. Penulisannya menjurus ke konyol pada beberapa poin. Ada indikasi mereka ingin memparalelkan kejadian film dengan keadaan di dunia nyata, seperti ketika seorang politisi literally bilang “kita harus bikin Amerika hebat lagi”. Tidak ada kesubtilan, mereka menyebutnya dengan gamblang. I mean, bahkan nyindir juga mestinya ada seninya kan. Efek-efek yang ada kerap terasa ketinggalan jaman, ada bagian ketika film bermaksud merekam adegan yang misterius dengan banyak asap dan percikan darah, namun jatuhnya malah over-the-top because it feels cheap.

Pada satu poin, aku sempat heran apakah ini berubah menjadi film Searching (2018) apa gimana karena tiba-tiba kita melihat seorang tokoh penting dieksekusi lewat layar monitor. Kita tidak tahu gimana, bahkan apakah itu benar-benar si tokoh karena kita enggak bisa melihat wajahnya. Hanya orang yang terlihat mirip dia. Kenapa film tidak memperlihatkan langsung saja. Apa adegan tersebut ditambahin belakangan, baru sadar ada yang kurang tapi kontrak pemainnya sudah habis? Setelah paruh pertama, cerita benar-benar meninggalkan pacing, dan segala macem. Yang membuatku tertawa adalah ketika pasukan tokoh utama kita diberondong oleh drone, Dmitri masuk ke kolong mobil, dia hanya bisa melihat kaki teman-temannya – mereka sedang dihujani peluru. Dan setelah dronenya pergi, Dmitri langsung keluar begitu saja. Like, darimana dia tahu dronenya sudah pergi atau keadaan sudah benar-benar aman? Film tidak lagi memperhatikan sudut pandang, dan pada titik ini, kita hanya menonton untuk melihat orang mati dengan cara sesadis yang bisa kita harapkan.

Purge adalah alegori budaya kekerasan, korupnya politik Amerika, dan sistem ekonomi neoliberalisme yang curang. Salah satu episode Rick and Morty say it’s best. Yang kaya semakin kaya. Yang miskin akan binasa. Purge pada akhirnya akan memutar roda ekonomi; penjualan senjata, sistem keamanan rumah. Kelas ekonomi bawah harus berjuang, sampai-sampai ada yang menjual hidup mereka demi keluarganya

 

 

 

 

Jika ini adalah Purge Night pertama kamu, mungkin aja sih, kamu-kamu bakal suka sama filmnya. Karena memang konsep dunia Purge ini selalu menarik. Makanya, para pembuat filmnya jadi susah move on. Installment barunya selalu terasa sama, dan enggak benar-benar menggali sudut yang baru. Mereka juga membuat serial TV The Purge, dan sejauh aku menonton (tiga episode) serial tersebut juga tak banyak berbeda dengan film ini. Jadinya ya enggak maju-maju. Tidak ada pencapaian pada setiap sekuelnya, tidak ada resiko yang diambil. Malahan, film ini tampak seperti yang paling males dibanding yang lain. Terhibur sih, tapi tetep aja kecewa karena aku pengen melihat Purge dibahas lebih dalam. Alasan kenapa ada Purge adalah hal yang dijanjikan oleh cerita, tapi kita tidak benar-benar mendapatkan hal tersebut.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for THE FIRST PURGE.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Akankah kalian berpartisipasi jika Indonesia melakukan Purge? Berapa duit yang kalian minta? Benarkah kita butuh satu hari untuk melampiaskan diri akan membawa kita menjadi orang yang lebih baik? Perlukah kejahatan dan dendam itu disalurkan?

Dan pada akhirnya, di mana posisi kita – para penonton semesta Purge; apakah kita menonton untuk melihat bagaimana akhirnya, atau hanya memuaskan dahaga karena kekerasan memang melegakan?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

THE NUN Review

“Prayer without action is powerless”

 

 

 

Berdoa itu ada waktunya. Sudah kewajiban manusia untuk menyempatkan diri untuk berterima kasih kepada Sang Pencipta. Tuhan tidak akan pernah bosan sering-sering kita panggil. Tuhan justru senang jika kita sering mengingat-Nya, meminta kepada-Nya. Namun, berdoa setiap waktu hingga lupa untuk berusaha, sama saja dengan ngobrol ama foto kecengan di wallpaper laptopmu, tapi gak pernah berusaha ngajak jalan. Kalo gak diusahakan, ya selamanya keinginan itu gak bakal terwujud. Seperti suster-suster di biara terkutuk di film The Nun; mereka lupa bahwasanya berdoa dan berusaha itu kudu seimbang. Ada waktunya untuk bertindak, melakukan perjuangan terhadap suatu hal yang diminta, alih-alih berlutut sampai pagi.

Nun jauh bahkan sebelum boneka Annabelle dibuat, terdapat sebuah biara di pedalaman Romania. Biara yang dijauhi penduduk bahkan oleh kuda-kuda mereka, itu terkutuk untuk alasan yang jelas; gerbang neraka terbuka di bawahnya. Iblis bernama Valak enjoy aja keluar masuk dari sana, berpakaian ala biarawati, mengambil satu-persatu Wanita Suci Kekasih Tuhan yang berdoa meminta perlindungan darinya. Tidak ada yang actually bergerak untuk menghentikan Valak. Sampai ketika seorang Pastor dari Vatikan diutus untuk menyelidiki apa yang terjadi di biara tersebut, barulah Valak mendapat perlawanan yang berarti. Si Pastor datang bersama biarawati muda yang bahkan belum mengucapkan sumpahnya. Tindakan merekalah yang menyebabkan misteri biara tersebut perlahan terkuak. Irene, sang biarawati, pun akhirnya menunjukkan tindak pengorbanan yang sesungguhnya, yang merupakan pukulan telak kepada Valak. Dibantu oleh seorang pria lokal penyuplai makanan yang dipanggil Frenchie, mereka berusaha menemukan senjata pamungkas demi menutup kembali Gerbang Neraka, menahan Valak kekal di dalam sana.

semoga yang di belakangku cuma bayangan pohon natal

 

Doa kita gak bakal dikabulin kalo gak dibarengi dengan usaha. Siapa sih yang mau ngasih sesuatu ke orang yang kerjaannya ngeluh dan beratap nestapa sepanjang waktu. Ther Nun akan mengajarkan kita untuk bangkit dan mengambil tindakan, untuk diri kita sendiri serta untuk orang lain. Karena dari perjalanan Irene, kita pun akan belajar satu-dua hal tentang pengorbanan yang dengan ikhlas kita lakukan atas nama perubahan ke arah yang lebih baik.

 

 

The Nun seperti menantang untuk berdiri tegak tatap sombong ketakutan kita terhadap setan. Yea, film ini exist berkat kepopuleran Valak, hantu suster dari universe The Conjuring yang debut di seri keduanya. Siapa yang bisa lupa kemunculan Valak yang berjalan dari dinding ke pigura lukisan untuk kemudian nongol di mimpi-mimpi buruk kita. Film The Nun ini, akan membawa kita untuk benar-benar berhadapan dengan hantu pawang ular yang tampangnya mirip Marilyn Manson pake kerudung tersebut. Setting cerita memang dibuat se-creepy mungkin. Hal-hal ganjil kita temukan di awal-awal cerita, darah di tangga yang kian hari bertambah alih-alih mengering, pemandangan pekarangan yang penuh kuburan bernisan salib gede, suara krincing-krincing lonceng dari setiap kuburan, semua itu ditujukan untuk membangun kengerian kita – supaya kita menantikan kemunculan Valak dengan mengkeret di tempat duduk masing-masing. Hanya saja, kita malah jadi penasaran. Alih-alih mengekspansi mitologi Valak – yang mana semestinya itu yang disajikan film ini sebagai alasan untuk mengetahui origin si iblis – film malah memfokuskan ke misteri biara itu sendiri. Penjelasan mengenai Valak hanya disebutkan dalam satu adegan tokoh Pastor membaca informasi di sebuah kitab. Selebihnya, film adalah pencarian Darah Kristus untuk menyegel Gerbang, dengan Valak dan hantu-hantu lain muncul entah itu untuk mengganggu ataupun memberi petunjuk.

Tempat gelap, pintu-pintu yang menutup dan mengunci sendiri, ’teka-teki’ dari hantu penghuninya. Menonton film ini seperti sedang menyaksikan orang bermain wahana Escape Room, kalian tahu, kesan yang ada malah seru. Seramnya jadi nomor dua. Dengan hantu yang bisa kalah dengan ditembak senjata api, film juga seperti lebih ke aksi ala film-film zombie. Tidak ada ‘peraturan’ yang jelas soal setan dalam film ini. Kenapa mereka bisa terluka oleh peluru biasa, apakah mereka setan yang berdarah daging, like, apakah mereka dibangkitkan oleh suatu kekuatan jahat ataukah mereka berupa jejak yang ditinggalkan jiwa di dunia (Ya, aku mengutip Snape). Pada satu sekuen kita diperlihatkan mayat yang sudah mengeriput seperti mumi, lalu mayat tersebut bangkit menyerang Irene dan kita melihat wujud si setan tidak lagi keriput, ia seperti sosok yang bicara kepada Irene di adegan sebelumnya. Dan kemudian si setan kalah dengan dibakar. Tidak benar-benar jelas dalam film ini apa yang sebenarnya mereka hadapi. Pertempuran terakhir dengan Valak pun malah jatohnya lucu. Memang sih, gak jatoh sekonyol Scooby Doo, tapi lebih dekat ke arah sana ketimbang horor dramatis yang menyentak urat ketakutan kita.

“they don’t want Nun, they don’t want Nun”

 

Film ini mengikat dengan baik ke permulaan film The Conjuring (2013), dan sayangnya itulah hal terbaik yang berhasil diraih oleh The Nun. This is like a throw-away movie, yang ada hanya untuk mengisi ruang yang sebenarnya pun tak ada pengaruhnya jika dibiarkan kosong. Melihatnya kembali, sekilas, memang bisa tampak mengesankan gimana film ini ternyata adalah cerita lengkap dari satu adegan di film sebelumnya. Tapi dari kacamata pembuat, ya semua aspek sebenarnya bisa dipanjang-panjangin. Enggak benar-benar susah mengarang cerita dari satu aspek minor dari sebuah film panjang, dan menarik satu cerita baru dari sana. Cerita The Nun sendiri pun sebenarnya bukan cerita yang kompleks, sangat sederhana, malah. Jadi, hal terbaik yang dilakukan oleh film ini juga sebenarnya enggak berarti banyak. Mereka hanya menarik background baru, tokoh-tokoh baru, dan bahkan yang baru-baru itu enggak berhasil dikembangkan dengan maksimal.

Taissa Farmiga didaulat untuk memerankan Suster Irene yang ditunjuk oleh Vatikan sebagai orang yang harus dibawa Pastor Burke menyelidiki Biara Terkutuk. Kita memang dikasih tahu Irene ini punya Penglihatan; dia bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk halus – sama seperti Burke. Tapi kita tidak pernah tahu kenapa Vatikan secara khusus memilih dia, yang bahkan belum mengucap sumpah. I mean, dari sekian banyak suster, masa iya cuma dia yang bisa Melihat? Seharusnya ada alsan khusus, namun alasan Irene menjadi tokoh film tersebut masih merupakan misteri hingga akhir cerita. Aku suka Taissa, menurutku dia hebat di American Horror Story, dia sudah jago bermain horor – in fact, Taissa menang Unyu op the Year berkat penampilannya di serial ini. Di The Nun, dia juga enggak bermain jelek. Sayangnya, tokoh yang ia perankan di sini setengah-matang.

Taissa adalah adik dari Vera Farmiga, pemeran Lorraine di semesta Conjuring, mereka secara natural obviously mirip – jadi pasti ada sesuatu yang diniatkan dari castingnya kan? Membuat kita berasumsi jangan-jangan tokoh mereka sebenarnya adalah orang yang sama. Tapi toh hal tersebut juga tidak masuk akal, there’s no way Irene dan Lorraine adalah orang yang sama. Yang satunya suster, pengorbanan adalah arc tokohnya, jadi mustahil jika nanti setelah dewasa dia menikah, terlebih mengganti nama. Irene akan membuang arc-nya jika dia menikah. Tidak ada indikasi tokoh majornya punya hubungan dengan tokoh utama semesta cerita, membuat Irene semakin terasa random lagi untuk berada di sana.

 

 

 

 

Kurangnya latar belakang tokoh – si Pastor punya penyesalan sehubungan dengan pekerjaannya di masa lalu, selain itu kita tidak banyak tahu, membuat kita sulit untuk peduli ketika mereka berada di dalam bahaya. Terlebih, setiap keputusan yang dibuat oleh para tokoh benar-benar klise dan bego; Mereka akan berpencar di setiap kesempatan. Film ini memang bukan jawaban jika kita berdoa “Oh Tuhan, tunjukkanlah hamba film yang bagus”.  Ada banyak kekurangan yang mestinya enggak diulang lagi, kita hanya harus ambil tindakan untuk mengenalinya. Satu-satunya cara untuk kita bisa menikmati film ini adalah dengan menganggapnya sebagai petualangan misteri. Karena film ini lebih kepada seru, dan konyol, ketimbang seram. Bahkan jumpscarenya enggak bikin kaget.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE NUN.

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apa kita perlu untuk mengenal siapa Valak – apakah kita benar-benar butuh untuk menonton film ini? Apa kira-kira hubungan Irene dengan Lorraine? 

Kalo ketemu hantu, kira-kira kalian akan berdoa atau langsung ambil langkah seribu?

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SOLO: A STAR WARS STORY Review

“Trust is a two way street”

 

 

Terserah kita, sebagai penonton yang terhanyut oleh petualangan luar angkasa ketika menonton Star Wars original, mau milih pengen kuat kayak Luke Skywalker atau mau sekeren Han Solo. Buatku, jawabannya selalu adalah Han Solo. Dia lucu, jago nembak dan nerbangin pesawat, dan dia sombong akan hal tersebut. Sesuatu yang hebat pada tokoh ini adalah gimana dalam skenario cerita fantasi yang larger-than-life itu dia terasa seperti orang biasa yang lagi nongkrong di planet nun jauh di sana. Han bukan pejuang Jedi, dia hanya seorang penyelundup barang. Tapi melihat dari teman gaulnya yang monster berbulu, kita tahu Han Solo sudah melewati banyak petualangan seru; yang membuat tokoh berandal ini lebih menarik ini.

Jadi, tentu saja natural bagi studio yang punya hak nyeritain kisahnya pengen menggali lebih banyak soal petualangan solo dari seorang Han Solo. Dan setelah melalui banyak kemelut produksi, bolak-balik diarahkan banyak orang sebelum akhirnya Ron Howard mendapat kredit final sebagai sutradara, film yang memperlihatkan kepada kita seperti apa Han Solo sewaktu masih muda akhirnya mendarat juga. Sebagai sebuah aksi petualangan, film ini sangat exciting. Akan ada banyak adegan kejar-kejaran dengan kendaraan yang hanya bisa kita bayangkan, entah itu ketika Han melarikan diri atau mau menyelamatkan sesuatu, dengan keseruan yang terbangkit oleh menit-menit terakhir skill kenekatan Han Solo yang beruntung itu menunjukkan tajinya. Adegan di kereta api dan adegan kabur dari monster dengan Millennium Falcon itu sungguh luar biasa menyenangkan. Ya, dengan serunya film ini akan memberikan jawaban seputar kehidupan awal dari Han sebelum adegan pertama di Star Wars episode IV (1977), tentang bagaimana dia bisa berteman dengan Chewbacca, asal usul dirinya bisa berada di balik kursi pilot pesawat angkasa paling ngehits di dunia – Millennium Falcon – yang tentu saja kita juga akan melihat interaksi Han dengan Lando Calrissian. Kita akhirnya akan melihat langsung peristiwa menarik gimana tepatnya Han memenangkan Millennium Falcon dari taruhan dengan Lando. Pretty much apa yang kita suka dari karakter Han Solo, kesombongannya, skillnya, keberuntungannya, akan diangkat dalam film ini.

dan ada droid yang mendambakan kesetaraan hak antara mesin dengan manusia hihihi

 

 

Yang sering luput dari pembicaraan rangorang ketika ngegosipin Han Solo adalah mengenai sikapnya yang suka jengkel dengan ketidakkompetenan makhluk di sekitarnya. Selain kocak, jago, tengil, dan segala macam sikapnya yang charming tersebut, Han Solo cukup ‘galak’ ketika ada orang yang tidak melakukan sesuai dengan yang seharusnya mereka lakukan. Ada banyak kejadian yang menunjukkan trait karakternya ini dalam film-film Star Wars terdahulu, seperti misalnya ketika Han bete ngejelasin cara kerja Force kepada Rey dan Finn di Star Wars The Force Awakens, “That’s not how the Force works!”. Han Solo punya sedikit superiority complex, namun dia susah mengekspresikannya oleh sebab deep inside, dia adalah orang yang lebih memilih untuk rileks dan melakukan sesuatu dengan caranya sendiri. Dalam Solo: A Star Wars Story inipun aspek karakter itu nyaris lupa diangkat. Film actually mengerti, mereka mengolah cerita dengan tema kepercayaan terhadap orang lain, yang berusaha mereka sangkutkan dengan sikap grumpy Han terhadap orang sekitar, like, lewat film ini kita akan mengerti kenapa Han Solo lebih suka bertindak sendiri – atau paling enggak kenapa dia hanya percaya berat kepada Chewie.  Hanya saja, aspek ini dimainkan oleh film dengan datar, lebih kepada sebagai komedi dan tidak benar-benar membuat aspek ini sebagai kedalaman yang berarti bagi si tokoh sendiri.

Dibesarkan di bawah naungan geng bandit di pipa-pipa bawah tanah menjadikan Han Solo punya insting untuk selalu bekerja sama dengan orang lain. Akan tetapi, apa yang ia lakukan lebih sering mengharuskannya untuk mempercayai diri sendiri, berimprovisasi tidak menurut sama perintah. Konflik inilah yang membebani Han Solo pada hari-hari awal petualangannya. Kepercayaan adalah jalan dua-arah. Simpelnya, jika kita tidak percaya kepada orang lain, maka pada gilirannya, mereka pun akan mengalami kesusahan untuk mempercayai kita. Han Solo pada akhirnya membuat perhitungan ini menjadi lebih sederhana lagi; dia memasukkan keberuntungan dalam ekuasi yang harus ia percaya.

 

 

Sebenarnya Solo ini dapat menjadi cerita yang menarik, dengan pertimbangan bahwasanya ia adalah cerita yang tidak benar-benar harus terkait langsung dengan trilogi original. Akan tetapi, jika kita menggarap sebuah prekuel dari cerita yang sudah dikenal luas, maka akan selalu ada tuntutan – akan selalu ada beban, lantaran cerita yang sedang kita bikin sudah tertambat oleh cerita yang lain. Mau tak mau kita harus mengembangkan cerita baru ini ke arah yang orang sudah tahu, dan jika ada beda dikit aja, kesinambungan cerita gedenya akan terganggu. Dan kalo sudah begitu, siap-siap menghadapi celotehan protes terutama dari para fans. Yang mau aku bilang adalah, butuh nyali untuk menggarap prekuel. Yang sayangnya, nyali ini tidak aku temukan dalam film Solo.

Jarang sekali film ini membahas dalem tentang Han Solo itu sendiri, meskipun kalo mikir logika ini adalah cerita tentang dirinya. Kita hanya melihat petualangan demi petualangan, tanpa ada bobot karakter di dalamnya. Film ini secara berhati-hati membuat kejadian, sehingga jika kita nonton film ini kemudian dilanjutkan dengan film Star Wars yang pertama, tidak ada cerita ataupun interaksi tokoh yang terasa janggal. Tidak ada kontinuitas yang dicoreng. But at the same time, apa yang film ini accomplished regarding tokoh Han Solo itu sendiri; nol besar. Han Solo tidak diberikan aspek yang baru kita lihat, dengan lain kata; tidak ada development. Mereka hanya mengeksplorasi hal-hal yang ingin kita minta, yang mana membuat film ini terasa seperti fans service semata, tanpa menempuh resiko apa-apa. Seolah mereka sebenarnya tidak punya sesuatu yang ingin diceritakan lagi dari Han Solo sebagai seorang karakter, selain petualangan-petualangan itu.

Salah satu alasan Harrison Ford menginginkan Han Solo meninggal di Return of the Jedi adalah karena dia merasa karakter ini enggak punya banyak kedalaman sehingga dengan membuatnya melakukan pengorbanan, Han Solo bisa mendapat peningkatan karakter. Dan kita melihat keinginan Ford ini dikabulkan pada The Force Awakens, dan kita bisa rasakan sendiri gimana kematian itu menambah banyak bagi Han sebagai seorang karakter. Dia jadi punya sesuatu yang lebih dalam untuk kita rasa. Dalam Solo kali ini, sayangnya, tokoh Han Solo tidak berusaha untuk digali lagi. Plot tokohnya tipis. Tidak banyak ruang gerak yang diberikan kepada Alden Ehrenreich untuk menerbangkan karakter ini. Dia hanya senyum smug, ngedipin sebelah mata, nunjuk-nunjuk, seperti yang dilakukan oleh Han Solo yang kita kenal. Sepatu yang ditinggalkan oleh Harrison Ford buat tokoh ini adalah sepatu yang besar, dan arahan cerita yang tidak berani mendorong batasan ini membuat Han si Alden tampak tak lebih dari seperti parodi dari Han Solo yang asli. Interaksi Han Solo dengan tokoh-tokoh yang lain pun terasa terbatas. Dia punya hubungan romansa dengan cewek dari masa kecilnya yang turns out menjadi salah satu elemen gede dalam cerita (yang tampaknya berlanjut ke sekuel). Han diberikan tokoh mentor yang ngajarinnya soal dunia selundup-selundupan, tapi sama sekali tidak tampak seperti demikian, mereka malah tampak seperti teman satu tim. Dengan Lando dan Chewie-lah, film menemukan titik terang. Donald Glover sebagai Lando adalah pilihan yang tepat, dia tidak tampak bermain menjadi seperti aktor  lain yang memainkan tokoh Lando, dia memberikan sentuhan lain buat karakter yang kita kenal ini.

“This is Sabbac, don’t catch you slippin’ now”

 

 

 

Bukan berarti ini adalah film yang jelek. Aku sendiri enggak akan ragu untuk nonton ini dua kali. Adegan-adegan aksi petualangannya seru, film ini tahu cara ngebuild stake sehingga membuat para tokoh utama kelihatan menghadapi sesuatu yang actually bisa gagal. Hanya saja film ini mengecewakan karena tidak berani mengembangkan sesuatu yang baru. Alih-alih punya cerita Han Solo yang ingin digali, membuatnya semaki dalem sebagai sebuah karakter, film lebih memilih untuk sekedar memperlihatkan asal muasal adegan-adegan yang kita tahu. Tanpa menempuh resiko. One way or the other, apa yang mereka lakukan di sini membuat aku percaya kepentingan eksistensi film ini tak lebih dari sekadar karena uang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SOLO: A STAR WARS STORY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017