• Home
  • About
  • Movies
    • KNIVES OUT Review
    • MARRIAGE STORY Review
    • DARAH DAGING Review
    • JUMANJI: THE NEXT LEVEL Review
    • FORD V FERRARI Review
    • THE IRISHMAN Review
    • NIGHTMARE SIDE: DELUSIONAL Review
    • RUMAH KENTANG: THE BEGINNING Review
    • FROZEN II Review
    • BIKE BOYZ Review
    • THE FAREWELL Review
    • RATU ILMU HITAM Review
    • DOCTOR SLEEP Review
    • LAMPOR: KERANDA TERBANG Review
    • LOVE FOR SALE 2 Review
    • THE NIGHTINGALE Review
    • KELAM Review
    • SUSI SUSANTI: LOVE ALL Review
    • ZOMBIELAND: DOUBLE TAP Review
    • MALEFICENT: MISTRESS OF EVIL Review
    • MY DAD IS A HEEL WRESTLER Review
    • PEREMPUAN TANAH JAHANAM Review
    • SIN Review
    • BEBAS Review
    • CINTA ITU BUTA Review
    • THE PEANUT BUTTER FALCON Review
  • Wrestling
    • Survivor Series 2019 Review
    • Hell in a Cell 2019 Review
    • Clash of Champions 2019 Review
    • SummerSlam 2019 Review
    • Extreme Rules 2019 Review
    • Stomping Grounds 2019 Review
    • Money in the Bank 2019 Review
    • WrestleMania 35 Review
    • Fastlane 2019 Review
    • Elimination Chamber 2019 Review
    • Royal Rumble 2019 Review
    • WWE Evolution Review
    • Hell in a Cell 2018 Review
    • SummerSlam 2018 Review
    • Extreme Rules 2018 Review
  • Books
    • My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books
    • Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku
    • Dhanurveda – Preview Buku
    • My Dirt Sheet Top 8 Animorphs Books
  • Uncategorized
    • My Dirt Sheet Awards 8MILE
    • My Dirt Sheet Awards 7ANGRAM
    • My Dirt Sheet Awards HEXA-SIX
    • My Dirt Sheet Awards KELIMA
    • Find Your Own Voice
    • My Dirt Sheet Awards FOUR
    • The 3rd Annual of My Dirt Sheet Awards
    • The 2nd Annual of My Dirt Sheet Awards
  • Merchandise
    • Kaos buat Reviewer dan Anak Nonton banget!!
    • Kaos Sketsa Wajah #WYOF Wear Your Own Face
    • Kaos Halloween Specials
    • Kevin Owens Champion of the Universe Shirt
    • Mean Girls Customized Shirt
  • Toys & Hobbies
    • Tamiya: Everyone Needs Their Hobby
  • Poems
    • Pikiran Keluyuran
    • Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
    • r(u)mah
    • Konstelasi Rindu
    • Jumat Pagi yang Basah
    • Pesan Untuk Hati yang sedang Patah
    • Aku Suka…..
  • Music
    • Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Pesona Musik Iceland (Islandia)
    • Row Row Row Your Boat -[Lyric Breakdown]

MY DIRT SHEET

~ enter Palace of Wisdom, if you are invited

MY DIRT SHEET

Tag Archives: real life

WAGE Review

09 Thursday Nov 2017

Posted by arya in Movies

≈ 2 Comments

Tags

2017, biopic, comparison, drama, hero, history, life, musik, real life, review, spoiler, thought

“Music can change the world because it can change people”

 

 

Karya musik tidak bisa sepenuhnya kita hargai tanpa mengenal penciptanya. ‘Mengenal’ bukan sekedar tahu nama loh. Melainkan mengetahui dari mana dia ‘berasal’. Apa yang sudah ia laluli sehingga bisa dapat ilham mengarang lagu. Selama ini, kita mungkin hanya tahu siapa nama pencipta lagu Indonesia Raya, lagu Ibu Kita Kartini. Kalo ada sepuluh orang yang kita tanyai, mungkin sembilan orang bisa menjawab “WR Supratman” dengan benar. Jika pertanyaannya dilanjut menjadi apa kepanjangan dari WR itu, mungkin hanya setengah dari sepuluh tadi yang bisa menjawab. Jika ditambah lagi pertanyaannya menjadi siapa yang tahu perjuangan apa yang dilakukan WR Supratman dalam menciptakan kemudian mengumandangkan lagu tersebut? Kesepuluh orang tadi kemungkinan gede hanya bisa diem. Aku sendiri dulu sempat kesel kenapa Indonesia Raya enggak diciptain lebih pendek,  empat baris aja gitu, supaya gak perlu berlama panas-panasan setiap kali upacara bendera. Dan setelah nonton film Wage, serta merta aku merasa durhaka pernah berpikiran seperti demikian.

dan kalo pertanyaannya nyuruh nyanyi, aku mundur duluan

 

Dalam film Wage, kita akan melihat hidup komponis ini sedari kecil. Supratman cilik sudah suka dengan musik, dia tertarik pengen mainin alat musik. Akan diperlihatkan banyak sisi kehidupan tokoh kemerdekaan ini yang belum kita tahu; bahwa dia pernah gabung ama band jazz, bahwa dia pernah mengadu nasib jadi jurnalis, bikin cerita roman.  Oleh seorang Belanda, dia diberi nama Rudolf, dan diajarkan main biola – alat musik pamungkasnya. Dengan biola, Supratman berhasil menciptakan musik yang mempengaruhi banyak orang.  Sampai-sampai pemerintah Belanda merasa terancam. Musiknya menghimpun keberanian rakyat, Supratman dianggap penghasut. Sebagai orang yang berbahaya. Fokus cerita sebagian besar adalah soal ‘perang dingin personal’ antara Supratman dengan polisi utusan Belanda, seorang yang berdarah campuran Belanda-Indonesia, yang ditugaskan untuk menangkapnya.

Ketika aku mendengar bahwa Wage disebut sebagai film noir, seketika itu juga aku tertarik. Alasannya simpel; Kita tidak bisa membuat sebuah cerita tentang pahlawan ke dalam cerita yang hitam – ke dalam cerita antihero. I mean, how could you. Noir bukan semata tentang pri berjas, berstelan rapi, yang merokok. Ultimately, film noir bukan film yang berakhir bahagia. Noir adalah cerita yang penuh muslihat, tentang kemunduran seorang tokoh. Jika bicara tentang cinta, maka film noir akan menyebut cinta satu nafas bersama kematian. Aku tertarik karena kupikir Wage akan diarahkan sama sekali berbeda dengan biopik kepahlawanan Indonesia yang sudah ada. Kupikir pembuat filmnya punya satu sudut pandang unik yang dengan nekat dia jadiin film. Kupikir sutradara John De Rantau mampu mengubah kepahlawanan menjadi anti hero yang bakal bikin kita tercenung. I know, it’s a hard thing to achieve. Dan ternyata memang, Wage enggak bisa. Menyebut film ini sebuah noir sesungguhnya adalah mislead. Wage lebih sebagai sebuah DRAMA YANG TERINSPIRASI OLEH GAYA NOIR.

There’s just no way kita bisa melihat Supratman sebagai antihero dalam film ini. Sepuluh menit pertama kita dibuat bersimpati dengan melihatnya kena cambuk, melihatnya menangis ditinggal meninggal oleh sang ibunda. Ada beberapa sekuens di babak awal yang memperlihatkan Supratman sebagai pemuda pemusik yang pesta pora, dia literally bobok di atas uang, namun kemudian film dengan cepat menetapkan Supratman sebagai pihak putih. Dia dibuat sadar, dia beribadah, dan dia bertekad untuk membantu kemerdekaan Indonesia dengan caranya sendiri; lewat musik. Ini adalah perjalanan karakter yang progresif.

Musik yang hebat dapat mengubah dunia. Musik dapat menggerakkan massa, menjadi alat pemersatu bangsa seperti yang sudah dibuktikan oleh Wage dan Indonesia Raya. Karena musik adalah bentuk ekspresi seni yang punya keuntungan mudah dipahami dan diresapi. Ini adalah bahasa universal yang bisa menginspirasi banyak orang karena kita mendengarkan musik dengan cara yang sama.

 

Kita memang melihat perjuangan Supratman menciptakan lagu, tapi film menunjukkan aspek ini dengan sedikit berbeda dari yang kubayangkan. Kita melihat Supratman terinspirasi oleh suara denting-denting penempa besi, kita lihat dia berulang kali merevisi nada di catatan partitur. It’s nice ngeliat detil dan usaha seperti demikian, namun yang sebenarnya pengen kita lihat adalah usaha dia sebagai komponis yang ingin memperdengarkan lagu. Kita ingin lihat dia menentang aturan, kita ingin lihat dia sembunyi-sembunyi bermain musik, kita ingin lihat his ups-and-downs, perjuangan mati-matian. Rendra Bagus Pamungkas sangat hebat menghidupkan tokoh ini, sehingga semakin disayangkan naskah tidak memberinya banyak hal untuk dilakukan. Sebagian besar waktu, Supratman kita temukan diberi saran oleh teman-temannya. Dia disemangati. Padahal tokoh ini punya api yang berkobar di hati, film menyia-nyiakan ini.

Lihat saja betapa menariknya Wage setiap kali dia mempertemukan Supratman dengan polisi Belanda yang terus mengikutinya, Fritz. Aku gak yakin banget, tapi sepertinya Fritz bukan tokoh sejarah asli dan murni diciptakan oleh film. Dan Teuku Rifnu Wikana benar-benar total menjual peran tersebut. Meskipun scoring film terkadang membawanya ke ranah ‘over-the-top’, namun Teuku Rifnu berhasil mengrounding tokoh ini. Fritz adalah tokoh yang paling menarik, dia setengah Belanda – setengah Indonesia, dia ditugaskan mengikuti Supratman, menangkapnya at once begitu kaki Supratman melanggar batas. Tetapi Fritz merasa lebih banyak dari yang diperlihatkannya. Dia tahu enggak segampang itu mememenjarakan Supratman, dia mengerti reperkusi tindakan tersebut. Fritz pintar, dinamikanya dengan Supratman yang juga cerdas dan berkemauan keras adalah penyelamat kebosananku saat nonton. Tindakan Fritz kadang menjadi jalan selamat buat Supratman. Dari sekian banyak yang ia lakukan (atau tidak ia lakukan), kita tidak pernah pasti Fritz sengaja melakukannya, ataupu apakah darahnya bergejolak jua diam-diam mendengarkan lagu-lagu Supratman.

Violin Hero!

 

Adegan antara Supratman dengan Fritz itu layaknya emas di tengah-tengah hamparan batu-batu yang bopong. Di waktu-waktu ketika bukan percakapan mereka yang jadi pusat, dialog-dialog film ini terasa sangat tak-bernyawa. Eksposisi selalu tak terhindar dalam film sejarah, hanya saja mestinya bisa dikemas dengan lebih menarik. Pada Wage, dialog-dialog sejarah itu terasa disadur flat out dari buku sejarah. Kita tidak merasakan apa yang mereka obrolkan, situasinya tidak tergambar, emosinya tersampaikan dengan datar. Mereka kayak ngobrolin teks-teks di buku sejarah, tanpa ada bobot emosi yang meyakinkan di dalamnya.

Film ini juga gemar membangun sesuatu tanpa berujung apa-apa. Ada adegan rapat Kongres Pemuda lagi ribut membahas bahasa persatuan, dan mereka memainkannya lebih seperti kepada untuk tujuan humor – you know, bahasa-bahasa daerah saling cekcok, kan lucu tuh kedengerannya – lantaran kita tidak diberikan penyelesaiannya. Gak dibahas lagi.  Pertemuan Supratman dengan tokoh Prisia Nasution malahan hanya dibuild sekali – Prisia ngeliat Supratman main biola – dan kali lain kita melihat mereka, mereka sudah seperti pasangan. Dan Prisia tidak muncul lagi dalam adegan manapun setelah itu. Banyak aspek yang dibangun hanya untuk jadi latar belakang saja. Contohnya lagi ketika Supratman ngasih harga tinggi buat nampil di kafe, dia keren sekali saat menolak itu, tapi kemudian kita malah melihat dia tau-tau jadi jurnalis berita maling ayam. Katanya dia mulai bosan main musik. Aspek-aspek cerita didorong ke background, dan itupun tidak rapi keiket.

Adegan yang paling bikin aku penasaran adalah gimana mereka bakal nampilin debut Supratman dengan Indonesia Raya di Kongres Pemuda II, kalian tahu, adegan yang sering jadi pertanyaan saat ujian sejarah di sekolah. Build up menuju ke sana padahal bagus banget. Kita lihat Supratman dilarang begitu nada pertama mulai digesek. Kita melihat mereka membicarakan, menego agar bisa ditampilkan, dan akhirnya Supratman benar-benar berdiri di depan semua orang memainkan Indonesia Raya untuk pertama kali. Syaratnya satu; tanpa lirik. Kita semua tahu gimana kejadiannya di buku sejarah. Film lantas ngeclose up dawai, menunjukkan tetesan air, hal-hal yang jadi inspirasi Supratman mencipta. Dan ketika lagu tersebut actually dimainkan, kita mendengar lagu yang ada liriknya. I mean why? Kenapa gak musik aja seperti di kejadian nyata. Kan bisa juga nanti setelah itu baru dimasukin lagu berlirik. Seolah malah film ini sendiri yang gak yakin sama kekuatan musik. Seolah film ini gak yakin sama kekuatan Indonesia Raya tanpa lirik. Seolah film gak yakin penonton enggak tahu kalo itu adalah lagu kebangsaan jika tampil tanpa lirik.

 

 

Orang-orang akan lebih banyak menonton film Indonesia lain yang tayang barengan film ini. Padahal mestinya ini adalah film sejarah yang benar-benar penting untuk diketahui. Relevan dan juga baru banget, belum pernah ada yang mengangat sudut pandang lagu kebangsaan. Namun sepertinya sudah tiba waktunya bagi pembuat film biopik tanah air untuk mengerti (dan berani!) bahwa biopik enggak mesti menceritakan dari kecil. Bahwa mereka bisa saja mengambil satu peristiwa penting dalam sejarah dan memfilmkannya. Mereka bisa bikin sesuatu yang lebih menarik dan fokus jika misalnya mereka mengeksplorasi dari Kongres Pemuda Dua saja; bikin contained ruang tertutup kayak 12 Angry Men (1957) di mana selisih di adegan rapat dan Supratman berusaha lagunya dimainkan demi persatuan. Atau kalo memang mau bikin film noir, sudut pandang Fritz sebagai tokoh utama akan bisa lebih pas – karena tokohnya dengan gampang ditulis sebagai antihero yang terpengaruh oleh lagu Supratman, believe in him, tapi tetap memihak kepada Belanda. Ada begitu banyak yang bisa mereka lakukan, namun film ini memilih untuk tetap di jalur yang tak membawa perubahan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 god stars for WAGE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

THE BIG SICK Review

09 Saturday Sep 2017

Posted by arya in Movies

≈ 1 Comment

Tags

2017, comedy, drama, family, funny, life, love, real life, relationship, review, romance, spoiler, thought

“Pleasing your parents is to attain Allah’s pleasure”

 

 

Fun fact: Di Pakistan, ‘Arranged Marriage (Perjodohan)’ disebut ‘Pernikahan’. Tanpa embel=embel.

Kalo di Sumatera Barat, Siti Nurbaya bilang “aku gak mau dijodohin, Ma!”, maka sebagai ekuivalen di Pakistan Siti Nurbaya simpelnya bilang “aku gak mau nikah, Ma!” Yang bikin makin kompleks adalah enggak banyak yang nekat jadi Siti Nurbaya di sana. Keseluruhan tradisi Pakistan adalah soal menghormati kehendak orangtua. Itulah yang dihadapi oleh Siti Nurbaya film komedi romantis ini, tapi dia bukan cewek. Seorang cowok stand up comedian yang juga nyambi jadi pengemudi Uber, namanya Kumail Nanjiani.  Dan ini adalah kisah nyata tentang gimana Kumail (memainkan diri sendiri di debut peran utamanya) bertemu dengan seorang yang sangat spesial bagi dirinya, menyangkut hubungan asmara mereka yang bergelombang oleh perbedaan kultur. Kumail pacaran sama cewek Amerika, yang mana melanggar salah satu peraturan emaknya yakni harus nikah sama cewek Pakistan. Cerita juga membahas gimana Kumail dan Emily (Zoe Kazan punya chemistry luar biasa dengan Kumail) pada akhirnya saling mengapresiasi – baik budaya dan ego mereka sendiri maupun orangtua masing-masing.

ada cewek yang nyaman-nyaman aja ngomongin boker di sekitar kalian? nikahin!

 

 

Aspek agama dan budaya, kompleksnya masalah yang timbul dari perbedaan pandang terhadap keduanya, menjadi tema besar yang diangkat oleh The Big Sick. Ini adalah masalah yang obviously benar-benar terjadi, banyak orang yang mengalami kejadian serupa, sehingga film ini bakal dengan mudah menemukan koneksi dengan penonton. Banyak orang terelasi dengan apa yang dihadapi oleh Kumail. Dan tidak sebatas itu saja pengrelasian kita terhadap tokoh ini. The Big Sick juga adalah tentang kerumitan keinginan anak beradu dengan keinginan orangtua. Seperti keluarga bahagia normal di Pakistan, keluarga Kumail yang tinggal di Amerika adalah keluarga yang taat terhadap peraturan agama dan peraturan sosial. Lewat tokoh Kumail, film ini menggambarkan pemeluk Islam sebagai tidak selalu serius seperti yang sering diduga oleh orang-orang Amerika. The Big Sick enggak ngasih pandangan yang menyudutkan, malahan film ini menangkap perjuangan identitas seorang imigran seperti Kumail dengan menghibur.

Kumail adalah muslim dengan pola pikir barat. Dia tidak mengerti kenapa dia harus sholat lima waktu, dengan diketahui oleh orangtuanya. Dia makan ati setiap kali kerjaannya sebagai stand up komedian disebut-sebut di meja makan mereka. Dia juga struggle untuk enggak langsung kabur balik ke kos setiap kali ibunya mengundang cewek pilihan untuk makan di rumah. Heck, Kumail bahkan disuruh manjangin jenggot kayak adiknya, meski dia udah bilang beberapa kali jenggot membuat wajahnya gatal-gatal. Stake yang tersaji adalah jika orangtua udah gak demen banget sama pilihan Kumail, dia akan ditendang dari silsilah keluarga, tidak akan ada lagi kerabat yang boleh bicara kepadanya.

Banyak dari kita yang dibesarkan oleh orangtua dengan tuntutan sebagai pupuknya. Kita diharapkan untuk menjadi sesuatu, memilih jalan hidup yang bener karena orangtua tahu yang terbaik. Makanya, banyak anak-anak yang tumbuh menjadi orang dewasa dalam keadaan takut-takut mereka mengecewakan orangtua. Susah untuk bikin orangtua bahagia. Susah untuk mendapat restu mereka, namun kita paham itu adalah hal yang penting, terlebih karena dalam agama Islam restu orangtua adalah restu Allah. Dan ini ditangkap dengan elok oleh The Big Sick karena pada akhirnya film ini menyentuh lebih dari sekadar romansa yang sangat lucu.

 

 

Di sinilah keindahan penulisan naskah menunjukkan perannya. The Big Sick tidak pernah mempersembahkan diri sebagai tontonan yang super serius. Dia tidak pretentious, enggak bermaksud totally ngajarin penontonnya. Komedi yang dihadirkan sangat real. Interaksi para tokoh tertangkap dengan mulus dan natural, bahkan terkadang film ini terlihat seperti semi dokumenter. Kita seperti menyimak percakapan beneran. Makanya film ini jadinya lucu banget, bukan semata karena diangkat dari kisah nyata, melainkan juga DIBANGUN TANPA PRETENSI. Beberapa adegan tampak seperti dimprovisasi gitu aja. Dengan chemistry luar biasa, tidak pernah terasa aktor-aktor tersebut overdoing akting mereka, hanya untuk jadi dramatis ataupun supaya lucu. Namun bahkan ketika aspek cerita yang lebih kelam dan sedikit lebih kuat hadir, mereka masih menemukan cara untuk memancing bibir kita tertarik membentuk garis senyuman.

Temanya sungguh real dan relevan dan relatable, kita sudah banyak mendapatkan film tentang hubungan cinta beda-budaya seperti ini. Film klasik Guess Who’s Coming to Dinner (1967) bisa dijadikan pioneer, atau kalo mau lebih deket lagi ada Ernest Prakasa dengan Ngenest (2015) yang menilik perbedaan sebagai momok yang walaupun kita berusaha cool about it, tetapi tetep ada dampaknya secara emosional. Awal tahun kita mantengin Get Out (2017) yang dengan kocaknya mengamplify ketakutan terhadap clash of culture dan ironisnya masalah rasisme. Dalam The Big Sick kita melihat Kumail yang menghadapi masalah seperti saat dia tampil ngestand-up, ada penonton yang merujuk ke stereotype teroris. The Big Sick  juga memiliki elemen yang membuat film ini berbeda dari film-film bertema serupa. Romantis dalam film ini bukan sekedar datang dari adegan dua sejoli tokoh kita saling cuddle di tempat tidur, mereka pacaran, kemudian berantem, terus balikan. Kejadian di babak kedua membuat film ini menjadi orisinal karena membuat Kumail harus menghabiskan banyak waktu dengan keluarga Emily yang sangat, sangat kocak. Secara personal, Kumail menjadi deket banget sama kedua orangtua ini, dia belajar banyak tentang masalalu Emily, hubungannya dengan kedua orangtua, serta Kumail mengerti apa yang terjadi di antara kedua orangtua Emily itu. Dan itu menjadi bahan pembelajaran yang lebih berharga lagi buat dirinya dalam kaitannya dengan menyintai orangtuanya sendiri.

kalo mau jadian ama cewek, deketin dulu orangtuanya hihi

 

Masalah yang bisa kutemukan buat film ini adalah pada durasinya. Menjelang babak ketiga bakal terasa panjaaaaaaang banget, sebab ada banyak sekuens yang tampak hendak menuju ke suatu titik, seperti ngetease akan terjadi sesuatu, tapi ternyata enggak. Sebenarnya ini lebih kepada masalah kodrat film ini sebagai kisah nyata. Susahnya mengulas dan mengritik film-film dari kisah nyata adalah akan tiba masanya bagi kita, saat menonton, untuk mempertanyakan sejauh mana porsi bagian nyata yang ditampilkan oleh film. Ketika ada suatu adegan yang lucu, misalnya, kita jadi ingin tahu apa memang benar di kejadian nyata seperti ini, mereka simply nunjukin dengan detil, atau mereka menambahkan bumbu-bumbu penyedap. Saat menjelang dan pada babak ketiga, banyak adegan yang membuatku bertanya seperti demikian, sehingga cerita rasanya sedikit terseok.

 

 

 

Amazing performances dari Kumail Nanjiani, Zoe Kazan, Ray Romano, Holly Hunter menghidupkan film dari kisah nyata ini menjadi benar-benar menggelora, karena kalo ada nilai kuat maka itu adalah komedi romansa ini sama sekali tidak prententious. Ini juga sangat lucu. Percakapannya terasa real. Akan ada banyak adegan ketika praduga dan konflik yang timbul dari perbedaan budaya dan agama, mereka harus work out their differences, namun sama sekali tidak pernah ditangani dengan klise. Dia juga tidak jatuh dalam jurang menghakimi ketika memperlihatkan struggle Kumail sebagai ‘alien di Amerika’. Tidak ada momen mereka meledak penuh emosi. Film ini sangat light-hearted meskipun tetap punya bobot emosional yang sangat kuat. Dan babak keduanya berhasil membuat film menjadi stand out. Itulah yang membuatnya menjadi menarik.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for THE BIG SICK.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

PHOENIX FORGOTTEN Review

29 Saturday Jul 2017

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2017, drama, family, found-footage, horror, mystery, real life, review, spoiler, supranatural, thought, UFO

“The truth is out there.”

 

 

Ada dua jenis manusia bumi;  yang dengan semangat ngegosipin alien (apalagi kalo sambil ngemil gorengan), dan yang skeptis. Either way, penampakan alien selalu adalah topik yang menarik. Dan sangat menjual, tentunya. Kalian sering kan ketemu artikel semacam “7 Bukti Kita Tidak Sendirian Di Dunia Ini” atau “8 Orang Terkenal yang Pernah Diculik Makhluk Luar Angkasa”, well yea, aku biasanya akan ngarahin mouse ke judul itu, dan ngelik, dan membaca artikelnya untuk beberapa menit ke depan. Para believer masuk karena bukan hanya penasaran sama Alien, kita juga pengen nyimak berbagai teori konspirasi yang menyertai di baliknya. Bahkan untuk para skpetis, pembahasan tentang UFO menjadi sangat menantang karena mereka ingin membuktikan diri mereka benar.

Dan untuk urusan film tentang penampakan alien, aku biasanya termasuk golongan skeptis. Apalagi kalo filmnya memakai gaya found-footage alias first-person view. Biasanya sih, film kayak gini cuma ngandelin jumpscare dan berbagai teknik filmmaking murahan lain untuk meraup sebanyak mungkin untung yang mereka bisa dari ketertarikan natural manusia terhadap hal-hal supranatural. Kita udah paham deh, ‘aturan main’ film-film genre begini.

Sekilas, Phoenix Forgotten mungkin memang terlihat  niru-niruin The Blair Witch Project (1999). Ini bahkan bukan film pertama yang mengeksplorasi fenomena misteri Phoenix Light yang BENERAN TERJADI DI ARIZONA TAHUN 1997. It was a very interesting world phenomenon. Ratusan orang mengaku melihat barisan bola cahaya misterius yang membentuk formasi V, melayang di langit malam Arizona. Dokumentasi tentang ini banyak banget. Dari yang pernah aku baca, katanya Pemerintah setempat mengklaim hal tersebut hanyalah salah persepsi yang berkembang menjadi hoax yang dibesar-besarkan. Cuma lampu flare dari pesawat militer, katanya sambil berkelakar. Namun setelah Beliau hengkang dari jabatan, Governor tersebut mengaku sebenarnya dia enggak tahu persis tentang kejadian tersebut. Kontroversi dan teori pun menjadi semakin liar oleh ini. Phoenix Forgotten memasukkan aspek-aspek ini ke dalam narasi. Akan tetapi, nama Ridley Scott di barisan eksekutif produserlah yang terutama membuat aku tertarik nonton film ini.

Dan aku enggak menyesal udah nonton.

And if the name Ridley Scott sounds too alien to you, well yea…

 

Narasi film ini mengejutkanku; efektif sekali. Ceritanya ada tiga anak remaja yang di tahun 1997 menghilang gitu aja. Mereka diketahui sedang dalam ‘misi’ mengejar jejak cahaya misterius yang muncul di langit beberapa waktu sebelumnya. Peristiwa hilangnya mereka diceritakan, dikenang kembali oleh adik dari salah satu remaja. Penceritaannya dipersembahkan bergaya dokumenter, dan kita akan ngikutin si adik yang sekarang udah gede, mengunjungi berbagai tempat dan menginterview beberapa orang yang dulu pernah bertemu dengan kakaknya, atau yang mungkin ada hubungannya dengan sang kakak, ataupun yang dulu pernah melihat cahaya misterius itu. Masa kini dan masa lalu digabungkan as kita turut menonton kaset-kaset video buatan tiga remaja tersebut – berisi perjalanan ekspedisi mereka – yang ditonton oleh si adik yang gedenya diperankan oleh Florence Hartigan yang sempet aku sangka si Spencer dari PLL, namun ternyata adalah orang yang berbeda.

Misteri datang dari apa yang membuat tiga remaja tersebut menghilang dan tak pernah terlihat lagi hingga sekarang. Enggak ada seorang pun yang tahu mereka kemana. Aspek ini memberikan bobot emosi kepada cerita. Film-film UFO modern kebanyakan payah dan membosankan karena mereka tidak mengerti apa yang membuat subjek ini menarik. Enggak paham soal apa sih yang membuat genre ini bekerja. Ini bukan sebatas tentang hutan angker, atau jejak dan cahaya tak-dikenal di angkasa. Mereka pikir mereka cukup hanya dengan nunjukin hal-hal menyeramkan, sekelebat sosok alien berjalan di balik jendela, diiringi suara keras, dan mungkin ledakan. Namun UFO dan alien bukan sebatas tentang itu. Yang terbaik di antara film-film (ataupun serial TV) tentang Alien selalu adalah yang membahas tentang PARANOIA SEPUTAR EVENT penampakan atau encounter, lantas obsesi yang timbul dari kejadian tersebut. Phoenix Forgotten benar-benar menangkap dua hal ini dengan sangat baik.

It’s not that kita bego-bego amat, mau aja percaya sama hal di luar nalar seperti keberadaan Alien. Kita ingin percaya akan hal tersebut. Di luar kesadaran, sebagian kita ingin Alien yang kita sangsikan, benar-benar ada. Kita terobsesi sama ide bahwa ada kehidupan lain di luar sana. Dan ini sama sekali enggak ada hubungannya dengan kita ingin our belief yang benar, namun ini lebih kepada rasa ingin tahu dan naluri berpetualang yang sama besarnya. Bayangkan berapa banyak kemungkinan hidup kita akan berkembang menjadi  who knows what jika Alien benar-benar ada. And lets face it, untuk membuktikan itu saja entah berapa banyak terobosan yang sudah dicapai oleh umat manusia atas nama ilmu pengetahuan dan teknologi. Intinya adalah, enggak ada ruginya ngomongin Alien.

 

 

Jika kalian suka sama hal-hal berbau konspirasi, or just like mystery overall, film ini bisa dijadikan pilihan yang bagus untuk ditonton saat senggang. Tapi yah, memang bisa sedikit bias sih. Elemen terobses dan paranoia film ini dapat berbalik menjadi too much juga.  I mean, I do feel related ama film ini karena aku suka baca-baca dan riset tentang misteri UFO. Walaupun unfortunately aku belum pernah ngeliat UFO, justru mama dan adekku yang pernah. Jadi sekitaran taun 2004an, mereka pulang dari lari pagi sambil heboh kayak histeris massal. Mereka mengaku melihat barusan lampu-lampu di langit yang terbang dengan kecepatan lambat banget menjadi wwuuuussshhh!! Ngebut tapi sunyi. Adekku sempat ngerekam lewat hapenya, namun entah karena teknologinya jelek entah karena UFO beneran, hasil rekamannya malah gelap gulita dengan bunyi desingan kayak mesin di latarnya. Miriplah sama suara efek UFO dalam film ini.

Sejak itu, aku jadi penasaran pengen liat UFO, jadi aku mengerti darimana rasa obsess salah satu tokoh remaja yang menghilang itu berasal, meski enggak sepenuhnya tereksplor oleh cerita. Dia ngefilmin semua dokumenter tersebut, kita bisa merasakan penasaran dan obsesnya tumbuh dan terdevelop dengan baik. Ada momen-momen ketika mestinya dia lari, namun dia ingin tetap bertahan, dia cuma mau dapat lima menit rekaman lagi to hopefully mendapat yang ia cari dan membuat keingintahuannya terpuaskan.

Kamera, rolling, …kabuurrr!!!

 

Dua babak pertama menyuguhkan misteri yang sangat compelling. Film ini bekerja jauh dari sekedar tentang anak tersesat dan melihat penampakan alien. Ada drama keluarga yang turut berkontribusi di sana, bahu membahu dengan elemen misteri. Kita akan melihat rekaman tahun 97, diselang-seling dengan kejadian di masa sekarang. Aku menghitung tidak ada satupun jumpscare dalam film ini. It is less a jumpscare fest and more of a mystery di mana tokohnya hanya pengen mencari anggota keluarga yang hilang. Fokusnya ada pada keluarga dan dampak trauma kehilangan anak buat mereka. Agak sedikit goyah sih di babak akhir di mana arc ini berakhir abrupt, dan proses kita mendapatkan final tape juga sangat dipermudah.

 

 

Dengan gaya found-footage, film ini sukses menangkap tiga hal: feel of 1997, trauma kehilangan orang yang disayangi, dan paranoia serta obsesi seputar UFO dan alien. The way penceritaannya dilakukan, mengedit adegan-adegan, membuat ini jadi enak untuk dinikmati. Surprisingly very effective. Mampu membuat kita terinvest. Penampilan akting dan tokohnya pun menarik. Ada bobot emosi di sana. Meski ada juga bagian yang terasa annoying, terutama saat mereka ngulang-ngulang reaksi yang sama saat melihat sesuatu yang ganjil di langit. Mengingatkan kita kembali akan peristiwa fenomenal yang terjadi di Arizona tahun 1997, dan mungkin kita enggak akan pernah tahu apa sebenarnya yang dilihat orang-orang kala itu. Namun untukku, aku ingin orang-orang enggak begitu saja melupakan film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for PHOENIX FORGOTTEN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

DANUR: I CAN SEE GHOSTS Review

30 Thursday Mar 2017

Posted by arya in Movies

≈ 18 Comments

Tags

2017, adaptation, drama, family, friendship, ghost, horor, indonesia, kids, life, real life, review, spoiler, thought

“A friend in need is a friend indeed”

 

 

Siapa sih yang enggak pengen punya sobat hantu yang baik hati. Gagasan memiliki seorang yang deket dengan kita, yang selalu ada, terlebih jika ia punya kemampuan ajaib kayak Om Jin sehingga bisa membantu dalam masalah penting maupun enggak penting, selalu sukses menjadi bahan lamunan yang menarik. Apalagi buat anak kecil kesepian seperti Risa. Ditinggal ayah dan ibu bekerja seharian membuat Risa begitu mendambakan kehadiran teman bermain. Maka, di malam ulangtahun kedelapan yang ia rayakan sendirian di rumahnya yang gede, Risa meniupkan permintaan polos dan lugu, “Aku ingin punya teman”

Memanfaatkan cerita yang berasal dari kisah nyata, like, there’s actually a person in Bandung named Risa Saraswati yang berteman beneran dengan hantu-hantu anak kecil; dia membukukan pengalamannya yang kemudian diadaptasi ke layar lebar, film ini membuat banyak materi menarik untuk promosi. Film ini dikabarkan ditulis ulang, posternya pun diganti, sesuai dengan permintaan hantu yang difilmkan. Well, sepertinya setelah ada film horor yang diproduseri oleh anak kecil, sekarang kita juga punya horor yang diproduseri oleh hantu anak kecil..
Prilly Latuconsina yang memerankan Risa Remaja, menurut laporan film ini, meminta dibukakan mata batinnya supaya ia bisa lebih mendalami karakter yang dia perankan. Dan saat premier film, lima kursi kosong beralas kain putih disediakan di sebelah Prilly, menandakan ada lima ‘undangan spesial’ hadir menyaksikan filmnya. It’s actually menarik melihat UPAYA YANG BEGITU BESAR DALAM MEMPROMOSIKAN FILM HOROR INI. Ah, seandainya ide kreatif yang berlebih tersebut diarahkan untuk membuat film yang lebih berbobot dan lebih enak untuk ditonton.

Sekalian aja kasih promo “reviewer yang ngasi nilai jelek bakal disatroni Peter dan teman-teman”

 

Risa bermain piano sambil menangis sebagai pembuka film adalah adegan yang beneran unsettling. It’s a great scene yang ditangani dengan kompeten, kita ngerasain takut dan bingung, Prilly ngesold tokohnya dengan sangat baik. Actually, walaupun enggak banyak yang bisa dilakukan terhadap karakter Risa dan lain-lain, karena memang ditulis seadanya – polos tanpa penokohan yang berarti, Prilly most of the time berhasil menyampaikan perasaan yang dialami oleh Risa kepada kita. Dia adalah salah satu dari dua bagian terbaik di film ini, namun perlu diingat that’s not really a great achievement buat film ini. Bagian terbaik lainnya adalah penampilan dari Shareefa Daanish yang sekali lagi bermain sebagai tokoh yang amat sangat bikin merinding. Enggak perlu banyak-banyak dipoles, kalo aku dipelototin Shareefa dengan cara yang sama dengan cara Asih memandangi Risa, maka niscaya aku bakal lari pontang-panting. Dia bisa jadi Ratu Horor modern sinema tanah air, namun aku jadi kasian juga kalo-kao Shareefa Daanish enggak bisa move on dari peran peran creepy seperti ini, she’s actually a decent actress.

Slightly good performances enggak lantas membuat film jadi ikut slightly good. Begitupun penampakan hantu yang menggebu enggak seketika bikin film horor menjadi bagus. Genre horor Indonesia mestinya segera melek dan menyadari bahwa horor yang benar-benar nyeremin itu datangnya dari psikologis manusia, bukan semata dari wujud hantu yang berdarah-darah. Horor terbaik selalu adalah cerita yang menggali trauma psikologi, seperti The Shining (1980), The Babadook (2014), atau The Devil’s Candy yang tayang baru-baru ini (2017). Pada Danur, mereka semestinya bisa mengeksplorasi cerita tentang keadaan mental anak yang setiap hari sendirian di rumah. Bisa ditambahkan layer tentang eksistensi Peter dan teman-temannya yang dapat dikaji sebagai fragmen dari imajinasi Risa yang terlalu nyata. Cerita film ini bisa banget berkembang ke arah psikologikal. Akan tetapi, film lebih ngikut ke saran Pak Ujang “Lebih baik langsung panggil dukun saja”, karena sepertinya mereka takut film ini nanti akan jadi lebih berisi.

Babak pertama sepenuhnya didedikasikan buat Risa kecil berkenalan dengan Peter dan dua hantu cilik lain. Diceritakan dengan cerewet lewat narasi voice-over ketimbang mengefektifkan visual storytelling. Penanganan terhadap detil sutradara Awi Suryadi enggak dimanfaatkan maksimal di sini. Padahal adegan bayangan hantu yang beberapa kali ditampilkan cukup serem. Aku juga suka ketika Peter menyebut Jepang dengan Nippon, seperti yang dilakukan orang Belanda beneran pada masa penjajahan.

Tetapi film menemukan zona nyamannya pada orang yang berteriak-teriak memanggil nama keluarganya yang hilang, serta pada jumpscares dengan volume musik yang maksimal. Tidak banyak yang dilakukan oleh Risa ataupun tokoh lain selain kaget, mencari-cari, dan diculik. Risa kecil bakalan mengetahui siapa teman-teman barunya, dan dia akan kaget bersamaan dengan kita belajar apa arti kata ‘Danur’. Dan babak kedua berlanjut dengan Risa yang sudah remaja balik ke rumah itu lagi, kali ini dia ngerawat neneknya yang sakit barengan Riri adiknya. Kemudian Riri juga ngalamin kejadian yang sama dengan Risa sewaktu kecil, Riri berteman dengan makhlus halus lain, hanya saja temannya ini jahat. Riri diculik dan Risa harus mencari adeknya. Sesuatu yang tidak-bisa ia lakukan tanpa bantuan teman-teman lamanya, of course.

hantu-hantu yang lucuu, ke mana engkau terbang?

 

Kita memang enggak bisa ngeliat Peter beneran, tapi kita tentunya bisa dong ngeliat betapa kacaunya skenario film ini. Para tokoh tidak punya motivasi. Tidak ada actual plot. Jikapun ada, seperti Risa, hanya ditulis setipis uban nenek; seharusnya ini adalah tentang anak yang ingin punya teman, tapi yang ia dapat adalah teman hantu. Kita akan melihat arc Risa resolves menjadi dia mensyukuri apa yang ia punya, namun perjalanannya tidak pernah terasa meyakinkan. Ataupun menyeramkan. Film ini lebih ke ngebuild up keberadaan jahat penghuni pohon angker alih-alih pertemanan tulus nan indah yang terjalin antara makhluk beda dunia.

Seberapa jauh kita mengenal teman-teman kita? Bagaimana jika kita tahu rahasia terdalam dan tergelap mereka, apakah kita masih mau berteman dengan mereka? Film Danur bisa kita lihat sebagai kisah seorang anak yang menemukan arti persahabatan. Bahwa teman bukan hanya company untuk bermain dan bersuka ria. Teman yang sebenarnya adalah teman yang ada di sana kala kita membutuhkan mereka.

 

 

Tampak AWI SURYADI SUDAH MENEMUKAN FORMULA HORORNYA. Jika kita tilik, Danur punya ‘tubuh bercerita’ yang sama persis dengan Badoet (2015). It’s about anak-anak yang tertarik sama makhluk astral, kemudian anak tersebut dikendalikan – atau diculik, terus ada flashback tragis si hantu jahat semasa hidup yang dikecam oleh masyarakat, dan kemudian protagonis akan menemukan cara simpel untuk mengalahkannya, yang bakal berhubungan dengan tempat dan benda tertentu. Kita bisa ngeoverlook ini pada Badoet, yah termaafkan sehingga bisa masuk level ‘bisa-lebih-baik-lagi alias 6 dari 10 bintang’ karena film itu actually memanfaatkan set apartemen dan gimmick badut dengan efektif. Yang dilakukan Awi pada Danur, however, cuma hal-hal generik yang sudah lumrah kita temukan di film horor. Pada Badoet, final ‘big-confrontation’nya berlangsung dengan bahaya pada tokoh hanya berupa tangan yang lecet kena sekop. Pada Danur, finalnya terasa sangat gampang dengan tersandung dan pergelangan kaki tegores sebagai rintangan utama.

Tidak ada hal menarik original yang kita temukan di Danur. Film ini penuh oleh tropes dan elemen-elemen dari film horor lain. Badoet juga niruin film lain sih, but this time I won’t fall for that again. Asih di Danur tampak seperti Sadako, apa yang ia lakukan dalam menakuti kayak yang dilakukan Sadako di Ring (juga kayak Samara di sekuel Ring versi Amerika, sampe ke bak mandinya), even mulut nganga Asih ekspresinya mirip ama tampang korban Sadako. Bel di tangan nenek yang sakit is very well be elemen yang dicomot dari The Uninvited (2009). Seriously, kepentingan tokoh nenek ini apaan sih? Dia sakit apa juga gak disingggung, yang kita tahu hanyalah si nenek gak bisa bicara karena dia takut make upnya yang kayak kulit Groot jadi rusak. Bagian permohonan Risa kecil yang terwujud ngingetin kita sama Krampus (2015) atau Home Alone (1990). Dan perjalanan Risa ke dunia lain di babak ketiga udah kayak pengadeganan parody dari franchise Insidious.

On a lighter note, aku ada sedikit saran buat kalian:

kalo-kalo ada yang punya kemampuan ‘melihat’ seperti Risa, maka janganlah sekali-kali menjawab pertanyaan wawancara kerja dengan begini:
Interviewer: “Apa kelebihan Anda?”
Kamu: ( berbisik dramatis) “I see things that nobody else sees…”
I did try it once, you know, buat cairin suasana, and the interview didn’t go well hhihi

 

 

Kalian tahu kalian sudah bikin kerja yang buruk jika film horor yang kalian buat malah bikin penonton di studio ketawa ngakak. Syut Asih yang berdiri diam di mana-mana tidak bisa terus-terusan seram. Adegan horor haruslah ada build up, enggak bisa melulu dikasih klimaks penampakan jeng-jeng!

Film ini berusaha terlihat berkonten lokal dengan lagu tradisional Boneka Abdi, namun bahkan lagu tersebut overused; di lima-belas menit pertama saja kita sudah mendengar lagu ini lebih dari tiga kali. Aura mistis dan nuansa misterinya jadi hilang. Awi Suryadi juga ingin menggunakan formula yang sama dengan Badoet yang moderately sukses, but formula tersebut sejatinya enggak bagus-bagus amat sedari awal, dan di film ini terbukti gagal. Ada menaruh perhatian pada detil, sayangnya malah mengisi dengan tropes dan jumpscares dan elemen film lain tanpa ada penggalian yang baru, membuat film ini jadi enggak berbobot. Tidak ada layer, karakter serta plot yang tipis, perspektif Risa disia-siakan. Jika kalian mengharapkan horor yang membahas pertemanan dua alam yang benar-benar menyentuh dan grounded, kalian tidak akan mendapatkannya di sini. Dan sehubungan dalam semangat Hari Film Nasional, sepertinya sudah tiba waktu bagi film Indonesia, dalam kasus ini film horor, untuk menganggap kritikus dan reviewer sama seperti Peter; sebagai teman yang sekalipun menyeramkan, namun sejatinya hanya ingin membantu.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for DANUR: I CAN SEE GHOSTS

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

LION Review

25 Saturday Feb 2017

Posted by arya in Movies

≈ 1 Comment

Tags

2016, 2017, Australia, awards, drama, family, India, love, oscar, real life, review, spoiler, thought, true story

“Sometimes direction you never saw yourself going turns out to be the best road you have ever taken.”

 

lion-poster

 

Delapan-puluh-ribu lebih anak-anak India hilang setiap tahunnya. Nyasar, tak-tau jalan pulang ke rumah, terpisah dari keluarga. Jalanan yang penuh orang acuh-tak acuh dan potensi abuse lah yang menunggu mereka. Saroo pernah menjadi salah satu dari angka delapan-puluh-ribu. Saat masih kecil, Saroo yang tertidur di stasiun kehilangan jejak sang abang dan malah terangkut sebuah kereta api hingga beribu-beribu kilometer jauhnya. Hanya bisa bicara dengan bahasa India, kata-kata minta tolong dari mulut Saroo kecil tidak bisa dimengerti oleh orang-orang di Kalkuta, tempat kereta ‘tumpangan’nya berhenti, yang berbahasa Bengali. Jikapun ada yang nyambung diajak ngobrol, Saroo tetep repot lantaran dia bahkan enggak bisa nyebutin nama kampungnya dengan bener.

Adalah pemeran Saroo kecil, Sunny Pawar, yang akan membuat kita truly merasakan perasaan terasing di bawah langit India. Film panjang pertamanya ini membuktikan kepiawaian Garth Davis menarik keluar penampilan-penampilan yang begitu meyakinkan. Melihat Saroo berjalan tanpa tahu arah, serta merta aku jadi kagum juga. Bayangkan, ini DIANGKAT DARI KISAH NYATA; Saroo dan anak-anak yang masih ilang, bener-bener sendirian di luar sana. They don’t know anything. Bagaimana mereka bisa bertahan, apa yang mereka hadapi, all of that was so scary. Aku waktu kecil baru nyasar di pasar aja udah jejeritan sejadi-jadinya.

Butuh keberanian yang tak kalah gedenya bagi sebuah film meletakkan kepercayaan kepada aktor cilik baru yang baru berusia lima tahun (!) untuk memainkan cerita dengan compelling. Davis paham bahwasanya bahasa tidak harus jadi masalah, jadi dia berbicara lewat pengalaman dan ekspresi manusia. Dan memang hanya itulah yang menggandeng kita mengikuti Saroo kecil terlunta-lunta di jalan, mengandalkan insting dan sepersekian detik keputusan ‘pintar’nya untuk bertahan hidup. Kita enggak perlu ngapalin isi kamus bahasa india, kita enggak really butuh subtitle, malahan kita bisa nonton ini tanpa suara, dan tetap mengerti; merasakan apa yang terjadi di layar. Tidak ada adegan yang overdramatis, kayak Saroo ujan-ujanan – atau ampir diterkam singa beneran, so to speak. Sunny Pawar dipercaya untuk memberikan emosinya lewat gestur, ekspresi, ataupun hanya dengan tatapan mata. Yang dilakukan Sunny Pawar dengan sangat amazing, terlebih mengingat lebarnya rentang emosi yang dialami oleh tokohnya sepanjang film. Image Saroo makan boongan bakal terpatri lama di benak kita. Jika pada awalnya mungkin film ini sedikit bertaruh, maka pastilah setelah melihat hasil presentasinya, film ini berbalik jadi berutang budi kepada Sunny Pawar.

Pertengahan pertama adalah di mana kita akan dibuat mengerti kenapa film ini pantas berdiri mejeng sebagai nominasi Best Picture Oscar 2017. Visi sutradara Garth Davis mengaum lantang dalam setiap frame bidikan kamera. Sudut pandang bocah kecil itu tergambar syahdu. Didukung juga oleh sinematografi yang sungguh menawan throughout. Film ini precise dalam netapin timing kapan harus mengambil jarak. Begitupun penempatan hal-hal kecil, seperti burung yang terbang di ambang jendela, menjadi sarana penghantar cerita yang subtle tanpa harus repot-repot memaparkan.

dinding kamarku bakal penuh kalolah aku ngecapture shot-shot indah film ini dan memajangnya kayak lukisan

dinding kamarku bakal penuh kalolah aku ngecapture shot-shot indah film ini dan memajangnya kayak lukisan

 

Tidak hanya sampai di situ. Saroo kemudian diadopsi oleh pasangan suami istri yang tinggal di Australia. Semakin jauhlah dia dengan keluarga aslinya, yang sampai saat itu Saroo tidak tahu bagaimana keadaan mereka. But at the same time, Saroo menemukan keluarga baru. Paruh kedua film mengajak kita melihat Saroo dewasa deal with problematika identitas saat dia teringat kampung namun enggak yakin gimana harus menceritakan asal muasal ia yang sebenarnya kepada orangtua asuh. At one point Saroo benar-benar menyembunyikan tindakannya dari keluarga angkat. Dia bahkan jadi kasar sama saudara tirinya, yang merupakan cara film ini ngeintegralkan hubungan Saroo dengan abang aslinya.

Aku suka gimana film ini menggunakan overlapping visual untuk membandingkan keadaan Australia dengan India, membenturkan keadaan Saroo kecil dengan Saroo dewasa. Pemandangan seperti demikian sebenarnya adalah sebuah simbol keadaan Saroo yang berada di tengah-tengah kedua budaya. Film ini adalah bukan soal perjalanan pulang ke rumah. Ini adalah cerita pergolakan seseorang yang terombang-ambing antara tempatnya berasal dengan tempat yang sekarang sudah menjadi rumah baginya. Sejak dari kecil, Saroo selalu merasa ia berada bukan pada tempatnya. Derita dan bingung Saroo mencapai puncak ketika ia dewasa sampai dirinya belajar untuk – sekali lagi dihadapkan kepada pilihan – memilih salah satu atau mencoba menyatukan kedua ‘rumah’nya.

Bukan berarti kita harus pernah diadopsi dulu buat bisa ngerasain yang dialami oleh Saroo. Orang-orang yang pernah merantau, ataupun dalam perantauan, pasti mengerti.
Mengerti alasan kenapa harus pulang.
Mengerti siapa saja yang kita rindukan dan yang merindukan kita.
Mengerti bahwa keluarga adalah segala hal yang kita usahakan untuk menjadi rumah.

 

Dev Patel melakukan usaha yang bagus memainkan ‘cela’ dan konflik Saroo, dia menjaga cengkeraman kita tetap erat as Saroo berinteraksi dengan orang-orang baru yang ia cintai dalam hidupnya. Tapi tongkat estafet film ini tampaknya jatoh kesandung tulisan “20 tahun kemudian”. Cerita kedua ini enggak bisa bersanding dengan cerita pertama. Dibandingkan dengan saingan Oscarnya, Moonlight (2016) yang juga nampilin perjalanan hidup tokoh dari kecil hingga dewasa, Lion terasa kurang mulus. Rooney Mara turut bermain dalam film ini, she’s very good, namun tokohnya enggak punya arc. Dia cuma pacar tempat Saroo bersandar, dan enggak nambah banyak-banyak amat buat cerita. Bagian kedua kehidupan Saroo ini diselamatkan oleh penampilan akting Nicole Kidman yang berperan sebagai ibu angkat Saroo. Percakapannya dengan Saroo, beliau menjelaskan alasan kenapa dia mengadopsi anak berkulit coklat dari benua lain, adalah dialog yang paling kuat dan menyentuh dari seantero film. Nicole Kidman sendiri aslinya adalah ibu asuh beneran, jadi semua yang tokohnya katakan berdering oleh emosi yang feels so true.

Saroo mirip Rano Karno masih muda ga sih haha

Saroo mirip Rano Karno masih muda ga sih haha

 

Hubungan antara berkah dan derita terkadang begitu rumit dan membingungkan, sehingga kita tak menyadari pengaruhnya sama sekali. Dalam film ini, keseimbangan dua hal tersebut dibahas dalam bahasa sinema yang jujur dan powerful lewat Saroo yang menemukan, setelah kehilangan. Saroo mesti nyasar dulu sebelum dia menyadari keberkahan dua kali lipat dari yang bisa ia dapatkan sebelumnya. Berkah yang juga dirasakan oleh orang-orang sekitar Saroo yang terus merindukan cinta yang bersemayam di dalam tragedi.

 

To be honest, meskipun memang sebenarnya Lion adalah FILM YANG INTIMATE DAN SENSITIF dan relatable bagi banyak perasaan rindu, buatku film ini terasa rada pretentious. Gini, Lion ini kayak dua cerita yang berbeda; bagian pertama Saroo kecil yang kehilangan keluarga, dan bagian kedua tentang Saroo besar yang berusaha menggenggam kedua keluarganya. Aku ngerasa film ini berangkat dari kisah menakjubkan Saroo yang berhasil menemukan keluarga aslinya. Hanya saja mereka enggak bisa bikin cerita just around Saroo duduk galau ngulik google map, bikin papan investigasi kayak detektif. That would make a boring story. Buktinya, dalam film ini memang ada bagian ketika Saroo dewasa mengurung diri, dia menggunakan teknologi dan kepintarannya menemukan lokasi kampung halaman yang dulu tak-lurus ia sebut namanya. And it was nowhere near as engaging and compelling as bagian Saroo kecil. Jadi, film ini butuh sesuatu untuk bikin cerita lebih nendang. Mereka memutar kepala looking at the real issue there; Saroo adalah satu dari delapan-puluh-ribu, and they used that. Craft cerita dari sana, gunainnya sebagai hook identitas film. Namun toh, Saroo hanya satu yang beruntung dari delap…who knows sekarang jumlahnya jadi berapa. It did feels film ini enggak really doing anything kepada isu tersebut. They just gain more advantages dengan campaign segala macam. If anything, film ini memperlihatkan anak-anak yang hilang itu bakal pulang sendiri; siapa tahu kali aja kehidupan mereka bakal jadi lebih baik kayak Saroo. I mean, apa yang kita selebrasi jika film ini mendapat penghargaan di Academy nanti?

 

 

Mengatakan film ini berakhir setelah satu jam pertama sesungguhnya agak sedikit mendramatisir. Karena meski ceritanya kayak terbagi dua bagian – dengan drama paruh paling penting tidak pernah semenarik dan semeyakinkan bagian pendahulunya; keintiman hati, dan sensitifitas film ini terus menguar sepanjang durasi. Membuat film ini mudah dimengerti, membuat kita merasakan empati. Begitu powerful sehingga kita ikut merasakan terdiskonek, yang not always menjadi hal yang bagus. As in, film ini jadi kadang terasa mengaum ke arah yang salah.
The Palace of Wisdom give 7 out of 10 gold stars for LION.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Hacksaw Ridge Review

07 Monday Nov 2016

Posted by arya in Movies

≈ 3 Comments

Tags

2016, action, drama, faith, gore, history, life, love, real life, relationships, review, spoiler, thought, violence

“Just because you have all these moral qualms and feel bad over stuff, that doesn’t make you a coward.”

 

hacksawridge-poster

 

Mungkin menjadi pribadi unik memang penting, namun kita enggak akan pernah bisa seunik dan sekeren Desmond Doss. Beneran deh, dibandingkan dengan yang dilakukan prajurit perang itu, sikapku yang menolak nonton sepakbola enggak ada apa-apanya. Desmond Doss ingin mengabdi kepada negaranya, menjadi tentara, turun ke medan perang, tapi dia dengan tegas bilang tidak mau mengangkat senjata. No matter what. Doss ingin berada di sana bukan untuk mengambil nyawa. Ia ingin menjadi petugas medis supaya bisa menyelamatkan orang-orang sebanyak yang dirinya mampu. Dan tidak ada satu hal pun yang sanggup membelokkan Doss dari niat mulianya tersebut.

Mau tau yang lebih keren daripada prinsip Desmond Doss? Fakta bahwa ini adalah KISAH NYATA. Perang Okinawa itu ada dalam sejarah Perang Dunia Kedua, it was really terrible – semua perang adalah hal yang sangat buruk, orang-orang berguguran – dan ada satu pria berdiri di sana mencoba untuk melakukan sesuatu demi kebaikan. Pria yang tubuhnya hanya segede batang jagung berlarian ke sana kemari, tanpa sepucuk pun senjata untuk melindungi dirinya sendiri, menyelinap di antara hujanan peluru, melesat di sekeliling ledakan granat, bolak-balik di medan pertempuran penuh jerit kesakitan yang memilukan, demi menyelamatkan manusia yang terluka. And he’s real; dia manusia biasa tanpa superpower yang benar-benar melakukan itu semua. Kalo hati kalian enggak terenyuh melihat adegan dia menggendong tubuh penuh luka dengan penuh tekad dan dedikasi, maka hati kalian pastilah ketinggalan di rumah.

Aku berjalan dalam hening keluar dari studio. Tenggelam dengan khidmat oleh imaji-imaji dan segala pikiran tentang karakter yang baru saja aku saksikan. Segitu hebatnya film ini! Hacksaw Ridge tidak meninggalkan satupun elemen emosi untouched saat menceritakan kisah hidup penyabet Medal of Honor tanpa menembakkan satu pun peluru ini, yang actually sangat menyentuh dan keren. Ini adalah kisah beneran tentang gimana hubungannya dengan keluarga, gimana ia bertemu dengan the love of his life. Ultimately, ini adalah cerita tentang perjuangan Desmond Doss meyakinkan seluruh dunia bahwa ogah memegang senjata bukan berarti dia adalah pengecut. Because, obviously, he was one of the bravest man that has ever resides on our planet Earth.

Cerita perang yang hebat selalu membahas mengenai dilema kemanusiaan dari hati nurani. Desmond Doss adalah seorang pria dengan keyakinan agama yang begitu kuat dan film ini menggambarkan pergulatannya dalam mempertahankan keyakinan dan kepercayaan tersebut. Namun tidak pernah sekalipun film ini mengatakan kita harus memiliki pandangan yang sama dengan Doss. Fokusnya adalah untuk memperlihatkan kepada kita keyakinan adalah sesuatu yang harus kita pertahankan, walaupun banyak tantangan. Kita lihat Doss dibully karena prinsipnya. Mempertahankan apa yang kita percaya actually is a hard thing to do.

 

Aku suka gimana film ini tidak begitu saja mencap Doss sebagai yang mutlak benar. Kita diberi kesempatan untuk bisa mengerti kenapa teman-teman angkatannya menganggap Doss sebagai pengecut; Karena prinsip Doss yang enggak mau mengangkat senapan untuk alasan apapun sudah menyinggung mereka, seolah Doss seoranglah yang punya nurani. Mereka menganggap menurut Doss tidak mengapa dunia menjadi neraka asalkan dia bisa menjaga moralnya, tetap sebagai orang suci. Konflik yang dihadirkan dalam film ini memang luar biasa. Juga bisa dibilang FILM INI BERPERANG MELAWAN DIRINYA SENDIRI. Kita punya protagonis yang menentang kekerasan, sebaliknya filmnya sendiri menghadirkan adegan-adegan perang yang mengerikan dan sangat brutal. Singkatnya, ADEGAN PERANG HACKSAW RIDGE SANGAT REALISTIS.

Hacksaw Ridge menggambarkan perang seperti sebuah film horor. Nyeremin banget. Kita belum lagi melihat sekuens pertempuran sedisturbing dan se-in-the-moment begini sejak Saving Private Ryan (1998). Visualnya berdarah dengan banyak potongan badan berceceran di sana sini. Dan mata-mata kosong para mayat itu.. hiii!! Enggak nahan-nahan deh pokoknya. Film ini goes all-out dalam ngereka adegan pertempurannya. Bakal bikin kita merinding. Ada salah satu yang paling menegangkan yaitu pas adegan Doss keluar dari lubang persembunyiannya lantaran keadaan sekitar begitu pekat oleh asap, namun kemudian asapnya mulai memudar dan dari kejauhan tampak tentara Jepang mulai bergerak, posisi Doss jadi terbuka di luar sana, kemudian seisi studioku ngeluarin suara tercekat karena pada ngeri Doss sampai ketahuan.

aku nyaris tutup muka loh

aku sampe tutup muka loh

 

Mel Gibson membuat kita merasa seolah sedang menonton film tahun 60an atau 70an (dengan peralatan modern dan teknologi mutakhir) berkat directingnya sehingga Hacksaw Ridge terasa begitu old-fashioned. Kalo mau dibandingkan, yaaah film ini sedikit lagi deh bisa melebihi karya paling epik dari Gibson; Braveheart (1995). You know, the way Gibson menggerakkan kamera, dia memungkinkan setiap adegan bercerita hanya dengan para aktor berekspresi dan menunjukkan emosi tanpa banyak berbicara. Gibson membiarkan emosi para pemainnya meresap ke dalam setiap frame.

Hebatnya, ARAHAN MEL GIBSON SUKSES MENGELUARKAN YANG TERBAIK DARI PARA PEMAIN. Andrew Garfield sebagai Desmond Doss memberikan penampilan terbaik sepanjang karirnya. Aku sendiri suka sekali dengan gimana dia berbicara, aksennya benar-benar worked here. Garfield sangat menakjubkan dalam adegan-adegan perang itu. Ketika Doss benar-benar sudah di medan perang, dia berada di tengah-tengah tumpah darah tersebut, dia begitu shock, dan kita bisa melihat ketakutan dia enggak bisa nyelametin semua merekah dari dalam hatinya. But even better, adalah relationship antara tokoh Andrew Garfield dengan tokoh Teresa Palmer. Palmer di sini meranin Dorothy, suster kece, dan penampilannya pun adalah salah satu yang terbaik sepanjang karirnya. Doss dan Dorothy ketemu pertama kali di rumah sakit dalam sebuah adegan awkward-kocak khas orang jatuh cinta, dan dari sana hubungan mereka menjelma menjadi sebuah relationship yang sangat charming. So sweet banget, deh!

Bahkan peran-peran yang minor juga dimainkan dengan teramat baik. Favorit semua orang jelas adalah Vince Vaughn yang jadi drill sergeant. Actually adegan mereka latihan mirip-mirip sama latihan di Full Metal Jacket (1987). Penuh bentak-bentak, Vince Vaughn gold banget di komedi one-liner kayak begini. Perannya enggak sebatas neriakin kata-kata hinaan kocak di depan muka para kadet. Dia punya banyak momen serius juga di sini, yang dimainkan dengan pretty good. Personally, penampilan pendukung favoritku di sini datang dari Hugo Weaving. This is one of the best performance on this entire film. Kalo biasanya kita melihat Hugo mainin karakter yang easily likeable kayak V di V for Vendetta (2006), he’s a lot of fun. Di film ini dia memberikan penampilan yang keras, penuh oleh emosi yang really powerful sebagai ayah Desmond. Bapak ini dealing with alcohol, beliau mantan pejuang Perang Dunia Pertama di mana teman-teman seperjuangannya gugur di medan perang. Makanya kita ngerasain sekali gimana bingungnya tokoh ini ketika kedua anaknya malah memutuskan untuk mendaftar sebagai prajurit. Kita merasakan khawatir di balik amarahnya, he was so great, penampilannya bakal nge-blown kita semua.

Karakter Doss ngingetin aku sama Cassie di Animorphs

Karakter Doss ngingetin aku sama Cassie di Animorphs

 

 

Seperti layaknya film-film yang diangkat dari tokoh nyata, kita bakal dikasih liat nasib para tokohnya lewat tulisan-tulisan yang menerangkan semua. Film ini begitu sukses bercerita dan bikin kita peduli, sehingga rasanya kurang aja kita enggak dikasih kesempatan ngerasain beberapa arc para tokoh secara on-screen. Contohnya abang si Doss, we don’t get to see what actually happened to him. Problemku cuma itu sih, film ini really affected me. It is a really strong storytelling.

 

 

 

“Tuhan, tolong kasih aku kesempatan menyelamatkan satu orang lagi” kalimat yang terus digaungkan oleh Doss di pertempuran. Dia bahkan menyelamatkan tentara musuh. This is a very cool story about a very cool personality yang memegang teguh dan mempertahankan prinsipnya. Dan Mel Gibson membuktikan sekali lagi kepiawaiannya di belakang kamera. Arahan yang sangat gritty, adegan perang yang tergambarkan sangat brutal dan realistis. Salah satu film terbaik tahun ini. Salah satu film perang terbaik yang pernah ada!
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for HACKSAW RIDGE

 

 

 

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Mr. Church Review

29 Saturday Oct 2016

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2016, adaptation, drama, family, friendship, life, love, novel, real life, relationship, review, spoiler, thought

“Everyone has three lives: a public life, a private life, and a secret life.”

 

mr-church-movie-poster

 

Eddie Murphy probably adalah salah satu dari performer paling berbakat yang masih hidup sekarang ini. Sudah bertahun-tahun dia membuktikan dirinya mampu memainkan peran dengan genuinely kocak. Sayangnya Murphy kerap membuat pilihan buruk kalo udah menyangkut soal film. You know, Dr. Dolittle (1998), The Haunted Mansion (2003), and – yea it’s getting worse – Norbit (2007). Murphy lantas pernah mengeluarkan pernyataan bahwa dia enggak mau lagi main di komedi-komedi ‘mengerikan’ seperti yang disebutkan barusan. Dia mau fokus membuat film yang lebih baik. Eddie Murphy pun akhirnya mutusin absen dari dunia perfilman empat tahun lamanya. So yea, kupikir kita semua udah gak sabar dan excited banget untuk melihat apa sih yang bisa ia lakukan di film drama tentang KISAH NYATA SEBUAH PERSAHABATAN beda usia dan beda ras ini?

Enggak pake lama, enggak pake sugarcoating, without a doubt, Eddie Murphy adalah bagian terbaik dari film Mr. Church. Perannya di sini adalah sebagai seorang pria yang lembut, dia sangat menahan-nahan ketegasan yang ia punya, dan Murphy memainkannya dengan sangat fantastis. Dari performanya sebagai tokoh yang sangat subdued begini, Murphy mampu berbicara banyak tanpa benar-benar banyak bicara. Mr. Church adalah karakter yang menyimpan banyak rahasia. Sebagian besar suspens drama ini dibangun dari kita enggak pernah betul-betul tahu apa yang sesungguhnya ia lakukan di luar frame kamera. Kita akan melihat Mr. Church berjalan melintas malam namun kita enggak seratus persen tahu siapa dan apa yang dia lakukan di balik kerjaannya sebagai tukang masak (yang sangat handal) di rumah keluarga Brooks.

nonton ini dapat mengakibatkan perut keroncongan

nonton ini dapat mengakibatkan perut keroncongan

 

Kalo kalian punya teori tokoh utama sebuah film bisa dilihat dari judul filmnya, maka Mr. Church akan jadi salah satu film yang akan membuktikan teori kalian itu salah. Kita hanya melihat sosok Mr. Church dari sudut pandang gadis kecil bernama Charlotte Brooks, yang ketika sudah gede tumbuh menjadi Britt Robertson. Hehe.

Charlie, nama panggilannya, dulu tidak mengerti kenapa pagi itu dia terbangun dengan mendapati pria berkulit hitam sedang memasak di dapurnya, membuatkan sarapan (yang enak banget!) untuk Charlie dan ibunya. Akan lama bagi Charlie untuk mengetahui bahwa ibunya menderita kanker payudara ganas dan Mr. Church telah menyetujui bekerja untuk keluarga mereka, sebagai orang bayaran dari pria yang secara teknis adalah ayah dari Charlie. Kontrak kerja Mr. Church hanyalah enam bulan, sesuai dengan sisa usia ibu Charlie menurut perkiraan dokter. Tapi sang ibu berjuang keras setiap hari sehingga Mr. Church terus memasak di dapur keluarga itu hingga Charlie lulus SMA. Charlie practically grows up with him. Dan dari yang awalnya enggak suka (Charlie kecil malah enggak mau mengakui kalo ia suka sama masakan Mr. Church), eventually dia menjadi bersahabat baik dengan pria ini. Film ini adalah tentang Charlie yang mengisahkan jalinan persahabatan yang udah seperti keluarga, gimana mereka saling mengubah hidup masing-masing.

Kita semua akan terpesona melihat friendship yang digambarkan oleh film ini. It’s just a REALLY SWEET FRIENDSHIP. Dan teman Charlie bukan hanya Mr. Church seorang. Kita juga akan melihatnya membangun persahabatan-persahabatan indah dengan teman sekolah dan orang di lingkungan rumahnya. Film ini akan gampang disukai oleh banyak orang berkat gambarannya mengenai hubungan sosial yang sangat manusiawi.

“Henry Joseph Church bisa menjadi apa saja yang ia mau. Dia memilih untuk masak. Rahasianya, ia berkata, adalah Jazz.” Mr. Church punya banyak rahasia, baik di resep limunnya maupun di dalam hidup. Rahasianya membuktikan kemandirian. Film ini terus menekankan pentingnya untuk membiarkan kehidupan rahasianya enggak bercampur dengan kehidupan public ataupun kehidupan pribadi. Perlunya untuk menegaskan garis di antara ketiganya. Film ini meminta kita untuk saling menghormati privasi; enggak semua yang terjadi di kehidupan orang lain perlu untuk kita ketahui, enggak peduli seberapa dekat hubungan kita dengannya.

 

Inti drama dan penampilan para pemain jelas bukan jadi masalah dalam film ini. Inti dramanya kuat dan dibeking oleh penampilan yang excellent. Britt Robertson adalah hal terbaik kedua yang dimiliki oleh film ini. Sekali lagi dia nunjukin kepiawaian menjadi karakter yang sungguh genuine. Aku selalu jatuh cinta sama tawa-tawa kecilnya yang nge–khas itu, her reaction was so natural; enggak dibuat-buat. Saking alaminya, kita juga enggak bakal susah melihat persona bratty menguar dari Britt sebagai daughter yang sempet-sempetnya kind of antagonizing sang ibu menjelang kepergiannya. Charlotte kecil juga meyakinkan sekali memainkan tokoh yang gengsi bilang suka dan nyaman oleh kehadiran Mr. Church di rumahnya.

pas udah gede tahilalat di pipi Charlotte ilang loh hhihi

pas udah gede tahilalat di pipi Charlotte ilang loh hhihi

 

Sayangnya, film ini runtuh karena penceritaan yang enggak bisa mengimbangin penampilan para pemain. Naskah film ini PENUH OLEH NARASI. Bukan bermaksud untuk bilang narasi itu buruk ataupun bikin sebuah film menjadi males dan gampang, sih. Ada banyak film hebat yang memakai narasi sebagai penunjang bercerita, American Beauty (1999) atau The Shawshank Redemption (1994), contohnya. If it works, it works. Dalam film ini, however, narasinya membuat kita kehilangan sense of discovery. Setiap kali seorang tokoh menyembunyikan emosinya in some way, film ini tidak mengerti gimana cara untuk membiarkan kita penonton untuk merasakan apa yang sedang terjadi. Ketika di layar kita melihat ekspresi Charlotte atau Mr. Church yang membuat kita ingin memahami apa yang ada di dalam pikiran mereka, maka narasi akan serta merta muncul menjelaskan kepada kita exactly apa yang sedang mereka rasakan. Sehingga kita tidak menemukan perasaan bersama si karakter.

Pun bahasa narasinya terdengar berbeda dari gaya penceritaan dalam naskah film pada umumnya. Maksudku, mendengar kalimat-kalimat tersebut diucapkan rasanya persis kayak jika kita mendengarkan seseorang membacakan paragraf yang tertulis dalam sebuah novel. You know, kayak kita lagi dengerin audio book. Kalo ada subtitle, pastilah menonton film ini akan terasa seperti membaca buku dengan gambar yang bergerak.

 

Misalnya nih, adegan saat Charlotte hendak masuk ke kamar ibunya. Narasi yang ada doesn’t necessarily feels like a movie script, kita melihat adegannya, kita juga akan dengar suara Charlotte bilang, “Setiap kali aku masuk ke kamar itu, aku menahan napas. Hanya supaya aku bisa mendengar napas ibu.”

Ngerti kan?

Kalo dalam film yang merupakan media audio visual, biasanya adegan tersebut akan digambarkan begini: Charlotte membuka pintu kamar, kita melihatnya menahan napas, kamera ngezoom wajah ibu, kita mendengar tarikan napasnya-melihat dadanya turun naik, kamera ngezoom wajah lega Charlotte. Gitu doang, kita yang nyimpulin sendiri kenapa Charlotte berdiri dulu di pintu, tanpa perlu ada suara yang menceritakan dengan indah apa yang sedang terjadi di layar.

 

Menurutku Mr. Church akan sangat indah sebagai sebuah novel, akan tetapi cara bercerita yang sama tidak tepat diwujudkan mentah-mentah sebagai media film. Strukturnya juga lebih mirip struktur cerita buku daripada sekuen-sekuen teatrikal ala sinema. Penulisannya tidak menyisakan ruang untuk kejutan-kejutan kecil yang diharapkan mampu mengombang-ambing perasaan kita. Alih-alih, segalanya jadi kerasa familiar dan gampang-ditebak. Film ini memanfaatkan narasinya untuk menjadi melodramatis. Toh memang sukses bikin terenyuh, banyak adegan yang sangat emosional. It was really sappy at times. Hanya saja teknik berceritanya ini justru bikin keseruluhan film terasa emotionally manipulative.

 

 
Terselamatkan oleh penampilan top-notch dari para pemainnya. Eddie Murphy is indeed memberikan salah satu performa terbaik dari seluruh karirnya, Britt Robertson juga. It was one of her better performances sebagai tokoh utama. Hubungan manis persahabatan dan kekeluargaan yang terjalin di antara keduanya sukses tergambarkan dengan penuh hati. Ini adalah film hangat yang mudah merasuk ke dalam emosi penonton. Ah, jika saja gaya bercerita film ini bisa digarap dengan lebih ‘sebagai film’. Tutur kata film ini lebih kerasa cocok sebagai novel. Tidak ada sense of discovery, tidak ada perasaan yang bisa ditemukan, karena layar terus menghidangkan sajian lengkap; gambar yang memvisualisasikan dan narasi yang menjelaskan semuanya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for MR. CHURCH.

 

 
That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Wonderful Life Review

13 Thursday Oct 2016

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2016, adaptation, drama, family, funny, indonesia, kids, life, novel, real life, review, road movie, spoiler, thought

“I’ll never fall in line, become another victim of you conformity.”

 

wonderfullife-poster

 

Tidak pernah terpikir oleh Amalia kalo juara cilik semata wayangnya gak bakal bisa mendapatkan gelar juara kelas. Bagaimana bisa begitu? Padahal dari kecil, dia sendiri selalu dapat nilai sepuluh. Ayah menempa Amalia dan abangnya untuk menjadi rangking satu. Bagaimana bisa? Amalia merasa dia selalu sukses mengontrol semuanya. Dia CEO perusahaan, she know how to run things. Dia mau segalanya sempurna menurut caranya sendiri.

Jadi saat dia mendengar diagnosa terhadap Aqil, anaknya yang masih delapan tahun, Lia memandang anak tersebut sebagai problem yang harus diluruskan. Atiqah Hasiholan membawa intensitas ke dalam perannya sebagai single mother yang mencoba deal with rising kid yang menyandang disleksia. Kita bisa ngerasain dia secara konstan terus on-the-edge. Lia akan menantang semua orang yang enggak sesuai dengan conformitynya. Dia memandang kondisi Aqil sebagai suatu kesalahan. Lia malu mengakui kepada teman kantor bahwa sebenarnya anaknyalah yang membutuhkan pertolongan. Dan tentu saja she makes a big deal saat Ayahnya – meski dengan menyalahkan Lia — kerap menawarkan bantuan supaya Aqil bisa berobat. Knowing fully (while at heart still refusing) disleksia enggak bisa disembuhkan, Lia membawa Aqil ke Jawa. Mencari pengobatan alternatif dari orang-orang pinter. Perjalanan mereka memang berhasil menyembuhkan sesuatu, namun yang sakit ternyata bukanlah si Aqil.

Wonderful Life adalah film road trip yang lebih ditujukan buat orangtua ketimbang buat anak-anak. Terutama buat orangtua yang absent-minded; orangtua yang mulai melupakan kebutuhan anak mereka. Kids need parents to be there, with them, as person yang membimbing mereka belajar. Bukan sebagai orang yang memaksakan perspektif harus gini-musti gitu. Harus juara kelas. Kudu dapat beasiswa. Orangtua enggak bisa memaksakan anaknya ke dalam kotak conformity mereka, orangtua harusnya membantu anak membangun kotaknya sendiri.

 

This is actually diangkat dari kisah nyata yang dinovelkan oleh Amalia Prabowo herself. Mungkin kalian pernah mendengar tentang Aqil Prabowo, pelukis cilik yang pernah menggelar pameran tunggal di hutan pinus di gunung di Bogor. Imagine betapa inspiratifnya hal tersebut!

Disleksia adalah kondisi di mana seseorang tidak dapat membaca dengan baik, susah untuk memahami tulisan, menulis pun kadang terbalik kayak di kaca, dan ada juga yang mengalami kesulitan berbicara. Aku dulu sempat disangka disleksia karena waktu kecil aku kesulitan parah bedain mana kiri mana kanan. Lalu kemudian orangtuaku found out aku juga gak bisa ngikat tali sepatu, sehingga mereka malah berbalik kecewa dan menyimpulkan ternyata aku cuma anak yang kelewat bego -,-
Disorder disleksia berhubungan dengan syaraf yang membuat penyandangnya susah untuk mengstruktur pikiran mereka ke dalam komunikasi lisan maupun tulisan. Ini toh bukan penyakit, seorang gak bisa ‘sembuh’ dari disleksia karena kondisi ini akan terus menetap. Meski begitu, pengidap disleksia bukan berarti mengalami kemunduran mental. Kecerdasan mereka bisa berkembang dengan normal. Dan, entah karena terbiasa berpikir out of the box ataupun just karena otak yang ter-wired berbeda, pengidap disleksia seringkali adalah orang-orang yang kreatif.

Seperti Aqil.

Di film ini kita melihat talenta menggambar Aqil sungguh luar biasa. Film ini did a great job menafsirkan betapa kaya imajinasi yang dimiliki oleh Aqil melalui tingkah polahnya yang selalu menemukan sesuatu untuk diapresiasi dalam cara yang hanya dirinya sendiri yang bisa. Aqil ngobrol sama belalang, dan siapa yang tahu apa yang ada di kepalanya saat dia bermain riang di atas perahu dayung. Awalnya dia terasa distant, kayak, dia ada di dunianya sendiri. Kemudian kita lihat Aqil sebenarnya have some acknowledgement dan dia juga menyimpan beef terhadap ibunya. Dan dia keluarin itu di akhir. It’s nice film ini nginclude sisi tersebut. Membuat Aqil such a wonderful character. These little things he does, those tiny gestures, main-main dengan hal sepele kayak saat dia menyarungkan baju ke kepalanya, bikin suara-suara dari mulutnya, membuat Aqil hidup sebagai karakter. Yang bikin aku jadi suka, karena film ini membuat kita untuk terus memperhatikan. Tidak semua hal harus dikatakan, atensi kita diperlukan untuk menangkap apa yang ingin disampaikan oleh Aqil. Sinyo memainkan tokoh ini dengan menyenangkan tanpa terperangkap dalam kategori annoying.

Yang annoying di film ini justru adalah Lia yang hobi banget bersihin tangan

Yang annoying di film ini justru adalah Lia yang hobinya bersihin tangan melulu

 

Bagus bagi sebuah film untuk punya cerita berlapis. Wonderful Life TIDAK SEKADAR MEMBAHAS USAHA PENYEMBUHAN DISLEKSIA. Punya gambaran bagus tentang gimana sih the-said disorder itu terjadi, selain itu juga banyak lapisan elemen cerita yang lain. Ada banyak sisi emosi yang terus menggempur Lia. Hanya saja, flashback bukanlah pilihan terbaik sebagai cara untuk menceritakan lapisan-lapisan tersebut. Dalam film ini, aku tidak melihat adanya kepentingan untuk bercerita dengan membawa kita bolak-balik antara keadaan di jalan dengan masa-masa di kantor sebelum mereka berangkat. Mestinya bisa dihindarin, struktur yang lebih lurus akan membuat film ini makin enjoyable.

Tidak hingga setengah jam terakhir, kita baru bisa menyimpulkan ke arah mana film ini dibawa. Sepanjang film kita melihat drama keluarga, ada drama kerja, ada komedi juga, sedikit nuansa menegangkan, it was just keep going. The tone was really on and off. Sampai ke titik kita bisa menyimpulkan Wonderful Life adalah jenis film yang sangat membutuhkan musik untuk menyampaikan perasaan karena cerita gagal dalam delivering it on it’s own.

Kendatipun gitu, aku suka gimana film ini menuliskan Lia yang selama ini ninggalin Aqil mengalami realization soal how wrong her conformity was saat giliran Aqil lah yang meninggalkan dirinya. Dua puluh menit terakhir barulah cerita berhenti di perasaan yang ceria dan hangat. Implikasi yang ada adalah film ini berusaha membuat para penonton dewasa untuk melihat sesuai dengan apa yang dirasakan oleh anak kecil; bosan dan sebel kalo orangtua kerja, senang bermain-bermain di luar, dan completely blank soal apa yang terjadi di dalam keluarga sendiri.

Jika kamu berhadapan pada pilihan antara bagus dalam pekerjaan dengan bagus dalam parenting, maka film ini bilang kamu tidak bisa menjadi bagus dalam keduanya.

 

Kalian tahu gimana anehnya bagi Amalia, seorang terpelajar, untuk menyerahkan kepercayaannya kepada dukun? Ini mungkin adalah konflik yang lumayan ngintrik. But, yea, well, film ini toh memang punya ARAHAN CERITA YANG ANEH. I mean, lihat doodle lucu di poster dan di opening scene, seolah mengisyaratkan ini adalah film yang ditujukan untuk anak kecil. Tapi jalurnya terasa lebih pas untuk ditempuh oleh ibu dan bapak anak kecil. Ada banyak saat di mana kita akan dibawa ke lingkungan kantor. Karena film ini juga membahas tentang masalah kantor Lia. There’s this guy from her work, yang terus meminta Lia untuk mempersiapkan meeting. Keadaan di kantor lagi kacau, sedangkan masalah Lia dan Aqil di jalanan membuat Lia can’t really do the job right now dan diapun enggak bisa gitu aja nyerahtugasin ke orang karena Lia masih ngotot untuk bisa mengerjakannya sendiri.

Hubungan antara Amalia dengan ayahnya direfleksikan dengan kuat oleh Lia kepada hubungan dirinya terhadap Aqil. This is the main drive force yang mengarahkan Lia menjadi seperti apa dia sekarang. Menjelang akhir kita akan melihat adegan yang really deep-in-the-feels. Konflik antarmereka sudah ditanam sejak awal cerita, kita bisa lihat ada tensi di antara Lia dan ayahnya, akan tetapi bagian drama yang ini nyaris tak tersentuh sebagai usaha film untuk membangun antisipasi penonton. Padahal inilah yang ingin kita lihat. Alasan atas sikap Amalia. Konfrontasinya. Ada apa sebenarnya di balik hubungan Lia, ayah, dan abangnya. This is such a big emosional hook hanya saja sangat under-developed, kalah sorotan dibandingkan dengan drama dengan karyawan kantor.

Drama kantoran kayak gitu dibutuhkan untuk menambah layer pada plot Lia, tapi porsi dan caranya diceritakan actually membuat perhatian kita terlempar keluar dari drama keluarga yang lebih compelling.

I mean, going into this movie tentu saja kita berharap untuk melihat hubungan emosional yang terjalin antara ibu dan anak, dari yang tadinya renggang – ibu yang hanya peduli agar anaknya enggak terbelakang – menjadi suatu ikatan keluarga yang sungguh heartwarming. Adegan di akhir saat untuk pertama kalinya Amalia apresiatif terhadap gambar yang dibuat Aqil was just so beautiful. Yang kita ingin lihat adalah interaksi antara anggota keluarga; kita ingin lihat lebih banyak konflik Aqil dengan Amalia, dan for some reason kita enggak dikasih liat gimana hubungan antara Aqil dengan kakeknya. Padahal akan sangat menarik melihat konflik apa yang bisa tercipta di antara mereka berdua. Instead, we got sisi story yang membingungkan, bosenin, dengan banyak orang teriak dan ngamuk. IT WAS VERY CONVOLUTED.

"Don't count on me, cause I'm not listening"

“Don’t count on me, cause I’m not listening”

 

 

 

Beautiful real-life story dengan beberapa performances yang excellent dan benar-benar compelling. Drama keluarga yang mengajarkan orangtua tentang gimana seharusnya bersikap kepada anak. Untuk saling menerima. Membuka mata kita untuk melihat dengan jelas apa yang harus disukuri. Karena sebenarnya yang punya penyakit komunikasi di film ini adalah the rest of Aqil’s family members. Film ini pun ada yang perlu disembuhkan. It could have been better tho; arahan yang aneh, flashback yang enggak bener-bener diperlukan, serta tone yang on dan off membuat film ini susah untuk dinikmati. Padahal ceritanya simpel dan dekat. Mungkin seperti menonton film inilah rasanya bagi para penyandang disleksia ketika membaca buku.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for WONDERFUL LIFE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Athirah Review

29 Thursday Sep 2016

Posted by arya in Movies

≈ 3 Comments

Tags

2016, adaptation, drama, family, indonesia, life, love, makassar, novel, real life, relationship, review, spoiler, thought

“Strength is born in the deep silence of long-suffering hearts.”

 

athirah-poster

 

Bagaimana mungkin bisa menjustifikasi sebuah seni sepi penyayat hati, kalo tidak disaksikan sendiri? Maksudku, di sini aku duduk menatap halaman yang kosong terhitung dua jam sejak keluar dari bioskop, berpikir: Mau secerewet apapun aku mengetik kata pada ulasan ini nanti, tidak akan bisa menghantarkan derasnya emosi yang terasa saat menonton Athirah. Karena yang dibuat oleh Riri Riza di dapur Miles Films ini bukan film drama tragedi-keluarga yang biasa kita dapatkan.

Athirah diadaptasi dari novel ngebiopik karya Alberthiene Endah yang memotret suatu periode kehidupan keluarga Wakil Presiden kita, Jusuf Kalla. Kita akan diperlihatkan muasal keluarga harmonis ini (anaknya banyak!) meniti hidup sebagai pedagang di Makassar. Dengan Ibu Athirah sebagai pusat semesta mereka. Di balik lelaki yang kuat ada wanita yang kuat, bahkan kalimat tersebut sedikit mengecilkan peran Athirah dalam keluarga mereka. For one, beliau tidak pernah gagal menghidangkan aneka masakan di atas meja. Pengabdiannya sebagai seorang istri bukan tanpa cobaan, as poligami bukanlah hal terlarang dalam budaya Bugis Makassar yang beragama. Dan di sinilah film ini bekerja; tentang pergulatan perasaan seorang istri pertama yang selalu menjunjung tinggi nilai perkawinan, yang menaruh harapan besar kepada masa depan anak-anaknya, meski cinta itu kadang tak pulang dan air mata selalu ada. Tersembunyi memang, tapi the tears will always giving it away.

”if there’s nothing missing in her life, then… why do these tears come at night?”

”If there’s nothing missing in her life, then… why do these tears come at night?”

 

Alih-alih memfokuskan kepada gimana poligami itu ‘take place’ di tengah-tengah Makassar 1957an, film ini memilih untuk menyorot bagaimana dampak poligami secara personal kepada pihak yang ditinggalkan. Jika sang Ibu berusaha tegar, maka Ucu (panggilan kecil Jusuf Kalla) seperti kehilangan panutan. Kita bisa merasakan konflik yang ia derita dari masalah orangtuanya; sebagai anak lelaki tertua, dia merasa bertanggungjawab sekaligus belum siap. Dia belum bisa jadi imam. Kita pun melihat amarah itu perlahan terbendung, not only towards his father, tapi juga kepada ibu yang dianggapnya tidak mau melawan. Juga status dirinya sendiri, Ucu practically di-shun dari possibility punya relationship personal lantaran orangtua temannya ngeri ‘kebiasaan’ ayah Ucu menurun juga kepada dirinya.

Tapi film ini tidak cengeng, dirinya tahu betul untuk lebih baik tidak menghabiskan delapan-puluh-dua menit dengan bergalau ria, and that’s what make this movie so uniqe. Athirah adalah FILM YANG HENING. Meski bukan film yang ‘krik-krik’. Tidak ada banyak dialog di dalamnya. Malahan baru setelah lebih dari dua puluh menitan si Ucu kecil melafalkan satu kalimat penuh; saat dia menemukan cinta dalam hidupnya. Di awal-awal dia cuma diam dengan ekspresi stricken. Aku cukup tertarik karena kukira dia bakal diam sampai habis karena film ini, up until he actually talks, has managed very well untuk membuat dialog Ucu terucap dengan diwakilkan oleh teman sekolahnya. Christoffer Nelwan berhasil menghidupkan segala ekspresi yang dibutuhkan oleh gaya penceritaan film ini.

kalo kata orang Jerman, mukak si Ucu ‘backpfeifengesicht’ banget

kalo kata orang Jerman, mukak si Ucu ‘backpfeifengesicht’ banget

 

Dan tone yang diam ini benar-benar sukses bikin kesan yang sangat pecah. Like, you know, that strange calm before the big storm. Bedanya, ‘badai’ tersebut tak kunjung datang, at least kalo kita hanya melihatnya secara fisik. Dari kredit pembuka saja– yang nunjukin pesta nikahan adat bugis – kita langsung disambut dengan perasaan unsettling. Dan perasaan ini berlanjut sampai akhir babak kedua. Membuat sebagian besar film akan kita lewati dengan merasa ringkih, bingung, diamnya itu bener-bener DEEP IN THE FEELS. Kayak kalo ada orang ngambek sama kita sampai ngediemin berhari-hari, kita bener-bener gak tau harus gimana, like, coklat Hershey enggak bakal ngefek. Atau perasaan saat orangtua kita begitu marahnya, sehingga mereka hanya berkata pelan, “Mama Papa enggak marah. Kami kecewa.” Just that- no more words. That kind of treatment was even worse than to have them yelling sampai kedengeran sama penduduk satu kompleks.

Kita lihat Athirah menangis tanpa suara di kasurnya, dan itu adalah pemandangan yang paling memekakkan telinga.

 

Konstruksi adegan yang luar biasa adalah kekuatan film ini. Kayak AADC2 (2016), editing film ini perfect punya. Arthirah, however, punya arsenal lan; Strong oleh budaya lokal, true sebagai period-piece. Dalam film yang penuh emosi ini, tidak ada yang berteriak. Setiap penampilan bener-bener kayak ditelen ke dalem. Cut Mini sebagai Athirah, well, she steals every scenes! Excellent sekali Cut Mini dalam film ini. Kita bisa gimana sebenarnya dia ingin mengesklusifkan imamnya. Her first try was actually pretty funny, tapi enggak bikin film keluar dari jalur serius. Kita lantas melihat gimana dia bottles up all of her pain, semua perasaannya. Terutama, dia tidak pernah menampakkannya kepada anak-anaknya. The feeling was really visual. Tergambar lewat ekspresi dan intonasi singkat. Ada empat kali adegan Emma’ Athirah terlambat menjawab salam, dan tiap masing-masing waktu tersebut kita bisa merasakan gejolak perasaan yang berbeda. Kita tahu nyesek yang ia alami setiap kali melihat piring yang masih tertelungkup di meja makan itu.

Sarung mas kawin dipergunakan sebagai relik untuk melambangkan bagaimana Athirah masalah perkawinannya. Dia menjahit benangnya yang terlepas, memperlakukannya sebagai barang yang senantiasa dijaga. Actually, Athirah berhasil membangun bisnisnya sendiri, out of kebiasaannya menjahit sarung. In the end, kita menyaksikan apa yang ia lakukan terhadap sarung mas kawin pemberian suaminya, dan results of that event membuat Athirah tidak hanya membantu dirinya sendiri, namun juga keluarga, dan bahkan sang suami.

Ini menunjukkan kepada setiap ibu yang berdedikasi kepada keluarga di luar sana bahwa tidak bisa melawan bukan berarti berhenti berjuang. Diam tidak melulu harus resort ke lemah. Justru kekuatana tercipta dari keheningan yang lama hati yang terluka. Seperti hati Athirah. In a way, apa yang diperlihatkan di film ini punya kontras mengerikan dengan how woman portrayed their ‘fight’ today.

 

Whether it’s Jajang C Noer’s singing, or musik latar yang kental kultural, ataupun pemandangan yang mungkin tidak akan pernah kita lihat lagi, seolah ada magis yang menawan perhatian kita ke setiap moment. Masalah yang terasa adalah begitu sudah di tengah, alur film yang lambat membuat kita seringkali menemukan diri berada selangkah di depan film. Kayak, kita tahu apa yang bakal terjadi. Dan kita tetap berharap akan terjadi sesuatu yang lain. Only there wasn’t any sparks of surprise. Datar-datar aja, dari segi kejadian. Dan itu jadi penghalang terbesar buat film ini mencapai puncak emosinya. Bagi yang ngerti struktur film, akan bisa mengantisipasi ending, karena bisa melihatnya datang dari sekuens-sekuens yang berjalan. Namun, penonton-biasa akan kaget, “Loh udahan? Gitu doang?”, terlebih dengan munculnya pemeran versi usia yang lebih dewasa, seperti pasangan remaja dan ibu-ibu yang duduk pada barisan di depanku yang actually nyeletuk, “kirain masih panjang, orangnya pada ganti”

 

 

 

Kalo mau dibandingin, kupikir film ini paling dekat dengan The Window (2016); sama-sama membahas hubungan antar anggota keluarga. Bisa saja film ini sangat personal untuk beberapa orang. Soal dedikasi dan pengabdian. Soal be there and standing on the ground that you love. Perjuangan yang keras akan menempa orang yang hebat. I mean, lihat saja seperti apa si Ucu sekarang!
A real, top-notch production designs. Penampilan yang sangat stricken, hening, namun terasa begitu vokal. Emosional. Menyenangkan untuk ditonton jika kalian suka memperhatikan detil, jika kalian suka mendapatkan pemahaman dengan mengamati. Ada banyak pesan positif di baliknya. Film indah ini tahu persis bagaimana membangun adegan yang benar-benar mengena tanpa harus banyak bersuara. Sebuah penceritaan magis nan unik yang mampu menyedot atensi dan kepedulian kita until the very end.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for ATHIRAH.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...
Newer posts →

Recent Posts

  • KNIVES OUT Review
  • MARRIAGE STORY Review
  • DARAH DAGING Review
  • JUMANJI: THE NEXT LEVEL Review
  • FORD V FERRARI Review
  • THE IRISHMAN Review
  • NIGHTMARE SIDE: DELUSIONAL Review
  • RUMAH KENTANG: THE BEGINNING Review
  • FROZEN II Review
  • Survivor Series 2019 Review

Archives

Follow MY DIRT SHEET on WordPress.com

Tags

2016 2017 2018 2019 action adaptation comedy drama family fantasy friendship funny horror life love mature relationship review spoiler thought

Categories

  • Books
  • Merchandise
  • Movies
  • Music
  • Poems
  • Toys & Hobbies
  • Uncategorized
  • Wrestling

In the world of winners and losers, we have risen above to bring you: the Dirt Sheet!

We are here to enlighten your fandom with updated news and reviews of movies, books, wrestling, technologies. Yeah, you're welcome.

Explore, and feel the power of wisdom!

Twitter updates

  • Fear of immigrants, KNIVES OUT, my review: mydirtsheet.com/2019/12/11/kni… #KnivesOut 10 hours ago
  • KNIVES OUT Review mydirtsheet.com/2019/12/11/kni… https://t.co/iVsoCKqAI7 10 hours ago
  • Once you love something, you can never stop loving it. MARRIAGE STORY, my review: mydirtsheet.com/2019/12/10/mar… #MarriageStory 1 day ago
Follow @aryaapepe

Meta

  • Register
  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.com

Blog at WordPress.com.

Cancel
loading Cancel
Post was not sent - check your email addresses!
Email check failed, please try again
Sorry, your blog cannot share posts by email.
%d bloggers like this: