TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES: MUTANT MAYHEM Review

 

“Do it from love, not for love”

 

 

Bagiku Teenage Mutant Ninja Turtles adalah sebuah fase. Jauh sebelum suka Power Rangers dan pasukan superhero lain, aku yang masih balita suka sama empat kura-kura yang jago berantem ini. Aku gak ingat apa yang exactly kusuka dari Kura-Kura Ninja, aku bahkan gak ingat jalan cerita serial kartunnya di TV, tapi pokoknya waktu kecil saking sukanya sampai-sampai setiap jajan, aku selalu minta dibelikan pernak-pernik Kura-Kura Ninja mulai dari mainan hingga topeng. Saat gedean, tentu saja aku coba ngikutin Kura-Kura Ninja – yang ternyata memang franchise yang gede dan selalu dibuat ulang – soalnya penasaran kan, kok kata ortu dulu aku suka banget. Aku mengenal karakter-karakternya, jalan ceritanya, tapi ya ternyata aku gak suka-suka amat. Biasa aja sama kartun nya yang baru. Benci banget malah sama film live-action versi Michael Bay.  Looks like I grow up out of them, kecuali satu hal; game Kura-Kura Ninja. Always love them now and then. Baru-baru ini banget aku namatin game terbaru Kura-Kura Ninja (go check YouTube My Dirt Sheet untuk playtroughnya!) Selebihnya ya, Kura-Kura Ninja adalah fase masa kecil yang sudah kutinggalkan. Sampai, film karya Jeff Rowe yang diproduseri oleh Seth Rogen ini tayang! KKN: Mutant Mayhem adalah jawaban terdekat yang bisa kudapatkan kenapa waktu kecil aku suka Kura-Kura Ninja. Karena saat menonton ini, aku merasa seperti bocil yang baru saja menemukan jagoan favoritnya untuk pertama kali!

Can’t believe Seth Rogen restored my childhood just like that

 

Backstory karakter dalam film ini diubah sedikit dari cerita original KKN. Seperti karakter mutant yang aslinya adalah manusia, tapi di film ini diubah menjadi berasal dari hewan demi menyesuaikan dengan tema cerita. Ada juga karakter villain populer yang diubah jadi baik. Perubahan-perubahan ini bakal sedikit-banyak terasa aneh oleh hardcore fans, tapi percayalah tidak mengganggu. Karena film KKN kali ini memang berfungsi sebagai reboot, yang menghasilkan cerita baru tapi dengan ruh yang tetap terjaga. Di sini gak ada (belum ada!) Shredder. Permasalahan di film ini lebih ke konflik prejudice antara manusia dan hewan-hewan mutant. Sekilas konfliknya memang mengingatkan kita kepada cerita X-Men. Superfly, (mutant lalat, bukan nama pegulat hihihi) villain utama di cerita ini, punya plead yang sama dengan Magneto. Membasmi manusia dan membuat dunia yang lebih baik untuk para mutant. Yang bikin beda adalah cerita KKN yang ditujukan untuk penonton muda ini dibikin lebih hopeful dan mengutamakan kepada feel good moment, alih-alih politik kekuasaan.

Protagonis cerita, Leo, Ralph, Don, dan Mikey, kura-kura remaja yang ingin hidup bersama manusia, makhluk yang menurut mereka keren, tapi harus dijauhi, karena kata ayah mereka, mutant tikus bernama Splinter, manusia itu berbahaya. Manusia akan definitely melukai mereka karena mereka berbeda. Running joke yang diangkat dari sini adalah gimana manusia bakal memerah mutant sampai kering. Jokes yang kuakui sedikit kekanakan, tapi itu hanya karena ku sudah di luar target umurnya hahaha.. But hey, sekali lagi, ‘milking until dry‘ mungkin adalah joke yang paling jinak, tapi tetep berhasil, yang bisa diperah dari otak Seth Rogen yang biasanya ngehasilin komedi urakan. Jadi empat kura-kura jagoan kita ingin merebut hati manusia dengan jadi pahlawan. Mereka membantu membasmi kejahatan yang dilakukan oleh geng Superfly, dan dijadiin berita oleh April, gadis wartawan media sekolah. Masalahnya adalah ketika para KKN tatap muka dengan geng Superfly. Mereka sama-sama makhluk mutant. Mereka sama-sama punya keinginan hidup lebih baik, tidak lagi di dalam bayang-bayang. Jadi para KKN harus memilih; ikut Superfly membasmi manusia, atau tetap jadi pahlawan meskipun itu buat orang-orang yang gak menerima mereka.

Para Turtles menjadi pahlawan kota supaya mereka bisa diterima oleh manusia. Tapi mereka belum nyadar bahwa penerimaan itu berasal dari cinta. Menjadi pahlawan juga harusnya merupakan tindakan yang tulus. Jadi itulah yang harus dipelajari lebih dulu oleh mereka. Belajar menerima diri sendiri, belajar mencintai kekurangan sendiri, belajar untuk berbuat baik tanpa harus berharap disukai dan dianggap sebagai pahlawan.

 

Tema acceptance serta merta akan beresonansi dengan penonton muda. Pada generasi Z yang memang persoalan identitas jadi persoalan yang pelik. Tema tersebut membuat animasi hiburan ini jadi punya bobot. Namun memang tak bisa dipungkiri yang ngesold out penonton muda buat betah nonton ini sampai akhir adalah suara – literally dan figuratively- dari karakter-karakternya, Terutama para Kura-Kura Ninja. Para jagoan bertempurung itu benar-benar berjiwa dan bersemangat remaja, ditambah pula voice aktor yang memang anak-anak remaja. Jadi mereka kayak anak remaja beneran. Yang cablak, kadang sedikit angkuh, energik, ceroboh, dan ada sisi polos yang natural. Gimana mereka saling berinteraksi, udah persis kayak kakak adik sodaraan beneran. Kalian tahu dialog celetukan ala Marvel yang sering out of nowhere gak tepat sikon disebutkan oleh superhero dewasa? Nah, dialog para KKN juga seperti itu, namun karena mereka kerasa genuine seorang remaja, maka dialog celetukan seperti itu lebih mudah untuk kita maklumi.  Personality masing-masing Turtle benar-benar terflesh out. Leonardo yang sering diledek tukang ngadu, karena berusaha jadi pemimpin yang baik, Ralph yang pengen ngerasain sekolah, Mikey yang jago improv, Donatello yang hobi K-Pop dan anime. Yang mereka obrolin juga referensi yang kekinian banget. Bahas Marvel lah, Attack on Titan lah. Film ini memang menggila soal referensi, baik untuk generasi muda ataupun penonton yang lebih ‘uzur’, tapi walau ada juga referensi ke produk Nickelodeon,  gak sekalipun terasa cringe dan ganggu penceritaan.

Sampai sekarang aku masih gak percaya film ini bener-bener masukin versi meme dari lagu What’s Going On; meme kocak yang udah beredar enam-belas tahun di internet itu dijadikan musik latar saat adegan kejar-kejaran mobil! So wild!!

Kura-Kura jadi kambing hitam

 

As an older fan, aku turut mengapresiasi voice work dari aktor-aktor seperti Natasia Demetriou yang jadi Wingnut – mutant kelelawar, serta Jackie Chan yang meranin Splinter, dan Ice Cube yang jadi Superfly. Mereka terdengar begitu fun menghidupkan karakternya. Malah di sini Jackie Chan kayak gak hanya menyumbang suara, karena adegan Splinter berantem itu udah kayak adegan-adegan Jackie Chan dalam film-film laga. Berantem kocak dengan properti di sekelilingnya. Splinter dan Superfly sendiri memang punya keparalelan yang menarik, karena basically mereka sama-sama membenci manusia. Development karakternya-lah yang nanti bakal membedakan keduanya. Mendengar Jackie Chan dan Ice Cube di sini membuatku pengen melihat film Friday dibikin sekuel baru, dibintangi Ice Cube dan Chris Tucker dan Jackie Chan sekaligus hahahaha!

Untuk gaya visual, man, aku seneng banget di tahun-tahun belakangan ini kita dapat film animasi yang gaya gambarnya itu enggak seragam. Yang enggak kayak berusaha bikin yang sesuai standar tertentu. Mungkin semua ini memang pengaruh dari kesuksesan Spider-Man: Into the Spider-verse (2018), tapi aneka ragam gaya animasi memang perlu kita rayakan. KKN: Mutant Mayhem menggunakan gaya animasi unik yang konsepnya tuh kayak coret-coretan atau arsiran. Ada objek-objek seperti asap, lampu, bahkan bulan, yang terbentuk dari garis-garis berulang yang semrawut. Estetik tersebut actually menambah banyak untuk karakter dan vibe film ini. Terutama dari sisi latar tempat. Garis corat-coret itu seperti menghidupkan kesan rough dari kota New York. Personality kota itu penting, karena di situlah tempat prejudice manusia berbahaya, mutant berbahaya itu tumbuh. Film ini berhasil menggambarkan itu semua ke dalam  desain komposisi wujud dan warna yang fresh. Dan ngomong-ngomong soal desain, satu yang tampaknya mencuat pada penggemar Kura-Kura Ninja, yaitu desain karakter April. April di sini bukan lagi perempuan pirang, langsing, dan seorang jurnalis yang pede. Menurutku yang dilakukan oleh film ini selangkah lebih respek daripada sekadar meng-race swap. April dibikin seperti our everyday friend bukan lagi perempuan muda dengan standar kecantikan mainstream. Karakternya kini punya kelemahan yang semakin manusiawi (dia gak pede di depan kamera), meski tetap mandiri dan cerdas dan tak lantas jadi orang yang perlu diselamatkan.

Aku pengen bilang film ini hiburan yang perfect, kalo bukan karena satu hal kecil. Flow penceritaan di babak awal. Babak pengenalan film ini actually kurang mulus, dengan tempo yang agak tercekit-cekit, karena film menggunakan banyak flashback perspektif. Aku gak tau apakah itu istilah yang benar atau bukan, tapi yang kumaksud adalah banyak flashback dari sudut pandang karakter tertentu, guna menceritakan apa yang terjadi dari sudut pandang lain sebelum jagoan-jagoan kita exist di dunia. Sebenarnya ini cara yang lumrah, tapi untuk film ini aku tidak melihat alasan kenapa harus melakukannya seperti itu. Karena toh cerita bisa saja berlangsung dengan linear. Keputusan film mengskip langsung lima belas tahun kemudian, tapi lalu enggak lama setelah itu malah balik untuk flashback, buatku agak aneh dan kurang efektif. Membuat sampai ke plot poin pertama rasanya jadi lama banget, dan berjalan agak ngambang mau ke mana. Tapi memang hanya di 20-30 menit pertama itu saja. Selebihnya, KKN: Mutant Mayhem adalah suguhan seru dan bisa dibilang liar, yang asyik lagi berbobot.

 

 




Lapisan kebahagiaan dan kepuasaanku memang banyak banget setelah nonton film ini. Senang karena akhirnya ada lagi film KKN yang proper (Kura-Kura Ninja, loh, bukan KKN yang satu lagi). Senang karena terhibur oleh aksi dan keseruan dan akting suara yang dilakukan. Senang karena film animasi masih punya banyak ruang untuk berkembang dan gak melulu tampil dengan gaya yang sama.  Duh, sepertinya akhir tahun bakal susah nih milih film animasi yang terbaik di antara yang terbaik! Aku gak ngerti kenapa film ini malah berkurang layarnya di bioskop, padahal mestinya film ini jadi hiburan yang paling ‘aman’ dan respek buat keluarga. Meski diremajakan untuk penonton kekinian, isi film ini beresonansi dengan berbagai generasi. Dan karena ini basically reboot atau cerita baru, maka enggak perlu tahu film atau cerita lamanya. Penceritaan film ini bekerja baik dalam menghantarkan backstory setiap karakter. Setiap keinginan dan pembelajaran mereka bakal terbungkus seru. Mungkin akan sedikit mengingatkan kepada X-Men, tapi tone dan vibe dan developmentnya certainly one of a kind. Justru melewatkan ini bakal kowabunga, eh salah.. kebangetan!
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES: MUTANT MAYHEM

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apa yang berhasil dilakukan oleh film ini, yang gagal dilakukan oleh versi live-action Michael Bay?

Share pendapat kalian di comments yaa

Hijack, serial thriller bagus tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ sudah sampai ke episode finale. Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



SUZZANNA: MALAM JUMAT KLIWON Review

 

“How truly hard it was, really, to see someone you love change right before your very eyes” 

 

 

Cinta sejati itu kayak hantu. Banyak yang ngomongin, tapi cuma sedikit yang beneran melihatnya.  Merasakannya. Telah membuktikannya sendiri. Saking susahnya memperjuangkan cinta. Selalu ada saja halangannya. Makanya greatest love story seringkali justru merupakan sebuah kisah yang tragis. Gimana perasaan kita gak teraduk melihat karakter berusaha memperjuangkan perasaan yang tak semua orang bisa melihatnya ada tersebut. Guntur Soerharjanto berusaha mengaduk perasaan kita lewat film kedua Luna Maya sebagai Suzzanna. Adaptasi atau remake bebas dari horor klasik si Ratu Horor ini coba dikuatkan oleh Guntur perihal kisah cinta kedua karakternya. Membuat cinta dan hantu literally jadi satu frame. Di balik horor balas dendam, at heart film ini adalah kisah cinta yang terhalang oleh kematian. Sebagaimana halnya pada film  pertamanya tahun 2018 yang lalu. Bedanya, film Suzzanna: Bernapas dalam Kubur itu berhasil mengaduk perasaan kita, cerita dan arahannya berhasil menggali sudut pandang perempuan yang berkonflik personal; Suzzanna yang telah jadi hantu ingin membalas dendam atas kematiannya, tapi dia gak mau harus berpisah dengan suami, sehingga dia berpura-pura masih manusia. Film Suzzanna: Malam Jumat Kliwon bahkan gak punya sudut pandang kuat untuk menyampaikan konflik cinta tragis di antara kedua karakternya.

Dalam usaha untuk lebih memperkaya suasana dan dunia cerita, Malam Jumat Kliwon jadi lebih banyak mengambil sudut galian. Di satu sisi memang ini bikin cerita di Jawa tahun 1986 itu terasa lebih imersif. Babak pertama film terasa solid oleh build up dan terjaga dengan tempo yang cukup cepat. Kita melihat Suzzanna, kali ini seorang gadis desa yang dipinang oleh Raden Aryo yang ingin punya keturunan. Kita melihat Surya, kekasih Suzzanna, yang mencari tambahan nafkah dengan menjadi petarung. Kita juga melihat istri tua Raden Aryo punya peran di dalam cerita, karena kecemburuannya. So many motivasi yang saling beradu. Di babak ini cerita lebih bertapak pada Suzzanna, yang setelah hamil mulai merasa dirinya gak aman di rumah Raden. Dia disantet, dan hal menjadi total nightmare bagi Suzzanna saat proses melahirkan. Suzzanna meninggal dengan cara mengerikan, cerita masuk babak kedua, dan naskah hingga arahan mulai keteteran. Cerita ‘berpindah’ jadi tentang Surya yang ingin melihat Suzzanna untuk terakhir kalinya, only ended up mengadakan perjanjian dengan iblis untuk menghidupkan Suzzanna. Perempuan itu memang terbangun, tapi sebagai Sundel Bolong yang ingin menuntut balas dan mencari bayinya.

Dan pengen mamam seratus mangkok bakso

 

Narasi menjadi terlalu besar untuk dihandle. Aku merasa film ini seperti orang yang sudah tahu tujuan mau ke mana, tapi di tengah jalan jatuh terpuruk karena gak sanggup untuk actually mencapai tujuan tersebut. Cerita seperti Suzzanna: Malam Jumat Kliwon memang harus sebesar itu. Empat karakter sentral perlu dibahas supaya penonton dapat melihat dinamika gender di tahun segitu (dan maybe masih diteruskan hingga sekarang). Gimana Suzzanna bisa berada di posisi sulit karena lelaki yang suka seenak jidatnya, mentang-mentang berkuasa. Bahkan yang simpatik seperti Surya pun sama saja begitu dengan aksinya yang tidak membiarkan Suzzanna istirahat dengan tenang. Sebuah aksi yang bisa dibilang egois karena dia mengambil keputusan atas hidup perempuan. Film ini mengatakan semua horor itu ya simply disetir oleh kehendak lelaki., tapi juga masih memperlihatkan ada kalanya perempuan ‘berontak’ atau somehow memegang kendali aksi. Paralel Suzzanna – si istri tua – bahkan rela ke dukun, membayar ‘harga’ apapun supaya dia kembali jadi ‘yang disayang’ oleh suami. Suzzanna sendiri gak pernah digambarkan hanya pasrah, tapi disebutkan bahwa dia rela dinikahi demi keluarga. Dia di beberapa kesempatan juga beraksi dengan mempertimbangkan keselamatan nyawa Surya. Bahkan saat jadi Sundel Bolong, ada kala Suzzanna tidak mengikuti ‘perintah’ Surya untuk tidak membunuh.

Karena subteks pada karakter itulah, aspek body horor yang ditampilkan film ini jadi mencuat. Adegan menyeramkan saat persalinan itu menyimbolkan kengerian ketika tubuh penuh jejak yang tak diundang, yang tak diinginkan, yang dipaksakan kepada perempuan. Kita tahu secara narasi itu adalah efek santet, tapi kejadiannya seolah tubuh Suzzanna menolak buah dari paksaan. Harusnya sih adegan ini bisa ikonik. Bayi Suzzanna pindah ke punggung, lalu meledak membunuhnya seketika. The horror inducing nightmare includes: suara teriakan minta tolong Suzzanna kepada bidan dan pelayannya dan shot ada bayi yang bergerak-gerak di dalam lubang punggungnya. Aku gak tahu apakah film Malam Jumat Kliwon yang asli adegannya persis seperti ini, tapi memang adegan persalinan horor tersebut seperti dicomot dari era 80an. Over-the-top, gross, dan fun! Kita harus melihat ke belakang dan realized, bahwa vibe horor 80an itulah yang ingin direcreate juga oleh film ini. 80an adalah era horor praktikal yang cerita dan kejadiannya over-the-top hingga konyol, tapi jadi hiburan tersendiri. Elm Street, Friday the 13th, Evil Dead, sadis tapi menghibur. Film horor Suzzanna sendiri juga seperti itu, malah seringkali ditambah oleh reaksi-reaksi kocak dari karakter pendukung. Film karya Guntur ini punya vibe itu. Ada banyak juga adegan menakut-nakuti yang lucu, banyak reaksi dan dialog karakter yang konyol. Sally Marcelina yang jadi istri tua adalah yang paling ‘semangat’ ngasih vibe over-the-top ini.

Bicara tentang horor Suzzanna, tentu kita gak bisa lepas dari sosok Suzzanna itu sendiri. Kayaknya, industri sekarang ini gak ada yang membangun citra aktornya seperti Suzzanna lagi. Yang aura dan kemisteriusannya dipush terus hingga di balik layar. The fact that reboot-an film-filmnya ini bukan biopik tapi sangat mengutamakan perubahan wajah Luna Maya menjadi semirip mungkin dengan Suzzanna benar-benar menunjukkan bahwa legacy Suzzanna sebagai sosok dan aktor itulah yang dilestarikan. Film mengambil banyak resiko untuk menyulap Luna Maya menjadi Suzzanna. Saat jadi Sundel Bolong, ilusi tersebut lebih mudah untuk dipertahankan. Gestur berkacak pinggang lalu berbalik memamerkan lubang di punggung, serta suara cekikikan seram Luna Maya sanggup memberikan sensasi merinding, Hanya saat karakternya masih manusia, dan banyak bermain di nada drama, plus pencahayaan yang ‘normal’ usaha film memiripkan wajah itu seringkali tampak artifisial, hingga agak ‘mengganggu’ karena wajahnya seperti tempelan. Unnatural.

Sekilas jadi kayak gaya animasi wajah karakter di game Forbidden Siren

 

Suasana desa setelah kebangkitan Suzzanna sebagai Sundel Bolong juga memang harus diperlihatkan. Interaksi Suzzanna dengan warga bakal jadi hiburan horor tersendiri. Istilahnya, ngeri-ngeri sedap hahaha… mungkin Bene Dion terinspirasi judul film drama komedinya ini dari saat ikut menulis naskah Suzzanna: Bernapas dalam Kubur. I wish kualitas naskah film kali ini masih sama dengan film pertamanya tahun 2018 itu. Naskah kali ini ditangani Sunil Soraya dan Ferry Lesmana bersama Tumpal Tampubolon. Fun dan horornya masih ada, tapi dramanya lepas. Malahan, banyak elemen-elemen drama yang sempat disebut namun tidak pernah dibahas lanjut. Ada satu dialog menarik yang paling aku kecewa karena gak ada follow upnya, yakni ketika Raden ditanyai oleh istrinya apakah dia telah jadi jatuh cinta kepada Suzzanna. Kupikir developmentnya bakal menarik ketika pihak yang toxic ternyata jadi beneran cinta sama korbannya. Tapi film gak bahas lagi dan dialog itu semacam punchline angin lalu. Pokoknya, begitu masuk babak kedua, cerita benar-benar keteteran. Dialog dan kejadian jadi konyol tak terkendali. Begitu banyak hal yang bikin kita mengernyitkan kening, mulai dari kenapa kuburan Suzzanna yang mestinya dirahasiakan dari banyak orang malah dikasih nisan bertuliskan nama, hingga ke Surya yang saking rindunya tidur dengan meluk mayat? C’mon! Surya sebagai sudut pandang utama saat Suzzanna sudah tiada, tidak pernah didevelop dengan layak.

Melihat orang yang kita cintai berubah menjadi seseorang yang berbeda. Tema ini yang sebenarnya disimbolkan jadi horor dalam film Suzzanna: Malam Jumat Kliwon.  Dalam kasus Surya, dia menyaksikan kekasihnya melakukan pembunuhan-pembunuhan mengerikan karena balas dendam. Goal cerita sebenarnya adalah membuat kisah cinta begitu tragis sehingga menjadi sebuah horor, kisah cinta ketika seseorang harus melepaskan kekasih yang sudah bukan lagi manusia, ketika seseorang harus mencintai kekasihnya dengan cara yang melukai mereka.

 

Tapi penceritaan film enggak mampu mencapai goal tersebut. Tidak mampu mendramatisasi keadaan di luar menjadikannya humor sajaFilm terdistraksi oleh banyaknya elemen yang harusnya ia arahkan ke goal tersebut. Film bahkan gak mampu untuk sepenuhnya membangun rule atau mitologi Sundel Bolongnya. Karena sekarang, dia bukan lagi hantu, melainkan iblis. Padahal Suzzanna yang jadi hantu tidak bisa langsung menyakiti manusia sehingga serangan yang ia lancarkan untuk balas dendam adalah serangan psikologis yang membuat korbannnya mati karena ulah sendiri, adalah aspek yang membuat film pertamanya sangat menarik. Film kali ini sepertinya tidak mau repot dengan konsep semacam itu, dan membuat Suzzanna bisa menyakiti secara fisik karena dia adalah iblis. Dia tidak lagi unik. Aksinya dengan cepat jadi membosankan karena kita basically ngelihat hal yang sama terkait aksi dia terhadap korbannya. Di akhir film coba ngasih tantangan, yaitu ada beberapa senjata dukun yang bisa melukai Suzzanna. Ini yang mestinya dibanyakin oleh film. Buat Suzzanna vulnerable. Bikin stake ada. Bikin jadi ironi ketika Surya tak ingin Suzzanna kalah dan lenyap, tapi morally dia gak mau Suzzanna membunuh lagi. Tapi yang lebih banyak kita dapatkan malah humor dari dua hansip. Mereka kocak, bisa actually nangkep Sundel Bolong, tapi ya gak perlu sampai mau dikasih arc mereka pengen jadi pahlawan segala kalo memang ini bukan cerita mereka.

 




Buatku kerasa sih, nelangsanya ketika yang kita suka berubah menjadi something different. Aku suka film pertama Suzzanna. Dramanya bisa dalem, dan horornya tetap fun. Sedangkan film kedua ini, cuma punya fun. Dramanya banyak yang lepas, yang tidak digarap dengan manusiawi. Padahal muatan drama yang dimiliki itupun sesungguhnya tidak banyak berbeda dari film pertama. Lebih kepada, beda sudut pandang utama saja. Film kali ini sebenarnya lebih tentang Surya, laki-laki yang ditinggalkan Suzzanna, yang menghidupkannya kembali, yang ingin bersamanya sampai akhir hayat, namun perlahan menyadari apa yang sebenarnya ia butuhkan. Film enggak mampu mencapai goal dramatis ini karena sudut pandang yang tidak tegas dan naskah yang tidak bisa menghandle narasi yang besar. Bahkan untuk jadi romance horor saja masih kurang terasa. Kalo nanti ada film Suzzanna berikutnya, aku harap mereka kembali menapakkan dramanya, dan mungkin bisa dicoba untuk tone down mirip-miripan aktornya dengan Suzzanna supaya akting dan ekspresinya bisa maksimal.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SUZZANNA: MALAM JUMAT KLIWON

 

Tulisan ini diterbitkan juga dalam Zine BREAK FROM CINEMA 
Volume 01/Agustus 2023

 




That’s all we have for now.

Kalo dibalik, menurut kalian apakah kita sebaiknya harus mau berubah demi pasangan kita?

Share pendapat kalian di comments yaa

Hijack, serial thriller bagus tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ sudah sampai ke episode finale. Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



KETIKA BERHENTI DI SINI Review

 

“Things we lose have a way of coming back to us in the end, if not always in the way we expect” 

 

 

Arti kehilangan, menurut Umay Shahab, adalah ketika semuanya berhenti di sini. Efeknya memang sungguh devastating ketika kita direnggut dari kebersamaan dengan orang yang kita sayangi. Duka mendalam, rindu yang berat menggelayuti tanpa pelampiasan, atau rasa bersalah karena enggak sempat say good bye dengan proper. Rundungan perasaan yang mendera itu telah countless times diterjemahkan menjadi karya, paling sering sih, jadi cerita horor. Grief, kenangan, rasa bersalah, seringnya dijadikan hantu yang terus menggentayangi. Namun Umay, mengambil penyimbolan yang lebih dekat dan lebih akrab dengan usia mudanya. Dengan dunia modern yang tidak begitu asing bagi dirinya dan kita semua, dan even more advance. Film Ketika Berhenti di Sini memotret perasaan kehilangan dalam lingkup teknologi. Sebuah fiksi ilmiah alih-alih suspens kelam. Bayangan hantu digantinya menjadi pendar visual hologram. Konsep dunia yang lantas mencuat di tengah skena sinema tanah air yang lagi khusyuk dengan cerita horor dan daerah pedalaman dan juga setting waktu yang bernostalgia. Film ini seolah menegaskan bahwa rasa kehilangan itu memang sekekal itu, past, present, future. Selama manusia merasakan cinta, manusia akan merasakan kehilangan, maka hadirlah film ini untuk membantu kita melewati perasaan itu saat tiba waktunya ia berhenti di kita.

Aku melewatkan karya pertama Umay  (karena waktu itu aku belum elligible untuk bisa masuk ke bioskop…) dan setelah nonton film keduanya ini, kupikir aku bakal check it out di platform sesegera mungkin. Karena yang ditawarkan Umay ternyata adalah sudut pandang yang menarik. Passionnya pun terasa, Reference Umay bikin film ini pun, kayaknya, gak banyak pembuat film lain yang ‘berani’ ngambil. Saking ribet bahasan, dan konsep sci-fi yang butuh riset ekstra. Ketika Berhenti di Sini bermain dengan tema manusia dealing with kehilangan dengan bantuan A.I. terasa seperti episode serial Black Mirror. Selain itu, juga ada obvious movie reference yang disebut di dalam narasi, yaitu filmnya Jim Carrey tahun 2004, Eternal Sunshine of the Spotless Mind; film yang kompleks membahas dua orang yang ingin saling melupakan, tapi mereka tetap saling ketemu mengulangi siklus jatuh cinta dan putus.  Dita, protagonis Ketika Berhenti di Sini, suka sekali Eternal Sunshine. She dressed as Clementine (karakter cewek di film tersebut) saat pesta kostum. Dan yang bakal dialami Dita dalam cerita ini juga gak jauh dari soal gak bisa melupakan.

Cerita tentang teknologi ini castnya pas banget; Brian Domain, Prilly Latucomputer, dan Refal HD

 

Mahasiswi jurusan desain grafis ini sedari awal cerita sebenarnya udah struggling dengan kematian ayahnya. Kematian yang belum bisa dia ikhlaskan, dia malah menganggap ayahnya tidak menepati janji selalu ada mendukungnya. Ketika dia kenalan dan jadi deket sama cowok penggemar teka-teki dan teknologi, Ed, keduanya tampak klop dan mereka membicarakan hal-hal ‘deep talk’, topik kematian lantas muncul ke permukaan. Sementara Ed tampak menganggap kematian sama sakralnya dengan kelahiran, Dita memandang sebaliknya. Kita bisa melihat betapa Dita detests death, yang datang tanpa bisa dipersiapkan. Malang bagi Dita, empat tahun setelah menjalin hubungan dengan Ed yang sukses occupied her mind dengan cinta, kematian itu datang lagi. Menjemput Ed, justru di saat Dita lagi punya masalah dengan hubungan mereka. Sama seperti saat kehilangan ayahnya, hidup Dita lantas stop kembali. Dua tahun berlalu, Dita masih belum bisa melepaskan Ed sepenuhnya. Sahabat terdekat Dita, termasuk Ifan yang dari dulu menyukainya, mencoba mengisi hidup Dita. Tapi perempuan itu tampak semakin susah dijangkau, terlebih ketika Dita mendapatkan kacamata khusus yang bisa memproyeksikan A.I. hologram dengan wujud dan suara persis seperti Ed.

Pelajaran mengikhlaskan nomor satu dari film ini adalah mereka yang telah pergi sesungguhnya tidak pernah beneran pergi. Mereka akan kembali kepada kita dalam ‘bentuk’ yang gak akan pernah kita duga. Jadi, apresiasilah yang datang ke hidup kita sebesar kita menghargai yang telah pergi.

 

Things got really interesting saat membahas Dita dan hologram Ed. Film ini membuat cukup ambigu mengenai apakah si teknologi ini begitu canggih sehingga A.I. Ed bisa muncul dan bersikap sefluid aslinya ataukah Ed yang kita lihat itu sesungguhnya cuma proyeksi dari perasaan Dita yang bergulat dengan proses mengikhlaskan. Karena memang film ini paham betapa pentingnya building up dalam penceritaan. Si hologram Ed awalnya dihadirkan bersikap seperti A.I. pada umumnya. ‘Kaku’ kayak Siri atau Alexa, bedanya ada wujudnya. Film malah memperlihatkan sosok hologram yang lain dulu sebelum menghadirkan wujud Ed. Cuma berdiri. Perlahan, seiring Dita tampak semakin nyaman, hologram Ed mulai bisa duduk, bahkan bisa ikut berlari menemaninya olahraga. Ngomong-ngomong soal build up, relasi antarkarakter juga dibangun dengan seksama. Gimana perasaan Ifan terhadap Dita. Gimana Dita dan Ed kenalan hingga bisa saling suka. Film ngasih waktu banyak untuk membangun relasi-relasi ini, sehingga adegan-adegan saat dunia cerita mulai bergejolak oleh kehadiran hologram Ed (yang tentu saja awalnya dirahasiakan oleh Dita dari sahabat-sahabatnya) terasa lebih punya bobot emosi. Karena kita diperlihatkan para karakter ini sebelum konflik utama itu terjadi. Dalam artian, kita benar-benar mengikuti perkembangan karakter ini dalam span empat, lalu dua tahun kemudian. Kita jadi benar-benar mengerti yang mereka rasakan, pembawaan natural dari para aktornya jadi icing on the cake yang bikin penonton semakin tersedot ke dalam cerita.

Arahan film ini memang tampak percaya diri. Umay mengaduk bahasan kematian, penjelasan rule teknologi di dunia cerita, hingga urusan relationship dan pertemanan, dengan tambatan perspektif yang kuat. Ini dunia anak muda. Yang melek teknologi, Yang melek keterbukaan komunikasi. Arahan Umay tidak membuat film kehilangan suara khas mereka. Sudah cukup banyak kita nonton film-film tentang anak muda, atau remaja, atau yang coba angkat suara kopi-senja, atau bahkan film anak-anak, tapi si film itu sendiri terasa jauh dari subjeknya tersebut. Yang jatohnya film itu jadi kayak try too hard dalam memportray karakternya, let alone dunia mereka yang coba dibangun. Ketika Berhenti di Sini melakukan itu dengan terlihat natural. The way the characters talk, the way they act around others. Dialognya tahu kapan harus pakai kosa kata anak muda, kapan harus pakai bahasa deep talk, kapan harus bersendu dengan perasaan, kapan harus bercengkerama dengan orang tua. Film ini dengan mudah konek kepada penonton muda, karena mereka sudah easily ‘bicara dengan bahasa yang sama’.  Momen-momen emosional yang jadi ujung tombak cerita juga jadi terdeliver dengan baik. Banyak loh yang nangis nonton ini di dalam studioku kemaren. Film ini sendiri terasa beneran ‘muda’. But also, punya kekurangan yang sama dengan anak muda. For it could get too cocky, dan beberapa hal harus dipoles lagi.

Lama-lama si A.I. juga gak ada bedanya dengan hantu

 

Naskah film ini masih terasa rough around the edges. Hook-hook dan plot poin cerita bergerak dengan aneh, ada yang kayak atas dasar hura-hura saja. Banyak kejadian film ini terjadi karena sesuatu yang enggak langsung berhubungan dengan konflik karakter utama. Misalnya, kacamata AR tersebut gak bakal ada di tangan Dita (yang artinya cerita film ini gak bakal lanjut) kalo Dita tidak menumpahkan lagi minumannya ke iPad. Jadi, majunya cerita sebenarnya lemah, tapi kebetulan seperti demikian itu masih bisa dimaklumi. Salah satu cara membuat penonton maklum dengan mendesain kebetulan tersebut dengan kejadian yang masih ada sangkut pautnya dengan flaw protagonis. Jika dia orang yang belum bisa move on, berarti adegan kebetulan itu bisa terjadi dari dia yang gak fokus karena mikirin orang yang udah gak ada sehingga menumpahkan minum. Pada film ini, adegan kebetulan itu adalah Dita menumpahkan minum karena saat meeting dengan cameo pemain Mencuri Raden Saleh, wallpaper ipadnya keganti jadi foto dia dengan Ifan. Not even foto Ed. Atau bahkan bukan karena malu ketahuan oleh sahabat-sahabatnya. Ini kan seperti gerakan gegabah khas anak muda, dilakukan oleh film ini. Adegan yang mestinya bisa didesain untuk lebih tight (film ini perlu banget sebenarnya lebih banyak memasukkan interaksi Dita dengan sahabat-sahabatnya) jadi loose karena film ingin masukin hal yang menarik lainnya.

Cerita jarang sekali maju karena pilihan Dita si tokoh utama. Most of the time Dita hanya bereaksi atas keadaan di sekitarnya. Gak sengaja menumpahkan air. Mendengar kabar Ed kecelakaan. Pilihan signifikan pertama untuk majunya plot yang dibuat oleh Dita adalah saat memutuskan untuk terus memakai kacamata AR. Dan itu baru terjadi menjelang mid point. Tadinya kupikir bakal jadi penghantar masuk babak kedua loh. So it’s nice film ini ngebuild up hubungan karakter terlebih dahulu – tiga puluh menit awal benar-benar digunakan untuk ini –  tapi harusnya itu bisa dilakukan dengan tetap memberikan pilihan kepada karakter utama. Tetap membuatnya beraksi jadi penggerak cerita. Looking back setelah nonton aku bahkan gak yakin Dita punya motivasi personal sebelum kenalan dengan Ed. Dan soal kenalan itu, film juga gak circled back lagi, gak ngasih alasan kenapa si Ed ini seorang complete stranger yang follow sosmed Dita. Kenapa gak teman kampus, atau semacamnya. Apakah biar dia jadi manic pixie dream boy, kayak Clementine di Eternal Sunshine (tapi bahkan Clementine ternyata berkembang jadi lebih dari sekadar manic pixie dream girl) Kenapa Ed follow Dita. Tadinya kupikir Dita semacam seleb sosmed, karena ada adegan sosmednya direply oleh banyak orang. Tapi perihal itu juga tidak divisit lagi, presence sosmed Dita kayak cuma buat lihatin bahwa mereka ini anak muda yang interaksinya ya banyakan di dunia maya.

Bagian terbaik film memang ketika Dita mulai punya kacamata putih itu. Dia mulai membuat pilihan-pilihan, yang seharusnya memang membuat hidupnya jadi makin rumit. Membuat relasinya dengan Ifan, dengan sahabat, dengan sekitarnya renggang, dan semacamnya. Satu lagi kekurangan pada naskah adalah seperti kehabisan waktu (atau ide? ah, masa sih ide..?) saat menggali bagian ini. Si Dita ini kurang di’punish’. Drama itu kan main naik turun, titik teratas ke titik terendah karakter. Nah, film ini tu kayak belum ngasih Dita ke titik terendah hidupnya.  Stakenya gak terasa, karena Dita gak terkesan beneran merasa ada kegagalan saat dia menghabiskan waktunya ngobrol dan menjalin hubungan sama hologram alih-alih manusia nyata. Bahkan sampai akhir aku merasa sukar percaya Dita genuinely appreciate Ifan, karena, ada surat dan segala macem (malah Ifan yang mau mencoba mengerti Dita kembali). Di akhir naskah kembali ragu untuk meletakkan semuanya di tangan Dita. Keputusan dia mendelete hologram juga berkurang efeknya karena dia tidak belajar dari kesalahan sendiri.

 




Padahal sebenarnya film ini memang unik. Premis ‘seseorang yang ingin lanjutin hidup tapi tidak mau mengikhlaskan orang-orang yang telah meninggalkannya’ itu udah kayak si karakter ini kemauan dan rintangannya adalah hal yang sama. Karena dengan gak ikhlaskain orang yang udah pergi, ya sama aja dengan gak pengen lanjutin hidup. This is just a second movie dari Umay, dan dia udah berani bikin yang sekompleks ini. Ceritanya berevolusi dari tentang pure romance, ke yang lebih psychologically challenging dengan fiksi ilmiah sebagai panggung, ke hubungan ayah dan anak. Sejujurnya ini udah masuk ke kriteria yang layak di posisi nilai sembilan buatku. Tapi naskah adalah sandungan utama. Walau dialog-dialognya tersusun (dan terlontar) dengan genuine, teknis dan strukturnya masih loose. Masih banyak gegabah. Karakter utamanya juga tidak banyak menggerakkan cerita dengan pilihan. Jika pun ada, posisi dan timing adegannya aneh. Terus juga ada adegan yang hooknya gak benar-benar nyambung ke konflik. Kayak, posisi cameo aja seolah lebih didahulukan ketimbang menggali persahabatan karakter sentral. Meski begitu, memang, dengan passion dan kreasi semenyegarkan ini, aku harap kiprah penyutradaan Umay tidak berhenti di sini.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for KETIKA BERHENTI DI SINI

 




That’s all we have for now.

Kalo kacamata itu beneran ada, apakah kalian akan menggunakannya untuk menyapa kembali orang yang telah pergi?

Share pendapat kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian ke Apple TV+ , karena ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



OPPENHEIMER Review

 

“You can’t blame science for being used for evil purposes.”

 

 

Kita baru saja ‘survive’ dari ledakan-bioskop yang bernama Barbenheimer. Sementara fenomena dua film ‘IP gede’ ini memang pantas dirayakan (diversity keduanya memberikan pengalaman dan suasana menonton yang luar biasa luar-dalam bioskop), kedua film itu sendiri – Barbie karya Greta Gerwig dan Oppenheimer buatan Christopher Nolan – sebenarnya sama-sama punya something untuk kita bawa pulang. Sesuatu untuk dipikirkan. Barbie gak sekadar fun dan colorful. Oppenheimer gak cuma ledakan bombastis dan adegan hitam putih yang gritty. Keduanya sama-sama punya bobot dan menghantarkan emosi. Bahkan, kedua film ini membicarakan hal yang serupa. Yakni tentang gimana suatu gagasan atau ide terwujud menjadi sesuatu yang ternyata tak lagi bisa dikendalikan. Jika Barbie berkutat dengan eksistensnya sebagai boneka yang dibuat sebagai gagasan, ikon feminisme namun ternyata malah membawa hidup ke hal yang toxic, Oppenheimer menyelami titular karakternya. Yang dihantui dilema moral dan rasa bersalah, karena dia, sang Bapak Bom Atom, telah menciptakan senjata yang dipakai untuk berperang. Teori dan gagasan-gagasan cemerlangnya mengenai atom/nuklir justru membuatnya merasa dirinya telah menjadi ikon dari “Death, the destroyer of worlds”

Pusing pala Berbi

 

Nolan menggarap film ini sebagai biopik, tapi bukan sembarang biopik. Enggak sekadar menceritakan kisah hidup J. Robert Oppenheimer dari muda sampai sukses menciptakan bom atom. Bukan, ini bukan biopik keberhasilan yang menginspirasi. Nolan sudah barang tentu paham sekali bahwa ‘keberhasilan’ Oppenheimer sejatinya adalah keadaan dilema moral manusia yang sangat pelik. Sekalipun si pembuat film punya sikap, dan mungkin keberpihakan misalnya dengan sains yang enggak salah atau semacamnya, Nolan dengan bijak mengajak kita semua menyelami Oppenheimer secara personal terlebih dahulu. Dengan bijak mempertimbangkan bahwa dengan dua ratus ribu lebih jiwa korban Hiroshima dan Nagasaki, bagi beberapa jelas tidak mudah memaafkan ataupun menganggap Oppenheimer menjadi pahlawan sains dengan begitu saja. Maka Nolan membuat biopik ini dengan sama rumitnya dengan yang dirasakan oleh si karakter. Development Oppenheimer sebagai karakter mungkin sudah jelas; seseorang yang bangga dengan yang ia kerjakan, namun perlahan menjadi merasa bersalah hingga mengecam dirinya sendiri, tapi bahkan Nolan tidak membiarkan Oppenheimer mengalami journey yang terlihat gampang. Nolan justru membolak-balik urutan cerita, dia suguhkan kejadian dengan tidak linear supaya Oppenheimer semakin jumpalitan pada journey-nya itu – dan kita duduk di sana merasakan langsung semuanya.

Ya, ini penceritaan-rumit khas Nolan. Bentukan dasar penceritaan Oppenheimer sebenarnya adalah drama interogasi. Oppie (panggilannya oleh kolega) di ‘present time’ film lagi duduk ditanyai oleh pihak pemerintah. Oppie dicurigai sebagai orang yang gak nasionalis – mata-mata komunis, on top of perubahan sikapnya terhadap senjata nuklir dan pengembangan bom hidrogen. Kejadian film akan bergulir sesuai dengan jawaban Oppie mengenang hal yang ditanyakan kepadanya. Kehidupan Oppie, mulai dari dia berusaha meracuni dosennya saat kuliah hingga mengembangkan teori kuantum (Oppie disebut kuat teori tapi canggung saat praktek) hingga melakukan Trinity Test, dari pacaran dengan Jane, menikah dengan Kitty, dan menyesali kematian-kematian akibat perbuatannya, serta sepanjang karir kedekatannya dengan orang-orang sayap kiri, semua akan terangkum dengan relatif acak, tergantung apa yang ia ceritakan kepada para penanya. Bentuk seperti ini membuat film ini jadi punya vibe dokumenter. Apalagi karena Nolan memang memperlakukan karakter-karakter ceritanya sebagai, kayak tokoh beneran (and they are). Mereka dilepaskan dari nama-nama besar aktor yang memerankan mereka. Para aktor justru dibiarkan melebur menjadi yang mereka perankan. Sekelas Emily Blunt aja dibiarkan jadi sosok blur di latar belakang saat Oppie diwawancara. Rami Malek paling cuma muncul sekelebat. Film lain mungkin akan membuat si A meranin tokoh B sebagai sebuah big deal, tapi pada Oppenheimer, mereka tidak akan ‘berperan’ sampai tokoh mereka beneran dibutuhkan oleh Oppie. Nolan ingin kita melihat mereka sebagai tokoh-tokoh sejarah itu. Florence Pugh literally ditelanjangi, karena memang di situlah kepentingannya. Sebagai tokoh Jane, orang yang bersamanya Oppie merasa paling aman membuka diri. Pengenalan tokoh yang paling playful dibuat film ini, menurutku, adalah Albert Einstein di pinggir kolam (diperankan oleh aktor Skotlandia Tom Conti). See, dialog Oppie dengan Einstein di pinggir kolam itu sebenarnya yang mereka bicarakan adalah punchline penting, yang secara kronologis juga terjadi di kemudian hari. Tapi oleh film dimunculkan di awal-awal, sehingga ini jadi hook yang membuat penceritaan jadi asik untuk diikuti, dan akhirnya membungkus film dengan nicely saat cerita circle back ke dialog ini.

Treatment Nolan terhadap tokoh-tokoh cerita enggak menyetop para aktor untuk memberikan penampilan paling serius mereka. Saat nonton aku gagal menemukan Devon Bostick karena dia begitu menjelma jadi salah satu fisikawan Manhattan Project. Tentu, ngomongin menjelma, kita gak bisa tidak mengapresiasi Cillian Murphy yang jadi Oppie. Penampilan kurus Oppie dijadikan penanda visual betapa rasa bersalah itu menghantui dirinya, Murphy sangat komit di sini. Aktingnya melingkup fisik dan mental. Ekspresi. Semua total. Mungkin dari semua tokoh, yang masih kelihatan aura aktor di baliknya itu cuma Lewis Strauss, yang dimainkan oleh Robert Downey Jr. dengan vibe cocky-nya yang seperti biasa. Strauss si Bisnisman actually punya peran besar di dalam cerita, karena dia bertindak sebagai ‘perspektif yang satu lagi’. Ya, membuat cerita tidak linear ternyata belum cukup. Penonton masih perlu menyelami lebih banyak, melihat gambar yang lebih besar. Jadi, dengan resiko membuat film menjadi lebih rumit, Nolan memasukkan dua sudut pandang dengan treatment yang juga berbeda. Ketika memperlihatkan sisi Oppie, kita akan diberikan adegan yang berwarna. Kita dimaksudkan melihat apa yang dirasakan oleh Oppie. Namun ketika film ingin kita melihat lebih objektif, dari gimana pihak luar melihat Oppie, film menjadi hitam-putih dan perspektif akan diwakilkan oleh Lewis Strauss, yang sedikit banyak punya peran dalam proses ‘kejatuhan’ Oppie.

Kalo Indonesia, Slamet Rahardjo kayaknya cocok jadi Einstein

 

Aku bego fisika. Aku gak tertarik bom dan persenjataan. Aku juga kurang open sama sejarah dan politik. Hebatnya film ini tetap beresonansi.  Karena perasaan bersalah Oppie itu bakal relate banget. Film ini menggambarkan ketakutan dan resah Oppenheimer dengan benar-benar manusiawi. Aku dulu suka baca Animorphs dan ada satu karakternya yang kupikir terinspirasi dari Oppenheimer atau Prometheus. Karakter di buku itu bernama Seerow, ilmuwan bangsa Andalite yang memberikan icip-icip teknologi kepada bangsa Yeerk, parasit tanpa panca-indera. Namun justru karena kebaikan Seerow itulah perbudakan galaksi terjadi. Bangsa Yeerk menggunakan teknologi untuk mencari host dan memperbudak bangsa planet lain. Seerow akhirnya dikucilkan oleh bangsanya sendiri. Seerow adalah Oppenheimer, dan Oppenheimer adalah kita semua yang takut kebaikan kita disalahgunakan. Like, mau ngasih sumbangan buat anak-anak jalanan aja kita takut, siapa tau nanti duitnya dipakai beli rokok, atau diambil tukang palak. Perasaan inilah yang relate, dan Nolan mencengkeram perasaan itu dan menghadirkannya lekat-lekat. Momen terbaik film ini buatku adalah ketika Nolan memvisualkan perasaan Oppenheimer, begitu kuat sehingga nyaris seperti adegan film horor.

Gambar-gambar yang dihadirkan pun jadi seperti sureal. Ketika Oppie menatap riak air di kolam, dia seperti melihat gambaran daerah yang bergetar kejatuhan bom. Ketika Oppie pidato di depan penduduk Amerika, seharusnya menyuarakan kesuksesan pengiriman bom ke Hiroshima, tapi dia kebayang apa yang terjadi di Jepang sana. Gimana efek bom ciptaannya terhadap manusia. Audiens yang sedang bertepuk tangan kini dilihat Oppie sebagai korban bom yang menjerit kesakitan dengan wajah mengelupas (tak sekalipun Nolan menggambarkan secara langsung Jepang kena bom, sebagai bentuk respeknya terhadap para korban). Ketika Oppie duduk di sana didesak oleh pewawancara untuk mengakui perbuatannya. Di film ini Nolan menciptakan adegan ledakan beneran, tanpa CGI. Adegan yang luar biasa, indah dan menakutkan bersamaan. Tapi momen-momen psikologis Oppie tadi, buatku terasa jauh lebih memekakkan hati. Nolan berhasil membuat visual yang kuat. Sejujurnya, aku ngarep kalo film ini bisa dipersingkat, dan fokus di visual. Tapi pada kenyataannya, Oppenheimer memang banyak dialog. Dialognya dilontarkan cepat-cepat, adegan pun bergulir cepat, karakter muncul silih berganti, seolah Nolan treats dialog-dialog itu sebagai adegan action. Dan unfortunately for me, kalo urusan dialog aku lebih suka kepada adegan yang ngasih dialog tersebut jeda, supaya kita bisa punya waktu mencerna feel yang dirasain karakternya. Lebih lama merasakan impactnya. Apalagi kalo dialognya itu bukan dialog komedi seperti film komedi.

Penceritaannya yang menyeluruh, dengan dua perspektif,  memperlihatkan di satu sisi penciptaan bom atom memang sebuah pencapaian umat manusia, di sisi lain juga memperlihatkan manusia juga bisa berbuat salah. Film juga mengingatkan bahwa ada permainan politik yang menggerakkan itu semua. Film ini tidak memaksa penonton untuk memaafkan Oppenheimer. Si Oppenheimer sendiri bahkan belum bisa memaafkan dirinya hingga akhir hayat, karena telah membuat perang semakin mutakhir. Dan mungkin inilah yang sebenarnya diinginkan film, supaya tak ada lagi Oppie-Oppie berikutnya. Karena seperti yang disebutkan film, maaf yang tersisa seharusnya adalah maaf untuk diri sendiri. Penyesalan dan memaafkan itulah yang sejatinya memisahkan kita dari ‘jahat’ yang sebenarnya.

 




‘Musik’ yang bisa kita rasakan di film ini adalah musik keresahan dari orang yang merasa telah menarik pelatuk kehancuran dunia. Menurutku cukup itu saja yang benar-benar harus kita coba mengerti pada film ini. Sementara Nolan, memang dia telah membuat sesuatu yang besar di sini, dia meluluhlantakkan semua. Biopik yang ia buat meledak oleh tsunami fakta mengenai kejadian dan karakter di balik pengeboman Jepang pada Perang Dunia Kedua. Nolan memeriksa kejadian tersebut dengan detil dan berimbang, dan tidak seperti film terakhirnya, kali ini yang ia ciptakan tidak void dari emosi. Tokohnya beneran dimanusiakan. Dan dia berani untuk tidak membuatnya gampang. Kejadiannya dibuat non linear supaya makin mengaduk-aduk perasaan karakter. Visualnya mencengangkan. No CGI? Well, damn!  Kalo anak jaman sekarang bilangnya; “Emangnya boleh seepik ini?”
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for OPPENHEIMER

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian Bang Oppie bersalah? Apakah kalian memaafkannya?

Share pendapat kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian ke Apple TV+ , karena ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 



BARBIE Review

 

“Life is your creation”

 

 

Sutradara Greta Gerwig menyebutkan setidaknya ada tiga puluh tiga film yang ia jadikan referensi saat menggarap film tentang boneka kesayangan nomor satu anak-anak perempuan sedunia ini.  Beberapa referensi yang disebutkan Gerwig memang ‘kelihatan’ sepanjang durasi Barbie, dalam pengadeganan, dalam dialog yang dengan sarkas menyentil referensinya, atau yang benar-benar gamblang seperti adegan pembuka yang mlesetin pembuka 2001: A Space Odyssey. Bukan lagi monyet yang menemukan monolith, melainkan anak-anak perempuan yang sudah letih main ibu-ibuan pakek boneka bayi, menemukan boneka wanita dewasa, pirang, langsing, cantik, dan bisa mereka dandani dengan berbagai kostum mulai dari pekerjaan hingga fashion pesta! Yup, Barbie memang digarap fun dan absurd. Bersanding tayang dengan Oppenheimer-nya Nolan, juga lantas menanamkan kesan dua film ini bagai air dan api, dengan Barbie dianggap ringan ketimbang Oppenheimer. But make no mistakes, kedua film ini sama-sama berbobot. Meskipun gak disebutkan sebagai film-film referensinya, toh aku merasa film ini seperti gabungan dari konsep meta The Lego Movie dengan eksplorasi kesadaran mainan pada Toy Story. Alhasil Barbie sesungguhnya adalah bahasan filosofis tentang eksistensi dengan faktor-faktor seperti gender yang bergerak di baliknya.  Yang jelas, film ini bukan live-action dari Barbie animasi fantasi yang dulu sering tayang saat musim libur di televisi!

I’m just like you, you’re just like me

 

Barbie Margot Robbie tinggal di Barbieland. Menjalani hidup yang perfect bersama Barbie-Barbie yang lain. Ada Barbie yang jadi pilot, Barbie yang benerin jalan, Barbie yang menang nobel, hingga presiden di sana tu pun, Barbie. Mengisi hari, Barbie Stereotypical kayak karakter Margot Robbie, have fun di pantai. Hang out bareng Barbie dan para Ken, termasuk Ken-nya Ryan Gosling, yang pengen nempel terus sama Barbie Margot Robbie.  Semua Barbie dan Ken (dan juga boneka lain produksi Mattel yang sudah tidak diproduksi lagi) ini tau mereka boneka. Mereka bangga, karena Barbie – mereka – diciptakan sebagai icon perempuan yang kuat bagi anak-anak. Film pun dengan kocak segera menjelaskan bagaimana hubungan absurd antara para boneka dengan pemilik mereka di dunia nyata terbentuk. Para Barbie bergerak persis kalo anak-anak main boneka, mereka bisa tinggal melayang. Mobil mereka bahkan enggak perlu mesin, karena digerakkan oleh tenaga imajinasi anak-anak. Pokoknya kehidupan rutin di Barbieland tak pernah menjemukan. Aman dan nyaman. Bersenang-senang dan sempurna sepanjang hari. Sampai suatu ketika Barbie Margot Robbie tiba-tiba mulai memikirkan kematian. Hidupnya lantas jadi tak sempurna. Dia terjatuh ketika berjalan, karena mendadak kaki jenjang indahnya itu tidak lagi berjinjit. Worse, dia menemukan selulit di pahanya! Atas usul Weird Barbie (Barbie yang sudah ‘tak berbentuk’ karena dimainkan dengan berlebihan oleh anak-anak), Barbie Margot Robbie pergi ke dunia nyata. Guna menemukan anak manusia yang memainkan dirinya. To make things right with her.  Petualangan Barbie bersama Ken pun dimulai.

Dulu kalo ada anak cewek yang cakep, ibu-ibu – termasuk mamak ku – pasti memujinya “aihh, adek cantik sekali, kayak boneka berbi”. Boneka Barbie yang telah ada sejak 1960an itu memang telah turut jadi lambang kecantikan. Anak-anak sejak kecil taunya cantik ya seperti itu. Tinggi, langsing, rambut panjang. Belakangan, Barbie memang mulai hadir dengan lebih diverse. Tapi imaji kecantikan yang telah jadi standar itu tetap tidak berubah. Dan ukuran kecantikan seperti demikian bukan exactly sebuah hal yang bagus. Greta Gerwig memasukkan permasalahan tersebut sebagai bibit konflik internal yang dirasakan oleh karakternya. Para Barbie, terutama si Barbie Stereotypical yang jadi karakter utama cerita, merasa kehadiran mereka membantu dunia menjadi lebih baik. Barbie merasa sebagai role model yang membuat hidup anak perempuan jadi lebih berdaya. Seperti boneka-boneka perempuan di Barbieland. Dialog pada bagian awal film ini memang tidak bisa diisi oleh bantering, karena para Barbie percaya hidup mereka flawless dan paling benar, tapi justru diisi oleh dialog-dialog yang terdengar sarkas bagi kita. Karena kita tahu di dunia nyata, Barbie tidak seheroik itu. Melainkan cukup problematik. Bayangkan betapa terkejutnya Barbie tatkala sampai di dunia nyata. Bukan saja tidak ada anak perempuan yang memeluk dan berterima kasih kepadanya, Barbie malah dihujat oleh seorang anakremaja. Barbie malah merasa tidak aman berada di kota dengan sedikit sekali presence perempuan, lebih banyak laki-laki yang aktif di jalanan, dan semuanya memandang dirinya dengan tatapan yang bikin gak nyaman. Menyadari eksistensinya justru membawa bad impact bagi anak-anak perempuan (dengan ngeset standar mustahil dan mengotak-ngotakkan mereka harus bisa jadi ini dan itu),Barbie menangis untuk pertama kalinya. Ngecast Margot Robbie adalah langkah yang tepat, karena pertama; fisiknya membuat kita percaya bahwa Barbie memang diciptakan sebagai ide kesempurnaan perempuan. Kedua, kemampuan aktingnya mampu membawakan konflik personal yang menyeruak secara perlahan tapi pasti di balik kesempurnaan yang ia percaya itu.

Ada banyak cara untuk melanjutkan cerita Barbie ini. Cerita bisa dibawa ke arah mengalahkan patriarki dan korporat jahat, misalnya. Terlebih karena memang ada karakter bos dan petinggi-petinggi perusahaan Mattel yang ingin mengembalikan si Barbie ini ke dalam kotak, mengirimnya kembali ke Barbieland. Gerwig bisa saja menjadikan mereka sebagai sosok antagonis, karena telah membuat women empowerment sebagai bahan jualan boneka semata. Jadi Barbie dan pemiliknya bisa dibikin bekerja sama mengalahkan Mattel demi membuat dunia nyata dan Barbieland lebih baik lagi. Atau kalo mau lebih sureal, bisa saja dibuat pemilik Barbie ini adalah karakter lain yang diperankan Margot Robbie, alias Barbieland adalah produk imajinasi dari kepala seorang perempuan di dunia nyata yang kabur dari toxicnya dunia nyata. Tapi Greta Gerwig sama seperti Barbie, gak mau masuk ke dalam kotak. Menjadikan cerita seperti dua contoh yang kusebut itu, adalah cara gampang yang bakal membuatnya masuk ke kotak mainstream storytelling. Gerwig mengambil arahan yang totally berbeda. Yang totally unik dan hanya dia yang bisa. Dia membuat tidak ada yang jahat dan baik. Not even patriarki jahat, matriarki benar.  Korporat cari cuan dari mainan anak, ada, tapi oleh Gerwig mereka itu bukan penyebab masalah, melainkan juga dampak . Yang dipilih oleh Gerwig sebagai bahasan adalah soal pilihan itu sendiri. Tentang eksistensi dan menyadari bahwa kita punya pilihan. Bahasa Gerwig di sini adalah bahasa filosofis (menjawab pertanyaan dengan pertanyaan), dan satirnya, bahkan sedikit menyenggol kisah di dalam agama.

“I am a liberated man.” Liberated man = free man = preman!

 

Eksistensi Barbie dan Ken seperti reverse dari Adam dan Hawa. Gerwig seperti ingin memperlihatkan teorinya bahwa dunia kita jadi patriarki hanya karena Adam diciptakan duluan, dan Hawa dijadikan sebagai pendampingnya. Kalo Hawa yang diciptakan duluan, hasilnya ya kayak di Barbieland. Barbie dibikin terlebih dahulu, dan baru Ken dibuat sebagai playmate bagi Barbie. Matriarki ternyata tak lebih baik. Karena sistem itulah yang membuat Ken Ryan Gosling juga jadi punya krisis eksistensi. Dia merasa dirinya hanya ada sebagai pendamping Barbie. ‘Barbie and Ken’ – kita melihat di adegan yang telah jadi meme, bahwa saat ditangkap polisi, Ken mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai ‘and Ken’. Bukan ‘Ken’. Saat dunia kita sedang memperjuangkan kesetaraan perempuan, para Ken tengah mengambil alih Barbieland dengan brute force. Ya, yang tampak girang saat mereka di dunia nyata, memang Ken. Tak ditemukannya di sana laki-laki menjadi cheerleader buat perempuan. Laki-laki di dunia nyata memegang kendali, punya posisi. Naik kuda! Jantan sekali. Pandangan tersebut lantas dibawanya kepada Ken lain di Barbieland (termasuk pada Ken Simu Liu yang jadi saingannya), dan tempat itu seketika berubah menjadi setoxic dunia kita. Ryan Gosling juga perfect di perannya ini, karena dia bisa membawakan peran yang goofy dengan aura yang agak nyebelin dengan pesona konstan. Ken punya adegan nyanyi tersendiri, dan Gosling nails it oh so correctly.

Film ini menunjukkan mau itu matriarki atau patriarki, keduanya leads to the same toxic thing. Penulisan film ini berusaha membalance-kan kedua perspektif. Di titik inilah, dialog-dialog mulai kembali kepada traditional bantering. Saling attack dan defense antara Barbie dan Ken, perempuan dan laki-laki (notice cuma ada dua, bahkan di dunia boneka yang penduduknya gak punya alat kelamin sebagai penanda biologis) Diungkapkan betapa susahnya jadi cewek, yang dituntut harus sempurna. Diungkap susahnya jadi cowok yang dituntut tak boleh tampak vulnerable. Ditowel soal cowok yang punya kebiasaan suka meng-mansplaining everything. Dicolek soal cewek yang gampangnya nge-fake-in apapun.

Walau memang keseluruhan Barbieland jadi potret yang bagus, jadi cermin cartoonish yang absurd, bagi permasalahan real kita, film Barbie ujungnya berkutat parah pada penyelesaian. Si Barbie sendiri literally kebingungan mengenai ending dia apa. Well, tahun lalu Triangle of Sadness, salah satu Top-8 2022 Movies ku juga membahas soal patriarki dan matriarki yang dibalik, seperti pada Barbie ini. Film itu mengakhiri ceritanya dengan terbuka; apakah cewek juga akan saling bunuh demi kekuasaan, atau apakah cewek rela menjajah pria, semuanya diserahkan kepada pandangan dan subjektivitas penonton masing-masing. Apa yang kita percaya itulah yang akan terjadi. Greta Gerwig, sebaliknya, terus mendorong perspektif Barbie sebagai pihak yang telah melihat yang terburuk dari keduanya. Barbie telah melihat dunia nyata, dan melihat kebenaran di balik dunia plastiknya. Barbie telah melek, telah woke, dan pilihan itu ada di tangannya. Journey karakter Barbie adalah untuk menyadari bahwa dia punya pilihan. That she have to act on her choice. Bahwa dia, bukan sekadar gagasan. Dia adalah apa yang ia pilih. Penyelesaian yang filosofis dengan dialog antara Barbie dengan penciptanya, mungkin akan tampak kurang memuaskan bagi penonton setelah sekian banyak hal-hal ajaib dan elemen-elemen cerita yang dihadirkan oleh film.

Boneka Barbie dimasukkan ke dalam kotak, dijual dengan kostum, ada yang sebagai dokter, ada yang sebagai petualang, ada yang sebagai princess, dan sebagainya. Siapa mereka seolah ditentukan sejak mereka dibuat. Inilah yang didobrak oleh film Barbie. Poinnya adalah percaya bahwa kita punya pilihan. Bahwa orang bukan terdefinisikan dari ‘kotak’ mereka – dan ‘kotak’ ini bisa berarti apapun yang diberikan kepada mereka, entah itu titel, atribut, ataupun gender sekalian. Melainkan oleh pilihan mereka sendiri. Kita harus memilih sendiri. Itulah kenapa disebut hidup adalah kreasi kita sendiri.

 

 




Inilah yang terjadi jika sutradara indie dikasih tugas menjual IP. KIta gak hanya dapat film yang tentang produk tersebut, tapi juga sesuatu yang lebih dalam. No doubt boneka Barbie yang terkenal bakal semakin terkenal, tapi lebih daripada itu, kata Barbie akan mendapat asosiasi baru. Yakni sebuah film yang sangat absurd dan unik, yang mengeksplorasi eksistensi dan bahasan yang menantang tentang dinamika gender. Film penuh pesona dengan desain produksi dan artistik ngejreng ini pada awalnya bakal bikin kita tertawa-tawa, tapi makin ke sini, kita bisa melihat bahwa hiburan di sini bukan receh semata. Ada banyak komentar berbobot yang ada di balik karakter dan dunia yang absurd tersebut. Kalo ada warna yang menggambarkan film ini, maka memang paling cocok warna kostumnya Bret Hart. Hitam dan Pink. Karena film ini memang thoughtful dan fun secara bersamaan.  
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BARBIE

 

 




That’s all we have for now.

Barbie dan Ken tadinya baik-baik saja dalam pandangan ideal tapi naif mereka, tapi masalah mereka muncul saat Barbie dan Ken mulai melek pada pandangan baru yang mereka dapatkan di dunia nyata. Apakah menurut kalian ini juga yang terjadi di dunia kita yang semakin woke kayaknya semakin banyak masalah, ketimbang masa lalu yang kayaknya aman-aman saja ketika belum banyak pihak yang ‘baperan’?

Share pendapat kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian pindah dari Barbieland ke Apple TV+ , karena ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ASTEROID CITY Review

 

“Sometimes you have to accept things the way they are and move on”

 

 

Belum lama sejak Wes Anderson bikin kita takjub dengan film yang ternyata bukan film, melainkan majalah! (baca review  The French Dispatch di sini) Sekarang sutradara maniak gambar simetris dan warna palet kontras ini hadir membawa film yang tak kalah ajaibnya. Kali ini dia membuat film dari theater play. Dari proses orang bikin pertunjukan sandiwara teater. Asteroid City, begitu quirky, kisah yang diceritakannya bahkan enggak real di dalam konteks dunia cerita itu sendiri. Nah lo, belum apa-apa sudah aneh kan? Hihihi

Biasanya kan, kita tahu cerita dalam film adalah sebuah fiksi, namun bagi para karakter di dalam film, cerita dan dunia mereka adalah nyata.  Asteroid City tidak seperti itu. Yang dikisahkan adalah tentang seorang ayah, berprofesi sebagai fotografer, yang menyimpan rahasia dari anak-anaknya bahwa ibu mereka telah meninggal tiga minggu yang lalu. Si Augie justru membawa anaknya jalan-jalan. Tiga putrinya yang masih kecil-kecil mau dibawa ke rumah kakek, sementara putra sulungnya mau dianter ke kemah ilmiah di Asteroid City; tempat di tengah gurun yang jadi pusat wisata dan penelitian antariksa lantaran dulu pernah kejatuhan asteroid. Kita bertemu Augie dan keluarga saat mereka sampai di kota tersebut. Di malam pembukaan kemah, alien (like, literally alien dan UFOnya) turun ke tengah-tengah mereka, dan mengambil asteroid simbol tempat Kota. Kejadian itu membuat Augie dan orang-orang nyentrik lain yang anaknya ikut kemah (termasuk seorang selebriti), harus dikarantina di Asteroid City, sampai pemerintah dan mereka semua bisa memasukakalkan peristiwa kemunculan makhluk luar angkasa tersebut. Sementara kita, para penonton, punya satu hal lagi untuk dimasukakalkan, yakni apa sebenarnya film ini. Karena kisah di Asteroid City tadi itu  sebenarnya cuma drama teater. Augie dan putranya dan si selebritis dan karakter-karakter lain, cuma peran yang dimainkan oleh aktor-aktor teater. Kita juga akan diperlihatkan lewat gambar hitam putih sebagai penanda, adegan-adegan yang menunjukkan pembuatan Asteroid City, aktor-aktor yang berlatih, penulis yang mencari inspirasi, serta sutradara yang sering didatangi pemain yang kebingungan atas peran yang ia mainkan. Jadi seperti ada dua bagian yang bercampur; bagian cerita di Asteroid City yang berwarna, dan bagian cerita dari dokumentasi belakang panggung yang hitam putih. Dengan garis utama yang dibiarkan blur.

Film ini adalah Barbenheimer yang sebenarnya, karena di sini ada Margot Robbie dan ledakan bom atom

 

Boleh gak sih film dibikin seperti itu? Ya boleh-boleh saja, asal bangunan penceritaan dengan konsep uniknya tersebut bekerja dalam sebuah konteks, dan tentu dengan tidak meninggalkan development karakter. Asteroid City, buatku, terasa even better daripada The French Dispatch karena punya development karakter yang lebih kuat. Memang, karakter di dua film ini typical karakter Wes Anderson banget, dalam artian mereka sama seperti lingkungannya yang berwarna kontras dan simetris; tampak artifisial.  Tapi di balik quirk yang aneh dan kekakuan mereka, kita masih bisa merasakan genuine, relatable feelings. Dan di film ini, feelings tersebut lebih terasa, dan ditulis dengan lebih mencuat. Kita bisa meraba karakter development itu dari menarik garis paralel antara perspektif utama. Menarik persamaan dari karakter Augie, dan aktor yang ceritanya memerankan Augie (keduanya diperankan oleh G-Man Jason Schwartzman). Mereka berdua sama-sama mencoba memasukakalkan perasaan yang mendera. Perasaan bingung, Augie bingung dengan perasaan dukanya yang seperti tak mendapat tempat di dunia yang begitu random malah memberikannya alien dan cinta. Aktor yang meranin Augie bingung kenapa tiba-tiba ada alien di dalam cerita yang ia mainkan. Sehingga keduanya berusaha mencari jawaban atas bingung tersebut. Augie, mencoba dengan memotret alien dan Midge, aktris yang ia jumpai di sana. Sementara si aktor berusaha nanya ke penulis dan sutradara.

Tapi alien, si aktris, penulis, dan sutradara itu bisa apa. Toh Wes Anderson tidak memberikan jawaban terhadap itu. Augie dan para karakter lain – fiksi ataupun karakter aktor – dibiarkan ‘menjelajah’ kejadian aneh tersebut. Hidup mereka dibiarkan random.  Dan itulah poin film ini. Wes bukannya tidak mau ngasih jawaban, melainkan supaya para karakternya, supaya kita juga, melepaskan diri dari menuntut penjelasan. Satu-satunya yang mendapat balasan di sini adalah perasaan Augie terhadap si aktris, yang menandakan kepada kita bahwa dalam cerita ini Wes Anderson mementingkan perasaan, emosi yang dialami oleh para karakternya yang kaku, dibandingkan dengan rasionalisme. Maka logika, gak maen di sini. Logika enggak dimasukkan ke dalam perhitungan karya film ini (at least, sampai kita membedahnya ke dalam bentuk lain misalnya seperti tulisan review ini)

Terkadang hal dapat terjadi secara random tanpa penjelasan. Misalnya hal yang kebetulan, yang terjadi dalam kesempatan yang acak. Terkadang ada juga hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Hal-hal seperti perasaan. Cinta, penyesalan, duka. Kita cuma bisa menerima perasaan dan kejadian tersebut, dan move on melanjutkan hidup. 

 

Saat kita sudah mengerti akan itulah, film lantas seperti mendobrak sendiri ‘peraturan’ dalam dunia ceritanya. Yang tadinya kita sangka sebagai ‘kejadian beneran’ dan ‘cerita’ ternyata tidak demikian adanya. Karena membedakannya begitu berarti kita masih memakai logika. Memisahkan bagian cerita jadi dua kotak itu dengan melihat tanda-tanda seperti, warna hitam putih untuk menunjukkan dunia yang butuh penjelasan (dunia nyata) dengan warna cerah untuk dunia reka (dunia sandiwara di kota Asteroid), ternyata hanya perangkap bingkai yang dimiliki oleh film ini. Wes ingin meleburkan keduanya, maka dia membuat ada satu karakter – host dari bagian dokumentasi – yang masuk ke dunia warna. Lalu ada beberapa aktor di dunia hitam putih yang tiba-tiba berwarna. Batasan nyata dan reka menjadi tidak ada, semua jadi tampak sama-sama artifisial, semua jadi abstrak seperti karya seni itu sendiri. Dan satu hal tentang seni, itu adalah seni merupakan cara pembuatnya berkomunikasi. Sampailah kita kepada lapisan berikutnya pada Asteroid City sebagai sebuah sinema. Sebuah karya seni, dengan Wes Anderson sebagai penciptanya. Dan sama seperti foto alien yang dipotret Augie, film sebagai seni hanya memotret. Potret itu sendiri nantinya disebar dan diterjemahkan dan disimpulkan dengan bebas oleh orang-orang yang melihat. Apakah alien di foto ini hoax? Atau apakah berarti umat manusia dalam bahaya?

Hampir seperti kartun, pake ada Road Runner segala

 

Seniman membuat karya. Dia tidak perlu memasukakalkan karyanya. Wes Anderson tidak perlu untuk melogiskan Asteroid City. Tadi dia dengan gampangnya meminta kita untuk tidak menonton ini dengan menuntut penjelasan. Melainkan untuk merasakannya secara subjektif saja. Namun bagaimana proses dia membuat ini? Asteroid City dalam level terdalam sebenarnya adalah gambaran proses kreatif seorang seniman seperti Wes Anderson dalam membuat karya. Konflik antara membuat yang bisa diterima akal dengan mempertahankan cita rasa seni itu sendiri. Percakapan aktor Augie menuntut penjelasan dengan sutradara yang menepis soal logisnya jalan cerita, curhat si aktor terhadap perannya, berakar dari si kreator itu sendiri yang bergulat menciptakan sesuatu yang bisa diterima, bisa dirasakan, alih-alih semata logis untuk dipikirkan. Dari film ini kita bisa menyimpulkan bahwa Wes Anderson pada akhirnya percaya bahwa seni tidak akan bisa tercipta jika manusia sebagai pembuat hanya berkutat pada hal-hal yang masuk akal. Karakter di dalam film ini kaku karena mereka strive untuk hal logis. Untuk kemudian diperlihatkan tokoh-tokoh di Asteroid City butuh alien yang gak masuk akal, butuh hal sensasional supaya hidup mereka yang kaku bisa cair. Anak-anak yang belajar planet-planet itu, jika tidak kedatangan alien, mungkin tidak akan pernah bicara tentang filsafah hidup dengan si koboy, Putra Augie dan teman-temannya yang science freak tidak akan sempat ngerem dan naksir-naksiran jika alien tidak datang ke sana. Augie dan ayahnya akhirnya bisa berdamai dengan duka saat membiarkan putri-putri cilik itu melakukan ritual penguburan ala penyihir. Karena saat mereka mengembrace ketidakmasukalan sikap anak-anak itulah, pintu bagi Augie untuk menyentuh emosi mereka terbuka. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan mengandalkan akal pikiran. Karena justru akal pikiran yang mengandalkan imajinasi.

“You can’t wake up if you don’t fall asleep” adalah yel-yel yang kita dengar diteriakkan oleh para aktor saat pembuatan teater Asteroid City. Kata-kata yang ternyata ‘masuk akal’ sekali ke dalam konteks film tadi. Kata-kata yang terjemahan literalnya adalah semacam menyebut untuk bisa terbangun, kita harus tidur dulu itu seperti menyiratkan pesan bahwa ya kita harus berkhayal dulu baru bisa disebut tersadar. Inilah kunci seni menurut Anderson. Untuk bisa menyentuh kesadaran emosional, serta kemelekan akal pikiran, maka kita harus berani untuk berimajinasi terlebih dahulu. Seliar-liarnya.

 

 




Tak ada yang dijelaskan oleh film ini. Tidak ada jawaban tentang apa maksud aliennya. Karena film sebagai seni tidak perlu menjelaskan dirinya sendiri. Tugas itu ada pada kritikus. Sebuah film tetap perlu disampaikan maksudnya karena film bagaimanapun juga adalah komunikasi antara si pembuat dengan penonton. Komunikasi itu terjaga bukan dari pembuatnya menggunakan bahasa yang masuk akal atau gampang dicerna.  Justru menurut film ini bahasa yang paling efektif itu adalah perasaan, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Komunikasi itu terjadi, terjaga, saat ada penyampaian bahasa dan perasaan tersebut. Ada yang menerima, setidakmasukakal apapun bahasanya. Film ini aneh, karakternya kaku, kejadiannya gak masuk akal, komedi dan karakternya yang diperankan oleh banyak bintang gede itu amat nyentrik. It’s rather unsual and hard to watch, yes. Film ini adalah alien bagi kita, seperti alien bagi karakter di Asteroid City. Sesuatu yang mungkin penting untuk melanjutkan hidup yang seringkali sudah jadi tak berasa.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for ASTEROID CITY

 

 




That’s all we have for now.

Jika film adalah seni yang tak harus menjelaskan, bagaimana dengan tulisan kritik atau ulasan? Menurut kalian kritik itu tulisan apa sih, berita, opini, karya ilmiah, atau bisakah dia disebut sebagai karya seni juga?

Share pendapat kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian pindah dari gurun ke Apple TV+ , karena ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



INSIDIOUS: THE RED DOOR Review

 

“Painting is good for the soul”

 

 

Insidious original membuka pintu baru dalam sinema horor ala wahana rumah hantu. Perjalanan masuk ke dalam dunia lain. Wuih, pokoknya sejak Insidious booming, gak terhitung deh ada berapa film horor Indonesia yang terinspirasi konsep menjelajah ke other side lewat proyeksi astral seperti yang dipunya oleh film yang ditelurkan oleh James Wan, back at 2010 itu. Dunia gaib dan rulenya memang berbeda-beda, tapi dari gaya dan vibenya kita dengan segera bisa langsung pinpoint yang sedang ‘ditiru’ itu adalah konsep The Further yang ada pada Insidious. Jika sudah seinfluential begitu, maka sudah hampir bisa dipastikan juga Insidious bakal diperah menjadi franchise. And it did. Right now, kita sedang mantengin halaman review untuk seri kelima dari franchise Insidious. Sama seperti kebanyakan franchise horor, laku bukan berarti jaminan mutu. Antara ditinggal James Wan setelah seri kedua dengan konsep yang sudah sebegitu banyak yang meniru, Insidious mulai terasa jadi biasa-biasa saja, Maka dari itulah, menggarap seri kelima ini jadi tantangan yang nyata bagi Patrick Wilson; yang dari pemain filmnya, dia debut jadi sutradara.

Patrick mengembalikan Insidious: The Red Door kepada cerita keluarga Josh Lambert.  Terakhir kali kita melihat mereka di Insidious Chapter 2(2013), keluarga itu memutuskan untuk melakukan terapi hipnotis untuk melupakan teror di masa lalu, supaya tak lagi dihantui. Supaya anak-anaknya gak trauma dulu ayah mereka pernah berusaha membunuh mereka karena dirasuki setan. Ingatan itu dikubur dalam-dalam supaya keluarga ini bisa move on dan hidup normal serta bahagia. Well, fast forward sepuluh tahun kemudian, kita melihat hidup mereka memang cukup normal, tapi mereka gak exactly terlihat seperti keluarga bahagia. Malahan, mereka sudah bukan keluarga utuh. Josh sudah cerai dengan istrinya. Dan, hubungan Josh dengan anak-anaknya – terutama dengan si sulung Dalton yang sudah hendak kuliah – tidak baik-baik saja. Renggang. Baik Josh maupun Dalton seperti disibukkan dengan pikiran sendiri, bahwa ada masa-masa yang tidak bisa mereka ingat, dan ini mengganggu mereka.  Sementara Josh berusaha mencari kesembuhan yang lebih ilmiah, Dalton di asrama mulai dihantui kejadian misterius, saat di kelas tiba-tiba dia melukis sebuah pintu merah.

Pintu itu melarangmu masuk, atau melarangmu keluar, tanya dosen yang melihat lukisannya.

 

Ah, pintu yang harus ditutup alias tak boleh dibuka. Saat menonton, aku memang lantas teringat sama anime fantasy Suzume (2023) yang bicara hal serupa. Yang juga menyimbolkan ingatan traumatis dengan pintu yang tertutup. Sesuai genrenya, Insidious membicarakan persoalan itu dalam nada yang lebih kelam. Jika Suzume harus menutup pintu untuk mengalahkan cacing raksasa, dengan vibe petualangan dan bumbu romansa. Insidious mengharuskan karakternya berkonfrontasi dengan setan mengerikan, tanpa ada rule ataupun senjata yang jelas untuk mengalahkan sang momok. Pintu itu harus dibuka. Dan ‘perjalanan personal’ kedua karakter – Josh dan putranya, Dalton – untuk menemukan cara menemukan kembali ingatan mereka, dalam artian membuka pintu itu, adalah perjalanan masing-masing. Secara sendiri-sendiri (this is a broken father-son relationship, after all). Penuh oleh kejadian mengerikan yang tersampaikan kepada kita dalam bentuk jumpscare selantang-lantangnya.

Walau karakter utamanya tetap Josh Lambert, tapi film membagi dua perspektif ceritanya. Kita akan secara bergantian ngikutin Josh dan Dalton. Akibat yang paling jelas dari cara bercerita seperti ini adalah tempo yang jadi benar-benar kerasa gak balance. Sering berpindah-pindah karakter menghasilkan kesan film ini lebih panjang daripada durasi sebenarnya. Kesan ini timbul karena film otomatis punya lebih banyak kejadian. Kejadian dari sisi Josh, Dan kejadian dari sisi Dalton. Dua kejadian ini tentu saja akan ‘bersaing’ satu sama lain; kita akan merasa ada satu yang lebih seru ketimbang yang lain. Jadi kita bakal menunggu kejadian yang seru itu saja. Dalam kasus film ini, kejadian yang dialami Dalton di lingkungan kampus seni memang lebih menarik daripada yang dilewati ayahnya yang cuma di rumah. Untuk menyeimbangkan keduanya, film butuh arahan yang solid serta penulisan yang cerdik. Film ini toh tampak benar-benar berjuang untuk mencapai itu. Patrick Wilson memasukkan banyak experience baru ke dalam bagian Josh. Kayak, horor di dalam mesin scan otak, ataupun permainan memori yang dibikin sendiri oleh Josh di rumah demi melatih ingatannya. Tapi tetap saja bagian Josh ini terasa lebih generik, apalagi bandingannya adalah karakter Dalton yang berada dalam situasi baru, less drama, dan terbantu oleh karakter pendukung yang gampang disukai oleh penonton.

Dalton dipasangkan dengan Chris (cewek, bukan cowok) yang sifatnya dibikin bertolak belakang dengan Dalton. Sehingga interaksi mereka jadi seger banget, persahabatan mereka jadi kayak natural. Ty Sympkins mainin karakter pendiam dan banyak masalah, sementara Sinclair Daniel jadi orang yang cablak, nekat, dan punya selera humor. Relasi ini jelas dianggap lebih menghibur, ketimbang persoalan Josh yang lebih banyak ‘drama’ soal takut pikun dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan clue-clue dari misteri masa lalu yang gak benar-benar bisa kita ikuti. Persoalan misteri untuk bagian Dalton lebih engaging dan lebih mudah konek kepada penonton karena banyak menyangkut ke adegan-adegan film Insidious saat dia masih kecil. Aku sendiri, lebih tertarik oleh gimana film membuat melukis sebagai cara Dalton teringat kembali kepada hal yang seharusnya sudah dikubur dalam-dalam oleh terapinya dulu. Jadi sebagai mahasiswa seni lukis, Dalton diajarkan untuk menggambar berdasarkan apa yang ia rasakan. Dalton diajar untuk membuka pintu di dalam dirinya. Ajaran itu accidentally membuat Dalton bersentuhan dengan ingatan terkuburnya. Membuat Dalton jadi kembali bisa nyebrang ke The Further (istilah film ini untuk dunia lain), meskipun di titik itu dia belum lagi ingat atau mengerti apa yang sebenarnya dia lakukan. Dan tebak ngapain dia dengan pengalaman mistis ‘barunya’ tersebut? Sama seperti anak muda pada umumnya, dia gunakan The Further untuk menggoda temannya. Menggoda si Chris hahaha

Ada yang ngitung berapa banyak objek warna merah yang muncul sepanjang film?

 

Konsep melukis dengan membuka pintu dalam diri ini mengingatkanku sama dulu waktu belajar nulis. Aku juga diajarkan untuk membuka pintu-pintu di dalam diri terlebih dahulu – diajarkan untuk mengenali diri sendiri terlebih dahulu supaya tulisan bisa punya rasa dan ada jiwanya. Melukis ternyata juga seperti itu. Enggak bisa asal mirip dengan ‘foto’ maka disebut bagus. Melainkan harus ada rasa dan jiwa pembuatnya. Makanya lukisan A.I. mau sebagus apapun juga masih kalah sama buatan seniman manusia. Di film ini bahkan diperlihatkan bahwa lukisan yang prosesnya dibuat dengan jiwa, juga berfungsi sebaliknya, yakni dapat menyembuhkan jiwa itu sendiri.

 

Sebagai yang bermula sebagai aktor komersil, Patrick Wilson sekiranya sudah belajar satu-dua hal cara ngebuild up momen horor yang menjual banget. Momen-momen seperti bayangan yang mengendap-ngendap dari balik kaca belakang mobil ataupun saat Josh merasa dirinya tak lagi sendirian di dalam mesin scan merupakan momen-momen yang pantas jadi highlight karena sukses bikin penonton satu studioku menghela napas dan menjerit-jerit. Momen ketika Dalton harus ‘balapan’ dengan entitas yang mau mengacau dunia nyata saat dia di dalam The Further juga ngasih reaksi super pada penonton. Patrick Wilson hanya perlu belajar lebih banyak untuk menjadikan momen-momen itu sebagai kesatuan cerita yang koheren. Karena babak ketiga film ini, babak ketika cerita Josh dan cerita Dalton mulai melebur jadi satu kesatuan konfrontasi horor atas nama perjuangan keluarga mereka, di situlah film ini terasa lemah. Kejadian just sort of happen. Rule soal The Further jika dimasuki makin jauh, makin berbahaya, sama sekali tak terasa ngefek karena Josh actually jalan di dalam sana dari rumah istrinya ke kampus Dalton – jarak yang jauh apalagi ditempuh hanya dengan kaki. Soal rule, ngomong-ngomong, memang tak pernah dijabarkan film dengan legit. Jika Dalton butuh lukisan dan teknik melukis yang ia pelajari sebagai jalan masuk, maka film tidak benar-benar memasukakalkan kenapa Josh yang ‘penyakit lupa’nya lebih parah juga jadi bisa ingat.

Yang benar-benar terlepas dari penulisan film ini akibat cara bercerita dua perspektif adalah tidak bisa fokus ke persoalan koneksi ayah dan anak yang renggang. Karakter ini terbatas pada perjalanan masing-masing meng-confront horor dengan cara yang berbeda. Sementara usaha ayah koneksi ke anak, drama mereka, tidak dilakukan maksimal. Pendekatan antara mereka berdua hanya dilakukan lewat percakapan whatsapp yang juga tampak generik lewat tampilan chat di layar dan sebagainya. Interaksi yang minim, effort yang kayak terpisah, tapi di akhir film mendadak mereka berjuang bersama. Feeling yang dihasilkan jadi tak terasa kuat, film ini hanya kejadian-kejadian yang tau-tau comes together di akhir. Momen ayah akhirnya pelukan dengan anak cowoknya harusnya jadi momen manusiawi yang grounded, yang powerful, yang mungkin relate bagi banyak penonton. Akan tetapi sepanjang perjalanannya, film tidak membuild up koneksi ini dengan benar, sehingga ya hanya jadi adegan saja.

 




Setelah sempat pindah fokus karakter pada dua film terakhirnya, aku sebenarnya seneng film ini kembali kepada keluarga Josh Lambert. Senang karena muatan drama bisa mengalir lebih genuine jika horor digali dalam lingkungan keluarga yang punya arc alias episode cerita. Film ini berusaha menggali kelanjutan cerita, sambil tetap menapak pada kejadian sebelumnya; berusaha memberikan development yang natural untuk karakter-karakter, namun sayangnya film ini not really good at doing it. Keputusan bercerita membagi dua perspektif adalah keputusan beresiko untuk ditempuh, apalagi saat film tidak dikawangi oleh sutradara yang sudah lebih mahir. Patrick Wilson cukup lumayan menghasilkan adegan-adegan horor, dia cuma butuh bercerita dengan lebih koheren. Yang lebih enak dalam penggabungan dua perspektifnya. Film ini pada jantungnya bicara tentang hubungan ayah dan anak, failednya komunikasi yang terjadi secara turun temurun, tapi proses pembelajaran karakter ke sana tidak terjabarkan dengan baik, melainkan hanya muncul sebagai solusi, tanpa ada proses yang benar-benar dramatis. Aku ragu ini bakal jadi film terakhir, tapi di samping kelemahan-kelemahan penceritaan tadi, aku rasa aku bisa nerima kalo film ini dijadikan penutup dari cerita keluarga yang sudah kita ikuti lebih dari sepuluh tahun yang lalu
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INSIDIOUS: THE RED DOOR

 




 

That’s all we have for now.

Di film ini banyak lukisan-lukisan seram. Ngomong-ngomong, kenapa ya ada lukisan yang bisa tampak seram banget? Apakah kalian punya cerita tentang takut sama suatu lukisan atau semacamnya?

Share cerita kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian pindah dari mobil jip ke pesawat. Alias di Apple TV+ ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



KEJAR MIMPI GASPOL! Review

 

“Moms have dreams too!”

 

 

Di ‘pekarangan’ Gunung Bromo, Ibu Fifi mengendarai mobil jipnya. Sepasang turis duduk di kursi belakang jip kuning tersebut, pucat ketakutan. “Mobil ini kuat kok, dari besi, keras” kelakar Fifi, pikirnya itu menenangkan mereka. Perempuan paruh baya yang memiliki usaha homestay dan wisata keliling gunung itu memang menyetir kendaraannya menyusuri jalanan tanah yang sukar dilalui dengan kecepatan cukup tinggi. Tapi toh dia tetap terlihat santai menerjang ombang-ambing jalanan – tidak seperti dua orang penumpangnya. Ibu ini seperti menikmati, seolah ingin menunjukkan bahwa dia mampu menerjang rintangan dalam hidupnya, menganggapnya sebagai hiburan alih-alih derita. Fifi dalam Kejar Mimpi Gaspol! garapan Hasto Broto memang potret sosok ibu yang tangguh. Seorang single mother dengan usaha yang berdikari. Suka duka kehidupan Ibu Fifi – yang sepertinya terinspirasi dari kisah dari tokoh nyata –  diceritakan Hasto dalam balutan drama komedi: ‘kedok’ yang sempurna untuk membuat si karakter jadi punya lapisan.  Di balik senyum lebarnya,Fifi menyimpan sendu yang ia tuliskan rapi dalam buku yang ia jaga. Karakter Fifi ter-flesh out lewat tulisan-tulisannya ini. Film ini pun, terasa lebih syahdu dan nyaman ketika bercerita lewat tulisan tersebut.

Kendaraan drama untuk Asri Welas

 

Ngomong-ngomong soal kendaraan, Kejar Mimpi Gaspol! yang merupakan cerita berhias komedi namun dengan akar dramatis yang kuat dari hubungan ibu dan anak dengan mimpi-mimpi mereka dapat bertindak jadi kendaraan drama bagi aktor Asri Welas yang terkenal lewat peran komedi. Aku ngeliat Asri Welas ini tuh kayak, Awkwafina versi Indonesia. Like, walaupun asalnya agak sedikit berbeda (Awkwafina dari rapper, Welas dari model) tapi dalam seni peran, mereka ini sekian lama selalu kebagian peran sebagai pendukung yang melulu comedic relief, karena mereka doing so well at it, mereka kayak jadi stuck di situ. Namun kemudian, Awkwafina dapat her big break ke dalam skena drama lewat film The Farewell (2019) Dia didaulat jadi karakter utama dalam drama keluarga yang begitu personal serta kental budaya Cina tersebut. Film itu jalan lewat permainan emosi yang dalem yang ditampilkan olehnya. Sementara Asri Welas, enggak hingga film Kejar Mimpi Gaspol! ini akhirnya kebagian peran utama. Aku pun jadi menaruh harapan yang cukup tinggi di sini. Terlebih setelah melihat set up dari karakter yang Welas mainkan. Bu Fifi yang tampak ceria tapi menyimpan banyak cerita yang begitu menyentuh. Bu Fifi yang membesarkan anak gadis seorang diri, hingga harus melupakan mimpinya. Mimpinya yang nanti ketahuan itulah yang lantas jadi percikan dalam film ini. Membuka banyak ruang emosi dramatis untuk diisi oleh Asri Welas.

Kita mengetahui tentang impian terkubur Fifi lewat cara yang sama dengan putrinya, Diana, dan seorang aktor yang menginap di homestay mereka, Damar. Lewat cara yang intrusif, mendobrak privacy sang karakter utama. Yang sebenarnya merupakan langkah penulisan naskah yang aneh, karena kita tidak dibuat berada di dalam sepatu Fifi si karakter utama, melainkan dari pihak luar. Tapinya lagi, toh cara ini cukup efektif juga menghadirkan konflik yang jadi bumbu drama sebagai api pada paruh awal film. Jadi di sela-sela kerjaannya sebagai tour guide dan pengurus homestay, Fifi suka menulis di dalam diary. Ngakunya sih, dia nulis catatan tentang para turis yang pernah menginap di tempatnya. Tapi oh boy, Fifi sangat protektif terhadap diary tersebut. Gak ada yang boleh baca. Termasuk Diana. Damar si aktor lawas yang udah gak laku-lah yang nanti dengan kurang ajar, diam-diam membaca semua tulisan Fifi. Dan pria itu tersentuh, bukan hanya oleh isi cerita, melainkan juga oleh cara Fifi mengungkapkan ceritanya. Di situlah impian itu terkuak. Di situ juga, masuknya jalan drama. Asri Welas tidak lagi melulu melontarkan candaan – yang bahkan tidak dianggap lucu oleh karakter-karakter di dunia cerita – tetapi dia kini harus menginjak ranah emosional ketika harus berkonfrontasi dengan orang yang telah melanggar urusan pribadinya. Juga, berkonfronasi dengan anak semata wayang yang kini mendorongnya untuk mengejar kembali cita-cita yang telah lama dinomorduakan karena ia percaya, setelah menjadi seorang ibu, tugasnya adalah membantu mewujudkan cita-cita anaknya.

Inilah yang kita, sebagai anak, juga sering lupa. Kadang kita bisa begitu egois dengan berpikir orangtua harus selalu mendukung cita-cita anak. Kejar Mimpi Gaspol! ngasih tau kita bahwa orang tua, seorang ibu seperti Fifi, juga punya cita-cita. Dan kita mungkin gak bakal pernah tahu cita-cita itu karena mereka telah menutup lembar hidup mereka tersebut saat kita lahir. Padahal cita-cita mereka tentu saja enggak kalah penting untuk dikejar. Coba deh, sekali-kali anak juga balik mendukung ibu, atau ayah, mewujudkan impian mereka.

 

Nge-cast Michelle Ziudith sebagai putri Bu Fifi sedikit-banyak membantu Asri Welas sampai ke ranah dramatis itu. Film ini sendiri juga memang butuh presence seseorang yang memang bisa berakting emosional hingga berderai air mata seperti Ziudith. Sebab, banyak momen emosional film hadir lewat tulisan Bu Fifi. Siapa lagi coba yang bisa membuat kita percaya tulisan itu beneran sedih saat dibaca. Permainan emosi dari Michelle Ziudith yang membaca tulisan-tulisan tersebut membantu perasaan itu terdeliver. Asri Welas yang meng-voice over kata-kata di buku itu juga membacakannya dengan penghayatan emosi yang mengena. Dan bukan sebatas sedih-sedih aja, kadang di tulisan itu ada bagian humornya; yang juga tersampaikan dengan lancar. Padahal hanya lewat kata-kata. Tora Sudiro sebagai Damar (peran ini bisa jadi meta baginya, or not haha) juga membantu.

Welas mungkin harusnya bisa belajar banyak dari Tora yang udah duluan menjamahi ranah komedi dan drama seperti ini. Karena, walau saat membaca delivery-nya sukses, tapi di sisi yang lebih penting (karena film bukan media audio melainkan audio-visual) Welas masih kurang gaspol mainin drama. Ini krusial. Luarnya memang komedi, tapi ruhnya ini adalah cerita drama, dengan niat sebagai kisah inspiratif. Penyampaian drama harus dilakukan dengan baik, meluruh. Asri Welas sayangnya tampak belum terlalu nyaman main di drama yang lebih emosional. Dia oke ketika hanya membaca, ketika adegan hanya menuntut satu emosi. Tapi, perpindahan antara becanda dengan ‘serius’ yang ia bawakan, kurang meyakinkan. Kayak pada adegan Fifi tersinggung pekerjaan jasa homestay yang menjual kenyamanan, disamain ama hostess. Adegan yang awalnya adalah obrolan ringan itu membutuhkan perpindahan instan dari bercanda ke momen yang menusuk hati, karena Fifi tersinggung. Welas belum mampu menampilkan range itu. Melihatnya, kita gak yakin apakah dia beneran marah atau bercanda. Drama dan komedi dimainkan oleh Welas seperti dua sisi mata uang. Head. Or tail. Tidak pernah seperti lapisan yang mencakup keduanya. Ini membuat karakter Fifi terasa on dan off. Tidak terasa benar-benar genuine sebagai seseorang dengan range emosi yang natural.

Padahal aku berharap bisa naik kelas sandingan dari Awkwafina ke Michelle Yeoh

 

Kekurangmampuan tersebut bukannya terus di-challenge oleh naskah dan arahan, tapi malah difasilitasi. Drama Kejar Mimpi Gaspol! akhirnya dikurangi di saat masih banyak sebenarnya tempat untuk menggali.  Cerita nanti akan berkembang menjadi tentang Bu Fifi, dibantu oleh Damar, berusaha ‘menjual’ tulisannya ke produser untuk difilmkan. Tapi enggak banyak yang benar-benar dibahas dari sini. Bobot emosional film ini tidak pernah mencapai level saat Fifi dan Diana saling membahas impian lagi. Babak ketiga film ini malah tidak membahas apa-apa lagi, melainkan cuma ngasih reward. Cuma build up ke hal manis yang didesain untuk didapat oleh Fifi. Adapun usaha baru yang dilakukan oleh Bu Fifi supaya tulisan dapat dinikmati oleh publik, pun tidak digarap sebagai sesuatu yang menantang atau menuntut apa-apa darinya. Istilahnya, sudah tidak ada stake. Menurutku sayang sekali, sebuah cerita bisa kehilangan nafsunya untuk menggali drama yang dipunya seperti ini. Ini hampir lebih menyedihkan daripada orangtua yang gak jadi mengejar mimpinya loh haha

Kalo memang harus ada yang di-ditch oleh film, maka itu harusnya adalah komedi tempelan dari karakter pendukung. Yang mulai kebanyakan, dan sejujurnya tidak pernah benar-benar worked out sedari awal. Padahal karakter-karakter pendukung ini sebenarnya punya ‘bentukan’ yang menarik, ada pria tua yang naksir Fifi, ada anak-anak buah Fifi dengan tabiat beragam yang semacam berkompetisi satu sama lain, yang mereka ini seharusnya bisa lebih natural ditarik perannya ke dalam cerita. Tapi film hanya menempatkan mereka lebih seperti sketsa. Karikatur yang jadi hiasan tak-hidup dari cerita. Ini yang justru jadi sandaran oleh film. Keputusan yang aneh mengingat film ini sebenarnya memotret banyak hal seru selain kisah Ibu menggapai mimpi dan pemandangan alam Gunung Bromo. Dalam durasi nyaris dua jam, film ini turut menggambarkan hal-hal relevan seperti fenomena artis/publik figure yang suka bayar pakai engagement (walaupun follower mereka ternyata gak banyak-banyak amat), persoalan belakang layar antara hubungan bisnis yang memburuk antara aktor dengan produser, Bahkan ada tuh yang cukup relate buatku, yaitu soal Bu Fifi susah jual tulisan karena gak punya latar belakang pendidikan menulis. Film gak pernah benar-benar menggali semua itu, melainkan hanya gambaran saja. Hanya rintangan saja, karena karakternya nanti akan belok, bukannya berusaha mengovercame it.

 




Sebagai kisah inspiratif, film ini memang memperlihatkan perjuangan kesuksesan karakter dengan vibe yang benar-benar feel good moment, tapi dari pengembangannya, ini tidak benar-benar terasa seperti perjuangan. Tidak pernah sungguh-sungguh menginspirasi. Melainkan, yang ditunjukkan adalah rintangan yang selesai relatif mudah. Karakternya tidak benar-benar melewati banyak drama, dengan stake yang juga absen. Film ini kayak hanya berakhir sebagai reward tak-terelakkan, karena merasa karakternya sudah cukup melewati banyak di paruh awal. Padahal itu belum cukup. Bayangkan kisah sukses tapi yang dilakukan karakternya cuma posting tulisan di web. Dia bahkan gak bikin sendiri webnya. Dari komedinya juga kurang ngena. Film ini punya karakter yang unik dan gak jaim, ibu yang suka bawa jeep ke jalanan yang susah, atau kayak karakter Michelle Ziudith yang running jokenya adalah dia tahu istilah-istilah sosmed yang harusnya cewek terpelajar kayak dia gak tahu, dan dia salting ketika ditanya “Kok tau?”, tapi film tetap mengandalkan komedi ala sketsa terpisah. Dengan penulisan joke yang lebih sering miss, pula. Bahkan karakter utamanya digambarkan ngejoke sering garing. Kupikir ini bisa jadi kendaraan drama buat Asri Welas. Memang, ini sebuah kesempatan yang mungkin tak semua produser berani ngasih. Cuma sayangnya, kesempatan yang ini pun juga tidak memberikan ruang yang benar-benar pol untuknya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for KEJAR MIMPI GASPOL!

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian tahu apa cita-cita ibu kalian dulu? Apakah sekarang beliau sudah mendapatkan cita-cita tersebut? If not, how’d you intend to help her?

Share cerita kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian pindah dari mobil jip ke pesawat. Alias di Apple TV+ ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ONDE MANDE! Review

 

“The ends justify the means”

 

 

Kita semua pasti datang dari suatu tempat, namun belum tentu semua orang mau melihat ke belakang, ke tempat yang mungkin telah ia tinggalkan. Karena seperti halnya setiap tempat atau daerah, masing-masing kita pasti punya cerita. Makanya, ketika ada seseorang yang berani kembali, mengingat, dan mengangkat kisah akar rumputnya tersebut, ketahuilah bahwa itu merupakan salah satu bentuk cinta terbesar.  Siapa yang tahu perjalanan self-discovery seperti apa yang Paul Agusta lakukan sebelum akhirnya menceritakan kisah Onde Mande!, film drama komedi yang bersinar justru pada momen-momen personal dari karakter yang mengunjungi tempat asalnya. Momen-momen personal yang ditarik dari hubungan seorang anak dengan sosok ayahnya.  Momen-momen personal, yang sayangnya, bersemayam dalam naskah yang belum sepenuhnya mampu menghandle konsep cerita komedi persekongkolan satu kampung. Karakter-karakter dalam Onde Mande! sendiri justru tersaji tanpa mengalami pembelajaran personal, melainkan konflik mereka beres hanya sebatas “oh, ternyata”. Sampai-sampai – dan ini yang paling lucu dari film ini buatku – pandangan karakter di kampung Sigiran yang berbohong demi kemajuan dan gak benar-benar menghadapi konsekuensi (karena terselamatkan oleh “oh, ternyata”) itu membuatku jadi teringat sama slogan Nazi.

Cerita Onde Mande! menyangkut satu kampung. Jadi, di kampung Sigiran hiduplah seorang bapak yang dipanggil Angku Wan. Bapak yang hidup sebatang kara itu dikenal keras kepala tapi peduli sama kampung. Si bapak berencana kalo menang kuis berhadiah 2 milyar di televisi, duitnya akan dia pakai untuk membangun kampung. Niat yang mulia, tapi Tuhan bekerja dalam cara yang misterius. Angku Wan memang menang, tapi belum sempat hadiahnya diterima, beliau wafat. Merasa sayang kesempatan emas untuk kehidupan warga itu hilang, maka Da Am dan istrinya sepakat untuk dirinya berpura-pura menjadi Angku Wan supaya bisa menerima hadiah tersebut. Hal jadi rumit, tatkala gak semua warga setuju, dan pihak pemberi hadiah pun mengirimkan seseorang ke kampung Sigiran untuk memverifikasi sebelum hadiah diberikan secara langsung.

Sala lauak, confirmed!!

 

Naskah Onde Mande! sebenarnya lebih berani dan lebih luas. Paul Agusta melakukan satu hal yang tampaknya ragu-ragu dilakukan oleh Bene Dion Rajagukguk tahun lalu, yakni menggunakan dialog yang nyaris sepenuhnya berbahasa daerah. Dalam film ini, bahasa Minang. Dialog-dialog Minang yang dilakukan film ini pun bukan sekadar mengganti kosa kata, kayak kalo di subtitlenya ada “Jangan panik” film ini tidak cuma mengucapkannya sebagai jangan bahasa Minangnya apa, panik bahasa Minangnya apa. Melainkan menggunakan kosa kata yang lebih spesifik lagi. Yang lebih sesuai dengan identitas budaya Minang yang memang bicara dengan perumpamaan dan kiasan. Cuma, aku gak tahu apakah disengaja atau tidak, tapi cerita Onde Mande! ini konsepnya seperti terlalu dimiripin sama Ngeri-Ngeri Sedap, Ada persekongkolan, dari sudut pandang bapak di kampung. Ah, kalo saja yang ditiru Onde Mande! bukan itunya doang. Tapi juga naskahnya, yang ditulis dengan benar.

Namanya film yang mengangkat daerah, ya berarti harus ada identitas atau sudut pandang daerah itu yang dicuatkan. Yang dikomentari sebagai masalah. Ya, tahun lalu, Bene Dion Rajagukguk menggarap komedi drama keluarga yang bagus banget, mengangkat perspektif kepala keluarga Batak dibenturkan dengan keadaan modern. Yakni ketika anak-anaknya memilih karir dan hidup yang menurut si bapak, menentang adat. Sehingga si bapak kompakan dengan ibu untuk berpura-pura cerai supaya anak-anaknya pulang untuk ia nasehati. Dengan bahasan dan perspektif tersebut, film Ngeri-Ngeri Sedap berhasil konek sembari memberikan tontonan yang segar bagi penonton secara umum.  Yang diangkat Bene di situ kan sebenarnya soal sistem kekerabatan adat Batak terkait bapak dengan anak laki-lakinya. Film itu berusaha mengulik ‘kekakuan’ yang timbul. Anak yang harus ikut maunya bapak, kasarnya. Gak sekadar memotret, Bene paham karakter film harus punya pembelajaran. Sehingga sekalipun dia tidak ‘lancang’ menyalahkan bapak, atau malah membuat bapak selalu benar, Bene membuat karakternya mengalami pembelajaran di akhir bahwa at least si bapak bisa belajar untuk turut bahagia atas hidup pilihan anaknya. Onde Mande! gak punya momen pembelajaran seperti ini. Padahal didengar dari narator (ya, didengar karena banyak penceritaan film ini yang dilakukan by telling, not showing) gagasan cerita seperti menyasar kepada stigma negatif soal orang Minang cenderung terlihat culas/licik, terutama urusan duit. Tapi sampai akhir film tidak menggali ini. Pertentangan yang hadir dari warga yang gak setuju gak pernah benar-benar digali sebagai kontra-statement. Dan ngomong-ngomong ‘warga yang gak setuju’, jumlahnya bisa diitung jari. Cuma Pak Haji dan putri dari Da Am sendiri, si Mar (Shenina Cinnamon tiok main pilem kok tampangnya bantuak risau taruih se, yo?) Alih-alih, film hanya membiarkan saja. Seolah membenarkan prinsip yang dipercaya Da Am tersebut. Konsekuensi tidak ada lantaran yang mereka tipu adalah orang yang ternyata punya hubungan keluarga dengan warga mereka. Alhamdulillah! 

Makanya aku jadi teringat slogan Nazi. The ends justify the means. Wong dari yang terjadi pada Da Am dan kampung Sigiran diperlihatkan tidaklah mengapa menipu asalkan tujuannya mulia. Sifat licik/culas? Ya memang begitu, karena orang Minang peduli sama keluarga mereka. Kan jadinya aneh, sebab penyelesaian dari perbuatan karakter cerita hanya datang karena Anwar sebagai yang outsider kebetulan ternyata sebenarnya adalah bagian dari mereka. 

 

Di pertengahan, film pindah membawa kita lebih dekat ke Anwar, orang dari PT Sabun yang disuruh ke sana untuk verifikasi, dan kita gak actually dikasih tahu lagi strategi Da Am dan istrinya. Cerita berjalan sekenanya sutradara saja, tidak lagi ikut logika karakter. Misalnya nih, ntar Mar dan Anwar disuruh ke rumah saudara jauh karena di situlah duit akan dibagikan, tapi entah kenapa Da Am juga nyuruh adik Mar ‘ngerjain’ mobil Anwar sehingga Mar dan Anwar harus naik perahu dulu lewat danau. Ini kan kontra-produktif dengan rencana supaya mereka cepat dapat duit. Turns out, sutradara butuh karakter ada di danau supaya mereka bisa dapat sinyal, dan momen revealing dari Jakarta bisa terjadi. Kan aneh. Cerita tidak lagi berjalan genuine. Revealing ini memang membawa cerita ke adegan emosional (yang jadi refleksi momen personal pembuat). Tapi itu pun hanya sekadar momen emosional. Karena ditempatkan sebagai penyelesaian oleh naskah membuat pembelajaran karakter-karakter jadi tidak ada. Revealing itu harusnya ada di tengah atau plot point kedua, supaya masih ada waktu untuk Anwar melewati proses mengenali keluarga yang tak pernah ia kenal. Da Am dan warga pun punya kesempatan dulu berusaha memperkenalkan Anwar kepada budaya yang tak pernah langsung ia rasakan. Kalo perlu tegaskan mereka gagal dapat duit, tapi jadi punya kerabat baru. Visi film pun bakal bisa tercapai dengan lebih baik. Inilah yang kumaksud ketika menulis review Elemental kemaren. Bahwa film kita suka banget ngasih reward, ngasih apa yang diinginkan karakter sebagai penyelesaian cerita. Padahal pembelajaran yang bikin penonton konek pada journey karakter justru datang ketika karakter gagal mendapat yang mereka mau, tapi jadi sadar pada apa yang mereka butuhkan. Penyadaran itulah yang menutup journey.

Sejujurnya sedari sepuluh menit awal aku sudah merasa ada yang aneh pada naskah.   Apa yang semestinya luas, tidak pernah digambarkan begitu. Cerita seperti pada kelompok Da Am saja, padahal mestinya ini adalah kejadian yang berefek ke satu kampung. Bukannya ngesetup keadaan dan masalah di kampung dan gimana pedulinya Angku Wan terhadap sekitar, kita hanya diperlihatkan Angku Wan sendirian. Okelah mungkin film ingin fokus ke kedekatannya dengan Da Am saja. Namun seperti telah dijelaskan tadi, perspektif utama bahkan tidak stay di Da Am. Tapi itupun kita tidak pernah benar-benar melihat keadaan kampung yang lagi dalam masalah itu seperti apa. Perspektif warga lain seperti apa. Hidup di situ sebenarnya sedang punya masalah apa. Hanya disebut kampung sangat menggantungkan hidup pada danau. Dan danau mulai riskan untuk diharapkan

Yang kita benar-benar lihat cuma danau itu vital sebagai tempat nyari sinyal

 

Nulis komedi itu susah. Aku tahun 2014, sempat belajar nulis komedi sama Trio Lupus (rest in peace mas Hilman dan mas Gusur) selama satu tahun, dan sampai sekarang, aku masih belum lucu-lucu. Susah, kalo memang gak bakat kayaknya gak bakalan bisa. Tapi kalo ada satu yang kupelajari dari mereka, maka itu adalah kata mas Hilman kita boleh menggunakan joke kodian untuk membantu supaya lucu. Asalkan joke yang sudah umum diketahui orang tersebut kita berikan spin subjektif tersendiri, termasuk cara bercerita dan identitas lokal masing-masing. Film Onde Mande! butuh untuk menerapkan ini, karena komedinya sangat kurang. Bahkan untuk cerita yang mengandalkan situasi ajaib seperti ini. Candaan bisa datang dari bahasa dan sebagainya, seperti yang ditunjukkan film pada adegan ‘ado da dodi, ndak, da?’. Itu unik dan khas, dan mestinya film ini menyelam lebih dalam lagi ke archive joke-joke khas Minang seperti begitu. Kepekaan pembuat terhadap budaya inilah yang harus dipertajam.

Aku bukan orang Minang, tapi aku tinggal di Riau dan gede di antara orang-orang Minang, jadi secara sosial aku cukup relate dengan karakter di film ini. Kecuali di bagian ada karakter dari Sigiran yang mesan es teh manis di warteg di Jakarta. Ini contoh joke kodian yang mestinya bisa digunakan film sebagai crutch buat komedi. Orang Sumatera jarang banget nyebut ‘es teh manis’. Karena di sana, cukup es teh saja. Defaultnya di sana, semua teh sudah pakai gula. Orang Minang bahkan lebih sering menyebutnya dengan ‘teh es’ – dengan h silent, karena logat membuat mereka lebih mudah mengucapkan seperti demikian.  Sehingga adegan di warteg itu bisa dijadikan komedi saat si karakter mesan teh es, tapi pas diminum ternyata tidak manis. Itu contoh sederhana saja soal joke kodian. Ngomong-ngomong soal teh, aku jadi teringat ada satu lagi momen tandatanya buatku di film ini. Yaitu ada dua kali adegan ngobrol tiba-tiba dicut oleh shot masukin gula/telur ke dalam gelas, lalu cut balik lagi ke adegan ngobrol. Like, kalo mau ngelihatin teh telur khas daerah sana, mestinya gak usah malu-malu begitu, langsung aja bikin adegan memperlihatkan proses teh itu dibuat.

 

 

Itulah, kupikir film ini sebenarnya diniatkan sebagai cerita personal – punya momen-momen personal, tapi juga cukup ambisius dengan konsep persekongkolan satu kampung. Penceritaannya belum mampu mengimbangi. Naskahnya masih banyak yang kurang. Terlalu telling instead of showing. Perspektif yang enggak kuat. Pembelajaran yang tidak ada. Film hanya sebatas kejadian ‘oh ternyata’. Arahan yang masih perlu dipertajam di sana-sini. Karena kampung di film ini tidak terlihat hidup. Cerita seperti bergulir di satu kelompok saja. Komedinya pun tak ada di level yang membuat film ini menyenangkan. Karakter dan dialog mereka sebenarnya lumayan. Fresh juga. Tapi tanpa arahan dan penulisan mumpuni yang glued them together, film jadinya ya masih terbata-bata. Tidak sepenuhnya hidup melainkan ya seperti sebuah big charade aja.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ONDE MANDE!

 

 

 

That’s all we have for now.

Orang Minang terkenal pelit dan agak culas kalo soal duit, menurut kalian ini masih relevan gak sih? Kayaknya semua orang kalo urusan duit seperti film ini juga bakal bertindak sama deh?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

ELEMENTAL Review

 

“The most important things in life are the connections you make with others”

 

 

Masih ingat lagu Olaf si boneka salju di Frozen? It goes like “The hot and the cold are both so intense, put them together? it just make sense!” Ya, perbedaan menyatukan. Opposites attract. Dan hey, kita bahkan tinggal di negara yang mottonya menyebut perbedaan sebagai alat persatuan. Sudah ada begitu banyak kisah tentang gimana dua orang yang begitu berbeda akhirnya menjadi pasangan yang serasi karena saling melengkapi, saling menghargai, dan kita semua suka cerita-cerita kemanusiaan seperti ini. Jadi pertanyaannya adalah di titik mana cerita tersebut menjadi klise – jika muatan yang terus relevan tersebut memang bisa untuk terasa klise. Tadinya, aku mengira titik itu ada di animasi Pixar terbaru ini. Tapi ternyata sutradara Peter Sohn bukan hanya sekadar membuat cerita tentang Gadis Api yang jadi couple dengan Cowok Air. Bukan hanya tentang chemistry yang terjalin dari perbedaan. Melainkan menggali ke dalam. Film ini menekankan kepada pentingnya koneksi emosional sebelum bicara tentang betapa indahnya koneksi fisik yang dihasilkan darinya.

Biasanya yang bersikap dingin itu digambarkan sebagai es. Uniknya di sini Sohn membuat bahwa yang panas ternyata juga bisa jadi ‘dingin’. Si Cewek Api, bernama Ember lah yang dalam cerita Elemental mengalami kesulitan untuk connect dengan orang-orang di Element City. Ember sudah berniat untuk kelak menggantikan posisi ayahnya sebagai pemilik toko keluarga, tapi dia kesulitan untuk melayani berbagai permintaan customer.  Ember suka meledak marah, like literally mengobarkan api sampai-sampai suatu ketika dia membuat pipa-pipa air di basement toko dan rumah mereka bocor. Masalah tersebut menyedot Wade si Cowok Air, yang actually tukang ngecek kelayakan bangunan di kota. Pertemuan mereka berujung pada Ember harus berjuang mendapatkan ijin toko hingga menyelamatkan toko tersebut dari terjangan air. Untuk itu Ember harus bisa meyakinkan petugas kota. Dan Wade yang memang punya sikap gampang tersentuh, berusaha membantu Ember untuk melakukan hal tersebut.

Cek Toko Sebelah, IPA edition

 

Notice gimana cerita terus menekankan kepada soal membangun koneksi? Mulai dari menjaga toko hingga berusaha menyakinkan Gale si awan pimpinan petugas kota, masalah yang ditemui Ember adalah karena dia gak bisa menyentuh orang-orang tersebut secara emosional. Beda sama Wade yang bahkan bisa membuat penonton satu stadion olahraga melakukan ‘ombak’ bareng. Sekilas Wade memang tampak sebagai humor relief karena mudah banget nangis, tapi karakter ini adalah pendukung yang sangat tepat bagi journey personal Ember. Wade bakal ngajarin Ember gimana membuka diri, untuk berani menjadi vulnerable di depan orang lain, dan menyadarkan Ember bahwa sebenarnya kunci dari masalah emosinya itu adalah karena Ember tidak berani jujur kepada dirinya sendiri. Crying game yang jadi permainan keluarga Wade juga sebenarnya bukan permainan lucu-lucuan saja, tapi secara inner permainan tersebut jadi tes bagi Ember, bagian dari proses belajarnya membuka diri secara emosional. Itulah kenapa Ember dan Wade akhirnya jadi pasangan yang bisa kita dukung. Karena film membuat kita mengerti bahwa kedua orang ini sebenarnya saling butuh satu sama lain. Film ngebuild up dengan manis proses mereka jadian, yang ditunjukkan dari mereka mau bersentuhan aja harus saling percaya dulu. Saling konek dulu secara emosional. And when they do touching each other, film ngetreat-nya seolah perayaan cinta yang begitu besar lewat permainan kimia dan fisika yang indah antara air dan api.

Membuka diri kepada orang memang penting, kayak di film aja, karakter cerita kita harus dibikin vulnerable supaya bisa relate dengan penonton, dan hanya jika penonton merasa relate-lah maka karakter dan film tersebut baru bisa dipedulikan. Kita perlu orang lain merasakan hal yang kita rasakan, kita perlu saling mengetuk hati satu sama lain. Tapi memang tidak semua orang berani melakukannya karena untuk bisa vulnerable tersebut maka kita harus membuka diri terhadap siapa kita sebenarnya, jujur dulu pada apa yang kita rasakan sebenarnya.

 

Hal itulah yang terjadi pada Ember. Dia susah konek ke orang, karena secara emosional dia belum siap membuka diri terhadap masalah personalnya sendiri. Dia belum siap mengakui bahwa dia sebenarnya gak mau ngikutin keinginan ayah untuk mengelola toko. Hubungan antara Ember dengan ayahnya juga jadi salah satu elemen penting di dalam cerita. Yang membuat film ini juga bertindak sebagai drama keluarga yang menghangatkan. Konflik yang perlahan dikembangkan seperti api dalam sekam, akhirnya mendapat penyelesaian yang tak kalah manis dengan elemen romansa. Kedua elemen pada cerita ini berjalan paralel sebagai inner journey yang solid. Inilah yang selalu jadi kekuatan naskah pada film-film Pixar. Berani untuk mengeksplor bahwa yang diinginkan oleh karakter, sebenarnya bukan hal yang mereka butuhkan. Elemental dan film-film Pixar lain berani untuk gak ngasih karakternya hal yang mereka inginkan di awal cerita. Beda sama film Indonesia yang seringnya ngasih lihat apa yang karakter mau di awal, itu yang bakal berhasil mereka dapatkan sebagai penutup cerita. Padahal momen karakter menyadari yang mereka inginkan not really good for them dan lantas membuat pilihan lain menuju yang kini mereka sadar lebih mereka butuhkan bakal selalu jadi momen pembelajaran yang kuat, yang membuat film Pixar selalu beresonansi buat penonton dewasa, dan juga penonton anak-anak.

Literally bikin ombak together

 

Ngomong-ngomong soal penonton anak. well, di sinilah mungkin Elemental bisa membagi dua penonton. Misi yang basically cuma mau dapetin ijin toko memang bukan petualangan benar-benar diharapkan penonton anak yang pengen petualangan yang lebih fantastis. . Bentukan film yang sebenarnya lebih seperti rom-com, komedi romantis, ketimbang actual adventure juga bisa bikin penonton yang lebih dewasa agak canggung mengajak adik-adik atau anak mereka menonton ini. Tapi kalo nanya aku, tentu saja kita gak bisa bilang film ini ‘buruk’ karena kurang fantastis, atau karena ngasih lihat anak-anak build up orang pacaran. Menurutku, pelajaran berharga yang dipunya cerita outweight sedikit kecanggungan ataupun kenormalan yang dipunya oleh animasi fantasi ini. Anak-anak justru bisa belajar banyak tentang romantic relationship yang sebenarnya juga tergolong ‘aman’ karena di film ini diajarkan untuk membangun rasa pengertian terlebih dahulu. Bahwa hubungan gak bisa langsung sosor fisik, melainkan harus punya dasar emosional, harus terjalin dari dalam. Film ini sebenarnya juga menggambarkan kehidupan sosial karena Ember dan keluarga dipotret sebagai semacam orang dari daerah kecil yang pindah mencari kehidupan baru di kota besar. Kota yang punya stigma negatif terhadap mereka (api dilambangkan susah bergaul dengan elemen lain seperti air dan tanah yang lebih gampang mix together). Sehingga keadaan keluarga Ember yang membangun sendiri tempat tinggal mereka, yang tinggal berkomunitas di pinggiran kota, gak merasa benar-benar cocok dengan penduduk lain dapat jadi pelajaran sosial yang berharga tentang saling menghargai.

Soal fantasi, memang Elemental gak punya dunia dengan high concept kayak Soul ataupun aturan-aturan seperti Inside Out, tapi bukan berarti film ini lack of creativity dan jadi animasi yang datar. Sebaliknya, Elemental membawa fantasi itu ke ranah yang lebih grounded dan bisa lebih mudah dipahami oleh penonton anak-anak. Para penduduk dan kota Element itu sendiri memang didesain untuk bertindak layaknya unsur alam beneran. Seperti yang dipelajari oleh anak-anak dalam pelajaran ilmu alam di sekolah. Gimana api dengan mineral, gimana air bisa menciptakan pelangi, gimana cahaya bisa diteruskan oleh air, gimana api ternyata digunakan untuk bikin kaca dan ornamen-ornamen yang unik. Dan bukan hanya dari hal-hal yang kita lihat, beberapa dialog film ini juga memuat banyak candaan yang diambil dari gimana elemen-elemen alam itu bekerja. Gimana awan hanya ikut kemana angin bertiup. Gimana  air diceritakan seolah pengen tahu apapun – padahal maksudnya juga adalah soal air selalu mengisi tempat/bejananya. Desain visual karakter juga dimainkan untuk menambah kepada karakterisasi. Misalnya kayak si Ember yang badan apinya actively semakin bergejolak sesuai dengan emosi yang ia tahan. Jadi ya, aku pikir penonton gak bakal kehabisan hal untuk dikagumi dari dunia film ini. Karena fantasinya dari ilmu beneran yang begitu well-crafted sehingga membentuk jadi dunia yang dihidupi karakter-karakter ajaib.

Dan jika adik-adikmu belum puas bertualang, di rumah tinggal setel saja Apple TV+ karena di sana ada serial animasi anak terbaru berjudul Stillwater tentang anak yang tetanggaan sama panda! Just click this link untuk subscribe~ https://apple.co/42U6Omf

Get it on Apple TV

 

 

 




Better jika kita masuk ke dalam film ini, fully realized kalo ceritanya bukan exactly sebuah petualangan fantastis. Karena memang film ini lebih seperti rom-com dan drama keluarga dengan karakter-karakter unik. Memang tak jadi terlalu fantastis dengan konsep dunia dan petualangannya, namun film ini ngeceklis semua kriteria sebuah film yang bagus dan benar tanpa cela yang kentara. Naskah yang solid dan development yang kuat membuatnya jadi tontonan yang berbobot. Really, aku tak menemukan pilihan yang salah dari film ini. Bahkan flashback yang mereka lakukan pada beberapa adegan tidak menghambat tempo dan punya alasan kuat untuk dilakukan demi menjaga cerita tetap berjalan dari sudut Ember. Sekilas terlihat biasa, tapi keunikan justru mencuat dari gimana film ini mengolah bahasan yang sudah sering lewat sudut fokus yang rada berbeda. Dari gimana kreasi fantasi itu diarahkan untuk menjadi lebih grounded supaya penonton lebih mudah mengerti dan terattach kepada karakter. Menurutku film ini cuma hadir di waktu yang kurang tepat; hadir di saat penonton selalu mengharapkan something explosive sebagai hiburan di bioskop (untuk alasan yang sama kenapa superhero yang lebih grounded dan simpel ala cerita kartun juga tidak benar-benar digandrungi dibandingkan superhero yang banyak kejutannya). Tapi aku percaya, ini adalah tipe film yang seiring berjalannya waktu akan semakin diapresiasi oleh penonton yang lambat laun menyadari how well-rounded penceritaan yang ia miliki.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for ELEMENTAL

 




That’s all we have for now.

Mengapa menurut kalian film ini menganggap persoalan emotional connection perlu diajarkan kepada anak-anak?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA