“Any problem, big or small, within a family, always seems to start with bad communication. Someone isn’t listening.”
Ditelepon orangtua, dan disuruh pulang. Maaan, entah udah berapa kali aku ngalamin itu sejak tinggal di Bandung. Apalagi kalo lagi musim liburan. Beruntung, dua tahun kemaren ada pandemi (dasar anak durhaka, pandemi dibilang untung!), Aku gak perlu repot lagi ngarang-ngarang alasan kenapa tidak bisa pulang. Bukannya gak kangen sama keluarga, tapi ada ‘something’ dari pulang itu yang malesin. ‘Something’ yang ternyata juga dialami oleh anak-anak muda lain. Kok tau banyak yang ngalamin? Buktinya, karakter-karakter yang diangkat Bene Dion Rajagukguk dalam drama terbarunya mengalami persis sama. Cerita di tanah Batak ini menggambarkan bagaimana komunikasi di dalam ruang keluarga yang orangtuanya masih memegang teguh aturan atau adat dengan anak-anak yang berpendidikan lebih tinggi dari orangtuanya itu seringkali tidak terjembatani dengan baik. Mengusung tema itu, Ngeri-Ngeri Sedap memang hadir dengan nada drama yang tinggi. Tapi bukan tanpa hiburan, karena film yang dibuat kental oleh latar ini juga bakal bikin kita senyam-senyum oleh tingkah polah yang relate, hingga premis jenaka berupa tindakan yang dilakukan oleh karakter orangtua untuk membuat anak-anak mereka mau pulang ke rumah!
Pak Domu meminta istrinya untuk pura-pura minta cerai. Mereka pura-pura berantem, hingga empat orang anaknya (termasuk tiga putra yang merantau) akhirnya terpaksa pulang untuk mendamaikan. Paruh pertama dari nyaris dua jam durasi membahas kelucuan yang datang dari Pak Domu menyusun strategi dan mengarahkan istrinya perihal apa yang harus dilakukan untuk membuat anak-anak mereka percaya mereka beneran lagi marahan hebat. Sekaligus juga menanamkan bibit-bibit dramatis lewat motivasi masing-masing karakter dalam rumah tangga ini. Like, kita bisa melihat bahwa sang istri sebenarnya kesel beneran (she still do the charade karena memang rindu sama anak-anaknya), atau bahwa anak-anak Pak Domu yang punya kerjaan dan hidup masing-masing sesungguhnya mengorbankan banyak untuk datang ke rumah. Namun Pak Domu gak sadar itu semua. Baginya, dia mau anaknya pulang supaya bisa menghadiri acara ibunya, serta untuk mengkonfrontasi putra-putranya perihal pilihan hidup mereka yang menurut Pak Domu telah melawan adat. Telah melawan dirinya. Anak pertamanya bakal menikahi perempuan Sunda yang tentu saja gak tahu menahu soal adat Batak. Putra ketiganya jadi artis lawak di acara televisi, alih-alih jadi jaksa sesuai kuliahnya. Dan putra bungsu yang harusnya sesuai adat tinggal bersama orangtua di rumah yang pasti diwariskan untuknya, memilih untuk tinggal di rumah seorang bapak tua di pulau Jawa.
Di paruh kedualah, tepatnya menjelang masuk babak ketiga, semua planting dari benturan keinginan, kerjaan, hingga rasa cinta ibu terhadap keluarganya tadi mulai berbuah jadi adegan-adegan yang superemosional. Baca ini sebagai peringatan bahwa film Ngeri-Ngeri Sedap: will make you cry. Keberhasilan film ini menjadikan babak terakhir itu sebagai pamungkas dramatis terutama terletak pada penulisan naskah yang benar-benar sistematis dalam mengembangkan permasalahan di balik keluarga Domu ini. Permasalahan yang memang juga dengan gampang relate kepada keluarga-keluarga yang menonton filmnya. You know, belakangan kita dapat banyak film luar yang mengangkat persoalan turun temurun dalam keluarga Asia matrialkal, seperti Turning Red (2022), Umma (2022), ataupun Everything Everywhere All at Once (2022) — bahwa tuntutan ibu kepada putrinya bakal membekas dan membuat hidup jadi ‘horor’ bagi semuanya. Well, Ngeri-Ngeri Sedap menawarkan sudut pandang lokal terhadap cerita itu, sekaligus juga mengintipnya dari jendela keluarga yang didominasi ayah sebagai kepala keluarga. Seperti keluarga Batak Pak Domu. Cerita ini pada akhirnya berkembang bukan saja tentang ayah dengan putra-putranya; bagaimana didikan ayah mempengaruhi perkembangan dan pribadi putranya, melainkan juga tentang hubungan ayah sebagai kepala keluarga itu sendiri – bagi istrinya, bagi putrinya, dan juga bagi orangtuanya – serta juga tentang relasi para anak sebagai saudara kandung. Gimana dalam satu keluarga besar, biasanya ada satu anak yang ‘mengalah’. Diam di rumah untuk mengurus orangtua yang sudah tua, ninggalin mimpi-mimpinya. Bagaimana perasaan si anak itu sebenarnya, dan bagaimana itu mempengaruhi hubungannya dengan saudara lain. Naskah dengan jeli menangkap begitu banyak persoalan keluarga lokal yang bisa relate, dan meramunya ke dalam jalinan penceritaan yang bukan saja menarik untuk disimak, tapi juga bikin kita ikut merasa ngeri-ngeri sedap.
Kita semua tahu gak gampang bicarain hal yang kita rasakan kepada orang-orang yang paling kita sayangi, yakni orangtua. Kita tahu gimana beratnya. Kayak, alasan gak mau pulang tadi itu. Lebih gampang untuk gak pulang daripada harus duduk di ruang keluarga dan ditanyain ini itu tentang kerjaan yang sekarang dan kenapa kita gak mau jadi apa yang diminta oleh orangtua. Film ini kayaknya tau persis perasaan tersebut dan seperti yang kubilang entah udah berapa kali ini, berhasil menuangkannya ke dalam suara yang seimbang. Serius tapi gak depresif, dikemas ringan tapi gak receh, Berpihak tapi enggak ngejudge. Film melangkah di antara adat, aturan, hingga pikiran yang lebih terbuka, dan melakukan semuanya dengan respek. Gak lantas bilang adat sudah kuno dan semacamnya, melainkan diceritakan dengan pendekatan yang matang. Film ini terasa dibuat dengan sangat personal. Lihat bagaimana treatment yang dilakukan ketika adegan klimaks anggota keluarga Domu menumpahkan isi hati masing-masing. Kamera yang seperti one take, bergerak di antara para karakter, seolah mengikuti kemana gelombang emosi itu berada. Dan puncaknya memang di mana-mana, dan kita merasakannya. Dari gerakan tersebut kita tahu semua orang merasa bersalah. Semua orang merasa terluka. Semua kecamuk perasaan cinta dan emosi itu berhasil digambarkan bukan hanya dari dialog tapi juga dari bagaimana dia terpancar dari yang merasakannya.
Komunikasi memang salah satu obat atau healing yang mujarab. Tapi tentu saja susah untuk merasa ‘sembuh’ jika dalam komunikasi itu ada satu pihak yang merasa paling benar. Inilah yang seringkali terjadi di dalam ruang keluarga. Ada satu yang tidak mendengar. Yang menganggap semuanya hanya argumen alih-alih diskusi yang benar-benar mencari jalan keluar untuk satu masalah. Dalam Ngeri-Ngeri Sedap kita melihat karakter ayah yang seperti demikian. Yang ingin mengonfrontasi anak-anaknya, bukan untuk mendengarkan, melainkan untuk menyalahkan.
Waktu ngereview Srimulat Hil yang Mustahal – Babak Pertama (2022) kemaren aku bilang yang paling menyegarkan dari film itu adalah melihat aktor-aktor muda yang biasa bermain dalam cerita-cerita drama, bermain dalam ruang yang menggali sisi komedi mereka. Jadi benar-benar terasa ada yang baru, gak stuck melihat akting-akting template. Di film Ngeri-Ngeri Sedap sekarang, kita mendapat kesegaran serupa. Kebalikan dari Srimulat, di sini kita melihat pemain-pemain yang biasanya jadi karakter komedi, yang biasanya memainkan peran-peran kecil sebagai pemantik komedi, memainkan karakter yang muatan drama dan sisi emosional yang gede banget. Boris Bokir harus menggali sisi karakter yang berusaha lebih dewasa, misalnya. Lolox, Indra Jegel, dan Githa Bhebhita juga bikin aku cukup kaget juga bisa bermain sebagai karakter yang serius dari biasanya. Ataupun Tika Panggabean yang harus memunculkan simpati kepada karakternya sebagai seorang ibu – yang gak segampang itu dilakukan karena di sini perasaan yang dialami karakternya sangat kompleks sebagai accomplish-setengah-hati dari sang suami. Memang gak sepenuhnya berjalan mulus, masih ada beberapa yang kayak terbata ataupun kurang nyampe dan terlihat benar lebih nyaman ketika sisi komedi dalam narasi mencuat, tapi secara keseluruhan masih bekerja ke dalam konteks. Anak-anak Pak Domu memang awkward satu sama lain, apalagi sama bapaknya. Dan istri Pak Domu ceritanya lagi berusaha ‘akting’ di depan anak-anaknya. Ultimately, it’s actually amazing melihat aktor yang sudah malang melintang main sebagai pendukung di banyak film akhirnya mendapat kesempatan untuk unjuk kebolehan secara maksimal. I might be wrong, tapi kayaknya baru kali ini aku menonton Arswendy Beningswara sebagai pemain utama. Dan penampilan aktingnya memang tampak sangat matang. Jika mata adalah jendela jiwa, maka Pak Domu yang kalo ditagih ngobrol sama anaknya suka kabur ke tongkrongan kayak Homer Simpsons kabur ke bar Moe, matanya akan bicara banyak mengenai apa yang dirasakan di dalam hatinya. Ngomong-ngomong soal bicara, tentu saja aku (yang hanya dengar bahasa logat Batak dari teman-teman di sekolah dulu – dan dari nonton channel Warintil) tidak akan mempermasalahkan. Karena dari namanya, clearly para aktor tahu lebih banyak soal bahasa daerah asal mereka ini.
However, naskah agak sedikit terasa kurang tight ketika sampai di bagian resolusi akhir yang dilakukan Pak Domu. Sebelum sampai ke sini, penceritaan film memang sesekali menggunakan gaya tertentu. Seperti pengadeganan yang kayak one-take tadi. Ataupun ketika melakukan intersplice dialog-dialog saat Domu dan adik-adiknya bicara terpisah dengan ibu dan ayah secara bergantian. Kita bisa mengerti kenapa gaya bercerita seperti itu yang dipakai. Supaya dialognya terasa ataupun supaya gak ada pengulangan. Gaya itu membuat delivery adegan semakin tight. Ada satu gaya lagi yang dipakai, saat di bagian resolusi. Sebenarnya aku gak yakin juga apakah memang di skripnya posisinya seperti itu, atau saat visi sutradara yang mengubahnya jadi bergaya begitu. Tapi yang jelas, memang akibatnya terasa seperti naskahlah yang agak bolak-balik oleh gaya penceritaan yang kita lihat. Jadi menjelang akhir, Pak Domu tau-tau datang ke kerjaan/kehidupan anak-anaknya di perantauan. Konklusi Pak Domu sebelum mencapai itu terasa agak terlalu cepat, dan itu ternyata karena yang menjadi trigger Pak Domu disembunyikan untuk sementara. Disimpan untuk baru dimunculkan ‘apa yang sebenarnya terjadi’ tadi setelah Pak Domu ‘berubah’ menjadi better person. Aku ngerti secara fungsi, ini dilakukan supaya penonton ikut merasa surprise, sehingga kemunculan Pak Domu di tempat anak-anaknya bakal terasa lebih dramatis. Akan tetapi ini sedikit bikin jarak pada perjalanan karakternya.
But it is a choice, really. Jika dilakukan linear – konklusi Pak Domu bisa dilakukan dan terasa lebih earned. Tapi dengan sedikit mengacak susunan yang ditampilkan kepada penonton, kejadian-kejadiannya bisa muncul lebih dramatis dan surprise. Walau buatku pribadi, gak perlu dijadiin surprise karena Pak Domu punya 3 anak, yang artinya surprise yang dilakukan tiga kali gak akan jadi dramatis lagi buat kita. Aku prefer linear dan kita benar-benar dikasih lihat Pak Domu secara utuh reconcile dengan masing-masing putranya, enggak sekadar seperti rangkaian adegan atau seperti montase.
Maan, belakangan ini film Indonesia surely lagi berapi-api. Dari yang shitty, yang funny, yang ngeri. Bene Dion Rajagukguk mengapitalisasi itu semua dengan cerita yang agak ‘ngeri’, cukup lucu, but certainly it is not shitty. Melainkan sebuah drama yang berhasil meraih nada yang tinggi. Film ini menghadirkan konflik keluarga yang relate sehingga bisa jadi sedemikian mengguncang hati. Antara kejadian yang lucu (lucu karena beneran dekat dan terjadi kepada kita-kita!) dan elemen dramatis disampaikan dengan berimbang. Karakter-karakternya terasa real, terasa beneran manusia dengan problem yang juga real-life problem. Membalutnya dengan identitas lokal yang kuat dan gak sekadar jadi latar. Gak jadi stereotipe. Dan akhirnya diceritakan dengan mantap dan tampak personal. Salah satu drama komedi yang decent yang dipunya oleh perfilman kita.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NGERI-NGERI SEDAP
That’s all we have for now.
Jadiiii, pernahkah kalian merasakan males pulang? Apa sih alasan sebenarnya kalian malas pulang?
Care to share with us in the comments?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA