ANTLERS, RON’S GONE WRONG, THE WORST PERSON IN THE WORLD, CINTA PERTAMA KEDUA & KETIGA, HOTEL TRANSYLVANIA: TRANSFORMANIA, MASS, GHOSTBUSTERS: AFTERLIFE, THE UNFORGIVABLE Mini Reviews

Kompilasi Mini Review Edisi Januari 2022

ANTLERS Review

Oh betapa aku pengen banget Guillermo del Toro langsung yang ngedirect film ini. Sayangnya, beliau cuma duduk sebagai produser. Bukan apa-apa. Bukannya sutradara Scott Cooper gak kompeten. Dia toh berhasil juga menguarkan sensasi horor dan kegelapan yang merayap di dalam naskah. Antlers di tangan Cooper tetaplah sebuah dongeng horor yang mencekam dan tepat mengenai psyche terdalam manusia. Tapi itulah masalahnya. Antlers ini udah kayak untuk del Toro banget sebenarnya.

Pertama, ini adalah horor creature. Film ini punya makhluk mitos yang jadi personifikasi dari ketakutan manusia. Yang diangkat oleh film ini adalah legenda Wendigo. Kostum dan efek yang digunakan film ini untuk menghidupkan makhluk tersebut tampak meyakinkan. Momen-momen tranformasi hingga ke aksi bunuh-bunuhannya dilakukan dengan cakep, gak murahan. Visual film ini memang bikin kita sangat merinding.

Kedua, cerita tentang hubungan keluarga. Antlers sesungguhnya bicara mengenai abuse orangtua kepada anak, Julia (protagonis utama cerita) adalah korban dan kini saat sudah dewasa sebagai guru, dia melihat red flag pada salah satu anak didiknya. Namun misteri si anak ternyata lebih dalam daripada itu. Dari hubungan Julia dengan abangnya, yang paralel dengan hubungan si anak dengan saudaranya, film berusaha menilik bagaimana anak-anak korban abuse tumbuh menjadi pelindung bagi yang lainnya. Nah di bagian cerita inilah Antlers kurang rapi dan butuh banget bantuan penceritaan ala dongeng yang dikuasai oleh del Toro. Antlers bercerita tumpang tindih, perspektifnya akan sering berpindah, dan sang sutradara terasa seperti terbata ketika harus menyatukan metafora monster dengan horor yang lebih manusiawi.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ANTLERS.

CINTA PERTAMA, KEDUA & KETIGA Review

Aku nonton ini sampai tiga kali. Nonton pertama, aku ketiduran. Kedua kali menonton, aku melepaskan diri gitu aja menjelang akhir film. Barulah saat nonton lagi, aku benar-benar menguatkan diri. Aku menonton sebanyak itu bukan karena membosankan. Melainkan justru karena film-panjang kedua Gina S. Noer sebagai sutradara ini begitu melimpah ruah oleh emosi. Sedangkan aku, bukanlah orang yang bisa nyaman menghadapi sekian banyak emosi, sehingga diriku langsung menutup. It is just too much for me.

And too real. Sesungguhnya inilah kekuatan yang dimilik oleh Cinta Pertama, Kedua & Ketiga.  Layer ceritanya sendiri cukup berlapis. Ini bukan sekadar cinta-cintaan anak muda, karena seperti yang disebut oleh judul, cinta tidak pernah sesederhana itu. Bayangkan tiba-tiba menjadi saudara tiri bagi orang yang kita cintai. Cinta bukan hanya milik anak muda. Cinta bukan hanya kepada lawan jenis yang menarik hati kita. Kompleksnya semakin bertambah ketika karakter orangtua yang ada di sini dituliskan sebagai pengidap alzheimer. Meletakkan sudut pandang utama pada anak bungsu yang punya tanggung jawab mengurus orangtua sementara dirinya mulai dihantam realita kehidupan sendiri membuat film ini menjadi semakin pelik.

Walau Gina berhasil mengarahkan para pelakon ceritanya untuk bermain senatural dan sehidup mungkin, kompleksnya materi yang ditangani juga tampak meng-overwhelm dirinya. Film ini mulai mengembang terlalu lebar. Ada beberapa elemen cerita yang mestinya bisa dimampatkan saja ke dalam karakter, tidak perlu ditarik masalah dari luar. Ending film yang menguarkan perasaan pun bisa tampak ngambang oleh penonton yang tergiring ke dalam permasalahan pelik cinta para karakter.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for CINTA PERTAMA, KEDUA & KETIGA.

GHOSTBUSTERS: AFTERLIFE Review

Akhirnya sekuel yang benar-benar pantas untuk melanjutkan napas Ghostbusters sebagai salah satu film paling ikonik dalam budaya-pop kita. Film karya Jason Reitman ini bukan hanya menghaturkan respek dan homage kepada Ghostbusters original, melainkan juga kepada film petualangan keluarga ala 80-90an. Dan sejujurnya, film ini justru paling bersinar saat menjadi film keluarga tersebut.

Yang paling fun buatku adalah persahabatan antara Phoebe dengan Podcast (yup, that his name) Phoebe ke farmhouse milik mendiang kakeknya. Phoebe yang suka banget ama science, gak ada teman. Mendiang kakeknya punya reputasi sebagai orang aneh di kota kecil tersebut, you know, sendirian di rumah dengan tanah yang luas, melakukan entah hal apa di sana. Keluarga Phoebe – ibunya yang single parent, abangnya – juga sama-sama berusaha dealing with this reputation. Semua terefleksi ke dalam hubungan sosial mereka. Dan Podcast jadi teman pertama Phoebe, dan mereka bertualang dan ngajakin kita jalan-jalan melihat cerita-cerita legend lainnya di kota. Cerita menarik ini tidak bisa berkembang karena berada dalam bayang-bayang originalnya. Dan sepanjang durasi aku berharap film ini mengeksplor quirk dan charm miliknya sendiri alih-alih berusaha mengikat cerita dan jadi ajang nostalgia.

Bukannya film ini gagal sebagai ajang nostalgia. Justru karena cukup berhasillah, maka Ghostbusters: Afterlife hanya terasa jadi seperti afterthought dari film original. Padahal ceritanya punya potensi loh. Castnya juga oke-oke. 

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GHOSTBUSTERS: AFTERLIFE.

HOTEL TRANSYLVANIA: TRANSFORMANIA Review

Red flag yang paling kentara di dunia ‘persekuelan’ itu sebenarnya bukan pada pergantian genre (ini justru bagus dan fresh), melainkan pada pergantian pemeran. Jika franchise film favoritmu mendadak diganti pemainnya, maka bersiap-siaplah untuk kemungkinan terburuk. Gak percaya? Tontonlah Hotel Transylvania: Transformania yang tidak lagi menampilkan Adam Sandler sebagai pengisi suara Drac.

Sebagai sekuel keempat dari dunia monster yang berbisnis hotel, sebenarnya film ini tidak kehabisan cerita. Konsep yang sekarang ini cukup menarik. Drac dan para monster itu seperti ‘bertukar tempat’ dengan Johnny, manusia yang jadi bagian dari keluarga mereka. Drac dan para monster kini berubah menjadi manusia, sementara Johnny menjadi monster naga. Konflik dan kelucuan dipantik dari pertukaran ini. Duo sutradara Derek Drymon dan Jennifer Kluska mengajak penonton untuk mensyukuri dan merayakan being a human, kekurangan dan kelebihannya, lewat mata monster. Dalam kapasitas yang sederhana, mereka sebenarnya cukup berhasil. Kekurangdalaman, atau katakanlah kedangkalan eksplorasi sebenarnya selalu tertutupi oleh kharisma dan chemistry di antara aktor pengisi suara. Itulah yang kali ini gak ada dalam film keempat ini. 

Alih-alih berakting menjadi Drac dan Drac versi manusia yang kini kehilangan kekuatan dan menempuh banyak rintangan sembari terus put up with Johnny’s always happy persona, Brian Hull melakukan apa yang ia tahu. Menirukan suara Adam Sandler yang sedang berakting menjadi Drac. Betapa malangnya si drakula itu. Dalam cerita dia kehilangan kekuatan monsternya, di dalam penceritaan film ini dia kehilangan ruhnya sebagai karakter yang sudah dibuild up dalam tiga film.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for HOTEL TRANSYLVANIA: TRANSFORMANIA.

MASS Review

Obrolin! Serius, setiap masalah bisa selesai dengan kita obrolkan dengan orang. Entah itu masalahnya sebenarnya terletak di dalam diri kita sendiri, atau dengan orang lain, membicarakan masalah itu akan membantu membuka perspektif. Membantu menguatkan diri kita dalam menghadapi masalahnya. Cuma ya itu, membawa diri untuk mengobrolkan suatu masalah itulah yang paling susah. Apalagi kalo masalah yang merundung kita adalah persoalan anak yang tewas dalam peristiwa penembakan sekolah. Bagaimana cara kita berdamai. Maukah kita ngobrol dan beramah tamah kepada orangtua si pelaku, yang sebenarnya sama dengan kita – kehilangan anak yang mereka cintai.

Dari premisnya memang langsung ketahuan. Mass adalah film yang begitu emosional dan bisa mengoyak-ngoyak perasaan saat ditonton. Bikin getir dan tercekat menontonnya. Namun karena itu jugalah karya Fran Kanz ini jadi begitu penting untuk ditonton. Mass memang tidak memberikan entertainment, Mass ‘menghibur’ kita dengan bikin plong setelah melalui menit-menit yang tidak nyaman awalnya dan penuh emosi selanjutnya.

Hanya empat karakter, duduk di satu ruangan, namuan film ini mampu bikin kita merasakan begitu banyak. Pengarahan sutradara serta penampilan akting para karakter mampu membawa kita ikut merasakan. Film ini tidak pernah mengadegankan penembakan sekolah, namun dari cerita para karakter (yang dibuild up detilnya dengan perlahan dan sempurna) kita seperti sedang melihat tragedi itu secara langsung. Kalian pikir film berisi dialog membosankan, Mass akan buktikan kalo itu salah. Satu yang kurang buatku di film ini adalah openingnya yang entah kenapa menampilkan karakter yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan masalah empat karakter sentral.

The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for MASS.

RON’S GONE WRONG Review

Perumpamaan mungkin memang bukan aspek terkuat yang dimiliki animasi Ron’s Gone Wrong. Karena clearly B-Bots itu adalah hape bagi anak-anak. Tapi bukan berarti itu melemahkan pesan ataupun membuat film ini jadi dangkal. Ron’s Gone Wrong hanya melakukannya dengan efisien dan tepat sasaran.

Film ini ingin menyasar anak-anak yang semakin hari pergaulannya terbatas di dunia maya. Ketergantungan dengan hape. Melalui hubungan yang terjalin antara Barney dan Ron si robot ‘rusak’ film memperkenalkan ulang apa arti persahabatan yang sesungguhnya. Film ini sama sekali tidak mengantagoniskan teknologi. Barney yang gak punya B-Bot tetap menginginkan teknologi tersebut, dan justru robot itulah yang bakal mengajarkannya banyak hal. Ini berarti film sebenarnya menyentil kitalah yang telah salah kaprah menggunakan teknologi.

Dengan tujuan tersebut, para sutradara mengarahkan film untuk menjadi ringan dan banyak candaan yang poke fun kepada jargon-jargon internet dan istilah pergaulan jaman sekarang. Petualangan yang dihadirkan juga cukup beragam sehingga penonton cilik gak akan bosan. Walaupun gak sepenuhnya original, tapi film ini hadir dengan pesona khas tersendiri. Si Ron itu sendiri bakal jadi pemeriah utama film.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for RON’S GONE WRONG.

THE UNFORGIVABLE Review

Untuk sekitar 95% durasi, aku sangat menikmati cerita The Unforgivable yang emosional. Sandra Bullock pun memainkan karakternya dengan juara sekali. Di film ini dia adalah perempuan yang dibebaskan bersyarat dari penjara. Dia sudah mendekam di penjara selama dua puluh tahun, karena tindakan yang terus menghantuinya lewat flashback. Salah satu syarat yang harus ia patuhi adalah tidak mencari/menghubungi adiknya yang kini telah dewasa, yang kini telah lupa dan hidup dengan identitas baru bersama keluarga baru. Syarat yang langsung ia ‘langgar’ karena begitu rindunya dengan adik tercinta.

Narasi film ini berjalan dengan mengiris hati. Kita akan melihat bagaimana karakter si Sandra Bullock mengalami kesulitan hidup bersosial. Dia gak bisa dengan gampang menjalin persahabatan, apalagi menjalin asmara. Catatan kriminalnya begitu kelam, dia telah melakukan hal yang tak-termaafkan oleh society. Apalagi film juga memperlihatkan keluarga dari korban Bullock di masa lalu itu yang kini berkonflik dengan dirinya sendiri mau menuntut balas atau tidak. Apa tepatnya yang terjadi dulu itu, diungkap oleh film dengan perlahan. Dalam balutan drama psikologis. Bullock memainkan karakternya seperti minuman soda yang diaduk, siap meledak, tapi dia menahannya. Melihat dia berusaha bertahan itulah simpati kita muncul.

Semua itu sayangnya runtuh total begitu di menjelang akhir, film mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sebenarnya dilakukan oleh karakter ini. Pengungkapan tersebut udah jadi twist yang mengubah pandangan kita. Ini ternyata bukanlah perjuangan seseorang membersihkan namanya yang telah melakukan kejahatan. Yang dimainkan Bullock ternyata adalah karakter yang selalu benar. Film tega-teganya menimpakan kesalahan kepada anak kecil. Semua drama, semua yang udah kita rasakan itu jadi seperti misfired.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE UNFORGIVABLE.

THE WORST PERSON IN THE WORLD Review

Mendengar begitu banyak pencapaian film ini, begitu banyak penonton yang suka, aku memang merasa jadi the worst person in the world karena belum juga menonton dan mereview film ini. Dan setelah nonton, ya aku memang merasa ketinggalan. Filmnya memang bagus.

Ingat monolog Yuni di rumah kosong tentang dituntut harus figuring out hidupnya mau jadi seperti apa, dan dia gak bisa, dan itu bukan berarti dia gak punya masa depan? Keseluruhan film The Worst Person in the World adalah gambaran dari monolog film Yuni tersebut. Julie, nama karakternya, berpindah-pindah dari sekolah kedokteran ke psikologi ke fotografer karena dia mencari siapa dirinya. Julie gak nyaman terikat satu relationship karena dia butuh untuk figuring out siapa dirinya. Julie menjadi the worst person in the world bukan karena dia selingkuh (they used terms gak-selingkuh padahal ngelakuin banyak hal pribadi yang lebih meaningful daripada hubungan badan) sama orang asing, ataupun bukan karena dia bilang anak yang suka dipeluk bakal jadi pecandu ke muka ibu yang lagi curhat anaknya suka dipeluk. Film garapan Joachim Trier ini menelisik personal seseorang yang belum figuring out hidupnya dengan nada komedi unik sehingga menyentuh ranah realisme yang bikin kita cukup terhenyak menontonnya.

Sampai akhir durasi, Julie masih belum yakin dirinya bakal jadi ibu yang baik, dia masih percaya dirinya worst person untuk berbagai alasan lain, tapi ini tidak benar-benar berarti karakter Julie tidak mengalami pembelajaran. Di sinilah kekuatan unik naskah film ini. Keunikan yang disalurkan lewat penceritaan sutradara. Perkembangan itu digambarkan dalam ‘bentuk’ yang lain. Ada kesan berantakan yang semakin terbenahi seiring perjalanan Julie. Ada pembelajaran dan penyadaran, tapi tetap tidak semudah itu bagi Julie, ataupun bagi kita sebagai manusia, untuk menyortir hidup walaupun kita tahu yang terbaik dan yang harus dilakukan. Itulah kompleksnya manusia, dan film ini berhasil menggambarkan tersebut. Dengan begitu baik, sehingga terkadang agak susah bagi penonton untuk mengikuti, dan butuh waktu lama untuk bisa bersimpati penuh dengan si karakter utama. 

Memang, film ini sebenarnya lebih cocok untuk mendapat review panjang tersendiri. Dan sekali lagi aku merasa sebagai worst person karena gak punya waktu luang dan malah memutuskan untuk mereviewnya secara singkat.

The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for THE WORST PERSON IN THE WORLD.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Sepertinya kompilasi review ini bakal jadi segmen tetap setiap akhir bulan, karena ternyata pe-erku semakin banyak, dan tetep selalu ada film yang gagal kutonton tepat waktu. Kuharap penilaiannya masih tetap bisa memuaskan.

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

WWE Royal Rumble 2022 Review

Awal tahun 2022 menyimpan kejutan buat penggemar WWE seantero Indonesia. There’s some rumbling about the Rumble. Ya, acara WWE dikabarkan bakal resmi tayang di platform streaming Disney+Hotstar, dan Royal Rumble 2022 bakal jadi acara premiernya. Berita gembira ini bukan datang tanpa drama. Setelah sempat rame di sosmed, pemberitaan soal penayangan tersebut hilang dari dunia maya. Link-link beritanya jika diklik hanya membawa ke halaman kosong. Setelah sempat suudzon sama Peacock/Hulu sebagai distributor resmi WWE di Amerika, aku pun bersorak histeris ketika Disney+Hotstar merilis poster dan trailer Royal Rumble. Yang berarti kabar penayangan itu ternyata beneran, dan kita-kita penggemar WWE tidak perlu susah-susah lagi subscribe Network ataupun memupuk dosa dengan menonton di link bajakan. Kita akhirnya bisa ikut seru-seruan nonton WWE secara live, gak perlu lagi takut-takut mantangin sosmed dan kena spoiler.

rumblebrock-lesnar-wwe-royal-rumble
Sekarang, kita bisa ngasih spoiler duluan!

 

 

Yang jelas, kejadian ini kudu dirayakan. Iya dong. Tahun ini resmi didistribusikan di Indonesia, siapa tahu tahun depan WWE bakal ngadain show live di GBK. WWE kembali melirik pasar Indonesia, yang telah berani nge-ban mereka sejak 2006. Maka, aku, yang sudah sekitar empat bulan ini absen nonton dan mengulas WWE – sebagai bentuk ngambek tayangan WWE kualitasnya jongkok di tempat (yaiyalah mana ada jongkok sambil jalan-jalan) – memutuskan untuk comeback. More hype than ever. Tapi juga more judgemental than ever. Karena kini aku udah seperti penggemar baru. Aku hanya tahu sebagian kecil storyline. Aku gak banyak tahu pemain-pemain baru. Antisipasiku gak memuncak untuk surprise-surprise. Aku jadi membayangkan diriku ini sebagai orang yang baru nonton WWE, orang yang lihat di platform kesayangan mereka ada acara gulat, dan coba menjajalnya. Aku ingin mencoba menjawab apakah WWE Royal Rumble ini bisa tampil menarik/punya appeal buat penonton casual, entah itu yang udah lama gak nonton WWE atau yang sama sekali belum pernah menonton. Apakah jika ini benar-benar pertama kalinya aku nonton WWE, acara ini bisa membuat aku suka.

So yea the stakes are high. And so does the opening match. Roman Reigns melawan Seth Rollins. Kurasa penonton awam cukup familiar dengan dua nama ini. Karena memang mereka adalah salah dua dari nama terbesar yang dipunya WWE era modern. Keduanya kharismatik. Keduanya sama-sama hebat di atas ring, baik itu beraksi maupun bercerita sebagai karakter. Benar saja, pertandingan mereka memperebutkan sabuk juara di acara ini akan sangat menghibur bagi mata manapun yang melihatnya. Bagi penonton yang setidaknya tahu riwayat mereka, match ini adalah tentang riwayat tersebut. Yang circled back ke masa kini. Reigns dan Rollins yang dulu satu tim tapi pecah karena Rollins berkhianat. Alur pertandingan kali ini merefleksikan itu semua, dengan poetic justice berupa role yang bertukar. Rollins tampil dengan musik dan pakaian tim lama mereka saja sudah cukup untuk bikin penggemar menggelinjang. Bagi penonton baru, match ini menarik karena aksinya bakal penuh drama. Ini adalah perfect hook buat ke partai berikutnya.

Pertandingan Royal Rumble cewek. Ya, bagi yang belum tahu: WWE sekarang memang sudah punya mode pertandingan-pertandingan besar yang dilangsungkan khusus untuk pegulat wanita. Yang seringkali gak kalah serunya ama versi cowok. Seperti Royal Rumble Cewek kali ini. Buatku, para superstar cewek berhasil menyuguhkan laga yang lebih menghibur. Ada lebih banyak nostalgia juga, buat penonton lama. Aku ngakak ketika musik sirene annoying berkumandang dan muncullah si Ivory dalam balutan dress putih yang tertutup rapat. Kontan saja aku terflashback ke jaman 2000an saat tim Right to Censor sering banget muncul jadi buzzkill. Dan gak cuma nostalgia. Ada lebih banyak momen-momen yang memanfaatkan karakter dari superstar yang ikut bertanding. Seperti saat Molly Holly yang datang gimmick superheronya bertemu dengan Nikki A.S.H. yang juga menggunakan gimmick superhero di era modern. Dan ngomong-ngomong soal kostum, interaksi antara Sasha Banks yang berdandan mirip Sailor Moon dengan Melina yang bergaya just like her legendary gimmick juga super duper fun.

WWE selalu jago dalam menampilkan surprise. Streamku sempat macet di menjelang akhir pertandingan Cewek ini. Bener-bener berhenti di itungan ketiga saat countdown kemunculan the next peserta Rumble. Dan begitu streamingnya lancar lagi, aku sudah mendengar lagu “I don’t give a damn about my reputation!” Seketika itu juga aku langsung berdiri jingkrak-jingkrak di sofa. Ronda Rousey balik dan langsung bikin geger arena. Rousey juga sempat diberikan momen bekerja sama dengan Shayna Baszler, sahabatnya di dunia real-fight, yang kusayangkan cuma WWE gak membuat mereka sebagai the final two. 

rumble960
Charlotte harusnya dapat treatment yang sama dengan Muhammad Hassan di Royal Rumble 2005; dikeroyok sampai tereliminasi oleh para superstar lain

 

Memang, belakangan ini WWE gak benar-benar kuat dalam bidang membangun antisipasi. Ini actually adalah salah satu alasan kenapa aku sempat berhenti menonton. WWE used to be great at both surprise and anticipation. Tapi sekarang, misalnya contoh Rousey ataupun Rollins yang ujug-ujug datang mengenakan gimmick The Shield tadi, WWE hanya kuat di menjaga kejutan saja. Membangun antisipasi semakin sering dinomorduakan. Bukti yang paling terasa di match ini adalah soal Mickie James. Juara dari perusaahan gulat sebelah, Impact, yang diundang untuk bertanding di Royal Rumble. Kejadian sebesar ini – WWE akhirya membuka ‘pintu terlarang’ dan mengakui ada gulat lain selain mereka – direveal begitu saja di sosial media. Tidak ada pembangunan antisipasi lanjutan. Dan saat match, Mickie James walaupun diperlakukan dengan penuh hormat sebagai juara, hanya seperti berada di sana. Padahal sebenarnya di atas ring saat itu ada Women’s Champion WWE. Tapi intensitas ataupun interaksi mereka tidak pernah digali. WWE menganggap kejadian ini cuma bagus untuk suprise di sosmed aja, mereka enggak melihat potensi storyline dari situasi tersebut. 

Antisipasi dan surprise. Keduanya sebenarnya tidak bijak untuk dipisahkan. Seperti countdown Royal Rumble itu sendiri. Mereka perlu untuk menghitung mundur dari sepuluh, supaya antisipasi terhadap siapa superstar yang bakal masuk bertanding, sehingga kemunculan tersebut dapat menjadi kejutan yang maksimal. 

 

Ini berdampak kepada pertandingan Royal Rumble Cowok. Mickie James yang nyebrang brand itu jadi dianggap sebagai bentuk dari antisipasi kejutan yang lebih besar oleh penonton. Itulah sebabnya kita mulai berspekulasi sendiri. Jangan-jangan nanti ada superstar Impact lain di partai cowok. Jangan-jangan ada superstar dari acara gulat lain. Tentu saja itu semua hanya ekspektasi kita. Pertandingan tersebut jadi kita tonton dengan mengharap surprise yang kita percaya atau kita adakan sendiri. Tau dong apa yang terjadi jika terlalu banyak berharap? Pertandingan Royal Rumble Cowok jadi terasa menjemukan. Tidak ada surprise (at least, tidak ada surprise yang kita harapkan) Ini membunuh momentum pertandingan tersebut. Pertandingan yang memang sedari awal sudah datar, berlubang botch (aduh Kofi Kingston riwayatmu kini) dan hampir sangat-sangat obvious hasil akhirnya bakal seperti apa. Aku menonton ini vibenya udah kayak Royal Rumble 2004. Cuma sekadar “oh” dan “meh”.

Pertemuan singkat AJ Styles dengan Robert Roode at one point of the match jadi penawar buat penonton. Komentator juga ngomporin pake kalimat “There are massive ‘impact’ between these two”. Para superstar memang terlihat bersenang-senang, apalagi banyak juga dari mereka yang baru pertama kali tampil. Tapi kupikir mereka belum benar-benar konek ke penonton. Aku yang udah lama gak nonton mau gak mau memperhatikan musik entrance. Banyak musik-musik baru, bahkan pemain lama juga musiknya ternyata udah ganti. Berganti menjadi sesuatu yang terdengar generic dan gak membantu untuk karakterisasi mereka. Soal antisipasi ini, Johnny Knoxville did a better job dalam membangun build up kemunculan Jackass ketimbang yang dilakukan oleh WWE haha.

rumble17587459
Kenapa Knoxville jadi mirip sama si Noob Noob dari kartun Rick and Morty?

 

Aku sebenarnya udah excited banget untuk pertandingan antara Brock Lesnar melawan Bobby Lashley. Apalagi video promo perseteruan mereka yang diputar sebelum match benar-benar seperti diedit untuk menguatkan narasi bahwa ini adalah pertemuan impian, pertarungan antara dua powerhouse yang udah buktikan diri di ajang kompetisi bela diri beneran tingkat dunia. Namun antisipasi ini tidak bertemu dengan hasil akhir yang memuaskan. Jauh lebih intens videonya ketimbang actual match. Maklum sih, WWE juga punya kepentingan (selalu punya kepentingan) untuk memajukan narasi atau storyline. Kita cuma bisa berharap ke depannya (soon in near future) Lesnar dan Lashley bisa bertemu kembali dalam pertandingan yang lebih serius. 

 

 

 

Jadi, untuk menjawab pertanyaanku sendiri: Royal Rumble ini sebenarnya tepat sekali untuk memperkenalkan kembali WWE kepada penonton di Indonesia. Banyak kejutan dan nostalgia yang sudah disiapkan. Aku bisa bayangin penonton bakal excited melihat Edge tag-teaman dengan istrinya, ngeliat anak Mysterio sekarang sudah jadi high flyer mumpuni ngikutin jejak bapaknya, ngeliat Jackass, ngeliat drama dan aksi, tertarik untuk pengen tahu kelanjutan story, serta bersorak melihat beragam superstar lama yang muncul menghibur untuk satu malam. Tapi aku tak yakin acara ini saja cukup untuk menggaet penonton yang sama sekali baru. Masih penasaran, mungkin. Tertarik untuk sesekali ngikutin, mungkin. Tapi benar-benar ngefans, susah juga. Wong fans benerannya aja masih jauh dari kata puas menyaksikan ini. The Palace of Wisdom menobatkan Women’s Royal Rumble sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

 

Full Results:

1. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Seth Rollins menang tapi gak juara karena Roman Reigns kena diskualifikasi
2. 30-WOMAN ROYAL RUMBLE Ronda Rousey comeback dan langsung menang
3. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Becky Lynch tetap juara ngalahin Doudrop
4. WWE CHAMPIONSHIP Juara Bertahan All Mighty Bobby Lashley menang atas Brock Lesnar
5. MIXED TAG TEAM Edge dan Beth Phoenix menghajar The Miz dan Maryse
6. 30-MAN ROYAL RUMBLE Brock Lesnar masuk di nomor 30 dan menang!

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

JUST MOM Review

“Being a mom can be incredibly lonely”

 

Orang yang kesepian biasanya nyari kesibukan. Dengan mengadopsi hewan, misalnya. Lihat kucing lucu di jalan, dibawa pulang dan dipelihara bagai anak majikan sendiri. Tapi seorang ibu bukanlah ‘orang’ sembarangan. Dengan begitu banyak stok cinta, kasih sayang, dan perhatian untuk dibagikan, kesepian yang dirasakan seorang ibu yang telah ditinggal oleh anak-anak yang telah dewasa juga bukan kesepian sembarangan. Ibu dalam film-panjang kedua Jeihan Angga ini, misalnya. Melihat perempuan di jalanan yang sedang hamil dan tampak kelaparan, dikerubuti oleh massa yang terusik oleh kehadirannya, Ibu Siti datang menolong. Memberinya makan, memberinya perhatian seperti kepada anak sendiri. Ibu Siti bahkan membawa perempuan yang bernama Murni itu ke rumah untuk dirawat, tanpa mempedulikan bahwa perempuan itu adalah orang gila.

Premis itulah yang jadi fondasi drama keluarga ini. Jeihan Angga menempatkan Ibu Siti di kursi karakter utama, supaya kita bisa merasakan langsung perasaan kesepian di balik rasa sayangnya yang begitu besar. Bukan saja kepada anak-anak darah dagingnya, melainkan juga kepada Murni dan banyak lagi karakter di sekitarnya yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri. Just Mom akan gampang sekali konek dengan kita, gampang sekali menarik-narik air mata, karena dengan melihat Ibu Siti kita finally bisa melihat ibu kita masing-masing. Ibu yang tiap minggu minta ditelepon, ibu yang suka ngirim-ngirim pesan WA random, ibu yang suka cerewet nanyain jodoh. Itu cinta. Dan film ini bilang, di balik cinta tersebut ada kesepian.

momstill-photo-2_843dfeb5-a6e1-44e4-a0e8-6d09ceea874e
Jadi film ini bekerja selayaknya truk yang menghantam bagi penonton yang merasa anak dari ibu mereka

 

Kita bisa merasakan film ini turut terasa sangat personal bagi pembuat dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Karena film ini tahu dan respek betul dengan penanganan atau treatment bercerita. Paham bagaimana menggambarkan sosok seorang ibu yang ditinggikan oleh anak-anaknya (apalagi dalam cerita ini, suami Bu Siti telah tiada, sehingga hanya benar-benar tinggal Bu Siti seorang), paham bagaimana melukiskan konflik dan perasaan. Kamera, misalnya. Sedari awal kamera akan sering menampilkan Bu Siti lewat mengclose-up wajahnya yang penuh concern tersebut. Seketika kita langsung di-embrace oleh perasaan hangat, oleh cinta yang seperti menguar dari raut dan pancaran mata Bu Siti. Untuk akting atau pemeranan, aku bukannya suka terdengar klise, tapi memang Christine Hakim ‘sudah tak-diragukan lagi’ Bu Christine tahu apa yang diminta oleh perannya, dan beliau memberikan itu dengan begitu menjiwai. Dengan begitu mendetail. Adegan yang buatku paling mencekat adalah ketika Bu Siti baru saja mendapat laporan kesehatannya dari rumah sakit. Dia ditelpon oleh anaknya yang menunggu dengan cemas. Bu Siti bilang dirinya baik-baik saja. Namun dari situasi, dari ekspresi kita tahu bahwa kesehatannya memburuk, dan Christine Hakim harus berdialog menenangkan anaknya, menelan kesedihan dan air matanya. Getar di dalam suara yang berusaha tenang, dan mata yang memerah, I mean maaaann, gak banyak pemain film yang bisa handle akting dengan begitu banyak emosi tertahan kayak gini

Film juga sempat meng-closeup percakapan grup Whatsapp Bu Siti dengan anak-anaknya. Membuat kita memperhatikan dinamika keluarga ini. Satu-satunya alasan menampilkan layar chat sebagai adegan film adalah untuk membangun karakter/konflik, dan film ini melakukan dengan efektif sekali. Memperlihatkan isi hati Bu Siti yang mengetikkan kalimat rindu buat anak-anaknya, tapi kemudian menghapus pesan tersebut dan simply mengirimkan kalimat lain.

Jadi sebelum film ini kita udah melihat bagaimana seorang ibu merasa kesepian karena telah dengan sengaja meninggalkan anak-anaknya demi karir dan dirinya sebagai seorang manusia. Ibu dalam Film The Lost Daughter (2022) itu kinda make sense merasa sebatang kara, karena sebagai akibat dari pilihannya. Kemudian datanglah Just Mom, membawa perspektif baru. Seorang ibu yang begitu menjiwai perannya, yang begitu mencintai anak-anaknya, yang juga adalah seorang perawat sehingga insting nurturing people semakin tebal melapisinya. Jika kita membandingkannya dengan Ibu dalam The Lost Daughter, Bu Siti ini udah kayak kebalikannya. Beliau tidak meninggalkan keluarga, dia malah selalu berusaha ada bagi mereka. Menomorduakan dirinya. Dengan cinta sebanyak itu, mestinya dia adalah orang paling bahagia di seluruh dunia. Namun, Bu Siti ternyata juga merasa kesepian. Inilah kenapa film Just Mom menarik sekali buatku. Kenapa seorang ibu mau neglect anak, mau berusaha selalu ada untuk anak, either way ujung-ujungnya tetap kesepian. Ada dua jalur sebenarnya cerita Bu Siti ini bisa dikembangkan. Pertama, menjadikannya pasif dengan ‘menyalahkan’ kepada anak-anak yang udah jarang mengunjungi Ibu. Kedua, dengan tetap menggali perspektif Bu Siti, membuatnya aktif melakukan pilihan dan belajar memaknai kesepian. Sayangnya, hanya dengan durasi satu setengah jam kurang, film ini lebih memilih untuk berjalan ke arah yang pertama saja.

Ibu selalu mikirin orang lain. Ibu baru bahagia kalo anak-anaknya bahagia, tapi kebahagian yang beliau rasakan tidak mutlak kebahagiaan dirinya. Mungkin karena inilah Ibu adalah ‘pekerjaan’ paling mulia. Karena berat dan sepinya inilah Ibu harus diutamakan berkali lipat. 

 

Bukannya jelek, film justru tetap membuktikan betapa kompeten dirinya dibuat. Film tetap tahu kapan harus memantik drama lewat sentuhan musik ataupun kamera. Film sigap menjauhkan kita ketika cerita mulai menampilkan konflik di antara anak-anak Bu Siti. Dramatis dan haru film ini terus dikuatkan. Hanya, dengan membuatnya ke arah ini karakter si Bu Siti jadi tidak bisa punya banyak perkembangan. Hanya seperti dia benar, dan anak-anaknya yang salah alias kurang perhatian. Tidak banyak lagi penggalian konflik selain anak-anak Bu Siti saling tuduh gak bisa jaga Ibu. Cerita tidak lagi konsisten berada pada sudut pandang Ibu. Sehingga jadinya aneh, kenapa memakai Ibu sebagai karakter utama sedari awal, kalo yang mengalami pembelajaran cuma anak-anaknya. Kenapa tidak salah satu anaknya saja yang jadi karakter utama, seperti pada Cinta Pertama, Kedua & Ketiga (2022) atau Coda (2021) yang lebih efektif bercerita tentang anak yang harus mengurus orangtua (berbalik menomorduakan hidupnya)

Durasi juga terlalu singkat untuk memekarkan banyak relationship dan konflik itu. Bu Siti memutuskan untuk merawat Murni meski ditentang anak-anaknya (bahkan oleh asisten rumah tangganya). Ini bisa dilihat sebagaimana tindakan karakter Olivia Colman dalam The Lost Daughter mengambil boneka tak-terawat milik seorang anak. Murni yang perilakunya terbatas, antara clueless dan teriak-teriak trauma, singkat kata kayak anak kecil paling manja, adalah channel bagi kasih sayang dan cinta Bu Siti. Karena beliau tidak lagi bisa berbagi cinta dengan anak-anaknya sendiri yang sudah punya keluarga dan kehidupan masing-masing. Di balik kasih sayangnya untuk menolong sesama, Bu Siti butuh Murni untuk menemukan kembali fungsinya sebagai ibu. Tapi tentu saja, orang gila enggak sama dengan boneka. Murni juga manusia, hubungannya dengan Bu Siti tentu akan bertumbuh. Film memang mewujudkan banyak momen emosional dari hubungan ini, tapi tidak banyak pengembangan yang bisa diperlihatkan. Begitu juga dengan anak-anak Bu Siti. Tiwi, Damar, dan Jalu (dari tiga ini cuma Jalu yang lebih pro ke sang ibu) hubungan mereka cuma sebatas setuju-tak setuju, khawatir, saling tuduh. Mereka datang dan pergi sekena naskah. Dengan ibunya jarang-jarang. Dengan sesama mereka hanya ada satu momen di akhir. Bahkan gak ada waktu untuk menampilkan relationship mereka dengan Murni.

Kekompleksan pada masing-masing karakter ada diperlihatkan oleh film. Tapi tidak banyak waktu yang bisa diluangkan untuk menggali complexity tersebut. Akhirnya hanya lintasan komedi saja yang mencuat. Komedi yang gak benar-benar nambah apa-apa untuk konflik atau tema. Harusnya ada lebih banyak adegan Siti terkenang anak-anaknya waktu masih kecil, sebagai tempat untuk menggali relationship beliau dengan mereka. Murni bisa digunakan untuk pemantik ini, bikin adegan bersama Murni yang paralel dengan momen Siti dengan anak-anaknya dulu. Seperti flashback masa muda yang sering dilakukan oleh The Lost Daughter. Film ini, karena singkat, hanya seperti poin-poin saja. Yang setiapnya ditampilkan dramatis, tapi tanpa pengembangan. Seperti insiden gunting, Bu Siti gak pernah benar-benar resolve dengan cucunya. Ternyata pada akhirnya elemen anak pungut, orang gila, hingga ke ibu yang kesepian itu sendiri hanya digunakan untuk penguat adegan dramatis.

mom169-07a18c45f3480c01b008862e4fe5145d_600x400
Ibu self-healing dengan ngurusin orang lain

 

Melepaskan Murni ke rumah sakit jiwa seharusnya adalah ekivalen dari pembelajaran Siti merelakan anak-anaknya pergi (tumbuh dewasa). Karena itu berarti Siti sudah mengerti bahwa itulah sesungguhnya dia mengenali apa yang terbaik untuk mereka, dan Siti memetik suatu perasaan bahagia di balik kesepian yang ia rasakan. Tapi karena film tidak tertarik untuk berkubang di personal si Bu Siti, maka konflik hanya dari anak-anaknya yang salah karena melupakan ibu mereka. Babak ketiga film ini berubah menjadi drama orang sakit. Anak-anak Siti menyadari kesalahan mereka, sementara ibu sakit parah, total dramatisasi-lah di sini. And oh, penonton bakalan nangis. Karena ya sedih melihat ibu kita di ujung maut, dan kita mau minta maaf dan bertekad lebih sayang tapi terancam gak bisa.

Tapi resolve ceritanya itu gak ada. Siti boleh jadi bakal meninggal tanpa pernah menemukan real happiness, karena dia tidak ada resolusi real dengan anak-anaknya. Nasibnya hanya jadi ‘hukuman’ buat anak-anaknya. Sementara anak-anaknya sendiri, walaupun menyadari, tapi mereka tidak perlu belajar menjadi berarti buat ibu mereka. Mereka punya hidup baru, dan Ibu tetap berakhir di posisinya semula. Tetap hanya demi anak, tidak berpikir untuk dirinya sendiri.

 

 

 

Mungkin memang begitu selflessnya ibu. Namun film seharusnya tidak membuat karakter utama yang berjalan di tempat. Hanya ada satu momen Ibu menyadari pilihannya mungkin salah, dan film tidak lanjut mengeksplorasi ini. Bayangkan, bahkan The Father (2021) yang karakter utamanya orangtua yang mulai lupa siapa dirinya dan yang lain – karakter yang juga sama pantasnya dikasihani – tidak dibuat serta merta benar. Tetap diberikan pembelajaran mengikhlaskan situasi dirinya. Film ini tampil terlalu singkat untuk dapat jadi cerita penggalian seorang ibu yang kompleks. Yang dimaksimalkan adalah penampilan akting dan momen-momen dramatis. Dan somehow sedikit komedi. Film ini tampil kompeten dalam menjadi seringkas judulnya. Just cry. Untuk tangis-tangisan saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for JUST MOM

 

 

 

That’s all we have for now

Di samping untuk ending dramatisnya, apakah ada alasan lain yang bisa kalian temukan soal kenapa film ini membuat yang dirawat Siti adalah orang gila yang lagi hamil?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

 

 

NIGHTMARE ALLEY Review

“Man is not what he thinks he is, he is what he hides.”

 

Dongeng. Film-film Guillermo del Toro, mau itu horor, romans, ataupun sci-fi, selalu terasa seperti fantasi ajaib yang penuh makna. Bukan karena filmnya sukses menghantarkan tidur. Film del Toro terasa seperti lantunan dongeng karena begitu crafty-nya dia bercerita. Dari cara dia menampilkan visual, membangun atmosfer, hingga ke desain dan karakterisasi yang seperti ditarik dari ruang imajinasi terdalam benak manusia. Film Guillermo del Toro adalah dongeng yang justru rugi jika kita sampai tertidur menontonnya. Nightmare Alley yang ia adaptasi dari novel 1947an pun hadir seperti demikian. Dengan setting di dunia sirkus dan karnival yang penuh muslihat, del Toro berkisah tentang pria yang terbuai oleh tipudaya sendiri. Di balik thriller-noir yang mencekam dan bikin penasaran, ini sesungguhnya adalah dongeng tragis manusia yang mendambakan seluruh isi dunia, tapi malang, ia menemukan dirinya terperosok ke dalam gang suram tanpa jalan keluar.

Pertama kali berjumpa dengannya, kita tidak diberitahu apa-apa tentang pria ini sama sekali. Film tidak memberikannya dialog. Kita tidak mendengar orang memanggil atau mengucapkan namanya. Kita hanya melihat dirinya menyeret mayat ke dalam lubang di sebuah rumah, lalu membakar rumah tersebut. Pria itu lantas pergi meninggalkan semuanya. Tidak banyak film yang bisa ‘lolos’ dengan menampilkan sedikit sekali identitas sang protagonis cerita. Biasanya, film dituntut harus segera mengestablish hal-hal penting berkenaan dengan protagonis; siapa dia, keinginannya, namanya – supaya penonton bisa langsung menempelkan diri untuk mengikuti cerita/journey si karakter. Di sinilah letak bukti bahwa Guillermo del Toro adalah pendongeng sejati. Menit-menit krusial miliknya, diisi oleh karakter ‘misterius’, tapi lewat penceritaan visual yang mengalun tegas dalam balutan gambar-gambar malam di pinggiran yang menakjubkan, bibit-bibit tentang karakter ini telah disemai. Dan dengan melihat itu semuanya, kita ternyata bisa mengerti. This poor man has done something terrible, bahwa dia desperate meninggalkan masa lalunya, dan dia butuh duit. Sekarang, kita telah dibuat mau mengikutinya, karena kita ingin mendengar dari si karakter sendiri; siapa dirinya dan apa yang telah ia lakukan.

See, bukan saja film ini berhasil melandaskan karakter utama tanpa banyak berkata-kata. Film ini juga berhasil melandaskan konteks gagasannya. Bagaimana seseorang mengatakan siapa dirinya. Bagaimana seseorang mempersembahkan dirinya kepada orang lain. Bagaimana seseorang berpikir siapa sih dirinya. Setelah itu terlandaskan, barulah film menyebut siapa nama si Pria. Stan. But honestly, nama tidak akan jadi soal. Karena hanya nama baik yang akan diingat, dan Stan bukanlah pria yang benar-benar baik.

Perjalanannya membuat Stan sampai di tenda-tenda karnaval. Gagah dan masih muda, Stan mendapat pekerjaan di sana. Dunia belakang panggung karnaval tersebut jadi panggung cerita yang menarik. Khususnya bagi Stan. Karena karnaval bukanlah tempat paling jujur di dunia. Segala macam bentuk tipuan, mulai dari trik alat, trik merayu pengunjung, trik membualkan cerita, hingga trik sulap berkumpul di sana. Secara khusus, Stan tertarik sama pertunjukan mentalis. Maka belajarlah dia. Setelah merasa cukup menimba ilmu, Stan bersama perempuan yang dicintainya, pergi meninggalkan karnaval. Membuka pertunjukan mentalis sendiri, di tempat-tempat yang jauh lebih bonafid. Sampai akhirnya trik Stan ditantang oleh seorang psikiater wanita. Dan Stan, yang terus bertekad untuk menunjukkan siapa dirinya, mulai melanggar aturan yang bahkan ditaati oleh penipu-penipu di bisnis karnaval. Aturan untuk tidak bikin pertunjukan yang melibatkan hantu-hantuan.

alleynightmare-alley-guillermo-del-toro-trailer
Bukan horor, tapi bisa lebih seram daripada American Horror Story Freak Show

 

Magic sesungguhnya justru adalah penceritaan film ini. Del Toro berhasil mengangkat keajaiban dari sudut-sudut karnaval yang gelap dan kumuh. Kameranya berhasil membuat orang bongkar tenda aja tampak jadi sebuah pengalaman sinematik yang legit. Beberapa kali sutradara yang paling populer lewat kiprah horornya ini seperti menggoda kita dengan hal-hal berbau horor. Ada adegan pencarian seseorang ‘freak’ yang kabur masuk ke dalam wahana rumah hantu. Ada penampakan makhluk bayi yang diawetkan, yang katakanlah, kayak Dajjal dengan mata besar di dahi. Del Toro memainkan tone seram ke dalam simbol-simbol cerita yang lebih humanis, hanya untuk membuat kita menyadari bahwa tidak ada yang lebih horor daripada manusia yang terjerumus ke dalam downward spiral, seperti yang sudah kita antisipasi bakal terjadi kepada Stan.

Does Stan think he’s better than the place, than anyone else? He sure thinks so. Interaksi Stan dengan komunitas karnaval memang tampak berjarak. Film membuatnya kontras dengan interaksi dalam komunitas itu sendiri. Para pelakunya menghormati pekerjaan mereka, menganggap keluarga satu sama lain. Tak ragu berbagi ilmu. Jika kalian belum puas melihat akting Willem Dafoe di Spider-Man kemaren, well, di Nightmare Alley dia menyuguhkan permainan karakter yang enggak kurang dari luar biasa. In fact, film ini penuh oleh banyak lagi penampilan akting level Oscar yang semuanya tampil prima. Membawakan cerita yang telah diarahkan, dengan sangat baik. Jika simpati kita buat Stan sukar tumbuh, karakter-karakter pendukung inilah yang akan memastikan kita merasakan sesuatu. Ada cukup banyak drama di sini. Kita melihat mereka dari sudut pandang Stan. Selalu dari sudut pandang Stan. Dia memandang mereka seperti murid yang haus ilmu. Paling banter, seperti anak memandang ayah. Relationship yang tampaknya jadi sumber konflik – sumber masalah dalam kehidupan Stan.

Banyak sebenarnya yang bisa dibicarakan mengenai drama dan karakter-karakter di porsi karnaval. Aku certainly lebih suka ketika cerita masih bertempat di sini. Nada tragis memang konstan terasa sepanjang durasi film, tapi di bagian awal ini – dengan begitu banyak karakter menarik, setting yang juga unik – film terasa lebih hidup. Dan untuk sesaat kita pun jadi lupa sama masalah yang merayap di balik karakter Stan. Kita akan ikut tertarik melihat dia bertumbuh jadi lebih akrab, lebih jago trik, dan ultimately katakanlah menyelamatkan karnaval dari razia. Porsi kedua cerita adalah tentang Stan yang sudah mandiri sebagai mentalist di hotel mewah dengan seteru – lalu kerja samanya – dengan karakter psikiater yang diperankan begitu intimidating oleh Cate Blanchett. Fun sebenarnya melihat Stan menebak orang-orang, udah kayak detektif. Tapi Stan juga mulai kelihatan belang yang sesungguhnya. Cerita pun menjadi lebih gelap. Miris semakin tak terbendung melihat klien-klien Stan termakan oleh ‘trik mentalist hantu’, bahwa mereka ditipu pakai harapan mereka sendiri untuk berkomunikasi dengan terkasih yang sudah tiada. Pokoknya ada deh satu adegan pasangan tua yang bakal bikin hati kita hancur saking kasiannya.

alleyNightmare-Alley-Traile
Kacaunya, orang jaman sekarang tetap masih ada aja yang percaya padahal sejak jaman baheula komunikasi sama arwah itu telah terbukti cuma scam nyari cuan

 

Permasalahan sebenarnya tetap sama-sama menarik. Namun pada paruh kedua film ini (at least sampai sebelum babak ketiganya muncul) pace lambat dan durasi panjang film ini makin kentara terasa adalah karena ada romansa juga yang sepertinya mau diceritakan. Ini yang mengalihkan perhatian kita. Stan dan Molly (diperankan dengan manis oleh Rooney Mara) hampir seperti mendadak jatuh cinta, dan ketika kita peduli sama hubungan mereka, relationship mereka itu tidak benar-benar dicuatkan seutuhnya. Molly tidak pernah digali. Bagaimana perasaannya yang dijanjikan seisi dunia padahal nyatanya cuma jadi asisten sulap mentalist, bagaimana Stan mulai bikin show yang dia tahu itu ‘salah’. Karakter Molly dalam cerita praktisnya memang cuma jadi ‘asisten’ bagi karakter Stan, yang tidak pernah benar-benar melihat cinta sebagai tujuan utama. Di garapan romansa inilah, kita dan Stan – yang memang gak pernah diniatkan untuk benar-benar segarispandang – menjadi total berjarak. Sehingga kita terlepas dari cerita. Di titik ini, kita hanya ikut cerita, karena kita lebih peduli pada Molly, sementara film tetap pada perspektif Stan. Film melakukan ini bukan tanpa alasan. Film ingin kita untuk benar-benar melihat bagaimana tragisnya ‘faustian bargain’ itu bisa terjadi kepada manusia. Karena Stan sesungguhnya adalah contoh klasik seseorang yang menukarkan value kemanusiaannya demi glory, uang, kuasa – yang selama ini tidak pernah ia dapatkan, karena ia merasa selalu menjadi subordinat dari ayah yang ia benci.

Sebagai orang yang merasa dirinya lebih baik dari semua penipu. Yang merasa dia lebih baik daripada ayahnya. Yang merasa dirinya berhak mendapat seisi dunia sehingga dia tidak masalah untuk menjadi orang jahat demi hak tersebut. Yang telah terbutakan oleh tipuannya sendiri, Bradley Cooper telah memberikan penampilan akting terbaik dalam karirnya sejauh ini kepada kita. Stan ini menurutku adalah salah satu karakter yang memang harus didukung oleh fisik pemainnya. Cooper punya fisik dan kharisma yang benar-benar kontras dengan sekecil apa Stan deep inside, dan Cooper sadar ini. Dia tahu bagaimana psikologis karakternya, dengan trauma-trauma dan masa lalu kelam itu, bekerja. Dan dia membuat karakter ini benar-benar seperti ekslusif untuk dia mainkan. Dedikasi dan kepahaman Cooper memainkan Stan dapat kita lihat di adegan terakhir film ini. Ending Nightmare Alley adalah salah satu ending terkuat, yang benar-benar poetic – circle back ke kejadian di awal (bukan hanya ke certain dialog tentang cara mencari orang untuk pertunjukan tertentu, tapi bahkan hingga ke pertama kali karakter ini membuka suara) Dan di situ akting Cooper benar-benar juara. Begitu banyak emosi ditampilkannya.

Salah satu dialog kunci film ini mengatakan bahwa manusia itu begitu desperate untuk dilihat orang. Itulah yang jadi tema dongeng tragis ini. Jadi, manusia berusaha menjadi yang terbaik. Tapi sering juga kita merasa diri kita lebih baik dari yang sebenarnya. Kita bablas. Alih-alih berjuang, kita menutupi kekurangan. Kita menipu diri sendiri. Film ini adalah dongeng tragis apa yang terjadi ketika manusia terhanyut dalam menipu dirinya sendiri.

 

 

Aku akan mendukung kalo film ini berlaga di Oscar. Karena film ini begitu tragis, endingnya adalah salah satu yang terbaik, dan aku ingin melihat dia berkompetisi dengan The Lost Daughter (2022), yang juga punya ending poetic nan tragis – and it’s like versi anak cewek dari cerita tentang anak cowok ini. Dan tentu saja Bradley Cooper juga harusnya dilirik berkat penampilan yang gak kalah tragisnya dengan Olivia Colman. Tentu, ini bukan terbaik dari Guillermo, design ceritanya agak sedikit jadi bumerang di pertengahan, tapi for sure design produksi film ini adalah kelas juara. Ada begitu banyak yang bisa dinikmati sepanjang durasi. Mulai dari karakter, simbol-simbol, belakang panggung bisnis karnaval, mentalist lawan ilmu psikiater, serta visual dan hasil tangkapan kameranya itu sendiri. Penceritaannya juga terasa khas.  Sehingga aku kasihan sama orang yang tertidur dan walk out pas nonton ini. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NIGHTMARE ALLEY

 

 

 

That’s all we have for now

Salah satu simbol yang berulang kali muncul di film ini adalah mata/gambar mata. Apa menurut kalian makna dari mata di dalam gagasan cerita ini?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ETERNALS Review

“Love is the capacity to take care, to protect, to nourish.”

 

Bayangkan awal tahun bikin film yang menang Oscar, lalu di penghujung tahun yang sama bikin superhero yang paling membosankan se-cosmic raya, lol that’s some range. Eternals adalah jawaban kenapa Taika Waititi bisa demikian sukses saat menggarap superhero dewa dalam balutan full-komedi receh. Karena cerita tentang ultimate being yang mendalami makna menjadi manusia memang harus mendaratkan karakter-karakternya menjadi pada level yang sama dengan penonton. Membuat mereka berlaku komedi adalah salah satu caranya. Dengan begitu kita akan lebih mudah melihat mereka sebagai bagian dari kita. Sehingga kita jadi peduli menyelami kompleksnya konflik dan karakter mereka. Eternals yang menunjuk Chloe Zhao sebagai sutradaranya, however, pengen tampil sebagai cerita pahlawan dengan muatan filosofis. Eksistensi dan kemanusiaan. Dengan bahasan yang ‘berat’ dan karakter yang ditampilkan sebagai dewa di atas kita, Zhao berusaha mendaratkan Eternals dengan tema cinta. Tapinya lagi menonjolkan cinta-cinta sementara pada sepuluh karakter kompleks itu ada bahasan menarik yang dibahas harus sekilas karena bakal ‘ketinggian’, hanya berujung membuat film ini jatuh sebagai drama bucin antara karakter-karakter kaku yang ingin mencegah kiamat terjadi di dunia.

Jadi jauh sebelum Avengers terbentuk, jauuuh sebelum peradaban manusia terbentuk, bumi kedatangan sepuluh makhluk abadi buatan Celestial. Makhluk-makhluk ini dikirim untuk melindungi bumi dari makhluk monster bernama Deviant yang memangsa manusia. Sersi adalah salah satu dari makhluk pelindung bumi itu, dan dialah karakter utama kita. Sersi instantly jatuh cinta sama planet dan kehidupan di dalamnya. Dan setelah sekian lama hidup di bumi, Sersi dan teman-teman memang ngajarin manusia dan punya pengaruh besar dalam peradaban (sebagian mereka kayfabe-nya jadi origin kisah dewa-dewi), meskipun mereka punya aturan enggak boleh mencampuri urusan ‘pribadi’ makhluk bumi. Mereka hidup bersama di antara manusia, sehingga jadi tumbuh rasa peduli. Kepedulian ini lantas jadi konflik personal, berbenturan dengan purpose yang dirancangkan buat mereka. Maka perpecahan pun terjadi. Sersi dan teman-teman berpisah dan hidup masing-masing. Namun sekarang, Deviant yang lebih kuat dan mampu menyerap kemampuan Eternals. Membunuh pemimpin Sersi. Para Eternals harus berkumpul kembali untuk melenyapkan ancaman ini, hanya untuk mengetahui bahwa ancaman sebenarnya justru adalah diri mereka sendiri. Karena kenyataan pahit terkuak untuk Sersi; Eternals sebenarnya dikirim ke Bumi untuk memastikan kehancuran planet tersebut sesuai pada waktunya.

eternals1593996-9-fakta-tentang-sosok-sersi-di-eternals
Sersi sampai di kita jadinya Dewi Padi

 

Yea, sepuluh karakter diperkenalkan sekaligus dalam satu movie memang udah red flag. Sudah begitu banyak contoh cerita ‘team’ yang gugur dan berakhir sebagai nilai merah karena gagal mengeksplorasi karakter tersebut dengan berimbang. Baru-baru ini ada satu yang berhasil, James Gunn, tapi itupun lagi-lagi karena penggunaan komedi untuk mendaratkan. But hey, Eternals hadir dengan durasi yang jauh lebih panjang dari cerita ‘team’ sebelum ini. Dua jam setengah durasi seharusnya bisa menghimpun perspektif, development, dan range masing-masing karakter. Seharusnya…

Buatku yang menarik adalah karakter Kingo, Phastos, dan Druig. Kingo ‘menyamar’ hidup sebagai legenda Bollywood, dia punya kecintaan sama film, dan for some reason Kingo sepertinya adalah superhero pertama yang menolak muncul dalam final battle. Kumail Nanjiani udah jadi berotot gitu tapi karakternya malah gak mau bertarung di akhir, it is really weird. Phastos really conflicted saat manusia mulai berperang antarsesama, karena dia merasa bertanggungjawab; dialah yang membantu manusia menciptakan alat-alat sederhana. Sementara Druig, benar-benar benci melihat manusia berperang. Druig yang bisa mengendalikan pikiran straight up melanggar aturan, membentuk komunitas masyarakat sendiri sesuai kehendaknya. Tiga karakter menarik ini nyatanya dipinggirkan karena tokoh utama kita adalah Sersi. Yang konflik utamanya adalah cinta. Sersi jatuh cinta sama manusia. Sersi dicintai sama Ikarus, Eternal yang bisa terbang. Sementara Ikarus dicintai sama Sprite, Eternal yang gak bisa gede. Mereka juga punya teman Eternal yang sering menggila, dan Eternal yang bersedia selalu melindunginya karena cinta. Film Eternals menonjolkan segala drama kebucinan ini, sebagai usaha untuk membuat para karakternya ‘manusia’

Chloe Zhao ingin mengeksplorasi gagasan soal melindungi hal yang kita cinta. To protect; itulah yang membuat manusia, manusia. Para karakter Eternal menyadari mereka ingin melindungi karena mereka punya rasa cinta, dan itu membuat mereka menjadi manusia yang sama dengan yang mereka lindungi. Itu memberikan tujuan yang sebenarnya bagi eksistensi mereka yang menyedihkan. Furthermore, Chloe memastikan para karakter benar-benar diverse. Sehingga aksi saling melindungi, saling cinta itu semakin bermakna karena melalui berbagai perbedaan dan menyatukannya.

 

Dengan pesan kemanusiaan di balik narasi klise kehancuran bumi, Eternals sesungguhnya cerita yang punya bobot dan penting untuk kita tonton. Bukan sekadar aksi-aksi flashy superhero. Hanya saja Zhao tidak benar-benar memanfaatkan karakternya selain sebagai boneka penyambung pesan. Dia tidak berhasil membuat karakter tersebut hidup. Harusnya Zhao menonton serial kartun Steven Universe. Serius. Eternals ini sama persis plotnya dengan kartun anak-anak tersebut. Baru tahun kemaren aku melahap kelima season Steven Universe, aku juga bikin playthrough lengkap video gamenya di channel Youtube. Sehingga plotnya masih segar teringat, dan saat nonton Eternals, aku merasakan deja vu. Para Eternal adalah Crystal Gem di kartun Steven. Pasukan yang dikirim ke bumi untuk mengalahkan monster, tapi kemudian merasa betah dan tertarik hidup bersama manusia bumi. Celestial adalah Diamond, higher entity yang mengirim mereka. Bahkan senjata/kekuatan mereka pun mirip sama Crystal Gem. Long story short, Crystal Gem ini juga akhirnya mengetahui rencana penghancuran bumi, dan seperti Eternal mereka juga harus melawan sesuatu yang bakal bangkit dari dalam inti bumi. Druig adalah Steven, yang punya kemampuan pikiran untuk melakukan sesuatu terhadap makhluk yang bakal bangkit tersebut. Tema di balik plot itupun sama. Tentang cinta yang dirasakan. Eksplorasi eksistensi diri, melindungi yang dicintai, kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Steven Universe bahkan memuat tema LGBT dengan lebih mendalam daripada Eternal yang hanya sekadar menyebut dan nunjukin ciuman. Kartun tersebut menyimbolkannya sebagai kekuatan (fusion).

Inilah yang kumaksud ketika Zhao harusnya nonton serial ini terlebih dahulu. Karakterisasi dan penyampaian tema dilakukan oleh serial tersebut lebih mendetil dan dalam dan menyentuh ketimbang yang ia lakukan pada Eternal. Karakter-karakter seharusnya tidak didefinisikan oleh aksi bucin mereka saja. Mereka harus hidup. Sersi menjadi boring karena teman-temannya yang lain memasak, main film, jadi orangtua. Sersi sibuk tenggelam sendiri. Film fokusnya malah ke karakter-karakter seperti Sersi ini. Namun bahkan karakter yang menarik pun kalo udah ngumpul bareng mereka cuma berbaris, menatap sok keren ke satu titik. Dalam cerita soal merayakan emosi dan vulnerability manusia, para karakternya gak pernah sepenuhnya tergambar seperti manusia.

eternals-richard-madden-gemma-chan-2
To be fair, Steven Universe punya lima season untuk ngembangin karakter. Maka film Eternals ini cocoknya jadi serial juga.

 

Walau durasi sudah ekstrapanjangpun, film ini tetap terasa sesak dan penuh berjejelan oleh informasi dan eksposisi. Timeline dalam narasi actually melintang sepanjang sejak awal waktu. Kejadian mereka tersebar dalam periode-periode peradaban manusia. Film ini menggunakan alur bolak-balik antara kejadian di masa sekarang untuk memajukan plot, dengan kejadian di masa lalu untuk mendalami backstory kejadian (mereka pisahnya gimana, mereka ada masalah apa, dsb) Dengan cara memuat seperti begitu, praktisnya tidak ada lagi tempat untuk benar-benar mengembangkan kehidupan karakter. Akibatnya lagi, karakter ‘setua’ itu kayak sama aja mau itu kita melihat mereka di periode tahun berapapun. Yang paling gak bertumbuh itu adalah karakter Makari. Ini sayang sekali. Superhero deaf pertama MCU, berkekuatan bisa lari secepat kilat, tidak diberikan apa-apa oleh film. Dia hanya nunggu di ‘pesawat’. Hanya dimunculkan di menjelang akhir. Dia di masa lalu ama yang sekarang benar-benar gak ada bedanya. Kalo anak sekarang bilangnya ‘nolep banget’

Film ini tenggelam dalam filosofis dan pembicaraannya sendiri sehingga gagal melihat hal-hal menarik yang bisa diangkat dari karakter. Mereka punya Angelina Jolie sebagai Goddess of War – Angelina-frickin’-Jolie!! Dan hal menarik bagi film ini buat karakternya cuma namanya Thena, bukan Athena. Nama itu terus diulang-ulang. Film tidak tertarik menggali personal karakter ini – fungsi dia sebagai wakil karakter mental illness sudah dipenuhi dengan just exist there. Film tidak tertarik ngasih adegan aksi yang memfokuskan Jolie kembali beraksi. Film tidak tertarik ngasih adegan aksi. Period. Kenapa aku bilang begitu? Karena adegan-adegan berantem film ini basic banget. Gak ada yang wah. Sepuluh kekuatan special itu gak pernah jadi terasa seperti experience berantem yang out-of-the-world, yang seru. Zhao kayak sebodo amat ama template aksi superhero yang udah disiapkan studio. Hanya ada satu kayaknya, satu adegan berantem yang memperlihatkan kerja sama efektif, like, combo kekuatan super karakter mengalahkan lawan. Padahal mereka ini digambarkan gak benar-benar kuat on their own. Mereka harus bekerja sama. Ini seharusnya kesempatan ngerancang kombo-kombo spektakuler. Tapi film ini cuma kayak ‘hmm meh..!”

Satu-satunya hal menarik di film ini adalah bagaimana sepertinya Marvel telah membuka ‘pintu terlarang’. Seperti WWE yang tau-tau ngajak superstar dari perusahaan gulat sebelah (Impact) untuk tanding di acara mereka, Eternals tau-tau menyebut Batman dan Superman – dua karakter superhero dari studio sebelah – di dalam narasi. Nyebut nama-nama Avengers kan udah biasa tuh, film-film Marvel selalu ‘ngiklanin’ mereka, terutama kalo si film ini gak langsung bersangkut paut banget dengan kejadian Avengers. Nah menariknya kali ini, Batman dan Superman juga disebut dengan gamblang. Marvel mengacknowledge keberadaan superhero lain di dunia mereka. Apakah ini mengisyaratkan Marvel sudah open untuk crossover yang lebih menggemparkan? Bagaimana menurut kalian? Share pendapat kalian di komen yaa

 

 

Seharusnya dengan adanya sepuluh karakter superhero dewa berarti ada sepuluh kali kesempatan lebih banyak bagi film ini untuk menghasilkan sajian yang sepuluh kali lebih dahsyat daripada biasanya. Tapi nyatanya, film ini jadi kayak sepuluh kali lebih membosankan. Karakter-karakternya cuma baris berpose sok keren. Karakter utamanya bucin, maka melodrama cinta-cintaan itulah yang jadi fokus utama.Total bleergh buatku adalah adegan Ikarus dibikin memenuhi takdir namanya, dengan konteks dia malu udah berbuat jahat dan gak dicintai lagi sama kekasihnya. Hal-hal semacam ini yang mengesampingkan hal-hal menarik yang actually dipunya oleh beberapa karakter lain. Udah dikasih durasi panjang, tapi tetap saja film ini tidak terisi dengan efektif. Film bahkan lupa punya monster antagonis yang bisa meniru kemampuan dan berkembang jadi lebih kuat dan manusiawi. Karakter itu lenyapnya dengan gampang aja. Dikembangkan dengan tidak imbang. Ini superhero yang gak tertarik sama aksi, melainkan lebih kepada filosofi eksistensi. Mending nonton kartun Steven Universe aja deh. 
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ETERNALS

 

 

 

 

That’s all we have for now

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

PENYALIN CAHAYA Review

“If he cannot silence her absolutely, he tries to make sure no one listens”

 

 

As of right now, people are just projecting their hate onto this movie. Kebencian yang memang layak sekali untuk dikoarkan karena bersumber dari dugaan kekerasan seksual yang ditutupi, yang ironisnya jadi tema dalam cerita. Sehingga orang-orang sekarang either mengasihani korban, atau mengutuk pelaku yang malah dapat penghargaan dengan menuliskan cerita ini. Like, hampir semua orang yang kulihat di timeline Twitter, yang memilih untuk menonton film ini, menyaksikannya supaya bisa membuktikan dosa itu benar tercermin ke dalam cerita. Menontonnya supaya bisa mengutuknya. Menonton tanpa apresiasi – apalagi memuji dan menikmati – sebagai bentuk solidaritas dan pembelaan kepada penyintas-penyintas yang didramakan. Mengutuk kekerasan seksual dan mengutuk pelakunya jelas adalah perbuatan yang benar. Tidak akan ada yang meragukan di sisi mana kita berpihak when it comes to case like this. Everyone should condemn it. Namun, film tentu bukan persoalan satu orang. Hanya untuk menilai salah-benar adalah alasan yang ‘kurang tepat’ untuk menonton film. Karena menonton harusnya pertama-tama untuk personal.

Aku gak meminta kalian untuk berhenti menyuarakan kebenaran dan berhenti membenci kasusnya. Aku hanya meminta untuk sejenak kita memisahkan film ini dari pelakunya. Toh film hanya ‘mesin fotokopi,’ bukan satu orang yang menyalinkan sesuatu di atasnya. Aku ingin meminta waktu sebentar untuk kita memikirkan apa yang diomongkan Penyalin Cahaya kepada kita, masing-masing. Seperti apa kira-kira dialog kita dengan film ini. Jika kita bukan korban, jika kita bukan pelaku, maka siapa kita, kata film, di cerita ini. Di mana posisi kita. Apa yang kita lakukan di cerita ini. 

penyalinmedia
Kenapa di akhir itu cuma dua cewek yang mendorong mesin fotokopi ke atas gedung? Karena yang cowok Tariq

 

Penyalin Cahaya bercerita tentang mahasiswi berprestasi bernama Suryani. Perempuan yang aktif di kegiatan teater kampus, sekaligus sibuk membantu usaha warung makanan milik orangtuanya. Selain sedikit masalah dengan ayahnya yang keras, things seem going well untuk Sur. Permohonan beasiswanya hampir tembus. Pertunjukan teater mereka sukses berat. Namun semua itu sirna ketika Sur menemukan dirinya terbangun kesiangan esok hari. Beredar foto-foto dia lagi mabok dan berpesta pora di acara sukuran klub teater tadi malam. Permohonan beasiswanya lantas ditolak. Sur diusir dari rumah. Sur yang sama sekali tidak ingat apa-apa kini berusaha membersihkan namanya. Mencari tahu siapa yang telah mengambil foto dan menguploadnya, hanya untuk menemukan perbuatan mengerikan lain yang malam itu terjadi kepadanya. Dan mungkin kepada banyak lagi teman lainnya.

Jadi, di mana aku dalam cerita Sur Menuntut Kebenaran dan Keadilan ini? Aku ngikutin perjuangan Sur menyibak misteri. Aku melihat ketika Sur malah balik dipersalahkan. Dia bicara dan mempertahankan diri tapi, aku menyaksikannya, jadi malah berbalik dituduh melempar fitnah dan meminta maaf walaupun di sini dialah yang paling dirugikan. Hidupnya hancur. Dan apa yang kulakukan? Aku hanya bisa merasa malu. Sedih dan marah juga sih, tapi yang paling nyesek kurasakan adalah malu. Karena film ini memperlihatkan kepadaku kesusahan yang harus dilalui Sur saat speak up sebagai korban. Diperlihatkan dengan emosi yang sangat mendetil, dalam teknis visual yang terlihat begitu luwes bermain close up dan warna-warna, sehingga kadang seperti realm fantasi tapi terasa menampar saking realnya semua terasa. Film ini dihadirkan ringan, tapi karena itulah justru terasa semakin menohok. Karena aku yang sama sekali gak tahu sesusah apa bagi korban seperti Suryani, yang merasa semua bisa selesai dengan enteng, jadi benar-benar merasa tersadarkan dengan tamparan. Malu karena ternyata sesusah itu bagi Suryani, dan Suryani-Suryani lain di luar sana. Malu karena kita gak doing enough to help them

Film ini paham bahwa awareness terhadap itu harus ditingkatkan. Jadi mereka membuat Sur menempuh semua yang kita jatuhkan kepada korban pelapor setiap kali ada kasus seperti ini. Sur akan dicurigai berbohong. Sur dipersalahkan karena ceroboh. Sur dianggap mencemarkan nama baik. Semua itu ditampilkan film dalam gambaran yang begitu naas, bukan semata demi dramatisasi ataupun glorifikasi penderitaan korban. Melainkan untuk ngeshame kita yang entah kenapa selalu takut untuk mempercayai korban. Kita malah lebih suka mempertanyakan mereka. Akhirnya membuat mereka senewen sendiri, merasa diri merekalah yang salah. This is the worst feeling. Film dengan berani mengangkat itu. Konflik personal Sur dieksplorasi. Dia merasa bersalah melanggar aturan ayahnya. Dia merasa bersalah nuduh temannya. Telah ngebajak hape mereka. Adegan Sur dan teman-teman nonton rekaman CCTV dan kemudian tuduhannya berbalik menjadi Sur malah disalahin teman-teman, duduk terdiam di sana, dengan pikiran berkecamuk antara apa ia dia salah dengan masih ada satu hal yang gak kejawab baginya, merupakan salah satu yang paling menohok. Menciptakan intensitas, dan karakter building yang kuat. Sur tidak digambarkan tak-bercela, dia tidak selalu benar, dan ini jadi menambah lapisan konflik. Ke kita, yang selalu failed mengenali urgensi korban. Bahwa sekalipun korban tampak bersalah, itu tidak mengurangi kenyataan bahwa dia adalah korban kasus kekerasan. It still happened to her. Help her.

Dengan begitu, ironi yang digambarkan film ini jadi semakin kuat. Sur, untuk speak up, terpaksa harus bertindak sendiri. Tanpa dukungan. Dia harus melanggar hukum untuk membuktikan dirinya tak bersalah dan adalah korban dari ini semua. Arahan untuk perjalanan karakter ini terasa begitu kuat. Mantap mengarah kepada efek yang diniatkan. Thriller bergaya misteri whodunnit dipilih untuk semakin mengontraskan. Kenapa? karena whodunnit biasanya simpel. Everybody is suspect tapi ujungnya selalu siapa yang salah, siapa yang benar. Sur pikir dia tinggal menemukan siapa yang upload. Siapa yang membiusnya. Sayangnya, urusan kasus kekerasan seksual di kita belum bisa jadi sesederhana itu. Tidak dengan relasi kuasa dan ketimpangan gender masih merajalela. Padahal seharusnya ya sederhana, orang yang berbuat salah, ya harus dihukum. Tapi kenapa Sur yang jadi semakin susah dan sendirian. Di pilihan bercerita inilah gagasan film sesungguhnya juga berada.

Bahkan penampilan akting Shenina Cinnamon sebagai Suryani tampak dikawal sangat ketat. Seperti misalnya ada beberapa dialog yang diucapkan dengan sedikit belibet olehnya, tapi oleh cara film ini mempersembahkan, belibet itu jadi tampak sesuai dengan konteks. Bahwa karakter ini memang sedang mengalami kejadian yang emosionalnya harus ia pendam sendiri. Sehingga ia ‘bergetar’ menahan semua itu.

Yang ditunjukkan dengan begitu emosional oleh film ini adalah bahwa pilihan satu-satunya bagi korban kekerasan  adalah untuk diam. Bukan karena mereka mau diam. Melainkan karena diam berarti pilihan yang paling aman. Karena keignorance kita-lah mereka memilih itu. Angkat bicara menjadi sulit. Bukan saja membuka trauma, tapi juga sebab kita masih lebih cenderung tidak mempercayai korban. Sementara pelaku dengan gampangnya memainkan kuasa untuk mendiamkan, bahkan balik menuding mereka. 

 

Mitologi medusa jadi alegori yang tepat. Dalam adegan revealing yang dibuat sangat teatrikal, mendadak realm fantasi tadi mendobrak kesan realism yang dibangun, kita diperlihatkan pelaku yang sebenarnya beraksi kayak wayang orang di tengah asap, berdialog soal medusa dan perseus. Di depan korban-korban yang dibekep. Adegan ini memang terlihat aneh dan over the top. Tapi masih berfungsi efektif dalam memuat gagasan. Karena beginilah gambaran korban-korban kekerasan seksual di dunia nyata. Mereka dibungkam. Mereka jadi terdiam. Membatu, kayak korban Medusa. Pelaku di cerita ini bilang dirinya Perseus, but really, pelaku sebenarnya lebih cocok dikatain medusa. Karena udah bikin korban membatu. Pelaku bebas bergerak. Terus beraksi ke sana kemari, menepis tudingan sana-sini, dan balik menyalahkan korban. Memastikan tidak ada yang mendengarkan mereka. Dan kita simply tidak melihat itu.

penyalininopsis-Film-Penyalin-Cahaya-Angkat-Cerita-Tentang-Kekerasan-Seksual
But now we know, dan kita kasih cermin ke Medusa. Mereka kini yang diam membatu.

 

Menjadi whodunnit ternyata punya lubang jebakan sendiri. Dan penulisan film ini enggak seanggun arahannya, sehingga film kecemplung juga beberapa kali. Dalam pengembangan misteri misalnya. Untuk membuat penonton tetap engage ke misteri, film paham harus mengungkap perlahan. Hanya saja, misteri ini terlalu dielaborate. Dari siapa pelaku upload, hingga ke pelaku pelecehan yang lebih besar, film terlalu sibuk mengembangkan seolah ini adalah kejahatan cerdas. Terselubung, terencana dengan matang. The crime keeps getting bigger. Hingga jadi kayak mustahil. Ya mustahil terjadi, mustahil gak ketahuan, mustahil ada yang bantuin. Kasusnya sendiri, jadi kayak ngada-ngada. Di sini aku bisa lihat penonton yang udah tahu kasusnya bakal ilfeel lagi saat menonton. Karena film tampak seperti mau ngepush kehebatan pelaku. Yang berlawanan dengan gagasan dan sasaran dialog film. Kita. Penyalin Cahaya harusnya ngepush narasi dari perspektif Sur untuk menegur kita yang gak melakukan apa-apa melainkan mempersulit korban. Bukan untuk memperlihatkan soal rencana sinting dan rapi si pelaku. 

Sehingga film terasa jadi lebih panjang daripada seharusnya, untuk urusan kasus yang tidak perlu terlampau digayain. Seharusnya waktu dipakai untuk ngeresolve beberapa hal. Terutama dari sudut pandang korban seperti Sur dan yang lain. Turn around mereka perlu dieksplorasi lagi karena berkenaan dengan kesukaran membuka suara. Aku sendiri sebenarnya pengen banget konflik Sur dan ayahnya diresolve, seperti Sur dengan ibu. Terutama karena ayahnya yang paling keras tidak mau mempercayai Sur, sementara dia juga ada benarnya – kalo ayah gak nyuruh Sur pake baju dalam, Sur gak akan pernah menyadari satu kejanggalan kunci yang membuatnya yakin dirinya ‘dikerjai’. Yang paling kurang greget sebenarnya adalah karakter Amin (Chicco Kurniawan di sini mirip John Cho ya haha) sahabat Sur yang tukang fotokopi dan menampung/memfasilitasi usaha Sur. Kalo kita balik ke kasus, menurutku ke dalam karakter inilah co-writer menuangkan dirinya. Pelaku in the past, dan kini berusaha meredeem diri dengan membantu Sur. Tapi yang dilakukan Amin tidak cukup. Hanya sebatas memberi mesin fotokopi. Sikapnya tidak pernah diselesaikan. Pengkhianatannya dirasakan oleh Sur, sebesar ‘pengkhianatan’ yang penonton rasakan sehingga banyak yang akhirnya memilih untuk tidak lagi mendukung film penting ini.

 

 

With all of that being said, pendapatku terhadap film ini – dan kasusnya –  ada dua. Pertama untuk filmnya sendiri. Aku masih menganggap film ini layak menang Terbaik FFI. Karena pesan dan relevansinya. Karena arahan dan teknis dan permainan aktingnya. Tapi tidak untuk sebagian lagi, terutama untuk penulisan. Yang memang terlalu bombastis, seringkali tidak sesuai dengan niat filmnya sendiri. Kedua, mengenai tujuan film dan kasus itu sendiri. I feel like, keberadaan film ini penting karena menyadarkan kita bahwa korban-korban itu susah mendapat keadilan, maka permudahlah. Bantu mereka sebarkan suara, karena itulah justice yang paling mungkin bisa mereka dapatkan. Akan tetapi, kalo dengan keberadaan film ini malah membuat korban semakin merasa tak diperlakukan adil, membuat mereka makin susah mendapat justice, maka menurutku hate it if we must. Sebaiknya film ini bertindak tegas dan merestore itu. Jangan sampai film ini hadir tapi jadi bertentangan dengan makna keberadaannya sendiri. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PENYALIN CAHAYA

 

 

 

That’s all we have for now

Kenapa kebanyakan orang masih begitu sulit mempercayai korban?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SCREAM Review

“Fandom can’t have nice things”

 

 

Franchise Scream bisa segede ini karena misteri whodunnit-nya selalu dibarengi oleh humor meta dan sindiran untuk film dan trennya saat itu. Scream original adalah satir untuk genrenya sendiri. Scream 2 menyindir horor sekuel. Scream 3 berisi celetukan gimana Hollywood membuat franchise dari tragedi nyata. Scream 4 menyentil soal reboot atau remake. Bahkan Scream versi serial juga memuat komentar soal adaptasi ke serial tv. Maka sebagai penggemar berat, aku excited sekali nungguin tentang apa Scream kelima ini. Terutama setelah mereka mutusin untuk mencopot angka-lima dan hadir dengan judul Scream saja- ngikutin horor-horor klasik yang dimodernisasi dengan sekuel yang gak ada angka, confusing everyone. Apakah Scream lima sengaja menyindir ini?

Yang jelas, sekuel terbarunya ini memang kayak berusaha memancing reaksi fans banget. Apalagi pas ditonton. Wuih. Mulai dari mengejek horor kekinian yang lebih drama, sampe ke misteri dalam ceritanya sendiri yang buatku tampak so easy. Scream 5 ini actually adalah Scream pertama yang bisa aku tebak dengan benar siapa pelakunya, siapa yang bakal mati. In fact, aku sudah menerka sejak adegan para karakter bertemu di rumah sakit di awal cer.. See, inilah yang hendak dilakukan oleh Scream 5. Film ini ingin bicara langsung kepada para penggemar setianya. Film menggebah kita entah itu untuk protes, atau untuk menyombongkan diri. Aku hampir saja jatuh ke lubang jebakannya itu. Karena Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillet memang merancang film ini sebagai sindiran untuk fandom dengan segala ke-toxic-annya.

screamGFhXkEyXkFqcGdeQXVyMTkxNjUyNQ@@._V1_
Satu-satunya yang kusayangkan adalah Samara Weaving gak jadi dicast, padahal dia bisa fun banget mainin putri Billy Loomis

 

 

Sebagai Scream pertama yang tidak didirect oleh kreatornya langsung (RIP Wes Craven!) Scream 5 memang memikul beban yang berat. Tudingan dan ancaman dari penggemarnya pasti langsung menghujam. Awas kalo gak menghormati ruh franchisenya! Awas kalo jadi cash-grab doang! Dan memang bukan Scream saja yang mengalami itu – both peremajaan franchise dan reaksi-reaksi fans. Hal tersebut udah jadi kayak tren baru di Hollywood.  Franchise-franchise gede seperti Halloween, punya banyak sekuel sehingga udah melenceng ke mana-mana. Kini banyak dari mereka yang dihidupkan kembali. Dibuat ulang sebagai sekuel langsung dari original, mematikan sekuel-sekuel terdahulu. Itu adalah trik yang dilakukan supaya gampang laku dan terutama tidak mengkhianati para fans originalnya. That’s the keyword. Scream, on the other hand, adalah satu-satunya dari franchise-franchise gede seperti itu yang memang hadir selalu sebagai sindiran meta. Sutradara Matt dan Tyler jeli melihat itu. Mereka paham ada sesuatu di balik apa yang mereka sebut (lewat karakter ceritanya) sebagai ‘rekuel’. Sesuatu yang pantas untuk dibahas, dikomentari, dan mereka mengolah itu ke dalam mitologi dunia Scream yang mereka ekspansi. Mereka menatap balik para fans. And they give all of us the wink that we deserved.

Tidak ada opening dalam franchise Scream yang bertindak sepenting opening Scream kelima. Bukan sekadar untuk horor pembunuhan pertama yang ngeset mood dengan bintang muda berakting jauh dari elemen nyaman mereka, ataupun sekadar untuk nostalgia ke original, melainkan opening kali ini sudah berbobot oleh informasi yang memuat gagasan sekaligus hook ke cerita utama nantinya. Ini juga kali pertama korban di adegan opening selamat dari maut. Gadis yang ditelpon lalu diserang Ghostface itu adalah Tara (Jenna Ortega kupikir lebih punya kharisma kuat sebagai tokoh utama). Kini dia di rumah sakit dijenguk oleh geng–oops 90an banget, sekarang istilahnya adalah sirkel! Di antara sirkel Tara itu ada sobat karibnya Amber (langsung kujatuh cinta sama penampilan Mikey Madison), Wes (Dylan Minnette jadi karakter untuk tribute ke Wes Craven), si kembar Mindy dan Chad, serta Liv. Kakak Tara yang sudah lama meninggalkan kota Woodsboro pun hadir demi memastikan keselamatan adiknya. Semua orang yang ada di ruangan itu in some way punya hubungan dengan karakter-karakter dari Scream original. Yang membuat mereka semua menjadi target dari si Ghostface yang baru – dan also, semuanya adalah tersangka utama. Semua, termasuk Sam kakak Tara yang datang bersama pacarnya. Sam (Melissa Barrera looks though enough) merasa sepertinya semuanya berhubungan dengan rahasia yang ia simpan. Rahasia bahwa sebenarnya dia adalah putri dari Billy Loomis, sang original killer. 

Tugas mengisi dunia dengan karakter baru sudah terestablish dengan baik. Ini benar-benar seperti cerita baru, tapi dengan tie-in kuat terhadap cerita original. Film menggali drama dari karakter utama baru dan karakter-karakter lama. Dan drama-drama tersebut tidak tumpang tindih. Mainly karena film tidak malu untuk mengakui bahwa sudah saatnya untuk move on. Trio Sidney – Gale – Dewey dihadirkan, tidak merebut spotlight, tapi tetap dengan momen-momen heartfelt. Aku suka film ini menggali relationship Dewey dan Gale dengan lebih grounded dan make sense ketimbang pada sekuel sebelumnya. Momen kecil seperti Dewey yang berkata akan menelepon Gale tapi kemudian hanya meng-sms saja membuat karakter-karakter semakin bersinar. Sedangkan pada karakter utamanya, Sam, dikembangkan urusan yang lebih psikologikal. Drama personal seorang keturunan serial-killer. Sam, di saat-saat sendirian, akan sering melihat ayahnya. Bicara dengan sosok ayahnya. Ini menambah percikan dan bobot di dalam misteri yang dipunya oleh cerita. Karena ultimately inilah yang dijadikan motif utama. Ghostface di film ini ingin menulis fan-fiction tentang anak dari Billy Loomis dan Sidney. Fan-fiction yang menurutnya bakal bisa jadi film yang lebih hebat daripada sekuel-sekuel Stab yang semakin ngaco.

Screamcreen-Shot-2021-10-12-at-9.04.11-AM
Sementara di sini fans masih ribut soal beda fanfic dengan AU

 

 

Di sinilah letak keluwesan Scream sehingga bisa terus bicara sebagai sindiran meta. Selain aturan-aturan film horor, Scream juga punya film-dalam-film. Sejak Scream kedua diceritakan tragedi Sidney Prescott menjadi begitu viral sehingga diberitakan, dibukukan, dan difilmkan. Film kayfabe ini berjudul Stab dan merupakan cerminan ekstrim dari film Scream itu sendiri. By now, Stab udah 8 sekuel, dan sekuel terakhirnya benar-benar flop. Mirip seperti Scream 4 yang juga gak sukses, bedanya di film kelima ini diceritakan Stab 8 sudah seperti cerminan dari horor modern kita. Di jaman kita sekarang, horor ‘fun tapi cerdas’ bukan lagi yang seringan Scream. Melainkan yang berat-berat, yang lebih dramatis, seperti The Witch, Hereditary, The Babadook, It Follows. Film yang bagus banget, tapi kurang laku karena ya enggak sefun Scream. Scream 5 berusaha menjadi balance. 

Supaya film ini menarik untuk ditonton oleh penonton kekinian, mereka membuat drama yang cukup berbobot, sementara tetap mempertahankan pesona 90an yang jadi ruh franchise Scream, yang jadi pemancing nostalgia. Akan tetapi, seperti yang mereka prediksikan terjadi kepada Stab 8, film ini tahu fans original bakal ada aja yang protes karena menganggap terlalu berbeda. Jadi film ini menyindir mereka duluan. Fans-lah yang dijadikan pembunuh dalam cerita ini. Fans tersebut mengira tahu apa yang mereka mau, dan berusaha mengambil kendali. Fans ingin membuat cerita sendiri, dan menjadi pembunuh berantai demi itu. Di satu adegan ada Dewey merasa terluka oleh kata-kata seorang karakter; that’s how toxic fans in our life kill menurut film ini. Sebenarnya, film sedang meneriakkan bahwa fans sendirilah yang merusak apa yang mereka suka, bagi diri mereka sendiri dan bagi semua orang.

Itulah sebabnya kenapa fandom gak akan pernah bisa mendapatkan nice things. Karena mereka gak pernah puas, selalu ada aja yang diprotes. Dan itu gak sebatas film, kita akui saja, fandom di mana pun – wrestling, buku, musik, sepakbola, bahkan agama, memang cenderung jadi seganas ini. Terutama kalo ada ‘anak baru’ maka makin beringas lah mereka menunjukkan kefanatikannya dengan segala “harus begini, harus begitu”.

 

 

Bukan hanya pada narasinya saja. Celetukan ini juga menguar dari penceritaan film. Misalnya pada elemen horornya. Fans suka banget sama jumpscare. Film horor baru seperti Hereditary dan kawan-kawan tadi bagi mereka gak seram, karena gak ada jumpscare yang seru. Maka film ini bermain-main dengan itu. Ada sekuens karakter seorang diri di dalam rumah. Dia membuka segitu banyak pintu dan lemari. Dan setiap kali pintu-pintu itu dibuka, film akan menaikkan intensitas musik, seolah ada sesuatu yang bakal mengejutkan muncul begitu pintu itu diayunkan tertutup kembali. Jumpscare yang udah diantipasi itu tidak pernah datang. Barulah kemudian di saat yang paling tidak diduga, film memunculkan kejutan. Yang terasa jadi lebih efektif. Jadi film ini cerdas sekali, memanfaatkan sindiran menjadi efek seram yang lebih kuat.

Film menelisik toxic fandom ini lebih lanjut. Kedalaman komentarnya itulah yang membuatku suka sekali sama film ini. Ke-toxic-an itu dikaitkan film kepada kegemaran kita terhadap menyebarkan hal-hal negatif yang berlawanan dari yang kita sukai. Ada yang janggal sedikit, digoreng ramai-ramai. Ada yang berbeda sedikit, dibahas berhari-hari. Itu juga sebabnya kenapa komentar sarkas dan ulasan menghina lebih banyak dibaca. Kita menikmati hal-hal negatif, karena itu juga membuat hal yang kita sukai semakin tervalidasi. Dan pada akhirnya kita jadi lebih suka melaporkan kenegatifan. Period. Maka dari itulah, film ini bagiku seperti berakhir dengan poetic justice. Karena Gale Weathers-lah yang menyadari duluan. Semua horor di dunia mereka itu berasal dari dia yang jurnalis, lebih memilih melaporkan tragedi, memberitakan kejadian berdarah, menceritakan serial killer kepada publik. Cerita Sidney, Stab, jadi punya banyak penggemar for the wrong reasons. “I’m not gonna write about this” kata Gale di ujung durasi Scream 5. Gale benar. Jangan kasih minyak ke negativity. Jangan kasih viral perbuatan jahat, bego, kasar, dan sebagainya.

 

 

 

Ternyata film ini misterinya lebih gampang ditebak bukan karena bangunannya kurang kuat. Kita-lah yang sudah terlampau cinta sama franchisenya, kitalah yang sudah demikian mengerti dengan konteksnya. Kita adalah penggemarnya, dan film ini bicara tentang penggemarnya harusnya menikmati apa yang kita cintai. Boleh kritik, tapi jangan jadi toxic. So here goes mine. Dengan segala antisipasi itu, film ini masih mampu tampil menghibur. Membawa ruh franchisenya, respek sama franchisenya. Menghadirkan cerita dan karakter baru yang terikat kuat pada karakter original. Bercerita dengan drama yang balance; dengan drama itu sendiri serta dengan aspek horor. Film dengan muatan sebanyak ini berpotensi jadi boring atau sukar dimengerti, tapi muatan sindiran dan komentar serta aksi misteri whodunnit-nya membuat film tetap menarik dari awal sampai habis. Film ini berikan perkenalan yang cukup, serta proper send off untuk certain character. Dan kita menyambut semua itu dengan suka ria. Plus, I love Amber. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SCREAM

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian punya tips menjadi fan yang baik dan enggak jadi toxic?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SING 2 Review

“Go big or go home”

 

 

Koala Buster Moon telah menyelamatkan teater di kota kecilnya. Dia melakukannya dengan menyelamatkan bakat-bakat di sana lewat kompetisi bernyanyi. Johnny si gorila, Rosita si ibu babi, Ash si landak rocker, Gunter si babi energetik, Meena si gajah pemalu; Buster Moon membantu mereka semua menemukan suara masing-masing. Sekarang, bertahun-tahun menikmati kesuksesan kecil mereka, Mr. Moon siap untuk mengejar kesuksesan yang lebih besar. Dia pengen mereka manggung di kota, di panggung yang lebih ternama. Dan semenjak seorang (err… tepatnya seekor) kritikus ngelepehin pertunjukan teater mereka, Moon jadi makin napsu untuk membuktikan diri. Nekat saja, dia memboyong para talent andalannya ke kota. Masuk gitu aja ke audisi di depan produser gede Jimmy Crystal si serigala putih yang ruthless, dengan persiapan yang minim. Bakatnya sendiri; sepik-sepik, memang berhasil membuat mereka dilirik. Dikasih slot mempersembahkan pertunjukan sendiri. Tapi pertaruhannya berat. Apalagi Buster Moon sama sekali belum nulis apa-apa tentang show musikal sci-fi yang ia janjikan, ataupun sama sekali tidak mengenal dan bisa menjamin singa rocker legendaris yang telah lama mengasingkan diri bisa hadir dan manggung bersama mereka semua!

Sutradara dan penulis naskah Garth Jennings paham ke mana harus melihat ketika ingin mengangkat cerita tentang dunia pertunjukan. Cerita tentang bakat dan menggapai mimpi digunakannya sebagai pondasi dalam film Sing yang pertama (2016) Di film sekuelnya ini, Jennings membangun cerita dari perjuangan ‘menjual’ bakat, bagaimana mengapitalisasi kesempatan. Sing 2 punya celetukan-celetukan kecil soal bisnis pertunjukan. Dan sebagai orang yang gak in-touch sama lagu-lagu populer (apalagi lagu kekinian), tema bisnis pertunjukan itulah yang lebih mudah untuk kunikmati saat menonton animasi hewan-hewan anthropomorphic ini. 

singsing-2
P.T. Barnum dunia satwa

 

Sebagai kreator, sebagai produser, Buster Moon selalu punya jiwa oportunis yang bisa membuat dia kadang tampak sebagai orang jenius, dan kadang juga tampak sebagai produser nekat yang gak-bener. Moon berjalan di antara garis ini, dan somehow suara Matthew McConaughey terasa cocok untuk menghidupkan karakter yang ada di posisi kayak gini. Cukup berwibawa dan terdengar genuinely care untuk jadi leader, dengan sedikit ‘nada’ ngambang yang membuatnya terdengar ‘berbahaya’, in sense that he is talk first. Moon jadi protagonis yang dapat kita pedulikan pada akhirnya karena dia adalah karakter yang terus ngepush kesempatan untuk dirinya sendiri, dan juga demi orang lain. Dia ada di situ untuk memastikan bakat-bakat terdengar dan menampilkan pertunjukan hebat. Kita bisa relate karena tentu kita juga pengen didengar. Di film ini, Moon juga mewakili kita yang memang sering harus berkompromi jika ingin ‘nampil’. Di samping permasalahan Moon harus live it up janji-janji palsunya (janji yang terpaksa ia ucapkan hanya supaya mereka bisa nampil), Sing 2 juga menyeletuk soal titipan studio. Seperti misalnya, Moon harus ngecast anak produser ke dalam pertunjukan teaternya walaupun si anak itu gak bisa akting.

Karena sekarang udah kayak, bakat itu gak penting lagi. Yang penting adalah marketable. Pihak studio akan menilai talent dari apakah ada dari mereka yang bisa diuangkan. Membuatku jadi teringat sama permasalahan kontes-kontes nyanyi/bakat. Peserta akan bela-belain audisi walaupun antrinya panjang sekali. Hanya supaya kemampuan mereka dinilai oleh segelintir juri sebagai bagian dari acara tivi. Acara yang sudah jadi rahasia umum ada storyline dan segala macamnya. Those shows are never just about talent searching. Mereka sebenarnya hanya mau menjual cerita lucu, cerita sedih, atau cerita keberhasilan dari peserta untuk show televisi. Ratings. Bakat dibisnisin. Mereka seharusnya bernyanyi saja, rekam sendiri saja, sepuas hati. Bikin band sendiri. Terus main dan asah kemampuan. Enjoy talent sembari mempertajamnya. Inilah yang berusaha dilakukan oleh Moon. Dia ingin ngasih tempat untuk talent-talent, tapi harus berhadapan dengan studio yang mengecilkan mereka.

Tentu memang benar, to make it big, we cannot sell ourselves short. Kita harus ngepush, menantang diri sendiri. Nampil di panggung yang lebih besar, so to speak, harusnya dijadikan tantangan untuk menjadi lebih baik. 

 

Padahal mengusung tema itu, tapi film ini kasiannya tampil ironis. Studionya clearly enggak mau ‘memberatkan’ film dengan penggalian itu. Studionya clearly hanya melihat Sing pertama sukses berkat cover lagu-lagu populer. Maka, Sing 2 hadir juga lebih fokus ke lagu. Karakter-karakternya jadi sekadar diadakan saja. Mereka diberikan plot tipis, dengan journey ke arah pembelajaran yang sama singkatnya.

Johnny, misalnya, dia harus belajar menari, di bawah ajaran koreografi profesional yang strict. In the end, semuanya ya salah si pengajarnya. Rosita, merasa tersingkirkan ketika dia digeser dari peran utama, karena dia yang takut ketinggian tidak sanggup melakukan adegan terjun bebas dan terbang di luar angkasa. Konflik pribadi/psikologisnya ini tidak dibereskan lewat pengembangan yang bertahap. Melainkan beres gitu aja dalam satu adegan. Meena punya masalah beradegan romantis, karena dia belum pernah pacaran. Belum kenal cinta. Solusi naskah untuk ini ya gampang aja. Tau-tau di luar ada gajah simpatik, jatuh cintalah Meena. Gunter, dan Moon, mereka nulis cerita on the way, dengan Gunter dengan kocak selalu mengubah-ubah situasi pada narasinya setiap saat. Mereka tidak punya momen kompromi atau apapun yang mengisyaratkan pembelajaran team work atau semacamnya. Permasalahan Moon menggarap show dari ide spontan dibuat terlalu gampang, they just made it. Sehingga pokok tema yang diangkat di awal jadi gak kena. Permasalahan studio ‘jahat’, sehingga kini mereka mengorbitkan diri sendiri, menjadi terlalu sederhana. Dengan sedikit, bahkan nyaris tidak ada pembelajaran yang dialami. Setidaknya, tidak ada yang mengajak penonton terinvolved.

singintro-import
Yang namanya Gina bukan si gajah, tapi Suki si kritikus lol

 

Cukup banyak diberikan porsi adalah tentang Ash yang berusaha membujuk Calloway – si singa legendaris – untuk kembali manggung. Relationship mereka ini bakal jadi hati film, jika memang dibahas lebih mendalam. Ash sudah seperti berkonfrontasi dengan dirinya dari film sebelumnya, dan Calloway juga punya konflik yang mudah menyentuh emosi kita semua. Namun bagian yang harusnya bisa jadi plot utama kedua film ditampilkan terlalu telat. Dan walaupun cukup banyak, tapi melihat dari bagaimana bagian mereka diposisikan – seringkali seperti selipan di antara adegan-adegan persiapan show – sepertinya studio memang menolak untuk menonjolkan ini. Sama seperti persoalan plot masing-masing karakter tadi, studio seperti gak mau penonton lebih fokus ke meresapi drama-drama itu. Studio maunya penonton nyanyi-nyanyi aja.

Bukannya mau nuduh, hanya saja, memang jadi terasa seperti studio gak percaya kalo penonton anak-anak akan bisa menyelami perasaan karakter. Dan bukan hanya film ini, banyak film lain yang seperti merasa mereka perlu ‘melindungi’ penonton (dan bukan hanya anak-anak!) dari real emotion. Film Backstage baru-baru ini contohnya. Seolah real emotion itu momok yang bikin film jadi berat. Seolah real emotion itu bahaya untuk hiburan penonton. Padahal kalo dipikir-pikir, ngasih cerita yang soulless kayak gini, yang hanya berisi lagu-lagu supaya happy, justru lebih mengkhawatirkan. Menumbuhkan penonton yang gak mau memikirkan perasaan for the sake of hiburan.

Salah satu kritikanku untuk film pertama Sing adalah kurang banyak lagu original. Film ini ‘menjawab’ itu dengan melipatgandakan jumlah lagu-lagu populer. Sebenarnya enggak masalah jika lagu-lagu itu adalah penampilan para karakter di panggung show mereka. It’s okay kalo gimmick franchise ini memang pertunjukan musikal dari karakter hewan yang mengcover lagu asli dari dunia kita. Aku suka kok, final show film ini. Terutama pas Halsey nyanyiin lagu Could Have Been Me. Dibikinnya lagu rock itu jadi kayak pop, yang buatku masih keren dan worked (walau greget dari lirik “Wrrraapped in your regret” dari vokalis The Struts tetap tak-bisa tergantikan). Akan tetapi, film kali ini juga lebih banyak menggunakan lagu cover untuk adegan-adegan yang gak perlu ada lagunya. Nyaris setiap ada adegan baru, film akan memutar lagu populer. Mereka juga bermaksud lucu-lucuan dengan penempatan lagu-lagu itu. Tapi ya jadinya annoying sekali. Film udah jadi kayak klip musik ketimbang cerita.

 

 

Lagu-lagu selingan itu jadinya mendistraksi. Karena memang untuk distraksi itulah film memasukkan banyak sekali mereka. Film gak mau penontonnya merasa berat atau bosan oleh cerita. Apalagi ini film anak dengan tema bisnis atau panggung hiburan. Jadi film merasa perlu untuk masukin musik populer sepanjang waktu. Lagipula bukankah lagu-lagu pop itu yang bikin film pertamanya laku? See, ironis film ini sendiri lebih mikirin jualan. Menjadikan bakat menyanyi dan desain karakternya yang lucu tidak sekalian sebagai penghantar cerita dengan real emotion. Film ini bisa menjadi keduanya secara berimbang, tapi memilih untuk jadi dangkal. Jadi nyanyi-nyanyian nostalgia semata. Cerita dan pembelajaran karakternya dibiarkan sederhana saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SING 2.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana menurut kalian tentang ajang-ajang pencarian bakat di televisi?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE LOST DAUGHTER Review

“There’s no way to be a perfect mother and a million ways to be a good one.”

 

Yang namanya ibu tidak akan meninggalkan anak yang telah susah-susah mereka lahirin ke dunia. Natural bagi seorang ibu untuk selalu berusaha menjaga dan merawat anaknya. Ketika kau menjadi seorang ibu, kau akan rela mendahulukan kepentingan anakmu di atas segalanya, termasuk sesuatu untuk dirimu sendiri. Maka dari itulah, sesekali akan ada masanya bagi seorang ibu merindukan waktu-waktu mereka bisa melakukan hal untuk diri sendiri, merindukan kebebasan dan kesempatan untuk mengejar – dan hanya mengejar – keinginan sendiri. Me-time akan sangat berharga bagi ibu; momen ketika mereka enggak harus mikirin tanggungjawab kepada anak. Ibu harusnya gak boleh merasa malu atau merasa bukan ibu yang baik dengan menginginkan waktu me-time tersebut. 

Paragraf tersebut, bukanlah kata-kataku. Aku cowok, aku gak akan pernah bisa benar-benar tahu apa yang dialami. yang dirasakan, atau yang diinginkan oleh seorang ibu. Ulasan ini bukanlah tulisan yang berisi pendapatku – seorang cowok – yang ngajarin bagaimana harusnya cewek menjadi seorang ibu. Melainkan pendapatku soal apa yang sedang berusaha dikatakan oleh Maggie Gyllenhaal ketika dia mengadaptasi novel karya Elena Ferrante menjadi debut penyutradaraan film-panjang pertamanya. Karena film The Lost Daughter memang diceritakannya dengan cara yang membuat penonton geleng-geleng sambil garuk-garuk kepala. Kinda susah dipahami arahnya ke mana, susah merasa simpati kepada karakter utamanya. Namun kita juga akan gampang merasakan ada kesedihan mendalam di balik cerita. And no doubt, film ini bakal bikin kita menemukan rasa hormat yang lebih gede kepada seorang ibu. Hampir seperti perasaan takut, malah. Takut mereka memilih menjadi seperti Leda, sang karakter utama cerita.

Leda bilang dia punya dua orang anak. Bianca dan Martha. Usia anak-anaknya itu kini sudah 25 dan 23 tahun. Tapi begitu ditanya lebih lanjut tentang mereka, Leda gak bakal menjawab. Dia malah bakalan seperti break-down, dan lantas pergi meninggalkan penanya kebingungan di tempat. Sekilas, profesor literatur itu memang seperti orang yang gak ingin diganggu. Tidak nyaman beramah tamah dengan orang lain. Leda liburan ke pantai Yunani, bermaksud menyelesaikan tulisannya sambil rileks. Tapi pantai itu ternyata ramai, oleh acara dari keluarga besar yang sepertinya berpengaruh di sana. Konsentrasi Leda lantas hinggap kepada seorang ibu muda bersama anak perempuan kecilnya. Leda terus menatap mereka, matanya menerawang, dan kita akan terflashback ke masa muda Leda merawat dua orang anak yang juga sama bocahnya. Leda pun menemukan dirinya semakin terinvolved kepada ibu muda dan anak itu, ketika boneka si anak hilang. Dan ternyata ada di dalam tas Leda.

daughtere1640644060913
Apakah boneka tersebut ada spiritnya?

 

Kasarnya, this is one complicated bitch. Karena Leda ini adalah yang pribadi yang, bukan exactly tertutup – karena di momen pribadinya kita akan digambarkan perihal yang ia rasa lewat adegan-adegan masa lalu, melainkan lebih tepatnya ya yang ribet untuk alasan yang gak jelas. Kita gak tahu kenapa Leda melakukan apa yang ia lakukan. Namun itu bukan karena dianya yang enjoy at being difficult dan kasar dan gak sensitif sama orang. Bahkan dirinya sendiri enggak tahu kenapa dia melakukan hal yang ia lakukan. Mencuri boneka anak kecil itu misalnya. Leda tidak dapat menjelaskan kenapa dia melakukan itu. Arahan Maggie membuat hampir seperti Leda meminta tolong kita untuk menjelaskan apa yang salah kepadanya. Karena memang ada sebagian diri Leda yang, katakanlah, begitu egois. In that sense, kita bisa bilang Leda ini adalah protagonis sekaligus antagonis dalam ceritanya sendiri. Inilah yang membuat kita akhirnya betah duduk mengawali journey-karakternya selama dua jam. Tabah menahan karakternya yang penuh cela, bahkan sebagai narator saja dia agak susah dipercaya. Sebab deep inside, kita konek kepadanya sebagai manusia yang tak sempurna. 

Ini juga jadi bukti betapa luar biasanya akting Olivia Colman yang jadi Leda di kurun sekarang, Leda yang sudah 48 tahun dan memikul segitu banyak beban, dan penyesalan, meskipun dia percaya dia berhak melakukan pilihan yang ia lakukan di masa muda. Menyambung karakter yang awalnya dihidupkan dengan tak kalah meyakinkan dan penuh konflik oleh Jessie Buckley, yang jadi Leda muda. Yang ultimately tentu saja merupakan bukti betapa Bu Sutradara punya mata yang personal menggambarkan kecamuk perasaan dan emosi seorang perempuan yang menempuh motherhood. Maggie tidak pernah bercerita dengan statement. Dia tidak pernah menggambarkan perasaan itu dengan utuh. Tidak pernah memberikan jawaban atas ‘misteri’ karakter. Karena itu akan membuat ceritanya menjadi ngejudge perihal perbuatan Leda. Film ini bukan hadir untuk ngejudge. Maggie ‘hanya’ memperlihatkan kepada kita betapa mengukung dan bikin capeknya tanggung jawab menjadi seorang ibu. 

Kalian tahu potret ibu dalam keluarga utuh yang sempurna? Ibu bagai matahari, cintanya tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali? The Lost Daughter bilang itu adalah kondisi yang terlalu ideal, mustahil tercapai. Karena ibu juga manusia. Jadi, film ini hadir sebagai antitesis dari ibu sempurna tersebut. Antitesis yang menyebut bahwa meskipun ibu tidak mungkin sempurna, seorang ibu punya banyak pilihan untuk menjadi ibu yang baik. Dan Leda, kita akan lihat akhirnya memilih menjadi ibu-tak sempurna, ibu yang benar-benar manusiawi, yang seperti apa.

 

Jujur, selama ini aku memang kesal sama cerita yang tokoh ibunya merasa pantas diri mereka mendapat me-time. Atau bahkan lebih dari itu, kayak, ibu yang merasa berhak untuk ninggalin anak karena sebagai manusia mereka juga punya mimpi yang harus dikejar. Kehadiran anak yang biasanya diceritakan produk dari ‘kecelakaan’ atau tidak suka sama suka, dianggap sebagai penghambat. Cerita kayak Dara di Dua Garis Biru (2019) atau ibunya si Ali di Ali & Ratu Ratu Queens (2021), aku ujungnya hanya melihat mereka sebagai orang yang selfish. Karena memang film-filmnya pun tidak mengeksplorasi lebih dari sekadar bahwa sosok ibu adalah manusia first, yang punya keinginan, dan yang mau dimanusiakaan. The Lost Daughter ini beda. Maggie menggali lebih lanjut. Dia tahu satu-satunya cara untuk menggali ke dalam itu adalah dengan menaikkan volume seekstrim mungkin. Makanya film ini akan terasa sangat tanpa ampun. Meninggalkan kesan yang juga jauh lebih dalam.

daughterl-intro-1634594864
Lebih dalam dari sekadar nonton Olivia Colman berakting jadi ibu-ibu nyebelin

 

Alih-alih statement gamblang, Maggie menghidupkan adegan-adegannya dengan simbol, situasi yang kontras oleh kiasan. Yang membuat film ini jadi semakin dalam dan penuh makna. Pada awalnya, Leda memang tampak seperti turis yang menikmati liburannya di pantai. Tapi buah-buahan yang disediakan di kamarnya yang luas itu, busuk. Malam hari, jangkrik masuk. Lampu mercusuar bikin Leda harus menutupi mukanya dengan bantal. Pantai yang sepi ternyata ramai. Bioskop, ternyata penontonnya berisik. Tempat itu seperti menyerang Leda. Lagi jalan aja dia bisa terluka kejatuhan buah pinus. Belum lagi pandangan dari keluarga besar yang sepertinya keluarga mafia, keluarga yang sempat ribut dengan Leda, keluarga yang boneka anaknya dicuri oleh Leda. Keadaan Leda yang sekarang seperti menunjukkan bahwa tidak ada yang sempurna. Bahwa mimpi kita akan keadaan senyaman liburan pun pada akhirnya akan dibenturkan dengan kenyataan yang seringkali pahit. Dan kita ya harus dealt with it

Semua itu tidak terlihat oleh Leda. Karena dia begitu fokus mengejar passion, mengisi hidupnya dengan hal-hal yang telah terenggut setelah punya anak. Leda muda memperlihatkan bagaimana dia akhirnya sampai kepada keputusan, dia mulai merasa bebas, dan keadaan Leda yang sekarang adalah kontras yang memeriksa dia yang sudah mendapat yang ia mau, tapi kenapa dia tidak tampak begitu bahagia. Leda merindukan anak-anaknya. Leda sendirian. Leda gak enjoy di situ. Notice judul film ini tunggal (daughter alih-alih daughters) padahal anak Leda dua orang, dan bahwa anak kecil yang sempat ilang juga gak lama kemudian ketemu? Judul sebenarnya merujuk kepada Leda. Dialah anak hilang yang dimaksud oleh cerita. Hilang karena tidak bisa memastikan di mana tempatnya berada. Leda adalah ibu, dia mau jadi ibu, tapi tak mau memikul tanggungjawab sebagai ibu.

Makanya dia mencuri boneka itu. Dari sudut pandangnya, kita paham bahwa Leda menganggap boneka sebagai ganti anak. Dia ingin merawat dan membersihkan boneka yang udah dicorat-coret dan penuh air itu. Dia ingin merasakan kembali jadi ibu dengan merawat anak. Dan boneka adalah anak yang tepat untuk Leda karena merawat boneka tidak perlu tanggungjawab yang besar. Leda bisa menyayangi boneka kapan dia bisa saja, saat senggang aja, saat dia gak capek dan gak banyak kerjaan. Sementara dari yang kita lihat, sebagai inner-needs dari Leda yang tak kunjung ia sadari, boneka itu adalah kesempatan kedua baginya. Dia butuh untuk menyelamatkan boneka itu karena si ibu muda dan anaknya telah membuat Leda teringat kepada dirinya dengan anaknya waktu masih kecil; anaknya yang telah mencorat-coret boneka yang ia berikan, boneka yang harusnya dirawat karena boneka adalah mainan yang mengajarkan tanggung jawab menjadi seorang ibu sejak dini kepada anak perempuan. Leda muda membuang boneka yang telah dirusak yang mengawali gerahnya dia ngurus anak; Leda tidak ingin ibu dan anak kecil yang ia lihat di pantai mengalami masa depan yang sama dengan dirinya, dulu dan sekarang. Bahwa merawat boneka dan kemudian merusak atau meninggalkannya itu adalah hal yang ia lakukan dan diam-diam ia sesali.

Demikianlah kompleksnya karakter Leda. Dia paham pentingnya dan indahnya menjadi seorang ibu, tapi sekaligus juga dia tidak tahan dengan tanggungjawabnya. Ending film ini poetic sekali dalam menggambarkan hal tersebut. Leda yang terluka, terhuyung keluar dari mobil, pergi ke pantai. Terbaring di antara pasir dan pantai. Menunjukkan dia telah belajar, tapi tetap tidak mampu memilih. Matikah dia di akhir itu? Film membuat sangat ambigu. Tapi, at that point, aku udah kasihan sama Leda. Aku berharap dia meninggal saja, karena dengan begitu dia bisa lepas dengan benar-benar bahagia. 

 

Hiruk pikuk emosi paling manusiawi dari seorang ibu digambarkan dengan lantang oleh film ini. Bahasannya mengonfrontasi pemikiran, tapi tidak pernah diniatkan sebagai sesuatu yang judgmental. Sehingga pada akhirnya film ini akan membekas lama. Tragis dan ‘ngerinya’ walaupun benar-benar dibahas dari sudut pandang yang sangat personal, akan menguar kepada kita semua. Dan yea, film ini bakal membuat kita lebih menghargai pilihan perempuan menjadi seorang ibu. Perempuan menjadi sempurna dengan memiliki anak, tapi tidak ada yang namanya ibu yang sempurna. Film menunjukkan itu semua kepada kita, lewat perjalanan karakter yang juga dimainkan dengan luar biasa.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE LOST DAUGHTER.

 

 

That’s all we have for now

Apakah menurut kalian semua ibu punya perasaan yang sama dengan Leda? For boys: kira-kira apa yang bisa kita lakukan supaya ibu atau istri tidak sampai jadi seekstrim gambaran Leda?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2021

 

Pertama-tama (biarin deh kayak orang pidato) aku mau ucapin maaf dulu karena tahun 2021 aku cuma sedikit sekali ngereview film. Total hanya 110 film yang terulas, padahal banyak yang rekues review beberapa film, ampe beberapa kali. Tapi aku selalu nontonnya telat, dan kemudian ketinggalan lantaran mulai banyak film yang keluar.  Sementara bioskop, di tengah tahun sempat buka, lalu tutup, dan rame lagi di akhir. Dan aku honestly gak bisa langsung ikut kembali ke bioskop karena paling males harus install-install aplikasi. Jadi, ya maaf kalo kalian yang bolak-balik ngecek ke blog ini untuk bahas soal film terbaru, dan kecewa ngeliat gak ada reviewan.

But also, aku mau terima kasih sama kalian-kalian yang masih mau-maunya ngecek ke blog ini. Meskipun reviewnya tidak hadir secepat biasanya, tidak sebanyak biasanya. Terutama sih, terima kasih karena masih peduli sama film. Masih tertarik untuk membahas dan ngomongin film, for the sake of the movies themselves. Bukan sekadar untuk asik-asikan atau keren-kerenan diri sendiri. Masih hobi berbondong-bondong meramaikan bioskop. Ataupun begadang demi nonton special screening di komputer.

Jadi, untuk tidak memperpanjang mukadimah (tuh kan jadi beneran kayak pidato Pak RT!), langsung saja disimak list delapan film teratas pilihan My Dirt Sheet. Walaupun sedikit, kompetisi kali ini tidak kalah ketat. Honorable Mentions kukurangi lagi dari 15 kini menjadi hanya 12 untuk membuat daftar ini tetap menarik. Dan perlu diingat, teratas di sini maksudnya memang terbaik, tapi bukan ‘terbaik’ terbaik. Melainkan ‘terbaik’ according to me, baik itu sebagai tontonan hiburan, tontonan bergizi, ter-relate ke diri sendiri, dan bahkan sebagai komposisi list yang menarik. Yea, singkatnya, subjektif. Film kesukaan kalian gak kesebut? Well, kalo ternyata aku sudah nonton, ya tinggal kita obrolin di komen. Kalo aku belum nonton? you can convince me untuk menyaksikannya segera. (Kecuali favorit kalian itu adalah Eternals atau Penyalin Cahaya; alias yang ada rilis di Januari. Mereka kubikin bersaing di 2022 saja).

 

 

HONORABLE MENTIONS

  • Censor (psikologikal horor yang dibikin sebagai tribute untuk film-film horor jadul yang gore dan nasty abis. Disturbingnya lipat dua!!)
  • Last Night in Soho (horor penuh gaya, dengan duo pemain yang cakep. Aku merasa relate banget karena pernah bikin film pendek dengan konsep cermin yang serupa)
  • Minari (drama keluarga yang ingin sukses di rantau ini sangat menyentuh, dan somehow menginspirasi)
  • Saint Maud (begini nih kalo halu sama iman dan kepercayaan!!)
  • Spider-Man: No Way Home (experience nonton paling gila yang bisa kita rasakan!)
  • Stillwater (meski diwarnai kontroversi, tapi ini adalah drama dengan konteks karakter dan politik sangat kuat. Plus ada relationship figur ayah dan anak yang sangat heartwarming)
  • The French Dispatch (film tapi sebenarnya adalah majalah! bingung kan?)
  • The Green Knight (dongeng ksatria pengecut yang diceritakan lewat visual yang magis dan breathtaking)
  • This Is Not a Love Story/Bukan Cerita Cinta (hidden gem di perfilman Indonesia. Dimainkan dengan sangat natural)
  • tick, tick…BOOM! (penampilan akting keren Andrew Garfield di musikal paling relate; siapa sih yang gak galau sama umur?)
  • Till Death (ku sangat surprise sama Megan Fox dan film ini)
  • Titane (Kucumbu Tubuh Indahku versi cewek, dan versi lebih brutal)

Serta, Special Mention marilah kita panjatkan ke hadirat The Medium, yang pada 2021, ulasannya paling banyak dibaca di My Dirt Sheet. Dan kepada The East yang mecahin rekor view video ulasan terbanyak di Youtube My Dirt Sheet.

 

Dan, inilah TOP-EIGHT MOVIES 2021!!

 

 

 

8. THE SUICIDE SQUAD

the-suicide-squad-2021-banner-art-8k-du-1366x768

Director: James Gunn
Stars: Idris Elba, John Cena, Margot Robbie
MPAA: Rated R for strong violence and gore, language throughout, some sexual references, drug use and brief graphic nudity
IMDB Ratings: 7.3/10
“Rats are the lowliest and most despised of all creatures, my love. But if they have purpose, so do we all.”

James Gunn actually did the impossible: Ngasih perspektif dan development kepada segitu banyak karakter! Dan dia melakukan itu tetap dengan penuh gaya.

Gak ada karakter yang gak berguna, sekalipun mereka mati, film memberikan sesuatu kepada mereka sehingga kita mengingatnya. Gunn actually memulai dengan swerve, tapi itu sama sekali tidak menghambat ataupun terasa seperti kecohan yang ngebecandain kita. Melainkan dilakukan dengan bersenang-senang dan efektif sebagai pengeset mood pada naskah. 

The Suicide Squad jadi salah satu film paling rame seantero 2021. Aksi-aksinya brutal (karena Gunn enggak shy away dari kenyataan bahwa protagonis ceritanya adalah orang-jahat semua), karakternya unik (grup protagonisnya menarik semua, tidak ada satupun yang satu dimensi, tidak ada satupun yang cuma ‘receh’), dialog-dialog kocak, dan visual yang benar-benar tepat mengenai estetik komik.

My Favorite Scene:
Dari Rat Girl yang steal the show hingga ke Polka Dot Man yang melihat ibunya di mana-mana, film ini berjalan cepat dengan nampilin begitu banyak adegan memorable. Favoritku adalah adegan ketika the squad menyerbu Jotunheim. Berantem dengan latar hujan itu sungguh ngasih intensitas dan jadi panggung yang menarik. Kreativitas Gunn kayaknya keluar semua di situ!

the-suicide-squad-rain

 

 

 

 

 

 

7. BLOOD RED SKY

AAAABdZVhCiwnfZ0fJKLgSYtsGUgJ2KE9OoYPQW7QzR1PdpiHsMbSJFPleDByWj7fCWs-8cdvUFE5ns2OoIkWcHBg8dl8LJREa4gFLKwIsZhvK028a3g0K8EbyTqrSa5fg

Director: Peter Thorwarth
Stars: Peri Baumeister, Carl Anton Koch, Alexander Scheer
MPAA: TV-MA
IMDB Ratings: 6.1/10
“Did you drink blood?”

Criminally. Underrated.

Blood Red Sky adalah campuran dari thriller pembajakan pesawat, teror di ruang tertutup, drama seorang ibu, dan juga cerita tentang vampir. Dan walaupun si ibu itu adalah vampir yang berusaha menolong anaknya dari teroris, cerita tidak pernah membuat semuanya mudah. Intensitas selalu naik pada setiap adegan, karena film terus saja memberikan rintangan-demi rintangan. Semua itu berkumpul menjadi sajian mendebarkan, horor yang paling aku ingat sepanjang tahun, sementara juga menyentuh lewat perjuangan ibu terhadap anaknya.

Dewasa ini, horor udah jarang yang berimbang kayak gini. It’s either terlalu artsy, atau terlalu campy dengan jumpscare dan segala macam kekonyolan. Blood Red Sky tampil seperti horor dari era yang lalu. Yang bisa bikin kita duduk tegang, meringis oleh kekerasannya sangat eksplisit, jengkel setengah mati oleh villain yang over-the-top, sambil memikirkan psikologi di baliknya. Dan akhirnya terenyuh oleh hatinya. Coba deh ajak ibumu nonton bareng ini di Hari Ibu

My Favorite Scene:
Hubungan ibu dan anak jadi denyut emosi film ini. Momen paling sedih buatku saat Elias berusaha ngasih comfort dengan sesantai mungkin ke ibunya, menjaga dari matahari, ibunya yang sudah hampir kalah dalam perjuangan melawan naluri zombie, fully knowing bahwa berkat perjuangan berat ibunya itulah mereka masih hidup pagi itu

1ca4bf_f45e2b496622447b8da679b6db4aa851_mv2

 

 

 

 

 

6. THE FATHER

The-Father

Director: Florian Zeller
Stars: Anthony Hopkins, Olivia Colman, Imogen Poots
MPAA: Rated PG-13 for some strong language, and thematic material
IMDB Ratings: 8.3/10
“There’s something doesn’t make sense about this. Doesn’t make sense.”

Dari ibu dan anak laki-lakinya, kita beralih ke cerita tentang ayah yang bikin bingung anak perempuannya. Karena si ayah ini mengidap alzheimer, yang perlahan semakin parah. Membuatnya lupa bukan hanya letak jam tangannya, melainkan siapa dirinya, di mana dan kapan dia berada sekarang.

Tahun lalu ada film Relic, yang juga masuk Delapan-Besarku, yang juga bercerita tentang penyakit mengerikan ini. Tapi dengan elemen horor. The Father bercerita lewat drama dan dialog, tapi tetep terasa sama seramnya. Dan bahkan lebih menyayat hati. 

Film ini unggul bukan saja berkat penampilan akting Anthony Hopkins – living legend – yang luar biasa. Tapi juga berkat penceritaan yang benar-benar membuat kita berada di dalam sepatu karakter Anthony. Yang bisa lupa semua hal begitu saja sedari dia bangun tidur. Film akan menampilkan ruangan yang berbeda (furnitur dan letaknya), memperlihatkan karakter anak yang diperankan oleh artis yang berbeda-beda setiap adegan, sehingga kebingungan itu benar-benar kita rasakan. Maka kita menjadi semakin peduli dan semakin termasuk ke dalam cerita, dan juga kepada meluluhlantakkannya akibat dari penyakit ini.

My Favorite Scene:

Lihat betapa drastisnya perubahan si ayah seiring percakapan seringan kenalan ama pengasuh baru, dan bagaimana sang ayah tampak asing bagi anaknya.

 

 

 

 

 

 

5. YUNI (versi festival)

3350885204Director: Kamila Andini
Stars: Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Dimas Aditya
MPAA: TV-MA
IMDB Ratings: 8.0/10
“Mending makan cilok!”

Yuni suka warna ungu, nyanyi, makan cilok, silat. Yang tidak Yuni suka adalah dilamar. Karena Yuni masih sekolah, dia ingin ke perguruan tinggi. Yuni adalah cerita yang efektif sekali menggambarkan perempuan muda yang merasa terkurung pribadinya oleh pandangan sekitarnya terhadap perempuan beserta segudang pamali. Membahas perkawinan anak lewat sudut pandang remaja perempuan dengan cara yang sangat tenang tapi menyanyat hati.

Ada dua versi film Yuni. Tapi menurutku, hanya versi untuk tayang di festival saja yang benar-benar pantas disebut sebagai film Indonesia terbaik di tahun 2021. Versi festival benar-benar terstruktur untuk kita menyelami perasaan Yuni yang semakin merasa sendirian. Kuatnya, tidak seperti Lady Di di film Spencer, Yuni tidak pernah mengantagoniskan. Dia berusaha memahami pamali. Konflik seringkali hadir dari tindakan ‘perlawanannya’ tersusul oleh rasa cemas kalo dia telah melanggar ‘aturan-tak-tertulis’ tersebut.

Meskipun gagal di Oscar, dan meskipun versi bioskopnya lebih disukai karena ada nyanyi-nyanyi dan berakhir dengan soften the blow, aku rasa kita semua sepakat Yuni telah menyentuh hati kita. Seperti puisi.

My Favorite Scene:
Penolakan pertama yang dilakukan Yuni udah kayak adegan karakter yang harus membunuh untuk pertama kalinya untuk bisa survive dalam film-film thriller/horor. Perhatikan gimana sedari awal Yuni berjalan, terus mengkonfrontasi si cowok, dan bagaimana Yuni mengulangi kalimat menolak lamaran itu. Great acting, great writing, great directing!

maxresdefault (1)

 

 

 

 

 

 

4. THE MITCHELLS VS. THE MACHINES

AAAABSYF6Rln4hC-Aj5mdZIvmyGIOv4_E3Zoitx0VpDN7kan5rqvyhVIzXnjE-q0mQ8s9GpZee9FOm-3-3HPo_P40AcAfUD-YK-6OQmIlD-wruf-viRwOdSN9io9co4n5g

Director: Michael Rianda, Jeff Rowe
Stars: Abbi Jacobson, Danny McBride, Maya Rudolph
MPAA: Rated PG for action and some language
IMDB Ratings: 7.7/10
“My parents haven’t figured me out yet. To be fair, it took a while to figure myself out.”

Katie Mitchell adalah kita, hobi banget ama yang namanya film. Sampai-sampai dia giat membuat film pendek lucu-lucuan dari berbagai kreasi sendiri. Dan ya, Katie Mitchell adalah kita, yang hobinya tidak disetujui orangtua. In that way, film ini adalah cerita yang langsung gampang kita pedulikan. Hebatnya, film ini menomorsatukan kreasi penceritaan, kehebohan visual. Dan dapatlah kita animasi petualangan super konyol yang bakal terus menghibur dan menyentuh, sedari awal hingga akhir.

Visualnya dibikin sebagai karakter tersendiri. Film ini menggunakan estetik internet dan dunia sosmed, yang tidak hanya sebagai gimmick. Melainkan benar-benar menyatu ke dalam cerita. Kadang film ini terasa terlalu cepat, sehingga kita merasa perlu untuk mempause dan mengulangnya kembali. Bahkan jika kita benar-benar melakukan itu, film tidak akan menjadi bosan. Berkat humor dan dialog yang cerdas di atas karakter-karakter eksentrik yang menyerempet over-the-top itu.

Elemen petualangan bareng keluarga menambah keseruan film ini ampe pol! Tema yang diangkat adalah seputar teknologi, yang actually responsible dalam memperlebar jarak antara anak dengan orangtua. Membuat mereka semakin susah berkomunikasi. Dan walaupun musuh mereka memang robot-robot, film berimbang, tidak benar-benar menjadikan teknologi itu sebagai mutlak antagonis. Ada momen-momen menyentuh ketika orangtua berusaha memahami hobi anaknya dengan nekat mencoba masuk ke dunia teknologi. Bahkan ada adegan ketika ayah Katie harus bisa komputer dulu demi menyelamatkan anaknya

 

My Favorite Scene:
Begitu banyak komedi-komedi dan momen konyol di film ini. Film pun sempat-sempatnya masukin komentar kocak soal perilaku manusia yang telah jadi tergantung sama internet.

 

 

 

 

 

 

3. ANNETTE

c4f5dbff4b44f77ebde5790a94bf515acb4f34fc1df4cf953213db300f706e04-rimg-w523-h296-gmir

Director: Leos Carax
Stars: Adam Driver, Marion Cotillard, Devyn McDowell 
MPAA: Rated R for sexual content including some nudity, and for language
IMDB Ratings: 6.4/10
“Now you have nothing to love.”

Keanehan The French Dispatch hanya bisa disaingi oleh karya Leos Carax ini. Urusan cinta memang rumit dan aneh. Annette menceritakan cinta ‘palsu’ antara dua selebriti panggung yang menghasilkan anak berupa boneka kayu, dengan gaya teater musikal. And I love, every second of this movie.

Dialog-dialog yang dinyanyikan, dengan pengadeganan yang sureal dan hampir semua hal di layar itu tampak artifisial. Awalnya tampak seperti kisah romansa yang manis, tapi kemudian berubah menjadi rencana pembunuhan yang elaborate, ke eksploitasi anak. Karakter pun makin membuat dirinya tak disukai. Dan memang itulah yang diniatkan. Yang dirancang. Memang, akibatnya film ini tidak gampang untuk disukai banyak orang. Tapi dengan begitu, dia sukses menyampaikan gagasan yang dikandungnya. Bahwa manusia adalah makhluk yang tragis ketika kita menganggap hidup adalah panggung. Mungkin paling tepat jika kita menyebut Annette sebagai sebuah opera horor.

Dengan konsep dan konteks seperti demikian, film menjelma menjadi sebuah sajian yang cantik. Aneh iya, tapi cantik. Carax terus ngepush quirk filmnya tersebut. Penampilan para aktor pun jadi ikut terdorong. Akting-akting di sini begitu intens, dan kadang memang membuatku sedikit ngeri juga. Melihat Adam Driver semakin berpusar turun as a human, seiring dengan rash di wajahnya membesar, kadang membuatku takut, tapi kemudian kasian. Benarlah film superaneh, sukar dimengerti kalo terlalu fokus cerna nyanyiannya, ini mampu bikin kita turun naik.

 

My Favorite Scene: Banyak orang akan mengingat adegan ML sambil nyanyi, ataupun adegan baby annette melayang sambil nyanyi. Tapi buatku, yang paling ngena adalah adegan terakhir di penjara. Annette yang udah jadi manusia, dialog sama bapaknya. Feels so unreal. Sampai sekarang pun kalian masih akan mendengarku menyenandungkan lirik dan irama nyanyian mereka.

 

 

 

 

 

 

2. CODA

CODA-1

Director: Sian Heder
Stars: Emilia Jones, Troy Kotsur, Marlee Matlin
MPAA: Rated PG-13 for strong sexual content and language, and drug use
IMDB Ratings: 8.1/10
“You know why God made farts smell? So deaf people could enjoy them too.”

Coda pada dasarnya punya cerita yang sama seperti The Mitchells vs. The Machines. Bakat Ruby gak bisa didengar oleh orangtuanya. Tapi itu karena keluarga Ruby literally gak normal. Ibu, ayah, dan abang Ruby tuli. Dan setting keluarga tersebut eventually membuat Coda menjadi drama keluarga, cerita remaja, yang sama sekali berbeda.

Film ini mengembangkan karakter-karakter tulinya dengan hormat. Dan itu bukan dalam artian karakternya dijaga dan gak dikasih apapun yang negatif. Tidak. Melainkan hormat karena mereka dibuat tidak meminta simpati. Tidak malu dengan kekurangan mereka dalam hal apapun. Drama film ini datang dari Ruby yang gak lagi bisa terus menjadi telinga bagi keluarganya, karena dia sekarang harus mulai membangun hidupnya sendiri. Problematika yang dipersembahkan film ini lewat Ruby, terasa real dan relate. Makin real dan hormat karena film ini melakukan hal yang benar dalam merepresentasikan karakternya.

Perspektif juga dijaga sekali oleh film ini. Tahu kapan harus menarik semua suara dan membuat kita merasakan sepenuhnya yang dirasakan oleh karakter. Selain permasalahan keluarga yang menyentuh hati, film ini juga punya adegan-adegan musik yang indah, adegan khas remaja yang sweet, there are just so many lovable and enjoyable things di film ini.

My Favorite Scene:
Adegan Ruby duduk bersama ayahnya, kemudian dia bernyanyi kepada ayahnya, dan ayahnya mengerti. Truly momen ayah-anak paling kuat seantero film 2021. 

 

 

 

 

Cerminan ideologi, refleksi kasih sayang ibu, gambaran suram penyakit, potret opresi perempuan, perwakilan tunarungu, simbolisme kehidupan keluarga modern, keluarga public figur. Jika representasi adalah hal yang penting untuk dilakukan oleh film, maka aku pun mulai berpikir film apa yang kira-kira cocok untuk melambangkan perjuangan kita semua di era pandemi. Memang dua tahun belakangan ini, ada banyak film yang mencoba untuk menceritakan kehidupan kita tersebut.

Film yang kunobatkan sebagai terbaik tahun ini adalah film yang mencuat karena telah menjadi sindiran yang sangat telak kepada kita semua. Film terbaikku tahun ini adalah sebagai penanda jaman, yang kuharap sepuluh tahun lagi kita bisa menontonnya. Dan barulah saat itu kita semua benar-benar tertawa dibuatnya. Karena kita telah berhasil survive dari yang ia gambarkan.

 

 

1. DON’T LOOK UP

dont-look-up

Director: Adam McKay
Stars: Leonardo DiCaprio, Jennifer Lawrence, Meryl Streep
MPAA: Rated R for language throughout, some sexual content, graphic nudity and drug content.
IMDB Ratings: 7.3/10
“You guys, the truth is way more depressing. They are not even smart enough to be as evil as you’re giving them credit for.”

Lucunya, film ini sama sekali tidak bicara tentang pandemi virus.

Dan itulah yang jadi bukti bahwa satir dan sindiran film ini bekerja dengan sangat efektif. Dua astronom yang menemukan komet hendak menabrak bumi, malah disepelekan, dijadikan alat politik, Presiden lebih mendengar kata bisnisman dan berusaha mengambil keuntungan dari bencana yang sedang otw ketimbang mengambil tindakan pencegahan yang aktual. Ada begitu banyak kemiripan untuk dianggap sebagai kebetulan. Film ini pastilah meniatkan. Film ini pastilah sedang mengutarakan sikap dan pandangan. 

Sindiran itu bukan hanya untuk pemerintah. Untuk kita juga. Karena dari dua astronom itu, yang satu dijadikan bintang televisi sementara yang satu dianggap gila. Kita masih tertarik pada hal-hal yang gak perlu. Pada kecantikan/kegantengan, pada gosip, pada konser-konser dan selebrasi lainnya. Kita mudah kemakan media, yang memang lebih peduli sama rating. Kegocek pengalihan isu dari pemerintah. Tapi bukan hanya sindiran saja, sebenarnya film memperlihatkan kekuatan dan kelemahan kemanusiaan dengan imbang. Hanya manusianya saja yang lebih cenderung memilih yang bego.

Semua itu dilakukan McKay lewat penulisan yang sangat cerdas. Bukan hanya menyindir kita, dia juga mampu membuat cerita dua astronom ini legit dengan struktur skenario yang solid. Gerak kamera dan editing juga efektif dalam menampilkan tone. Tidak sekalipun film tergagap menangkap dan menghidupkan banyak karakter, yang dimainkan oleh ensemble cast yang luar biasa. Bintang-bintang itu bukan di atas sana, tapi di layar kita.

My Favorite Scene:
Buatku inilah film penanda jaman yang tepat. Era pandemi dan era idiocracy digambarkan dengan telak. Ada satu scene yang membuatku ngakak banget, yaitu ketika presiden Meryl Streep ngingetin Leonardo bahwa dia sekarang di lingkaran penguasa di atas. Presiden ngewhip out rokoknya, dan di latar kita melihat mereka berada di ruangan inflamable. Sungguh komentar yang ngena terhadap pemerintah.

kogprogdfd - Copy

 

 

 

 

 

So, that’s all we have for now.

Demikian daftar Top Movies 2021 ini kami tulis. Apabila ada salah-salah kata, lebih dan kurangnya kami ucapkan maaf dan terima kasih.

Apa film favorit kalian di tahun 2021? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2022?

Share with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are…


Tambahkan judul - Copy

We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.