BERBALAS KEJAM Review

 

“A man that studieth revenge, keeps his own wounds green, which otherwise would heal”

 

 

Amat sangat wajar kita menginginkan yang terburuk buat orang yang pernah nyakitin kita. Jangankan itu, ngeliat ada orang kasar/semena-mena di internet saja, kita semua akan lantas turun ‘merujak’ orang itu, menjemput paksa keadilan itu kepadanya. Kita semua pengen ikut mencicipi manisnya buah pembalasan. Gak heran makanya genre atau kisah revenge populer dalam perfilman.  Mulai dari Kill Bill hingga John Wick, perasaan puas lihat karakter kita mendapat keadilan, berhasil menuntut balas udah jadi kayak semacam candu. Kita dapat pelepasan emosi dari nonton film-film kayak gini. Tapi ada juga kisah balas-dendam yang menggali di balik kepuasan sesaat itu. Ya, karena balas dendam ‘mata untuk mata’ yang diterjemahkan sebagai pukul dan balas pukul sesungguhnya hanya akan membuat keadaan semakin terluka. Kalo kata Gandhi, ‘eye for an eye akan membuat dunia jadi buta’. Ada film-film yang membuat kita merasa gak-enak setelah merasa puas balas dendam. Film-film kayak Oldboy, misalnya. Teddy Soeriaatmadja yang dua tahun lalu nyobain riaknya genre thriller lewat Affliction (2021), kembali hadir dengan film yang cukup kelam tentang balas-dendam. Teddy ingin kita turut merasakan gimana balas-dendam memang memuaskan, tapi itu bukan jalan healing. Melainkan hanya akan membuat kita berada di posisi yang bahkan lebih buruk dari pelaku yang melakukan kejahatan itu in the first place.

Dua tahun lalu di hari ulang tahunnya, Adam dapat jam tangan baru. Namun ‘bayarannya’ berat. Adam harus kehilangan istri dan anak semata wayangnya. Tiga orang rampok masuk paksa ke dalam rumah. Menyikat harta, dan melukai keluarga Adam. Istri dan anaknya tewas. Jam tangan barunya tadi juga diembat. Kita gak sepenuhnya dikasih lihat gimana perampokan itu berakhir, asumsiku pihak rampok mundur teratur karena salah satu mereka juga terluka, dan ditangkap polisi. Yang jelas, Adam kini hidup segan, mati gak bisa. Oh dia berusaha bunuh diri. Gak sanggup. Kerjaan arsitek Adam jadi terbengkalai. Pikirannya cuma ke malam naas itu.  Mengulangi detik-detik terakhir keluarganya. Momen healing bagi Adam datang sebagian kecilnya dari sesi bersama psikiater muda bernama Amanda (yang membantu meringankan, meskipun Adam enggan mengakui), dan sebagian besarnya datang dari kesempatan untuk balas dendam langsung kepada ketiga rampok yang kini sudah hidup biasa seperti tanpa dosa.

Black… no, Dark Adam!

 

Biasanya plot cerita revenge melibatkan strategi nekat dari karakter. Gimana dendam itu ‘direncanakan’, protagonis kita akan bersiap dahulu untuk mengakali si penjahat. Dia akan tahu persis kapan dan di mana harus menyerang. Adam dalam Berbalas Kejam dimulai dengan langsung nekat, strateginya diskip. Ini yang bikin tindakan Adam lebih mencekat. Reza Rahadian paham kemelut karakternya pas Adam sadar supir ojek mobil onlinenya adalah salah satu dari pelaku perampokan/pembunuhan di rumahnya dulu. Reza mengerti bahwa momen itu adalah momen ‘split-second’ Adam musti ngambil tindakan di atas ketakutan dan traumanya. Sooo, he gives us some very convincing emotions dari seorang pria yang akhirnya mutusin buat membunuh itu. Dalam cerita revenge, momen first-kill protagonis merupakan momen penting, titik-balik dari protagonis entah itu dia orang yang pertama kali harus melakukan kekerasan/membunuh ataupun dia orang yang harus kembali ke kebiasaan lama yang ia tinggalkan. Setiap nonton revenge story, aku selalu memfokuskan pada momen ini. Buatku keberhasilan cerita balas-dendam bukan dari seberapa sadis atau puasnya, tapi dari seberapa monumental tindakan balas dendam itu bagi si karakter ini. Bagaimana itu mengubah dirinya. Reza sukses mendeliver momen titik-balik Adam. Untuk selanjutnya, dia juga memantapkan sikap Adam yang merasa sudah menyembuhkan depresinya. Dia sudah bisa nyusun rencana untuk menghabisi target. Untuk kemudian menjadi semakin kalut karena sekarang dia jadi buronan polisi.

Walaupun rasanya puas telah impas menyakiti orang yang nyakitin kita, balas dendam seperti itu tidak pernah benar-benar menyembuhkan derita. Karena dengan kita terus nyusun rencana untuk balas dendam beneran ataupun sekadar membayangkan skenario nyakitin balik, kita sama saja dengan mengingat derita yang mestinya kita move on tersebut. Tindak mendendam justru membuat kita terus membiarkan luka lama terbuka. Menjauhkan diri dari closure yang sebenarnya. Dan kita akan berakhir menyakiti diri sendiri. Seperti yang terjadi pada Adam.

 

But that’s on Reza. Gimana dia peka dalam mengikuti skrip, menciptakan karakternya dari sana. Berbalas Kejam, malahan bisa dibilang, terangkat oleh penampilan akting. Selain Reza, ada Laura Basuki, Yoga Pratama, Baim Wong yang berusaha ngasih something dari karakter mereka. Baim, seperti juga Reza, mengerti bahwa aspek penting dari karakter mereka adalah ‘transformasi’. Adam menjadi worse man karena tenggelam dalam balas dendam dan jadi pembunuh, sementara para perampok kini jadi manusia jujur – meninggalkan kerjaan kotor mereka. Or so they say. Baim membawakan karakternya dengan ‘mendua’ – antara beneran insaf, atau tetep jahat. Dan kita percaya pada keduanya sekaligus. Bagi Adam, karakter Baim memang jadi tantangan terakhir. Kedua aktor mengerti yang dilalui karakternya, dan kita dapatlah momen seperti Baim Wong nyukur rambutnya sampai botak. Sampai dirinya seperti ketika melakukan kejahatan di rumah Adam dulu itu. Transformasi mereka ini harusnya bisa lebih terasa jika film benar-benar menekankan ke sana. Bukan sekadar rambut panjang, brewok berantakan, atau sebagainya. Jejak derita pada tubuh seharusnya diperkuat. Baim got it easier karena karakternya memang jadi cacat sebelah mata. Karakternya yang supposedly sudah tobat, jadi malah semakin mengerikan. Reza, however, dibiarkan oleh film apa adanya. Hidupnya yang depresi dan harusnya makin sulit tidak tergambar dari fisiknya yang senantiasa segar bugar. Perubahan Adam secara mental yang dilakukan oleh akting Reza – orang ini berdiri mengancam sambil berlinang air mata! – tidak diimbangi oleh film yang membuatnya tetap prima dan kuat.

Aku merasa tidak banyak perbaikan atau peningkatan yang dilakukan Teddy dalam menggarap genre thriller ini sejak Affliction. Kelemahannya masih sama. Teddy tampak paham formula-formula cerita yang hendak ia sajikan, dan dia ngikut formula itu seaman-amannya. Kayak anak yang baru belajar masak mie, hanya ngikutin ‘cara membuat’ di bungkus bagian belakang.  Gak dikasih bumbu apa-apa. Gak dimasukin telur karena di situ tak tertulis tambahkan telur. Hasilnya Berbalas Kejam terasa fit in the mold, tapi generik sekali. Dia tahu first-kill itu penting dan emosional bagi karakter Adam, tapi kameranya merekam dengan datar. Tidak meng-convey perasaan itu. Dia tahu great revenge story punya aksi yang menyimbolkan ‘mata dibalas mata’, maka kita dapat bentuk pembunuhan unik saat Adam menggunakan knalpot dan bikin struktur pipa sebagai balasan anaknya yang mati tercekik. Namun adegan kematiannya tidak direkam intens. Ketegangan malah pada adegan berantem sebelum Adam bisa menaklukkan perampok. Adegan berantem yang generik dan stake/rintangannya kecil buat Adam. Aku merasa adegan-adegan Adam membunuh itu diniatkan untuk kita merasa dua sekaligus, puas melihat Adam berhasil, sekaligus ngeri karena dia telah jadi sama atau malah lebih kejam. Dan yang kita lihat, sama sekali tidak mengesankan itu.

Also aneh buatku mata kirinya buta tapi menoleh ke kiri

 

Film ini berangkat dari banyak ide bagus. Kayak, gimana kalo supir ojek online kita ternyata adalah orang yang dulu pernah jahatin kita. Atau gimana kalo orang yang udah bikin hidup kita hancur, ternyata jadi calon keluarga kita yang baru. Eksekusi ide-ide itu saja yang kurang eksplorasi sehingga hasil film ini tetap terasa masih generik. Sepanjang nonton, yang disuguhkan film ini terasa kayak udah pernah kita tahu sebelumnya. Arahan film pun tidak terasa aktif dalam menghadirkan thriller yang distinctive. Aku mengira mungkin karena Teddy memang lebih nyaman di drama. Pada hubungan antarkarakter. Maka aku akhirnya menoleh ke sana. Ke hubungan Adam dengan karakter lain. Nothing. Berbalas Kejam memang banyak karakter pendukung, orang-orang di kehidupan Adam, tapi gak ada hubungan yang genuinely terbangun. Selain dengan antagonis yang hanya di momen akhir, hubungan Adam dengan rekan kerja, dengan polisi yang nyelediki, tidak terasa urgen sama sekali. Mungkin film memang ingin nunjukin betapa terputusnya Adam karena depresi, trauma, dan mendendam. Tapi bahkan dengan love interest barunya, hubungan Adam terasa sekenanya. Malahan, ketika film masuk membahas romansa Adam dengan karakter Laura Basuki, tone film jadi seperti cringe. Kayak cinta cengengesan doang. Terlalu jauh gap antara elemen thriller dengan romance mereka. Romance yang terasa dipaksakan. Mereka harus jadi couple karena berkaitan dengan punchline plot. Dan cuma itu yang dipedulikan oleh film ini. Punchline kita pasti shocker banget! 

Baru-baru ini Quentin Tarantino ngedumel soal adegan bercinta sebenarnya gak penting-penting amat ada di berbagai film. Berbalas Kejam bisa dijadikan contoh teranyar dari pendapat Tarantino tersebut. Supaya kita bisa instantly percaya Adam dan Amanda jatuh cinta, mereka pasangan, maka film kasih adegan ranjang. Padahal gak ngaruh juga. Hubungan mereka tetap terasa hambar, Harusnya ya film invest banyak buat build up hubungan karakter. Bukan invest ke adegan-adegan bunuh, yang gak benar-benar keren. Jika dalam cerita Adam gak punya hidup sejak istri dan anaknya tewas, maka karakter-karakter lain di film ini juga terkesan never really lived. Naskah bener-bener batasi penggalian dan fokus ke kejadian saja. Si Polisi yang keliatan pintar, misalnya. Tetap aksinya lamban dan doing weird thing demi Amanda bisa terlihat lebih berperan. Like, polisi ini udah tahu tiga sekawan perampok dibunuhi satu persatu, sudah dua yang mati, tapi langkah mereka berikutnya adalah nanya ke Amanda. Ke psikiater yang mereka sama-sama tau punya kode etik. Kenapa gak langsung nyari keberadaan perampok ketiga. I mean, bayangkan kalo film berbelok jadi memuat polisi berusaha melindungi mantan kriminal yang kini sedang diincar oleh seorang sipil yang diduga beraksi nekat karena dendam. Bukan hanya it would make some interesting confrontations, tapi juga benar-benar membuat para karakter melakukan aksi yang ‘logis’ sebagaimana real people bertindak. Tidak membuat mereka ada di sana seadanya aja.

Servant Season 4 yang di Apple TV+ juga punya cerita yang berpusat pada karakter yang bertransformasi karena ingin balas dendam selama ini dikejar-kejar. Menghasilkan penutup yang seru dan kuat sekali elemen psikologikal thrillernya. Bagi kalian yang ingin nonton, bisa langsung langganan Apple TV+ lewat link ini yaa https://apple.co/40MNvdM

Get it on Apple TV

 

 




Cerita tentang revenge seseorang yang kehilangan begitu banyak melimpah di luar sana. Setiap dari mereka punya keunikan, misalnya adegan yang sadis, style yang oke, karakter yang bikin meringis, Film terbaru Teddy Soeriaatmadja aims so low padahal punya beberapa ide yang bisa menarik dikembangkan. Padahal punya penampil-penampil terluwes di kancah perfilman kita. Sangat disayangkan film ini jatohnya amat sangat generik. Selain itu, tone ceritanya juga berpindah dengan weird. Dari dark dan depressing, film ini bisa jadi sangat cheesy begitu menyentuh ranah romance. Aku gak mau tampak kejam, tapi apa boleh buat
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for BERBALAS KEJAM




 

That’s all we have for now.

Menurut kalian ada gak sih cara balas dendam yang ‘sehat’?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SUZUME Review

 

“Closed but not forgotten”

 

 

Hidup di daerah rawan bencana kiranya telah membuat orang Jepang jadi begitu kreatif. Man, they are really gives a new meaning to our saying ‘mengubah musibah menjadi berkah’. Mulai dari legenda Godzilla hingga seri game Fatal Frame, memang ada begitu banyak cerita dari Jepang yang terinspirasi dari bencana alam. Mereka membuat cerita-cerita itu sebagai peringatan, dan juga sebagai bentuk penghormatan. Baik kepada alam, maupun kepada korban dan perjuangan itu sendiri. Makoto Shinkai, sutradara anime yang terkenal dengan genre fantasi romance, juga menjadikan bencana sebagai device penting ceritanya, at least dalam tiga film terakhirnya. Film Suzume ini ia hadirkan sebagai tribute buat korban-korban bencana gempa Tohoku yang terjadi 11 Maret 2011 dahulu. Dan film ini memang bakal terasa menggugah hati dari bagaimana Makoto menuliskan perjuangan karakternya bukan hanya untuk menyetop gempa, tapi juga berdamai dengan rasa kehilangan yang terus merundung semenjak tragedi naas tersebut.

Suzume, sang karakter utama, masih kecil ketika bencana itu melanda. Di adegan pembuka kita melihat sosok kecilnya mencari-cari ibu, di suatu tempat yang dingin. Pengalaman itu pasti traumatis banget bagi Suzume hingga sampai dimimpiin begitu. Suzume sendiri, sekarang 17 tahun, adalah gadis SMA yang cukup ceria. Kita lihat dia pamitan sama tantenya. Kita lihat dia berangkat sekolah naik sepeda. Dan kita lihat dia terbengong-bengong ngeliat pemuda berambut panjang di jalanan. Pemuda itu bernama Sota, dan nanya arah kepada Suzume. Arah ke reruntuhan kota di gunung. Suzume yang penasaran, malah bolos dan tiba duluan di reruntuhan tujuan Sota. Suzume melihat pintu yang dicari oleh Sota. Dan momen Suzume membuka pintu itu jadi momen petualangan fantasi cerita ini dimulai. Satu lagi ciri khas Makoto Shinkai adalah, alih-alih membawa kita dan karakter ke dunia fantasi, dia membawa fantasi itu kepada kita. Membawa fantasi itu ke dunia cerita yang selalu ia bikin grounded dan berdasarkan langsung dari dunia nyata. Film Suzume juga lantas kontan jadi intens karena ini. Dari pintu yang dibuka Suzume muncul cacing merah raksasa. Makhluk yang cuma bisa dilihat oleh Sota dan Suzume itu melayang di atas kota, dan bakal menghempaskan diri – Cacing raksasa itulah yang menyebabkan bencana gempa. Suzume dan Sota harus berkeliling Jepang, menutup pintu-pintu tempat Cacing itu keluar supaya tidak terjadi gempa mengerikan.

Wow, kita di Indonesia menyaksikan film ini tepat 12 tahun dari bencana aslinya

 

Cacing dari dunia-lain jadi penyebab gempa… ya, kreasi film ini memang seliar itu. Dan itu yang membuatnya fun dan terasa ajaib. Salah satu cara ngembangin ide kan dengan ngelantur. Like, kita lempar beberapa kata secara acak, dan baru pilih beberapa yang relevan untuk digabungkan sebagai cerita. Suzume sama sekali gak kekurangan imajinasi untuk jadi out-of-the-box dengan kehidupan sehari-hari. Selain cacing tadi, film ini punya batukunci yang bisa berubah jadi kucing. Pintu-pintu keluar cacing yang actually berbeda-beda; ada yang selembar pintu biasa, ada pintu geser, pintu ke permainan bianglala. Belum lagi ritual dan rule buat menutup pintu yang harus dilakukan Sota. Dan oh, Sota sendiri eventually dikutuk jadi kursi anak TK. Yang satu kakinya hilang pula! Jadi bayangkan gimana dia melakukan itu semua, kalo tanpa bantuan Suzume. Penonton sestudio ketawa-ketawa ngeliat para karakter. Lihat kucing-dewa yang imut tapi nyebelin. Lihat  Suzume yang harus keliling Jepang sambil bawa-bawa kursi. Lihat Sota sebagai kursi berusaha mengejar si kucing dengan gerakan kocak. Film acknowledge kekocakan ini. Semua disengaja biar film terasa renyah dan menghibur. Dunia kontemporer Suzume yang juga takjub ngeliat kursi bisa ngejar kucing (Sota dan si kucing actually jadi viral, jadi sensasi di internet mereka) bikin film ini jadi makin akrab buat kita.

Seolah keringanan, kefamiliaran, dan keunikan karakter belum cukup, film menampilkan dirinya lewat animasi hand-drawn yang luar biasa. Makoto suka menggambar tempat-tempat asli sebagai lokasi cerita, dan di sini lokasi-lokasi yang jadi background itu meledak oleh warna-warna. Bahkan tempat yang paling suram sekalipun. Animasi film ini sepertinya dienhanced oleh efek yang membuat visual semakin berkilau. Lihat saja ketika Cacing-cacing itu berubah menjadi hujan saat Suzume dan Sota berhasil menutup pintu. Wuih, ciamik! Semua itu ditampilkan lewat sudut ‘kamera’ yang benar-benar luwes. Shot-shot perspektifnya dimainkan dengan leluasa. Jantungku berdebar-debar setiap kali kedua karakter kita berhadapan dengan Cacing, atau malah setiap kali mereka berlari menuju tempat pintu berada.

Suzume adalah film perjalanan. Petualangannya lebih ke action, agak sedikit berbeda dengan dua film Makoto Shinkai sebelum ini. Ketiga film ini ceritanya memang tak berkesambungan, tapi punya elemen khas yang mirip. Kalo kalian belum nonton, atau kepengen nonton lagi Your Name (2016) dan Weathering with You (2019),  sekalian aku tarok aja deh link dan badge keduanya di sini, biar pada tinggal klik! https://apple.co/3ZP9GQa dan https://apple.co/3FcWpZY

Get it on Apple TV

Get it on Apple TV

Perjalanan Suzume bersama makhluk dan hewan yang bisa bicara juga ngingetin aku sama animasi pendek yang kutonton tempo hari. Tentang anak yang ‘diantar’ pulang oleh hewan-hewan seperti kuda, rubah, dan tikus tanah. Dialog di film itu juga sama seperti Suzume, ngasih something untuk kita pikirkan. Kalian bisa nonton itu dengan subscribe di link https://apple.co/3ZAMup1

Get it on Apple TV

 

 

Bersama Sota, Suzume menyusur Jepang, ngikuti jejak si kucing yang dicurigai sengaja membuka pintu Cacing di berbagai reruntuhan kota supaya terjadi gempa. Suasana yang terus baru membuat misi mereka yang sebenarnya cukup repetitif jadi tak membosankan. Malahan jadi makin seru karena Suzume dan Sota juga bertemu banyak orang baru di setiap daerah yang mereka lewati. Film dengan efektif menampilkan interaksi Suzume dengan orang-orang ini, yang walau singkat tapi terasa banget mereka jadi sahabat. Namun begitu, aku cukup terhenyak di paruh awal ini, tatkala menyadari reruntuhan yang sebenarnya adalah tempat-tempat bekas korban gempa itu merupakan tempat asli. Aku gak yakin apakah tempat itu aslinya memang pernah kena gempa, atau tidak, tapi tetap saja kebayang gimana orang Jepang nonton ini – realizing gempa could happen there. Mengingatkan bahwa mungkin bisa saja ada survivor seperti Suzume yang nonton, dan mereka harus kembali melihat puing-puing. Di situlah aku sadar bahwa film Makoto kali ini lebih personal bahkan daripada Weathering with You  dan Your Name. Bahwa cerita yang diusung kali ini lebih daripada kisah romansa dua anak muda. Tentu elemen itu ada, tapi bukan inti – bukan yang terbaik – dari keseluruhan penceritaan Suzume. Karena film ini adalah tentang survivor gempa. Tentang orang-orang seperti Suzume, penyintas Tohoku yang masih mencari ibunya. Mencari orang tercinta yang jadi korban bencana.

Yang dilakukan Suzume di sini mungkin merupakan hal tersusah yang harus dilakukan penyintas. Menutup pintu. Melihat hal di balik pintu itu, mengenang peristiwa sebelum bencana, hanya untuk menutup dan menguncinya rapat-rapat. But mind you, film ini tidak mengagas itu sebagai perbuatan tersebut dilakukan Suzume untuk melupakan tragedi atau traumanya. Untuk melupakan ibunya. Tidak. Menutup pintu yang disebutkan film ini justru adalah tindakan respek, yang juga menguatkan survivor untuk meneruskan hidup ke depan. Film ini justru ingin Suzume mengingat masa itu, supaya cewek ini sadar. Untuk melihat pengorbanan dan cinta di balik itu semua. Satu elemen kunci lagi pada film ini adalah hubungan antara Suzume dengan tante yang selama ini membesarkan dia. Tante yang sampai sekarang belum menikah. Tante, yang pada satu momen meledak, bilang, dia telah mengorbankan masa mudanya demi Suzume. Suzume sendiri memang belum memandang tantenya sebagai sosok ibu yang ia hormati pada saat itu. She can’t, karena deep inside masih mencari ibu aslinya. Pengorbanan Sota sebagai kursi anak TK. Pengorbanan si kucing untuk kembali jadi kunci. Petualangannya menutup pintu, sembari bertemu orang-orang yang menampungnya, membuatnya ingat dan sadar akan hal penting yang teroverlook selama ini.

Some people gone but not forgotten, tapi tragisnya beberapa orang rela memilih bertahan dan menggantikan yang hilang, tapi terlupakan. Mengenang itu penting, tapi menyadari bahwa yang tinggal juga mengorbankan sesuatu juga tak kalah pentingnya. Film ini ngasih tahu bahwa setiap ada bencana, semua orang jadi korban, dan akan ada cinta yang mereka korbankan. Ingatlah cinta itu.

 

Kalo lihat pintu selembar gitu, ku malah ngakak jangan-jangan ada Faarooq dan Bradshaw main poker di sebaliknya haha

 

Di luar pesan simbolisnya tersebut, Suzume sebenarnya lebih ringan dan lebih straightforwad dibandingkan dua film sebelumnya. Film tidak banyak menggali soal ritual dan pintu-pintu itu. Tidak ada penggalian mendalam fantasi atau role dunia seperti pada Your Name.  Nature petualangan ala road tripnya pun membuat cerita berjalan cepat dan sistematis. Ceritanya tidak mengalami transformasi seperti pada Your Name; Suzume tetap petualangan mencari pintu, hanya dengan intensitas yang semakin dramatis. Kisah cintanya juga bahkan tidak sedalam itu. Weathering with You malah lebih terasa romantis. Romance di Suzume cuma terasa kayak ‘formalitas’ aja, biar terus ada ciri khas Makoto. Pertemuan si Suzume dan Sota itungannya termasuk kebetulan. Mereka juga tidak terasa bonding se-real itu mengingat sebagian besar waktu Sota berada dalam wujud kursi. Kita aja, aku yakin, lebih draw toward Sota sebagai kursi ketimbang Sota manusia, hanya karena dia lebih banyak sebagai kursi. Asmara mereka berdua ketutupan banyak hal yang sebenarnya lebih esensial. Dari kursi itu saja sebenarnya agak ‘meragukan’, karena kursi itu sebenarnya kursi kenang-kenangan ibu untuk Suzume. Jadi attachment si Suzume kepada Sota agak bias, karena bisa jadi dia cuma ‘sayang’ sama nilai kursi itu. Dan soal itu gak benar-benar dibahas oleh film. Pokoknya Suzume cinta aja sama Sota sehingga mau berjuang ‘menyelamatkan’ Sota di paruh akhir. Si Sotanya juga dibikin tau-tau juga sudah suka Suzume sedari pandangan pertama.

Romansa yang harus ada ini pada akhirnya jadi ngaruh ke yang lain. Yang membuat film jadi kurang maksimal. Relasi antara Suzume dan Tante atau bibinya tadi, salah satunya. Menurutku film harusnya jadiin relasi ini sebagai fokus. Karena bahasan mereka pada yang sekarang ini sedikit banget. Bahwa ternyata Suzume seneng-seneng aja dianggap anak yang kabur dari rumah, kita gak pernah merasakan itu dengan total. Padahal Suzume memang merasa lebih bebas di luar rumah. Begitu juga Tantenya. Alih-alih ngebuild up drama kehidupannya, film hanya memperlihatkan sekelebat dan membuat karakter ini ‘meledak’ gitu aja, dalam adegan awkward yang kayak dipaksakan buat sekalian ngenalin sosok batukunci yang satu lagi. Suzume berdurasi dua jam lebih dikit, memuat banyak, tapi belum terasa imbang. Enggak terasa padat kayak dua film sebelumnya, karena bahasan yang lebih penting kurang maksimal.

 




Perlu satu hari bagiku untuk ‘mendiamkan’ film ini. Supaya terlepas dari kehebohannya. Karena memang film ini lebih seru, dan gambarnya juga cantik banget. Lovable sekali! Penonton sestudioku ketawa dan hepi sepanjang durasi. Aku gak nyangka film anime bisa sepenuh itu. Karena ya memang film kali ini lebih straightforward. Dan ya itu, karena utamain crowd pleaser, dan romansa yang harus ada alih-alih penting untuk ada – menjadikan film ini formulaic,  maka aku harus mutusin satu pilihan penting. Apakah film ini bakal jadi angka delapan pertama tahun ini, atau dia sebenarnya cuma another Avatar 2. Aku sudah akan menutup pintu keputusan, dan jawaban itu muncul. Film ini punya hal yang tidak ada pada Avatar 2 yang complete fantasy. Identitas budaya real di balik ceritanya. Faktor yang membuat anime ini lebih urgen, bahkan dari dua karya Makoto sebelumnya yang lebih superior. Ya, keputusan itu akhirnya bisa dikunci.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SUZUME

 




That’s all we have for now.

Kira-kira kalian punya teori gak, kenapa Suzume bisa jadi secinta itu sama Sota?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



YOUR NAME Review – [2016 RePOST]

 

“It’s always an out of body experience with you.”

 

yourname-poster

 

Jepang, yea that land of weird things, memberikan kepada kita sebuah cerita cinta remaja dengan premis konyol paling tak-biasa; TENTANG COWOK DAN CEWEK YANG BERTUKAR TUBUH. Tapi yang lebih aneh daripada itu, adalah fakta tak-terbantahkan bahwa that story is wonderfully worked. Sangat kuat secara emosional, dituturkan dengan cara paling unik, dan somewhat suspenseful. Menjadikan anime ini berada di atas sana sebagai salah satu drama romansa terbaik yang kita lihat di tahun 2016.

Mitsuha, cewek pedesaan yang ingin tinggal di kota, terbangun dari tidur dalam keadaan bingung. Dia lalu kedapatan sedang meraba tubuhnya sendiri. Sementara itu, seorang cowok bernama Taki, terjatuh dari ranjangnya di suatu apartemen di Tokyo. Dengan malu-malu, dia melihat ke tubuh bagian bawahnya. “Oh Tuhan, kenapa gue jadi punya ‘ini’?” pikiran itu tergaung oleh both Mitsuha dan Taki karena mereka baru saja sadar; mereka terbangun di dalam tubuh orang lain. Awalnya, Mitsuha dan Taki mengira mereka cuma sedang mimpi. But the phenomenon keeps happening, day after day. Dari reaksi kerabat sekitarlah, they learned bahwa secara random, tanpa tedeng aling-aling, mereka bertukar tubuh saat bangun tidur. Kenapa bisa? Kenapa mesti mereka? Padahal mereka tidak saling kenal. Padahal mereka tinggal berkilo-kilo meter jauhnya!

Cerita film ini adalah tentang gimana Mitsuha dan Taki yang harus mencari tahu kenapa hal ini terjadi kepada mereka while also harus figure out gimana menjalani hari sebagai orang lain. Ini bukan soal si cewek ntar jadi tomboy, sedangkan yang cowok jadi feminin. It explores more. You know, it really gives “try walking on my shoes” a whole new meaning, as kita ngeliat kedua karakter ini literally experiencing pepatah lama tersebut. Melalui rangkaian montage yang sweet dan kocak, kita akan menyaksikan apa yang tadinya kebingungan berubah menjadi kerja sama. Mitsuha dan Taki menemukan cara untuk berkomunikasi. Mereka saling larang, kebayang dong malunya gimana ketika orang lain tahu privasi kita. Or something like, “you can’t do that in my bod – I don’t do that!” Namun somehow, saat bertukar tubuh, mereka berdua tidak tahan untuk ‘ikut campur’ dan mencoba untuk mengimprove kehidupan rekan tukeran-tubuhnya. Eventually, mereka menumbuhkan rasa kagum dan appreciate one another as they learn about each other’s lives.

 kalo di Indonesia bisa jadi sinetron; Tubuh yang Tertukar..

Kalo di Indonesia bisa jadi sinetron; ‘Tubuh yang Tertukar’

 

But that just one element of the whole story. It was just merely a set-up, untuk membuat kita mengerti sedalem apa hubungan yang terjalin di antara mereka berdua. Film ini actually berkembang menjadi much more deeper, serious and adventurous, dengan dibalut misteri, as they prove cinta sejati will stand out against the test of space and time.

Apa yang bisa membuat dua orang yang tidak pernah bertemu, yang tidak saling kenal, bisa jatuh cinta? Your Name sesungguhnya mengeksplorasi kebudayaan remaja yang sangat relevan, bukan hanya di Jepang, melainkan juga di belahan lain dunia. Sering kita stumble on story of how dua pasangan bertemu dari kenalan lewat online. Kita bisa belajar banyak tentang seseorang dari pengalaman yang ia tulis, ia ceritakan, dari curhat-curhat mereka. We get too see dan fall in love with their personality. Dan film ini examined tema tersebut dengan cara yang sangat cantik. Mitsuha dan Taki belajar tentang kehidupan each other dengan mengalami. Dengan benar-benar menjadi orang tersebut. Jadi mereka bisa tahu lebih banyak tentang pribadi masing-masing dibandingkan dengan hanya mendengar. It was such a personal bonding. Itulah sebabnya film ini sangat unik, sebuah romansa yang diceritakan dengan sangat keren.

 

Aku bukan penggemar drama cinta, aku bahkan bukan penggemar besar film anime. Di luar kartun-kartun masa kecil, paling aku hanya ngikutin Studio Ghibli saja. Dan Your Name adalah pelipur ketakutan kita, ngingetin bahwa ternyata masih banyak director di luar sana yang masih berjuang membuat film-film animasi yang hebat, penuh imajinasi nan cantik. Cara berceritanya lain dari yang lain dalam mengangkat tema yang udah jadi lapangan bermain khas Makoto Shinkaitentang pasangan yang terpisahkan oleh sesuatu. And I love this movie so much. Film ini tidak terasa cengeng ataupun lebay buatku. Meski ada juga sih adegan-adegan ‘tragis’ kayak lari-lari terus jatuh kesandung, tapi film ini bukan cinta-cintaan remaja supermelodramatis seperti di sinetron atau ftv. Your Name adalah tontonan yang lebih daripada itu.

Sungguh refreshing, cerita yang sangat berbeda, aku belum pernah melihat drama dituturkan dengan cara yang amat SANGAT UNCONVENTIONAL. Karakter-karakternya ditulis dengan begitu menyenangkan. Mereka semua sangat likeable. Voice-over yang sangat ekspresif dan sukses berat menghidupkan para tokoh. Mone Kamishiraishi lively sangat sebagai Mitsuha, dan Ryunosuke Kamiki sanggup ngeluarin charm dari kedua tubuh yang ia perankan.
Juga ada banyak simbolisasi yang memparalelkan antara kejadian di alam semesta, mekanisme dunia film ini, dengan hubungan yang dimiliki oleh kedua tokoh leadnya. It never gets too confusing, malahan semakin menarik kita. Tidak membiarkan kita terlepas sedetik pun dari ceritanya.

Arahannya pun luar biasa menakjubkan. Film ini sesungguhnya punya dua tone cerita yang kontras, Your Name adalah film yang sangat emosional yang bukan saja very funny melakinkan juga punya cara sendiri menyentuh kita tanpa jadi terasa lebay. Tidak pernah kedua tone tersebut berbenturan keras kayak komet yang menghantam bumi. Kebanyakan film kesulitan menjembatani dua sisi cerita yang berbeda, you know, kita sering lihat film yang awalnya kocak dan as the story progress, menjadi lebih serius sehingga terasa kayak dua film yang berbeda. Your Name punya cara yang hebat sehingga transisi antara bagian yang kocak dan fun dengan part of story yang lebih serius, EMOTIONALLY POWERFUL, dan ultimately penuh suspens menjadi mulus tak terasa.

Ketika modern world terpana oleh pesona dan misteri dongeng

Ketika modern world terpana oleh pesona dan misteri dongeng

 

Film ini akan meminta kita untuk menghormati kebudayaan Jepang. Sama sekali tidak berusaha untuk terlihat seperti Hollywood. Konten lokalnya kuat. Kita akan melihat ritual bencana dan perayaan fenomena alam. Ada banyak referensi tentang adat Jepang yang bakal kita apresiasi lebih jika sedikit-banyak tahu tentangnya, atau paling enggak jika kita sering nonton anime sejenis. Humornya pun bakal terasa baru, that we’ve never heard before. Makanya film ini begitu fresh. Ditambah lagi, film ini tetap memakai animasi traditional yang digambar dengan tangan. You know, style anime dipush menjadi semakin gorgeous oleh film ini. It was as mesmerizing as the storytelling. Gerakannya begitu fluid, everything – dari penampakan dalam ruangan hingga pemandangan angkasa, perbukitan hijau – tergambar dengan sangat cantik. Aku seneng aja Jepang punya kebanggaan untuk tetap menggunakan animasi khas mereka di saat Amerika, bahkan Indonesia, nyaris benar-benar meninggalkan cel animation dan beralih ke CG. Sebenarnya enggak masalah sih, CG keren dan menyenangkan. Hanya saja gambar-tangan kesannya lebih majestic, lebih imajinatif, dan khusus kasus film ini, terbukti lebih beautiful.

Nenek Mitsuha menyuruhnya untuk “treasure the experience”, as in segala keindahan di sekitar kita setiap hari, sesungguhnya adalah sementara. Tapi kita lebih sering take so many little things for granted. Koneksi dengan orang-orang, contohnya. Cherish dan appreciate hubungan genuine yang kita punya dengan sekitar.

 

 

 




Punya keunikan penceritaan yang luar biasa, sampai-sampai aku tidak bisa menemukan apa yang aku tidak suka dari animasi yang cantik jelita ini. Humornya yang beda bekerja sukses, drama emosionalnya bekerja sukses, aspek misteri dan mekanisme dunianya bekerja sukses, everything works out great in this movie. Dengan cara unconventionalnya examining today’s youth culture dan apa yang bisa membuat dua orang jatuh cinta meski jika mereka belum pernah bersua. Yang berhasil dicapai oleh Makoto Shinkai pada filmnya ini adalah betapa accessiblenya film ini buat banyak lapisan penonton, as ceritanya tidak come off  terlalu abstrak. Film ini imbued with elemen mimpi. Namun tidak seperti mimpi yang lebih sering terlupakan saat kita bangun, film ini akan terus terngiang di kepala. Bahkan saking kuatnya sehingga kamu-kamu bisa saja bermimpi tentangnya.
The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for YOUR NAME (KIMI NO NA WA).

 

 




That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

 



MINI REVIEW VOLUME 8 (THE WHALE, AFTERSUN, ALL QUIET ON THE WESTERN FRONT, NOKTAH MERAH PERKAWINAN, ELVIS, INFINITY POOL, WOMEN TALKING, BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER)

 

 

Normalnya, bulan Januari-Februari di bioskop itu agak adem ayem, karena biasanya film yang tayang di awal tahun itu ya tipe film yang ga rame enough untuk tayang di musim-musim liburan. Tapi di blog ini, bulan-bulan tersebut biasanya justru yang paling sibuk. Karena waktu tersebut merupakan last chance buat nontonin film-film yang kelewat di tahun sebelumnya, serta ngejar nontonin film-film yang masuk nominasi Oscar. Tahun yang sudah-sudah, blog ini entrynya paling banyak ya di bulan-bulan awal tersebut. Untuk itulah aku bersyukur bikin segmen Mini-Review.  Karena sekarang ku punya slot khusus untuk film-film itu, sehingga gak perlu kayak kebakaran jenggot lagi ngejar ngulasnya. Jadi, inilah Mini-Review pertama di 2023, yang di antaranya berisi tiga nominasi Best Picture Oscar yang baru saja ketonton!

 

 

 

AFTERSUN Review

Jika dirancang dengan baik, struktur penceritaan dapat mengangkat feeling yang terkandung di dalam narasi menjadi berkali-kali lipat lebih emosional. Aftersun, debut sutradara Charlotte Wells ini contohnya. Kisah seorang perempuan yang mengenang masa-masa liburan bersama sang ayah saat ia masih kecil, tidak diceritakan Charlotte dengan sedatar pakai flashback. Charlotte benar-benar paham dengan apa yang sedang ia sampaikan, dia punya visi yang kuat, sehingga tindak mengenang-masa tertentu itulah yang ia wujudkan lewat struktur dan gaya bercerita.

Nature dari kenangan yang episodik, dan much more dreamy dari reality itulah yang benar-benar divisualkan oleh film. Dijadikan hook emosional juga tatkala kenangan yang diambil itu dibentrokkan dengan apa yang terjadi di masa sekarang. Di sinilah ketika film sekali lagi berhasil menjelma dengan luar biasa emosional. Sophie yang berumur 11 tahun lagi liburan di Turki bareng ayah, mereka ke pantai, main game, kenalan sama orang baru, berenang – semua yang manis-manis itu ditangkap oleh film lewat estetik, kamera, warna, bahkan suara yang kontras dengan sesuatu yang membayangi. Melalui interaksi mereka, keingintahuan kita tentang ini sebenarnya cerita tentang apa menemukan pegangan pada sesuatu yang lebih naas. Bahwa ini anak yang sedang menelisik ulang, sedang berusaha mengenali lebih dekat siapa sosok ayahnya, lewat kenangan yang bisa jadi satu-satunya yang ia punya tentang sang ayah.  Keputusan film untuk tidak ‘meneriakkan’ yang merundung Sophie saat dewasa, lantas menghantarkan kita pada apa yang menurutku membagi dua penonton film ini. Tidak puas karena tidak ada finality yang jelas. Atau tercenung merasakan aftertaste getir yang luar biasa kuat.

Namun di luar itu semua, aku yakin penonton bakal satu suara soal betapa hangat dan manis (tapi tragisnya) hubungan ayah dan anak itu tergambar. Chemistry antara Paul Mescal dan Frankie Corio tak pelak jadi pesona utama yang bikin kita semua peduli dan menyimak sampai habis.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for AFTERSUN

.

 

 

ALL QUIET ON THE WESTERN FRONT Review

Semua film perang basically adalah propaganda anti-perang. Mereka menyampaikan itu dalam berbagai cara, ada yang menelisik propaganda untuk terjun perang itu sendiri, ada yang langsung mengajak penonton mengalami langsung suasana perang, ada yang mengeksplorasi dampak setelah perang, dan lain-lain. Intinya film-film itu akan menunjukkan betapa perang adalah sebuah horor kemanusiaan. Edward Berger dalam film perang adaptasi-novel ini, semacam menggunakan semua cara tersebut. All Quiet on the Western Front sungguh bakal jor-joran  membuat kita melihat horornya perang, dan membiarkan kita terhenyak dalam keheningan di ending, saat semua dar-der-dor dan dag-dig-dug dan asap tembakan itu hilang dari layar.

Momen yang buatku paling nohok adalah saat film actually memperlihatkan gimana para anak muda yang bersemangat jadi tentara itu sebenarnya gak tahu apa-apa, gak nyadar bahwa medan perang ternyata begitu mengerikan. Kontras antara yang mereka rasakan sebelum berangkat, dengan saat sudah berlarian diberondong peluru itulah yang buatku terasa baru di film ini. Sebagian besar dari karakter film ini ketakutan setengah mati! Kemudian emosi itu semakin menjadi-jadi tatkala kita melihat mereka sebenarnya tahu bahwa pihak lawan juga sama takut, sama tak berdaya, dan mungkin sama menyesalnya, tapi mereka tetap harus saling bunuh. Itulah yang buatku paling spesial dari film ini.

Sehingga bagian-bagian yang over-the-top kayak potongan tubuh di atas pohon, mayat-mayat dan sebagainya, teriakan dan desain musik yang agak trying too hard biar seram, terasa tidak lagi benar-benar diperlukan. Film ini sudah berhasil di momen-momen kecil yang menguarkan perasaan para pemuda di medan perang. Gimana mereka menikmati makan angsa colongan, untuk kemudian dikontraskan dengan kejadian di medan perang. Untuk film yang punya kata Quiet pada judul, narasinya sendiri agak terlalu banyak nge-generate noise yang menurutku bisa lebih diefektifkan lagi. But still, film ini tepat menembak sasarannya. Perang itu mengerikan!

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ALL QUIET ON WESTERN FRONT

 

 

 

BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER Review

Kepergian Chadwick Boseman certainly ninggalin lubang menganga di hati para penggemar dan kolega-koleganya, dan ini juga tercermin pada franchise superhero yang ia tinggalkan. Lubang menganga dari kepergian karakter T’Challa sebagai protagonis di Black Panther terasa begitu susah untuk ditutup, membuat sekuel yang digarap oleh Ryan Coogler secara naratif terasa berantakan. Rewrite yang mereka lakukan buat karakter-karakter yang ditinggalkan terasa banget membekas, jadi rajutan kasar pada overall sajian filmnya.

Wakanda Forever bekerja terbaik ketika mendalami soal kematian T’Challa. Gimana dampaknya bagi Ramonda yang jadi naik tahta lagi. Bagi Shuri yang merasakan grief sekaligus menyalahkan diri sendiri atas kematian sang abang. Dan pada rakyat Wakanda lainnya. Aku pikir harusnya film menahan diri dan berkutat dulu pada masalah ini. Bikin Wakanda Forever sebagai complete tribute, bagi sang karakter, sekaligus aktornya. Tapi mungkin karena agak segan cashin’ in cerita dari real tragedi, atau mungkin karena film ini bagaimana pun juga adalah roda-gigi dari proyek yang gak bisa segampang itu diubah rancangannya, maka Wakanda juga langsung mentackle sekuel sebagai aksi superhero. Hasilnya mungkin kedua kepentingan itu masih bisa terikat, tapi menghasilkan bentukan yang weird dan terutama agak maksa bagi karakter pengganti superhero utama, si Shuri.

Durasi lebih dari dua jam setengah nyatanya gak cukup untuk bikin naskah superpadet ini rapi. Kita masih akan sering berpindah dari Shuri, ke karakter lain, membuat development Shuri jadi tidak terasa benar-benar earned. Ada aspek dari dirinya yang jadi kayak dilupakan, makanya relasi Shuri dengan Namor tidak pernah benar-benar terasa genuine. Namor pun terasa kayak penjahat random yang aksinya gak benar-benar fit in ke dalam narasi keseluruhan, rencananya terlihat aneh. There’s so much going on. Makanya aku lebih suka Quantumania yang lebih contained dan terarah.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER

 

 

 

ELVIS Review

Yang unik dari biografi karya Baz Luhrman ini – selain karakter titularnya yang punya aksi nyentrik di panggung – adalah perspektif cerita. Kita tidak melihat cerita ini dari si Elvis himself, melainkan dari seorang Colonel Tom Parker. Manager sang Raja Rock ‘n Roll. Dan meskipun itu jadi modal film ini untuk bisa langsung netapin motivasi karakter itu sebagai penggerak cerita, dalam perkembangannya perspektif itu tidak pernah benar-benar jadi utama melainkan hanya terasa jadi excuse supaya cerita bisa ‘melayang’ dari satu titik di kehidupan dan karir Elvis ke titik lainnya, tanpa benar-benar mendalami kehidupan itu sendiri.

Padahal Austin Butler sudah benar-benar ‘serius’ menjelma jadi Elvis. Gaya bicara, mannerism, bahkan dandanannya terlihat lebih natural dan inviting ketimbang riasan over yang malah seringkali nutupin kecemerlangan akting Tom Hanks. Tapi film lebih memilih untuk merayakan teknis yang artifisial. Permainan montase dan editing terasa terlalu banyak, dan at times lebih glamor daripada gimana subjek (atau di sini jadi objek?) diperlihatkan oleh ceritanya sendiri. Permasalahan di karir seperti di-cancel TV karena aksi panggung yang seloroh, pandangan rasis waktu periode itu, dan lain sebagainya, tidak terasa benar-benar punya penyelesaian yang saklek. Hubungan naik-turun antara Elvis dan Colonel pun – karena ini supposedly cerita dari Colonel – tidak begitu memuaskan meskipun kita sudah berhasil tersedot untuk peduli.

Tapi di balik confused-nya diriku terhadap penceritaan dan fokus film ini, toh tak bisa dipungkiri juga film ini jadi punya energi luar biasa nyetrum. Dan mungkin inilah tujuannya. Membuat suatu presentasi yang seperti punya ruh Elvis itu sendiri. Sehingga ketika penonton menyaksikannya, film ini lebih dari sekadar menuturkan ulang kisah hidup si Bintang. Melainkan live-and-breath his personality.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ELVIS

 




INFINITY POOL Review

Nama Cronenberg memang tidak akan mengkhianati ekspektasi kita, karena Infinity Pool karya Brandon Cronenberg mungkin memang enggak se-jijik film bokapnya, tapi tetaplah sebuah pengalaman horor yang bikin badan jumpalitan saking aneh dan nekat konsepnya.

Film ini dimulai dengan premis yang sangat menarik. Penulis dan istrinya liburan di resort, mereka kemudian berteman dengan sesama turis, mereka have fun together, lalu uh-oh mobil mereka gak sengaja menabrak orang lokal hingga tewas. Si penulis, yang nyetir, dihukum mati oleh polisi setempat. Nah, hukuman matinya itulah tempat kegilaan konsep Brandon berada.  Ada sesuatu soal kelas sosial yang ingin dibicarakan di sini. Daerah turis yang melihat wisatawan sebagai kantong duit, dan turis yang merasa punya duit berarti bebas melakukan apapun; interaksi itulah yang membentuk konsep aneh cerita film ini.

Jadi aku menunggu. Nunggin buah apa yang bakal kita petik dari Penulis dan teman-teman kayanya sengaja berbuat onar karena mereka punya duit untuk membayar program clone.  Jadi yang dihukum mati adalah clone mereka, sementara mereka sendiri bebas ngelakuin apa saja termasuk kriminal. Tapi ternyata loop yang dimaksud pada judul, memang hanya repetisi. Dengan cepat keseruan tindak mereka jadi datar ketika tidak ada ujung, tidak ada konsekuensi nyata. Film kayak pengen bahas drama dari eksistensi, like, siapa tau si Penulis yang asli justru sudah mati – ketuker ama kloningan. Tapi enggak. Pengen bahas konflik antara Penulis dengan istrinya, juga enggak pernah benar-benar ke arah sana. Pada akhirnya yang kunikmati bahkan bukan gore-nya, namun kegilaan Mia Goth sebagai Gabi yang ternyata jauh lebih sinister dari kelihatannya. Calon adegan favorit tuh, Mia Goth teriak-teriak di babak ketiga hihihi

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for INFINITY POOL

 

 

 

NOKTAH MERAH PERKAWINAN Review

Film yang paling banyak direkues nih, untuk diulas. Tapi aku baru bisa menontonnya saat tayang di Netflix. Dan I’m sorry to say, karya Sabrina Rochelle Kalangie ini might be jadi runner up kalo akhir tahun kemaren aku jadi publish daftar Top-8 Film Paling Overrated 2022

Kita udah bahas gimana Aftersun dan Elvis melakukan sesuatu dengan cara berceritanya sehingga film itu jadi terangkat jadi something else. Aftersun menjadi lebih emosional dan genuine, sedangkan Elvis jadi punya perspektif unik sebagai landasan narasi. Noktah Merah juga berusaha membuat nature datar dari cerita rumah tangga yang sus ada perselingkuhan punya spark, dengan sedikit ‘mengacak’ perspektif. Tapi strukturnya itu tidak berbuah apa-apa selain perspektif yang aneh (kalo gak mau dibilang kacau). Film ini narasinya dibuka oleh karakter ‘pelakor’. Seolah dia karakter utama. Dia curhat kepada karakter lain soal dia cinta sama pria yang beristri, tapi yang kita lihat sebagai ‘cerita’ dari dia itu tidak pernah mewakili perspektifnya. Kita melihat drama biasa, yang actually di luar perspektif sang karakter. Cerita ini lebih cocok kalo membuat sang istri jadi karakter utama, jika perspektif istri yang jadi utama. Karena semua masalah itu sepertinya ada di kepala karakter ini. Walaupun nanti si pelakor dan istri bertemu, tapi perspektif para karakter ini gak pernah melingkar, karena cerita resolve (tau-tau) dari persoalan anak. Naskah film ini jadi benar-benar choppy setelah usaha untuk membuat penceritaannya bergaya.

Momen emosional film pun hanya bersandar pada dialog-dialog banal istri dan suami yang saling meledak. Sementara untuk momen-momen yang ‘diam’, yang diserahkan kepada kita untuk merasakan masalah atau emosi, film ini gak benar-benar punya. Karena dengan perspektif yang gak kuat, momen-momen tuduhan istri atau momen yang bisa jadi-masalah, ya hanya terlihat seperti kekeraskepalaan sang istri, atau suami yang ‘melarikan diri’. Momen-momen yang mestinya genuine feeling itu jadi hanya annoying.

The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for NOKTAH MERAH PERKAWINAN

 

 

 

THE WHALE Review

The Whale is beautiful. Sedih, sih, memang. Tapi beautiful, Aku jeles. See, aku orangnya masa bodo dan sering dikatain hidup di dunia sendiri, jadi iri adalah satu rasa yang paling gak relate buatku, tapi ya, aku berhasil dibuat Darren Aronofsky merasa iri kepada Charlie, pria yang really let himself go sampai membahayakan dirinya sendiri.

Aku iri karena Charlie masih bisa begitu optimis kepada orang lain, meskipun dirinya telah menyerah kepada dirinya sendiri. Loh? Iya, di situlah kompleksnya cerita film ini. Aku ingin seperti Charlie yang percaya bahwa masih ada cinta dan kepedulian pada semua orang, bahwa people incapable of not caring. Mereka cuma harus jujur kepada diri sendiri. Dan kepercayaan Charlie tersebut benar. Man, aku hampir nangis di ending. The Whale bukanlah cerita tentang orang yang gendut kemudian meratapi nasibnya. Justru sebaliknya, film ini adalah tentang orang yang sudah tahu dirinya tak tertolong, tapi dia percaya cinta itu ada, dan mencoba menolong orang-orang terdekatnya untuk menemukan hati mereka. Makanya karakter Charlie ini begitu kontras. Di kala sendiri kita melihat his destructive behavior terhadap diri sendiri, makan segitu banyak sampai jantungnya berontak. Gak mau ke dokter karena dia nyimpan duit untuk putrinya. Yang grew up membenci dirinya. Ada begitu banyak adegan yang hard to watch, hingga ke perilaku putri Charlie (Sadie Sink sukses jadi anak paling nyakitin sedunia akhirat) Tapi film bersikukuh untuk kita melihat Charlie tanpa belas kasihan, melihat Charlie menyerap itu semua sebagai hukuman diri, dan menumpahkan cintanya di balik itu semua. Tanpa harap kembali. Itulah bentuk dia dealing with grief dan rasa bersalahnya.

Drama di satu tempat tertutup, with nothing but dialog dan raw emotions. Ini adalah cerita seorang pria yang nothing to lose, melainkan punya banyak untuk dibagi kepada dunia yang bahkan terlalu jijik untuk memandangnya. Brendan Fraser juara banget di sini, kalo bukan karena persona dan pemahamannya terhadap Charlie, karakter dan film ini gak bakalan worked seindah – dan semenyedihkan – ini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for THE WHALE

 

 

 

WOMEN TALKING Review

Sebagai nominasi Best Picture Oscar, Women Talking karya Sarah Polley memang benar bicara tentang hal yang relevan, dengan cara yang menggugah pikiran dan hati kita sekaligus. Mengenai perjuangan perempuan, yang masih saja terus seperti berada di posisi jahiliyah di mata kuasa lelaki. Untuk itu saja, film ini mampu bikin kita tetap melek, pasang telinga, menyimak apa yang mereka permasalahkan. Untuk ikut mencari apa yang sebaiknya dilakukan. Untuk ikut peduli sama masalah ini, lebih dari soal feminis tapi jadi soal kemanusiaan pada dasarnya.

Perempuan-perempuan dalam film ini berembuk setelah sekali lagi, salah satu dari mereka terbangun dalam keadaan sudah tak-perawan. Dibius pake obat bius sapi. Diperkosa oleh laki-laki, sekampung sendiri. Para perempuan itu mendiskusikan apakah mereka akan tetap tinggal di koloni, dan berontak melawan. Atau pergi dari sana. Sebagian besar durasi film yang warna dan settingnya juga dibikin kayak kisah jadul ini membahas tentang debat para perempuan, mikirin pro dan con dari dua pilihan tersebut. Dan demi Tuhan – oh aku bakal dirujak ngatain ini – film ini jadi boring karenanya. Debat mereka repetitif, dan terasa seperti percakapan yang mengawang-awang ketimbang solving problem.

If anything, aku teringat dan jadi membandingkan ini sama 12 Angry Men (1957). Yang kayaknya kukasih 8 atau bahkan 9 kalo mau direview. Percakapan pada film itu terasa benar-benar lock dan punya weight dan pada gilirannya emosional untuk disimak, karena ironisnya punya dasar logika yang kuat. Orang bilang cowok naturally lebih pakai logika ketimbang perasaan, but no, justru masalah di cerita itu muncul ketika para juri pria itu mendakwa tersangka dengan perasaan. Prasangka. Dengan judgmental. Mereka, para cowok, juga harus belajar melihat dengan logika. Dan di situlah letak mengawang-awangnya Women Talking. Argumen-argumen mereka terasa seperti perbincangan logis yang diputar-putar oleh perasaan. Sehingga masalah itu enggak selesai-selesai. Mungkin memang itu tujuannya. Memperlihatkan bahwa bagi wanita, semuanya susah, apa-apa pasti dijudge, bahkan di antara mereka sendiri. Di sini protagonisnya karakter optimis juga kayak Charlie di The Whale, dia dihamili tapi masih percaya pada potensi dia akan memaafkan sang pelaku, siapapun itu. Sehingga keputusan yang mereka ambil dari sikap-sikap kayak gini jadi terasa emosional dan penting.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for WOMEN TALKING

 

 




That’s all we have for now

Dengan ini semua film nominasi Best Picture Oscar sudah kureview, silakan follow akun twitterku di @aryaapepe karena biasanya menjelang Oscar aku suka bikin prediksi di sana hehehe

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



GITA CINTA DARI SMA Review

 

“True love doesn’t have a happy ending, because true love never ends.”

 

 

Waktu telah membuktikan kisah cinta Galih dan Ratna, pasangan dalam cerita karangan bapak Eddy D. Iskandar tahun 70an,  benar-benar adalah sebuah kisah cinta yang legendaris di Indonesia. Kisah mereka menginspirasi begitu banyak cerita cinta remaja yang muncul sesudahnya. Jika kita nemuin cerita yang cowoknya pendiam, atau puitis, atau kisah cinta yang terhalang status sosial, besar kemungkinan jika ditelusuri, cerita tersebut dapat pengaruh dari kisah Galih dan Ratna. Bahkan Ada Apa dengan Cinta? katanya juga terinspirasi – film itu berakhir dengan perpisahan di bandara, seperti Galih dan Ratna yang berpisah di kereta api. Sendirinya, Galih dan Ratna dalam Gita Cinta dari SMA telah difilmkan dalam dua periode waktu berbeda. Film originalnya tahun 79, juga lantas sukses mengorbitkan Rano Karno dan Yessy Gusman. Sementara adaptasi versi modernnya di tahun 2017, gak kalah berhasil bikin musik jadi trend romantis pada generasi muda. Kali ini, Gita Cinta dari SMA kembali diadaptasi, dihadirkan oleh Monty Tiwa dengan emphasis ke tahun 80an. Mengembalikan Galih dan Ratna ke dunia mereka yang colorful, penuh musik, dan puitis, dan membawa serta para penonton untuk nostalgia ke jaman SMA. Ah ya, cinta dan nostalgia memang pasangan serasi. Seperti Galih dan Ratna!

Cowok yang bersepeda ke sekolah dari rumahnya di pasar buku bekas. Cewek yang ke sekolah diantar ayahnya pake mobil sedan. Dari situlah kisah kali ini dimulai.  Cewek itu, Ratna, anak baru.  Tapi begitu dia sampai di sekolah, digodain sama cowok-cowok yang gak bisa lihat ‘barang’ baru – bening, pula!Ratna malah notice cowok bersepeda tadi. Cowok yang tampak cuek tapi dikagumi orang. Galih.  Ya, seketika Ratna jadi suka sama Galih, dan cewek itu gak begitu malu-malu untuk menunjukkan ketertarikannya. Tinggal Galih yang sok play it cool sendiri. Interaksi ‘iya-enggak’ mereka di awal-awal itu sudah barang tentu bakal bikin penonton sekalian jerit-jerit gemas di tempat duduk masing-masing. Dan setelah puas ‘mainin’ perasaan kita seperti demikian, film memang lantas membuat Galih dan Ratna jadian. Tapi semua kemanisan romansa itu ternyata tidak seabadi janjinya. Karena di antara Galih dan Ratna berdiri Ayah Ratna. Sosok pemberang yang seratus persen menolak hubungan mereka. Sosok, yang terus mengingatkan Galih akan jurang status sosial yang memisahkan dirinya dengan Ratna.

Gak heran banyak penonton yang nantangin Dwi Sasono berantem begitu keluar dari bioskop hihihi

 

Walau endingnya nyelekit, tapi Gita Cinta dari SMA secara overall terasa punya after-taste yang menyenangkan. Sepertinya karena dunianya. Bahasa bakunya. Musiknya. Warnanya. Nuansa 80an memang punya peran besar bagi kita untuk dapat lebih menikmati cerita ini. Bahkan ketika kita bukan yang pernah ngerasain hidup di masa itu. Kayak aku. Nuansa artifisial yang dikeluarkan dengan kuat oleh film ini menjadi semacam lullaby, nina-bobo, bagiku. Dengan gampang membujukku untuk mematikan alarm ‘wah, ini mah standar teen love story antara dua karakter cakep tanpa alasan lebih jauh kenapa mereka harus jadi pasangan’ dan just nikmatin simpelnya dunia like it used to be.  Kupikir, itulah pesona terkuat yang dimiliki oleh Gita Cinta dari SMA.  Dunia yang sederhana nan puitis sebagai panggung dari permasalahan cinta anak muda yang tentu saja masih relevan hingga sekarang. Sehingga keluarnya jadi menyenangkan. Momen-momen kecil seperti ge-er karena dapat puisi berjudul sama dengan inisial nama, dilarang pacaran atau main ke luar rumah oleh ortu, rekam kaset untuk dikasih ke gebetan jadi terangkat lebih manis karena sekarang ada layer nostalgia di baliknya.

Ketika pesona dunia dan karakternya telah terestablish, film lantas mulai memperkuat konflik. Kalo ada satu kata untuk menggambarkan apa yang mencuat dari Gita Cinta dari SMA versi Monty Tiwa, maka itu adalah dramatis. For better and worse, karena memang dramatis di sini ada yang membuat film ini jadi bagusan, dan tak sedikit juga yang membuatnya terasa… over-the-top. Dan seperti guru di sekolah dulu biasanya suka memuji dahulu sebelum menasehati (“cerita karangan kamu sudah bagus, tapi alangkah baiknya kalo tulisannya jangan kayak cakar ayam!”), baiknya kita ngomongin dramatis yang bagus-bagus dulu dari film ini. Dari penulisan cerita, film ini banyak ngasih hal baru yang berujung pada dramatisasi yang diperlukan supaya film lebih menggigit. Pertama adalah pemisah antara Galih dan Ratna. Dibandingkan dengan film jadulnya, film ini lebih tegas dan keras nyebut bahwa ini adalah soal Galih yang anak jelata gak bakal pernah good enough bagi ayah Ratna yang orang kaya dan ningrat Yogyakarta, Klasik si kaya dan si miskin. Konflik ini membuka ruang bagi film untuk semakin melibatkan keluarga dari dua karakter sentral. Sementara juga tentu saja membuild up karakter Galih, yang harusnya karismatik tapi semakin terasa minderan sepanjang durasi berjalan. Karena halangan tersebut really gets to him, melukainya, sebagai seorang manusia laki-laki. Untuk menyeimbangkan perspektif, film mengembangkan konflik ini kepada Ratna sebagai persoalan tentang perempuan dan kebebasan untuk memilih. Ratna menyamakan posisinya dengan Roro Mendut, dari novel yang ia baca. Perempuan yang tidak bisa bersama lelaki yang ia pilih. Dan dari perspektif itu muncul hal terbaik kedua yang dipunya oleh film. Mbak Ayu yang diperankan oleh Putri Ayudya.

Mengutip obrolan dengan Putri Ayudya saat interview “Setiap keluarga pasti punya satu orang, tante atau om, yang mendukung kita” Memang begitulah Mbak Ayu. Dia mendukung Ratna untuk pacaran sama Galih. Dia bahkan membantu Ratna ngeles dari ayah dengan ide-ide seru. Actually peran Mbak Ayu di versi ini memang dibuat lebih besar, apalagi sekarang kita diperlihatkan lebih dalam backstory dari karakter ini. Bagaimana dia juga ngalamin ‘nasib’ serupa Ratna.  She goes way back dengan ayah Ratna yang merupakan saudaranya, Permasalahan perempuan mandiri atas pilihannya jadi semakin kuat, dan relationship Ratna dan Mbak Ayu jadi salah satu hati pada film ini. Mbak Ayu actually membuat film ini berisi. Jika tidak ada dia, film ini bakal kosong. Ya, karena somehow, film tidak lagi full di kehidupan sekolah Galih Ratna (meski teman-teman mereka kayak Erlin, Anton, Mimi tetap ada), sehingga di sini Galih dan Ratna not really do anything selain bereaksi saat hubungan mereka dilarang. Mereka – khususnya Ratna – bahkan tidak diperlihatkan banyak mengalami pembelajaran. Dan masalah tersebut menurutku berakar pada directing yang kurang kuat. Directing yang hanya mengincar dramatisasi.

Oh, Galih. Oh, Arla… eh salah. Oh, Ratna, cintamu abadiiiii~

 

Aku notice directingnya agak kurang total itu dari nuansa yang terasa lebih seperti artifisial ketimbang genuine. Walau memang, perasaan menyenangkannya nyampe karena nostalgia dan karakter. Elemen-elemennya buatku, yang terasa setengah-setengah. Kayak, musical numbers. Film ini banyak menggunakan lagu, bukan hanya sebagai latar tapi juga penggerak cerita. Bahkan juga ada tarian. Tapi ya, pengadeganannya terasa… gitu aja. Hanya pasang kamera, drone, nari-nari di jalan. Dengan musik dan lagu sebanyak itu, aku heran kenapa tidak sekalian aja dibikin musikal. Kenyataannya film ini sama kayak film jadul, tapi dengan adegan nyanyi yang teatrikal, tapi gak jor-joran. Terus soal Yesaya Abraham sebagai Galih. Aku paham bahwa aktor gak harus bisa nyanyi beneran untuk mainin karakter yang bernyanyi. Tapi kupikir keputusan film ini  tidak membentuk dulu paling enggak Yesaya beneran genjreng-genjreng dikit dengan gitar, adalah keputusan yang bisa jadi momok buat mereka ke depan. Karena gimana pun juga kedengarannya aneh saat semua adegan nyanyi di film ini terdengar seperti olahan studio. Bahkan adegan Galih latihan dengan gitar sendirian. Film harusnya lebih memperlihatkan perbedaan antara adegan nyanyi di panggung, adegan nyanyi sendirian, dan adegan nyanyi dalam bayangan Ratna – salah satunya dari suara nyanyian itu sendiri.

Beberapa adegan diarahkan supaya amat dramatis, sometimes it works, sometimes feels over. Yang berhasil itu kayak adegan lempar batu di danau, yang bahkan lebih emosional daripada film jadulnya. Ada satu adegan dramatis yang baru, yang emosinya juga dapet banget berkat penampilan akting para pemain. Prilly Latuconsina yang jago ngasih emosi di kalimat-kalimat panjang, Unique Priscilla dengan permainan emosi tertahan, Putri Ayudya dan Dwi Sasono yang luar biasa penekanan dan ekspresinya; mereka membuat adegan tersebut berhasil, meskipun cara ngesyutnya sangat datar, pengadeganannya hanya kayak mereka lagi baris-berbaris. Nunggu giliran buat ngomong. Aku menyebutnya sebagai drama smackdown; karena begitulah drama backstage di acara smekdon direkam. Superstar/talentnya baris berjajar di depan kamera, lalu marah-marah bergantian. Bicara soal posisi pemain, aku juga ngerasa ada sedikit aneh dari gimana mereka menempatkan Yesaya dan Prilly dalam satu adegan. Ratna dan Galih sejajar tu cuma saat mereka duduk di batang pohon, membahas surat putus dan masa depan mereka. Perbedaan tinggi badan keduanya, kupikir digunakan film untuk mempertegas perbedaan sosial yang jadi tema cerita. Tapi aku gak yakin. Karena lucunya, saat adegan Ratna mengusap pipi Galih pakai saputangan, dua-duanya berdiri, dan magically keduanya kayak sama tinggi! Nah ini contoh momen dramatis yang agak over, menurutku. Selain itu ada juga Ratna pake acara pingsan. Ataupun treatment Ratna bawain minyak angin dari pov Galih yang abis kena mental demi ngeliat Ratna dibonceng orang.

Tapi gak ada yang lebih over-the-top dibandingkan endingnya. Pilihan film ini dengan menaikkan kembali konflik di momen akhir (Ayah Ratna kembali muncul bahkan sampai main fisik segala) terasa aneh sekali. Tidak seperti pada film jadul yang memberikan Galih dan Ratna momen personal, menerima kenyataan mereka harus berpisah, dan saling menguatkan diri (di film itu mereka ngobrol sampai subuh!), yang berarti mereka berdua mengalami pembelajaran dan tuntas (meski ‘kalah’), film versi baru ini tidak punya momen-momen itu. Karakter Galih dan Ratna di film kali ini belum terasa tuntas. Mereka masih kayak di akhir babak pertama, yang mendapat tantangan dari ayah yang melarang, sementara pembelajarannya nanti ada di film kedua. Film ini atas keinginannya untuk jadi superdramatis, luput untuk melihat bahwa yang diperlukan bukan adegan ayah ngamuk sekali lagi, melainkan Galih dan Ratna yang harus belajar menerima bahwa mereka tidak bisa bersama. Setidaknya, untuk sekarang. Mungkin, untuk sekarang.

Cinta sejati adalah cinta yang abadi. Kita biarkan orang yang kita cintai pergi, karena hati kita tahu cinta kita kepadanya tak akan berubah. Cinta sejati tidak peduli memiliki atau tidak. Makanya, keadaan Galih dan Ratna ini tepat sekali dengan gambaran cinta sejati pada kutipan terkenal. Bahwa cinta sejati tidak punya happy ending, karena cinta sejati abadi tidak pernah berakhir.

 




Beruntung yang jadi tulang punggung film adalah skenario. Bukan arahan. Karena film ini punya materi dan penambahan konflik atau karakter yang baru, yang efektif dan emosional, tapi tidak dibarengi dengan bentuk yang benar-benar saklek dan terarah. Terutama bergantung kepada nostalgia dan dramatisasi, yang artifisial. Penampilan akting dari para pemain pun jadi sesuatu yang disyukuri di sini, karena mereka membuat semuanya work out nicely. Film ini secara objektif masih belum sempurna, filmnya masih terasa minimal dan agak kosong – melainkan hanya berisi momen dramatis, tapi toh berhasil menyentuh saraf-saraf emosi. I can’t help but jadi peduli sama Galih, Ratna, Mbak Ayu, dan karakter-karakter lainnya. 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GITA CINTA DARI SMA

 




That’s all we have for now.

Jadi menurut kalian kenapa Galih dan Ratna bisa menjadi pasangan yang begitu fenomenal?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



BALADA SI ROY Review

 

“It’s good for young people to be angry about something”

 

 

Tayang berbarengan, Balada si Roy dan Autobiography ternyata memang punya banyak kesamaan. Keduanya adalah film yang cowok banget. Dan selain karena sama-sama ada Arswendy, kedua film ini basically bercerita tentang anak muda yang berusaha membebaskan diri dari rezim atau tatanan lama yang berkembang di masyarakat. Tapi tentu saja keduanya bercerita dan diceritakan dengan begitu berbeda. Balada si Roy membawa persoalannya ke dalam nada yang benar-benar menggebrak. Dengan mengusung semangat novel source materinya, Fajar Nugros meletakkan protagonis mudanya di tengah-tengah tatanan kuasa pada tahun 80an, dan berusaha memantik api inspirasi dari perjuangan kritis sang protagonis. Film ini seolah bilang ke anak muda jaman sekarang supaya jangan cuma taunya paham ‘woke’ dari luar, tapi juga harus benar-benar melek sejarah sendiri di dalam. Melek, dan lawan!

Aku sendirinya sebenarnya gak kenal ama Roy. As in, aku belum pernah baca novelnya dan gak juga nontonin versi sinetronnya. Sehingga, referensiku nonton ini paling cuma dari novel-novel atau film remaja yang sepertinya sejenis, kayak Dilan, dan yang paling dekat sepertinya Lupus. Dan aku memang benar-benar melihat kesamaan antara Roy dan Lupus. Mungkin karena ‘lahir’ di waktu yang berdekatan. Lupus nongol pertama kali tahun 86, dan Roy tahun 88. Lahir saat tren yang serupa, yang juga sangat berbeda dengan tren cerita remaja jaman sekarang. Perbedaan inilah yang bikin cerita Roy – dan tentu saja film Balada si Roy ini, terasa fresh.  Seperti Lupus, Roy enggak exactly tentang remaja pacaran. Mereka memang dikasih love interest, tapi keseluruhan ceritanya lebih fokus kepada kehidupan anak muda itu sendiri. Kepada si titular karakter. Kehidupannya. Seluk beluk sikapnya. Pandangannya.  Lupus sudah punya pacar bernama Poppy, tapi masih tetep suka godain cewek-cewek lain. Begitupun si Roy. Hatinya tertambat kepada Ani, tapi cerita akan memperlihatkan Roy juga menjalin pertemanan dekat dengan beberapa karakter cewek lain. Ya, begitulah anak muda. Masih bebas, ogah terikat. Bolos sekolah, berbuat nakal, berantem, protes kepada aturan adalah pemandangan biasa pada potret anak muda seperti mereka. Anak muda yang masih mencari jati diri itulah yang jadi gambaran pokok pada cerita 80an. Pada Balada si Roy ini. Bedanya dengan Lupus, Balada si Roy tidak menggambarkan itu dalam nada komedi. Bahkan bisa dibilang, Roy adalah versi dark dari Lupus.

Kalo lebih pedas lagi, mungkin judulnya udah ganti jadi “Balado si Roy”

 

Di hari pertamanya di sekolah baru, Roy udah bersinggungan dengan masalah. Roy yang bersepeda dan nekat membawa anjing kesayangannya, seketika jadi perhatian. Malah, sukses merebut perhatian seniornya yang bernama Ani. Sialnya, si Ani ini udah ada yang suka. Dullah, anak yang punya kota Serang. Sikap si Dullah yang sok kuasa sebelas dua belas dengan gimana sang ayah memimpin di kota. Tentu saja, Roy yang kritis dan keras – teman-teman menyebutnya ‘Kepala Batu’ – gak tinggal diam. Roy gak segan-segan untuk menantang Dullah dan menuliskan buah pikirannya tentang kota mereka di koran. Perlawanan Roy berhasil mempengaruhi anak-anak lain yang selama ini ditindas. Tapi peliknya, Roy tidak begitu saja dianggap pahlawan. Dia malah dicap sebagai biang onar. Dengan ‘musuh’ kuat, teman yang semakin lama semakin berkurang, dan nilai rapor yang kian menurun, hari-hari si Roy menjadi semakin berat. Film Balada si Roy menggambarkan naik turunnya kehidupan Roy.

Anak-anak muda harusnya kritis seperti Roy. Apalagi dengan api dan gejolak meledak-ledak yang dimiliki saat usia dan pikiran remaja, wuih gak heran anak-anak muda disebut sebagai agen perubahan.  Masalahnya ya cuma satu, penyaluran yang tidak tepat. Bahkan, Roy, masih sering menemukan dirinya menyalurkan emosi dengan cara yang kurang pada tempatnya. Karakter Roy memang bukan poster yang sempurna, tapi itulah yang membuat dia dapat jadi inspirasi yang nyata. His strength, keberaniannya, kemauannya belajar (termasuk belajar sejarah), sikap setia kawannya, bisa jadi panutan sembari kita belajar dari kesalahan-kesalahan yang ia buat.

 

Honestly, awal-awal, kalo di bioskop boleh loncat-loncat, aku udah jungkir balik saking senengnya. Aku merasa mendapat film yang hebat. Film remaja yang benar-benar menggali being a teenager, di lingkungan yang juga benar-benar dibuat hidup. Penuh layer. Sepuluh, tidak, lima-belas menit pertama Balada si Roy terlihat begitu perfect. Sekuen di sekolah, begitu hidup. Foreground, background semuanya gerak! Semua yang di layar beneran seperti punya kehidupan di situ. Desain produksinya juga keren. 80an terpancar dari penampilan para karakter. Daerahnya tercermin dari bahasa dan gaya hidup karakter. Roy sendiri langsung mencuat, bukan saja karena naik sepeda dengan anjing berlarian ngikutin dirinya, tapi ada aura berbeda dari cowok tinggi, berambut panjang, berjaket jeans ini. Di menit-menit awal ini, film melandaskan dunianya dengan efektif. Karakter-karakternya terasa menarik. Bahkan si Dullah, digambarkan berbeda dari anak-jahat lainnya. Dia diperlihatkan grogi juga ke cewek. Dia diperlihatkan vulnerable secara emosi (Bio One paling bagus jadi Dullah pas di momen-momen vulnerable yang berusaha ia sembunyikan tersebut). Hook emosional buat Roy, yang ‘dihadiahkan’ oleh Dullah juga intens abis! Kurasa gak harus jadi penyayang binatang, untuk kita merasakan luka si Roy. Semuanya seperti dibangun untuk transformasi  dramatis dari Roy yang di awal memang kelihatan agak terlalu ‘baik’. But then, it’s all downhill from there. Aku duduk di sana, terus berharap film merapikan dirinya, dan bercerita dengan keren lagi. Tapi itu tidak pernah terjadi.

Kayaknya bukan pada arahannya. Fajar Nugros benar-benar menyulap dunia dan para karakter itu menjadi hidup. Sama kayak yang dia lakukan pada grup Srimulat di Srimulat: Hil yang Mustahal Babak Pertama (2022). Abidzar Al Ghifari aja sukses didirectnya jadi karakter ‘bandel’. Yang Nugros lakukan pada Abidzar sebagai Roy di sini mirip kayak yang sukses ia lakukan pada Naysila Mirdad di Inang (2022); bermain-main dengan pengetahuan meta kita terhadap aktornya. Yang punya image anak baek-baek, diambil, dan direshape di sini menjadi karakter yang jauh berbeda dari image meta tersebut. Pengadeganannya pun, seperti yang sudah kucontohkan pada adegan awal di sekolah, digarap dengan benar-benar fluid. Tidak ada adegan yang pemainnya kayak baris-berbaris nunggu giliran dialog. Dimensi dan ruang adegan terus dimainkan. Adegan action, kayak berantem ataupun kebut-kebutan, dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga adegannya tetap grounded. Gak over-stylized. Kamera memastikan kita melihat apa yang dirasakan karakter. Tantangan  bikin dunia 80an, tidak membatasi kelincahan Nugros untuk mempersembahkan cerita. Di sekolah, di pasar, di jalan; seperti Roy itu sendiri, film ini going so many places. Satu-satunya yang bikin aku kadang lupa bahwa ini cerita di tahun 80an adalah, kinclongnya gambar. Walau dandanan dan propertinya dipastikan 80an semua, tapi warna pada layar itu masih terkesan modern. Untuk soal bahasa, aku gak tahu juga 80an di Serang bahasa pergaulan daerahnya gimana, jadi ya selama terdengar kayak percakapan natural, buatku tak masalah.

Nice touch, main catur tapi satu bidaknya ilang dan diganti ama gulungan benang!

 

Tadinya aku mau bilang kalo film ini oke di penyutradaan namun lemah di penulisan. Tapi setelah melihat nama penulisnya, aku jadi bingung. Penulisnya ternyata Salman Aristo. Menulis banyak skenario keren sebelumnya. Adaptasi novel bukan barang baru baginya. Waktu aku belajar teori nulis skenario, modul-modul belajarku banyak yang fotokopian dari kelas asuhannya. I was like, apa yang terjadi sama film ini? Kok bisa jadi begitu saat ditonton? ‘

‘Begitu’ yang kumaksud adalah film ini ceritanya gak ngalir kayak bentuk skenario film. Ceritanya masih kayak bentuk chapter-chapter pada novel. Atau mungkin malah kayak cerita-cerita pendek digabungin jadi satu. You know, kayak episode. Roy dengan anjingnya. Roy tarung adat dengan Dullah. Roy kena santet (beneran, film ini bakal ada momen horor juga!), Roy dan usahanya ngapel Ani (harus ngalahin bokap Ani main catur dulu). Setiap episode punya konflik, penyelesaian, dan bahkan karakter pendukung spesial tersendiri. Selain dengan ibunya, Ani, dan teman-teman di sekolah, Roy juga berinteraksi dengan karakter-karakter lain nanti. Sepanjang nonton ini aku berasa jadi kayak meme Leonardo DiCaprio yang lagi nunjuk itu, karena bakal banyak sekali aktor-aktor yang ‘tau-tau’ muncul. Jadi sosok yang bakal ngajarin Roy sesuatu tentang hidup. Tapi semuanya tidak mengalir kayak struktur film, yang konfliknya ada di sekuen berapa dan penyelesaian nanti di sekuen berapa. Nonton film ini capek, kerasa panjang banget, karena formula yang sama terus diulang. Berkali-kali. Kita akan melihat Roy baik, terjemurus, berhasil, dan baik lagi, berulang kali. Tentu, semua itu ada garis besarnya; soal si Roy yang ingin mengubah tatanan sosial kota karena gak nyaman dan pengen menemukan rumah, jadi overarching plot. Bahasan satu orang versus satu kota itu memang keren. Juga bagus film memuat banyak. Tapi dengan struktur yang masih kayak novel ini, film terasa sepertl melompat-lompat di sekitar gagasan besarnya alih-alih berjalan mantap sebagai satu kesatuan. Development karakter Roy jadi gak terasa, karena setiap kali dia sudah berubah, dia kembali melakukan hal yang sama pada kesempatan berikutnya. Kita tidak tahu journey ini kapan mulai dan berakhirnya. Tau-tau Roy jadi anak motor, aja. Tapi lantas film berakhir dengan dia mengembara, tanpa kendaraan.

Cocoknya, cerita kayak gini memang dibikin sebagai slice of life. Yang fokus kepada karakter Roy. Pemikirannya. Pandangannya. Dia mengarungi hidup sehari-hari digambarkan dengan jelas dan runut. Interaksi dia dengan karakter lain, bertemunya dibuat lebih natural. Enggak seperti tau-tau ketemu, dan berfungsi hanya di satu ‘episode’ saja. Ada bagian ketika tau-tau ada cewek yang juga anak baru, Roy kenalan. Mereka jadi temen akrab, namun begitu ‘episode’ ini selesai, si anak baru pindah lagi dan gak muncul lagi hingga cerita beres. Mestinya kemunculan dan exit karakter ini bisa dipercantik lagi, dibuat lebih natural. Toh ketika sudah jadi film, naskah tidak harus sama persis dengan yang digariskan pada novel. Tergantung adaptasi kreatif mengolah novel menjadi sesuai bentuk naskah. Roy sebenarnya bisa menjadi slice of life, yang benar-benar menyentuh. Seperti pada menggarap bagian cinta, film paham untuk membuatnya tentang personal sebagai remaja itu sendiri. Harusnya ini dipertahankan supaya jadi slice of life. Tapi film jadi ambisius, sehingga fokusnya malah jadi kayak kompetisi antarlaki-laki. Bertarung. Main catur. Hingga balap motor. Aku gak yakin setelah kredit bergulir, penonton akan melihat  (dan mengingat) Roy sebagai sosok, sebagai pikiran dan perjuangannya, bukan sebagai aksi jagoan yang ia lakukan.

 




Sudah senyaris itu kita dapat film remaja yang berbobot, dengan penceritaan yang gak FTV alias receh menye-menye. Karena Roy memang berbeda dari tokoh cerita remaja kekinian. Roy mengajarkan pemikiran dan karakter yang tangguh, berani. Kisah Roy seharusnya menginspirasi untuk itu. Secara arahan karakter, dan produksinya sebenarnya sudah unik dan segar. Menit-menit awalnya aku suka banget. Semuanya seperti mengarah kepada development karakter dan alur yang tegas. Tapi ternyata enggak. Film ini malah merosot. Problem film ini adalah bentuk yang masih terlalu ‘novel’. Cerita yang tidak mengalir. Dan malah cenderung memfokuskan kepada adegan-adegan aksi/kompetisi, dan hal-hal ajaib lain yang tau-tau ada di cerita. Penonton akan bingung film ini sesungguhnya mau apa. Apalagi tidak ada romance yang biasanya mereka suka pegang. Aku kurang suka ama remake. Tapi kalo ada film yang aku ingin ada remakenya, maka film ini mecahin rekor karena baru saja tayang tapi aku berharap film ini diremake lagi (dengan struktur skenario yang gak usah ikut-ikut novelnya). Saking bagus gagasan namun kecewa eksekusinya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BALADA SI ROY

 




That’s all we have for now.

Kira-kira mengapa cerita remaja sekarang sudah tidak lagi atau jarang yang membahas pemikiran karakter – apalagi berbingkai nasionalisme seperti Roy dan remaja 80an?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



PUSS IN BOOTS: THE LAST WISH Review

 

“Because you already have what you wish for”

 

 

Animasi dengan karakter kucing oren pake sepatu boot, tentunya gak ada urusan untuk bicara dalem perihal kematian, kan?  Inilah pasti kartun untuk tontonan anak kecil, kan? Well, film animasi – seperti halnya komik – memang masih sering dipandang sebelah mata. Ya, animasi memang sebagian besar dibuat supaya lebih appeal buat penonton muda. Tapi itu bukan berarti film animasi tidak bisa bercerita dengan bobot yang lebih kompleks. Justru sebaliknya, film animasi bisa banget diolah jadi medium yang efektif untuk memperkenalkan isu yang lebih matang kepada penonton. Film animasi bukan lantas berarti film anak-anak, but when they do, animasi mampu mengangkat kepada isu-isu real yang dianggap ‘angker’ oleh orang tua kepada anak-anak. Sutradara Guillermo del Toro literally bilang bahwa animasi adalah medium, bukan genre khusus (untuk anak-anak) dalam pidato kemenangan film Pinokionya di Golden Globes baru-baru ini. Memang, despite pandangan umum bahwa animasi hanyalah film anak, toh telah banyak animasi hebat yang bercerita dengan matang. Mengangkat isu yang real. Sementara tetap menghibur dalam melakukannya. Puss in Boots terbaru karya Joel Crawford adalah contoh berikutnya, perjuangan terbaru dari animasi untuk membuktikan kekuatan medium ini dalam ranah bercerita.

Aku gak ngikutin franchise Shrek. Ini, in fact, adalah film Puss in Boots pertama yang aku tonton. Dan sukur Alhamdulillah film ini ceritanya berdiri sendiri. ‘Modal’ nonton ini cukup dengan tahu bahwa universe-ceritanya adalah dunia dongeng alias cerita rakyat populer. Jadi, yea, ‘magic’ adalah hal yang bisa kita harapkan di film ini. Si Puss in Boots sendiri kan, sebenarnya dari dongeng klasik Italia. Oleh universe ini, dia adalah kucing jagoan ala Zorro. Dengan sikap sedikit narsis; pede, cerdas, suka pesta, dan tak kenal takut. “Aku tertawa di hadapan Kematian” adalah jargonnya sebelum beraksi menantang bahaya. Saking jumawanya, Puss memang sedikit careless. Selama bertualang ngalahin orang jahat itu, kucing oren ini actually sudah ‘menghabiskan’ delapan nyawanya. Tau dong, kalo konon kucing punya sembilan nyawa? Nah, di sini ceritanya si Puss sudah dalam nyawanya yang terakhir. Kenyataan ini telak menerpa dirinya. Puss kini tidak merasa segagah itu. Dia bener-bener takut saat sesosok serigala datang dan nyaris mengalahkannya. Satu-satunya harapan untuk mengembalikan kegagahannya adalah saat ia menemukan peta ke Falling Star yang mampu mengabulkan semua permintaan. Puss ingin meminta nyawanya dibanyakin lagi. Petualangan Puss in Boots bersama rekan baru dalam mencari permintaan itu pun dimulai. Petualangan yang penuh bahaya dan stake yang tinggi. Karena bukan dirinya saja yang mengincar permintaan tersebut. Plus, si serigala yang ternyata adalah Death himself, terus memburu kemanapun dia pergi.

Seketika aku jadi teringat perjuangan mencari Dragon Ball

 

Selain karena soal rebutan mencari pengabul permintaan, pengaruh anime – animasi Jepang – lain kuat terasa di sini. Salah satunya adalah sekuen berantem dengan raksasa di awal cerita. Aku benar-benar gak nyangka kalo film dari barat ini, punya sekuen aksi yang vibenya mirip banget ama aksi di Attack on Titan! Serius. The way si Puss meloncat-loncat lincah mendekat menuju sasaran yaitu titik lemah raksasa yang menjulang. Perspektif kamera dalam menangkap dimensi kedua karakter ini.  Bahkan settingnya di atap-atap rumah. Persis banget kayak Eren yang mau mengalahkan Titan. Sungguh kejutan menyenangkan buatku. Aku jadi semakin tertarik melihat apa lagi yang bisa dilakukan film ini terkait gaya animasi yang mereka pilih. Visualnya sendiri tampak fluid dan seru karena menggunakan gaya yang sama dengan animasi pada Spider-Verse dan Mitchell vs. The Machines. Gabungan animasi 3D dengan efek dan garis-garis 2D sehingga tampak kayak komik yang bergerak. Kayak video game yang begitu stylish. Animasi tersebut juga terasa selaras dengan quirk yang dikandung oleh karakter dan dunianya sendiri. Ditambah dengan sekuen-sekuen action tadi, Puss in Boots jadi terasa luar biasa enerjik dan ciamik.

Perkara tone cerita dan karakter, film ini memang secara overall dibuat untuk menyasar penonton yang lebih muda. Appeal dari estetik dongeng dan kekonyolan yang bisa dibawanya tetap jadi jualan nomor satu. Tapi film ini juga tidak segan-segan untuk menyelam lebih matang soal bahasan, maupun candaannya. Dinamika antara kekonyolan, fantasi, dan real talk yang dikandung inilah yang bikin Puss in Boots: The Last Wish jadi hiburan paket komplit. Membuatnya jadi hiburan bagi penonton dewasa, maupun penonton yang lebih muda. Film ini gak ragu untuk membahas soal takut akan kematian, soal panik menyadari diri yang semakin menua (something yang clearly gak kepikiran sama anak kecil) karena film ini tahu dia punya medium yang brilian dan cocok banget untuk menceritakan soal itu. Makanya bagi orang yang lebih dewasa, cerita film ini bisa jatohnya mengerikan, sementara anak-anak mungkin hanya melihatnya sebagai kisah Puss bertemu musuh kuat yang berbahaya. And that’s okay. Kenapa? karena film ini bakal jadi experience yang terus berubah buat anak-anak tersebut seiring mereka dewasa. Anak kecil yang sekarang nonton ini, jika menonton kembali saat sudah dewasa maka akan menyadari hal yang sebelumnya gak mereka notice. Like, bukankah rasanya wonderful jika film mampu terasa berbeda, bisa tetap terasa baru, walaupun kita menontonnya berulang kali. Nah, film ini punya kesempatan untuk menjadi wonderful seperti itu dengan tampil dinamis, mengandung bobot dan hiburan dengan sama mutunya.

Dalam petualangannya mencari bintang pengabul permintaan, si Puss bertemu banyak karakter. Kawan lama, kawan baru, maupun musuh baru. Karakter-karakter seperti Kitty Softpaws, si Serigala Kematian, dan si cihuahua imut yang nyamar jadi kucing, Perrito, akan ngajarin Puss (dan to some extent, kita) tentang kehidupan dan kematian. Tentang bagaimana hidup justru berharga jika ada batas waktunya. Karena mau gimana pun juga, kematian akan datang. Melihat Puss yang ingin meminta ‘perpanjangan’ nyawa membuat aku sendiri teringat sama kejadian pas aku lagi Tugas Akhir dulu. Tanggal presentasi sudah mepet, tapi tugasku belum selesai. Maka aku minta perpanjangan waktu sama mentor. Tau gak beliau bilang apa? Mau sepanjang apapun saya kasih waktu, tapi kalo kamu belum ready, kamu gak akan pernah ready. Waktu itu tidak akan pernah cukup buatmu. Ya, mau berapa banyak waktu yang kita punya, enggak akan jadi soal. Karena semua adalah soal apa yang kita lakukan terhadap waktu tersebut. Dibawa ke cerita film ini; siap menyambut kematian sebenarnya adalah soal sudah atau belumnya si Puss menghargai hidup. Kitty Softpaws, teman alias, ehm, mantan Puss ada di sana untuk mengingatkan apa yang harusnya bisa dimiliki oleh Puss sejak lama jika dia benar-benar menghargai hidup (dengan menghargai bahwa hidup bisa berakhir). Perrito, surprisingly, bakal jadi karakter favorit banyak orang, bakal banyak sekali mengajari Puss soal ya, live the life. Karakter Perrito yang polos, rada bloon namun blak-blakan banget sama perasaannya, ternyata jadi karakter yang bijak banget dibanding yang lain. Karena Perrito satu-satunya yang melihat dunia sebagai sesuatu yang harus dinikmati. Sementara Puss, Kitty, dan karakter lain yang bersaing nyari Bintang, saling tidak percaya satu sama lain.

Cat Attack on Tree Titan!

 

Perihal kematian tersebut lantas semakin didaratkan lagi oleh film ini menjadi bahasan permintaan. Banyak lagi karakter yang jadi saingan Puss in Boots untuk mencari pengabul permintaan. Ada Goldilock dan keluarga beruangnya. Ada juga Jack Horner, si kolektor barang-barang dongeng ajaib. Bahkan Kitty juga sempat jadi saingan. Bahasan soal permintaan ini akan lebih gampang untuk relate ke anak-anak. Dan film juga gak ragu untuk ngasih pelajaran berharga. Tidak ada satupun dari karakter tersebut yang mendapatkan apa yang ingin mereka minta. Semuanya gagal. Tapi kegagalan tersebut tidak diperlihatkan film sebagai sesuatu yang depressing, melainkan dalam semangat yang positif, Yang lebih menggelora. Karena di sini film ngajarin soal sesuatu yang sebenarnya basic dalam nulis cerita. Yaitu yang kita inginkan sebenarnya tidak benar-benar kita perlukan. Dan bahwa yang kita perlukan itu sebenarnya sudah ada di sekitar kita, kita hanya perlu menyadarinya saja. Karakter dalam film ini seperti terkena pamali Birthday Wish Rule, yaitu ngasih tau permintaannya apa ke orang lain, sehingga permintaan tersebut tidak akan terkabul. Padahal sebenarnya ‘pamali’ tersebut justru adalah jawaban dari pencarian mereka. Bahwa dengan share their wish, mereka akhirnya bonding dengan orang-orang yang actually jadi ‘jawaban’ atas permintaan mereka. Karena orang-orang terdekat yang dikasih tau their secret wish itulah yang tadinya kurang dihargai – teroverlook – oleh mereka yang terbuai oleh keajaiban.

Mengharapkan sesuatu ‘keajaiban’ tentu saja gak salah. Hanya saja, one way or another, sebenarnya yang kita inginkan bisa jadi sudah ada di sekitar kita. Bisa jadi permintaan itu sebenarnya sudah terwujud, bahkan sebelum diminta. Kita hanya belum sadar aja. Kita terlalu menggebu sampai tidak menyadari apa yang dipunya. Tidak menghargai apa yang dimiliki. Seperti Goldilock yang gak sadar ada keluarga yang selama ini bersamanya. Seperti Puss yang baru ngeh hidupnya setelah semuanya akan berakhir.

 




So yea, jangan lagi animasi ini jadi medium storytelling yang teroverlook oleh kita. Yang kurang kita hargai, hanya karena tampilan yang cerah, jokes yang konyol, dan seringkali dibuat untuk appeal ke anak kecil. Karena lagi dan lagi, terus bermunculan animasi yang berbobot seperti film ini. Yang di balik hiburannya, menghadirkan bahasan yang berbobot. Mengangkat topik yang ‘angker’ tapi berhasil disamarkan lewat warna yang segar, tanpa mengurangi kepentingannya. Film ini penuh aksi, sekuen berantemnya keren-keren dan kreatif, serta penuh berisi oleh fantasi yang mereferensikan dunia dongeng/cerita rakyat klasik, sambil juga menghantarkan pelajaran berharga tentang hidup kita yang dibatasi oleh waktu. Pelajaran yang tentu saja konek untuk segala lapisan usia. Cerita petualangannya sendiri mungkin memang tidak benar-benar ngasih hal baru (selain dunianya sendiri), tapi karena penceritaannya yang menawan dengan dinamika yang unik, aku terhibur, sekaligus tersentil juga oleh film ini. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PUSS IN BOOTS: THE LAST WISH

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian merasa pernah punya satu hal yang dipengenin banget, tapi kemudian sadar ternyata kalian sudah punya itu? Apa yang membuat kalian akhirnya sadar?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 7 (TAR, THE BANSHEES OF INISHERIN, DECISION TO LEAVE, THE FABELMANS, THE BIG 4, SHE SAID, RRR, HOLY SPIDER)

 

 

Wow, mini-review kali ini gede banget! Lihat saja film-filmnya. Salah-salah, artikel ini bisa disangka daftar film terbaik 2022. Secara banyak kontender Oscar! Sabaarr, daftar terbaikku masih belum keluar. Justru baru akan dikeluarkan setelah mini review ketujuh ini. Mini-review yang berisi batch terakhir dari film-film tahun 2022 yang kutonton dan kuulas. Tahun ini memang dahsyat, maka paling tepat kalo berakhir dengan membahas film-film yang dahsyat juga. Inilah, Mini-Review Edisi Desember, edisi penutup tahun 2022!

 

 

 

DECISION TO LEAVE Review

You named it; si kaya dengan si miskin, anak geng satu dengan geng lawannya, vampir dengan mangsanya, cerita forbidden love selalu seksi. Park Chan-wook mendorong ini lebih jauh lagi dengan menghadirkan romansa antara detektif dengan perempuan yang harusnya ia tangkap. Relationship dua karakter sentral inilah yang bikin kita semakin mantap memutuskan untuk enggak leave saat menonton Decision to Leave. Kebayang dong, gimana susah dan impossiblenya situasi mereka untuk bersama. Apa yang si detektif pertaruhkan untuk bersama dengan perempuan tersebut. Dan film ini gak mau kasih kendor. Semua layer ia isi dengan bobot. Pembahasan soal guilt, obsesi, dinamika rumah tangga dimasukkan oleh Park Chan-wook seolah penyair yang sedang menyempurnakan sajak puisinya dengan rima. Seperti itulah persisnya Decision to Leave. Thriller romance yang puitis.

Aku sempat mikir, film ini kayak berangkat dari anekdot ‘gadis di pemakaman’ yang mungkin kalian sudah pernah juga mendengar. Itu loh, anekdot yang nyeritain seorang wanita yang ngeliat cowok ganteng di pemakaman ibunya, lalu beberapa hari kemudian si wanita membunuh adiknya, dengan harapan bisa ketemu lagi dengan si cowok ganteng. Anekdot itu dikenal sebagai tes psikopat. Dan persis kayak itulah karakter si perempuan love interest detektif di film ini lama-kelamaan. Aku merasa pembunuhan kedua sengaja ia lakukan karena tau si detektif tinggal di daerah yang sama. Saking cintanya orang bisa melakukan hal yang psiko, bahkan si detektif juga menyerempet ‘gak-waras’ saat dia melindungi perempuan yang ia cinta tersebut.

Decision to Leave bisa sangat berat untuk ditonton karena pilihan-pilihan karakternya. Juga karena film memilih bercerita dengan cara yang, not exactly bolak-balik, tapi juga gak lurus. Honestly, aku sempat bingung juga nontonnya. Dibingungkan oleh, I’m sorry to say this, pemainnya kayak mirip-mirip semua. Aku harus nonton ini dua kali. Dan begitu udah tahu gambaran besarnya, aku mulai bisa ‘mengenali’ siapa yang siapa. Dan juga mulai lebih bisa mengapresiasi kejeniusan cara film ini dalam menceritakan bagian penyelidikan ataupun flashback; dengan meleburkan present dan past sehingga seolah karakter cerita itu langsung berada di sana.

 

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DECISION TO LEAVE

.

 

 

HOLY SPIDER Review

Dari cerita kriminal satu ke kriminal lainnya. Hanya saja there will be no love dalam film yang diangkat sutradara Ali Abbasi dari kasus kriminal nyata di kota Iran ini. Malahan, kesan setelah nonton Holy Spider beneran terasa seperti abis melihat laba-laba. Shock, ngeri. Merinding. Jijik.

Menit-menit awal dibuild up sebagai proses perjuangan jurnalis perempuan menulis dan mengungkap kasus pembunuhan berantai PSK di jalanan kota Mashhad. Perjuangan, as in, di daerah muslim seperti itu gerak perempuan seperti Rahimi jelas terbatas. Pertama, perempuan berambut pendek itu harus menutup aurat. Kedua, di sistem yang mengharuskan laki-laki sebagai pemimpin, tentu saja manusia-manusia lelakinya bisa kebablasan power dan Rahimi harus berurusan mulai dari polisi yang balik melecehkan dirinya hingga ke kerjaannya yang dipandang sebelah mata bahkan oleh keluarga korban. Cerita fiksi mungkin akan berakhir happy.  Orang yang jahat akan kalah, dan heroine kita dapat reward. Namun Holy Spider bukan fiksi. Sutradara kita mengambil materi asli bukan untuk lantas mengubahnya menjadi dongeng pengantar tidur. Holy Spider benar-benar akan menelisik keadaan di sana, mengangkat pertanyaan kenapa ini bisa terjadi, dan kemudian membenturkan Rahimi dengan si pelaku kejahatan.

Bagian yang membahas dari sisi pelaku, inilah paruh cerita yang bener-bener bikin kita shock. Gimana si pelaku malah dianggap pahlawan. Gimana keluarga pelaku malah bangga terhadap ayahnya. Film tidak melakukan ini dengan sengaja supaya dramatis, melainkan justru mengajak kita menelisik apa yang salah dengan society dan cara pandang mereka terhadap ajaran agama. Satu momen yang bikin aku percaya film ini dibuat dengan niat yang benar adalah ketika memperlihatkan pelaku kelimpungan ketika istrinya pulang padahal di ruang keluarga, dia baru saja membungkus mayat korban dengan karpet.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for HOLY SPIDER

 

 

 

RRR Review

Aku paling jarang nonton film India, but when I do, film yang kutonton karena katanya bagus itu, biasanya memang bagus. Termasuk RRR karya S.S. Rajamouli ini.

Pikirku aku telah melihat semuanya. Oh cerita dua cowok – yang begitu sama namun  juga begitu berbeda; membuat keduanya jadi kayak ‘good friends better enemies’ – yang dibuild up menuju pertarungan keduanya, kupikir akan berakhir ya di berantem. Namun momen berantem itu sudah muncul jauh sebelum durasi habis. Apalagi yang dibahas? Naskah film ini benar-benar menuntaskan cerita hingga ke sudut-sudut latarnya. Inilah yang bikin film India kayak RRR ini begitu megah, begitu besar. Durasi sepanjang itu bukan hanya digunakan untuk adegan-adegan aksi yang panjang. Bukan hanya untuk adegan-adegan nari yang konyol (toh film ini berhasil memasukkan adegan nari-nyanyi menjadi suatu kepentingan kultural) Tapi bahasan ceritanya juga. Film ini kayak, Goku-Bezita yang dikembangkan oleh berjilid-jilid komik Dragon Ball, dibahas tuntas dan bahkan lebih deep oleh film ini dalam sekali duduk pada Bheem dan Ram.

Dan soal actionnya, man. Film ini gak ragu untuk jadi over the top, tapi gak pernah terasa receh. Action-actionnya gak masuk akal, tapi karena landasan karakternya begitu kuat, kita jadi no problem ngesuspend our disbelief. Kita menikmati itu semua sebagai rintangan, sebagai kait drama yang harus dikalahkan oleh para karakter. Film ini buktiin kalo jadi over-the-top, gak musti harus berarti kehilangan otak dan hati.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for RRR

 

 

 

SHE SAID Review

Enggak beberapa lama setelah nonton Like & Share (2022) yang menurutku terlalu gamblang bicara soal numbuhin empati pake ‘lihat, dengar, dan rasakan’, aku menonton film temannya si ucup ini(“Si Sa-id” hihihi). Dan garapan Maria Schrader ini mengonfirmasi pernyataanku soal empati enggak harus pakai ‘lihat’. Cukup ‘dengar dan rasakan’

Diangkat dari kisah nyata perihal terungkapnya kasus pelecehan seksual dan abuse yang dilakukan oleh produser Harvey Weinstein kepada aktris-aktris selama beberapa tahun, She Said gambarin perjuangan tim jurnalis untuk meliput kasus tersebut. Kesusahan dan rintangan yang mereka temui, sebagian besar datang dari korban yang tidak berani mengakui. Yang sudah terikat hukum yang memihak kepada kubu yang lebih berpower. Yang aku suka dari film ini, yang bikin kita in-line dengan protagonis, adalah gak sekalipun film ini bercerita dengan eksploitatif terhadap korban. Tidak seperti Like & Share yang merasa perlu untuk memperlihatkan adegan diperkosa sampai dua kali supaya kita berempati sama karakter korban, She Said tidak sekalipun menampilkan adegan ‘reenactment’ atau apalah namanya. Spotlight tetap pada cerita korban, dan bagaimana yang mendengar harus percaya, karena itulah bukti yang mereka punya, mendengar itulah satu-satunya cara suara korban ini sampai ke telinga publik. Tanpa judgment lain.

Beberapa kali, aku duduk menatap layar, menggigit kuku dengan bimbang. She Said banyak menggunakan adegan reka-ulang. Setiap kali ada korban yang diwawancara, kita juga melihat adegan rekayasa kejadian si korban saat semua itu terjadi. Film ini akan jatuh eksploitatif jika memperlihatkan the exact moments pelecehan. Tapi tidak pernah, tidak satupun, momen tersebut digambarkan – dipertontonkan kepada kita. Alhasil, film ini jadi lebih powerful. Messagenya pun tersampaikan dengan anggun.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SHE SAID

 




TAR Review

Tod Field berhasil mengecoh banyak orang. Aku juga kecele. Kirain Lydia Tar adalah orang beneran, dan film ini adalah biopik. Ternyata enggak. Tar is completely fiction. Mengapa banyak orang bisa kemakan promo dan menganggap Tar kisah nyata? Jawabannya simpel. Karena Tar meskipun karakternya ‘ajaib’ tapi ceritanya grounded dan permasalahannya juga relevan. Orang bisa jatuh dari posisinya hanya karena berita, sudut pandang sepihak.

Yang menakjubkannya adalah Tar bicara semua itu lewat dunia yang gak familiar, setidaknya buatku. Aku mana paham soal kerjaan konduktor musik, mana ngeh soal seni musik klasik, mana open sama soal-menyoal sponsorhip dan politik untuk sebuah pagelaran konser musik klasik – I don’t even know if I’m using the right words!! Namun directing dan actingnya begitu precise, kita tidak bisa untuk tidak tersedot ke dalam dunia ceritanya. Sekuen ketika Lydia ngajarin anak muridnya yang gak mau mainin musik dari Bach karena si komposer terkenal misoginis, bener-bener akan buka mata kita tentang soal menjadi ‘woke’. Kalo kita masih bertanya-tanya gimana caranya misahin seseorang dengan karyanya, maka dialog Lydia pada adegan tersebut bisa dijadikan tutorial.

Ya, of course, nyawa Tar ada pada karakter utamanya. Ada pada pemerannya, Cate Blanchett. Mannerism-nya, sedikit keangkuhan tapi kita tak bisa menegasi kebrilianan karakter ini, menguar kuat dari penampilan akting Blanchett. Dia juga menunjukkan range luar biasa, saat cerita sampai pada titik terendah Lydia. Enggak semua momen film ini diniatkan serius dan berat, justru kebalikannya. Film ini tampak berusaha memanusiakan karakternya, sehingga kita dapat satu adegan musikal performance yang kocak berjudul Apartment for Sale. Weird Yankovic aja ampe kalah ‘sinting’ dari Lydia!!

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for TAR

 

 

 

THE BANSHEES OF INISHERIN Review

Sepintas, dua pria dewasa berantem diem-dieman sampai bakar-bakar rumah terdengar seperti sesuatu yang lucu. Sutradara Martin McDonagh juga memang meniatkan hal tersebut sebagai premis yang lucu sebagai pemantik drama. Tapi aku tahu aku tidak bisa membawa diriku untuk tertawa. Sebab buatku The Banshees of Inisherin hits too close to home. Alias nyaris amat relate sekali.

Film yang dishot secara cantik ini sungguhlah bicara tentang hal yang tragis. Naskah dan arahannya bener-bener tau cara menggarap tragedi menjadi komedi dengan efektif. Komedi di sini bukan untuk mengurangi impact tragedinya, melainkan jadi bangunan perspektif yang kokoh. Like, orang memang bisa sekonyol dan sekeras kepala Padraic ketika mereka tiba-tiba diantepin seperti demikian. Kita seringkali tidak sadar bagaimana orang memandang diri kita. Other people would find us annoying, too much, or… dull, dan kita seperti Padraic tidak bisa melihat itu sendiri. Kita butuh orang lain yang ngasih tau. Dan setelah itu, kita butuh something yang membantu kita mencerna dan mempercayai hal tersebut. Film ini bekerja dengan tone dan perspektif yang kuat dalam menggambarkan keadaan tersebut. Yang membuatnya lantas menjadi bahasan eksistensi, dan mutual respek. yang efektif. Seberapa tangguh kita menghadapi penolakan. Makanya salah satu adegan paling keren di film ini adalah saat ada anak muda yang nembak cewek yang lebih tua. Scene tersebut, udahlah maknanya nyess, tapi juga dimainkan dengan luar biasa oleh Barry Keoghan. I feel for everyone in this movie.

Lihat bagaimana Padraic masih saja melanggar padahal Colm sudah mengancam bakal memotong jarinya sendiri jika Padraic masih nekat bicara kepadanya. Aku terhenyak menonton ini. Aku dulu pernah ngejar ‘pertanggungjawaban’ orang yang ngedieminku, seperti Padraic ngejar Colm. Namun baru melalui film inilah aku ngerti apa yang sebenarnya ‘terjadi’ saat itu.  Film ini benar-benar hits hard.

Sekarang aku pengen bakar rumah.

The Palace of Wisdom gives 8.5 gold stars out of 10 for THE BANSHEES OF INISHERIN

 

 

 

THE BIG 4 Review

Mungkin, mungkin kalo aku masih SMP atau lebih muda lagi, aku bakal suka sama action komedi pertama Timo Tjahjanto ini. Karena The Big 4 adalah film simpel with nothing but aksi kocak, karakter ngelawak, dan kata-kata serapah. Yang paling bisa diapresasi dari film ini adalah melepaskan pemain dan karakter mereka dari belenggu jaim, sehingga kita semua dapat momen-momen gila mulai dari penjahat jago salsa, ariel mermaid joget, hingga ke grown man jatuh cinta sama senjata api. Tambahkan itu dengan adegan-adegan aksi yang benar-benar digarap playful. Jadilah entertainment. Gak perlu nontonnya pake otak.

Satu-satunya cara film ini jadi sesuatu adalah dengan literally ngasih sesuatu yang unik, khas dirinya sendiri. Kenapa? karena to be honest, tahun ini saja kita sudah dapat film semacam RRR dan Bullet Train yang membuktikan action absurd, konyol masih bisa dilakukan dengan naskah yang mumpuni. Bahwa ‘entertainment’ bisa dilakukan tanpa harus ninggalin otak di dalam lemari. Tanpa menciptakan kotaknya sendiri, The Big 4 hanya akan jadi batas bawah dari kelompok action absurd tersebut. Apalagi mengingat film ini memang tidak punya apa-apa lagi. Plotnya standar cerita geng ‘seperguruan’ kayak cerita-cerita film HongKong. Development karakternya gak ada karena ini adalah film yang naskahnya dikembangkan lebih dengan ‘ternyata’ ketimbang journey. Dan akting yang generik komedi-action (akting Abimana cukup mengejutkan, tho)

Film ini toh punya modal untuk jadi franchise aksi komedi yang benar-benar gokil. Semoga kalo dilanjutkan, filmnya digarap dengan jauh lebih baik lagi

The Palace of Wisdom gives 4 gold star out of 10 for THE BIG 4

 

 

 

THE FABELMANS Review

Tahun 2022 kita dapat dua film dari Steven Spielberg. Nikmat mana lagi yang mau kita dustakan.

Serius.

The Fabelmans terutama dan utama sekali, membuat kita semakin terinspirasi untuk bisa membuat film yang bagus. Secara ini adalah cerita yang diangkat dari keluarga dan masa kecil Spielberg himself. Film ini lebih impactful buatku ketimbang Licorice Pizza dan Belfast, dua film yang juga dari kisah hidup sutradaranya masing-masing, dan dua film itu jelas bukan film ecek-ecek. The Fabelmans terasa melampaui keduanya karena storytelling yang amat personal dari Spielberg dapat kita rasakan menguar dari adegan demi adegan. Mari bicara tentang adegan-adegan Sammy membuat film kecil-kecilan. Kita melihat dia sedari kecil suka dan bereksperimen dengan kamera. Film dengan keren membuild up kecintaan Sammy terhadap sinema dengan memperlihatkan reaksinya yang selalu terbayang adegan kecelakaan kereta api yang ia tonton di bioskop (awalnya dia takut masuk bioskop). Ini kan obsesi sebenarnya, tapi Spielberg yang paham selangkah tentang bercerita lewat perspektif anak kecil, menghandle itu semua dengan begitu… pure! Ketika gedean dikit, Sammy membuat film koboi untuk diputar di depan teman-teman sekelas. Momen dia menemukan cara untuk ngasih efek ledakan ke pita filmnya, maaannn, momen-momen kayak gini yang kumaksud ketika kubilang film ini menginspirasi. Dan lantas kita diperlihatkan dengan dramatis gimana film yang dibuat Sammy selalu sukses mempengaruhi, selalu menimbulkan kesan mendalam, kepada siapapun penontonnya. Aku pengen bisa kayak gitu!

Bagian itulah yang digunakan Spielberg untuk memasukkan konflik. Sammy menyelesaikan urusannya dengan tukang bully di sekolah. Sammy yang pertama kali menyadari ibunya enggak cinta dengan ayahnya. Lewat kerjaan dia membuat film, mengedit adegan.  Ya, at heart film ini cukup tragis dengan konflik keluarga. Tapi semua itu diceritakan film ini lewat tutur yang beautiful. Lewat akting yang cakep pula. Mulai dari Paul Dano, Seth Rogen, Michelle Williams, cameo David Lynch, serta Gabrielle LaBelle dan aktor muda lainnya (mataku khususnya tertuju kepada Julia Butters – terakhir kali lihat dia adu akting dengan DiCaprio di Once Upon a Time in Hollywood) Spielberg memang masterful dalam ngedirect. Semua visinya seperti mengalir deras ke karakter-karakter. The Fabelmans benar-benar film tentang magic of a movie!

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE FABELMANS

 

 




That’s all we have for now

Dengan ini rampung sudah reviewku untuk tahun 2022. Film-film yang sudah tertonton tapi belum direview akan kumasukkan ke penilaian 2023, jika ada. Yang jelas; Nantikan bulan depan ada Daftar Top-8 Movies tahun ini, serta My Dirt Sheet Awards yang akhirnya kuadain kembali.

Thanks for reading.

Selamat tahun baru semua. Enjoy cinema!

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



CEK TOKO SEBELAH Review – [2016 REPOST]

 

“No legacy is so rich as honesty.”

 

cektokosebelah-poster

 

It’s about time ada yang buat film tentang kehidupan pemilik toko sembako!

Hahaha seriously, kita bisa menemukan toko-toko yang jual jajanan kebutuhan sehari-hari tersebut di mana-mana. Rumahku practically dikelilingi oleh mereka sampai-sampai panggilannya berubah dari “kedai acong” dan “kedai si Gu” menjadi sesimpel “kedai belakang” dan “kedai depan”. Namun entah apa sebabnya tidak ada yang berani bikin cerita yang berpusat di lingkungan toko-toko kecil tersebut, I dunno – mungkin sejak warung Mak Nyak, padahal mereka begitu dekat dengan keseharian. Orang lebih tertarik sama film yang berjalan-jalan ke luar negeri. Jadi itulah sebabnya mengapa aku masuk ke studio dengan harapan yang cukup tinggi buat film ini. This could be a very interesting movie, dengan ide yang sederhana (namun ngena!), yang benar-benar dialami oleh pemilik toko di luar sana.

Cek Toko Sebelah pun tidak melewatkan kesempatan untuk berdekat-dekat ria dengan penonton. Setiap dialog, setiap adegan, setiap jokes terasa sangat lokal. Tidak susah untuk kita mengerti, tidak sukar bagi kita untuk merasa akrab dan erat dengan apa yang kita saksikan di layar. Kata orang, “it’s funny because it is true!”, Cek Toko Sebelah did a great job dalam menjaga dirinya tetap relevan dengan isu-isu yang berkembang di masyarakat. Film ini menempatkan KOMEDI SEBAGAI KOMODITI DAGANGAN PERTAMA, DAN DRAMA KELUARGA SEBAGAI JUALAN KEDUA sekaligus sebagai penggerak narasi.

 “kalo gak percaya, cek toko sebelah!”

“kalo gak percaya, cek toko sebelah!”

 

Mari bicara soal drama keluarganya duluan.

Koh Afuk yang mulai sakit-sakitan ingin terus melanjutkan usaha toko yang sejak dahulu ia lakukan bersama almarhum sang istri. Bagi Koh, toko ini punya sentimental value yang luar biasa. Dari antara dua putranya, Koh Afuk mempercayakan toko ke tangan anak bungsu, Erwin. Dan di sinilah Cek Toko Sebelah mengeksplorasi sisi dramatisnya. Erwin adalah pemuda yang lagi sukses-suksesnya di kantor, he has a great life going on; sebentar lagi dia bakal dapat promosi dan dipindahtugaskan ke Singapura. So obviously, Erwin dan pacarnya yang kece rada enggan disuruh ninggalin semua itu demi duduk nyatetin bon utang di toko keluarga. Keputusan Koh Afuk juga menimbulkan percikan api di dalam diri Yohan, anak tertua di keluarga. Yohan merasa left out so bad. Padahal secara keadaan hidup, Yohan dan istrinya lebih membutuhkan toko untuk menyokong his own family.

Sembari cerita berlanjut, kita akan mengerti alasan di balik kenapa Koh Afuk lebih mempercayakan tokonya kepada Erwin. At it’s heart, film ini bercerita banyak tentang masalah-masalah yang umum timbul dalam keluarga; pemasalahan sepele menyangkut trust, kerelaan, yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan duduk baik-baik dan bicara. Film ini mencoba untuk menelaah problematika ini, yang justru terkadang bikin kita geram. Seringkali terbit rasa kesalku nonton ini karena realized apa yang tejadi kepada mereka bisa dengan segera beres jika Yohan mau ngomongin baik-baik keinginannya; jika Erwin dengan tegas untuk berkata “tidak” sedari awal.

Ada masing-masing sisi dari Erwin dan Yohan yang cukup terasa relatable buatku. Oh I’ve been there before. Aku tahu nyelekitnya enggak dipercaya oleh orang-orang yang sangat ingin kau pinjamkan pundak kepada mereka. Aku juga mengerti gimana beratnya untuk menolak permintaan dari orang yang kita cintai. And unfortunately, baik bagi Erwin dan aku, we learned in a hard way gimana ‘berpura’ menuruti kehendak demi nyenengin hati turns out adalah tindakan yang lebih menyakitkan. Inilah masalah terbesar dalam setiap keluarga; kita tidak terbuka dalam berkomunikasi. Dan lucunya, kita bertindak demikian dengan alasan menghindari konflik. Tanpa sadar bahwa itu justru membuat hal menjadi bagai api di dalam sekam.

 

Dan kemudian, ada sisi komedi.

Ada sejumlah anekdot segar dengan delivery timing yang oke yang bakal sukses bikin kita terpingkal. Sepertinya keputusan memakai para komika adalah tindakan yang tepat bagi film ini. There are some running-in jokes diintegralkan ke dalam narasi, yang actually punya pay-off dan really worked. Film ini akan memberikan kita hiburan yang konstan in terms of lawak-lawakan. Ketawaku paling keras datang pada adegan saat seorang satpam melakukan semacam mediasi antara Yohan dengan Erwin. Sebagai pembanding; kalo kalian suka nonton serial Scream Queens, kalian akan kebayang persisnya gimana humor dalam film ini bekerja. Over-the-topnya mirip, dengan lebih sedikit karakterisasi, sayangnya. Film ini juga memasukkan cerita persaingan antar-toko, untuk memperjelas struggle yang dialami oleh toko Koh Afuk, yang eventually membawa kita kepada salah satu adegan lovable yang really funny yang melibatkan dua pemilik toko yang ‘bersaing’.

 

Ayo siapa di sini yang udah sekolah tinggi-tinggi malah disuruh jagain legacy orangtuanyaa??

Namun begitu, aku tidak bilang Cek Toko Sebelah adalah film yang benar-benar hebat. It stands out sebagai film yang berani mengangkat topik original yang unconventional. Menghibur, iya. Dramatis, sering juga. Hanya saja tidak pernah tone tersebut terasa sejalan. Kurang mulus. Tone dan arahannya didn’t work for me. Setengah-pertama film – di mana kita akan melihat rangkaian adegan Erwin yang bekerja di toko yang diceritakan dengan menyerupai gaya montage – berat oleh unsur komedi, sementara dramanya baru datang setelah pertengahan. Film kerap pindah cut antara keadaan Erwin di toko dengan keadaan Yohan yang galau atau antara Koh termenung di toko dengan Yohan yang main kartu dengan teman-teman, dan setiap perpindahan adegan membuat kita terlepas dari emosi yang sudah terbangun di adegan sebelumnya. Membuat setiap sekuens rather episodic.

Kita tidak menyaksikan actual interaksi sodara antara dua tokoh sentral, Erwin dan Yohan, sampai ayah mereka jatuh sakit di tengah cerita. Di mana mereka kemudian bekerja sama, leads us ke sebuah resolusi yang terasa abrupt karena kita merasakan hubungan mereka, ataupun device untuk resolusinya, tidak diset-up properly. Isu terbesarku adalah dengan karakter Erwin. Yea, film ini menggunakan tiga tokoh yang berjalan paralel, akan tetapi hanya Erwin seoranglah yang tidak punya stake yang bener-bener bikin kita peduli kepadanya. Ditambah lagi, karakternya sendiri memang digambarkan kinda jerk, yang bagiku terlihat kayak rip-off serabutan dari karakter Schmidt di serial New Girl. Dia seorang yang selfish, but dia ngedraw a line soal gak mau bohong. And yet transisinya menjadi peduli kepada toko tidak pernah kelihatan. I mean, apa journey karakter si Erwin di sini?

 “Makasih ya”/ “Kok makasi? Kita gak ngapa-ngapain kok” EXACTLY

“Makasih ya”/ “Kok makasi? Kita gak ngapa-ngapain kok” EXACTLY!!

 

Ernest Prakasa menyabet banyak penghargaan penulisan skenario untuk filmnya Ngenest di tahun 2015 adalah salah satu yang bikin aku penasaran sama film Cek Toko Sebelah. I think skenarionya kali ini rada convoluted, tho. But, dari performancenya sebagai pemeran Erwin lah, Ernest terasa paling kurang. Literally, dia dengan sukses outperformed by any other casts, bahkan oleh komika-komika dan peran komikal mereka. Penampilan Erwin begitu forced, adegan yang nampilin dia dengan pacarnya sungguh susah untuk dinikmati. With that being said, penampilan terbaik di film ini datang dari Dion Wiyoko yang berperan sebagai Yohan dan aktor asal Malaysia Chew Kin Wah yang memainkan tokoh Koh Afuk. Karakter dan journey mereka lebih compelling sebagai tokoh utama. Pun mereka berdua memainkan range emosi masing-masing dengan seamless. Momen saat mereka berdua menjelang akhir film punya weight emotional yang kuat karena mereka memainkan peran dengan benar-benar contained.

 




Menawarkan adegan menghibur secara konstan. At times, menyenangkan. Meski begitu, aku tidak bisa bilang suka banget sama arahan narasi film ini, yang meski tak konvensional namun terasa konyol buat inti ceritanya. It feels a bit too orchestrated, tho. Bahkan segmen behind the scenes di closing credit kayak scripted. Padahal film ini berangkat dari premis yang begitu grounded. Komedinya kocak akan tetapi aku juga tidak bisa bilang film ini diselamatkan oleh komedinya. It work best when it tries to capture the dramatic side of its story. Film ini sepertinya aware dengan kelemahan resolusi-real yang dimiliki oleh ceritanya – as in nothing would happen jika mereka mau membicarakannya baik-baik sedari awal – jadi ia menyamarkannya dengan lanjut menjadi sedikit over-the-top. Dan untuk karakterisasinya, tidak banyak yang dijual selain pada tokoh Yohan dan Koh Afuk.
The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for CEK TOKO SEBELAH.

 




That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.



CEK TOKO SEBELAH 2 Review

 

“Never be ashamed of where you came from; Who your family is.”

 

 

Masih ingat Erwin yang menolak diwarisi toko kelontong oleh ayahnya, karena pengen berkarir di Singapura? Begini keadaannya sekarang; Erwin terduduk galau. Dia mendapat ultimatum keras dari ibu calon mertua. Kalo cinta dan masih mau menikahi Natalie, Erwin harus merelakan untuk tidak mengambil kerjaan di Singapur. Harus tetap stay di Indonesia. Tapi itu juga akan berarti dia telah membuat ayahnya – yang sudah merelakan toko keluarga demi mendahulukan anak-anaknya – kecewa. Ernest Prakasa menempatkan karakter yang ia perankan  dalam posisi yang sulit, sebagai kait emosi dalam sekuel Cek Toko Sebelah. Tanpa kehilangan warna komedi yang menghiasi latar dan karakter-karakternya, drama keluarga Tionghoa ini ternyata masih berlanjut, dengan permasalahan ‘permintaan orangtua’ yang lebih berat. Sampai bawa-bawa soal gender dan kelas sosial segala, saat keluarga Erwin yang sederhana ditemukan dengan tuntutan keluarga Natalie yang dikepalai oleh ibu yang powerful nan kaya raya.

Dari CTS jadi CRS; Crazy Rich Sebelah

 

Sementara Erwin bergulat dengan permintaan ibu Natalie, Yohan dan istrinya yang galak, Ayu (Dion Wiyoko dan Adinia Wirasti reprised their role, dengan penambahan muatan drama) harus berhadapan dengan permintaan baru dari ayah mereka. Koh Afuk meminta anak sulungnya itu untuk segera punya momongan. Agaknya, Koh Afuk yang sudah pensiun dari ngurusin toko itu merasa kesepian. Pengen main-main ama cucu. Masalahnya adalah, Ayu belum siap untuk punya anak. Sehingga ini memancing tensi di antara keluarga mereka. Apalagi ketika Koh Afuk dengan sengaja ngide supaya temannya menitipkan anak kepada Yohan dan Ayu. Kehadiran Amanda dan kameranya (Widuri Puteri, penampilan singkat dan berkesan) diharapkan ngasih perubahan suasana di rumah Yohan dan Ayu. Buatku, permasalahan keluarga Yohan terasa lebih menohok. Perspektif Ayu yang ditonjolkan di persoalan gak mau punya anak ini ngasih muatan emosional yang kuat terhadap tema yang menjadi benang merah keseluruhan cerita Cek Toko Sebelah 2. Yakni tentang tidak malu terhadap keluarga sendiri. Jika pada cerita Erwin, permasalahan tersebut tercermin secara gamblang; di hadapan ibu camer yang kaya, Erwin terdesak dan terpaksa bohong mengenai ayahnya yang kini pensiunan yang gak ada kerjaan dan mengenai abangnya yang pernah berurusan dengan substance terlarang, maka pada Ayu hal tersebut tercermin jadi suatu sudut pandang di level yang berbeda. Karena keluarga Ayu got real dark, dan ini scarred her for life.

Kita tidak bisa memilih di mana dan dari siapa kita lahir. Beberapa orang terlahir berkecukupan, sementara beberapa lagi lahir dalam kekurangan. Beberapa lahir dalam keluarga yang menyayangi, beberapa lahir basically sama saja kayak tanpa sosok orangtua. Tapi alih-alih malu, akar tersebut sebaiknya dijadikan pijakan untuk menjadi orang yang lebih baik. Seperti orangtua kita yang punya alasan tersendiri, kita juga mestinya punya alasan untuk jadi lebih baik. 

 

Memang, seperti film pertamanya, Cek Toko Sebelah 2 juga dikembangkan dengan multi-perspektif. Erwin, Koh Afuk, dan karakter lain punya cerita atau masalah sendiri. Tentu saja ini membuka ruang yang luas untuk eksplorasi karakter tersebut. Membuat mereka punya momen masing-masing, baik itu yang ringan maupun yang emosional. Kayak, kita jadi bisa melihat gimana hubungan Erwin dan Natalie yang sweet dan lucu terjalin. Karakter Natalie sudah ada sejak film pertama, namun baru di film ini personalitynya diperlihatkan mendalam. Dan Laura Basuki adalah pilihan yang lebih dari cukup, as in, Laura Basuki bener-bener menghidupkan karakter ini, jadi natural, berkat range aktingnya. Natalie di sini bisa menimpali awkwardnya Erwin dengan berbagai feeling, bisa unyu kayak anak remaja, bisa juga serius kayak orang dewasa pacaran beneran. Chew Kinwah juga mampu membawa Koh Afuk tetap dinamis, meskipun di film kali ini perannya cukup ‘berkurang’, dalam artian screen time maupun ya, literally gak banyak banget yang dilakukannya di sini selain gelisah Yohan belum punya anak dan Erwin bohong mengenai dirinya. But when he did, impact emosionalnya bakal gak kalah gede.

Dari semua karakter, yang mau aku khususkan di sini adalah antagonisnya. Si Ibu calon mertua,  yang diperankan oleh Maya Hasan. Penulisan karakternya keren. Antagonis sebenarnya tidak bisa begitu saja disederhakan sebagai penjahat. Antagonis lebih tepatnya adalah lawan dari protagonis; orang yang menjadi rintangan dari karakter utama cerita. Dan dalam cerita yang bagus protagonis versus antagonis bukanlah soal benar lawan salah, baik lawan jahat. Melainkan soal perbedaan prinsip, standpoint. Belief.  Antagonis yang hebat membuat kita mengerti standpointnya. Membuat kita paham dia bisa berpikir seperti itu darimana. Dengan kita paham si antagonis, maka otomatis kita jadi mengerti betapa dia jadi sebenarnya rintangan buat protagonis. Jadi hambatan yang bakal memaksa protagonis untuk berubah, memikirkan ulang pilihannya. Nah si mama Natalie ini persis demikian. Kita bisa melihat dia nyusahin Erwin dengan syarat-syarat dan campur tangan di segala urusan, tapi kita juga tahu dia ada benarnya. Omongan si tante soal keadilan dan tindakannya setelah tahu Erwin bohong, kita tidak melihat itu sebagai tindakan seorang yang jahat, walaupun kita tahu dia bakal bikin ‘hero’ kita sengsara. Aku memang lantas teringat sama ibu mertua di Crazy Rich Asians (2018). Sosok matriarkal yang sama powerfulnya. ‘Kebenciannya’ terhadap Rachel yang ia sangka gold-digger, terus mendorong si protagonis untuk menunjukkan bahwa ia orang yang tepat untuk anak si ibu. Membuat protagonis mengembangkan diri. Dan puncaknya adalah adegan mahyong yang menyabet Best Movie Scene di My Dirt Sheet Awards 8Mile (2018). Point is, dinamika antagonis dan protagonis membuat narasi jadi ada gonjang-ganjing sampai akhirnya punya konklusi yang terasa earned bagi semua orang. Saat journey mereka berakhir dan mereka melihat dengan lebih baik sekarang. Cek Toko Sebelah 2 harusnya bisa mencapai ketinggian emosi yang sama. Atau mungkin malah lebih, mengingat ada lebih banyak karakter dan masalah.

Erwin masih beruntung, seenggaknya calon mertuanya gak kayak mertua di Bajaj Bajuri hihihi

 

Aku terus menunggu ‘adegan mahyong’ versi Cek Toko Sebelah 2. Menunggu momen Erwin menunjukkan perkembangan, dan stand up for himself. Owning semua kesalahan sekaligus memperlihatkan dia sudah jadi orang yang lebih baik. yang paling pantas untuk Natalie. Dan adalah salah si ibu untuk tidak melihat semua itu. Tapi yang actually kita dapatkan adalah Erwin balik badan dan ‘kabur’ dari si ibu. Momen pembelajaran ternyata ada pada karakter si Ibu dan Koh Afuk. Dua orangtua yang tadinya meminta suatu hal. Kan jadi lucu. Film ini dibuka oleh sekuen dua anak muda yang bertemu lalu jadian , tapi resolve masalah di akhir adalah karakter lain. Like, kalo pembelajarannya memang pada orangtua, maka cara atau struktur bercerita film ini enggak sesuai dengan tujuan tersebut. Sebab dengan membuatnya seperti begini, justru yang tertampilkan adalah karakter utama kita – si Erwin – dan pasangannya – enggak ada problem. Enggak ada pembelajaran. Erwin ninggalin semua orang aja bisa beres dengan gampang.

Multi-stori atau multi-perspektif dituliskan oleh Ernest dengan lebih baik pada film Cek Toko Sebelah yang pertama. Di film itu ketiga karakter sentral selain punya masalah, tapi juga punya development masing-masing. Mereka diberikan stake masing-masing. Karir, cinta, dan warisan. Pada saat penyelesaian, ketiganya terasa ‘ngelingker’, terasa telah menjadi pribadi yang lebih baik ketimbang saat di awal cerita. Sedangkan pada film sekuelnya ini, terasa kayak dibagi-bagi. Yang punya stake adalah Erwin. Yang punya development atau perubahan adalah Ayu dan Ibu Natalie. Yang resolve semuanya Koh Afuk. Ini juga membuat keseluruhan narasi seperti terkotak-kotak episode. Oh awalnya episode kenalan Erwin ama Natalie. Terus pindah dulu ke episode Yohan dan Ayu mengasuh Amanda. Terus ke episode pernikahan. Tiap episode punya puncak dan penyelesaian sendiri. Enggak mengalir bareng-bareng.

Soal jokesnya, aku gak mau bilang banyak. Yang jelas gaya joke khas film-film Ernest tetap dipertahankan. For better and worse. Better, karena sekarang sudah lebih mulus masuk ke narasi utama. Worse, karena beberapa adegan lucu-lucuan tersebut not really add anything to the story. Misalnya kayak candaan soal pikun di sepuluh menit pertama film. Candaan yang sangat elaborate. Perlu diingat, sepuluh menit pertama krusial bagi film karena di periode itu film bakal mati-matian ngeset tone, stake, motivasi protagonis, serta tentang apa sih cerita mereka. Sehingga ketika ada candaan panjang yang membahas soal pikun, seolah film sedang mengeset permasalahan pikun sebagai yang bakal dihadapi oleh karakter. Tapi ternyata tidak. Pikun itu ternyata hanya sebatas candaan selewat, seperti banyak lagi nantinya candaan selewat yang menambah-nambah durasi. I mean, sungguh waktu yang aneh untuk memasukkan candaan, sementara sepuluh menit pertama mestinya digunakan untuk ngeset yang lebih penting. So yea, agak disayangkan penulisan film ini agak menurun dibanding yang pertama. Padahal secara penceritaannya sendiri, Ernest banyak menggunakan teknik-teknik baru. Seperti main di editing seperti jump cut, juga main di kontras warna seperti memberikan warna yang lebih kinclong saat di adegan-adegan orang kaya dan lebih oren saat di adegan lebih sederhana.

 




Setelah Teka-Teki Tika (2021) yang kayak api kebakaran hutan alias naskahnya merambat ke mana-mana, jadi besar secara liar, Ernest Prakasa slowly bangkit dan kembali ke yang bikin dia bercokol di perpetaan film tanah air pada awalnya. Yaitu cerita keluarga yang grounded. Dengan warna yang memberikan identitas kepada karakter dan dunia ceritanya. Sekuel ini berhasil menyambungkan cerita, mengekspansi karakter-karakter yang sudah dikenal lewat permasalahan baru. Multi-storinya membuat dunia cerita menjadi lebih kaya, memuat karakter lebih banyak dan lebih kuat personality. It has moments, hanya saja struktur berceritanya sedikit penurunan dibandingkan film pertama yang lebih ngalir. Film kedua ini dibentuk dengan lebih episodik, dan dibagi-bagi. Karakter antagonisnya dituliskan kuat, tapi protagonisnya tidak diberikan hal yang sama. Yaah, mungkin itu ‘sebelah’ yang dimaksud film ini. Pembangunannya sebelah-sebelah hihi
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for CEK TOKO SEBELAH 2

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana menurut kalian soal cowok yang actually punya penghasilan di bawah ceweknya, kayak Erwin dan Natalie?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA