SPENCER Review

“A bird in a cage is not happy, even if you bought him a golden cage.”

 

 

 

Lady Diana dikenal sebagai sosok yang tragis. Peristiwa dan aftermath kematiannya yang naas jadi sensasi perbincangan berita di tahun 1997. Maka, sutradara Pablo Larrain yang sebelum ini menggarap biopik figur First Lady Jacqueline Kennedy yang tak kalah ‘sedihnya’ (Jackie), merasa tepat untuk membuat kisah hidup Diana sebagai sebuah cerita tragis pula. Larrain mengarahkan film Spencer sebagai cerita tentang perempuan yang bagai burung terkurung dalam sangkar emas. Bukannya mau nyamain cewek ama burung – apalagi perempuan yang begitu berpengaruh seperti Lady Diana si Princess of Wales, tapi memang Larrain menjadikan Spencer bukan sebagai biopik sejarah yang utuh. Melainkan sebagai sebuah fabel yang berdasarkan kepada tragedi nyata. Dongeng yang benar-benar terus mengedepankan ketaknyamanan hidup perempuan di dalam istana yang seperti penjara. Seolah terpenjara itulah yang membuat Diana bisa relate kepada kita.

Malanglah juga, buat penonton yang mungkin enggak tahu atau mungkin dulu masih terlalu muda untuk mengerti apa yang menimpa Lady Diana. Karena Larrain tidak tertarik untuk berlama-lama menjelaskan tragedi apa yang terjadi di kehidupan Diana Spencer, yang jadi anggota kerajaan Inggris. Informasi latar belakang seperti soal rumah tangga Diana dengan Pangeran Charles sedang genting karena ada rumor affair, atau keadaan di istana Sandringham, atau perihal eating disorder yang diderita Diana, akan langsung ditampilkan saja di dalam narasi yang ia susun berpusat pada minggu Natal di tahun 1991.

Plot Spencer berpusat kepada eksplorasi perasaan Diana terhadap keluarga dan aturan dan gaya hidup kerajaan yang harus ia jalani sebagai istri dari putra mahkota. Diana datang terlambat ke Sandringham. Meski sepertinya dia memang beneran nyasar, tapi kita bisa melihat Diana menikmati keterlambatannya itu. Menikmati momen-momen saat dia ada di luar sana. Alih-alih di dalam istana, yang jadwal buka kado hingga pakaian yang ia kenakan saja diatur. Dia gak bisa milih dress proper dan asesoris yang wajib ia kenakan setiap kali jamuan makan. Bahkan jamuan makan itu sendiri bisa jadi siksaan emosional untuk Diana. Bulimia yang ia derita bentrok dengan kewajiban makan dan berat badan yang harus ia patuhi. Tidak ada di ruangan itu yang tampak peduli kesehatannya. Diana justru tampang dipandang sebagai pelanggar aturan oleh keluarga kerajaan. Gak mau patuh. Kalung mutiara yang ia kenakan pun lantas menjadi simbol kekangan bagi dirinya.

spencer-kristen-stewart-as-princess-diana-lede
POW di bajunya itu singkatan Princess of Wales atau malah Prisoner of War?

 

Film ini disebut banyak orang sebagai sebuah masterpiece. Dan itu benar. Spencer adalah masterpiece dalam menggambarkan ketaknyamanan yang kerap mendera Lady Diana. Ambil adegan makan malam sebagai contoh. Kita melihat Diana masuk terlambat (sekali lagi) ke ruang makan. Mengenakan gaun hijau dan kalung mutiara yang sebenarnya enggan ia pakai. Kemudian prosesi makan malam mereka berlangsung dengan sangat kaku. Lengkap dengan pelayan-pelayan yang udah terlatih kayak militer. Mereka makan dalam diam, badan tegap, siku gak boleh nyentuh meja dan segala macam. Tapi, kita diperlihatkan ekspresi Diana, yang masih belum menyentuh sup hijaunya. Cara kamera merekam, editing yang dilakukan, plus permainan akting Kristen Stewart membuat kita merasakan sensasi tak nyaman. Kita seperti merasakan sejumlah pasang mata memelototi Diana. Konteks lain di sini adalah Diana punya ‘kebiasaan’ muntahin kembali makanannya, jadi dia justru diharapkan dengan tegas untuk tak melakukan itu lagi – meski dia tidak punya kendali atas penyakitnya itu. Kecemasan Diana ditangkap oleh film, dan kemudian digambarkan lewat adegan sureal berupa Diana merenggut lepas kalung mutiara yang ia kenakan. Mutiara-mutiara itu berjatuhan ke dalam mangkuk supnya, dan Diana memakan sup itu, lengkap dengan toping mutiara-mutiara yang keras. Adegan yang beberapa menit kemudian diungkap sebagai bayangan dari Diana tersebut benar-benar efektif dalam menunjukkan seberapa besar tekanan di situ bagi dirinya.

Ironis, Diana justru merasa lebih terkekang di rumah yang melindunginya seratus persen lewat aturan dan berbagai tata krama dibandingkan di luar, di tempat paparazi diketahui akan mengintai kemana pun dia pergi. Kungkungan ternyata jauh lebih bikin stress.

 

Gambar-gambar Spencer yang gorgeous sekali memang dimanfaatkan dengan seefektif itu. Sandringham bahkan udah kayak karakter tersendiri. Dengan build-up yang cermat terhadap bagaimana tempat mewah itu malah jadi seperti penjara. Kamera akan melayang memperlihatkan bentuknya yang tertutup. Lalu juga ada adegan demi adegan yang memperlihatkan betapa strict-nya di sana; bahkan urusan dapur saja benar-benar diawasi oleh pasukan khusus. Dan Diana ada di sana, sebagai presence yang mempertegas bukan hanya ‘kecantikan’ melainkan juga kontras keinginan untuk bebas dan kungkungan itu. Semua aspek penceritaan lewat visual tadi itu dimainkan sehingga saat adegan perasaan pembebasan diri di menjelang akhir, kita semua jadi ikut merasakan seberapa gemetarnya tangan Diana untuk merenggut kalung (kali ini beneran) dan betapa plongnya nanti emosinya terasa.

Ketika film-film tentang Lady Diana sebelum ini masih berusaha untuk tampil berimbang, Spencer tidak ragu untuk memihak. Tidak ragu untuk menunjuk antagonis. Diana ke dapur tengah malam aja, ditegor. Dia gak nutup gorden jendela aja lantas dimarahi, karena ternyata ada paparazi yang mengintai setiap saat bahkan saat dia berganti pakaian. Diana heran kenapa harus dia yang ‘kena’, seperti kalo di kita ada perempuan yang dilecehin maka yang disalahkan pasti si perempuan, bukan para cowok yang harusnya dilarang. Diana gerah harus mengikuti protokol dan gak bisa kemana-mana, gak bisa ngapa-ngapain sendirian. Memang, sebaliknya, bisa terdengar Diana-lah yang egois. Supaya gak keliatan seperti itu, maka naskah mencuatkan posisi Diana. Bahwa semuanya bermuara kepada concern Diana kepada anak-anaknya. Kekhawatiran Diana atas kesehatan mereka (Istana yang dingin, dan menolak gedein pemanas) serta perhatian saat ayah memaksa mereka ikut berburu burung. Ini jadi memperlihatkan Diana sebagai ibu yang baik di atas segalanya. 

spencer03042ce3-ede2-4c4e-ac72-18cad07ae5d0-SPENCER_by_Pablo_Larrain_courtesyNEON
Waktu kecil, aku punya teman yang ‘diledek’ ibunya mirip Lady Di

 

Aku gak tau aslinya Lady Diana seperti apa, tapi banyak yang bilang penampilan Kristen Stewart di sini mirip banget – bahwa Stewart menghilang ke dalam sosok Diana Spencer. Aku gak bisa konfirm soal itu, but I do have some opinions. Stewart memang berhasil nampilin sosok yang terkekang lahir dan batin. Dia ngomong aja suaranya kayak bisik-bisik, bahkan saat sedang adu argumen dengan koki atau pegawai di istana itu. Cara ngomong yang semakin memperkuat kesan bahwa perempuan ini saking merasa gak bebasnya, sampai bicara pun gak bisa lepas. Namun di sisi lain, lama kelamaan kok ya agak monoton juga. Somehow jadi terasa susah juga bagi kita untuk masuk ke dalam karakter ini, karena kita literally dan figuratively kurang bisa ‘mendengar’ yang berusaha ia keluarkan. Padahal kalo dia lepas aja, kayak waktu dia ngobrol di pantai bareng sahabat yang jadi pelayannya, karakter ini lebih mudah untuk kita ‘dekati’.

Ini jugalah yang jadi sedikit ganjelan buatku. Spencer terlalu lama menghabiskan waktu untuk menunjukkan Diana adalah korban sangkar emas. Diana nangis, Diana muntah, atau melakukan keduanya bersamaan – sambil pakai dress menakjubkan, Diana melukai diri sendiri. Intensitas yang terus naik untuk menunjukkan perasaan terkekang yang semakin besar. Film kekeuh banget nunjukin ketatnya si pihak antagonis sehingga Diana jadi hancur lebur. Tanpa pernah menonjolkan keberimbangan. Padahal tak sedikit juga pelayan atau pihak istana yang ngasih Diana nasihat dan nunjukin support kepadanya. Tapi she just cry dan segera balik ke mode ‘gue korban’. Aku bukannya gak berada di sisi Diana atau gimana, tapi aku melihat ada kecenderungan begini: dalam narasi yang ada elemen pelaku dan korban, kalo narasi itu pembahasannya fokus ke pelaku tanpa atau sedikit sekali menggali perspektif korban, pasti bakal dikecam. Namun sebaliknya, tidaklah mengapa kalo yang dibahas adalah perspektif korban doang. Pelaku tidak dikembangkan, melainkan justru kalo bisa harus terus diantagoniskan. Buatku ini kecenderungan yang mengkhawatirkan sih. Membuat film jadi kentara banget fokus nomor satu kepada agenda. Alias memihak tapi untuk kepentingan menggaet ‘marketing’ tertentu.

Dan Spencer ini aku hampir ngerasanya kayak begitu. Film ini membuat seolah Diana itu berada di tempat yang tidak ia mau. Seolah dia jadi tawanan di sana. Penonton yang sama sekali gak tahu siapa Diana boleh jadi akan menganggap Diana dipaksa menikah, atau mungkin malah ‘dijual’ kepada keluarga kerajaan. Padahal kan tidak. Diperlihatkan Diana bukan putri paman petani (bukan Diana yang di lagu Koes Plus!) Diana putri bangsawan Eropa. Rumahnya juga gede. Walaupun dia diperlihatkan memang hidup lebih bebas di masa kecil, tapi tentunya Diana tahu seperti apa lingkungan istana – apa yang ia masuki ketika menikah. Inilah yang harusnya diberikan konteks oleh film. Boleh mengantagoniskan satu pihak, tapi juga tetap gak elok jika protagonisnya selalu dipush entah itu selalu benar atau selalu dibuat menderita tanpa menggali kenapa dia bisa merasa begitu pada awalnya. Development karakter Diana terlalu sedikit karena film terlalu sibuk mengantagoniskan pihak satunya dan  terlalu sibuk membuat protagonisnya ini menderita.

 

 

 

Tampaknya memang perspektif itu yang diincar. Film ini sepertinya memang tidak berniat untuk menggali lebih dalam melainkan hanya berpusat kepada kecamuk emosional yang sekiranya terjadi di dalam diri seorang Lady Diana selama ia hidup sebagai istri Pangeran Charles dan anggota kerajaan. Ingat, sekali lagi film ini adalah fiksi yang berdasarkan tragedi nyata. Jadi tentunya build up tragedinya itu yang diimajinasikan di sini. Dan untuk menghasilkan perasaan tak-nyaman, terkukung, dan stress karakternya tersebut, film ini melakukannya dengan luar biasa. Hanya, buatku, film yang dua jam isinya ‘memamerkan’ seseorang di posisi korban, bukanlah tontonan yang, katakanlah menghibur, atau yang benar-benar terasa penting. They just so undeniably great at being that one-sided, rather self-absorbed story.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SPENCER

 

 

 

That’s all we have for now

Diana di kisah ini sering melihat vision dari cerita yang ia baca tentang Anne Boleyn yang dipenggal Raja Henry yang menolak menceraikannya. Menurut kalian apa makna cerita tersebut sampai begitu penting bagi Diana?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

TICK, TICK…BOOM! Review

Time is what we want most, but what we use worst”

 

 

Hidup itu berharga karena ada batasnya. Tanyai saja setiap vampir yang kalian tahu. Mereka pasti akan berkata hidup abadi itu membosankan. Karena tidak ada deadline, kau punya kesempatan sebanyak yang dimau. Tidak ada lagi urgensi di dalam hidup jika kita punya waktu yang tak terbatas di dunia. Heck, kita terpikir untuk pengen hidup seribu tahun lagi hanya karena kita tahu hidup ada masa kadaluarsanya. Jika kalian tidak punya kenalan vampir untuk memberitahu pentingnya waktu, maka kalian cukup menonton kisah hidup Jonathan Larson dalam biografi musikal Tick, Tick…Boom! yang merupakan debut penyutradaraan dari aktor, penyanyi, dan komposer Lin-Manuel Miranda.

Batas atau umur itulah yang sebenarnya memberikan excitement dalam hidup. Kita melakukan passion kita, mengejar impian kita, karena kita tahu kita mungkin tidak bakal dapat mencapai semua itu karena waktu kita bakal habis. Makanya kita semua pengen dapat tambahan waktu, padahal yang penting dari waktu tersebut bukanlah seberapa banyak yang kita punya. Melainkan apa yang kita lakukan untuk mengisinya.

 

Memang tepat bila disebut Miranda membuat film ini sebagai surat-cinta untuk pencipta teater musikal – yang disebut oleh karakter ceritanya sebagai “spesies yang terancam punah”. Cara bercerita yang digunakan Miranda ‘terdengar’ oleh kita sebagai sebuah ekspresi penuh rasa syukur dan cinta yang dipersembahkan kepada seni tersebut, dan kepada tokoh pembuat-pembuatnya. Khususnya kepada Jonathan Larson. Seorang sutradara teater musikal yang menelurkan karya fenomenal, tanpa pernah melihat karyanya tersebut dimainkan. Larson meninggal dunia pada malam sebelum show Rent ditampilkan. Agak tragis, tapi tak pelak sungguh menginspirasi. Tick, Tick…Boom! however, dihadirkan tidak berfokus kepada Rent karya Larson yang fenomenal itu, melainkan kepada sosok si Larson sendiri. Perjalanan yang ia tempuh sebelum ia bahkan punya, katakanlah, nyali untuk membuat Rent.

Menjelang ulangtahunnya yang ketigapuluh, Larson (peran musikal pertama bagi Andrew Garfield!) mulai galau. Krisis eksistensi menerpa dirinya. Larson merasa belum mencapai apa-apa. Dia yang kerja di diner, belum jadi orang. Mimpi-mimpinya di masa muda sama sekali belum kesampaian. Karya musikal yang ia ciptakan terus saja ditolak. Atau lebih parah, dicuekin. Bertekad untuk membuat sesuatu atas namanya, Larson kini memusatkan diri untuk proyek musikal rock, sci-fi, yang ia beri judul Superbia. Masalahnya, di proyek yang ia tahu bakal mengubah dunia itu, Larson justru merasa kesulitan. Dia gak mampu menulis babak kedua – babak paling penting – dalam musikal ciptaannya itu. Dalam kondisi ekonomi yang mulai menghimpit, sosial yang makin tercerai berai (bertengkar dengan pacar, dan ditinggal mati oleh teman-teman yang satu persatu direnggut HIV), dan umurnya sendiri yang ia pikir semakin kehabisan waktu, Larson berjuang menyelesaikan karyanya.

boomimage
Tik tik bum, bunyi bom waktu di dalam hati~

 

 

Untuk film pertamanya ini, Miranda mengadaptasi musical performance one-man show Larson sebagai pondasi dari drama musikalnya ini. Clearly, sang sutradara masih berpegang pada hal yang lebih dekat dengannya, yakni gaya teatrikal. And that’s okay, karena Miranda memang cukup berhasil bercerita dengan memadukan gaya teatrikal tersebut dengan gaya bercerita film. Kita melihat Larson tampil live di depan audiens, kemudian dia bercerita tentang lagu yang ia ciptakan dari kehidupannya itu. Cerita Larson tersebut lantas menjadi adegan drama yang kita tonton sebagai flashback. Dalam adegan-adegan drama itu pun nantinya Larson dan karakter-karakter lain akan sering burst out menyanyikan lagu, lengkap dengan koreografi dan set yang dibikin seolah sebuah live teater. Semua bingkai tersebut ditampilkan mulus. Lagu-lagunya catchy dan tampak dibawakan dengan natural. Lirik yang menggambarkan perasaan Larson saat itu pun mampu menghantarkan perasaan dengan lebih tepat, walaupun kesannya jadi fun. Misalnya musical number saat Larson terperangkap dalam kesibukan diner tempat dia bekerja di hari minggu. Atau adegan nyanyi saat dia ‘merayakan’ apartemen baru milik sahabatnya yang memilih kerja kantoran dengan melepaskan kerjaaan sebagai seorang aktor.

Tapi buatku, film ini paling the best saat berbingkai teater. Bagian musikal favoritku adalah ketika Larson dan penyanyi yang diperankan oleh Vanessa Hudgens melagukan momen-momen saat Larson dan pacarnya ribut soal kerjaan dan masa depan. Koreografinya unik sekali. Mereka duduk di atas kursi di depan panggung menghadap audiens. Sambil tersenyum mereka mendendangkan curhat. Semakin intens curhatnya, senyum mereka makin lebar, dan gerakan koreo mereka semakin cepat-cepat. It’s wild! Kalo sutradara tidak memilih untuk menyelang-nyelingi adegan musikal di teater itu dengan adegan drama Larson dan pacarnya berantem di rumah, kalo musikal itu disyut dengan benar-benar seperti adegan teater – without cut dan sebagainya – aku sudah pasti akan meloncat-loncat kayak anak kecil dihadiahi PS 5 oleh bapaknya yang galak. Namun tetap saja, tidak bisa dipungkiri bahwa yang disuguhkan oleh para aktor di film ini bukanlah akting sembarang akting.

Can we please stop dulu bicarain Spider-Man, dan fokus ke betapa luar biasanya Andrew Garfield dalam peran musikal pertamanya ini? Garfield adalah salah satu dari sedikit aktor yang kayaknya selalu ngasih aku surprise dari apa yang bisa ia lakukan terhadap perannya. I mean, waktu di Hacksaw Ridge (2016) aku surprise sama penampilan drama emosional yang ia tampilkan. Begitupun waktu di Silence (2017), dia kembali memberikan note yang distinctive dalam perannya. Sekarang di Tick, Tick…Boom! ini juga begitu. Dia berhasil menghidupkan sosok seniman larger-than-life. Dia menghajar setiap adegan musikal dengan penuh gelora. Bukan sebatas nyanyi dan tampil sedikit nyentrik, Garfield di sini juga harus mengenai nada-nada dramatis. Larson yang tenggelam dalam cipta karya sehingga bertengkar dengan orang-orang terdekatnya, akan dengan gampang terlihat sebagai pribadi egois. Tapi Garfield membuat kita bersimpati dengan karakternya ini. Membuat kita paham apa yang ‘tick‘ di dalam perasaannya. Penampilan akting Garfield membuat karakter ini semakin mudah untuk kita relasikan dengan kehidupan kita.

Siapa sih yang gak risau saat menemukan dirinya berkepala tiga tapi belum mencapai apa-apa. Aku rasa semua penonton butuh menyaksikan film ini, paling enggak sebagai guide memasuki usia tiga-puluh. Karena memang gak gampang, untuk menyadari bahwa hidup kita bukan semata terbatas, tapi sebanyak apapun waktu yang kita punya, segimana pun orang punya waktunya masing-masing, waktu itu gak akan berbuah apa-apa jika kita tidak mengisinya dengan hal yang kita cinta. Kisah hidup Jonathan Larson dalam film ini, kurang lebih, mengatakan tentang hal tersebut.

boomTherapy-in-Tick-Tick-Boom
Aku malah sempat kecewa saat masih hidup setelah usia 27, aku merasa gak cukup berbakat untuk sebanding sama the 27 Club artists.

 

 

Ada banyak hal yang bisa disukai dalam Tick, Tick…BOOM! kecuali pacarnya Larson. Urgh. Annoying banget. Dia sengaja banget nagih jawaban saat Larson lagi sibuk-sibuknya. Dia gak dateng saat show. Eh, pas shownya rame, dia baru muncul. Pacar apaan tuh. Tapi mungkin itulah mark keberhasilan dari karakter yang memang jadi inspirasi Larson ini. Kisah cinta mereka inilah yang harus dijadikan stake utama, karena narasi yang berangkat dari kisah nyata ini kan semua orang sudah tahu endingnya. Larson yang merasa dirinya diburu waktu, sendirinya, tidak akan lagi jadi cerita yang menarik jika film tidak menyelam ke dalam karakter-karakter yang punya peran dan menghidupi hidup Larson. Karakter-karakter itu, seperti pacar Larson dan juga sahabat masa kecilnya, memang ada dan disorot cukup banyak oleh cerita. Tapi permasalahan mereka tidak pernah dibahas lebih dalam dari sebuah adegan musikal berikutnya. Permasalahan dengan mereka berdampak kepada Larson, tapi film hanya memperlihatkan sebatas soal ‘terwujud sebagai lagu baru’

Bukan Larson saja yang terburu waktu. Demi menguatkan kesan deadline yang menghimpit, film ini sendiri akhirnya bercerita dengan nada yang seperti terburu-buru. Tidak pernah benar-benar diam sejenak untuk merenungi emosi ataupun berkontemplasi dengan karakternya. Seharusnya ada lebih banyak adegan seperti Larson berenang dan literally menyelam ke dalam pikirannya. Film ini, memperkenalkan kita dengan menarik kepada karakter-karakter dan masalah mereka, tapi tidak lantas mau keluar dari memperlihatkan para karakter sebagai manusia di luar yang kita lihat. Oh, ada teman yang terbaring kena HIV, Larson sedih, tapi setelah dijadikan satu lagu, masalah tersebut pindah juga ke masalah lain. Ke masalah untuk dinyanyikan berikutnya. Bisa jadi ini karena pondasi cerita adalah pertunjukan seni sehingga yang kita lihat juga masalah yang terkesan lompat-lompat seperti itu, tapi sebenarnya itu gak jadi soal jika film mau untuk melambat sedikit. Narasi tidak harus berjalan seperti diburu-buru. Kesan itu bisa dilayangkan lewat kerja kamera atau lewat editing saja.

 

 

 

Seneng sekali setidaknya ada tiga drama musikal bagus tahun 2021 ini. Meskipun aku gak suka musik, tapi aku selalu menyambut gempita film musikal karena biasanya emosinya memang menohok lebih dalam. Film ini misalnya. Fusion keren dari teater musikal dengan drama musikal. Penampilan akting yang mempesona dari Andrew Garfield turut mempermanis surat-cinta untuk seni teater dan salah satu seniman yang bekerja membuatnya, si Jonathan Larson itu sendiri. Ceritanya sungguh menginspirasi, super relatable, dan bakal bikin kita ikutan nyanyi dari hati. Pengennya sih film ini bisa sedikit lebih ‘tenang’ dan lebih berlama lagi menyoroti karakternya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TICK, TICK…BOOM!

 

 

 

 

That’s all we have for now

Jonathan Larson berjuang hingga akhir hayat atas nama seni. Menurut kalian apakah seni itu memang sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

LAST NIGHT IN SOHO Review

“We romanticize the past with an illusion that we’d know how we’d fit”

 

 

“Hati-hati, di London banyak orang jahat.” Peringatan yang jadi penutup nasihat Nenek sebelum Eloise/Ellie pindah untuk kuliah ternyata merupakan set up bagi bangunan narasi horor Last Night in Soho. Kalimat tersebut membuild-up antisipasi Ellie; cara pandang dirinya terhadap pengalaman yang ia temui dan rasakan sebagai gadis desa yang pindah ke kota besar. Dan tentu saja antisipasi kita juga, karena kita akan melihat dan merasakan semua pengalaman lewat Ellie. Itulah yang membuat karya terbaru Edgar Wright ini sebuah horor atau misteri psikologis yang luar biasa efektif. Tak ada yang lebih menyeramkan daripada seorang perempuan yang merasa dirinya ‘diserang’ oleh banyak pria (dan tak jarang juga oleh perempuan lain) dari berbagai arah. Yang merasa tempatnya hidup begitu enggak aman, sehingga dia harus mencari ke tempat lain. Bahkan, hingga ke waktu atau era yang lain.

Kok bisa? Karena Wright membuat filmnya ini sebagai semacam perjalanan waktu. Setiap kali Ellie tidur di kamar kosnya, dia seperti tertransport ke era 60an yang penuh kelap-kelip. Ellie melihat dunia itu lewat mata Sandie, gadis yang mengejar mimpi jadi penyanyi seperti Ellie yang punya keinginan untuk jadi seorang fashion designer. Tapi kehidupan Sandie si gadis berani yang tahu apa yang ia mau itu seketika jadi inspirasi bagi Ellie. Apalagi memang sejak awal Ellie sudah terobsesi dengan segala sesuatu yang berbau tahun 60an. Ellie rela pergi tidur lebih cepat karena ia udah gak sabar untuk merasakan lagi keglamoran Sandie dan era tersebut.

sohoLast-Night-in-Soho-Thomasin-McKenzie-Anya-Taylor-Joy
Dengan kontras warna biru dan merah itu, tadinya kukira poster Survivor Series Smackdown lawan Raw

 

 

Untuk 30 sampai 40 menit pertama, cerita akan fokus kepada kontras antara Ellie dengan Sandie. Ketika kehidupan kampus dan sosial Ellie tampak penuh orang fake dan toxic – mulai dari pengemudi taksi yang matanya belanja ke kaki Ellie hingga ke teman sekamar di asrama yang manis di depan saja, sehingga kini Ellie tidak bisa memastikan seorang anak cowok yang mendekatinya itu beneran tulus pengen jadi teman atau cuma pengen meminum lebih dari kola miliknya saja – kehidupan malam Sandie tampak lebih aman dan menjanjikan. Menyaksikan dari balik cermin, Ellie melihat Sandie dibantu oleh seorang pria, diberikan kesempatan casting, janji mau diorbitkan, dibela dari mata keranjang; benar-benar disupportlah!

As far as the genre goes, babak pertama film ini memang membuat kita meraba-raba. Selain kemampuan Ellie melihat hantu ibunya di dalam cermin dan perihal Ellie masuk ke era 60an setiap kali tidur (bagaikan mimpi teramat nyata), kita enggak yakin di mana letak horor film ini. Yang terasa kuat adalah misteri kejadian tersebut kenapa bisa terjadi. Implikasi yang dihadirkan adalah hantu Sandie yang membawa Ellie masuk ke era tersebut, karena Ellie punya ‘kemampuan’, tapi itu juga belum membuat film terasa seram. Last Night in Soho memang mengambil waktu selama itu untuk mendaratkan ceritanya ke horor yang dijanjikan. Namun itu bukan berarti film ini tampil membosankan.

Set dan artistiknya stunning semua. Kerja kamera dan tempo editing cepat yang sudah jadi cap-dagang Wright membawa kita melewati set up panjang dan semua kontras itu dengan penuh gaya. Pertama Wright menekankan kontras itu lewat warna. Eloise dan lingkungannya hadir dengan warna-warna biru hingga abu-abu pucat, sementara Sandie melangkah mantap menembus dunia dominan merah di balik dress pink ataupun jaket putih mengkilap. Ellie pada awalnya tampil polos, tidak seperti Sandie yang bibirnya selalu merekah merah. Warna-warna tersebut tentu saja menguatkan karakter mereka. Thomasin McKenzie memainkan Eloise sebagai karakter yang berusaha mandiri, yang berusaha optimis. Dia memang sedikit polos, dan somewhat kurang pede dan kurang agresif (perhatikan rasa bangganya ketika menyebut mengenakan baju rancangan sendiri memudar dengan cepat begitu melihat reaksi dari teman-teman barunya), tapi McKenzie berhasil membuat kita melihat dia sebagai gadis yang gak mudah menyerah. Kita bersimpati pada gadis yang dicap norak dan aneh oleh cewek-cewek seusianya ini. Sebagai Sandie, Anya Taylor-Joy, ditugaskan untuk menjadi antitesis dari karakter Ellie. Dan dia berhasil memainkannya dengan fenomenal. Sandie benar-benar tampak sebagai enigma dimainkan oleh Anya.

Bukannya mau nyamain diri ama sutradara sekelas Edgar Wright, tapi aku punya bayangan yang mungkin sedikit lebih tegas mengenai effort yang harus Wright keluarkan untuk mewujudkan visi kreatifnya di sini. Bikin dua aktor seolah mereka satu orang karakter, yang bergerak selaras dalam pantulan cermin, jelas bukan hal yang gampang. Aku pernah bikin film pendek dengan konsep serupa, dua pemain harus bergerak layaknya seseorang dengan pantulannya, dan hasilnya susah untuk sempurna. Akhirnya aku mengurangi adegan, dari yang banyak gerak menjadi cuma senyum doang hahaha.. Yang dilakukan Wright dalam film Soho ini bahkan lebih kompleks dari adegan sekadar karakter bercermin. Yang dengan budget yang banyak, tentu bisa dilakukan pake efek komputer. Wright di sini betul-betul membuat Ellie dan Sandie terlihat sebagai satu orang, lewat adegan tanpa cermin yang gak-putus. Adegan menari yang Ellie dan Sandienya muncul bergantian, dilakukan Wright tanpa efek editing, melainkan dengan efek praktikal yang menuntut ketepatan dari semua kamera dan juga para aktor.

In some sense, film ini mengingatkanku sama Malignant (2021), horor action campy dari James Wan. Kedua film ini bekerja pada goal yang sama. Pembangunan narasi horor yang membuat kita bertanya-tanya ini sebenarnya film tentang apa – which is add much to the mystery itself. Penggarapan yang mengunggulkan kepada gaya entah itu teknis kamera atau editing. Dan bahkan sama-sama bermain seputar karakter yang ketika tidur tertransport ke tempat lain. Keduanya adalah film yang ingin kita bersenang-senang atas nama horor dan misteri. Kalo perbandingannya dilanjutkan, aku mau bilang, pada akhirnya aku lebih suka Last Night in Soho ketimbang Malignant. Karena walaupun sekilas horor Soho terlihat lebih lemah, sebenarnya Soho punya bangunan cerita dan lapisan psikologis karakter yang lebih berbobot. Yang eventually membuat misteri dan horornya menjadi lebih impactful karena jadi benar-benar beresonansi dengan kehidupan kita di luar cerita.

soholastsohothumb-1634585969073
Apa jadinya film Edgar Wright tanpa soundtrack yang benar-benar mewakili mood?

 

 

Thomasin McKenzie semakin dituntut untuk menyuguhkan permainan yang menakutkan secara emosional, seiring dengan Elliekarakternya yang sudah semakin terattach dan peduli sama Sandie mulai melihat ada yang gak beres sama arahan karir cewek di masa lalu tersebut. Di sinilah set up yang disebutin nenek di awal tadi kembali weighing in ke dalam narasi. Bukan hanya karir dan mimpinya, tapi nyawa Sandie actually jadi ikut terancam oleh orang-orang yang ternyata berniat jahat kepadanya. Terbangun dari tidur, Ellie kini berusaha mati-matian untuk mencarikan keadilan bagi nasib Sandie. Elemen horor terbangun juga dari tidur, merayap di balik usaha Ellie. Gadis itu sekarang melihat hantu-hantu dari orang yang jahat kepada Sandie, seperti jadi mengejar dirinya. Mereka ada di mana-mana!

Eloise yang jadi takut tidur, heck bahkan dia jadi terlalu stress untuk bisa tidur, kehidupan akademis dan sosialnya merosot drastis, ditambah dengan dia menjadi percaya bahwa dunia tidaklah pernah jadi tempat yang baik-baik saja (tidak sekarang, tidak dulu, dan mungkin tidak di masa mendatang) — inilah horor sebenarnya yang digambarkan oleh cerita Last Night in Soho. Ini jauh lebih seram ketimbang wajah-wajah burem ataupun darah-darah muncrat dari penampakan hantu. Wright menunjukkan kepekaannya terhadap perubahan tempo lewat bangunan misteri di dalam narasi seperti yang ia tunjukkan di film ini. Bahwa dia bisa menjalin horor, baik itu lewat komedi ataupun drama, karena dia mengerti bagaimana membangun dan mendeliver. Gaya-gaya tadi bukan cuma supaya gak bosan, melainkan juga merupakan pengalih perhatian yang cantik, makanya gak jarang kita menemukan diri kita caught up by surprise setiap kali menonton film Wright.

Salah satu tema tersembunyi dalam film ini adalah soal nostalgia. Bagaimana orang bisa obses sama nostalgia, meskipun dia enggak ngalamin langsung hal nostalgia tersebut. Seperti Eloise yang ngaku suka 60an, padahal dia hanya tahu itu dari film, musik, atau media lain. Film ini menerjemahkan itu sebagai pelarian. Kemudian film menantang itu dengan pertanyaan “Bagaimana jika tempat tersebut sama saja dengan penyebab kita lari di awal? Do we still love it?” Maka, tidaklah bijak sebenarnya terlalu meromantisasi sesuatu yang kita gak pernah tahu, yang kita hanya rasakan sebagian kecil dari kebaikannya saja.

 

Hantu-hantu itu menyimbolkan ‘penyakit’ di masa lalu akan terus menghantui masa depan. Malah tidak akan berakhir atau tidak akan mati kecuali benar-benar ditindak, seperti yang diketahui Ellie bahwa ada satu pelaku dalam tragedi Sandie yang masih hidup di masa sekarang. Lalu, di puncak konflik Ellie, Wright membalikkan narasinya. Begitu jungkir-balik sehingga pesan tadi menjadi sedikit kabur. Menurutku, pilihan twist yang melibatkan revealing identitas satu karakter yang membuat role (pelaku dan korban) jadi kebalik inilah yang membuat Last Night in Soho jadi terbagi dua penontonnya. Gagasan yang diusung lewat pembalikan itu, aku bisa lihat, tidak mudah diterima bagi penonton. Especially karena menyangkut gender sebagai subjeknya. Jadi gak heran juga banyak yang menolak memberi skor tinggi, urung merekomendasikan, atau bahkan mengkritik keras film ini. Mungkin itu juga sebabnya kenapa film ini cepat kandas di bioskop.

Padahal menurutku memang fenomena itulah yang sedang diperiksa oleh film. Sedari awal “banyak orang jahat” itu sudah dilandaskan. Yang berarti bahwa ya, orang jahat ya bisa ada di mana-mana. Bisa siapapun. Seorang yang jadi korban ketimpangan atau kekerasan, tidak berarti mereka tidak akan bisa menjadi orang jahat. Tidak berarti setiap tindakan mereka bisa terjustifikasi. Pembunuh massal tetaplah pembunuh massal, tidak peduli dia hidup di era 60an atau di era woke kekinian.

 

 

 

 

Kekurangan film ini bagiku cuma, ceritanya belum berhasil betul memperlihatkan korelasi antara kerjaan Ellie – keberhasilannya sebagai siswa perancang busana – dengan misteri yang ia alami. Kita tidak dikasih lihat secara detil bagaimana kenyataan yang ia sibak itu berdampak kepada rancangan Ellie. Selebihnya, film ini sendiri bagai seni kontemporer. Misteri yang dengan balutan visual yang cantik sekali. Hadir dengan tetap berbobot, dan semakin gorgeous berkat penampilan akting yang flawless. Aku mungkin sedikit bias karean Thomasin dan Anya cakep-cakep, but they do understand the assignment, dan aku gak melihat ada ‘nada sumbang’ dari penampilan mereka di sini. Sedangkan untuk Edgar Wright, aku gak setuju sama yang bilang sutradara ini belum fasih di horor. Wright cuma punya formula sendiri, dan dia menerapkan horor ini ke dalam formula tersebut. Memang, hasilnya tidak seperti horor yang biasa. Ini adalah horor unik dengan implikasi gagasan yang tak kalah seram.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for LAST NIGHT IN SOHO

 

 

 

That’s all we have for now

Kenapa kita suka meromantisasi nostalgia? 

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

HOME SWEET HOME ALONE Review

“Home doesn’t feel like home if people living in it are not the same”

 

 

Impian mutlak setiap anak-anak adalah tinggal di rumah besar sendirian tanpa ada yang mengatur. Beneran deh, kalo waktu kecil dulu kalian enggak pernah girang ketika orangtua pergi sehingga kalian jadi punya beberapa jam di rumah seorang diri, maka kalian jadi anak kecil dengan cara yang salah. Rumah kosong bagi anak kecil berarti bisa makan apapun yang dimau, bisa loncat-loncat di kasur, bisa nyalain kartun keras-keras, dan ini yang paling penting: bisa main – game atau apapun – sepuasnya! Tapi rumah kosong bagi anak kecil juga bisa berarti bahaya. Bagaimana jika ada yang korslet. Bagaimana jika ada orang asing yang datang. Bagaimana jika ada… perampok!?!

Home Alone bisa sesukses ini; meroketkan Macaulay Culkin, jadi hiburan yang gak bosen-bosen ditonton, staple acara tv swasta kita setiap musim liburan, dan nelurin banyak sekuel, karena premisnya bermain pada dua hal tersebut. Satu: Anak yang tinggal sendirian di rumah, dua: tapi disatroni maling. Set up sempurna untuk dijadikan komedi slapstick ala kartun (meskipun arguably premis tersebut juga tak kalah efektifnya jika dijadikan bangunan cerita horor/thriller). Karena anak kecil suka kartun, dan film ini membuat anak-anak yang menonton relate, membuat mereka membayangkan ada dalam dunia seperti kartun yang merekalah tokoh utamanya.

Ya, set up. Itulah kunci emas yang dimengerti oleh Home Alone, khususnya filmnya yang pertama tahun 1990. Ketika kita membuat cerita tentang anak yang tinggal sendirian di rumah, maka kita harus bisa menemukan alasan atau sebab yang logis, yang akhirnya menciptakan situasi tersebut. Home Alone original luar biasa telaten dalam menciptakan set up tersebut. Dikawal ketat oleh John Hughes (filmmaker yang well-known sebagai pembuat film remaja yang enjoyable karena ringan dan grounded) yang menulis dan jadi produser, Home Alone punya set up yang efektif sekali. Ceritanya dibikin bersetting di liburan Natal. Kita langsung mengerti anak seperti apa si karakter utama, kita langsung tahu dinamika hubungannya dengan saudara-saudaranya. Kehebohan dan keramaian di rumah itu tergambar dengan baik, sebagai alasan kenapa gak ada yang ingat sama dia ketika besok pagi mereka mau berangkat. Dan semua itu dilandaskan dengan nada komedi yang ringan, dan kita bisa membayangkan kejadiannya bisa beneran terjadi di dunia nyata. Udah persis kayak jebakan, set up film ini dengan persis berada di tempatnya.

Sekuel reboot karya sutradara Dan Mazer (salah satu penulis naskah franchise Borat, lol) mengerti pentingnya set up tersebut. Home Sweet Home Alone juga punya set up yang seperti film original. Kita melihat anak kecil berusia sepuluh tahun yang bernama Max (seneng banget Archie Yates yang kocak di Jojo Rabbit dapat peran gede di sini), mulai kesel dicuekin sama orangtuanya yang lagi hectic ngurusin keberangkatan keluarga besar mereka ke Tokyo besok pagi. Max makin jengkel karena sepupu-sepupunya pun tidak ada yang mendengarkan dia. Jadi Max, mengurung diri dalam mobil di garasi. Menonton Will E. Coyote masang-masang perangkap untuk Roadrunner, jauh dari semua kebisingan. NAMUN, (‘namun’ di sini memang sangat signifikan jadi aku merasa perlu untuk ngecapslock kata itu) film ini tidak hanya punya satu set up, melainkan dua. Tidak hanya Max saja yang dilandaskan backstory dan motivasinya. Tapi, perampok yang nanti bakal jadi musuh (atau korbannya) juga diberikan set up. Malahan, karakter utama Home Sweet Home Alone bukanlah Max si anak kecil.

HomeSweet-Home-Alone-Dirilis-Sambut-Natal-Tahun-Baru-3
Kartun ternyata memang punya pengaruh kepada anak-anak, ya.

 

 

Jeff McKenzie, pria yang terpaksa dan enggan, berusaha menjual rumahnya diam-diam tanpa sepengetahuan anak-anaknya, adalah perspektif utama cerita. Dia butuh duit, karena dia baru saja dipecat. Jeff lalu menemukan solusi alternatif. Salah satu boneka porselen peninggalan ibunya, ternyata bernilai sangat tinggi. Masalahnya, boneka yang jadi satu-satunya harapan untuk tidak membuat kecewa keluarganya tersebut kini hilang. Dicuri orang. Jeff ingat, siang itu Max dan ibunya berkunjung ke open house mereka. Situasi semakin tak menguntungkan bagi Jeff, ia tak bisa begitu saja minta bonekanya dikembalikan, karena rumah Max kosong. Semua penghuninya pergi berlibur. Inilah yang membuat Jeff, dan istrinya – Pam – memutuskan untuk masuk saja ke rumah itu. Dan kita akhirnya dapat adegan konyol ciri khas franchise Home Alone, karena Max yang tidak diketahui suami istri itu ada di rumah, salah menguping pembicaraan mereka soal boneka. Max menyangka Jeff dan Pam hendak menculik dirinya, sehingga dia mati-matian melawan. Memasang banyak jebakan untuk mereka. 

Dua set up (untuk Jeff dan Pam, serta untuk Max) yang dibeberkan dengan telaten supaya kita bisa paham dan motivasi dua kubu yang hendak bertemu ini memang membuat film jadi imbang sudut pandangnya. Perampok itu tidak lagi satu dimensi jahat, tidak sekonyong-konyong ada dan merampok dengan niat yang sepele. Film ini ingin keluar dari pakem penjahat dalam film anak atau film keluarga yang biasanya memang dituliskan konyol. Film ingin memberikan sedikit hati kepada Jeff dan Pam. Melihat mereka yang semakin kena perangkap, semakin jengkel dan mulai keluar ‘jahatnya’, penonton diharapkan untuk tidak melihat karakter yang diperankan kocak oleh Rob Delaney dan Ellie Kemper ini sebatas karakter komedi. I’d say ini adalah tambahan yang berniat baik, membuat film tidak lagi hitam putih. Akan tetapi, sedikit bobot ini ternyata juga menjadi beban. Babak set up film ini jadi terasa penuh sesak. Dan lamaaaa. Setelah begitu banyak menerima informasi dan memahami karakter, aku kaget juga melihat durasi yang ternyata baru tiga-puluh menit.

Sesuai dengan peruntukannya sebagai film natal, film ini bicara soal keluarga lewat rumah sebagai objeknya. Bahwa kita merasa nyaman dengan keluarga, bukan karena rumahnya. Max tadinya kesal sama keluarga malah merasa hampa, saat dia tinggal sendirian. Keluarga Jeff pun mulai merasa aneh saat ayah dan ibu yang tinggal seatap mereka bertingkah lain dari biasanya. Mau gimana pun rumahnya, rumah itu tidak akan terasa lagi seperti ‘rumah’ saat ada yang berubah dari penghuninya. 

 

Penonton yang ingin bernostalgia dengan Home Alone juga merasakan bahwa film yang menjadi rumah bagi kenangan masa kecil mereka tak lagi terasa seperti ‘rumah’ yang sama. Home Sweet Home Alone terasa sebagai entry yang aneh buat keseluruhan franchise ini. Meskipun jebakannya sama-sama konyol dan ‘mematikan’ – bahkan ada cameo dari bintang film originalnya – tapi tetep seperti ada yang mengganjal. Banyak yang kecewa karena membandingkan film ini dengan Home Alone pertama. Tapi itu juga mungkin salahnya kita. Keduanya mungkin memang untuk tidak dibandingkan. Karena kedua film ini memang tak lagi sama. Film yang ini bukan lagi tentang anak yang ditinggal semata. Film kali ini adalah lebih tentang ayah dan ibu yang ‘jadi perampok’ demi rumah mereka. Kita harus melihat poin-poin plot dan perkembangannya sebagai cerita tentang hal tersebut. Tapinya lagi, dengan melihatnya begitu, tidak berarti aku mengatakan film jadi lebih baik.

It’s still… shite!

homejamkiom - Copy
Pake lelucon self-aware tidak lantas berarti filmnya jadi film yang pintar

 

 

Yang tidak bekerja dengan baik dari film yang membuat protagonisnya pasangan orangtua desperate sehingga mau merampok justru adalah komedi dan kekhasan dari franchise ini sendiri. Jeff dan Pam yang babak belur kena perangkap demi perangkap itu bikin bingung kotak tertawaku. Kok aku malah ngetawain Jeff yang gak sadar telah dipasangi game VR? Bukannya kita harus bersimpati sama mereka? Dalam Home Alone biasanya, ketika para orang jahat babak belur, kita bisa tertawa dengan lepas karena kita tahu mereka pantes dapat ganjaran. Kita merasakan stake yang dialami si anak kecil, yang harus berkreasi demi mempertahankan rumah dan properti miliknya. Dalam film kali ini, tidak ada stake karena kita tahu semua itu cuma salah paham. Kita tahu Max tidak dalam bahaya. Kita tahu Jeff dan Pam tidak berniat jahat. Jadi kenapa kita masih tetap disuruh harus tertawa dengan adegan-adegan jebakan, yang menghukum protagonisnya, sementara kita tahu enggak ada alasan yang kuat kenapa mereka harus dihukum. Apakah karena mereka bego? 

Ngomong-ngomong soal itu, supaya fungsi komedinya tercapai, film memang lantas berusaha membuat Jeff dan Pam terlihat bego. Padahal Jeff kerjaannya adalah seorang ahli data, dan Pam adalah seorang guru. Yet, they still manjat pagar dengan konyol (padahal di sampingnya ada gerbang), tetep keceblos di kolam bersalju. Jeff yang sehari-harinya ketemu komputer jadi kayak awam sama teknologi. Kerjaan sehari-hari Pam juga gak terlihat membantunya berperilaku; dia tetap terpental-pental oleh bola yoga. Film ini tidak peduli sama katakter yang dipunya. Mengabaikan sebentar set up mereka, untuk beberapa menit menjelma menjadi Home Alone yang dikenal dan dicintai semua orang. It’s either bikin cerita yang lebih original, atau bikin sesuai franchise. Sutradara Dan Mazer pengen jadi keduanya sekaligus, tapi tidak memikirkan formula atau bangunan ceritanya masak-masak. Perkembangan karakternya juga ternyata jadi gak ada. Setelah semua yang terlihat seperti sebuah proses degradasi bagi protagonisnya, atas nama film keluarga dengan semangat natal, semua konflik reda seketika. Para karakter sentral kembali ke ‘posisi’ mereka di awal. Dan cerita berakhir dengan senyum yang hangat, persahabatan dan keluarga yang harmonis, tanpa konsekuensi yang berarti. Semuanya dapat reward! Semua, kecuali kita, penontonnya. 

 

 

 

Untuk sejenak, aku merasa film ini punya kesempatan. Arahannya yang mengeluarkan karakter dari hitam-putih, awalnya tampak seperti langkah berani yang bikin reboot ini lebih berbobot daripada originalnya. Tapi ternyata bobot itu terlalu berat untuk diemban sebuah film yang fitrahnya adalah hiburan slapstick layaknya kartun bagi anak kecil. Penonton cilik mungkin masih akan tergelak melihat dua orang yang dilempari bola biliard, dibakar kakinya, dan disandung pake tali. Itu karena mereka belum bisa mengerti ada ambigu yang hadir di situ, ketika orang yang babak-belur tersebut sebenarnya bukan orang yang benar-benar bersalah atau jahat. Ambigu yang diangkat harusnya digali, bukan ditertawakan. Kecuali kalo memang pembuatnya memandang kita semua sebagai bocil-bocil yang taunya cuma tertawa.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for HOME SWEET HOME ALONE

 

 

That’s all we have for now

Apa yang biasanya kalian lakukan waktu kecil dulu kalo ditinggal sendirian di rumah? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SHANG-CHI AND THE LEGEND OF THE TEN RINGS Review

“Its richest bequest. Its golden inheritance”

 

 

Menonton Shang-Chi, aku sejenak lupa kalo ini merupakan film superhero. Cerita tentang ‘warisan’ keluarga, bisnis yang ala gangster-gangsteran, adegan berantem yang benar-benar menonjolkan martial arts. Untuk beberapa saat, aku merasa sedang nonton film-film Kung-fu! Sampai aku menyadari yang di layar itu bukan Jackie Chan ataupun Jet Li. Melainkan bintang laga masa kini (calon legenda di depan) Simu Liu, bintang komedi dengan range drama yang belum gagal membuatku kagum Awkwafina, dan naga beserta makhluk-makhluk mitologi dari visual komputer. This is indeed a Marvel movie. Film hiburan yang paling cocok ditonton sambil makan popcorn, dengan petualangan CGI grande, dan dialog yang sama renyahnya ama popcorn itu tadi. Namun sutradara Destin Daniel Cretton jelas sekali ingin mengarahkan ini ke dalam perspektif yang lebih unik. Ke dalam karakter yang lebih representatif. Dan ‘jurus-jurus’ yang ia kerahkan sukses membuat Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings mencapai keseimbangan hiburan dengan sajian berbobot. Mengembalikan film superhero Marvel ke yin-yang  yang selama ini terlupakan

sangchi-chi-iron-fist-1
Padahal tadinya aku ‘sangchi’ bakal bagus, takut kayak Mulan

 

 

Belajar dari kritikan yang menghajar live-action Mulan (2020), film Shang-Chi yang juga mengusung karakter beretnis dan mitologi yang mengacu kepada referensi budaya Cina, berlaku lebih hati-hati dan respect terhadap representasinya tersebut. Yang pertama langsung terdengar adalah bahasa. Karakter dalam film ini tidak sekonyong-konyong berbahasa Inggris semua. Sepuluh menit pertama actually full dialog Mandarin, lalu setelah nanti setting membawa cerita berada di tempat yang lebih diverse, bahasanya akan mengikuti keberagaman tersebut. Film ini lebih peka sama di mana dan siapa. Penggunaan bahasa Inggris pun jadinya tidak terasa dipaksakan. Karakter kita hidup di San Francisco, tapi bahasan mengenai mereka merupakan bahasan yang mendalam, menggali hingga ke akar leluhur dan legenda. Karena pada intinya narasi Shang-Chi memang berinti kepada keluarga.

Ketika kita pertama kali bertemu dengan Simu Liu, karakter yang ia perankan dipanggil dengan nama Shaun. Dia bekerja sebagai tukang parkir valet, bersama sahabatnya Katy (karena terlalu banyak nonton Steven Universe, aku jadi merasa suara Awkwafina mirip sama suara si Amethyst). Mereka berdua ini orangnya nyante banget. Gak kayak sahabat mereka yang orang-cina-kesayangan-keluarga banget, Shaun dan Katy lebih suka berkaraoke dan nyaman sama kerjaan mereka yang dianggap tidak memenuhi standar keluarga. Sebenarnya, ada alasan bagus – yang rahasia! – kenapa Shaun menikmati hidupnya seperti itu. Begini, keluarga Shaun bukanlah keluarga standar seperti keluarga Katy. Ayah Shaun tidak lain tidak bukan adalah The Mandarin, pendekar penguasa, pemegang senjata sepuluh cincin yang legendaris, pemimpin kelompok Ten Rings yang sudah mencatat lembar kelam sejak beribu tahun lalu. Shaun, nama sebenarnya Shang-Chi, sejak kecil dilatih ayah jadi assassin, demi membalaskan dendam kepada pembunuh ibu. Shaun kabur dari kehidupannya tersebut. Meninggalkan ayahnya, adiknya, dan siapa dirinya yang sebenarnya. Tapi sebagaimana yang disaksikan oleh Katy dan kita, Shaun terendus oleh ayahnya, dan dia dipaksa pulang. Karena menurut ayah, ibu masih hidup. Terpenjara di tanah legenda. Shang-Chi harus kembali dan menghadapi semua yang pernah ia tinggalkan. 

Sekarang mungkin kalian sedikit mengerti kenapa aku malah ngerasa kayak nonton film Kung-fu saat nonton film ini. Naskahnya benar-benar fokus kepada konflik dalam keluarga pemimpin organisasi hitam! Shang-Chi adalah cerita tentang seorang anak yang kabur dari kehidupan itu karena dia gak sudi menapaki jalan tersebut. Mana ada cerita original dari superhero Marvel yang seruwet dan sedalam ini, at least sejak Winter Soldier? Dan naskah berhasil berkelit dari membuat Shang-Chi tampak seperti karakter sok suci yang membosankan. Karena pertanyaan yang berkecamuk di dalam dirinya adalah apakah saya pengecut telah kabur? Keluarga yang jadi sentral cerita ini ditulis dengan detil dan relatable. Semuanya jadi pendukung yang menambah banyak pembelajaran bagi karakter Shang-Chi. Ada adik perempuan Shang-Chi, yang merasa diremehkan oleh ayah, dan ditinggalkan oleh Shang-Chi, sehingga tumbuh menjadi pemimpin organisasinya sendiri. Ada ibu Shang-Chi yang dirancang sebagai karakter paling berpengaruh, yang mendaratkan dan merekatkan keluarga ini. Kematiannya jadi titik balik karena sebegitu berperannya Ibu bagi mereka semua. 

Film sempat nge-poke fun Shang-Chi yang kabur tapi ganti namanya malah ‘cuma’ jadi Shaun (ganti nama kok mirip). Namun jika kita melihat on deeper level, keputusan nama tersebut melambangkan keraguan karakter ini. Yang ditakutkan oleh Shang-Chi adalah dia bakal jadi penerus ayahnya, karena itulah yang budaya keluarga mereka. Tapi ia juga adalah ‘warisan’ ibunya.  Kebingungannya akan itulah yang membuatnya kabur. Yang harus dipelajari Shang-Chi dalam kisah ini adalah bahwa anak gak bisa kabur. Melainkan mewarisi baik dan buruk keluarga. Shang-Chi harus mengembrace, dan memantapkan apa yang nanti ia wariskan berikutnya. 

 

Dan tentu saja, ada ayah Shang-Chi. Pria yang dikenal dengan banyak nama, karena reputasinya yang mengerikan. Tapi dia settle dengan nama The Mandarin, karena baginya filosofi di balik nama itu cukup ‘lucu’ (akan ada dialog eksposisi yang menceritakan tentang ini, dikemas dalam bentuk bincang-bincang santai di meja makan). Diperankan oleh ikon Hong Kong, Tony Leung yang jago kung-fu dan drama, The Mandarin boleh jadi adalah salah satu dari sedikit sekali penjahat-Marvel yang punya karakter paling compelling. Paling manusiawi. Secara simpel kita bisa bilang dia adalah karakter jahat yang bersedia jadi orang baik atas nama cinta. Secara lebih kompleks – cara yang diterapkan oleh film ini – The Mandarin adalah karakter yang berakar pada tradisi, norma pejuang, kebanggaan, kehormatan, kekuatan (practically sifat-sifat yang dilambangkan oleh legenda kesepuluh cincin). Dia bukan karakter yang jahat licik pengen menguasai dunia. Kita akan melihatnya lebih sebagai sosok ayah yang sudah terluka banyak, tapi juga sangat keras. Kita bersimpati, sekaligus merasa takut kepadanya. Film ini bekerja terbaik saat memperlihatkan hubungan atau konflik yang mengakar begini antara anggota keluarga ini. Sutradara tahu di situlah – pada grounded-nya itulah – letak kekuatan yang dimiliki film ini, maka ia berusaha sebisa mungkin untuk mencapai itu saat men-tackle elemen yang lebih fantasi.

sangchiScreen-Shot-2021-06-25-at-10.31.21-AM
Sialnya, aku menyangchikan film ini tidak di bioskop

 

 

Tanpa banyak ba-bi-bu lagi, Shang-Chi punya sekuen-sekuen berantem terbaik yang pernah kusaksikan sepanjang Marvel Cinematic Universe berlangsung. Ketika film Marvel yang lain banyak berseru-seru ria dengan aksi superhero, sebagian besar porsi laga film Shang-Chi berlangsung dengan gaya berantem Kung-fu. You know, berantem yang tampak plausible meskipun memang masih sangat bergantung kepada efek CGI, stuntmant, dan kerja kamera serta editing. Seenggaknya, sebagian aktor di sini memang punya pengalaman beladiri, pembuatnya pun tampak memahami seni itu dan tau cara terbaik dalam merekamnya. Jadi mereka semua tau apa yang harus dilakukan. Favoritku adalah adegan berantem di dalam bis, sekuennya dari awal-tengah-hingga akhir is pure excitement dan joy. Sekuen itu muncul di babak awal, dan film terus menaikkan game mereka untuk aksi-aksi ini. Kita bakal melihat berantem di pondasi bambu (kayak di Rush Hour 2), dengan kamera yang aktif ‘melayang’ ke sana kemari, memastikan cerita lewat berantem itu sampai dengan gemilang. Di menjelang akhir, kita akan disuguhkan adegan berantem yang kita saksikan lewat cermin di dalam ruangan. Kamera akan berputar 360 derajat, kita akan melihat tubuh beterbangan, dengan sensasi direction yang diajak bermain-main, bergantian antara pantulan cermin dengan tidak. Ketika memang harus aksi satu-lawan-satu, film ini pun gercep dengan perspektif. Menghasilkan gerak yang dinamis sesuai gerakan berantem, tanpa pernah menjadi memusingkan. Ketika harus fantasi pun, pertarungan akan tetap terasa berbobot. Aksi-aksi seperti pertarungan Dragon Ball itu ternyata bisa kok dibikin dengan indah dan meyakinkan!

Setelah semua itu, makanya babak ketiga film ini jadi kurang greget. Setelah pertempuran kung-fu satu lawan satu, aksi berantem yang interaktif dengan settingnya, dan jurus-jurus yang sepertinya mungkin untuk dilakukan (hanya dipercantik/dibikin makin intens oleh efek komputer), di babak akhir film mengembalikan semua itu ke fantasi superhero. Pertarungan dengan naga-naga, dan makhkluk CGI. Seketika aku merasa kehilangan banget. Akhiran yang diniatkan untuk besar-besaran tersebut justru jadi terasa menutup film dengan… kecil. Dengan biasa. Tidak ada lagi excitement dari drama karakter, karena semuanya berubah menjadi “kalahkan monster sebelum dunia jadi kacau itu!” Meskipun tetapi dilakukan dengan kualitas teknis luar biasa, tapi tetap saja jika dibandingkan dengan perjalanan-karakter yang sudah kita tempuh bersama sedari awal, film ini tetap terasa berakhir dengan sedikit underwhelming.

 

 

 

Tapi ya, mau bagaimana. Tidak mungkin juga itu dihilangkan, dan meminta film untuk tetap dengan berantem ‘sederhana’. Karena afterall, ini adalah entry berikutnya dari jagat sinema superhero. Film ini terikat untuk menjadi fantastis seperti yang kita lihat di akhir. Film ini terikat oleh kebutuhan untuk ‘menjual’ dunia yang lebih besar, untuk ‘ngetease’ ke film superhero yang akan datang. Film ini terbebani oleh tuntutan menyampaikan eksposisi dan flashback. Maka, yang harus kita apresiasi di sini adalah upaya film untuk menjadi seunik dan seberkarakter mungkin, di sela kebutuhan-kebutuhan tersebut. Toh film berhasil, kita telah dibuatnya terhanyut oleh konflik keluarga yang pelik dan  menyentuh. Kita telah dibuatnya peduli sama karakter-karakter. Mulai dari pendamping atau sidekick, hingga ke antagonis, semuanya berhasil dibuat berbobot. Kita juga telah dibuat terkesima oleh dunia dan aksi-aksi yang mewarnainya. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 ten rings, eh 10 gold stars! for SHANG-CHI AND THE LEGENDS OF THE TEN RINGS

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apa yang biasanya kalian pilih untuk lakukan jika ada tindakan atau keputusan dari orangtua yang tidak kalian setujui?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

FINCH Review

“If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough”

 

 

Finch-nya Tom Hanks berharap robot buatannya bisa hidup layaknya manusia. Akan tetapi, tidak seperti Pak Tua Geppetto si Tukang Kayu, Finch tidak butuh Peri Biru untuk membuat keinginannya itu terkabul. Karena Finch adalah enginer robot yang handal. Dia telah membuat robot sederhana, sebelumnya. Dia hanya perlu step up his game, dan membuat robot cerdas yang bisa bicara, bergerak, dan berpikir. Dan, tidak seperti Geppetto yang membuat boneka kayu karena kesepian, Finch membuat robot bukan untuk cari teman. Finch memang sendirian (satu-satunya manusia di tengah mesin, perkakas rongsok, dan anjing peliharaan), tapi Finch tidak merasa kesepian. Finch justru nyaman dengan keadaannya. Satu-satunya alasan dia ingin menciptakan robot seperti manusia, adalah karena Finch merasa hidupnya sudah tak lama lagi, sehingga dia harus segera mencari pengganti. Pengganti siapa dan buat apa? Pengganti dirinya untuk menjaga anjing peliharaan kesayangannya.

finch202109211022-main.cropped_1632194537
Kayaknya aku butuh juga belajar bikin robot untuk jagain kucingku

 

 

Jika cerita tersebut terdengar datar bagi kalian, maka itu hanyalah karena aku memang belum menyebut settingnya. Di sini, aku ingin memperlihatkan bahwa setting suatu cerita ternyata memanglah sangat berperan. Sehingga tak jarang, setting tersebut menjadi bagian dari karakter dalam cerita. Gini, bayangkan cerita Finch itu bertempat di masa sebelum pandemi. Lalu coret itu, dan bayangkan cerita tersebut berada dalam situasi lockdown. Ya, narasi keseluruhan yang bermain dalam kepala kalian pastilah akan sangat berbeda – tentu saja akan ada perbedaan stake, tantangan, dan bukan tak mungkin juga perbedaan solusi. Bobot motivasi Finch mencarikan teman bagi anjingnya saja bisa berbeda antara saat dia bisa menemukan banyak manusia dengan saat harus bersusah payah untuk keluar rumah. Semua perbedaan tersebut dapat muncul hanya dengan mengganti situasi yang melatarbelakangi cerita. Sutradara Miguel Sapochnik enggak mau tanggung-tanggung. Dia menempatkan cerita Finch ke setting distopia.

Lapisan ozon Bumi sudah demikian parah (jadi kayak keju swiss, kata Finch) sehingga semua makhluk hidup yang terpapar sinar matahari, bakal kebakar seolah mereka adalah vampir. Situasi ini membuat kesendirian Finch beralasan, karena sejauh yang ia tahu (dan kita lihat) tidak ada manusia yang selamat. Situasi ini juga menghantarkan kita kepada kesehatan Finch. Lewat informasi visual, kita tahu dia terkena radiasi yang cukup parah. Dan di atas semua itu, makanan pun menipis. Situasi ini menciptakan stake yang menggencet. Yang membuat Finch harus bergerak setiap hari, mencari makanan di tempat-tempat terbengkalai, mempertaruhkan nyawa dengan keluar – ke tengah cahaya matahari – dengan pelindung baju UV yang sudah rombeng, menemukan tempat-tempat yang aman – bagi dirinya dan anjingnya – dari serangan badai berikutnya. So we see Finch is in a pinch situation. Situasi itulah yang enventually mengharuskan, mendesak, karakternya untuk membuat robot dan meletakkan kepercayaan yang ia tahu amat sangat berharga.

Setelah premis manusia membuat robot untuk menjaga anjing, membangun dunia yang memuat itu sekaligus menyediakan tantangan dan desakan yang kuat, tugas Miguel berikutnya adalah memberikan tema. Gagasan apa yang ingin ia sampaikan sebagai ruh dari konflik cerita. Ibarat jika bikin robot, sutradara Miguel kini harus memberikan robot itu baterai. Trust atau kepercayaan, dipilih olehnya sebagai ‘baterai’ tersebut. Dan ini berhasil jadi motor penggerak yang efektif. Pembelajaran tentang trust yang dilalui oleh para karakter; Finch sendiri, Jeff si Robot, dan Goodyear si anjing kesayangan (hanya tiga inilah karakter yang muncul dalam cerita) itulah yang membuat cerita jadi punya hati, yang membuat narasi film menjadi sedemikian berbobot sehingga film Finch bisa mencuat melebihi statusnya sebagai film distopia biasa yang menceritakan soal bencana umat manusia.

Robot itu diciptakan Finch sebagai makhluk cerdas, setia, punya daya tangkap luar biasa (meskipun sebenarnya terpaksa berjalan dengan kekuatan 72% dari potensi aslinya) supaya si robot tinggal meniru apa yang dilakukan Finch. Ngasih makan anjing, ngendarai mobil van, bikin shelter dan segala macamnya. Satu hal yang tidak bisa diprogramkan adalah, membuat robot itu dipercaya oleh Goodyear, sang anjing. Jadi, Finch dalam sisa umurnya harus mengajarkan si robot berlaku, supaya mendapat kepercayaan. Masalahnya, Finch sendiri adalah orang yang punya trust issue. Dari pengalaman masa lalu yang ia ceritakan kepada robot dalam berbagai kesempatan, kita paham bahwa Finch enggak percayaan sama orang, bahkan sebelum bencana matahari menimpa bumi. Dalam keadaan mereka yang sekarang, ketidakpercayaan Finch terhadap orang lain semakin besar. Bukannya tidak ada lagi manusia, namun kondisi manusia berebut untuk survive telah meruntuhkan sisa-sisa tembok kepercayaan di dalam diri Finch. Terlebih karena dia dan si anjing telah hidup sebagai saksi betapa jahatnya manusia saat kondisi memaksa mereka. Jadi, pertanyaan besar yang membuat interaksi karakter-karakter ini menarik adalah bagaimana bisa seseorang mengajari sesuatu hal kepada orang lain, saat dia sendiri tidak paham sama hal yang hendak ia ajarkan.

Tentu saja tidak bisa. Finch bahkan gak bisa menjelaskan makna trust dengan sederhana dan tepat, saat si robot bertanya. Finch hanya menjawab trust adalah trust. Dia either menjawab terlalu singkat, atau menjawab dengan cerita yang sangat panjang. Finch gak tahu, karena dia sendiri gak pernah percaya sama orang lain sebelumnya.  Inilah yang harus disadari oleh Finch, dalam waktunya yang terbatas. Finch sendirilah harus yang lebih dulu belajar memahami apa itu trust, bagaimana mempercayai orang lain kembali, sebelum ia berusaha mengajarkannya kepada Jeff si Robot.

 

Banyak penonton dan kritikus yang mengatakan film ini tidak original dan membanding-bandingkannya dengan film distopia lain, dan bahkan juga dengan film Tom Hanks lain, Cast Away (2000) hanya karena setting dan situasinya. Padahal sebenarnya, Finch ini pada intinya justru lebih mirip dengan Finding Nemo (2003). Si Finch adalah Marlin yang harus belajar untuk mempercayai Dory (dan eventually Nemo) – yang dalam film ini adalah Jeff si Robot. Akan ada adegan ketika Finch harus membuat keputusan, dan Jeff mengusulkan sesuatu tapi Finch menolak karena tak percaya. Akibatnya mereka berada pada tempat yang semakin parah. Tentu saja, film ini punya pesonanya tersendiri.

finch.ucmki3.image.qoh
Robotnya mirip mukak Deadpool, dan pas ngomong kayak lagi di Red Roomnya Twin Peaks

 

 

Sebagian besar, film ini ditopang oleh kepiawaian akting Tom Hanks. Aktor satu ini, batuknya aja meyakinkan! Hanks memainkan pria terluka luar dalam dengan power yang membuat kita tidak memandang karakternya dengan beriba-iba ria. Kita bisa melihat perjuangan dan desakan. Kita bisa melihat betapa dia tidak menyerah meskipun di lubuk hati dia pesimis sama dunia. Kita bisa merasakan dia hanya hidup untuk menjamin anjingnya berada di tangan yang benar. Hanks bersinar memainkan karakter ini, dia membuat akting dengan banyak dialog itu dengan berbagai range emosi itu tampak mudah. Momen-momen ketika dia ‘mendongeng’ untuk Jeff, aku merasa gak sabar dan ikutan duduk di sana mendengarkan cerita. Hanks gak butuh flashback, cukup dia bercerita aja, semua emosi yang diniatkan, semua pembelajaran yang dikandung, sudah tersampaikan kepada kita. Maka, tugas akting Caleb Landry Jones pun tak kalah berat. Dia harus bisa mengimbangi Hanks, sekaligus sebagai robot yang satu-satunya cara menunjukkan ekspresi dan perkembangan adalah lewat suara. Caleb berhasil terdengar seperti anak yang polos ke seorang yang penuh rasa optimis, hingga menyerempet ke komedi lewat kontras karakternya dengan Finch. Developmentnya semakin terasa saat film mendekati akhir. Jeff terasa sekali perbedaannya dengan saat di awal, kita merasakan progresnya dalam belajar menjadi semakin ‘manusiawi’.

Interaksi Finch dengan Jeff, Jeff dengan Goodyear, Finch dengan Goodyear menghantarkan kita melewati naik turunnya perasaan hangat, haru, intens, dan juga kocak. Film memang gak berniat menjadi sepenuhnya depressing. Malah, lebih banyak momen-momen ringan. Momen-momen yang lebih manusiawi. Mengingat ini cerita distopia dengan tokoh manusia dan robot dan hewan, maka pencapaian manusiawi tersebut jelas merupakan feat yang luar biasa. Saat menonton, seiring perjalanan yang dilakukan para karakter menuju Golden Gate Bridge (yang membuat film ini semacam road-trip movie) kita akan merasakan cemas, dan sedikit gak tega karena kita tahu cerita mengarah kepada Finch yang harus pergi. Alias mati. Bagi naskah, inilah yang dijadikan pertanyaan untuk dijawab di babak terakhir. Apakah usaha Finch berhasil?

Enggak banyak film yang berhasil tetap stabil saat ‘mencabut’ karakter utamanya saat cerita berlangsung. Kebanyakan langsung jatuh bebas, alias sudut pandangnya jadi kacau, dan tidak terjustifikasi kenapa karakter utama tersebut harus hilang atau diganti atau semacamnya. Contoh teranyar adalah The Medium (2021), horor Thailand yang bangunan ceritanya langsung runtuh saat karakter utama dibikin tewas dan ujug-ujug diganti oleh karakter dukun yang random. Finch adalah contoh yang berhasil. Suprisingly, film ini berhasil mencapai ending yang memuaskan meskipun karakter utamanya harus undur diri. Karena naskah benar-benar ditulis dengan matang. Keseluruhan babak terakhir adalah untuk menunjukkan keberhasilan Finch. Kita melihat aftermath dan apa yang ia ‘wariskan’ kepada Jeff. Masih ingat ketika di awal ulasan disebut setting sebagai bagian dari karakter? Seiring Finch belajar tentang trust, bahwa masih ada yang bisa diharapkan di muka bumi, situasi dunia cerita pun berubah. Membantu Finch menyadari semua itu. Gampang untuk overlook dan mengatakan film ini random tiba-tiba dunianya udah gak bahaya lagi. Sesungguhnya, film meminta kita untuk percaya bahwa ada yang mendasari semua itu. Bahwa sebenarnya yang diperlihatkan bahwa masih ada harapan. Sepeninggal Finch, cerita tidak berakhir karena lewat interaksi Jeff dan Goodyear film memperlihatkan bahwa perjalanan karakter Finch sudah melingkar sempurna. Jeff mendapat kepercayaan Goodyear karena Finch telah berhasil membuka hatinya untuk sebuah trust.

 

 

 

Buatku film robot ini hangat sekali. Action dan komedi dan ketegangannya tidak pernah berlebihan, melainkan fokus kepada cerita karakter. Perjalanan manusiawi yang harus ditempuh oleh karakternya. Sebagai road-trip, memang film ini adalah salah satu yang cukup langka, karena menunjukkan karakternya sampai di tujuan, bahwa tujuan itu sama berharganya dengan prosesnya. Secara terpisah film ini memang bisa terasa kurang original. Premisnya kayak sudah banyak. Settingnya apalagi. Namun secara gambaran besar, semua elemen di film ini berada pada tempat dan memenuhi fungsinya masing-masing. Dihidupi oleh tema yang menggugah dan penampilan akting yang memukau. Mata kita pastilah kelilipan pasir jika tidak melihat indahnya film ini. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for FINCH.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian termasuk yang susah mempercayai orang? Mengapa menurut kalian itu bisa terjadi?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ARMY OF THIEVES Review

“Do it for the sake of love”

 

 

I blame Marvel. Karena telah membuat jagat-sinematik tampak sebagai taktik jitu supaya laku, dan juga membuatnya tampak mudah. Aku menyalahkan Marvel, karena telah menginisiasi cinematic universe, yang membuat banyak pedagang film lain meniru. Walaupun mereka sebenarnya gak benar-benar punya brand atau produk untuk dibuatin universenya. Marvel tidak berangkat dari nol, melainkan dari komik yang telah bertahun-tahun jadi ikonik. Orang-orang tahu dan kenal tokoh-tokoh ceritanya. Namun lihatlah para peniru, banyak sekarang bermunculan film-film yang dipaksakan ada sebagai sebuah universe. Bahkan film drama aja ada – drama yang gak berasal dari apapun sebelumnya (kecuali mungkin satu buku nostalgia tanpa narasi); satu film berkembang jadi satu film baru yang mengangkat karakter minor, dan kemudian film baru muncul lagi dari karakter yang tak-kalah nobody nya di film tersebut.

Oh, kalian mau contoh yang disebutin judulnya? Army of Thieves. Ya, film yang hendak kita ulas kali ini, merupakan bagian berikutnya dari rancangan universe zombie karya Zack Snyder. Except, film ini bukanlah film tentang zombie. Melainkan film tentang heist atau perampokan bank. Dan yang jadi pengikat antara film ini dengan Army of the Dead (2021) – film pertamanya – adalah seorang karakter yang aku sejujurnya kaget sekali dan tak-percaya bahwa dia begitu difavoritin sehingga banyak yang minta film solonya.

Thieves-Army-of-Thieves
Emang ada yang kecuri hatinya sama si Ludwig?

 

Mengambil setting enam tahun sebelum peristiwa film Army of the Dead. Dari tayangan televisi dalam cerita kali ini, kita melihat zombie outbreak barulah mulai di Las Vegas. Di Eropa, tempat cerita ini bermula, ada masalah yang lebih urgen harus dihadapi oleh kepolisian. Masalah tersebut yaitu rangkaian perampokan bank. Ketika agen interpol masih menyusun teori (dan pemimpin mereka punya tebakan bagus, dan eventually bakal jadi semacam antagonis bagi geng karakter utama), kita sudah dibawa mengenal lima orang di balik perampokan tersebut. Tepatnya empat orang perampok internasional, dan Sebastian, cowok kikuk penggemar brankas. Sebastian diajak oleh kawanan perampok yang dipimpin oleh cewek keren bernama Gwendoline, berkat kemampuan dan pengetahuannya mengenai legenda empat brankas yang terkenal paling rumit dan susah untuk dipecahkan kuncinya. Itulah yang coba dibobol oleh mereka. Bagi Sebastian, yang selama ini hidup datar dan membosankan, tentu saja tawaran itu tak bisa ditolak. Kapan lagi dia bisa mengasah kemampuan dan berinteraksi langsung dengan legenda. (Plus si Gwendoline itu kece banget Sebastian jadi naksir)

Jadi, mari beralih dulu ke kru perampok dan aksi heist itu sendiri.

Genre heist sendiri sebenarnya sudah mulai jenuh. Serial animasi Rick and Morty bahkan sudah menelanjangi genre ini hingga ke trope dan klise-klisenya di episode 3 season 4 akhir tahun 2019 lalu. Army of Thieves, untungnya, tahu untuk tidak terjebak ke dalam klise-klise tersebut. Film ini gak mau jadi parodi dari genre ini. Maka mereka berusaha merancang formula heist yang berbeda, atau paling enggak bermain-main dengan trope yang telah ada. Misalnya, film ini gak pake sekuen ngumpulin anggota geng yang tersebar dan meminta mereka kembali ikut beraksi (lucunya, sekuen ini justru adanya di Army of the Dead – yang ternyata adalah film heist dan zombie sekaligus). Sekuen itu biasanya difungsikan untuk menyoroti masing-masing karakter anggota/kru, memberikan mereka spotlight untuk menceritakan backstory dan motivasi. Alih-alih pake sekuen itu, Army of Thieves mencapai tujuan menceritakan backstory dan memperkenalkan karakter lewat actual flashback – flashback origin para karakter.

Film ini juga gak pake twist demi twist yang menunjukkan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti yang biasa ada dalam genre heist. Cekcok antaranggota memang tetap ada, tapi diceritakan lebih frontal. Dimasukkan ke dalam elemen cinta segitiga antara Sebastian, Gwendoline, dan Brad Cage. Lalu, biasanya film heist juga punya sekuen montase saat karakter menjabarkan rencana perampokan kepada kru. Dalam Army of Thieves, sekuen seperti itu ada, akan tetapi dilakukan dalam bentuk komedi yang seperti ngebecandain trope itu sendiri. Nah pasti kebayang, bahwa film ini memanfaatkan beragam teknik editing untuk mendukung penceritaan. Dan berhasil. Karenanya, porsi heist dan aksi film ini memang lebih menarik. Ada angin segar-lah, seenggaknya.

Editing cut-to-cut yang cepat juga digunakan film ini untuk menyamarkan masalah pacing yang timbul dari setup karakter yang datar, terlebih karena memang film ini punya karakter-karakter yang enggak baru. Gwendoline, Brad Cage, Rolph, dan Korina memang keren, tapi mereka sendiri sebenarnya masuk ke dalam trope karakterisasi yang lumrah, atau sudah ada sebelumnya. Pemimpin yang cinta mati ama film action dan Amerika. Cewek hacker yang glamor. Pengemudi yang hobi makan. Kriminal yang menganggap geng mereka keluarga. Bahkan aksi membuka brankas juga bukanlah aksi yang benar-benar fresh. Film ini justru banyak mencuri dari film lain, dan sudah sepatutnya mereka melakukan sesuatu supaya kita tetap excited menontonnya. Melihat dari usaha-usaha yang disebut di atas, sebenarnya film ini masih punya kesempatan. Kalo saja dirinya ini bukan hadir demi eksistensi satu orang.

thievesarmy-of-thieves-trailer
Kalo Korina sih, silakan deh mencuri hatiku

 

Serius. Aku gak dapet di mana appeal atau daya tarik karakter Sebastian. Bagiku dia mirip seperti Newt Scamander (lakon dalam Fantastic Beast – another karakter yang dipaksain jadi jagat-sinematik), tapi versi kikuk yang annoying. Di Army of the Dead, Sebastian hadir sebagai pembuka brankas (yang actually adalah brankas legendaris terakhir), dia dijadikan comedic-relief dengan tingkahnya yang suka teriak-teriak, dan jadi penyeimbang buat karakter-karakter maskulin. Kali ini, di film yang bertindak sebagai prekuel cerita tersebut, Sebastian juga ngelakuin hal yang sama. Teriak-teriak saat keadaan memanas, nge-geek out dan fanboying hard sebelum membuka kunci brankas, dan socially awkward di tengah-tengah kelompok yang macho. Jadi, ya, gak ada perkembangan yang dialami karakter ini dari cerita dimulai hingga ke Army of the Dead berakhir. Bayangkan dua film, tapi karaktermu itu-itu melulu! Yang berubah pada karakter ini cuma nama. Di film pertama, actually, kita mengenalnya sebagai Ludwig Dieter. Di film ini, kita akan melihat dari mana nama tersebut berasal. Seolah itu merupakan hal yang penting.

Karakter utama memang harus dibikin penting. Namun tugas itu dapat menjadi demikian susah jika materi karakternya memang tidak banyak sedari awal. Matthias Schweighofer lantas didapuk sebagai sutradara dengan harapan dia sudah mengerti karakter Sebastian/Ludwig yang ia perankan itu luar dalam. Dan memang, Matthias paham apa yang klik di balik benak sang karakter. Dia mengerti bahwa bagi Sebastian, brankas-brankas itu bukan semata benda yang harus dibobol dan diambil uangnya, melainkan benda yang melambangkan pencapaian. Kekaguman seperti seorang anak bertemu idolanya, dan mendapat pengakuan dari idola tersebut karena si anak telah berhasil melampaui prestasinya. Begitulah Sebastian melihat kunci-kunci besi itu. Dan kita bisa merasakannya, kekaguman terpancar dari karakter ini. Tapi itu saja belum cukup untuk menghidupkan film ini secara keseluruhan.

Yang beresonansi dari Sebastian kepada kita adalah kecintaannya terhadap yang ia lakukan. Sebastian tidak melakukan perampokan demi uang. Dia melakukannya supaya bisa bertemu dengan hal yang paling berarti baginya di dunia ini. Brankas dengan sistem kunci yang legendaris. Dan tentu saja, Gwendoline yang ia katakan kepada kita telah mengubah hidupnya. Ditunjukkannya bahwa hidup lebih dari sekadar cari duit. Pengalaman mendebarkan, dan cinta, jauh lebih berharga.

 

Di luar ketertarikan dan ke-nerdy-annya sama brankas, Sebastian enggak banyak ngelakuin hal lain. Film memberikannya sekuen aksi – naik sepeda keliling kota dikejar polisi – yang cukup kocak dan sangat kita apreasiasi di tengah kering kerontang dan membosankannya karakter ini. Sebelum diajak jadi geng rampok, secara inner, Sebastian enggak punya masalah di dalam hidupnya. Backstory kenapa dia hobi ngulik brankas dan kenapa dia gak gaul hanya disebutkan sepintas. Sepanjang durasi (yang memang panjang amat!) karakter ini kebanyakan hanya bereaksi. Terbawa-bawa. Seperti yang sudah disebutkan di atas tadi, Sebastian tidak punya development. Lantaran memang tidak ada yang bisa digali. Untuk mengisi kekosongan, naskah memusatkannya kepada romansa. Sebastian naksir Gwendoline, yang sudah punya cowok yakni si paling macho dalam kelompok mereka. Elemen itu juga gak dibahas mendalam. Enggak pernah lebih dari sebatas cowok cupu yang jatuh cinta sama gadis pertama yang mengajaknya bicara. Basic sekali.

Sedari awal itu dia sudah jago buka brankas. Dia bahkan enggak peduli sama kejaran waktu. Oh, mereka cuma punya waktu sempit sebelum penjaga dan sekuriti bank sadar, dan memanggil polisi untuk menghentikan aksi perampokan? Sebastian gak peduli sama itu. Dia sempat-sempatnya cerita panjang lebar tentang mitologi di balik masing-masing brankas. Mitologi yang sebenarnya menarik, karena mencerminkan keadaan cinta segitiganya dengan Gwendoline. Hanya tak terasa sebagai waktu yang tepat. Film menjadikan ‘bad timing‘ ini sebagai quirk dari karakter Sebastian, dengan harapan dapat membuatnya semakin tampak sebagai karakter yang menarik. Dan juga disetup bahwa Sebastian begitu pintar dan ahli jadi dia bisa membuka kunci-kunci rumit itu dalam waktu singkat. Akan tetapi karena situasinya adalah perampokan, ketika karakter utama gak peduli sama desakan waktu, dia gak merasa dirinya diburu-buruin, kita yang nonton jadi gak ngerasain lagi stake perampokan tersebut. Kita jadi bodo amat. Dia jago, kok.

Apalagi karena kita gak bisa berpartisipasi kepada tindakan yang Sebastian lakukan. Gimana coba membuat orang memutar-mutar kenop di brankas jadi aksi menarik yang breathtaking? Gak ada. Film ini menggunakan visual CGI yang menggambarkan mekanisme kunci yang sedang berusaha dipecahkan oleh Sebastian. Semua itu gak ngehasilin perasaan apa-apa. Ketika dia berhasil membuka kunci, kita gak ikut bersorak bersamanya. Karena kita gak diajak ikut mikir, kayak kalo misalnya ada kode atau teka-teki yang harus dipecahin dalam jangka waktu terbatas.

Oiya, ada ding, satu lagi yang dilakukan Sebastian, sebagai bagian dari karakternya. Mimpi tentang zombie-zombie! Lame. Upaya yang sangat payah dari film ini untuk mengikat dan ngingetin kita sama universe zombie film ini. Seringnya adegan mimpi diserang zombie itu justru merusak tone cerita, dan nambah-nambah hal gak perlu bagi karakternya. So what, Sebastian is a psychic too? Who cares!

 

 

 

Ini baru film kedua dari proyek zombie universe Snyder loh. Dia masih punya cerita-cerita lain yang siap ditayangkan. Honestly, aku berharap dia menerapkan apa yang diajarkan Sebastian kepada kita di film ini. Untuk tidak melakukannya semata demi cuan. Aku merasa film yang kali ini, tidak benar-benar penting eksistensinya. Masih bisa dinikmati, berkat garapan aksi dan permainan editing yang masuk ke dalam humor. Tapi gak menambah banyak untuk karakter yang sepertinya bakal terus muncul di universe ini nanti (karena kalo dia gak muncul lagi nanti, makin tak-ada gunanya lah kita nonton film ini) Mending bikin film heist generik aja yang benar-benar bercerita tentang kejadian dan trik-trik perampokan. Untuk mitologi dunianya juga, gak banyak berarti. Ini adalah film yang bisa ditonton, dan setelahnya ya beres gitu aja. Film ini membuktikan kalo sedari awal udah angin, ya gak bakal bisa jadi emas.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for ARMY OF THIEVES.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pandangan kalian terhadap genre heist? Is it dead? Bagaimana cara membuatnya kembali menarik?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

LAMB Review

“They can face anything, except reality”

 
 

Sudah lumayan banyak keanehan dalam dunia film 2021, perihal bayi. Sebelum ini kita udah dapat bayi boneka kayu. Bayi setengah mesin. Dan kini, Lamb yang ceritanya terisnpirasi dari folklore atau cerita rakyat Islandia, melengkapi keanehan terebut dengan menghadirkan bayi domba setengah manusia. You would think cerita tentang pasangan yang mengadopsi bayi hibrid tersebut bakal punya beragam bahasan dan kejadian. Namun Lamb digarap oleh sutradaraValdimar Johannsson di bawah sayap studio A24. Dan film-film dari rumah produksi dan distributor tersebut tidak terkenal dengan film yang punya banyak kejadian dalam satu cerita. Buatku, film-film A24 justru dikenang sebagai yang wajib ditonton kala mau menaikkan berat badan. Karena, camilanku udah habis dua bungkus, adegan filmnya baru beres memperlihatkan karakter berjalan dari ujung layar ke layar satunya.

I don’t mean that entirely as a bad thing. Film A24, dan termasuk Lamb ini, meskipun flownya lambat, tapi sangat poetic. Visualnya dirancang untuk benar-benar nge-entranced kita. Sebab visualnya itulah yang menjadi pintu masuk kita terhadap perasaan yang digambarkan. Cerita Lamb bersetting di rumah peternakan di pegunungan. Pemandangan padang rumput luas, bukit-bukit yang senantiasa tertutup kabut, dan langit abu-abu membentang dicat ulang oleh film dengan ‘warna’ yang menimbulkan kesan tak-nyaman. Atmosfer lingkungan tersebut terasa mengekang. As far as bagaimana sebuah konsep memenuhi fungsi, film ini berhasil. Meskipun fungsi tersebut tidak enjoyable bagi kebanyakan penonton. Apalagi ketika dua karakter sentral mulai diperkenalkan kepada kita. Pasangan pemilik peternakan domba, Maria dan Ingvar. Semua mood yang digambarkan, yang nyampe kepada kita, bersumber dari dua karakter ini. Lamb meletakkan kita begitu saja di ruang dapur mereka. Tidak mengetahui mengapa mereka terasa begitu dingin. Begitu somber. Tidak bergairah.

 
Lamb-Banner
Kecuali adegan opening, yang tanpa kita sadari sebenarnya adalah adegan domba kimpoi di malam yang dingin
 
 
 

 

Ini jadi set up yang benar-benar susah untuk diikuti. Apalagi karena film ini sebenarnya ceritanya singkat banget. Jangan dulu ngomongin dialog, kejadian-kejadian yang menyusun narasi utuhnya aja enggak banyak. Lamb ini bisa saja jadi episode animasi horor Yamishibai yang pendek-pendek, yang menitnya itungan jari itu. Kita jadi ingin cepat-cepat masuk ke pusat konflik. Tapi film dengan teganya berlama-lama. Film ingin memastikan kita merasakan semua emosi yang diniatkan. Karena ini penting. Film tidak pernah menyebut sesuatu dengan gamblang. Ketika ngasih set up bahwa keluarga Maria punya kejadian masa lalu tak mengenakkan, film memberitahu kita lewat dialog ‘gajelas’. Maria dan Ingvar membicarakan seputar mesin-waktu. Aku sudah camilan bungkus ketiga sekarang, aku harus nambah terus karena kalo enggak, aku bakalan ngantuk. Namun sebelum aku sempat membuka camilan keempat, film membuatku melek dengan adegan yang sangat-teramat-real. Adegan Maria dan Ingvar membantu seekor domba melahirkan. Ingvar memegangi badan domba, Maria menarik kepala anak yang nongol di belakang mama domba. Aku bersyukur udah gak sedang makan. Dan honestly, setelah adegan itu aku gak perlu camilan lagi untuk stay awake.

Akhirnya cerita sampai ke menu utama. Kali berikutnya ada domba yang melahirkan, Maria dan Ingvar mendapati sesuatu yang membuat mata mereka membulat. Film cerdas gak langsung ngasih kita lihat. Kita kan jadi penasaran saat Maria membawa bayi domba ke dalam rumah, memandikannya di bak mandi, menidurkannya di ranjang bayi. Membungkusnya dengan selimut. Hangat. Kita merasakan juga, tapi tidak tanpa sensasi geli-geli aneh. Film ngambil waktu lagi. Ngebuild up si anak domba ini kenapa sih sebenarnya. Mengapa pasangan itu begitu sayang dan begitu protektif terhadap si anak domba. Mama domba mengembek di luar jendela, mereka usir. Ketika anak domba itu menghilang dari rumah, Maria dan Ingvar panik. Benar-benar cemas. Mereka mencari-cari ke luar rumah, tapi tidak pernah mencari ke kandang domba. Sebagai penonton, kita diharapkan film untuk mulai menambah satu-tambah-satu dari adegan-adegan tersebut. Dari perbincangan mesin waktu hingga ke kecemasan anak domba yang menghilang. Ya, pasangan ini pastilah punya kenangan buruk terhadap anak. Dan setelah si anak domba ketemu, barulah diperlihatkan dia adalah domba separuh manusia. Mereka beri nama Ada. Mereka rawat seperti anak sendiri. Realita-baru mereka tersebut lantas akan kembali ditantang ketika babak baru cerita dimulai, dengan kedatangan saudara laki-laki Ingvar, Petur, ke rumah kecil mereka.

Basically, aku baru saja menceritakan 90% isi film, hanya dari satu paragraf di atas. Hanya menyisakan yang penting-penting, yakni konfrontasi drama dan menit-menit terakhir berupa pengungkapan yang either bagi kalian terasa shocking dan seram, atau menggelikan. Tergantung dari bagaimana perasaan kalian setelah melewati nyaris dua jam yang ajaib tersebut. Segitu singkat dan, katakanlah, uneventfulnya, cerita film ini. Film baru benar-benar hidup dan menyala saat keempat karakater sudah ada di rumah itu. Padahal mestinya bisa lebih banyak dan lebih kompleks yang diceritakan. Ada yang mulai gede dan menyadari dirinya berbeda aja hanya dibahas sekilas, porsinya lebih kecil daripada durasi Maria dan Ingvar berkeliling di rumah mencarinya saat hilang tadi. Heck, keberadaan atau eksistensi Ada di dunia cerita ini saja tidak pernah dibahas mendalam. Melainkan cuma sebatas Petur bilang Ada itu tidak benar (binatang yang didandani dan dianggap anak manusia), yang tentu saja ditentang oleh Maria dan Ingvar yang tersenyum bangga memperkenalkan Ada kepadanya. Coba kalo ini sinetron, waah, Maria pasti curiga.. Jangan-jangan lakik gue selingkuh ama domba.. (Although, mungkin ini juga salah satu penyebab dia menembak mati sang mama domba).

 
lambmaxresdefault
“Ayah, kenapa aku… Ada”
 
 
 

Jadi, Baby Ada ini pastilah sebuah simbolisme, kan. Kan?

Si Ada dalam cerita ini bisa jadi serupa sosok minotaurus dalam legenda yunani, yang melambangkan kematian. Atau dia yang makhluk setengah manusia setengah hewan itu bisa juga seperti Dewa Ganesha di India, yang tampil seperti itu sebagai bentuk penyesalan orangtua yang telah memotong kepala manusianya. Atau dalam agama Kristen, Ada si domba itu ya bermakna sebagaimana domba dalam Alkitab. Makhluk suci yang melambangkan keajaiban Tuhan. Domba melambangkan purity dan keinnocent-an. Yang menarik adalah, si Ada malah bisa dimaknai sebagai ketiga simbol tersebut sekaligus.

Lamb pada hatinya adalah sebuah cerita tragis. Makanya dia dijual sebagai horor. Karena horor bukan sebatas kejadian mengerikan karena hantu-hantuan, jumpscare, atau pembunuh gila di malam hari. Horor juga adalah kejadian mengerikan yang berasal dalam kita sendiri. Dari perasaan tragis yang menghantui. Dendam, cemburu, rasa bersalah, duka. Lamb sesungguhnya bermain pada dua tema yang terakhir. Ingvar, dan khususnya Maria (tokoh utama cerita ini adalah seorang ibu) adalah pasangan yang telah melewati hari-hari penuh duka. Keberadaan Petur, dan hubungannya dengan mereka yang tersirat di dalam cerita, adalah saksi hidup dari seberapa dalam duka tersebut berdampak di kehidupan rumah tangga mereka. Untuk tidak mengatakan terlalu banyak, Ada si bayi domba, bagi mereka lebih dari kesempatan kedua. Bagi suami istri ini, Ada bisa dibilang adalah mesin-waktu, yang memungkinkan mereka untuk memperbaiki atau bahkan mencegah duka yang tadi terjadi.

Tragisnya adalah, bahwa manusia yang terluka, cenderung lebih suka untuk menghadapi apapun – termasuk sesuatu yang sama sekali ajaib, sesuatu yang setidakmasukakal menjadikan anak domba sebagai anak sendiri – kecuali kenyataan pahit itu sendiri.  Film ini gak segan-segan ngasih hukuman untuk orang seperti itu. Seperti yang kita lihat terjadi kepada Maria di akhir cerita. Lamb sesungguhnya adalah dongeng rakyat penuh moral tentang orang yang jadi kehilangan begitu banyak, karena mereka berkubang dan tidak membenahi diri setelah kehilangan yang pertama.

 
 
 
 
 

Puitis, tragis, humanis. Film ini bukan hanya punya bobot, tapi juga penuh oleh ruh-ruh seni. Dia bercerita lewat visual. Dosa film ini cuma, bercerita terlalu lama. Dan terlalu sedikit. Dia tidak berhasil meyakinkan kita bahwa cerita yang sajikan ini memang harus berdurasi sepanjang itu, karena dia tidak mengisi durasi dengan seimbang. Atau katakanlah, dengan efektif. Banyak plot-plot poin yang jadi ada, dan kemudian tidak ada, dengan begitu saja. Semuanya numpuk di pertengahan akhir. Sementara di awalnya, set up agak sedikit terlalu kosong. Melainkan jadi susah untuk diikuti. Saking susahnya, penonton bisa gak sabar, dan memutuskan untuk melihat film ini sebagaimana yang mereka mau. Tidak lagi sesuai tuntunan yang disediakan. Akhiran film yang mengejutkan itu, misalnya, aku gak kaget kalo ada yang menganggapnya lucu, alih-alih tragis. 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for LAMB.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pandangan kalian terhadap pilihan-pilihan yang dilakukan oleh Maria? Apakah di mata kalian dia adalah seorang ibu yang baik?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

PARANORMAL ACTIVITY: NEXT OF KIN Review

“It’s okay to walk away”

 

Paranormal Activity telah sukses memberikan warna baru kepada genre horor found-footage di tahun 2007. Alih-alih menggunakan kamera bergoyang yang mengikuti ke mana karakter pergi, film indie tersebut menggunakan kamera steady yang merekam ruangan rumah. Yang seketika efektif mencuatkan trope-trope unggulan dari genre ini; suara misterius yang gak keliatan sumbernya di mana, wide shot tapi sudut pandang penonton amat terbatas, dibalut cerita keluarga yang membuat penonton rela memandangi ruang kosong sambil siap-siap menangkap jantung yang copot begitu kekuatan tak-berwujud menunjukkan aktivitasnya. Beberapa sekuel pertama dari film tersebut masih bertahan dan cukup berhasil menghantarkan pengalaman seram serupa. Namun, seperti halnya franchise horor lain, Paranormal Activity pun jadi gede dan melebar keluar rel, sebelum akhirnya kandas setelah sekuel yang dinilai paling buruk di tahun 2015 (PA: The Ghost Dimension) Aku actually bersorak hore saat film tersebut gagal dan officially mengakhiri franchise Paranormal Activity yang sudah jadi kayak parodi diri originalnya sendiri, karena kebanyakan sekuelnya hanya meniru trik tanpa pernah mikir dan memahami apa yang membuat trik tersebut berhasil. Namunnya lagi, seperti halnya franchise horor lain, franchise ini pun berusaha dihidupkan kembali. Paranormal Activity: Next of Kin adalah usaha tersebut.

Dijadikan literally next of kin – kerabat dekat – dari film-film sebelumnya, film terbaru ini oleh sutradara William Eubank diberikan arahan yang fresh. Seenggaknya, niatnya begitu. Biar fresh. Next of Kin tidak lagi melanjutkan mitologi sekte Toby dan Katie. Tidak lagi bersetting di dalam rumah, dengan kamera yang merekam ruangan kosong di malam hari. Eubank menggunakan konsep found footage yang baru bagi franchise ini, tapi enggak benar-benar baru dalam genre found footage itu sendiri. Itupun dilakukan dengan generik dan konsep yang tidak maksimal. 

paranor-2021-10-06-at-1.31.38-PM
Film ini jika diibaratkan sebagai kerabat keluarga, maka dia adalah kerabat yang kita ingin jauhi

 

Cerita baru yang diusung oleh film ini adalah tentang Margot, perempuan yang menemukan keberadaan keluarga aslinya. Dirinya ketika masih bayi ternyata ditinggalkan oleh ibunya begitu saja di depan pintu apartemen. Sang ibu, melarikan diri dari keluarga besar mereka di perkampungan Amish. Kinda like ibu-anak Laudya Cynthia Bella dan Lutesha di film Ambu (2019)hanya saja di sini, sosok Ibu Margot jadi misteri. Untuk itulah, Margot memutuskan untuk mengunjungi kampung tersebut. Dia mengajak pacarnya yang kameramen dan sahabat mereka yang tukang sound. Mereka juga dibantu oleh pemuda dari kampung Amish yang sedang berada di kota. Lebih dari silaturahmi, Margot ingin memfilmkan kehidupan keluarga besarnya di sana, dengan harapan dia bisa tahu apa yang terjadi dengan ibunya.

Do you guys see the problem with that story? Do you see that ‘red flag’?

Ya, alasan untuk menjadikan film ini sebuah cerita dengan konsep found-footage lemah sekali. Untuk apa Margot bikin film segala. Salah satu struggle (dan ultimately menjadi kejatuhan bagi banyak film horor bergenre found footage) adalah memasukakalkan karakter ceritanya menggunakan kamera sepanjang waktu. Konsep ‘menonton cerita dari tayangan video kamera’ dalam found footage hanya akan benar-benar menjadi sebuah storytelling yang unik, jika bangunan ceritanya sendiri benar-benar dirancang untuk hanya bisa bekerja dengan konsep tersebut. Franchise V/H/S/ misalnya, mereka membingkai konsep tersebut ke dalam cerita kasus cult video. Video-videonya itu yang kita tonton sebagai film horor antologi. Atau Paranormal Activity original; ceritanya dibuat sebagai kisah tentang pasangan yang mengalami gangguan aneh di malam hari sehingga mereka memutuskan untuk merekam isi rumah dengan kamera pengintai. Klip-klip dari rekaman kamera mereka itu yang kita tonton sebagai film. Narasi film tersebut serupa puzzle yang harus kita susun, klip-klip itu jadi kepingan puzzlenya. Jadi, make sense, saat keseluruhan film adalah tontonan dari klip video atau dari klip rekaman kamera.

Next of Kin enggak punya alasan yang kuat seperti demikian. Margot berkunjung ke kampungnya, sambil merekam video. Katanya dia pengen bikin dokumenter tentang orang Amish, tapi selain kunjungan ke kandang ternak (mereka berunyu-unyu dengan babi tampak sangat out-of-place), kita tidak pernah melihat mereka merekam aktivitas apa-apa. Margot bahkan terus merekam bahkan setelah semua orang Amish itu tidur. Karakter-karakter protagonis kita tidak punya alasan kuat harus terus menerus merekam. Mereka hanya merekam karena ini adalah film found footage. Makanya, konsep ini gak bekerja dengan baik. Karena seperti dipaksakan. Atau parahnya, cerita ini memang sebenarnya bukan untuk found footage. Hanya karena ingin dijual sebagai brand Paranormal Activity ajalah, maka diharuskan jadi pake pov kamera.

Bahkan pada beberapa adegan, kelihatan sekali film ini kesusahan untuk komit dengan konsep tersebut. Pada beberapa adegan, kita bahkan tidak tahu kamera cerita dipegang oleh siapa. Contohnya ada adegan menjelang ending yang there’s no way karakter protagonis yang ada di layar itu bisa memegang kamera. Tapi kegiatan mereka terus direkam. Terus ada juga set up yang aneh; di awal-awal, karakter memperlihatkan kamera canggih kepada anak-anak di kampung yang gak tau teknologi itu. Mereka bermain-main dengan mode slow-motion. Pake dijelasin segala berapa frame per second kamera itu merekam dalam keadaan slo-mo. Pay off dari itu, adalah, saat setan dalam cerita ini beneran muncul dan mengejar si karakter protagonis, ada momen ketika si setan kita lihat bergerak dalam slow-motion. Yang berarti, si perekam sempat-sempatnya memakai fitur itu di momen life or death seperti demikian. Kan maksa banget. Orang dikejar setan tapi lari matanya masih ngerekam lewat kamera aja udah aneh. Pake segala aktifin fitur slo-mo pula.  

Ketika mereka semua menginap di rumah kakek Margot yang jadi pemimpin (sosok patriarki) di keluarga Amish itu, kupikir malamnya akan ada bagian mereka mendengar suara-suara, lalu memutuskan untuk memasang kamera tersembunyi supaya kita bisa mendapatkan momen kamera ruangan khas Paranormal Activity. They do hearing voices. Ada satu adegan ketika Margot bangun dan menyelidiki suara tersebut hingga sampai ke atap dan kita kemudian mendapatkan bagian paling ngeri dan terbaik seantero durasi film ini (berkat permainan kamera dan timing jumpscare yang pelan-tapi-pasti!). Namun bagian mereka memasang kamera untuk mengintai itu tidak pernah datang. Next of Kin malah gagal untuk menjadi seperti Paranormal Activity. Heck, bahkan The Medium (2021) aja bisa menjadi Paranormal Activity yang lebih baik ketimbang Next of Kin ini!

Ngomong-ngomong, The Medium bisa dijadikan perbandingan yang bagus soal konsep found footage. Film dari Thailand itu sebenarnya menggunakan standar found footage kebanyakan; yakni membentuk ceritanya berupa ala-ala dokumenter supaya karakter dengan kamera bisa terus ada di sana. The Medium melakukannya dengan sangat kuat sehingga dia beneran tampak seperti mockumentary, padahal sebenarnya found footage. Saking kuatnya, at it worst, The Medium bisa kita bilang sebagai mockumentary yang berkembang menjadi found footage yang all over the place. Next of Kin sebenarnya juga punya kekuatan. Film ini bukan hanya mengeluarkan diri dari ending yang template buat found footage (semua mati!), tapi juga keluar dari tradisi ending franchisenya sendiri. Narasinya juga sebenarnya cukup punya bobot. Margot yang diperankan oleh Emily Bader, walaupun melakukan pilihan-pilihan bego, tapi tidak annoying. Dia likeable. Dia dirancang sebagai teman yang bisa relate sama semua penonton. Sayangnya, dia hidup di dunia-cerita yang dibangun dengan lemah. Film ini bahkan tidak bisa dibilang sebagai found footage yang all over the place. Melainkan cuma cerita yang bisa lebih baik penggaliannya jika tidak dikonsep sebagai found footage.

ParanorActivity-Next-of-Kin-trailer-image
Kau tahu kau gagal jadi sesuatu, kalo orang bilang kau bisa lebih baik jika enggak jadi sesuatu itu.

 

Bayangkan, jika tidak sibuk mikirin karakter dan kamera, film ini bisa menggali banyak hal yang hanya dimasukkan seuprit dalam cerita. Budaya orang Amish yang berbeda dengan anak teknologi macam Margot dan teman-temannya. Ini bisa jadi bahasan yang menarik. Apalagi film memang tampak menggali horor dari sini. Margot dan teman-temannya menjadi takut dan curiga kepada keluarga Amish itu karena mereka begitu aneh dan berbeda. Hidup tanpa listrik dan sebagainya. Belum lagi perkara mereka adalah keluarga darah daging Margot. Bahasannya bisa dalam. Tapi karena film ini lebih mementingkan gaya found footage, maka bahasan ke arah sana dangkal sekali. Hanya berupa ‘Amish berbeda sehingga mereka mengerikan’. Ini kan jadi kayak menghororkan stereotipe, yang bisa berujung terlihat sebagai narasi yang gak respek. Mungkin itu juga sebabnya film ini mengadakan sebuah revealing di menjelang akhir yang menjelaskan sesuatu ternyata tidak seperti yang kelihatannya.

Ada hal-hal tertentu yang membuat kita boleh meninggalkan keluarga. Harus meninggalkan, malah.Yang dialami oleh Margot dan ibunya sebelum dirinya, adalah contoh dari hal tersebut. Film ini memang menunjukkannya dalam lapisan horor. Tapi di balik itu, kita bisa mengambil nilai bahwa tidak semua yang dilakukan oleh keluarga kita, yang dipercaya oleh mereka sebagai kebenaran, adalah kebenaran.

 

Namun itu juga lantas menunjukkan betapa naskah film ini memang dibuat sekenanya aja. Kayu yang memalang pintu gereja bertulisan kalimat dalam bahasa Jerman. Margot dan kawan-kawan kelimpungan mencari tahu artinya, yang ternyata adalah peringatan. Namun saat mereka semua sudah masuk, di lantai gereja, terdapat gambar-gambar yang disertai tulisan–berbahasa inggris!! Sehingga Margot bisa membaca eksposisi-eksposisi dan cerita bisa kembali maju. Film ini enggak ragu-ragu untuk menjadi serba mudah bagi karakter, karena itu berarti mudah juga bagi mereka untuk membuat cerita. Malah ada adegan ketika karakter mampir ke toko, minjam internet dan ngegoogle nama setan, dan dalam waktu enggak lebih dari satu menit, seluruh misteri dan mitologi film ini terbeber semua kepada karakter. Film praktisnya usai di sini. Dan sisa durasinya adalah untuk gila-gilaan. Yang malah kerasa lebih mirip cut scene video game horor first-person. Film ini ngarep kita bakal puas dengan kegilaan di akhir dan melupakan betapa males dan ngasalnya mereka dalam membangun konsep dan menulis cerita.

 

 

Bagaimana membuat sesuatu yang tadinya unik tapi lantas menjadi membosankan, menjadi unik kembali? Jawaban film ini adalah dengan membuatnya menjadi hal basic yang dihindari oleh originalnya sedari awal. Film ini hanya sedikit sekali terasa seperti franchise Paranormal Activity, dan sama sekali tidak terasa seperti perbaikan. Okelah, secara teknis, film ini memang lebih baik daripada film terakhir dari Paranormal Activity sebelum ini. Namun secara overall, konsep yang dipakai sangat lemah. Dan enggak klop dengan potensi maksimal yang dimiliki oleh ceritanya. Hasilnya, tampak sebagai usaha yang teramat lemah dalam menghidupkan kembali franchise found footage yang pernah sangat populer ini.
The Palace of Wisdom gives 2.5 out of 10 gold stars for PARANORMAL ACTIVITY: NEXT OF KIN

 

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang genre horor found footage? Apakah menurut kalian masa horor genre tersebut sudah lewat? Konsep unik apa yang ingin kalian lihat dalam genre ini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

TITANE Review

“Hard experiences may indeed make you tough.”

 

Titane adalah cerita tentang seorang perempuan yang cinta sama mobil. Itu adalah kalimat yang paling innocent dalam mendeskripsikan film karya sineas Perancis Julia Ducournau ini. Sebenarnya, Titane bukanlah cerita yang innocent. Ataupun bukanlah cerita yang normal. Cinta sama mobil yang kita kenal adalah, sikap orang yang merawat dengan seksama kendaraan yang punya nilai tertentu bagi dirinya. Orang yang membanggakan kendaraannya karena kendaraan tersebut entah itu irit, awet, atau mesinnya ‘bandel’. Ya, cinta yang normal-lah. Cinta sama mobil Titane berada dalam realm yang sama sekali berbeda. Perempuan tokoh utama film ini lebih suka mengekspresikan dirinya kepada mobil, ketimbang kepada manusia. Dia menari erotis di atas kap mobil. Hingga di satu titik, perempuan tersebut hamil. Oleh mobil.

Alih-alih air susu, dadanya mengeluarkan oli. Alih-alih ketuban, cairan hitam pekat-lah yang muncrat dari dalam tubuhnya. Di satu sisi, film ini memang cocok dimasukkan ke dalam kotak body-horror, berkat bertaburnya elemen-elemen edan ketakutan si karakter perempuan terhadap kondisi tubuhnya. Namun di sisi lain, di samping keanehan tersebut, sutradara Julia sesungguhnya kembali menghadirkan kepada kita kisah hubungan kekeluargaan yang hangat. Yang mengalun beriringan dengan tema-tema yang super relate dengan kemanusiaan. Seperti self-healing atas trauma, dinamika gender, dan kendali atas tubuh/hidup sendiri.

titane840_560
Kucumbu Mobil Indahku

 

Perempuan itu bernama Alexia. Waktu kecil, Alexia pernah kecelakaan mobil. Sehingga pelat baja harus ditanam di kepalanya. Tau tidak siapa yang pertama kali dipeluk dan dicium Alexia cilik begitu operasi perawatannya berhasil? Bukan, bukan ibu dan ayahnya. Mobilnya. Kecintaan tak-wajar Alexia sama mobil memang telah tumbuh sejak dini. Dan kerenggangannya dengan orangtua – terutama dengan ayahnya – besar kemungkinan adalah sumber dari segalanya. Setelah dewasa, Alexia bekerja sebagai penari stripper. Spesialis nari di mobil. Dirinya semakin berjarak dengan manusia-manusia lain. Malahan, saking canggungnya dengan manusia, Alexia punya kecenderungan untuk membunuh orang-orang di sekitarnya. Serius. Alexia jadi semacam serial killer! Di tengah pelariannya suatu ketika, Alexia menyamar menjadi putra dari seorang pemadam kebakaran. Putra yang hilang sejak kecil. Penyamaran Alexia membawanya bertemu dengan Vincent, sang pemadam kebakaran. Alexia tinggal bersama Vincent yang percaya dia adalah putranya. Film Titane lantas mulai berganti gigi. Masuk ke dalam cerita melodrama dua orang asing yang saling tidak menampilkan diri masing-masing, meski tak bisa dipungkiri, mereka saling membutuhkan.

Karena bicara tentang tubuh dan trauma itulah, maka film ini terasa seperti versi cewek dari Kucumbu Tubuh Indahku (2020) bagiku. Bagaimana tidak? Film ini juga menggunakan tubuh sebagai rekam jejak hidup yang dilalui oleh Alexia. Hidup yang penuh trauma. Lempeng baja di kepalanya itu merupakan bukti literal, catatan, atas trauma pertama yang menimpanya. Dan trauma itu membekas, seperti halnya lempeng baja yang terus bercokol di sana. Sebagai simbolisme, lempeng itu menunjukkan karakter dari Alexia. Perempuan yang tangguh. Atau mungkin lebih tepatnya, membuat dirinya tampak tangguh. Setiap pengalaman buruk, setiap trauma yang ia alami, membentuk dirinya semakin heartless. Semakin dingin. Semakin tak-perempuan. Di sinilah aspek gender mengambil peran dalam cerita. Memang masalah Alexia dan ayahnya tidak pernah disebutkan dengan gamblang, tapi aku tidak akan kaget kalo ternyata ayah lebih senang punya anak cowok ketimbang cewek. It would explain kenapa Alexia suka sama mobil. Teoriku, backstory cerita adalah, Alexia mencoba untuk memenuhi ekspektasi ayahnya tersebut, dan hasilnya adalah kekacauan hubungan ayah-anak yang kita lihat di film ini.

Jadi, seperti Juno dalam Kucumbu Tubuh Indahku, Alexia lantas menapaki hidup yang penuh trauma sembari tidak boleh menunjukkan kelemahan. Namun jika Juno berakhir harus menahan sisi feminimnya, Alexia yang kodratnya sudah cewek – harus menekan kemanusiaannya. Itulah sebabnya kenapa Alexia menjadi distant dengan manusia. Kenapa dia bisa jadi serial killer. Pelat baja adalah simbol sisi kemanusiaannya yang hilang. Dan kehamilannya oleh mobil, adalah simbol puncak hal tersebut. Dia hamil setelah melakukan pembunuhan yang, at least pertama kita lihat. Trauma atas peristiwa tersebut membuahkan kehamilan kepadanya. ‘Buah’ yang menunjukkan dia bukan lagi ‘manusia’. Sekaligus juga jadi tantangan terbesar, dia harus menghadapi kewanitaannya. Tebak ke mana cerita membawa Alexia berikutnya? Ya, Alexia yang tengah hamil (kecepatan hamilnya pun di luar kecepatan hamil normal) harus menekan perut buncitnya dengan suspender, karena dia harus menyamar sebagai laki-laki. See, semua simbolisme tadi itu comes together di paruh kedua cerita.

Secara teori, trauma yang kita rasakan, ‘diserap’ oleh tubuh. Semua yang kita alami, baik secara fisik maupun secara mental atau emosional, akan direkam dan disalurkan kepada tubuh. Maka ada benarnya juga perkataan yang mengatakan bahwa pengalaman keras dan trauma dapat membuat kita jadi lebih tangguh. Tubuh kita beradaptasi, membentuk pertahanan terhadap itu. Tapi sebagai manusia kita tidak hanya tubuh. Kita perlu penyaluran yang sehat terhadap trauma tersebut, penyaluran yang tidak membebani tubuh semata.

 

Jika kita memang menganggap film ini terdiri dari dua bagian cerita, maka bagian terbaik film ini adalah cerita di bagian keduanya. Ketika Alexia ‘terperangkap’ sebagai Adrien, putra yang telah lama hilang dari Vincent. Di sini adalah ketika semua yang dipercaya Alexia selama ini ditantang. Mau itu tentang bagaimana ayah kepada anaknya. Hingga ke tentang menjadi tangguh atau be a man itu sendiri. Selama ini, sebagai perempuan (dan penari stripper!), Alexia merasakan tatapan lapar para lelaki. Jadi dia berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahan. Sebagai Adrien, Alexia merasakan ‘tatapan’ yang berbeda dari para lelaki. Dia experience something yang tak pernah ia rasakan, sekaligus juga sesuatu yang familiar. Dia belajar banyak tentang kendali tubuh dan ekspresi dari Vincent, karakter yang actually ditulis lebih beresonansi ketimbang dirinya sendiri. Vincent, kapten pemadam kebakaran yang dituntut untuk tampil macho, tapi punya sisi vulnerable sendiri. Yang di saat-saat pribadinya, kita tahu kapten itu tidak prima lagi. Secara teknis pun, film langsung jor-joran menghasilkan kontras dari berbagai aspek saat cerita mulai menapaki hubungan antara Alexia dengan Vincent. Warna-warna lembut di momen-momen maskulin, misalnya. Kontras-kontras itu menambah depth buat narasi yang sedang disampaikan. Ending saat keduanya mulai menerima diri mereka masing-masing adalah momen indah, sekaligus sedikit menyeramkan. Memang, relasi kedua karakter inilah yang jadi hati yang kita tunggu-tunggu sepanjang durasi.

titanedd
Cerita yang saking anehnya, aku jadi membaca judulnya pake logat anime “Ti-ta-neee~”

 

Bagian pertama film ini memang sukar untuk ditonton. Alexia benar-benar karakter yang sulit untuk disukai. Waktu kecil dia begitu annoying dengan menirukan suara mesin mobil (dia bertingkah annoying itu yang actually jadi penyebab dirinya kecelakaan) Dia tidak banyak bicara. Ekspresinya tak terbaca. Dia membunuh orang-orang, beberapa di antaranya adalah orang yang berusaha bersikap ramah kepadanya. Kita tak tahu apa yang ia pikirkan, dan apa motivasinya selain tidak ingin tertangkap polisi. Hal satu lagi yang kita tahu adalah bahwa Alexia gak pengen hamil. Apalagi adegan-adegan yang ditampilkan juga bukan buat konsumsi orang-banyak. Adegan pembunuhannya digambarkan cukup real sehingga bisa bikin perut bergejolak. Adegan body-horrornya juga cukup disturbing, dengan oli muncrat ke mana-mana. Bahkan adegan ketika dia ‘mendandani’ dirinya untuk menyamar sebagai cowok; jangan harap adegan itu seelegan adegan Mulan potong rambut sebelum berangkat ke training camp. Film ini penuh oleh gritty things yang hard to watch. Namun begitu, aku salut sama penampilan aktingnya. Yang meranin Alexia itu bukan aktor profesional. In fact, film ini adalah debut aktingnya. Agathe Rousselle ditemukan oleh tim Julia di sosial media, dan langsung digembleng akting. Turns out, permainan akting silent dan berekspresinya juara banget.

Julia basically menyandarkan bagian pertama kepada performance aktor baru ini. Rouselle diberi kesempatan, dan she kills it! Satu-satunya alasan kita enggak berdiri dan ninggalin film ini meskipun di pertengahan awal itu karakternya unlikeable dan situasinya weird as hell, adalah Rouselle menyuguhkan penampilan akting yang membuat kita relate kepada Alexia, karakternya. Kita merasakan yang Alexia rasakan, lewat tubuhnya. Ketika dia membunuhi seluruh penghuni rumah, kecuali satu orang yang berhasil, kita merasakan kelelahan yang ia rasakan. Kita merasakan tekanan dari kejadian tersebut.

 

 

 

Mesin film ini memang lama panasnya. Set upnya gak benar-benar melandaskan banyak, karena seperti ada penghalang kita dari si karakter utama. Ditambah pula dengan elemen horor dan adegan-adegan yang membuat film ini bukanlah sebuah tontonan yang bisa dengan mudah untuk diselesaikan. Tapi memang itulah yang jadi jualan utama. Sebuah pengalaman traumatis. Artistry, kreasi, dan semua kemampuan sinematik pembuatnya diarahkan untuk membuat pengalaman tersebut mencuat. Walaupun harus menjadi seaneh mungkin. Bahkan ketika hati cerita mulai kelihatan pun, film tidak menginjak pedal rem dalam membuat dirinya tampak sebagai sebuah mimpi buruk. Namun di lubuk hati, kita tahu masalah yang dihadapi karakter-karakternya adalah masalah kemanusiaan yang real. Kita tahu perasaan tersebut bisa jadi relatable. Film ini dapat standing ovation sembilan menit di Cannes. Jadi, dalam semangat film itu sendiri, sekarang aku minta kita semua untuk berdiri. Dan bilang “Brrrrmmm Breemm Brmmmm!!”
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TITANE

 

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang film dengan elemen cerita yang aneh seperti film ini? Apakah bagi kalian keanehan tersebut jadi daya tarik atau malah jadi turn-off?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA