MINI REVIEW VOLUME 20 (FURIOSA: A MAD MAX SAGA, IN A VIOLENT NATURE, PEMANDI JENAZAH, DESPICABLE ME 4, LOVE LIES BLEEDING, THE BIKERIDERS, SPACE CADET, KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES)

 

 

Keeping up with new movies pada masa-masa liburan kian makin jadi tantangan buatku. Terutama jika filmnya punya durasi panjang banget. Faktornya banyak. Bisa karena mager ke bioskop, males rame. Bisa justru susah ngatur waktu karena biasanya bioskop ngasih jadwal dan sebaran filmnya kurang enak kalo ada film yang hits atau berdurasi panjang. Atau bisa juga karena filmnya malah gatayang sama sekali di bioskop tempatku liburan. Dengan alasan itulah, maka daftar ini dibuat, terutama buat ngejar ketinggalan nonton Furiosa. Let’s go.. brrrrmm.. brrrmmmm!!

 

 

DESPICABLE ME 4 Review

Setelah absen pada film ketiga tujuh tahun yang lalu, sutradara Chris Renaud kembali, seolah ingin me-reset dunia Despicable Me kepada sebuah fresh start. Karena itu juga yang terjadi kepada Gru dan keluarga kecilnya di dalam cerita film keempat ini. Musuh bebuyutan dari jaman sekolah kabur dari penjara, dendam kesumat kepada Gru, sehingga demi keamanan, mereka semua ikut semacam program perlindungan saksi; Gru sekeluarga diberikan alamat baru, serta identitas baru. And oh wait, keluarga mereka sendiri juga punya anggota baru, Gru Junior!!

Set up tersebut menanam banyak sekali permasalahan yang menarik. Gru harus berusaha jadi live up identitas barunya, yang berarti dia gak boleh jadi despicable self yang biasa – dan ini berkonflik dengan keinginannya untuk jadi suri tauladan yang baik – as in menjadi villain yang ‘baik’ kepada putranya. Karakter kesayangan kita yang lain juga dapat cerita sendiri; Margo harus mulai journey sebagai murid baru di sekolah yang baru, sementara Agnes – anak seimut itu harus berkonflik batin dengan dirinya harus ‘nyamar’ jadi identitas baru sementara dia gak mau berbohong. Sayangnya, bibit-bibit ini tidak berbuah jadi sebagaimana mestinya. Lantaran Despicable Me 4 yang menargetkan diri sebagai tontonan untuk anak-anak, memutuskan bahwa anak-anak gak mampu untuk musatkan perhatian pada… hey look, Minion! papoy, papoy, banana!!!

Look, udah film keempat – itu kalo kita gak ngitung film spin off dan lain-lainnya. Kita pahamlah, vibe film ini gimana. Rusuh, dan jualannya candaan dengan Minions. It’s okay mempertahankan itu. Tapi film ini, rusuhnya tu ekstra. Sampai-sampai semua permasalahan tadi itu melebar ke mana-mana.  Gru malah bertualang dengan anak lain, Minion tau-tau jadi parodi superhero. Aku akui, film dengan karakter yang tadinya villain, lalu ada dialog yang bilang “I’m sick of superheroes” merupakan celetukan yang cukup badass, tapi yah sebagai sebuah cerita, film ini masih belum matang. Bayangkan para Minions lagi memasak film ini di dapur. Hasilnya, dapur berantakan karena rusuh, dan masakannya sama sekali gakjadi – kalo gak mau dibilang kacau. Begitulah state film ini.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DESPICABLE ME 4

 

 

 

FURIOSA: A MAD MAX SAGA Review

Chris Hemsworth bilang “Amerika punya Star Wars, Inggris punya Harry Potter. Australia punya Mad Max” Aku setuju. Mad Max memang sebesar itu pengaruhnya terhadap pop culture. Geng-geng motor, adegan kejar-kejaran kendaraan yang beringas, dunia post-apocalyptic. Mad Max bahkan menginspirasi Fist of the North Star, manga yang berkembang menjadi franchise tersendiri. Dan kini, Mad Max bakal makin gede lagi karena George Miller punya lore karakter baru di dunia wasteland tersebut. Furiosa.

Kita sudah kenalan sama cewek botak ini di Mad Max: Fury Road (2015). Sekarang, kita diajak masuk untuk truly mengenal dia sedalam-dalamnya. Kenapa Furiosa penting untuk dikenali? Karena ceritanya literally sebuah oase di tengah gurun. Membedakannya dengan galian cerita Mad Max yang lebih tentang harapan dan kepahlawanan, Furiosa dibentuk sebagai kisah yang lebih kompleks dan kelam. Cerita tentang menumbuhkan hidup dari balas dendam, dari kebencian, seperti yang diperlihatkan pada ending yang menurutku menyentuh – dalam caranya sendiri – you know, gimana Furiosa dan Dementus (antagonis yang dimainkan charismatic oleh Chris) ‘menuntaskan’ permasalahan mereka.

Film ini juga berhasil ngembangin lore dunia wasteland itu sendiri. Ketika kita menonton kejar-kejaran spektakuler dengan kendaraan perang unik di gurun pasir saja, karakter dan motivasi mereka menempel sehingga semuanya terasa berarti. Cara film ini ngasih lihat karakterisasi juga beragam dan sama well-design-nya dengan wujud mereka. Furiosa aja misalnya, karena diceritain dari dia kecil maka Anya Taylor-Joy baru akan muncul di pertengahan, tapi kita bisa merasakan journey-nya nyambung. Karakternya benar-benar terbentuk dari sana. Kita bahkan bisa dengan mulus ngoneksikan Furiosa ini dengan Furiosa dewasa di film sebelumnya. Dan kerennya lagi, dialognya minim banget. Semuanya benar-benar diserahkan kepada akting mata dan ekspresinya Anya.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for FURIOSA: A MAD MAX SAGA

 

 

 

IN A VIOLENT NATURE Review

Janji film ini adalah menghadirkan slasher tapi lewat perspektif pembunuhnya. Slashernya bukan dari pembunuh-serial yang biasanya charming dan punya pemikiran ideal sendiri. Tapi dari backwood ‘monster’ superhuman ala Jason Vorhees. Janji sutradara Chris Nash ini memang manis. Sebab tentu saja akan sangat menarik jika kita dibawa menyelam ke sudut pandang seperti demikian. Apa yang si monster pikirkan. Kenapa dia membunuh. Kenapa harus sadis banget. Apakah dia merasakan penyesalan. Atau ragu. Atau takut. Bagaimana dia memandang korban-korbannya. Bagaimana dia bisa menguber mereka tanpa terdeteksi, sampai semuanya sudah terlambat.

Eksekusi janji tersebut, sayangnya terhuyung-huyung. Film ini cuma deliver, maybe dua, di antara ekspektasi kita ketika mendengar ‘film dari sudut pandang pembunuh.’ Beberapa hal memang menarik. Kayak gimana si pembunuh mengarungi hutan, mendengar ada orang ngobrol lalu dia berjalan ke arah mereka. Eh ternyata mereka lagi ngegosipin dia. Kemudian dia jalan lagi, lalu membunuh mereka satu persatu dengan cara yang entertaining abis! Sesekali kita juga ‘mendengar’ memori si pembunuh terkait informasi apa motivasinya. And that’s it. Ketika diwujudkan sebagai film, janji-janji itu terlihat seperti film slasher biasa, cuma lebih boring karena most of the time habis melihat si pembunuh berjalan. Karena ini soal dia memburu manusia lemah dan bersalah, maka tidak ada suspen yang terbangun. Tidak perlu musik. Bahkan filmnya sendiri gak yakin akan konsepnya, sehingga kadang jalannya si pembunuh ‘dipercepat’ dengan editing. Film masih takut untuk terasa boring. Ketika si pembunuh masuk air, berjalan di dasar, kita gak ikut nyemplung. Film masih berpindah ke sudut pandang mangsanya. Dan ini menurutku pelanggaran janji yang paling fatal. Dalam artian film gak konsisten.

Akhiran film membuat kita benar-benar lepas dari sudut pandang si pembunuh. Totally. Pindah ke sudut pandang final girlnya. Alih-alih big chase scene, atau apa kek terkait penyelesaian si pembunuh, film malah ngasih monolog yang terdengar sok misterius dan preachy, dari karakter yang bahkan baru nongol untuk sekuen itu saja. I don;t know, man. Lain kali kalo mau bikin dari sudut pandang pembunuh, mungkin yaah, desain dululah penulisan yang bagus untuk karakternya.

The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for IN A VIOLENT NATURE

 

 

 

KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES Review

Bersetting 300 tahun dari akhir trilogi Planet of the Apes modern, cerita yang dipunya Kingdom ini sebenarnya menarik, tapi apesnya, arahan Wes Ball dalam membuat ini sebagai set up dari trilogi yang baru membuat film ini jadi biasa aja.

Gimana gak menarik coba? Sekarang ceritanya dunia udah dikuasai oleh bangsa kera, tapi mereka terpecah-pecah karena punya interpretasi berbeda terhadap apa yang pemimpin, leluhur mereka – Caesar – mau. Ajaran Caesar buat bangsa kera, ternyata dimaknai berbeda oleh tiap golongan. Ada yang mengaku jadi penerus Caesar segala. Memerintahkan dengan tangan besi untuk semua kera tunduk kepadanya. Sementara keretakan terjadi di antara mereka, tokoh utama kita – kera bernama  Noa yang desanya diserang dan keluarganya dibawa paksa oleh kelompok kera jahat – menemukan pemahaman sendiri terhadap ajaran Caesar tentang manusia. Karena dalam perjalanannya untuk menyelamatkan kerabat, Noa bertemu dengan anak manusia bernama Mae.

Jadi setidaknya ada tiga pihak dengan konflik yang menarik jadi motor penggerak alur film ini. Sesama bangsa kera yang udah kayak cerminan gimana manusia terpecah belah karena keyakinan dan paham yang berbeda. Lalu antara kera dengan manusia, ada yang menganggap manusia harus dimusnahkan, dan ada yang percaya bahwa Caesar mengajarkan untuk hidup berdampingan dengan manusia. Ending film yang nunjukin interaksi/konfrontasi Mae (yang ternyata cerdas) dengan Noa buatku juga sangat menarik, menantang dan cocok sekali untuk mengirim kita ke lanjutan ceritanya. Tapi gak tau deh, ada something missing dari arahan film yang bikin menontonnya kayak biasa aja. Aku merasa durasi penceritaannya yang terlalu ngulur-ngulur, sehingga alih-alih menantang kita dengan konflik ideologi dan dilema personal, film jadi lebih kayak rescue-adventure dengan karakter sedikit lebih dalem aja. Menurutku film ini belum mencapai potensi yang sesungguhnya.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES

 




LOVE LIES BLEEDING Review

Love Lies Bleeding adalah tipe film yang susah dikategorikan ke dalam genre tertentu. Semuanya ada. Drama, romance, thriller, misteri, crime, action, bahkan ceritanya sempat pula masuk ke ranah surealisme. Dream-like. Yang gak ada cuma komedi, tapi walaupun begitu bukan berarti karakternya gak punya ‘selera humor’. Baru film keduanya, tapi sutradara Rose Glass udah seberani ini. Dari urusan tema pun, film ini berani mengangkat banyak. Love Lies Bleeding jadi terasa seperti dunia tersendiri yang intens, brutal, dan kelam.

Tema utamanya sih tentang obsesi. Atau mungkin candu. Hal yang kita tahu salah, not good for us, tapi tetap kita pegang atau pertahankan, karena tanpanya kita merasa diri kita kecil. Gak bisa apa-apa. Dua karakter sentral di film ini – Kristen Stewart yang kerja di gym, dan Jackie sebagai bodybuilder yang kebetulan singgah dan on her way to kompetisi binaraga -sama-sama berjuang dengan hal tersebut, yang satu kecanduan steroid, satunya lagi berurusan dengan keluarga besar yang toxic mulai dari ayah crime lord dan kakak yang punya suami ‘ringan tangan’. Sementara juga ironisnya, hubungan cinta mereka pun jadi sama ‘tak-sehatnya’ karena sudah menyangkut melindungi pembunuh. See, film ini ceritanya kompleks banget, tapi berkat penceritaan yang benar-benar jumawa. Berani dan mantap dalam mengarungi naskah itu sendiri, film gak pernah goyah ketika harus jadi crime thriller, jadi romance panas, ataupun ketika jadi simbol-simbol ‘aneh’ saat di akhir karakternya menjadi raksasa. Kita dibuat terus menatap lekat kepada dunia, kepada cerita, kepada karakternya. Bisa dibilang, penceritaannya membuat kita terobsesi sama mereka.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for LOVE LIES BLEEDING

 

 

 

PEMANDI JENAZAH Review

Jadi pemandi jenazah itu urusannya sama dengan lagu tema Pretty Little Liars. Harus menjaga rahasia yang dibawa mati oleh si jenazah. Menjaga aibnya. Membawa ini ke ranah masyarakat sosial yang penuh prejudice – khususnya masyarakat lokal yang lagi hitsnya ama term pelakor – Hadrah Daeng Ratu sebenarnya bisa aja strike the gold dengan Pemandi Jenazah. Sandungan baginya masih seperti biasa, arahan dan penulisan yang clumsy,

Potensi emas film ini bisa langsung kita saksikan dan rasakan. Pemandi Jenazah punya dunia yang aktif digali, ibu-ibu di masyarakat cerita satu-persatu mati seperti kena kutuk. Santet, kalo kata filmnya. Dan diungkap ada semacam rahasia masa lalu di antara ibu-ibu yang jadi korban tersebut. Cerita ini ditembak dari sudut pandang Lela, anak salah seorang korban, yang kini terpaksa harus melanjutkan kerjaan ibunya sebagai pemandi jenazah. Pengembangan dunia dan karakter film ini sebenarnya menarik. Lela misalnya, film gak ragu untuk ngasih dia konflik dan nunjukin vulnerabilitas bahwa dia gak mau jadi pemandi jenazah karena takut. Takutnya ini yang sampai dan relate ke penonton. Ini jalan masuk ke penonton yang sudah berhasil dicapai oleh film. Tinggal urusan misteri dan penyelesaiannya. Yang bisa kita lihat, film benar-benar berusaha, dan punya pesan yang baik soal memutus siklus saling benci. Untuk rukun.

Arahan, pengadeganan, dialog, harusnya bisa lebih diperbagus lagi. Misalnya aspek horornya. Di luar adegan horor saat mandiin mayat (they talk!!) film ini sering mengandalkan adegan-adegan horor yang kayak niru horor lain – yang pernah kita lihat. Jika aspek horor lain itu dibuat lebih original, film ini tentu lebih memorable ini. Kalo dari pengadeganan dan penulisan, yang paling parah langsung terasa clumsy itu adalah sekuen finale-nya yang melibatkan rombongan ibu-ibu lay their own justice. Harusnya bisa dilakukan lebih ‘sinematik’ lagi, enggak kayak adegan sinetron.

The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for PEMANDI JENAZAH.

 

 

 

SPACE CADET Review

Aku dulu pengen banget jadi astronot. Tapi urung, karena ngerasa gak bakal bisa. Badanku pendek, dan mataku minus. Plus otak yang pas-pasan. Kalo dulu itu aku udah nonton Space Cadet, aku pasti tetep nekat pergi mendaftar jadi astronot. Karena komedi karya Liz W. Garcia ini berhasil ngalahin Armageddon (1998) dalam hal nunjukin bahwa jadi astronot itu gampang bangeett

At the best, Space Cadet adalah komedi ringan – sedikit mustahil – dengan vibe positif mendorong penontonnya untuk mengejar mimpi. Kita bisa nonton ini cuma buat ngeliat Emma Roberts ngelakuin hal ‘gila’, dan terhibur olehnya. kita bisa nonton ini buat ngintip aktivitas calon astronot di NASA (dan mupeng). Tapi film ini gak bakal ngasih drama yang benar-benar berbobot. Karakternya tipis. Gadis yang sebenarnya pintar dan pengen jadi astronot, tapi keadaan membuat dia untuk kuliah aja gak bisa. Film never really touch upon that aspect, melainkan lebih memilih ke soal gimana Rex – si gadis – malsuin CV supaya keterima intern di NASA. Gimana nanti dia yang udah akrab sama sejawat di sana, ketahuan, dan terjadilah drama di sana. You know, ini kayak film-film feel-good sederhana yang sering ditayangin di tv jaman-jaman 90an.

Namun bahkan untuk target sesederhana itu saja, Space Cadet masih kurang berhasil membuat karakternya lepas landas dengan benar. Karena Rex lebih seperti bereaksi ketimbang beraksi. Karena yang malsuin data-data lamarannya, bukan dia. Tapi temannya. Jadi Rex sebenarnya cuma play along dan berusaha gak ketahuan saat dia ngeh dirinya keterima karena surat lamarannya sudah diubah oleh temannya tersebut. Aku gak tahu kenapa film memilih harus menyerahkan aksi penggerak ini kepada karakter pendukung yang just another comedic relief, padahal bisa langsung diserahkan kepada tokoh utama. Toh Emma Roberts bukan aktor jaim yang gak lepas saat mainin komedi.

The Palace of Wisdom gives 4.5 gold star out of 10 for SPACE CADET.

 

 

 

THE BIKERIDERS Review

Dilan versi Hollywood! Ahahaha aku ngakak pas baca sinopsis. “Kathy (Milea) tertarik kepada Benny (Dilan), anggota geng motor. Begitu geng motor semakin menjurus kepada kekerasan, Benny (Dilan) harus memilih antara Kathy (Milea) atau gengnya.”

Tapi pas ditonton, karya Jeff Nichols neither mirip Dilan ataupun soal Benny dan pilihannya itu sendiri. First of all, ini beneran anak geng motor. Bukan anak mami yang cosplay jadi sok jagoan. Perspektifnya memang mature dan dihandle dengan sedewasa itu. Ketika ada romance anak motor dengan cewek rumahan, romancenya bukan tau-tau si anak motor jago gombal, lalu segala top. Romansa film digali tetap pada bingkai bagaimana anak motor itu sebenarnya. Benny akan nunggu di depan rumah Kathy, nyender di motornya – dari malam sampai pagi – sampai cowok Kathy nyerah dan pergi ketakutan, padahal Benny gak ngapa-ngapain. Itu baru romantis yang kita percaya ada di kepala anak motor. Romantis menurut si anak motor itu sendiri.

Tapi sesungguhnya tokoh utama film ini bukan Benny, ataupun Kathy. Melainkan geng motor itu sendiri. Kita akan melihat gimana perkembangan geng motor tersebut dari tiga perspektif sentral. Benny yang menganggap itu geng tersebut keluarganya, Kathy, sebagai orang baru yang masuk karena cinta, dan Johnny sebagai ketua, pendiri geng motor itu sendiri. Melalui tiga karakter inilah, journey kelompok ini sebagai saudara jalanan, berurusan dengan anak-anak muda yang pengen masuk karena menyangka geng motor adalah geng ugal-ugalan semata, dikembangkan. Jadi nonton film ini tuh kerasa banget apa-apa saja statement ataupun pandangan dari dunia geng motor itu sendiri. Ceritanya imersif, cuma karena sering pindah-pindah karakter – dan juga pindah periode waktu -, pace film bisa agak ‘terasa’. Sampai mampu membuat kita bingung, film ini ujungnya gimana

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE BIKERIDERS

 




 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang franchise Mad Max?  Kalo Australia punya Mad Max, Indonesia kira-kira apa ya franchise film yang punya potensi mendunia sambil kuat megang identitas kita?

Silahkan share di komen yaa

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



DEADPOOL & WOLVERINE Review

 

“If you want to lift yourself up, lift up someone else”

 

 

Akuisisi besar-besaran Disney terhadap 20th Century Fox sukses bikin para penggemar superhero Marvel menggelinjang sejak 2018.  Soalnya  X-Men dan beberapa IP karakter Marvel lain yang muncul sebagai bagian dari permulaan genre ini di era 2000an, ada di bawah naungan Fox. Dengan membeli Fox, berarti sekarang Disney bisa leluasa meluaskan jagat semesta Marvel Cinematic Universe dengan karakter-karakter superhero ikonik seperti geng X-Men yang lisensinya kembali jatuh ke tangan Disney. Ini kan momen yang gede banget buat penggemar superhero. Istilahnya, setelah sekian lama superhero Marvel terbagi, sekarang mereka bisa bersatu di bawah naungan studio yang sama (kecuali geng Spider-Man nih yang masih alot urusannya). Sebuah momen yang rasa-rasanya kok ya pantas dijadikan film. Bayangkan menceritakan superhero pindah studio dengan segala komplikasi dan candaan yang bisa dihasilkan dari sana. Pasti lucu dan seru sekali. Dan itulah yang persisnya dilakukan Shawn Levy pada film ketiga dari Deadpool. Sutradara ini tahu bahwa tidak ada lagi ‘tempat’ yang lebih tepat untuk membahas penggabungan ini – merayakan beserta seluruh nostalgianya – selain pada bingkai dunia Deadpool, yang memang dikenal lewat kelemesan mulutnya dalam nge-break the fourth wall.

Namun nanti bagaimana dengan cerita si Deadpool itu sendiri? Well, seperti yang terpampang nyata pada judul, di film ini dia tidak sendiri. Tidak, jika Wade Wilson ingin dunia yang berisi teman-teman dan orang tercintanya selamat. Jadi ceritanya, universe atau timeline Deadpool akan segera menghilang, karena sudah tidak lagi stabil. Mainly, karena anchor-being nya, yakni Logan alias Wolverine sudah tiada. Oleh TVA – organisasi yang berwenang terhadap semua universe – Wade diberikan kesempatan. Atau mungkin tepatnya, pilihan. Wade bekerja untuk mereka, atau tetap tinggal dan ikut menghilang bersama seantero semestanya. Sebagai seorang Deadpool yang pada dasarnya liar – nakal – brutal, Wade memilih aksinya sendiri. Dia pergi lintas semesta, mencari Wolverine untuk dibawa ke semestanya. Tapi Wolverine yang didapatkan oleh Deadpool adalah Logan yang sedang dalam titik terendah dalam hidupnya. Keadaan semakin ribet bagi Deadpool karena TVA menganggap mereka berdua bikin kacau, sehingga dua superhero yang sikapnya berlawanan ini dibuang ke Void. Tanah buangan karakter-karakter yang tidak punya tempat di semesta manapun.

Da-da-da-da-talking to deadman

 

So yea, pada intinya ini film sebenarnya kisah buddy trip adventure. Dan kayaknya memang di antara karakter superhero komik, yang paling hits untuk dipasangkan, ya Deadpool dan Wolverine. Dari segi aktor aja, Ryan Reynolds dan Hugh Jackman udah sama-sama ikonik dan gak bisa lepas dari tokoh superhero komik mereka masing-masing. Mereka sama-sama kayak born to play these roles, gak kebayang kalo orang lain yang meranin Deadpool dan Wolverine. Plus, peran mereka ini punya history yang butuh untuk segera diperbaiki. Kita butuh interaksi Deadpool dan Wolverine yang bukan dari film X-Men Origins: Wolverine (2009)! Lalu dari segi karakter, dua superhero ini udah ngeceklis formula buddy trip dengan perfect. Dua tokoh sentral yang punya karakterisasi berlawan. Yang satu karakternya gak bisa diam, heboh, kurang ajar, bercanda melulu. Sementara satunya lebih pendiam, tapi bukan tenang juga, melainkan penggerutu, gak sabaran, dan di cerita versi ini, Wolverine-nya dibikin amat gampang ngamuk. Jadi adegan ‘bonding’ mereka kocak, karena akan meliputi banyak sekali berantem rated-R alias berdarah-darah. Yang jadi semakin seru karena kalo ada satu kesamaan dari mereka, maka itu adalah dua-duanya gak bisa mati. Dan itulah masalahnya. Wolverine dalam lore-nya sudah mati. Bagaimana menghidupkan dia kembali tanpa melecehkan kehormatan cerita sebelumnya? Well, di sinilah ketika MCU sudah menyiapkan jawaban yang menurutku, still merupakan sebuah pedang bermata-dua. Konsep multiverse itu sendiri.

Aku pikir, di sini tu mereka kayak sekalian ‘ngetes air’. Wolverine yang dihadirkan di sini adalah Wolverine yang diambil dari universe/timeline lain. See, konsep multiverse memungkinkan Disney untuk bisa ‘menghidup-matikan’ karakter, it doesn’t matter karena ada infinite versions of that character dalam multiverse mereka. Besok-besok bukan tidak mungkin Iron Man atau Black Widow yang dihadirkan kembali (yah, tergantung aktornya kapan mau ‘nostalgia’ aja) Sebagai  penggemar, kita akan happy-happy aja melihat superhero favorit kembali. Tapi secara cerita sebuah big picture – sebagai kesinambungan karena ini adalah cinematic universe – kita gak bisa deny bahwa konsep ini melemahkan stake. Ketika mati tidak lagi jadi resiko terbesar buat karakter, maka apa yang bisa kita pedulikan. Ketika journey mereka selesai lalu dimunculkan lagi – entah itu diulang atau completely different out of nowhere – bagaimana kita mengikuti.

Tapi setidaknya, film ini masih sanggup ngasih muatan cerminan paralel buat kedua tokoh sentralnya. Yakni sama-sama soal menjadi bagian dari tim. Deadpool masih kontinu dari dua filmnya sebelumnya. Dia pengen jadi bagian dari sesuatu. Di awal cerita kita dikasih lihat adegan kocak dia lagi interview, ceritanya lagi ngelamar jadi anggota Avengers. Pembelajarannya masih seputar bagaimana dia yang selfish jadi team player. Sama Deadpool-Deadpool dari universe lain aja dia susah akur hihihi.. Stake dihadirkan dari Deadpool harus berjuang demi keselamatan teman-teman universenya. Sedangkan Wolverine, kadang terasa lebih dramatis. Dia menganggap dirinya screw up, di semestanya teman-teman X-Men pada tewas, dan dia tidak ada di sana bersama mereka. Jadi Wolverine versi ini adalah orang yang mencoba to honor his fallen teammates dengan konflik dirinya merasa pantas untuk sendirian. Journey Wolverine ini ultimately akan mengarah kenapa dia terus memakai kostum kuning-biru yang norak. Menurutku ini merupakan penulisan yang cukup pintar dari film ini. Mereka berhasil membuat hal yang udah jadi kultural bagi fans – hal yang sudah lama dituntut oleh fans terkait Wolverine harusnya pakai kostum sesuai komik – menjadi aspek yang punya arti bagi si karakter itu sendiri.

Pada akhirnya mereka belajar untuk menjadi bagian dari satu sama lain. Bahwa tim bukan harus sesuatu yang besar. Tim cukup circle kecil orang-orang yang dipedulikan. Orang-orang yang ketika kita berjuang demi mereka, akan sama saja dengan berjuang untuk kita sendiri. Karena mereka akan melakukan hal yang sama untuk kita.

 

Bicara soal menjadi bagian dari tim; film ini kayak pengen bilang “Selamat datang” kepada para superhero dari Fox. Para superhero generasi awal di dunia sinematik, yang tentu saja sangat berbekas bagi kita semua. Film ini bukan hanya ngasih platform buat mereka-mereka agar bisa muncul lagi (dan ngasih kesempatan untuk mengakhiri kisah mereka), tapi juga ngajak mereka bermain-main dengan state genre superhero komik sekarang ini. Kayak ada dimunculin aktor yang meranin dua superhero Marvel yang berbeda karena tadinya beda studio. Ataupun juga dihadirkan karakter superhero yang belum kesampaian untuk difilmkan, sehingga castingnya juga nurut ke fan-casting. World-building film didesain untuk membahas itu semua. Gimana Void yang berupa padang tandus udah kayak dunia Mad Max berisi karakter-karakter atau bahkan konsep yang terlupakan. Gimana TVA udah kayak personifikasi dari Disney itu sendiri; mengatur IP Marvel mana masuk ke timeline mana, dan Deadpool semacam breaking the fourth wall mencari tempat untuk semesta dia. Dunia film ini exciting dan fun, tapi aku juga bisa melihat konsep begini dapat menjadi too much buat penonton casual. Babak awal film ini benar-benar struggle nyari pijakan supaya karakter-karakter superhero ini bisa ‘masuk’ ke dunia MCU.  Younger audience yang belum nyicipin era superhero Fox 2000an, malah juga bisa missing out kepada cerita dan candaan. Dan ini perlu dicatat oleh filmnya, bukan kesalahan penonton tersebut. Ketika munculin karakter, harus dibahas. Film ini punya villain menarik, tapi karena fokusnya kurang, jadi terasa kayak one-dimensional.

review deadpool & wolverine
Kinda hope ada Thor di Void, bodo amat copyright 

 

Sehingga jadi cukup terasa juga ada perbedaan antara Deadpool di bawah Disney ini dengan dua Deadpool sebelumnya saat masih di bawah Fox. Deadpool satu (2016) dan Deadpool 2 (2018) lebih terasa fokus ke cerita Deadpool itu sendiri, ke pengembangannya. Deadpool yang dulu kita puas ngakak melihat tingkah si mulut kasar. Film ‘cerewet’ oleh celetukannya yang kemana-mana. Pada film kali ini, yang cerewet nambah. Film lebih berisik oleh referensi. Oleh nostalgia. This is a great device to generate hoorah. Tapi di waktu yang sama, Deadpool ini jadi terasa lebih ‘jinak’. Mungkin karena basically di cerita ini dia transisi dari antihero berusaha menjadi superhero. Don’t get me wrong, film memang masih tepat menyandarkan aksi dan komedi dari betapa crude-nya Deadpool, kayak dia gunain ally sebagai shield dari berondongan peluru – dengan konteks yang udah dibuild up dia pengen merebut anjing peliharaan dan pistol milik si ally. Kreatif dan kocaknya malah mungkin agak peningkatan dari film kedua. Afterall, ini adalah film yang dijual Disney tetap sebagai rated R. Tapi kiprahnya sebagai film meta itu sendiri yang terasa lebih jinak, dan lebih contained sebagai fan-service aja.

Film Deadpool pertama dijual sebagai film untuk merayakan valentine, film romantis kata si Deadpool. Dan kemudian kita diberondong oleh hal-hal crude dan brutal. Kocak. Film kedua, Deadpool bilang ini film keluarga. Dan sama, muatan keluarganya kuat, tapi hal-hal liar bukan konsumsi anak-anaknya juga tak kalah meriah. Film ketiga ini kayak cuma punya aksi brutal. Sementara singgungan yang sempat dilontarkan Deadpool terhadap konsep multiverse itu sendiri, kurang terasa nendang karena film ini tetap bersandar kepada multiverse sebagai fasilitas mereka menciptakan referensi dan nostalgia. Film ini seperti pengen merobohkan konsep multiverse, tapi gak jadi. Sehingga hampir seperti status quo film ini dan karakter-karakternya antara awal dan akhir, sama. Misi filmnya cuma kayak, mari hidupkan kembali Wolverine. Kinda underwhelmed kalo tadi niatnya mau meluaskan jagat sinematik dengan superhero-superhero ikonik, kan.

 




Nonton ini buatku teringat excitednya nonton wrestling jaman 2000an, saat WWE membeli WCW dan ECW. Ngeliat superstar ikonik dari brand sebelah muncul satu persatu dan bergulat di ring WWE, menghasilkan kombinasi pertandingan yang dulu hanya bisa dibayangkan. Ngeliat Deadpool, Wolverine, dan superhero Fox 2000an lain di dunia Marvel Avengers, rasanya begitu, Excited. Story buddy tripnya juga seru, benar-benar showcasing hal yang membuat Deadpool dan Wolverine itu ikonik. Makin mengundang excitement, Deadpool dengan konsep metanya paling cocok sebagai ‘tempat’ untuk celetukan menyambut dan bikin kisah tentang penggabungan semesta superhero ini. Film ini seperti cerdas dengan celetukan dan candaan tersebut. Tapi ternyata sampai akhir, gak ada yang terasa benar-benar sebuah tendangan. Film ini justru kayak Deadpool paling ‘jinak’.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for DEADPOOL & WOLVERINE.

 

 




That’s all we have for now.

Pasangan superhero Marvel mana lagi yang menurut kalian seru kalo dipasangkan, atau malah diversuskan?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



DEADPOOL Review – [2016 RePOST]

 

“If you can’t love crudeness, how can you truly love mankind?”

 

 

 

 

Bagi kalian yang tumbuh dengan membaca komik, just like myself, salah satu hal yang paling menggelinjang di dunia pastinya adalah menyaksikan tokoh pahlawan kesukaan masa kecil kita beraksi melawan tokoh-tokoh jahat yang juga kita favoritkan sewaktu masih kanak-kanak. Rasanya exciting banget, terlebih karena film superhero komik identik dengan aksi seru, cool stuff, dan siapa sih yang enggak jejingkrakan melihat kekuatan baik dan jahat itu saling beradu? Tapi bahkan buat penggemar berat superhero komik, film-film adaptasi media hiburan geek tersebut sudah menjadi sedikit terlalu banyak. Hampir tiap bulan nongol pahlawan super baru yang bisa ditonton. Beberapa dari mereka memang bagus, dan kemudian kita ditonjok oleh Fantastic Four. Dan meski tampil variatif – belakangan lagi ngehits film komik dibuat dengan origin yang beraura dark-dark gitu (pelototin Fantastic Four lagi!) – setiap cerita superhero basically selalu sama. Kita jadi sudah terbiasa dengan mereka sampai-sampai kita sudah tahu apa yang harus diharapkan dari genre film ini. Di antara penggemar komik atau bukan, sekarang sungguh gampang untuk menyukai setiap film superhero komik karena aksi-aksi keren nya.

Namun bukan sepak terjang, aksi dahsyat, ataupun efek sempurna yang membuat aku terpana menonton Deadpool. Tentu, film ini punya adegan-adegan seru yang super-fun. Deadpool kan dikenal dengan julukan Spider-man Ninja, jadi kita bisa ngarepin bakal terpuaskan oleh aksi-aksi cepet yang keren abis. Bukan itu yang paling menarik dari film ini. PENULISANNYA LAH YANG MEMBUAT FILM DEADPOOL BERADA SETINGKAT DI ATAS REKAN-REKAN FILM KOMIK YANG LAIN. Deadpool setia pada komiknya, itu nilai plus yang pertama kali kita kasih buat film ini. Berpedoman dari situlah, penulis dan sutradaranya mengembangkan naskah yang menuntun film menjadi salah satu film superhero dari komik paling keren dan kocak yang pernah dilihat oleh dua mataku.

 

Film Deadpool adalah si Deadpool itu sendiri.

Dia kurang ajar, kasar, suka ngatain orang, selera humornya seringkali keterlaluan, seksual innuendo nya kentara sekali, enggak baik buat anak-anak deh pokoknya. Deadpool bisa dibilang anti-hero dalam dunia Marvel, kita tahu dia aneh, mentalnya seperti agak terganggu, protagonis yang ngelakuin hal-hal tercela, tapi kita cinta. Thus, membuat filmnya menjadi kurang ajar juga. Berbeda dengan film dari komik lainnya yang penuh rasa kebajikan. Mungkin banyak yang belum kenal betul siapa si Deadpool, aku sendiri belum pernah megang komik aslinya. Tapi tentunya kita sudah tahu cukup banyak tentang tokoh yang satu ini. Karena Deadpool termasuk yang terpopuler di budaya-pop masa kini.

Dalam film ini kita akan melihat proses perubahan Wade Wilson menjadi sosok Deadpool, yang dijelaskan dengan – yup, you guessed it! – flashback. Kita akan dibuat mengerti terhadap apa yang ia alami. Kenapa Wade begitu menolak disebut sebagai pahlawan. Dua anggota X-Men aja sampai berkali-kali ngajakin Wade bergabung. Wade tahu dia spesial namun he spits on idea of being a superhero.

liar, nakal, brutal, membuat semua orang menjadi gempar, and not to be confused with Sun Go Kong si Kera Sakti

Liar, nakal, brutal, membuat semua orang menjadi gempar, and not to be confused with Sun Go Kong si Kera Sakti

 

At the heart, dan percayalah sekasar dan sekurangajarnya Deadpool, film ini masih punya hati kok, MEMBAHAS TENTANG BALAS DENDAM, JUGA CINTA. Wade Wilson berbuat kasar karena dia gamau orang lain suka padanya karena dia tahu persis rasanya kehilangan yang dicinta. Makanya dia nyaman temenan sama orang cuek atau orang buta. Motivasi Wade adalah dendam kepada Ajax, keseluruhan film adalah tentang Deadpool yang mencari keberadaan si objek dendam kesumatnya tersebut. Si tokoh jahat sendiri memerankan perannya sebagai baik, yaah seharusnya Ed Skrein bisa lebih sedikit meyakinkan sebagai penjahat utama, but he did just enough. Negasonic Teenage Warhead dan Colossus turut memberikan nuansa familiar dan memperheboh aksi. Kisah pun dibumbui oleh pertemuan Wilson dengan Vanessa (cakep banget, doncha wish your girlfriend was cool like Morena Baccarin?) yang akan mengubah hidup Wade. Ooo tapi jangan kira mentang-mentang keluar bulan Februari, romansa dalam Deadpool hanya sebatas plot device semacam ‘damsel-in-distress’. Vanessa memang ada sebagai ‘kelemahan’ dari si Deadpool. Serunya, kisah cinta Wade dan Vanessa juga diberlakukan sama dengan semua hal di dalam film ini, tak luput dari kekasaran dan sarkasme. Deadpool buruk rupa memperlihatkan dunia kita yang juga buruk rupa, dan yang kita bisa adalah melakukan yang terbaik dari apa yang kita punya. Jauh di dalam Wade Wilson meyakini semua itu.

Kurang ajar adalah seni dalam film ini.

 

 

Quick question: jika jadi pahlawan super, satu kekuatan yang ingin kalian miliki adalah: Menyembuhkan diri dengan cepat; Master beladiri; Immortality; atau Skill assassin yang tak-tertandingi ?

Deadpool enggak perlu repot-repot memilih. Dia menguasai semuanya. Malahan ada satu lagi ability nya yang tidak dimiliki oleh superhero lain. Di dalam cerita komik, salah satu kekuatan spesial Deadpool adalah keSELF-AWARENESSan nya yang unik; ia sadar kalo dia berada dalam dunia komik. Dalam film, kemampuan tersebut juga dipertahankan. Dan inilah yang membuatnya paling menarik. Deadpool tahu dia berada di mana. Dunianya adalah dunia film yang sedang kita tonton. Dia sungguh-sungguh sadar akan kondisi itu, dia mengerti persis seperti gimana kondisi dunia film komiknya di mata dunia kita. Dan dia enggak sungkan-sungkan untuk nunjukin hal tersebut. Secara konstan Deadpool akan break the fourth wall. Aku enggak tahu istilah indonesianya apa, tapi breaking fourth wall itu sejenis melanggar aturan film dengan si tokoh ngomong langsung kepada penonton, menghadap lurus ke kamera. Deadpool sekonyong-konyong menyeletuk kepada kita, menyuarakan dengan tepat apa yang kita pikirkan selama ini tapi enggak pernah kita ungkapkan. Adegan sehabis kredit penutup nya adalah adegan ekstra yang paling kocak dan straight-to-the-point. Buat yang udah keburu kebelet, tahan bentar lagiiiiii aja, it’ll worth it.

‘Kesadaran’ yang sama juga diperlihatkan filmnya terhadap peran sang aktor, Ryan Reynolds. Kita sama-sama pernah menyaksikan Deadpool sebagai penjahat dalam film X-Men Origins: Wolverine (2009). Dalam film terbarunya ini, Ryan Reynolds juga kembali memerankan Wade Wilson, sosok di balik topeng Deadpool. Film ini menyinggung gimana jelek dan enggak pentingnya Reynolds di Wolverine, ataupun di film-film gagalnya yang lain. Kali ini, Reynolds, dan juga penulisan tokohnya, sangat menghormati karakter yang sedang mereka persembahkan. Kemampuan Reynolds memainkan karakter ‘gila’ semakin terasah setelah tahun lalu pun dia memukau sebagai pembunuh schizophrenia dalam film The Voices (2015). Lucunya kebangetan sebagai Deadpool yang banyak omong!

Namun film Deadpool tidak pernah menyuguhkan diri sebagai eksposisi. Malahan film ini tidak akan membosankan karena memang tidak ada momen-momen yang bikin kita menguap. Sedari pembukaan kita sudah dikasih liat kebolehan Deadpool. Fast-paced actions yang ditangkap dengan sangat jelas oleh camera work yang sama dinamisnya. Kameranya tidak diarahkan untuk goyang-goyang gak jelas. Cut antaradegan nya tidak terlalu over. Pengarahan yang luar biasa dari sutradara. Pun film ini mampu memanfaatkan CGI, yang terlihat minimal dari segi budget, semaksimal mungkin. Lihat saja karakter Colossus, tampak meyakinkan sebagai makhluk hidup yang beneran ada. Pemakaian CGI yang banyak memang tidak terelakkan untuk film semacam ini, untungnya Deadpool sukses memanfaatkannya sebagai alat penunjang yang fresh.

*slow-clap*

*slow-clap*

 

Kekurangajaran film ini mungkin terasa cukup mengganggu, terlebih jika tidak terbiasa dengan humor-humor jorok. Ada nudity juga, meski di bioskop sini kena potong. Film Deadpool mendorong batasan Rating R sampe poll-pollan. Di Indonesia filmnya jadi Dewasa 17+. While it is good and I give nod to sistem rating di Indonesia yang lebih menenangkan, in a way lebih menghormati penonton, tapi dalam kenyataannya justru terasa paling munafik. Rating bertujuan untuk membatasi jumlah penonton sesuai umurnya, and yet prakteknya mereka menambah studio tayang dan membiarkan anak-anak berseragam sekolah menonton film kategori dewasa. Soal sensor adegan film ini,  sebenarnya tidak banyak berdampak, kita selalu bisa mengandalkan imajinasi. Yang lebih mengganggu buatku adalah subtitle Indonesia yang seringkali tidak bisa menerjemahkan lelucon dengan tepat. Akan lebih baik jika mereka menyediakan teks dalam dua bahasa.

Apakah film ini ditujukan buat remaja? Iya. Apakah film-film remaja leluconnya harus vulgar selalu? Tidak. Akan tetapi Deadpool adalah film komik superhero, yang tiap-tiap mereka punya karakter tersendiri. Enggak lucu kalo film ini sesuram Dark Knight. Enggak kocak kalo film ini sepatriotis The Winter Soldier. Sudah dari sono nya sifat si Deadpool begitu dan film ini dengan tepat menggambarkan buku komik itu ke layar. This movie is everything what it should have been. Film ini menolak untuk berlambat-lambat dengan drama, film ini relentless dalam bersuara, film ini enggak pake sensor apapun. Film Deadpool lebih mirip dengan Kick-Ass (2010), malah; luarnya sadis, tapi sebenarnya lebih grounded ke reality.

Dunia yang kita tinggali adalah semesta yang kejam. Dan Wade Wilson sadar akan hal itu. Jalur kebenaran bagi Wilson tidak mesti berbalut santun. Dia memang bukan yang paling baik. Wilson cuma seseorang yang cakap dalam pekerjaannya – yang kebetulan adalah membunuh orang. Film ini mengangkat hal tersebut dengan sudut pandang yang lebih nyeleneh lagi. 

 

 




Dipresentasikan dalam bentuk aksi cepat, extremely funny, pemilihan musik yang asik dan menggebu. Lagu Mr.Sandman sukses bikin aku ngakak, I was so not expecting that! Yea, film ini mungkin bukan pencapaian yang benar-benar baru, mungkin gak bakalan menang award. mungkin bukan masterpiece, tapi filmmakers berhasil membuat suatu tontonan yang luar biasa menghibur. Such a killer filmThe Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for DEADPOOL.

 

 




That’s all we have for now.

Remember, in ife there are winners
and there are losers.

 

 

 

We be the judge.



THELMA Review

 

“Be strong enough to stand alone, smart enough to know when you need help, and brave enough to ask for it”

 

 

Sebagaimana jatuh cinta bukan cuma milik anak muda, petualangan atau malah action balas-dendam pun ternyata juga tidak punya batas kadaluarsa. Ini hanya soal takarannya saja. Karena aksi di usia senja tentu saja bukan kebut-kebutan ataupun tembak-tembakan melawan penjahat. Josh Margolin yang menggarap kisah ini  sebagai persembahan untuk neneknya tercinta (dari adegan pas kredit kita lihat ada momen di film yang dia ‘adaptasi’ langsung dari momen bersama neneknya in real life), tahu persis takaran tersebut. Thelma dijadikannya comedy-action tapi bukan yang over-the-top, melainkan yang grounded. Ingat kemaren pas review How to Make Millions Before Grandma Dies (2024) kita make a point soal nenek cenderung lebih sayang kepada cucu? Nah, pada film Thelma kita akan menemukan jawaban kenapa.

Smartphonenya berdering, Nenek Thelma yang hidup sendiri di rumahnya meninggalkan tenunannya untuk mengangkat. Suara di seberang mengatakan bahwa cucunya sedang di kantor polisi dan dia butuh uang untuk bayar pengacara segera. Naluri keibuan – atau kenenekan – Thelma menghalanginya dari menyadari bahwa telepon itu cuma scam. Penipuan ala ‘mama minta pulsa’. Dari cara film menggambarkan sekuen tersebut, aku langsung ke-hook. Ketika Thelma langsung ke pos buat ngirim duit, kita gak marah ataupun menyalahkannya karena ngelakuin hal yang against our common logic. Malahan kita dibuat memahami ‘kepolosan’ Thelma sebagai nenek. Kita jadi mengerti kenapa penipuan seperti itu bisa terus memakan korban. Apalagi, kedekatan Thelma dengan Daniel, cucunya yang suka datang ke rumah bantu ini-itu, ngajarin makek komputer ataupun main Instagram, sudah dibuild up sebelum kejadian ini. Sekalipun ada yang lucu, misalnya dari gimana si pelaku memancing nama cucunya, kita tidak tertawa dengan nada meledek. Aku baru meledak ngakak saat melihat reaksi Daniel bersama ayah dan ibunya yang awalnya berusaha lapang dada dan bersyukur Thelma gak kenapa-kenapa, tapi langsung ‘serius’ begitu tahu ada duit yang melayang. Dan saat Thelma diam-diam memutuskan untuk pergi sendiri mengambil kembali uang tersebut ke alamat yang sudah ia buang, satu keluarga itu jadi panik mencari nenek yang mendadak hilang,

I also laughed saat Thelma curhat tapi kemudian terbayang lagu yang ada di film Jackass

 

Inspirasi Thelma untuk beraksi sendiri adalah Tom Cruise dalam film Mission Impossible-Fallout yang ia tonton bersama Daniel tempo hari. Thelma dikasih tau Daniel kalo Tom Cruise melakukan sendiri semua aksi di film tersebut. Dan ini menggugah Thelma, yang di balik karakter nenek-neneknya yang ramah, hangat, dan pengertian punya satu flaw yaitu: pantang minta tolong. Premis tersebut terdengar lucu, tapi film berhasil menyuntikkan hati ke dalamnya, dan terus mengembangkan cerita dengan grounded dari sini. Inilah yang menjadikan film punya daya tempur drama yang kuat di balik action ataupun komedinya. Lewat perspektif seorang nenek penyayang yang selama hidupnya mandiri, film memberikan gambaran yang kuat dari gimana rasanya saat benar-benar menyadari diri telah menua, telah benar-benar sendiri karena teman-teman satu-persatu pergi. Gimana rasanya kita yang tadinya bisa semua, kini dianggap tidak mampu dan perlu dijaga. Ketika dianggap seperti bayi lagi. Ada satu momen yang powerful banget, yaitu ketika Thelma mendengar keluarga Thelma (Daniel dan orangtuanya) di ruangan sebelah lagi ngomongin dirinya, dan  Thelma – tidak suka mendengar ‘kenyataan’ bahwa keluarga perlu untuk membantunya lebih sering – mencopot alat-bantu dengar dari telinganya.

Naskah sangat imbang, serta begitu kaya perspektif pendukung. Setidaknya ada dua relationship penting yang terjalin dan development Thelma sebagai karakter datang dari sana. Pertama, tentu saja dengan cucunya, Daniel, yang kelihatannya baru menginjak usia dua-puluhan.  Daniel ini jadi pendukung yang penting, bukan semata karena karakter ini adalah tokoh yang mewakili sang sutradara di kehidupan asli (again, film ini diangkat Josh dari dan untuk neneknya, Thelma Post yang asli), melainkan juga karena Daniel dibikin cerminan paralel dari Thelma. Daniel sedang ada di titik dirinya dianggap screw up oleh keluarga – he doesn’t have job, urusan pacaran pun masih ‘usaha’, dan sekarang nenek hilang di bawah pengawasannya. Daniel jadi sama seperti Thelma yang dianggap gak mampu sehingga mulai menyalahkan diri dan berusaha membuktikan sebaliknya. Mungkin inilah kenapa nenek dan cucu lebih dekat kepada satu sama lain, ketimbang dengan anak atau orangtuanya sendiri. Karena nenek dan cucu berada di posisi yang serupa. Yakni posisi yang oleh orang dewasa/orangtua, dianggap tidak capable ngelakuin hal sendirian, alias apa-apa perlu dibantu. Diawasi. Diurusi. Dan lucunya deep inside mereka juga meyakini pandangan tersebut terhadap masing-masing, sehingga mereka jadi dekat karena nenek ingin buktikan diri capable dengan mengurusi cucunya, sedangkan cucu ingin buktikan diri dengan membantu neneknya.

Kedua; relationship Thelma yang penting adalah dengan Ben, temannya yang ada di panti jompo. Untuk pergi mencari alamat di daerah Los Angeles yang cukup jauh, Thelma butuh kendaraan. Dia ingat Ben punya skuter. Jadi dia pergi ke panti jompo tempat Ben berada untuk meminjam skuter tersebut. Hanya untuk skuter, tegas Thelma. Tapi Ben memaksa untuk ikut sehingga jadilah pertengahan film ini jadi dua-story; antara Daniel dan orangtuanya yang mencari Thelma, dan Thelma dan Ben yang bertualang mencari alamat pakai skuter yang gak seberapa cepat dan harus dicas. Peran Ben di sini adalah sebagai counter, sebagai voice of reason yang menyadarkan Thelma dari flawnya tadi. Karena Ben adalah lansia yang nyaman dibantu. Tidak seperti Thelma, panti jompo bukan kurungan bagi Ben. Karena Ben tidak pernah menampik di usia sekarang, orang-orang seperti mereka memang perlu untuk sering dibantu.

Menjadi tua dan perlu bantuan itu bukanlah hal yang memalukan. Tentu, kita semua perlu untuk belajar mandiri. Untuk capable sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Tetapi tidak kalah pentingnya bagi kita untuk tahu dan mengakui batas diri. Untuk tahu kapan harus meminta tolong. Karena di dalam hidup, sebagai makhluk sosial, sudah kodratnya untuk kita tidak harus melakukan apa-apa sendirian.

 

Penampilan akting dari para pemain juga sukses membuat film ini terasa tambah genuine. Nenek-nenek dalam film biasanya ada dua tipe. Nenek cerewet, dan nenek yang lovebombing ngasih apapun untuk cucu. Tapi keduanya memang sama-sama perhatian. Thelma-nya June Squibb seperti ada di tengah-tengah. Dia seperti nenek semua orang, kadang bikin sebal karena ‘mada’ alias gak mau diurus alias punya flaw agak keras kepala khas senior. Dia bisa tegas dan nyelekit, tapi most of the time Thelma dihadirkannya penuh kehangatan dan ya, kepolosan khas nenek-nenek yang berusaha up-to-date sama dunia. Humor-humor kecil (tapi telak) sering datang dari pembawaan ‘polos’ Thelma. Running gag seperti nenek yang merasa kenal sama semua orang di jalan, menghiasi cerita. Richard Roundtree dalam peran terakhirnya (rest in peace) sebagai Ben pun menyumbang pesona kharismatik tersendiri. Tepatnya, pesona kakek-kakek sebagai teman sejati, yang selalu ada di sana betapapun kurang-ngertinya dia dengan situasi. Sementara itu, Fred Hechinger sebagai Daniel, tuntas pula sebagai perwakilan anak muda – karena kita, seperti dia, harus belajar respek the elder sementara deep inside bergulat dengan menyongsong masa tua sendiri nantinya. Apakah kita mampu? Enggak ada karakter yang annoying di sini. Not even ayah dan ibu Daniel yang kaku dan rempong. Bahkan ‘villain’nya, si tukang scam, dibuat paralel dan penting juga (bisa dibilang ini adalah relationship penting ketiga pada cerita). Untuk gak bocorin banyak, villain ini juga old-man dan juga butuh bantuan.

Cool guys don’t hear explosions

 

Film ini cocok banget ditonton maraton, dijadiin dobel feature dengan How to Make Millions Before Grandma Dies (2024). Kita akan bisa melihat nenek dengan keluarganya dari perspektif lain, yaitu dari si nenek itu sendiri. Kalo mungkin kalian kurang cocok sama drama emosional film tersebut, Thelma yang lebih ringan sebagai comedy-action mungkin bisa jadi alternatif. Comedy-action ini ranah yang rawan. Akan gampang sekali bagi film ini untuk jadi over-the-top, jadi konyol dengan komedi dan aksinya. Tapi gak sekalipun Thelma melewati batas grounded tersebut. Bukan nenek-nenek itu yang dibawa ke dunia aksi. Melainkan aksinya yang diconvert ke dunia nenek-nenek. Film ini paham, bagi karakter seusia Thelma, tindakan yang tergolong memacu adrenalin itu adalah hal sesimpel (bagi kita loh!) operasikan komputer. Di mana letak X nya. Stakenya pun gak perlu muluk. Bagi seusia Thelma tersandung barang berantakan di lantai toko aja sudah demikian membahayakan. Kalo ini settingnya di Indonesia, lantai kamar mandi bisa jadi villain kedua tuh pasti. Meski begitu, seperti halnya premis yang gak shy away dari sedikit meminta kita untuk menahan our logic dan disbelief, film ini pun gak ragu untuk nampilin pistol dan ledakan, yang tentu saja sebagian besar dimanfaatkan untuk komedi properti, ketimbang digunakan properly.

 




Makanya bagiku film ini adalah kejutan yang menyenangkan, lagi menghangatkan. Aku gak nyangka film dengan premis konyol dan situasi kontras action nenek-nenek ini ternyata dikembangkan dengan grounded dan in a mature way, dan hasilnya ternyata gak kalah menyentuh dengan sebuah drama. Yang jelas, hubungan antara nenek dan cucunya berhasil tersampaikan dan terasa personal. Gambaran tentang bagaimana kita bersikap terhadap orang yang jauh lebih tua, tentang gimana perasaan mereka, tetap berhasil sampai ke kita di balik kekehan tawa yang vibe komedinya ke mana-mana. Ternyata memang, seperti halnya umur hanyalah angka, genre juga hanyalah bungkus. Hati cerita tetap nomor satu, dan itulah yang diusahakan sepenuhnya oleh film yang memang sangat personal bagi pembuatnya ini. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THELMA.

 

 




That’s all we have for now.

Aku baru tau ternyata fenomena penipuan kayak ‘mama minta pulsa’ atau ‘anak bapak ada di penjara’ ini ternyata santer juga di Amerika sono. Bagaimana pendapat kalian tentang penipuan kayak gini, mengapa sampai bisa terjadi?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



LONGLEGS Review

 

“Birthdays as reminders of unspoken pains”

 

 

Hari ulangtahun normalnya disongsong dengan gembira. Apalagi waktu kecil dulu. Wuih, hari-hari menjelang ultah itu rasanya berdebar-debar. Kepikiran pestanya semeriah apa. Kuenya segede apa. Kadonya sebanyak apa. Tapi makin dewasa, rasanya kegembiraan menyambut hari lahir itu berkurang. Rasanya kok tidak seantusias dulu. Bahkan, kita sering lupa sama ulangtahun sendiri. Kita jadi lebih suka merayakannya ‘diam-diam’. Alasannya bisa banyak, bisa karena sibuk, bisa karena udah pada jauh dari teman-teman, atau mungkin hari ulangtahun justru jadi pengingat kenangan buruk atas hidup yang belum terpenuhi? Longlegs, horor garapan Oz Perkins, seperti berangkat dari aspek ini. Ketika momen-momen menuju hari yang biasanya dirayakan, justru jadi momen-momen menakutkan. Ketika mengingat hari kelahiran, berbalik menjadi menyambut hari kematian. As for me, dengan bahasannya yang nyinggung-nyinggung hari ultah tersebut, Longlegs udah paling tepat dianggap jadi kado paling… horor!

Agen Lee Harker punya firasat. Yang tentu saja sangat berguna dalam investigasi kasus. Apalagi FBI memang lagi mumet ama satu kasus sulit yang terus berlangsung sedari puluhan tahun lalu. Kasus pembunuhan keluarga, yang sepertinya dilakukan oleh para ayah yang lantas bunuh diri setelah menghabisi keluarganya. Kesamaan kasus-kasus itu yaitu keluarga-keluarga yang jadi korban itu selalu punya anak perempuan yang lahir pada tanggal 14. Surely ini kerjaan serial killer, dan memang di TKP ditemukan pesan kriptik dengan simbol-simbol aneh. Tugas Lee adalah memecahkan semua misteri tersebut. Namun firasatnya yang udah kayak setengah-paranormal itu berkata lain. Bahwa pesan-pesan aneh itu mengarah kepada sosok pria misterius, yang waktu kecil dia kenal sebagai Longlegs. Dan bahwa pesan-pesan itu seperti ditujukan langsung untuknya. Ya, semua kasus ini mungkin bermula dari masa kecil dirinya sendiri  di rumah pedesaan bersama ibu.

Potong ‘palanya, potong ‘palanya sekarang juga~

 

Membungkus diri sebagai investigasi crime, film ini mengajak kita masuk ke dalam misteri ceritanya. Membuat kita jadi ikutan telaten memperhatikan clue-clue. Seperti Lee, berharap dapat menguak maksud dari teka-teki si Longlegs. Algoritma Setan, begitulah Lee menyebutnya. Karena memang crime yang ditangani Lee muatan supernaturalnya begitu gede. Sosok Longlegs terbuild up dengan sangat baik sebagai momok yang menakutkan, bikin gak nyaman, sekaligus bikin penasaran. Cara film membuat Lee ‘tertarik’ kepadanya Longlegs juga sangat menarik. Lewat kengerian intens, yang konstan terpasang pada raut Maika Monroe. Kontras sekali dengan Longlegs yang dimainkan dengan chaos, penuh histeria, serta hal-hal ganjil oleh Nicolas Cage. Makanya banyak yang membandingkan film ini dengan The Silence of the Lambs (1991), thriller investigasi dengan interaksi antara agen Clarice Starling dengan serial killer Hannibal Lecter sebagai pusatnya. Longlegs dianggap sebagai versi horor full madness dari film tersebut.

Karena memang film ini, alih-alih penuh oleh dialog tentang psikologis dan mindgames seorang killer yang berusaha ‘melahap’ kepala agen wanita lawan bicaranya, berisi racauan riddle yang seperti dilontarkan oleh si Setan itu sendiri. Dari dialog saja, nuansa creepy dan tak nyaman sudah menguar. Tempo yang sengaja lambat pun terasa semakin menyandera kita ke dalam misteri, sama seperti rasio kotak yang membingkai adegan-adegan masa lalu/masa kecil – seolah membuat Lee terpenjara dalam ingatan kabur yang bahkan struggle untuk dia ingat. Tema biblical jadi warna pada narasi. Mulai dari kutipan ayat hingga simbol-simbol yang diamini sebagai simbol setan, dijahit mulus sebagai bagian dari cerita- dari misteri. ‘Kurang ajar’nya nih film, dia tahu kita sudah tertarik masuk, menatap ceritanya lekat-lekat, tapi indera kita ‘dipekakkan’ oleh desain suara, ‘dikaburkan’ oleh transisi visual, yang sama-sama mengerikannya. Bukan dalam artian jelek, melainkan benar-benar membangkitkan perasaan horor dan gak nyaman itu sendiri.

Malahan, sebenarnya aspek horor film ini memang bersandar kepada treatment terhadap teknis-teknisnya tersebut. I mean, Longlegs-nya Nicolas Cage bakal cuma jadi karakter over-the-top ala akting histerical Cage yang biasa jika tidak punya editing secrisp yang dilakukan oleh film ini. Lihat saja adegan di opening saat Longlegs pertama kali muncul; gimana suara mendadak menyertai kemunculannya, terus posisinya di kamera yang kita cuma ngeliat sosoknya sampe sebatas bibir alias sejajar mata anak kecil, lalu gerakan dan cut mendadak yang bikin jantungan itu. Mungkin inilah yang namanya elevated jumpscare hahaha.. Yang jelas, bahkan kredit pembuka dan penutup film ini masih bergerak dalam satu kesatuan konsep untuk bikin suasana ganjil. Film ini is at its best ketika menyuarakan misterinya. Semua aspeknya kayak dikerahkan untuk bikin kita takut. Semuanya seperti punya layer alias lapisan. Ambil contoh si Longlegs itu lagi. Sengaja banget tentang dia dibikin minim. Kita memang bakalan tahu dia basically agen setan, dan dia kerjaannya sebagai pembuat boneka, tapi kenapa dandanannya begitu – baju gombrangberlapis-lapis, muka dirias putih – surely itu semua bukan hanya supaya gak keliatan Cage-nya kan? Melainkan ini adalah lapisan dari misteri siapa karakter ini. Apakah dia laki-laki yang berusaha dandan jadi perempuan? Atau apakah ceritanya dia ini pengen jadi badut? Or, he is just a glam rock fan yang dandan ala band T.Rex dan film mau gambarin setan itu nyantol di atribut-atribut mulai dari gaya rock hingga ke fashion suster gereja? Kemisteriusan desain yang sengaja tak dijawab ini menambah kepada misteri pada narasi film ini

Atau mungkinkah dia sosok ayah bagi Lee?

 

Dialognya juga begitu, nada-nada dan kata-kata yang dipilih bukan sekadar untuk bikin kita ngernyit, melainkan juga menambah kepada layer karakter. Sayangnya soal dialog ini bisa mudah missed, karena translasi. Aku menemukan satu yang menurutku kelalaian terjemahan bahasa kita – at least pada bioskop yang aku tonton. Yaitu saat Lee di kamar putri bosnya. Istri si bos datang dan menyuruh putrinya tidur. Basically dia bilang “Ayo Ruby, kamu tidur, sekarang sudah…” lalu terpotong karena dia melirik arloji dan lanjut bilang “Ah, now is tomorrow“. “Sekarang (ternyata) sudah besok” – sedangkan pada subtitlenya hanya diartikan “besok saja”. Kalimat now is tomorrow itu penting karena konteks sepanjang cerita ini adalah Lee terusik oleh tanggal ulangtahun. Firasatnya mengatakan kejadian buruk akan terjadi pada hari ulangtahun tanggal 14. Dia gelisah menuju tanggal tersebut – entah itu ulangtahun Ruby maupun ulangtahun dirinya sendiri. Now is tomorrow menjadi sinyal bahwa yang ia takuti semakin dekat. Ketakutan Lee pada saat itu jadi lost in translation karena efeknya terdownplay oleh subtitle yang mengartikan “besok saja”. Hal-hal kecil seperti demikian menunjukkan sebenarnya film ini punya rancangan yang berlapis untuk karakter dan gimmick-gimmick horornya. Film ini memukau saat rancangan tersebut berjalan sebagaimana mestinya. Kita gak perlu lagi melihat gore yang exactly on frame untuk merasakan kengerian. Film ini justru jadi bisa hadir ‘elegan’ dengan elemen sadis yang bisa dimainkan variatif sebagai icing on the cake dari nuansa creepy yang sudah kuat terbangun.

Ternyata semuanya memang berawal dari ulangtahun Lee yang kesembilan. Terjadi sesuatu antara dirinya, ibu, dan pria yang memperkenalkan diri sebagai Longlegs. Sesuatu yang mengerikan sehingga Lee tidak ingat lagi. Mungkin itulah kiasan yang hendak diutarakan oleh film ini. Bahwa hari ulangtahun bukan hanya untuk hura-hura dan bersenang-senang. Bahwa mengingat hari kita lahir juga berarti mengingat hal-hal buruk yang pernah kita hadapi, atau yang coba kita tinggalkan.

 

Oleh karena kuatnya bangunan misteri dan lapisan yang diperlihatkan pada dua babak sebelumnya itulah, maka ketika film Longlegs sampai di babak ketiga dan memutuskan untuk membeberkan jawabannya dengan eksposisi yang gamblang,  aku yakin penonton akan jadi terbagi. Akan ada yang jadi gak puas karena investigasi half-psychic tersebut ternyata jadi beneran supernatural. Lapisan yang terbangun atas misteri terutama soal masa kecil terlupakan terkait hubungan Lee dengan ibunya pun jadinya kayak untuk twist semata. Film memang masih menyiapkan ending yang ambigu terkait penyelesaian antara ‘kutukan’ Longlegs dengan Lee, tapi penjelasan film tadi telah sukses membuat misteri film jadi seperti menguap dan penonton kehilangan hal yang lebih seru untuk dibawa pulang dan didiskusikan. Aku sendiri, ada di pihak yang kurang puas. Rasanya aneh aja gitu, film yang udah sukses bikin bangunan misteri – bayangkan sebuah balon yang udah menggelembung besar siap untuk terbang, tapi lalu kemudian memutuskan untuk meletuskan balon tersebut dengan memberikan semua jawabannya. Sayang aja rasanya. Apalagi dilakukan lewat narasi eksposisi pula – sesimpel ibu bercerita pada anaknya. Menurutku akan lebih menarik jika cerita ibu ini dibuat gak eksak jawaban, melainkan hal yang ambigu kebenarannya, sehingga juga bisa menambah kepada hubungan ibu dan anak yang sepertinya juga diincar oleh film ini.

 




Sebagai horor investigasi kriminal, film ini sebenarnya berhasil ngasih lebih dari apa yang bisa ditawarkan oleh genrenya. Suasana yang konstan creepy dan terus merongrong penonton sebagai hasil dari bangunan misteri berlapis yang terus mendera karakter. Desain suara dan crisp editingnya jadi ‘kurang ajar’ begitu bergabung dengan akting hyper Nicolas Cage. Secara arahan horor, this is a very good movie. Kentara sutradaranya peka dan punya passion terhadap misteri alias suka nakut-nakutin orang. Hanya pilihan dan caranya dalam menjelaskan semua di akhirlah, yang bakal membagi penonton. Film ini jadi terlalu sensasional, tapi juga terlalu ‘beres’, untuk bisa kita bawa pulang. Tapinya lagi, penampilan akting dan ‘elevated jumpscare’nya sendiri sudah cukup untuk jadi ikonik sehingga tetap membuatnya dibicarakan banyak orang, untuk waktu yang cukup panjang.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for LONGLEGS.

 

 




That’s all we have for now.

Basically kado ultah Lee adalah dikasih tahu bahwa ibunya collab ama setan haha.. bener-bener worst birthday ever. Kalo kalian gimana, apakah kalian punya cerita tentang pengalaman hari ultah terburuk?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TWISTERS Review

 

“Don’t let your pain destroy you”

 

 

Waktu kuliah Geologi dulu, aku sempat tertarik sama mata kuliah Mitigasi Bencana. I thought it’s really cool menganalisa dan menyiapkan sesuatu yang preventif demi kepentingan masyarakat. Tapi di saat itu juga aku sadar tanggung jawabnya besar. Gimana kalo aku yang bego ini salah baca data, salah langkah. Wuih bisa fatal, Jangan-jangan ntar bukannya bertahan, masyarakat malah jadi kocar-kacir padahal gak ada apa-apa. Apalagi, dan ternyata benar menurut film disaster karya Lee Isaac Chung ini, bidang mitigasi memang luar biasa penting. Bukan hanya gak boleh ngasal dan bertanggung jawab dalam mengoperasikan atau mengolah data, melainkan juga butuh keberanian dan kesiapan diri yang sama besarnya. Karena kalo ada satu hal lagi yang aku sadari berkat film ini bahwa mungkin keputusanku benar gak lanjut ambil mata kuliah itu. maka itu adalah kita gak bakal bisa ready untuk nolongin orang, kalo sendirinya belum ready – belum kokoh – menghadapi terjangan tornado masalah dalam diri pribadi.

Memang, diceritakan berat bagi Kate Cooper untuk kembali menekuni passionnya dari kecil sebagai tornado-chaser. Perempuan brilian itu kini ngantor sebagai meteorologist, enggan untuk kembali ke lapangan, tempat dia meninggalkan proyek mulia yang tadinya ia kembangkan di bangku kuliah untuk ‘menjinakkan’ angin topan. Karena kejadian yang kita lihat di opening film sangat membekas. Alih-alih nolong masyarakat, Kate dan projek ciptaannya malah membuat teman-teman dan kekasihnya celaka. Tapi toh yang namanya passion, tak akan pernah padam. Musim tornado di Oklahoma semakin mengganas. Kate yang punya keahlian khusus menganalisa munculnya tornado akhirnya bersedia untuk gabung bersama tim Javi, teman sesama penyintas kejadian di opening itu, dengan alat-alat mutakhir untuk menge-scan dan menangkap data tornado. Di padang rumput luas yang cerah namun seketika dapat berubah menjadi berbahaya itu, tim Kate amprokan dengan tim Tyler, YouTuber/influencer pemburu-topan yang sekilas tampak mengganggu dan hanya ingin bersenang-senang di atas bencana.

Tunggu sampai semuanya kena F-5, dari Brock Lesnar!!

 

Meskipun katanya film ini adalah sekuel, namun kita bisa menangkap banyak banget ruh dari film Twister (1996) yang menghidupkan aspek-aspek kecil film ini. Salah-salah, aku bisa nyangka ini remake haha.. Ceritanya sendiri memang tidak berkelanjutan, tidak ada karakter film yang lama muncul kembali. Penghubung antara kedua film ini justru teknologinya. Alat penangkap data tornado yang dinamai Dorothy (reference ke film klasik The Wizard of Oz yang ceritanya tentang gadis bernama Dorothy kehisap tornado hingga sampai ke magical land) kini sudah sampai ke tahap yang lebih mutakhir. Referensi tersebut bahkan dilanjutkan; nama-nama tim Javi dinamai dari geng Dorothy di film itu. Sedangkan Kate, sebagai tokoh utama, buatku terasa seperti gabungan dari Jo dan Bill. Atau tepatnya, buatku terasa seperti Kate seperti versi koreksi film ini terhadap karakter Jo yang berbagi porsi dengan Bill. Kate di film ini benar-benar capable dan mandiri di bidangnya. Dia bisa teknik membaca ‘kode alam’ seperti yang dilakukan Bill, serta jago mengoperasikan alat seperti Jo. In fact, konsep penjinak tornado solely adalah buah pikirannya. Penampilan Daisy Edgar-Jones saja dibuat mirip banget dengan Jo; rambut pirang dikuncir, tank top putih, dan semacamnya. Supaya gak jadi terlalu sempurna, film memfokuskan kepada konflik yang dipantik dari trauma Kate. Trauma personalnya inilah yang jadi flaw, yang dikembangkan jadi drama yang menghidupkan cerita, sebab Kate jadi meragukan diri, setengah-setengah mengejar tornado, sehingga menghambat misi timnya.

Makanya Tyler Owens si YouTuber jadi karakter pendukung yang tepat untuk Kate. Bukan semata karena Glen Powell jago banget mainin karakter songong namun kharismatik. Melainkan karena Tyler yang dengan mobil merahnya (again, nod to film original) mengejar tornado cuma buat menembakkan kembang api ke dalamnya, perlahan membimbing Kate keluar dari pusaran ketakutan. Tyler membuat Kate kembali berani, bukan hanya menaklukkan ketakutannya, melainkan juga menunggangi rasa takut. Dalam arti, membuat ketakutannya sebagai pijakan untuk menjadi orang yang lebih baik. Dan aku menemukan diriku lebih mudah konek kepada permasalahan Kate, dan dukungan Tyler, karena terasa personal, ketimbang persoalan menemukan kembali cinta di balik urusan pasangan yang mau cerai pada film originalnya. Imbasnya, relationship yang terjalin antara Kate dan Tyler juga lebih mudah aku ikuti, dan aku mengerti, dan aku peduli. Dari yang tadinya semacam rival karena merasa beda cause, mereka jadi saling tertarik, lebih dari ketertarikan fisik, melainkan mereka menemukan kesamaan deep inside dan tujuan. Dan cara film mendekatkan mereka bukan kayak receh ala FTV yang tadinya berantem jadi pacaran, tapi lebih humanis. Serta tentu saja lebih exciting, karena tetap saja film ini pada dasarnya adalah tentang bencana alam, jadi di lapisan luar ada pusaran angin ribut yang eventually, literally, dibikin membara.

Dari Tyler, Kate (dan kite-kite semuanye) belajar bahwa rating bencana alam seperti puting beliung diukur justru dari efek kerusakan yang ditimbulkan. Yang berarti, kita sendirilah yang menentukan seberapa besar tragedi menghancurkan diri kita. Kita  yang memutuskan berapa lama bencana itu menerjang sebelum akhirnya reda. Maka, bangkitlah segera. Selamatkan dirimu, lalu selamatkan orang lain.

 

Momen-momen action survival dan kejar-kejaran ‘menangkap’ tornadonya dibuat seru. Karena bukan hanya teknologi Dorothy yang semakin maju, teknologi bikin film pun juga. Maka Twisters bisa lebih mengeksplorasi secara visual baik itu dari tornado terbentuk hingga menyerang kota yang tadinya lagi ada acara rodeo. Film benar-benar jago dalam mengontraskan, baik itu warna maupun skala. In case belum pada nyadar dari judulnya, twisternya sekarang ada yang dua. Kembar. Tapi film ini berhasil membuatnya tidak tampak cheesy kayak misalnya kalo ada film hiu, lalu kali ini ceritanya ada hiu kedua atau hiunya mutant, atau gimana. Film tetap mempertahankan tone ringan tapi serius. Ringan, karena film ini nyadar, gimana pun juga, ya sebenarnya lawak cerita seputar meredakan tornado. But at least, mereka membuatnya grounded dengan hati. Dan film ini bikin, setiap kemunculan angin tersebut, kita melihat aksi yang berbeda. Para karakter kita dengan ilmu dan alat-alat canggihnya, mereka gak lantas berhasil. Mereka gagal. Mereka belajar. Mereka berlari menyelamatkan diri. Film ini punya build up yang cukup sehingga adegan-adegan tersebut terasa intens. Satu lagi yang juga berhasil dipotret adalah kepanikan saat bencana datang. Gak salah disematkan sebagai genre thriller. Kepanikan yang membuat manusia lupa, sehingga salah langkah, tidak mendengar instruksi karena panik, dan whoosssh mereka terbang. Dalam menyorot suka-duka mitigasi bencana, film ini berhasil ngasih lihat sehingga kita melek, bidang ini memang penting!

Mana sinefil banget pula, tempat berlindung terakhir mereka di dalam teater cinema hhehe

 

Aku sempat mengira “wah ada pergeseran nilai nih” ketika melihat di awal Kate masuk ke dalam tim corporate, dan dia sebel melihat timTyler yang datang-datang bawa penggemar, yang begitu ‘colorful’ sehingga seolah angin tornado bagi mereka bukan bencana melainkan tontonan dan show semata. Soalnya di film terdahulu, protagonis kita berada di tim yang mandiri, dan ‘bad guy’nya adalah tim corporate – dengan seragam dan segala formalitas lainnya. Nah, ‘nilai’ ini yang aku sangka sudah berubah di jaman sekarang, karena film bikin protagonis utama di tim korporat. Mungkin, aku kira, film ini juga ingin menyinggung soal kultur ‘ngonten’. Aku tertarik karena ingin melihat alasan film untuk mengatakan tim korporat lah tim yang baik. Tapi ternyata jaman belum begitu berubah. Sekali lagi, film ini kayak bermain-main dengan ruh film pertamanya. Perlahan, Kate menyadari dia ada di tim yang salah. Ini tentu jadi journey yang menarik, yang menambah kepada perkembangan Kate sebagai karakter. Prejudice yang dia bawa mengenai orang-orang ‘free-spirited’ yang ada di tim Tyler tentu akan terbawa juga kepada kita. Dan di balik mentereng dan profesionalitasnya – it seems – korporat tetaplah pihak yang culas, yang dengan no problem nyari cuan di atas penderitaan rakyat. Bagaimana pendapat kalian tentang gambaran dua tim dalam film ini? Silahkan share di komen yaa

 




Kalo ditanya suka yang mana, aku lebih cocok dengan sekuel ini. Meskipun memang, kalo ditanya lebih jauh, aku merasa film ini lebih mirip sebagai spiritual remake dari film pertamanya. Alasan suka karena film yang ini terasa lebih mudah relate (tapi itu mungkin karena aku nonton film pertama di masa-masa belum ngerti soal pasangan yang mau cerai haha) But, I do think karakter dalam film ini terasa kuat juga humanity-nya. Mereka punya layer, terutama karakter seperti Tyler. Untuk Kate sendiri, kita dibuat paham sama flaw-nya. Film fokus kepada flawnya, dan ini penting, karena tanpa ketakutan alias trauma dari survivor guilt-nya tersebut, Kate hanya akan jadi karakter utama yang terlalu sempurna. Dia tidak akan menarik. Tapi film berhasil membuat setiap pertemuan dia dengan tornado itu punya arti, punya makna kepada pembelajarannya sebagai manusia. Sambil juga film ini tetap menjalankan fungsinya sebagai disaster-flick yang seru, intens, kadang lucu-kadang konyol.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TWISTERS

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



JURNAL RISA BY RISA SARASWATI Review

 

“Words have meaning and names have power”

 

 

Jurnal Risa merupakan nama channel YouTube milik Risa Saraswati yang begitu populer oleh konten dokumentasi penelusuran horor. Risa Saraswati sendiri adalah seorang musisi, penulis buku, yang claimed memiliki kekuatan supranatural mampu berkomunikasi dengan makhluk gaib. Cerita-cerita hantu Risa telah banyak menginspirasi skena horor kita, dan sekarang film berjudul Jurnal Risa by Risa Saraswati ‘didokumentasikan’ oleh Rizal Mantovani, membawa kisah Risa dan timnya menangani kasus hantu arwah leluhur yang namanya tidak boleh disebut, dari YouTube ke layar lebar. Ya, nama tampak seperti sebuah ‘tema yang penting’ di sini. Apalagi di zaman perkontenan, nama sama saja dengan sebuah branding yang kuat. Maka ketika Jurnal Risa yang begitu populer sebagai channel konten mistis dari kreator yang dipercaya punya kekuatan cenayang diangkat ke layar lebar lengkap beserta kru dan gimmick ataupun kayfabenya, pertanyaan yang menggelayut adalah: Apakah masyarakat penontonnya mampu untuk menyematkan nama yang benar terhadap tontonan ini. Apakah (terutama bagi penonton) ini adalah mokumenter, atau dokumenter?

Kenapa hal tersebut jadi concern buatku? Karena film sebagai media, juga sama powerfulnya dengan sebuah nama. Tapi juga sebagai seni, film bersifat bebas; tidak perlu menjelaskan dirinya kepada penonton. Aku ngerti, sama seperti WWE, pada film ini, ada ilusi atau kayfabe branding yang harus dijaga lewat gimmick-gimmick atau konsep. Jurnal Risa by Risa Saraswati ini bahkan sampai mengganti ‘directed by’ menjadi ‘documented by’ supaya kesannya seperti beneran dokumenter. Dan storytellingnya juga sama persis gaya channel YouTube-nya. Risa Saraswati memerankan dirinya sendiri. Bersama kru, yang sebagian besar juga keluarganya yang pada punya kekuatan supranatural juga, Risa ceritanya mengadakan uji nyali untuk konten. Tapi salah satu peserta, seorang influencer bernama Prinsa sompral dan menyebut-nyebut nama hantu yang terlarang untuk disebutkan. Ini nama terlarang sepertinya juga sudah terbuild up dari channelnya, loh. Konflik pada film ini adalah si hantu, Samex, beneran merasuki Prinsa, dalam lima hari akan ngetake over dirinya, maka Tim Jurnal Risa harus membawa Prinsa ke kampung halaman Samex. Dan untuk membuatnya personal, Samex ternyata adalah Uwa’ alias tetua dari Risa sekeluarga.

Ada yang berani panggil namanya, tiga kali aja?

 

Sebenarnya ada bedanya. It’s one thing membuat film kita tampak begitu real, konsep realismnya dibuat sedemikian sukses, didukung oleh penceritaan yang imersif, sehingga penonton bertanya-tanya ini sungguhan atau tidak. Seperti keberhasilan The Blair Witch Project (1999), horor orang hilang di hutan yang sengaja dirilis dengan minim informasi, konsep found footage yang begitu raw, sehingga penonton saat itu merasa film ini begitu misterius sehingga disangka asli. But it’s completely another thing jika ilusi tersebut hanya disandarkan kepada kepercayaan base-penonton terhadap brand atau persona (sosok maupun channel). Like, WWE tidak pernah menjual dirinya sebagai sport, melainkan sebagai sport-entertainment. Olahraga-hiburan. Penonton acara tersebut percaya Undertaker punya kekuatan supranatural, sekaligus juga tahu Undertaker ‘aslinya’ adalah karakter yang diperankan oleh Mark Calaway, manusia biasa yang tentu saja tidak bisa memanggil petir dengan tangannya. Sebaliknya pada Jurnal Risa by Risa Saraswati, ada yang aku khawatirkan bisa jadi confusion. Film ini mempersembahkan dirinya sebagai mokumenter adaptasi dari dokumenter YouTube (yang fenomenal)

Istilah mokumenter maupun dokumenter itu sendirinya, juga merupakan sebutan atau nama, yang penting untuk dipahami oleh penonton, supaya bisa mengenali apa yang sedang mereka konsumsi. Basically dokumenter berarti film yang menelusuri atau mendokumentasikan peristiwa atau hal yang nyata. Sementara mokumenter, berasal dari gabungan kata ‘mock’ dan ‘dockumentary’, yang lantas berarti sebuah dokumenter ‘palsu’. Dokumenter yang mengisahkan peristiwa rekaan. Jadi jika kita bawa kepada istilah yang dipakai film ini untuk menjual dirinya tadi, berarti; film ini adalah kisah dokumentasi not-real yang diadaptasi dari dokumentasi real. Sebenarnya jelas, penyebutan ini cuma langkah berbelit yang dilakukan film untuk berkelit dari menyebut langsung bahwa kisah mereka cuma fiksi, demi melindungi branding atau ilusi siaran YouTubenya yang sudah terbangun. Akan tetapi,  beberapa penonton yang belum sedemikian melek literasi filmnya, akan bisa ‘salah kaprah’ menganggap ini nyata. Dan eventually bagi penonton-penonton ini akan bisa jadi kabur makna film dokumenter yang sebenarnya.

Apalagi tanpa diimbangi dengan penceritaan yang mendukung. Menggunakan konsep yang persis dengan di YouTubenya; karakter yang memerankan ‘diri sendiri’. Mereka menelusuri misteri, membantu orang yang dimasuki hantu. Film ini hanya seperti konten YouTubenya dengan durasi yang lebih panjang. Enggak kerasa strukturnya sebagai ‘film’ itu sendiri. Sebagai film, Jurnal Risa by Risa Saraswati adalah mockumentary bergaya found footage horor. Adegan-adegan yang kita lihat adalah tangkapan dari kamera yang digunakan oleh karakter. Basically ini kan sama aja kayak Keramat 2 (2022). Hanya saja di film itu kita langsung tahu itu mokumenter karena walaupun para aktor menggunakan nama asli mereka, kita paham mereka hanya memainkan karakter. Lutesha jadi Lutesha si Cenayang, Umay jadi Umay si YouTuber. Itu karena sebagai karakter mereka memang punya plot, punya penulisan, dengan motivasi, cela, aksi, pilihan, dan sebagainya. Ceritanya tersusun menjadi bangunan dengan struktur sinematik. Jurnal Risa the Movie ini, gak punya ini. Sebenarnya ‘film’ ini tidak lulus untuk disebut sebagai film.

Menggunakan nama yang benar kepada suatu hal, memang adalah hal yang begitu penting. Karena nama membawa identitas bukan saja untuk orang lain, tapi juga mengingatkan kita kepada diri sendiri. Makanya Dumbledore selalu menekankan kepada penyihir yang lain untuk memanggil Voldemort dengan nama aslinya. Bukan dengan nama samaran yang menambah kemistisan dan akhirnya semakin membuat mereka takut kepadanya. Makanya di film-film horor, penting bagi karakter untuk mengetahui nama setan yang mereka hadapi. Di film ini, Risa memang takut menyebut nama Samex, tapi solusinya tetap mengarah yang sama – kenali dia dari tempat asal mulanya.

 

Risa saja, yang harusnya adalah karakter utama, gak ikut ke mana-mana, Tidak mengalamin apa-apa. Tidak ikut menjaga Prinsa yang ketempelan. Melainkan cuma muncul sebentar mendemonstrasikan kemampuannya melihat atau berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata, lalu kadang juga jadi narator mengisahkan perjalanan ataupun bahaya, yang ditempuh oleh timnya. Tidak ada plot, melainkan cuma misteri siapa Samex (dan maybe ‘misteri’ kenapa banyak yang susah banget nyebut nama Prinsa) Soalnya Prinsa juga tidak digali, padahal sepertinya background-nya menarik, easily cerita bisa dikembangkan dari sini. Tapi enggak. Naskahnya gabut. Tim Risa yang actually terjun untuk ‘beraksi’ pun cuma berdiri di sana, dengan tampang tegang sepanjang waktu. Film ini serius banget. Seandainya kru atau keluarganya yang banyak itu hadir sebagai karakter dengan personality masing-masing (bukan cuma nampang dengan ekspresi ‘tempat ini menyeramkan’) film ini bakal lebih hidup. Heck, I would gladly take it kalo misalnya dibikin mereka punya ability masing-masing. Lucunya, sama seperti kita yang menonton, Risa dan timnya juga cuma menonton ahli paranormal lain, atau orang desa berusaha menolong Prinsa. Pokoknya mereka cuma punya one job, antara ketakutan atau kesurupan, dan itupun aktingnya atrocious semua. Gak ada yang meyakinkan. Sampai-sampai aku second guessing myself, ‘Aktingnya begini jangan-jangan sebenarnya memang gak ada yang nganggap ini dokumenter asli?’

“Izinkan saya membersihkan kamu” sounds so perverse

 

Sebagai found-footage horror, film ini juga not good. Karena arahannya sama sekali gak peka pada momen-momen mana yang bisa dimainkan ke dalam konsep rekaman footage tersebut. Momen mereka menjaga Prinsa di rumahnya sendiri, misalnya, Kalo sutradaranya gercep ama konsep ini, pasti akan ada adegan dari rekaman cctv atau kamera yang dipasang di kamar Prinsa. Di film ini, lucu sekali, karena kamera dipasang di tempat para kru bobo’ di ruang tamu. Dan kamera-kamera itu, treatment-nya semua sama. Tidak ada estetik khusus yang membedakan kameranya, ataupun yang membuat kita ingat bahwa yang kita lihat itu adalah gambar tangkapan dari karakter yang di belakang kamera. Gambarnya jadi tidak natural, dan justru lebih terlihat seperti settingan (I was third guessing myself “masa iya ada yang percaya ini asli!?”) Bahkan jumpscare-jumpscarenya yang banyak itupun, kita tahu dan sudah siap-siap ‘menyambutnya’. Dengan kata lain, arahan horor filmnya masih sangat basic. Hanya untuk kaget-kagetan, dan less about menciptakan tension ataupun situasi yang mencekam. Lihat saja pas adegan mereka uji nyali. Padahal itu kesempatan main-main dengan suasana horor, tapi belum bangun apa-apa, film udah langsung ancang-ancang untuk jumpscare aja. Ketika mereka masuk ke dunia lain, sebenarnya lebih menarik, horornya mulai menggunakan hantu-hantu di-background, suara-suara, peristiwa-peristiwa ganjil, ada juga yang kayak experience masuk rumah hantu. Cuma sayang sekali terlalu singkat untuk kita nikmati

 




Mungkin prestasi terbaik film ini adalah bikin faux documentary yang paling narsis sedunia akhirat. Karena memang tidak ada yang terasa dicapai oleh ceritanya selain ya membawa kiprah Risa dan timnya ke layar lebar, sebagai diri mereka sendiri – as seen on their YouTube. Sedangkan secara objektif sebagai film, this is a really bad one. Tapi kalo kalian suka, ya silakan saja, bergembiralah menontonnya. Harapanku cuma, kekhawatiranku penonton confused ini sebagai dokumenter tidak terjadi. Semoga sama seperti aku dan para penggemar WWE, penggemar film ini tahu apa yang sedang kita sukai, dan menikmatinya totally sebagai hiburan. 
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for JURNAL RISA BY RISA SARASWATI

 

 




That’s all we have for now.

Sebenarnya aku bukan orang yang skeptis. Aku lebih senang memilih untuk percaya pada horor, asalkan dibuat dengan baik. Menurut kalian, kenapa konten-konten horor seperti Jurnal Risa banyak digemari? Apa karena horornya, atau karena horornya dianggap nyata?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SEKAWAN LIMO Review

 

“It is not the mountain we conquer, but ourselves”

 

 

Sekawan Limo punya arti dua. Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai lima sekawan. Sedangkan dalam bahasa Jawa, basically artinya empat-tapi-lima. Judul tersebut memang klop membawa ruh cerita yang tentang persahabatan dari sekelompok anak muda yang naik gunung yang dibalut oleh elemen horor, karena salah satu di antara mereka adalah demit atau hantu. Bayu Skak dalam penyutradaraan horor pertamanya ini memang bermain-main dengan mitos ataupun anekdot-anekdot horor yang dikenal masyarakat, terutama orang Jawa Timur dan orang yang hobi naik gunung. Pun begitu, lewat pesannya, film ini juga punya implikasi yang menurutku cukup bikin sedih terkait orang-orang yang datang ke gunung, lalu hilang.

Pada cerita kali ini, Bayu juga kembali ikut main peran. Sebagai Bagas. Protagonis cerita, yang pergi naik Gunung Madyopuro bersama teman kampusnya, Lenni. Biasalah anak muda, pengen nembak demenannya di puncak. Pas sun set/rise. Tapi karena dua mahasiswa ini baru pertama kali naik gunung, mereka gak tau kalo di gunung banyak pohon cemara, eh salah, ada aturan-aturan. Gak boleh noleh ke belakang, harus naik berkelompok – dan gak boleh berjumlah ganjil. Maka Bagas dan Lenni bergabung bersama dua pendaki lain, Dicky yang ngakunya Mapala dan tahu jalan. Serta Juna yang – kasian banget – ditinggal oleh kelompoknya. Di perjalanan, mau tak mau mereka harus nambah anggota satu demi melihat pendaki bernama Andrew tergeletak kelelahan. Setelah itulah, satu persatu kelompok mereka mulai diganggu demit. Bagas, yang tak tahu, gebetan dan teman-teman seperjalanannya itu diam-diam punya beban masa lalu yang berat, mulai curiga ada demit di antara salah satu dari mereka; demit yang mengundang semua kejadian aneh itu kepada mereka semua.

Bawaan teman-temannya lebih berat daripada tas Bagas yang katanya gede karena bawa orang sekampung

 

Sebelum bahas Bagas dan kengkawan di hutan, aku mau point out dulu yang pertama menarik perhatianku. Yakni setting podcast yang membungkus cerita. Jadi petualangan Bagas di hutan itu ceritanya, diceritakan kembali oleh Bagas yang diundang sebagai bintang tamu di acara podcast. Film ini dibuka di studio podcast tersebut. Aku nontonnya, wuih ini udah kayak Late Night with the Devil (2024) nih, bedanya film itu settingnya acara live talk show televisi. Aku penasaran, mau dibawa ke mana nih setting ini oleh Sekawan Limo. Apakah nanti Bagas akan ada konflik dengan lawan bicara yang skeptis, atau bakal ada pertunjukan hantu ‘beneran’ kayak di horor karya sineas Australia tersebut, apa gimana. Dibandingkan demikian, Sekawan Limo ternyata memang tidak menggunakan setting studio podcast (live?) nya sebagai device horor atau drama seperti film tersebut. Melainkan difungsikan lebih untuk sarana penyampai komedi. Sesekali kita berpindah dari kejadian di hutan kembali ke studio saat dua host podcastnya memantik kelucuan dari reaksi dan komentar mereka terhadap cerita Bagas. Kadang terasa dua host ini seperti perpanjangan dari reaksi kita, kadang juga mereka seperti ikut memancing pandangan kita soal siapa yang hantu di antara kelompok Bagas, tapi sering juga mereka ya komedi aja. Sampai-sampai aku jadi gak yakin apakah karakter mereka yang host itu cuma pura-pura konyol supaya perbincangan terdengar menarik oleh pendengar, atau memang karakter mereka memang didesain sekonyol itu beneran.

Mungkin memang mereka sekadar lucu-lucuan, karena toh daging sebenarnya ada pada kelompok Bagas di hutan. Sungguh sebuah grup yang ‘colorful’ kalo boleh dibilang. Mereka mungkin gak semuanya likeable. Tapi mereka tetap menarik, karena sesungguhnya mereka baru kenal – kecuali Bagas dengan Lenni – tapi kita bisa merasakan perlahan mereka ya jadi kayak teman. Lengkap dengan saling ejek dan saling berdebat. Ini yang bikin mereka konek ke penonton. Dinamika mereka, interaksi mereka. Cowok yang hobi naik gunung pasti pernah punya modus ngajak cewek ke gunung kayak Bagas ke Lenni.  Aku pun relate juga sama Lenni, yang walau gak bisa bahasa Jawa, tapi kalo diajak ngomong ngerti. Aku juga gitu kalo udah urusan bahasa Sunda ataupun bahasa Jawa itu sendiri, kalo ada circle teman-teman dari sana, ya aku angguk-angguk ngerti tapi kalo ikutan nyeletuk ya keluarnya bahasa Indonesia. Begitulah. urusan bahasa yang digunakan, sepertinya ini jadi icing on the cake dari gaya humor film ini. Bahasa dan gaya khas pergaulan Jawa Timur itu bukannya jadi penghalang, namun jadi pesona tersendiri, dan film ini paham bagaimana menempatkan ‘suara-suara’ ini.  Dialog-dialog lucunya, misalnya. Film memang terbuild up ke tebak-tebak siapa yang hantu di antara mereka, dan untuk nyamarin ‘jawaban’ itu, film ini kinda bersandar kepada joke yang becandain fisik (borderline rasis maybe). Like, ada yang diledek karena jelek kayak hanoman, misalnya. Tapi di situ jugalah relatenya.  Karena kita belum bisa dibilang temenan akrab sama orang, kalo belum bisa saling hina, saling becanda. Film ini nunjukin terjalinnya persahabatan dari sana, di samping juga dari adegan emotional yang bakal datang di babak tiga.

Yang sebenarnya agak aneh justru journey Bagas sebagai karakter.  Aneh, dalam sense film ini punya langkah untuk berkelit around posisi aneh karakter utamanya tersebut. Bagas memang bakal menyadari satu pembelajaran (yang serunya diambil sebagai pemaknaan dari larangan mitos naik gunung), akan tetapi, teman-temannya-lah yang harus ngepush diri dan mental mereka untuk ikut menyadari dan mengambil aksi terhadap penyadaran tersebut.  Sementara Bagas sudah berdamai dengan pembelajaran tersebut bahkan sejak cerita dimulai. Kayaknya jarang nemu film dengan naskah yang memperlakukan karakter utamanya di posisi begini. Dibilang lemah karena karakternya gak ada plot/gak berubah, ya enggak juga. Tapi dibilang dia yang ngalamin, ya enggak, teman-temannya yang harus menuntaskan masalah mereka masing-masing. Bagas ada di sana, untuk mengingatkan mereka saja. Film juga berusaha memainkan posisi Bagas ini sebagai hal yang membuat karakternya somewhat suspicious. Bagas yang gak diganggu hantu, jangan-jangan dialah hantu di grup mereka tersebut.

Inside Out if it was filmed in my mind.

 

Justru sekarang, ruang berkelit kita-kita sebagai pengulas yang jadi sempit. Susah untuk enggak menyenggol spoiler, ketika justru revealing-nya itu tempat makna, gagasan utama, dan pesan cerita berada, dan film memutar diri untuk sepenuhnya bersandar kepada revealing tersebut sebagai momen dramatis. Makanya aku gak mau bahas banyak soal ‘jangan melihat ke belakang’ tersebut. Aku justru ingin fokus ke implikasi yang sama menyedihkannya. Yaitu di awal film, saat masih di pos depan, Bagas dan Lenni melihat banyak sekali foto-foto pengunjung/pendaki yang hilang di gunung. Mereka sendiri juga bakal ngerasain gimana seramnya tersesat di gunung dan bisa dibilang nyaris hilang juga. Tapi mereka resolved their problems. Sesuatu yang tidak berhasil dilakukan oleh korban-korban yang hilang tersebut. Sedihnya tu di sini: Berarti banyak banget pendaki yang naik gunung dengan bawaan masa lalu yang berat banget seperti karakter film ini, dan bahkan mungkin sebagian dari orang yang hilang itu seperti Lenni, yang sengaja naik gunung buat mengakhiri capek dirinya.

Makanya gunung sering jadi simbol entah itu pencarian menemukan diri, ataupun ya tempat mengadu saat hati galau. Bukan hanya sebagai tempat romantis untuk nembak cewek. Gunung  bisa jadi tempat entah itu kita berhasil menemukan kembali diri, atau jadi tempat terakhir. Yang kita lalukan saat mendaki gunung, bukanlah menaklukan gunung tersebut, melainkan menaklukkan diri kita sendiri. Berdamai dengan diri kita sendiri

 

At best, film ini dengan narasi ‘jangan menoleh ke belakang” tersebut bisa berfungsi sebagai semangat untuk tidak lari dari masala(h)lu. Bahkan mungkin bisa jadi cerita asli Indonesia yang anti-suicide (serta yang duluan muncul sebagai film anti-judi online!). Pesan film ini baik sekali. Meskipun, cara penyampaiannya masih bisa diperdebatkan lagi. Menurutku, film ini mengambil jalur yang repetitif dalam mencapai puncaknya tersebut. Bagas punya empat teman dengan masalah masing-masing, berarti ada empat kali ‘metoda’ yang sama kita lihat dilakukan oleh film dalam menceritakan penyadaran karakter-karakter tersebut. Alhasil film ini memang punya nada emosional positif yang tinggi menjelang akhir tersebut, tapi karena diceritakannya hanya bergantian, jadinya repetitif sehingga tempo agak drag mencapai ke penutup cerita – yang sekali lagi setting podcast dimunculkan, kali ini difungsikan sebagai sarana konklusi romantis yang manis, meski tetap lanjut dengan vibe horor komedinya.

 




Bahan-bahan racikan film ini sebenarnya bagus. Memadukan misteri, horor hantu-hantuan, dan komedi persahabatan dengan pamungkas emotional note yang tinggi. Belum lagi konsep naik gunung dengan segala mitosnya (termasuk mitos kedaerahan seperti penanggalan Jawa). Urusan bahasa, udah gak jadi soal. Penonton kita kayaknya gak peduli language barrier (gak kayak penonton Amrik sono yang baca subtitle aja males-malesan). Bahasa justru jadi identitas dan pesona tersindiri yang memperkaya perbendaharaan penonton. Cuma memang penceritaannya agak kikuk. Yang masih bisa dimaklumi terjadi ketika sebuah film mengusung banyak konsep, seperti di sini ada setting podcast juga, ada desain ke membuat penonton menebak-nebak, ada demit ‘beneran’ dan demit ‘masa lalu’. Dan ada empat orang – setidaknya – yang harus digali (bukan hanya pada akhir tapi juga basically sepanjang durasi), sementara ada satu protagonis utama yang juga harus dicuatkan. Film ini kebetulan mengambil jalur ‘aman’ yang repetitif, resulting ke tempo yang lebih draggy, alih-alih potong kompas alias lebih ‘garang’ di arahan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SEKAWAN LIMO

 

 




That’s all we have for now.

Kalian punya pengalaman naik gunung yang seru – dan kalo bisa horor – gak?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



A QUIET PLACE: DAY ONE Review

 

“Life is found in the dance between your deepest desire and your greatest fear”

 

 

Diam-diam,  A Quiet Place ternyata ngembangin franchise horor survival yang kuat muatan kemanusiaannya. Sudah tiga film – termasuk yang sekarang digarap oleh Michael Sarnoski ini – dan ketiga-tiganya selalu lebih dari sekadar tontonan hiburan dari gimmick invasi makhluk alien yang punya pendengaran super. Bukan cuma soal tidak bersuara jika ingin selamat. Film pertamanya, yang rilis 2018 silam, mengusung pengorbanan demi keluarga lewat persoalan survive dengan tahu kapan harus bersuara, kapan harus diam. Lalu sekuelnya, yang kali itu ceritanya meluas karena keluarga karakter berinteraksi dengan survivor lain, merupakan soal pengorbanan demi kemanusiaan, bagaimana pentingnya membantu orang lain meskipun sekilas seperti mereka tak worthy untuk diselamatkan, dan untuk itu kita tidak bisa dengan tinggal diam. Film ketiganya ini, yang secara timeline dinyatakan sebagai prekuel – hari pertama dari invasi maut itu – bicara tentang keinginan untuk hidup. Keinginan yang sengaja atau mungkin tidak bisa lagi terucapkan, karena situasi yang mengharuskan. Skala lokasinya satu kota besar, tapi cerita kembali menjadi bahkan lebih personal lagi. Film ini memang sedikit lebih serius, lebih ke drama, dan less soal action survivor ataupun horor monster. Tapi tidak sampai sedemikian berat karena afterall ini juga soal menikmati hidup. Motivasi utama protagonisnya saja – di dunia yang mendadak kacau beliau itu – adalah makan pizza favoritnya!

Serius deh, ini harusnya dinormalisasi. Perkara karakter punya tujuan sederhana (atau bisa dibilang out-of-place ketika dikontraskan dengan situasi dunia atau konflik yang sedang terjadi) seharusnya lebih sering dilakukan oleh film-film, sebab itu membuat karakternya tampak lebih beresonansi. Kayak waktu Tallahassee yang berkeliling menumpas zombie di Zombieland (2009) karena dia sedang dalam misi mencari snack Twinkies kesukaannya. Atau recently dalam Leave the World Behind (2023), ada anak kecil yang cuma pengen namatin nonton serial Friends, despite orangtuanya sibuk ketakutan oleh dunia sedang kacau balau kena serangan cyber misterius. Film itu bahkan dengan beraninya mengakhiri cerita bukan dengan menuntaskan konflik global, melainkan menyelesaikan keinginan si anak. Konyol? Bisa dibilang begitu tapi tidak juga sebenarnya. Motivasi sederhana mereka itu jadi seperti api kecil harapan di balik keadaan yang sedang tidak baik-baik saja. Motivasi tersebut jadi simbol. Keinginan Samira makan pizza dari toko di kota New York, penting karena memuat gagasan dan tema utama karakter dan cerita keseluruhan A Quiet Place: Day One.

Begini, Samira adalah pasien kanker yang nasibnya sudah pasti. Hidupnya tak lama lagi. Di momen pertama kita ‘berkenalan’ dengannya kita tahu Sam udah sebodo amat, Sam bacain puisi tentang segala hal di dunia ini sampah – it was a good, cold, poet tho. Udah eneg banget kayaknya dia hidup. Pizza-lah satu-satunya hal yang masih ‘enak’ baginya, Karena pizza ngingetin dia sama masa lalu yang hangat. Jadi karena dijanjiin pizza, maka Sam mau ikut perawatnya ke New York. Tapi hari itu ternyata bukan hari yang baik untuk makan pizza ke New York. Sebab itu adalah hari saat invasi monster asing terjadi. Korban berjatuhan. Kota porak poranda. Ketika semua orang berusaha menyelamatkan diri naik kapal, Sam bersama kucing kesayangannya malah menyusuri jalan. Masih ngotot mencari pizza, Sam akhirnya malah bertemu dengan teman seperjalanan yang membuatnya kembali merasakan hangatnya semangat hidup.

Kebayang gak sih kalo lagi nahan suara takut monster gitu, tau-tau ada yang kentut

 

Saat nonton dua film terdahulu, mungkin ada yang sempat kepikiran gimana prosesnya survivor bisa tahu bahwa monster ini peka ama suara, butuh berapa lama sampai para manusia sadar mereka harus tak-bersuara agar selamat? Well, film Day One ini ngasih jawaban yang jelas. Enggak lama. Kericuhan memang terjadi pas monster-monster itu baru muncul. Bagi Sam yang sudah terbiasa diam dan mengelak dari interaksi dengan manusia, mungkin bukan benar-benar masalah, tapi manusia-manusia lain di sekitarnya? Ketakutanku soal cerita ini bakal jadi teror monster biasa memang hampir jadi kenyataan, tapi itu enggak lama. Begitu Sam siuman dari pingsan, para survivor telah mengerti cara supaya aman dari serangan. Bahwa mereka harus diam. Film ini memang ingin menunjukkan betapa manusia punya survival insting yang kuat. Punya keinginan untuk hidup yang kuat. Sehingga mereka cepat beradaptasi dan menemukan celah dari serangan monster. Keinginan untuk hidup itulah yang jadi kata kunci di film ini.

Rasa kasihan dan kepedulian kita kepada Sam datang dari benturan antara dua hal itu. Kita ngerti Sam yang terminally ill basically udah gak punya keinginan untuk hidup, tapi kita juga lihat daya survivalnya tinggi karena dia pengen banget makan pizza untuk terakhir kali. Nontonin Sam ini rasanya diri berkecamuk sendiri – pengen neriakin Sam supaya benar-benar nikmatin hidupnya, tapi gak bisa karena ya kalo teriak takutnya monster denger. Film ini konsep horornya udah kuat merekat, ditambah pula karakter yang bikin kita ya akhirnya hanya bisa diam juga. Tapi untuk penyadaran Sam itulah – karena kita sebagai penonton gak punya ‘power’ ngasih tau karakter – naskah menghadirkan Eric. Pria yang seperti counter-point dari Sam. Teman seperjalanan yang awalnya ogah-ogahan diterima oleh Sam. Eric, basically, adalah orang yang selama ini mendedikasikan hidupnya untuk hal yang tak bisa ia tolak. Kata-katanya soal law school seolah dia memang diharapkan jadi pengacara dan itulah yang ia lakukan. Tapi keadaan dunia yang hancur sekarang, membuat dia tak perlu lagi jadi pengacara. Eric adalah orang yang merasa punya kesempatan mengejar hidup baru. tapi dia gak bisa apa-apa karena tak melakukan hal lain. Sam dan Eric eventually akan saling ‘mengisi’. Connection di antara mereka jadi hati yang mengangkat film ini. Adegan di jazz club benar-benar mereveal dan nunjukin development yang hangat pada dua karakter yang menguar oleh empati. Itu jadi adegan puncak, Ada keindahan sendiri pada storytelling film ini saat menempatkan adegan full of life itu di tengah-tengah teror, bahaya, dan luluh lantak dunia yang penuh monster mengerikan.

Hidup adalah apa yang kita lakukan ketika menggapai yang diinginkan, meskipun harus melewati ketakutan terbesar. Film ini nunjukin bagi tiap orang ‘hidup’ – being alive – itu berbeda-beda. Makanya ending film ini jadi terasa monumental, sebuah pilihan akhiran cerita yang benar-benar tepat untuk menamatkan kisah hidup Samira; karakter yang divonis mati, di dunia yang juga udah harus ikhlas bakal mati, tapi alih-alih diam, menemukan cara baru untuk benar-benar menyuarakan hidupnya.

 

Lupita Nyong’o dan Joseph Quinn benar-benar paham membuat karakter mereka tampak kontras, punya dinamika yang tantangan menampilkannya sangat berat karena mereka harus lebih banyak diam. Film dengan konsep mengontraskan aksi dengan elemen emosional yang tanpa suara ini memang bergantung kepada akting. Pemainnya dituntut harus bisa bicara lewat gerak kecil, sorot mata, pokoknya seluruh tubuhnya harus bicara menyampaikan psikologi ataupun yang dirasakan karakternya. Informasi tentang mereka terbatas dari sini. Lupita terutama; capeknya dia, frustasinya dia, senangnya, takutnya, marahnya, penolakannya, terekspresikan semua. Film ngasih challenge; muka belepotan abu lah, harus berhadapan dengan monster lah, semua itu ditackle tanpa lepas dari emosi karakter. Yang aku suka satu lagi dari Sam dan Eric adalah kenyataan bahwa mereka ini dipertemukan oleh kucing. Hewan yang dikenal sebagai salah satu hewan paling mandiri bought them together. Seolah ini adalah kiasan berikutnya bahwa mandiri bukan berarti kita tidak berempati ataupun tidak butuh koneksi dengan orang – atau bahkan makhluk – lain.

Salut buat akting kucingnya yang bisa diam, karena aku dulu punya kucing dan aku yakin kalo aku bawa kucingku ke dunia A Quiet Place, baru lima detik kami pasti sudah dimangsa monster

 

Tapi di balik nilai plusnya, tentu kita juga tidak bisa mendiamkan beberapa aspek lemah dari arahan dan penulisan film. Yang paling mengganjal buatku adalah kemunculan Eric. Karakter ini muncul tanpa set up. Literally dia muncul dari sebuah jumpscare. Kirain dia ini gak penting dan bakal mati cepet, tapi ternyata justru kebalikannya. Mungkin film ingin memperkuat kesan bahwa yang namanya hidup, ya unexpected things happen. Kita gak bisa milih siapa yang bakal masuk dan berperan dalam hidup. Bahwa pembelajaran bisa datang dari mana saja. Namun tetap saja yang namanya film, akan selalu lebih baik jika karakter dibuild up dengan proper, atau paling enggak, tidak muncul begitu saja di dalam cerita. I mean, bahkan dalam cerita plot twist paling kacrut pun, karakter yang diungkap sebagai ‘penjahat sebenarnya’ biasanya sudah ada ‘clue’ atau dimunculkan seenggaknya sekilas di awal-awal. Cara film ini mengintroduce Eric dengan abrupt terkesan naskah belum demikian matang memuat racikan konsep cerita.

Dan ngomong-ngomong soal matang, film ini toh tersandung juga ketika mencoba mempersembahkan diri sebagai bagian dari sebuah universe cerita. Film sekenanya aja ketika mulai nyambung-nyambungin antara karakter yang ada di film sebelumnya.  Aku gak ngerasa karakter Henri penting untuk ada di sini. Adegannya ‘mengurusi’ salah satu warga yang panik oleh monster terasa gak penting karena cuma itu satu-satunya bagian dia tampak mencuat. Selanjutnya dia tidak dibahas lagi hingga akhir. Bahkan kalo mau nunjukin paralel antara sikapnya dengan sikap Sam nanti ketika dealing with kepanikan Eric, harusnya keberadaan dia mestinya bisa lebih ditekankan lagi. Karena kalo cuma seperti yang kita saksikan, keberadaan dia kayak maksa, biar kelihatan ini beneran satu universe aja.

 

 




Also, judulnya buatku bisa bikin beberapa penonton merasa terkecoh. Ini mungkin lebih tepat dibahas sebagai problem judul film masa kini yang udah kayak ngincer SEO, kali ya. Maksudku, dari judulnya sekilas film seperti ingin membahas hari pertama di semesta A Quiet Place. Penonton bakal ngarepin aksi ataupun keadaan yang menyeluruh dari ‘hari pertama’ tersebut. Padahal ceritanya sendiri actually adalah cerita yang sangat personal. Yang sangat intimate antara dua survivor. Ditambah pula dengan less-aksi dan more of bahasan karakter, film ini bakal jadi entry paling boring. Namun secara muatan cerita, sebenarnya film ini paling kompleks. Dari ketiganya so far, yang paling ‘elevated’ sebagai horor invasi ya film ini. Kekurangan sebenarnya cuma di beberapa titik kurang matang, atau pilihannya aneh. Sementara karakter dan journeynya, kalo mau memperhatikan, mereka semua meluap oleh emosi yang memang tidak disampaikan dengan sekadar cuap-cuap.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for A QUIET PLACE: DAY ONE

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana menurut kalian tentang motivasi karakter yang ‘sepele’ seperti ini? Apakah kalian setuju dengan pendapatku di atas?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



IPAR ADALAH MAUT Review

 

“The worst pain in the world goes beyond the physical, even further beyond any other emotional pain one can feel; it is the betrayal of a friend” 

 

 

“Ipar adalah maut” yang merupakan kutipan Hadits Nabi, adalah sebuah peringatan. Sementara Ipar Adalah Maut, merupakan film karya Hanung Bramantyo, adalah sebuah gambaran. Tentang bagaimana peringatan itu bisa terjadi, tentang bagaimana ipar dapat membawa maut, dalam artian menjadi sumbu dari kehancuran sebuah rumah tangga. Dan dengan mengambil perspektif utama dari kakak yang eventually jadi ‘korban’ dari adik yang tinggal di rumahnya, film yang dijual sebagai diangkat dari kisah nyata pengalaman seseorang ini coba untuk menjadi penghembus semangat kebangkitan dari maut tersebut.

Suara Nisa sebagai narator menyambut kita ke dalam cerita. Dia hendak berbagi pengalaman rumah tangganya yang mengenaskan. Awalnya memang Nisa sempat ragu untuk mutusin permintaan ibu soal adiknya, Rani, tinggal bersama dengan keluarganya. Tanggungjawabnya besar. On top of jagain adik yang baru kenal dunia itu, Nisa harus ngurusin suami, anak yang belum lagi SD, ditambah bisnis toko kue yang lagi rame-ramenya,  Suaminya, Aris – dosen sosiologi keluarga, dan cukup soleh – siap mendukung apapun keputusan Nisa. Mereka sebelumnya sama sekali gak kepikiran macem-macem. Memang saat itu, they didn’t take one thing as a factor; Saat baru pacaran dulu, Rani memang ‘cuma’ anak remaja  yang kekanakan dan manja. Namun kini, Rani yang udah mau masuk kuliah, got hot. Yang namanya tinggal serumah, muncul deh tuh kejadian-kejadian. Mulai dari situasi tak-sengaja yang innocent (mungkin pikir Aris, ‘rejeki’) membesar hingga ke situasi awkward yang gak bisa Aris ataupun Rani ceritakan kepada Nisa yang sibuk, karena kejadiannya bikin mereka merasa bersalah, tapi sekaligus juga bikin kepikiran terus. Apalagi Rani melihat Aris ini udah kayak manic pixie dream man. Kesempatan demi kesempatan yang mereka dapatkan dengan absennya Nisa pun akhirnya bikin rasa bersalah itu kalah. Dan film pun membuild up kepada kecurigaan Nisa dan aftermath setelah semuanya ketahuan.

Karena konteksnya keran, mungkin Aris mikirnya ‘terlanjur basah, ya sudah basah-basahan sekalian’

 

Karena karakter utama yang dipilih adalah Nisa, sebagai korban dari perselingkuhan, Hanung tahu cerita ini tidak bisa membahas lebih dalam tentang perselingkuhan itu sendiri. Like, perspektif Aris sebagai dosen sosiolog keluarga tapi justru dia terjerumus jadi pelaku selingkuh, tidak bisa dikembangkan lebih dalam alasan ataupun motivasinya karena ini bukan cerita dia. Rani sebagai si bungsu yang didaulat manja dan tak bisa apa-apa oleh keluarga pun hanya bisa punya waktu berdalih dengan itu alih-alih memeriksa lebih dekat apa yang dia rasakan sehingga ‘tega’ ngerebut suami kakaknya. Hanung paham posisi karakter utamanya yang sebagai korban, maka sebagian besar hanya bisa bereaksi terhadap tanda-tanda dia diselingkuhi. Maka Hanung tahu satu-satunya kesempatan untuk bikin cerita ‘pasif’ ini hidup adalah dengan melibatkan penonton. Untungnya, memang itulah hal yang, boleh jadi, paling dipahami oleh Hanung ketimbang sutradara lain. Membuat dramatis sampai penonton ikut bertangis-tangis.

Film ini kalo kita perhatikan banyak dan tahu memanfaatkan momen-momen pause. Momen-momen diam. Timing untuk mancing reaksi penontonnya gila banget, sehingga build up ke adegan dramatis terasa punya pay off yang lebih dahsyat. Perhatikan saja misalnya pada adegan seperti Aris ngajak Rani masuk ke hotel, atau ketika ibu yang saat itu ‘blank’, dari kursi rodanya menasehati Nisa dan Rani jangan berantem. Film seperti sengaja berhenti beberapa detik untuk membiarkan penonton meluapkan emosi kepada karakter, setelah itu barulah film menumpahkan adegan emosionalnya. Ini membuat kita seperti terlibat langsung. Kita emosi, karakter emosi, dan baru kita semua emosi bersama-sama mereka. Ipar Adalah Maut was so good at doing this.  Dialognya banyak yang dibuat ‘mendua’. Apalagi kalo bukan memancing celetukan kita, entah itu kepada Rani setelah dia mendengar “Tolong layani Mas mu, ya” dari Mbak-nya, ataupun kepada Aris begitu dia ditanya dengan sangat polos oleh Nisa yang gak tau suami dan adiknya lagi berduaan, “Mas lagi sama Rani, ya?”

Sepertinya tidak ada yang luput dari tembakan dramatisasi Hanung. Bahkan karakter minor seperti Ibu Nisa (diperankan oleh Dewi Irawan) diberikan percikan drama, karena actually si ibu inilah pemantik incident. Meminta tolong Nisa untuk menampung Rani karena beliau kurang sreg Rani harus ngekos. Firasat si Ibu dibuat terus bergulir sepanjang narasi siap untuk meledak bersama perasaan Nisa, dan Rani. Ngomong-ngomong tentang karakter dan aktornya, wuihh, tiga aktor utama benar-benar ‘diberdayakan’ untuk kebutuhan dramatis ini. Casting Hanung udah kayak melingkupi pesona dan raga. Deva Mahenra yang imagenya cocok buat karakter tipe pendiam dan sedikit kekanakan; di sini Arisnya dibuat tampak cuek bukan main saat melakukan ‘kebejatan’. Davina Karamoy dengan mata besar bersorot tajam dan cerdas, Raninya actually jadi beneran tampak antagonis ketika dibuat dia-lah yang jadi mastermind pertemuan diam-diam dan muslihat untuk mengecoh Nisa. Tapi meskipun begitu, kedua karakter ini tidak pernah kehilangan momen manusiawi tersendiri. Film tetap memberikan kita glimpse ke konflik personal dan rasa bersalah mereka. Dan tentu saja Michelle Ziudith sebagai Nisa. Ziudith yang dikenal sebagai ratu nangis, di sini dapet adegan panjang emosional, nangis-nangis yang begitu luar biasa saat Nisa mengetahui soal perselingkuhan tersebut.  Nangis yang benar-benar kerasa seperti dari gabungan perasaan marah, sakit, jijik – semuanya meledak jadi satu. Dan bukan cuma emosinya, tapi juga kerasa di fisik (Nisa dibuat menginjak pecahan kaca dari vas yang ia pecahkan)

Pengkhianatan adalah hal yang menyakitkan karena terjadi bukan karena musuh, melainkan oleh orang dekat yang kita percaya. Dan perselingkuhan sesungguhnya adalah pengkhianatan yang paling menyakitkan, karena terjadi oleh orang yang paling dicintai. Bagi Nisa, malah lebih menyakitkan lagi, karena dikhianati oleh suami dan adik kandungnya sendiri. Di bawah atapnya sendiri. Di belakang kepalanya sendiri. Film begitu paham menerjemahkan sakit ini. Sakit yang begitu banyak melibatkan perasaan, hingga menjadi sakit fisik, semuanya menghantam sekaligus. Karakter Nisa dibuat menelan semuanya.

 

Apa Aris dan Rani gak jadi kebayang muka Pak Junaedi ya setiap kali gituan? Hihihi

 

Yang terbaik yang bisa dihasilkan dari perspektif korban kayak Nisa ini sepertinya adalah memperlihatkannya sebagai gambaran gimana korban perselingkuhan menerima dan dealing with masalah itu, lalu gimana dia sadar harus cepat bangkit. Keluar dari lubang derita. Sebab basically perselingkuhan adalah kehilangan kepercayaan, maka tahap yang dilalui korban kurang-lebih bakal sama. Ada steps of griefnya juga. Film ini briefly memperlihatkan gimana Nisa memproses kenyataan tersebut, dan juga menunjukkan terutama Nisa ini berkutat dengan menyalahkan diri. Nge-gaslight diri sendiri; Ngerasa karena dia sibuk maka suaminya jadi kurang perhatian. Ngerasa karena dia sering pergi, maka kedua orang itu jadi punya kesempatan. Ngerasa karena dia gak mikirin lebih lanjut soal keraguannya di awal, maka semua ini bisa terjadi. Bahkan saat narasi akhir di ending saja, Nisa masih membuka ruang untuk menyalahin diri. Untung saja film masih berhasil untuk memutar kata-kata tersebut sehingga terdengar positif sebagai dorongan semangat untuk diri lebih baik, lebih tegar, ke depannya. Itulah masalah pada film ini buatku. Porsi yang diberikan kepada Nisa untuk mengembangkan perspektifnya ini, kurang banyak. Akibatnya perubahan positif dan development Nisa, hanya kita dengar sebagai narasi penutup.

Memang sebenarnya jika perspektif utama yang dipilih adalah korban, maka justru aftermath setelah selingkuh ketahuan itulah lahan untuk menggali si karakter utama, bukan di tindak perselingkuhannya itu sendiri.  Pilihan-pilihan Nisa ada di periode ini. Karena setelah ketahuan, maka ‘bola narasi’ itu ada di dirinya. Gimana dia memilih untuk bersikap kepada suami ataupun adiknya. Pilihannya untuk melanjutkan hidup. Pertimbangannya tentu saja akan banyak, ibu, anak, serta kehamilan adiknya. Buatku, babak terakhir film – ketika ini semua sedang dibahas dengan relatif singkat – adalah waktu ketika Ipar Adalah Maut menjadi paling menarik. Aku berharap mestinya ini diberikan porsi lebih banyak. Daging perspektif Nisa sebagai korban itu adanya di sini. Tapi sebaliknya, film memilih untuk meluangkan lebih banyak waktu untuk build up momen perselingkuhan hingga sampai ketahuan. Yang lebih banyak diberikan adalah momen-momen Aris dan Rani jadi ‘antagonis’; gambaran gimana mereka sampai bisa bablas, lalu mereka mutusin lanjut, dan kucing-kucingan antara mereka dengan kecurigaan Nisa yang mulai terbangun setelah pertengahan.

 




Kisah perselingkuhan memang gak ada matinya. Ada aja yang bisa digosok sehingga cerita ini bisa terus saja hot. Film ini put our emotion on point tatkala yang jadi pelakor di ceritanya adalah adik kandung dari karakter utama. Pilihan yang diambil jelas. Cara film langsung membuat penonton untuk terlibat emotionally di dalam dramatisasi itu, inilah yang bisa kita apresiasi. Vibe film pun dijaga tetap light-hearted dengan candaan supaya penonton gak melulu kesel dan emosi. Jadilah dia tontonan merakyat, sasarannya kena banget. Namun di balik keberhasilan itu, tentu saja untuk menilai kita tidak bisa abai bahwa ini bukan pendekatan terbaik yang bisa diambil untuk cerita seperti ini, ada bahasan dan perspektif utama yang jadi belum maksimal. Film memilih maksimalin yang lain, dan make the best dari pilihan yang lebih pasif ini.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for IPAR ADALAH MAUT

 




That’s all we have for now.

Menarik sikap Nisa yang seperti tidak lagi begitu menyalahkan Rani begitu tahu adiknya itu hamil – Nisa jadi seperti full nyalahin Aris. Menurut kalian apa alasannya?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL