HOW TO TRAIN YOUR DRAGON: THE HIDDEN WORLD Review

“Each friend represents a world in us, a world possibly not born until they arrive, and it is only by this meeting that a new world is born”

 

 

 

Setiap kali berkenalan dengan orang baru, sesungguhnya kita seperti melangkah ke dalam dunia baru yang mungkin saja belum pernah kita lihat sebelumnya. Kita kemudian bisa berteman dengan mereka, jika ‘dunia’ kita dan milik mereka berjalan beriringan. Sebab dalam menjalin persahabatan, hal terbaik yang kita lakukan terhadap teman kita adalah tidak menarik dunia mereka masuk ke dalam dunia kita.

 

Indahnya persahabatan antara Hiccup, anak kepala suku bangsa viking, dengan Toothless, naga Night Fury yang bersisik dan hitam, sudah kita rasakan bersama-sama semenjak film pertama mereka tayang di bioskop delapan tahun yang lalu. Malahan, persahabatan merekalah satu-satunya hal yang konstan yang dapat kita temukan dalam dunia trilogi film mereka yang senantiasa berkembang. Berawal dari perasaan mutual – sama-sama membutuhkan; Toothless yang cacat tidak bisa terbang tanpa bantuan Hiccup, begitupun Hiccup yang menjadikan Toothless sebagai perangkat untuk membuktikan kemampuannya, hubungan mereka berdua layaknya simbol perdamaian antara manusia dengan naga. Hiccup sudah menjadikan si naga sebagai partner sejatinya, kita lihat mereka bekerja sama. Persahabatan mereka bahkan sudah teruji dalam peristiwa mengharukan di film kedua (2014) saat Toothless berusaha keras mematahkan kekuatan yang menyuruhnya menyakiti Hiccup. Trilogi How to Train Your Dragon tak pelak adalah salah satu dari seri animasi yang benar-benar punya arc menawan untuk kita simak. Menontonnya sendiri-sendiri saja sudah cukup menghangatkan, apalagi jika kita melihat gambar besar dari apa yang diceritakan oleh tiga film ini.

Kita bisa melihat perubahan, katakanlah evolusi, baik dari apa yang mereka hadapi maupun dari segi visual yang terus saja bikin kita takjub. Sensasi perkembangan itu memang jadi nilai kuat dari trilogi film ini. Sebagai penutup trilogi, How to Train Your Dragon: The Hidden World memperlihatkan kedewasaan para tokohnya. Hiccup, kini animasi yang halus itu menunjukkan bulu-bulu jenggot halus mulai membayangi dagunya, adalah kepala suku yang sah untuk klan Berk. Dia memerintah kampung mereka di mana naga dan manusia ia usahakan hidup berdampingan. Bersama teman-teman penunggang naga, Hiccup dan Toothless memimpin misi-misi pembebasan naga-naga yang tertangkap oleh para pemburu. Tapi sanctuary yang mereka buat -desa mereka – lama-lama justru bisa menjadi sasaran empuk buat para pemburu. Terutama yang keji seperti Grimmel, pemburu yang bertanggung jawab atas status Toothless sebagai naga Night Fury satu-satunya. Menyadari keberadaan mereka begitu mudah ketahuan dan disusupi, Hiccup membawa seluruh suku beserta naga-naga mereka, hijrah ke sebuah tempat tersembunyi – tempat asal muasal para naga – yang pernah didongengkan ayah kepadanya. Perjalanan yang mereka tempuh sangat beresiko karena semakin mengekspos eksistensi mereka, dengan Grimmel yang terus mengekor dan menggunakan Light Fury (naga Night Fury betina) memancing Toothless keluar dari perlindungan Hiccup dan para manusia.

I summon Blue Eyes White Dragon!

 

Alih-alih membebani cerita dengan menambahkan karakter-karakter baru (seperti yang dilakukan Ice Age dalam setiap sekuel mereka), sutradara Den Deblois melakukan pilihan yang tepat dengan malah mengekspansi dunia tempat tinggal para tokoh. Dan pada dasarnya ini juga berarti dia terus menggali apa yang dipunya oleh karakternya – Hiccup sedari awal memang adalah seorang petualang dengan ide-ide out-of-the-box, jadi masuk akal ketika tokoh ini mendapat gagasan untuk membawa rakyatnya ke ujung antah berantah sebagai penyelesaian masalah yang dihadapi suku Berk. Setiap teman-teman manusia Hiccup juga terus digali ‘kegunaannya’, jadi ketika mereka melakukan hal yang lucu kita tahu perbuatan tersebut terletak di antara digunakan untuk menguatkan karakter mereka atau bakal berpengaruh terhadap majunya cerita. Setidaknya ada tiga relasi/hubungan penting yang harus kita perhatikan karena merupakan fokus utama cerita. Antara Hiccup dengan Toothless, tentu saja. Antara Hiccup dengan Astrid – yang sejak film pertama dibangun sebagai love interest – perhatikan gimana Astrid yang pejuang membantu Hiccup dengan tidak menggunakan ‘bantahan’. Dan antara Hiccup dengan rakyat yang ia pimpin – ini berkaitan dengan ‘pekerjaan’nya sebagai kepala suku yang full-circle dengan relasi Hiccup dengan ayahnya dahulu.

Menggunakan banyak nama gede sebagai pengisi suara sepertinya memang keputusan yang menguntungkan. Suara-suara milik Cate Blanchett, Jonah Hill, Kristen Wiig, F. Murray Abraham, Christopher Mintz-Plasse, America Ferrera, Jay Baruchel terdengar begitu ekspresif hampir seolah film ini merekam suara terlebih dahulu baru kemudian menyesuaikan animasi dengan suara yang sudah didapat. Interaksi para tokoh sama mulusnya dengan visual yang dihadirkan. Hal ini terlihat sekali saat kita berpindah melihat interaksi Toothless dengan si naga betina. Kita tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan, tetapi emosi-emosi itu tidak pernah tercecer. Kulminasi semua aspek keindahan itu terwujud pada adegan final yang menghantarkan kita pulang dengan penuh kehangatan. Setiap ada pertemuan selalu ada perpisahan, film lewat adegan penutup memperlihatkan dengan indah tidak ada yang absolut dalam pertemuan dan perpisahan.

Dan setiap ada pertemuan, akan selalu ada makan-makan.

 

Dengan tokoh-tokoh dan permasalahan yang lebih dewasa, film harus memutar otak untuk membuat ceritanya tetap tak-berat disantap oleh anak kecil. Jadi kita akan menemukan beberapa kemudahan, yang menurutku memang disayangkan. Membuat film ini tidak bisa terbang mencapai ketinggian yang dicapai oleh film pertamanya. Penulisan dibuat tak sedalam yang semestinya bisa dilakukan. Jika pada dua film sebelumnya kita melihat elemen pengorbanan yang tak lazim ditemukan dalam animasi keluarga seperti ini  – ada kaki yang hilang, bahkan nyawa – maka pada film kali ini kita tidak menemukan tindak seberani itu, meskipun film tetap masih berusaha keras menyampaikan maksud dan emosi yang melandasi setiap adegannya. Poin yang ingin diacungkan adalah bagaimana Hiccup musti ‘membebaskan’ Toothless. Masih mengharukan, tetapi kurang menggigit, buatku mainly karena kita baru saja menyaksikan elemen yang mirip pada hubungan persahabatan antara ‘manusia dengan manusia’ dalam Ralph Breaks the Internet (2018). Bukannya mau mengecilkan persahabatan antara manusia dengan hewan, aku aja gak bakal langsung tega melepaskan kucingku, tapi film ini butuh lebih banyak penekanan dari konflik inner si Hiccup seperti yang kita lihat pada Ralph. Mereka sama-sama diambang perpisahan dengan sahabat karena ulah mereka sendiri, namun pada How to Train Your Dragon ini kita teralihkan dari Hiccup ke satu relasi lagi yang kurang tergarap dengan baik.

Relasi tak-tergali dengan cukup itu adalah antara Hiccup dengan Grimmel, pemburu yang sempat memuji mendiang ayah Hiccup karena mereka satu pemikiran. Film seharusnya memusatkan konflik inner Hiccup di sini. Dia dibuat menyadari apa yang ia lakukan sebenarnya juga sama aja dengan berburu naga (meskipun naga buruan ia selamatkan alih-alih dibunuh), tapi kita tidak benar-benar melihat bobot ini mempengaruhi cerita. Lantaran si Grimmel sendiri dibuat satu-dimensi. Dia adalah penjahat kartun yang total jahat, tidak ada perbedaan filosofi seperti Hiccup dengan ayahnya di film pertama, sehingga kita pun tidak pernah benar-benar melihat dan merasakan problem personal dari Hiccup. Dia seperti membuat keputusan yang salah kemudian menjadi benar karena si antagonis ini jahat banget. Tak lebih dari itu. Di film pertama Hiccup bersusah payah memberikan pandangan baru kepada ayah dan teman-temannya, membelokkan cara pikir mereka terhadap naga, dan di film penutup ini kita melihat Grimmel dengan gampangnya punya serum untuk cuci otak mengendalikan naga-naga. Kemudahan yang timpang sekali, yang tidak memberi ruang untuk kita menarik garis paralel antara protagonis dengan antagonis. Permasalahan dalam film ini jadi seperti versi lebih ringan dari permasalahan yang sudah pernah dihadapi oleh tokoh utamanya.

 

 

 

 

Namun bukan berarti film ini tersimpulkan dengan kata kecewa. Ia tetap sebuah suguhan yang menghangatkan, yang bisa dinikmati oleh seluruh anggota keluarga. Aksinya seru, tokoh-tokohnya lucu. Sebagai penutup trilogi, film menjalankan fungsinya dengan manis. Mungkin ia sengaja menjadi begitu jinak, sehingga kita merasa sayang harus berpisah dengannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HOW TO TRAIN YOUR DRAGON: THE HIDDEN WORLD.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Mengapa menurut kalian Hiccup tidak jadi ikut bersama Toothless? Apa makna membebaskan naga dalam film ini?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

GREEN BOOK Review

“Get to know someone who doesn’t come from your social class; this is how you see the world”

 

 

Green Book, cerita berdasarkan kisah nyata, dihadirkan dengan gaya yang ringan rupanya bertindak seperti lampu hijau; membiarkan potret-potret intoleran tahun 60an itu masuk ke tengah-tengah masyarakat yang lebih luas. Supaya semakin banyak orang dapat berkaca, memperbaiki cara pandang diri terhadap sempitnya pandang dan pergaulan. Mungkin dirinya bukan pendekatan yang serius, namun kita bisa beragumen mungkin saja ini adalah salah satu cara yang efektif untuk mengobati kerasisan dan menyembuhkan prasangka.

Judul film ini merujuk kepada istilah brosur travel perjalanan yang dikeluarkan khusus untuk pelancong penduduk kulit hitam sehingga mereka bisa mencari tempat-tempat singgah yang ‘bersahabat’, yang mengizinkan mereka masuk dan mendapat pelayanan, selama bepergian jauh. Zaman dulu boleh jadi belum ada aplikasi yang menyajikan info hotel dan penginapan yang lengkap sampai ke harga-harganya seperti sekarang, jadi kita mungkin tak-begitu mengerti urgensi ataupun uniknya si brosur itu sendiri. Tapi kita tidak bisa mengatakan hal yang sama terhadap perilaku-perilaku dan prasangka yang ingin ditunjukkan sebagian besar orang kepada minoritas, zaman dulu ama zaman sekarang – masih relevan, walaupun dalam kadar terang-terangan yang berbeda. Green Book ingin memperlihatkan kembali masalah serius yang dihadapi oleh orang kulit hitam, dan untuk itu ia menjelma menjadi bentuk-bentuk penceritaan yang sudah acap kita lihat. Film ini adalah film road trip, film dua tokoh yang begitu kontras yang nantinya menyadari bahwa mereka sebenarnya ‘sama’, ini juga adalah film musik, sekaligus film natal.

Orang bilang, salah satu penyebab perjalanan menjadi menyenangkan adalah siapa yang menemani kita dalam perjalanan tersebut. Dan yang benar-benar bikin Green Book menjadi perjalanan yang menyenangkan ialah karena kita ditemani oleh dua penampilan yang sama-sama luar biasa.

 

Memutar balikkan peran kulit putih dengan kulit hitam pada era di mana si kulit hitam tidak sepantasnya memakai kamar kecil yang sama dengan kulit putih, Green Book sudah menjanjikan dinamika yang menarik. Tokoh utama kita adalah Tony “Lip” Vallelonga. Sekali lagi Viggo Mortensen membuktikan kepandaiannya melebur ke dalam tokoh yang ia perankan. Tiga-puluh pound bobot yang ia tambahkan ke tubuhnya itu belum apa-apa dibandingkan bagaimana dia membuat Tony yang orang italia itu menjadi seperti tokoh kartun berjalan. Dia melipat pizza satu loyang dan memakannya bulat-bulat begitu saja sebagai snack tengah malam, dia selalu ngobrol dengan ceplas-ceplos dengan aksen yang kental, dia mukulin orang-orang kalo diperlukan. Bukan sembarang saja dia dijuluki Tony Lip. Mulut adalah ‘senjata utama’ Tony. Sebagian besar adegannya adalah jika tidak sedang makan, dia pasti mengoceh. Dia membanggakan diri sebagai bullshitter ulung; bahkan dirinya sendiri percaya pada bualan yang ia lontarkan. Tony mencari nafkah dengan keunggulannya tersebut, “sebagai public-relation” katanya. Tony lantas mendapat kerjaan menyupiri seorang pemusik bernama Don Shirley. Seorang yang ternyata diperankan oleh Mahershala Ali, seorang yang ternyata ras kulit hitam; yang dipandang sebelah mata oleh Tony dan keluarganya. Beberapa adegan sebelum Tony bertemu Shirley, kita melihat Tony membuang gelas bekas air minum dua tukang reparasi westafel yang datang ke rumahnya. Dan sekarang, demi uang, Tony harus belajar menahan diri, dia harus meyakinkan dirinya sendiri untuk belajar menghormati Shirley sampai konser keliling si pemusik beres sebelum malam natal.

Seperti melihat Fat Tony, mafioso di The Simpsons, bagi-bagikan permen

 

Cerita yang disajikan memang gampang tertebak. Kita akan melihat gimana sikap Tony melihat perlakuan orang-orang kepada Shirley, mulai dari mereka yang mengundang Shirley untuk nampil – Shirley dipuja namun tetap didiskreditkan sebagai manusia di belakang panggung, hingga ke ‘orang-orang’ Shirley sendiri. Kita sudah bisa memastikan Tony dan Shirley yang kaku akan menjadi dekat satu sama lain. Namun interaksi antara kedua tokoh inilah yang membuat film begitu menyenangkan. Bagaimana mereka saling masuk ke dalam pikiran masing-masing. Bagaimana mereka saling mempengaruhi. Adegan paling kocak buatku adalah ketika Tony membujuk Shirley untuk memakan ayam KFC. Tony terkejut sekali mendengar Shirley enggak suka makan ayam goreng, “ini kan makanan kalian” herannya mengimplikasikan sudut pandang sempitnya terhadap ras. Kita melihat Shirley, yang sepanjang hidupnya terjebak di antara bangga-dengan-ras dan tidak-mau-distereotipekan, ‘malu-malu kucing’ untuk mencoba ayam yang diacungkan Tony tepat di bawah batang hidungnya. Seolah belum cukup dinamis, adegan itu berlangsung di jalanan, selagi Tony mengemudi. Sebagai komedi, adegan tersebut juga punya punchline yang sangat kocak. Aku tantang kalian untuk tidak tertawa menyaksikannya hhihi

Sekilas memang tampak seperti pilihan yang aneh. Kenapa film memilih karakter yang lebih komikal sebagai tokoh utama. Bukankah menjadikan Shirley (later, Tony lebih nyaman menyebut tokoh ini dengan “Doc” saja) yang punya konflik inner yang lebih dalem, yang mesti berhadapan dengan situasi yang mengecilkan sebagai minoritas, seketika akan membuat cerita menjadi lebih mengundang simpati? Karena film ingin langsung mendudukkan kita di posisi ‘pelaku’; supir, seperti Tony, as to speak. Bahwa kondisi penuh prejudice itu, kita yang menciptakan. Kritikus film NBC, Jenni Miller menuliskan bahwa film ini dibuat oleh white people untuk white people. Tulisan tersebut diniatkan sebagai kritikan olehnya, namun bagiku; aku setuju tapi bukan sebagai kritikan. Toh film cukup bijak memperlihatkan dua tokoh kita bergantian menyelamatkan ‘nyawa’ masing-masing. Melainkan sebagai pencapaian yang didapatkan oleh film lewat keputusan yang diambil.

Karena menurutku, salah satu tema besar yang diangkat oleh film ini adalah tentang bagaimana pandangan yang kita punya bisa muncul dari diri kita. Bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Ada satu kalimat yang diucapkan oleh Tony kepada Shirley yang menjadi kunci dalam permasalahan ini, “Ada terlalu banyak kesepian di dunia karena mereka enggak berani untuk memulai duluan” Kalimat tersebut dengan tepat menyimpulkan arc Shirley dan Tony, makanya bagian ending film ini terasa begitu menyentuh. Bahwa terkadang kita tidak berani untuk bergerak sendiri; perhatikan betapa gembira Shirley main musik bersama ‘orang-orang’nya di sebuah klub jazz, dan sebagai kontrasnya perhatikan betapa kosongnya yang dirasakan Tony di tengah-tengah perayaan natal bersama keluarga besarnya.  Kita akan segera sampai pada satu pemahaman bahwa sikap rasis yang dimiliki Tony tidak murni berasal dari kebencian. Dan mungkin, film ini ingin menyampaikan, begitu juga yang terjadi di luar sana. Perasaan kolektif kita sebagai bagian dari society yang membuat kita mengambil tindakan, mengambil sisi yang sebenarnya sama sekali tidak kita rasakan. Buat Shirley, ini berarti kesendirian – karena dia juga ikut ‘terwarna’ oleh pandangan putih-putih di sekitarnya, yang membuat dia enggan nyampur dengan warnanya sendiri.

Kadang memang cuma itulah yang kita perlukan. Meluaskan pergaulan. Berkumpul selalu dengan orang-orang yang sama, yang pandangannya itu-itu melulu, membatasi jarak pandang. Kita butuh untuk memperluasnya. Berinteraksi dengan pihak yang kita sangka berseberangan. Keputusan Tony mengambil pekerjaan dari Shirley tak pelak adalah keputusan paling penting yang pernah ia ambil selama hidupnya, sebab ia membuka jalan bagi dirinya untuk berhubungan langsung dengan yang selama ini ia sangka ia benci.

 

 

 

Dalam setiap kesempatan, film akan menghadiahi kita dengan kepuasan. Memberikan harapan bahwa kemanusiaan itu bukan fiksi – dua orang di mobil yang bersedia membuka hati dan saling menghormati akan membuat keindahan di dunia. Dan dua orang ini bener ada di dunia. Penampilan kedua aktornya sama-sama pantas untuk diganjar Oscar. Gaya komedi, bahkan penulisan yang kadang nyaris menyerempet garis ‘kartun’ sama sekali tidak mengurangi bobot dan nilai-nilai yang diusung oleh cerita. Kalo kekurangan, aku pribadi sebenarnya kurang setuju dengan banyaknya trope-trope yang dipakai, namun film memang menjadikan crowd-pleaser sebagai garis finishnya. Dan mereka berhasil. Jadi yang bisa kubilang cuma, resikonya terbayar lunas.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for GREEN BOOK.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Coba tengok lingkaran sosial kita masing-masing. Ada gak sih kita gaul ama yang bukan dari kalangan kita? Berapa banyak teman kita yang lebih tua dari kita?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

KELUARGA CEMARA Review

“Having family responsibilities and concerns just has to make you a more understanding person.”

 

 

Keluarga Cemara, sebagian orang mengingatnya sebagai sinetron yang menghangatkan ruang keluarga di masa kecil. Sebagian lagi mungkin mengingatnya sebagai cerita serial tentang kejujuran buah tangan dari Arswendo Atmowiloto. Sebagian yang lebih muda akan mengenalinya dari lagu “Selamat pagi Emak, selamat pagi Abah, mentari hari ini berseri indah” dan guyonan “Harta yang paling berharga”. Visinema Pictures, lewat film adaptasinya ini, mengakurkan semua orang – membuat kita semua sepakat untuk mengingat Keluarga Cemara sebagai salah satu film keluarga paling manis – paling sederhana yang bisa kita dapatkan di masa sekarang – yang mengajarkan tentang kejujuran dan rasa bersyukur. And also ada JKT48 di dalamnya, wotaaaa!!

Dalam Keluarga Cemara versi ini, Abah adalah Ringgo Agus Rahman (jangan biarkan tampang kocaknya mengelabui urat hati dan nadi air matamu) yang terpaksa harus memberikan kabar buruk kepada keluarga kecilnya; mereka jatuh miskin. Bisnis mereka hancur akibat ulah sanak famili sendiri, mengharuskan Abah dan keluarga mengungsi selamanya ke rumah warisan di desa Jawa Barat. Emak yang setia (di balik ketabahan tokohnya, mata Nirina Zubir seolah menembus perasaan kita semua) jadi musti berjualan opak. Kepindahan ini, paling berat adalah terasa bagi Euis (detach-nya ZaraJKT48 jadi pas banget ama karakter tokohnya, dan dia gak punya masalah segera menyambung dengan emosi yang tepat) yang harus berpisah dengan Jakarta dan kelompok modern dance, in which she very skilled at. Kepindahan dan kondisi keluarga mereka pun dengan segera mempengaruhi Ara (so adorable, Widuri Puteri tampaknya digebleng langsung oleh sang ayah Dwi ‘Mas Adi’ Sasono), si bungsu yang tadinya bahkan belum mengerti apa itu bangkrut dan kenapa emaknya menangis saat mengandung dedek bayi.

Jika keluarga A Quiet Place yang dirundung monster aja bisa punya bayi, kenapa kita tidak bisa? horee!!

 

Aku tadinya sudah hampir-hampir yakin bakal disuguhi drama keluarga tearjerker yang menguangkan kesedihan dari segala trope-trope orang kaya yang mendadak hidup dalam kemiskinan. Tapi enggak. Sutradara Yandi Laurens mengarahkan film panjang debutnya ini menjauh dari cara-cara yang gampang. Skenario pun dengan bijaksana memfokuskan konflik bukan pada uang. Kita tidak diminta mengasihani karena mereka gak punya uang. Kita tidak ditagih air mata demi melihat mereka kesusahan hidup di tempat seadanya. Melainkan, konflik dipusatkan kepada suatu hal yang menurut setiap orang, terutama cowok, adalah kepunyaannya sejak lahir yang paling berharga. Harga diri.

Adalah Abah tokoh utama dalam cerita ini, bukan Ara meskipun judul merujuk kepada namanya. Karena keluarga Ara sama seperti pohon cemara. Punya satu batang yang besar sebagai poros, yang dikelilingi cabang-cabang yang tumbuh dengan rapat. Abah, sebagai satu-satunya pria di sana, adalah batang tersebut, poros yang membuat pohonnya berdiri kokoh. Atau paling tidak, begitulah Abah memposisikan dirinya yang kepala keluarga. Dia bekerja sekeras tenaga dan sejujur yang moralnya bisa. Kita melihat Abah mati-matian mencari kerja, dia melakukan apa saja, tapi baginya itu semata bukan soal duit untuk menghidupi keluarganya. Saat menonton ini aku memang merasa agak aneh; alih-alih berprogres dari mencoba usaha paling gampang ke yang paling susah, Abah bersusah payah menjadi kuli dahulu baru kemudian menjadi ojek online. Kenapa film masih berjalan jika jawabannya sudah ditemukan? Ternyata, memang bukan itu pertanyaannya. Ini bukan soal apa yang Abah lakukan untuk mencari uang. Ini soal apa yang ia lakukan sebagai pengukuhan dia adalah kepala keluarga.

Bukan kaki Abah yang patah, melainkan kebanggaannya. Untuk sebuah cerita tentang kejujuran dan rasa bersyukur, film memainkan janji dan kekecewaan sebagai konflik utamanya. Adalah janji-janji yang tak ia penuhi yang menyebabkan Abah berada di titik rendah yang sekarang. Baginya, adalah mutlak salah dirinya maka mereka jadi bangkrut. Ada adegan yang sangat emosional antara Abah dengan Euis yang membahas soal ini, Euis mengucapkan sesuatu yang telak mengkonfirmasi ketakutan Abah mengenai apa yang ia perbuat kepada keluarganya. Makanya setelah itu kita melihat Abah menjadi galak, dia menjadi ‘tegas’ terutama kepada Euis. Dia merasa tak-berdaya sebagai seorang laki-laki, dia merasa powerless melihat istrinya yang mengandung namun masih berjualan opak. Perjuangan Abah adalah perjuangan menegakkan kembali kehormatannya. Adegan Abah meledak penuh emosi menjelang babak ketiga merupakan teriakan dari sisa-sisa kebanggaan yang masih ia miliki. Dia berusaha keras memenuhi janji, tapi Abah sepertinya selalu salah dalam memilih keputusan untuk keluarganya. Yang Abah tak sadari hingga momen realisasi adalah selama ini dia melakukannya hanya untuk merestorasi perannya sebagai ayah.

Setiap manusia bertanggung jawab atas tindakan yang diambilnya. Ketika engkau adalah pemimpin, you would take responsibility in the name of your family. Tapi yang harus diingat adalah kebahagiaan keluarga seharusnya menjadi prioritas utama. Dan itu tidak bisa dicapai dengan mendahulukan ego tanpa mempertimbangkan anggota yang lain. Sebab mereka juga punya tanggungjawab, punya peran, yang tidak bisa kita kecilkan. Bertanggungjawab kepada keluarga mestinya membuat kita lebih pengertian.

 

Hubungan Abah dengan Euis menjadi sajian utama yang mewarnai cerita. Euislah yang paling sering dikecewakan oleh janji-janji Abah. Dan nantinya Euis akan balik merasakan seperti apa rasanya disebut mengecewakan orang lain. Abah dan Euis memenuhi konteks yang diusung. Jika Abah butuh untuk belajar melihat bukan dirinya sendiri yang bertanggung jawab terhadap keluarga, maka Euis akan belajar keluarga mana yang harusnya ia berikan janji-janji. Dibandingkan dengan konflik Abah dengan Euis, anggota keluarga yang lain memang jadinya terasa seperti pelengkap kayak ranting-ranting pohon cemara. Namun toh keberadaannya cukup penting, sehingga jika tidak ada ‘ranting-ranting’ tersebut, cemara yakni film ini tidak akan menjadi seindah yang kita saksikan.

sekuelnya, kalo ada, musti lebih banyak tentang Ara nih kayaknya

 

Film berhasil membaurkan drama dengan komedi dengan mulus. Setiap potongan kecil adegan menjadi sama berkesannya dengan momen-momen besar. Film penuh dengan adegan-adegan yang menimbulkan bekas, entah itu karena menyentuh maupun karena lucu. Film melakukan kerja yang baik dalam membangun dunia di sekitar keluarga Cemara. Ada banyak kameo; tokoh-tokoh yang diperankan oleh nama populer meski hanya muncul sekali dua kali. Aku pribadi agak mixed soal ini. Hukum Karakter Ekonomi-nya kritikus Roger Ebert jelas tidak bisa diterapkan buat film kayak Keluarga Cemara ini, karena akan membingungkan kita. Maksudku, mereka semua terlihat ‘penting’, tetapi ternyata enggak. Saking banyaknya peran yang satu-dimensi dan weightless di sini, sehingga membuat rintangan-rintangan yang dihadapi Abah dan keluarga menjadi seperti terselesaikan dengan sendirinya. Menjelang akhir, begitu kita paham ini bukan soal uang – kita sudah mengerti konteks sebenarnya, film tidak lagi terasa punya ‘ancaman’ apa-apa. Ataupun ada sudut pandang baru. Tapi penceritaannya, penampilan pemainnya, tidak pernah membuat film menjadi membosankan.

 

 

 

Kita semua tahu semua kejadian dalam film ini dibangun dengan nyanyian “Harta yang paling berharga adalah keluarga” sebagai puncaknya. Kita semua sudah bisa ekspek film ini akan sedih. Nothing surprised us, tapi tetap saja kita dengan sukses dibuat menitikkan air mata. Lantaran semuanya dilakukan dengan sangat manis, dan enggak total dibuat-buat. Membuatnya jadi begitu gampang dicinta, begitu menyentuh, dan mampu mendekatkan keluarga-keluarga yang sedang menyaksikannya. Semuanya terlihat hangat, jujur, indah. Meskipun membahas persoalan yang ‘matang’, tetapi film masih memberikan ruang diskusi kepada anak-anak dan orangtua mereka. Satu lagi yang agak mengganjal buatku adalah masalah bingkai waktu cerita, namun kupikir ini adalah resiko yang film pilih menimbang mereka perlu untuk menampilkan semua tokoh-tokoh yang sudah dikenal ini secara utuh. Jika film ini diniatkan sebagai prekuel dari reboot yang dimodernkan, maka ia sudah melakukan kerja yang sangat gemilang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KELUARGA CEMARA.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Abah berusaha hidup jujur dan memegang janji-janjinya. Bisa gak sih kita bahagia hanya dengan kejujuran? Masih ada gak sih orang yang hidup dari kejujuran?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

DREADOUT Review

“Cell phones are the lifeline for teenagers”

 

 

 

Bayangkan menjadi anak sekolah di jaman berteknologi tinggi seperti sekarang. Apa yang paling kalian takutkan sedunia? Kalian punya teman-teman keren yang siap membantu ngebully orang-orang yang membuat kalian sebal (atau iri). Kalian punya follower setia yang siap menaikkan mood dan begitu mencintai kalian sehingga kalian enggak perlu repot-repot untuk mencintai mereka balik. Tempat angker pun kalian jadikan tempat hiburan untuk menaikkan popularitas. Kalian bisa menaklukan apapun dengan internet supercepat dalam genggaman. Satu-satunya yang kalian takutkan adalah, jika kalian lupa membawa smartphone!

DreadOut, semenjak dari video gamenya, mengusung metafora yang bagus soal betapa anak usia SMA sangat bergantung kepada telepon genggamnya untuk bisa menyintas hari-hari mereka.

 

Mengambil periode sebelum kejadian dalam cerita video gamenya yang meledak di kalangan gamer internasional, film DreadOut membawa kita berkenalan dengan masa lalu Linda (dilempar-lempar, ditarik-tarik, tidak hanya secara emosi Caitlin Halderman dipush bermain fisik) yang bekerja di mini market setelah jam sekolahnya selesai. Kita diperlihatkan karena lelah bekerja itulah Linda sempat daydreaming mengenai kejadian sewaktu kecil. Film menjanjikan para penggemar mengenai asal-usul ‘kekuatan’ Linda, dan adegan pembuka diniatkan sebagai tindakan penebusan janji tersebut. Apakah itu cukup atau tidak, you’d be the judge, lantaran film tidak akan membahas lebih jauh. Cerita terus melaju membawa Linda – yang sebenarnya enggan – untuk ikut bersama kakak-kakak kelas yang jauh lebih tajir dan populer darinya ke sebuah apartemen kosong. Uang dijadikan motivasi oleh Linda, yang menyimbolkan keinginannya untuk bertahan hidup. It’s a good thing Linda punya mental ini, sebab geng mereka bakal dengan segera terancam keselamatannya oleh sesuatu di dalam sana. Mereka menemukan kulit ular, kertas bergambar mengerikan, dan simbol besar di lantai kamar apartemen. Linda pun panik saat dia melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh teman-temannya. Beberapa bait tulisan yang begitu dibaca membuat Linda dan temannya tercebur ke dalam kolam yang terhubung dengan dunia di mana pocong bisa mengejar mereka dengan celurit.

Hayo yang lagi nonton di pojokan, itu Takut atau Kesempatan?

 

Smartphone adalah ‘senjata’ yang digunakan Linda, protagonis dalam film adaptasi game DreadOut, untuk mengalahkan hantu-hantu yang menyerangnya secara fisik. Bukan kamera antik yang disepuh oleh batu-batu roh seperti dalam game Fatal Frame. Melainkan gadget teknologi mutakhir yang memancarkan flash. Tanpanya, Linda dan teman-teman sudah barang tentu akan celaka. Film menunjukkan kemenangan dalam bergantung kepada hape. Ilmu pengetahuan menang telak atas klenik dan mitos yang-membudaya dalam film garapan Kimo Stamboel ini. Anak-anak sekolah itu bukan saja berhasil membuka pintu portal ke dunia lain, mengusik Kebaya Merah, mencuri keris pusaka miliknya, mereka memberikan perlawanan yang cukup berarti meskipun mereka tidak pernah benar-benar mengerti apa yang sedang mereka alami. Untuk sebuah prekuel, dan possibly episode pertama dari dunia yang katanya luas ini, tidak banyak mitologi yang digali.

Tentu saja hal tersebut bisa menjadi hal yang mengecewakan buat para penggemar. Film ini punya kesempatan seperti sebuah kertas yang benar-benar kosong; film bisa menuliskan apapun, menambah kedalaman cerita, memperpanjang aturan dunianya, mengekspansi tokoh-tokohnya, tapi film hanya ‘menulis’ sedikit sekali. Seolah ada garis pembatas yang pantang dilanggar. Dan bahkan Linda dan teman-temannya berani untuk melanggar batas wilayah yang diijinkan oleh penjaga gedung. Film seperti punya ide-ide yang jauh lebih gila, namun tidak semuanya bisa mereka wujudkan. Tidak banyak jenis hantu yang muncul. Pun adegan aksinya terasa agak nanggung, mengingat kiprah sang sutradara di film-filmnya sebelum ini. Jelas, ini masalah batasan umur. Bayangkan jika mereka terus dengan adegan penggal kepala alih-alih potong pergelangan tangan. DreadOut tampil agak jinak dengan efek-efek komputer yang dipasang lebih dominan – sekali lagi, technology triumphs! 

Tetapi bukan berarti film kehilangan sentuhannya. DreadOut berhasil menginkorporasikan gaya khas sang sutradara dengan gaya yang sudah mendarahdaging sebagai cap-dagang gamenya. Menggunakan pergerakan kamera seperti yang kita jumpai dalam Upgrade (2018), Kimo menambahkan intensitas ke setiap lemparan-lemparan yang dikenai kepada para tokohnya. Pergerakan yang aktif dan terasa penuh energi ini membuat kita bisa langsung tahu dengan sekali lihat bahwa film ini ditangani oleh orang yang biasa bermain di ranah aksi thriller yang sadis. Sama halnya dengan musik, suara, dan atmosfer, sekali dengar (dan sekali lihat) para penggemar video gamenya bisa langsung konek bahwa mereka sedang menyaksikan dunia yang sama dengan yang beberapa tahun lalu mereka mainkan. Film mempertahankan apa yang membuat game ini fenomenal; gameplaynya. Bagaimana hantu bisa dikalahkan dengan masuk ke mode layar handphone. Ada beberapa scene yang memperlihatkan Linda memberanikan diri melihat ke layar hapenya, dan ada juga beberapa di mana ia hanya ‘asal’ jepret karena begitu ketakutan. Mengingatkanku kepada diriku yang mulai serabutan jika hantu yang muncul ternyata terlalu mengerikan.

Bahkan buat yang bukan penggemar pun, film turut memberikan service. Komedi dengan gaya candaan yang gak terlalu in-the-face akan membuat kita terhibur. Dan untuk alasan tertentu, film akan menampilkan Jefri Nichol bertelanjang dada.

Dengan rambut dikuncir, Caitlin jadi mirip Ariana Grande ya

 

Game DreadOut sendiri menjadi populer, sebagian besar disebabkan oleh seorang youtuber luar yang meng-upload video dia memainkan game ini, dan itu kocak banget. Aku dulu sempat kepikiran untuk melakukan hal yang sama, karena memang saat memainkannya, ada saja reaksi kocak yang timbul oleh tantangan dan pengalaman yang diberikan. Aku masih ingat ketika aku mulai khawatir ketika baterai hape si Linda sudah tinggal setengah. Actually, aku sempat menanyakan hal ini kepada produser filmnya saat diundang dinner bareng cast, “Apakah nanti di film akan ada adegan Linda panik karena hapenya kehabisan baterai?” karena itu akan menambah lapisan kenyataan dan ketegangan, tetapi pertanyaanku hanya dijawab dengan tawa. Sayangnya, memang, ternyata film tidak membahas ‘masalah teknis’ seperti ini. Sisi vulnerable dari kekuatan Linda tidak mereka eksplorasi. Linda tidak pernah benar-benar terpisah dari senjatanya tersebut. Hapenya bahkan sempat tercebur dan that thing is still working just fine.

Linda dalam film juga tidak banyak diberikan ‘pikiran’ sama halnya seperti Linda pada game, dan ini buatku menjadi masalah. Saat bermain video game, gak papa jika tokoh kita adalah jenis tokoh yang ‘silent’, yang lebih banyak diam, yang tidak tahu apa yang terjadi, karena kitalah yang sebenarnya menjadi tokoh cerita. Pemain yang melakukan pilihan, pemain yang bereaksi. Beda dengan tokoh pada film; protagonis utama kudu tahu apa yang ia lakukan, kita harus mengerti keputusan yang dia ambil berdasarkan apa. Semakin lama, semakin melelahkan melihat Linda berlarian ‘tak tentu arah’, so to speak, well actually Lindanya hapal banget arah karena lokasi film ini enggak begitu luas meskipun seharusnya adalah hutan, karena kita tak punya pegangan apa-apa selain dia ingin menyelamatkan diri. Naskah yang baik adalah naskah yang memberikan dua problem buat tokoh utamanya; problem di luar dan problem di dalam dirinya sendiri. Teror dalam film ini terasa terus bergulir, dan kita tak melihat di mana kesudahannya. Portal itu terbuka menutup sekena keperluan naskah. Kocaknya, kabur dari gerbang yang terkunci lebih susah daripada masuk ke alam gaib, pada film ini.

Dan tidak menolong pula tokoh-tokoh yang lain dibuat begitu menjengkelkan. Film meninggalkan sahabat Linda, Ira, di belakang. Membuat kita stuck dengan tokoh-tokoh yang dialognya seputar berbuat iseng, dan mencari sinyal. Malahan ada satu yang kerjaannya menggebah Linda dan teman-teman untuk masuk dan melanggar batas – clearly he’s up to something. Film tidak memberikan kita ruang untuk mempedulikan teman-teman Linda ini. Jikapun ada keberhasilan, maka film berhasil membuild-up kekesalan kita sehingga nanti begitu hantu muncul dan satu persatu mereka disiksa, kita akan merasakan puas tak terkira.

 

 

Cukup bangga rasanya Indonesia punya film adaptasi video game, yang menunjukkan seberapa jauh negara ini berkembang dalam dunia perfilman dan pervideogame-an. Sebagai sebuah survival horor, film ini menunaikan tugasnya dengan loud-and-clear. Kita melihat makhluk-makhluk menyeramkan, menyerang remaja-remaja tak berdaya yang hanya bisa mempertaruhkan nyawa dengan hape mereka. Film ini punya gaya sendiri yang menjadikannya unik. Sayang, pada penulisan-lah DreadOut paling terhambat dan kemudian jatuh terjengkang. Film tidak mengambil kesempatan mengeksplorasi dirinya sendiri lebih jauh. Seperti mereka terjebak antara portal ‘memuaskan orang banyak’ dengan portal ‘tidak membuat kecewa gamers penggemarnya’. Dan selalu bukanlah hal yang baik terjebak di antara dua hal.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for DREADOUT.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Linda menggunakan hapenya untuk bertahan hidup dari hantu-hantu. Kalian gimana, bisakah kalian hidup tanpa hape?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

MID90s Review

“… Just walk beside me and be my friend.”

 

 

 

Dikasih aturan, ngelawan. Diberi kelonggaran sedikit, malah ngelunjak seenak udelnya. Anak kecil yang beranjak remaja sekilas memang cenderung nakal dan susah diatur seperti demikian. Karena mereka terkadang memang lebih membutuhkan sosok seorang teman, dibandingkan seorang pimpinan.

Alih-alih orang yang mereka pandang ke atas – yang menunjuk-nunjuk mereka mana yang benar mana yang salah, seusia mereka sebenarnya perlu banyak-banyak bergaul dengan yang bisa diajak tertawa bersenang bersama. Bermimpi bersama. Untuk kemudian, bikin salah, jatuh dan bangkit lagi bersama.

 

Sunny Suljic dalam Mid90s memerankan Stevie ‘Sunburn’ dengan begitu hidup selayaknya anak cowok tiga-belas tahun yang masih mencari jati diri dan pegangan hidup. Perbedaan periode waktu enggak menjadi masalah bagi Suljic karena dia bukan saja menangkap, ia yang anak modern menghidupi tokohnya yang ‘berjuang’ sebagai seorang skateboarder amatir di tahun 90an dengan teramat sukses dan meyakinkan. Absennya figur ayah, yang kemudian digantikan oleh abang yang suka memukul dan ibu yang lebih sering mengurusi dirinya sendiri, membuat Stevie ‘melarikan diri’ ke jalanan. Berkat pukulan yang sering dihadiahkan oleh abangnya, Stevie boleh jadi berkembang menjadi anak yang tangguh secara fisik. Namun secara emosional, bocah ini rapuh. Dia butuh teman, secepatnya. Jadi Stevie lantas ngintilin geng skateboard yang ia lihat lagi bikin onar di pinggir jalan. Stevie mencuri duit ibunya demi membeli papan skate. Dia latihan sendiri, dalam jarak pandang geng skateboard yang terdiri dari empat remaja yang lebih tua darinya itu, supaya punya alasan bergabung ke genk mereka. Persahabatan yang terjalin antara Stevie dengan para skateboarder tersebut akan menjadi fokus utama cerita. Gimana mereka, dengan tembok security masing-masing, berusaha mengomunikasikan perasaan mereka. Karena mereka semuanya adalah cowok dengan keadaan rumah yang bermasalah, sehingga mereka saling membutuhkan lebih dari yang mereka tahu.

Jatuh. Bangkit. Repeat. You wanna be dumb, you gotta be tough

 

Ketika pertama kali dirinya disapa oleh salah satu anggota geng, tampak begitu senang. Dia mengucapkan terima kasih, tetapi langsung ditepis “Don’t thank me. That’s gay.” Untuk sebagian besar babak kedua kita lantas melihat Stevie berjuang untuk enggak keceplosan mengucapkan terima kasih, ataupun seluruh perasaannya kecuali dalam bentuk amarah. Ini rupanya adalah salah satu adegan kunci untuk kita memahami dinamika yang terbentuk di antara remaja-remaja bau kencur tersebut. Gratitude yang dianggap menunjukkan kelemahan; bahwasanya mereka adalah pria belum-matang yang belum mengerti sepenuhnya terms kejantanan itu sesungguhnya. Ibarat main skateboard, mereka belum lagi melaju. Masih menendang-nendang aspal panas nan keras – inilah dunia mereka. Yang ada hanya kompetisi; kau berteman atau musuhan, pilihannya hanya dua itu. Wanita hanyalah bagian dari kompetisi – pada sekuen Stevie ngobrol dengan cewek remaja di pesta rumah, si cewek mengatakan anak-anak cowok seusia Stevie sudah memasuki fase brengsek dan dia senang Stevie tidak termasuk seperti mereka. Namun di beberapa adegan setelahnya kita tetap melihat Stevie membangga-banggakan apa yang tadi ia lakukan ke teman-teman skateboardnya.

Tapi tentu saja hal tersebut tidak menunjukkan ketimpangan, ataupun ‘dosa’ yang harus segera dibenarkan. Film tidak bermaksud menjadi komentar sosial perihal bagaimana remaja seharusnya bertindak. Ini juga bukan tentang bagaimana cara menjuarai papan skateboard. Film adalah hamparan sebuah tahap, bayangkan sebuah jendela, yang dilalui oleh anak-anak seusia Stevie. It’s about that moment. Ini adalah tentang mencari teman sejak dini, tumbuh bersama mereka, berkembang bahkan ketika nanti pilihan hidup memisahkan kita dengan teman-teman.

 

Meskipun dalam menyaksikan film kita seharusnya hanya ‘bicara’ soal apa yang kita tonton, kadang kita susah untuk tidak terlalu kontekstual dan keburu ngejudge berdasarkan reputasi dari auteur alias pembuatnya. Mid90s adalah debut penyutradaraan film panjang dari aktor dan penulis komedi Jonah Hill. Orang ini dikenal dengan komedi-komedi wacky, yang seringkali seputar (dan dibuat oleh kebanyakan) ngeganja dan orang-orang berpesta pora. I mean, anak-hollywood mencoba membuat film tentang anak-anak jalanan dan ke-streetsmart-an mereka? Bahkan saat menulis kalimat tersebut aku maqsih merasakan seonggok ketidakpercayaan di sudut pikiranku. Seberapa meyakinkan scene-scene itu dalam visi Jonah Hill? Jawabannya adalah sungguh-sungguh meyakinkan. Katakan kepadaku jika perasaan uplifting tidak menguar dari hati kalian saat melihat Stevie dan temannya meluncur zig-zag ‘berirama’ di tengah jalan.

Tentu saja ada hal-hal konyol kayak tokoh yang dikasih nickname gabungan dari dua kotor karena si tokoh setiap kali ngomong selalu ngucapin dua kata itu. Mungkin juga ada beberapa generalisasi depiksi skateboarder yang bakal bikin anak skateboard beneran tersinggung. Tapi interaksi para tokoh, marahnya Stevie kepada ibunya, canggungnya hubungan antara Stevie dengan abangnya – ada satu adegan yang aku pengen ketawa tapi gak tega yakni pandangan Stevie ketika dia melihat abangnya diajakin berantem ama teman skateboardnya yang paling sok jago – berhasil terlihat enggak dibuat-buat. Semua itu karena Jonah Hill adalah orang yang pertama kali tahu untuk tidak berusaha menjadi pemimpin kepada para remaja. Hill tampak mengerti bahwa penting sekali untuk berjalan bersama remaja, dan menjadi teman bagi mereka. Para aktor-aktor muda tersebut, diberikannya kebebasan untuk menghidupkan karakter mereka masing-masing. Juga membantu, gimana dalam setiap peran yang ia mainkan Hill dikenal suka berimprovisasi. Dia menerapkan ini kepada aktor-aktornya, dan hasilnya sungguh luar biasa meyakinkan. Geng skateboard itu tampak seperti sudah berteman sejak dulu. Kita percaya mereka punya masalah di benak masing-masing. Kita bisa melihat kecemasan dari jerawat mereka.

kalo versi Indonesia mungkin ada tokoh yang namanya Anying

 

Hill menyetir filmnya keluar dari kotak drama ala Hollywood. Stevie tidak diperlihatkan berhasil menjadi skateboarder profesional. Dia tidak memenangkan piala dan perhatian palsu dari cewek, penggemar, dan orang-orang yang tidak perlu ia buat terkesan in the first place. Aku suka sekali gimana film ini berakhir; menurutku Hill berhasil mengkorporasikan elemen 90an ke dalam pesan yang ingin dipersembahkan. Kita, barengan Stevie dan gengnya, bakal menonton film video hasil rekaman teman mereka yang paling bego (dijuluki Fourth Grade karena akalnya gak kalah ‘panjang’ ama akal anak kelas empat es-de) sepanjang hari-hari mereka bersama-sama. Ending ini tidak memperlihatkan apa-apa, tapi kita tahu bahwa kelima anak ini; mereka tidak akan bermain skateboard bersama lagi setelah film ini berakhir. Stevie yang di awal film pengen nyari teman akan belajar bahwa temenan bukan berarti harus melakukan setiap hal bersama-sama.

Bukan berarti kudu melakukan apa yang teman kita lakukan. Kita harus belajar untuk menghormati keputusan mereka, untuk percaya kepada mereka. Kita bisa tetap menjadi teman dengan melakukan hal masing-masing, kita masih bisa seerat saudara meskipun punya jalan hidup masing-masing. Dan begitu juga sebaliknya, film mengajarkan kepada Stevie dan teman-temannya dan penonton bahwa keluarga, bisa kok dijadikan sahabat.

 

 

Direkam seluruhnya dengan 16mm, film ini berhasil membawa kita kembali ke masa 90an, lantaran sukses terlihat seperti film dari video-tape jaman dulu. Anak-anak itu terlihat seperti anak jalanan, anak broken home 90an beneran, lengkap dengan skateboard ala Bart Simpson mereka. Penampilan mereka meyakinkan sekali. Ceritanya menyenangkan dan tidak terasa dibuat-buat, walaupun kita meragukan apakah sutradaranya tahu apa yang sedang ia kerjakan. Pernah mengalami, ataupun tidak, Jonah Hill dalam debutnya ini berhasil menyuguhkan sebuah potret yang bisa melebur smepurna ke dalam album kenangan setiap orang yang pernah merasakan butuh teman semasa remajanya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for MID90s.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian bergabung dalam satu geng hanya untuk kabur dari orangtua dan keadaan rumah? Apa yang kalian rasakan, apakah masuk geng membuat kalian merasa menjadi lebih baik?  Kenapa menurut kalian, kalian merasakan hal tersebut?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BIRD BOX Review

“The way to see by faith is to shut the eye of reason.”

 

 

Peringatan keras itu diberikan Malorie kepada dua bocah yang belum lagi enam-tahun – adegan ini juga merupakan cara film membuat Sandra Bullock menerangkan ‘aturan-main’ film kepada kita para penonton – sebelum dirinya membawa anak laki-laki dan anak perempuan tak bernama itu berlarian ke hutan. Menuju jeram yang deras. “Apapun yang terjadi, jangan sekali-kali melepaskan tutup-mata kalian! Jika kalian melihat, kalian mati.”

Dari apa ketiga tokoh ini lari, kalian tanya? Kenapa mereka tidak boleh membuka mata? Film akan selang seling menarik kita mundur ke belakang, ke peristiwa lima tahun yang lalu; saat Marolie dan adiknya pulang dari dokter kandungan, saat pertama kali tren bunuh diri terjadi di dunia mereka. Bird Box adalah film adaptasi novel yang draftnya ditulis pada tahun yang sama dengan tayangnya The Happening (2008) – film yang actually melenyapkan kredibilitas M. Night Shyamalan di mata penonton film, tak terkecuali penggemarnya. Seluruh penduduk kota mendadak seperti berlomba-lomba melakukan hal menyakitkan kepada tubuh mereka. Bayangkan aksi-aksi di Jackass, hanya saja pesertanya melakukan stunt dengan patah tulang leher sebagai tujuan utama. Kita melihat satu wanita masuk ke dalam mobil yang terbakar. Kita menyaksikan orang menabrakkan diri ke bis yang sedang melaju. Semuanya kacau. Namun tidak seperti The Happening yang enggak exactly menerangkan apa yang terjadi (tersangka utama tetap para tumbuhan yang mendendam), dalam Bird Box kita diberitahu penyebab orang-orang menjadi edan itu adalah suatu makhluk, film dengan hebatnya membuat wujudnya ambigu; entah karena seram atau aneh atau apa, yang jika dilihat maka kita akan otomatis berpikir “ah baiklah, sudah saatnya aku mengakhiri hidup”

dan makhluk ini tidak bisa dicurangi seperti yang dilakukan Hermione kepada Basilisk

 

Film ini seperti terdiri dari dua bagian; bagian di masa lalu dengan nuansa thriller sekelompok orang saling-asing berkumpul, berusaha untuk bekerja sama, mencoba untuk saling kenal dan memahami, dalam usaha bertahan hidup dengan makanan materi seadanya – aku suka bagian ini karena mengingatkanku kepada The Mist (2007) khususnya pada bagian mereka harus menantang maut keluar dari tempat persembunyian untuk menyuplai makanan. Dan bagian present time di mana Malorie dan anak-anak itu mengarungi jeram dengan mata tertutup untuk mencari tempat perlindungan yang bahkan Malorie sendiri enggak yakin persis, apa sanctuary yang mereka cari beneran ada atau hanya jebakan.

Aku enggak benar-benar setuju sama cara bercerita yang bolak-balik karena pada banyak kasus membuat kita terlepas, seperti melompat-lompat antara dua situasi/perasaan si tokoh utama. Seperti ada dua versi tokoh utama; progres dan regres, dan di satu titik dua versi ini akan bertemu supaya kita mengerti. Bird Box juga bercerita seperti begini, tetapi tidak membuatku terlepas begitu lama karena cerita tahu cara mengeksplorasi situasi menjadi benar-benar menarik. See, the thing is Bird Box is not exactly ‘what-you-see-is-what-you-get” type of film. Lapisan ceritanya lebih banyak dari lapisan kain yang menutup mata Malorie. Kita bisa ‘terhibur’ oleh tokoh-tokohnya karena film ini dapat bertindak sebagai studi karakter bagaimana sekelompok orang ‘dipaksa’ bekerja sama dalam dunia yang bisa dibilang sudah kiamat. Kita akan melihat mana yang mau selamat sendiri, mana yang mengerti bahwa survive enggak sama dengan menjalani hidup. Film menambah ketegangan ceritanya dengan membuat bahwa ternyata enggak semua manusia yang melihat makhluk tersebut bakal bunuh diri. Ada sekelompok orang yang bisa (film secara tersirat menyebut kemampuan tersebut dimiliki oleh kelompok orang-orang yang terganggu mentalnya), dan mereka membentuk semacam cult yang mendedikasikan diri membuat orang-orang normal melihat ‘keindahan’ si makhluk. Ini menciptakan tensi yang berhubungan dengan rasa percaya, yang tepat sekali berlawanan dengan karakter Malorie; seorang wanita yang karena masa kecilnya, merasa lebih nyaman untuk membiarkan hatinya berada di dalam sangkar. Di dalam kotak. Seperti burung-burung yang ia gunakan untuk mendeteksi kedatangan Dia-yang-Wujudnya-Tak-Boleh-Dilihat.

I hope I can unsee that Sandra Bullock-Michael Jackson meme

 

Malorie merasa nyaman dengan tidak melihat masalah. Makanya dia begitu jago selamat sekian lama dari makhluk tersebut. Ketika dia hamil, dia tidak tertarik untuk mengetahui jenis kelamin kandungannya. Ketika anaknya lahir, dia tidak repot-repot memberinya nama. Karena dia tidak mau sakit, siapa yang bisa jamin orang yang ia cintai gak bakal pergi. Membuka hati bagi Malorie adalah kelemahan. Sama seperti membuka matanya, dia akan ‘mati’ melihat si makhluk. Buta justru jadi perlindungan utama di dunia Malorie di luar sana. Malorie tidak membiarkan harapannya terbang tinggi, dan di sinilah letak salahnya.

Kita harus percaya kepada harapan. Bahkan saat kita tidak punya alasan untuk percaya. Itulah yang namanya Blind Faith. Film ingin mengajarkan pentingnya untuk punya sesuatu yang dipercaya supaya tidak kehilangan arah dan asa dalam hidup.

 

Sayangnya, blind faith sering dikonotasikan dengan hal yang negatif; Iman-Buta sering dituduhkan menjadi penyebab keekstriman manusia terhadap agama. Padahal tidak selamanya begitu. Blind faith enggak mesti percaya pada sesuatu dengan bodohnya sehingga manut aja. Anggap kalian sedang berjalan di dalam suatu bangunan, kalian menemukan sebuah pintu dengan secarik kertas menempel padanya; bertuliskan “Ini Bukan Pintu Keluar”. Keyakinan, faith, adalah ketika kita punya alasan untuk percaya atau tidak percaya pada apa yang tertulis di pintu – mungkin kalian punya sense of direction yang bagus, pintu itu ada di barat yang mestinya memang ke arah luar, something like that. Blind Faith, sebaliknya, adalah kalian percaya itu bukan pintu keluar, meskipun kalian enggak tahu pasti tulisan tersebut bener atau enggak; siapa yang nempelin di sana, siapa yang menulisnya – bisa saja itu cuma prank dan beneran pintu keluar, atau bisa saja itu tantangan dan pas dibuka di baliknya ada kru TV ngasih hadiah uang tunai sebagai hadiah kuis.

Namun bagi mereka yang sudah percaya begitu saja itu bukan pintu keluar, apa pun di balik itu mereka anggap jurang. Katakanlah isi di balik pintu memang harta karun, apakah, mereka merugi? Tidak, karena orang tidak bisa dibilang rugi dengan kehilangan sesuatu yang belum menjadi milik mereka. Pada orang yang beriman-buta, yang percaya seratus-persen; fakta – benar atau salah – bukan lagi persoalan karena mereka percaya apa yang dipilih itu bermanfaat. Hal yang sama terjadi kepada Malorie ketika dia mendengar broadcast ada sanctuary setelah jeram. Ini adalah titik ketika Malorie – yang selama hidupnya menolak untuk ‘melihat’ ketika dia ‘diperbolehkan’ – diharuskan untuk belajar menaruh harapan. Meletakkan kepercayaannya, blindly. Di sinilah pemilihan cara bercerita Bird Box mendapat pengampunan. Di saat bersamaan dengan Malorie mendengar panggilan radio, kita merasakan ambigu yang luar biasa, kita memahami dilema yang dihadapi. Adegan ini yang menjadi plot poin, menghantarkan kita masuk ke babak tiga; kita sudah punya pegangan terhadap cult dan apa yang mereka lakukan – film membuat isi broadcast yang didengar Malorie sama dengan paham para penganut cult sekaligus kita sudah tahu gimana hubungan Malorie dengan anak-anak ini, dalam keadaan seperti apa kondisi mental dirinya sekarang. Jika film berjalan dengan narasi yang paralel, tidak bolak-balik, salah satu dari dua elemen dilema ini belum akan terbangun sempurna; efek yang dihasilkan tidak akan sekuat yang diniatkan.

.

 

Aku senang dengan keluarnya film ini, di masa mendatang aku bisa bikin acara nonton maraton film-film Enggak Bisa Lihat – Enggak Bisa Bicara – Enggak Bisa Dengar – Enggak Bisa Napas. Garapan Susanne Bier ini tak pelang memang memberikan pengalaman tercekat tersendiri. Dia berhasil membuktikan dalam film horor itu bukan harus penampakan seram yang mutlak memberikan perasaan menakutkan. Makhluk dalam film ini wujudnya dibiarkan sesuai imajinasi, bahkan pada tokoh-tokohnya sendiri makhluk ini tampil dalam wujud yang berbeda-beda. Film mengimplikasikan cara kerjanya sama dengan Dementor; menampilkan wujud yang paling menakutkan dan menyedihkan buat yang lihat. Aturan-main diset dengan detil, meski banyak beberapa aspek cerita yang tidak dijelaskan – yang hanya di sana karena naskah menuntut seperti itu. Seperti kain penutup yang tidak benar-benar membuat orang ‘buta’. Atau kenapa cuma burung, bagaimana dengan hewan lain apakah mereka kena pengaruh makhluk? Rentang waktu lima-tahun juga tidak dipergunakan banyak selain untuk membuat bayi-bayi itu tumbuh menjadi bocah. Film menuntun kita supaya tidak melihat lebih banyak dari yang mereka perlukan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for BIRD BOX.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian blind faith itu bagus, atau enggak? Would you follow your religion blindly? Ataukah kalian perlu alasan untuk mengimani kepercayaan yang kalian anut?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE HOUSE THAT JACK BUILT Review

“…why the mad do mad things”

 

 

Sadis ya filmnya.

Enggak sih, itu kan seni.

Bunuhin orang kayak gitu kamu bilang seni?

…….

Motong kaki anak bebek sampai dia enggak bisa dansa empat kali. Berburu anak kecil dan ibunya dengan senapan seolah sedang santai sore berburu rusa. Menguliti payudara wanita setelah merendahkan orangnya. Begitu kamu bilang seni? Saya sih bersukur banget yang kita tonton versi yang udah disensor.

Film ya seni. Boleh dong nampilin pembunuh. Lagian memangnya pembunuh enggak boleh punya jiwa seni? Orang si Jack juga membunuh karena ia menganggap perbuatannya sebagai proyek seni rupa, kok. Dia menciptakan sesuatu dengan mayat-mayat itu. Si anak kecil bibirnya disulam supaya tersenyum selalu kayak patung malaikat. Kulit si cewek, dijadiin dompet. Lihat gak di menjelang akhir? Mayat-mayat dijadiin rumah. Itu kan namanya si Jack berkarya.

Tapi kan, yang dia lakukan ke orang-orang itu….. jahat!

Lah, manusia lain juga sama jahatnya. Toh tidak ada yang datang menolong, atau tampak peduli, meski dalam setiap tindakannya Jack practically kayak minta ditangkap, dia seperti sengaja kurang berhati-hati.

Cukup aneh sih, dia bisa sebegitu beruntungnya enggak pernah kepergok. Bahkan hujan turun membantu menghapus jejak darah yang ia tinggalkan. Seolah dunia memberi izin.

Ingat gak setelah itu, di ceritanya yang kedua, Jack hampir tertangkap polisi karena dia selalu balik ke rumah korbannya?

Hahaha oiya, yang dia OCD itu kan. Jack enggak tahan membayangkan gimana kalo ada darah yang lupa ia hapus di bawah kursi, atau di balik karpet. Dia gak bisa nahan diri. Dia nekat balik untuk mengecek. Berkali-kali.

Tapi toh dia tidak ketahuan. Polisi yang memergoki pun ternyata bego banget.

Jack berkembang menjadi semakin reckless ya, setelah menyadari orang lain sama tidak-baiknya dengan dirinya.

Baik dalam artian moral sih iya, kupikir. Jack mengisahkan dua-belas tahun kiprahnya sebagai serial-killer. Dan di film ini kita melihat episode pertama dia membunuh orang; dia justru membunuh karena ‘diledekin’ sama wanita cerewet yang minta tumpangan.

Jadi menurut Jack, semua orang pada dasarnya jahat?  

Lebih ke jahat dan baik tidak jadi soal, kali ya? Malahan poin si Jack kan memang setiap manusia dilahirkan dengan kejahatan binatang. Kita menciptakan agama dan peraturan untuk menekan nafsu jahat tersebut. Jack hanya mengembrace sisi jahatnya. Dia mengekspresikan diri lewat perbuatannya tersebut. Jack memikirkan apa yang ia kerjakanlah yang jadi soal. Seperti memeras anggur kan, ia mencontohkan, anggur harus dirusak – dibiarkan keriput; ada banyak cara untuk mengesktrak airnya.

Bukankah seharusnya Jack membangun rumah?

Bicaranya metafora, dooong. Ungkapan simbolik hahaha.

Lucu juga melihatnya sebagai mengekspresikan diri. Wong si Jack setiap aksinya selalu berpura-pura. Menurut saya sih tetap saja poinnya adalah Jack ini jahat. Dia mempelajari manusia supaya bisa dengan mudah memanipulasi korbannya. Dia mempelajari sejarah dan segala macam supaya bisa cari celah untuk pembenarannya perbuatannya. Dia bisa saja nyalahin orang lain; dia membunuh karena digebah, dia beraksi karena ada kesempatan. Terakhir dia masuk neraka kan, ya

Babak terakhir itu keren banget sih memang. Jack digambarkan masih berjuang hingga akhir hayatnya. Berjuang atas nama seni dan hal yang ia percayai.  Film ini pun dibuat atas dasar demikian. Pembuatnya ingin mengajak kita diskusi tentang apa yang selama ini ia lakukan.

Ini sutradaranya si Lars von Trier yang hobi cari ‘sensasi’ itu kan? Yang dulu di depan umum pernah nyebutin dirinya bersimpati dengan Hitler. Apa Jack di film ini adalah representasi pikirannya sendiri?

Bisa jadi. Mungkin nun jauh di dalam sana dia juga enggak mengerti di mana ‘salah’nya ucapan tentang Hitler yang ia bicarakan. Film enggak harus politically correct, kan. Yang jelas film bicara tentang gagasan dan bagaimana menceritakan gagasan tersebut. Jadi, ya film ini, apa yang dilakukan Jack sebagai tokohnya, buatku itu seni. Banyak orang yang ngeloyor keluar karena gak tahan melihat adegannya, banyak suara-suara protes, itu sesungguhnya tepuk tangan bagi telinga von Trier. Dia memang mengincar reaksi seperti itu.

Nah itu dia! ‘Mengincar reaksi’. Bukankah seni itu seharusnya adalah ajang ekspresi. Saya berasumsi kita masih memegang motto “To express, not to impress”. Membuat sesuatu demi impresi menurut saya sudah bukan murni seni lagi itu namanya.

Mungkin penikmat juga turut andil dalam menentukan? Sebab semua hal niscaya diciptakan dengan desain rasa dan pikiran sang pembuat. Seni pun sesungguhnya adalah bentuk komunikasi, kan? Justru menurutku, penonton yang walkout-lah yang menunjukkan sikap gak-respek

Meskipun filmnya tidak dimengerti, atau susah ditonton karena begitu ‘menyinggung’ dan disturbing?

Ya, karena mereka-lah yang memutuskan hubungan komunikasi yang sedang berusaha diciptakan. 

Persoalannya adalah; Apakah ada yang menikmati hasil kerja Jack selain orang yang sama haus darahnya?

Wah kau ngatain aku?! Aku jadi teringat pernah ikut pelatihan nulis kritik dan pembicaranya menyebutkan tulisan kritik film itu bukanlah sebuah seni. Lancang sekali!

Ini seperti mengatakan apakah rumah adalah sebuah karya seni.

Kalo begitu penentunya harus dari pembuatnya? Rumah yang dibangun oleh kuli hanyalah sebuah bangunan tanpa arti lebih. Tapinya lagi apakah tidak ada perbedaan pada hasilnya antara wartawan menulis kritik dengan, katakanlah, seniman yang menulis kritik?

Tetap tidak. Karena kritik pada akhirnya tetap berupa kepentingan untuk reportase. Kenapa pula musti repot membuat ribet hal yang tadinya diciptakan untuk menjabarkan karya seni-bercerita kepada pembaca yang menonton.

Kembali lagi ke titik awal dong, kita. Kalo yang dinilai adalah hasilnya, kenapa mayat-mayat hasil eksperimen Jack tidak kau anggap sebagai karya seni. Bodo amat dia membunuh atau bukan. Dia seniman. Dengan media mayat.

Sepertinya saya sudah menemukan jawabannya. Proses kreatif. Seni dinilai dari proses kreatif pembuatannya. Seni terutama, seperti kata ‘teman khayalan’ Jack si Verge, adalah proses yang melibatkan cinta.

Kurang kreatif apa coba, si Jack? Dia sama seperti pesawat penerjun Jerman itu, dia punya desain tersendiri. Dia bicara kepada Verge atas dasar kecintaannya terhadap seni itu sendiri.

Hahahaha… Jack ngobrol sama Verge – sama kepalanya sendiri, seperti kamu bicara kepada saya, proses kreatifkah itu namanya? Apakah kamu lantas mau memberi saya nama juga?

…   Iya dan tidak. Karena kau sesungguhnya tidak ada.

Maka, teman, kamu adalah orang gila!

 


Rumahnya beda banget ama yang “AJ Styles built!”

 

 

 

That’s all we have for now.
Film paling polarizing tahun ini. Sanggupkah kalian menyaksikannya hingga habis? Ada banyak imaji kekerasan di sini, yang diselingi oleh bincang-bincang cerdas tentang pembuatnya, tentang kejahatan manusia, tentang seni itu sendiri.  Bagaimana pendapat kalian tentang seni? tentang film ini? Buatku ini adalah salah satu film yang paling susah untuk direview, atau bahkan untuk ditonton lagi.
The Palace of Wisdom gives 9 gold stars out of 10 for THE HOUSE THAT JACK BUILT.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

My Dirt Sheet Top-Eight ‘KEKECEWAAN BIOSKOP’ of 2018

 

Kita semua pernah berbuat salah. Ketika kita sadar dan meminta maaf, atau malah ketika kita ‘ketahuan’ sudah melakukannya, kita mengharapkan respons dari orang lain. Kita menunggu mereka marah kepada kita sebelum akhirnya pengampunan itu diberikan. Barulah kemudian kita merasa lega. Tapi kadang perasaan lega tersebut tidak begitu saja diberikan. Tahu gak, marahnya orangtua yang paling gawat bukanlah saat mereka ngamuk bentak-bentak dan memberikan hukuman gak ngasih jajan sebulan. Melainkan ketika mereka hanya mengeluhkan napas dan bilang “Mama/Papa enggak marah sama kamu. Kami kecewa.” Tenang. Tanpa nada tinggi. Tapi melukai kita begitu mendalam. Itulah yang namanya luka tak-berdarah.

Kekecewaan itu kesannya mengecilkan. Karena bersumber dari ekspektasi. Membuat orang kecewa berarti kita sudah melakukan sesuatu yang menurut orang tersebut tidak sesuai dengan ‘standar’ kita yang biasa, seolah bahwa justru mereka yang sudah salah menganggap kita tinggi. Seperti kita kurang berusaha terhadap diri kita sendiri, sehingga mendengar kata ‘kecewa’ dari orang lain seperti tanda mereka menarik kembali respek yang sudah diberikan kepada kita.

Kecewa kepada film buatku juga seperti demikian. Bukan exactly karena filmnya jelek, maka aku kecewa. Akan tetapi, lebih kepada aku tahu sebuah film berpotensi menjadi bagus, namun film itu sendiri mengambil pilihan yang mengecilkan dirinya. When a movie it’s bad, it’s bad. Aku mengerti pilihan mereka. Aku bisa paham kenapa mereka lebih memilih yang mereka lakukan. Ketika sebuah film mengecewakan, aku mati-matian mencari pengampunan bagi mereka; aku sama sekali tidak mengerti  selain mereka hanya melakukannya untuk nyari duit. Di 2018, cukup sering aku duduk di bioskop, merasa kecewa terhadap apa yang baru saja aku tonton.

Berikut adalah Delapan-Besarnya; dan perlu diingat lagi, film-film dalam daftar ini boleh jadi bukan yang terburuk (kalian bisa ngeklik judulnya untuk dibawa ke halaman ulasan dan score filmnya), malah bisa saja kalian menganggap filmnya bagus. Silahkan disimak;

 

 

8. THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS


Director: Lasse Hallstorm, Joe Johnston
Stars: Mackenzie Foy, Jayden Fowora-Knight, Morgan Freeman, Keira Knightley
Duration: 1 hour 39 min

Aku menyebut film ini “Kekecewaan yang adorable” Dunianya cantik. Kostumnya cantik. Mackenzie Foy-nya cantik. Semuanya magical. Kecuali cerita dan bagaimana cerita tersebut disampaikan. Film tidak mampu untuk membangun, I mean, dengan dunia fantasi seperti ini menakjubkan sekali gimana begitu keluar studio kita semua sudah lupa apa yang terjadi di film ini.

Mereka ingin menghidupkan cerita lama dengan konsep yang baru. Namun pada kenyataannya, film tidak mampu mengembangkan kreativitas pada dunia dan mitologi yang ingin mereka gali, selain tampak luarnya saja. Tokoh yang namanya jadi judul tidak banyak diberikan apa-apa. Tokoh yang lainnya hanya ada di sana dengan gimmick masing-masing. Film ini tidak mampu mengimbangi imajinasi dunia yang mereka angkat.

My Breaking Point:
Suara sok-imutnya Keira Knightley

 

 

 

 

 

7. THE NUN


Director: Corin Hardy
Stars: Taissa Farmiga, Demian Bichir, Jonas Bloquet
Duration: 1 hour 36 min

Valak adalah salah satu ikon horor masa kini yang, ya bisa dibilang lumayan keren. Namun origin story si Valak; it’s just stupid. Ini cuma film yang menyangka dirinya asik karena punya ikatan dengan franchise horor yang populer. Trik film ini cuma referensi dan easter egg. Mereka begitu fokus ke nyambung-nyambungin dunia, sehingga lupa membuat film horor.

Jika biarawati gak punya dosa, maka Nun yang satu ini dosanya adalah dia enggak seram. Malah lebih kayak film petualangan misteri mencari benda yang hilang. Aku bahkan merasa kasian sama jumpscare-jumpscare pada film ini, karena bahkan mereka pun gagal untuk menjadi mengagetkan karena film enggak mampu untuk mengembangkan cerita yang ia miliki.

My Breaking Point:
Bahwa hantu-hantu di film ini tukang nge-prank semata. Apa coba tujuan mereka membuat tangga berdarah? Menyamar jadi patung-patung?

 

 

 

 

 

6. BUFFALO BOYS


Director: Mike Wiluan
Stars: Yoshi Sudarso, Ario Bayu, Pevita Pearce
Duration: 1 hour 42 min

Puluhan milyar itu dihabiskan untuk membuat salah satu film paling konyol yang bisa kita saksikan di bioskop tahun 2018. Tapi bukan hal tersebut yang bikin film ini mengecewakan, toh terserah mereka mau ngeluarin duit berapa pun juga. Yang bikin kecewa adalah karena sepertinya mereka enggak tahu apa yang sedang mereka lakukan. Kekonyolan film ini datang dari mereka sendiri, yang menganggap dirinya terlalu serius. Orang-orang di balik Buffalo Boys bermaksud untuk menjadikan film ini proyek epik yang membanggakan.

Tetapi mereka tidak membangun logika sedetil mereka membangun set, kostum, dan segala macam produksinya. Film ini penuh dengan karakter-karakter yang secara kontekstual sudah ketinggalan jaman. Film tidak menginvestasikan banyak kepada pengembangan cerita. Menjadikan film ini enggak ada spesial-spesialnya. Maksudku, semua orang bisa bikin yang kayak gini jika mereka punya kocek puluhan milyar. Apa dong hal unik yang kalian tawarkan?

My Breaking Point:
Di bagian awal ada adegan tokoh yang kabur naik sampan di air yang tenang – bukan sungai deras, dan pihak yang ngejar cuma nembakin dari jauh. Practically sampannya cuma ngapung dan para pemain bertingkah seolah-olah kejar-kejaran mereka intens banget hahahaha

 

 

 

 

5. MILE 22


Director: Peter Berg
Stars: Mark Wahlberg, Iko Uwais, Ronda Rousey
Duration: 1 hour 34 min

Penampilan aktor Indonesia dalam peran gede di film luar mestinya membanggakan dong ya? Tidak untuk film ini sayangnya.

Iko Uwais yang udah terkenal dengan koreografi dan aksi berantemnya, dia pastinya dapat peran di sini karena keahliannya tersebut. Film ini juga punya Ronda Rousey, petarung cewek jebolan UFC, juara Women’s di WWE.

Apa kita melihat mereka berantem? Tidak.

Apa kita melihat Iko berantem? mmmm… ada sih, tapi… enggak begitu terlihat? Well, bagaimana kita bisa ngelihat kalo ternyata film menangkap adegan-adegan berantem dengan teknik cut yang begitu frantik!??

Kenapa gak wide shot aja? Tidak satupun pilihan film ini yang menguntungkan buat genre action. Aku benar-benar gagal paham kenapa mereka memfilmkannya dengan seperti begini. Segala baku hantam, ledakan, dialog, yang ia punya jadi kayak rentetan racauan edan yang membingungkan dan jauh dari menghibur.

 

My Breaking Point:
Setiap kali kamera bergoyang-goyang dan pindah cut dengan cepat. Dan ketika film ini sepertinya punya awareness bahwa Mark Wahlberg adalah seorang seleb.

 

 

 

 

 

4. GENERASI MICIN


Director: Fajar Nugros
Stars: Kevin Anggara, Morgan Oey, Cairine Clay, Joshua Suherman
Duration: 1 hour 28 min

Bayangkan kalian tidak sempat menonton Yowis Ben (2017), hanya mendengar puji-pujian tentangnya, kemudian melihat film yang dibuat oleh orang-orang yang sama sehingga kalian kepincut untuk nonton. Dan yang kalian dapatkan adalah film kelebihan micin sehingga gizinya tidak kelihatan lagi. Itulah yang kualami dengan Generasi Micin.

Materi dan sudut yang pandang menarik dimentahkan oleh pilihan menjadikan film ini cerita komedi yang over-the-top. begitu banyak aspek-aspek tak-mungkin yang dimasukkan hanya untuk memancing tawa sebentar karena enggak menambah banyak ke bobot cerita. Yang mana membuat kita jadi menertawakan film (alih-alih tertawa bersamanya) dan tak lagi menganggap ceritanya grounded. Film ini akan bekerja lebih efektif dengan komedi yang realis. I mean, we could have normal teachers and still make a funny story, right? 

My Breaking Point:
Adegan inspeksi sekolah yang melibatkan semburan air.

 

 

 

 

 

3. KAFIR: BERSEKUTU DENGAN SETAN


Director: Azhar Kinoi Lubis
Stars: Putri Ayudya, Nadya Arina, Indah Permatasari, Nova Eliza
Duration: 1 hour 37 min

Ketika melihat nama Azhar Kinoi Lubis di kursi sutradara, aku langsung tertarik. Pikirku sekiranya film ini bakal bisa mengangkat horor sebenarnya yang berasal dari ketakutan manusia, karena horor toh kebanyakan hanya mengandalkan jumpscare dan makhluk-makhluk seram yang merangkak belaka. Separuh bagian pertama, harapanku sepertinya terjawab. This film looks good, sinematografinya niat banget – memandang gambarnya aja bulu kuduk udah meremang. Ceritanya juga terhampar seperti mengandung elemen psikologis yang kental. Aku tadinya menyangka sudah menemukan horor yang bakal menjatuhkan tahta Pengabdi Setan. Sampai twist itu datang.

Film banting stir. Arahannya jadi over-the-top. Dan menghancurkan semua bangunan cerita dan suasana di awal. Akting, cerita, kejadian, semuanya jadi mengincar kepada kelebayan. Jadinya malah jatuh ke lembah kegelian. Seram yang subtil tadi, pada akhirnya terlupakan. Karena film ini hanya akan dikenang berkat penampilan over para tokoh dukun, dan perang ilmu mereka yang konyol.

My Breaking Point:
Adegan heroik protagonis nendang tokoh jahat yang tubuhnya berkobar api. Tinggal tambahin punchline insult yang cheesy tuh! hihihi

 

 

 

 

 

 

 

2. FANTASTIC BEASTS: THE CRIMES OF GRINDELWALD


Director: David Yates
Stars: Eddie Redmayne, Zoe Kravitz, Jude Law, Johnny Depp
Duration: 2 hour 14 min

Film ini membuktikan bahwa nulis novel itu enggak sama ama nulis skenario film. Dan bahwa sehebat apapun kita dalam satu bidang, ketika pindah ke bidang lain, level kita akan selalu mulai dari nol.

Sekuel Fantastic Beasts ini pastilah bakal menjadi novel yang hebat. Dengan segala subplot dan karakter-karakter yang kompleks. Namun sebagai film, ini tak lebih bermanfaat daripada kotoran-naga. Serius deh. J.K. Rowling kelimpungan menaruh semua elemen cerita ke dalam struktur cerita film yang memang sempit. It is just too much. Tokoh utamanya jadi terkesampingkan. Kejahatan Grindelwaldnya enggak berhasil diperlihatkan dengan maksimal. Twist yang hadir, drama yang diselipkan, semua hanya lewat gitu aja.

Dan ini aku belum nyebutin betapa banyak lubang, ketidakkonsistenan, yang merusak apa-apa yang sudah dibangun dalam semesta sihir Harry Potter sebelumnya.

My Breaking Point:
Fakta bahwa penyihir-penyihir di film ini enggak lebih menarik dari para non-sihir, dunia mereka seolah tak banyak bedanya. Sama boringnya.

 

 

 

 

 

Sebelum kita sampai di posisi pertama, simak dulu Dishonorable Mentions berupa film-film yang kukasih skor 1; mereka mengecewakan justru karena sesuai ekspektasi “ah udah pasti jelek” dan hey, beneran jelek!

Dishonorable Mentions:

Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati,

Truth or Dare,

Alas Pati: Hutan Mati,

Sajen,

Jailangkung 2,

Tusuk Jelangkung di Lubang Buaya

 

 

 

Dan inilah film yang paling mengecewakan tahun ini, yang udah bikin nyesel bela-belain ke bioskop:

1. BENYAMIN BIANG KEROK


Director: Hanung Bramantyo
Stars: Reza Rahadian, Delia Husein, Rano Karno, Meriam Bellina
Duration: 1 hour 35 min

Meskipun sudah mengharapkan di film ini Hanung dan Reza bakal enggak se’serius’ mereka yang biasa, tapi tetep saja aku tidak menyangka hasilnya bakal separah ini. Benyamin Biang Kerok adalah insult dan kekecewaan bagi siapapun yang bersentuhan dengannya. Bagi seniman seperti Benyamin. Bagi keluarganya. Bagi pembuat filmnya. Bagi penontonnya. Bahkan memanggilnya sebuah film adalah hinaan tersendiri. Karena ini bukan film. Benyamin Biang Kerok tidak dibuat sebagai satu film yang utuh.

My Breaking Point:
Ketika wajah tertawa Reza sebagai Benyamin bicara kepada kita semua, memotong tepat di tengah adegan Benyamin lagi kepergok wanita macan, dan bilang bahwa filmnya bersambung.

Belum pernah ada yang selancang ini memotong cerita di tengah-tengah, tanpa memperhatikan struktur. Satu-satunya kemungkinan aku menonton sambungannya adalah jika tiket yang dipakai nonton ‘part satu’ ini masih bisa digunakan untuk yang bagian kedua, karena aku beli tiket untuk satu film. Utuh.  Dan ngomong-ngomong soal itu, mereka sepertinya sudah sadar dan malu sendiri sebab ini sudah akhir Desember dan belum ada tanda-tanda bagian keduanya bakal diputar seperti yang sudah dijanjikan.

Orang-orang di balik film ini punya kemampuan untuk membuat persembahan bagi Benyamin yang gak malu-maluin. Mereka bisa bikin yang lebih bagus, no doubt. Namun mereka memilih menampilkan ini. Membaginya menjadi dua, malah. Saking kecewanya, aku jadi ingin tertawa

Ha-ha-ha-ha! *ketawa ala Reza mainin Benyamin

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Semoga daftar ini bisa dijadikan cermin untuk perbaikan. Top-Eight Movies of 2018 seperti biasa akan ditulis nanti setelah pengumuman nominasi Oscar, untuk kemudian akan disusul oleh My Dirt Sheet Awards.

Terima kasih sudah membaca. Apa kalian punya daftar film-film yang mengecewakan juga? Share dong di sinii~~

Because in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BAD TIMES AT THE EL ROYALE Review

“Do the crime, do the time.”

 

 

 

Masa-masa sulit sesungguhnya tidak akan berlangsung selamanya. Bahkan kata Pak Ustadz di mesjid, orang-orang yang disiksa di neraka pun pada akhirnya akan masuk ke surga. Setelah semua dosa-dosa mereka tertebus. Tapi itupun jika masih ada iman di hatinya. Aku bukannya mau ceramah agama, melainkan poinku adalah akan selalu ada harapan untuk mengubah masa sulit menjadi masa yang senang jika seorang percaya hal baik dan mau mengusahakannya. Setiap perbuatan pasti ada balasannya.

Hotel El Royale dalam film Bad Times at the El Royale adalah metafora yang tepat untuk surga dan neraka. Berada tepat di garis perbatasan negara bagian California dan Nevada; kita bisa melihat hotel ini literally terbagi dua tepat di tengah oleh garis pembatas sehingga para pengunjung bisa memilih mau ditempatkan di kamar wilayah Nevada atau di kamar pada wilayah California yang harga sewanya satu dolar lebih mahal. Para tamu, sepanjang yang kita lihat dalam film ini, lebih memilih untuk menyewa kamar di bagian Nevada. Dan sesegera mungkin setelah mereka masuk kamar masing-masing, kita bisa melihat kelakuan ‘jahat’ mereka yang membuat mereka cocok – mungkin memilih dari alam bawah sadar – untuk ditempatkan di kelas ‘neraka’.

adegan favoritku adalah ketika salah satu tamu berjalan di garis pembatas seolah sedang menyebrangi jembatan Shiratal Mustaqim

 

 

Premis dasar cerita ini sebenarnya tak kalah simpel dari kisah-kisah drama kriminal yang paling biasa. Beberapa orang yang saling tidak kenal, yang tadinya ngerjain urusan kotornya sendiri-sendiri, jadi saling bentrok – dengan uang dan rahasia gelap hotel menjadi perekatnya. Mengambil latar waktu 60an, kisah film ini eksis pada masa kaum hippie lagi ngetren dan perang Vietnam baru usai berkobar. Waktu yang menjadi identitas sehingga film punya keterkaitan dengan peristiwa di dunia nyata. Namun film membiarkan segala konteks sosial bergerak dalam imajinasi kita. Ia malah bercerita dengan nada penuh misteri. Malahan ada satu benda, gulungan film yang katanya berisi skandal, yang tidak pernah diperlihatkan kepada penonton selain melalui komentar-komentar tokohnya. Penggunaan gaya ala Quentin Tarantino tidak berhenti sampai di sana. Film juga membagi sudut pandang para tokoh ke dalam beberapa chapter – sutradara dan penulis Drew Goddard menggunakan nama tempat seperti Kamar Empat, Kamar Tujuh, Maintenance Closet, dan interestingly enough satu nama tokoh karena kisahnya ada di dalam kepala tokoh tersebut – untuk mengenalkan backstory dan motivasi mereka. Kita akan sering balik mundur kembali untuk meninjau suatu peristiwa dari sudut pandang tokoh yang berbeda. Untuk kemudian semua benang itu akan terikat ketika semua pemain sudah berkumpul, saling menunjukkan ‘kartu’ dan rahasia masing-masing.

Dalam bercerita, film memang tampil terlalu genre-ish. Ada polisi, ada cult leader sinting, ada pastor, ada wanita kulit hitam yang gak setidakberdaya kelihatannya. Gaya film ini toh memang mampu membuat kita bertahan keasyikan mengarungi dua jam setengah malam berhujan badai. Dengan bijaknya, semua aspek dalam film ini ditahan untuk tidak terlalu over-the-top. Sehingga kita masih bisa menyimak underlying message tentang keyakinan dan penebusan dosa yang disusupkan sebagai tema.

Segala perbuatan yang kita kerjakan, akan mendapat balasannya. Kadang memang secara tidak langsung. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh film ini, hidup akan selalu menemukan cara menagih kita. Tindak kriminal akan mendapat hukuman. Rasa penyesalan akan meringankan hukuman tersebut, paling tidak mengurangi beban di hati. Adalah terserah kita untuk memanfaatkan kesempatan menebus dosa-dosa selagi kita masih di dunia.

 

Hal menarik yang diajukan oleh film ini, berkaitan dengan konteks dan tema yang diusungnya, adalah para tokoh yang merepresentasikan Tujuh Dosa Pokok manusia. Melihat siapa yang akhirnya selamat, memberikan harapan bahwa pengampunan itu masih ada bagi siapapun yang mau mengubah dirinya. Dan perubahan itu enggak gampang. Butuh pengorbanan yang besar. Untuk tidak lagi bersikap mementingkan diri sendiri. Tamu-tamu hotel ini tadinya datang sendiri-sendiri; mereka ingin memuaskan keinginan sendiri. Meruntuhkan ego ditampilkan oleh film ini sebagai jalan keluar dalam bentuk bekerja sama – feminis akan melihat pesannya sebagai kesetaraan peran wanita dan pria – sebab Tujuh Dosa itu pada dasarnya berakar kepada nafsu ke-selfish-an manusia.

Ada tujuh tokoh, tujuh sudut pandang yang jadi kunci perputaran cerita. Setelah paragraf ini akan sarat oleh spoiler karena aku ingin memaparkan siapa dan dosa masing-masing tokoh dan bagaimana mereka gagal untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Pada halaman trivia film ini di situs IMDB sebenarnya sudah ada yang menuliskan teori Seven Sins seperti ini, tetapi aku punya pandangan yang berbeda. Yang udah nonton sih, silahkan baca dan mungkin bisa membandingkan dengan teori kalian sendiri;


Pertama ada Billy Lee. Tokoh ini muncul paling belakangan – dia udah kayak ‘bos gede’ yang harus dikalahkan. Berkeliaran bertelanjang dada membunuhi orang-orang bersama pengikut setianya. Dia pemimpin kultus yang enggak percaya pada Tuhan. Dan inilah yang membuatnya melambangkan dosa Pride (Kebanggaan). Ia merasa yang paling hebat. Hidupnya berakhir setelah ia meremehkan salah satu tokoh.

Tokoh itu adalah Miles, pemuda yang jadi resepsionis, bartender, dan segala macam yang menyangkut urusan hotel. El Royale sendiri adalah hotel yang punya kedok, mereka melakukan bisnis-tak-tersebut di sini. Miles lah yang disuruh untuk melihat, merekam, dan melaporkan semua kriminal yang terjadi dari balik kaca dua-arah pada setiap kamar. Miles juga adalah seorang mantan tentara yang sudah membunuh banyak orang dan dia menyesali perbuatannya. Sebesar dia menyesali kerjaannya di hotel. Tapi Miles tidak berani berbuat apa-apa. Miles melambangkan dosa Sloth (Kemalasan). Eventually, Miles adalah salah satu tokoh yang berakhir ‘happy’ karena dia berhasil menebus dosanya dengan mengambil aksi. Plot Miles adalah yang paling emosional di antara tokoh yang lain. Film menggambarkan momen terakhir Miles bersama dua tokoh lain dengan sangat menawan.

Wrath (Kemarahan) dilambangkan oleh tokoh polisi bernama Dwight Broadbeck yang menyamar menjadi tukang sales penyedot debu. Ditugaskan menyelidiki apa yang terjadi di balik bisnis perhotelan, Dwight melanggar perintah dengan gegabah ikut campur menangani kasus-kasus yang tak-sengaja ia intip di El Royale. Dwight mendapat ganjaran atas perbuatannya tersebut.

Di kamar Nevada paling ujung ada Emily Summerspring, cewek yang dipergoki oleh Dwight menyelundupkan seorang cewek lain. Mengikatnya di kursi. Dwight menyangka Emily akan membunuh cewek tersebut. Tetapi ternyata masalah Emily adalah Envy (Kecemburuan), tokoh ini sebenarnya paling sedikit mendapat eksplorasi, walaupun dia termasuk yang paling banyak beraksi. Backstory sekilasnya memperlihatkan dia kemungkinan adalah korban kekerasan seksual sewaktu kecil, membuat dia menjadi begitu dekat dengan adiknya. Hingga sang adik memutuskan untuk ikut cult yang diketuai oleh Lee.

Adiknya lah, si Rose Summerspring, tamu-tak-terdaftar yang diikat oleh Emily di kursi. Ini adalah tokoh yang paling aneh. Ada satu adegan dia menyusun kursi dan meloncat untuk bergelantungan di lampu hias lobby hotel. Dia juga diimplikasikan gak segan untuk melakukan kekerasan kepada orang lain. Dia digambarkan rela berkelahi supaya bisa tidur bareng Lee, yang tampak sangat ia sukai. Mengukuhkan perlambangan dosa Lust (Hawa nafsu).

Dua tokoh terakhir, yang sebenarnya adalah dua tokoh utama – Flynn, seorang perampok bank yang menyamar menjadi pastor dan Darlene Sweet, penyanyi latar yang ingin karirnya berkembang – punya dosa yang tampak setali tiga uang. Yang satu melambangkan Greed (Ketamakan); karena mencuri dan begitu ingin memiliki semua hingga literally lupa diri dan satunya lagi Gluttony (Kerakusan) yang begitu mengejar keinginan menjadi terkenal. Dua tokoh ini pada akhirnya berhasil selamat setelah menunjukkan arc dan transformasi yang benar-benar bikin kita terpana.


abs Chris Hemsworth mengalihkan dunia para wanita

 

 

Mengikat banyak plot dengan satu tema yang kuat, sebenarnya tidak banyak ruang gerak dalam naskah film ini. Jadi ia tahu, ia harus punya gaya. Meskipun berceritanya mungkin tidak benar-benar adalah gaya yang inovatif, film masih punya satu lapisan lagi untuk membuatnya tampil beda; penampilan akting para pemain. Jeff Bridges, Chris Hemsworth, Lewis Pullman, Cynthia Erivo (yang beneran nyanyi), semuanya bermain prima. Mataku terutama pada Cailee Spaeny sejak dia di Pacific Rim: Uprising (2018) dan kembali dia mencuri perhatian di sini. Ensemble cast di film ini bermain dalam level yang tepat, mereka tidak terlalu lebay, melainkan masih tetap menghibur dan enggak satu-dimensi – mereka masih mampu untuk menghadirkan emosi. Dari yang tadinya sendirian memegang rahasia, terhadir hubungan menarik dan really grounded antara para tokoh, seperti pastor dengan si bellboy. Memang, masih banyak yang bisa diperbaiki, tetapi film ini tahu apa yang ia incar. Mengatakannya style-over-substance sungguh terlalu terburu nafsu. Dan menurut film ini, terburu nafsu tidak akan mendatangkan masa-masa baik bagimu.
The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for BAD TIMES AT THE EL ROYALE.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana menurut kalian tentang Tujuh Dosa manusia? Dosa mana yang kira-kira lebih mudah untuk dimaafkan? Setuju gak kalo Pride adalah dosa yang paling ‘bos’ dari semua?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

ONE CUT OF THE DEAD Review

“The critic has to educate the public; The artist has to educate the critic.”

 

 

 

Tidak terima filmnya ‘dinilai’ dengan semena-mena, Lukman Sardi pernah sempat ‘ribut’ dengan netijen yang mengaku sudah menonton. “Woiiii pada2.. bikin film itu nggak segampang lo pada pikir… lo tau nggak proses shooting kayak apa? Lo tau nggak proses setelah shooting juga kayak apa?” begitu bunyi pertahanan yang ia amukkan di instastory, Agustus 2018 yang lalu. Film One Cut of the Dead benar-benar seperti gambaran dramatis, dan lucunya jadi sangat menghibur, dari pernyataan – jerit hati – seorang pembuat atau praktisi film seperti Lukman Sardi.

Ketika sudah terbiasa melihat film secara kritis, menonton tiga-puluh-tujuh menit pertama garapan sutradara Shinichiro Ueda ini bakal bikin kita geram. Begitu banyak ketidakkompetenan. Terlihat terlalu ‘murahan’. Perspektif kameranya juga membingungkan, mereka seperti meniatkan kita melihat dari kamera kru, tapi sebagian besar adegannya kamera lebih terasa seperti ‘mata Tuhan’ (zombie sama sekali tidak mengejar kameramen), dan semakin bingung saat sutradara bicara langsung ke kamera. Satu-satunya hook yang membuat kita tetap duduk di sana adalah teknik shot panjang, tak terputus, yang mereka gunakan. Menakjubkan dan mengundang penasaran, apa yang mereka lakukan dalam merekam film. Sementara itu, cerita yang kita lihat tampak seperti tentang seorang aktris yang mengalami kesulitan mendalami karakter dalam proses syuting film zombie. Kemudian, selagi mereka break syuting, duduk-duduk ngobrol membahas keangkeran lokasi, salah satu kru menjadi zombie beneran. Suasana menjadi kacau, mereka kocar-kacir pengen nyelametin diri. Namun sang sutradara tak peduli, dia tetap menyuruh pemain dan kru untuk terus merekam. Sampai di sini kita tidak tahu motif tokoh utamanya, apa paralelnya dengan cerita.

Tapi tentu saja ada desain dari kegilaan semacam ini. One Cut of the Dead adalah jenis film yang akan semakin berkali lipat bagusnya jika ditonton dengan memahami terlebih dahulu, mengetahui terlebih dahulu, konsep yang film ini gunakan. Karena film ini memakai struktur bercerita yang sama sekali berbeda. Meminta kita untuk bertahan, mungkin menggigit bibir sampe berdarah untuk enggak keceplosan menghina, dan semua itu akan terbayar tuntas ketika kita sampai di bagian akhir. Apa yang terjadi di bagian akhir akan membuat kita memandang keseluruhan film dalam cahaya yang berbeda. Tokoh utama yang di film awal tadi bukan tokoh utama cerita film ini sebenarnya. Technically, ini bahkan bukan cerita tentang invasi zombie! Bagian zombie-zombie yang kita saksikan dengan menyipitkan mata merendahkan di awal itu actually adalah presentasi film yang dibuat oleh tokoh film ini. Dan jika ingin bicara secara teori skenario, film ini sendiri barulah dimulai setelah kredit film di awal tadi bergulir. Dalam sense waktu, kita bisa menyebut film ini sebenarnya baru dimulai pada menit ke-empat puluh, atau sekitar babak kedua pada film-film normal yang kita tonton.

mendeskripsikan film ini; seperti menonton The Room nya Tommy Wiseau dan The Disaster Artist (2017) dalam sekali duduk sebagai satu film yang utuh

 

 

One Cut of the Dead menjadi pintar dan berfungsi efektif berkat pilihan struktur bercerita yang mereka gunakan. Mereka sebenarnya bisa saja memulai cerita dengan adegan yang menjelaskan pemutaran film di dalam film, menuturkan siapa tokoh utama yang jadi fokus cerita, tapi jadinya enggak bakalan seseru yang kita lihat. Karena, seperti yang bakal kita pelajari di pertengahan film, acara yang mereka syut actually adalah acara langsung. Aspek live-show inilah yang dijadikan stake/taruhan; sesuatu yang membuat proses syuting mereka harus berhasil no-matter-what. Lalu unbroken shot yang dilakukan itu bertindak sebagai tantangan yang harus dihadapi. Aku percaya deh, take panjang tanpa cut itu beneran susah untuk dilakukan; untuk film pendek keduaku yang cuma lima menitan, aku tadinya pengen shot yang tanpa cut, dan itu aja udah melelahkan sekali untuk pemain dan kru lantaran setiap ada yang salah mereka harus mengulang sedari awal. Setnya harus dibenerin ulang. Make up kudu dipasang lagi. Apa yang dicapai oleh film ini, mereka ngerekam adegan enggak pake cut selama tiga puluh menit – aku bisa bilang, sebuah kerja sama dan perjuangan yang keras.

Membuat penonton mengetahui stake dan tantangan belakangan memperkuat esensi drama dan komedi yang ingin dihadirkan. Lantaran kita sudah terbiasa ngejudge dulu baru mau mencoba untuk mengerti. Ketinggian emosional inilah yang sepertinya ingin dicapai oleh film sehingga kita diperlihatkan dulu ‘kegagalan’ mereka. Dan setelah itu, dengan kita mengerti rintangan dan apa yang sebenarnya terjadi, ‘kegagalan’ tadi berubah menjadi ‘keberhasilan yang menggetarkan hati’ di mata kita.

Namun apakah semua film harus dilihat seperti begini? Apakah kita akan memaafkan semua film jika semua film dikerjakan susah payah seperti film pada film ini? Benarkah seperti yang dikatakan oleh Lukman Sardi, penonton harus mengerti dulu seluk beluk pembuatan sebuah film sebelum berkomentar?

 

Menonton film ini, bagiku, benar-benar membantu mengingatkan kembali bahwa apa sebenarnya yang disebut dengan film; Sebagai sebuah kerja tim. One Cut of the Dead bisa saja dibuat sebagai surat cinta kepada para pembuat film, untuk menyampaikan pesan yang memberikan semangat di tengah-tengah perjuangan keras mewujudkan suatu karya yang bakal ditonton oleh banyak orang. Mengutip perkataan dari seorang mendiang pegulat dan promotor, Dusty Rhodes, bahwa jika 70% saja show yang kita kerjakan berjalan sama dengan yang tertuai di atas kertas (naskah), maka itu udah termasuk sukses berat. Karena memang pada kenyataannya, apa yang kita lakukan tidak akan berjalan mulus sesuai rencana. Terlebih dalam sebuah proyek yang melibatkan banyak orang seperti film ataupun acara pertunjukan dalam bisnis hiburan. Kadang pembuat film perlu melalukan penyesuaian besar-besaran. Penulisan ulang. Setiap kru harus sigap dan mampu beradaptasi dengan perubahan dadakan tersebut. Dalam film ini kita akan melihat ketika macet, kondisi kesehatan, dan attitude dari aktor dijadikan faktor luar yang mengguncang ‘zona nyaman’ yakni jadwal dan visi dari sutradara.

Menurutku, film ini penting untuk ditonton banyak orang, terutama oleh para pengulas dan kritikus film. Supaya kita bisa mengetahui apa yang terjadi di balik layar. Tentu, sebagai penonton kita toh tidak perlu tahu susah-senang para kru film, karena bukan kerjaan penonton untuk mengetahui hal tersebut. Kita enggak bayar tiket mahal-mahal untuk melihat itu. Kita tidak perlu tahu dulu cara membuat film untuk dibolehin mengkritik film. Tapi kita, paling tidak, perlu untuk mengetahui apa yang sedang kita bicarakan, kita perlu mengintip sedikit jerih payah yang mereka lakukan. Bukan untuk membela dan mengasihani, melainkan supaya kita bisa menghimpun sesuatu yang lebih adil dalam mengkritik.

Lebih sering daripada enggak, sebenarnya kita hanya senang mengolok-olok film. Kadang kita bersembunyi di balik istilah ‘kritik-yang-membangun’ padahal yang sebenarnya kita lakukan hanyalah nge-bully sebuah film. Tidak ada yang namanya “kritik yang membangun.” Sebab, kritik dari asal katanya sendiri berarti suatu tindakan yang mengulas. Melibatkan memilah dan memilih. Jika film adalah komunikasi antara pembuat dengan penonton, maka kritik seharusnya adalah sesuatu yang menjembatani – yang memperkuat arus komunikasi di antara kedua pihak tersebut. Kritik haruslah netral, dalam artian ketika kita menulis keburukan maka kita kudu menyeimbangkannya dengan kebaikan, pesan, atau hal-hal yang sekiranya membuat orang masih tertarik untuk menontonnya.

Ngata-ngatain sebuah film “jelek”; itu baru sekadar ngebully bareng-bareng.

Mengatakan sebuah film “jelek”, seharusnya “begini”; itu saran yang membangun, tapi belum cukup untuk dikatakan kritik.

Menyebut kekurangan film, kemudian berusaha menggali alasan – dengan melihat konteks – kenapa film melakukan hal tersebut alih-alih melakukan hal yang “benar”; itulah yang harusnya terkandung di dalam tulisan-tulisan yang melabeli diri sebagai sebuah kritik film.

 

tapinya lagi, benar relevan gak sih keadaan yang dicerminkan film ini dengan pembuatan film di Indonesia, mengingat orang Jepang itu kan disiplin semua?

 

 

Tiga babak pada film ini bukanlah pengenalan, konflik, dan penyelesaian. Melainkan hasil, barulah kembali ke pengenalan dan konflik. Cara bertutur yang memang memancing drama, tapi tidak serta merta meminta dikasihani. Karena disuarakan dengan nada komedi yang tinggi. Film juga menyinggung soal kemungkinan paradoks yang terjadi kepada para pembuat film yang ingin menunjukkan kemampuan sekaligus juga dituntut berdedikasi dalam sebuah proyek yang mungkin enggak sesuai dengan mereka sendiri, tetapi tetap harus diambil karena semuanya dianggap sebagai tantangan. Menakjubkan apa yang dicapai oleh film yang sebenarnya simpel dan mengambil resiko besar ini. Actually, buatku ini adalah salah satu film yang paling susah untuk ditentuin rating angkanya, karena dia bagus dari pencapaian. Tapinya juga adalah film yang ‘jelek’; bukan dalam sense kita harus membencinya, melainkan bagaimana dia dibangun. Film ini baru akan bagus sekali, ratingnya bisa nyaris lipat ganda, jika ditonton untuk kedua kali, saat kita sudah tahu konsep yang mereka gunakan sehingga tidak lagi melihatnya sebagai film sebagaimana mestinya. Dan di situlah kekuatan film ini; tidak akan membosankan jika ditonton dua kali. Namun, sebagai first-viewing tanpa mengetahui apa-apa tentangnya;
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for ONE CUT OF THE DEAD.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian, seperti apa sih kritik film yang bagus? Seberapa besar kritik film berpengaruh buat kalian? Apakah kalian merasa perlu untuk mengetahui latar belakang film sebelum menonton filmnya?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017