“Till death do us part”

Sekuel kedua dari The Conjuring (dan kedelapan dari Conjuring Universe) jelas tidak dibuat karena disuruh oleh setan. It is more like, the ‘duit’ made them do it. Begitulah adanya industri. Suka atau tidak, kita tidak bisa menutup mata bahwa membuat franchise atau movie universe segede itu jelas enggak bisa dibilang gampang. Paling enggak, ada dua cara melakukannya. Pertama, just give audiences whatever they want; kasih ‘wahana’ yang itu-itu terus dan duduk santai mengeruk cuan sambil menyaksikan kualitas kreasi yang semakin lama semakin menurun. Atau, mencoba untuk mengemulasikan sesuatu yang baru; mengambil resiko untuk dianggap sedikit berbeda, tapi sekaligus juga berjuang menjaga ‘hati’ kreasi tersebut tetap pada tempatnya.
The Conjuring Tiga (nyebutnya gini aja biar singkat) ini, berjalan di garis batas dua cara tersebut. Film memberi kita panggung baru dan cara main baru pada kisah relasi dan aksi Ed dan Lorraine yang sudah kita semua cintai sejak film pertama, tapinya juga film ini berpegang erat pada elemen-elemen ‘wahana horor’ yang sudah membuat universe ini begitu laku dan dijadikan patokan horor mainstream kekinian (alias jadi banyak yang niru). And that leaves me with a really mixed feeling about this whole movie.
Cerita film ini dibuka layaknya Conjuring ‘normal’. Ed dan Lorraine sedang membantu sebuah keluarga yang anak bungsunya kerasukan. Namun kejadian lantas ngegas menjadi bahkan lebih menakutkan lagi ketika iblis yang merasuki si anak, pindah ke abang-abang pacar kakaknya si anak. Mendadak, keadaan menjadi tenang. Aftermath dari kejadian tersebutlah yang ternyata jadi fokus konflik cerita. Ini bukan lagi cerita tentang keluarga dan rumah baru berhantu mereka seperti yang sudah-sudah. Sepulangnya dari TKP, si abang-abang yang bernama Arne Johnson itu merasakan ada yang aneh pada tubuhnya. Dia juga merasa diserang oleh setan. Padahal aslinya, dia just killed a man, put a bulle.. eh salah itu lirik lagu Queen…. Aslinya, Arne telah membunuh seseorang. Arne ditangkap polisi dan hendak dihukum mati. Sehingga Ed dan Lorraine berusaha membantunya. Cuma mereka yang percaya bahwa yang membunuh itu bukan keinginan Arne. Ed dan Lorraine harus mengungkap kasus kesurupan tersebut secepatnya. Kasus yang ternyata lebih gede daripada sekadar ‘kesurupan’. Dan semua itu dilakukan sambil berurusan dengan penyakit jantung yang diderita Ed.

Pada bagian awal itu – dan pada beberapa bagian nantinya – Michael Chaves yang menggantikan posisikan James Wan sebagai sutradara berhasil memvisualkan adegan-adegan horor yang sehati dan sejiwa dengan film-film pendahulunya. Chaves juga berhasil memenuhi ekspektasi studio dalam membuat adegan horor tersebut jadi komersil. Alias sesuai selera mainstream. Kita akan lihat adegan kesurupan yang bombastis. Kita juga nanti bakal melihat adegan-adegan yang scarenya dibuild up banget, misalnya adegan Ed dan Lorraine di kamar mayat. Adegan tersebut membuatku berhasil ketawa nervous, which is my defense mechanism kalo lagi takut banget. Building up tampaknya memang jadi kekuatan film ini. Chaves berhasil menjaga tempo, dengan presisi mengatur kamera, dan bahkan penempatan tulisan yang ngasih tahu kasus nyata Ed dan Lorraine mana yang kini dijadikan inspirasi cerita dilakukan pada momentum yang tepat. Sehingga saat nonton ini di awal itu rasanya langsung ke-hook banget.
Aku suka gimana film ini berusaha memberikan kondisi yang berbeda kepada Ed dan Lorraine. Sedari opening tadi itu kita sudah diperlihatkan Ed sekarang punya kelemahan. Karena si iblis, Ed jadi punya kondisi yang membuat jantungnya lemah. Untuk berlari saja dia kepayahan. Salah-salah bisa masuk rumah sakit lagi. Ini menciptakan stake yang sangat berarti bagi mereka berdua. Mengganggu dinamika yang sudah terbangun sejak dua film sebelumnya. Lorraine harus beraksi sendiri. Sementara Ed, mencoba untuk sebisa mungkin berada di sana bersama Lorraine. Feeling saling terkoneksi dan harus bersama itu dijadikan kontras oleh ‘penjahat’ film ini yang melakukan koneksi tapi untuk memisahkan. Vera Farmiga dan Patrick Wilson menunjukkan chemistry yang semakin kuat, on top of permainan akting yang emosional. Mereka membuat gampang bagi kita untuk bersimpati kepada mereka.
Kisah Ed dan Lorraine ini benar-benar seperti menemukan oase di padang pasir. Di tengah-tengah cerita horor, kisah cinta mereka berdiri untuk kita jadikan panutan. Karena bahkan godaan dan tipuan iblis pun tak mampu untuk memisahkan mereka berdua.
Yang di ujung tanduk di sini bukan hanya soal keselamatan nyawa Ed, tapi juga keselamatan ‘relationship’ mereka. Karena film juga mengestablish cara-kerja kesurupan; kita diperlihatkan pov mereka-mereka yang kesurupan, kita melihat mereka gak tahu mana yang nyata, mana yang bukan. Yang mereka lihat adalah orang terkasih mereka diserang iblis, sedangkan pada realitanya iblis itu justru sang kekasih. Relasi Ed dan Lorraine sebagai pasangan sudah demikian kuat mengakar, kita sudah melihat mereka menempuh banyak rintangan bersama. Nah di film inilah, kebersamaan itu terasa benar-benar terancam. Sehingga jadi ketegangan sendiri bagi kita yang sudah peduli. Film juga memperlihatkan sedikit soal kejadian bagaimana kedua orang ini bertemu, dan adegan kecil nan-singkat itu menambah bobot yang lumayan untuk memperkuat simpati kita terhadap hubungan keduanya.
Pembangunan film ini bekerja dengan baik, tapi tidak untuk waktu yang lama. Belum sampai pertengahan durasi, aku merasakan ketertarikanku berkurang. Dan itu tepatnya adalah saat cerita yang sudah seperti membangun ke arah yang totally berbeda dari Conjuring terdahulu, tapi ternyata hanya menjadi ‘gak beda-beda amat’. Cerita film ini berdasarkan kasus peradilan pertama di Amerika, dalam hal ini pertama kalinya terdakwa menggunakan ‘setan yang nyuruh gue’ sebagai pembelaan resminya. Film seperti akan mengarah ke membahas hal yang menjadi judul tersebut. Hal yang jadi sensasi banget back then at 80s’s America. Ada adegan ketika Ed dan Lorraine berusaha meyakinkan pengacara untuk mau membantu Arnie mencari keringanan hukum, karena you know, the devil did tell him to do it. Ini kan sebenarnya juga bisa jadi konflik yang menarik. Bagaimana investigator alam goib seperti mereka harus ‘beradu’ dengan polisi dan pengadilan. Bagaimana fakta-fakta kasus bertemu dengan spiritual. Aku pikir, wow film berani banget banting stir kalo bahas ke arah ini. Tapi ternyata memang tidak berani. Build up untuk meyakinkan pengacara tadi ternyata penyelesaiannya sangat gampang – dan malah dibuat komedi sepintas oleh film ini. Mainlah ke rumah, nanti kami kenalin kamu sama Annabelle.
Setelahnya, Ed dan Lorraine tidak pernah dapat kesulitan lagi perihal meyakinkan polisi kalo yang mereka omongkan soal kasus itu adalah kebenaran. Orang-orang hukum itu percaya aja. Bahkan ada adegan ketika polisi beneran minta kerja sama menyelidiki TKP. Film ini tidak berniat mengeksplorasi ‘kejadian nyata’, melainkan tetap berada di penggalian investigasi fantasi yang bahkan gak benar-benar ngasih hal baru. Atau malah ngasih hal yang mengerikan. Ed dan Lorraine jadi semacam detektif menyelidiki kasus, hanya saja penyelidikan mereka gak actually meneliti petunjuk. Melainkan memegang benda dan melihat vision tentang kebenaran. Come on! Vision si Lorraine ini basically cuma ekposisi yang dilakukan dengan cara yang paling gampang. Ini gak ada bedanya ama flashback berisi eksposisi kejadian sebenarnya yang dilakukan oleh Perempuan Tanah Jahanam (2020). Malah di Conjuring ini lebih parah, karena bukan cuma dilakukan satu kali.

Enggan menjadi pembahasan kasus dan psikologis pria yang membunuh karena mengaku kesurupan, karena bakal menyimpang jauh dari franchisenya, film ini toh memang berubah juga. Dari horor rumah hantu ke penyelidikan whodunit dengan unsur cult atau ilmu sihir. Musuh utama mereka kali ini mungkin saja adalah manusia. Untuk stay true dengan jati diri franchise/universenya, film ini mempertahankan apalagi kalo bukan jumpscarenya. Masalahnya adalah keabsenan James Wan memang tak bisa untuk tidak ternotice. Untuk beberapa kali memang Chaves berjuang keras untuk katakanlah meniru gaya Wan, membuat ‘good’ jumpscare dari build up tensi. Tapi tidak jarang juga dia seperti kembali ke jumpscare-jumpscare basic. Chaves akan sering mematikan lampu. Membuat apa yang ada di layar itu jadi susah untuk dilihat. Ini gak sama dengan bermain lewat bayangan. Karena yang dilakukan Chaves di sini adalah betul-betul menutupi pandangan kita, membuat kita susah untuk melihat apa yang sedang terjadi. Kalo kita sedang sial, kita akan menyipitkan mata berusaha mempertajam penglihatan. Dan datanglah jumpscare itu!
Film ini enggak seram. Dan pilihan film untuk membumbui beberapa adegan dengan komedi certainly enggak membantu film dalam kasus ini. Malah membuat kita jadi tertawa juga di adegan-adegan yang mestinya memang didesain untuk seram. Ada waktu saat nonton film ini ketika aku tidak lagi tertawa nervous, melainkan tertawa ya karena yang kulihat itu menurutku lucu. Dan aku gak yakin film ini sengaja melucu atau tidak. Misalnya seperti ketika botol sekecil itu tapi air di dalamnya ternyata bisa dipakai untuk menggambar lingkaran yang cukup besar untuk orang dewasa duduk bersila di dalamnya. Atau ketika melihat tampang smug si pastor penjara begitu kesurupan bombastis itu berhenti. Maan, si pastor pasti ngira dialah yang berhasil menghentikan itu padahal semuanya karena musuh mereka telah berhasil dikalahkan nun jauh di tempat lain. Dan ngomong-ngomong soal musuh, film benar-benar menuliskan karakter ini dengan sangat awkward. Motivasinya gak jelas. Kenapa orang-orang itu yang ia target juga gak jelas, dan kenapa ngalahin dia gampang banget. Kenapa dia begitu ‘kebetulannya’ gak ada di altar padahal bukankah dia sedang melakukan ritual untuk bikin Arne kesurupan?
Mari kembali lagi ke awal ulasan karena aku jadi gak yakin sekarang. Who made you wrote — WHO MADE THIS?!!
Clearly, terburuk di antara tiga film The Conjuring. Film Conjuring yang kedua berhasil mencapai nilai 8 bintang emas, sementara Conjuring yang pertama sukses nangkring di posisi ke-8 di Top Movies of 2013ku. Sedangkan film ketiga ini kayaknya bakal masuk daftar Kekecewaan Bioskopku di akhir tahun nanti. Aku sudah seneng dengan kasusnya. Aku juga suka banget sama Ed dan Lorraine, serta situasi yang harus mereka hadapi dalam cerita kali ini. Hanya saja, film ini mengambil perubahan, tapi tidak benar-benar berani. Sehingga bahasannya jadi dangkal. Dan gak klop. Film berusaha membuat whodunit jadi seram, tapi gagal. Film-film santet Indonesia bisa lebih seram daripada ini.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE CONJURING: THE DEVIL MADE ME DO IT.
That’s all we have for now.
Setelah menyaksikan film ini, apa yang bisa kalian simpulkan dari perbedaan witchraft di Amerika dengan santet atau perdukunan di Indonesia? Apakah di Indonesia pernah ada kasus santet yang dibawa ke peradilan? Bagaimana hukum santet di mata hukum di Indonesia?
Share with us in the comments yaa
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA