SLEEP CALL Review

 

“Nobody is coming to save you”

 

 

Telponan sama gebetan sampai pagi ternyata ada istilahnya. Sleep call. Romantis sih memang, kita yang lelah dan sumpek setelah beraktivitas seharian kini ada di kamar, curhat bertukar cerita, mendengarkan suara orang yang bikin kita nyaman, sampai akhirnya kita ketiduran. At least ku dulu gitu sih, terakhir kali ngerasain ‘sleep call’ itu pas jaman BB. Telponan sampai pagi, karena dulu video belum lancar kayak sekarang hahaha. Tapi film Sleep Call buatan Fajar Nugros ternyata bukan film romantis. Melainkan sebuah thriller psikologis. Genre yang masih langka banget di perfilman Indonesia, tapi juga merupakan genre favoritku. Muholland Drive (2001) karya David Lynch-lah yang membuatku jadi tertarik sama film, membuatku mulai nonton film katakanlah religiously. Dan dalam film Sleep Call ini, aku merasakan ruh dan bentukan cerita psikologis serupa film itu. Jika perjalanan Diane dalam Mulholland Drive sesungguhnya adalah gambaran yang menyingkap true nightmare di balik gemerlap Hollywood, maka Sleep Call sesungguhnya adalah wake-up call bagi orang kecil seperti Dina bahwa no matter what, Jakarta itu keras!

Dua film itu sama-sama tegas dan lugas. Blak-blakan memperlihatkan Jakarta, seperti Hollywood, merupakan tempat mengais kehidupan penuh oleh kesempatan, tapi juga tanpa ampun. They could make us jika kita mau put on an act, atau tempat itu will definitely break us. Dina terlilit utang. Untuk bisa melunasi pinjaman onlinenya, dia terpaksa harus kerja jadi karyawan pinjol. Such an irony. Dina harus bermanis-manis supaya orang mau minjem ke perusahaannya, dan pada gilirannya, dia juga harus galak supaya peminjam takut dan mau membayar hutang mereka. Inilah yang Dina gak bisa. Dia gak bisa marah sama pengutang, karena dia berada di posisi yang sama. Performa kerja yang buruk, relasi dengan sahabat dan sesama karyawan lain yang hambar, dan kebutuhan hidup yang terus menekan, satu-satunya tempat tenang bagi Dina adalah ‘tempat’ yang ia kunjungi setiap jam 10 malam. ‘Tempat’ di mana dia bercengkerama dengan seorang cowok bernama Rama. Dina percaya Rama dan dunia ‘maya’ itulah yang bakal menyelamatkan dirinya. Tapi keadaan semakin buruk, nyawa-nyawa mulai melayang, saat realita menghantam sampai ke dunia aman Dina tersebut.

Dan pada akhirnya, senyum-lah yang justru paling susah dilakukan oleh orang-orang kecil seperti kita dan Dina

 

Seperti yang dilakukannya di film Inang (2022), Fajar Nugros kembali bermain-main dengan peran meta. Bermain dengan ekspektasi dan pengetahuan penonton akan cast yang ia pilih untuk memerankan karakter-karakter. Laura Basuki jadi meta saat memerankan Dina karena di mata penonton Laura Basuki punya image yang kuat sebagai perempuan yang innocent. I mean, di film ini kita nanti akan melihat makhluk Tuhan selembut Laura Basuki harus marah-marahin orang. Dia meletakkan simbol polos di tengah dunia yang keras sehingga bagi penonton, terasa ada lapisan ekstra, misalnya, ketika karakter Dina yang tadinya merasa kesulitan akhirnya bisa meledak marahin orang. ‘Anjing-anjingin’ orang. Efek sebuah kota begitu keras sampai-sampai ‘menghancurkan’ karakternya yang terus ditekan jadi lebih mudah terdeliver kepada kita. Selain Laura dan Dina, film ini juga menyiapkan satu karakter meta lagi, tapi lebih berfungsi untuk komedi. Yang komedi tersebut juga berjalan dua lapis. Pertama dari image aktornya tadi, dan kedua dari eksistensi karakter religius ini dalam dunia pinjol yang keras tersebut.

Inilah yang akhirnya membedakan Sleep Call dengan Mulholland Drive yang menggambarkan ‘politik belakang layar’ Hollywood dan kebimbangan (and later, kejatuhan) karakternya lewat adegan-adegan yang semuanya dream-like dan surealis . Fajar Nugros memilih untuk memotret kerasnya ibukota terhadap jelata dengan lebih gamblang. Seringkali juga menyentil lewat komedi. Polosnya Dina saat menagih utang ke rumah duka.  Celetukan sesama karyawan pinjol – dengan latar beragam – dalam ‘membenarkan’ kerjaan mereka. Komedi-komedi ini membangun ke momen-momen yang lebih kelam, seiring berlanjutnya cerita. Puncaknya, ya adegan-adegan thriller. Sleep Call memotret dengan intens, dan seperti yang diperlihatkan langsung di pembuka (as a stolen prologue), film ini gak ragu untuk jadi berdarah-darah demi memvisualkan efek dramatis dari tema gimana kerasnya kehidupan membuat seseorang jadi ‘edan’. Bahkan adegan yang lebih metafora seperti cerita Ramayana (dengan karakter yang jadi garisbawah karakter-karakter dalam Sleep Call) yang didengar oleh Dina juga tidak dibuat surealis seperti Klub Silencio di Hollywood versi Mulholland Drive. Momen surealis film Sleep Call justru hadir ketika menggambarkan Dina di ruang-ruang amannya bersama Rama. Film mengontraskan dunia ini dengan dunia nyata lewat antara pencahayaan, yang jadi ungu-ungu neon, ataupun dari ruang dan setting yang lebih ‘terbuka’. Film tidak benar-benar menuntun kita, sometimes cerita akan berjalan dengan abrupt, tapi tanda-tanda visual yang dilakukan film tersebut menjadi pegangan yang cukup untuk membuat kita bisa mengerti.

Menjaga hal untuk tetap tampak real dan dekat membuat film ini tentu saja lebih accessible bagi penonton. Sementara latar soal fenomena dating online mampu mengangkat concern yang aktual tentang resiko dan bahayanya dunia maya, latar tentang pinjol-lah yang mampu membuat film ini unik, merakyat, dan terasa urgent. Bahwa, ngerinya, cerita seperti di Jakarta Dina ini, mungkin sedang terjadi di luar sana, yang bahkan tidak terbatas pada Jakarta, atau bahkan pada orang kecil saja. Senyum – marah. Nyata – maya. Kaya – miskin. Duality-duality yang menghiasi cerita seperti membangun kepada komentar sosial yang ingin disampaikan oleh film ini.  Dan karenanya, sesekali kita juga bisa merasakan ada vibe-vibe seperti film Parasite (2019) atau malah Hunger Games merayapi film ini. Ada satu adegan yang benar-benar memperlihatkan jurang antara dua kelas sosial tersebut. Yang memperlihatkan saat si Kaya hanya menganggap si Miskin sebagai hiburan.

Orang-orang miskin harus saling bunuh demi bisa survive. Orang-orang kaya mempekerjakan mereka untuk saling bunuh tersebut. Dan di dunia yang begitu keras membagi manusia ke dalam dualitas ini, kita tidak bisa mengharapkan ada penyelamat yang datang. Pada akhirnya, seperti Dina, kita harus menyelamatkan diri sendiri.

 

Pandangan tersebut saat dibawa oleh film ke dalam perspektif karakternya, membuat cerita menjadi kisah personal seorang perempuan, bukan saja semata soal miskin dan kaya. Duality bertambah satu. Gender. Cerita Ramayana tadi seketika jadi epos usang, yang oleh karakter utama cerita hanya jadi harapan kosong. Film menuai bobot dramatis lebih lanjut dari sini. Semuanya bakal terhimpun menjadi satu penyadaran dan akhir yang dramatis  dari perjalanan karakternya. Sehingga film ini terangkat, bukan hanya sekadar soal ‘ternyata’

WAKE UP!!

 

Karena memang, lubang betmen pada genre psychological thriller ini adalah cerita jadi cuma tentang ternyata si karakternya adalah apa. Lupa memuat journey dan pengembangan inner dari si karakter. Kembali kita ambil contoh Mulholland Drive; film tersebut memang bergerak dalam bangunan untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, siapa sebenarnya Betty dan Diane, dan Rita dan Camilla, dan banyak lagi. Tapi melalui proses pengungkapan dan visualisasi dunia surealis tersebut kita bisa melihat journey satu orang sebagai perspektif utama cerita. Ketika dia menyadari dia sebenarnya ‘apa’, kita memahami kenapa dia bisa menjadi seperti itu. Kita tahu journey naas yang ia alami. Hollywood failed her. Sleep Call, seperti sudah kusebut di awal, punya dasar bentukan cerita yang sama. Di akhir cerita kita sadar – just as Dina sendiri sadar – ‘apa’ sebenarnya Dina. Tapi film tidak stop di sekadar dia ternyata ‘apa’, karena kita di akhir cerita paham journey yang membuat Dina sampai ke titik itu. Kita paham Jakarta, nyata dan maya, broke her. Perubahan karakternya yang kita antisipasi – dari polos jadi beradaptasi dengan kerasnya dunia – jadi punya dramatic irony setelah kita melihat apa yang dia lakukan di akhir.

However, karena itulah aku merasa film ini agak overkill saat membentuk backstory dari journey Dina. Harusnya ada batasan jelas kapan Dina, biar gak spoiler amat katakanlah, ‘rusak’. Membuatnya ternyata sudah mulai ‘rusak’ sedari awal, seperti yang dilakukan oleh film ini, malah mengaburkan journey yang ia alami dalam frame waktu cerita film ini berlangsung. Mengurangi efek dramatis soal tidak ada tempat untuk dia menaruh harapan, karena sekarang kita jadi ragu apakah hubungan dengan Rama selama sleep call itu ada simply karena Dina sudah ‘rusak’ atau itu adalah bentukan yang kompleks dari proyeksi dirinya yang berjuang mengarungi dunia nyata yang keras dan kejam – which is I believed yang inilah yang sebenarnya diniatkan oleh film. Tapi ya, film ini sendirinya jadi agak sedikit terlalu terlena dengan elemen thriller dari karakter utamanya.

 

 




Film ini adalah apa yang terjadi ketika filmmaker yang tahu persis apa yang mau dibicarakan, yang sudah mulai punya bentuk khasnya, tapi tetap membuka diri untuk tantangan baru. Tahun lalu Inang dibuatnya sebagai sebuah elevated horor, tapi agak kurang pada galian psikologisnya. Film kali ini, bukan saja beneran sebuah psychological thriller, tapi menurutku film ini punya keunikan untuk bisa menantang Mulholland Drive. Keputusan untuk membuat momen-momen paling naas karakter lebih gamblang alih-alih surealis mampu membuat film terasa urgent dan lebih mudah konek pada penonton kita. Beat-beat cerita dan journey karakternya berhasil terasa dramatis dan intens. Film ini juga menggunakan komedi dengan baik untuk memperkuat delivery temanya. Genre ini naturally punya lubang jebakan, dan film ini berhasil melangkahi itu karena ini bukan sekadar cerita ‘ternyata’. But I did feel film ini agak overkill dengan backstory sehingga mengurangi efek dramatis dari journey psikologis karakternya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SLEEP CALL

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah penceritaan psikologis seperti yang dilakukan oleh film ini mudah untuk diikuti, atau sebaliknya?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



PUSPA INDAH TAMAN HATI Review

 

 

“An original is worth more than a copy”

 

 

Perkara remake/adaptasi modern dari cerita remaja 80an ternyata masih belum usai. Boy yang sementara waktu bertengger di puncak, mendapat tantangan dari Galih dengan cerita keduanya. Puspa Indah Taman Hati, sekuel dari Gita Cinta dari SMA (2023), hadir dengan suguhan cerita yang lebih sebagai sebuah drama personal dari para karakter sentral. Dunianya memang masih tetap nolstalgia 80an, dengan musik-musik jadul yang diarahkan untuk lebih merasuk ke dalam ruh penceritaan. Namun karya Monty Tiwa kali ini mengusung gagasan yang lebih modern sebagai penyelesaian ‘baru’ dalam konflik ceritanya. Puspa Indah yang memang sudah revolusionary pada zamannya, jadi semakin remaja saja. Bahasan yang boleh dikatakan lebih kompleks tersebut, juga lantas membuat karakter-karakternya terasa lebih real. Menariknya, jika dibandingkan dengan Catatan si Boy yang tayang hanya beberapa minggu sebelumnya, dua film ini terasa seperti agak mirip; karakter utamanya dihadapkan pada pilihan yang sama, dan pilihan mereka masing-masinglah yang jadi penentu. Pembeda yang menunjukkan betapa cerita-cerita ini punya identitas karakter dan gagasan yang kuat. Dan yang paling penting, jika disandingkan dengan Gita Cinta, Puspa Indah sendiri benar-benar jadi sebuah konklusi yang inspirasional bagi perjalanan hidup (bukan hanya cinta) seperti Galih.

Galih dalam Puspa Indah adalah mahasiswa seni yang mencoba membantu menghidupi keluarganya dengan jadi penyanyi. Galih dan ibunya kini tinggal ngontrak di Jakarta. Karir musiknya dapat titik terang tatkala Galih ditawari album solo oleh produser, tapi lagu yang dia nyanyikan bukan lagi lagu karangan sendiri. Melainkan ‘cover’ dari lagu-lagu pop milik penyanyi lain. Lagu-lagu yang bahkan bukan genre yang biasa ia bawakan. Sejalan dengan itu, di kampus, Galih bertemu perempuan bernama Marlina, yang ternyata juga kesengsem sama Galih. Mereka berdua memang jadi pacaran. Tapi tidak tanpa konflik. Karena Galih yang punya pengalaman pahit dalam urusan asmara terkait kelas sosialnya (Galih trauma berat ditolak oleh Bapak Ratna di film pertama), mulai merasa insecure yang berdampak pada karya dan sikap kesehariannya. Marlina pun mengalami gejolak bimbang yang sama karena dia akhirnya mengetahui bahwa wajahnya miriiiiip banget sama Ratna.

Prilly jadi dua, Prilly La-two-consina.

 

Kalo disederhanakan sih, ceritanya memang relate banget. Galih ketemu perempuan yang mirip mantannya. Bukankah memang banyak kejadian seperti itu; kita ketemu orang baru yang ada sesuatu dari dirinya yang membuat kita teringat sama mantan. Atau malah sering juga kan, kita ngerasa kita punya tipe-tipe tertentu, bahwa orang-orang yang pernah kita taksir somehow punya wajah yang mirip. Film ini hanya meng-exaggerate keadaan itu dengan membuat Marlina dan Ratna, both dimainkan oleh Prilly Latuconsina. Aku sendiri juga pernah ngerasain, baru-baru ini malah. Kak Arla yang main juga di Gita Cinta dari SMA mirip banget sama seorang cewek who broke my heart. Maka, selain jadi ngefans sama Arla, aku sebagai cowok Cancer – zodiak yang terkenal susah move on – lantas relapse parah. Aku nyoba ngontak lagi si cewek yang aku tau gak bakal sudi balas messages atau WA ku lagi haha.. Itulah, film Puspa Indah yang bersetting 80an ini sebenarnya sedekat itu. Arahannya pun sebenarnya gak ribet-ribet amat. Film tetap mencoba ‘memancing’ kita ke pilihan Tim Marlina atau Tim Ratna. Naskah Alim Sudio-lah yang menjaga film untuk tetap menghasilkan bahasan yang berbobot.

Marlina dan Ratna bisa kita lihat sebagai Masa Sekarang/Masa Depan dan Masa Lalu bagi Galih. Dan kita tahu bahwa masa lalu, bagaimana juga, penting bagi setiap orang, karena masa lalu-lah yang membentuk jadi seperti apa kita sekarang. Sebagian besar orang (termasuk aku) bahkan menganggap masa lalu akan selalu menang. Tapi Galih adalah seorang karakter tersendiri. Dia boleh saja naksir sama Marlina, karena wajah Marlina mirip sama cinta pertamanya, tapi siapa yang akhirnya dipilih oleh Galih sudah seharusnya diputuskan lewat journey personal Galih. Naskah paham hal ini, karena itulah film menghadirkan kembali Ratna di dalam cerita Galih.  Karena itulah film ini juga tidak ketinggalan mengangkat soal kerjaan Galih sebagai penyanyi. Tema yang mengikat kemelut Galih dengan kerjaannya dan Marlina dengan keinsecure-annya dimiripin sama Ratna,  hingga akhirnya menjadi keputusan Galih memilih siapa di antara dua perempuan itu, adalah soal menjadi diri sendiri.

Statement film dari journey Galih tersebut, menariknya, juga bertindak sebagai gagasan meta. Mengingat film ini sendirinya juga cerita dari masa lalu. Katakanlah, sebuah kopian, seperti lagu-lagu dalam album pop sukses yang dinyanyikan Galih yang bukan original karyanya sendiri. Marlina dan Ratna adalah pembuka mata, bahwa kemiripan mereka bukan lantas berarti Marlina adalah kopian dari Ratna, hanya karena Galih lebih duluan kenal sama Ratna. Bahwa meskipun dari luar ada kemiripan – atau malah disuruh untuk mirip, siapa sebenarnya diri kita, itulah yang membuat kita original. Siapa sebenarnya diri kita, itulah yang harus kita tonjolkan, yang harus tetap dipegang. Maka akhirnya yang dipilih Galih adalah yang membuat dirinya tetap jadi diri sendiri.

 

Cerita yang fokus pada pilihan yang harus dibuat karakter membuat film ini jadi lebih enak untuk diikuti. Karena perubahan pada karakter-karakternya itu lebih mudah terlihat. Yang tentu saja juga berimbas kepada lebih terbukanya ruang untuk para pemain mengeksplorasi akting mereka. Yesaya Abraham, misalnya, di film ini Galih bukan lagi karakter yang lebih banyak diam dan tertekan. Galih di film ini tampak lebih optimis dan berdeterminasi. Flaw karakternya juga lebih kerasa. Kita merasakan dramatic irony pada Galih saat karirnya sukses, tapi membuatnya jadi sedikit songong. Di titik itu kita mengerti Galih yang sukses bisa jadi begitu besar kepala, karena dia punya ‘trauma’ di masa lalu terkait derajat sosialnya. Lucunya, film meng-acknowledge ‘trauma’ Galih tersebut lewat nada yang cukup playful. Seperti ngebecandain Galih. Secara penampilan adegan musik, Yesaya memang selalu tampak tidak-terlalu nyaman disuruh akting bernyanyi. Tapi kini kecanggungannya itu – yang bahkan bertambah karena Galih harus berjoget ala Chrisye – tampak make sense secara inner karakter. Dua karakter yang kepribadiannya bertolak belakang, jelas juga bukan tantangan peran yang enteng bagi Prilly Latuconsina. Marlina dan Ratna berhasil dia hadirkan dengan kekuatan dan kelemahan pribadi masing-masing. Sehingga kita yang menonton pun sering juga terbawa perasaan, kadang kasian ama Marlina dan mendukung Ratna, kadang kasian ama Ratna dan annoyed sama Marlina yang meski lebih terbuka tapi insecure-nya juga gak kelar-kelar

Ternyata bukan Marlina doang, ada lagi yang wajahnya mirip Ratna hahaha

 

Di sinilah menurutku arahan kurang tegas. Secara naskah sebenarnya sudah cukup bagus. Porsi sudut pandang yang balance memang harus dan menjadikan cerita lebih menarik, tetapi semestinya juga tidak mengurangi momen dramatis ketika karakter utama membuat pilihan. Puspa Indah terasa kurang stay di Galih dan agak sedikit terlalu lama mengulik di perasaan Marlina. Karena dari naturenya sebagai film kelanjutan dari Gita Cinta, Puspa Indah adalah soal Galih. Soal perjalanan Galih menentukan pilihan, baik itu karirnya, maupun asmara. Bukan soal Marlina yang bersaing cinta dengan Ratna, atau sebaliknya. Momen pembelajaran Galih memilih apa, atau siapa, dalam film ini tidak diperlihatkan terlalu dramatis. Oleh editing dan cara bercerita film pun, kepentingan perspektif Galih tersebut malah jadi terasa nomordua setelah Marlina dan Ratna ‘meluruskan masalah’ di antara mereka. Film ini banyak membentuk momen-momen tersebut dengan desain untuk menghasilkan ‘ternyata’ alih-alih progres dramatis dari sebuah pembelajaran yang dialami oleh karakter, terutama Galih. Beberapa adegan juga terasa kurang sekuat yang seharusnya, lantaran kadang exit adegannya kelamaan. Misalnya ketika adegan Marlina curhat kepada Ibu Galih; Marlina khawatir jangan-jangan Galih suka dia hanya karena dia mirip Ratna. Momen curhat tersebut terasa agak panjang dan kurang berakhir tegas karena film memilih untuk mengakhiri adegan dengan membahas masalah lain, yakni soal Ibu Galih kangen Bandung.

Film ini juga basically tidak berbuat banyak untuk memperbaiki kekurangan yang kita temukan pada film pertama. Yakni kesan artifisial. Bahasa baku dan lagu jadul, konsep yang dalam dua film ini punya sumber masalah yang sama. Para pemain yang merasa asing dengan konsep tersebut. Karakter-karakter Puspa Indah, secara umum, punya penulisan yang lebih baik. Fungsi dan relasi mereka juga hadir dengan lebih natural. Lebih lancar. Delivery-nya saja yang seringkali masih terasa agak lucu. Adegan-adegan musik juga dilakukan, secara teknis, dengan lebih baik dan tampak lebih meriah masuk ke dalam cerita. Film ini di awal udah kayak mau full-blown musical, dengan nyaris setiap adegan ada nyanyi-nyanyinya. Adegan-adegan nyanyi nya cakep, hanya kesan polesan studio saja yang masih terasa. Like, enggak semua adegan nyanyi perlu polesan, beberapa seperti momen musikal yang sureal, ataupun Galih rekaman dan syuting video klip memang tidak mengapa jika dilakukan dengan polesan. Tapi ada juga adegan-adegan seperti ada Marlina nyanyi di Restoran, yang mestinya lebih kena jika ditampilkan senaturalnya seseorang yang bernyanyi sehari-hari.

 

 




Cerita jaman dulu enak ya, konklusinya tu ada, gitu. Meskipun bersambung, tapi dua filmnya terasa seperti cerita yang berdiri sendiri. Film kali ini, melanjutkan Gita Cinta dari SMA, dengan sebuah perjalanan karakter yang menutup dengan memuaskan. Karena pilihan si karakter itu benar-benar jadi akhir perkembangan dirinya. Sendirinya, film ini hadir dengan statement atau gagasan, yang membuat dirinya tidak sekadar sebuah buatan-ulang. Film ini pun berjuang jadi diri sendiri, seperti karakter-karakternya. Kalo mau dibandingkan lebih lanjut, film ini terasa lebih kompleks dibandingkan Gita Cinta. Karakter-karakternya terasa lebih real. Dunianya yang penuh musik itu pun terasa lebih believable, walau kesan artifisial itu acapkali masih terasa.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for PUSPA INDAH TAMAN HATI

 




That’s all we have for now.

Galih dan Marlina pacaran main skate bareng teman-teman. Apakah date ala 80an impian kalian?

Share cerita kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian jadi pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



TALK TO ME Review

 

“Death is the wish of some, the relief of many, and the end of all”

 

 

Kematian – duka – drugs. Lingkaran setan depresi yang merundung remaja itulah yang digambarkan oleh film horor buatan sutradara kembar asal Australia, Danny dan Michael Philippou. Debut penyutradaraan mereka ini ternyata enggak bisa dianggap kaleng-kaleng! Talk to Me punya nafas horor yang kental, disertai pula dengan konsep dan penyimbolan yang menarik. Sekilas ini terlihat seperti another jelangkung-like story, you know, cerita manggil-manggil arwah lalu lantas kesurupan. Alih-alih boneka atau papan ouija, film ini menggunakan patung tangan. Para anak muda karakter cerita nanti bukan hanya kesurupan, tapi kecanduan kesurupan. Begitulah film ini menjadikan dirinya unik, tangan pemanggil arwah dijadikan seperti perumpaan drugs – candu tempat anak muda melarikan diri dari membicarakan masalah. Dalam hal ini duka karena kehilangan orang yang dicinta. Set up dan paruh awal film ini memang efektif sekali membuat kita terpaku menatap layar (sambil sesekali jantungan oleh jumpscare). Aku pengen suka film ini, secara teknis definitely one of the decent horror out there. Tapi di paruh akhir, aku duduk di sana merasa jengkel. Oleh karakter utamanya, dan oleh cerita yang berkembang dengan aneh.

Remaja-remaja dalam Talk to Me berhura-hura. Berpesta. Di rumah salah satu dari mereka yang kebetulan orangtuanya lagi pergi, atau yang cukup ‘open minded’ untuk ngebolehin mereka bersuka ria. Mereka lantas berkerumun nyobain satu hal baru ini. Bergantian nyicipin sensasi ketegangan dan menyerempet bahaya, tapi sekaligus juga ngasih kelegaan dan kepuasaan tersendiri, karena mereka telah berani mencoba. Mengalahkan tantangan sosial sehingga akhirnya mereka semakin diterima di dalam lingkaran ‘anak-anak keren’. Hal baru tersebut adalah sepotong patung tangan yang bisa membuat siapa saja yang menggenggamnya (serupa bersalaman) dapat melihat roh gentayangan, entah itu hantu atau setan. Bahkan ketika anak-anak remaja itu mengizinkan, roh itu bisa masuk ke dalam tubuh mereka. Sembilan-puluh detik adalah batas waktu yang tak boleh dilanggar, selewat itu ritual harus dihentikan jika tidak mau si empunya tubuh kesurupan selamanya. Tubuhnya bakal jadi milik si roh yang diizinkan masuk. See, kata kuncinya adalah berbahaya. Perbandingan permainan horor tersebut dengan narkoba memang jelas ditarik oleh film. Dalam salah satu adegan montase kita melihat para karakter remaja cerita ini udah kayak sedang teler, bergantian mencoba tangan tersebut, berkali-kali. Mereka bersenang-senang dan seperti udah mabok beneran. Permainan berbahaya itu esensial bagi pergaulan karakter remaja di film ini. Ada yang melihatnya sebagai ‘syarat’ untuk diterima. Melihatnya sebagai cara untuk populer. Ada yang menjadikannya sebagai outlet untuk melupakan masalah. Karakter utama kita, Mia, melihat permainan itu sebagai ketiganya sekaligus.

Mia kehilangan ibunya dua tahun yang lalu. Sang ibu bunuh diri, tapi Mia masih memendam grief luar biasa. Kita melihat di balik keceriaannya, di balik hubungannya yang tampak akrab dengan kakak-beradik Jade dan Riley, Mia belum berdamai dengan tragedi tersebut. Dia masih gak mau percaya akan pilihan naas ibunya, dan deep inside masih terus berusaha mencari jawaban. Namun sebagaimana remaja yang lagi rentan, rapuh, tapi pengen terlihat kuat, Mia mencari jawaban di tempat lain. Bukannya membicarakan secara dewasa dengan ayah, Mia mencari penenangan diri lewat, yah, hal-hal seperti drugs atau permainan horor ‘bicara dengan tangan’ tadi. Di antara teman-temannya, Mia memang yang paling semangat mencoba main ini. Ketika Riley, yang paling kecil di antara mereka, mencoba patung tangan, Mia yang menyangka Riley kesurupan arwah ibunya. Ini menyebabkan Riley melewati batas waktu, sehingga nyawanya kini terancam. Mia harus bertanggungjawab dan menyelamatkan Riley, dan itu berarti dia harus mengkonfrontasi penyebab ibunya bunuh diri.

Berjabat tangan dengan maut

 

Urusan horor, film ini memang gak malu-malu. Duo sutradara kita paham bahwa ini kesempatan bagi mereka to show they are a big deal here in this genre. Dan passion itu memang kelihatan. Talk to Me punya momen-momen horor yang intens. Adegan kesurupannya adalah campuran antara chaos dan fun. Pendekatan yang mereka ambil punya reference ke horor seperti Evil Dead, dengan penampilan yang over-the-top dan level gore yang bakal sukses bikin kita meringis. Adegan Riley membentur-benturkan wajahnya ke meja niscaya bakal jadi tantangan tersulit kalo dimasukin ke video ‘don’t look away challenge’. Dan bukan cuma sebatas horor fisik, film ini juga mengerti membangun suspens untuk horor yang lebih emosional. Horor yang lebih ‘mental’. Ruh-ruh yang memasuki tubuh remaja-remaja itu akan membuat mereka bertindak atau mengatakan hal yang berhubungan dengan ketakutan atau hidup mereka. Seringkali terciptakan kondisi awkward yang begitu ekstrim saat hantu membocorkan ‘rahasia’ hostnya. Saat membuat host yang religius melakukan tindakan paling bikin setan ngakak. misalnya. Selain itu, film ini jadi horor mental karena ada banyak juga adegan ketika Mia merasa ambigu. Apakah dia benar melihat setan, atau dialah yang bertingkah aneh. Apakah benar dia cuma sekali ‘menyentuh’ ganja. Apakah roh yang bicara kepadanya itu memang hantu ibunya, ataukah justru hantu jahat lain yang mencoba menipunya. Or worse; semuanya memang hanya karena kepalanya saja yang enggak beres.

Mia harusnya karakter yang menarik dengan banyak konflik personal regarding tragedi di masa lalu. Duka yang belum mampu dia hadapi, sehingga dia terjerumus pelampiasan yang enggak benar. Tapi naskah membuat karakter ini nyaris unbearable. Mia, buatku, malah jatohnya terasa annoying karena keambiguan, misteri yang menimpanya tidak pernah benar-benar dibuat untuk menempa development Mia. Begini, jika melihat dari build up di paruh awal, journey Mia sepertinya diarahkan tentang mengikhlaskan ibu. Mia seperti harus belajar percaya bahwa ibunya ‘baik-baik saja’, bahwa beliau benar bunuh diri karena setiap orang punya masalah dan terkadang beberapa orang menganggap kematian sebagai sebuah harapan. Itulah sebabnya kenapa ada adegan Mia ‘ketemu’ kanguru yang sekarat di tengah jalan. Riley yang bersamanya di saat itu mengerti bahwa kanguru tersebut harus mereka bantu. Kanguru butuh Mia untuk menghilangkan penderitaannya, alias si kanguru meminta Mia untuk menggilas dirinya. Tapi Mia gak tega. More than that, Mia gak tahu betapa sakralnya kematian. Jika Mia tahu, dia tentu tidak akan sesemangat itu main manggil hantu-hantuan. Yang Mia lakukan adalah, pergi meninggalkan kanguru. Sekali lagi menunjukkan bahwa dia lebih suka untuk ‘kabur’ dari masalahnya. Nah, dari ‘kesalahannya’ tersebut, maka pembelajaran bagi Mia berarti harusnya adalah menyadari bahwa kenyataan harus dihadapi, meski itu berarti menerima bahwa ibunya bunuh diri karena bagi ibunya itu satu-satunya cara untuk bebas.

Talk to me adalah ‘mantra’ yang diucapkan saat anak-anak itu sudah siap untuk melihat hantu dengan bantuan patung tangan. Dikaitkan dengan konteks cerita ini, kata-kata tersebut juga dapat berarti pesan untuk kita bahwa suatu masalah ya harus dibicarakan. Masalah sulit dalam hidup remaja salah satunya adalah soal kematian, for kehilangan orang yang disayang memang bisa membuat anak muda terjerumus ke lingkaran setan. Film ini nunjukin bahwa momok sebenarnya bukanlah kematian, karena kematian bisa berarti berbeda-beda bagi orang. Beberapa bahkan menganggapnya jalan keluar. Momok sebenarnya justru adalah hal yang bisa orang lakukan jika dia belum berdamai dengan kematian tersebut.

 

Tapi momen pembelajaran Mia tidak kunjung datang. Jikapun ada, cara film menceritakannya membuat momen tersebut hanya jadi sebuah shock value. Untuk tidak ngespoil terlalu banyak; momen Mia memilih membunuh Riley atau tidak oleh film ini hanya dijadikan kejutan buat kita. Padahal harusnya kita dibuat mengerti kenapa Mia memilih hal yang akhirnya dia lakukan.  Harusnya kita ada di dalam kepala Mia saat itu, bukannya berada di dalam mobil yang sedang melaju. Karena di momen itulah Mia baru benar-benar bergulat dengan kematian, dengan topik yang selama ini ia hindari karena dia takut berhadapan dengan kenyataan tentang ibunya. Personal Mia bergulat dengan pertanyaan apakah Riley juga wish for a death, bisikan hantu ibunya mewakili apa yang ingin dia yakini sedangkan kenyataan mewakili apa yang butuh untuk dia percaya. Secara kejadian kulit luarnya pun, aku merasa gak yakin lagi soal apa yang ingin film ini sampaikan selain bikin kita surprise. Sampai di rumah saat pulang dari menonton film ini di bioskop, aku masih bingung sama pilihan Mia karena menurutku gak make sense dengan apa yang sebelumnya ini dia lalui. Like, dia baru saja ninggalin ayahnya bersimbah darah untuk menipu sahabatnya, supaya bisa membunuh adik si sahabat, tapi setelah capek-capek jalanin rencana itu, Mia malah tidak follow thru her plan. Kenapa dia memilih ini. Apa pengaruh pilihannya ini pada journey Mia yang telah dibangun? Aku gak bisa menjawab itu lantaran paruh akhir film seperti melipir dari build up di awal dengan ngasih banyak ambigu tapi terkesan trying too hard supaya kita bersimpati pada karakter Mia. Dan oh boy, bersimpati kepadanya adalah hal yang benar-benar susah.

Real definisi ‘gak percaya sama orang hidup”

 

Akting Sophie Wilde sebenarnya total. Namun aku lebih suka Mia saat dia kesurupan ngejahilin Riley, Jade, dan teman-teman lain ketimbang Mia dengan mode sok histeris dirundung grief dan hantu. Mia ditulis sebagai karakter yang benar-benar cari masalah, kemudian sok menjadi yang paling terluka. Misalnya, dia sendiri yang bersikeras membolehkan Riley yang masih terlalu muda untuk mencoba permainan patung tangan, tapi kemudian dia ‘mengajak’ teman yang lain untuk ikutan ngaku bersalah. Relasi film sebenarnya didesain cukup kompleks. Sahabat Mia, Jade, punya pacar yang merupakan mantan Mia (eventho mereka cuma pernah pegangan tangan). Mia yang bersikeras mereka sekarang cuma temenan itu, oleh naskah yang mendesain karakter Mia sebagai orang yang menghindar membicarakan masalah, malah membuat Mia terkesan licik dengan mengajak si pacar nginap di rumahnya – saat mereka semua terguncang oleh kejadian yang menimpa Riley. Saat hal menjadi lebih intens, Mia yang harusnya sudah belajar untuk konfrontasi masalah, lebih memilih untuk percaya hantu ketimbang orang hidup. Buatku, ini membuat aksi-aksi Mia sebagai pilihan dogol yang membuat aku susah merasa relate dan peduli kepada Mia. Aku malah lebih bersimpati kepada karakter Jade, karena stake kehilangan Riley itu lebih kuat terasa. Mia gajelas bakal kehilangan apa jika hantu berhasil ngeklaim tubuh Riley.

Bahkan sekuen yang mengantar kita kepada penutup cerita yang harusnya keren dan sureal, terasa hampa karena Mia hanya berakhir sebagai karakter yang ‘oh ternyata dia sekarang jadi begini” alih-alih membuat kita menyelami kenapa dia harus berakhir seperti itu. Development Mia seperti putus di tengah dan film melanjutkan ceritanya untuk jadi kisah downward spiral seorang karakter yang sikap dan pilihannya enggak simpatik. Developmentnya, pembelajarannya yang harusnya bikin kita jadi berbalik peduli kepadanya, tapi itu juga yang diputus. Makanya, aku di awal tulisan ini bilang pengembangan film ini aneh.

 

 




Paruh akhir film ini tidak harus seperti itu. Film ini punya konteks soal kematian yang dibungkus oleh ide dan konsep horor yang menarik. Yang sebenarnya serupa dengan cerita-cerita pemanggilan ruh tapi juga terasa berbeda berkat karakter dan situasi yang dihadirkan. Protagonis harusnya adalah karakter yang simpatik dan memancing dramatic irony karena kita melihat dia terus melakukan pilihan yang salah. Penyadaran dia di akhir harusnya jadi momen besar. Tapi film membelokkannya hanya menjadi sekadar kejutan. Tragisnya tidak pernah benar-benar berkesan karena si karakter kehilangan development yang telah dibangun di paruh awal. Sehingga meskipun aspek horornya menyenangkan dan super intens, kesenanganku menonton ini berkurang karena karakternya flat out annoying. Go talk to my hand aja sono! 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for TALK TO ME

 




That’s all we have for now.

Mia bercerita dia punya recurring nightmare yaitu mimpi melihat dirinya gak punya pantulan di cermin. Apakah kalian juga punya mimpi buruk yang terus berulang? Kalo aku, aku paling sering mimpi ketemu kembaran seseorang dan aku harus memilih mana yang asli, mana yang hantu.

Share cerita kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



CATATAN SI BOY Review

 

“There are things worth fighting for”

 

 

Kalo kita remaja di 80-90an, maka kita enggak akan kehabisan sosok idola untuk dijadikan panutan. Buat yang rebel, si Roy. Untuk yang puitis ada Galih. Yang lebih merakyat punya Lupus. Dan buat remaja kelas elit, anak-anak gaul ‘jaksel’, ada Boy. Mereka semua populer, baik itu bukunya, filmnya, bahkan keduanya. Saking populernya, kita yang di tahun 2023 pun bisa berkesempatan untuk berkenalan dengan mereka. Balada si Roy, Gita Cinta dari SMA, dan kini Catatan si Boy diremake sebagai film bioskop. Namun berbeda dengan yang lain, Hanung Bramantyo tidak membawa kita ke era karakternya. Melainkan justru Boy dan kawan-kawan yang ditempatkan di kehidupan modern. Karakter-karakter ikonik itu diremajakan. Referensi budaya popnya diperbarui. Ceritanya dipoles sedikit supaya lebih sesuai. Langkah yang beresiko, tapi tak pelak menarik. Karena let’s be honest, Roy dan Galih tidak mencapai kepopuleran yang setara saat tampil di 2023. Catatan si Boy modern hadir dengan strategi yang tidak sepenuhnya mengandalkan nostalgia, meski tetap memegang kuat ruh dan identitas karakter dan ceritanya.

Sosok Boy digambarkan sebagai sosok pemuda yang sangat ideal. Kaya, tampan, jagoan, baik hati, dan tak ketinggalan ibadahnya. Sosok itu kini didapukkan kepada Angga YunandaSuch a big shoes to fill bagi Angga karena Boy sudah demikian ikonik dimainkan oleh Onky Alexander. Tapi buatku, dan kurasa juga bagi penonton first-timer lain, Angga paling tidak berhasil membuat Boy berbeda dari karakter remaja populer lain. Boy dimainkan oleh Angga, penuh oleh gestur confident. Gestur mantap dan percaya diri yang hanya bisa muncul ketika kita tahu kita punya semua, kita bisa semua. Si Boy ini bahkan bisa membuat dosen menunda tes demi dirinya. Karakter serbamampu yang disukai semua orang, karakter yang sesempurna dan seideal ini tentu berpotensi jadi masalah pada cerita. Everything will be easy for him. Tapi sebagai jualan, apa boleh buat, mimpi selalu laku untuk dijual. Di samping itu, naskah juga sudah menyiapkan masalah universal untuk dihadapi oleh Boy. Masalah yang semua orang, pasti bisa relate. Masalah cinta. Boy punya pacar bernama Nuke, dan dia gak mau kehilangan Nuke. But reality nukes his hope. Ayah Nuke yang pejabat gak setuju anak gadisnya bergaul dengan anak bisnisman, sehingga Nuke lantas dikirim kuliah ke luar negeri. Tinggallah si Boy, setelah dighosting dia mencoba move on dengan asmara baru dengan Vera si ‘bule pengkolan’ (yang modusnya mobil mogok melulu hihihi). Boy, yang harus belajar bukan hanya untuk memperjuangkan sesuatu yang penting dalam hidupnya, tapi juga belajar mengenali apa tepatnya hal penting tersebut.

Saking confident-nya pembawaan, kadang aku ngeliat Angga di sini kayak lagi meranin Kotaro Minami

 

Cerita Catatan si Boy terasa luas. Babak satunya aja udah kayak keseluruhan cerita Gita Cinta dari SMA. Orang pacaran, ditentang orangtua, lalu berdamai dengan perpisahan. Di babak ini Hanung dan naskah Upi juga menanamkan bibit untuk babak penyelesaian nanti, yang tidak dipunya oleh film originalnya. Pembahasan Boy memperjuangkan nama baik keluarganya. Itu jadi kelebihan film ini, secara objektif punya penyelesaian yang melingkar, dibandingkan dengan film originalnya yang enggak membahas lagi tudingan ayah Nuke yang membuat Boy dan Nuke harus pisah di awal. Film jadi agak differ dari original karena ingin punya ruang untuk memberikan development, journey, kepada karakter Boy yang sempurna. Sentuhan baru yang diberikan itu cukup manis dan kekinian, membuat judul film ini punya terjemahan baru. Gak lagi sekadar nulis diari, karena toh nulis diari sudah jarang dilakukan oleh anak muda masa kini.

Asmara Boy dengan Vera penting untuk terjadi, karena dari situlah Boy belajar soal perjuangan dan cinta.  Bahwa ada hal yang pantas diperjuangkan, tapi ada juga yang tidak. Sehingga Boy juga harus belajar melepaskan. Orang bilang jika mencintai sesuatu, lepaskanlah, maka ia akan kembali. Itulah yang terjadi. Boy telah mengalami kehilangan. Lalu belajar untuk melepaskan, melihat hal yang lebih tepat untuk diperjuangkan. 

 

Yang seru ya babak keduanya. Romansa baru dan tantangan baru dalam kehidupan Boy membuka kesempatan bagi cerita untuk mengeksplorasi dunia. Catatan si Boy versi modern melakukan hal yang tidak berhasil dilakukan dengan baik oleh Gita Cinta maupun Balada si Roy. Mengembangkan dunia cerita. Kehidupan di rumah, aktivitas di kampus, hingga gemerlapnya kehidupan malam jetset, semuanya mengalir tanpa membuat cerita kehilangan tempo. Hubungan Boy dengan adiknya di rumah, Ina (diperankan energik oleh Rebecca Klopper), buatku terasa fresh di masa sekarang karena sudah jarang ada cerita dengan karakter seperti Lupus dan Lulu, cerita yang membuat abang dan adek ceweknya jadi sahabat. Kayaknya modelan keluarga dengan anak sepasang ini memang bentukan dari era 80-90an yang lagi ‘tren-trennya’ KB ya gak sih? Yang jelas, Ina dan Boy sudah seperti sahabat, Boy banyak terbantu oleh Ina soal pacar, sehingga kadang terasa sahabat-sahabat Boy jadi kurang diperlukan; jadi kurang berperan.

Tentu, bukan Angga Yunanda saja yang sebenarnya harus mengisi ‘sepatu’ yang cukup besar. Karakter-karakter dalam cerita Catatan si Boy yang lain juga sama ikoniknya. Ada Andi, sobat deket sekaligus teman sparringnya dalam bertinju. Ada Emon, yang dulu sudah membekas banget dimainkan oleh alm. Didi Petet. Lalu tentu saja Vera, yang bakal menjungkirbalikkan kehidupan asmara Boy dengan gaya hidup dan masa lalunya. Bintang-bintang muda yang memerankan mereka kali ini – Michael James, Elmand, Alyssa Daguise – aku yakin mencoba sebaik kemampuan mereka untuk menghidupkan karakter-karakter ini. Naskah kali ini toh punya lebih waktu untuk mengeksplorasi mereka, ngasih screen time lebih. Pergaulan Boy dengan mereka-mereka ini sebenarnya asyik. Di kampus, misalnya, film memperlihatkan adegan-adegan ospek yang ngasih waktu para aktor ini bersinar dengan karakter versi mereka. Misalnya, ada satu adegan yang personally aku seneng banget, yaitu battle dance antara senior dan junior, yang melibatkan dua juara Gadis Sampul!! Carmela dan Diandra Agatha, ya bahkan karakter pendukung lain pun juga diberikan kesempatan to do something more. Film ini bahkan memasang dua pemain film original, ke dalam peran yang mestinya bisa ‘fun’ seperti Dede Yusuf yang dulunya Andi kini jadi ayah Boy, ataupun Meriam Bellina yang dulu jadi Vera dan kini jadi mamanya Vera.   Dunia Boy hidup, dipenuhi oleh karakter-karakter yang fun dan ngasih momen-momen komedi. Walaupun memang fungsi mereka sebagai pendukung seharusnya bisa dipertegas lagi.

Andi, misalnya, di film jadulnya, Andi jadi the go-to-guy bagi Boy. Ada masalah, ngadunya ke Andi. Andi tahu busuk-busuknya Boy. Sedangkan pada film kali ini, Boy lebih sering ke Ina, dan meskipun memang mereka diperlihatkan selalu saling dukung, Andi lebih terkesan seperti teman nongkrong saja. Makanya momen ketika Andi walau telah dilarang Boy tapi tetap ngumpulin ‘pasukan’ untuk membalas perlakuan mantan pacar Vera kepada Boy, terasa agak ‘berlebihan’. Tidak segenuine film aslinya. Emon, di film ini seperti kehilangan fungsinya sebagai orang yang ngasih tau cewek itu seperti apa kepada “Mas Boy”nya, dan sekarang hanya kayak pure comedic relief. Itupun dialog-dialognya ganjil karena Emon selalu menutup omongannya dengan ‘alias’; dengan menjelaskan maksud dari kata-kata yang ia ucapkan. It was just unnecessary, seperti kalo kita ngejoke, terus ngejelasin joke kita maksudnya apa. Kalo Vera, jatohnya flat. Karakter ini aslinya adalah abu-abu – dia sebenarnya baik, cuma beberapa nilai yang ia percaya gak cocok dengan Boy, maka jadilah konflik dan ke dia sendiri juga ngefek. Di film versi ini, emosi Vera seperti belum sampai ke sana. Dia justru terlihat seperti cewek yang nyusahin dan tidak bisa ditebak maunya. Lebih susah untuk kita bersimpati kepada Vera yang sekarang. Yang dapat momen emosional lebih banyak bahkan daripada film pertamanya justru Syifa Hadju yang berperan sebagai Nuke. Kemunculannya enggak banyak, tapi film memadatkan karakternya.

Ternyata zodiakku sama ama Boy, cuma beda nasib aja. Ama tampang.

 

Karena sesama Cancer itulah aku ngerti betapa berat bagi Boy untuk menghapus fotonya bersama Nuke di Instagram. Bagi Cancer, hapus memori itu hal yang paling susah untuk dilakuin. Apalagi Boy putus ama Nuke itu baru satu tahun, belum apa-apa itu bagi kaum zodiak paling susah move on sedunia akhirat. Cancer loves to hold on some memories. Dan karena mengerti sikap dan perasaan itulah, aku jadi melihat bahwa Angga belum jor-joran menampilkan ekspresi terdalam Boy. Sebagian besar waktu, Angga hanya bermain di fisik. Gestur confident, senyum-senyum sendiri, lalu kekhawatiran saat dighosting, pembawaan yang me’loyo’ saat dikeroyok, kita mengerti itu. Naskah mencoba menceritakan Boy sedang ‘jatuh’, tapi film seperti enggan untuk memperlihatkan karakternya itu dalam titik terendah. Boy yang bertanding tinju saat hatinya ada kemelut, tidak lantas diperlihatkan kalah. Boy tetap menang. Boy yang dikeroyok sebagai puncak dari sekuen dia sedang down dan banyak masalah, tapi film tidak memperlihatkan momen kalah yang dramatis itu. Momen ketika Boy ‘kalah’ terluka secara emosional dan fisik, tidak ada di film ini. Aku gak tahu kenapa film melewatkan momen-momen tersebut, padahal ini kesempatan bagi Angga untuk menunjukkan permainan range-nya.

Maka dari itulah, penonton tetap melihat Boy sebagai sosok yang sempurna. Gak ada salah. Gak ada lemah. Ini yang membuat penonton masa kini yang lebih kritis dan kurang mempan dikasih jualan mimpi, kurang konek ke Boy. Padahal kalo kita tilik naskahnya, development atau journey itu sebenarnya ada. Tapi film ini sendirinya seperti berjuang dengan itu. Struggle untuk ngasih ending yang proper, tapi juga yang dinilai memuaskan. Padahal ada kalanya yang benar dan yang memuaskan itu tidak beriringan. Ending film ini menurutku agak belibet, dibandingkan dengan penulisan di bagian lain. Hampir seperti, naskah ingin berakhir di A, ingin membuat Boy memperjuangkan yang lain, tapi gak boleh karena Boy dan Nuke harus tetap jadian dan perjuangan itu harus ada. You know what I mean? Saat menontonnya aku mendapat kesan naskah dan arahan mengalah, walaupun jadinya development Boy yang tak mencuat, dan Boy sekilas tampak tak mengalami pembelajaran.

 




Membawa karakter-karakter ikonik ke zaman modern ternyata membuat mereka jadi lebih fresh. Dibandingkan dengan yang sejenis dari pop-culture Indonesia 80an, aku pikir film ini yang paling berhasil. Dunia yang dibangun lebih hidup, walau settingannya agak ‘ekslusif’. Naskahnya juga sedikit peningkatan dari yang dulu, karena sekarang penyelesaiannya berusaha dibuat ngelingker ke pokok masalah di awal. Masalahnya cuma kesan bahwa film ini tidak mau untuk jadi dramatis, karena seperti ada sesuatu yang diprotek. Protagonisnya sengaja dicut dari momen dramatis. Sehingga yang bikin intens jadi cuma sebatas adegan-adegan berantem saja. Terlalu fisik. Film ini kurang balance karena kurang nyorot sisi emosional. Karakter pendukung dapat kesempatan lebih hidup, tapi fungsi mereka seperti berkurang karena pengen gak jauh melenceng dari originalnya. Film ini gak jelek, hanya belum maksimal. Mungkin pencapaian film ini bisa dijadikan catatan buat film-film lain yang ingin remake sesuatu dari 80an.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for CATATAN SI BOY

 

 




That’s all we have for now.

Sekelas si Boy aja bisa kena ghosting. Menurut kalian, apa sih yang membuat orang pantas untuk kena ghosting?

Share pendapat kalian di comments yaa

Boy punya jetski dan pesawat jet pribadi. Ngomong-ngomong soal pesawat, aku jadi teringat serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 10 (WAKTU MAGHRIB, THE PASSENGER, HOME FOR RENT, BIRD BOX: BARCELONA, ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD, RUBY GILLMAN TEENAGE KRAKEN, COBWEB, THEY CLONED TYRONE)

 

 

Edisi kesepuluh Mini-Review ini isinya udah kayak pesta di musim panas. Mulai dari zombie hiu ke cewek laba-laba, dari mermaid jahat ke kloningan korporat, dari orang kesurupan ke psikopat hingga ke sekte-sekte sesat. Meriah! I’ve had fun nontoninnya, dan sekarang saatnya mengulas merekaa!!

 

 

BIRD BOX: BARCELONA Review

Bird Box: Barcelona adalah sekuel, yang tidak banyak memberikan jawaban baru atas fenomena khusus yang ia angkat sebagai cerita. Dunia masih tetap ‘kiamat’ oleh keberadaan sesuatu yang membuat setiap orang bunuh diri jika mata mereka melihat cahaya di luar. Sehingga film ini memang bisa bikin penonton yang ingin tahu kelanjutan atau penyelesaian masalah itu jadi kecewa.

Aku pun pastinya bakal menutup mata juga loh kalo saja sutradara Alex dan David Pastor benar-benar tidak punya tawaran baru. But they did have one. Enggak gede, memang, namun buatku sudah cukup untuk membuka sesuatu yang baru dalam experiencing dunia cerita mereka. Hal yang beda kali ini itu adalah perspektif. Kali ini bukan tentang seorang ibu yang memegang teguh harapan dan kepercayaan untuk membawa anak-anaknya ke tempat keselamatan. Melainkan tentang seorang ayah yang ingin melihat keluarganya lagi. Protagonis kali ini bukan orang baek-baek yang pengen survive. Melainkan salah satu anggota cult yang percaya tugas mereka adalah membimbing sebanyak mungkin orang untuk melihat ‘keindahan’ mematikan. Journey protagonis dalam menyadari kesalahannya yang bikin film ini menarik. Gimana nanti dia berinteraksi dan belajar dari calon korbannya.

Mungkin lebih tepat kalo kita menganggap film ini bukan sebagai sekuel, tapi sebagai companion saja dari film pertamanya. Elemen-elemennya memang berulang dan gak banyak development baru. Tapi kalo dibandingkan dengan film pertamanya, journey protagonis kali ini lebih menarik dan menantang.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BIRD BOX: BARCELONA

.

 

 

COBWEB Review

Horor ‘makhluk yang tinggal di dalam dinding rumah’ selalu punya pesona tersendiri. I think it’s because kita semua setidaknya pernah sekali seumur hidup kebayang yang enggak-enggak ketika mendengar bunyi derit rumah. Perfect banget buat jadi elemen cerita horor. Melihat ke belakang, film kayak Housebound (2014) atau The Boy (2016), cerita tentang seseorang di balik dinding ini bisa sukses karena faktor surprise di dalam ceritanya, tapi sekaligus juga punya kendala yang sama; bagaimana memasukakalkan orang bisa hidup sekian lama di balik tembok. Mari kita lihat cara sutradara Samuel Bodin menghandle soal itu dalam Cobweb

Again, film ini punya langkah awal yang bagus dari perspektif utama. Anak kecil yang mendengar suara di balik dinding rumah, tapi orangtuanya gak percaya. Dari sini drama horornya berjalan. Enggak dibuat ambigu dan menantang, tapi horornya dirancang untuk hiburan mainstream yang efektif, dari sikap orangtua yang mencurigakan. Membangun ke arah pengungkapan siapa di balik dinding, untuk kemudian diubah film menjadi sajian horor kedua, yakni horor creature. Yang di sinilah buatku film jadi kayak kesangkut sendiri pada jaring horor yang mereka buat.

Walau memang paruh akhirnya jauh lebih seru, tapi bagian itu juga lebih generik. Aku gak tahu apakah karena itu film jadi berusaha membuat si makhkluk jadi bombastis, atau mereka cuma pengen beda, tapi hasilnya film ini jadi konyol dan mungkin lebih tepat kalo dibuat sebagai horor komedi. Film seperti tidak bisa memilih makhuk horornya, apakah manusia atau hantu. Jadi mereka membuatnya basically kayak gabungan keduanya. Perspektif karakternya pun jadi tidak terpakai lagi, padahal diceritakan makhluk itu adalah saudara dari si karakter utama. Maka endingnya pun terasa jadi flat.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for COBWEB

 

 

 

HOME FOR RENT Review

Tiga tahun belakangan aku gak terkesan sama horor Thailand. Dua yang tayang, dengan hype besar dan populer itu, actually melempem dari segi cerita karena hanya dibuat sebagai wahana jumpscare. Ekspektasiku buat horor Thailand lagi agak rendah, makanya karya Sophon Sakdaphisit menarik telak buatku!

Ini sudah bukan lagi soal ekspektasiku. Home for Rent memang punya cerita yang kuat di balik sajian horor tentang sekte misterius. Cerita orangtua yang berkubang duka begitu dalam, sehingga rela melakukan sesuatu di luar nalar dan bahkan membahayakan keluarganya. Berkisah tentang film ini actually agak susah, karena satu lagi ‘fitur’ yang dipunya oleh film ini adalah mencacah ceritanya ke dalam beberapa sudut pandang. Kita akan berpindah melihat satu kejadian yang sama, dari sudut karakter yang berbeda. Fitur storytelling yang beresiko, tapi juga punya kelebihan yakni membuat pengungkapan misteri jadi berbobot karena ditambatkan kepada perspektif karakter.

Home for Rent terbukti menggunakan cara bercerita seperti itu tidak untuk menutupi dangkalnya bahasan. Melainkan ya ketajaman naluri sutradara untuk membuat cerita dramatis, sekaligus memperkaya cerita dan misteri lewat lapisan sudut pandang. Perpindahan sudut pandang itu juga tak membuat siapa karakter utama jadi tidak jelas. Naskah tetap tegas, Development dan journey dramatis tetap pada Ning, si ibu, sebagai karakter utama.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for HOME FOR RENT

 

 

 

RUBY GILLMAN, TEENAGE KRAKEN Review

Jika kraken adalah makhluk laut dengan lengan atau tentakel banyak, maka Ruby Gillman, Teenage Kraken adalah film dengan banyak sekali cabang-cabang yang mengingatkan kita kepada film lain. Yang bikin aku sedikit kecewa adalah kisah tentang makhluk mitos yang menyamar jadi manusia, hidup seperti manusia, ini harusnya kisah yang benar-benar original. Namun sutradara Kirk DeMicco dan Faryn Pearl seperti tidak bisa memutuskan.

Beberapa dari kalian mungkin akan menyebut ini kayak Turning Red (2022). Mungkin ada juga yang memiripkan ini seperti Luca, atau malah Harry Potter. Mungkin film ini memang mengincar kemiripan itu. Karena to be honest, Ruby Gillman bekerja paling kocak saat menjadi parodi. You know, gimana mereka membalikkan status jadi kraken baik dan mermaid jahat. Gimana mereka menggambarkan sosok si jahat itu. Desainnya yang playful dan ngasih komedi tersendiri. Kekecewaanku memang akhirnya terobati dari gimana film ini membentuk para karakternya. Mereka semua terasa mencuat di balik cerita yang not really interesting dan berjuang untuk mengapung sebagai sesuatu yang berbeda. Sebagai tontonan untuk keluarga, tentu saja film ini merupakan alternatif yang baik. Dengan segala pesan ibu-anak perempuan dan persahabatannya. Selain itu, film ini juga punya elemen action yang bikin penonton cilik semakin betah menanti akhir kisahnya

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for RUBY GILLMAN, TEENAGE KRAKEN

 




THE PASSENGER Review

Terlalu sering kita mendengar nasehat untuk tidak melihat siapa orangnya, tapi lihatlah apa yang dikatakan olehnya. Nasehat yang jelas agak ganjil karena bayangkan kalo kita dilarang menyerobot antrean oleh seorang koruptor, misalnya. Nonton The Passenger karya Carter Smith akan terasa ganjil seperti begitu karena di film ini kita akan melihat protagonis yang sedang dibantu untuk membereskan masalah personal di dalam hidupnya, oleh seorang ‘teman’ yang baru saja membunuhi orang-orang di diner tempat mereka bekerja.

The Passenger adalah road trip intens, bukan oleh aksi-aksi, melainkan oleh dinamika karakternya. Seorang pria muda yang begitu helpless dan terguncang oleh yang ia perbuat di masa lalu sampai-sampai seseorang yang berbahaya, meledak-ledak, tergerak untuk membantunya. Tahun lalu, ada film Piggy (2022) yang mirip seperti ini, cewek korban bully dan body shaming, dikasihani oleh pembunuh psikopat. Tapi film tersebut berkembang jadi thriller bunuh-bunuhan generik. The Passenger mengembangkan ceritanya dengan lebih berfokus kepada drama. Dua karakter sentral dimainkan dengan sangat meyakinkan, emosi mereka terasa raw, rough, tapi memang itulah yang dibutuhkan oleh cerita. Film ini berhasil membuatku bercakap-cakap dengan layar, berusaha ngobrol dengan para karakter. Di satu sisi, kita ingin Bradley melarikan diri dan selamat, tapi di sisi lain kita juga ingin dia menemukan keberanian untuk mengkonfrontasi masa lalunya, dan satu-satunya cara ya lewat Benson yang tak pernah jauh dari pistolnya.

Bukan siapa yang benar-siapa yang salah, siapa yang jahat-siapa yang baik yang ingin dicapai oleh film. Karena dua karakternya itu akan menjadi sesuatu yang lebih dekat dari sahabat tapi juga begitu berjarak seperti musuh paling bebuyutan. Jalinan kuat dan unik yang perlahan terbentuk inilah yang bikin kita betah nonton sampai beres.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE PASSENGER

 

 

 

THEY CLONED TYRONE Review

Nah ini baru unik, seru dan kocak juga! Cara mereka ngambil judul aja udah demikian menarik, jika kita lihat konteks ceritanya. Dari luarnya, They Cloned Tyrone seperti cerita ala Groundhog Day, hanya lebih ‘gila’. Jadi si Fountaine ngerasa hidupnya rada-rada berulang gitu. Tapi bukan karena dia masuk time loop. Fountaine sebenarnya telah tewas, tapi dia terbangun seperti biasa di kamar, dan kembali menjalani rutinitasnya sebagai drug dealer seperti gak ada apa-apa. Aslinya, Fountaine sudah dikloning, dan dia baru tahu akan apa yang sebenarnya terjadi dari interaksinya dengan unlikely allies.

Di dalam, They Cloned Tyrone sebenarnya sebuah komentar sosial. Juel Taylor dalam debut penyutradaannya ini bikin sesuatu yang bisa berdampingan dengan horor-horornya Jordan Peele. Karena sesungguhnya film ini juga punya concern terhadap eksploitasi warga kulit hitam. Bukan cuma Fountaine yang dikloning, hampir semua orang di lingkungan mereka ternyata jadi bahan percobaan perusahaan kulit putih yang punya markas di bawah tanah. Waralaba ayam goreng, produk pengecat rambut, hal-hal yang mereka tonton iklannya di TV ternyata adalah alat untuk ‘mengendalikan’ mereka. Semua itu dibikin oleh film sebagai simbol bagaimana stereotipe yang tersemat pada warga kulit hitam sebenarnya tak lebih dari sebuah eksploitasi

Bibit misteri dan komedi tumbuh dengan asik. Trio sentral (John Boyega, Jamie Foxx, dan Teyonah Parris) bikin cerita makin seru dengan enerji dan personality mereka masing-masing. Film ini bisa sangat menghibur. Problem sedikit ada pada pacing pada cerita yang secara natural punya beberapa pengulangan, juga karena bentukannya yang berupa pemecahan misteri. Film pada beberapa kesempatan masih terlihat struggling untuk menjaga pace, menurutku kalo film bisa lincah dalam tempo dan komedi, tentu penceritaannya lebih nonjok lagi.

The Palace of Wisdom gives 6.5  gold stars out of 10 for THEY CLONED TYRONE

 

 

 

WAKTU MAGHRIB Review

Untuk beberapa waktu, horor karya Sidharta Tata ini jadi film Indonesia paling laris di 2023. Dan setelah ditonton, aku bisa paham kenapa film ini menghasilkan kesan dan pembicaraan yang baik. Waktu Maghrib dengan cerdik menjadikan ceritanya berpusat pada karakter anak, tapi dengan horor yang tetap brutal. Konteks ceritanya pun diambil yang ‘dekat’ dengan penonton, kepercayaan bahwa waktu maghrib adalah waktu tabu untuk keluar rumah.

Saat nonton ini, aku kepikiran Forbidden Siren, game horor tentang warga di sebuah desa yang dilarang keluar rumah saat sirine berbunyi di malam hari, yang tetap nekat ya berubah jadi zombie berdarah-darah. Desain horor film ini mirip dengan itu (I think it would be cool kalo suara sirine diganti suara adzan maghrib). Bahasan tentang orang takut ke mesjid karena setan maghrib tentu bakal menarik jika digali. Tapi Waktu Maghrib ternyata hanya memperlihatkan soal itu sekilas. Naskah dan arahannya seperti bergelut pengen menceritakan apa, dan akhirnya memilih jalan yang generik. Waktu Maghrib tak lagi membahas ketakutan tersebut, melainkan jadi literally sosok setan yang membuat anak-anak bunuh diri. Jadi tebak-tebakan misteri siapa yang sebenarnya jahat.

Ketika satu anak mati, cerita pindah ke anak lain. Perspektif berpindah-pindah yang dilakukan Waktu Maghrib tidak sebaik yang dilakukan oleh Home for Rent. Karena di Waktu Maghrib, tokoh utamanya gak pernah jelas. Tidak ada karakter yang mengalami development, karena cerita hanya tentang selamat dari hantu. Plotnya hanya tentang ‘oh ternyata’. Motivasi dan mitologinya enggak berkembang dengan baik. Suasana desanya tidak pernah tergambar detil, padahal set upnya sebenarnya menarik. Kita tahu film ini not follow through idenya sendiri, saat film bahkan gak mampu gambarin suasana maghrib itu dengan genuine.

The Palace of Wisdom gives 3 gold star out of 10 for WAKTU MAGHRIB

 

 

 

ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD Review

Yang aku gak suka dari film ini cuma judulnya. Selebihnya, film ini such a blast! Idenya segar banget. I know for a fact, kalo ini dibikin oleh Hollywood, maka judulnya pasti adalah Zombie Shark, atau Zombie Shark Hero.

Sutradara Yusuke Ishida sebenarnya ngambil setting zombie apocalypse cuma untuk perumpamaan. Karyawan yang kerja pagi pulang malam, nurut-nurut saja sama bos yang toxic berlindung di balik istilah keluarga, atau terus ‘ngedoktrin’ mereka bahwa mereka bukan apa-apa tanpa kerjaan ini, dianggap sebagai zombie. Kalo sedang tidak dikejar zombie, maka si Akira Tendo, karakter utama kita itulah yang jadi zombie korporat. Dia justru tampak lebih hidup saat membasmi zombie-zombie beneran, karena cuma di saat itulah dia bisa menjadi dirinya sendiri. Akira sampai bikin list sendiri, kegiatan-kegiatan yang ingin dia lakukan mumpung sempat karena dia bisa gak masuk kerja sebab dunia dilanda wabah zombie. Akira dan listnya jadi kontras yang menarik pada genre zombie yang biasanya karakter utama justru si kikuk yang harus jadi jagoan dan punya list berupa aturan yang gak boleh dilanggar kalo mau selamat di dunia zombie. Akira dan listnya malah hidup bersenang-senang saat ada zombie. Yang paling ngakak ya ketika film ini gambarin siapa lawan Akira sebenarnya. Siapa musuh karyawan-karyawan kecil. Ya, corporate shark. Film menggambarkannya jadi literally hiu zombie, Hiu dengan kaki-kaki zombie. Design makhluk horor yang sungguh jenius hahaha. Vibe over-the-topnya masuk dan gak pernah jadi annoying ataupun bikin film jadi bablas receh

Film ini bekerja terbaik ketika mengumpamakan hal tersebut. Vibe cerianya di saat horor sebenarnya jadi ironi yang lucu. Stake di cerita ini bukan dari nyawa Akira yang bisa menghilang kalo dia kena gigit zombie. Melainkan, kita lebih khawatir kalo Akira kembali jadi budak di kantor. Journey Akira juga dipenuhi oleh karakter-karakter manusia yang bakal membantunya menyadari bahwa dia jadi zombie begitu urusan kerjaan dan bosnya tiba. Bagian serunya buatku ya di babak awal, dan di babak akhir. Babak keduanya sedikit generik, meski memang perlu untuk ngebuild up relasinya dengan karakter lain. Kalo film fokus di perumpaman, cerita tidak dipanjang-panjangin oleh kejadian Akira dan gengnya di luar sana dengan zombie-zombie generik, maka film ini akan lebih enak ditonton.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD

 

 





That’s all we have for now

Kita sudah di paruh akhir 2023, dan aku sudah mulai bisa melihat calon-calon yang bakal masuk Top-8 ku untuk tahun ini. Gimana dengan kalian? Apakah kalian punya rekomendasi film 2023 yang mungkin terlewat olehku, dan kalian merasa film itu pantas dapat skor 8? Silakan share di komen.

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



PRIMBON Review

 

“A belief which leaves no place for doubt is not a belief, it is a superstition”

 

 

Memahami keluarga memang repot, apalagi kamu bukan orang Jawa. Begitu kira-kira bisik salah satu kakak ipar kepada Dini. Loh memangnya kenapa dengan keluarga Jawa? Primbon garapan Rudy Soejarwo ternyata berusaha mengelevasi sajian horor dengan drama keluarga yang dipantik dari akar kepercayaan stereotipikal yang membentuk identitas karakternya. Keluarga Jawa di sini berarti keluarga yang percaya tahayul. Keluarga yang kehidupan sehari-harinya berpedoman pada apa yang diatur oleh primbon. Jadi paling enggak Primbon tidak sekadar tentang hantu yang namanya nyomot dari istilah lokal, tapi juga punya situasi dan drama cerita yang bisa kita mengerti, yang bisa kita rasakan. Let’s face it, urusan sama keluarga sendiri memang sudah cukup susah dari ‘kolot’nya soal pola pikir sosial, dan kita yang orang Indonesia seringkali masih ditambah susah oleh ‘kekolotan’ soal kepercayaan tradisional yang memang beragam tumbuh di daerah kita masing-masing.

Identitas memang penting untuk dipunya oleh sebuah film. Karena identitas itu yang bakal jadi hal yang membedakan jika cerita film kita, misalnya, sama atau sudah pernah diceritakan juga oleh film atau karya yang lain. Identitas yang kuat, bahasan yang khusus datang dari identitas itu, mampu membuat cerita kodian bisa terlihat baru. Film Primbon ini misalnya. Aku kaget karena premis film ini ternyata mirip dengan legenda yang ada di dalam game Forbidden Siren 2 (2006).  Gadis perempuan yang hilang, dicari berhari-hari tak ketemu, akhirnya keluarga besar mengadakan pemakaman. Malam hari, gadis itu muncul di depan pintu rumah, dengan ekspresi wajah yang kosong. Kedua orangtuanya datang memeluk, karena lega anak mereka pulang, sementara ibu tua yang ada di sana ketakutan karena tahu yang datang itu bukanlah si gadis. See, ‘kata kuncinya’ persis! Makanya identitas diperlukan, supaya pembahasannya jadi beda. Jika Forbidden Siren 2 memuatnya ke dalam desa nelayan kecil yang kental budaya dan kepercayaan Jepang, maka Primbon memuat premis itu ke dalam budaya orang Jawa. Yang jadi karakternya adalah keluarga besar yang percaya pada primbon Jawa. Dibenturkan dengan karakter utama berupa seorang ibu, seorang outsider yang gak tumbuh dengan kepercayaan-kepercayaan tersebut. Jadilah sebuah set up yang sempurna untuk drama horor ketika si ibu itu, Dini. tak terima melihat keluarga besarnya malah ketakutan melihat putrinya, Rana, yang pulang. Huh bukannya bersyukur masih hidup!

Siapa yang abis nonton ini langsung penasaran pengen cek kapan hari sialnya menurut primbon?

 

Dengan set up seperti itu, kita akan mikir film ini akan berkembang dengan menarik. Saat menghilang, Rana bersama temannya, Janu, ke hutan demi mencari kado ultah untuk ibunya, jadi relasi Dini dengan putrinya sudah terestablish sebagai hati dari cerita. Selain dengan ibu, Rana juga diperlihatkan cukup akrab dengan ayahnya. Rana juga punya adik perempuan yang sekamar dengannya, mereka dekat bagai sahabat. Ibu-ibu tua yang percaya primbon itu adalah bude-bude Rana, kakak-kakak dari ayahnya. Bude yang paling tua disebutkan sempat melarang Rana ke hutan karena hari itu juga bertepatan dengan hari sial Rana menurut penanggalan. Dari jajaran cast pun sebenarnya film sudah cukup memadai untuk berjalan di ranah drama horor. Happy Salma sebagai ibu yang mati-matian percaya anaknya masih hidup, the odd one out di antara keluarga, sulitnya ‘posisi’ Dini itu terpancar juga oleh penampilan Happy Salma. Baginya ini lebih dari personal. Nugie sebagai ayah, dan Jajang C. Noer sebagai si bude tertua juga sukes ngasih penampilan yang cukup emosional. Ayah yang berusaha jadi penengah, sementara si bude walau tertampil sebagai antagonis, tapi kita paham dia melandaskan aksinya sebagai pelindung keluarga. Pemain-pemain yang lain bermain di garis yang gimmicky yang sering terasa off, baik itu dari timing maupun dari bangunan karakter mereka, tapi ini masih bisa kita maklumi karena masih bekerja dalam vibe ganjil yang dikuarkan oleh atmosfer cerita.

Sebagaimana harapan Dini anaknya beneran masih hidup terbentur oleh kenyataan pahit, ekspektasi kita akan drama horor yang menggigit akan segera dihantam oleh realita bahwa durasi hanya 88 menit enggak cukup untuk mengembangkan drama. Aku gak tahu apakah durasi memang dikasih cuma segitu dari sononya atau penulis Lele Laila tidak mampu untuk menggali lebih lanjut sehingga filmnya tidak terasa mendalam. Film memang tidak mengangkat pertanyaan apakah Rana masih hidup atau bukan, jawaban atas itu sudah langsung kita ketahui, bahkan sedari poster hahaha… Ini kan sebenarnya diniatkan sebagai dramatic irony, kita bakal terharu melihat Dini mati-matian membela anaknya padahal anaknya beneran telah mati dan Rana yang di rumah itu hantu. Hanya saja yang kita tonton ini tidak terasa dramatis ataupun ironis yang maksimal. Karena journey Dini tidak pernah dikembangkan sebagai fokus. Kita hanya melihat Dini menantang kepercayaan keluarga besar, menolak percaya anaknya sudah mati, tapi kepercayaannya itu tidak pernah ‘diserang’ oleh naskah. Momen ketika Dini ‘berhadapan’ dengan warga di pasar; ibu-ibu yang juga percaya primbon dan menyuruh Dini mengecek Rana di rumah beneran manusia atau bukan; momen-momen kayak gini yang mestinya diperbanyak dan dikejar oleh film. Journey horor film ini justru bersumber dari gimana Dini memproses kejadian kepulangan Rana yang misterius. Tidak ada momen saat Dini merasa ‘jangan-jangan mereka yang bener, gue yang salah’. Tidak ada momen Dini melihat sedikit keanehan pada Rana. Momen menuju realisasi yang harusnya bisa seram karena personal tentang ibu dan kematian anaknya itu seperti sengaja enggak ditangkap oleh film.

Alih-alih itu, film lebih sering berkutat kepada horor standar yang dipantik dari orang-orang melihat sendiri bahwa Rana adalah hantu. Lebih banyak soal bude-bude yang curiga, masuk diam-diam ke rumah Dini, menaruh sesajen di bawah ranjang Rana. Lalu kepergok Rana, dan ditakut-takuti mereka oleh Rana. Cuma itu yang dipunya film ini. Momen horornya itu sebenarnya enggak jelek. Cukup seram, malah, ada sekuen horor pas upacara ruwat itu penampakan hantu-hantu tetua dan teriakan-teriakan orang kesurupannya bikin bulu kuduk meremang juga. Hanya saja kita tahu daging sebenarnya cerita ini ada di drama ibu yang gak nerima anaknya mati, di sisi lain dia juga adalah perempuan rasional yang menentang kepercayaan tradisional. Tapi naskah seolah mangkir dari bibit-bibit drama dan psikologis horor dan lebih memilih untuk mendangkalkan cerita dengan adegan-adegan horor yang di film lain pun horornya bakal begini-begini juga.

Yang membedakan tahayul dengan agama sepertinya adalah rasa takut. Orang-orang yang percaya tahayul akan tampak berlebihan dan gak mau dengar alasan, karena mereka takut akan hal aneh yang tak bisa mereka mengerti. Primbon memperlihatkan orang-orang seperti itu dapat menjadi ‘barbar’ memaksakan kepercayaan mereka. Ini yang lantas membuatku bertanya-tanya, gimana dengan orang yang memeluk agama tapi bertindak irasional seperti orang yang percaya tahayul?

 

Cerita sebenarnya bisa cepat beres karena Rana hilang di hutan ada saksinya, yaitu si Janu yang diperankan oleh Chicco Kurniawan. Makanya naskah sengaja menyimpan bahasan karakter ini sampai di pertengahan. Persoalan apa yang sebenarnya terjadi pada mereka di hutan pun tidak dibuild up sebagai misteri, melainkan hanya nanti diungkap begitu saja sebagai informasi oleh Janu yang udah gak tahan diganggu hantu Rana. Si Rana sendiri pun tidak diflesh out sebagai karakter, padahal posisi dia ini sebenarnya bisa seperti Suzzanna di Bernapas dalam Kubur (2018), yaitu hantu yang berusaha bertindak seperti manusia karena dia sayang sama keluarga. Tapi Flavio Zaviera sebagian besar waktu hanya ditugaskan film untuk menyunggingkan senyum misterius. Tidak hingga di akhir banget, karakternya baru tampak sadar ‘dunianya’ adalah drama horor yang dia sendiri ketakutan menerima bahwa dia sebenarnya sudah mati. Backstory keluarga besar mereka munculnya juga abrupt, setelah film jenuh terus-terusan berkutat di saling tuding ‘anak saya bukan setan – anak kamu setan’. Yang lucu adalah tau-tau film bicara soal keretakan di keluarga bude-bude itu, tau-tau bahas soal karakter bernama Bagas yang sepertinya meninggal karena kesalahan manusia. Sepertinya ini diniatkan untuk jadi akar kenapa mereka lebih memilih percaya primbon ketimbang ilmu dan logika, namun karena bahasan minim sekali dan ujug-ujug nongol, jadinya aneh dan konyol. I was like, “kenapa jadi Bagas??!!?!???”

Kirain bagus, ternyata bagas

 

Perkara ruang, aku masih bisa paham. Rudy Soedjarwo ingin menekankan drama dengan lapisan horor sehingga dia banyak menempatkan kamera di depan wajah karakter, supaya kita melihat gimana kecemasan secara aktual berubah menjadi ketakutan. Agar kesan kita melihat dunia itu jadi sesempit pikiran mereka.  Soal waktunya yang aku tak mengerti. Saking simpelnya penulisan, timeline film ini tuh gak terasa. Rana muncul setelah tujuh hari menghilang, tapi kita seperti merasakan hanya semalam. Begitu juga dengan berapa lama Rana tinggal di rumah sebelum akhirnya diruwat, enggak jelas. Karena build up yang tidak ada. Dari kembang-kembang sajen itu ditaruh di bawah ranjang hingga diambil dan nyatanya beneran busuk, kita tidak pasti berapa lama itu berlalu. Padahal kan mestinya dibangun ke kita supaya seram, entah itu baru tadi ditaruh tapi sudah layu, atau kalo mau ngangkat pertanyaan bisa dibikin sudah agak lama baru dilihat kembali dan telah layu (jadi bisa diperdebatkan ritualnya gak ngefek). Perpindahan ke karakter lain juga seringkali membuat karakter yang barusan kita lihat tidak terasa kontinu dengan saat kita pada mereka lagi nantinya. Flow penceritaannya terasa kacau. Aku lebih prefer film bercerita secara linear di awal, karena aku ingin melihat dulu gimana dinamika keluarga besar ini, gimana Rana semasa hidup dengan karakter-karakter lain (terutama dengan bude-budenya), supaya bisa lebih peduli. Mungkin bisa dibikin kembali Rana dari hutan secara misterius itu sebagai akhir babak pertama. Kupikir sebagai drama horor yang menekankan konflik antara sikap dan kepercayaan karakter, memang sebaiknya film ini lebih fokus menggali itu ketimbang berkutat di horor gangguan hantu semata.

 

 




Suasananya sebenarnya sudah meyakinkan. Kampung yang bisik-bisik meragukan si gadis yang kembali setelah tujuh hari. Bahasan primbon-nya sendiri juga masih terasa punya gigitan menarik, beberapa berhasil terlontar sebagai percakapan sehari-hari.  Bibit konflik drama juga ada, begitupun dengan perspektif utama tragis. Film ini kurangnya dari segi journey, build up, dan bahasan. Aspek yang penting dalam medium penceritaan. Memilih mangkir dari drama yang sebenarnya sangat naas dan pengalaman yang sangat horrifying jika digali dengan baik. Harapan yang kandas dari seorang perempuan yang berusaha jadi ibu yang baik bagi anak, di tengah keluarga besar yang ‘sulit’ kompromi, kan sebenarnya. Kemampuan film ini sayangnya cuma sebatas membuat cerita itu menjadi debat sederhana ‘dia hantu, dia bukan hantu’ dan adegan-adegan horor yang tidak benar-benar spesial. Identitas ceritanya jadi seperti sia-sia, karena hasilnya tetap generik.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PRIMBON

 

 




That’s all we have for now.

Soal primbon atau superstition sejenisnya sih sepertinya kita percaya gak percaya aja ya. Tapi apakah kalian punya tips gimana cara halus bilang gak percaya tahayul kepada orang atau keluarga yang justru pedomannya kuat banget ke hal tersebut?

Share pendapat kalian di comments yaa

Hijack, serial thriller bagus tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ sudah sampai ke episode finale. Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES: MUTANT MAYHEM Review

 

“Do it from love, not for love”

 

 

Bagiku Teenage Mutant Ninja Turtles adalah sebuah fase. Jauh sebelum suka Power Rangers dan pasukan superhero lain, aku yang masih balita suka sama empat kura-kura yang jago berantem ini. Aku gak ingat apa yang exactly kusuka dari Kura-Kura Ninja, aku bahkan gak ingat jalan cerita serial kartunnya di TV, tapi pokoknya waktu kecil saking sukanya sampai-sampai setiap jajan, aku selalu minta dibelikan pernak-pernik Kura-Kura Ninja mulai dari mainan hingga topeng. Saat gedean, tentu saja aku coba ngikutin Kura-Kura Ninja – yang ternyata memang franchise yang gede dan selalu dibuat ulang – soalnya penasaran kan, kok kata ortu dulu aku suka banget. Aku mengenal karakter-karakternya, jalan ceritanya, tapi ya ternyata aku gak suka-suka amat. Biasa aja sama kartun nya yang baru. Benci banget malah sama film live-action versi Michael Bay.  Looks like I grow up out of them, kecuali satu hal; game Kura-Kura Ninja. Always love them now and then. Baru-baru ini banget aku namatin game terbaru Kura-Kura Ninja (go check YouTube My Dirt Sheet untuk playtroughnya!) Selebihnya ya, Kura-Kura Ninja adalah fase masa kecil yang sudah kutinggalkan. Sampai, film karya Jeff Rowe yang diproduseri oleh Seth Rogen ini tayang! KKN: Mutant Mayhem adalah jawaban terdekat yang bisa kudapatkan kenapa waktu kecil aku suka Kura-Kura Ninja. Karena saat menonton ini, aku merasa seperti bocil yang baru saja menemukan jagoan favoritnya untuk pertama kali!

Can’t believe Seth Rogen restored my childhood just like that

 

Backstory karakter dalam film ini diubah sedikit dari cerita original KKN. Seperti karakter mutant yang aslinya adalah manusia, tapi di film ini diubah menjadi berasal dari hewan demi menyesuaikan dengan tema cerita. Ada juga karakter villain populer yang diubah jadi baik. Perubahan-perubahan ini bakal sedikit-banyak terasa aneh oleh hardcore fans, tapi percayalah tidak mengganggu. Karena film KKN kali ini memang berfungsi sebagai reboot, yang menghasilkan cerita baru tapi dengan ruh yang tetap terjaga. Di sini gak ada (belum ada!) Shredder. Permasalahan di film ini lebih ke konflik prejudice antara manusia dan hewan-hewan mutant. Sekilas konfliknya memang mengingatkan kita kepada cerita X-Men. Superfly, (mutant lalat, bukan nama pegulat hihihi) villain utama di cerita ini, punya plead yang sama dengan Magneto. Membasmi manusia dan membuat dunia yang lebih baik untuk para mutant. Yang bikin beda adalah cerita KKN yang ditujukan untuk penonton muda ini dibikin lebih hopeful dan mengutamakan kepada feel good moment, alih-alih politik kekuasaan.

Protagonis cerita, Leo, Ralph, Don, dan Mikey, kura-kura remaja yang ingin hidup bersama manusia, makhluk yang menurut mereka keren, tapi harus dijauhi, karena kata ayah mereka, mutant tikus bernama Splinter, manusia itu berbahaya. Manusia akan definitely melukai mereka karena mereka berbeda. Running joke yang diangkat dari sini adalah gimana manusia bakal memerah mutant sampai kering. Jokes yang kuakui sedikit kekanakan, tapi itu hanya karena ku sudah di luar target umurnya hahaha.. But hey, sekali lagi, ‘milking until dry‘ mungkin adalah joke yang paling jinak, tapi tetep berhasil, yang bisa diperah dari otak Seth Rogen yang biasanya ngehasilin komedi urakan. Jadi empat kura-kura jagoan kita ingin merebut hati manusia dengan jadi pahlawan. Mereka membantu membasmi kejahatan yang dilakukan oleh geng Superfly, dan dijadiin berita oleh April, gadis wartawan media sekolah. Masalahnya adalah ketika para KKN tatap muka dengan geng Superfly. Mereka sama-sama makhluk mutant. Mereka sama-sama punya keinginan hidup lebih baik, tidak lagi di dalam bayang-bayang. Jadi para KKN harus memilih; ikut Superfly membasmi manusia, atau tetap jadi pahlawan meskipun itu buat orang-orang yang gak menerima mereka.

Para Turtles menjadi pahlawan kota supaya mereka bisa diterima oleh manusia. Tapi mereka belum nyadar bahwa penerimaan itu berasal dari cinta. Menjadi pahlawan juga harusnya merupakan tindakan yang tulus. Jadi itulah yang harus dipelajari lebih dulu oleh mereka. Belajar menerima diri sendiri, belajar mencintai kekurangan sendiri, belajar untuk berbuat baik tanpa harus berharap disukai dan dianggap sebagai pahlawan.

 

Tema acceptance serta merta akan beresonansi dengan penonton muda. Pada generasi Z yang memang persoalan identitas jadi persoalan yang pelik. Tema tersebut membuat animasi hiburan ini jadi punya bobot. Namun memang tak bisa dipungkiri yang ngesold out penonton muda buat betah nonton ini sampai akhir adalah suara – literally dan figuratively- dari karakter-karakternya, Terutama para Kura-Kura Ninja. Para jagoan bertempurung itu benar-benar berjiwa dan bersemangat remaja, ditambah pula voice aktor yang memang anak-anak remaja. Jadi mereka kayak anak remaja beneran. Yang cablak, kadang sedikit angkuh, energik, ceroboh, dan ada sisi polos yang natural. Gimana mereka saling berinteraksi, udah persis kayak kakak adik sodaraan beneran. Kalian tahu dialog celetukan ala Marvel yang sering out of nowhere gak tepat sikon disebutkan oleh superhero dewasa? Nah, dialog para KKN juga seperti itu, namun karena mereka kerasa genuine seorang remaja, maka dialog celetukan seperti itu lebih mudah untuk kita maklumi.  Personality masing-masing Turtle benar-benar terflesh out. Leonardo yang sering diledek tukang ngadu, karena berusaha jadi pemimpin yang baik, Ralph yang pengen ngerasain sekolah, Mikey yang jago improv, Donatello yang hobi K-Pop dan anime. Yang mereka obrolin juga referensi yang kekinian banget. Bahas Marvel lah, Attack on Titan lah. Film ini memang menggila soal referensi, baik untuk generasi muda ataupun penonton yang lebih ‘uzur’, tapi walau ada juga referensi ke produk Nickelodeon,  gak sekalipun terasa cringe dan ganggu penceritaan.

Sampai sekarang aku masih gak percaya film ini bener-bener masukin versi meme dari lagu What’s Going On; meme kocak yang udah beredar enam-belas tahun di internet itu dijadikan musik latar saat adegan kejar-kejaran mobil! So wild!!

Kura-Kura jadi kambing hitam

 

As an older fan, aku turut mengapresiasi voice work dari aktor-aktor seperti Natasia Demetriou yang jadi Wingnut – mutant kelelawar, serta Jackie Chan yang meranin Splinter, dan Ice Cube yang jadi Superfly. Mereka terdengar begitu fun menghidupkan karakternya. Malah di sini Jackie Chan kayak gak hanya menyumbang suara, karena adegan Splinter berantem itu udah kayak adegan-adegan Jackie Chan dalam film-film laga. Berantem kocak dengan properti di sekelilingnya. Splinter dan Superfly sendiri memang punya keparalelan yang menarik, karena basically mereka sama-sama membenci manusia. Development karakternya-lah yang nanti bakal membedakan keduanya. Mendengar Jackie Chan dan Ice Cube di sini membuatku pengen melihat film Friday dibikin sekuel baru, dibintangi Ice Cube dan Chris Tucker dan Jackie Chan sekaligus hahahaha!

Untuk gaya visual, man, aku seneng banget di tahun-tahun belakangan ini kita dapat film animasi yang gaya gambarnya itu enggak seragam. Yang enggak kayak berusaha bikin yang sesuai standar tertentu. Mungkin semua ini memang pengaruh dari kesuksesan Spider-Man: Into the Spider-verse (2018), tapi aneka ragam gaya animasi memang perlu kita rayakan. KKN: Mutant Mayhem menggunakan gaya animasi unik yang konsepnya tuh kayak coret-coretan atau arsiran. Ada objek-objek seperti asap, lampu, bahkan bulan, yang terbentuk dari garis-garis berulang yang semrawut. Estetik tersebut actually menambah banyak untuk karakter dan vibe film ini. Terutama dari sisi latar tempat. Garis corat-coret itu seperti menghidupkan kesan rough dari kota New York. Personality kota itu penting, karena di situlah tempat prejudice manusia berbahaya, mutant berbahaya itu tumbuh. Film ini berhasil menggambarkan itu semua ke dalam  desain komposisi wujud dan warna yang fresh. Dan ngomong-ngomong soal desain, satu yang tampaknya mencuat pada penggemar Kura-Kura Ninja, yaitu desain karakter April. April di sini bukan lagi perempuan pirang, langsing, dan seorang jurnalis yang pede. Menurutku yang dilakukan oleh film ini selangkah lebih respek daripada sekadar meng-race swap. April dibikin seperti our everyday friend bukan lagi perempuan muda dengan standar kecantikan mainstream. Karakternya kini punya kelemahan yang semakin manusiawi (dia gak pede di depan kamera), meski tetap mandiri dan cerdas dan tak lantas jadi orang yang perlu diselamatkan.

Aku pengen bilang film ini hiburan yang perfect, kalo bukan karena satu hal kecil. Flow penceritaan di babak awal. Babak pengenalan film ini actually kurang mulus, dengan tempo yang agak tercekit-cekit, karena film menggunakan banyak flashback perspektif. Aku gak tau apakah itu istilah yang benar atau bukan, tapi yang kumaksud adalah banyak flashback dari sudut pandang karakter tertentu, guna menceritakan apa yang terjadi dari sudut pandang lain sebelum jagoan-jagoan kita exist di dunia. Sebenarnya ini cara yang lumrah, tapi untuk film ini aku tidak melihat alasan kenapa harus melakukannya seperti itu. Karena toh cerita bisa saja berlangsung dengan linear. Keputusan film mengskip langsung lima belas tahun kemudian, tapi lalu enggak lama setelah itu malah balik untuk flashback, buatku agak aneh dan kurang efektif. Membuat sampai ke plot poin pertama rasanya jadi lama banget, dan berjalan agak ngambang mau ke mana. Tapi memang hanya di 20-30 menit pertama itu saja. Selebihnya, KKN: Mutant Mayhem adalah suguhan seru dan bisa dibilang liar, yang asyik lagi berbobot.

 

 




Lapisan kebahagiaan dan kepuasaanku memang banyak banget setelah nonton film ini. Senang karena akhirnya ada lagi film KKN yang proper (Kura-Kura Ninja, loh, bukan KKN yang satu lagi). Senang karena terhibur oleh aksi dan keseruan dan akting suara yang dilakukan. Senang karena film animasi masih punya banyak ruang untuk berkembang dan gak melulu tampil dengan gaya yang sama.  Duh, sepertinya akhir tahun bakal susah nih milih film animasi yang terbaik di antara yang terbaik! Aku gak ngerti kenapa film ini malah berkurang layarnya di bioskop, padahal mestinya film ini jadi hiburan yang paling ‘aman’ dan respek buat keluarga. Meski diremajakan untuk penonton kekinian, isi film ini beresonansi dengan berbagai generasi. Dan karena ini basically reboot atau cerita baru, maka enggak perlu tahu film atau cerita lamanya. Penceritaan film ini bekerja baik dalam menghantarkan backstory setiap karakter. Setiap keinginan dan pembelajaran mereka bakal terbungkus seru. Mungkin akan sedikit mengingatkan kepada X-Men, tapi tone dan vibe dan developmentnya certainly one of a kind. Justru melewatkan ini bakal kowabunga, eh salah.. kebangetan!
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES: MUTANT MAYHEM

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apa yang berhasil dilakukan oleh film ini, yang gagal dilakukan oleh versi live-action Michael Bay?

Share pendapat kalian di comments yaa

Hijack, serial thriller bagus tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ sudah sampai ke episode finale. Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



SUZZANNA: MALAM JUMAT KLIWON Review

 

“How truly hard it was, really, to see someone you love change right before your very eyes” 

 

 

Cinta sejati itu kayak hantu. Banyak yang ngomongin, tapi cuma sedikit yang beneran melihatnya.  Merasakannya. Telah membuktikannya sendiri. Saking susahnya memperjuangkan cinta. Selalu ada saja halangannya. Makanya greatest love story seringkali justru merupakan sebuah kisah yang tragis. Gimana perasaan kita gak teraduk melihat karakter berusaha memperjuangkan perasaan yang tak semua orang bisa melihatnya ada tersebut. Guntur Soerharjanto berusaha mengaduk perasaan kita lewat film kedua Luna Maya sebagai Suzzanna. Adaptasi atau remake bebas dari horor klasik si Ratu Horor ini coba dikuatkan oleh Guntur perihal kisah cinta kedua karakternya. Membuat cinta dan hantu literally jadi satu frame. Di balik horor balas dendam, at heart film ini adalah kisah cinta yang terhalang oleh kematian. Sebagaimana halnya pada film  pertamanya tahun 2018 yang lalu. Bedanya, film Suzzanna: Bernapas dalam Kubur itu berhasil mengaduk perasaan kita, cerita dan arahannya berhasil menggali sudut pandang perempuan yang berkonflik personal; Suzzanna yang telah jadi hantu ingin membalas dendam atas kematiannya, tapi dia gak mau harus berpisah dengan suami, sehingga dia berpura-pura masih manusia. Film Suzzanna: Malam Jumat Kliwon bahkan gak punya sudut pandang kuat untuk menyampaikan konflik cinta tragis di antara kedua karakternya.

Dalam usaha untuk lebih memperkaya suasana dan dunia cerita, Malam Jumat Kliwon jadi lebih banyak mengambil sudut galian. Di satu sisi memang ini bikin cerita di Jawa tahun 1986 itu terasa lebih imersif. Babak pertama film terasa solid oleh build up dan terjaga dengan tempo yang cukup cepat. Kita melihat Suzzanna, kali ini seorang gadis desa yang dipinang oleh Raden Aryo yang ingin punya keturunan. Kita melihat Surya, kekasih Suzzanna, yang mencari tambahan nafkah dengan menjadi petarung. Kita juga melihat istri tua Raden Aryo punya peran di dalam cerita, karena kecemburuannya. So many motivasi yang saling beradu. Di babak ini cerita lebih bertapak pada Suzzanna, yang setelah hamil mulai merasa dirinya gak aman di rumah Raden. Dia disantet, dan hal menjadi total nightmare bagi Suzzanna saat proses melahirkan. Suzzanna meninggal dengan cara mengerikan, cerita masuk babak kedua, dan naskah hingga arahan mulai keteteran. Cerita ‘berpindah’ jadi tentang Surya yang ingin melihat Suzzanna untuk terakhir kalinya, only ended up mengadakan perjanjian dengan iblis untuk menghidupkan Suzzanna. Perempuan itu memang terbangun, tapi sebagai Sundel Bolong yang ingin menuntut balas dan mencari bayinya.

Dan pengen mamam seratus mangkok bakso

 

Narasi menjadi terlalu besar untuk dihandle. Aku merasa film ini seperti orang yang sudah tahu tujuan mau ke mana, tapi di tengah jalan jatuh terpuruk karena gak sanggup untuk actually mencapai tujuan tersebut. Cerita seperti Suzzanna: Malam Jumat Kliwon memang harus sebesar itu. Empat karakter sentral perlu dibahas supaya penonton dapat melihat dinamika gender di tahun segitu (dan maybe masih diteruskan hingga sekarang). Gimana Suzzanna bisa berada di posisi sulit karena lelaki yang suka seenak jidatnya, mentang-mentang berkuasa. Bahkan yang simpatik seperti Surya pun sama saja begitu dengan aksinya yang tidak membiarkan Suzzanna istirahat dengan tenang. Sebuah aksi yang bisa dibilang egois karena dia mengambil keputusan atas hidup perempuan. Film ini mengatakan semua horor itu ya simply disetir oleh kehendak lelaki., tapi juga masih memperlihatkan ada kalanya perempuan ‘berontak’ atau somehow memegang kendali aksi. Paralel Suzzanna – si istri tua – bahkan rela ke dukun, membayar ‘harga’ apapun supaya dia kembali jadi ‘yang disayang’ oleh suami. Suzzanna sendiri gak pernah digambarkan hanya pasrah, tapi disebutkan bahwa dia rela dinikahi demi keluarga. Dia di beberapa kesempatan juga beraksi dengan mempertimbangkan keselamatan nyawa Surya. Bahkan saat jadi Sundel Bolong, ada kala Suzzanna tidak mengikuti ‘perintah’ Surya untuk tidak membunuh.

Karena subteks pada karakter itulah, aspek body horor yang ditampilkan film ini jadi mencuat. Adegan menyeramkan saat persalinan itu menyimbolkan kengerian ketika tubuh penuh jejak yang tak diundang, yang tak diinginkan, yang dipaksakan kepada perempuan. Kita tahu secara narasi itu adalah efek santet, tapi kejadiannya seolah tubuh Suzzanna menolak buah dari paksaan. Harusnya sih adegan ini bisa ikonik. Bayi Suzzanna pindah ke punggung, lalu meledak membunuhnya seketika. The horror inducing nightmare includes: suara teriakan minta tolong Suzzanna kepada bidan dan pelayannya dan shot ada bayi yang bergerak-gerak di dalam lubang punggungnya. Aku gak tahu apakah film Malam Jumat Kliwon yang asli adegannya persis seperti ini, tapi memang adegan persalinan horor tersebut seperti dicomot dari era 80an. Over-the-top, gross, dan fun! Kita harus melihat ke belakang dan realized, bahwa vibe horor 80an itulah yang ingin direcreate juga oleh film ini. 80an adalah era horor praktikal yang cerita dan kejadiannya over-the-top hingga konyol, tapi jadi hiburan tersendiri. Elm Street, Friday the 13th, Evil Dead, sadis tapi menghibur. Film horor Suzzanna sendiri juga seperti itu, malah seringkali ditambah oleh reaksi-reaksi kocak dari karakter pendukung. Film karya Guntur ini punya vibe itu. Ada banyak juga adegan menakut-nakuti yang lucu, banyak reaksi dan dialog karakter yang konyol. Sally Marcelina yang jadi istri tua adalah yang paling ‘semangat’ ngasih vibe over-the-top ini.

Bicara tentang horor Suzzanna, tentu kita gak bisa lepas dari sosok Suzzanna itu sendiri. Kayaknya, industri sekarang ini gak ada yang membangun citra aktornya seperti Suzzanna lagi. Yang aura dan kemisteriusannya dipush terus hingga di balik layar. The fact that reboot-an film-filmnya ini bukan biopik tapi sangat mengutamakan perubahan wajah Luna Maya menjadi semirip mungkin dengan Suzzanna benar-benar menunjukkan bahwa legacy Suzzanna sebagai sosok dan aktor itulah yang dilestarikan. Film mengambil banyak resiko untuk menyulap Luna Maya menjadi Suzzanna. Saat jadi Sundel Bolong, ilusi tersebut lebih mudah untuk dipertahankan. Gestur berkacak pinggang lalu berbalik memamerkan lubang di punggung, serta suara cekikikan seram Luna Maya sanggup memberikan sensasi merinding, Hanya saat karakternya masih manusia, dan banyak bermain di nada drama, plus pencahayaan yang ‘normal’ usaha film memiripkan wajah itu seringkali tampak artifisial, hingga agak ‘mengganggu’ karena wajahnya seperti tempelan. Unnatural.

Sekilas jadi kayak gaya animasi wajah karakter di game Forbidden Siren

 

Suasana desa setelah kebangkitan Suzzanna sebagai Sundel Bolong juga memang harus diperlihatkan. Interaksi Suzzanna dengan warga bakal jadi hiburan horor tersendiri. Istilahnya, ngeri-ngeri sedap hahaha… mungkin Bene Dion terinspirasi judul film drama komedinya ini dari saat ikut menulis naskah Suzzanna: Bernapas dalam Kubur. I wish kualitas naskah film kali ini masih sama dengan film pertamanya tahun 2018 itu. Naskah kali ini ditangani Sunil Soraya dan Ferry Lesmana bersama Tumpal Tampubolon. Fun dan horornya masih ada, tapi dramanya lepas. Malahan, banyak elemen-elemen drama yang sempat disebut namun tidak pernah dibahas lanjut. Ada satu dialog menarik yang paling aku kecewa karena gak ada follow upnya, yakni ketika Raden ditanyai oleh istrinya apakah dia telah jadi jatuh cinta kepada Suzzanna. Kupikir developmentnya bakal menarik ketika pihak yang toxic ternyata jadi beneran cinta sama korbannya. Tapi film gak bahas lagi dan dialog itu semacam punchline angin lalu. Pokoknya, begitu masuk babak kedua, cerita benar-benar keteteran. Dialog dan kejadian jadi konyol tak terkendali. Begitu banyak hal yang bikin kita mengernyitkan kening, mulai dari kenapa kuburan Suzzanna yang mestinya dirahasiakan dari banyak orang malah dikasih nisan bertuliskan nama, hingga ke Surya yang saking rindunya tidur dengan meluk mayat? C’mon! Surya sebagai sudut pandang utama saat Suzzanna sudah tiada, tidak pernah didevelop dengan layak.

Melihat orang yang kita cintai berubah menjadi seseorang yang berbeda. Tema ini yang sebenarnya disimbolkan jadi horor dalam film Suzzanna: Malam Jumat Kliwon.  Dalam kasus Surya, dia menyaksikan kekasihnya melakukan pembunuhan-pembunuhan mengerikan karena balas dendam. Goal cerita sebenarnya adalah membuat kisah cinta begitu tragis sehingga menjadi sebuah horor, kisah cinta ketika seseorang harus melepaskan kekasih yang sudah bukan lagi manusia, ketika seseorang harus mencintai kekasihnya dengan cara yang melukai mereka.

 

Tapi penceritaan film enggak mampu mencapai goal tersebut. Tidak mampu mendramatisasi keadaan di luar menjadikannya humor sajaFilm terdistraksi oleh banyaknya elemen yang harusnya ia arahkan ke goal tersebut. Film bahkan gak mampu untuk sepenuhnya membangun rule atau mitologi Sundel Bolongnya. Karena sekarang, dia bukan lagi hantu, melainkan iblis. Padahal Suzzanna yang jadi hantu tidak bisa langsung menyakiti manusia sehingga serangan yang ia lancarkan untuk balas dendam adalah serangan psikologis yang membuat korbannnya mati karena ulah sendiri, adalah aspek yang membuat film pertamanya sangat menarik. Film kali ini sepertinya tidak mau repot dengan konsep semacam itu, dan membuat Suzzanna bisa menyakiti secara fisik karena dia adalah iblis. Dia tidak lagi unik. Aksinya dengan cepat jadi membosankan karena kita basically ngelihat hal yang sama terkait aksi dia terhadap korbannya. Di akhir film coba ngasih tantangan, yaitu ada beberapa senjata dukun yang bisa melukai Suzzanna. Ini yang mestinya dibanyakin oleh film. Buat Suzzanna vulnerable. Bikin stake ada. Bikin jadi ironi ketika Surya tak ingin Suzzanna kalah dan lenyap, tapi morally dia gak mau Suzzanna membunuh lagi. Tapi yang lebih banyak kita dapatkan malah humor dari dua hansip. Mereka kocak, bisa actually nangkep Sundel Bolong, tapi ya gak perlu sampai mau dikasih arc mereka pengen jadi pahlawan segala kalo memang ini bukan cerita mereka.

 




Buatku kerasa sih, nelangsanya ketika yang kita suka berubah menjadi something different. Aku suka film pertama Suzzanna. Dramanya bisa dalem, dan horornya tetap fun. Sedangkan film kedua ini, cuma punya fun. Dramanya banyak yang lepas, yang tidak digarap dengan manusiawi. Padahal muatan drama yang dimiliki itupun sesungguhnya tidak banyak berbeda dari film pertama. Lebih kepada, beda sudut pandang utama saja. Film kali ini sebenarnya lebih tentang Surya, laki-laki yang ditinggalkan Suzzanna, yang menghidupkannya kembali, yang ingin bersamanya sampai akhir hayat, namun perlahan menyadari apa yang sebenarnya ia butuhkan. Film enggak mampu mencapai goal dramatis ini karena sudut pandang yang tidak tegas dan naskah yang tidak bisa menghandle narasi yang besar. Bahkan untuk jadi romance horor saja masih kurang terasa. Kalo nanti ada film Suzzanna berikutnya, aku harap mereka kembali menapakkan dramanya, dan mungkin bisa dicoba untuk tone down mirip-miripan aktornya dengan Suzzanna supaya akting dan ekspresinya bisa maksimal.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SUZZANNA: MALAM JUMAT KLIWON

 

Tulisan ini diterbitkan juga dalam Zine BREAK FROM CINEMA 
Volume 01/Agustus 2023

 




That’s all we have for now.

Kalo dibalik, menurut kalian apakah kita sebaiknya harus mau berubah demi pasangan kita?

Share pendapat kalian di comments yaa

Hijack, serial thriller bagus tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ sudah sampai ke episode finale. Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



KETIKA BERHENTI DI SINI Review

 

“Things we lose have a way of coming back to us in the end, if not always in the way we expect” 

 

 

Arti kehilangan, menurut Umay Shahab, adalah ketika semuanya berhenti di sini. Efeknya memang sungguh devastating ketika kita direnggut dari kebersamaan dengan orang yang kita sayangi. Duka mendalam, rindu yang berat menggelayuti tanpa pelampiasan, atau rasa bersalah karena enggak sempat say good bye dengan proper. Rundungan perasaan yang mendera itu telah countless times diterjemahkan menjadi karya, paling sering sih, jadi cerita horor. Grief, kenangan, rasa bersalah, seringnya dijadikan hantu yang terus menggentayangi. Namun Umay, mengambil penyimbolan yang lebih dekat dan lebih akrab dengan usia mudanya. Dengan dunia modern yang tidak begitu asing bagi dirinya dan kita semua, dan even more advance. Film Ketika Berhenti di Sini memotret perasaan kehilangan dalam lingkup teknologi. Sebuah fiksi ilmiah alih-alih suspens kelam. Bayangan hantu digantinya menjadi pendar visual hologram. Konsep dunia yang lantas mencuat di tengah skena sinema tanah air yang lagi khusyuk dengan cerita horor dan daerah pedalaman dan juga setting waktu yang bernostalgia. Film ini seolah menegaskan bahwa rasa kehilangan itu memang sekekal itu, past, present, future. Selama manusia merasakan cinta, manusia akan merasakan kehilangan, maka hadirlah film ini untuk membantu kita melewati perasaan itu saat tiba waktunya ia berhenti di kita.

Aku melewatkan karya pertama Umay  (karena waktu itu aku belum elligible untuk bisa masuk ke bioskop…) dan setelah nonton film keduanya ini, kupikir aku bakal check it out di platform sesegera mungkin. Karena yang ditawarkan Umay ternyata adalah sudut pandang yang menarik. Passionnya pun terasa, Reference Umay bikin film ini pun, kayaknya, gak banyak pembuat film lain yang ‘berani’ ngambil. Saking ribet bahasan, dan konsep sci-fi yang butuh riset ekstra. Ketika Berhenti di Sini bermain dengan tema manusia dealing with kehilangan dengan bantuan A.I. terasa seperti episode serial Black Mirror. Selain itu, juga ada obvious movie reference yang disebut di dalam narasi, yaitu filmnya Jim Carrey tahun 2004, Eternal Sunshine of the Spotless Mind; film yang kompleks membahas dua orang yang ingin saling melupakan, tapi mereka tetap saling ketemu mengulangi siklus jatuh cinta dan putus.  Dita, protagonis Ketika Berhenti di Sini, suka sekali Eternal Sunshine. She dressed as Clementine (karakter cewek di film tersebut) saat pesta kostum. Dan yang bakal dialami Dita dalam cerita ini juga gak jauh dari soal gak bisa melupakan.

Cerita tentang teknologi ini castnya pas banget; Brian Domain, Prilly Latucomputer, dan Refal HD

 

Mahasiswi jurusan desain grafis ini sedari awal cerita sebenarnya udah struggling dengan kematian ayahnya. Kematian yang belum bisa dia ikhlaskan, dia malah menganggap ayahnya tidak menepati janji selalu ada mendukungnya. Ketika dia kenalan dan jadi deket sama cowok penggemar teka-teki dan teknologi, Ed, keduanya tampak klop dan mereka membicarakan hal-hal ‘deep talk’, topik kematian lantas muncul ke permukaan. Sementara Ed tampak menganggap kematian sama sakralnya dengan kelahiran, Dita memandang sebaliknya. Kita bisa melihat betapa Dita detests death, yang datang tanpa bisa dipersiapkan. Malang bagi Dita, empat tahun setelah menjalin hubungan dengan Ed yang sukses occupied her mind dengan cinta, kematian itu datang lagi. Menjemput Ed, justru di saat Dita lagi punya masalah dengan hubungan mereka. Sama seperti saat kehilangan ayahnya, hidup Dita lantas stop kembali. Dua tahun berlalu, Dita masih belum bisa melepaskan Ed sepenuhnya. Sahabat terdekat Dita, termasuk Ifan yang dari dulu menyukainya, mencoba mengisi hidup Dita. Tapi perempuan itu tampak semakin susah dijangkau, terlebih ketika Dita mendapatkan kacamata khusus yang bisa memproyeksikan A.I. hologram dengan wujud dan suara persis seperti Ed.

Pelajaran mengikhlaskan nomor satu dari film ini adalah mereka yang telah pergi sesungguhnya tidak pernah beneran pergi. Mereka akan kembali kepada kita dalam ‘bentuk’ yang gak akan pernah kita duga. Jadi, apresiasilah yang datang ke hidup kita sebesar kita menghargai yang telah pergi.

 

Things got really interesting saat membahas Dita dan hologram Ed. Film ini membuat cukup ambigu mengenai apakah si teknologi ini begitu canggih sehingga A.I. Ed bisa muncul dan bersikap sefluid aslinya ataukah Ed yang kita lihat itu sesungguhnya cuma proyeksi dari perasaan Dita yang bergulat dengan proses mengikhlaskan. Karena memang film ini paham betapa pentingnya building up dalam penceritaan. Si hologram Ed awalnya dihadirkan bersikap seperti A.I. pada umumnya. ‘Kaku’ kayak Siri atau Alexa, bedanya ada wujudnya. Film malah memperlihatkan sosok hologram yang lain dulu sebelum menghadirkan wujud Ed. Cuma berdiri. Perlahan, seiring Dita tampak semakin nyaman, hologram Ed mulai bisa duduk, bahkan bisa ikut berlari menemaninya olahraga. Ngomong-ngomong soal build up, relasi antarkarakter juga dibangun dengan seksama. Gimana perasaan Ifan terhadap Dita. Gimana Dita dan Ed kenalan hingga bisa saling suka. Film ngasih waktu banyak untuk membangun relasi-relasi ini, sehingga adegan-adegan saat dunia cerita mulai bergejolak oleh kehadiran hologram Ed (yang tentu saja awalnya dirahasiakan oleh Dita dari sahabat-sahabatnya) terasa lebih punya bobot emosi. Karena kita diperlihatkan para karakter ini sebelum konflik utama itu terjadi. Dalam artian, kita benar-benar mengikuti perkembangan karakter ini dalam span empat, lalu dua tahun kemudian. Kita jadi benar-benar mengerti yang mereka rasakan, pembawaan natural dari para aktornya jadi icing on the cake yang bikin penonton semakin tersedot ke dalam cerita.

Arahan film ini memang tampak percaya diri. Umay mengaduk bahasan kematian, penjelasan rule teknologi di dunia cerita, hingga urusan relationship dan pertemanan, dengan tambatan perspektif yang kuat. Ini dunia anak muda. Yang melek teknologi, Yang melek keterbukaan komunikasi. Arahan Umay tidak membuat film kehilangan suara khas mereka. Sudah cukup banyak kita nonton film-film tentang anak muda, atau remaja, atau yang coba angkat suara kopi-senja, atau bahkan film anak-anak, tapi si film itu sendiri terasa jauh dari subjeknya tersebut. Yang jatohnya film itu jadi kayak try too hard dalam memportray karakternya, let alone dunia mereka yang coba dibangun. Ketika Berhenti di Sini melakukan itu dengan terlihat natural. The way the characters talk, the way they act around others. Dialognya tahu kapan harus pakai kosa kata anak muda, kapan harus pakai bahasa deep talk, kapan harus bersendu dengan perasaan, kapan harus bercengkerama dengan orang tua. Film ini dengan mudah konek kepada penonton muda, karena mereka sudah easily ‘bicara dengan bahasa yang sama’.  Momen-momen emosional yang jadi ujung tombak cerita juga jadi terdeliver dengan baik. Banyak loh yang nangis nonton ini di dalam studioku kemaren. Film ini sendiri terasa beneran ‘muda’. But also, punya kekurangan yang sama dengan anak muda. For it could get too cocky, dan beberapa hal harus dipoles lagi.

Lama-lama si A.I. juga gak ada bedanya dengan hantu

 

Naskah film ini masih terasa rough around the edges. Hook-hook dan plot poin cerita bergerak dengan aneh, ada yang kayak atas dasar hura-hura saja. Banyak kejadian film ini terjadi karena sesuatu yang enggak langsung berhubungan dengan konflik karakter utama. Misalnya, kacamata AR tersebut gak bakal ada di tangan Dita (yang artinya cerita film ini gak bakal lanjut) kalo Dita tidak menumpahkan lagi minumannya ke iPad. Jadi, majunya cerita sebenarnya lemah, tapi kebetulan seperti demikian itu masih bisa dimaklumi. Salah satu cara membuat penonton maklum dengan mendesain kebetulan tersebut dengan kejadian yang masih ada sangkut pautnya dengan flaw protagonis. Jika dia orang yang belum bisa move on, berarti adegan kebetulan itu bisa terjadi dari dia yang gak fokus karena mikirin orang yang udah gak ada sehingga menumpahkan minum. Pada film ini, adegan kebetulan itu adalah Dita menumpahkan minum karena saat meeting dengan cameo pemain Mencuri Raden Saleh, wallpaper ipadnya keganti jadi foto dia dengan Ifan. Not even foto Ed. Atau bahkan bukan karena malu ketahuan oleh sahabat-sahabatnya. Ini kan seperti gerakan gegabah khas anak muda, dilakukan oleh film ini. Adegan yang mestinya bisa didesain untuk lebih tight (film ini perlu banget sebenarnya lebih banyak memasukkan interaksi Dita dengan sahabat-sahabatnya) jadi loose karena film ingin masukin hal yang menarik lainnya.

Cerita jarang sekali maju karena pilihan Dita si tokoh utama. Most of the time Dita hanya bereaksi atas keadaan di sekitarnya. Gak sengaja menumpahkan air. Mendengar kabar Ed kecelakaan. Pilihan signifikan pertama untuk majunya plot yang dibuat oleh Dita adalah saat memutuskan untuk terus memakai kacamata AR. Dan itu baru terjadi menjelang mid point. Tadinya kupikir bakal jadi penghantar masuk babak kedua loh. So it’s nice film ini ngebuild up hubungan karakter terlebih dahulu – tiga puluh menit awal benar-benar digunakan untuk ini –  tapi harusnya itu bisa dilakukan dengan tetap memberikan pilihan kepada karakter utama. Tetap membuatnya beraksi jadi penggerak cerita. Looking back setelah nonton aku bahkan gak yakin Dita punya motivasi personal sebelum kenalan dengan Ed. Dan soal kenalan itu, film juga gak circled back lagi, gak ngasih alasan kenapa si Ed ini seorang complete stranger yang follow sosmed Dita. Kenapa gak teman kampus, atau semacamnya. Apakah biar dia jadi manic pixie dream boy, kayak Clementine di Eternal Sunshine (tapi bahkan Clementine ternyata berkembang jadi lebih dari sekadar manic pixie dream girl) Kenapa Ed follow Dita. Tadinya kupikir Dita semacam seleb sosmed, karena ada adegan sosmednya direply oleh banyak orang. Tapi perihal itu juga tidak divisit lagi, presence sosmed Dita kayak cuma buat lihatin bahwa mereka ini anak muda yang interaksinya ya banyakan di dunia maya.

Bagian terbaik film memang ketika Dita mulai punya kacamata putih itu. Dia mulai membuat pilihan-pilihan, yang seharusnya memang membuat hidupnya jadi makin rumit. Membuat relasinya dengan Ifan, dengan sahabat, dengan sekitarnya renggang, dan semacamnya. Satu lagi kekurangan pada naskah adalah seperti kehabisan waktu (atau ide? ah, masa sih ide..?) saat menggali bagian ini. Si Dita ini kurang di’punish’. Drama itu kan main naik turun, titik teratas ke titik terendah karakter. Nah, film ini tu kayak belum ngasih Dita ke titik terendah hidupnya.  Stakenya gak terasa, karena Dita gak terkesan beneran merasa ada kegagalan saat dia menghabiskan waktunya ngobrol dan menjalin hubungan sama hologram alih-alih manusia nyata. Bahkan sampai akhir aku merasa sukar percaya Dita genuinely appreciate Ifan, karena, ada surat dan segala macem (malah Ifan yang mau mencoba mengerti Dita kembali). Di akhir naskah kembali ragu untuk meletakkan semuanya di tangan Dita. Keputusan dia mendelete hologram juga berkurang efeknya karena dia tidak belajar dari kesalahan sendiri.

 




Padahal sebenarnya film ini memang unik. Premis ‘seseorang yang ingin lanjutin hidup tapi tidak mau mengikhlaskan orang-orang yang telah meninggalkannya’ itu udah kayak si karakter ini kemauan dan rintangannya adalah hal yang sama. Karena dengan gak ikhlaskain orang yang udah pergi, ya sama aja dengan gak pengen lanjutin hidup. This is just a second movie dari Umay, dan dia udah berani bikin yang sekompleks ini. Ceritanya berevolusi dari tentang pure romance, ke yang lebih psychologically challenging dengan fiksi ilmiah sebagai panggung, ke hubungan ayah dan anak. Sejujurnya ini udah masuk ke kriteria yang layak di posisi nilai sembilan buatku. Tapi naskah adalah sandungan utama. Walau dialog-dialognya tersusun (dan terlontar) dengan genuine, teknis dan strukturnya masih loose. Masih banyak gegabah. Karakter utamanya juga tidak banyak menggerakkan cerita dengan pilihan. Jika pun ada, posisi dan timing adegannya aneh. Terus juga ada adegan yang hooknya gak benar-benar nyambung ke konflik. Kayak, posisi cameo aja seolah lebih didahulukan ketimbang menggali persahabatan karakter sentral. Meski begitu, memang, dengan passion dan kreasi semenyegarkan ini, aku harap kiprah penyutradaan Umay tidak berhenti di sini.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for KETIKA BERHENTI DI SINI

 




That’s all we have for now.

Kalo kacamata itu beneran ada, apakah kalian akan menggunakannya untuk menyapa kembali orang yang telah pergi?

Share pendapat kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian ke Apple TV+ , karena ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



OPPENHEIMER Review

 

“You can’t blame science for being used for evil purposes.”

 

 

Kita baru saja ‘survive’ dari ledakan-bioskop yang bernama Barbenheimer. Sementara fenomena dua film ‘IP gede’ ini memang pantas dirayakan (diversity keduanya memberikan pengalaman dan suasana menonton yang luar biasa luar-dalam bioskop), kedua film itu sendiri – Barbie karya Greta Gerwig dan Oppenheimer buatan Christopher Nolan – sebenarnya sama-sama punya something untuk kita bawa pulang. Sesuatu untuk dipikirkan. Barbie gak sekadar fun dan colorful. Oppenheimer gak cuma ledakan bombastis dan adegan hitam putih yang gritty. Keduanya sama-sama punya bobot dan menghantarkan emosi. Bahkan, kedua film ini membicarakan hal yang serupa. Yakni tentang gimana suatu gagasan atau ide terwujud menjadi sesuatu yang ternyata tak lagi bisa dikendalikan. Jika Barbie berkutat dengan eksistensnya sebagai boneka yang dibuat sebagai gagasan, ikon feminisme namun ternyata malah membawa hidup ke hal yang toxic, Oppenheimer menyelami titular karakternya. Yang dihantui dilema moral dan rasa bersalah, karena dia, sang Bapak Bom Atom, telah menciptakan senjata yang dipakai untuk berperang. Teori dan gagasan-gagasan cemerlangnya mengenai atom/nuklir justru membuatnya merasa dirinya telah menjadi ikon dari “Death, the destroyer of worlds”

Pusing pala Berbi

 

Nolan menggarap film ini sebagai biopik, tapi bukan sembarang biopik. Enggak sekadar menceritakan kisah hidup J. Robert Oppenheimer dari muda sampai sukses menciptakan bom atom. Bukan, ini bukan biopik keberhasilan yang menginspirasi. Nolan sudah barang tentu paham sekali bahwa ‘keberhasilan’ Oppenheimer sejatinya adalah keadaan dilema moral manusia yang sangat pelik. Sekalipun si pembuat film punya sikap, dan mungkin keberpihakan misalnya dengan sains yang enggak salah atau semacamnya, Nolan dengan bijak mengajak kita semua menyelami Oppenheimer secara personal terlebih dahulu. Dengan bijak mempertimbangkan bahwa dengan dua ratus ribu lebih jiwa korban Hiroshima dan Nagasaki, bagi beberapa jelas tidak mudah memaafkan ataupun menganggap Oppenheimer menjadi pahlawan sains dengan begitu saja. Maka Nolan membuat biopik ini dengan sama rumitnya dengan yang dirasakan oleh si karakter. Development Oppenheimer sebagai karakter mungkin sudah jelas; seseorang yang bangga dengan yang ia kerjakan, namun perlahan menjadi merasa bersalah hingga mengecam dirinya sendiri, tapi bahkan Nolan tidak membiarkan Oppenheimer mengalami journey yang terlihat gampang. Nolan justru membolak-balik urutan cerita, dia suguhkan kejadian dengan tidak linear supaya Oppenheimer semakin jumpalitan pada journey-nya itu – dan kita duduk di sana merasakan langsung semuanya.

Ya, ini penceritaan-rumit khas Nolan. Bentukan dasar penceritaan Oppenheimer sebenarnya adalah drama interogasi. Oppie (panggilannya oleh kolega) di ‘present time’ film lagi duduk ditanyai oleh pihak pemerintah. Oppie dicurigai sebagai orang yang gak nasionalis – mata-mata komunis, on top of perubahan sikapnya terhadap senjata nuklir dan pengembangan bom hidrogen. Kejadian film akan bergulir sesuai dengan jawaban Oppie mengenang hal yang ditanyakan kepadanya. Kehidupan Oppie, mulai dari dia berusaha meracuni dosennya saat kuliah hingga mengembangkan teori kuantum (Oppie disebut kuat teori tapi canggung saat praktek) hingga melakukan Trinity Test, dari pacaran dengan Jane, menikah dengan Kitty, dan menyesali kematian-kematian akibat perbuatannya, serta sepanjang karir kedekatannya dengan orang-orang sayap kiri, semua akan terangkum dengan relatif acak, tergantung apa yang ia ceritakan kepada para penanya. Bentuk seperti ini membuat film ini jadi punya vibe dokumenter. Apalagi karena Nolan memang memperlakukan karakter-karakter ceritanya sebagai, kayak tokoh beneran (and they are). Mereka dilepaskan dari nama-nama besar aktor yang memerankan mereka. Para aktor justru dibiarkan melebur menjadi yang mereka perankan. Sekelas Emily Blunt aja dibiarkan jadi sosok blur di latar belakang saat Oppie diwawancara. Rami Malek paling cuma muncul sekelebat. Film lain mungkin akan membuat si A meranin tokoh B sebagai sebuah big deal, tapi pada Oppenheimer, mereka tidak akan ‘berperan’ sampai tokoh mereka beneran dibutuhkan oleh Oppie. Nolan ingin kita melihat mereka sebagai tokoh-tokoh sejarah itu. Florence Pugh literally ditelanjangi, karena memang di situlah kepentingannya. Sebagai tokoh Jane, orang yang bersamanya Oppie merasa paling aman membuka diri. Pengenalan tokoh yang paling playful dibuat film ini, menurutku, adalah Albert Einstein di pinggir kolam (diperankan oleh aktor Skotlandia Tom Conti). See, dialog Oppie dengan Einstein di pinggir kolam itu sebenarnya yang mereka bicarakan adalah punchline penting, yang secara kronologis juga terjadi di kemudian hari. Tapi oleh film dimunculkan di awal-awal, sehingga ini jadi hook yang membuat penceritaan jadi asik untuk diikuti, dan akhirnya membungkus film dengan nicely saat cerita circle back ke dialog ini.

Treatment Nolan terhadap tokoh-tokoh cerita enggak menyetop para aktor untuk memberikan penampilan paling serius mereka. Saat nonton aku gagal menemukan Devon Bostick karena dia begitu menjelma jadi salah satu fisikawan Manhattan Project. Tentu, ngomongin menjelma, kita gak bisa tidak mengapresiasi Cillian Murphy yang jadi Oppie. Penampilan kurus Oppie dijadikan penanda visual betapa rasa bersalah itu menghantui dirinya, Murphy sangat komit di sini. Aktingnya melingkup fisik dan mental. Ekspresi. Semua total. Mungkin dari semua tokoh, yang masih kelihatan aura aktor di baliknya itu cuma Lewis Strauss, yang dimainkan oleh Robert Downey Jr. dengan vibe cocky-nya yang seperti biasa. Strauss si Bisnisman actually punya peran besar di dalam cerita, karena dia bertindak sebagai ‘perspektif yang satu lagi’. Ya, membuat cerita tidak linear ternyata belum cukup. Penonton masih perlu menyelami lebih banyak, melihat gambar yang lebih besar. Jadi, dengan resiko membuat film menjadi lebih rumit, Nolan memasukkan dua sudut pandang dengan treatment yang juga berbeda. Ketika memperlihatkan sisi Oppie, kita akan diberikan adegan yang berwarna. Kita dimaksudkan melihat apa yang dirasakan oleh Oppie. Namun ketika film ingin kita melihat lebih objektif, dari gimana pihak luar melihat Oppie, film menjadi hitam-putih dan perspektif akan diwakilkan oleh Lewis Strauss, yang sedikit banyak punya peran dalam proses ‘kejatuhan’ Oppie.

Kalo Indonesia, Slamet Rahardjo kayaknya cocok jadi Einstein

 

Aku bego fisika. Aku gak tertarik bom dan persenjataan. Aku juga kurang open sama sejarah dan politik. Hebatnya film ini tetap beresonansi.  Karena perasaan bersalah Oppie itu bakal relate banget. Film ini menggambarkan ketakutan dan resah Oppenheimer dengan benar-benar manusiawi. Aku dulu suka baca Animorphs dan ada satu karakternya yang kupikir terinspirasi dari Oppenheimer atau Prometheus. Karakter di buku itu bernama Seerow, ilmuwan bangsa Andalite yang memberikan icip-icip teknologi kepada bangsa Yeerk, parasit tanpa panca-indera. Namun justru karena kebaikan Seerow itulah perbudakan galaksi terjadi. Bangsa Yeerk menggunakan teknologi untuk mencari host dan memperbudak bangsa planet lain. Seerow akhirnya dikucilkan oleh bangsanya sendiri. Seerow adalah Oppenheimer, dan Oppenheimer adalah kita semua yang takut kebaikan kita disalahgunakan. Like, mau ngasih sumbangan buat anak-anak jalanan aja kita takut, siapa tau nanti duitnya dipakai beli rokok, atau diambil tukang palak. Perasaan inilah yang relate, dan Nolan mencengkeram perasaan itu dan menghadirkannya lekat-lekat. Momen terbaik film ini buatku adalah ketika Nolan memvisualkan perasaan Oppenheimer, begitu kuat sehingga nyaris seperti adegan film horor.

Gambar-gambar yang dihadirkan pun jadi seperti sureal. Ketika Oppie menatap riak air di kolam, dia seperti melihat gambaran daerah yang bergetar kejatuhan bom. Ketika Oppie pidato di depan penduduk Amerika, seharusnya menyuarakan kesuksesan pengiriman bom ke Hiroshima, tapi dia kebayang apa yang terjadi di Jepang sana. Gimana efek bom ciptaannya terhadap manusia. Audiens yang sedang bertepuk tangan kini dilihat Oppie sebagai korban bom yang menjerit kesakitan dengan wajah mengelupas (tak sekalipun Nolan menggambarkan secara langsung Jepang kena bom, sebagai bentuk respeknya terhadap para korban). Ketika Oppie duduk di sana didesak oleh pewawancara untuk mengakui perbuatannya. Di film ini Nolan menciptakan adegan ledakan beneran, tanpa CGI. Adegan yang luar biasa, indah dan menakutkan bersamaan. Tapi momen-momen psikologis Oppie tadi, buatku terasa jauh lebih memekakkan hati. Nolan berhasil membuat visual yang kuat. Sejujurnya, aku ngarep kalo film ini bisa dipersingkat, dan fokus di visual. Tapi pada kenyataannya, Oppenheimer memang banyak dialog. Dialognya dilontarkan cepat-cepat, adegan pun bergulir cepat, karakter muncul silih berganti, seolah Nolan treats dialog-dialog itu sebagai adegan action. Dan unfortunately for me, kalo urusan dialog aku lebih suka kepada adegan yang ngasih dialog tersebut jeda, supaya kita bisa punya waktu mencerna feel yang dirasain karakternya. Lebih lama merasakan impactnya. Apalagi kalo dialognya itu bukan dialog komedi seperti film komedi.

Penceritaannya yang menyeluruh, dengan dua perspektif,  memperlihatkan di satu sisi penciptaan bom atom memang sebuah pencapaian umat manusia, di sisi lain juga memperlihatkan manusia juga bisa berbuat salah. Film juga mengingatkan bahwa ada permainan politik yang menggerakkan itu semua. Film ini tidak memaksa penonton untuk memaafkan Oppenheimer. Si Oppenheimer sendiri bahkan belum bisa memaafkan dirinya hingga akhir hayat, karena telah membuat perang semakin mutakhir. Dan mungkin inilah yang sebenarnya diinginkan film, supaya tak ada lagi Oppie-Oppie berikutnya. Karena seperti yang disebutkan film, maaf yang tersisa seharusnya adalah maaf untuk diri sendiri. Penyesalan dan memaafkan itulah yang sejatinya memisahkan kita dari ‘jahat’ yang sebenarnya.

 




‘Musik’ yang bisa kita rasakan di film ini adalah musik keresahan dari orang yang merasa telah menarik pelatuk kehancuran dunia. Menurutku cukup itu saja yang benar-benar harus kita coba mengerti pada film ini. Sementara Nolan, memang dia telah membuat sesuatu yang besar di sini, dia meluluhlantakkan semua. Biopik yang ia buat meledak oleh tsunami fakta mengenai kejadian dan karakter di balik pengeboman Jepang pada Perang Dunia Kedua. Nolan memeriksa kejadian tersebut dengan detil dan berimbang, dan tidak seperti film terakhirnya, kali ini yang ia ciptakan tidak void dari emosi. Tokohnya beneran dimanusiakan. Dan dia berani untuk tidak membuatnya gampang. Kejadiannya dibuat non linear supaya makin mengaduk-aduk perasaan karakter. Visualnya mencengangkan. No CGI? Well, damn!  Kalo anak jaman sekarang bilangnya; “Emangnya boleh seepik ini?”
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for OPPENHEIMER

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian Bang Oppie bersalah? Apakah kalian memaafkannya?

Share pendapat kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian ke Apple TV+ , karena ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA