TWISTERS Review

 

“Don’t let your pain destroy you”

 

 

Waktu kuliah Geologi dulu, aku sempat tertarik sama mata kuliah Mitigasi Bencana. I thought it’s really cool menganalisa dan menyiapkan sesuatu yang preventif demi kepentingan masyarakat. Tapi di saat itu juga aku sadar tanggung jawabnya besar. Gimana kalo aku yang bego ini salah baca data, salah langkah. Wuih bisa fatal, Jangan-jangan ntar bukannya bertahan, masyarakat malah jadi kocar-kacir padahal gak ada apa-apa. Apalagi, dan ternyata benar menurut film disaster karya Lee Isaac Chung ini, bidang mitigasi memang luar biasa penting. Bukan hanya gak boleh ngasal dan bertanggung jawab dalam mengoperasikan atau mengolah data, melainkan juga butuh keberanian dan kesiapan diri yang sama besarnya. Karena kalo ada satu hal lagi yang aku sadari berkat film ini bahwa mungkin keputusanku benar gak lanjut ambil mata kuliah itu. maka itu adalah kita gak bakal bisa ready untuk nolongin orang, kalo sendirinya belum ready – belum kokoh – menghadapi terjangan tornado masalah dalam diri pribadi.

Memang, diceritakan berat bagi Kate Cooper untuk kembali menekuni passionnya dari kecil sebagai tornado-chaser. Perempuan brilian itu kini ngantor sebagai meteorologist, enggan untuk kembali ke lapangan, tempat dia meninggalkan proyek mulia yang tadinya ia kembangkan di bangku kuliah untuk ‘menjinakkan’ angin topan. Karena kejadian yang kita lihat di opening film sangat membekas. Alih-alih nolong masyarakat, Kate dan projek ciptaannya malah membuat teman-teman dan kekasihnya celaka. Tapi toh yang namanya passion, tak akan pernah padam. Musim tornado di Oklahoma semakin mengganas. Kate yang punya keahlian khusus menganalisa munculnya tornado akhirnya bersedia untuk gabung bersama tim Javi, teman sesama penyintas kejadian di opening itu, dengan alat-alat mutakhir untuk menge-scan dan menangkap data tornado. Di padang rumput luas yang cerah namun seketika dapat berubah menjadi berbahaya itu, tim Kate amprokan dengan tim Tyler, YouTuber/influencer pemburu-topan yang sekilas tampak mengganggu dan hanya ingin bersenang-senang di atas bencana.

Tunggu sampai semuanya kena F-5, dari Brock Lesnar!!

 

Meskipun katanya film ini adalah sekuel, namun kita bisa menangkap banyak banget ruh dari film Twister (1996) yang menghidupkan aspek-aspek kecil film ini. Salah-salah, aku bisa nyangka ini remake haha.. Ceritanya sendiri memang tidak berkelanjutan, tidak ada karakter film yang lama muncul kembali. Penghubung antara kedua film ini justru teknologinya. Alat penangkap data tornado yang dinamai Dorothy (reference ke film klasik The Wizard of Oz yang ceritanya tentang gadis bernama Dorothy kehisap tornado hingga sampai ke magical land) kini sudah sampai ke tahap yang lebih mutakhir. Referensi tersebut bahkan dilanjutkan; nama-nama tim Javi dinamai dari geng Dorothy di film itu. Sedangkan Kate, sebagai tokoh utama, buatku terasa seperti gabungan dari Jo dan Bill. Atau tepatnya, buatku terasa seperti Kate seperti versi koreksi film ini terhadap karakter Jo yang berbagi porsi dengan Bill. Kate di film ini benar-benar capable dan mandiri di bidangnya. Dia bisa teknik membaca ‘kode alam’ seperti yang dilakukan Bill, serta jago mengoperasikan alat seperti Jo. In fact, konsep penjinak tornado solely adalah buah pikirannya. Penampilan Daisy Edgar-Jones saja dibuat mirip banget dengan Jo; rambut pirang dikuncir, tank top putih, dan semacamnya. Supaya gak jadi terlalu sempurna, film memfokuskan kepada konflik yang dipantik dari trauma Kate. Trauma personalnya inilah yang jadi flaw, yang dikembangkan jadi drama yang menghidupkan cerita, sebab Kate jadi meragukan diri, setengah-setengah mengejar tornado, sehingga menghambat misi timnya.

Makanya Tyler Owens si YouTuber jadi karakter pendukung yang tepat untuk Kate. Bukan semata karena Glen Powell jago banget mainin karakter songong namun kharismatik. Melainkan karena Tyler yang dengan mobil merahnya (again, nod to film original) mengejar tornado cuma buat menembakkan kembang api ke dalamnya, perlahan membimbing Kate keluar dari pusaran ketakutan. Tyler membuat Kate kembali berani, bukan hanya menaklukkan ketakutannya, melainkan juga menunggangi rasa takut. Dalam arti, membuat ketakutannya sebagai pijakan untuk menjadi orang yang lebih baik. Dan aku menemukan diriku lebih mudah konek kepada permasalahan Kate, dan dukungan Tyler, karena terasa personal, ketimbang persoalan menemukan kembali cinta di balik urusan pasangan yang mau cerai pada film originalnya. Imbasnya, relationship yang terjalin antara Kate dan Tyler juga lebih mudah aku ikuti, dan aku mengerti, dan aku peduli. Dari yang tadinya semacam rival karena merasa beda cause, mereka jadi saling tertarik, lebih dari ketertarikan fisik, melainkan mereka menemukan kesamaan deep inside dan tujuan. Dan cara film mendekatkan mereka bukan kayak receh ala FTV yang tadinya berantem jadi pacaran, tapi lebih humanis. Serta tentu saja lebih exciting, karena tetap saja film ini pada dasarnya adalah tentang bencana alam, jadi di lapisan luar ada pusaran angin ribut yang eventually, literally, dibikin membara.

Dari Tyler, Kate (dan kite-kite semuanye) belajar bahwa rating bencana alam seperti puting beliung diukur justru dari efek kerusakan yang ditimbulkan. Yang berarti, kita sendirilah yang menentukan seberapa besar tragedi menghancurkan diri kita. Kita  yang memutuskan berapa lama bencana itu menerjang sebelum akhirnya reda. Maka, bangkitlah segera. Selamatkan dirimu, lalu selamatkan orang lain.

 

Momen-momen action survival dan kejar-kejaran ‘menangkap’ tornadonya dibuat seru. Karena bukan hanya teknologi Dorothy yang semakin maju, teknologi bikin film pun juga. Maka Twisters bisa lebih mengeksplorasi secara visual baik itu dari tornado terbentuk hingga menyerang kota yang tadinya lagi ada acara rodeo. Film benar-benar jago dalam mengontraskan, baik itu warna maupun skala. In case belum pada nyadar dari judulnya, twisternya sekarang ada yang dua. Kembar. Tapi film ini berhasil membuatnya tidak tampak cheesy kayak misalnya kalo ada film hiu, lalu kali ini ceritanya ada hiu kedua atau hiunya mutant, atau gimana. Film tetap mempertahankan tone ringan tapi serius. Ringan, karena film ini nyadar, gimana pun juga, ya sebenarnya lawak cerita seputar meredakan tornado. But at least, mereka membuatnya grounded dengan hati. Dan film ini bikin, setiap kemunculan angin tersebut, kita melihat aksi yang berbeda. Para karakter kita dengan ilmu dan alat-alat canggihnya, mereka gak lantas berhasil. Mereka gagal. Mereka belajar. Mereka berlari menyelamatkan diri. Film ini punya build up yang cukup sehingga adegan-adegan tersebut terasa intens. Satu lagi yang juga berhasil dipotret adalah kepanikan saat bencana datang. Gak salah disematkan sebagai genre thriller. Kepanikan yang membuat manusia lupa, sehingga salah langkah, tidak mendengar instruksi karena panik, dan whoosssh mereka terbang. Dalam menyorot suka-duka mitigasi bencana, film ini berhasil ngasih lihat sehingga kita melek, bidang ini memang penting!

Mana sinefil banget pula, tempat berlindung terakhir mereka di dalam teater cinema hhehe

 

Aku sempat mengira “wah ada pergeseran nilai nih” ketika melihat di awal Kate masuk ke dalam tim corporate, dan dia sebel melihat timTyler yang datang-datang bawa penggemar, yang begitu ‘colorful’ sehingga seolah angin tornado bagi mereka bukan bencana melainkan tontonan dan show semata. Soalnya di film terdahulu, protagonis kita berada di tim yang mandiri, dan ‘bad guy’nya adalah tim corporate – dengan seragam dan segala formalitas lainnya. Nah, ‘nilai’ ini yang aku sangka sudah berubah di jaman sekarang, karena film bikin protagonis utama di tim korporat. Mungkin, aku kira, film ini juga ingin menyinggung soal kultur ‘ngonten’. Aku tertarik karena ingin melihat alasan film untuk mengatakan tim korporat lah tim yang baik. Tapi ternyata jaman belum begitu berubah. Sekali lagi, film ini kayak bermain-main dengan ruh film pertamanya. Perlahan, Kate menyadari dia ada di tim yang salah. Ini tentu jadi journey yang menarik, yang menambah kepada perkembangan Kate sebagai karakter. Prejudice yang dia bawa mengenai orang-orang ‘free-spirited’ yang ada di tim Tyler tentu akan terbawa juga kepada kita. Dan di balik mentereng dan profesionalitasnya – it seems – korporat tetaplah pihak yang culas, yang dengan no problem nyari cuan di atas penderitaan rakyat. Bagaimana pendapat kalian tentang gambaran dua tim dalam film ini? Silahkan share di komen yaa

 




Kalo ditanya suka yang mana, aku lebih cocok dengan sekuel ini. Meskipun memang, kalo ditanya lebih jauh, aku merasa film ini lebih mirip sebagai spiritual remake dari film pertamanya. Alasan suka karena film yang ini terasa lebih mudah relate (tapi itu mungkin karena aku nonton film pertama di masa-masa belum ngerti soal pasangan yang mau cerai haha) But, I do think karakter dalam film ini terasa kuat juga humanity-nya. Mereka punya layer, terutama karakter seperti Tyler. Untuk Kate sendiri, kita dibuat paham sama flaw-nya. Film fokus kepada flawnya, dan ini penting, karena tanpa ketakutan alias trauma dari survivor guilt-nya tersebut, Kate hanya akan jadi karakter utama yang terlalu sempurna. Dia tidak akan menarik. Tapi film berhasil membuat setiap pertemuan dia dengan tornado itu punya arti, punya makna kepada pembelajarannya sebagai manusia. Sambil juga film ini tetap menjalankan fungsinya sebagai disaster-flick yang seru, intens, kadang lucu-kadang konyol.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TWISTERS

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



SEKAWAN LIMO Review

 

“It is not the mountain we conquer, but ourselves”

 

 

Sekawan Limo punya arti dua. Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai lima sekawan. Sedangkan dalam bahasa Jawa, basically artinya empat-tapi-lima. Judul tersebut memang klop membawa ruh cerita yang tentang persahabatan dari sekelompok anak muda yang naik gunung yang dibalut oleh elemen horor, karena salah satu di antara mereka adalah demit atau hantu. Bayu Skak dalam penyutradaraan horor pertamanya ini memang bermain-main dengan mitos ataupun anekdot-anekdot horor yang dikenal masyarakat, terutama orang Jawa Timur dan orang yang hobi naik gunung. Pun begitu, lewat pesannya, film ini juga punya implikasi yang menurutku cukup bikin sedih terkait orang-orang yang datang ke gunung, lalu hilang.

Pada cerita kali ini, Bayu juga kembali ikut main peran. Sebagai Bagas. Protagonis cerita, yang pergi naik Gunung Madyopuro bersama teman kampusnya, Lenni. Biasalah anak muda, pengen nembak demenannya di puncak. Pas sun set/rise. Tapi karena dua mahasiswa ini baru pertama kali naik gunung, mereka gak tau kalo di gunung banyak pohon cemara, eh salah, ada aturan-aturan. Gak boleh noleh ke belakang, harus naik berkelompok – dan gak boleh berjumlah ganjil. Maka Bagas dan Lenni bergabung bersama dua pendaki lain, Dicky yang ngakunya Mapala dan tahu jalan. Serta Juna yang – kasian banget – ditinggal oleh kelompoknya. Di perjalanan, mau tak mau mereka harus nambah anggota satu demi melihat pendaki bernama Andrew tergeletak kelelahan. Setelah itulah, satu persatu kelompok mereka mulai diganggu demit. Bagas, yang tak tahu, gebetan dan teman-teman seperjalanannya itu diam-diam punya beban masa lalu yang berat, mulai curiga ada demit di antara salah satu dari mereka; demit yang mengundang semua kejadian aneh itu kepada mereka semua.

Bawaan teman-temannya lebih berat daripada tas Bagas yang katanya gede karena bawa orang sekampung

 

Sebelum bahas Bagas dan kengkawan di hutan, aku mau point out dulu yang pertama menarik perhatianku. Yakni setting podcast yang membungkus cerita. Jadi petualangan Bagas di hutan itu ceritanya, diceritakan kembali oleh Bagas yang diundang sebagai bintang tamu di acara podcast. Film ini dibuka di studio podcast tersebut. Aku nontonnya, wuih ini udah kayak Late Night with the Devil (2024) nih, bedanya film itu settingnya acara live talk show televisi. Aku penasaran, mau dibawa ke mana nih setting ini oleh Sekawan Limo. Apakah nanti Bagas akan ada konflik dengan lawan bicara yang skeptis, atau bakal ada pertunjukan hantu ‘beneran’ kayak di horor karya sineas Australia tersebut, apa gimana. Dibandingkan demikian, Sekawan Limo ternyata memang tidak menggunakan setting studio podcast (live?) nya sebagai device horor atau drama seperti film tersebut. Melainkan difungsikan lebih untuk sarana penyampai komedi. Sesekali kita berpindah dari kejadian di hutan kembali ke studio saat dua host podcastnya memantik kelucuan dari reaksi dan komentar mereka terhadap cerita Bagas. Kadang terasa dua host ini seperti perpanjangan dari reaksi kita, kadang juga mereka seperti ikut memancing pandangan kita soal siapa yang hantu di antara kelompok Bagas, tapi sering juga mereka ya komedi aja. Sampai-sampai aku jadi gak yakin apakah karakter mereka yang host itu cuma pura-pura konyol supaya perbincangan terdengar menarik oleh pendengar, atau memang karakter mereka memang didesain sekonyol itu beneran.

Mungkin memang mereka sekadar lucu-lucuan, karena toh daging sebenarnya ada pada kelompok Bagas di hutan. Sungguh sebuah grup yang ‘colorful’ kalo boleh dibilang. Mereka mungkin gak semuanya likeable. Tapi mereka tetap menarik, karena sesungguhnya mereka baru kenal – kecuali Bagas dengan Lenni – tapi kita bisa merasakan perlahan mereka ya jadi kayak teman. Lengkap dengan saling ejek dan saling berdebat. Ini yang bikin mereka konek ke penonton. Dinamika mereka, interaksi mereka. Cowok yang hobi naik gunung pasti pernah punya modus ngajak cewek ke gunung kayak Bagas ke Lenni.  Aku pun relate juga sama Lenni, yang walau gak bisa bahasa Jawa, tapi kalo diajak ngomong ngerti. Aku juga gitu kalo udah urusan bahasa Sunda ataupun bahasa Jawa itu sendiri, kalo ada circle teman-teman dari sana, ya aku angguk-angguk ngerti tapi kalo ikutan nyeletuk ya keluarnya bahasa Indonesia. Begitulah. urusan bahasa yang digunakan, sepertinya ini jadi icing on the cake dari gaya humor film ini. Bahasa dan gaya khas pergaulan Jawa Timur itu bukannya jadi penghalang, namun jadi pesona tersendiri, dan film ini paham bagaimana menempatkan ‘suara-suara’ ini.  Dialog-dialog lucunya, misalnya. Film memang terbuild up ke tebak-tebak siapa yang hantu di antara mereka, dan untuk nyamarin ‘jawaban’ itu, film ini kinda bersandar kepada joke yang becandain fisik (borderline rasis maybe). Like, ada yang diledek karena jelek kayak hanoman, misalnya. Tapi di situ jugalah relatenya.  Karena kita belum bisa dibilang temenan akrab sama orang, kalo belum bisa saling hina, saling becanda. Film ini nunjukin terjalinnya persahabatan dari sana, di samping juga dari adegan emotional yang bakal datang di babak tiga.

Yang sebenarnya agak aneh justru journey Bagas sebagai karakter.  Aneh, dalam sense film ini punya langkah untuk berkelit around posisi aneh karakter utamanya tersebut. Bagas memang bakal menyadari satu pembelajaran (yang serunya diambil sebagai pemaknaan dari larangan mitos naik gunung), akan tetapi, teman-temannya-lah yang harus ngepush diri dan mental mereka untuk ikut menyadari dan mengambil aksi terhadap penyadaran tersebut.  Sementara Bagas sudah berdamai dengan pembelajaran tersebut bahkan sejak cerita dimulai. Kayaknya jarang nemu film dengan naskah yang memperlakukan karakter utamanya di posisi begini. Dibilang lemah karena karakternya gak ada plot/gak berubah, ya enggak juga. Tapi dibilang dia yang ngalamin, ya enggak, teman-temannya yang harus menuntaskan masalah mereka masing-masing. Bagas ada di sana, untuk mengingatkan mereka saja. Film juga berusaha memainkan posisi Bagas ini sebagai hal yang membuat karakternya somewhat suspicious. Bagas yang gak diganggu hantu, jangan-jangan dialah hantu di grup mereka tersebut.

Inside Out if it was filmed in my mind.

 

Justru sekarang, ruang berkelit kita-kita sebagai pengulas yang jadi sempit. Susah untuk enggak menyenggol spoiler, ketika justru revealing-nya itu tempat makna, gagasan utama, dan pesan cerita berada, dan film memutar diri untuk sepenuhnya bersandar kepada revealing tersebut sebagai momen dramatis. Makanya aku gak mau bahas banyak soal ‘jangan melihat ke belakang’ tersebut. Aku justru ingin fokus ke implikasi yang sama menyedihkannya. Yaitu di awal film, saat masih di pos depan, Bagas dan Lenni melihat banyak sekali foto-foto pengunjung/pendaki yang hilang di gunung. Mereka sendiri juga bakal ngerasain gimana seramnya tersesat di gunung dan bisa dibilang nyaris hilang juga. Tapi mereka resolved their problems. Sesuatu yang tidak berhasil dilakukan oleh korban-korban yang hilang tersebut. Sedihnya tu di sini: Berarti banyak banget pendaki yang naik gunung dengan bawaan masa lalu yang berat banget seperti karakter film ini, dan bahkan mungkin sebagian dari orang yang hilang itu seperti Lenni, yang sengaja naik gunung buat mengakhiri capek dirinya.

Makanya gunung sering jadi simbol entah itu pencarian menemukan diri, ataupun ya tempat mengadu saat hati galau. Bukan hanya sebagai tempat romantis untuk nembak cewek. Gunung  bisa jadi tempat entah itu kita berhasil menemukan kembali diri, atau jadi tempat terakhir. Yang kita lalukan saat mendaki gunung, bukanlah menaklukan gunung tersebut, melainkan menaklukkan diri kita sendiri. Berdamai dengan diri kita sendiri

 

At best, film ini dengan narasi ‘jangan menoleh ke belakang” tersebut bisa berfungsi sebagai semangat untuk tidak lari dari masala(h)lu. Bahkan mungkin bisa jadi cerita asli Indonesia yang anti-suicide (serta yang duluan muncul sebagai film anti-judi online!). Pesan film ini baik sekali. Meskipun, cara penyampaiannya masih bisa diperdebatkan lagi. Menurutku, film ini mengambil jalur yang repetitif dalam mencapai puncaknya tersebut. Bagas punya empat teman dengan masalah masing-masing, berarti ada empat kali ‘metoda’ yang sama kita lihat dilakukan oleh film dalam menceritakan penyadaran karakter-karakter tersebut. Alhasil film ini memang punya nada emosional positif yang tinggi menjelang akhir tersebut, tapi karena diceritakannya hanya bergantian, jadinya repetitif sehingga tempo agak drag mencapai ke penutup cerita – yang sekali lagi setting podcast dimunculkan, kali ini difungsikan sebagai sarana konklusi romantis yang manis, meski tetap lanjut dengan vibe horor komedinya.

 




Bahan-bahan racikan film ini sebenarnya bagus. Memadukan misteri, horor hantu-hantuan, dan komedi persahabatan dengan pamungkas emotional note yang tinggi. Belum lagi konsep naik gunung dengan segala mitosnya (termasuk mitos kedaerahan seperti penanggalan Jawa). Urusan bahasa, udah gak jadi soal. Penonton kita kayaknya gak peduli language barrier (gak kayak penonton Amrik sono yang baca subtitle aja males-malesan). Bahasa justru jadi identitas dan pesona tersindiri yang memperkaya perbendaharaan penonton. Cuma memang penceritaannya agak kikuk. Yang masih bisa dimaklumi terjadi ketika sebuah film mengusung banyak konsep, seperti di sini ada setting podcast juga, ada desain ke membuat penonton menebak-nebak, ada demit ‘beneran’ dan demit ‘masa lalu’. Dan ada empat orang – setidaknya – yang harus digali (bukan hanya pada akhir tapi juga basically sepanjang durasi), sementara ada satu protagonis utama yang juga harus dicuatkan. Film ini kebetulan mengambil jalur ‘aman’ yang repetitif, resulting ke tempo yang lebih draggy, alih-alih potong kompas alias lebih ‘garang’ di arahan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SEKAWAN LIMO

 

 




That’s all we have for now.

Kalian punya pengalaman naik gunung yang seru – dan kalo bisa horor – gak?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



A QUIET PLACE: DAY ONE Review

 

“Life is found in the dance between your deepest desire and your greatest fear”

 

 

Diam-diam,  A Quiet Place ternyata ngembangin franchise horor survival yang kuat muatan kemanusiaannya. Sudah tiga film – termasuk yang sekarang digarap oleh Michael Sarnoski ini – dan ketiga-tiganya selalu lebih dari sekadar tontonan hiburan dari gimmick invasi makhluk alien yang punya pendengaran super. Bukan cuma soal tidak bersuara jika ingin selamat. Film pertamanya, yang rilis 2018 silam, mengusung pengorbanan demi keluarga lewat persoalan survive dengan tahu kapan harus bersuara, kapan harus diam. Lalu sekuelnya, yang kali itu ceritanya meluas karena keluarga karakter berinteraksi dengan survivor lain, merupakan soal pengorbanan demi kemanusiaan, bagaimana pentingnya membantu orang lain meskipun sekilas seperti mereka tak worthy untuk diselamatkan, dan untuk itu kita tidak bisa dengan tinggal diam. Film ketiganya ini, yang secara timeline dinyatakan sebagai prekuel – hari pertama dari invasi maut itu – bicara tentang keinginan untuk hidup. Keinginan yang sengaja atau mungkin tidak bisa lagi terucapkan, karena situasi yang mengharuskan. Skala lokasinya satu kota besar, tapi cerita kembali menjadi bahkan lebih personal lagi. Film ini memang sedikit lebih serius, lebih ke drama, dan less soal action survivor ataupun horor monster. Tapi tidak sampai sedemikian berat karena afterall ini juga soal menikmati hidup. Motivasi utama protagonisnya saja – di dunia yang mendadak kacau beliau itu – adalah makan pizza favoritnya!

Serius deh, ini harusnya dinormalisasi. Perkara karakter punya tujuan sederhana (atau bisa dibilang out-of-place ketika dikontraskan dengan situasi dunia atau konflik yang sedang terjadi) seharusnya lebih sering dilakukan oleh film-film, sebab itu membuat karakternya tampak lebih beresonansi. Kayak waktu Tallahassee yang berkeliling menumpas zombie di Zombieland (2009) karena dia sedang dalam misi mencari snack Twinkies kesukaannya. Atau recently dalam Leave the World Behind (2023), ada anak kecil yang cuma pengen namatin nonton serial Friends, despite orangtuanya sibuk ketakutan oleh dunia sedang kacau balau kena serangan cyber misterius. Film itu bahkan dengan beraninya mengakhiri cerita bukan dengan menuntaskan konflik global, melainkan menyelesaikan keinginan si anak. Konyol? Bisa dibilang begitu tapi tidak juga sebenarnya. Motivasi sederhana mereka itu jadi seperti api kecil harapan di balik keadaan yang sedang tidak baik-baik saja. Motivasi tersebut jadi simbol. Keinginan Samira makan pizza dari toko di kota New York, penting karena memuat gagasan dan tema utama karakter dan cerita keseluruhan A Quiet Place: Day One.

Begini, Samira adalah pasien kanker yang nasibnya sudah pasti. Hidupnya tak lama lagi. Di momen pertama kita ‘berkenalan’ dengannya kita tahu Sam udah sebodo amat, Sam bacain puisi tentang segala hal di dunia ini sampah – it was a good, cold, poet tho. Udah eneg banget kayaknya dia hidup. Pizza-lah satu-satunya hal yang masih ‘enak’ baginya, Karena pizza ngingetin dia sama masa lalu yang hangat. Jadi karena dijanjiin pizza, maka Sam mau ikut perawatnya ke New York. Tapi hari itu ternyata bukan hari yang baik untuk makan pizza ke New York. Sebab itu adalah hari saat invasi monster asing terjadi. Korban berjatuhan. Kota porak poranda. Ketika semua orang berusaha menyelamatkan diri naik kapal, Sam bersama kucing kesayangannya malah menyusuri jalan. Masih ngotot mencari pizza, Sam akhirnya malah bertemu dengan teman seperjalanan yang membuatnya kembali merasakan hangatnya semangat hidup.

Kebayang gak sih kalo lagi nahan suara takut monster gitu, tau-tau ada yang kentut

 

Saat nonton dua film terdahulu, mungkin ada yang sempat kepikiran gimana prosesnya survivor bisa tahu bahwa monster ini peka ama suara, butuh berapa lama sampai para manusia sadar mereka harus tak-bersuara agar selamat? Well, film Day One ini ngasih jawaban yang jelas. Enggak lama. Kericuhan memang terjadi pas monster-monster itu baru muncul. Bagi Sam yang sudah terbiasa diam dan mengelak dari interaksi dengan manusia, mungkin bukan benar-benar masalah, tapi manusia-manusia lain di sekitarnya? Ketakutanku soal cerita ini bakal jadi teror monster biasa memang hampir jadi kenyataan, tapi itu enggak lama. Begitu Sam siuman dari pingsan, para survivor telah mengerti cara supaya aman dari serangan. Bahwa mereka harus diam. Film ini memang ingin menunjukkan betapa manusia punya survival insting yang kuat. Punya keinginan untuk hidup yang kuat. Sehingga mereka cepat beradaptasi dan menemukan celah dari serangan monster. Keinginan untuk hidup itulah yang jadi kata kunci di film ini.

Rasa kasihan dan kepedulian kita kepada Sam datang dari benturan antara dua hal itu. Kita ngerti Sam yang terminally ill basically udah gak punya keinginan untuk hidup, tapi kita juga lihat daya survivalnya tinggi karena dia pengen banget makan pizza untuk terakhir kali. Nontonin Sam ini rasanya diri berkecamuk sendiri – pengen neriakin Sam supaya benar-benar nikmatin hidupnya, tapi gak bisa karena ya kalo teriak takutnya monster denger. Film ini konsep horornya udah kuat merekat, ditambah pula karakter yang bikin kita ya akhirnya hanya bisa diam juga. Tapi untuk penyadaran Sam itulah – karena kita sebagai penonton gak punya ‘power’ ngasih tau karakter – naskah menghadirkan Eric. Pria yang seperti counter-point dari Sam. Teman seperjalanan yang awalnya ogah-ogahan diterima oleh Sam. Eric, basically, adalah orang yang selama ini mendedikasikan hidupnya untuk hal yang tak bisa ia tolak. Kata-katanya soal law school seolah dia memang diharapkan jadi pengacara dan itulah yang ia lakukan. Tapi keadaan dunia yang hancur sekarang, membuat dia tak perlu lagi jadi pengacara. Eric adalah orang yang merasa punya kesempatan mengejar hidup baru. tapi dia gak bisa apa-apa karena tak melakukan hal lain. Sam dan Eric eventually akan saling ‘mengisi’. Connection di antara mereka jadi hati yang mengangkat film ini. Adegan di jazz club benar-benar mereveal dan nunjukin development yang hangat pada dua karakter yang menguar oleh empati. Itu jadi adegan puncak, Ada keindahan sendiri pada storytelling film ini saat menempatkan adegan full of life itu di tengah-tengah teror, bahaya, dan luluh lantak dunia yang penuh monster mengerikan.

Hidup adalah apa yang kita lakukan ketika menggapai yang diinginkan, meskipun harus melewati ketakutan terbesar. Film ini nunjukin bagi tiap orang ‘hidup’ – being alive – itu berbeda-beda. Makanya ending film ini jadi terasa monumental, sebuah pilihan akhiran cerita yang benar-benar tepat untuk menamatkan kisah hidup Samira; karakter yang divonis mati, di dunia yang juga udah harus ikhlas bakal mati, tapi alih-alih diam, menemukan cara baru untuk benar-benar menyuarakan hidupnya.

 

Lupita Nyong’o dan Joseph Quinn benar-benar paham membuat karakter mereka tampak kontras, punya dinamika yang tantangan menampilkannya sangat berat karena mereka harus lebih banyak diam. Film dengan konsep mengontraskan aksi dengan elemen emosional yang tanpa suara ini memang bergantung kepada akting. Pemainnya dituntut harus bisa bicara lewat gerak kecil, sorot mata, pokoknya seluruh tubuhnya harus bicara menyampaikan psikologi ataupun yang dirasakan karakternya. Informasi tentang mereka terbatas dari sini. Lupita terutama; capeknya dia, frustasinya dia, senangnya, takutnya, marahnya, penolakannya, terekspresikan semua. Film ngasih challenge; muka belepotan abu lah, harus berhadapan dengan monster lah, semua itu ditackle tanpa lepas dari emosi karakter. Yang aku suka satu lagi dari Sam dan Eric adalah kenyataan bahwa mereka ini dipertemukan oleh kucing. Hewan yang dikenal sebagai salah satu hewan paling mandiri bought them together. Seolah ini adalah kiasan berikutnya bahwa mandiri bukan berarti kita tidak berempati ataupun tidak butuh koneksi dengan orang – atau bahkan makhluk – lain.

Salut buat akting kucingnya yang bisa diam, karena aku dulu punya kucing dan aku yakin kalo aku bawa kucingku ke dunia A Quiet Place, baru lima detik kami pasti sudah dimangsa monster

 

Tapi di balik nilai plusnya, tentu kita juga tidak bisa mendiamkan beberapa aspek lemah dari arahan dan penulisan film. Yang paling mengganjal buatku adalah kemunculan Eric. Karakter ini muncul tanpa set up. Literally dia muncul dari sebuah jumpscare. Kirain dia ini gak penting dan bakal mati cepet, tapi ternyata justru kebalikannya. Mungkin film ingin memperkuat kesan bahwa yang namanya hidup, ya unexpected things happen. Kita gak bisa milih siapa yang bakal masuk dan berperan dalam hidup. Bahwa pembelajaran bisa datang dari mana saja. Namun tetap saja yang namanya film, akan selalu lebih baik jika karakter dibuild up dengan proper, atau paling enggak, tidak muncul begitu saja di dalam cerita. I mean, bahkan dalam cerita plot twist paling kacrut pun, karakter yang diungkap sebagai ‘penjahat sebenarnya’ biasanya sudah ada ‘clue’ atau dimunculkan seenggaknya sekilas di awal-awal. Cara film ini mengintroduce Eric dengan abrupt terkesan naskah belum demikian matang memuat racikan konsep cerita.

Dan ngomong-ngomong soal matang, film ini toh tersandung juga ketika mencoba mempersembahkan diri sebagai bagian dari sebuah universe cerita. Film sekenanya aja ketika mulai nyambung-nyambungin antara karakter yang ada di film sebelumnya.  Aku gak ngerasa karakter Henri penting untuk ada di sini. Adegannya ‘mengurusi’ salah satu warga yang panik oleh monster terasa gak penting karena cuma itu satu-satunya bagian dia tampak mencuat. Selanjutnya dia tidak dibahas lagi hingga akhir. Bahkan kalo mau nunjukin paralel antara sikapnya dengan sikap Sam nanti ketika dealing with kepanikan Eric, harusnya keberadaan dia mestinya bisa lebih ditekankan lagi. Karena kalo cuma seperti yang kita saksikan, keberadaan dia kayak maksa, biar kelihatan ini beneran satu universe aja.

 

 




Also, judulnya buatku bisa bikin beberapa penonton merasa terkecoh. Ini mungkin lebih tepat dibahas sebagai problem judul film masa kini yang udah kayak ngincer SEO, kali ya. Maksudku, dari judulnya sekilas film seperti ingin membahas hari pertama di semesta A Quiet Place. Penonton bakal ngarepin aksi ataupun keadaan yang menyeluruh dari ‘hari pertama’ tersebut. Padahal ceritanya sendiri actually adalah cerita yang sangat personal. Yang sangat intimate antara dua survivor. Ditambah pula dengan less-aksi dan more of bahasan karakter, film ini bakal jadi entry paling boring. Namun secara muatan cerita, sebenarnya film ini paling kompleks. Dari ketiganya so far, yang paling ‘elevated’ sebagai horor invasi ya film ini. Kekurangan sebenarnya cuma di beberapa titik kurang matang, atau pilihannya aneh. Sementara karakter dan journeynya, kalo mau memperhatikan, mereka semua meluap oleh emosi yang memang tidak disampaikan dengan sekadar cuap-cuap.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for A QUIET PLACE: DAY ONE

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana menurut kalian tentang motivasi karakter yang ‘sepele’ seperti ini? Apakah kalian setuju dengan pendapatku di atas?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 19 (HIT MAN, TRIGGER WARNING, THE WATCHERS, UNDER PARIS, AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR, MALAM PENCABUT NYAWA, THE STRANGERS: CHAPTER 1, DILAN 1983: WO AI NI)

 

 

Delapan film yang terangkum dalam Volume 19 ini mengawali kita masuk ke pertengahan tahun, sebelum layar diberondong oleh film-film blockbuster musim panas. Ada manusia dengan hiu, manusia dengan jaguar, hingga ke manusia dengan peri. But I must say,  kloter pembuka ini gak really hot. I mean, cuma Hit Man (manusia dengan banyak penyamaran!) yang benar-benar sukses jadi tayangan entertain – selain juga ngasih kualitas dan something yang fresh. Selainnya,  either ada yang kurang, dan lumayan banyak juga yang flat out jatohnya mengecewakan. Yuk mulai saja kita bahas satu persatu:

 

 

AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR Review

Nonton kisah persahabatan antara manusia dengan hewan memang cenderung ngasih perasaan yang uplifting serta mengharukan. I like those feelings. Hmm.. tahun ini cukup banyak deh kita dapet cerita tentang persahabatan dua makhluk kayak begini, bisa kayaknya jadi kategori spesial di next My Dirt Sheet Awards hihihi.. Anyway,  kuncinya memang di ‘dua makhluknya’; semakin unlikely, semakin dramatis pula ceritanya bisa dikembangkan. Sutradara Gilles de Maistre udah paham lah bikin kisah anak dengan hewan buas. Sebelumnya dia pernah bikin anak kecil dengan singa putih, dan kini dia bawa kita ke hutan untuk melihat Autumn dengan sahabatnya; seekor jaguar hitam bernama Hope.

Bobot dramatis dari persahabatan ini dikembangkan dari Autumn yang sudah lama berpisah dengan Hope, kembali lagi ke hutan untuk menyelamatkan Hope yang diburu pemburu gelap. Autumn ingin mencari dan membawa Hope lebih jauh ke dalam hutan. Masalahnya, sebagaimana Autumn sudah bukan anak kecil lagi, Hope juga sudah besar. Tidak ada satupun yang bisa menjamin Hope masih ingat dengan Autumn, ataupun apakah Hope tidak menjadi buas. Dalam bahasannya ini, film juga memuat persoalan tentang perdagangan satwa, tentang perburuan liar, dan gimana orang kota mau mengeksploitasi isi hutan. Untungnya, tidak seperti Petualangan Sherina 2 (2023), bahasan ‘peduli satwa’ tidak dibahas setengah-setengah oleh film ini. Autumn beneran berinteraksi dengan jaguar yang diselamatkan. Not only that, mereka beneran seperti sahabat. Itu yang terutama bikin film ini seru. Banyak adegan yang bikin aku bergumam “itu sutingnya beneran?” Karena film ini beneran membuat aktor-aktornya berinteraksi dengan hutan, dan isinya.

Tema dan cerita genuinely konek. Tapi masih ada lagi. Autumn and the Black Jaguar juga adalah tentang Autumn – yang kehilangan ibu karena pemburu, persis seperti Hope – dengan ayahnya. Juga tentang Autumn dengan guru biologinya; yang tau teori tapi belum pernah sama sekali turun ke ‘lapangan’. Dinamika Autumn dengan ibu guru akan mengundang tawa karena si ibu ini bakal heboh dan ribet banget di hutan. Khas kayak kalo orang kota masuk desa. Kontras dengan Autumn yang udah nganggep hutan kayak kampung halaman atau rumah sejatinya. Masalah dalam penceritaan film ini terjadi tatkala karakter si ibu guru mengoverpower Autumn yang tokoh utama. Dalam artian,  yang kita tonton ternyata lebih banyak soal development ibu guru. Reaksi ibu guru terhadap putusan Autumn, terhadap lingkungan sekitar, akhirnya menjadi sajian yang mengisi layar dengan hal yang lebih variatif ketimbang Autumn bermain-main dengan Hope. Ibu guru pun punya journey yang lebih kuat, pembelajaran dia antara di awal dengan akhir cerita, lebih jelas. Sedangkan Autumn, gak banyak perubahan, issue dia dengan ayahnya berakhir ‘damai’ begitu saja. Ditutup hanya karena filmnya udah mau tamat.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for AUTUMN AND THE BLACK JAGUAR

 

 

 

DILAN 1983: WO AI NI Review

Berhubung Dilan versi mini, maka reviewnya juga kebagian yang mini, yaa.. haha enggak ding. Aku cuma bingung Pidi Baiq dan Fajar Bustomi di film ini niatnya pengen bahas atau nunjukin apa. Kayaknya kuncinya ya pada ‘Dilan versi mini’ itu. Alih-alih menceritakan masa kecil Dilan yang sudah kita kenal masa remajanya; si kapten anak motor, tukang berantem, dan punya segudang cara ajaib buat gombalin cewek, film ini kayak cuma menceritakan Dilan yang itu, cuma sekarang versi dia di dunia anak SD. Karena gak ada sense of growth di sini. Gak kayak Riley, misalnya. Kita bisa lihat ‘perbedaan’ antara saat Riley masih kecil di Inside Out (2015) sama ketika dia masuk usia remaja di Inside Out 2 (2024). Ada emosi baru, ada bahasan yang berbeda terkait emosi itu. Sementara Dilan, film ini bahkan bukan ‘origin story’ kenapa Dilan bisa jago gombal. Sejak kecil ternyata dia sudah seperti itu!

Jadi yang diceritakan adalah Dilan kembali ke Bandung, ke sekolah lamanya. Di kelas, ada anak yang baru dilihat Dilan. Cewek. Namanya Mei Lien. Dilan langsung suka. Dia menggoda Mei Lien, baik dengan gombalan maupun dengan sikap yang sama ajaibnya. Teman dan ibu gurunya pada ketawa ketika Dilan bacain puisi berjudul “Kau” (plesetan Chairil Anwar’s “Aku”) kepada Mei Lien di depan kelas. Kenakalan dari sudut pandang anak biasanya innocent. Karena mereka polos. Aku bandingkan salah satunya dengan Lupus Kecil (yang dibuat setelah Lupus SMA hits); ceritanya ya seputar keseharian kayak dia bolos karena pengen ke mall, dia pura-pura sakit, dia main permainan anak-anak di masanya. Sedangkan Dilan kecil ini, jatohnya creepy. Kepolosannya memang digambarkan; cara dia nanggepin hukuman, ‘seteru’nya dengan akang penjaga mesjid, relasinya dengan Bunda, Ayah, kakek, dan Mak Syik – yang cara didik masing-masing seems mempengaruhi perkembangan Dilan, tapi adegan-adegan tersebut dengan cepat dikesampingkan karena begitu Dilan udah ketemu Mei Lien, pov anak ini balik kayak remaja yang udah kita kenal. Man, bahkan Sadam ngejailin Sherina terasa lebih genuine ketimbang Dilan yang udah punya bakat dipuja sejak dini.

Dua jam pun habis dengan cerita ngalor-ngidul tanpa ritme. Padahal sebenarnya hal yang bisa jadi daging cerita itu ada di sana. Dari situasi sosial pada era itu, misalnya. Film ini bisa saja membuat Dilan not aware ama situasi Mei Lien, karena dia masih anak-anak.  Film bisa saja mengontraskan dunia anak-anak mereka dengan realita di background, sehingga cerita bisa lebih menggigit. Atau ya, persoalan persahabatan Dilan dan Mei Lien langsung aja dijadikan fokus. Menjadikannya cuma muncul di akhir membuat film jadi terlalu mengulur. Dan karena di akhir film, dengan cepat persoalan itu terlepas. Bahwa film tetap tidak fokus di sana. Fokusnya ya Dilan saja. Mei Lien cuma love interest yang ‘lepas’ tapi masih dikenang.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for DILAN 1983: WO AI NI

 

 

 

HIT MAN Review

Tadinya kukira film ini ala John Wick, you know, tipikal ‘pria biasa yang dipush untuk balas dendam, dan ternyata dia memang mantan assassin handal” seperti yang lagi ngetren belakangan. Oh, I couldn’t be more wrong. Hit Man karya terbaru Richard Linklater mematahkan ekspektasi remehku, sembari mematahkan ekspektasi semua orang tentang pembunuh bayaran; image yang kita bentuk lewat gambaran media. Terinspirasi dari Gary Johnson yang kerjaannya jadi pembunuh palsu untuk membantu polisi nyetop kriminal, Hit Man dibuat oleh Linklater sebagai dark rom-com(?) yang bukan saja menghibur tapi juga punya bahasan berbobot tentang bagaimana kita memandang diri sendiri.

Gary di cerita film ini seorang profesor psikolog. Di kampus, dia ngajarin soal gimana kita terkadang terhanyut dalam identitas karangan sendiri. Tanpa dia sadari, soon pria yang happy dengan hidupnya yang aman dan biasa-biasa saja itu kemakan omongan sendiri. Karena di kerjaan sampingannya, Gary diminta polisi untuk membantu memancing pengakuan dari orang yang ingin melakukan pembunuhan, dengan menyamar sebagai pembunuh bayaran. Sebagai psikolog, Gary suka meriset ‘klien’nya, dan dia bakal muncul sebagai persona hit man yang berbeda-beda tergantung klien. Inilah ketika Gary mencicipi banyak identitas, dan dia mulai hanyut ke dalam salah satu persona, yaitu Ron. Hit man cool untuk klien wanita cantik yang ingin membunuh suaminya.

Bahasan identitas dan psikologisnya ini yang membuat Hit Man jadi sangat menarik. Film ini sepert sisi mata uang sebaliknya dari The Killer (2023).  Basically, film itu  membahas gimana assassin gak mesti jago banget, eventho tiap orang bakal berusaha ngasih the best dalam pekerjaan mereka. Sedangkan film ini, implies, orang biasa seperti Gary bisa percaya mereka as a person adalah pembunuh bayaran yang handal, jika mereka serius membangun identitas itu. Nonton ini aku semakin ngakak karena kebayang si Gary ini kalo main kuis-kuis trivia ‘personality/karakter apa kamu?’ dia pasti milih hasilnya dulu, lalu baru menjawab tiap pertanyaan dengan hasil pilihan tadi sebagai patokan. Naskah dan arahan yang cerdas ini semakin lengkap menghibur karena cast yang tepat. Glen Powell, yang dulu aku taunya dari serial Scream Queens yang di sana dia smooth banget jadi jerk, love interestnya Emma Roberts, main sangat hilarious menjadi banyak ‘cosplay’ pembunuh bayaran. Glen sendiri mungkin lebih jago dari karakternya, Gary, karena dia tidak kehilangan beat dan tidak larut ke dalam begitu banyak ‘karakter’. Melihatnya, kita tetap bisa melihat di dalam sana ada Gary yang mencoba berpegang pada siapa dirinya, tapi hal menjadi semakin rumit, dan mendorongnya untuk mencoba hal ‘baru’ – sesuatu yang sedari awal tampak bikin dia penasaran di balik sikap sederhananya.

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for HIT MAN

 

 

 

MALAM PENCABUT NYAWA Review

Walau film buatannya pernah laku, tapi aku belum menemukan hal ‘original’ dari arahan horor Sidharta Tata. Malam Pencabut Nyawa, horor yang melintas ke garis genre superhero karena aspek protagonis punya kekuatan untuk memberantas penjahat, pun buatku masih terasa seperti ‘adaptasi’ dari unsur-unsur yang sudah pernah ada. Pertama, tentu saja cerita makhluk jahat yang membunuh orang di alam mimpi mengingatkan kita kepada Freddy Krueger dan franchise film A Nightmare on Elm Street. Kedua, aku toh memang merasa ceritanya banyak mirip dengan game Fatal Frame 3. Game horor tentang karakter yang merasa bersalah atas kematian kekasihnya, sehingga setiap tidur dia mimpi mengikuti kekasihnya ke sebuah rumah besar. Di dalam sana, dia melihat orang lain terbunuh oleh hantu perempuan di sana, dan saat terbangun dia mendengar berita kematian dari orang yang ia lihat di dalam mimpi. Si hantu perempuan adalah korban ritual, ditumbalkan oleh desa, dan dia punya pacar yang menangisi kematiannya. Membuat dia bangkit jadi hantu alam mimpi. Kurang lebih mirip gak sih dengan Respati yang selalu mimpiin hantu orangtuanya yang kecelakaan, yang di alam mimpi melihat orang lain dibunuh perempuan yang jadi hantu karena dibunuh warga, dan si hantu punya anak kecil yang menangisi kematiannya? Shot mata Sukma menjelang ajalnya bahkan mirip dengan shot mata Reika Kuze saat jadi tumbal ritual.

Pada akhirnya memang bukan kemiripan atau katakan saja, cocokologinya yang jadi kekurangan. Tapi karena kekurangmantapan film ini membentuk ceritanya, sehingga jadi kerasa kayak gabungan dua elemen. Sukma si hantu ratu ilmu hitam di alam mimpi harusnya bisa jadi ikon villain horor lokal, seperti gimana Freddy jadi begitu ikonik, tapi statusnya sebagai final boss seperti Reika jadi melemah karena film ini ngasih twist ada manusia yang jadi dalang semua. Sukma akhirnya jadi kayak puppet saja. Battle antara Respati yang jadi Dream Warrior – kalo mau minjam istilah di film Elm Street – dengan Sukma jadi terasa kurang penting karena dengan si dalang-lah sebenarnya journey Respati punya keparalelan. Film ini tidak berhasil membangun alam mimpi itu sebagai momok karena sebenarnya ada musuh yang lebih ‘nyata’ di dunia nyata. Bentukan cerita film ini jadi aneh. Di awal juga sebenarnya aku ngerasa ada yang janggal dari gimana film ini ngebuild Respati gak bisa tidur sebagai insomnia. Karena kayak gak nyambung. Apakah Respati gak bisa tidur malam karena takut didatangi hantu orangtuanya? Kenapa dia takut kalo sebenarnya konflik personalnya adalah merasa bersalah atas kecelakaan mereka? Sekali lagi, ini membuatku merasa naskah seperti campuran yang belum lagi rapi dan matang, antara elemen remaja yang ngalami fenomena takut tidur karena takut dibunuh Freddy di mimpi, dengan elemen Fatal Frame 3 yang karakternya justru pengen tidur terus karena mau bertemu dengan roh kekasih, karena dia masih merasa bersalah dan pengen bertemu satu kali lagi dengannya.

Yang belum matang sayangnya gak cuma naskah. Tapi juga arahan dan akting. Kadang kita ngerti arahan editingnya apa, kayak sekali waktu saat film ingin menerapkan editing komedi. Tapi aktingnya yang gak jalan. Ekspresi muka yang gak kontinu. Raut yang gak jelas sedang merasakan takutkah, atau sedihkah, atau ngantukkah. Terus ada juga editing yang bikin mestinya gak lucu tapi jadi lucu. Misalnya ketika ada tangan setan muncul tiba-tiba dari dalam lubang di pohon. Alih-alih langsung munculin tangan, film malah kayak ngecut dan nyambungin videonya dengan shot yang ada tangan setannya. Jadinya film ini awkward, padahal kalo digarap lebih matang, bisa saja film ini jadi Elm Street versi lokal sehingga fresh sendiri, dengan cerita karakter yang lebih natural.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MALAM PENCABUT NYAWA




THE STRANGERS: CHAPTER 1 Review

Ini siapa sih yang ngide bikin The Strangers – thriller home invasion yang jadi cult-success – ke dalam chapter-chapter? And worse, dengan treatment berupa membagi chapternya itu beneran berdasarkan per babak sehingga film Chapter 1-nya ini literally baru babak satu dari tiga-babak film superpanjang? Karena alhasil, film Renny Harlin ini jadinya boring banget.

Masih mending kalo bahasan di film ini mendalam. Nyatanya, gak ada yang bisa kita bicarain di sini karena filmnya memang gak bicara apa-apa. Cuma nunjukin sepasang kekasih, mobil mereka rusak sehingga harus menginap di kabin terpencil di ujung kota kecil, dan malam itu mereka disatroni tiga orang asing bertopeng. Ini film satu jam habis cuma ngeliatin mereka mengendap-ngendap, lalu ketangkep, dan lantas bersambung. Tidak ada bantering yang berarti dengan pembunuh. Tidak ada adegan sadis yang ‘menghibur’. Tiga puluh menit sebelumnya pun tidak diisi dengan set up karakter yang proper, Maya dan Ryan begitu bland, dan yah, mereka masuk kategori standar; karakter yang ngelakuin hal-hal bego. Padahal dalam horor yang bagus, penting bagi film untuk memberikan karakter yang dalam situasi mencekam, keputusan mereka realistis, atau at least bisa kita setujui sebagai tindakan yang ‘benar’.  Karena itu yang membuat kita peduli dan mungkin relate dengan survival mereka. Jika film gagal membuat mereka melakukan hal tersebut, maka penonton bisa dengan cepat berbalik menjadi ngecheer pembunuh untuk segera melakukan hal-hal ‘menghibur’ kepada mereka. Sebenarnya, masih bisa fun neriakin karakter yang keputusannya blo’on kayak gitu, tapi film ini begitu menjemukan, build up terornya cuma kayak ngulur-ngulur – karakter pembunuhnya pun sama boringnya karena gak benar-benar melakukan apa-apa. Sehingga aku bahkan gak punya tenaga untuk sekadar neriakin mereka buat seru-seruan.

The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for THE STRANGERS: CHAPTER 1

 

 

 

THE WATCHERS Review

Ishana Shyamalan, dalam debut penyutradaraannya ini, berhasil melampui sang ayah. Ya, dia berhasil membuat film yang bahkan lebih payah daripada The Happening (2008). The Watchers, horor fantasi yang diadaptasinya dari novel, tampak asik sendiri di dalam bangunan misteri dari mitologi yang tak-menginspirasi. Penceritaannya gak punya ritme, arahan dan aktingnya cringe banget kayak produksi untuk televisi.

Looksnya aja yang kinclong. Padahal bayangin aja mentoknya antara vibe di hutan kelam yang menyesatkan dan mendekam di ruangan kotak, dengan kamera atau gambar yang super jernih. Sama sekali tidak menyokong pada vibe misteri yang berusaha disampaikan. Yang ada, film malah jadi kayak dongeng yang dibuat-buat.  Nonton ini kayak kita mendengar bualan orang yang awalnya aneh sampai bikin penasaran, tapi semakin ke sini anehnya semakin terasa gaje sehingga kita jadi gak peduli lagi dan membiarkannya bicara apapun sesuka hati. Apalagi karena Ishana berusaha bermain dengan pesona khas ayahnya, yakni memasukkan twist untuk ngespark cerita. Tapi twist-twistnya tersebut tidak pernah terasa signifikan, sebab cuma pengungkapan yang sebenarnya juga gak perlu ditreat sebagai twist.

Mitologi peri dan hubungan makhluk itu dengan manusia harusnya sudah dilandaskan supaya kita punya pegangan jelas terhadap arahan dan ritme cerita. Supaya kita gak tersesat kayak para karakternya. Yang penampilan aktingnya pun terasa ala kadar. Aku kaget banget saat sadar bahwa pemeran protagonisnya itu Dakota Fanning. Aku takjub bahwa ada juga sutradara yang bisa bikin karakter yang begitu underwhelming sampai-sampai sekelas Dakota aja gak keluar pesona aktingnya. Bahkan di Twilight aja masih bisa bikin dia kinda memorable. Ah, mungkin itu satu lagi ‘keberhasilan’ Ishana.

The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for THE WATCHERS.

 

 

 

TRIGGER WARNING Review

Ternyata justru film Mouly Surya ini yang ala John Wick. Hebat ya, sutradara kita actually ngedirect film luar. Cuma masalahnya, gak ada yang ordinary dari jagoan cewek ala John Wick di sini. Parker, diperankan oleh Jessica Alba (Hebat ya, sutradara kita ngedirect Jessica Alba!!) adalah cewek serbabisa, serbacakap, yang membalas dendam.  Walau Mouly berusaha keras bikin protagonisnya ini tampak vulnerable di momen-momen personal, tapi bentukan karakter pada naskah Trigger Warning terlalu Hollywood. Ini adalah film yang dibuat hanya layaknya mesin untuk agenda ‘cewek jaman sekarang kudu jagoan’.

There’s no other ways to say it. Sutradara kita ternyata hanya jadi korban berikutnya dari kebiasaan Hollywood yang suka ambil sutradara asing atau ‘indie’, dan completely missed the points, dengan memberi mereka proyek yang seperti versi simpel dan mainstream dari apa yang membuat sutradara tersebut diperhitungkan. Kurang lebih sama-lah kayak waktu Chloe Zhao ketika didaulat untuk direct superhero Eternals (2022). Practically cuma buat sinematografi battlefield doang, mentang-mentang Zhao sukses bikin drama kehidupan nomad di gurun yang menggugah. Film Trigger Warning hampir seperti cuma ngeliat betapa Marlina yang menggotong kepala pria di padang ala western sebagai simbol feminis yang badass, dan itulah yang diassign kepada Mouly Surya. Bikin karakter cewek hard, jagoan, dan jadikan itu ke dalam gambar-gambar ciamik. Sementara naskahnya relatif dangkal dengan hal-hal stereotipe (yang bahkan menyerempet ranah kurang sensitif) dan muatan crime yang pengen kayak thriller misteri tapi ternyata pay offnya begitu sederhana, dan  predictable nyasarnya bakal ke mana.

Untuk actionnya memang tidak diarahkan untuk stylish, tapi cenderung rough. Dan ini sebenarnya bagus, jadi ‘karakter’. Aku awalnya juga tertarik, karena Parker yang kembali ke kampung karena ayahnya meninggal terlalu mendadak untuk dibilang wajar, itu punya senjata pilihan yaitu pisau. Yang juga merupakan simbol koneksi dia dengan sang ayah. Aku pikir film sedang ngebuild up perihal keparalelan antara dia dengan pisaunya, dan dia dengan ayahnya. Tapi hal tersebut ternyata dengan cepat jadi gak penting, karena ya, Parker nanti berjuang membalas dendam dengan banyak senjata lain.

The Palace of Wisdom gives 4 gold star out of 10 for TRIGGER WARNING.

 

 

 

UNDER PARIS Review

Untuk film terakhir di Volume ini, kita berenang ke Perancis. Dan kita berenang bersama hiu! Premis horor binatang buas karya Xavier Gens ini sebenarnya menarik. Dia memanfaatkan kota Paris dan keunikan struktur jadi panggung berbeda dari sebuah action survival manusia dari serangan hiu. Namun ada gangguan mayor yang menghalangi kita untuk fully menikmati sajiannya ini. Karakter manusia yang sebenarnya technically gak bego (karena ilmuwan), hanya saja mereka hampir semuanya cenderung annoying.  Film bahkan udah ngeset up betapa annoyingnya pilihan karakter di film ini sedari adegan opening. Hasilnya tetep sama sih. Kita neriakin “Goblog!!” ke layar.

Film ini masih bisa worked out semisal mereka ada di arahan yang over-the-top. Tapi film ini memilih untuk serius. Like, di balik teror hiu film ini menyimpan pesan untuk lingkungan. Kota Paris dan keadaan sungai Seine  dibikin berperan, benar-benar dieksplorasi sebagai ‘habitat’ karakter manusia yang di-examine oleh cerita. Film ini menyentil politisi yang kebijakannya hanya untuk cuan, tidak untuk kepentingan masyarakat ataupun peduli sama lingkungan. Film juga melihat ke dalam lingkungan aktivis alam dan satwa. Dan lucunya, aku kepikiran jangan-jangan film ini adalah cara pembuatnya nyampein ajakan untuk bersihin sungai. Karena memang, di akhir cerita, film berubah menjadi lebih seperti film bencana-alam. Konsekuensi atau dampak terbesar justru datang bukan dari serangan hiu-hiu tersebut.

Atau ya, kalo memang mau seserius itu, film ini kudu ngasih naskah perhatian yang lebih. Karakter diperdalam, berikan development. Konflik mereka jangan dibuat datang dari betapa annoyingnya masing-masing memegang kepercayaan (dan kalo bisa, solusi yang mereka percaya itu jangan bego-bego amat) Put more thought on it, dan film ini akan bisa hit us different.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for UNDER PARIS.

 




 

 

That’s all we have for now

Bener kan, volume pembuka musim panas ini belum benar-benar menggugah selera. Semoga bulan depan film-filmnya lebih seru!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



INSIDE OUT 2 Review

 

“Why do we lose ourselves in anxiety?”

 

 

Alarm pubertas telah berbunyi. Riley sudah bukan anak kecil lagi. Maka siap – gak siap, Joy dan para Kru Emosi di dalam Riley pun harus ikut bertumbuh dewasa supaya bisa mengendalikan perasaan-perasaan Riley. Menyiapkan gadis cilik itu kepada fase berikut dari hidupnya. Itulah alasan kenapa sekuel dari Inside Out (2015) ini ada. Karena manusia bertumbuh, dan akan selalu ada cerita dan tantangan baru yang dihadapi. Nonton Inside Out yang mewujudkan emosi ke dalam karakter lucu, setidaknya membuat kita mampu memahami apa dan kenapa, kita mengalami perasaan tertentu. Bangunan dunianya yang begitu immersive dan kreatif  membuat menyelami psikologi karakternya – yang kemungkinan besar merupakan cerminan dari apa yang pernah kita alami –  serasa menempuh petualangan yang sendirinya juga seru dan emosional. Jika di dalam kepala Riley ada Joy, Sadness, Anger, Disgust, dan Fear yang memegang panel kendali, maka di dalam sekuel Inside Out ini ada sutradara Kelsey Mann dan tim penulis sebagai komando dari the rest of the crew untuk menghadirkan kepada kita lanjutan ‘pelajaran psikologi perkembangan anak’ dengan cara yang sama menyentuh dan menghiburnya.

Remaja adalah fase mencari jati diri. Makanya saat menginjak remaja, perasaan kita akan semakin kompleks. Begitu juga dengan Riley. Anak itu sekarang semakin giat menekuni olahraga hoki. Dia gabung tim di sekolah bersama dua sahabat. Dia juga punya idola di olahraga tersebut. Itulah identitas Riley yang dijaga oleh Joy dan para Kru Emosi. Anak baik, atlet hoki, bersama dua sahabatnya. Tapi remaja juga berarti sebuah fase perubahan. Dan as perasaan Riley campur aduk oleh potensi satu tim bersama idola dan potensi gak bakal satu sekolah lagi dengan sahabatnya, perubahan besar terjadi di ruang kendali Emosi. Panel kendalinya semakin sensitif. Ruangan pun semakin besar, karena Joy dan teman-teman kedatangan anggota baru. Empat Emosi yang tampak lebih intense (Sebenarnya lima, tapi yang satu lagi baiknya disimpan saja karena memang masih hanya lucu-lucuan buat anak tua). Ada Embarassment, si besar dan, ehm, pemalu yang ngeliatnya lebih kasihan daripada ngeliat si Sadness. Ennui, yang lebih sarkas daripada Disgust, Ada Envy, yang walaupun kecil tapi lebih enerjik daripada Anger. Dan ketua mereka, si oren Anxiety, yang pecicilan dan khawatirnya ngalah-ngalahin Joy dan Fear. Si Anxiety claim dia sudah menyiapkan banyak skenario untuk membantu Riley mengarungi masa pelatihan di kamp. Anxiety percaya Riley yang beranjak remaja butuh identitas baru, supaya survive di babak hidupnya yang baru. Dan Joy serta kru Emosi yang lama, dianggap sebagai pengganggu. Sehingga Anxiety membuang mereka, serta identitas lama Riley. Joy harus memimpin teman-temannya mencari jalan kembali ke ruang kendali, demi mengembalikan Riley seperti yang dulu.

review inside out 2
Aku masih mikir, cocoknya nama Joy itu ditranslate sebagai Ria aja daripada Riang

 

In a way, Joy di film ini ngalamin jadi seperti Sadness di film pertama. Dibuang dan merasa tidak dibutuhkan. Ada dialog sedih banget tatkala Joy ngerasa remaja seperti Riley butuh less joy di dalam hidup mereka. Bedanya Joy dengan Sadness di film pertama; Joy enggak pasif. Di sinilah kerja keras tim penulis di ruang komando film mengulik naskah supaya Joy yang karakter utama tetap memegang kendali cerita. Karena, Joy di sini bereaksi atas tindakan Anxiety yang membuang mereka.  Sekilas memang seperti, yang bikin plot bergerak adalah kedatangan Anxiety dan Emosi yang baru, serta tindakan mereka yang membuat Joy dan kawan-kawan tersingkir. Tapi naskah berjuang untuk membuat Joy tetap berada di kursi kemudi, dengan membuat Joy punya false-believe lain, yang telah dilakukannya sebelum Anxiety datang. Yaitu, memilih kenangan dan feelings yang positif-positif saja untuk membangun self-sense atau identitas Riley. Seiring cerita berjalan, development Joy adalah menyadari bahwa believe-nya itu pun tidak tepat. Bahwa sebenarnya dirinya sama saja dengan Anxiety, bedanya Anxiety hanya mencemaskan hal-hal yang belum terjadi dan membangun self-sense Riley dari kewaspadaan tersebut. Dan akhirnya memang, Riley yang merasa orang baik sehingga clueless dan kurang sadar akan kekurangan atau kesalahan dirinya sendiri, jatoh sama kurang bagusnya dengan Riley yang meragukan dirinya sendiri. Yang jadi stake di sini memang Riley, yang menjadi kehilangan jati diri. Sehingga bisa-bisa jadi depresi.

Persis seperti itulah remaja seusia Riley. Dioverwhelm oleh perasaan gak pede, dihantui oleh kecemasan untuk gagal karena merasa dirinya tidak akan pernah good enough, hingga sampai kehilangan jati diri karena cemas tidak diterima oleh sosial. Film ini really nails problematika mereka dan mentranslasikannya ke dalam bahasa petualangan fantasi. Bersama Joy, Anxiety, dan teman-teman Emosi yang lain kita akan menyadari, bahwa self sense kita adalah hal yang kompleks. Bahwa yang membentuk diri kita bukan elemen kebaikan semata. Kita harus ingat kesalahan yang kita perbuat, hal malu-maluin yang pernah kita lakukan, kita harus merasa cemas, cemburu, takut, sedih, harus tahu apa kelemahan kita, karena itulah yang membentuk siapa diri kita secara utuh. Dan kunci untuk menjadi bahagia, adalah mengetahui siapa diri kita sendiri – seutuh-utuhnya.

 

Naskah boleh saja masih menggunakan formula yang mirip dengan film pertama – basically cuma semacam pembalikan, dan alih-alih accept kesedihan, Joy di sini accept dirinya harus berbagi ruang juga dengan Anxiety, tapi bukan berarti film ini sebenarnya sudah kehabisan ide. Justru sebaliknya. Film ini ternyata masih punya banyak kreasi untuk bikin dunia di dalam Riley itu begitu menarik dan punya sistem yang kuat. Lihatlah bagaimana film membawa kita ke tempat-tempat di film pertama, dan mengubah tempat itu sesuai dengan keadaan Riley sekarang. Pulau-pulau relationship Riley sekarang benar-benar mencerminkan pribadi remaja (lebih mikirin persahabatan, dan mulai ‘tertutup’ pada keluarga). Kontrol panel yang dibikin makin sensitif. Dipencet dikit tapi reaksinya ke Riley sungguh dahsyat, seperti gambaran kartunis betapa intensnya perasaan kita di usia segitu (senggol dikit, bacok!) Ada satu momen ketika Joy dan kawan-kawan kembali ke Taman Imajinasi Riley. Tempat yang dulunya sangat magical, kini seperti kantor. Imajinasi Riley sekarang digunakan untuk menggambarkan berbagai skenario kegagalan yang harus diantisipasi oleh Anxiety. Ini udah kayak visualisasi ringan dari kuote terkenal Deepak Chopra “The best use of imagination is creativity. The worst use of imagination is anxiety” yang memang deep abis. Kita menyalahgunakan kreativitas kita untuk hal-hal yang kounterproduktif, bayangkan!

Selain tempat-tempat lama yang sudah berubah, film juga membawa kita berkunjung ke tempat-tempat baru yang tak kalah kreatif. Ada secret vault yang literally brankas tempat rahasia memalukan Riley tersimpan. Di dalam sini banyak karakter baru yang ajaib dan kocak. Ada juga fenomena dengan word play yang tak kalah unik, seperti brain storm. Badai alias hujan bohlam-bohlam ide turun, menghambat petualangan Joy. Yang paling bikin aku ngakak adalah jurang bernama Sar-Chasm. Jurang yang membuat apapun yang disampaikan, akan terdengar seperti sarkas oleh gaung yang ada di sana.

Selain ngajarin psikologi, film ini ternyata juga ngajarin bahasa hihihi

 

Cerita tentang emosi atau perasaan yang jadi karakter, serta secara konteks menyelami perasaan karakter remaja dan melihat bagaimana ‘cara kerja’ semuanya, seperti ini tentu saja gak akan bisa berhasil jika tidak dibarengi dengan visual yang sama ekspresifnya. Mungkin bagi sebagian kita, Pixar sudah tidak perlu diragukan lagi. Tapi tetap saja menurutku, di film ini Pixar menghadirkan kualitas yang bukan cuma berhenti di ‘standar yang penting ekspresif’. Karena selain ekspresif, animasi di sini juga lumayan fluid. Film mulai bermain-main dengan variasi gaya animasi, tergantung dari karakter dan tidak terbatas dilakukan pada karakter-karakter Emosi. Karakter-karakter lain, misalnya karakter dari video game, dibikin punya visual dan gaya animasi – serta gerakan sesuai dengan ‘gimmick’ video game yang glitchy. Ada juga karakter dari kartun, yang oleh film ini bukan saja digambar dengan gaya 2D tapi juga poke fun ke salah satu tipikal acara kartun anak populer yang suka ngobrol breaking the fourth wall kepada pemirsa cilik di rumah. Dan juga tentunya si Riley sendiri. Aku suka desain karakternya yang menurutku kali ini lebih ‘berkarakter’. Jerawat di dagunya itu, menurutku sentuhan kecil yang nice banget ke bentukan karakter ini. Sehingga selain problemnya, dirinya sendiri juga terasa semakin real. Riley di sini semakin terflesh out, Kita mungkin akan melihat sebagian kecil diri kita sewaktu remaja ada pada Riley.

 

 




Inside Out pertama sembilan tahun yang lalu itu merupakan satu dari langka sekali film yang berhasil dapat skor 9 di sini. Dan honestly, aku yang gak terlalu doyan sama sekuel ini, gak antusias-antusias amat menyambut filmnya yang kedua. Tapi ternyata film ini punya alasan tepat untuk hadir, dan actually masih punya banyak ide untuk menggambarkan dunianya. Naskahnya mungkin masih ngikut cetakan yang pertama, tapi penceritaan berhasil membuatnya tambil lebih gede. Seperti juga karakternya yang makin gede, sehingga punya masalah emosional yang lebih gede pula. Untuk mengimbanginya, film juga menaikkan volume komedi, desain karakter yang lebih comic, sehingga film masih mampu menggapai penonton cilik yang udah gak exactly seusia karakter manusianya. Sementara untuk kita yang sudah cukup dewasa, film ini benar-benar sebuah gambaran imajinatif yang seru dan terukur untuk melihat kenapa sih remaja ngalamin hal yang mereka rasakan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for INSIDE OUT 2

 

 




That’s all we have for now.

Waktu itu aku pernah ikut gamequiz di internet, ‘Emosi Inside Out Apakah Kamu?’ dan aku dapat Disgust. Waktu itu pas masih cuma ada lima karakter emosi sih, kayaknya cocok-cocok aja. Tapi sekarang kayaknya aku lebih cocok si Malu-maluin deh haha.. Bagaimana dengan kalian, menurut kalian karakter emosi apa yang paling dominan pada diri kalian?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



INSIDE OUT Review – [2015 RePOST]

 

“Sometimes it is okay to let sadness takes over.”

 

Disney-Pixar-Inside-Out-Movie-Poster

 

Karakter yg mewakili satu sifat atau emosi tertentu memang bukan hal yg baru, kita udah lihat para Smurf dan kurcaci-kurcaci Putri Salju sebelumnya, jadi ya kesan pertama ku buat film ini biasa aja. . TAAAAPPPIII nyatanya, INSIDE OUT TAMPIL UNIK, KREATIF, IMAJINATIF, dan-yea- ORIGINAL! It has completely turned my mind inside out!! Sukaaaaaa~~~

Kita diajak masuk dan melihat isi dalam otak Riley, di mana Joy was in charge sementara Fear, Disgust, Sadness (“don’t touch anything!”), dan Anger membantunya mengendalikan perasaan gadis kecil tersebut. Mereka ingin agar Riley selalu bahagia. Saat Riley yang baru saja pindah ke kota lain, mulai mengenal galau- ga suka rumah baru, gapunya teman, dia jadi ga akur sama orangtuanya-situasi menjadi agak di luar kendali di ‘markas’ alias dalam pikiran Riley.

Film ini dengan smart membuat kisah tentang keadaan psikologis seorang anak yang mulai remaja menjadi penuh petualangan FUN nan mengharukan. IT HITS DEEP, really. Anak-anak mungkin sekarang ketawa ngeliat tingkah si Sadness, namun jika mereka nonton film ini 15 atau 20 tahunan lagi, mereka bakal ngerasain feeling yang berbeda. Paling engga itu yang aku rasakan saat menonton film ini. Ada elemen cerita yang lebih dalam yang bisa kita rasakan- yang anak kecil certainly belum bisa melihat hal tersebut. Makanya film ini begitu spesial. Inside Out berhasil untuk tidak tampil konyol, dan itu benar-benar hal yang bagus karena FILM INI ACTUALLY RESPECT SAMA PIKIRAN ANAK KECIL in that way.

taruhan, crew emosi dalam otak kita pasti sibuk saat kita nonton film ini

Taruhan, it is so complex crew emosi dalam otak kita pasti sibuk saat kita nonton nih film

 

Soal visual jangan ditanya. Everything looks very good. Emosi-emosi itu diwujudkan dalam sosok tokoh-tokoh yang fresh, masing-masing punya ciri khas, dan tentunya menarik banget buat anak-anak. Para pengisi suara did a very good job on their part as wellSuara Joy yang diisi oleh Amy Poehler terdengar penuh kebahagiaan dan, I shoud say, sebuah kelebihan besar bisa segembira itu tanpa jadi terdengar annoying hahaha. Tadinya kukira karakter Joy ini bakal over-the-top kayak Jess di New Girl. Untungnya enggak, I was shocked by thatJoy is actually passed as a likeablePhyllis Smith yang nyuarain Sadness berhasil ngimbangin karakter Joy, while dia sendiri juga enggak terdengar lebay. In fact, aku kagum dengan gimana para dubber dalam film ini bisa nyesuain suara mereka dengan begitu in-character.

 

Emosi manusia adalah hal yang kompleks. Enggak mungkin bagi kita untuk menciptakan bola memori yang murni mewakili satu emosi saja, only kids yang bisa.

atau mungkin Goku, mengingat dia bisa naik awan Kinton.

Atau Goku, mengingat dia bisa naik awan Kinton.

 

I really like bagaimana pembuat film ini menggambarkan cara kerja perasaan manusia ke dalam sebuah dunia dengan segala segala sistem dan mekanisme yang seru dan imajinatif. Kayak gimana cara kerja dunia mimpi, apa yang terjadi sama ingatan-ingatan manusia dan hubungannya dengan pembentukan kepribadian, interaksi antara para emosi, yang semua itu berhasil dijelaskan dengan simpel dan menarik. Bukan hanya Riley, tapi juga ayahnya, ibunya, hey semua orang mempunyai ruang kendali dengan emosi dominan yang berbeda-beda, such a fun concept! Semua hal tersebut berhasil dijelaskan amazingly efektif dalam penceritaan. Mungkin film ini nantinya bisa jadi media belajar psikologi kecil-kecilan haha.

 

INSIDE OUT STANDS OUT AS A VERY MATURE FILM FOR KIDS. Ngajarin anak how to deal with change, growing up, how complex our emotions could-and-should be. Buat yag gede, well, ke mana perginya teman imajinasi kita? Film ini membawa kita ke masa-masa saat seorang anak kecil mulai mempertanyakan diri sendiri. Saat kita sadar bahwa masa kecil is just that, there are alot more yang menunggu kita saat dewasa, it will reminds us betapa ‘sulit’nya masa-masa tumbuh tersebut. Beneran deh, kapan kalian mulai pake hitam? lolThey did a very excellent job at telling that message. Dan tentu saja, Inside Out ngingetin kita semua bahwa tidaklah mengapa untuk membiarkan kesedihan mengambil alih sekali-sekali 

 

 




This is very well might be my favorite Pixar movie of all times. Buat sekarang, no doubt semuanya setuju doong kalo aku bilang kita baru saja menyaksikan film animasi terbaik tahun 2015 ini. The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for Inside Out.

 




That’s all we have for now.

Remember in life, there are winners
and there are losers.

 

 

We be the judge.



MINI REVIEW VOLUME 18 (CIVIL WAR, TUHAN IZINKAN AKU BERDOSA, THE FALL GUY, THE MINISTRY OF UNGENTLEMANLY WARFARE, GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE, BOY KILLS WORLD, MONSTER, CHALLENGERS)

 

 

Ngepublish Mini Review Volume 18 ini, sebenarnya aku agak gak rela. Karena lihat saja film-filmnya, banyak di antaranya masih baru banget, dan banyak juga yang ingin aku bicarakan panjang lebar. Namun sekali lagi, waktu tidak berpihak padaku. Bulan Mei ini aku kembali harus menghabiskan banyak waktu di jalan, jadi yah, aku harus ikhlas menuliskan film-film keren ini dengan lebih singkat. Kalian yang sekiranya belum puas juga, boleh kok ngajak diskusi yang lebih panjang di kolom komen. Ketemuan di sana yaa, abis baca delapan ulasan ini:

 

 

BOY KILLS WORLD Review

Ngeliat posternya, jujur aku ngirain ini adaptasi dari game Double Dragon. Ternyata bukan. Meskipun memang, debut film panjang sutradara Moritz Mohr ini seperti mendapat inspirasi dari video game beat’em up dan fighting. Boy Kills World menceritakan pemuda yang ingin balas dendam kepada penguasa, yang telah membunuh ibu dan adiknya, jadilah dia mengarungi petualangan gebuk-gebukan, yang oleh film adegan berantemnya ditreatment kayak berantem di game, apalagi dengan banyaknya ‘boss fight’ yang harus dikalahkan di masing-masing stage alias tempat.

Boy Kills World memang banyak gaya. Salah satu gayanya adalah gak banyak bicara. Dan gaya tersebut mengembang menjadi gaya-gaya lain. Aku bisa mengerti kenapa Mohr bersandar pada gaya, atau katakanlah gimmick, seperti ini. Yaitu karena cerita berantem karena revenge ini udah sering. Monkey Man (2024) yang baru bulan lalu kureview aja contohnya, juga cerita anak yang jadi petarung demi balas dendam atas kematian ibu di tangan penguasa. Tapi tidak seperti Dev Patel yang punya akar galian berupa mitologi Hanoman dari budaya lokalnya, Mohr berusaha membuat Boy Kills World berbeda dari campuran banyak gaya/gimmick. Dia membuat Bill Skarsgard meranin pemuda yang tak banyak berdialog, melainkan lebih banyak berbicara kepada kita sebagai narator. Si Boy ini sudah lama tidak bicara dengan orang sehingga dia sendiri lupa ama suaranya, sehingga suara narator yang kita dengar adalah suara narator video game – karena main game adalah kenangan indah yang selalu diingatnya. Dan untuk menggambarkan si Boy bicara dengan dirinya sendiri, film membuat Boy ini sering ‘halu’ berinteraksi dengan sosok adiknya yang telah tewas saat kecil. Jadi fun nonton ini datang dari tingkah laku ‘ajaib’ si Boy alih-alih karakternya. Dari aksi-aksinya, alih-alih plot. Plot dan dunia film ini, sama tipisnya. Meski Mohr mati-matian berusaha supaya menarik. Salah satunya dengan mengambil elemen Hunger Games.

Oh iya, ada Yayan Ruhian juga.

Pilihan film ini untuk mendahulukan gimmick memang dengan segera terasa jadi ganjalan. Like, babak pertama yang harusnya mengset up relasi si Boy dengan Yayan, hanya ditampilkan berupa montase dan voice over narator yang panjang. Padahal kalo diadegankan secara biasa, dua karakter tersebut  bisa terbangun dengan lebih baik. Yayan juga bisa kebagian dialog, enggak cuma kayak dicast buat adegan berantem doang. Apalagi relasi Boy dan dukun yang menyelamatkan dan mengajarinya berantem itu ternyata merupakan relasi kunci di akhir cerita. Sebuah film sah-sah saja memilih untuk karakternya sedikit bicara, banyak bergaya, namun tentu film itu sendiri harus tetap bicara tentang sesuatu.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BOY KILLS WORLD.

Sayangnya, ini bukan film terakhir di Volume ini yang irit ngomong dan actually gak bicara tentang apa-apa…

 

 

CHALLENGERS Review

Sementara itu, Challengers karya Luca Guadagnino is all about style. Film tenis yang not really bicara tentang tenis, tapi lebih ke bicara soal relationship. Seperti yang diucapkan oleh karakternya, tenis adalah relationship. Dan Luca, masterfully, merancang kisah romansa segitiga ini ke dalam dunia olahraga tenis. Bahkan kita sebagai penonton, akan dibuat sama seperti bola yang dipingpong (mau bilang ditenis, tapi kok ya janggal hhihi), melesat dari satu ‘pemain’ ke ‘pemain’ lain dalam artian literal maupun penggambaran. Literal karena memang ada adegan yang membuat kita berada dalam pov bola tenis yang melayang ke sana kemari, dipukul oleh dua pemain yang sedang saling mengkomunikasikan perasaannya lewat pukulan-pukulan penuh passion tersebut.  Penggambaran, karena well…

Kita dipingpong oleh flashback. Challengers tidak diceritakan oleh Luca secara linear. Style-nya yang ingin memparalelkan semua ini ke dalam dunia tenis, membuat Luca bicara dengan bolak-balik. Kita melihat tiga karakter sentral di masa sekarang – dua di antaranya sedang bertarung di lapangan, sementara yang satu menonton di bangku depan – tidak tahu sebenarnya dia mendukung yang mana. Atau bagaimana mereka terhubung. Lalu film lompat ke 13 tahun lalu; lompat ke delapan tahun kemudian, balik ke masa kini, mundur lagi. Memang asyik cara Luca membuka siapa sebenarnya mereka, apa yang terjadi di antara mereka. Dua cowok itu ternyata sahabatan, satu tim, dan mereka sama-sama ‘mengidolakan’ si cewek. And that’s pretty much about it. Setiap lompatan flashback membuka informasi baru, membawa kita informasi satu lalu informasi berikutnya. Emosi kita memang ikut bergolak ke dalam asmara mereka, kita either bakal peduli sama satu karakter begitu terungkap seperti pasangannya lebih cinta ke siapa, atau kita gak peduli sama siapapun karena ya tiga-tiganya player – and they know it.

Inilah resiko yang diambil oleh Luca ketika memilih gaya bercerita pada film yang kini sudah begitu populer berkat potongan adegan bertiga dan adegan tenisnya. Karena hanya momen itulah yang akhirnya nempel. Gak lagi exactly tentang filmnya. Karena development karakternya – jika memang ada – tercacah oleh lompatan-lompatan waktu. Lompatan yang bukan dilakukan untuk membuka perkembangan, tetapi membuka kepada informasi ‘ternyata-ternyata’. Tiga karakternya adalah orang penuh passion yang enggak satu-dimensi, mereka berlapis, cuma kita tidak pernah stop begitu lama, tidak dibiarkan stay pada satu di antara mereka. Film ini tidak mengajak kita bermain bersama karakternya. Heck, kita bahkan tidak ‘menonton’ mereka bermain cinta. Ingat, di sini kita seperti bola yang dipingpong. Kita yang sedang dipermainkan. Dan sama seperti dipermainkan cinta, we all like it so much.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CHALLENGERS.

 

 

 

CIVIL WAR Review

Film kehancuran dunia bukan semata bahasan bencana alam ataupun zombie, film roadtrip bukan cuma soal bersenang-senang, dan film perang bukan cuma milik prajurit atau tentara. Begitu kira-kira gambaran Civil War dalam menjadi tidak biasa. Menilik kehancuran karena perang saudara, lewat sudut pandang jurnalis yang mempertaruhkan nyawa berkeliling mengejar titik kerusuhan untuk meliputnya dari jarak dekat. Lalu kemudian sutradara Alex Garland balik bertanya; Yakin, tentara dan jurnalis itu berbeda?

Ada semacam duality pada konsep dan cerita yang membuat film ini jadi menarik. Pertama-tama, tentu saja film ‘melaporkan’ susah dan bahayanya pekerjaan jurnalis dalam meliput perang. Untuk berada begitu dengan ancaman. Juga ada gambaran yang menyinggung perbedaan ‘kelas’ antara jurnalis tv dengan jurnalis media cetak. Pekerjaan mereka sangat dibutuhkan sebagai media yang mengabarkan keadaan dengan aktual, faktual, supaya orang percaya dan melihat kebenaran di tengah suasana sechaos perpecahan kubu dalam satu negara. Sebaliknya, untuk dapat melakukan kerjaan mulia itu, mereka membutuhkan nyali dan tekat dan stamina, dan moral? Apakah integritas di atas segalanya? Inilah yang memakan karakter Kirsten Dunst sebagai protagonis dari dalam. Sebagai jurnalis fotografi senior, dia telah banyak memotret dari dekat kejadian-kejadian mengerikan. Dia memotret orang terbakar, dari jarak yang sebenarnya bisa digunakannya untuk membantu si korban. Lee memang tidak pernah mengutarakan konflik internalnya, tapi dari sikap dan pandangannya kita mengerti. Melalui si Lee ini, film pun menarik paralel antara tentara yang membidikkan senapan dengan jurnalis yang membidikkan kamera.

Lalu ada karakternya Cailee Spaeny. Jesse. Jurnalis muda yang mengidolakan Lee, yang memaksa untuk ikut bersama rombongan Lee ke Gedung Putih mewawancarai Presiden. Duality yang lebih gamblang tercermin pada hubungan antara Lee dengan Jesse, karena cerita ini gak akan berjalan maksimal jika karakter Lee tidak diberikan ‘pasangan’. Tegangnya film memang bukan masalah karena sukses tergambar lewat pengadeganan aksi jurnalis membuntuti kecamuk perang berkat kamera dinamis dan editing konsep fotografi yang precise. Namun dramatisnya thriller distopia ini baru akan terasa jika kita melihat Jesse dan Lee sebagai cerminan yang berlawanan. Bagaimana seseorang yang tadinya polos dan naif, menjadi ‘keras’ dan seperti mati rasa karena tuntutan kerjaan membuatnya terbiasa melihat kekerasan dari dekat – bahkan mengalami kekerasan itu sendiri. Dan juga sebaliknya, gimana setangguh-tangguhnya orang, se-hardened apapun perasaan itu, pasti akan tergugah juga demi melihat penyimpangan kemanusiaan sebegitu lama, sebegitu dekat.

Sebagai salah satu film yang paling kuantisipasi tahun ini. Civil War tidak mengecewakan. Bahkan shot-shotnya saja bisa demikian tak akan segera terlupakan. Buat kalian penggemar film dan pengen merasakan lebih banyak perbedaan storytelling, kalian bisa coba bandingkan adegan Cailee Spaeny dalam lubang mayat di film ini dengan adegan Kathryn Newton dalam kolam mayat di film Abigail (2024). Kalian bisa sampaikan pandangan kalian di komen, yaa

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CIVIL WAR.

 

 

 

GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE Review

Aku butuh satu film lagi buat melengkapkan Volume ini jadi delapan-film. Who do I gonna call? Ghostbusters!! Haha, engga ding. Sebaliknya, aku udah nonton film sedari rilisnya Maret lalu, tapi selalu terundur-undur ulasannya. Spotnya selalu tergugurkan oleh film lain. Penyebabnya satu; walau sekuel Ghostbusters modern ini fun, tapi film ini terasa kurang urgent. Apalagi di masa yang udah sumpek oleh revival franchise yang sebenarnya kekuatan utamanya pada curi-curi memerah nostalgia.

Terkait nostalgia act, film ini bermain hormat dan punya caranya tersendiri. Cast lama (baca: legend!) disatukan jadi tim bareng cast baru. Film berhasil membuat mereka tidak tampak awkward ataupun mencuri spotlight. Frozen Empire tetap mendevelop cerita dari karakter baru. Phoebe yang diperankan oleh McKenna Grace menyetir film dengan arc yang benar terasa modern dan berdiri sendiri. Untuk melengkapi karakternya itu, film ini menciptakan hal yang kalo aku gak salah ingat, belum pernah ada di Ghostbusters sebelumnya. Yakni karakter hantu yang full ter-flesh out sebagai jiwa manusia yang tertinggal di bumi. Hubungan mereka mengangkat film ini, ngasih bobot drama. Sehingga film ini bukan sekadar petualangan menangkap hantu.

Namun di situ jugalah masalahnya. Gil Kenan, yang menulis skenario di film sebelumnya, kini duduk juga di kursi sutradara. Dan dia tersandung masalah yang sama, yang seringkali kita temui pada film setiap kali yang tadinya penulis skenario, sekarang juga menyutradarai ceritanya; Cerita tersebut cenderung menjadi penuh sesak. Frozen Empire either lebih baik dijadikan serial, atau ya pembuatnya harus ‘rela’ ngetrim cerita supaya lebih lugas dan tidak terasa berjubel baik itu oleh karakter, subplot, ataupun adegan-adegan hiasan atau hiburan. Karena begitu padatnya inilah, keurgenan film jadi tidak mencuat.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE.




MONSTER Review

Kesamaan karya Rako Prijanto ini dengan buatan Kore-eda hanya sebatas pada judul dan karakternya anak-anak. Selain itu, sebaiknya jangan dibandingkan. Monster buatan Rako adalah thriller yang menempatkan anak kecil di lokasi tertutup, untuk bermain kucing-kucingan nyawa dengan orang jahat sindikat pembunuh dan penyiksa anak-anak. Gimmicknya adalah tanpa dialog, dan film ini sendirinya actually memang tidak bicara apa-apa di balik tujuan genrenya.

Ya, of course kita akan peduli dan ikut khawatir sama keselamatan karakter utamanya. Siapa yang tidak kasihan melihat anak berseragam pramuka SD tersebut memutar otak untuk menyelamatkan bukan saja dirinya sendiri, tapi juga teman yang disekap – againts orang dewasa bersenjata tajam. Dalam lingkup genrenya sendiri saja, hal tersebut adalah hal paling mudah yang bisa dilakukan seorang pembuat film. Meniadakan dialog sekilas tampak seperti creative choice, tapi jatohnya jadi kayak males saat film ini tidak punya lapisan apa-apa. Kita bahkan tidak kenal karakternya. Sehingga durasinya yang 80menitan itupun jadi terasa bahkan lebih panjang daripada durasi Ghostbusters barusan – yang dikritik kepanjangan oleh banyak pengulas. Isinya ya dragging aja, si anak sembunyi, ketahuan, struggle, kabur untuk sembunyi lagi, on repeat. Satu-satunya momen yang bikin melek adalah ketika mbak Marsha Timothy dapat The Shining moment versi dirinya sendiri. Udah.

Selain itu, yang bikin kita ikhlas nonton sampai habis adalah demi mengapresiasi akting Anantya Kirana. Film ini bersandar pada akting ketakutan dan survivalnya (eventho naskah – yang ternyata ditulis tiga orang – terus saja membuat protagonis utama kita ini khas karakter dalam horor yang pilihan aksinya blo’on)

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for Rako Prijanto’s MONSTER. 

 

 

 

THE FALL GUY Review

Based on action tv series 80’s, The Fall Guy dari luar memang heboh oleh adegan-adegan aksi stunt yang bisa dibilang over the top, tapi on the inside, sutradara David Leitch ngambil kebebasan ngembangin cerita dan dia memilih rute komedi romantis. Hasilnya, wuih The Fall Guy jadi salah satu film paling sukses menghibur kita tahun ini. Sebab Leitch menemukan cara yang sungguh brilian dalam menggodok semuanya.

Ryan Gosling dan Emily Blunt jadi pasangan yang tak biasa. Gosling adalah Colt, seorang stuntman film blockbuster yang sempat hengkang dari industri karena kecelakaan saat stunt, dan Blunt adalah Jody, juru kamera yang kini jadi sutradara film distopia luar angkasa (bayangkan Mad Max digabung Star Wars) Relationship mereka jadi hati, karena alasan satu-satunya Colt mau diminta balik jadi stuntman karena itu adalah filmnya Jody. Tapi Jody belum siap dengan ‘kejutan’ tersebut. Jadilah kita mendapat banyak sekali adegan awkward-bagi-mereka, kocak-bagi-kita saat Jody terus-terusan ngetake ulang adegan berbahaya yang dilakukan Colt karena she doesn’t feel it right. Yang berujung pada keduanya membahas cerita film – yang sebenarnya paralel ama kehidupan cinta mereka – over loudspeaker, di tengah syuting, di depan semua kru. Keadaan sebenarnya jauh lebih pelik, karena Colt juga diminta untuk menemukan aktor utama di film tersebut yang – tidak diketahui oleh Jody dan kru lain – menghilang secara misterius. Dari sinilah, adegan-adegan action seru yang sebagian besar dilakukan oleh Gosling sendiri, bisa terjadi. Sehingga walaupun di awal, film agak terseok dalam usaha memunculkan konflik, setelahnya film melaju mulus. Naskah gak punya masalah dalam melakukan transisi antara Colt yang bereaksi terhadap misi yang tak ia mengerti betul dengan pilihan-pilihan Colt demi film yayangnya sukses.

Kayaknya untuk urusan adegan action, kalian bisa bayangin sendirilah. Leitch sendiri berasal dari seorang stuntman. Selain ngerti banyak soal cara menangkap adegan aksi yang seru, dia juga begitu paham sama dunia stunt itu sendiri. Makanya, di balik itu rom-com dan aksi itu, Leitch punya misi mulia. Film yang konsepnya film dalam film ini ia gunakan sebagai komentar meta terhadap bidang kerjaan yang fungsinya penting dalam sinema ini.  Gimana suka duka kerjaan sebagai stunt. Gimana posisi mereka terhadap aktor yang mereka ‘gantikan’. Gimana kerjaan seberbahaya dan sepenting ini belum ada ganjaran awardnya. Semua itu dilakukan dalam nada ringan yang menyokong kepada kocaknya komedi film ini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for THE FALL GUY.

 

 

 

THE MINISTRY OF UNGENTLEMANLY WARFARE Review

Basically, mereka adalah preman. Untungnya yang mereka basmi bukan pemuda-pemuda yang dikambinghitamkan sebagai PKI. Tapi beneran prajurit Nazi. Sehingga nontonnya seru dan fun. Kelewat fun, malah. Guy Ritchie sukses menghasilkan adegan-adegan pembantaian yang sadis tapi stylish. Namun, film yang sepertinya juga terinspirasi dari Akira Kurosawa’s Seven Samurai ini (hitunglah, mereka tujuh preman bawahan pemerintah!) lupa memasukkan sisi yang bisa jadi kelemahan ataupun obstacle berarti bagi karakternya. Stake dan resiko justru adanya pada Winston Churchil sebagai orang yang memerintahkan mereka. Hanya saja, stakenya not really about life and death – tidak sejalan dengan aksi dan bahaya yang jadi sajian utama.

Mulai dari aksi pura-pura saat ketahuan patroli Nazi hingga ke aksi infiltrasi ke kamp-kamp dan kota pelabuhan, bahkan ketika rencana mereka mendadak berubah dan harus mencuri kapal alih-alih meledakkannya, tim yang dipimpin oleh Henry Cavill tidak pernah punya kesulitan yang berarti.  Mereka semua jago dalam bidang masing-masing. Mereka selalu menemukan cara. Tidak pernah ada momen dalam film ini yang kita merasa khawatir sama keselamatan atau keberhasilan mereka. Kapten Nazi yang sepertinya pintar, tidak lengah, dan paling galak – yang sepertinya dibuild up untuk jadi final boss – saja ujungnya kalah begitu saja oleh anggota tim yang terlihat paling vulnerable. Sehingga nonton film ini jadinya lempeng aja. Fun, seru, tapi ya lempeng. Tidak ada gejolak emosi di sana-sini.

Karakternya yang satu tim itu bahkan tidak punya momen saling berantem, atau berdebat, atau ada percikan trust issue atau semacamnya. Benar-benar film ini tidak ada tantangan berarti sama sekali. Tidak ada konflik, kalo boleh dibilang. Kita hanya menyaksikan orang-orang super kompeten melaksanakan tugas ilegal mereka, dengan overcoming all the odds yang tidak benar-benar tampak seperti odds bagi mereka.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for THE MINISTRY OF UNGENTLEMANLY WARFARE.

 

 

 

TUHAN, IZINKAN AKU BERDOSA Review

Sebelumnya, izinkan aku mengutarakan rasa skeptis yang sempat terbit di hati; begitu baca bukunya (Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur), aku ngerasa ragu cerita ini cocok ditangani oleh Hanung Bramantyo. Walau memang topik kontroversialnya Hanung banget, tapi penceritaan Kiran di buku lebih ke arah kontemplatif. Dia lebih banyak berdialog di dalam kepalanya sendiri – menuntut Tuhan. Penceritaan yang sepertinya bukan ranah Hanung yang terkenal jagonya dalam konflik-konflik ke luar yang dramatis. Tapi aku salah. Satu yang aku lupa dari mas Hanung; bahwa dia adalah satu dari sedikit sekali sutradara yang aktif saat ini yang berani mengeluarkan visi. Yang berani mengadaptasi secara benar-benar, dalam artian gak harus mengikuti sumbernya. Maka itulah rasa skeptis itu aku tinggalkan saat menonton. Karena ternyata Hanung benar-benar mengubah banyak hal – bukan hanya judul. Penceritaan, karakter, alur, dan vibe cerita ini, ia ambil dan jadikan sesuai dengan kekhasan dan kepiawaian dirinya.

Karakternya, Kiran bakal bisa jadi sobat akrab si Sita di film Siksa Kubur (2024). Karena Kiran juga adalah perempuan yang merasa dikecewakan, ditelantarkan oleh agama yang tidak lagi ia percaya ajarannya karena melihat kelakuan orang-orang di sekitarnya yang mengaku penganut taat. Hanya, langkah yang diambil Kiran berikutnya sedikit lebih logis daripada Sita. Kayak anak kecil yang marah sama ortunya, Kiran ngambek. Pundung. Manggok. Yang tadinya alim, Kiran jadi ogah beribadah. Dia malah menceburkan diri ke pergaulan bebas, sampai akhirnya mau untuk ikut permainan dosennya yang ternyata germo. Kiran mau karena dia punya suatu maksud. Film ini mengenakan kontroversi tanpa malu-malu. ini menjadikannya sungguh sebuah film yang menantang. Misalnya, Hanung mengontraskan gimana cara berpakaian Kiran yang alim dengan saat dia sudah bandel – dan itu dilakukannya dengan sama-sama masih mengenakan atribut agama. Aghininy Haque pun menaikkan level aktingnya, kini dia sudah bisa bermain di akting suara, bukan hanya postur dan gestur. Sehingga terasa sekali perbedaan antara Kiran yang dulu dengan yang sekarang.

Ngomong kembali soal perbedaan. Yes, Hanung took this story and make it his own, successfully and masterfully. Meskipun kalo mau dibandingkan, aku lebih suka versi buku dibandingkan versi film. Kiran versi buku lebih ‘dingin’, misinya untuk mengekspos kelemahan lelaki – dan ia menemukan itu setiap kali para lelaki selesai tidur dengan dirinya. Penceritaan di buku mengambil sisi dramatis dari transformasi, atau katakanlah degradasi, Kiran. Saat menonton film ini, aku bingung karena Hanung tidak tampak mengincar hal serupa. Kisah Kiran tidak diceritakan linear, melainkan seperti Challengers tadi. Banyak bolak-balik antara Kinan dulu dengan Kinan sekarang. Yang aku takutkan adalah kita gak akan bisa merasakan dramatisnya kejatuhan Kiran menjadi pendosa, karena sedari awal kita sudah diperlihatkan Kiran yang sekarang sikapnya sudah begitu. Tapi sekali lagi aku lupa. Hanung sudah membentuk ulang cerita ini sehingga dramatisasinya bukan lagi dari transformasi. Lupa bahwa Hanung adalah sutradara yang bisa membuat instan dramatisasi dari dua atau satu momen saja. Dan memang itulah yang dilakukannya. Kiran menantang Tuhan di atas gunung. Petir menggelegar, DHUAR!! Selesailah sudah kekhawatiranku.

Karena setelah itu aku merasakan film ini berjalan di rodanya sendiri. Kiran di film banyak berkonflik langsung dengan karakter lain. Bentukannya dari khas auteur lelaki mengapproach cerita ini, yaitu Kiran menjadi victim di dunia yang dikuasai laki-laki. Kiran mengalami banyak siksa dunia – bukan siksa kubur seperti Sita – sebelum akhirnya dia sadar dan gain strength dari pengetahuannya bahwa para lelaki itu munafik dan tidak lebih kuat darinya. Kiran menunjukkan pengabdiannya kepada Tuhan dengan caranya sendiri. Mengekspos kemunafikan di dunia.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for TUHAN, IZINKAN AKU BERDOSA.

 




 

 

That’s all we have for now

Wah sepertinya ini menjadi mini review terpanjang ya hihihi!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



IF: IMAGINARY FRIENDS Review

 

“We grow old because we stop playing”

 

 

Orang dewasa sudah lupa caranya menjadi anak-anak. Atau mungkin lebih tepatnya, orang dewasa ‘terpaksa’ melupakan caranya menjadi anak-anak. Karena ketika sudah dewasa, kita harus berhadapan dengan banyak realita kehidupan. Dan memang realitanya; hidup itu cepat dan keras. Menuntut tanggung jawab besar, serta kita harus bersiap menyongsong begitu banyak perpisahan. Saat dewasa, sudah tidak ada lagi waktu untuk bermain-main. Maka lantas kita merasa jadi dewasa itu berarti kudu serius, enggak boleh kekanakan. Sutradara John Krasinski punya kontra-argumen soal ini.  Bahwa jadi dewasa bukan berarti harus melupakan sisi kanak-kanak yang kita punya. Belakangan banyak membuat horor, Krasinski kali ini mengeksplorasi dunia imajinasi penuh fantasi dengan nada yang ringan dan hangat untuk tontonan keluarga. Dia pun kembali menapaki sisi playful dirinya yang kita kenal ketika dia sebagai seorang aktor yang meranin karakter ikonik, Jim, yang suka ngeprank dalam serial The Office (2015). Ya, Krasinski pertama-tama tampak ingin menampakkan bahwa dirinya sendiri belum lupa. Lalu kemudian lewat IF ini, Krasinski mengajak kita untuk belajar bagaimana caranya kembali menjadi anak-anak.

IF bicara tentang Imaginary Friends – ‘teman khayalan’ yang mungkin kita semua punya saat masih anak-anak. Saat kita masih suka mengkhayal tentang robot, dinosaurus, Goku, ataupun kuda poni. Jangan sampe ketuker ya antara IF dengan Imaginary (2024), karena keduanya memang sama-sama tentang teman khayalan, tapi tentu saja pendekatannya berbeda. Krasinski sebenarnya juga jago membangun dunia horor, hanya kali ini dia lebih memilih untuk bangun dunia fantasi yang lebih ‘magical’. Jadi IF ini bercerita tentang anak perempuan bernama Bea yang membantu para monster-monster imaginary friends untuk mencari anak-anak baru sebagai teman bermain. Monster-monster itu kesepian karena anak-anak yang menciptakan mereka udah pada gede dan melupakan mereka. Bea bergabung bersama Calvin, pria yang tinggal di kamar di lantai atas apartemennya, bekerja sebagai semacam biro jodoh untuk klien mereka; monster-monster yang kini tinggal di tempat rahasia yang hidup berkat imajinasi anak-anak manusia. Tadinya tempat itu boring, kayak rumah panti jompo, karena dibangun dari imajinasi Calvin yang sudah dewasa. Tapi semenjak Bea bergabung, tempat itu jadi lebih ceria,  lebih fantastis!

review if
‘Bea’ as in ‘Be-a-kid again!’

 

Kreativitas dari desain dunia dan monster imaginary friendsnya itulah yang jadi salah satu yang bikin film ini menyenangkan. Di tempat para monster tadi misalnya, logika yang dipakai film ini persis kayak old-cartoon’s logic. Yaitu tempat yang begitu imajinatif, sehingga akal sehat kita gak berlaku di dalam sana. Kita hanya bisa terkesima bernostalgia ke masa kecil saat menonton kartun, masa ketika lokasi ajaib itu terasa sangat menakjubkan, bukannya annoying bagi kita. Para monster yang dihadirkan juga beragam, desain 3Dnya mentok-mentok, ada yang makhluk berbulu besar dengan style ala Monster Inc, ada yang kayak kupu-kupu tapi ala kartun klasik Disney, ada yang random kayak monster gelembung ataupun yang wujudnya segelas air putih dengan satu kubus es (my favorite!), ada juga yang totally aneh berupa monster yang tak-kelihatan. Si Calvin sampe ngedumel anak macam apa yang membayangkan teman yang tak bisa dilihat, hihihi.. Namun di situlah aku sadar alasan desain segala-gaya tersebut.  Karena monster-monster itu terlahir dari khayalan anak-anak, maka otomatis wujud mereka pun begitu beragam, sesuai dengan personality dan lingkungan yang membentuk imajinasi si anak. Makanya nanti kita ikut merasa seru dan penasaran menebak siapa kira-kira anak original dari masing-masing monster. Film pun lantas semakin meriah karena pengisi suara monster-monster tersebut basically cameo dari nama-nama besar, ‘teman-teman’ John Krasinski, yang sering juga castingnya mereference kepada inside joke tertentu sehubungan karir para aktor atau juga clue tentang siapa sebenarnya si karakter.

John Krasinski sendiri pernah bilang filmnya ini seperti film Pixar live-action. Mungkin karena tampilannya yang mencampurkan dunia nyata, manusia asli, dengan karakter-karakter animasi dengan desain beragam tadi.  Serta karena IF juga berfokus kepada drama karakternya. Of course, sekali lihat, tema teman khayalan yang dilupakan ini bikin kita teringat sama Bing Bong di Pixar’s Inside Out (2015) Cerita IF memang terasa seperti berakar pada salah satu adegan paling bikin mewek di film tersebut, yaitu ketika Bing Bong si teman khayalan, merelakan dirinya dilupakan. Tapi kalo dilihat-lihat muatan dan ceritanya keseluruhan, IF juga bisa terlihat kayak versi lebih ringan dari gabungan antara The Boy and the Heron (2023) dengan The Sixth Sense (1999). Nah lo?

Mirip karena Bea ngalamin hal yang mirip dengan Mahito. Sama-sama harus berdamai dengan kematian ibu. Bea yang menginjak usia dua-belas tahun itu tumbuh jadi anak yang hardened oleh kematian tersebut. Dia yang tadinya cheerful dan penuh imajinasi – seperti yang terceritakan lewat footage opening yang perfectly set up keluarga Bea – kini mengikhlaskan hidupnya tak bakal seceria dulu. Bea siap mental untuk hidup yang lebih ‘real’. Bea merasa dirinya sudah bukan anak kecil, dia gak mau lagi menengok gambar-gambar karyanya waktu kecil. Despite ayahnya terus ngajak bercanda dengan beragam practical jokes, Bea yang sekarang ini tidak pernah seceria dulu. Karena deep inside, Bea khawatir kehilangan lagi. Bea khawatir ayahnya yang sakit jantung bakal menyusul ibu. Film dengan tangkas menceritakan perasaan Bea; meskipun di awal pace sedikit agak lambat tapi kita akan mengerti dengan cepat, dan tone film tidak sampai jatuh terlalu depress. Kehadiran monster-monster IF dengan segera mengisi baik itu perasaan khawatir Bea, maupun tone film sehingga kembali ceria. Para monster dan tempat yang hanya bisa dilihat oleh Bea dan Calvin menjadi panggung dinamis tempat film perlahan mendevelop karakter Bea. Berangsur gadis kecil ini kembali menjadi ‘anak-anak’. Dengan membantu para monster menemukan anak sebaagi pasangan bermain, Bea menemukan kembali penyadaran bahwa hidup harus diwarnai oleh cerita-cerita. Di sinilah hati film menunjukkan wujudnya. Terenyuh sekali rasanya melihat usaha Bea demi para monster, melihat para monster konek kembali dengan anak mereka. Hingga ke momen ada salah satu karakter yang Bea gak nyadar sebenarnya karakter itu adalah teman khayalan, dan membantunya berarti membantu dirinya sendiri.

Kita berhenti bermain bukan karena kita sudah tua. Sebaliknya, kita tua justru karena kita memutuskan untuk berhenti bermain. Kita tumbuh tua dan menyedihkan karena telah melupakan kebahagiaan yang kita anggap hanya bisa dimiliki saat anak-anak. Padahal sebenarnya tidak ada yang menghalangi kita untuk hidup dengan lepas dan ceria seperti masih kecil dulu. Kita tidak harus lupa ataupun menunda bahagia ketika hidup got real.

 

Bukti orang dewasa lupa rasanya jadi anak-anak dapat kita lihat pada film anak-anak. Yang seringkali antara punya karakter anak yang terlalu kaku dan bertingkah exactly kayak orang dewasa yang sedang berpura-pura jadi anak kecil (kayak, mana ada anak kecil nyebut kuburan sebagai ‘areal pekuburan’) ataupun film anak yang terlalu memanis-maniskan – membuat orang dewasa di sekitarnya blo’on ataupun tidak berani memberikan konsekuensi nyata kepada karakter anaknya. Or worse, karakter anak cuma dijadikan korban karena mereka yang paling gampang dikasihani. John Krasinski setidaknya membuktikan dia tidak lupa bagaimana jadi anak-anak. Dia tidak takut untuk berkreasi dengan pengarahan dan kamera. Pun, dia tahu persis bagaimana posisi protagonis ceritanya. Anak kecil yang sudah siap menjadi dewasa karena kehilangan, tapi sebenarnya belum benar-benar siap. Bea tampak natural, dia beneran tampak seperti gimana anak seumuran itu – anak yang merasa dirinya dewasa tapi belum – bertindak. Nge-cast Cailey Fleming yang memang sebearnya lebih tua dibanding umur karakternya membuat Fleming jadi tampak effortless ngasih aura dewasa di balik keinnocenant Bea. Chemistry-nya dengan Ryan Reynolds yang jadi Calvin (dengan dinamika standar orang dewasa penggerutu dengan anak yang lebih loose) juga terasa cukup natural.

Temanku dulu kok begini, tapi kini tak nampak lagi

 

Namun bahkan John Krasinski yang punya perhatian pada world-building dan pesona utamanya sepertinya memang berada pada persona kekanakan (sebagai Ayah Bea di sini, dia persis kayak Jim  di serial The Office) belum sepenuhnya lancar bercerita di dunia fantasi petualangan. Aplikasi horornya ke cerita anak-anak baru seujung kuku Guillermo del Toro. Karena naskah dan arahan IF pada akhirnya berbelok lebih ke galian dramatisasi terhadap kenangan masa kecil, terhadap kembali teringat pada masa kecil, ketimbang pendalaman. Secara emosi memang berhasil, tapi masih ada pembeda tegas antara bentukan cerita IF dengan cerita anak Pixar maupun dongeng del Toro. Film punya konsekuensi – Bea boleh jadi tidak akan bahagia lagi kalo nanti ayahnya meninggal, tapi film ini urgensinya masih kurang. Stake-nya masih kurang. Sebuah film memang gak harus ada villain atau antagonis, tapi itu bisa dilakukan jika ceritanya bisa establish stake dari sekitar protagonis. IF kurang nendang karena batasan atau pertaruhannya kurang ditekankan. Like, para monster dibuat tidak menghilang jika dilupakan oleh anak yang menciptakan mereka. Mereka cuma terlantar di tempat rahasia bersama-sama. Sehingga jikapun Bea gagal membantu, terasa tidak begitu jadi soal. Perkara Bea takut kehilangan ayahnya; film ini pun kurang karena incaran relasi antara father-daughter kurang mendapat screen time, dan perjuangan Bea membantu monster tidak diparalelkan dengan Bea, mungkin misalnya, menyelamatkan ayahnya. Atau mungkin membantu ayahnya ketemu sama monster IFnya semasa kecil. Instead, relasi utama terbagi dua, yaitu satu lagi antara Bea dengan Calvin. Tapi karena relasi mereka ini konsepnya adalah revealing yang mengharukan, maka mereka juga tidak benar-benar ada naik turun. Krasinski pada akhirnya terasa terlalu sibuk mengarahkan agar ceritanya tidak berakhir seperti modelan biasa, sehingga ceritanya ini kurang terasa nendang.

 

 




Komedi dan drama yang jadi hati film ini memang mampu mengena. Kreasinya juga cukup sukses bikin kita terpana, membuat kita kembali juga kepada kenangan masa kecil. Mengingat betapa bahagia dulu di masa itu, serta orang-orang yang ada di masa itu bersama kita sehingga masa itu rasanya bahagia sekali. Lewat sudut pandang anak yang cope with family loss, bahasan dunia teman khayalan ini pengen dibuat mature, hanya saja ternyata eksplorasinya tidak sedalam itu. Film akhirnya lebih mengandalkan kepada dramatisasi dari ketemunya para monster dengan anak-anak teman bermain mereka. World building yang menakjubkan itu akhirnya terasa kurang komplit, karena urgensi cerita masih kurang terasa. Film ini jadinya terasa sama dengan para monster khayalan; cute dan loveable, namun untuk penilaian, dia samanya dengan nama protagonisnya. Bea, alias dalam bahasa Inggris dibaca ‘B’
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for IF: IMAGINARY FRIENDS

 

 




That’s all we have for now.

Pernahkah kalian punya teman khayalan? Di umur berapa kalian mulai menyadari dan melupakan teman tersebut?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL


GODZILLA MINUS ONE Review

 

“He who fights and runs away may live to fight another day.”

 

 

Dunia memang terlalu besar untuk ditinggali sendiri, manusia harus belajar untuk hidup harmoni bersama makhluk lain. Begitulah pretty much konsep dari film-film creature atau monster. Godzilla pun lahir dengan latar belakang yang serupa. Dinosaurus-like, monster raksasa, dianggap sebagai setengah-dewa penghancur setengah-dewa pelindung Bumi dari monster/kaiju lain. Manusia dalam cerita monster seperti Godzilla harus co-exist dengan makhluk yang terganggu oleh polusi atau teknologi tak-bertanggungjawab yang kita ciptakan. Lucunya,  dunia perfilman juga ternyata terlalu besar untuk ditinggali oleh satu jenis film Godzilla. Kita harus belajar untuk hidup harmoni dengan tipe-tipe film tersebut. Ada film Godzilla yang cheesy, yang isinya monster raksasa saling bertarung, dengan karakter manusia sok asik for the sake of ‘entertainment’ (misalnya Godzilla X Kong baru-baru ini), dan ada juga film Godzilla yang lebih ‘serius’. Karya Takashi Yamazaki ini masuk ke dalam tipe kedua. Godzilla Minus One tidak semata bersandar pada aksi monster yang ridiculously gede, melainkan berfokus kepada kisah kemanusiaan yang hidup menyertainya. Minus One pada judulnya merujuk kepada keadaan manusia Jepang yang luluhlantak oleh perang, dan mereka masih harus berhadapan dengan kemunculan Godzilla yang set them more far back, karena monster ini justru muncul saat manusia-manusia itu berusaha membangun hidup dari nol.

Untuk meng-emphasize poin keadaan hidup di bawah garis nol tersebut lebih jauh, Godzilla Minus One memanggil protagonis kepada Shikishima, seorang pilot tempur pesawat bunuh diri, yang mangkir dari misinya di akhir Perang Dunia II. Shikishima berdalih ada yang rusak di pesawatnya sehingga dia mendarat di pulau untuk reparasi oleh teknisi militer di sana. Di pulau itulah, malamnya, Shikishima pertama kali bertatap muka dengan Godzilla. Monster itu menyerang pulau, dan sekali lagi Shikishima mempertontonkan kepengecutannya dengan tidak sanggup menembak Godzilla dengan senjata di pesawat. Sejak itu, Shikishima hidup dengan rasa bersalah menggerogoti hati. Cerita Godzilla Minus One berpusat pada Shikishima yang tinggal di puing bekas rumah orangtuanya, bersama seorang perempuan asing dan anak kecil yang butuh pertolongan. Shikishima menampung mereka, mereka hidup bersama, tapi Shikishima tidak mau menganggap ataupun menjadikan mereka sebagai keluarga. Karena Shikishima belum selesai dengan ‘perang personalnya’. Godzilla di cerita Shikishima bertindak sebagai perwujudan yang harus dikalahkan oleh Shikishima dalam journey personalnya. Shikishima bekerja jadi penyapu ranjau di laut, dan di sanalah kesempatannya bertemu sekali lagi dengan Godzilla. Bertekad untuk tidak lagi kabur, Shikishima sekarang berniat untuk benar-benar mengorbankan dirinya, demi masa depan tanpa Godzilla.

reviewGodzillaMinusOne
Sudah perang, diserbu Godzilla pula

 

Biasanya nonton film monster kayak Godzilla ini kita suka kesel kalo Godzilla-nya hanya muncul sebentar. Tapi hal tersebut tidak pernah menjadi masalah pada film ini. Godzilla-nya memang hanya muncul sebentar saja (paling cuma belasan persen dari total durasi dua jam), dan sebagian besar cerita membahas tentang kehidupan manusia, tapi film tidak pernah terasa membosankan karena bahasan manusanya benar-benar berbobot. Manusia di film ini tidak seperti pada Godzilla X Kong: The New Empire, misalnya, yang cuma sok eksentrik dan dialog-dialog one-liner yang sok asik. Manusia di film ini adalah hati, bahasannya grounded, real, dan kita akan benar-benar peduli dengan mereka. Dialog film ini tidak berisi mumbo-jumbo teknologi yang harus dicari oleh tim manusia untuk mengalahkan Godzilla atau monster lainnya. Tidak ada tempo supercepat ala Hollywood yang terkesan kayak memburu-burukan cerita yang hampa supaya cepat sampai ke bagian monster raksasa. Godzilla Minus One adalah bahasan karakter yang meluangkan waktu untuk membawa kita menyelami karakternya. Kita dibuat peduli sama Shikishima yang bercela. Kita dibuat ingin dia hidup berkeluarga melupakan rasa bersalahnya, tapi sekaligus kita juga pengen dia berhasil mengalahkan rasa bersalah itu tanpa mempertaruhkan keluarganya.

Memang, tidak semua orang menganggap kabur dari battle adalah perbuatan membanggakan. Apalagi orang yang dibesarkan dengan prinsip harga diri dan pride tinggi seperti Shikishima, sang prajurit Jepang. Negara di mana bunuh diri demi perjuangan dipandang sebagai hal terhormat.  Sepertinya inilah salah satu gagasan yang diusung film terhadap budaya negaranya tersebut. Bahwa bunuh diri, kendati terhormat, bukan lantas jadi satu-satunya bentuk mulia perjuangan.  Bahwa ada satu aspek lain yang tak kalah pentingnya, yaitu survive supaya bisa terus melanjutkan perjuangan. Journey Shikishima dan karakter lain di film ini merupakan penyadaran terhadap hal tersebut, bahwa nyawa berharga bukan untuk dikorbankan, melainkan untuk diperjuangkan.

 

Sehingga sebenarnya yang jadi antagonis di dalam cerita ini bukanlah semata Godzilla. Melainkan prinsip mengorbankan diri yang telah jadi tradisi di negara itu sendiri. Para manusia harus ‘mengalahkan’ prinsip tersebut sebelum bisa mengalahkan Godzilla. Makanya film ini terasa lebih membesar lagi. Perjuangan manusia-manusia Jepang dalam menghalau Godzilla, digambarkan sebagai perjuangan kolektif masyarakat. Situasi negara setelah Perang Dunia II dijadikan panggung yang mempush warga untuk segera melakukan tindakan sendiri, karena negara tidak bisa langsung turun tangan. Kita lihat veteran perang seperti Shikishima berembuk untuk menyusun siasat mengalahkan Godzilla, kita lihat ada percikan drama sehubungan dengan pilihan mereka untuk kembali mempertaruhkan nyawa, mempertanyakan apakah kali ini untuk negara atau bukan. Bagi mereka ini sudah bukan lagi soal patriotisme, melainkan hal yang lebih personal. Film bahkan menyebut betapa ‘cerahnya’ wajah para pejuang ketika mereka bekerja di kapalPerundingan siasat ini nyatanya lebih menarik dan lebih kita mengerti ketimbang misalnya obrolan tetek bengek sci fi yang biasa kita temui pada Godzilla versi Hollywood. Film Jepang ini paham untuk membuatnya tetap pada gagasan dan tema, sehingga bahkan ketika tersempil paparan untuk majunya plot pun, film ini tidak terasa terbebani.

Notice gak gimana Godzilla menggigit, tapi sama sekali tidak pernah memakan manusia?

 

Dan ketika beneran sudah memperlihatkan aksi-aksi manusia berusaha survive dari monster raksasa, film ini pun tetap bertaring.  Efek visual nya memang tidak mentereng, spektakelnya memang tidak bombastis, tapi bukan berarti yang disajikan film ini hiburan B-Class. Justru, demi menyeimbangkan dengan cerita yang grounded, visual film ini dibuat dengan sense realisme yang tinggi. Lihat saja adegan ketika kapal rongsok penyapu ranjau yang dinaiki Shikishima dan tiga rekannya dikejar oleh Godzilla. Feelingnya intense banget, padahal yang kelihatan dari Godzilla itu cuma duri-duri di punggung dan puncak kepalanya. Terakhir kali ngerasain kayak gitu di film creature, ya pas film Jaws yang hiunya irit, tapi dread dan impact keberadaannya menguar dari karakter manusia. Build up Minus One inipun gak ada minus-minusnya, mereka membangun kemampuan Godzilla lalu kemudian ngasih punchline sedemikian rupa. Ketika Godzilla hendak menembakkan nuklirnya, misalnya, kita diperlihatkan gimana tubuhnya ‘ngecharge’ dan kemudian ketika dia menembak, efeknya begitu dahsyat. Sehingga ketika next sequence kita melihat Godzilla ‘ngecharge’ lagi, kita ikut khawatir akan dampak yang bisa ditimbulkan. Sound dan musiknya juga bekerja dengan sangat efektif membangun suasana. Baik itu di malam hari, di laut, ataupun di kota, film ini berani dan selalu punya cara unik dalam menampilkan Godzilla. Beberapa adegan mungkin ada yang tampak terlalu ‘anime’, tapi itu hanya karena perbedaan gaya atau pendekatan khas Jepang dengan film Godzilla versi Hollywood yang biasa kita saksikan.

 

 




Clearly, Godzilla yang satu ini dikepalai oleh orang-orang yang paham betul bagaimana membuat fantasi kaiju raksasa bisa co-exist dengan cerita dengan penokohan dan bahasan yang berbobot. Yang membuat film ini jadi luar biasa bagus adalah cara mereka menghadirkan manusia dan Godzilla di dunia yang sama dengan kepentingan yang saling tak tergantikan, sementara juga mengambil resiko dengan tidak benar-benar bersandar kepada spektakle monster dalam menyuguhkan kisahnya. Cerita bertapak pada manusia dengan perspektif dan identitas lokal yang kuat, tentang posisi mereka pada situasi terendah setelah perang, dan Godzilla jadi brutal force yang menguji pandangan hidup mereka. For di antara mereka masih ada yang belum tuntas dengan ‘perangnya pribadi’. Ketika menyuguhkan Godzillanya, film ini juga tidak main-main. Craft mereka menghidupkan Godzilla di dunia Jepang 1940an pantes banget diganjar awards – dan memanglah film ini layak menjadi film Godzilla pertama yang memenangi piala Oscar untuk Visual Efek Terbaik. Yang membuat, film ini bukan saja berhasil menjadi sajian fantasi sci-fi, tapi sekaligus berhasil sebagai period piece perang! Melihat Godzilla di film ini bukan sekadar seru karena besar, dan epic karena pertarungannya dahsyat. Tapi, yang lebih penting, melihat Godzilla di sini, perasaan kita akan tergugah. Takjub dan takut bergulir menjadi satu. Mungkin seperti menonton film inilah rasanya melihat Godzilla sungguhan; beautiful, majestic, tapi juga begitu menakutkan sampai menggetarkan hati.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for GODZILLA MINUS ONE.

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah makna Godzilla sebagai simbol bagi lingkungan ataupun kepercayaan masyarakat?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 17 (MONKEY MAN, LATE NIGHT WITH THE DEVIL, SIKSA NERAKA, IMMACULATE, ARTHUR THE KING, PERFECT DAYS, KUNG FU PANDA 4, DUNE: PART TWO)

 

 

Dari panda jago kung fu ke anjing pintar yang ikut adventure race; dari pria yang contempt dengan keseharian ke pria jalanan yang ingin balas dendam kepada polisi, ke ‘the chosen one’ yang akhirnya naik tahta;  dari acara bincang-bincang ke penyiksaan, bahkan di tempat yang mestinya sakral sekalipun. Mini Review Vol.17 sudah siap untuk disantap!!

 

 

ARTHUR THE KING Review

A feel-good movie adalah film yang paling susah untuk direview. Karena susah banget buat gak bias kepada film yang udah berhasil menyentuh hati kita. The movie feels so good, susah buat melepaskan apa yang kita rasakan dengan hal-hal yang katakanlah lebih objektif untuk penilaian. Contohnya ya kayak film buatan sutradara Simon Cellan Jones ini.

Arthur the King, dari kisah nyata yang begitu inspiratif tentang seorang adventure racer yang di tengah-tengah lomba bertemu dengan anjing jalanan yang penuh luka. Development karakter Michael, si racer, adalah dia yang tadinya berlomba untuk menang berubah menjadi lebih peduli sama teman tim – termasuk pada anjing tadi. Sehingga filmnya pun berevolusi, dari yang awalnya bersemangat kompetisi (sampai ada bagian drama ngumpulin teman-teman tim segala) menjadi tentang bonding dengan anjing yang serta merta jadi maskot tim, dan ultimately menjadi tentang penyelamatan sang maskot yang ternyata mengidap bakteri mematikan di dalam lukanya.

Jika dilakukan properly, tipe film yang berevolusi seperti begini biasanya (walau jarang nemu) aku kasih nilai 9. Arthur the King hits all the emotional notes. Yang ‘berubah’ menjadi better person pun bukan cuma Michael seorang, film berhasil menunjukkan pengaruh Arthur bagi anggota tim yang lain. Bahkan bagi dunia yang menonton perlombaan mereka. Ketegangan lomba di alam bebas yang treknya dipilih dengan bebas juga oleh peserta juga dapet banget. Karena serunya, tim Michael selalu milih trek yang paling menantang. Yang akhirnya membuatku urung  ngasih 9 untuk film ini adalah mereka belum maksimal ‘mengintroduce’ Arthur ataupun memparalelkannya dengan Michael. Supaya tidak terkesan tiba-tiba berubah menjadi film tentang penyelamatan anjing sekarat, film memang bijak me-reka sendiri gimana Arthur sebelum bertemu Michael. Kisah Arthur di jalanan disisip-sisipkan di antara set up Michael menuju hari H perlombaan. Kita butuh lebih banyak dari satu adegan dia dikejar anjing liar untuk melandaskan Arthur memang anjing tangguh , sehingga misteri atau keajaiban kenapa Arthur bisa mengikuti tim Michael bisa lebih ‘believable’ – bukan lagi terkesan sebagai dramatisasi film

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ARTHUR THE KING

 

 

DUNE: PART TWO Review

Denis Villeneuve mencacah novel epic Dune menjadi (yang sepertinya) banyak film. Film Dune bagian pertamanya, aku lumayan suka, tapi menurutku, selain visual storytelling yang amazing, film itu bukan film yang benar-benar bagus. Narasi dan journey karakternya terasa incomplete karena harus bersambung ke film bagian kedua yang kala itu beritanya entah beneran akan dibuat atau tidak. Now, here we are, dan Dune Part Two beneran terasa lebih padat dengan journey yang ‘complete’ karena mengambil fokus kepada proses Paul Atreides menjadi sosok legenda Lisan Al-Ghaib.

Baru di film keduanya ini visi Denis kerasa kuat. Dia menjadikan cerita ini ke dalam beberapa bagian untuk tujuan adaptasi yang lebih ‘besar’. Di film keduanya ini Denis ‘went off book’, dia ngasih sensasi tragis dari terpenuhinya prophecy, dia meminta kita untuk turut fokus kepada karakter Chani-nya si Zendaya sehingga kontras dramatis dari journey Paul yang tadinya enggan dianggap penyelamat kemudian malah total jadi messiah, benar-benar jadi vibe yang menguar membuat film jadi tidak hanya spektakel luar angkasa. Dune: Part Two sangat padat, dan kupikir film ini bisa berdiri sendiri. Kita tidak benar-benar perlu untuk belajar sejarah dunianya, ataupun menonton ulang film pertama untuk bisa ngerti, karena di sini journey triumphant-namun-gelap Paul dibuat sangat melingkar. Endingnya pun (yang juga seperti mengarah kepada interpretasi Denis yang lebih bebas dari sourcenya) tidak demikian terasa seperti menggantung karena akhir film ini sudah mengestablish sisi kelam dari Paul yang sudah jadi Lisan Al-Ghaib.

Yang bikin angker mungkin memang durasinya aja. Tapi untungnya film ini punya pace yang kejaga. Tidak pernah terlalu slow ataupun terlalu lompat-lompat. Film justru memastikan kita mengexperience semua yang terjadi kepada karakter di planet gurun itu. Mulai dari surfing di atas cacing raksasa, hingga duel satu lawan satu, kamera film selalu berhasil menekankan kepada skala dan dunianya sehingga elemen sci-fi adventurenya bener-bener hidup sebagai pencapaian sinema modern.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DUNE: PART TWO

 

 

 

IMMACULATE Review

Urgh aku gak mau bayangin misalnya Rosemary’s Baby dibuat di masa sekarang; hasilnya pasti gak jauh beda dari film Immaculate ini. Horor yang seperti diejakan, harus ada pihak yang jahat, dan tentu saja dengan nada feminis. It’s not really about character, tapi lebih ke tentang pemerannya disuruh ngelakuin apa. It’s not really about story, tapi lebih ke ending/penjelasan mencengangkan terkait pesan/gagasan yang diusung.

Oleh karena itulah, Immaculate karya Michael Mohan terasa mengecewakan. Feels like, mereka cuma ngandelin Sydney Sweeney yang meranin suster taat sebagai protagonis dan berharap apapun yang mereka lempar kepadanya worked. Masalahnya mereka tidak pernah melempar sesuatu yang unik, ataupun wah, melainkan malah kayak cenderung main aman. Padahal jelas kontras yang diniatkan dari judul, setting, tema, adalah hal brutal yang mengeksplorasi tubuh perempuan (kehamilan). Untuk menjadi sekadar body horor biasa pun, film ini enggan. Instead, mengambil bentukan horor cult yang misterinya pun tidak engaging. Yang sedihnya, di film ini aku malah melihat si Sydney jadi kayak versi knock off dari Mia Goth dan tipe karakter horor yang biasa ia mainkan.

Tapi memang yang patut ditiru dari horor barat adalah mereka gak pernah ragu untuk ‘menyiksa’ protagonis, yang memang kebanyakan cewek. Karena audiens dan pembuatnya tahu, ‘siksaan’ itu semata adalah simbol perjuangan yang harus mereka lalui, bahwa ini bukan soal survive dari makhluk jahat, tapi juga pergulatan diri untuk lepas dari bentuk ikatan atau kungkungan tertentu.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for IMMACULATE.

 

 

 

KUNG FU PANDA 4 Review

Momen sinema yang paling melegakan 2024 sejauh ini bagiku adalah tidak jadi mendengar suara teriakan Awkwafina di Kung Fu Panda 4 saat adegan karakternya ingin menyampaikan pengumuman penting untuk satu kota yang ribut, aku udah siap-siap nutup telinga karena si rubah itu udah ambil napas untuk teriak, tapi lalu tidak jadi hahaha sukurrr…… Well, ya, sebagai sekuel yang tidak disangka oleh semua orang (termasuk penggemar Kung Fu Panda) film ini memang bisa dibilang ambil resiko dengan tidak lagi menghadirkan The Furious Five (beserta aktor-aktor kawakan pengisi suaranya) sebagai teman Po (Jack Black) bertualang, instead menggantinya dengan presence seseorang (dan secempreng) Awkwafina yang jadi rubah pencuri.

Dinamika Po dan Rubah Zhen terutama terasa awkward karena sebenarnya mereka lebih mirip sebagai pasangan di dalam film aksi spy ketimbang komedi kungfu seperti vibe tiga film terdahulu. Kung Fu Panda 4 terasa lebih buru-buru, dan lebih mengandalkan kepada aksi-aksi konyol, dengan hiasan celetukan atau komentar atau rekasi yang berusaha memancing komedi dari para karakter. Harusnya film ngerem sedikit dan benar-benar embrace bahwa relasi yang mereka punya sebagai heart of the story adalah relasi yang baru, yang dua karakternya ini butuh dibuild up benar-benar terlebih dahulu. Tapi di sini, being more like an action, ceritanya lebih menyibukkan diri kepada twist&turn karakter.

Padahal dari sisi tema/gagasan, film ini lumayan berbobot. Po enggak siap untuk menyerahkan gelar Dragon Warrior kepada penerus, Po merasa belum sebijak gurunya dalam menggembleng murid (itu juga kalo dia berhasil menemukan dan kalo ada yang sudi berguru kepada dirinya yang merangkai kata-kata wisdom aja gak bisa). Bahasannya mengangkat soal kita adalah apa yang kita lakukan, dan bagaimana kita harus bisa beradaptasi dengan tuntutan perubahan, karena gimana pun kita gak boleh stuk terus, kita harus berkembang as a person. Semakin dipertajam bahasan ini dengan desain karakter jahatnya, yaitu Chameleon yang bisa berubah wujud menjadi siapapun, termasuk musuh yang sudah dikalahkan oleh Po. Sepertinya arahan Mike Mitchell dan Stephanie Stine memang terlalu gasrak-gusruk dalam menceritakan tema tersebut.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for KUNG FU PANDA 4




LATE NIGHT WITH THE DEVIL Review

Konsepnya dibikin kayak sebuah dokumenter dari acara talkshow di televisi. Sebelumnya, kita diberikan backstory oleh narator mengenai host talkshow tersebut; Jack Delroy, yang naik daun berkat program tersebut, lalu gimana dia dirumorkan terlibat dalam sebuah sekte misterius, dan gimana dia sempat depresi setelah istrinya meninggal dunia karena kanker. Lalu film berfokus kepada ‘rekaman’ show terakhir dari Jack Delroy. Show spesial Halloween, bintang tamunya antara paranormal beneran, paranormal yang kini jadi skeptis, serta seorang ilmuwan dan subjek penilitian yang kini sudah dianggap anak sendiri; remaja yang berbagi tubuh dengan setan. ‘Menonton’ talkshow ini sudah jelas bakal lain dari biasanya, karena kejadian aneh semakin menjadi-jadi.

Sutradara Cameron dan Colin Cairnes sukses membius kita semua. Bukan saja menonton film ini terasa seperti nyaksiin ‘talkshow beneran yang gone wrong beneran‘, tapi juga karena sepanjang acara itu kita juga dibuat terombang-ambing. Orang bilang “the greatest trick the devil ever pulled was convincing the world he doesn’t exist”, nah film ini seperti the devil itu sendiri. Atau setidaknya, film ini berhasil bikin kita gonta-ganti pendapat siapa setan beneran di cerita ini.

Sama seperti karakter-karakternya yang mempertahankan ilusi/gimmick masing-masing, film ini pun menaruh perhatian yang sangat detil untuk menciptakan dunia panggungnya. Ketika lagi mereka lagi on-air, treatment yang diberikan film pada kameranya akan berbeda dengan saat nanti mereka break iklan dan kita ‘dipersilakan’ melihat ke panggung tempat mereka benerin make up, atau juga ke backstage saat si host mulai mencemaskan yang terjadi di panggung tadi itu adalah trik produser atau memang fenomena gaib. Kesan 70an pun menguar kuat lewat cara bicara, pakaian, dan style acara. Ketika iklan, mereka memperlihatkan animasi ‘we’ll be back’ khas acara televisi. Begitu juga ketika nanti horor beneran terjadi, efek praktikal digunakan dengan berani. Menjadi horor psikologis pun film ini tidak ragu, beberapa menit terakhir film menunjukkan kebolehan arahan dengan menggunakan klip-klip yang mirip dengan montase pembuka hanya kali ini dengan angle dan perspektif yang membuatnya beneran tampak eerie, sureal, dan disturbing.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for LATE NIGHT WITH DEVIL

 

 

 

MONKEY MAN Review

Legenda Hanoman digunakan oleh Dev Patel sebagai tema/gagasan yang mengelevasi kisah action revenge yang jadi debut penyutradaraannya, memberikan genre tersebut sedikit bobot dan akar identitas budaya yang merekat. Hasilnya, sure, Monkey Man punya aksi brutal menghibur ala John Wick (film ini sendirinya menyebut John Wick, for fun), backstory karakternya yang kesumat mencari polisi jahat yang dulu membunuh ibu pun tampak plot standar, tapi setidaknya di balik itu semua kita ditahan di tempat duduk oleh paralel antara si monkey man dengan Hanoman yang dulu sering diceritakan oleh ibu, melawan raksasa Rahwana.

Baik akting maupun directing, Dev Patel di sini tampak sangat ambisius. Dari sinematografi saja, Monkey Man sudah sedahan di atas film laga biasa yang cuma ngandelin cut-cut cepat. Di film ini, aku kagum sekali sutradara pertama seperti Patel, mampu menghadirkan adegan-adegan berantem yang seperti punya ritme. Kalo film bollywood menari lewat adegan tari-tarian, Monkey Man (yang nyatanya suting di negara kita ini) ‘menari’ lewat adegan berantem. Setiap adegan berantem menceritakan kisah/state si monkey man pada saat itu. Sehingga masing-masing adegan berantem terasa berbeda, dan terasa punya bobot emosi yang berbeda. Patel memang tampak ingin menitikberatkan kepada journey personal protagonisnya yang penuh duka dan trauma. Hal yang termanifestasi pada telapak tangannya yang bergurat-gurat bekas lecet dan api. Patel juga sering membawa kita berayun ke dalam memori-memori pahit karakternya, menciptakan imaji-imaji yang tak kalah heavy dari sana.

Sandungan film ini menurutku cuma nature dari genrenya yang memang generik. Gak peduli betapa jauh Patel ngajak kita ke identitas dan culture yang ia angkat, film ini tetap balik dan berjalan pada poros yang sangat familiar. Sehingga, tur ke kepala protagonis, justru dapat berbalik membosankan bagi penonton yang ingin segera balik ke aksi-aksi. Menurutku pribadi, yang kurang dieksplorasi dari film yang memang terlalu fokus pada satu karakter ini adalah, tokoh jahatnya. Si kepala polisi masih terlalu satu dimensi. Sementara ada satu lagi, yang merupakan paralel tuhan/dewa dalam kisah hanoman – seorang guru bernama Shakti Baba yang tadinya juga nobody tapi jadi penguasa yang menggerakkan semua kejahatan politik di balik kedok orang suci – tidak benar-benar dieksplorasi sebagai lawan ‘sesungguhnya’ dari protagonis kita.

The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for MONKEY MAN.

 

 

 

PERFECT DAYS Review

Beberapa tahun lalu pernah ada film yang seperti ini, judulnya Paterson (2017). Filmnya hening, kisah keseharian seorang driver bus, dan mengisi waktu luangnya dengan menulis puisi. Perfect Days karya Wim Wenders bedanya cuma protagonisnya seorang janitor taman-taman kota, dan mengisi waktu luang dengan mendengarkan musik (dari kaset tape),membaca buku sastra, dan memotret pohon-pohon. Mengikuti rutinitasnya sehari-hari, kita akan menjadi semakin kenal dengan pak Hirayama, dan we might learn satu-dua hal tentang latar belakangnya, yang membuat pilihan hidupnya sekarang semakin emosional bagi kita.

Perfect Days memang bukan film yang bakal ada kejadian besar. Film ini justru memusatkan kita pada hal-hal rutin dan kecil yang berlangsung di hari-hari yang tampak disukuri sekali oleh pak Hirayama. Film membawa kita ngikutin beliau mulai dari bangun tidur di apartemen kecilnya, berkeliling ke ‘kantornya’ yakni toilet-toilet taman Jepang yang unik-unik dan estetik (mindblowing banget lihat toilet transparan yang seketika memburam pas pintunya dikunci), istirahat makan siang di taman, sebelum pulang mampir ke bar kecil yang ibu penjaganya jago nyanyi, lalu tidur. Begitu terus. Aku terutama tertarik pada bagian ketika Hirayama tidur. Karena dia pasti mimpi, dan mimpinya – yang digambarkan hitam putih, lewat berbagai image random – terlihat kadang seperti masa lalunya, atau mungkin juga penyesalannya, atau juga hal yang ia rindukan.

Film, seperti juga Hirayama, memang menolak membicarakan masalahnya secara langsung. Tapinya lagi, memang itulah konteks gagasan film ini. Bukan soal resolving problem. Melainkan gimana kita mengusahakan hidup mensyukuri hal-hal kecil tanpa terdistraksi oleh masalah fana ini. Pentingnya kita untuk menyadari setiap hari adalah hari yang sempurna untuk mensyukuri hidup; dengan rutinitas masing-masing, dengan fungsi masing-masing, regardless ada masalah atau tidak.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for PERFECT DAYS.

 

 

 

SIKSA NERAKA Review

Neraka bukan setting baru dalam sinema. Kebanyakan film membangun neraka versi mereka sendiri, sebagai tempat mengerikan yang berkaitan dengan karakternya. Makanya nerakanya beda-beda, kadang ada yang tempat panas, ada yang tempat penuh mayat hidup, kadang ada Hadesnya, kadang merujuk pada kepercayaan tertentu yang kemudian dibentrokkan dengan keadaan karakter; neraka bagi Frieza justru tempat yang ramah dan menyenangkan (karena penjahat di Dragon Ball tersebut gak tahan sama yang namanya kebaikan). Atau neraka dalam Pan’s Labyrinth justru seperti tempat kerajaan negeri dongeng, di mana protagonis kita akhirnya menjadi putri raja. Yang jelas, neraka selalu adalah tempat mimpi buruk personal, yang seringkali berupa tempat supernatural yang berbeda dengan realitas di Bumi.

Ketika Anggy Umbara menggarap Siksa Neraka, referensinya adalah buku komik untuk anak-anak belajar tentang surga dan neraka sesuai dengan ajaran agama Islam, buku komik yang memang penuh gambar-gambar sadis orang-orang yang disiksa. Di sinilah hal menjadi ruwet. Mengadaptasi adegan-adegan neraka tersebut berarti dengan pedenya memvisualkan gambaran neraka menurut agama. Sutradara yang lebih humble akan membelokkan gambaran tersebut sebagai sesuatu yang lebih dekat kepada neraka personal (keadaan psikologikal), atau at least mengeset dunia-ceritanya punya neraka versi sendiri. Tapi Umbara, yang juga gagal berpijak pada satu perspektif utama dalam mengembangkan cerita ini, membuat seolah benar neraka yang dikunjungi karakternya benar adalah neraka yang kita percaya, dan filmnya benar memuat ajaran dan pesan supaya para penonton tobat.

Inilah kenapa aku menyebut kita gak bisa menilai film hanya secara subjektif dari pesan yang diangkat. Karena semua film, bagus ataupun jelek, pasti punya bahasan atau pesan moral yang bisa dipetik, tergantung subjektivitas yang nonton. Dan membahas pesan tersebut memang bisa seru, tapi untuk penilaian harusnya dikembalikan kepada filmnya. Apakah pesan tersebut disampaikan lewat storytelling yang baik atau tidak. Di Siksa Neraka, storytellingnya kacau. Ceritanya berpusat pada empat anak ustad yang celaka saat menyeberang sungai yang meluap (karena one of them insist supaya cepat sampai tujuan sebaiknya jangan lewat jembatan tapi langsung masuk ke sungai!) dan keempat-empatnya ended up di neraka dan disiksa karena dosa mereka di dunia. Hanya satu yang ada di sana sebagai out of body experience (mati suri) dan tidak benar-benar disiksa karena bukan waktu dan tempatnya. Harusnya cerita tetap stay di perspektif yang selamat ini supaya nerakanya tetap ambigu, toh film sudah melandaskan logika-dalam si anak dari kecil dapat melihat hantu. Tapi film memindah-mindahkan perspektif. Pertama kita melihat anak pertama disiksa, lalu kilas-balik ke kisah hidup dia saat melakukan dosa, begitu terus polanya. Sehingga semua neraka yang clumsy dan bad cgi itu nyata.

Jadi film ini sebenarnya lebih terasa sebagai torture-fest, yang berkedok ajaran kebaikan (untuk bertobat dari perbuatan dosa). Sebagai drama horor keluarga yang religious-based pun, film ini tetap terasa kosong karena karakterisasi dan dialog yang dangkal. Arahannya cuma mau berasik-asik siksa menyiksa, penulisannya pun tak bisa ngembangin bahasan lebih dalam (wong, stay true kepada ajaran sourcenya aja dia gabisa)

The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for SIKSA NERAKA.

 




 

 

That’s all we have for now

Walau telat, mohon maaf lahir batin semuaa!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA