BEAU IS AFRAID Review

 

“The mother-child relationship is paradoxical and, in a sense, tragic.”

 

 

Lagu Kasih Ibu kalo dinyanyiin oleh Beau dari film horor terbaru Ari Aster ini, pasti jadi agak laen. Karena memang di film ini, Ari Aster menyorot gimana hubungan ibu dan anak yang mestinya sweet dan menghangatkan bagai sang surya menyinari dunia ternyata bisa jadi seperti perjalanan berlayar yang menakutkan. Di cerita ini, air yang Ari lambangkan sebagai kasih ibu. Air, yang jadi sumber kehidupan, yang jadi ketergantungan bagi Beau, dan yang juga nanti jadi tempat kembalinya. Dan perjalanan Beau mengarungi semua itu, juga bukan sebuah perjalanan yang mudah dan menyenangkan bagi kita yang menonton. Karena memang Pak Sutradara ingin mencemplungkan kita ke dalam perasaan yang dialami oleh karakternya. Malahan, film ini merupakan salah satu film yang paling bikin bingung dari semua film yang pernah kita tonton dan bahas di sini. Beau takut. Dan hal penting yang ingin ditegaskan oleh film ini adalah, bahwa takut itu bukan semata kepada ibunya. Melainkan juga, gara-gara sang ibu.

Dunia aneh si anak mami

 

Yang bikin film ini ekstra njelimet untuk dimengerti adalah treatment Ari Aster terhadap dunia ceritanya. Jika biasanya film-film memisahkan dengan jelas mana porsi realisme dengan sureal/fantasi pada cerita, maka Beau is Afraid enggak takut untuk mengaburkan batas tersebut.  Inner dan outer journey yang dilewati oleh Beau sama-sama perumpamaan. Metafora.  Cerita ditembak dari sudut pandang Beau, tapi masalahnya personal state, pikiran si Beau itu sendiri tidak dipastikan dengan jelas oleh film. Oleh film, justru ketidakpastian state of mind si Beau tersebut yang dijadikan pengalaman horor. Kita tahu film meniatkan demikian dari adegan pembuka yang begitu sureal, kamera diposisikan sebagai mata Beau yang masih bayi, ditarik keluar oleh dokter dari dalam perut ibunya. Tidak ada seorang pun yang ingat gimana pengalaman dilahirkan, tapi di sini Beau tahu. Di adegan tersebut Beau tidak terdengar menangis, dan lalu dia mendengar sedari dia lahir ibunya sudah demanding supaya bayi Beau menangis. Karena begitulah seharusnya bayi bertindak.

Pada adegan berikutnya kita melihat Beau sudah dewasa – like di umur 40an atau sekitarnya – dan dia sedang bersama seorang therapist. Untuk masalah apa dia di sana, dengan cepat disiratkan oleh ponsel yang bergetar. Ibu menelepon. Beau menatap ponsel tersebut. Tidak menjawab. Menahan napas. Kupikir, satu-satunya adegan yang bisa kupastikan ‘nyata’ di sini, adalah adegan di ruangan therapist ini. Saat Beau menyebut dia disuruh pulang oleh Ibu, untuk mengenang hari kematian Ayah. Dan si therapist  yang menanyakan perasaan Beau atas kepulangan ini. Pria yang duduk berseberangan dengannya itu jelas punya mommie issue. Pria dewasa yang merasa tercekat hanya oleh panggilan dari ibunya. Kita tahu Beau sebenarnya lebih memilih untuk tidak kembali. Aku percaya kejadian aneh yang menyebabkan Beau bangun telat dan nanti akhirnya malah jadi tidak bisa ke bandara sebenarnya memang tak terjadi. Aku setuju dengan ibunya yang bilang semua itu hanya akal-akalan Beau yang enggan pulang (tapi Beau gak berani bilang). Makanya film nanti menaikkan stake dan urgensi dengan membuat sang ibu tahu-tahu ditemukan meninggal dunia. Beau jadi harus pulang mengurus pemakaman. Perjalanan Beau pulang nanti akan jadi tontonan yang benar-benar aneh untuk kita saksikan. Terlebih ketika nanti dia akhirnya sampai di rumah. Film benar-benar meleburkan batas mana yang nyata dan yang tidak. Kejadian yang membingungkan, ditambah karakter yang psikologisnya enggak benar-benar jelas, membuat Beau is Afraid jadi disturbing dan hard to watch.

Tapi di situlah tantangannya, kan? Di situlah letak menariknya film ini. Karena ada begitu banyak lapisan dan tragedi yang bisa kita ungkap. Ya, aku menyebut tragedi karena hubungan antara ibu dan anak memang dapat menjadi sebuah paradoks yang tragis, Seorang ibu harus mencintai dan menyayangi anaknya dengan begitu intens dan tanpa sarat, supaya si anak bisa tumbuh dewasa sebagai anak yang mandiri. Tragis, karena gak semua ibu menyadari itu. Beberapa dari mereka jadi seperti ibu Beau. Anaknya sudah segede itu tapi gak pernah benar-benar menjalani kehidupannya sendiri.

 

Efek dari pola pengajaran ibu yang salah dan terlalu over-lah yang menyebabkan Beau melewati ‘petualangan’ absurd mengerikan. Orang-orang aneh yang ada di sekitar apartemen Beau – si bertato yang mengejarnya, pria flamboyan yang menari-menari di jalan, kakek tak berbusana yang menusuki orang dengan pisau – menurutku orang-orang itu tidak nyata. Atau setidaknya tidak benar-benar bertindak seperti itu. Mereka seperti itu di mata Beau karena begitulah Beau memandang dunia tanpa ibunya. Dunia yang aku percaya digebah ibu kepada Beau saat dia bilang mau tinggal sendirian. Tempat yang berbahaya. Kita waktu kecil mungkin ada yang sering ditakuti-takuti oleh ibu supaya gak main keluar sendiri, kayak, dibilangin bahwa ada orang gila di ujung jalan, atau ada penculik anak di mobil jeep (most of my classmates dulu percaya mobil gede seperti itu adalah mobil penculik, karena ibu mereka yang terpengaruh acara tv bilang demikian). Begitulah menurutku yang terjadi pada Beau di awal film. Meski memang gak ada adegan atau dialog yang menyebut ibunya menakuti Beau dengan cerita seperti itu, tapi toh ada bukti bahwa ibu memang melakukan trik semacam itu kepada Beau. Ada sekuen yang menggambarkan Beau merasa takut berhubungan badan karena dari flashback, ada momen ketika ibunya menceritakan kepada Beau bahwa ayah meninggal saat proses ‘membuat’ dirinya. Bahwa kematian seperti itu sudah turun temurun di keluarga Beau yang laki-laki.

Momen-momen yang sepertinya real (setidaknya berakar dari kejadian real) film ini datang sekelebat dari flashback-flashback setiap kali Beau pingsan, entah itu karena kepentok dahan saat berlari atau saat gelang di kakinya meledak. Adegan film ini memang seabsurd itu. Petunjuk-petunjuk kecil dari kilasan adegan itulah yang jadi puzzle untuk kita susun demi mengetahui gimana hubungan Beau dengan ibu yang sepertinya seorang wanita karir mendiri dan punya isu tersendiri dengan pria. Beberapa adegan menunjukkan Beau dianggap melawan tatkala pria itu menunjukkan otonomi atau kehendaknya sendiri. Ada adegan membingungkan saat Beau masih kecil, yang direkam dengan seolah Beau ada dua orang. Beau yang berani, dan Beau yang penurut. Beau yang pemberani – ngotot menanyakan perihal ayah – disuruh ibu ke loteng dan dikurung di atas sana untuk selamanya. Adegan ini menyimbolkan kerasnya ibu terhadap sikap kritis Beau. Atap jadi tempat pengasingan – karena di atas sana jugalah Beau nanti akan bertemu dengan sosok yang ibu bilang adalah ayahnya. Dan sosok tersebut akan benar-benar sinting, sehingga terkesan konyol. Mengerikan, tapi konyol.

Yang mengingatkanku pada satu cerpen Kompas berjudul ‘Menggambar Ayah’ yang dari dulu pengen sekali kujadiin film pendek

 

Efek visual dan artistik yang dilakukan oleh film ini memang punya range yang cukup luas. Kadang sekilas terasa kurang konsisten, tapi itu hanya karena efek tersebut menghasilkan tone yang membuat kita lupa sama feeling yang berusaha disampaikan. It’s bound to happen pada film yang memang punya banyak kejadian absurd seperti film ini. Setelah pengalaman mengerikan semacam home invasion, Beau juga ngalamin sensasi diculik, lalu dia menonton teater yang dia rasa mirip sama hidupnya sendiri (yang tergambar kepada kita lewat visual dengan animasi), dikejar-kejar oleh maniak medan perang (yang bikin film kayak survival thriller), dan tentu saja momen ketemu makhluk di atap tadi, yang udah kayak horor creature.

Sesungguhnya semua kejadian outer tersebut punya maksud sebagai simbol tersendiri. Ari Aster menegaskan pengaruh pengasuhan seperti yang dilakukan oleh ibu kepada Beau ini bukan hanya dari gimana Beau memandang peristiwa, tapi juga dari gimana kejadian-kejadian itu membentuk pengalaman yang mencerminkan tahap pertumbuhan yang mestinya dilalui Beau sedari kecil. Tapi mungkin tidak pernah kejadian, karena Beau waktu kecil sangat penurut sehingga jadi lemah. Dan sekarang, Beau harus mengalami semua urutan pertumbuhan tersebut. Bagian di apartemen tadi, misalnya. Ini state seperti anak kecil yang gak berani keluar sendirian. Setelah akhirnya (terpaksa) berani ninggalin rumahnya, Beau, tinggal di rumah pasangan yang menyelamatkannya, tapi pasangan itu mulai mencurigakan, melarang Beau pergi, dan mereka punya anak remaja yang gave them hard times. Ini basically menggambarkan state saat remaja, Beau harus berani memberontak dari aturan-aturan. Ketika kemudian Beau sampai di perkumpulan teater hutan, ini adalah bagian dia di tahap pertumbuhan dewasa. Beau menonton show yang membuat dia membayangkan punya keluarga. Punya anak-anak yang mirip dengannya. Dan ini jadi plot poin berikutnya bagi Beau, karena di balik dia sadar desirenya sebagai manusia untuk punya pasangan dan settled, dia juga tersadar dia mungkin mirip ayah – or worse, ibunya. Ketakutan Beau telah banyak terhimpun, dan siap meledak saat dia sampai di rumah. Ini fase tua yang harus dialami Beau. Film menggambarkan ini dengan paranoia, karena diungkap ternyata ibu mengendalikan semua hidup Beau. Bahwa semua produk-produk yang dipakai Beau selama ini adalah produk dari bisnis ibunya. Konfrontasi terakhir Beau dengan ibu di pengadilan tengah laut itu jadi puncak pembelajaran Beau, yang merasa dirinya telah berani stand up for himself. But the mental damage has been done, kita pun melihat ending yang circled back ke kejadian yang dilihat Beau di jalanan pada awal cerita. Kapal terbalik milik anak yang berani gak nurut kepada ibunya.

 

 




Masih banyak lagi sebenarnya momen-momen ganjil yang ditampilkan oleh film ini, yang pastinya menarik untuk kita tonton dan kaji ulang. Meskipun memang aku sendiri ragu, aku bakal berani untuk mengulangi lagi perjalanan Beau dalam waktu dekat. Mungkin harus nunggu beberapa minggu dulu hahaha… Karena memang film ini seaneh dan se’hard to watch’ itu. Penampilan aktingnya sih sangat oke, Joaquin Phoenix sebagai Beau tampak paham betul apa yang dilalui karakternya. Aktingnya gak sebatas ekspresi, tapi juga fisik, karena di sini Beau bakal luka-luka yang cukup parah, dan Joaquin komit, dia tahu persis cidera karakternya itu bermakna sesuatu terhadap perjalanan dan state sang karakter itu sendiri. Film ini menargetkan kita untuk merasakan yang dialami oleh karakternya yang bisa dibilang loser dan penakut dan lemah, dan dengan jadi seperti begini, film ini sukses mengenai target itu. Petualangan Beau bukan pengalaman yang menyenangkan untuk ditonton. Sepertinya tidak ada yang nyata, melainkan gambaran gimana si karakter mencerna dan menyadari momok personalnya. Ini adalah perjalanan konyol tapi mengerikan yang seharusnya tidak pernah dialami oleh orang-orang nyata. Karena kita mestinya berani. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BEAU IS AFRAID.

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian anak seperti Beau memang pantas untuk mengantagoniskan ibu mereka? Apakah kalian punya teori atau penjelasan lain tentang film ini?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ARE YOU THERE GOD? IT’S ME, MARGARET. Review

 

“Childhood is a journey, not a race”

 

 

Anak-anak belum sepenuhnya bisa memahami banyak hal di dunia. Karena pemikiran mereka memang masih dalam tahap berkembang. Belum matang. Makanya anak-anak belum boleh bikin SIM, beli rumah, ikutan Pemilu. Apa-apa masih harus dengan persetujuan dari orangtua. Anak-anak belum bisa dipercaya untuk memutuskan sesuatu karena persepsi realita dan imajinasi mereka belum seutuhnya terbentuk. Jika kita yang dewasa saja masih suka bingung akan jati diri, bisa dibayangkan betapa bingungnya anak-anak terhadap dirinya sendiri. Mengalami proses perubahan tubuh, dan segala macam. Kita yang sudah dewasa diharapkan, bukan untuk mencampuri, bukan untuk mengafirmasi, bukan untuk menambah ribet hal dengan nambahin konsep-konsep aneh, bukan untuk memutuskan hal untuk mereka, melainkan untuk semata membimbing mereka melalui hari-hari penuh pertanyaan menuju proses dewasa tersebut. Mempersiapkan mereka untuk mengambil keputusan saat gede nanti. Saat waktunya tiba. Namun, bagaimana dengan agama? Inilah pertanyaan sensitif yang berusaha dibicarakan oleh Judy Blume ketika menulis novel Are You There God? It’s Me, Margaret di tahun 1970. Pertanyaan yang dirasa masih relevan oleh sutradara Kelly Fremon Craig sehingga kini dia mengadaptasi novel populer (dan tentu saja kontroversial) tersebut menjadi feature-film yang cukup langka dan berani. Coming-of-age story yang digabung dengan pencarian Tuhan.

Banyak dari kita yang terlahir ke dalam agama. ‘Ngikut’ dulu sama agama orangtua, sampai kita cukup dewasa untuk mutusin sesuai keyakinan sendiri mau stay atau pindah. Margaret dalam cerita film ini tidak bisa begitu. Karena ibu dan ayahnya punya agama yang berbeda. Ibunya Kristen, ayahnya Yahudi. Sebagai anak kelas enam, Margaret mulai kepikiran soal agamanya. Selama ini dia berdoa kepada Tuhan dengan caranya sendiri. “Halo Tuhan, ada di sana? Ini aku, Margaret” Begitulah Margaret berkomunikasi dengan Tuhan -seperti orang yang sedang menelepon – setiap kali dia mau curhat. Oh ya, sebagai anak perempuan yang udah mau remaja, pikiran Margaret pun mulai dirundung berbagai permasalahan yang malu-maluin kalo ditanyain ke orangtua. Mulai dari persoalan teman-teman di sekolah yang baru, naksir cowok, hingga soal tubuhnya. Margaret, seperti juga teman-teman gengnya, sudah gak sabar jadi wanita dewasa. Tapi setiap orang punya waktu yang berbeda-beda. Sebagai anak yang ‘mekar’ agak lambat, Margaret mulai insecure, kenapa dia punyanya belum gede juga, kenapa dia belum ‘dapet’ sementara yang lain udah. Permasalahan yang juga merambah ke persoalannya dengan Tuhan.  Margaret semakin bingung. Agama mana yang harus ia pilih supaya Tuhan menjawab keluh kesahnya?

Tuhan, aku salah sambung ya?

 

Perspektif yang kuat dan dikembangkan dengan respek menjadikan film ini menyenangkan sekali untuk ditonton. Kita benar-benar dibuat merasakan dan melihat dunia dari mata si Margaret. Anak sebelas tahun yang baru saja pulang dari summer camp, lalu harus pindah rumah, pisah dari nenek yang tadinya satu-satunya sahabatnya, dan di tempat yang baru dia menemukan teman-teman baru. Merasakan gejolak yang baru. Gejolak itulah yang tergambarkan luar biasa oleh film lewat keseharian Margaret, serta interaksinya bersama teman-teman. Bagiku dunia anak-anak yang tergambar di sini terasa familiar, sekaligus juga asing, karena sekarang aku benar-benar dibuat melihat dari sisi anak cewek. Gimana bedanya kelompok anak cewek berinteraksi; apa yang mereka bicarakan, apa yang mereka inginkan, apa yang mereka takutkan.  Perasaan mereka itu akhirnya jadi perasaan universal yang membuat film ini jadi begitu grounded. Sembari mempertahankan pesona kuat yang jadi bibit-bibit komedi dalam cerita. Margaret dan teman gengnya punya rule sendiri, punya ‘metode’ sendiri supaya dada mereka jadi seperti model di majalah dewasa punya ayah yang mereka ambil diam-diam hihihi

Margaret dan teman-temannya adalah anak-anak baik, tapi karena rasa ingin tahu alami yang mereka rasakan, mereka bisa bertindak cukup nakal. Dan it’s okay karena itu adalah proses belajar. Film mengeksplorasi itu dengan sangat lekat. Margaret yang akhirnya menyesal udah ngebully satu teman perempuannya yang paling cepat ‘gede’, misalnya Range kejadian film ini memang begitu beragam. Ini menurutku adalah keberhasilan sutradara dan penulis dalam mengadaptasi. Cerita dari novel dengan halaman sekian banyak, bisa mengalir dengan tetap enak ke dalam durasi seratus menit penceritaan. Jika diingat sekarang, banyak banget kejadian yang menimpa Margaret. Punya teman baru, berantem ama teman baru, liburan ke tempat nenek, liburan bersama teman, disuruh bikin tugas tentang topik yang ia pilih sendiri (Margaret memilih tentang agama). Tapi semuanya berhasil diikat runut sebagai perjalanan yang punya awal-tengah-akhir yang jelas. Perjalanan yang membawa pembelajaran terhadap Margaret, yang berarti karakternya punya pengembangan yang kuat. Gak semua film adaptasi novel bisa mencapai keberhasilan seperti ini, karena cerita dari novel umumnya kesusahan mengolah sekian banyak materi sehingga hasilnya ya entah itu terlalu sumpek atau jadi malah gagal menangkap apa yang ingin diceritakan. Film ini berpegang pada gagasan yang jadi visinya, dan berkembang tetap pada jalur itu. Banyaknya karakter sekalipun, tidak pernah jadi sandungan.

Yang benar-benar aku suka dari film ini adalah cara mereka mengaitkan kisah coming-of-age dengan bahasan yang hanya berani dibahas oleh sedikit sekali orang, apalagi di jaman sekarang. Soal pertanyaan terhadap agama. Tahun 2014 dulu film India, PK, mengangkat persoalan itu dengan membuat perspektif utama dari seorang alien. Supaya sudut pandangnya bisa lebih netral dan gak diprotes-protes amat. Margaret bukan alien. Dia anak perempuan yang mau jadi remaja. Tapi dia merasa tidak menemukan jawaban atas pertanyaan hidupnya karena enggak tahu cara menghubungi Tuhan yang benar. Maka Margaret nyobain berbagai macam ibadah. Pada satu minggu dia ikut nenek ke kanisah. Minggu berikutnya dia ikut temannya ke gereja protestan. Kesempatan lainnya dia ngintilin temannya melakukan pengakuan dosa di gereja katolik. Margaret menyebut, dia suka dengar ceramah, nyanyi-nyanyi, dan sebagainya, tapi dia belum merasakan keberadaan Tuhan di tempat-tempat itu. Sampai ada momen menyedihkan saat Margaret menulis surat kepada gurunya, bilang dia gak sanggup menyelesaikan tugas karena dia sampai sekarang masih belum menemukan agama yang tepat. Yang ada, dia malah merasa takut beragama.

Bayangkan kalo dibikin versi Indonesia, si Margaret bingung masuk Islam yang aliran mana, atau semacamnya.. wuihh pasti filmnya langsung dicekal

 

Memang topik yang jarang banget disentuh sedemikian rupa, let alone dari sudut pandang anak-anak. Tapi film ini berani dan tidak terjebak. Tidak menyuruh Margaret harus memilih saat itu juga. Tidak memaksa Margaret membuat keputusan. Dua nenek Margaret sempat saling bertengkar, masing-masing berusaha membujuk Margaret memeluk agama mereka, tapi film tetap berada di pihak orangtua Margaret. Melindungi sang anak dari semua pengaruh itu. Bukan karena tidak setuju dengan salah satu, melainkan karena itu adalah hak Margaret untuk memutuskan di saat dirinya sudah siap nanti.

Film menegaskan bahwa ini bukan cerita tentang perjalanan memilih agama. Melainkan perjalanan seorang anak menemukan keyakinannya terhadap Tuhan. Dikaitkan dengan kisah tumbuh-dewasa, film ini sekaligus mengingatkan kita untuk membiarkan anak-anak tumbuh, sebagai dirinya sendiri, dan – ini yang sekarang sering dilupakan orang – pada waktu miliknya sendiri. Childhood semestinya adalah pertumbuhan yang mereka alami dengan natural, dengan pacenya sendiri. Bukan tugas kita untuk memburu-burukan itu semua terjadi.

 

Gagasan ‘we grow as our own person, and in our own time’ tersebut ditegaskan film saat memperlihatkan hubungan antara Margaret dengan ibu dan dengan neneknya (ibu dari ayah) yang setelah sekian lama jadi orang terdekatnya. Tiga karakter ini yang sebenarnya jadi tonggak film secara keseluruhan. Abby Ryder Fortson bukan sekadar aktor cilik beruntung yang bermain bersama aktor sekelas Rachel McAdams dan Kathy Bates, gadis cilik itu juga membuktikan dia pantas bersanding dengan mereka. Ketiga aktor ini juga benar-benar menyokong film lewat permainan akting yang begitu natural, chemistry di antara mereka pun terhampar menyenangkan. Kathy Bates jadi nenek yang karakternya mengalami perkembangan dari cemburu dan gak suka cucunya dijauhkan darinya, menjadi seseorang yang akhirnya menemukan kembali hidupnya di umur yang sudah senja. Kepindahan Margaret memang berat bagi mereka berdua, tapi justru itu yang membawa masing-masing kepada pembelajaran personal. Ibu Margaret juga mengalami pembelajaran, tapi menurutku persoalan ibunya ini yang kurang maksimal dilakukan oleh film ini. Jadi Rachel McAdams memainkan karakter ibu yang cocok banget untuk ia perankan, ibu muda yang tipe membawa keceriaan dan tampak laid back padahal really care dengan keluarga. Tapi dia punya backstory yang cukup sedih, yaitu di-disowned oleh orangtuanya sendiri lantaran menikah dengan orang yang berbeda agama. Film meluangkan waktu untuk membahas itu hingga meresolve konfliknya. Tapi ada satu porsi dari karakter si ibu ini yang tidak dibahas lebih lanjut padahal paralel dengan persoalan menjadi our own person. Yakni soal dia dulunya adalah pelukis, dan sekarang meninggalkan hobi tersebut. Menurutku ini kalo dieksplorasi lagi, dapat menambah layer bagi pembelajaran Margaret.

Are You There God? It’s Me, Margaret sudah available di Apple TV, yang ingin nonton bisa langsung subscribe dari sini yaa https://apple.co/3Cjdu2j

Get it on Apple TV




Ceritanya boleh saja bersetting di tahun 70an, tapi esensi di baliknya benar-benar timeless dan universally grounded. Karena setiap anak punya masalah yang sama. Dan setiap orangtua bakal melakukan kesalahan yang sama. Penceritaan film ini tidak pernah terasa menggurui, namun terasa sangat jujur mengalir dari perspektif utamanya. Dari mata seorang anak perempuan yang juga sedang berusaha berkomunikasi dengan Tuhan. As for kids, Margaret dan teman-temannya mungkin bukan exactly ditonton untuk dijadikan sebagai role model, tapi mereka semua akan jadi teman yang baik untuk anak kecil seusia mereka yang menonton film ini. Teman yang mengerti kecemasan dan kebingungan apa yang bakal mereka hadapi dalam pergaulan sehari-hari. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for ARE YOU THERE GOD? IT’S ME, MARGARET

 




That’s all we have for now.

Sehubungan dengan itu, bagaimana pendapat kalian tentang pemberitaan baru-baru ini di Amerika soal bahasan LGBT (gender dsb) yang mulai diajarkan di sekolah-sekolah? Apakah memang perlu, atau apakah memang wajar jika ada orangtua yang menolak?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



MINI REVIEW VOLUME 9 (SISU, RENFIELD, DEAR DAVID, GUY RITCHIE’S THE COVENANT, AIR, A MAN CALLED OTTO, KNOCK AT THE CABIN, CREED III)

 

 

Masa liburan memang biasanya blog ini kosong. Apalagi pas mau-mau lebaran. Wuih, jangankan nulis di depan komputer, menonton film aja aku jarang. Pengennya main video game sepanjang waktu hehehe… Alhasil seringkali aku balik ke realita, dengan pe-er seabrek. Kayak sekarang ini. Begitu banyak film yang dianggurin. Sebagian belum ditulis, sebagian belum kelar ditonton. Jadilah sepanjang bulan Mei ini aku kayak anak sekolah yang ngebut belajar sampai larut malam. Delapan film inilah yang akhirnya terpilih untuk ku kompilasi jadi mini-review volume ke-sembilan!

 

 

 

AIR Review

Sebagai anak nongkrong 90an, kata ‘Air Jordan’ memang cukup familiar buatku, walau aku bukan penggemar sepatu ataupun olahraga basket. Karena waktu itu, Air Jordan memang terkenal banget. Sepatu paling keren di dunia. Sehingga dijadikan guyon. Kalo anak-anak kampung seperti kami beli sepatu baru, pasti tuh sepatu langsung diinjak di tempat sama teman-teman yang lain sambil mereka bersorak “Wuih, sepatunya Air Jordan!!”

Baru di umur seginilah, berkat film Air karya Ben Affleck, aku paham ‘kekerenan’ Air Jordan. Bahwa itu adalah sepatu yang khusus dibuat Nike untuk Michael Jordan. Sepatu yang benar-benar diperjuangan supaya bisa dikenakan oleh calon mega atlet basket itu. Film ini dirancang memang bukan untuk membahas gimana Michael Jordan menciptakan kerjaan endorse, tapi lebih kepada cerita tentang Nike yang mengambil resiko besar. Gambling dengan stake yang begitu besar. Matt Damon’s Sonny, tokoh utama cerita, bahkan mempertaruhkan rumahnya, keluarganya. Stake, itulah yang benar-benar jadi kunci pada film ini. Kita melihat para karakter terus mengorbankan something yang terus membesar, karena mereka percaya pada si Michael Jordan. Film yang arahannya tidak cakap, akan ngelantur kemana-mana, tapi Air tetap pada jalur. Film ini sendirinya mengambil resiko dengan tidak ngecast Michael Jordan. Dalam film, karakternya cuma disorot dari belakang – tanpa dialog berarti dan tidak pernah jadi fokus kamera. Supaya ceritanya tetap pada perjuangan Sonny, pada gambling yang ia lakukan demi perusahaan.

Kekuatan Air berikutnya ada pada akting. Monolog si Sonny saat membujuk Jordan, jelas jadi highlight. Viola Davis juga jadi presence yang dominan meski screen timenya gak banyak. Dan aku juga terhibur sama Chris Tucker, ni orang kocak tapi jarang banget main film! Air dengan mudah jadi cerita dengan drama yang menghibur dan satisfying. Meskipun, dari segi penulisan, aku pengennya film ini lebih menggali Sonny sebagai person lagi. Plot karakternya yang sering ditegor kurang olahraga lebih dipertegas. Karena menurutku film ini kadang agak ‘rancu’ sudut utama di sini adalah Sonny, atau perusahaan Nike secara keseluruhan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for AIR

.

 

 

A MAN CALLED OTTO Review

A Man Called Otto karya Marc Forster ini semacam kebalikan dari Air. Karena film justru berangkat dari gak ada stake. Otto ceritanya udah mau mengakhiri hidup. Tanpa teman dan kerabat, dia yang baru saja pensiun merasa urusannya di dunia udah rampung semua. Menyusul istrinya yang udah duluan ‘pulang’. Tapi kemudian tetangga barunya menggedor pintu. Kerap minta bantuan, menginterupsi  Otto yang hendak bunuh diri dengan segala macam urusan sepele.

Perlahan, dramatic irony dan emotional feeling itu terbendung. Kita yang tadinya ngerasa cerita ini gak ada stake, akan terattach dengan Otto sehingga kini kita gak pengen dia bunuh diri. Kita bisa melihat bahwa Otto yang kesepian itu ternyata sangat berarti bagi tetangga-tetangganya (dan juga seekor kucing gelandangan). Bahwa masih ada alasan untuknya hidup di dunia. Journey emosional film ini terletak pada kita ingin Otto melihat alasan itu juga, Kita ingin pria tua penggerutu ini melihat bahwa dia sebenarnya gak kesepian. Film gak berhenti sampai di situ karena babak ketiga film ini bahkan bakal lebih kerasa lagi. Feeling serene, peaceful tapi tak pelak sedih, berhasil tercapai, membungkus film jadi perjalanan manis. Tom Hanks juara banget jadi Otto. Clearly, kisah adaptasi ini lebih tepat untuknya karena akhirnya kita yang muda-muda ini bisa lihat bukti betapa legendnya akting drama Tom Hanks. Sesekali film akan membawa kita ke masa muda Otto – untuk memperdalam bahasan cinta – dan karena aktornya beda, kadang akting di bagian flashback ini kerasa jomplang. Membuat kita pengen cepat-cepat balik lagi ke masa Otto yang sekarang.

However, yang paling menarik dari film ini tentu saja adalah gambaran kehidupan bertetangganya. Dan kupikir film ini bakal punya dampak esktra buat penonton modern yang gak ngalamin lingkungan tempat tinggal seperti ini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for A MAN CALLED OTTO

 

 

 

CREED III Review

Ketika Michael B. Jordan bilang dalam menggarap aksi film ini dia terinspirasi banyak anime, dia enggak bohong. Dan dia melakukan itu bukan hanya untuk gaya-gayaan, tapi karena dia tahu bahwa Creed III butuh pengadeganan yang khusus untuk mendeliver pukulan-pukulan emosional yang didera oleh karakternya.

Mana lagi coba film tinju yang bikin adegan saat bertinju, dua karakternya tau-tau ada di tengah ring dalam arena kosong melainkan oleh kabut-kabut psikologis. Dan suara yang kita dengar cuma suara mereka bertinju. Sungguh adegan antara dua orang yang sangat personal dan ngasih banyaklayer ketimbang bikin mereka bertinju seperti biasa. Creed III memang gak main-main soal film ini mau memfokuskan kepada karakter Adonis. Masa lalunya memang benar-benar dikonfront lewat banyak hal, yang puncaknya ya menjelma sebagai sahabat yang dulu pernah ia tinggalkan. Dengan kata lain, dalam Creed III terada ada banyak pertarungan, saking berlapisnya cerita.

Yang jadi permasalahan banyak orang dari film ini, termasuk bagiku adalah, mereka sama sekali tidak menampilkan Rocky. Padahal cerita Adonis berkaitan erat dengan Rocky. Heck, perjuangan Damian basically sama dengan perjuangan Rocky, bedanya Damian ini dipenuhi rasa cemburu. Bisa dibilang, Damian adalah Dark Rocky. Aku mengerti kenapa film memutuskan untuk gak menampilkan karakter Rocky dalam kisah yang pure tentang background Adonis. Alasannya sama dengan ketika Air memutuskan untuk gak full nampilin Michael Jordan. Supaya fokusnya tetap pada Adonis. But come on, bahkan Air saja bisa nemuin cara ‘cantik’ dalam menampilkan Michael Jordan. Rocky mestinya bisa tetap tampil dalam kapasitas dan treatment seperti demikian. Menge-cut dirinya secara keseluruhan justru bikin aneh cerita, karena hampir tidak terasa seperti kelanjutan normal franchise ini

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for CREED III

 

 

 

DEAR DAVID Review

Dulu pernah ada serial TV berjudul Aliens in America, yang salah satu episodenya tentang si karakter yang ketahuan suka menggambar vulgar tokoh-tokoh di dalam novel tugas sekolah. Sekolah jadi gempar, sampai buku-buku bacaan siswa diperiksa. Si karakter merasa bersalah, merasa ada yang gak beres dengan dirinya yang selalu mikir jorok, sehingga ayahnya akhirnya memberi penjelasan bahwa semua itu normal dan itu bukan salahnya. Penyelesaian dan pembahasan serial konyol dua-puluh-dua menit itu bahkan terasa lebih grounded dan manusiawi ketimbang Dear David karya Lucky Kuswandi.

Kenapa aku sampai tega bilang begitu? Karena Laras yang ketahuan mengarang cerita vulgar tentang teman sekelasnya, dalam Dear David, tidak pernah dibikin berkonfrontasi dengan gairahnya tersebut. Laras tau-tau di akhir film langsung mantap menyebut itu bukan salah dia, karena sebagai remaja dia punya gejolak. Sedangkan bagian tengah film, dihabiskan dengan ngalor-ngidul membahas hal-hal yang gak benar-benar paralel dengan tema tersebut. Tidak ada interaksi yang mengajarkan Laras atas masalahnya. Saking kemana-mananya, banyak penonton yang merasa tersinggung dan menganggap film ini tidak peka. Dengan malah membuat karakter korban jadi bucin pengen pacaran, misalnya. Padahal jika dilihat konklusi di akhir, film ini sebenarnya menunjuk antagonis pada sekolah. Yang tidak pernah mengayomi korban, tidak pernah melindungi murid, tidak benar-benar menganggap serius yang terjadi pada muridnya, melainkan hanya peduli pada citra sekolah. Tapi itu pun tidak pernah dibangun dengan mulus, cerita tidak langsung fokus kepada masalah itu.

Mungkin film ingin seperti slice of life. Menceritakan keseharian anak-anak di sekolah itu, dan bagaimana mereka bertindak saat ada kasus Laras. Antagonis sekolah bisa mencuat dari sana. Tapi kupikir, untuk mencapai ini, film harus meringankan tone-nya sedikit. Dear David took itself very seriously, sehingga sikap-sikap khas remaja karakternya tadi jadi tampak sebagai kekurangpekaan film.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DEAR DAVID

 




GUY RITCHIE’S THE COVENANT Review

Utang budi dibawa mati. Drama perang yang diangkat Guy Ritchie dari kisah-kisah tentara selama Perang Afganistan mencoba menggali bagaimana persahabatan yang begitu kuat bisa tumbuh antara tentara dengan seorang penerjemah lokal. Jake Gyllenhaal jadi sersan John Killey yang nyawanya diselamatkan oleh Dar Salim’s Ahmed, penerjemah yang tadinya kurang ia percaya. Jake dan Salim punya chemistry yang kuat, interaksi karakter mereka selalu menarik untuk disimak. Masalah pada film yang banyak shot survival tembak-tembakan keren dan efek psikologisnya kena ini buatku adalah porsi John ‘berhutang’ actually lebih exciting ketimbang porsi dia mencoba membayar kebaikan Ahmed – yang mana harusnya ini yang dijadikan sorotan utama.

Jadi film ini seperti terbagi atas dua cerita. Pertama saat pasukan John dibantai oleh pasukan Taliban, sehingga tinggal John dan Ahmed saja yang berusaha survive. Sampai akhirnya John tertembak, dan Ahmed menggotongnya, berjalan berhari-hari ke markas Amerika terdekat, tanpa ketahuan Taliban. Bagian kedua adalah tentang John – kini sehat wal afiat di rumahnya di Amerika – berusaha mencari keberadaan Ahmed yang jadi buronan Taliban sejak menyelamatkan dirinya. Bagian kedua ini tidak bisa se-wah bagian pertama, meski nanti John memang kembali ke afganistan, dan mereka jadi buron berdua. Bagian pertama, aksi dan interaksi saat elaborate. Intensnya terasa. Sedangkan pada bagian kedua yang lebih emosional, film tidak pernah yakin untuk fokus ke sana, sehingga bagian ini terasa setengah-setengah.

Bahasan film ini relevan dan penting. Menurutku cuma konsep penceritaannya saja yang mestinya bisa lebih dimainkan lagi karena, untuk kasus film ini, menceritakan dengan linear terasa kurang maksimal.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GUY RITCHIE’S THE COVENANT

 

 

 

KNOCK AT THE CABIN Review

Kita selalu kepikiran M. Night Shyamalan setiap kali dengar kata ‘plot-twist’. Kita selalu expect film-filmnya bakal punya somekind of surprise di akhir. Jadi, inilah kejutan yang ditawarkan Shyamalan pada Knock at the Cabin; tidak ada twist! Film ini ‘serius’ berbincang tentang cinta dan pengorbanan, lewat keadaan yang diset untuk terus membuat kita menebak-nebak.

Empat orang tak dikenal menyatroni kabin di tengah hutan, tempat seorang anak kecil dan dua ayahnya berlibur. Empat orang yang dipimpin oleh Batista itu memang berusaha tampak ramah, tapi mereka punya maksud kedatangan yang mengerikan. Mereka menyandera keluarga tersebut. Mereka bilang dunia sedang kiamat, dan cara menyetopnya adalah salah seorang dari keluarga bahagia di kabin itu harus mengorbankan diri. Bayangkan harus memilih antara bahagia tapi orang lain sengsara, atau berkorban – kehilangan satu orang yang kita cintai – supaya semua orang bahagia. Film ini akan memenuhi pikiran kita dengan pertanyaan-pertanyaan. Kesanku nonton ini persis kayak waktu dibentak dan ditanya-tanya senior pas ospek kuliah dulu. Stakenya tinggi, kita merasa tahu ke mana arah semuanya, tapi tetap kita terdiam dalam keraguan. Such power yang dimiliki oleh penceritaan film ini.

Batista sekali lagi nunjukin dia bukan sekadar mantan pegulat yang cari nafkah lain. Karena highlight film ini salah satunya ada pada aktingnya. Di sini dia bakal bawain monolog-monolog, serta juga ada aksi-aksi, dengan permainan emosi yang harus ditahan. Secara akting dan isi, film ini keren. Namun menurutku cerita seperti ini kurang mampu bertahan lama sebagai film panjang yang contained, karena hal bisa terasa repetitif di akhir. Poin-poin yang ditekankan dapat menjadi cringe setelah semua yang disangka oleh penonton ternyata tidak terbukti. Apalagi karena memang film kurang menggali protagonis ataupun karakternya – since mereka semua sebenarnya  ‘cuma’ sebagai konsep, sebagai ‘contoh kasus’ saja.

The Palace of Wisdom gives 6  gold stars out of 10 for KNOCK AT THE CABIN

 

 

 

RENFIELD Review

Relasi antara bos dan karyawan memang bisa jadi begitu toxic. Bos akan terus menjanjikan naik pangkat atau semacamnya, tapi gak pernah delivered. Karyawan yang sudah jadi bergantung, mau nuntut juga susah. Malah digaslight. Mau keluar apalagi. Chris McKay menyimbolkan relasi toxic itu ke dalam hubungan antara Familiar dengan masternya, Drakula. Ini jadi kocak, karena memang di cerita vampir-vampiran, jokes biasanya selalu datang dari Familiar – manusia pengabdi selalu dijanjikan bakal dijadiin vampir, tapi mana ada bos yang mau karyawannya jadi bos juga hahaha

Duet dua Nicolas jadi kunci film ini. Nicolas Cage, sekali lagi nunjukin betapa dia begitu komit dalam peran apapun. Di sini, dia ngasih performance yang sungguh menghibur sebagai Drakula. Seram dan jahat, iya. Tapi dia juga paham assignment, bahwa si Drakula ini adalah bos dari karyawan yang berusaha nuntut hak. Satunya lagi, Nicholas Hoult juga tampak simpatik, sebagai Familiar dia terasa familiar. Akrab. Alias gampang relate. Kecerdasan naskah ini ngasih perlambangan, ngarang pengadeganan, membuat film menjadi kocak menghibur. Bahkan ketika adegan aksi yang penuh gore over-the-top datang. Tetap seru.

Sayangnya film ini kebanyakan main-main. Persoalan polisi dan kelompok mafia pada akhirnya terasa jadi pengganggu dalam cerita Drakula dan abdinya. Membuat sudut pandang jadi ke mana-mana, tanpa ada ujung yang benar-benar ngefek ke cerita utama. Karakter polisi si Awkwafina buatku malah jatohnya jadi annoying, film jadi kayak mencoba too hard untuk membuat si polisi dan si Renfield jadi pasangan yang kocak dan sweet.

The Palace of Wisdom gives 5.5 gold star out of 10 for RENFIELD

 

 

 

SISU Review

Salah satu aspek menarik dari John Wick original adalah ketika dia dianggap Baba Yaga. Ketika semua orang-orang dunia hitam itu gemetar membicarakan nama dan reputasinya. Sisu karya Jalmari Helander membawa aspek ini ke level berikutnya.

Sisu bisa dibilang istilah Finlandia untuk momok semacam Baba Yaga. Sisu berarti keberanian, determinasi, tak kenal menyerah, tak bisa mati. Karakter utama kita, seorang bapak-bapak, mantan tentara yang kini hidup sebagai penambang emas. Ketika satu-satunya sumber nafkah itu direbut oleh Nazi yang bertemunya di jalan pulang, bisa dipastikan balas dendam gila akan terus terjadi. Bahkan tentara Nazi gemetar ketika tahu siapa sebenarnya bapak, yang bahkan gak pernah bicara, yang terus mengejar mereka itu. Jalmari Helander memang juga sekalian membawa ‘balas dendam gila’ ke level berikutnya.

Luar biasa memuaskan, melihat aksi-aksi gore brutal yang disajikan film. Inilah yang sepertinya diincar; supaya penonton melihat Nazi kocar-kacir secara mengenaskan. Aksi-aksi tak-masuk akal menghiasi adegan-adegan Sisu yang temponya dijaga cepat. Dan memang menghibur. Tapi ketika hal-hal tak masuk akal diletakkan kepada cara-cara si bapak bisa terus hidup walau sudah digantung atau semacamnya, film tak lagi menyenangkan. Malah jadinya lebay yang merampas kita dari stake cerita. Konsep Sisu yang tak-bisa mati membuat film bebas ngadain banyak cara supaya si bapak bisa tetap hidup, akhirnya membuat keseluruhan film jadi mati konyol bagiku. Tone dramatis yang dibangun film jadi seperti terlupakan. Aku malah perlahan jadi lebih tertarik sama karakter pemimpin Nazi, yang motivasi dan tantangan dan stakenya benar-benar ada – tak dilindungi oleh plot nonsense yang bikin karakternya tak lagi manusiawi.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SISU

 

 




That’s all we have for now

Kita sudah mulai masuk caturwulan kedua 2023, tapi ternyata aku belum menemukan film yang pantas mendapat nilai di atas 8. Gimana dengan kalian? Apakah kalian punya rekomendasi film 2023 yang mungkin terlewat olehku, dan kalian merasa film itu pantas dapat skor 8? Silakan share di komen.

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



GUARDIANS OF THE GALAXY VOL.3 Review

 

“All of us are imperfect human beings living in an imperfect world”

 

 

Sekali lagi kelompok misfit penjaga galaksi ini dikapteni oleh James Gunn. Tapi kali ini adalah terakhir kalinya Star-Lord, Nebula, Drax, Mantis, Rocket, Groot, Gamora, dan kawan-kawan bertualang bersama. Ini juga terakhir kalinya bagi pak sutradara berkiprah di jagat sinematik Marvel. Maka pantas saja beliau memastikan semuanya terasa spesial. Guardians of the Galaxy Volume Tiga ini ia bentuk sebagai salam perpisahan yang epik. Yang bukan para karakternya saja yang mendapat akhir perjalanan yang melingker dan benar-benar pengembangan keren dari awal mula mereka. Kita yang nonton pun merasa mendapatkan konklusi memuaskan dari petualangan panjang yang seru, penuh musik dan penuh warna. Film superhero Marvel yang satu ini buatku benar-benar terasa seperti akhir dari sebuah era!

Jalan cerita film ini juga sama seperti beberapa film Marvel belakangan ini. Contained di dunia sendiri, not really meddling around dengan multiverse yang membingungkan, dan terasa seperti episode kartun minggu pagi. Akibat serangan mendadak Adam Warlock ke  Knowhere – kota tempat para Guardians tinggal – Rocket terluka parah. Ini menyadarkan Peter Quill yang masih depresi kehilangan begitu banyak orang yang ia cintai. Gak mau kehilangan Rocket yang ia anggap sebagai bestie, Peter mengajak para Guardians yang lain untuk menginfiltrasi lab tempat Rocket ‘diciptakan’. Tapi aksi penyelamatan oleh Star-Lord dan kawan-kawan itu ternyata adalah jebakan. Karena dalang di balik penyerangan kota mereka adalah si High Evolutionary, orang yang merasa dirinya Tuhan, orang yang ingin menciptakan spesies dan dunia yang sempurna. Orang kejam yang bereksperimen dengan berbagai macam hewan, dan tanpa kasihan membunuhi ciptaannya yang gagal. Rocket actually adalah ciptaannya yang sukses, dan sekarang dia bermaksud untuk mengambil kembali otak cerdas si rakun!

Ketika Guardians of the Galaxy jadi pahlawan super PETA!

 

Cerita petualangan superhero bermuatan seperti yang dipunya film ini seolah ditakdirkan untuk sukses. Gampang disukai. Gimana tidak. Guardians of the Galaxy punya karakter yang begitu colorful sifatnya. Karakter yang sudah matang dimasak dari at least dua film sebelumnya. Interaksi mereka di sini jadi semakin natural. Ketika mereka bertengkar, saling menggoda, mereka terasa seperti keluarga beneran. Relate seperti interaksi antara orang-orang yang sudah sangat akrab. Duo Drax dan Mantis paling banyak mencuri tawa; Batista semakin jago ngelock-on timing komedinya, sementara Pom Klementieff pun semakin ahli membawakan karakternya yang bermata besar jadi adorable kayak cewek anime. Tapi tone ringan dan interaksi segar gak terbatas milik mereka. Volume Tiga actually punya banyak karakter, dan Gunn gak ragu untuk menggali sisi humanis mereka semua. Karen Gillan juga akan membuka sisi-baru karakternya karena di film ini journey Nebula jadi salah satu yang circled-backnya berakhir paling manis. Nebula akan berinteraksi dengan lebih banyak orang. Dan bicara tentang ‘orang’, Volume Tiga ini melakukan yang dilakukan oleh Taika Waititi kepada karakter utama dua film Thor terakhir, tapi juga kepada karakter anak buah musuh dan ‘NPC’. Menjadikan mereka bertingkah kayak orang normal di keseharian kita. Mereka semua kayak punya cerita dan kehidupan di luar momen mereka nampil di layar. Bahkan Adam Warlocknya si  Will Poulter yang mestinya jadi sub-boss dengan kekuatan mengancam aja, ternyata sayang binatang. Hal ini membuat vibe film ini terasa lebih dekat dan semakin kocak lagi.

Tentunya yang terpenting untuk film ketiga adalah fresh. Keunikan. Atau paling enggak kebaruan yang dimunculkan dari elemen yang familiar. Aspek ini terwujud lewat interaksi antara Gamora dengan para Guardians, khususnya dengan Peter Quill. Gamora yang bareng-bareng mereka, yang pacar si Peter itu, telah tewas, dan Gamora yang diperankan oleh Zoe Saldana di sini merupakan Gamora dari masa lalu yang belum kenal mereka. Gamora yang esentially pribadi yang berbeda. Sehingga dinamika karakter mereka pun jadi berbeda. Peter yang masih belum move on, berusaha terus mendekati Gamora, while cewek-hijau yang kini anggota Ravager itu terus menolak. Chris Pratt on mission kentara lebih menyenangkan untuk disaksikan ketimbang Pratt yang mabuk-mabukan di awal cerita. Development kecil yang dimiliki oleh Gamora dan Peter terkait relasi mereka di sini, jadi salah satu hati yang dipunya oleh cerita. Yang aku suka adalah film ini berani menegaskan diri sebagai ‘salam perpisahan’ yang membuat relasi dua orang ini terasa semakin dewasa. Karena ini basically cerita tentang dua lover yang jadi orang asing – some of us mungkin bisa relate dengan kisah cinta mereka. Film ini bisa membantu mencapai closure yang matang dari gimana Gamora dan Peter berakhir nantinya.

Arahan Gunn pun terasa kian matang. Volume Tiga terasa semakin enerjik lewat aksi cepat, di dunia yang imajinatif. Desain estetik lab biologisnya unik. Pun punya kontras yang chilling ketika film mulai menyentuh elemen cerita yang lebih dark. Yang paling kentara enerjiknya itu adalah gimana lagu-lagu rock populer yang sudah jadi ciri khas Guardians of the Galaxy dimasukkan sebagai suara-suara diegetik (suara yang beneran didengar oleh karakter di dalam cerita). Musik-musik itu selain bikin kita semakin seru menonton aksi yang dihadirkan, juga menambah layer adegan karena keberadaannya berhubungan langsung dengan pilihan karakter. Misalnya, di opening, Rocket berjalan keliling kota sambil muterin lagu Creep. Lagu yang cocok mewakili mood si Rocket yang lagi mengenang masa-masa dia pertama kali punya kesadaran (setelah jadi percobaan di lab High Evolutionary), yang turns out setelah kita sampai di bagian akhir film dan telah menangkap bahwa film ini adalah tentang orang-orang tak sempurna yang membuat dunia jadi terasa sempurna ternyata lagu itu juga mewakili tema dan plot keseluruhan film.

Bertahun-tahun High Evolutionary berusaha menciptakan spesies sempurna. Membangun, dan menghancurkan. Begitu terus. Dia tidak pernah mendapat kesempurnaan itu. Karena memang tidak ada yang sempurna. Hidup penuh oleh hal-hal yang tidak sempurna, oleh orang-orang yang tak sempurna. Justru dari situlah datangnya harmoni yang menjadikan hidup berharga. Guardians of the Galaxy pada akhirnya merayakan ketidaksempurnaan mereka, ketidaksempurnaan keluarga mereka. Salam perpisahan Peter Quill sejatinya adalah salamnya kembali pulang ke rumah, ke keluarganya yang tidak sempurna.

 

Ada banyak Shiragiku!!!

 

Selain sebagai salam perpisahan, film ini tepatnya bertindak sebagai transisi. Era James Gunn dengan Guardians Galaxy-nya memang telah berakhir, tapi seperti yang ditampilkan pada mid-credit scene, akan ada Guardians Galaxy generasi baru. Film Volume Tiga ini dengan baik mengeset perpindahan itu dengan membuat kita lebih dekat mengenal sosok yang berpengaruh nantinya, yakni si Rocket. Masa lalu Rocket sebagai makhluk ciptaan (dari rakun beneran) dieksplor habis-habisan di sini. Cerita akan bolak-balik antara misi penyelamatan oleh Star-Lord dkk dengan flashback masa lalu Rocket. Bagian flashback yang disebar di sana-sini tersebut memang penting dan tak bisa dipisahkan dari film, tapi ada kalanya flashback ini jadi problem bagi keseluruhan penceritaan. Yang jelas, tone jadi aneh. Volume Tiga really juggling dari ekstrim ke ekstrim. Dari ekstrim fun, ke esktrim dark. Gunn toh berusaha menjaga ritme dengan editing dan timing yang precise membangun feeling. Hanya saja sama seperti lirik lagu; gak semua yang ritmenya sama itu make sense. Kayak soal Rocket yang berkata dia gak akan membunuh High Evolutionary karena dia adalah Guardians of the Galaxy, perkataan yang cool kalo saja pada beberapa adegan sebelumnya kita enggak melihat Star-Lord literally membunuh si Mateo Superstore saat mereka terjun bebas kabur dari pesawat. Flashback-flashback itu seperti jadi mengganggu bangunan film.  Kadang flashback itu muncul dengan menyalahi aturan yang sudah disetup oleh film sendiri. Flashback yang merupakan kenangan dari Rocket itu tertangkap basah muncul tanpa ada Rocket – jadi setelah adegan dari karakter lain, tau-tau kita dibawa ke ingatan Rocket. Menurutku film ini mestinya bisa ngerem sedikit, untuk merapikan hal-hal yang seperti ini.

Bagian flashback itu yang bikin penonton banyak terharu. Ngelihat Rocket ternyata dulu punya teman-teman sesama makhluk buatan, dan tentu saja kita tahu ke arah mana nasib teman-teman Rocket itu. Bagus sebenarnya gimana dengan ini berarti ada film superhero yang gak melulu bicara tentang menyelamatkan manusia. Bahwa hewan juga adalah makhluk hidup, dan mereka juga sama pantasnya untuk diselamatkan dengan manusia. Masalahnya buatku adalah penjahat yang hanya cartoonish. High Evolutionary hanya seperti penjahat kartun yang kejam dan jahat. Gampang memancing simpati dan heat penonton dengan nunjukin orang yang bertindak kejam (and really loud) kepada hewan atau makhluk lemah. Menurutku High Evolutionary mestinya bisa diperdalam sedikit. Karena bahkan motivasinya yang pengen nyiptain spesies sempurna untuk dunia sempurnanya itu mirip-mirip sama motivasi Thanos – yang sudah terbukti bisa punya penggalian dan dimensi lebih banyak. Chukwudi Iwuji’s High Evolutionary cuma kejam, melotot, dan berteriak-teriak – masih mending kalo masih terasa kayak penjahat kartun, teriak ngamuk sekali lagi bisa-bisa ngeliat dia jadi berasa sama aja kayak ngeliat mertua galak di sinetron istri tersiksa hahaha

 




Nice send off buat era superhero misfit yang dibesarkan oleh James Gunn. Semua karakter utama mendapat development dan akhir journey yang memuaskan. Sekaligus bikin penasaran untuk film selanjutnya. Energi film ini benar-benar tumpah ruah, membuatnya jadi tontonan super yang menghibur, seru, dan tertawa-tawa. Film-film Guardians Galaxy selalu punya nilai lebih bagi penggemar rock, dan begitu juga dengan film ini. Tapi sama seperti yang dibicarakan naskah, bagiku juga tidak ada film yang sempurna. Penceritaan yang melibatkan bolak-balik antara petualangan dengan eksposisi backstory mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik lagi. Seenggaknya, bisa dilakukan dengan lebih konsisten pada rulenya sendiri. Secara objektif, flashbacknya masih kurang rapi. Tapi di samping itu, I have a blast watching this. Kayaknya aku bakal lanjut nonton film action barunya si kapten Amerika bareng Ana de Armas di Apple TV+ buat cooling down. Kalian bisa juga dengan subscribe di link ini yaa https://apple.co/3W0emlN

Get it on Apple TV

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 3

 

 

 




That’s all we have for now.

Orang berbuat kejam/kasar kepada hewan juga kerap terjadi di sekitar. Menurut kalian kenapa sih orang-orang bisa setega itu?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



THE SUPER MARIO BROS. MOVIE Review

 

“Physical bravery attracts most attention. But courage takes many forms”

 

 

Sega punya Sonic, Nintendo punya Mario. Sebagai anak 90an, itu perang-base pertama yang aku ikuti. Perang konsol video game rumahan, dengan maskot game masing-masing. I’m more of a Nintendo boy, tho. Aku lebih suka main Mario – yang menurutku lebih simpel dan lucu ketimbang Sonic. Gamenya juga kulebih menikmati buatan Nintendo (seenggaknya, sampai Sony PlayStation dengan Crash Bandicoot datang haha) Di ranah game-yang-jadi-film, however, kesuksesan Sega mengadaptasi Sonic sehingga dibikin sekuelnya, tampak bikin Nintendo gak mau kalah dan akhirnya mengeluarkan kembali IP game kesayangan mereka ini ke layar lebar!  Yup,  Mario Bros, memang dilindungi banget oleh Nintendo. Setelah live-action yang really cringe tahun 90an dulu itu, Mario hening. Gamenya aja yang terus keluar dengan berbagai variasi, tapi itu pun ekslusif untuk konsol Nintendo. Mulai dari side-scrolling, RPG, 3D Adventure, Balap, Berantem-berantem, bahkan random Sports. Aaron Horvath dan Michael Jelenic punya kesempatan emas dan lapangan bermain yang luas buat bikin film full CGI tukang ledeng bersaudara yang benar-benar compelling, melihat dari ragam dan gedenya IP ini. Jangan mau kalah dong ama Sonic. Tapi nyatanya, duo sutradara kita memang menebar banyak referensi dan merangkai cerita dari sana. Membuat film Mario Bros ini fun bagi kita yang mengenalnya, tapi hati film ini ada di ‘kastil’ yang lain.

Belajar dari kesalahan film live-actionnya dulu – serta kesalahan adaptasi game ataupun animasi yang suka tau-tau masukin karakter manusia yang gak ada di materi aslinya – film Mario Bros. sebenarnya memulai dengan langkah yang lebih mantap. Setidaknya, film tahu sisi unggul Mario Bros. Karakter manusia di tengah Mushroom Kingdom. Dan mereka membuatnya ya animasi semua. Didesain semirip mungkin dengan gamenya. Secara cerita, kubilang, film ini merangkai set up yang cukup bisa mendaratkan karakter. Mario dan Luigi hidup di ‘dunia nyata’, mereka bekerja sebagai tukang ledeng, dan mereka ini diledek oleh keluarga karenanya. Mario dan Luigi di film ini diceritakan sebagai dua orang dewasa yang diremehkan karena mereka kecil, dan kerjaan mereka juga dianggap sepele. Relasi antara Mario dan Luigi juga dibangun. Mario lebih berani dan jago, sementara Luigi orangnya agak penakut dan khawatiran. Sebagai animasi yang persis game, meski karakter mereka manusiawi, toh kita tetap melihat mereka melakukan kerjaan tukang ledeng dengan cara yang cartoonish, sehingga film tetap berjalan lucu dan menghibur. Saat ingin membantu beresin masalah banjir di kota Brooklyn, dua bersaudara ini tersedot pipa aneh yang membuat mereka terpisah. Mario sampai di Mushroom Kingdom, Luigi mendarat di wilayah Koopa yang dipimpin oleh Bowser, yang lagi dalam misi memperluas kekuasaan. Mario nanti akan bekerja sama dengan Princess Peach untuk mengalahkan Bowser, dan menyelamatkan Luigi

Ini bukan tentang Mario mukulin Bowser sampai pingsan, terus direkam, karena disuruh sama Peach loh ya

 

Yup, film ini memang punya kreasi tersendiri sebagai bentuk adaptasi yang mereka lakukan. Karakter Peach disesuaikan dengan masa sekarang, saat cewek gak lagi melulu diselamatkan. Peach di sini, digali sebagai Princess yang punya sisi petualang, yang lincah dan jagoan. Karakter-karakter lain seperti Donkey Kong, dan bahkan si Bowser sendiri juga diperlihatkan dari sisi yang berbeda, tapi kita masih tetap mengenali mereka sebagai karakter yang sudah kita kenal. Soal sedikit perbedaan ini, Mario sendiri juga disorot bahkan sebelum film ini tayang. Yakni soal aksen dan suara Mario yang terdengar berbeda dari versi video game. Chris Pratt yang nyuarain Mario sempat dirujak netijen karena suaranya beda, tapi ternyata film ini punya alasan untuk membuat Mario terdengar seperti ‘normal’. Karena ternyata aksen italia Mario dan Luigi itu, diceritakan sebagai gimmick mereka untuk iklan doang. Aksen itu cuma untuk menarik perhatian. Sehingga, sekarang kita bisa mewajarkan kenapa Mario suaranya seperti Chris Pratt bicara normal – karena Mario supposed to be orang biasa juga, yang masuk ke dunia ajaib di ujung pipa.

Bicara soal pengisi suara, menurutku Pratt menghidupkan Mario dengan baik, suaranya terdengar antusias, bingung, atau lainnya pada momen-momen yang tepat. Terkadang Mario akan bersorak ala game, dan Pratt tidak terdengar maksa ngucapinnya. Voice akting yang menonjol adalah si Jack Black sebagai Bowser. Aku hampir-hampir tidak menangkap itu suara Jack Black saat mendengar suara serak menggemuruh Bowser. Baru saat dia ada adegan menyanyi-lah, ciri khas Jack Black terdengar. Dan itu momen yang tepat, karena kita melihat Bowser dari sisi lain – sisi yang less barbaric. Salut buat Jack Black. Enggak kayak Seth Rogen yang suaranya gitu-gitu melulu. Begitu Donkey Kong ngomong, kita pasti langsung tau pengisi suaranya siapa haha. Seth mainin karakter ini standar. Anya Taylor-Joy juga di sini terdengar kurang nendang sebagai suara Peach. Tidak sememorable Bowser, atau juga Luigi. Charlie Day di sini memang juga cukup surprised buatku; Kupikir bakal annoying tapi Luiginya ternyata terdengar genuine, suaranya cocok sama dinamika karakter Luigi.

Karakter dalam Mario Bros. memakai berbagai item yang dikenal sebagai power ups untuk menjadi kuat. Ada bunga yang membuat mereka bisa menembakkan bola api. Ada kostum kucing yang membuat mereka jadi punya ‘jurus’ kucing. Dan ada jamur yang literally membuat mereka bertambah besar. Mario di sini gak suka jamur, tapi dia lebih gak suka lagi dikatain kecil. Jadi power ups benar-benar membantu. Tapi bukan power ups yang bikin Mario berani. Mario berani, karena dia gak ragu mengakui kelemahan dan memakai power ups. Mario berani, karena dia gak menyerah dan mencoba menyelesaikan tantangan platform terus menerus sampai berhasil.

 

Kreasi seperti pada set up karakter sayangnya tidak dilakukan utuh untuk menggarap cerita. Begitu sampai di Mushroom Kingdom, dan Mario, Peach, dan – di tempat terpisah – Luigi, harus bertualang, film mengganti kreasinya menjadi kreasi memunculkan referensi saja. Alur dan development, journey inner karakter, dijadikan minimal. Film cuma jadi serentetan adegan-adegan yang merujuk pada video game. Belum pernah aku merasa pengen balik buat main game, saat sedang nonton di bioskop, Mario Bros. memang senostalgia itu! Begitu banyak karakter (hampir semua musuh di game Mario hadir!), tempat, platform, dan bahkan musik yang bikin aku teringat sama sensasi main video gamenya. Tapi ini sudah bukan lagi jadi pujian. Karena di balik itu semua, petualangan Mario di Mushroom Kingdom, melawan Bowser, terasa kosong. Efek Mario pisah dengan Luigi sama sekali tidak digali. Pas battle terakhir mereka ketemu, dan penyadaran Mario datang begitu saja. Mario cuma ngikut ke mana karakter-karakter lain membawanya, ke mana naskah mengarahkannya, dia tidak benar-benar ‘memainkan’ petualangan itu. Like, masalah banjir di kota saja terlupakan karena Mario masuk ke Mushroom Kingdom. Dan kesempatan Mario balik ke kota dan menyelamatkan kota datang dari pertarungan dia dengan Bowser. Di tengah-tengah itu, Mario never reflect tentang kegagalan dia di awal atau semacamnya. Dia jadi hero dan diaccept keluarga dengan otomatis, petualangannya tidak terasa earned. Melainkan cuma kayak rentetan kejadian seru seperti pada video game. Film ini cuma punya hal-hal yang pernah kita lihat, dan kita lakukan di dalam video game. Tanpa ada konteks yang kuat – or rather, dengan konteks yang dibangun tapi dilupakan – menyaksikan itu semua ya jadinya kayak ngeliat iklan video game terbaru Mario saja ketimbang melihat film yang menceritakan soal Mario dan teman-teman.

Game- eh film Mario baru, with better graphics!

 

Seolah puluhan referensi game Mario belum cukup, film lantas masukin nostalgia 80an secara umum. Membuat film menjadi semakin tampak seperti cuma bergantung kepada nostalgia. Yang paling mengganggu buatku adalah lagu-lagu populer 80annya. Like, why. Aku sumringah setiap kali nada-nada dari game terdengar, mewarnai adegan sebagai background. Sebaliknya, aku mengernyit kenapa lagu Take On Me yang dimainkan saat mereka masuk ke wilayah Donkey Kong, bukannya muterin lagu theme game Donkey Kong. Apa hubungannya lagu-lagu populer itu dengan film dari game, toh gamenya tidak pakai lagu-lagu tersebut. Dari situ saja kita bisa menyimpulkan bahwa film ini ya benar-benar menyasar gelombang nostalgia semata. Enggak benar-benar punya cerita untuk disajikan. Bekerja terbalik alih-alih membangun cerita dan menghiasnya dengan referensi dan nostalgia, film ini justru ngumpulin referensi dan lantas menghubungkan semua itu dengan apa yang akhirnya mereka sebut sebagai cerita. Gak heran film ini jadi terasa tipis, bahkan kosong seperti tak-berhati.

Sebelum ini, aku nonton satu lagi film yang diangkat dari game populer di Nintendo, yang tokohnya juga pria berkumis (tapi bukan tukang ledeng). Tetris. Cerita pembuatan game itu ternyata udah kayak film aksi mata-mata! Kalian bisa baca reviewnya di sini. Dan yang pengen menontonnya, Tetris tersedia di Apple TV+, kalian bisa mulai berlangganan di https://apple.co/3nhEOdf
Get it on Apple TV

 




Urusan game, aku memang lebih suka Nintendo dengan game-game seperti Mario, Donkey Kong, Metroid, Kirby, dan lain-lain. Tapi untuk urusan game yang diadaptasi jadi film, Sega – saingan Nintendo sejak lama – ternyata masih unggul. Sonic satu. Mario nol. Film ini void, terasa kayak gak ada cerita. Padahal berangkat dari set up yang lumayan bikin film kerasa punya kreasi sendiri sebagai adaptasi. Tapi begitu petualangannya masuk, film ini tancap gas dan hanya berubah menjadi suguhan adegan-adegan seperti game. Dan lagu-lagu populer era lawas. Kalo dibilang menghibur dan menyenangkan, ya memang menghibur dan menyenangkan. Tapi bukan lantas berarti sinema, seperti kata Luigi. Iklan sirup aja bisa menghibur kok. Dan memang baru seperti itulah level film ini. Baru seperti iklan.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for THE SUPER MARIO BROS. MOVIE

 




That’s all we have for now.

Pernah dong main game Mario? Power up favorit kalian dalam seantero game Mario apa sih?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SHAZAM! FURY OF THE GODS Review

 

“… the champions are never afraid of losing”

 

 

Salah satu alasan kenapa ada batasan umur yang mengatur hal seperti anak-anak belum boleh punya SIM, belum boleh ikut Pemilu, belum boleh beli rumah, belum legal untuk memberikan consent, adalah karena anak-anak yang itungannya belum dewasa itu masih dalam perkembangan fisik dan mental sehingga dianggap belum bisa bertanggungjawab sepenuhnya. Nah sekarang coba bayangkan ketika anak remaja yang bahkan belum bisa beli bir sendiri, memikul tanggung jawab melindungi bumi dari kriminal biasa hingga marabahaya seperti serangan monster, alien, atau bahkan amukan dewa. Virgo and the Sparklings (2023) sekilas sudah menyinggung soal remaja menjadikan kerjaan superhero sebagai hak mereka, Spider-Man versi Tom Holland telah membahas sudut pandang dramatis dari beban menjadi superhero remaja. Shazam! (2019) garapan David F. Sandberg lah yang pushed soal gimana jadinya jika remaja yang masih immature bertindak sebagai penyelamat kota lebih grounded dan berfokus dalam nada yang lebih kocak. Pesona Shazam! itulah yang membuat film ini jadi entry superhero DC yang jauh lebih ringan dan loveable, easily dianggap bisa head to head dengan colorfulnya superhero sebelah. Sekuel Shazam! kali ini pun dibuat dengan hati yang sama. Menjamin dua-jam durasi itu jadi pengalaman yang seru, lucu, dan juga nostalgic mengingat kita semua waktu kecil pasti pernah bermimpi jadi superhero yang menyelamatkan dunia sekenanya, just to impress teman-teman yang lain.

Semenjak membagikan kekuatan Shazam! kepada saudara-saudari keluarga angkatnya, Billy Batson bertindak sebagai leader dari kelompok superhero mereka. Tapi karena abandonment issue yang dia punya – seperti yang dibahas pada film pertama, Billy berpindah-pindah keluarga – Billy jadi pemimpin yang agak terlalu strict dan clingy. Dia agak ngerasa gimana gitu, saat Freddy, Mary, dan saudara yang lain punya agenda masing-masing dan not really do things his way. Sementara itu, masalah yang lebih besar muncul dalam bentuk keluarga yang lain. Keluarga dewa, tepatnya. Putri-Putri Atlas yang telah terbebas mencuri tongkat Shazam, dan mereka bermaksud untuk membalas dendam kepada Wizard dan para Champion. Kota Philadelphia lantas jadi bagai pelanduk di tengah-tengah seteru keluarga. Keluarga superhero immature yang malah lebih sering rusakin kota, dan keluarga dewa yang juga gak begitu akur satu sama lain.

Me, pitching supaya Wonder (kepala) Wizard jadi karakter secret di semua game DC

 

Alih-alih dielukan sebagai pahlawan lokal, Billy dan saudara-saudarinya sebenarnya justru dianggap warga malu-maluin dan nyusahin. Grup mereka disebut sebagai Philadelphia Fiasco. Pecundang Philadelphia. Karena Billy dan saudara-saudarinya memang sembrono. Wujudnya saja yang dewasa, kekar, dan tangguh. Di balik itu sesungguhnya mereka masih amat muda. Itulah aspek yang paling charming dari film ini. Enggak pernah lupa kalo karakter-karakternya masih belum berpengalaman, masih immature. Masih bergulat dengan ego masing-masing. Sifat ‘kekanakan’ mereka diperlihatkan terus, mulai dari bagaimana mereka berinteraksi hingga ke gimana mereka beraksi. Sekuen mereka bantuin jembatan kota runtuh benar-benar memperlihatkan gimana para superhero ingusan kita memilih aksi dan prioritas. Adegan runtuhnya jembatan itu sebenarnya gak kalah seram dengan yang di Final Destination 5, tapi karena aksi ngasal para Shazam! semua jadi kocak. Ngeliat sikap kekanakan begitu muncul lewat sosok dewasa, menghasilkan kontras yang jadi sumber kelucuan adegan-adegan film ini. Adegan mereka nego dengan para dewa, really killed me. Waktu nulis suratnya juga. Film ini did a great job dalam nulisin humor dari identitas karakter,

Arahan David F. Sandberg juga terasa kuat. Di balik hingar bingar lelucon dan aksi (dan oh boy, betapa Sandberg dikasih begitu banyak hal untuk dimainkan), kita bisa merasakan arahan yang grounded. Yang menarik kita lewat perspektif. Action di Shazam! Dua ini terasa significantly lebih besar dibanding film pertama, dan setiap momen-momen aksi itu terasa berbeda. Dan yang aku suka adalah, nuansa horor yang kental terasa di balik aksi-aksinya. Tahu dong, kalo si Sandberg ini memang karya horornya lah yang put him on the map in the first place. Dia ngegarap film pendek Lights Out, yang lantas dijadikan film panjang yang ngehits. Sutradara Swedia ini juga lantas menyumbang entry paling bagus dari franchise Annabelle, lewat Annabelle: Creation (2017)  Nah, vibe horornya itu seringkali keliatan di adegan-adegan Shazam! Dua ini. Adegan jembatan yang kubilang tadi, misalnya. Terus juga desain karakter-karakter monster yang nanti bakal muncul. Momen bareng naga di dalam kegelapan. Dan tentu saja adegan di museum, saat salah satu dewa membuat ruangan tertutup debu lalu semua orang membatu. Chilling banget! Semua itu kerasa horor salah satunya akibat dari kuatnya build up lewat perspektif. Ada beberapa kali Sandberg menempatkan kita pada perspektif korban saat kejadian bencana itu. Kita dibuat ngelihat monster muncul dari dalam kayu, kita ngerasain berada di dalam mobil yang mau jatuh dari jembatan, like, kita benar-benar dibuat merasakan perspektif orang di jalanan yang ngalamin peristiwa itu.

Shazam! Dua berhasil menyelipkan momen-momen itu ke dalam tone film yang ringan dan kocak. Nonton ini memang sepenuhnya jadi seru. Meski belum sukses penuh untuk membuat kita tidak merasakan kekurangan di balik narasi. That gaping hole yang terasa olehku adalah kesan dramatis dari cerita. Dari journey Billy Batson. Kita ambil saja Peter Parkernya Tom Holland sebagai perbandingan. Peter dan Billy sama-sama superhero remaja, yang belum benar-benar matang dan dewasa pemikirannya. Maka gol dari journey kedua karakter ini basically sama. Mereka akan jadi semakin matang, they will get there through some hardships. Peter diberikan banyak momen dramatis; mentornya tewas, bibinya tewas karena kesembronoan aksinya, pacarnya pun jadi dalam bahaya. Semua itu membentuknya untuk jadi sadar, pun berubahnya tidak langsung saja, melainkan dia melewati fase broken down dulu. Dia perlu mendapatkan keberanian dan confidentnya lagi. Billy Batson dalam film ini tidak melewati sesuatu yang mirip seperti itu. Saudara-saudarinya kehilangan kekuatan adalah hal mengerikan yang terjadi padanya. Dan itupun efeknya tidak permanen, mereka bisa dikasih kekuatan lagi dengan tongkat yang ada di tangan penjahat. Momen broken downnya datang begitu saja, dan selesai bukan exactly dari pembelajarannya sendiri, melainkan didorong oleh pembelajaran yang dialami Wizard. Yang mengakui dia salah meragukan pilihannya memilih Billy sebagai juara, dan bahwa Billy punya something yang gak dipunya orang. Billy bangkit setelah mendengar ini. Buatku ini terasa sebagai resolusi journey yang lemah karena tempaan ke Billy kurang kuat.

Juara tidak ditempa oleh kekuatan fisik semata. Melainkan ditempa oleh hati yang tegar. Itulah kenapa perbedaan mendasar antara juara yang sebenarnya dengan orang biasa adalah para juara sejati tidak takut untuk kalah. Mereka tidak takut kehilangan, karena mereka percaya mereka bisa merebutnya kembali. Bagi Billy, ini berarti banyak. Karena dia juga melihatnya sebagai berani melepaskan keluarga. Itulah yang akhirnya membuat Billy jadi benar-benar jawara Wizard yang asli

 

Permasalahan Billy juga sebenarnya berakar dari hubungan dengan orangtua angkatnya, terutama si Ibu. Hanya saja naskah menggali ini bahkan lebih sedikit lagi ketimbang Suzume (2023) membahas Suzume dengan Bibinya. Interaksi antara Billy dengan si Ibu palingan bisa diitung dengan jari. Membuat momen mereka akhirnya resolve drama mereka, jadi tidak terasa kuat. Padahal mestinya permasalahan Billy ini bisa dibuat paralel dengan masalah Billy dengan ketiga Putri Atlas – yang semuanya adalah older lady; mereka bisa banget jadi cerminan sosok yang ‘membantu’ Billy melihat something dari masalah dia dengan ibu asuhnya. Naskah malah membuat Freddy yang punya hubungan khusus dengan grup antagonis. Ngomong-ngomong soal itu, peran Freddy di film kedua ini memang terasa lebih besar daripada Billy. Bestie Billy yang pake tongkat itu ngelaluin hardship yang lebih banyak ketimbang Billy, punya relasi yang lebih banyak dan lebih terflesh out, dan bahkan punya romance yang gak sekadar lucu-lucuan. Aku malah nyangkanya film bakal mengganti Billy dengan Freddy, saking menonjolnya Freddy di cerita ini.

Intonasi dan pembawaan si Jack Dylan Grazer sebagai Freddy kayaknya cocok juga jadi live-action Morty hihihi

 

Intrik di dalam keluarga Atlas sendiri sebenarnya juga menarik. Tiga orang putri berbeda usia, berbeda kekuatan, dan diam-diam juga berbeda motivasi. Cerita tiga bersaudari ini sayangnya juga kurang tereksplorasi. Melainkan cuma dibikin sebagai lembaran turn demi turn. Dan karena hubungan mereka dengan si Billy Batson juga kurang tergali, jadinya perkembangan karakter mereka juga tak terasa dramatis.  Padahal ketiganya adalah karakter original, loh. Karakter yang enggak ada di komik. Jadi, kemungkinannya ada dua. Either film ini enggak mampu menuliskan karakter original dengan matang. Atau ya karena gak ada di komiklah, makanya mereka gak diberikan eksplorasi yang lebih dalam.

Ngomong-ngomong soal Sisters, kemaren aku nonton serial thriller komedi di Apple TV+ tentang lima bersaudari yang jadi tersangka setelah suami salah satu dari mereka ditemukan tewas. Kalo pada pengen nonton juga silakan klik https://apple.co/3JLLAAz dan subscribe mumpung masih ada free trial!

Get it on Apple TV

 




Zachary Levi tampak sudah semakin settle mainin superhero komedi versi dirinya sendiri; superhero yang kayak kena ‘penyakit’ man-child akut. Tapi memang di situlah pesona karakternya. Film ini toh dihuni oleh banyak karakter likeable, yang juga diperankan dengan sama-sama menyenangkannya. Interaksi mereka yang seringkali kocak, tingkah yang absurd, serta aksi seru yang tak kalah lucu – sekaligus ada tone horor merayap di baliknya – bikin keseluruhan film jadi pengalaman super fun. Ceritanya juga dengan klop masuk sebagai sambungan film pertama. Surprise di momen akhir sukses bikin satu studio tepuk tangan sambil ngakak. Hanya saja naskah kali ini belum sukses terasa solid.  Narasinya seperti kelupaan elemen dramatis, sebelum seluruh kota diserang dan ada yang harus mengorbankan dirinya. Journey karakternya juga begitu, tidak benar-benar dieksplor, sebelum akhirnya dimunculkan saat cerita sudah di titik hendak berakhir. Menurutku, harusnya ini bisa dilakukan dengan lebih baik lagi sehingga Billy Batson dan journey karakternya bisa lebih mencuat dan jadi lurus sebagai pondasi utama.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SHAZAM! FURY OF THE GODS

 




That’s all we have for now.

Kalo anak/remaja disepakati belum matang sehingga belum bisa dipercaya memikul tanggungjawab, kenapa tiap daerah/negara punya batasan umur-dewasa yang berbeda? Apa yang menyebabkan anak di satu daerah bisa dinilai lebih cepat dewasa ketimbang daerah lain?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



COCAINE BEAR Review

 

“Protecting your family is every person’s basic instinct”

 

 

Film yang serius biasanya mengutip kalimat dari orang-orang terkenal – dari filsuf, budayawan, seniman, bahkan dari kitab suci, memajangnya sebagai pembuka, untuk pointed out betapa relevan dan pentingnya landasan gagasan cerita mereka. Sementara itu, Cocaine Bear garapan Elizabeth Banks justru membuka cerita dari kutipan Wikipedia. Dengan efektif ngasih tau kita betapa tidak-seriusnya cerita yang bakal kita saksikan. Jaga-jaga kalo judulnya sendiri belum berhasil ngeset tone komedi di benak penonton.  Beruang dan kokain disatukan demi mencapai puncak tertinggi komedi, dan pada sebagian besar waktu film ini berhasil menjalankan misinya. Segala kegilaan (dan kebuasan) yang bisa kita bayangkan dari peristiwa beruang mabok dihadirkan oleh thriller komedi ini. Kita akan merasa konyol melihatnya, tapi sekaligus juga nagih!

Yea, it is a camp horror movie – film yang dibuat begitu absurd sehingga jadi sangat kocak – tapi sebenarnya Cocaine Bear diangkat dari kisah nyata. Di tahun ’85, seorang polisi korup membuang sejumlah besar kokain dari angkasa, sebelum akhirnya terjun dan tewas. Kokain tersebut tersebar di hutan, dan dimakan oleh seekor beruang hitam. Opening film ini persis sama seperti kejadian tersebut. Namun alih-alih tewas overdosis seperti beruang yang asli, beruang di Cocaine Bear dibikin jadi ‘high’. Menari-nari di hutan, lalu lantas beringas. Dibikin jadi superduper nagih, dan melakukan apapun demi mencari bubuk putih yang lain, Termasuk merobek-robek tubuh manusia yang ia temui. Dan dia akan bertemu banyak orang sepanjang cerita. Karena itulah yang dilakukan piawai oleh film ini. Memasukkan banyak karakter – diperankan oleh ensemble cast yang juga luar biasa kocak – yang nasibnya akan saling berpaut. Ada geng drug dealer yang disuruh ke sana untuk ngumpulin kembali kokain yang hilang, ada detektif yang bermaksud menangkap mereka, ada ibu yang mencari dua orang anak yang bolos demi main ke hutan, ada ranger hutan yang lagi kasmaran sama cowok pecinta alam, dan ada remaja berandalan. Mereka semua akan berinteraksi dengan kokain, dan tentu saja berujung jadi buruan si beruang. Tidak semua dari mereka bakal selamat, tapi yang jelas, mereka berhasil bikin kita ngakak meskipun mereka kadang bego dan gak exactly memantik simpati. Serius deh, sebagian besar waktu aku justru ngecheer beruangnya hahaha

Bagi beruang yang satu ini, narkoba adalah bare necessity

 

Dan memang begitulah cerita ini terdesain. Seperti thriller binatang buas lainnya, sudah biasa kalo ternyata ceritanya gak benar-benar menunjuk si hewan sebagai kambing hitam, atau sumber masalah. Bahwa mereka awalnya justru korban. Korban dari kelalaian manusia. Beruang di sini jadi monster karena kelakukan manusia. Naskah Cocain Bear, however, enggak benar-benar rapi dalam mempersembahkan apa yang sebenarnya di balik cerita. Fokus pada kekocakan dari plesetan kreatif kejadian nyata berujung petaka, membuat film ini mendahulukan ngeset situasi ‘unik’ dari karakternya yang banyak tersebut. Perspektifnya jadi tersebar, ada pegangan dramatis tapi hanya sekenanya saja. Situasi mereka akan berkembang menjadi ‘ajaib’, kita akhirnya akan melihat gimana semua orang ini bisa ketemu, namun baru setelah film masuk babak terakhirlah benang merah dramatis mereka semua kelihatan. Baru kelihatan saat cerita sudah mencapai goal.

It was all about protecting family. Binatang buas yang mengamuk kecanduan itu gak ada bedanya sama si gembong narkoba. Gak ada bedanya sama polisi yang mau memberantas narkoba. Gak ada bedanya sama ibu yang gak mau anaknya deket-deket masalah. Mereka melakukan apa yang mereka lakukan, demi kelangsungan hidup keluarga. Yea, cocaine is bad. Kita akan mati mengonsumsinya (walau tanpa serangan beruang sekalipun), tapi seburuk-buruknya mereka yang menjual, monster yang mengonsumsi, film ini nunjukin mereka rela berurusan dengan bad thing tersebut karena mereka percaya mereka punya keluarga yang harus ditanggung. Yang harus dilindungi.

 

Mau sekonyol apapun, selalu ada yang bisa kita petik dari cerita manusia dan hewan. Mumpung sampai bulan Mei ini masih ada promo gratis sebulan, kalian bisa nyobain nih nonton animasi pendek pemenang Oscar kemaren di Apple TV. Tentang anak kecil yang mendapat pelajaran berharga dari kuda, rubah, dan tikus tanah. Tinggal klik saja link https://apple.co/3ZAMup1 atau badge di bawah ini:

Get it on Apple TV

 

Di luar bobotnya yang tipis dan baru keliatan di akhir itu, toh Cocain Bear berhasil menjadi sesuai apa yang dirinya mau. Tidak kurang, tidak lebih. Gak sok-sok serius dan embrace kekonyolan mereka. Durasinya terasa pas, gak berlebihan. Dialognya cukup pintar dengan celetukan-celetukan yang jokenya ngelingker. Serangan beruangnya kocak sementara juga cukup sadis berdarah-darah.  Aku cukup terhibur nonton ini, meskipun memang karakter manusianya gak langsung bisa dipedulikan. Mereka punya development, tapi ya itu tadi; journey ke sananya not really there. Most of them ada di sana untuk menghibur kita dengan kematian dengan kejadian yang kocak. Tapi actually, mereka kind of annoying. Mereka ngelakuin hal-hal bego, hanya supaya jadi lucu dan cerita bisa lanjut. Yang paling annoying buatku aku adalah dua petugas medis. They were not helpful at all, dan tingkahnya terlalu lebay. Karakter yang paling likeable, certainly, adalah dua drug dealer. Daveed yang diperankan oleh anaknya Ice Cube, O’Shea Jackson Jr. dan rekan sekaligus sahabatnya, Eddie – diperankan oleh Alden Ehrenreich – yang sebenarnya adalah putra bos mereka. Eddie punya backstory dia sudah capek ama kerjaan kotor mereka, sehingga dia memutuskan berhenti. Tapi pacarnya kemudian meninggal, dan dia terus dipaksa ayahnya (Syd, peran terakhir dari Ray Liotta, rest in peace) untuk balik jadi dealer. Eddie kali ini hanya setuju karena diminta oleh Daveed, sahabatnya. Duo Eddie dan Daveed sedikit banyak mengingatkanku sama duo Vincent Vega dan Jules Winnfield di Pulp Fiction (1994). Akting mereka memang belum selevel Samuel L. Jackson dan John Travolta, tapi chemistry dua aktor muda tersebut closed enough. Dua karakter ini akhirnya memang paling menarik simpati, kita jadi melihat mereka juga sebagai geng-jahat yang gak sejahat itu

Ironisnya, kejadian berdarah beruang mabok cerita ini berlangsung di Bloody Mountain

 

Karakter utama memang tidak pernah diset dengan mutlak oleh naskah. Tapi Daveed dan Eddy tampak jadi lebih mencuat ketimbang karakter ibu dan anak yang supposedly dibikin sebagai yang paling gampang untuk relate dengan penonton.  Karena kebanyakan aksi dan momen dramatis, serta lucu, datang dari Daveed dan Eddy. Screen timenya aja, rasanya-rasanya banyakan mereka. Kita gak pernah tuh, melihat langsung petualangan si ibu menyisir hutan mencari anaknya. Kita hanya melihat dia menemukan petunjuk, lalu sampai di gua. Enggak banyak aksi ataupun adegan ketemu beruang pada mereka. Dan anaknya yang menghilang, maaan, kupikir film ini benar-benar melewatkan potensi Brooklynn Prince (tentu masih ingat dong betapa natural penampilan anak ini di The Florida Project?) Brooklynn sekarang sudah mulai remaja, dan peran yang ia dapatkan di sini cuma jadi anak yang nunggu diselamatkan. Sayang sekali kita gak melihat dia banyak beraksi di sini.

Kayaknya Elizabeth Banks belum menemukan cara yang benar menghandle karakter anak dalam komedi thriller yang raunchy, berdarah, dan actually mengandung narkoba. Dia hanya menjadikan mereka bandel dan bertingkah kayak mau nyobain hal orang dewasa.  Karakter remaja yang gedean, sih, masih oke ditampilkan seperti ini. Tapi ketika menggarap karakternya si Brooklynn dan teman sekolahnya, kesannya lebih ke cringe. Eventually film membuat dua anak kecil ini nyoba menyuapkan bubuk kokain ke mulut, dan kemudian terbatuk-batuk. Aku gak yakin ini maksudnya supaya lucu apa gimana. Padahal sebenarnya seru ada sudut pandang anak dalam cerita bertone dewasa kayak gini. Gimana anak-anak didekatkan pada topik dengan range cukup jauh kayak narkoba dan lingkungan. Tapi film not really capitalize that, dan mencukupkan diri sebagai film just camp; dumb and fun.

 




Most of the time, itu memang suduh cukup. Sebuah film gak mesti jadi gede dan over dan punya something penting untuk bisa jadi sebuah tontonan. Kalo film memang merasa cukup dengan hanya jadi hiburan -dan gak ambisi untuk jadi hiburan yang berbobot – ada dua hal yang bisa kita sebagai penonton lakukan. Nikmatin, sementara juga acknowledge bahwa film ini ya hanya ‘itu’. Premis beruang jadi pembunuh karena hutan tercemar ulah manusia menjadikan film ini menghibur, punya banyak adegan berdarah yang seru, dengan banyaknya ‘calon korban’ yang juga dibikin unik dengan masalah masing-masing. Tapi gak banyak bobot dan depth di balik cerita. Film ini pikir mereka tidak butuh itu karena punya goal yang sama sekali berbeda. Naskahnya juga tidak benar-benar fokus, melainkan punya perspektif yang menyebar. Pada level tersendirinya ini, aku hanya berharap film ini bisa lebih memaksimalkan karakter-karakter manusianya, seperti saat film menghandle si beruang yang bahkan saat high seperti itu hewan CGI ini punya range yang gak kecil.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for COCAINE BEAR

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian melakukan bad things atas alasan melindungi keluarga itu bisa dimaklumkan?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 8 (THE WHALE, AFTERSUN, ALL QUIET ON THE WESTERN FRONT, NOKTAH MERAH PERKAWINAN, ELVIS, INFINITY POOL, WOMEN TALKING, BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER)

 

 

Normalnya, bulan Januari-Februari di bioskop itu agak adem ayem, karena biasanya film yang tayang di awal tahun itu ya tipe film yang ga rame enough untuk tayang di musim-musim liburan. Tapi di blog ini, bulan-bulan tersebut biasanya justru yang paling sibuk. Karena waktu tersebut merupakan last chance buat nontonin film-film yang kelewat di tahun sebelumnya, serta ngejar nontonin film-film yang masuk nominasi Oscar. Tahun yang sudah-sudah, blog ini entrynya paling banyak ya di bulan-bulan awal tersebut. Untuk itulah aku bersyukur bikin segmen Mini-Review.  Karena sekarang ku punya slot khusus untuk film-film itu, sehingga gak perlu kayak kebakaran jenggot lagi ngejar ngulasnya. Jadi, inilah Mini-Review pertama di 2023, yang di antaranya berisi tiga nominasi Best Picture Oscar yang baru saja ketonton!

 

 

 

AFTERSUN Review

Jika dirancang dengan baik, struktur penceritaan dapat mengangkat feeling yang terkandung di dalam narasi menjadi berkali-kali lipat lebih emosional. Aftersun, debut sutradara Charlotte Wells ini contohnya. Kisah seorang perempuan yang mengenang masa-masa liburan bersama sang ayah saat ia masih kecil, tidak diceritakan Charlotte dengan sedatar pakai flashback. Charlotte benar-benar paham dengan apa yang sedang ia sampaikan, dia punya visi yang kuat, sehingga tindak mengenang-masa tertentu itulah yang ia wujudkan lewat struktur dan gaya bercerita.

Nature dari kenangan yang episodik, dan much more dreamy dari reality itulah yang benar-benar divisualkan oleh film. Dijadikan hook emosional juga tatkala kenangan yang diambil itu dibentrokkan dengan apa yang terjadi di masa sekarang. Di sinilah ketika film sekali lagi berhasil menjelma dengan luar biasa emosional. Sophie yang berumur 11 tahun lagi liburan di Turki bareng ayah, mereka ke pantai, main game, kenalan sama orang baru, berenang – semua yang manis-manis itu ditangkap oleh film lewat estetik, kamera, warna, bahkan suara yang kontras dengan sesuatu yang membayangi. Melalui interaksi mereka, keingintahuan kita tentang ini sebenarnya cerita tentang apa menemukan pegangan pada sesuatu yang lebih naas. Bahwa ini anak yang sedang menelisik ulang, sedang berusaha mengenali lebih dekat siapa sosok ayahnya, lewat kenangan yang bisa jadi satu-satunya yang ia punya tentang sang ayah.  Keputusan film untuk tidak ‘meneriakkan’ yang merundung Sophie saat dewasa, lantas menghantarkan kita pada apa yang menurutku membagi dua penonton film ini. Tidak puas karena tidak ada finality yang jelas. Atau tercenung merasakan aftertaste getir yang luar biasa kuat.

Namun di luar itu semua, aku yakin penonton bakal satu suara soal betapa hangat dan manis (tapi tragisnya) hubungan ayah dan anak itu tergambar. Chemistry antara Paul Mescal dan Frankie Corio tak pelak jadi pesona utama yang bikin kita semua peduli dan menyimak sampai habis.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for AFTERSUN

.

 

 

ALL QUIET ON THE WESTERN FRONT Review

Semua film perang basically adalah propaganda anti-perang. Mereka menyampaikan itu dalam berbagai cara, ada yang menelisik propaganda untuk terjun perang itu sendiri, ada yang langsung mengajak penonton mengalami langsung suasana perang, ada yang mengeksplorasi dampak setelah perang, dan lain-lain. Intinya film-film itu akan menunjukkan betapa perang adalah sebuah horor kemanusiaan. Edward Berger dalam film perang adaptasi-novel ini, semacam menggunakan semua cara tersebut. All Quiet on the Western Front sungguh bakal jor-joran  membuat kita melihat horornya perang, dan membiarkan kita terhenyak dalam keheningan di ending, saat semua dar-der-dor dan dag-dig-dug dan asap tembakan itu hilang dari layar.

Momen yang buatku paling nohok adalah saat film actually memperlihatkan gimana para anak muda yang bersemangat jadi tentara itu sebenarnya gak tahu apa-apa, gak nyadar bahwa medan perang ternyata begitu mengerikan. Kontras antara yang mereka rasakan sebelum berangkat, dengan saat sudah berlarian diberondong peluru itulah yang buatku terasa baru di film ini. Sebagian besar dari karakter film ini ketakutan setengah mati! Kemudian emosi itu semakin menjadi-jadi tatkala kita melihat mereka sebenarnya tahu bahwa pihak lawan juga sama takut, sama tak berdaya, dan mungkin sama menyesalnya, tapi mereka tetap harus saling bunuh. Itulah yang buatku paling spesial dari film ini.

Sehingga bagian-bagian yang over-the-top kayak potongan tubuh di atas pohon, mayat-mayat dan sebagainya, teriakan dan desain musik yang agak trying too hard biar seram, terasa tidak lagi benar-benar diperlukan. Film ini sudah berhasil di momen-momen kecil yang menguarkan perasaan para pemuda di medan perang. Gimana mereka menikmati makan angsa colongan, untuk kemudian dikontraskan dengan kejadian di medan perang. Untuk film yang punya kata Quiet pada judul, narasinya sendiri agak terlalu banyak nge-generate noise yang menurutku bisa lebih diefektifkan lagi. But still, film ini tepat menembak sasarannya. Perang itu mengerikan!

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ALL QUIET ON WESTERN FRONT

 

 

 

BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER Review

Kepergian Chadwick Boseman certainly ninggalin lubang menganga di hati para penggemar dan kolega-koleganya, dan ini juga tercermin pada franchise superhero yang ia tinggalkan. Lubang menganga dari kepergian karakter T’Challa sebagai protagonis di Black Panther terasa begitu susah untuk ditutup, membuat sekuel yang digarap oleh Ryan Coogler secara naratif terasa berantakan. Rewrite yang mereka lakukan buat karakter-karakter yang ditinggalkan terasa banget membekas, jadi rajutan kasar pada overall sajian filmnya.

Wakanda Forever bekerja terbaik ketika mendalami soal kematian T’Challa. Gimana dampaknya bagi Ramonda yang jadi naik tahta lagi. Bagi Shuri yang merasakan grief sekaligus menyalahkan diri sendiri atas kematian sang abang. Dan pada rakyat Wakanda lainnya. Aku pikir harusnya film menahan diri dan berkutat dulu pada masalah ini. Bikin Wakanda Forever sebagai complete tribute, bagi sang karakter, sekaligus aktornya. Tapi mungkin karena agak segan cashin’ in cerita dari real tragedi, atau mungkin karena film ini bagaimana pun juga adalah roda-gigi dari proyek yang gak bisa segampang itu diubah rancangannya, maka Wakanda juga langsung mentackle sekuel sebagai aksi superhero. Hasilnya mungkin kedua kepentingan itu masih bisa terikat, tapi menghasilkan bentukan yang weird dan terutama agak maksa bagi karakter pengganti superhero utama, si Shuri.

Durasi lebih dari dua jam setengah nyatanya gak cukup untuk bikin naskah superpadet ini rapi. Kita masih akan sering berpindah dari Shuri, ke karakter lain, membuat development Shuri jadi tidak terasa benar-benar earned. Ada aspek dari dirinya yang jadi kayak dilupakan, makanya relasi Shuri dengan Namor tidak pernah benar-benar terasa genuine. Namor pun terasa kayak penjahat random yang aksinya gak benar-benar fit in ke dalam narasi keseluruhan, rencananya terlihat aneh. There’s so much going on. Makanya aku lebih suka Quantumania yang lebih contained dan terarah.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER

 

 

 

ELVIS Review

Yang unik dari biografi karya Baz Luhrman ini – selain karakter titularnya yang punya aksi nyentrik di panggung – adalah perspektif cerita. Kita tidak melihat cerita ini dari si Elvis himself, melainkan dari seorang Colonel Tom Parker. Manager sang Raja Rock ‘n Roll. Dan meskipun itu jadi modal film ini untuk bisa langsung netapin motivasi karakter itu sebagai penggerak cerita, dalam perkembangannya perspektif itu tidak pernah benar-benar jadi utama melainkan hanya terasa jadi excuse supaya cerita bisa ‘melayang’ dari satu titik di kehidupan dan karir Elvis ke titik lainnya, tanpa benar-benar mendalami kehidupan itu sendiri.

Padahal Austin Butler sudah benar-benar ‘serius’ menjelma jadi Elvis. Gaya bicara, mannerism, bahkan dandanannya terlihat lebih natural dan inviting ketimbang riasan over yang malah seringkali nutupin kecemerlangan akting Tom Hanks. Tapi film lebih memilih untuk merayakan teknis yang artifisial. Permainan montase dan editing terasa terlalu banyak, dan at times lebih glamor daripada gimana subjek (atau di sini jadi objek?) diperlihatkan oleh ceritanya sendiri. Permasalahan di karir seperti di-cancel TV karena aksi panggung yang seloroh, pandangan rasis waktu periode itu, dan lain sebagainya, tidak terasa benar-benar punya penyelesaian yang saklek. Hubungan naik-turun antara Elvis dan Colonel pun – karena ini supposedly cerita dari Colonel – tidak begitu memuaskan meskipun kita sudah berhasil tersedot untuk peduli.

Tapi di balik confused-nya diriku terhadap penceritaan dan fokus film ini, toh tak bisa dipungkiri juga film ini jadi punya energi luar biasa nyetrum. Dan mungkin inilah tujuannya. Membuat suatu presentasi yang seperti punya ruh Elvis itu sendiri. Sehingga ketika penonton menyaksikannya, film ini lebih dari sekadar menuturkan ulang kisah hidup si Bintang. Melainkan live-and-breath his personality.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ELVIS

 




INFINITY POOL Review

Nama Cronenberg memang tidak akan mengkhianati ekspektasi kita, karena Infinity Pool karya Brandon Cronenberg mungkin memang enggak se-jijik film bokapnya, tapi tetaplah sebuah pengalaman horor yang bikin badan jumpalitan saking aneh dan nekat konsepnya.

Film ini dimulai dengan premis yang sangat menarik. Penulis dan istrinya liburan di resort, mereka kemudian berteman dengan sesama turis, mereka have fun together, lalu uh-oh mobil mereka gak sengaja menabrak orang lokal hingga tewas. Si penulis, yang nyetir, dihukum mati oleh polisi setempat. Nah, hukuman matinya itulah tempat kegilaan konsep Brandon berada.  Ada sesuatu soal kelas sosial yang ingin dibicarakan di sini. Daerah turis yang melihat wisatawan sebagai kantong duit, dan turis yang merasa punya duit berarti bebas melakukan apapun; interaksi itulah yang membentuk konsep aneh cerita film ini.

Jadi aku menunggu. Nunggin buah apa yang bakal kita petik dari Penulis dan teman-teman kayanya sengaja berbuat onar karena mereka punya duit untuk membayar program clone.  Jadi yang dihukum mati adalah clone mereka, sementara mereka sendiri bebas ngelakuin apa saja termasuk kriminal. Tapi ternyata loop yang dimaksud pada judul, memang hanya repetisi. Dengan cepat keseruan tindak mereka jadi datar ketika tidak ada ujung, tidak ada konsekuensi nyata. Film kayak pengen bahas drama dari eksistensi, like, siapa tau si Penulis yang asli justru sudah mati – ketuker ama kloningan. Tapi enggak. Pengen bahas konflik antara Penulis dengan istrinya, juga enggak pernah benar-benar ke arah sana. Pada akhirnya yang kunikmati bahkan bukan gore-nya, namun kegilaan Mia Goth sebagai Gabi yang ternyata jauh lebih sinister dari kelihatannya. Calon adegan favorit tuh, Mia Goth teriak-teriak di babak ketiga hihihi

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for INFINITY POOL

 

 

 

NOKTAH MERAH PERKAWINAN Review

Film yang paling banyak direkues nih, untuk diulas. Tapi aku baru bisa menontonnya saat tayang di Netflix. Dan I’m sorry to say, karya Sabrina Rochelle Kalangie ini might be jadi runner up kalo akhir tahun kemaren aku jadi publish daftar Top-8 Film Paling Overrated 2022

Kita udah bahas gimana Aftersun dan Elvis melakukan sesuatu dengan cara berceritanya sehingga film itu jadi terangkat jadi something else. Aftersun menjadi lebih emosional dan genuine, sedangkan Elvis jadi punya perspektif unik sebagai landasan narasi. Noktah Merah juga berusaha membuat nature datar dari cerita rumah tangga yang sus ada perselingkuhan punya spark, dengan sedikit ‘mengacak’ perspektif. Tapi strukturnya itu tidak berbuah apa-apa selain perspektif yang aneh (kalo gak mau dibilang kacau). Film ini narasinya dibuka oleh karakter ‘pelakor’. Seolah dia karakter utama. Dia curhat kepada karakter lain soal dia cinta sama pria yang beristri, tapi yang kita lihat sebagai ‘cerita’ dari dia itu tidak pernah mewakili perspektifnya. Kita melihat drama biasa, yang actually di luar perspektif sang karakter. Cerita ini lebih cocok kalo membuat sang istri jadi karakter utama, jika perspektif istri yang jadi utama. Karena semua masalah itu sepertinya ada di kepala karakter ini. Walaupun nanti si pelakor dan istri bertemu, tapi perspektif para karakter ini gak pernah melingkar, karena cerita resolve (tau-tau) dari persoalan anak. Naskah film ini jadi benar-benar choppy setelah usaha untuk membuat penceritaannya bergaya.

Momen emosional film pun hanya bersandar pada dialog-dialog banal istri dan suami yang saling meledak. Sementara untuk momen-momen yang ‘diam’, yang diserahkan kepada kita untuk merasakan masalah atau emosi, film ini gak benar-benar punya. Karena dengan perspektif yang gak kuat, momen-momen tuduhan istri atau momen yang bisa jadi-masalah, ya hanya terlihat seperti kekeraskepalaan sang istri, atau suami yang ‘melarikan diri’. Momen-momen yang mestinya genuine feeling itu jadi hanya annoying.

The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for NOKTAH MERAH PERKAWINAN

 

 

 

THE WHALE Review

The Whale is beautiful. Sedih, sih, memang. Tapi beautiful, Aku jeles. See, aku orangnya masa bodo dan sering dikatain hidup di dunia sendiri, jadi iri adalah satu rasa yang paling gak relate buatku, tapi ya, aku berhasil dibuat Darren Aronofsky merasa iri kepada Charlie, pria yang really let himself go sampai membahayakan dirinya sendiri.

Aku iri karena Charlie masih bisa begitu optimis kepada orang lain, meskipun dirinya telah menyerah kepada dirinya sendiri. Loh? Iya, di situlah kompleksnya cerita film ini. Aku ingin seperti Charlie yang percaya bahwa masih ada cinta dan kepedulian pada semua orang, bahwa people incapable of not caring. Mereka cuma harus jujur kepada diri sendiri. Dan kepercayaan Charlie tersebut benar. Man, aku hampir nangis di ending. The Whale bukanlah cerita tentang orang yang gendut kemudian meratapi nasibnya. Justru sebaliknya, film ini adalah tentang orang yang sudah tahu dirinya tak tertolong, tapi dia percaya cinta itu ada, dan mencoba menolong orang-orang terdekatnya untuk menemukan hati mereka. Makanya karakter Charlie ini begitu kontras. Di kala sendiri kita melihat his destructive behavior terhadap diri sendiri, makan segitu banyak sampai jantungnya berontak. Gak mau ke dokter karena dia nyimpan duit untuk putrinya. Yang grew up membenci dirinya. Ada begitu banyak adegan yang hard to watch, hingga ke perilaku putri Charlie (Sadie Sink sukses jadi anak paling nyakitin sedunia akhirat) Tapi film bersikukuh untuk kita melihat Charlie tanpa belas kasihan, melihat Charlie menyerap itu semua sebagai hukuman diri, dan menumpahkan cintanya di balik itu semua. Tanpa harap kembali. Itulah bentuk dia dealing with grief dan rasa bersalahnya.

Drama di satu tempat tertutup, with nothing but dialog dan raw emotions. Ini adalah cerita seorang pria yang nothing to lose, melainkan punya banyak untuk dibagi kepada dunia yang bahkan terlalu jijik untuk memandangnya. Brendan Fraser juara banget di sini, kalo bukan karena persona dan pemahamannya terhadap Charlie, karakter dan film ini gak bakalan worked seindah – dan semenyedihkan – ini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for THE WHALE

 

 

 

WOMEN TALKING Review

Sebagai nominasi Best Picture Oscar, Women Talking karya Sarah Polley memang benar bicara tentang hal yang relevan, dengan cara yang menggugah pikiran dan hati kita sekaligus. Mengenai perjuangan perempuan, yang masih saja terus seperti berada di posisi jahiliyah di mata kuasa lelaki. Untuk itu saja, film ini mampu bikin kita tetap melek, pasang telinga, menyimak apa yang mereka permasalahkan. Untuk ikut mencari apa yang sebaiknya dilakukan. Untuk ikut peduli sama masalah ini, lebih dari soal feminis tapi jadi soal kemanusiaan pada dasarnya.

Perempuan-perempuan dalam film ini berembuk setelah sekali lagi, salah satu dari mereka terbangun dalam keadaan sudah tak-perawan. Dibius pake obat bius sapi. Diperkosa oleh laki-laki, sekampung sendiri. Para perempuan itu mendiskusikan apakah mereka akan tetap tinggal di koloni, dan berontak melawan. Atau pergi dari sana. Sebagian besar durasi film yang warna dan settingnya juga dibikin kayak kisah jadul ini membahas tentang debat para perempuan, mikirin pro dan con dari dua pilihan tersebut. Dan demi Tuhan – oh aku bakal dirujak ngatain ini – film ini jadi boring karenanya. Debat mereka repetitif, dan terasa seperti percakapan yang mengawang-awang ketimbang solving problem.

If anything, aku teringat dan jadi membandingkan ini sama 12 Angry Men (1957). Yang kayaknya kukasih 8 atau bahkan 9 kalo mau direview. Percakapan pada film itu terasa benar-benar lock dan punya weight dan pada gilirannya emosional untuk disimak, karena ironisnya punya dasar logika yang kuat. Orang bilang cowok naturally lebih pakai logika ketimbang perasaan, but no, justru masalah di cerita itu muncul ketika para juri pria itu mendakwa tersangka dengan perasaan. Prasangka. Dengan judgmental. Mereka, para cowok, juga harus belajar melihat dengan logika. Dan di situlah letak mengawang-awangnya Women Talking. Argumen-argumen mereka terasa seperti perbincangan logis yang diputar-putar oleh perasaan. Sehingga masalah itu enggak selesai-selesai. Mungkin memang itu tujuannya. Memperlihatkan bahwa bagi wanita, semuanya susah, apa-apa pasti dijudge, bahkan di antara mereka sendiri. Di sini protagonisnya karakter optimis juga kayak Charlie di The Whale, dia dihamili tapi masih percaya pada potensi dia akan memaafkan sang pelaku, siapapun itu. Sehingga keputusan yang mereka ambil dari sikap-sikap kayak gini jadi terasa emosional dan penting.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for WOMEN TALKING

 

 




That’s all we have for now

Dengan ini semua film nominasi Best Picture Oscar sudah kureview, silakan follow akun twitterku di @aryaapepe karena biasanya menjelang Oscar aku suka bikin prediksi di sana hehehe

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



My Dirt Sheet Awards 11: MIRROR

 

 

The Dirtys are back!!

Sejujurnya, aku gak nyangka sampai sekarang blog ini masih ada. Karena, tahun 2021 lalu, aku sudah benar-benar siap untuk pindah total ke YouTube. Bukan karena capek nulis, tapi karena males ngurusin wordpress yang semakin ribet. Itulah sebab utama kenapa tahun kemaren itu My Dirt Sheet Awards ditiadakan. Tapi untungnya, 2022 adalah tahun penyembuhan bagi banyak orang. Termasuk bagi blog ini. Aku nemuin hostingan baru, yang less-ribet, walau punya kekurangan lain. Tapi who cares? Mari rayakan kesempatan untuk bisa bikin award-awardan lagi!!

Gak bikin award setahun membuatku jadi punya banyak waktu untuk refleksi. Dari situlah tema kali ini, Mirror, berasal. Afterall, award-awardan ini memang dibuat sebagai highlight dari kejadian setahun penuh. Kaledoiskop ala My Dirt Sheet. Dan bagi yang jeli, kalian akan bisa melihat juara tahun-yang-hilang itu terpantul dalam video nominasi masing-masing kategori.

Kita sudah membuang waktu satu tahun, mari langsung saja awards ini kita mulai – ada 14 kategori, dengan nominasi yang sudah dipatok jadi delapan supaya seruuu!!

 

 

TRENDING OF THE YEAR

2022 bakal dikenang sebagai tahun dunia kembali pulih. Tahun dunia mulai kembali normal seperti sedia kala. Tapi di samping itu, tahun 2022 juga bakal diingat orang sebagai tahun ngetrennya nominasi-nominasi berikut:
1. Citayam Fashion Week
Gak mau kalah ama Paris Fashion Week, anak-anak SCBD turun ke jalan,dengan street clothes mereka dan sukses viral jadi berita di mana-mana
2. Gambar NFT
NFT adalah karya dalam bentuk aset digital. Ketika orang tahu NFT bisa menghasilkan cuan, langsung deh dirubung dan banyak yang coba bikin. Meski ga benar-benar paham sistem dan segala macamnya
3. Hacker Bjorka
Hacker Bjorka muncul sebagai salah satu reaksi dari kebijakan internet pemerintah, dan orang misterius ini langsung viral. Jelas saja, dia mengklaim punya bocoran dokumen rahasia negara dan data-data pribadi bernilai tinggi lainnya!
4. Lato-Lato
Tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek… you know what, baru kepikiran harusnya aku ngasih mainan ini nominasi di Most Annoying Quote…
5. Mixue
Saking menjamurnya, gerai es krim ini sampai jadi meme di mana ada bangunan – atau bahkan ruang kosong – di situ bakal jadi tempat Mixue jualan.
6. Pesulap Merah
Viral sesuai membongkar dapur perdukunan, pesulap ini makin dikenal berkat penampilannya yang melawan pakem magician harus serba-hitam!
7. Spirit Doll
Orang Indonesia memang paling lemah sama yang namanya horor-hororan. Tren dari Thailand ini pun lantas jadi ramai karena selebriti-selebriti tanah air mulai ikut-ikutan ngasuh boneka seolah benda itu ada jiwa manusia
8. World Cup Qatar
Piala Dunia cuma empat tahun sekali. Makanya setiap perhelatannya selalu heboh. Apalagi yang sekarang ini result pertandingannya benar-benar kejutan. Terutama buat tim dari Asia

Daan, yang menurutku pantes untuk dapat The Dirty dari antara mereka semua adalaahhKapan lagi coba anak muda Indonesia punya aksi semacam ini? Aksi mereka ini ditiru, dibicarakan, bahkan mau ‘dibeli’ oleh publik figur. Tapi yang terpenting adalah mereka have fun dalam berekspresi. Sebagai generasi yang udah mulai diitung tua huhu, aku salut.

 

 

 

Berhubung tadi sudah kesebut, langsung aja kita lanjut dengan

MOST ANNOYING QUOTE

Nominasinya adalah:
1. “Ashiaaappppp!”
2. “Begitu sulit lupakan Rehan”
3. “It’s morbin time!”
4. “It’s my dream, mas!”
5. “Kamu nanyeeaaa”
6. “Kepak sayap kebhinnekaan”
7. “Saatnya menggatot”
8. “She’s/he’s a 10, but…”

Tenang, ku gak akan muterin suara mereka. Cukup tahun 2022 aja kuping berdarah mendengarnya.  Dan yang dapat The Dirty adalaaahhSudah-sudah, jangan ditanyeaaa

 

 

 

 

To keep things hyped, selanjutnya aku bakal mempersembahkan dua kategori spesial untuk awards kali ini. Dua kategori dari dunia horor. Yang sebenarnya juga adalah tribute buat bebuyutan legendaris Laurie Strode dan Michael Myers, yang di tahun 2022 telah mencapai akhir dari ketubiran mereka.

FINAL GIRL OF THE YEAR / LAURIE STRODE AWARD

Somehow film horor modern belakangan ini sering lupa pada apa yang membuat final girl layak untuk, ya survive. Jadi yang berhasil ngalahin kejahatan. Ketika kebanyakan film horor berusaha sok woke dengan salah kaprah bikin heroine-nya segala benar dan terlalu kuat, para nominasi ini merupakan final girl tradisional dengan sudut pandang modern, yang benar-benar berjuang babak belur demi mengalahkan demon atau lawan mereka
1. Emerald, dalam film Nope
Relasinya dengan sang abang jadi hati pada cerita. Dan lagi, siapa yang gak bersorak saat Emerald pasang aksi sepeda motor ala Akira?
2. Maxine, dalam film X
Gak setiap hari kita dapat film yang protagonisnya adalah bintang film dewasa. But this girl has dream, dan gunain mimpi itu sebagai semangat untuk survive dari kegilaan di rumah peternakan
3. Naru, dalam film Prey
Selalu diremehkan oleh teman-teman cowok sesuku, Naru – yang bisa jadi adalah pemimpin wanita pertama dalam dunia horor – buktiin bahwa ini lemah-kuat bukan soal gender. Si Predator aja kaget ngeliat aksinya!
4. Noa, dalam film Fresh
If anything, Noa ngasih liat kalo cewek bisa membuat mereka masuk ke dalam masalah, maka mereka sendiri juga bisa mengeluarkan diri dari masalah.
5. Odessa, dalam film Hellraiser
Bukan cuma ngelawan makhluk-makhluk dari ‘neraka’, Odessa adalah sosok yang berjuang melawan dan berhasil berdamai dengan kecanduannya
6. Sienna, dalam film Terrifier 2
Bagi Sienna, ini juga adalah perjuangan melawan demon dalam dirinya sendiri. Perjuangan untuk menjadi berani dan menjadi pelindung keluarga
7. Tara dan Sam, dalam film Scream 
Kakak beradik yang harus dealing with the facts bahwa ayah mereka (ayah kandung Sam, dan ayah tiri Tara) adalah pembunuh original yang meneror kota.
8. Tess, dalam film Barbarian
Cuma Tess yang ngerti bahwa horor yang menimpa mereka sekalian di rumah airbnb itu sebenarnya adalah tragedi dari betapa berbedanya perempuan dan laki-laki memandang dan meng-experience dunia

Dan, yang paling komplit untuk melanjutkan legacy final girl dari Laurie Strode, adalaahh Perjuangan Sienna mengalahkan Art the Clown begitu epik. The icing on the cake tentu saja adalah kostum armor dan sayap dan pedang panjangnya. Sienna udah kayak valkyrie modern!!

 

 

SERIAL KILLER OF THE YEAR / MICHAEL MYERS AWARD

Horor modern juga kurang berhasil nyiptain karakter jahat yang ikonik. Karena kebanyakan sekarang main surprise dan jumpscare saja. Kurang banyak galian ke karakter jahat itu sendiri. Kurang bereksperimen, dan kurang gila. Sepeninggal Michael Myers, berikut adalah nominasi pengganti kekosongan dirinya:
1. Amber, dalam film Scream 
Maan, I really love gilanya Amber, dan merasa sayang dia gak bakal muncul lagi di film berikutnya. But at least, dia benar-benar mencuri perhatian dan did a thing yang tidak bisa dilakukan Ghostface lain; membunuh Dewey! 
2. Art the Clown, dalam film Terrifier 2
Dibandingkan dengan Art yang gila, creepy, brutal, and nyaris always did a job done, Pennywise jadi kayak anak pramuka
3. Chucky, dalam serial Chucky season 2
Apa yang lebih ngeri dari Chucky? Berpuluh-puluh Chucky – dan semuanya sama gilanya gak pandang bulu bunuhin orang, tua atau muda!
4. Corey, dalam film Halloween Ends
Pewaris Michael Myers dalam canon cerita. Corey adalah good-guy yang berubah jadi psikopat ketika seluruh kota tidak melupakan kesalahan dirinya
5. Esther, dalam film Orphan: First Kill
Sedikit masa lalu dari pembunuh yang suka nyamar jadi anak-anak ini terkuak, dan orang-orang langsung ngeri mau kasian atau tidak
6. Jeffrey Dahmer, dalam film serial Dahmer-Monster: The Jeffrey Dahmer Story
Yang ini cukup kontroversial, karena karakternya diangkat dari pembunuh nyata. Tapi Dahmer yang diperankan Evan Peters memang mengguncang banyak kepala yang menyaksikannya
7. Pearl, dalam film Pearl
Pearl adalah Maxine dalam timeline berbeda, dan jika Maxine menyeberang ke dark side
8. Pinhead, dalam film Hellraiser
Pinhead versi modern benar-benar terlihat keren tapi sekaligus juga sangat creepy

Piala The Dirty berdarah ini jatuh kepadaaa Michael Myers beneran bisa rest in peace, dengan Art melanjutkan teror di sinema horor. Badut supernatural dengan aksi brutal dan misteri benar-benar menarik hati. Props juga buat David Howard Thornton yang sukses menghidupkan karakter ini dengan pantomim yang bikin merinding. Ciri khas Art yang paling sakit: ketawa puas tanpa suara!

 

 

 

Terrifier 2 actually jadi film 2022 terbaikku (kalian bisa lihat daftar Top-8 Movies 2022 selengkapnya di sini) Jadi sementara kita ngomongin itu, ada tiga kategori lagi yang nominasinya berhasil diraih oleh film tersebut. Hmm, bakal menang juga gak yaaaa?

BEST CHILD CHARACTER

Kategori khusus yang bertahan jadi kategori tetap, karena ya, penting bagi kita untuk melihat bagaimana karakter anak-anak ditulis. Bahwa karakter anak bukan cuma korban yang harus diselamatkan, bukan cuma versi mini dari karakter dewasa yang gak punya purpose atau bahkan dialog.
1. Anya Forger, dalam anime Spy X Family
Kayaknya Anya yang paling populer di antara nominasi ini. Karakternya benar-benar polos kayak anak kecil, sementara juga grounded dan aware sama situasi
2. Ara, dalam film Keluarga Cemara 2
Janji begitu bermakna bagi anak-anak, dan mereka akan terus nagih. Ara bener-bener ngingetinku sama masa kecil karena juga sering dijanjiin sesuatu tapi gak dikasih hahaha
3. Buddy, dalam film Belfast
Kreatif, respectful, suka film, suka bermain, Buddy kayak teman kita dulu, tapi teman kita yang satu ini juga musti memahami kenapa kampung halamannya jadi seperti itu
4. Gabi Braun, dalam anime Attack on Titan Season 4 Part 2
Awalnya aku benci ama Gabi. Tapi melihat apa yang harus dia pahami dan mencoba mengerti posisinya, Gabi jadi begitu memantik simpati
5. Gwen Shaw, dalam film The Black Phone
Gwen adalah adek yang gak kita punya. Selain itu di balik kepeduliannya sama keluarga, Gwen juga ‘dibebani’ oleh penglihatan yang jadi momok tersendiri baginya
6. Meilin, dalam film Turning Red
Kepanikan dan ketidaktahuan Meilin tentang bertumbuh, membuat dirinya berubah menjadi panda merah! 
7. Pinocchio, dalam film Guillermo del Toro’s Pinocchio
Guillermo mengubah karakter tradisional Pinokio menjadi anak yang kini masih bandel dan penuh rasa ingin tahu, tapi juga cerdas dan berani untuk mengubah bandelnya itu menjadi bentuk cinta kepada ayahnya
8. The Little Pale Girl, dalam film Terrifier 2
Karakternya masih berbalut kabut misteri yang pekat, tapi anak ini niscaya adalah salah satu karakter anak terseram yang pernah aku lihat

Piala The Dirty jatuh kepadaaa Anak yang terdoktrin hate, melihat sendiri – bahkan melakukan sendiri – sesuatu yang diajari kepadanya untuk ia percaya, lalu mengalami pembelajaran bahwa hal tidak sesimpel yang diajarkan kepadanya. Gabi has the best writing – the best character development seantero Attack on Titan.

 

 

 

BEST SCENE

Berikut adalah nominasi buat adegan-adegan dari film, ataupun serial, yang either masih terngiang-ngiang serunya ataupun begitu populer sehingga jadi tren di sepanjang 2022
1. Clown Cafe – film Terrifier 2
Sekuen mimpi terpanjang dan tersadis!!
2. Hangman Rescue – film Top Gun: Maverick
Ini adegan yang bikin aku nyesel gak nonton di bioskop
3. Jadi Batu – film Everything Everywhere All at Once
Di tengah hiruk pikuk multiverse, muncul adegan ini, dan langsung jleb!
4. Monolog & Credit – film Pearl
Pearl benar-benar Pearl show. Mau monolog, maupun ekspresi, semuanya ngena banget!
5. Nembak – film The Banshees of Inisherin
Satu lagi adegan jleb, kikuknya Barry Keoghan spike this scene further
6. Payakan’ Revenge – film Avatar: The Way of Water
Aku bersorak banget waktu ‘ikan paus’ ini balasin dendam ke manusia yang menghinanya
7. The Experience – film Nope
Bicara tentang ‘binatang’ yang balas dendam ama manusia, Nope nawarin ‘pengalaman’ luar biasa di adegan ini
8. Weird Dancing – serial Wednesday
Kabarnya Jena Ortega sendiri yang nyiptain koreografi viral ini – itulah kerennya kalo aktor benar-benar paham sama karakter yang dimainkan

And the Osca–eh salah, The Dirty goes to

So simple, tapi begitu filosofis

 

 

 

FEUD OF THE YEAR

Gak ada capeknya kita berkelahi. Padahal baru beres berantem ama pandemi, baru bangkit dari covid, eh sudah ada lagi yang diributkan. Inilah nominasi perseteruan ter—angot!
1. Amanda vs. Arawinda
Atau sebut saja Misteri Tanktop Ungu
2. Art vs. Sienna
Ikon slasher/gore modern yang baru saja memulai seteru panjang dan personal mereka!
3. Colonel vs. Jake
Dendam kesumat turun ke clone si Colonel, jadi konflik utama film Avatar kedua
4. Depp vs. Amber
Real courtroom drama yang ditonton semua orang di timeline tengah tahun lalu
5. Eleven vs. Vecna
Di season terbaru Stranger Things, Eleven ketemu orang yang bahkan lebih kuat darinya
6. Laurie vs. Michael
Legendary feud mereka mencapai babak akhir. Dua orang ini literally inspired dua kategori khusus kali ini!
7. Polisi vs. Polisi
Kasus real juga, yang sampai sekarang kayaknya masih diusut – udah kayak sinetron
8. Ukraina vs, Rusia
Awal tahun 2022 lalu, nyaris terjadi Perang Dunia Ketiga karena masalah antarnegara ini

Semoga piala The Dirty ini bisa jadi juru damai kepadaa Konflik mereka muncul pas banget saat pelakor lagi tren-trennya. Dan benar-benar membagi netijen. Sampai-sampai netijen pendukung masing-masing ikutan berantem!

 

 

 

 

Kadang heran juga, kenapa kita asik berantem. Kayak dunia kekurangan hal untuk ditangisi saja. Perang, gempa, tragedi di Kanjuruhan, di Itaewon, banyak yang berpulang di antaranya ada Mak Nyak, Ratu Inggris, Remy Silado, Richard Oh, enggak tau deh berapa jiwa yang berpulang di tahun 2022. Untuk itu marilah kita heningkan waktu sejenak untuk mendoakan mereka.

MOMENT OF SILENCE

Mengheningkan Cipta
….
….
Mulai!
….
….
….
….
….
….
….
….
Selesai!

 

 

 

 

Harapan kita semua tentu saja semoga ada lebih banyak cinta di dunia. Untuk itulah kategori berikut dipersembahkan. Saatnya kita merayakan cinta dengan

COUPLE OF THE YEAR

Nominasinya adalah:
1. Alexa Bliss & Ryan Cabrera
Buatku ini agak nyelekit sih, aku ditikung. But hey, kalo Alexa happy, aku juga happyyyy
2. Alithea & Djinn
Hubungan unik antara manusia dan jin
3. Batman & Catwoman
Dua superhero ini manis banget di film Batman yang baru itu
4. Dom & Rhea Ripley
Pasangan jahat tapi kocak yang ngingetin kita sama Eddie Guerrero dan Chyna
5. Evelyn & Waymond
Kayak versi live-action dari Beth dan Jerry di kartun Rick & Morty hihihi
6. Hae-Jun & Seo-Rae
Lupakan vampir jatuh cinta sama mangsanya, pasangan kali ini lebih ‘ngeri’; Detektif jatuh cinta sama tersangka!
7. Sammy & Tay Melo
Pasangan nyebelin yang jengkelin banyak fans di AEW. Buy hey, they make a great team together
8. Tom Holland & Zendaya
Everyone’s darlings, ikon remaja masa kini, psstt denger-denger mereka udah tunangan loohh.. ada yang patah hati??

Okeh, dengan senang hati The Dirty kategori ini diberikan kepadaaa

Waymond kepada Evelyn benar-benar cinta sejati. Dengar aja nih yang dia bilang “So, even though you have broken my heart yet again, I wanted to say, in another life, I would have really liked just doing laundry and taxes with you.” Meleleh semua universe!!

 

 

 

As for me, berikut kategori yang aku cinta banget!!

UNYU OP THE YEAR

Gimana gak cinta, kategori ini tempatnya cewek-cewek cakep nan berbakat yang menghiasi 2022, dan I hope sepanjang masa. Kayak yang sudah-sudah, kategori ini yang beda jumlah nominasinya karena aku simply can-not-choose! xD
1. Alyvia Alynd Lind
Namanya lucu, ya, pake diulang-ulang. Kalo mau lihat aktingnya, bisa cek serial Chucky. Di season 2 Alyvia mulai perdalam rangenya
2. Daisy Edgar-Jones
Selain jadi Noa di Fresh, dia juga main jadi gadis rawa di Where the Crawdad Sings. Keduanya bukan film yang bagus banget, but Daisy bisa belajar banyak dari sana
3. Jenna Ortega
Cukup banyak seliweran di 2022. Jenna ada di Scream, di X, dan tentu saja di serial yang jadi populer karena cara dia menghidupkan karakternya, Wednesday
4. Joey King
She’s come along way, dari jadi Ramona Quimby dulu hingga sekarang jadi anak yakuza di Bullet Train
5. Lee Eun-Saem
Aktingnya sebagai Mi-Jin di serial zombie All of Us are Dead benar-benar bikin jatuh hati, padahal karakternya galak!
6. Mia Goth
Belum apa-apa Mia udah mecahin rekor di sini. Nyabet nominasi Final Girl dan Serial Killer sekaligus. Bukti dari jagonya dia dual akting!
7. Mikey Madison
Sekilas milip Raline Shah gak sih? Mikey jadi Amber di Scream benar-benar definisi dari crazy chick yang keren abissss
8. Sadie Sink
Max!! Sejak Stranger Things kayaknya dia terus mempertajam akting ya, soalnya semua penampilannya nyuri perhatian.
8. Zoey Deutch
Di Not Okay, Zoey kocak dan cakep banget. Baru kali itu aku kasian ama karakter yang basically annoying haha 

Sumpah ini aku milih pemenangnya susah sekali. Satu hari aku fix milih Mikey. Eh, hari besoknya berubah ke Sadie. Besoknya berubah lagi. 2022 memang jadi tahun yang manis berkat mereka-mereka ini. Tapi, karena tetap harus milih pemenang, maka aku akan milih satu yang lebih unik dari yang lain. Daaan, The Dirty dibawa pulang oleeehhh

For the first time ever, artis Korea yang menaangg, cihuiii.. Mi-Jin alias Ms.Shibal yang jutek bener-bener bikin jatuh cinta karena she’s so real dan somehow lucu. Habis nonton serialnya, aku memang langsung nontonin interview Eun-Saem, and she seems like totally asik-person. Cerdas pula soal akting dan film.

Dan ini sebenarnya rahasia karena memalukan, aku sempat nekat nge-DM Eun-Saem, ngasih lihat sketch Mi-Jin yang kubuat, tapi gak dibales hihihi

 

 

 

Anyway, kata orang love is a game. Dan inilah kategori buat

GAME OF THE YEAR

Aku juga excited sama kategori ini, karena tahun 2022 itu aku beneran bisa mulai fokus main game-game masa kini. Channel YouTube My Dirt Sheet mulai bisa ngehandle konten game, setelah rencana pindah total ke review format video tampaknya mulai bisa dicancel. Sehingga nominasi kali ini, komposisinya lebih banyak yang sudah aku mainin daripada yang masuk karena hype/popularitas tanpa dimainkan. So yea, inilah nominasinya:
1. Chained Echoes
Aku terutama suka sama game pixel arts, dan Chained Echoes benar-benar RPG pixel arts paket kumplit!
2. Eiyuden Chronicles: Rising
Ini adalah game pemanasan sebelum RPG utamanya rilis di tahun 2023. Dan game ini actually ‘kelanjutan’ dari dunia Suikoden!
3. Elden Ring
Game ini populer banget, bahkan jika kalian bukan gamer, besar kemungkinan kalian pernah mendengar judul ini disebut
4. God of War: Ragnarok
Kelanjutan dari God of War ini memang jadi salah satu game yang paling diantisipasi fans di tahun 2022
5. Infernax
Game metroidvania sadis ini suprisingly menantang dan punya replay value yang tinggi karena punya begitu banyak cabang pilihan aksi yang bisa kita ambil sepanjang petualangan
6. River City Girls 2
Jangan anggap remeh karena kayak game ‘wibu’. River City Girls 2 actually beat them up yang sangat fun, kita akan sibuk menghajar orang dan nyelesaiin misi.
7. TMNT: Shredder’s Revenge
Nostalgia? Cowabunga!!!
8. Wordle
Tebak kata yang sempat heboh banget di Twitter!

Baiklah tanpa banyak loading-loadingan, inilah pemenangnyaaa

Ketika aku bilang paket komplit, well bayangkan sistem rekruitment dan castle di Suikoden, robot-robot raksasa kayak di Wild Arms, cerita dengan waktu berbeda kayak Chrono Trigger, misi-misi tersembunyi, Chained Echoes punya semua itu. Plus battle system unik yang belum pernah ada sebelumnya, sistem level up yang juga beda banget, dan banyak playable karakter yang kocak. I have a really great time mainin game ini.

Promosi sedikit boleh dong ya, actually di channel YouTube My Dirt Sheet, aku dan teman-teman sekarang lagi mainin River City Girls 2 dan TMNT: Shredder’s Revenge. Jadi yang pengen ikut seru-seruan, bisa lihat-lihat ke sanaaaa

 

 

And you know what, itulah

MY MOMENT OF THE YEAR

Dengan dua platform, aku bisa lebih banyak ngasilin konten yang fresh, Blog My Dirt Sheet dengan hostingan baru sekarang jadi punya tampilan baru yang lebih enak untuk pengalaman membaca ulasan. Sementara channel YouTube, lebih rame lagi dengan konten seperti talkshow yang menghadirkan undangan-undangan seru, atau juga seperti yang dibilang tadi, konten main game yang seru-seru

Semoga gak pada bosen ya sama My Dirt Sheet

 

 

Agak aneh sih rasanya ngiklanin konten di sela-sela awards, tapi aku harus belajar cuek karena kategori spesial berikut ini isinya khusus untuk orang-orang yang putus urat malunya demi ya majuin konten atau promosiin karya mereka.

 

SHAMELESS PROMOTION OF THE YEAR

Tadinya kategori ini memang Bego of the Year. Tapi setelah dipikir-pikir, mereka pada pinter dong bisa kepikiran cara promosi yang nekad seperti ini. Justru yang bego kita karena kemakan strategi mereka. Jadi, yah, tahun ini Bego of the Year diganti dulu sama Shameless Promotion, dan inilah nominasinya
1. Deddy Corbuzier – dilantik jadi Letkol Tituler
C’mon kalo kalian gak bisa lihat promosi silang di balik ini, mata kalian perlu digedein sedagunya Deddy
2. Disney – Pinokio dan film anak-anak sok ‘woke’
Trik andalan Disney belakangan ini adalah ambil agenda ‘woke’ dan masukin ke versi baru dari film-film mereka. Disney gak lagi punya cerita. Mereka cuma mau jual produk yang sama kepada penonton yang pengen dibilang modern
3. Geprek Bensu – ngaku di Paris Fashion Week
Di saat anak-anak muda lokal bikin fashion week sendiri, ada beberapa orang yang malah ngaku-ngaku nampil di Paris Fashion Week, padahal cuma bikin acara sendiri di negara orang
4. Joko Anwar – thread clue film
Film itu ibarat sulap. Tapi toh mana ada tukang sulap yang promoin pertunjukan mereka dengan ngasih kisi-kisi rahasia triknya apaan
5. KKN di Desa Penari – tayang berbagai versi
Bukan cuma versi extended, film ini juga pake strategi rilis dua versi rating umur dan tayang berbarengan
6. KKN (lagi!) dan film-film lain – promo beli 1 dapat gratis 1
Actually Joko Anwar yang pertama kali ngritik kalo strategi promo buy 1 get 1 melulu tidak akan ngasilin hal yang baik kepada perfilman, kecuali jumlah penonton
7. Pawang Hujan Rara – remote AC
Maaan, itu aksi dan foto paling cringe seantero 2022.
8. Will Smith di Oscar – tampar dahulu menang kemudian
Aksi tamparannya mungkin memang asli, tapi sebagai yang nonton WWE, ada yang di-staged pasti di sana. Soalnya urutan kejadiannya seems too perfect buat ngebuild up speech kemenangan Will Smith

Pemenangnya adalaaahhh

Taktik tayang bareng dua versi umur beneran ‘curang’, bikin miris karena sistem klasifikasi umur lembaga sensor ternyata cuma dijadikan bahan jualan. Di Luar gak ada tuh yang begitu. Harus nunggu beberapa bulan dulu baru bisa tayang versi lain dari satu film yang sama. KKN ini saking ngebetnya tembus 10 juta, bisa ditebak, juga rilis versi lain beberapa bulan setelahnya. Magically mereka bisa dapat spot tayang yang strategis.

 

 

 

Sampailah kita di penghujung ‘acara’. Sebelum masuk ke kategori puncak, kita penyegaran dulu dengan satu kategori lagi, kita akan melihat para nominasi Best Musical Performance. Semoga semuanya ada linknya di YouTube hihihi

BEST MUSICAL PERFORMANCE

 

1. Alpha “Duyung Senja”

 

2. Bheem & Ram “Naatu Naatu”

 

3. Farel Prayoga “Ojo Dibandingke”

 

4. Hector & Lyle “Take a Look at Us Now”

 

5. Lydia Tar “Apartment for Sale”

 

6. Porsha “Could Have Been Me”

 

7. Rooster “Great Balls of Fire”

 

8. Skullflower “Machinery of Torment”

 

The Dirty goes tooo Cover rock british yang jadi ngepop!

 

 




Seru juga ya menapak tilas apa-apa yang terjadi di tahun 2022 lewat format award. Memang yang sekarang jadi agak panjangan, karena siapa suruh bikin delapan nominisi per kategori hihihi.. Tapi gak papa, paling enggak jadinya semakin banyak yang bisa dimuat.  Untuk kategori puncak

SHOCKER OF THE YEAR

mari kita simak runner-ups terlebih dahulu:
1. Tim Asia melaju di Piala Dunia!
2. Cody Rhodes balik ke WWE, di WrestleMania!!
3. Twitter dibeli Elon Musk!?
4. Twitter mau ditutup?!
5. Karen Dinner buka di Indonesia!
6. Anak presiden bisa pesan cetak uang sendiri!!!
7. Kominfo blokir situs-situs!?!
8. Di rumah Bupati Langkat ada kerangkeng manusia!!
9. Menantu ama mertua??!!
10. WWE tayang di Disney+Hotstar!!!
11. Jefri Nichol nantangin tinju!!

 

Sudah shock belum? Kalo belum, siap-siap nih.
Yang lebih mengejutkan dari itu semuanya adalaaahhh

Ku tak pernah menyangka bakal melihat Vince McMahon turun dari kursi kreatif, dan digantikan oleh Triple H.

 

 

 




That’s all we have for now.
Semoga tahun 2023 lebih menyenangkan dan lebih seru.
Jaga kesehatan, dan selamat Tahun Baru!!!

Remember in life, there are winners.
And there are losers

 

 

 

 

 

We still the longest reigning BLOG KRITIK TERPILIH PIALA MAYA.


BABYLON Review

 

“The cinema has no boundary; it is a ribbon of dream.”

 

 

Tempat paling ajaib di dunia, kata Damien Chazelle dalam karya terbarunya ini, adalah set alias tempat orang syuting film. Karena film memanglah seperti sebuah keajaiban – sihir!- yang ditangkap pada layar. Kita tahu satu adegan film saja, adalah kerja sama begitu banyak orang, begitu banyak keahlian, begitu banyak ‘trik’ untuk membuatnya entah itu beneran seperti sedang terbang atau sesimpel berjalan di hutan. Aku beruntung pernah diijinkan untuk tiga malam hang out di set film, melihat-lihat cara orang bikin dan merekam adegan, ngobrol ama kru-kru dan nanya-nanya ama pemain. Ya, suasana dan segala yang ada di situ memang terasa out-of-the-world. Saat itu aku menyaksikan gimana tembok bata dari rumah terbengkalai mereka sulap jadi gedung gereja, gimana papan kayu jadi sumur di tengah hutan. Yang kurasakan itu ‘baru’ dalam skala film lokal. Sedangkan yang diangkat oleh Damien Chazelle dalam film grande tiga jam lebih ini adalah studio film terbesar di jagat kita, Hollywood. Babylon merupakan kisah fiksi namun dengan latar yang tepat sesuai sejarah Hollywood, mengambil fokus kepada masa transisi dari era film bisu ke film bersuara. Dan di sini, Damien seolah benar-benar mengajak kita ke belakang tirai ajaib itu. Melihat kontras di balik film yang tampak romantis, elegan, penuh passion dan mimpi: Drugs, kehedonan, serta desperation dari karir-karir yang naik untuk kemudian lantas tergantikan.

Kata yang tepat untuk film ini mungkin, ya, surat cinta. Tapi Babylon bukan tipe surat cinta yang sama dengan yang dikirim Damien lewat La La Land (2017). Kali ini, Damien Chazelle merayakan kecintaannya kepada sinema, sekaligus menyentil industri Hollywood itu sendiri. Itulah kenapa film ini meledak-ledak, vulgar, dan over-the-top. Semuanya terasa chaotic, apalagi film ini punya banyak sekali karakter supaya kita benar-benar bisa melihat bagaimana industri film yang terus berkembang berdampak kepada manusia-manusia yang strive untuk mewujudkan mimpi dan passion mereka. Kita melihat gimana film-bersuara, menjadi peluang karir bagi seorang pemusik jazz kulit hitam. Sementara juga membuat penulis title/dialog film bisu kehilangan posisi. Dari semua karakter, tiga yang jadi fokus utama adalah Nellie LaRoy (Margot Robbie), Jack Conrad (Brad Pitt), Manny Torres (Diego Calva). Nellie seorang figuran muda, yang percaya dirinya adalah bintang.  Kesempatan untuknya menunjukkan sinar datang ketika dia dipilih buat meranin seorang pelayan bar, and she nails it. Tapi kemudian tantangan baru muncul ketika studio mulai pindah ke film bersuara. Also, gaya hidupnya yang kelewat glamor mulai berdampak buruk. Sebaliknya, Jack adalah aktor senior di MGM. Aktor dengan bayaran tertinggi. Konflik dirinya muncul tatkala semua film terbarunya flop di box office. Dia maunya percaya itu semua karena era baru film, tapi dia akhirnya harus nerima kenyataan yang lebih pahit lagi. Dan dari sudut lain ada Manny. Yang berangkat dari pelayan, ke tukang cari properti, ke asisten, hingga jadi studio executive. Ketika sudah di atas, Manny mulai merasakan efek dari sisi gelap industri, ketika dia mulai harus membuat keputusan-keputusan yang dia tahu enggak bener demi kemauan studio.

Menariknya lagi, karakter-karakter ini konon ditulis dengan referensi tokoh real di Hollywood

 

Melalui ketiga karakter tersebut  evolusi industri di Hollywood mulai dari tahun 1926 hingga ke 1930an dihamparkan. Kita akan melihat bagaimana mereka ‘bereaksi’ dan memilih aksi mengikuti perkembangan teknologi perfilman. Ketiga karakter ini pun bertransformasi sejalan dengan dunia mereka. Jadi bisa dibilang menonton Babylon ini seperti menonton karikatur sejarah Hollywood. Apalagi Babylon memang menggambarkan periode-periode itu dengan blak-blakan. Misalnya, ‘ajaib’ yang dimaksudkan saat berkata ‘set film adalah tempat paling ajaib di dunia’ tadi itu adalahbetapa rusuhnya sebenarnya proses syuting, tapi tetap berhasil tertangkap menjadi adegan dan film yang bagus. Saat nonton mereka syuting film perang kolosal bisu itu, aku beneran nyangka filmnya bakalan kacau. Gimana tidak coba; karena saat itu masih bisu, yang artinya studio hanya merekam gambar, di satu lokasi (padang gersang luas) ada banyak film/adegan yang disyut dalam waktu bersamaan. Dalam tone kocak, Babylon membuat syuting yang melibatkan banyak pemain ekstra tersebut dengan begitu rusuh. Skripnya ‘diperbaiki’ on the go, oleh Jack, sambil menenggak alkohol. Ekstra-ekstranya  ada yang terluka beneran (bahkan tewas hihihi). Kamera mereka rusak sehingga Manny harus ke kota minjem yang baru secepat mungkin, sebab sutradara mengejar waktu sunset. Dan ketika sudah mau mulai take adegan, si Jack udah terlalu mabok bahkan untuk berjalan. Semua itu kayak udah mau gagal. Tapi AJAIBNYA saat kamera roll, Jack mampu berakting ekspresi yang sempurna. Cahaya yang diincar dapet. Properti ledakan sukses. Semua kerusuhan dan kekacauan dan cek cok dilupakan. Semua bersorak mereka telah berhasil merekam adegan yang dahsyat. Babylon, dengan caranya tersendiri, berhasil membuat kita percaya para karakter – yang mewakili aktor-aktor dan pekerja film sekalian – adalah profesional yang benar-benar punya passion.

Sehingga industri Hollywood yang terus berkembang seiring teknologi dijadikan oleh film ini selain sebagai panggung, juga sebagai tantangan. Hollywood jadi karakter antagonis tersembunyi. Ketika teknologi untuk membuat film-bersuara ditemukan, kita diperlihatkan proses syuting yang kontras sekali dengan adegan syuting yang pertama tadi. Kali ini syuting dilakukan di dalam warehouse studio, tertutup, panas (karena kalo pakai AC nanti suaranya ikut kerekam). Bagi Nellie dan sutradara dan para kru, proses syuting film bersuara pertama mereka ini penuh tantangan, dan film sekali lagi menggambarkan frustasinya mereka dengan kocak. Enggak hanya harus menghapal naskah, Nellie disusahkan aktingnya oleh gerak yang kini terbatasi oleh posisi mic, misalnya. Tidak ada yang boleh bersuara. Kita bisa melihat take demi take untuk satu adegan yang terus aja ada salah teknis tu, membuat semua orang yang terlibat menjadi semakin senewen. Tapi karena passion itu tadi, they pulled through. Adegan sukses terekam (finally) dan semua bersorak. Melihat mereka berhasil rasanya ekivalen dengan kita menonton superhero berhasil mengalahkan musuhnya. Kekocakan dan kerusuhan bikin film tersebut lantas membawa kita kepada drama yang lebih personal tatkala tantangan itu semakin jauh dari zona nyaman para karakter. Ketika Hollywood terus melaju, menuntut mereka untuk memilih pada satu pilihan terakhir, stay atau pergi.

Sinema bagai mimpi yang tak terbatas. Itulah yang membuat Hollywood menjadi seperti kota Babylonia. Kota yang terus membangun menara setinggi langit, untuk mengejar posisi para dewa. Mengejar keabadian. Para ‘warga’ Hollywood juga mengejar hal yang sama. Dan dalam perjalanannya, tersilaukan oleh hal yang sama dengan yang membuat Babylonia ditertawai oleh para dewa. Ultimately, mereka harus sadar dari pesta pora. Bahwa – pepatah kita bilang manusia mati meninggalkan nama, no – manusia hanya bisa meninggalkan nama. Sementara film dan seni akan terus berkembang, manusia akan tergantikan. Beberapa tidak akan sampai ke puncak.

 

Ajaib tapi kasihan

 

Aku bahkan gak yakin di ending yang Manny nangis nonton Singin’ in the Rain itu harus merasakan apa. Merasa terkecoh, sih yang jelas. Karena seperti Tar (2022), ending Babylon juga sempat membuatku berpikir jangan-jangan film ini dari kisah nyata hahaa.. Tapi ini tentu saja terkecoh yang bagus, like, “that’s so good, you got me!” Pada momen itu memang Babylon mencuat jadi bagus, karena berhasil mengevoke dilema perasaan yang nyata. Apakah Manny nangis haru karena kisah mereka menginspirasi orang lain untuk film baru? Atau merasa kecewa karena bukan dia yang melihat itu sebagai karya? Babylon membuat kita mengalami chaosnya menjadi ‘penduduk’ dari sesuatu yang dengan cepat berubah, membuat kita melihat sesuatu yang grounded dari mereka semua.

Walaupun memang, dari presentasinya sendiri, Babylon ini merupakan film yang cukup susah untuk diikuti karena terlalu blak-blakan dan over-the-top. Film enggak takut untuk menjadi vulgar dan jorok, dan bahkan berdarah, karena di lain sisi, memang begitulah yang paling tepat untuk menggambarkan cara orang ‘survive’ di kota penggapai dewa tersebut. Selain tone dan gaya bercerita, banyaknya karakter juga bakal membuat penonton susah untuk attach. Pertama karena tidak semua dari mereka ditulis berimbang. Dan kedua, karena konsepnya adalah memperlihatkan bagaimana mereka bereaksi terhadap perkembangan jaman, maka film tidak benar-benar menyelam ke dalam journey mereka. Kita hanya melihat para karakter sebagai poin-poin. Mana motivasi, mana konflik, mana resolusi. Kita tidak pernah benar-benar utuh bersama dengan mereka. Akibatnya lagi, relationship yang terjalin antarkarakter jadi tidak mencapai efek maksimal. Salah satu hati dari cerita ini adalah hubungan yang terjalin antara Nellie dengan Manny. Aku suka dialog pas mereka pertama kali berjumpa. Mereka ngobrolin soal passion yang sama. Bahwa mereka akan sukses bareng di dunia perfilman. Itu salah satu momen genuine yang dipunya oleh film. Tapi pengembangan ini kemudian tidak terasa mengalir, karena ya kita hanya dibuat melihat mereka dari poin-poin itu tadi. Hubungan profesional dan hubungan mereka secara personal tidak pernah jadi diarahkan dengan jelas. Sehingga ketika di akhir mereka sepakat untuk hidup bareng, momennya kurang nendang. Aku gak tau apakah ini mungkin, tapi rasanya film ini perlu ngurangin sedikit energy chaoticnya supaya para karakter bisa lebih hidup lagi.

 




Film dalam film; film yang pakai adegan yang memperlihatkan backstage pembuatan atau bisnis film, selalu jadi soft-spot buatku. Makanya nonton film ini aku puas. Makin lama adegan-adegan mereka syuting, aku lebih senang. Dan di sini banyak banget adegan bikin-filmnya. Aku selalu kagum sama aktor yang berakting sedang akting, dan di sini mulai dari Margot Robbie hingga ke Brad Pitt nunjukkin penampilan akting yang demikian dengan sangat juara. Energi overall film yang chaotic dan over-the-top tidak menyentuh penampilan akting mereka yang total. Kecuali mungkin pas Nellie ceritanya mau melawan ular, itu konyol banget sumpah. Kayak kartun. Tapi sepertinya memang itulah konsep film ini. Kartun, parodi, dari bagaimana industri Hollywood berpengaruh kepada para pengejar mimpi seperti Nellie, Manny, Jack, dan banyak karakter lain. Cara lain untuk memandang film ini, adalah bahwa ia merupakan surat cinta tak-biasa, karena surat ini bukan hanya ungkapan perasaan yang merayakan cinta kepada sinema, tapi juga sentilan terhadap arahan industrinya. Perubahan itu bagus, dan bakal terus terjadi. Film sekarang bukan hanya bersuara, tapi berkembang lebih edan lagi dengan teknik digital, yang tentu saja ngasih challenge dan tuntutan baru. Semoga kecepatan itu tidak menjadi momok dan membuat kita lupa berpegang pada mimpi pada awalnya. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BABYLON

 




That’s all we have for now.

Jangankan Hollywood, di kita aja perputaran industri sudah cukup cepat. Salah satunya keciri dari cepatnya pergantian aktor-aktor muda. Bermunculan sutradara-sutradara baru dengan gampangnya. Apakah menurut kalian ini hal yang bagus atau gimana, mengingat state perfilman kita sekarang?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA