ARE YOU THERE GOD? IT’S ME, MARGARET. Review

 

“Childhood is a journey, not a race”

 

 

Anak-anak belum sepenuhnya bisa memahami banyak hal di dunia. Karena pemikiran mereka memang masih dalam tahap berkembang. Belum matang. Makanya anak-anak belum boleh bikin SIM, beli rumah, ikutan Pemilu. Apa-apa masih harus dengan persetujuan dari orangtua. Anak-anak belum bisa dipercaya untuk memutuskan sesuatu karena persepsi realita dan imajinasi mereka belum seutuhnya terbentuk. Jika kita yang dewasa saja masih suka bingung akan jati diri, bisa dibayangkan betapa bingungnya anak-anak terhadap dirinya sendiri. Mengalami proses perubahan tubuh, dan segala macam. Kita yang sudah dewasa diharapkan, bukan untuk mencampuri, bukan untuk mengafirmasi, bukan untuk menambah ribet hal dengan nambahin konsep-konsep aneh, bukan untuk memutuskan hal untuk mereka, melainkan untuk semata membimbing mereka melalui hari-hari penuh pertanyaan menuju proses dewasa tersebut. Mempersiapkan mereka untuk mengambil keputusan saat gede nanti. Saat waktunya tiba. Namun, bagaimana dengan agama? Inilah pertanyaan sensitif yang berusaha dibicarakan oleh Judy Blume ketika menulis novel Are You There God? It’s Me, Margaret di tahun 1970. Pertanyaan yang dirasa masih relevan oleh sutradara Kelly Fremon Craig sehingga kini dia mengadaptasi novel populer (dan tentu saja kontroversial) tersebut menjadi feature-film yang cukup langka dan berani. Coming-of-age story yang digabung dengan pencarian Tuhan.

Banyak dari kita yang terlahir ke dalam agama. ‘Ngikut’ dulu sama agama orangtua, sampai kita cukup dewasa untuk mutusin sesuai keyakinan sendiri mau stay atau pindah. Margaret dalam cerita film ini tidak bisa begitu. Karena ibu dan ayahnya punya agama yang berbeda. Ibunya Kristen, ayahnya Yahudi. Sebagai anak kelas enam, Margaret mulai kepikiran soal agamanya. Selama ini dia berdoa kepada Tuhan dengan caranya sendiri. “Halo Tuhan, ada di sana? Ini aku, Margaret” Begitulah Margaret berkomunikasi dengan Tuhan -seperti orang yang sedang menelepon – setiap kali dia mau curhat. Oh ya, sebagai anak perempuan yang udah mau remaja, pikiran Margaret pun mulai dirundung berbagai permasalahan yang malu-maluin kalo ditanyain ke orangtua. Mulai dari persoalan teman-teman di sekolah yang baru, naksir cowok, hingga soal tubuhnya. Margaret, seperti juga teman-teman gengnya, sudah gak sabar jadi wanita dewasa. Tapi setiap orang punya waktu yang berbeda-beda. Sebagai anak yang ‘mekar’ agak lambat, Margaret mulai insecure, kenapa dia punyanya belum gede juga, kenapa dia belum ‘dapet’ sementara yang lain udah. Permasalahan yang juga merambah ke persoalannya dengan Tuhan.  Margaret semakin bingung. Agama mana yang harus ia pilih supaya Tuhan menjawab keluh kesahnya?

Tuhan, aku salah sambung ya?

 

Perspektif yang kuat dan dikembangkan dengan respek menjadikan film ini menyenangkan sekali untuk ditonton. Kita benar-benar dibuat merasakan dan melihat dunia dari mata si Margaret. Anak sebelas tahun yang baru saja pulang dari summer camp, lalu harus pindah rumah, pisah dari nenek yang tadinya satu-satunya sahabatnya, dan di tempat yang baru dia menemukan teman-teman baru. Merasakan gejolak yang baru. Gejolak itulah yang tergambarkan luar biasa oleh film lewat keseharian Margaret, serta interaksinya bersama teman-teman. Bagiku dunia anak-anak yang tergambar di sini terasa familiar, sekaligus juga asing, karena sekarang aku benar-benar dibuat melihat dari sisi anak cewek. Gimana bedanya kelompok anak cewek berinteraksi; apa yang mereka bicarakan, apa yang mereka inginkan, apa yang mereka takutkan.  Perasaan mereka itu akhirnya jadi perasaan universal yang membuat film ini jadi begitu grounded. Sembari mempertahankan pesona kuat yang jadi bibit-bibit komedi dalam cerita. Margaret dan teman gengnya punya rule sendiri, punya ‘metode’ sendiri supaya dada mereka jadi seperti model di majalah dewasa punya ayah yang mereka ambil diam-diam hihihi

Margaret dan teman-temannya adalah anak-anak baik, tapi karena rasa ingin tahu alami yang mereka rasakan, mereka bisa bertindak cukup nakal. Dan it’s okay karena itu adalah proses belajar. Film mengeksplorasi itu dengan sangat lekat. Margaret yang akhirnya menyesal udah ngebully satu teman perempuannya yang paling cepat ‘gede’, misalnya Range kejadian film ini memang begitu beragam. Ini menurutku adalah keberhasilan sutradara dan penulis dalam mengadaptasi. Cerita dari novel dengan halaman sekian banyak, bisa mengalir dengan tetap enak ke dalam durasi seratus menit penceritaan. Jika diingat sekarang, banyak banget kejadian yang menimpa Margaret. Punya teman baru, berantem ama teman baru, liburan ke tempat nenek, liburan bersama teman, disuruh bikin tugas tentang topik yang ia pilih sendiri (Margaret memilih tentang agama). Tapi semuanya berhasil diikat runut sebagai perjalanan yang punya awal-tengah-akhir yang jelas. Perjalanan yang membawa pembelajaran terhadap Margaret, yang berarti karakternya punya pengembangan yang kuat. Gak semua film adaptasi novel bisa mencapai keberhasilan seperti ini, karena cerita dari novel umumnya kesusahan mengolah sekian banyak materi sehingga hasilnya ya entah itu terlalu sumpek atau jadi malah gagal menangkap apa yang ingin diceritakan. Film ini berpegang pada gagasan yang jadi visinya, dan berkembang tetap pada jalur itu. Banyaknya karakter sekalipun, tidak pernah jadi sandungan.

Yang benar-benar aku suka dari film ini adalah cara mereka mengaitkan kisah coming-of-age dengan bahasan yang hanya berani dibahas oleh sedikit sekali orang, apalagi di jaman sekarang. Soal pertanyaan terhadap agama. Tahun 2014 dulu film India, PK, mengangkat persoalan itu dengan membuat perspektif utama dari seorang alien. Supaya sudut pandangnya bisa lebih netral dan gak diprotes-protes amat. Margaret bukan alien. Dia anak perempuan yang mau jadi remaja. Tapi dia merasa tidak menemukan jawaban atas pertanyaan hidupnya karena enggak tahu cara menghubungi Tuhan yang benar. Maka Margaret nyobain berbagai macam ibadah. Pada satu minggu dia ikut nenek ke kanisah. Minggu berikutnya dia ikut temannya ke gereja protestan. Kesempatan lainnya dia ngintilin temannya melakukan pengakuan dosa di gereja katolik. Margaret menyebut, dia suka dengar ceramah, nyanyi-nyanyi, dan sebagainya, tapi dia belum merasakan keberadaan Tuhan di tempat-tempat itu. Sampai ada momen menyedihkan saat Margaret menulis surat kepada gurunya, bilang dia gak sanggup menyelesaikan tugas karena dia sampai sekarang masih belum menemukan agama yang tepat. Yang ada, dia malah merasa takut beragama.

Bayangkan kalo dibikin versi Indonesia, si Margaret bingung masuk Islam yang aliran mana, atau semacamnya.. wuihh pasti filmnya langsung dicekal

 

Memang topik yang jarang banget disentuh sedemikian rupa, let alone dari sudut pandang anak-anak. Tapi film ini berani dan tidak terjebak. Tidak menyuruh Margaret harus memilih saat itu juga. Tidak memaksa Margaret membuat keputusan. Dua nenek Margaret sempat saling bertengkar, masing-masing berusaha membujuk Margaret memeluk agama mereka, tapi film tetap berada di pihak orangtua Margaret. Melindungi sang anak dari semua pengaruh itu. Bukan karena tidak setuju dengan salah satu, melainkan karena itu adalah hak Margaret untuk memutuskan di saat dirinya sudah siap nanti.

Film menegaskan bahwa ini bukan cerita tentang perjalanan memilih agama. Melainkan perjalanan seorang anak menemukan keyakinannya terhadap Tuhan. Dikaitkan dengan kisah tumbuh-dewasa, film ini sekaligus mengingatkan kita untuk membiarkan anak-anak tumbuh, sebagai dirinya sendiri, dan – ini yang sekarang sering dilupakan orang – pada waktu miliknya sendiri. Childhood semestinya adalah pertumbuhan yang mereka alami dengan natural, dengan pacenya sendiri. Bukan tugas kita untuk memburu-burukan itu semua terjadi.

 

Gagasan ‘we grow as our own person, and in our own time’ tersebut ditegaskan film saat memperlihatkan hubungan antara Margaret dengan ibu dan dengan neneknya (ibu dari ayah) yang setelah sekian lama jadi orang terdekatnya. Tiga karakter ini yang sebenarnya jadi tonggak film secara keseluruhan. Abby Ryder Fortson bukan sekadar aktor cilik beruntung yang bermain bersama aktor sekelas Rachel McAdams dan Kathy Bates, gadis cilik itu juga membuktikan dia pantas bersanding dengan mereka. Ketiga aktor ini juga benar-benar menyokong film lewat permainan akting yang begitu natural, chemistry di antara mereka pun terhampar menyenangkan. Kathy Bates jadi nenek yang karakternya mengalami perkembangan dari cemburu dan gak suka cucunya dijauhkan darinya, menjadi seseorang yang akhirnya menemukan kembali hidupnya di umur yang sudah senja. Kepindahan Margaret memang berat bagi mereka berdua, tapi justru itu yang membawa masing-masing kepada pembelajaran personal. Ibu Margaret juga mengalami pembelajaran, tapi menurutku persoalan ibunya ini yang kurang maksimal dilakukan oleh film ini. Jadi Rachel McAdams memainkan karakter ibu yang cocok banget untuk ia perankan, ibu muda yang tipe membawa keceriaan dan tampak laid back padahal really care dengan keluarga. Tapi dia punya backstory yang cukup sedih, yaitu di-disowned oleh orangtuanya sendiri lantaran menikah dengan orang yang berbeda agama. Film meluangkan waktu untuk membahas itu hingga meresolve konfliknya. Tapi ada satu porsi dari karakter si ibu ini yang tidak dibahas lebih lanjut padahal paralel dengan persoalan menjadi our own person. Yakni soal dia dulunya adalah pelukis, dan sekarang meninggalkan hobi tersebut. Menurutku ini kalo dieksplorasi lagi, dapat menambah layer bagi pembelajaran Margaret.

Are You There God? It’s Me, Margaret sudah available di Apple TV, yang ingin nonton bisa langsung subscribe dari sini yaa https://apple.co/3Cjdu2j

Get it on Apple TV




Ceritanya boleh saja bersetting di tahun 70an, tapi esensi di baliknya benar-benar timeless dan universally grounded. Karena setiap anak punya masalah yang sama. Dan setiap orangtua bakal melakukan kesalahan yang sama. Penceritaan film ini tidak pernah terasa menggurui, namun terasa sangat jujur mengalir dari perspektif utamanya. Dari mata seorang anak perempuan yang juga sedang berusaha berkomunikasi dengan Tuhan. As for kids, Margaret dan teman-temannya mungkin bukan exactly ditonton untuk dijadikan sebagai role model, tapi mereka semua akan jadi teman yang baik untuk anak kecil seusia mereka yang menonton film ini. Teman yang mengerti kecemasan dan kebingungan apa yang bakal mereka hadapi dalam pergaulan sehari-hari. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for ARE YOU THERE GOD? IT’S ME, MARGARET

 




That’s all we have for now.

Sehubungan dengan itu, bagaimana pendapat kalian tentang pemberitaan baru-baru ini di Amerika soal bahasan LGBT (gender dsb) yang mulai diajarkan di sekolah-sekolah? Apakah memang perlu, atau apakah memang wajar jika ada orangtua yang menolak?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



SPIDER-MAN: ACROSS THE SPIDER-VERSE Review

 

“You are your own worst enemy”

 

 

Orang bilang musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri. Miles Morales menyadari itu tatkala dia bertemu dengan Spider-Man – Spider-Man lain dari entah berapa banyak universe berbeda. Orang-orang yang basically adalah dirinya sendiri. Yang punya kekuatan yang sama. Punya garis hidup dan masalah yang sama. Tentu it’s all fun and games kalo mereka sedang akur. Masalahnya, Miles gak bisa diam saja mengetahui dirinya dan juga Spider-Man lain bakal ngalamin kehilangan orang tersayang. Apalagi karena Miles masih punya unresolved conflict dengan ayahnya tersebut. Maka Miles pun mulai bergerak sendiri. Melawan ‘canon’ cerita Spider-Man. Melawan Spider-Society yang berusaha menjaga ‘canon’ tersebut. Ya, bagian kedua dari trilogi Spider-Verse ini didesain oleh sutradara Joaquim Dos Santos, Kemp Powers, dan Justin K. Thompson sebagai perjuangan seseorang melawan takdir yang telah dituliskan.

Karena memang, meskipun telah digariskan, tapi kesempatan mengubah nasib masing-masing itu sebenarnya masih terbuka. Kita menulis cerita hidup kita sendiri. Kita cuma perlu mengalahkan diri sendiri untuk bisa melakukannya.

 

Kehadiran film animasi Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018) lalu mengubah pandangan banyak orang terhadap apa yang bisa dilakukan oleh film animasi. Film tersebut bukan cuma punya cerita yang grounded yang berhasil mengikat soal pilihan hidup dengan konsep multiverse, tapi juga memperlihatkan potensi gila yang dipunya medium ini, jika punya kreativitas dan cukup nekat untuk melakukannya. Estetik buku komik yang dihadirkannya membuat nonton film itu serasa baca komik yang bergerak sendiri! Visual fluid lagi unik yang begitu groundbreaking tersebut lantas diadaptasi oleh berbagai film animasi sukses lain setelahnya, named Puss in Boots terbaru  yang berestetik anime dan The Mitchells vs. The Machines yang pake gaya kultur internet. Itulah, ketika film berlomba-lomba untuk ngasih kualitas yang bagus (bukan cuma berlomba ngejar ‘sekian penonton telah beli tiket di bioskop’) maka yang akan kita dapatkan ya kualitas yang bakal terus meningkat. Animasi Spider-Verse ini, contohnya.

Supaya gak kalah sama yang terinspirasi oleh film pertamanya, Across the Spider-Verse up the ante. Di film ini gambar-gambarnya meriah oleh berbagai macam estetik yang digabung menjadi satu. Estetik atau gaya animasi yang dipakai dikaitkan menjadi identitas karakter. Jadi, berbagai karakter dari bermacam semesta itu akan hadir lebih konsisten dengan estetik masing-masing. Spider-Punk yang dari Inggris, misalnya. Karakternya akan digambar dengan gaya grafiti anarki jalanan, sejalan dengan sifat karakternya yang punk abis. Salah satu musuh mereka, si Vulture, diceritakan datang dari Eropa jaman dulu, dan bentukannya juga klasik banget. Seperti coretan di kanvas kuning, gitu. Kalo penjahat utamanya, estetiknya lain lagi. Di sini kita berkenalan dengan karakter villain yang tadinya kayak harmless. Miles malah menjulukinya “Villain of the Week”, yang maksudnya sih meledek kemampuan anehnya yang tak seberapa. The Spot yang bentukannya item-putih tanpa wajah itu ‘cuma’ bisa bikin lubang-lubang yang bertindak semacam portal. Fight scene Spidey dan Spot awalnya tampak konyol, tapi karena portal-portal tersebut, adegannya jadi seru dan sureal. Unpredictable. Apalagi The Spot ternyata punya motivasi dendam yang cukup kuat terhadap Miles, sehingga kemampuannya tersebut berkembang menjadi lebih ‘menyeramkan’. The Spot-lah yang membuat anomali pada Spider-Verse karena dia bisa berpindah semesta seenaknya, dan ngambil kekuatan dari sana. Anomali yang akhirnya bikin rusuh seantero multiverse.

Aku masih ngakak dengar Nick New Girl jadi Peter Parker

 

Kita juga akan dibawa ‘verse’nya si Spider-Gwen, yang dunianya mungkin adalah yang paling ‘romantis’. Karena tergambar seperti ledakan warna cat air, yang warna backgroundnya seringkali berubah, meredup atau mencerah, sesuai mood cerita saat itu. Actually cerita Gwen sebagai (sepertinya) satu-satunya Gwen Stacy, the other love interest, yang jadi Spider-(Wo)man jadi salah satu perspektif pilar film ini. Film ini justru dibuka dari bahasan tentang Gwen dan dunianya. Tadinya kupikir film dibuka dari Gwen hanya sebagai device eksposisi, yang fungsinya menyegarkan ingatan kita kembali pada cerita film yang lalu. Tapi ternyata bahasan di situ cukup mendalam. Bumi-65 tempat Gwen tinggal akan disorot cukup banyak, kita akan lihat story si Gwen dan apa yang terjadi dengan Peter Parker di dunianya itu. Kita akan diperlihatkan juga relasi Gwen dengan ayahnya, yang kapten polisi. Dan di dua puluh menit pertama itu aku mulai merasa seperti punya spider-sense yang ngasih tahu ada sesuatu yang kurang beres pada naskah film ini.

Karena setelah dua-puluh menit, cerita lantas berpindah ke dunia Miles Morales. Kita akan diperlihatkan masalahnya dengan ibu dan ayah. Masalah yang grounded seperti Gwen dan ayahnya tadi. Bahwa anak-anak yang jadi superhero ini punya jarak dengan ayah mereka yang polisi. Meskipun memang buatku ini jadi pondasi drama yang kuat – karena biasanya dalam cerita superhero, protagonis justru punya masalah karena mereka harus mencari father figure, lantaran banyak superhero yang tidak tumbuh dengan sosok ayah, entah itu ayah kandungnya entah itu mati atau jadi jahat – tapi tetap saja film ini jadi aneh karena terasa seperti punya dua babak pertama. Dua babak set up. Untuk dua karakter utamanya, yang sepertinya film ini bingung mau nonjolin yang mana. Kedua karakter akan bertemu di babak kedua, yang involve banyak adegan aksi superseru. Salah satunya kejar-kejaran antara Miles dengan para Spider-Man. Yang menurutku inilah alasan kenapa para sutradara ‘gak jadi’ bikin film ini jadi perspektif cerita Gwen. Yang membuat mereka kembali ke Miles. Bayangkan John Wick dikejar-kejar satu kota, tapi ini adalah Spider-Man, dikejar oleh berbagai macam versi Spider-Man dengan berbagai macam kekuatan dan visual. Mereka pasti merasa sayang melewatkan ini. Cerita mulai memisah lagi antara Gwen dan Miles di babak ketiga. Gwen meresolve konfliknya dengan ayah. Sementara Miles, babak ketiganya belum berakhir karena dibikin sebagai cliffhanger. Dengan tulisan ‘bersambung’ pada layar!

Pengen nangis rasanya.. Damn you, Sony, for putting me on this tough spot!!

 

Orang bilang musuh terbesar kita adalah diri sendiri. Dan saat nonton film ini seperti ada pertarungan dalam diriku. Antara aku yang nonton untuk enjoy things, dengan aku yang nonton untuk mengulas tontonan tersebut sebagai film. Karena memotong film di tengah tidak akan pernah jadi penciri film yang bagus. It was a corporate move, to sell products! Bahkan dalam sebuah episode trilogi, ‘bersambung’ mestinya hanya dipakai untuk memancing minat penonton ke episode berikutnya setelah episode yang ini selesai. Or at least, ada sesuatu arc yang selesai. Jika film ini tetap pada Gwen sebagai tokoh utama, ‘bersambung’nya tadi akan bisa dioverlooked. Karena memang bahasannya dengan ayah, menemui penyelesaian di akhir. Contohnya film bagian kedua dari Trilogi Fear Street (2021). Secara picture triloginya, film itu memang episode flashback untuk pembelajaran karakter utama trilogi terhadap kekuatan musuh. Namun kita juga bisa melihatnya sebagai film utuh, sebagai cerita tentang seorang perempuan yang dibully dan relasinya dengan kakaknya di perkemahan musim panas. Sebuah cerita tertutup yang juga bertindak sebagai bridge ke bagian terakhir trilogi. Spider-Man: Across the Spider-Verse mestinya bisa bertindak seperti itu dengan menjadikan Gwen tokoh utama. Menjadikan ini sebagai closed story Gwen.  Story Gwen memang berakhir, tapi film membagi dua, dengan tetap memberatkan pada Miles. Memfokuskan action-action pada Miles, dan mengangkat banyak bahasan juga dari sana. Itu yang akhirnya bikin film ini tidak bisa berdiri sendiri. Tidak seperti film pertamanya yang masih mengangkat pertanyaan, sembari menuntaskan soal Miles dengan pilihannya. Film kedua ini bahkan tidak benar-benar berusaha memparalelkan kedua perspektif utamanya, sehingga kita jadi dapat dua babak satu dan dua babak tiga (yang satunya lagi dipotong). Gak heran durasi cerita bisa sangat molor, padahal pace cerita dan aksinya cepat-cepat semua.

 

 




Ini jadi satu lagi film yang membuat aku menangis. Karena aku memang sudah sangat suka. Gaya visual yang beragam, begitu unik dan ngasih sensasi magic of movies yang kuat. Seseorang di Twitter bilang “film ini membuat kita seperti melihat warna untuk pertama kalinya”, and somewhat aku setuju. Karakter-karakternya juga sukses bikin aku terpesona. Mereka semua menarik, dan tentu saja sangat kocak (karena mereka semua adalah Spider-Man yang memang harus lucu!) Aksinya superseru. Romance Gwen dan Miles cute dan sweet. Dan selera humor film ini juga cocok buatku. Referensi dan nostalgianya mungkin memang agak rapet. Mungkin gak semua penonton casual bisa menangkap. Karena seringkali jokes di sini membutuhkan ‘pengetahuan’ terhadap perkara Spider-Man, baik itu komik, film, atau media lain, yang sudah ada bukan dari kemaren sore melainkan bertahun-tahun. Favoritku adalah ketika Donald Glover interaksi dengan Miles Morales. Ini kocaknya layered banget, bukan saja karena Donald jadi Prowler versi live-action, tapi juga karena karakter Miles sendiri aslinya terinspirasi dari Donald Glover yang pengen jadi Spider-Man, dan kreator Spider-Man simply melihat Donald pakai kostum Spider-Man dalam salah satu episode serial komedi Community. Tapi in the end, aku tahu as much as I love it, aku gak bisa ngasih skor yang tinggi untuk film ini. Karena ini cerita yang tidak tuntas. Dan cerita tersebut tidak harus dilakukan dengan seperti ini. Ada opsi lain, yang mungkin memang lebih risky. But hey, seperti Miles yang menghadapi Spider-Man lain, kita semua harus bertarung dengan diri sendiri. Film harus bertarung melawan sisi korporatnya. Aku, well, I’m done fighting untuk film ini. Perkara sisi baik atau sisi jahat yang menang, itu lain cerita.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SPIDER-MAN: ACROSS THE SPIDER-VERSE

 




That’s all we have for now.

Kira-kira apakah kalian akan akur dengan versi kalian dari universe lain? Atau apakah kalian punya versi dark sendiri, bagaimana kalian bisa mengalahkannya jika kalian harus bertarung?

Share di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



THE LITTLE MERMAID Review

 

“We realize the importance of our voices only when we are silenced”

 

 

Banyak kelakuan dari Princess Disney yang simply not fly buat cewek jaman sekarang. Banting tulang ngurusin rumah, sampai ada cowok yang ngelamar? Kuno.  Ngefriendzone-in cowok sampai dia ngasih satu perpustakaan penuh buku-buku? Matre. Rela ninggalin rumah dan orangtua cuma demi cowok yang disuka? Huh, apalagi ini, kelihatannya kok clingy banget. Lemah. Untuk mengupdate value-value itulah, remake diperlukan (selain urusan cuan, tentunya). Setelah sekian lama Ariel dikatain princess yang paling ngeyel “gak punya masalah tapi lantas dicari sendiri”, kini Rob Marshall berusaha menghadirkan ulang cerita sang Putri Duyung dengan beberapa perubahan, terutama untuk menekankan kepada journey Ariel bukan sekadar perjalanan mengejar pangeran. Melainkan cerita seorang perempuan yang suaranya ingin didengar. Suara yang mendamba dunia yang lebih besar.

Remake live-action Disney sendiri, biasanya ada dua jenis. Yang mengangkat sudut pandang baru. Dan yang dibikin beat-per-beat persis sama dengan animasi originalnya, dan ditambah dengan beberapa perubahan. Rob Marshall membuat The Little Mermaid sebagai jenis yang kedua. The Little Mermaid versi baru ini alur, pengadeganan, dan dialog-dialog dasarnya sama persis dengan film animasinya tahun 1989 dulu. Ariel adalah putri duyung yang tertarik sama dunia manusia. Dia suka ngumpulin barang-barang manusia, meskipun dilarang oleh ayah yang menyuruhnya untuk gak usah dekat-dekat manusia. Karena berbahaya. Tatkala sedang melihat kapal yang lewat, yang actually hancur diserang badai, Ariel yang baik hati menyelamatkan seorang pria. Pangeran bernama Eric. Ariel jatuh cinta kepada Eric, membuat ayahnya – sang raja laut – murka. Ariel yang lagi down, jadi sasaran empuk muslihat Ursula. Penyihir laut yang menjanjikan putri duyung itu kehidupan sebagai seorang manusia. Dengan suara merdu Ariel sebagai bayarannya.

Tadinya mau minta jiwa si Flounder, but look at those fish eyes! By God, there’s no soul in there!!

 

Penambahan dilakukan di sana-sini guna menguatkan dan memperdalam konteks cerita. Ursula yang diperankan dengan legit fun oleh Melissa McCarthy, misalnya. Backstorynya diubah supaya Ariel bisa lebih terkoneksi sehingga lebih mudah bagi kita untuk percaya duyung remaja itu mau saja melakukan perjanjian dengan dirinya. Di cerita ini, dia adalah bibi Ariel yang diasingkan oleh King Triton. Ursula dibikin lebih ‘dekat’ dan ‘relate’ kepada Ariel. Tapi Ursula adalah contoh kecil penambahan backstory di sini ternyata benar menambah kedalaman bobot cerita. Contoh besarnya adalah backstory Eric. Di film aslinya, Eric ini generik sekali. Dia cuma cowok yang jatuh cinta sama perempuan bersuara merdu yang menyelamatkan nyawanya. Relasi Ariel dan Eric pun aslinya memang hanya sebatas ketertarikan secara fisik. Namun di film ini, ikatan keduanya jauh lebih grounded dan beralasan. Eric dituliskan sebagai anak angkat Ratu, yang suka melaut tapi juga mulai dilarang-larang karena berbahaya. Eric juga punya koleksi barang-barang laut karena dia penasaran sama dunia di bawah sana, paralel dari Ariel yang punya satu gua penuh koleksi barang-barang manusia yang ia pungut dari kapal-kapal yang karam. Kesamaan dengan Eric tersebutlah yang jadi ‘alasan’ Ariel jatuh cinta kepadanya. Kesamaan ide, pandangan, bahkan tantangan.

Menurutku penjabaran backstory itulah yang terbaik yang ditawarkan oleh film, karena dengan ini romance mereka terasa lebih berarti. Mereka bukan lagi sekadar orang-orang cakep yang jatuh cinta. Karakter-karakter tersebut jadi punya lebih banyak bobot untuk kita pedulikan. I mean, bahkan adegan di dunia manusia terasa lebih menyentuh dan genuine ketimbang Ariel di laut, saking groundednya interaksi Ariel dan Eric, sebagai dua manusia yang share interest terhadap dunia masing-masing. Momen-momen itu yang gak dipunya oleh film aslinya, yang memang karena diset untuk tontonan anak-anak, membuat romansa mereka simpel dan gak dalam.

Untuk mencapai itu, yang diubah oleh Marshall sebenarnya adalah tema ‘Voice’. Suara. Bandingkan opening film asli dengan film live-action ini. Para pelaut di dua film ini membicarakan duyung dalam ‘nada’ yang berbeda. Yang animasi, ngeset up para duyung sebagai makhluk majestic bersuara indah. Bahkan Sebastian si kepiting literally adalah pemimpin konser, dan putri-putri Triton (termasuk Ariel) adalah penyanyinya. Suara, di film animasi, merupakan lambang inner-beauty. Ketika Ariel khawatir dia tidak bisa mengucapkan cinta kepada Eric karena suaranya diambil, Ursula mengusulkan untuk menggoda dengan kecantikan fisik. Di film live-action ini, suara duyung pada adegan awal diset sebagai sesuatu yang mengerikan. Suara godaan yang menggiring pelaut menuju karam. Suara ini leads ke persoalan prejudice antara manusia ke duyung, yang berakibat duyung juga menganggap manusia berbahaya. Film Rob Marshall punya konteks dua kubu yang saling membenci, dan Eric dan Ariel jadi penengah karena mereka membuka diri untuk melihat dunia yang lain. Suara jadi power bagi Ariel, yang naasnya harus ia buang jika dirinya mau diterima. Dia harus patuh kalo mau diterima Ayah. Dia harus tak-bersuara jika mau diterima manusia.

Kata-kata Triton kepada Ariel di akhir menyimpulkan segalanya. Bahwa suara kita adalah hal penting. Satu-satunya cara supaya apa yang ada di dalam kita, didengar. Jangan bungkam hanya supaya kita diterima. Kita gak bisa hanya diam kalo menginginkan perubahan.

 

Aku yakin itulah yang jadi alasan kenapa mereka nge-race swap Ariel. Meskipun bilangnya bukan perkara ras, tapi konteks film ini butuh Ariel sebagai seseorang yang menyuarakan hal yang tak bisa ia miliki. Lagu pamungkasnya menyebut “part of that world” untuk menekankan bahwa ini juga tentang orang-orang yang mendambakan kesempatan yang lebih besar, minoritas yang ingin setara.  Jadi secara konteks tersebut, Ariel akan lebih believable jika dibikin sebagai a color person. Like, bayangkan saja jika yang mengeluhkan suaranya yang tak didengar, yang pengen masuk ke ‘dunia orang’ itu, seorang putri raja berkulit putih. Gak akan believable, dia malah akan terdengar manja – just like Ariel di animasi yang setelah sekian lama banyak orang yang menganggapnya cuma mendambakan cowok manusia. Apalagi di iklim sekarang, memasang Ariel yang seperti itu hanya akan terdengar tone-deaf. Jadi ya, aku pikir Disney harus mengganti sosok Ariel dengan sosok yang pantas menyandang permasalahan tersebut. Dan dapatlah kita Halle Bailey, yang secara gestur dan suara benar-benar menakjubkan sebagai Ariel. Ngecast aktor yang bisa nyanyi menambah efek magis pada film ini. Yang bahkan, arahannya saja seringkali tidak bisa mengikuti.

Ku cuma penasaran, itu lehernya apa gak terkilir, rambutnya apa tidak berat di-whip saat basah-basah begitu?

 

Begini-begini, lagu Disney kesukaanku (of all time!) adalah Part of Your World.  Saking sukanya aku bahkan nyimpen slot save khusus di game Kingdom Hearts 2 di part mini game Part of Your World supaya aku bisa mainin lagu itu terus-terusan. Anyway, I think versi Halle seperti menggambarkan perasaan yang lebih mendobrak. Momen tangan Ariel menggapai lewat lubang juga dibuat begitu intens (kalo di horor, udah kayak tangan mayat yang menerobos keluar dari kuburannya) Hanya saja, karena film ini sama persis beat-to-beat dengan versi original, secara kronologi dan bangunan intensitas, keseluruhan adegan nyanyi Part of Your World itu jadi kerasa aneh. Karena di film aslinya, lagu itu adalah suara hati Ariel sehabis di ultimatum Ayah. Di titik itu dia belum kepikiran mau ke dunia manusia. Tekadnya itu baru muncul saat setelah menyelamatkan Erik. Jadi momen itu, Ariel lagi nelangsa. Jodie Benson tepat menyanyikannya dengan sense of longing yang sedih yang nanti berubah naik saat di batu karang. Flownya enak. Part of Your World versi Halle didesain untuk lebih kuat, sehingga gak cocok lagi ditempatkan di ‘posisi’ yang sama. Film ini harusnya mengubah susunan adegan. Yang kita lihat di sini, emosi Arielnya jadi gak mulus naik. Dia udah jor-joran di lagu itu, tapi puncaknya (di batu karang) seperti tertunda adegan penyelamatan.

Memang paling baik jika adaptasi atau remake berani mengubah. Film ini sepertinya tahu itu tapi gak berani mengubah total. Buktinya mereka berani mengganti Scuttle dari burung camar menjadi burung Gannet yang bisa menahan napas cukup lama di dalam air. Demi membangun aspek Ariel yang dilarang ke permukaan (aspek ini tidak ada di film originalnya). Supaya momen pertama Ariel ke permukaan tidak terganggu, kan gak lucu kalo dia ke permukaan hanya karena pengen ngobrol sama si Scuttle. Pengennya sih, film ini lebih banyak komit ke penambahan/perubahan, seperti begitu. Karena banyak perubahan yang jadi kurang berefek karena film terlalu ngotot sama ngikutin originalnya. Kayak lagu Part of Your World tadi. Contoh lainnya adalah pasal perjanjian Ariel dengan Ursula. Film ini menambahkan klausul Ariel disihir supaya dia lupa akan batas waktunya, dia dibikin lupa harus berhasil mencium Eric(with true love dan full consent!) dalam waktu tiga hari. Hal itu ditambahkan supaya Ariel dan Eric bisa menumbuhkan cinta genuine – which is great. Tapi film juga gak mikirin gimana Ariel bisa ingat, sehingga jadilah kita mendapat banyak adegan Sebastian dan Scuttle berusaha membuat Eric mencium Ariel. Yang akhirnya hanya membuat Ariel tidak banyak beraksi selayaknya tokoh utama. Sampai-sampai for some reason, kita malah mendapat Awkwafina nge-rap dengan suaranya yang cempreng itu. Disney, why do you hate us?

Film lantas sadar mereka butuh mengembalikan Ariel kepada action. Jadilah di final battle dengan Ursula, film mengubah… well, film tidak mengubah full sesuai dengan kebutuhan untuk memperlihatkan aksi Ariel sebagai tokoh utama yang akhirnya bisa mengalahkan Ursula. Melainkan, film hanya mengubah satu detil dari adegan di versi asli. Yaitu alih-alih membuat Eric yang melayarkan kapal supaya tiangnya menusuk si Ursula raksasa (dan dalam prosesnya membuat Eric- dan manusia secara umum – worthy di mata ayah Ariel), film ini malah membuat di momen itu Ariel si putri duyung yang menggunakan garpu untuk menyisir rambutnya tiba-tiba paham gimana kapal bekerja, dan dia-lah yang mengarahkan kapal untuk menusuk Ursula. Dan kita semua diharapkan untuk tepuk tangan dan bersorak “Hore, hidup perempuan berdaya!” Well, aku suka kalo perempuan dibuat berdaya, tapi tidak seperti ini cara mainnya. Adegan battle itu harusnya disesuaikan dengan yang ingin diangkat. Film yang sudah dirancang dengan konteks baru harusnya lebih banyak melakukan pengadaptasian, tidak cukup hanya dengan ngikutin beat-to-beat film aslinya.

Tapi aku yakin anak-anak pasti suka ngelihat duyung-duyung di sini. Kalo kalian punya adik atau keluarga yang masih kecil dan suka tontonan hewan dan manusia, di Apple TV+ ada loh tontonan yang pas dan seru berjudul Jane, tentang anak kecil yang menyelamatkan hewan-hewan langka, pake kekuatan imajinasinya! Tinggal klik ke link ini yaa untuk subscribe https://apple.co/3OL4MkQ

Get it on Apple TV

 

 

 




Perubahan film harus lebih total. Padahal mereka udah berani ganti sosok protagonis dan karakter lain. Mereka nekat pakai hewan laut yang realistis, misalnya, tapi mereka gak berani untuk mengubah atau melakukan adegan dengan berbeda. Adegan yang lebih cocok untuk konteks yang mereka pasang. Like, lagu Under the Sea saja ujung-ujungnya tetap menampilkan hewan laut yang bertingkah ‘ajaib’. Film tetap diarahkan beat-to-beat sama, supaya bisa meniru momen-momen ikonik. Film gak pede dengan perubahan atau penambahan yang mereka lakukan. Padahal secara konteks, film ini lebih kuat loh. Berhasil memperdalam bahasan dan karakter. Ariel saja  berani ke permukaan, masa film ini gak berani sih mengarahkan adegan-adegan ke ‘uncharted water’.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE LITTLE MERMAID

 




That’s all we have for now.

Kasian ya si Halle Bailey, dia masih banyak dihujat perihal dicast jadi Ariel. Menurut kalian kenapa sih kita susah menerima sesuatu yang tidak familiar bagi kita? Menurut kalian penolakan public kepada Halle sebagai Ariel sebenarnya terdorong oleh apa?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



HATI SUHITA Review

 

“True love is about growing as a couple”

 

 

Barangkali inilah pentingnya cinta. Jika rumah tangga adalah kebun bunga, maka cinta adalah airnya. Tanpa ada air, bunga-bunga itu akan layu. Kasihannya, masih sering didapati rumah tangga yang dimulai bukan atas saling cinta. Melainkan sebuah perjanjian. Atau biar terdengar agak romantis, istilahnya disebut perjodohan. Rumah tangga Alina dalam Hati Suhita yang diadaptasi Archie Hekagery dari novel, contohnya. Hati Suhita diarahkan oleh Archie untuk memperlihatkan perjuangan Alina menyirami rumah tangganya yang kering kerontang. Supaya ibu-ibu yang nonton bisa bergemes-gemes ria, memilih ship favorit mereka dari segi tiga yang terlibat di dalam cerita. Tapi di sisi lain, Archie sendiri jadi tidak sempat menyiram pokok permasalahan sebenarnya. Soal perjanjian yang berakar dari perjodohan, yang berkaitan erat dengan hal yang membuat kisah ini jadi novel yang spesial; identitas karakternya.

Alina Suhita adalah anak pesantren. Sejak kecil dia sudah dijodohkan sama anak pemilik pesantren besar tempatnya menimba ilmu. Alina dan Gus Birru, sudah dipupuk untuk menjadi pasangan penerus Pondok Pesantren Al-Anwar tersebut. Keduanya memang lantas tumbuh jadi orang-orang hebat. Cerdas, karismatik, taat beragama. Amanah untuk jadi pemimpin pesantren sepertinya gampang saja mereka emban. Tapi tidak demikian dengan amanah yang satunya; jadi pasangan. Alina dan Gus Birru toh memang kemudian dinikahkan. Tapi walaupun Alina tampak berusaha menjadi istri yang baik, Gus Birru tidak mau membuka hatinya karena cowok ini cinta sama cewek terpelajar lain. Rengganis. Sehingga Alina dan Gus Birru akhirnya membuat perjanjian untuk berpura-pura jadi suami istri yang harmonis, padahal aslinya tidur seranjang pun Gus Birru ogah.

Wife without benefits

 

Hati Hati Suhita ada pada tempat yang tepat. Film ini menggali dari sisi manusia para karakternya. Menggali hubungan mereka. Bukan hanya Alina yang permasalahannya dieksplorasi oleh film, meski memang film ini paham betul betapa pedihnya keadaan tersebut bagi Alina, sehingga menggali di sini, Dan terutama berusaha nge-cash in dari sini, Memancing emosi penonton dari pengembangan yang detil (tapi gak lebay) dari gimana sih ketika seorang perempuan yang ingin jadi istri soleha bagi keluarga besar dan suami, tapi tujuannya tersebut ternyata sekaligus jadi antagonis baginya. Mulai dari mencoba merayu, ngebaik-ngebaikin, ngerawat saat sakit, hingga balas cuek, semua aksi Alina  sukses membuat berbagai kelompok ibu-ibu yang nonton satu studio denganku bereaksi, bersorak-sorai riuh rendah. Malah ada yang sempat menghunus hapenya, siap untuk merekam layar bioskop (sebelum akhirnya dilarang oleh temannya sendiri).

Opening kredit film ini bekerja efektif dalam mempersiapkan kita kepada konflik setiap karakter sentral, serta dilakukan dengan ekstra dramatis. Baru ini kayaknya film yang menggunakan shot drone dengan begitu menyeluruh. Kemegahan pesantrennya tertangkap.  Konflik dua, eh tiga! karakter sentralnya  juga sekaligus berhasil terlandaskan dengan kuat. See, keadaan mereka sangat kompleks. Yang terluka bukan hanya Alina. Gus Birru yang selama ini aktivis yang memperjuangkan kebebasan juga merasa terkekang karena perjodohan. Rengganis, pacar Gus Birru juga manusia yang punya perasaan – yang juga hancur karena cintanya tiba-tiba kandas begitu saja. Film mencoba menggali mereka dengan adil, tidak ada yang dibikin totally jahat banget, ataupun dibikin pasrah-pasrah aja. Di balik Gus Birru yang dingin kepada Alina (karakter ini harus dibikin supercuek dulu supaya nanti bisa dilihat developmentnya), kita juga dikasih lihat gimana dekatnya dia dengan Rengganis. Bahwa keduanya itu share mutual interest, dan connected oleh ide. Aku bisa mengerti gimana dua orang ini bisa saling cinta. Kepada Alina, film juga memperlihatkan di balik sikap dinginnya yang menyangka Alina mau dijodohkan demi posisi di Pesantren, Gus Birru toh kecantol juga melihat kepintaran Alina dan terutama saat mendengar suara merdu Alina membaca Al-Qur’an. Hal tersebut didesain memang supaya penonton makin penasaran ke mana akhirnya cinta itu berlabuh. Banyak momen didedikasikan film ini untuk bikin penonton geregetan, misalnya kayak membuat ketiga karakter seolah akan bersirobok di sebuah kafe buku. Ditambah pula dengan kehadiran karakter pendukung, seperti ‘comebacknya’ Desy Ratnasari yang jadi mertua Alina, yang terus mendorong Alina supaya makin mesra pada Gus Birru, film semakin memanjakan rasa gemes-gemes penasaran penonton.

Namun bahkan di gurung pasir pun bisa tumbuh bunga. Yang berarti, cinta masih tetap hadir di tempat kering sekalipun. Persoalan kehadiran cinta dan mengenalinya untuk bisa tumbuh bersama itulah yang sebenarnya dibahas oleh cerita Hati Suhita. Berbagai karakter itu punya cinta dan cara tersendiri, ini adalah soal saling mengenali dan memahami sehingga akhirnya bisa tumbuh bersama. Itulah cinta sejati.

 

Film ini ngebuild ‘nikah-tapi-gak-dijamah’ sebagai sesuatu yang menyakitkan, membangun usaha Alina untuk menunjukkan cintanya kepada Gus Birru sebagai sesuatu yang pedih karena tak-berbalas, dan juga menampilkan relasi karakter lain untuk menambah serunya masalah hati mereka. Di menjelang akhir malah ada sekuen yang clearly mengajak bermain-main ekspektasi penonton terhadap siapa jadian dengan siapa. Itu semua memang bikin penonton menggelinjang, tapi film ini seperti meninggalkan banyak konteks yang menyertai karakter-karakternya tersebut. Yang kubicarakan di sini adalah konteks pesantrennya. Latar yang membentuk siapa mereka-mereka ini tidak benar-benar dibahas, melainkan ya sebagai ‘kostum’ saja. Film Hati Suhita kebanyakan hanya berkutat di efek perjodohan terhadap tiga karakter sentral, tapi tidak pernah benar-benar mengembalikan bahasan kepada perjodohan tersebut. Padahal ini penting, kenapa? Karena ini berkaitan dengan konteks ‘dari mana mereka berasal’, yang berarti karakter mereka baru bisa kita selami sepenuhnya ketika konteks ini dihadirkan. Tanpa konteks pesantren, film ini tak ubahnya seperti cerita perjodohan random. Like, diganti jadi bertempat di perusahaan besar pun bisa. Mari kita buktikan dengan mengganti istilah pesantren dengan ‘perusahaan’ pada sinopsis di atas:

‘Alina Suhita adalah karyawan perusahaan. Sejak kecil dia sudah dijodohkan sama anak pemilik perusahaan besar tempatnya bekerja. Alina dan Gus Birru, sudah dipupuk untuk menjadi pasangan penerus Perusahaan Al-Anwar tersebut. Keduanya memang lantas tumbuh jadi orang-orang hebat. Cerdas, karismatik, taat beragama. Amanah untuk jadi pemimpin perusahaan sepertinya gampang saja mereka emban. Tapi tidak demikian dengan amanah yang satunya; jadi pasangan. Alina dan Gus Birru toh memang kemudian dinikahkan. Tapi walaupun Alina tampak berusaha menjadi istri yang baik, Gus Birru tidak mau membuka hatinya karena cowok ini cinta sama cewek terpelajar lain. Rengganis. Sehingga Alina dan Gus Birru akhirnya membuat perjanjian untuk berpura-pura jadi suami istri yang harmonis, padahal aslinya tidur seranjang pun Gus Birru ogah.’

Kan, ceritanya jadi generik karena konteks pesantren sama sekali tidak dibawa. Konteks yang kumaksud adalah dasar pemikiran karakternya.  Bahwa perjodohan adalah perintah orangtua, yang mereka anggap sebagai amanah. Bagaimana di mata Alina menjadi istri yang baik adalah istri yang taat suami. Sementara di mata Gus Birru yang taat agama menghormati perempuan adalah dengan tidak menodainya. Yang kumaksud adalah cerita Hati Suhita yang bersetting di pesantren itu harusnya bisa lebih kompleks lagi ketimbang yang actually kita tonton (tentang berusaha bikin orang yang gak cinta, menjadi cinta). Jika konteks agama atau pesantren itu digali lebih dalam, masalah Alina bakal lebih rumit bukan lagi sekadar belum pernah disentuh, tetapi bagaimana dia merasakan mengikuti perintah agamanya (dengan ngurus keluarga dan nurutin kata suami) ternyata belum cukup baginya. Masalah Gus Birru terhadap perjodohan bakal lebih berlapis karena ini juga menyangkut perintah orang tua dan bagaimana dia selama ini gak cocok dengan ayahnya, dan bagaimana dia yang menolak menggauli istri yang bukan pilihannya itu bisa jadi bukan karena dia tidak cinta melainkan perlawanan terhadap ayah. Dan si Rengganis, maaan, mestinya dia yang paling pedih karena bentuk cinta yang ia harus jalani adalah mengikhlaskan. Perjalanannya sebenarnya lebih dramatis jika konteks identitas mereka diperkuat. Lingkungan pesantren itu sendiri juga harusnya bisa jadi ‘gudang contoh kasus’ tempat mereka belajar penyadaran masing-masing, bukan lagi sekadar tempat karakternya berkarya dan nunjukin kehidupan profesional.

Paling males kalo ibu udah pake jurus “Semalam ibu mimpi…”

 

Aku pikir itulah  juga kenapa delivery para karakter sentral tidak terasa sekonsisten karakter pendukung. Nadya Arina, Omar Daniel, dan juga Anggika Bolsterli memainkan karakter mereka dengan emosi ataupun intonasi yang sering kurang terasa kontinu. Atau mungkin, tidak kena pada sasaran, seolah mereka sendiri juga ragu dengan apa yang dirasakan karakter. Misalnya ketika dialog di kafe soal menghamili supaya ‘sandiwara’ mereka tetap terjaga dan permintaan Abah dan Ummi terpenuhi, dari nadanya aku pikir Alina setuju (walau dengan sarkas) tapi ternyata pada adegan berikutnya, dia menolak mentah-mentah. Atau ketika Alina dan Rengganis ngobrol di dapur; ku gak yakin mereka memang saling ngasih semangat atau nebar kode buat saingan. Bahkan hingga cerita berakhir, aku masih meragukan Alina dan Gus Birru sudah beneran saling cinta, bukan masih karena amanah dan mikirin Ummi dan Abah.

Konteks yang disisakan film salah satunya hanyalah soal karakter yang suka berkunjung ke makam Sunan/Wali untuk menenangkan diri. Which is great, budaya masyarakat mengalir kuat dari sini. Menambah sesuatu yang baru, yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Tapi efeknya juga akhirnya tidak besar. Aku lebih memilih mereka benar-benar memperlihatkan Gus Birru mengaku kepada orangtuanya, misalnya. Di film ini, adegan itu diperlihatkan cuma sebatas adegan tanpa dialog, slow-motion diiringi lagu. Padahal itu momen penting bagi Gus Birru yang telah menyadari kesalahannya. Itu juga momen akhirnya dia berkonfrontasi dengan ayahnya. Film ini lebih butuh momen-momen besar seperti itu ketimbang momen ngeswerve kita soal siapa ternyata mencintai siapa. It gets really draggy sekitar dua-puluh menit terakhir karena film berusaha bikin kita naik turun dengan ngasih red herring soal siapa yang dipilih si karakter untuk jadi pasangannya. Yang menurutku sebenarnya gak perlu, lebih baik waktunya dipakai untuk adegan pembelajaran yang personal seperti Gus Birru dengan ayahnya. Pacing film juga jadi aneh karena ini. Film yang di awal-awal sering terasa kayak terlalu cepat exit adegan, pas di belakang tau-tau jadi melambat. Dan akhirnya jadi kayak kehilangan momentum karakternya balikan, karena terlalu lama pada sekuen swerve. Lucunya memang film ini tuh kayak puncak dramatisnya tu ada di adegan pembuka tadi. Epik sekali. Sementara ke belakangnya enggak ada lagi adegan seperti demikian. Selebihnya film tidak pernah lagi ‘ekstra’ seperti itu. Padahal mestinya adegan opening itu cuma semacam ‘teaser’ untuk apa yang akan ada di akhir.

Sebenarnya, ada sih satu momen yang buatku cukup surprise. Kayak out of left field, gitu. Unexpected. Yaitu ketika Gus Birru menyadari dia sesuatu dari menonton film dokumenter buatan salah satu karakter. Ini ngingetin aku sama The Fabelmans (2022), yang memang film itu ingin memperlihatkan kekuatan dari filmmaking.  Adegan di Hati Suhita ngingetin, tapi tak sekuat itu karena di adegan itu Gus Birru sadar lewat dialog yang ia dengar, bukan dari gimana adegan film yang ia tonton bercerita.

 

 




Untuk mengincar cerita yang bisa digemes-gemesin oleh penonton, film ini berhasil mendaratkan tujuannya. Arahan film memang sepertinya total untuk ke sana dan dilakukan dengan elegan pula. Permasalahan perjodohan, orang ketiga, suami yang tak-cinta diceritakan dengan enggak lebay dan menarik. Bahasan karakternya juga berimbang, sehingga jadi cukup dramatis. Tapi sepertinya ada konteks yang hilang. Film dengan latar yang kuat itu harusnya tidak jadi segenerik seperti yang kita tonton ini. Pilihan dan journey karakter yang kita lihat seperti kurang konsisten, karena ada konteks dari mereka yang mungkin sengaja tidak dibahas mendalam. Jadinya seperti bermain di kulit luar saja. Film jadi seperti terlalu jinak dan menghindari banyak potensi bahasan yang menantang. Karena bagaimana pun juga ini kan adalah cerita perjodohan pada karakter dalam ruang agama. Ketika persoalan amanah dan hati diadu.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HATI SUHITA

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang sikap Gus Birru dalam film ini? Apakah menurut kalian dia cinta kepada Alina?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



KAJIMAN: IBLIS TERKEJAM PENAGIH JANJI Review

 

“Come back. Even as a shadow. Even as a dream”

 

 

Kualitas horor kita demikian rendahnya sehingga setiap kali ada yang bilang ada horor baru yang bagus lagi tayang, ekspektasiku langsung meroket. Dan lantas seringkali dengan dramatis terhempas ketika aku selesai menonton filmnya. Kajiman: Iblis Terkejam Penagih Janji adalah salah satu dari film horor yang seperti begitu. Padahal nama di balik film ini harusnya dapat jadi jaminan mutu yang cukup. Tapi enggak. Adriyanto Dewo, sebelumnya dikenal lewat drama yang grounded semacam Tabula Rasa (2014) dan Mudik (2019),  tampak mentah banget menggarap horor santet-santetan ini. Kajiman mungkin memang dibuat untuk tidak dikaji mendalam, tapi ceritanya yang menyimpan banyak sisi si protagonis dari kita membuat film jadi setengah menghibur pun tidak. Dan celakanya malah seperti mengorbankan kepada setan drama personal yang dimiliki oleh sang protagonis.

Kalian yang ngikutin blog ini pasti paham aku sengaja enggak mengulas begitu banyak horor baru yang tayang di bioskop beberapa bulan belakangan. Karena simply aku jenuh dan gak mau blog  ini jadi kayak kaset rusak yang mengulang-ulang pembahasan yang sama. Karena begitulah state horor kita semenjak horor viral yang satu itu tembus sepuluh juta. Horor yang tayang gitu-gitu melulu, dengan permasalahan seragam, pakai sedikit bumbu kekerasan, dan walaupun mengangkat berbagai nilai lokal tetapi isinya tetap kosong.  Ujungnya gak jauh-jauh dari kesurupan, ritual ilmu hitam, dan pelaku sebenarnya ternyata orang ‘tak-terduga’. Saat dimulai, Kajiman toh terasa berbeda. Cerita film ini mengambil perspektif seorang perawat bernama Asha yang terkenang momen bersama ibunda. Untuk alasan inilah aku menuliskan ulasan Kajiman. Film ini punya something di situ. Pada karakter yang begitu sayang, merindukan, dan merasa bersalah sekaligus kepada ibu yang telah meninggal. Efek kematian ibu begitu terasa bagi Asha, digambarkan oleh film lewat ‘flashback’ yang seamless – menyatu banget. Kita pertama kali melihat Asha saat perempuan itu berbaring di tempat tidur bersama ibunya yang sakit – adegan tersebut ternyata hanyalah kenangan, namun dibuat menyatu dengan masa present Asha sekarang. Dan kita tahu itu dari gimana perfectnya film menampilkan tanda-tanda visual yang kontras.

Satu lagi yang aku suka dari cara film menggambarkan rasa kehilangan Asha adalah lewat suara-suara ibunya. Bergaung saat Asha lagi mandi, atau lagi baru bangun, misalnya. Membuat Asha terkesiap. Didera rindu dan takut secara bersamaan. Suara-suara, yang dengan bijak diperdengarkan oleh film dengan ambigu. Apakah itu memang suara hantu, atau suara dari kenangan Asha. Elemen mendengar suara dari our deceased parents, atau orang yang kita cintai, atau yang familiar bagi kita, menambah lapisan realisme yang bikin film ini jadi relate. Aku waktu kematian kucingku, si Max, aja juga sering ngerasa seperti masih mendengar suara mengeongnya di luar. Minta masuk untuk makan, seperti biasanya. Film Kajiman punya sesuatu yang spesial untuk diangkat dari personal Asha. Karakter tersebut juga mestinya bisa jadi lapangan bermain baru bagi Aghniny Haque yang biasanya cuma dipasang buat jadi cewek jagoan yang literally jago berantem. Yakni karakter yang dihantui perasaan personal yang kuat. Journey psikologis mengikhlaskan yang pasti menarik sekali.  Hanya saja, semua yang menarik dari karakter dan film ini buyar begitu lewat sepuluh menit, kredit judul nampang, dan cerita mulai khusyuk dengan tren horor masa kini: teror saat menjaga orang sakit, pesugihan, dan perang ilmu hitam.

Gak akan percaya lagi sama horor yang judulnya panjang banget kayak mau muat semua SEO tren horor viral

 

Tidak akan pernah kita dibikin in-line sama apa yang dirasakan Asha. Sama apa yang sebenarnya sedang ia lakukan dan ia inginkan. Film hanya membuat kita bengong aja menyaksikan Asha nanti ngambil kerjaan sebagai suster pribadi. Merawat Tyo Pakusadewo yang sakit di rumah gede milik pasangan suami-istri yang misterius. Melihat Asha diganggu penampakan, dan minta tolong sama paranormal yang ia percaya. Paranormal yang ia temui di tengah jalan. Terdengar mencurigakan? Memang. Tapi film cuek bebek, dan gak pernah membahas hal-hal aneh yang harusnya dibahas. Karena hal-hal itu akan dibahas di akhir sebagai ‘plot twist’. Inilah yang aku gak suka dari kebanyakan horor Indonesia. Menghindar dari membahas permasalahan karakter dengan malah menjadikannya sebagai kejutan di akhir. Hanya demi ‘cerita yang tak-tertebak’.

Padahal horor bukan semata soal jumpscare. Bukan perkara kejutan siapa sebenarnya yang jahat. Bukan persoalan karakternya selamat atau tidak. Horor itu ya kita harus dibuat mengerti dulu ketakutan yang dirasakan si karakter dari dalam. Kita harus paham karakter selamat dari apa, maknanya apa bagi trauma dia. Dan itu gak bisa hanya dengan membuat kita nontonin gimana kejadian demi kejadian terungkap. Like, kita gak akan peduli sama karakter Rama. Perawat cowok teman si Asha di rumah sakit, yang tau-tau oleh film ini dibuat jadi laksana jagoan. Di pertengahan, tau-tau kita ngikutin Rama berusaha memecahkan apa yang sebenarnya terjadi, sementara si Asha terbaring tidak berdaya sehabis kesurupan dan melawan dukun. Kita gak tahu siapa karakter Rama ini, set up nya cuma dia ini orangnya care banget sama teman-teman, dan bahwa dia lahir selasa kliwon! Kita gak peduli saat dia jadi hero, kita juga gak peduli saat nanti nyawanya terancam bahaya. Kita hanya bingung saja nonton ini. Ngeliat kejadian demi kejadian terungkap tanpa ritme dan gak ngikutin struktur naskah yang benar. Film ini gak sampai seratus menit, rapi aku gelisah setengah mati menontonnya. Karena tanpa struktur yang jelas, film ini kayak ngalor-ngidul berjalan tanpa arah. Dan tau-tau stop saat tiba waktunya twist itu diungkap.

Karena gak tau konteks karakternya seperti begini, Asha akan terlihat seperti protagonis cewek paling ketinggalan jaman karena dia seperti harus diselamatkan oleh Rama. Sebagai perawat, dia pun tercuat kayak perawat paling gak sabaran yang pernah ada karena sifat mandiri dan kuat yang dipunya oleh karakter ini hanya muncul saat dia menegur pasien yang ia rawat. Film memang berusaha nunjukin kerjaan dia sebagai perawat, tapi susah untuk melihat karakter ini sebagai pengurus orang lain karena ibunya sendiri saja gagal dia rawat. In fact, karakter Asha sedari awal sudah tampak kurang bisa dipercaya. Kita kayak gak tahu karakter dia sebenarnya gimana. Karena di awal itu kita dengar dia bilang kepada ibunya bahwa dia gak mau pacaran, mau di rumah aja ngurus ibu. Namun persis kalimat berikutnya dia bilang dia harus kerja dan ninggalin ibunya. Dan adegan berikutnya kita lihat dia menjalin hubungan khusus dengan Rama; mereka lagi jalan berdua adalah alasan kenapa pada malam meninggalnya ibu, Asha telat pulang. Susah untuk berada di belakang protagonis, kalo sedari awal saja omongan sama tindakannya gak akurat dan film gak membuka celah untuk kita mengenali Asha secara mendalam. Bukan hanya Asha, karakter lain pun kita gak tau mereka ini sebenarnya ‘ngapain’ di situ. Paranormal kenalan Asha sebagian besar waktu cuma kayak jadi exposition device, tukang kasih info gitu aja. Suami istri misterius tadi, cuma orang-orang dengan akting cringe yang bikin kita malah pengen mereka cepat-cepat jadi korban saja.

Kehilangan orang yang kita cintai memang demikian berat. Kita akan terus terngiang-ngiang keberadaan mereka. Parahnya, kita akan merasa itu adalah salah kita. Sehingga demi apapun kita akan merasa rela melakukan apa saja untuk membuat mereka kembali kepada kita. Supaya kita bisa menebus dosa. 

 

Kirain si Asha bakal tarung silat saat kesurupan melawan dukun

 

Efek nampilin sosok bayangan hantu ibu ataupun si Kajiman sebenarnya cukup mulus dan terukur (as in, film benar-benar mastiin warnanya gelap untuk mengenhance efek mereka), tapi presentasi keseluruhan film terasa mentah. Kayak film yang dibuat oleh orang yang baru belajar bikin film, yang masih ragu-ragu meletakkan kamera di mana. Ragu-ragu memposisikan tangkapan framenya. Ada beberapa kali aku ketawa saat melihat adegan film ini. Bukan exactly karena adegannya lucu, melainkan karena posisi objek-objek yang ada dalam satu frame tersebut. Misalnya, karakter-karakter yang duduk menghadap dinding saat bertamu. Padahal biasanya kan  tamu dan tuan rumah yang ngobrol itu dibuat duduk berhadapan tapi film ini seperti sangat spesifik membuat mereka duduk bersisian, menghasilkan ruang kosong di hadapan mereka yang terasa ganjil sekali secara estetika. Sekitar dua atau tiga kali adegan bertamu ke rumah itu, dan semuanya posisi duduknya seperti demikian. Terus satu contoh lagi adalah saat dua karakter dengan dramatis membaca mantra dari kertas kecil, di dalam ruangan yang pencahayaannya minim. Yang bikin ngakak dari adegan ini adalah dua karakter itu membaca dengan posisi membelakangi lampu meja – satu-satunya penerangan di ruangan itu! Hahaha mana kelihatan tuh tulisan. Logisnya kan mereka akan merapatkan badan, mendekatkan kertas ke sumber cahaya. Kamera harusnya bermanuver biar adegan itu tertangkap dengan dramatis. Jangan kamera yang diem, dan karakter yang menyesuaikan dan jadinya gak logis.

Kalo Asha terngiang-ngiang suara ibu yang seolah memanggilnya. Kalo aku, nonton film ini pada beberapa adegan akan terngiang-ngiang suara seruan ‘action’ dari sutradara saking begitu mentahnya penyambungan adegan. Beberapa adegan tu kelihatan banget kagok baru mulai actionnya. Kayak pas Rama berjalan ke rumah si paranormal, tidak terasa natural seperti dia berjalan dari jauh. Melainkan lebih terasa kayak dia dari posisi diam, terus saat ‘action!” dia mulai melangkah. Banyaknya adegan yang ‘masuknya’ seperti dikomandoi itu membuat film terasa punya vibe yang canggung. Semuanya tidak terasa natural. Hingga ke dialog. Film Kajiman juga enggak cemerlang di penulisan dialog, dan itu diperparah sama akting medioker yang deliverynya gak pernah meyakinkan. Ada satu kalimat yang buatku janggalnya bukan main. Yaitu ketika di rumah sakit, ada perawat yang mengeluhkan rumah sakit mereka malam itu sepi kayak kuburan. I get it, niatnya buat membangun mood seram – sesuatu yang mengerikan bakal terjadi di sana. Akan tetapi karena delivery dan karakter yang gak meyakinkan sebagai perawat, kalimat tersebut semakin aneh dan kayak main-main lagi. Karena biasanya setauku, perawat justru agak lega kalo pasien sepi, apalagi saat sudah larut, karena perawat itu pengen istirahat karena rumah sakit umumnya adalah tempat yang sibuk oleh pasien yang bisa datang tiba-tiba.

 




Satu lagi horor yang tidak mendeliver potensi yang dimiliki oleh materi ceritanya. Kisah personal seorang anak yang menyesal dan merindukan ibu yang telah tiada berubah jadi cerita standar teror ilmu hitam. Hanya karena pengen ceritanya ‘menghibur’ dengan plot twist. Akibat paling parah dari cerita yang membuang dagingnya sendiri itu adalah filmnya sendiri secara keseluruhan terasa mentah. Terasa gak mampu menggali yang lebih dalam. Dibuatnya pun terasa setengah-setengah. Beberapa treatment dan pengadeganan mampu tampil elegan. Tapi gak kalah banyak pula adegan-adegan dan perlakukan yang tampak canggung. Boring dan uninspiring. Bahkan anak-anak remaja yang nonton berkelompok di row tak jauh dariku saja hanya bereaksi sama jumpscare saja. Aku sangat menyayangkan film ini memilih untuk melepaskan kita dari karakter utamanya. Padahal kalo motivasi atau perjanjiannya itu tidak dijadikan twist, dramatic irony dari dark journey yang ia ambil akan bisa bikin film lebih emosional dan dramatis lagi.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for KAJIMAN: IBLIS TERKEJAM PENAGIH JANJI

 

 




That’s all we have for now.

Pernahkah kalian mengalami terngiang-ngiang atau terkenang terus setelah kehilangan seseorang? How did you deal with that feelings?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



GUARDIANS OF THE GALAXY VOL.3 Review

 

“All of us are imperfect human beings living in an imperfect world”

 

 

Sekali lagi kelompok misfit penjaga galaksi ini dikapteni oleh James Gunn. Tapi kali ini adalah terakhir kalinya Star-Lord, Nebula, Drax, Mantis, Rocket, Groot, Gamora, dan kawan-kawan bertualang bersama. Ini juga terakhir kalinya bagi pak sutradara berkiprah di jagat sinematik Marvel. Maka pantas saja beliau memastikan semuanya terasa spesial. Guardians of the Galaxy Volume Tiga ini ia bentuk sebagai salam perpisahan yang epik. Yang bukan para karakternya saja yang mendapat akhir perjalanan yang melingker dan benar-benar pengembangan keren dari awal mula mereka. Kita yang nonton pun merasa mendapatkan konklusi memuaskan dari petualangan panjang yang seru, penuh musik dan penuh warna. Film superhero Marvel yang satu ini buatku benar-benar terasa seperti akhir dari sebuah era!

Jalan cerita film ini juga sama seperti beberapa film Marvel belakangan ini. Contained di dunia sendiri, not really meddling around dengan multiverse yang membingungkan, dan terasa seperti episode kartun minggu pagi. Akibat serangan mendadak Adam Warlock ke  Knowhere – kota tempat para Guardians tinggal – Rocket terluka parah. Ini menyadarkan Peter Quill yang masih depresi kehilangan begitu banyak orang yang ia cintai. Gak mau kehilangan Rocket yang ia anggap sebagai bestie, Peter mengajak para Guardians yang lain untuk menginfiltrasi lab tempat Rocket ‘diciptakan’. Tapi aksi penyelamatan oleh Star-Lord dan kawan-kawan itu ternyata adalah jebakan. Karena dalang di balik penyerangan kota mereka adalah si High Evolutionary, orang yang merasa dirinya Tuhan, orang yang ingin menciptakan spesies dan dunia yang sempurna. Orang kejam yang bereksperimen dengan berbagai macam hewan, dan tanpa kasihan membunuhi ciptaannya yang gagal. Rocket actually adalah ciptaannya yang sukses, dan sekarang dia bermaksud untuk mengambil kembali otak cerdas si rakun!

Ketika Guardians of the Galaxy jadi pahlawan super PETA!

 

Cerita petualangan superhero bermuatan seperti yang dipunya film ini seolah ditakdirkan untuk sukses. Gampang disukai. Gimana tidak. Guardians of the Galaxy punya karakter yang begitu colorful sifatnya. Karakter yang sudah matang dimasak dari at least dua film sebelumnya. Interaksi mereka di sini jadi semakin natural. Ketika mereka bertengkar, saling menggoda, mereka terasa seperti keluarga beneran. Relate seperti interaksi antara orang-orang yang sudah sangat akrab. Duo Drax dan Mantis paling banyak mencuri tawa; Batista semakin jago ngelock-on timing komedinya, sementara Pom Klementieff pun semakin ahli membawakan karakternya yang bermata besar jadi adorable kayak cewek anime. Tapi tone ringan dan interaksi segar gak terbatas milik mereka. Volume Tiga actually punya banyak karakter, dan Gunn gak ragu untuk menggali sisi humanis mereka semua. Karen Gillan juga akan membuka sisi-baru karakternya karena di film ini journey Nebula jadi salah satu yang circled-backnya berakhir paling manis. Nebula akan berinteraksi dengan lebih banyak orang. Dan bicara tentang ‘orang’, Volume Tiga ini melakukan yang dilakukan oleh Taika Waititi kepada karakter utama dua film Thor terakhir, tapi juga kepada karakter anak buah musuh dan ‘NPC’. Menjadikan mereka bertingkah kayak orang normal di keseharian kita. Mereka semua kayak punya cerita dan kehidupan di luar momen mereka nampil di layar. Bahkan Adam Warlocknya si  Will Poulter yang mestinya jadi sub-boss dengan kekuatan mengancam aja, ternyata sayang binatang. Hal ini membuat vibe film ini terasa lebih dekat dan semakin kocak lagi.

Tentunya yang terpenting untuk film ketiga adalah fresh. Keunikan. Atau paling enggak kebaruan yang dimunculkan dari elemen yang familiar. Aspek ini terwujud lewat interaksi antara Gamora dengan para Guardians, khususnya dengan Peter Quill. Gamora yang bareng-bareng mereka, yang pacar si Peter itu, telah tewas, dan Gamora yang diperankan oleh Zoe Saldana di sini merupakan Gamora dari masa lalu yang belum kenal mereka. Gamora yang esentially pribadi yang berbeda. Sehingga dinamika karakter mereka pun jadi berbeda. Peter yang masih belum move on, berusaha terus mendekati Gamora, while cewek-hijau yang kini anggota Ravager itu terus menolak. Chris Pratt on mission kentara lebih menyenangkan untuk disaksikan ketimbang Pratt yang mabuk-mabukan di awal cerita. Development kecil yang dimiliki oleh Gamora dan Peter terkait relasi mereka di sini, jadi salah satu hati yang dipunya oleh cerita. Yang aku suka adalah film ini berani menegaskan diri sebagai ‘salam perpisahan’ yang membuat relasi dua orang ini terasa semakin dewasa. Karena ini basically cerita tentang dua lover yang jadi orang asing – some of us mungkin bisa relate dengan kisah cinta mereka. Film ini bisa membantu mencapai closure yang matang dari gimana Gamora dan Peter berakhir nantinya.

Arahan Gunn pun terasa kian matang. Volume Tiga terasa semakin enerjik lewat aksi cepat, di dunia yang imajinatif. Desain estetik lab biologisnya unik. Pun punya kontras yang chilling ketika film mulai menyentuh elemen cerita yang lebih dark. Yang paling kentara enerjiknya itu adalah gimana lagu-lagu rock populer yang sudah jadi ciri khas Guardians of the Galaxy dimasukkan sebagai suara-suara diegetik (suara yang beneran didengar oleh karakter di dalam cerita). Musik-musik itu selain bikin kita semakin seru menonton aksi yang dihadirkan, juga menambah layer adegan karena keberadaannya berhubungan langsung dengan pilihan karakter. Misalnya, di opening, Rocket berjalan keliling kota sambil muterin lagu Creep. Lagu yang cocok mewakili mood si Rocket yang lagi mengenang masa-masa dia pertama kali punya kesadaran (setelah jadi percobaan di lab High Evolutionary), yang turns out setelah kita sampai di bagian akhir film dan telah menangkap bahwa film ini adalah tentang orang-orang tak sempurna yang membuat dunia jadi terasa sempurna ternyata lagu itu juga mewakili tema dan plot keseluruhan film.

Bertahun-tahun High Evolutionary berusaha menciptakan spesies sempurna. Membangun, dan menghancurkan. Begitu terus. Dia tidak pernah mendapat kesempurnaan itu. Karena memang tidak ada yang sempurna. Hidup penuh oleh hal-hal yang tidak sempurna, oleh orang-orang yang tak sempurna. Justru dari situlah datangnya harmoni yang menjadikan hidup berharga. Guardians of the Galaxy pada akhirnya merayakan ketidaksempurnaan mereka, ketidaksempurnaan keluarga mereka. Salam perpisahan Peter Quill sejatinya adalah salamnya kembali pulang ke rumah, ke keluarganya yang tidak sempurna.

 

Ada banyak Shiragiku!!!

 

Selain sebagai salam perpisahan, film ini tepatnya bertindak sebagai transisi. Era James Gunn dengan Guardians Galaxy-nya memang telah berakhir, tapi seperti yang ditampilkan pada mid-credit scene, akan ada Guardians Galaxy generasi baru. Film Volume Tiga ini dengan baik mengeset perpindahan itu dengan membuat kita lebih dekat mengenal sosok yang berpengaruh nantinya, yakni si Rocket. Masa lalu Rocket sebagai makhluk ciptaan (dari rakun beneran) dieksplor habis-habisan di sini. Cerita akan bolak-balik antara misi penyelamatan oleh Star-Lord dkk dengan flashback masa lalu Rocket. Bagian flashback yang disebar di sana-sini tersebut memang penting dan tak bisa dipisahkan dari film, tapi ada kalanya flashback ini jadi problem bagi keseluruhan penceritaan. Yang jelas, tone jadi aneh. Volume Tiga really juggling dari ekstrim ke ekstrim. Dari ekstrim fun, ke esktrim dark. Gunn toh berusaha menjaga ritme dengan editing dan timing yang precise membangun feeling. Hanya saja sama seperti lirik lagu; gak semua yang ritmenya sama itu make sense. Kayak soal Rocket yang berkata dia gak akan membunuh High Evolutionary karena dia adalah Guardians of the Galaxy, perkataan yang cool kalo saja pada beberapa adegan sebelumnya kita enggak melihat Star-Lord literally membunuh si Mateo Superstore saat mereka terjun bebas kabur dari pesawat. Flashback-flashback itu seperti jadi mengganggu bangunan film.  Kadang flashback itu muncul dengan menyalahi aturan yang sudah disetup oleh film sendiri. Flashback yang merupakan kenangan dari Rocket itu tertangkap basah muncul tanpa ada Rocket – jadi setelah adegan dari karakter lain, tau-tau kita dibawa ke ingatan Rocket. Menurutku film ini mestinya bisa ngerem sedikit, untuk merapikan hal-hal yang seperti ini.

Bagian flashback itu yang bikin penonton banyak terharu. Ngelihat Rocket ternyata dulu punya teman-teman sesama makhluk buatan, dan tentu saja kita tahu ke arah mana nasib teman-teman Rocket itu. Bagus sebenarnya gimana dengan ini berarti ada film superhero yang gak melulu bicara tentang menyelamatkan manusia. Bahwa hewan juga adalah makhluk hidup, dan mereka juga sama pantasnya untuk diselamatkan dengan manusia. Masalahnya buatku adalah penjahat yang hanya cartoonish. High Evolutionary hanya seperti penjahat kartun yang kejam dan jahat. Gampang memancing simpati dan heat penonton dengan nunjukin orang yang bertindak kejam (and really loud) kepada hewan atau makhluk lemah. Menurutku High Evolutionary mestinya bisa diperdalam sedikit. Karena bahkan motivasinya yang pengen nyiptain spesies sempurna untuk dunia sempurnanya itu mirip-mirip sama motivasi Thanos – yang sudah terbukti bisa punya penggalian dan dimensi lebih banyak. Chukwudi Iwuji’s High Evolutionary cuma kejam, melotot, dan berteriak-teriak – masih mending kalo masih terasa kayak penjahat kartun, teriak ngamuk sekali lagi bisa-bisa ngeliat dia jadi berasa sama aja kayak ngeliat mertua galak di sinetron istri tersiksa hahaha

 




Nice send off buat era superhero misfit yang dibesarkan oleh James Gunn. Semua karakter utama mendapat development dan akhir journey yang memuaskan. Sekaligus bikin penasaran untuk film selanjutnya. Energi film ini benar-benar tumpah ruah, membuatnya jadi tontonan super yang menghibur, seru, dan tertawa-tawa. Film-film Guardians Galaxy selalu punya nilai lebih bagi penggemar rock, dan begitu juga dengan film ini. Tapi sama seperti yang dibicarakan naskah, bagiku juga tidak ada film yang sempurna. Penceritaan yang melibatkan bolak-balik antara petualangan dengan eksposisi backstory mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik lagi. Seenggaknya, bisa dilakukan dengan lebih konsisten pada rulenya sendiri. Secara objektif, flashbacknya masih kurang rapi. Tapi di samping itu, I have a blast watching this. Kayaknya aku bakal lanjut nonton film action barunya si kapten Amerika bareng Ana de Armas di Apple TV+ buat cooling down. Kalian bisa juga dengan subscribe di link ini yaa https://apple.co/3W0emlN

Get it on Apple TV

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 3

 

 

 




That’s all we have for now.

Orang berbuat kejam/kasar kepada hewan juga kerap terjadi di sekitar. Menurut kalian kenapa sih orang-orang bisa setega itu?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



EVIL DEAD RISE Review

 

“Being a mother is dealing with fears you didn’t know existed”

 

 

Evil Dead klasik buatan Sam Raimi sepatutnya dijadikan cermin bagi berbagai horor kesurupan, patah-patah, berdarah-darah, muntah-muntah — jika mereka ingin hadir sebagai hiburan. Karena dalam film-film Sam Raimi itu, kekerasan tidak pernah dihadirkan hanya for the sake of violence. Melainkan, dengan humor. Karena Evil Dead ingin bersenang-senang dengan horor itu sendiri. Jadilah horor sadis tapi kocak sebagai pamungkas bagi horor Sam Raimi. Memang, gak segampang itu menyamainya. Banyak horor campy yang terinspirasi, tapi gak semuanya yang bisa mulus menghadirkan sadis-dan-lucu sekaligus. Bahkan remake Evil Dead tahun 2013 yang sukses dan gory dan fun itu saja masih dianggap banyak kritikus masih belum sama nada kocaknya dengan buatan Sam. Evil Dead Rise garapan Lee Cronin kali ini pun menghadapi tantangan yang serupa dengan remake tersebut. Tantangan yang juga dihadapi oleh horor kekinian yang ingin tampil menghibur, atau mempertahankan tone fun pendahulunya (rekuel franchise Scream juga termasuk). Simply, waktu sudah berubah. Era sudah berbeda. Dalam genre horor, yang receh-receh semakin dianggap remeh karena sekarang horor harus punya makna sesuatu. Kita sekarang berada di era Elevated Horror’. Horor yang dianggap bervalue bagus kini tidak lagi semata bunuh sana-sini, sadis absurd muncrat-muncratan, tapi lebih kepada penceritaan yang dark, memuat tema atau komentar sosial, serta visual yang nyeni. Bagaimana membuat horor yang menghibur – meneruskan pesona dan jati diri induk franchisenya – di tengah audiens yang meminta sesuatu yang lebih bermakna. Evil Dead Rise berusaha untuk literally rise above all that.

Begini mestinya, Saudara-Saudara. Beginilah mestinya horor hiburan dibuat.

 

Bebas dari kebutuhan untuk melanjutkan cerita atau dunia sebelumnya – Evil Dead Rise hanya ‘mengharuskan’ untuk menampilkan The Book of the Dead dan Deadite (dan beberapa item nostalgia) sebagai koneksi dan identitas – Cronin membawa horor itu ke panggung yang sama sekali berbeda dari yang sudah-sudah. Alih-alih di kabin di tengah hutan, panggung horor kini di sebuah apartemen di kota. Karakter-karakter pengisi ceritanya pun tidak lagi geng remaja, melainkan satu keluarga. Keluarga bukan sembarang keluarga. Di adegan pengenalan mereka, kita melihat: ibu yang tatoan sedang menyolder sesuatu, abang yang ditindik sedang mengolah musik dari piringan hitam, kakak yang rambutnya cepak sedang bikin poster untuk demo lingkungan, dan adik yang masih kecil sedang… menggunting kepala boneka! Ini keluarga yang badass. Mereka gak punya sosok ayah. Yang mereka punya adalah bibi yang bekerja sebagai teknisi gitar sebuah band. Bibi, yang jadi tokoh utama cerita. Bibi yang actually muncul di depan pintu apartemen mereka malam itu, untuk mengabarkan kepada ibu – kakaknya yang sudah lama tidak ia hubungi – bahwa dia akan menggugurkan anak yang tengah ia kandung. ‘Reuni’ kecil-kecilan mereka sayangnya tidak bisa berlangsung lama. Karena segera setelah rekaman mantra Book of the Dead yang ditemukan di bawah apartemen diputar, hunian yang dingin dan sepi itu bakal berubah merah dan penuh teriakan. Sang Ibu kesurupan dan menjadi Deadite. Menyerang anak-anaknya sendiri. Beth harus mengeluarkan ponakan-ponakannya dari sana.

Apartemen dan ibu yang jadi setan memang seketika mengingatkan kita sama Pengabdi Setan 2: Communion (2022). Tapi untungnya, meski sama-sama dibuat sebagai seru-seruan horor, Evil Dead Rise yang memang aware untuk jadi elevated horor masih punya statement di baliknya. Enggak hanya sekadar nyuruh penonton menebak-nebak kode dari fantasi liar pembuatnya. Naskah Evil Dead Rise masih memuat closed story tentang journey karakter utama. Inilah yang bikin film ini jadi hiburan horor yang bergizi. Journey Beth adalah tentang ketakutan menjadi ibu. Bagi Beth, melihat kakaknya kesurupan dan melukai anaknya sendiri, bagai melihat momok dari perwujudan ketakutannya bahwa ia akan jadi ibu yang seperti itu. Beth gak yakin dia akan bisa jadi ibu yang baik. Nyatanya, perjuangannya berusaha menyelamatkan para ponakan, serta jabang bayinya sendiri di dalam perut, jadi menyadarkan dirinya bahwa dia bisa jadi ibu yang kuat. Percakapan soal menjadi ibu disebar oleh naskah di sela-sela adegan-adegan sadis, membuat film jadi punya momen-momen kecil penuh jiwa. Membuat kita semakin peduli kepada karakter. Momen grounded yang aku suka adalah ketika Kassie, ponakan yang paling kecil, berkata bahwa Beth kelak akan menjadi ibu yang baik karena Beth mampu membuat anak kecil seperti dirinya percaya sama kebohongan (at that chaos time, Beth berusaha menenangkan Kassie yang ketakutan dengan bilang semua akan baik saja)

Menjadi ibu adalah ketika kita belajar kekuatan yang kita tidak tahu kita punya, dan ketika kita menghadapi ketakutan yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya

 

Dengan terkliknya gagasan tersebut kepada kita, nonton Evil Dead Rise jadi semakin menyenangkan. Kita jadi punya alasan lebih untuk peduli dan kemudian seru-seruan melihat rentetan adegan-adegan mengerikan. Sutradara Lee Cronin definitely menggunakan semua trik Sam Raimi. Semua gerak kamera, semua permainan desain suara, ia gunakan maksimal untuk ngasih suasana eerie. Build up adegan-adegan seram terasa sangat efektif, keciri dari tidak terganggunya tempo relatif cepat yang dipakai oleh film ini dalam bercerita. Kesurupan mungkin udah sering dilakukan dalam film horor, tapi bagaimana semua kejadiannya dimainkan dan tervisualkan adalah tergantung pada kreasi sutradara. Adegan hujan darah di film sebelumnya, disaingi oleh Cronin lewat adegan terjebak di dalam lift yang perlahan penuh oleh darah. Selain itu, di film ini ada banyak banget adegan-adegan memorable terkait yang dilakukan oleh si ibu kesurupan dan cara kamera menampilkannya. Adegan ngintip di lubang pintu apartemen, misalnya. Kalian tahu dalam horor, kadang suatu momen sebaiknya dibiarkan untuk kita bayangkan (alias dilakukan off-cam)? Nah, sekuen Beth ngintip ke luar apartemen, ke lorong tempat Ellie menghabisi penghuni apartemen yang berusaha membantu itu benar-benar memanfaatkan kengerian on-cam dan off-cam dengan berimbang dan efektif. Satu lagi yang juga kenak ngerinya buatku adalah soal rekaman suara. Setelah kemaren Sewu Dino (2023) pakai suara rekaman kaset, Evil Dead Rise juga menggunakan suara rekaman piringan hitam. Dan personally, aku suka trope ‘dengerin suara rekaman’ ini. Aku suka ini di game Fatal Frame. Aku juga suka saat trope ini muncul di film horor. Buatku, rekaman yang terputus-putus dengan suara orang yang kita gak tahu siapa itu ngasih layer keseraman tambahan. Membuat eksposisi yang dibacakan jadi punya kesan seram ekstra. Setidaknya, ini jadi pembawa eksposisi yang lebih horor ketimbang adegan karakter ngegooling informasi di internet.

By the time ulasan ini publish, prolog Evil Dead Rise telah menjadi begitu fenomenal berkat sekuen credit titlenya. Keseluruhan pembuka itu efektif sekali ngeset apapun yang membuat kita menyambungkan di benak masing-masing bahwa inilah Evil Dead klasik itu di dunia modern. Membawa kita ke ke tengah hutan sebentar untuk ngingetin, ini film Evil Dead loh. Struktur film ini memang tak-biasa, dengan prolog dan epilog yang sebenarnya gak nyambung directly dengan cerita utama Beth dan keluarga kakaknya, tapi berhasil menjaga kesan kisah yang tertutup – sekaligus juga tetap membuka kemungkinan untuk kelanjutan Deadite dan Book of the Dead berikutnya.

Selain chainsaw, aku akan senang sekali kalo Staffanie juga terus dimunculkan sebagai alternate weapon hihihi

 

Tentu tak lupa salut juga buat aktornya, terutama Alyssa Sutherland yang jadi Ellie si ibu kesurupan. Alyssa dapet banget menacing-nya mimik seringai setan ketika berusaha mengelabui anak dan adiknya sendiri. Di lain waktu dia juga dapet banget terlukanya ketika si setan seperti sudah mengembalikan Ellie seperti sedia kala. Lily Sullivan yang jadi Beth, diporsir fisik dan emosinya. Sama seperti Terrifier 2 (2022), Evil Dead Rise paham untuk gak nanggung-nanggung ‘menyiksa’ para karakter, terutama karakter utama.  Aktor-aktor yang jadi anak Ellie juga bermain dengan total. Semuanya dihajar, termasuk anak yang paling kecil. Karena, secara penulisan, keluarga yang jadi saling melukai ini adalah konteks yang penting. Inilah bobot drama yang diincar film lewat gagasan dan alasannya mengganti karakter dari yang biasanya cuma teman-teman satu geng menjadi keluarga. Supaya lebih naas. Bayangkan terpaksa menyakiti orang yang benar-benar dekat seperti kakak atau ibu kita. Gimana coba efek melakukan itu dirasakan oleh anak sekecil Kassie.

Karena itulah aku sempat kesel sama sensor di bioskop saat menonton ini. Ada adegan Kassie terpaksa menusuk kakaknya yang sudah jadi Deadite, tepat di mulut nembus ke belakang kepala, dan adegan itu disensor. Penonton sestudioku sontak mendesah kecewa saat tiba-tiba adegannya lompat, dan kita gak benar-benar melihat reaksi atau ekspresi pada Kassie. Menurutku bagian ini gak perlu disensor. Pertama karena kekerasannya gak lagi disarangkan kepada manusia (si kakak basically sudah jadi zombie yang menyeramkan), dan kedua karena adik terpaksa menusuk kakaknya itu adalah poin dari konteks ceritanya. Yang horor dan dark di situ bukan hanya pada momen penusukannya, melainkan juga pada yang dirasakan oleh si adik saat dan setelahnya. Memotong adegannya tidak akan membuat horor itu hilang, karena horornya diteruskan pada aftermath penusukan. Nah, dengan dipotong, kita yang nonton gak mendapat full efek itu, konteks filmnya hanya separuh yang tersampaikan kepada kita. Jadilah sensor di bagian itu mengganggu komunikasi antara kita dengan film. Toh film ini memang isinya kekerasan semua. Ditusuk, digigit, dicekek, disembelih. Diparut, pake parutan keju, I’m just saying ada banyak adegan kekerasan lain yang lebih ‘kosong’ yang bisa dipilih untuk disensor, tapi sayangnya yang ke-cut justru yang punya konteks. Ah, kenapa aku malah jadi kritik sensornya ya, bukan filmnya hihihi

 




Oke, buat filmnya, ini sungguh-sungguh horor sadis yang menghibur. Sebagai bagian dari Evil Dead, film ini punya ruh yang tepat. Meskipun tone-nya masih belum sekocak versi original. Hal itu bisa dimaklumi karena horor jaman sekarang mengejar value yang sedikit berbeda. Yang jelas, film ini berhasil menyeimbangkan value horor modern tersebut dengan identitas asli franchisenya. Elemen horornya brutal, berdarah. Sebenarnya kalo dibandingkan dengan film-film sebelumnya, tingkat edan film ini masih agak kurang. Tapi karena kali ini karakternya adalah satu keluarga, dramatisnya jadi lebih ngena, adegannya jadi tetap berasa. Meski bukan exactly bikin meringis, tapi bikin terenyuh. Aku harap film ini bisa jadi inspirasi buat horor lokal kita dalam gimana membuat horor receh tapi gak remeh.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for EVIL DEAD RISE




That’s all we have for now.

Bagi yang merasa masih kurang puas sama horor, kalian bisa langganan Apple TV+ karena di sana ada serial Servant yang finale season 4 nya bener-bener defining yang namanya psikologikal horor. Serta, ada berbagai pilihan film, salah satunya Renfield, tentang suka duka seorang pelayan drakula. Gory and fun!  https://apple.co/40MNvdM

Get it on Apple TV

 

Menurut kalian, apa sih yang membuat horor sadis dan komedi bisa menjadi kombo yang efektif?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SCREAM VI Review

 

“A franchise is a family”

 

 

Rule number uno dari franchise adalah membuat setiap rilisannya terus membesar. Tapi aturan seperti itu juga ada pada bola salju yang melongsor. Membesar dan terus membesar sampai hancur berkeping-keping. Maka supaya franchise tidak sekadar jadi seperti bola salju, filmmaker dan studio perlu  ngisi film-film itu dengan sesuatu yang ‘lebih’. Scream, by now, telah menjadi franchise horor thriller yang dinanti bukan saja karena elemen whodunit yang exciting, tapi juga karena selalu punya komentar terhadap trope ataupun perkembangan genrenya sendiri. Warisan Wes Craven ini memang tampak ‘aman’ di tangan duo Matt Bettinelli-Olpin – Tyler Gillett yang tahun lalu membuktikan mereka sanggup menyenggol requel, horor modern yang ‘nyeni’, serta toxic fandom sekaligus di balik episode baru teror Ghostface di Woodsboro. Scream lima, despite judulnya yang membingungkan karena gak pake angka, terasa seperti kelanjutan yang ‘benar’ – yang respek, sembari terasa berani mengguncang fondasi pendahulunya. Memberikan franchise ini arahan baru yang pantas kita tunggu, Ketika mereka kembali dengan Scream VI, mereka memang memantapkan arahan tersebut. Membuat Scream menjadi semakin besar sebagai franchise, sekaligus berusaha menyentil franchise modern itu sendiri.

Jadi juga Scream waving ke Samara Weaving

 

Beberapa bulan setelah kejadian Scream lima, Sam dan adiknya, Tara, pindah ke New York, Tara udah kuliah, dan Sam ada di sana untuk menjaga adiknya. Like, menjaga yang bener-bener jaga kayak helikopter parent, gitu. Pergaulan mereka dikontrol ketat. In fact, sahabat mereka, si kembar Mindy dan Chad yang juga survivor serangan Ghostface di film sebelumnya itu, juga ikut pindah ke sana. Diminta Sam bantu menjaga Tara. Keempat orang yang menamai diri Core Four ini memang saling menjaga apapun di antara mereka. Berhati-hati dengan teman baru, dan sebagainya. Hal ini actually membuat Tara gerah. Menimbulkan sedikit friksi antara dia dengan kakaknya. Sementara itu ada Ghostface baru di luar sana yang mengincar mereka. Ghostface kali ini sangat berbeda. Lebih brutal, lebih nekat, Ghostface yang mereka hadapi sekarang gak akan malu-malu menyerang di tempat terbuka. Melukai siapapun. Worst of all, Ghostface yang satu ini bahkan bukan penggemar film ataupun horor. Sehingga tidak ada ‘rule’ yang bisa dipegang oleh Sam, Tara, dan teman-teman yang lain untuk memprediksi serangannya!

Jerat-jerat pemikat telah disebar Scream VI semenjak opening sequence. And I’m not just talking about Samara Weaving haha.. Yang mau kubilang adalah soal Scream VI yang tau-tau ngasih lihat wajah di balik topeng Ghostface di adegan pembuka! Wah, pas nonton aku langsung melongo. Belum pernah loh, Scream melakukan hal kayak gini sebelumnya. Aku sempat mikir wah ini keren juga kalo kita udah tau duluan siapa pelakunya. Elemen Whodunit mungkin jadi melemah, tapi bayangkan dramatic irony yang kita rasakan kalo kita melihat Sam atau Tara terjebak mempercayai pelaku. Tapi ternyata, ada Ghostface satu lagi yang di momen pembuka itu membunuhi geng Ghostface yang pertama, Ah, kepalaku memang ternyata langsung melangkah jauh saking ‘baru’nya langkah yang diambil Scream VI, namun aku tak merasa kecewa. Development bahwa ternyata ada Ghostface lain yang membunuhi Ghostface satunya, masih tetap merupakan langkah baru yang dilakukan pada franchise Scream, dan opening itu sukses membuatku bertanya-tanya apa lagi yang bakal dilakukan oleh sutradara untuk membuat film ini mengejutkan. Sepanjang durasi, seorang fans Scream sepertiku, niscaya bakal jerit-jerit demi ngeliat apa-apa yang dimunculkan, dan dibawa kembali oleh film ini. Kirby’s return, Gale mendapat telefon dari Ghostface untuk pertama kalinya sejak film pertama, Stu Macher ditease mungkin masih hidup (!) dan banyak lagi easter eggs lain apalagi karena investigasi Ghostface kali ini melibatkan banyak topeng dan memorabilia dari film-film Scream (alias Stab dalam dunia cerita mereka) sebelumnya. Nostalgia makin tak tertahankan karena film ini mencerminkan dirinya pada Scream 2.

Seperti sekuel original tersebut, Scream VI membawa action keluar dari Woodsboro. Hanya saja Scream VI mengambil langkah esktra. As in, pembunuhan sekarang bisa terjadi pada siapa saja, termasuk orang-orang di mini market yang bahkan gak ada sangkut pautnya sama Sam dan Tara. Ini menciptakan stake yang semakin besar. Belum lagi, narasi juga mengestablish soal rule franchise yakni semua karakter expendable. Artinya, semua karakter bisa mati. Semua karakter mungkin untuk jadi pelaku. Bahkan karakter original seperti Gale. Semua karakter dalam franchise jadi ‘kalah penting’ dari IP yang dibangun. Dengan itu, Scream VI cuek saja bikin lokasi dan adegan pembunuhan di tempat-tempat terbuka yang rame oleh orang-orang. Seolah kota New York itu sama jahatnya dengan Ghostface. Kita dan geng protagonis gak tahu siapa atau di mana yang aman. Arahan duo sutradara kita yang memang energik dalam bermain kucing-kucingan yang brutal, bikin film Scream kali ini makin terasa ekstrim. Untuk mendaratkan cerita, film memberi lumayan banyak fokus pada persoalan kakak-adik Sam dan Tara. Dua karakter ini jadi hati cerita. Karena ini bukan saja tentang kakak yang mencemaskan adiknya, ini juga adalah tentang dua survivor yang memiliki cara berbeda dealing with trauma. Permasalahan Sam yang masih dirundung bayangan ayahnya yang serial killer, juga terus dieksplorasi naskah. Scream VI menjadikan itu sebagai corong untuk berkomentar soal gimana di dunia sosial kita sekarang, seorang korban bisa balik diantagoniskan.

Malah di kita, korban yang udah tewas aja bisa dijadikan pelaku

 

Victim-blaming, sindiran buat franchise, kisah trauma shared by sisters, elemen-elemen cerita pada film ini sayangnya tidak benar-benar terikat dengan memuaskan. Franchise modern Scream di luar Wes Craven mulai kick-off, tapi langsung tersandung karena Matt dan Tyler seperti masih berkutat untuk keluar dari trope-trope franchise yang mestinya mereka examine. Melissa Barrera dan Jenna Ortega seharusnya sudah bisa lepas mewujudkan karakter mereka – and they did, mereka punya lebih banyak ruang kali ini karena ini pure cerita dari perspektif mereka – tapi dalam naskah, Tara dan Sam masih belum sepenuhnya ‘bebas’. Matt dan Tyler yang pada Scream lima membunuh Dewey, karakter original, kali ini seperti ragu-ragu dalam memperlakukan Gale, Kirby, dan yang lain. The elephant in the room adalah Sidney. Protagonis utama lima Scream sebelumnya, the face of Scream, tidak lagi muncul di film. Backstage, karena Neve Campbell tidak setuju dengan bayaran yang ditawarkan. Kita gak akan bahas gosip di luar film itu di sini, namun naskah Scream VI mau tidak mau harus nge-write off karakternya. Sidney memang ditulis ‘keluar’ dengan penuh hormat, disebut oleh karakter lain mengejar happy endingnya sendiri. Namun momen itu hanya terasa seperti throw-away, cari aman, di saat Mindy dalam monolog flm-nerdnya menyebut contoh-contoh karakter utama (di antaranya ada Luke Skywalker,  Laurie Strode di sekuel-sekuel original, Ripley di Aliens, dll) yang dibunuh demi jadi pijakan buat franchise bisa berkembang. Scream VI menyindir pembunuhan karakter tersebut dengan melakukan ‘pembunuhan karakter’ lewat aksi-aksi yang kurang konklusif, yang kurang impactful. Aku lebih suka gimana mereka nekat membunuh Dewey sebagai hook drama, ketimbang membuat para karakter legacy itu muncul untuk beraksi ala kadarnya. Kayak kalo di WWE, ada pegulat legend dibook cuma buat nongol di ring, dan menang atas superstar baru. Akan lebih impactful kalo legend itu dibuat kalah, karena dia bakal ngeboost status superstar muda yang mengalahkannya.

Tau gak kenapa film whodunit biasanya castnya bertabur bintang? Itu sebenarnya buat nutupin hal yang disebut dengan ‘hukum ekonomi karakter’. Karakter atau tokoh yang penting dalam sebuah film, pasti akan dimainkan oleh aktor yang lebih ‘bernama’. Jadi sebenarnya dari cast aja kita bisa tahu siapa yang jadi pelaku. Untuk menyamarkan itulah maka film-film whodunit sekalian aja makai cast yang ternama semua. Scream pushed this even further dengan membuat opening sequence sebagai kebiasaan naruh cameo-cameo bintang terkenal. Supaya surprise dan impact itu bisa tetap sekalian terjaga. Scream VI, dengan segala returning cast, anak baru, dan geng Core Four seperti tidak benar-benar berusaha. Bukan soal gampang ketebak atau apa, Scream lima masih Ghostface yang paling gampang tertebak buatku, tapi ini adalah soal gak ada impactnya. Pelaku di sini, meskipun masih punya kejutan, tapi basic banget. Motif pelaku yang kali ini tidak lagi peduli sama film-film, melainkan karena pure balas dendam juga membuat Scream VI nyaris balik ke thriller generik.

Dalam urusan sindiran meta, Scream VI unfortunately terasa tidak seimpactful pendahulunya. Bahasan ‘franchise’ memang dibreakdown rule-rulenya, tema ‘franchise adalah urusan keluarga’ juga memang mendarah daging sebagai konflik yang paralel antara protagonis kakak-beradik dengan antagonis, namun tidak terasa klik jadi statement yang wah dan memorable. Buatku, sindiran paling telak yang dipunya film ini lewat Ghostface yang sekarang tidak lagi peduli pada film dan rule-rule horor, adalah bahwa franchise modern juga seperti itu; not really care ama filmnya sendiri. Menurutku, film ini harusnya lebih mempertajam sindiran tersebut.

 

 




Aksi-aksi pembunuhannya memang lebih beringas. Ghostfacenya memang lebih nekat. Film kali ini definitely lebih ‘besar’. Tapi secara efek, terasa lebih jinak. Komentar meta yang jadi ciri khas film-film sebelumnya, terasa kurang nendang. Kurang dikejar oleh naskah. Cerita yang mau grounded dan mengarah ke bentukan elevated horror (horor modern yang mulai berisi seperti yang disinggung film pendahulunya) pun kurang nyampe karena film ini sendiri masih berkutat dengan nostalgia. Dalam proses itu, film ini jadi kehilangan taringnya. Statement soal franchise yang dimiliki film terasa kurang kuat karena film hanya seperti menghindar, tapi tanpa ngasih bentukan baru. Aku bisa suka dan menerima arahan baru yang ditawarkan, tapi dengan kecepatan dan bentuk seperti ini, bisa-bisa franchise thriller horor whodunit kesukaanku ini jadi bola salju beneran, Warnanya saja yang ntar berubah jadi merah darah. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SCREAM VI

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang perkembangan franchise film di negara kita?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SEWU DINO Review

 

“Scratch my back and I’ll scratch yours”

 

 

Cerita horor sebenarnya memang simple, gak perlu diperibet. Tarok karakter dalam ruangan bersama mayat, jadi cerita horor. Mayatnya mungkin hidup, si karakter mungkin berhalusinasi. Tarok karakter berdua saja di dalam ruangan, bisa juga jadi cerita horor. Mereka bisa saling bunuh hingga yang satu jadi hantu. Mereka bisa saling curiga dan parno sendiri. Heck, tarok karakter seorang diri saja dalam ruangan kosong, dia bisa jatoh dalam kegilaaan, dan jadilah juga cerita horor. Kejadian horornya bisa sederhana, tapi penggaliannya harus mendalam. Ketakutan yang dirasakan itu harus dieksplor hingga ke akarnya. Jika ketakutan itu tidak digali ke personal karakternya, tidak direlatekan kepada kita, horor hanya akan jadi rangkaian kejadian tak-masuk akal yang menjengkelkan. Hantunya hanya akan jadi monster yang harus dikalahkan seperti pada cerita superhero. Karakternya hanya akan jadi si bego yang kita teriakin karena dia tidak melakukan hal yang dilakukan orang beneran. Tapi kebanyakan horor kita sekarang kebalikan dari itu. Banyak cerita yang berumit-rumit ria dengan lore dunia, intrik kubu-kubu, simbolisme, twist and turns, dan sebagainya, tapi pada pembahasannya malah menyederhanakan cerita sebagai wahana jumpscare dan kesurupan kayang-kayang. Jarang yang menyentuh ‘kegelapan’ di dalam sana.

Sewu Dino, untungnya digarap oleh Kimo Stamboel yang memang penggemar horor tulen. Cerita yang sebenarnya ribet karena menyangkut perang santet antara dua kubu, dia fokuskan kepada karakter yang harus mandiin orang yang sudah kesurupan selama hampir seribu hari. Dan aku yang awalnya kurang antusias, ternyata jadi menikmati ini. Kupikir film ini bakal sama seperti KKN di Desa Penari tahun lalu. Cerita dari thread Twitter yang turns out hanya mega marketing gimmick; enggak pernah menggali ceritanya yang actually relate – mahasiswa kota kkn ke desa – dan malah asyik bergumul dengan kejadian-kejadian mistis konyol. Karakter journey-nya dibiarkan dangkal. Sewu Dino ternyata dikembangkan berbeda dari threadnya oleh Kimo. Kudengar banyak pembaca thread yang kurang suka sama film ini, but screw them. Karena, memang Sewu Dino bukan film horor terbaik. Tapi cerita ini adalah versi yang  punya decent horror story di tengah-tengah kemelut santetnya.

Menghitung hari, dino demi dino

 

Ceritanya tentang Sri, gadis yang mencari nafkah untuk pengobatan ayahnya. Dia mencoba melamar jadi pembantu di tempat Mbah Karsa, yang dikenal warga sebagai orang sukses yang punya banyak tempat usaha sehingga selalu butuh banyak tangan tambahan. Nyatanya, Mbah Karsa butuh ‘stok’ perempuan dengan set kemampuan khusus untuk melaksanakan ritual menyelamatkan cucunya yang kena santet. Sri diterima karena gadis ini punya sesuatu yang ia sendiri tak tahu gunanya apa. Sri lahir di jumat kliwon, dan itu adalah syarat kunci untuk membebaskan cucu Mbah Karsa. Jadi, Sri bersama dua perempuan lain ditempatkan di pondok tengah hutan. Mereka harus memandikan Dela yang kesurupan setiap senja. Pekerjaan yang jelas berbahaya, karena setan yang telah bersemayam nyaris seribu hari itu selalu berusaha untuk lepas dan menyerang para pemandinya.

Di bagian pondok inilah Sewu Dino benar-benar fun. Film actually meluangkan banyak waktu untuk set up dan build up kerjaan horor yang harus dilakukan para gadis tukang mandiin itu. Salah satu set up penting yang dilandaskan film adalah kenapa Sri mau-maunya mandiin Dela. Kayaknya lebih aman mandiin harimau sirkus deh, ketimbang mandiin orang kesurupan yang suka menggigit dan mencekek manusia. Motivasi Sri bukan hanya karena duit, tapi kita dikasih info soal Sri yang berusaha tidak mengulangi kejadian yang membuat adiknya sendiri tiada. Sri tidak ada di sana, makanya sekarang dia ingin membantu gadis muda ini. Meskipun gak gampang baginya. Kita melihat Sri yang justru jadi orang pertama yang pengen kabur saat melihat ‘job desk’ dan resiko yang menantinya. Tapi itulah yang nanti jadi konflik. Yang fun lagi buatku adalah gimana film ngebuild up ‘ritual memandikan’ tersebut. Cara-caranya, batas waktunya, dan sebagainya. Banyak aturan yang harus Sri dan dua temannya ikuti. Salah satunya mereka harus mandiin Dela sambil dengar kaset rekaman suara Mbah Karsa yang bacain langkah-langkahnya. Tentu saja ini nanti bakal berkaitan dengan momen-momen scare yang dipunya oleh film. Like, mereka harus ngiket dulu tangan dan kaki si Dela sebelum membuka keranda bambu. There’s no way hal akan baik-baik saja saat mereka melakukannya hahaha…

Kimo gas pol di sini. Gak ada sensasi ‘adegan datar’ di film ini. Horor yang ia suguhkan benar-benar main fisik. Beberapa kali film ini hampir jadi body horor saking banyaknya ‘abuse’ yang diberikan on-cam kepada tubuh para karakter. Aku sampai heran masa iya film ini ‘cuma’ dikasih rating 13+ sama lembaga sensor. In my opinion, this should be higher. Apalagi tayangnya di masa lebaran. Jadi tontonan keluarga deh, pasti. Anyway, sensasi horor di sini terasa lebih well-crafted ketimbang pada KKN. Momen-momen kecil seperti suara rekaman yang tiba-tiba mati sukses bikin kita semakin mengantisipasi kengerian, untuk kemudian dipecahkan oleh ‘punchline’ seperti jumpscare atau serangan setan. Kimo sendiri pernah publicly bilang dia menggemari dan terinspirasi sama Sam Raimi (Evil Dead, Drag Me to Hell). Dan di Sewu Dino ini pun pengaruh Sam Raimi pun kelihatan. Lucunya, selain itu, aku juga menangkap ada pengaruh game survival horor Jepang pada film ini. Khususnya seri game Fatal Frame. Serius. Begitu banyak momen yang bikin aku teringat sama game itu, I’ll just go ahead and say it: Sewu Dino buatku kayak adaptasi tak-resmi dari Fatal Frame. Ritual yang gagal (kurang elemen disaster doang). Desain antagonis yang pake tali menggelantung di anggota badan, ngingetin sama Rope Maiden. Setiap kali tidur, Sri menjelajahi dunia lain dan melihat gubuk di sana – ini kayak main plot di Fatal Frame 3 yang karakter kita akan bertualang di Manor of Sleep setiap tidur dan nanti hantu-hantu di ‘mimpinya’ itu akan berdampak physically di dunia nyata. Rekaman dan suara-suara mengerikan bicara ke karakter? Udah staple di game dan film horor Jepang kayaknya. Sri harus ke hutan mengecek payung-payung pagar gaib, easily bisa jadi misi dalam game. Dan, berapa kali coba dalam game-game Fatal Frame kita dapat sekuen escape lari-lari dramatis bareng orang yang kita selamatkan? Sekuen escape di film ini, juga punya treatment yang dramatis seperti itu. Yang bikin beda ya Sri di film ini benar-benar melawan dengan fisik, bukan dengan kamera haha

Kayaknya aku kebanyakan main game puasa-puasa….

 

Bahkan Sri pun mirip sama karakter utama game, dalam hal, dia gak banyak bicara. Agak kurang aktif, unless ‘tombolnya’ dipencet. Kalo yang ini sih, sebenarnya kekurangan film ini menurutku. Namun bukan exactly kekurangan dari karakter ataupun dari Mikha Tambayong memerankannya. Mikha melakukan cukup banyak; sebagai protagonis horor dia didera cukup banyak di babak akhir. Sekali lagi, Kimo tahu gimana harus ngetreat cerita horor.  Hanya saja, di momen Sri mulai ‘gerak’ film udah habis. Di awal-awal, aku mengerti Sri diarahkan untuk jadi karakter yang rasional. Dia kabur duluan. Dia gak ‘seringan tangan’ itu mau melakukan kerjaan mengerikan. Tapi ini juga membuatnya jadi kurang dominan. Apalagi karena film ternyata malah menyiapkan ‘twist’ di tengah, regarding ada di antara mereka ada yang ingin menyabotase ritual mandi. Di tengah itu, alih-alih fokus mengembangkan karakter Sri, film malah sibuk bercocok tanam clue. Ngebuild up momen ‘siapa yang jahat’. Kita terputus dari Sri di bagian tengah. Dan ini membuat kita butuh agak lama untuk bisa konek lagi dengan motivasi dan journey karakternya. Makanya momen-momen ketika Sri terpukul telah membunuh satu karakter enggak benar-benar kena. Padahal secara teorinya dia telah ngelakuin something opposite dari tujuannya pengen membantu.  Momen ketika dia menolak duit pun jadi tidak benar-benar nendang. Padahal itu momen puncak yang juga mengusung gagasan cerita. Yang mengaitkan Sri dengan bigger things dalam universe cerita ini.

Menolak duit yang harusnya adalah upah dirinya adalah pembelajaran Sri soal bagaimana ‘cara kerja’ Mbah Karsa. Bahwa semua itu merupakan lingkaran setan. Lingkaran setan di sini bukan hanya soal kau menyerangku, maka aku menyerangmu – seperti Mbah Karsa dengan musuhnya. Tapi juga soal aku membantumu, maka kau harus membantuku. Yang dilakukan Sri sebenarnya adalah menolak untuk terus terikat dengan Mbah Karsa. Dia ingin lepas dari lingkaran itu, karena baginya goal sudah tercapai. Dia sudah meredeem diri dengan membantu Dela.

 

Film ini sempat dipermasalahkan soal bahasanya. Yang campur-campur Jawa Indonesia. Buatku, aku gak terlalu ngeh ke bahasa saat menonton. Mungkin karena terbiasa nonton film asing, yang bahasanya ku gak tau. Jadi for me, yang ‘terdengar’ itu ya cuma subtitle dan emotions yang mau diceritakan. Tapi memang, kalo mau pake bahasa tertentu, film harus komit dan benar-benar menjadikan bahasa itu sebagai identitas. Bukan sebagai gimmick. Pada Sewu Dino, memang Jawanya masih kayak gimmick, belum terlalu jadi identitas atau karakter. Tapi buatku gak nganggu. Menurutku yang tidak benar-benar perlu itu ya, ada ‘twist’ di tengah. Cerita terasa lebih ‘natural’ dan  fun ketika ketiga karakter di pondok itu merasa dipermainkan oleh setan di dalam tubuh Dela. Akan lebih menarik melihat gimana setan itu membuat mereka malah jadi saling serang di hari terakhir tugas mereka, misalnya, ketimbang masukin alur seseorang dengan sengaja sabotase dan si setan membiarkannya. Aku senang aja sama situasi horor tertutup mereka setiap hari harus masuk ke sana mandiin orang kesurupan. Malah aku pengennya jangan tiga hari doang, tapi full seribu hari aja sekalian. Repetitif, repetitif, deh!

Namun lore soal ada dua kubu di luar mereka semua itu memang akhirnya membayangi cerita yang sudah berusaha dibuat simpel oleh Kimo. Di momen akhir saat Sri mulai menguat sebagai karakter, Sewu Dino mulai tercampur aduk. Akan ada karakter yang tau-tau muncul. Akan ada lebih banyak misteri untuk dipecahkan. Ini membuat film jadi tidak berakhir memuaskan, walaupun journey karakter utama kita selesai dengan gemilang. Sewu Dino tetap terasa jadi sesuatu yang belum selesai, dan ini bukan cara yang benar-benar tepat untuk mengirim penonton pulang. Tidak cukup membuat penasaran, melainkan hanya ya gak puas saja. Terakhir kali aku ngerasa puas nonton horor yang ada cult-cultnya itu ya pas nonton akhir dari season 4 serial Servant di Apple TV+ Momen psikologikal horor dan turn around karakternya terasa banget. Kalian bisa langsung klik link berikut ini untuk langganan Apple TV+ dan catch up banyak lagi tontonan original lainnya https://apple.co/40MNvdM

Get it on Apple TV

 




Journey karakternya memang gak sampai terlalu dalam, film ini masih sebagian besar berfokus kepada kejadian horor yang terjadi, alih-alih menelisiknya. Tapi seenggaknya film ini menolak jadi terlampau ribet dengan lore dan segala macam perang santet yang membayangi alur karakter utamanya. Melihat dari si protagonis saja, film ini actually adalah cerita horor yang decent, dan digarap ke arah yang fun. Ingin mencuatkan pada situasi horor yang ngeri-ngeri sedap untuk ditonton. Tapi dijamin bikin ngompol kalo kita yang ngalamin. Enggak jelek, meski gak great juga karena masih berusaha catering buat jadi wahana bagi penonton. Ada twist yang gak perlu dijadiin seperti itu, misalnya. Yang jelas secara keseluruhan, film ini lebih baik dari KKN di Desa Penari. While it’s not saying much – karena standar KKN rendah banget – nilai plus film kali ini buatku adalah banyak elemen-elemen dari sini yang membuatnya jadi kayak something dari universe game Fatal Frame 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SEWU DINO

 




That’s all we have for now.

Kalo menurut kalian kenapa Sri gak mau nerima uang bayarannya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



BERBALAS KEJAM Review

 

“A man that studieth revenge, keeps his own wounds green, which otherwise would heal”

 

 

Amat sangat wajar kita menginginkan yang terburuk buat orang yang pernah nyakitin kita. Jangankan itu, ngeliat ada orang kasar/semena-mena di internet saja, kita semua akan lantas turun ‘merujak’ orang itu, menjemput paksa keadilan itu kepadanya. Kita semua pengen ikut mencicipi manisnya buah pembalasan. Gak heran makanya genre atau kisah revenge populer dalam perfilman.  Mulai dari Kill Bill hingga John Wick, perasaan puas lihat karakter kita mendapat keadilan, berhasil menuntut balas udah jadi kayak semacam candu. Kita dapat pelepasan emosi dari nonton film-film kayak gini. Tapi ada juga kisah balas-dendam yang menggali di balik kepuasan sesaat itu. Ya, karena balas dendam ‘mata untuk mata’ yang diterjemahkan sebagai pukul dan balas pukul sesungguhnya hanya akan membuat keadaan semakin terluka. Kalo kata Gandhi, ‘eye for an eye akan membuat dunia jadi buta’. Ada film-film yang membuat kita merasa gak-enak setelah merasa puas balas dendam. Film-film kayak Oldboy, misalnya. Teddy Soeriaatmadja yang dua tahun lalu nyobain riaknya genre thriller lewat Affliction (2021), kembali hadir dengan film yang cukup kelam tentang balas-dendam. Teddy ingin kita turut merasakan gimana balas-dendam memang memuaskan, tapi itu bukan jalan healing. Melainkan hanya akan membuat kita berada di posisi yang bahkan lebih buruk dari pelaku yang melakukan kejahatan itu in the first place.

Dua tahun lalu di hari ulang tahunnya, Adam dapat jam tangan baru. Namun ‘bayarannya’ berat. Adam harus kehilangan istri dan anak semata wayangnya. Tiga orang rampok masuk paksa ke dalam rumah. Menyikat harta, dan melukai keluarga Adam. Istri dan anaknya tewas. Jam tangan barunya tadi juga diembat. Kita gak sepenuhnya dikasih lihat gimana perampokan itu berakhir, asumsiku pihak rampok mundur teratur karena salah satu mereka juga terluka, dan ditangkap polisi. Yang jelas, Adam kini hidup segan, mati gak bisa. Oh dia berusaha bunuh diri. Gak sanggup. Kerjaan arsitek Adam jadi terbengkalai. Pikirannya cuma ke malam naas itu.  Mengulangi detik-detik terakhir keluarganya. Momen healing bagi Adam datang sebagian kecilnya dari sesi bersama psikiater muda bernama Amanda (yang membantu meringankan, meskipun Adam enggan mengakui), dan sebagian besarnya datang dari kesempatan untuk balas dendam langsung kepada ketiga rampok yang kini sudah hidup biasa seperti tanpa dosa.

Black… no, Dark Adam!

 

Biasanya plot cerita revenge melibatkan strategi nekat dari karakter. Gimana dendam itu ‘direncanakan’, protagonis kita akan bersiap dahulu untuk mengakali si penjahat. Dia akan tahu persis kapan dan di mana harus menyerang. Adam dalam Berbalas Kejam dimulai dengan langsung nekat, strateginya diskip. Ini yang bikin tindakan Adam lebih mencekat. Reza Rahadian paham kemelut karakternya pas Adam sadar supir ojek mobil onlinenya adalah salah satu dari pelaku perampokan/pembunuhan di rumahnya dulu. Reza mengerti bahwa momen itu adalah momen ‘split-second’ Adam musti ngambil tindakan di atas ketakutan dan traumanya. Sooo, he gives us some very convincing emotions dari seorang pria yang akhirnya mutusin buat membunuh itu. Dalam cerita revenge, momen first-kill protagonis merupakan momen penting, titik-balik dari protagonis entah itu dia orang yang pertama kali harus melakukan kekerasan/membunuh ataupun dia orang yang harus kembali ke kebiasaan lama yang ia tinggalkan. Setiap nonton revenge story, aku selalu memfokuskan pada momen ini. Buatku keberhasilan cerita balas-dendam bukan dari seberapa sadis atau puasnya, tapi dari seberapa monumental tindakan balas dendam itu bagi si karakter ini. Bagaimana itu mengubah dirinya. Reza sukses mendeliver momen titik-balik Adam. Untuk selanjutnya, dia juga memantapkan sikap Adam yang merasa sudah menyembuhkan depresinya. Dia sudah bisa nyusun rencana untuk menghabisi target. Untuk kemudian menjadi semakin kalut karena sekarang dia jadi buronan polisi.

Walaupun rasanya puas telah impas menyakiti orang yang nyakitin kita, balas dendam seperti itu tidak pernah benar-benar menyembuhkan derita. Karena dengan kita terus nyusun rencana untuk balas dendam beneran ataupun sekadar membayangkan skenario nyakitin balik, kita sama saja dengan mengingat derita yang mestinya kita move on tersebut. Tindak mendendam justru membuat kita terus membiarkan luka lama terbuka. Menjauhkan diri dari closure yang sebenarnya. Dan kita akan berakhir menyakiti diri sendiri. Seperti yang terjadi pada Adam.

 

But that’s on Reza. Gimana dia peka dalam mengikuti skrip, menciptakan karakternya dari sana. Berbalas Kejam, malahan bisa dibilang, terangkat oleh penampilan akting. Selain Reza, ada Laura Basuki, Yoga Pratama, Baim Wong yang berusaha ngasih something dari karakter mereka. Baim, seperti juga Reza, mengerti bahwa aspek penting dari karakter mereka adalah ‘transformasi’. Adam menjadi worse man karena tenggelam dalam balas dendam dan jadi pembunuh, sementara para perampok kini jadi manusia jujur – meninggalkan kerjaan kotor mereka. Or so they say. Baim membawakan karakternya dengan ‘mendua’ – antara beneran insaf, atau tetep jahat. Dan kita percaya pada keduanya sekaligus. Bagi Adam, karakter Baim memang jadi tantangan terakhir. Kedua aktor mengerti yang dilalui karakternya, dan kita dapatlah momen seperti Baim Wong nyukur rambutnya sampai botak. Sampai dirinya seperti ketika melakukan kejahatan di rumah Adam dulu itu. Transformasi mereka ini harusnya bisa lebih terasa jika film benar-benar menekankan ke sana. Bukan sekadar rambut panjang, brewok berantakan, atau sebagainya. Jejak derita pada tubuh seharusnya diperkuat. Baim got it easier karena karakternya memang jadi cacat sebelah mata. Karakternya yang supposedly sudah tobat, jadi malah semakin mengerikan. Reza, however, dibiarkan oleh film apa adanya. Hidupnya yang depresi dan harusnya makin sulit tidak tergambar dari fisiknya yang senantiasa segar bugar. Perubahan Adam secara mental yang dilakukan oleh akting Reza – orang ini berdiri mengancam sambil berlinang air mata! – tidak diimbangi oleh film yang membuatnya tetap prima dan kuat.

Aku merasa tidak banyak perbaikan atau peningkatan yang dilakukan Teddy dalam menggarap genre thriller ini sejak Affliction. Kelemahannya masih sama. Teddy tampak paham formula-formula cerita yang hendak ia sajikan, dan dia ngikut formula itu seaman-amannya. Kayak anak yang baru belajar masak mie, hanya ngikutin ‘cara membuat’ di bungkus bagian belakang.  Gak dikasih bumbu apa-apa. Gak dimasukin telur karena di situ tak tertulis tambahkan telur. Hasilnya Berbalas Kejam terasa fit in the mold, tapi generik sekali. Dia tahu first-kill itu penting dan emosional bagi karakter Adam, tapi kameranya merekam dengan datar. Tidak meng-convey perasaan itu. Dia tahu great revenge story punya aksi yang menyimbolkan ‘mata dibalas mata’, maka kita dapat bentuk pembunuhan unik saat Adam menggunakan knalpot dan bikin struktur pipa sebagai balasan anaknya yang mati tercekik. Namun adegan kematiannya tidak direkam intens. Ketegangan malah pada adegan berantem sebelum Adam bisa menaklukkan perampok. Adegan berantem yang generik dan stake/rintangannya kecil buat Adam. Aku merasa adegan-adegan Adam membunuh itu diniatkan untuk kita merasa dua sekaligus, puas melihat Adam berhasil, sekaligus ngeri karena dia telah jadi sama atau malah lebih kejam. Dan yang kita lihat, sama sekali tidak mengesankan itu.

Also aneh buatku mata kirinya buta tapi menoleh ke kiri

 

Film ini berangkat dari banyak ide bagus. Kayak, gimana kalo supir ojek online kita ternyata adalah orang yang dulu pernah jahatin kita. Atau gimana kalo orang yang udah bikin hidup kita hancur, ternyata jadi calon keluarga kita yang baru. Eksekusi ide-ide itu saja yang kurang eksplorasi sehingga hasil film ini tetap terasa masih generik. Sepanjang nonton, yang disuguhkan film ini terasa kayak udah pernah kita tahu sebelumnya. Arahan film pun tidak terasa aktif dalam menghadirkan thriller yang distinctive. Aku mengira mungkin karena Teddy memang lebih nyaman di drama. Pada hubungan antarkarakter. Maka aku akhirnya menoleh ke sana. Ke hubungan Adam dengan karakter lain. Nothing. Berbalas Kejam memang banyak karakter pendukung, orang-orang di kehidupan Adam, tapi gak ada hubungan yang genuinely terbangun. Selain dengan antagonis yang hanya di momen akhir, hubungan Adam dengan rekan kerja, dengan polisi yang nyelediki, tidak terasa urgen sama sekali. Mungkin film memang ingin nunjukin betapa terputusnya Adam karena depresi, trauma, dan mendendam. Tapi bahkan dengan love interest barunya, hubungan Adam terasa sekenanya. Malahan, ketika film masuk membahas romansa Adam dengan karakter Laura Basuki, tone film jadi seperti cringe. Kayak cinta cengengesan doang. Terlalu jauh gap antara elemen thriller dengan romance mereka. Romance yang terasa dipaksakan. Mereka harus jadi couple karena berkaitan dengan punchline plot. Dan cuma itu yang dipedulikan oleh film ini. Punchline kita pasti shocker banget! 

Baru-baru ini Quentin Tarantino ngedumel soal adegan bercinta sebenarnya gak penting-penting amat ada di berbagai film. Berbalas Kejam bisa dijadikan contoh teranyar dari pendapat Tarantino tersebut. Supaya kita bisa instantly percaya Adam dan Amanda jatuh cinta, mereka pasangan, maka film kasih adegan ranjang. Padahal gak ngaruh juga. Hubungan mereka tetap terasa hambar, Harusnya ya film invest banyak buat build up hubungan karakter. Bukan invest ke adegan-adegan bunuh, yang gak benar-benar keren. Jika dalam cerita Adam gak punya hidup sejak istri dan anaknya tewas, maka karakter-karakter lain di film ini juga terkesan never really lived. Naskah bener-bener batasi penggalian dan fokus ke kejadian saja. Si Polisi yang keliatan pintar, misalnya. Tetap aksinya lamban dan doing weird thing demi Amanda bisa terlihat lebih berperan. Like, polisi ini udah tahu tiga sekawan perampok dibunuhi satu persatu, sudah dua yang mati, tapi langkah mereka berikutnya adalah nanya ke Amanda. Ke psikiater yang mereka sama-sama tau punya kode etik. Kenapa gak langsung nyari keberadaan perampok ketiga. I mean, bayangkan kalo film berbelok jadi memuat polisi berusaha melindungi mantan kriminal yang kini sedang diincar oleh seorang sipil yang diduga beraksi nekat karena dendam. Bukan hanya it would make some interesting confrontations, tapi juga benar-benar membuat para karakter melakukan aksi yang ‘logis’ sebagaimana real people bertindak. Tidak membuat mereka ada di sana seadanya aja.

Servant Season 4 yang di Apple TV+ juga punya cerita yang berpusat pada karakter yang bertransformasi karena ingin balas dendam selama ini dikejar-kejar. Menghasilkan penutup yang seru dan kuat sekali elemen psikologikal thrillernya. Bagi kalian yang ingin nonton, bisa langsung langganan Apple TV+ lewat link ini yaa https://apple.co/40MNvdM

Get it on Apple TV

 

 




Cerita tentang revenge seseorang yang kehilangan begitu banyak melimpah di luar sana. Setiap dari mereka punya keunikan, misalnya adegan yang sadis, style yang oke, karakter yang bikin meringis, Film terbaru Teddy Soeriaatmadja aims so low padahal punya beberapa ide yang bisa menarik dikembangkan. Padahal punya penampil-penampil terluwes di kancah perfilman kita. Sangat disayangkan film ini jatohnya amat sangat generik. Selain itu, tone ceritanya juga berpindah dengan weird. Dari dark dan depressing, film ini bisa jadi sangat cheesy begitu menyentuh ranah romance. Aku gak mau tampak kejam, tapi apa boleh buat
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for BERBALAS KEJAM




 

That’s all we have for now.

Menurut kalian ada gak sih cara balas dendam yang ‘sehat’?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA