THE FATHER Review

“Why not try to enter their reality?”
 

 
Nominasi yang bakal bertanding memperebutkan Best Picture Academy Awards 2021 telah diumumkan. Dari delapan film tersebut, sebagian besarnya memang powerhouse, yang difavoritkan banyak penonton – kritikus atau bukan. Orang-orang akan menjagokan Nomadland dan Sound of Metal karena kemegahan teknis dan arahannya. Minari karena kehangatan dan karakternya. Promising Young Woman karena keberanian dan keedgyan gagasannya. Mank for the love of Cinema. The Trial of the Chicago 7 beserta Judas and the Black Messiah yang bicara seputar isu penting kemanusiaan. Tidak banyak yang sampai ke telingaku, berbicara soal The Father. Drama relasi ayah dan anak yang disadur oleh sutradara Florian Zeller dari naskah teater garapannya sendiri ini seperti sedikit terlupakan. Padahal, setelah kutonton, film ini ternyata memberikan kita pengalaman yang sekiranya sulit terlupakan. Dan ini ‘lucu’, mengingat filmnya sendiri bicara tentang orang yang perlahan (tapi pasti) kehilangan ingatannya.
To be honest, aku pun sendirinya berpikir ini bakal jadi tontonan yang cukup boring. Sudah kebayang film ini akan berisi percakapan antara ayah dan anaknya. Dan tentu saja, film ini memang berisi dialog demi dialog antara ayah yang berusaha memahami keadaan anaknya sekaligus juga tentang anak yang mencoba melanjutkan hidup sementara orangtuanya tersebut dalam keadaan yang tidak segampang itu untuk ditinggalkan. Kondisi ayahnya itulah yang membuat film ini tidak pernah menjadi semembosankan apa yang ku bayangkan. The Father adalah drama hubungan ayah dengan anak, sementara sang ayah ini mengidap Alzheimer. Dementia mulai menggerogotinya. Sehingga setiap kali percakapan mereka tampil di layar, selalu ada something interesting (dan mengkhawatirkan) yang terjadi di baliknya.

Mengalami langsung bingungnya dementia.

 
Banyak film yang membahas tentang dementia yang dialami oleh pengidap Alzheimer. Tahun lalu misalnya, ada Relic. Lalu belum lama ini, ada film horor Indonesia yang memejeng (iya memejeng doang!) karakter dementia yakni Affliction. kebanyakan film yang membahas tentang kengerian dementia memang membahas dari ketakutan dari menghadapi penderita dementia itu sendiri. Dealing with them dapat menjadi pengalaman yang mengerikan, terutama karena kita tahu penderita gak bakal bisa disembuhkan. Kenyataan bahwa mereka kian hari semakin melupakan kita itulah yang biasanya disimbolkan menjadi cerita horor atau jadi kaitan drama yang merenyuhkan hati. Di sinilah letak keunikan dari The Father. Film ini mengambil langkah yang ekstra dengan menempatkan kita langsung pada sudut pandang si penderita dementia.
Sebagian besar durasi, kita akan mengalami kebingungan itu bersama Anthony. Pria tua ini, diceritakan, menolak untuk dibantu. Setiap kali putrinya mendatangkan juru-rawat, Anthony selalu ngejutekin. Anthony gak suka dianggap tak berdaya. Terutama, dia curiga kalo mereka-mereka itu datang untuk mencuri jam tangannya. Padahal Anthony-lah yang selalu lupa menaruh jam tersebut di mana. Seiring film berjalan, semakin banyak hal yang membuat Anthony mengerutkan kening. Percakapan dia dengan putrinya, Anne, selalu berubah-ubah. Anthony yakin putrinya itu ingin ke Perancis, dan bahwa putrinya belum menikah. Tapi kenapa sering juga ada pria lain muncul di rumahnya. Mengaku sebagai suami Anne. Dan Anne bilang dia tidak pernah mau ke Perancis. DAN, ngomong-ngomong soal Anne, kenapa pula wajah putrinya ini berubah-ubah. Anthony tak abis pikir. Rumahnya ternyata bisa jadi bukan rumahnya. Pagi ternyata malam. Kenyataan mulai terpecah-pecah di dalam kepala Anthony, sampai dia sadar dia tidak mampu lagi menyatukan semuanya.

Yang paling mengerikan dari dementia adalah kenyataan bahwa penyakit itu tidak bisa dihentikan. Usaha menyembuhkan penderita dengan membawa mereka kembali mengingat realita adalah usaha yang sulit dan dibilang mustahil. Florian Zeller tampaknya mengerti akan hal tersebut. Makanya, film The Father ini dia susun sebagai pengalaman menonton yang menempatkan kita ke dalam benak atau realita yang dialami oleh si penderita. Itu dilakukan karena mungkin, itulah cara yang paling dekat dengan usaha menyembuhkan penderita dementia.

Nonton ini tuh kita seperti ikutan ‘sinting’. Untuk memberikan kesan confusing yang dialami oleh Anthony, sutradara benar-benar detil membangun set dan menggunakan latar. Kemudian menyempurnakannya dengan editing. Ngedip dikit, dan kita akan ikutan bengong melihat kenapa kantong plastik belanjaan itu berubah warna dari putih ke biru. Perubahan-perubahan kecil seperti demikian itu kerap terjadi di layar. Isi ruangan tempat tidur yang berpindah susunan. Keramik wastafel dapur yang berganti. Dan tentu saja, orang-orang yang muncul di sekitar Anthony. Semuanya kerap berubah. Anne yang di adegan sebelumnya, berwajah berbeda dengan Anne yang ternyata baru pulang dan muncul di pintu depan. Keganjilan-keganjilan ini semakin intens seiring durasi. Bagian favoritku adalah adegan makan malam yang percakapan mereka tampak ngeloop. Anthony datang, menguping Anne dengan suami mendebatkan soal mengirim dirinya ke institusi, kemudian mereka makan ayam, kemudian Anthony ke dapur ngambil ayam lagi, dan kemudian dia menguping Anne dan suaminya kembali. It’s weird, dan terutama menyeramkan karena kita juga berusaha merasionalkan yang terjadi – persis seperti yang dirasakan oleh Anthony.
Treatment begitu mengingatkan kita pada I’m Thinking of Ending Things (2020); thriller melankolis yang juga bermain dengan memori, yang terwujudkan oleh karakter dan objek yang berubah-ubah. Bedanya, The Father tidak menggunakan treatment tersebut untuk menghasilkan suasana sureal. Melainkan justru menguatkan feeling kebingungan yang grounded. Film ini berhasil membawa kita mengalami yang dirasakan Anthony. Mengalami bagaimana dementia itu bekerja, dengan mendekati asli. Karena memang, satu-satunya alasan kenapa film-film yang mengusung Alzheimer dan dementia lebih banyak mengeksplorasi dari sudut keluarga atau dari pengasuh terdampak, adalah sulit merepresentasikan dementia yang sebenar-benarnya itu seperti apa. Sulit untuk mendapatkan perspektif yang total akurat. Tentunya kita tidak bisa menanyakan kepada penderita. Sehingga, yang bisa dilakukan hanyalah dengan menginterpretasi. The Father really did a great job dalam interpretasi tersebut. Treatmentnya tadi sanggup mewakili perasaan bingung dan sensasi kehilangan sense of realita diri sendiri. Dan tentunya, treatment tersebut hanya bersifat sebagai pendukung. Apa yang didukung? tentu saja adalah karakter. Dan The Father punya karakter yang ditulis dengan sama detilnya.
Dari segi alur memang tidak banyak yang terjadi pada film ini. Percakapannya pun cenderung diulang-ulang, tapi tetap menarik karena situasi dan pelakon yang berubah-ubah. Kekuatan film ini ada pada bangunan karakter. Anthony dan Anne punya banyak lapisan masalah. Inilah yang terus digali dan dijabarkan dengan hati-hati oleh film. Lapisan permasalah itulah yang bakal mendorong kita untuk peduli kepada mereka. Hubungan mereka berdua diwarnai oleh masalah mulai dari Anthony yang tampaknya lebih sayang kepada adik Anne, dan lalu adik tersebut meninggal, yang kemudian jadi berkembang hingga ke rumah yang ditempati sekarang apakah punya Anthony atau punya Anne. Anthony sendiri bukan orang yang gampang untuk diajak berdialog, bahkan sepertinya sebelum dia dementia dia sudah ‘sulit’ berurusan ama orang seperti begitu. Dalam artian, Anthony adalah orang yang ‘punya caranya sendiri’. Begitu kata Anne yang berusaha memaklumi sifat ayahnya. Memainkan karakter sekompleks Anthony itulah saat bagi Anthony Hopkins menunjukkan kemampuan aktingnya (yang ternyata masih tajam!) Menjelang akhir, Anthony semakin tidak bisa menempatkan apa yang sedang terjadi. “I don’t know what’s happening anymore” katanya, tapi ia mengucapkannya tetap dengan nada menguatkan diri. Sudah bukan rahasia kalo Hopkins adalah aktor yang piawai, tapi tetap saja aku pribadi salut karena di sini tentulah perannya terasa really close to home for him. Kevulnerablean yang ditampilkannya di sini mungkin adalah cerminan dari bagaimana dia yang udah umur segitu disambangi langsung oleh dementia.

somehow di sini Anthony Hopkins gaya dan cara ngomongnya menurutku mirip sama Slamet Rahardjo

 
 
Olivia Colman sebagai Anne pun bermain sama vulnerable dan meyakinkannya. The Father tidak hanya menyajikan perspektif Anthony si penderita, tapi sesekali juga membawa kita menyelami kesulitan dan keresahan yang menimpa keluarga yang merawat penderita. Film melakukan ini supaya kita bisa lebih mengerti dampak mengerikan dari dementia yang ‘kejam’ tersebut. Semua itu untuk meng-enchance drama. Untuk menambah kedalaman lewat lapisan dari sudut pandang yang berbeda. Sekaligus diperlukan supaya film tidak melaju ke arah misteri, atau setidaknya supaya film tidak berbelok menjadi semakin mirip dengan apa yang dihasilkan oleh I’m Thinking of Ending Things. Karena jika hanya dari sudut pandang Anthony, besar kemungkinan kita bakal melihat Anne sebagai this impossible being, bahkan bisa jadi Anne tampak seperti antagonis.
Namun memasukkan sudut pandang Anne juga membawa sedikit minus bagi penceritaan, karena sudut pandangnya ini cukup messed up dengan treatment dan gaya bercerita yang sudah mantap pada Anthony. Misalnya, ada bagian ketika kita malah melihat hal dari dalam benak Anne. Film menjadi terlalu surealis dengan adegan ‘percobaan pembunuhan’, yang tentu saja berlawanan dengan niat di awal yakni untuk tidak menjadi terlalu surealis dan tidak menjadi slightly over-the-top. Jadi ya, menurutku memasukkan sudut pandang Anne di sini menjadi sesuatu yang dibutuhkan, meskipun memang membuat sudut pandang dan penceritaan menjadi sedikit terganggu. It is a risk, dan film berusaha sebaik mungkin dalam menampilkannya.
 
 
 
Berkat kebanalan dari sudut pandang penderita, film ini diakui banyak orang sebagai gambaran yang akurat, sekaligus dramatis, dari penyakit mengerikan yang bisa menimpa siapa saja di masa tua. Film ini membuat kita merasakan pengalaman dan keadaan jiwa yang bikin gak enak tersebut. Semua itu dilakukan dengan treatment dan editing yang cermat, dan terutama ditambah menjadi maksimal oleh permainan akting kelas legenda. I don’t know about you guys, tapi kupikir jika agenda dan ke-happening-an bisa disingkirkan sementara, maka film ini adalah kuda hitam dalam Oscar nanti. Film ini harusnya bisa dibicarakan lebih sering dan oleh lebih banyak orang lagi. Karena dia benar-benar menawarkan pengalaman menggugah, seperti yang dijanjikan oleh sinema.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE FATHER.
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya pengalaman dengan keluarga yang direnggut oleh dementia?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ANOTHER ROUND Review

“Drink to enjoy life”
 

 
 
Coba tebak apa persamaan antara Ernest Hemingway, General Grant, dengan Winston Churchill? Ya mereka adalah tokoh-tokoh hebat, but also, mereka bertiga adalah peminum berat. Sama seperti kalian; well, at least itulah yang dikatakan Martin kepada kelasnya dalam salah satu adegan belajar-mengajar paling gokil yang kita tonton di tahun ini. Adegan tersebut dapat kita jumpai dalam film Another Round garapan Thomas Vinterberg.
Drama komedi yang menilik kebiasaan minum di Denmark ini punya premis yang menarik. Ceritanya berangkat dari teori seorang penulis dan psikiatris beneran bernama Finn Skarderud. Penelitian yang kontroversial itu menyebutkan kandungan alkohol dalam gula darah manusia 0.05 persen itu masih terlalu rendah; dan argumennya adalah jika ditingkatkan menjadi 0.10 persen, akan membuat manusia menjadi lebih energik, lebih berpikiran tajam, lebih fokus dan terbuka. Basically, penelitian itu menyebut kandungan alkohol yang lebih tinggi akan meningkatkan performa manusia.
Empat guru SMU dalam film Another Round tertarik untuk membuktikan teori tersebut. Terutama Martin (diperankan luar biasa oleh Mads Mikkelsen), yang ngerasa dia kini menjadi membosankan. Semembosankan pelajaran sejarah yang ia ajarkan. Hubungan dengan istri dan keluarganya kian hambar. Murid-murid pun tak lagi memperhatikan kelasnya. Bahkan para murid menyalahkan Martin gagal mengajar sehingga nilai mereka jeblok. Jadi, Martin dan ketiga guru sobatnya itu mulai menerapkan minum-sebelum-bekerja. Hasilnya memang positif. Martin kembali jadi guru dan ayah dan suami yang keren. Murid-murid kini memperhatikan pelajaran karena kelas Martin sekarang jadi fun. Sesuatu yang lebih muda seperti menyeruak keluar dari Martin. Ini membuat Martin pengen lebih lagi. Dia dan teman-teman ngepush penelitian mereka lebih jauh lagi. Hingga mereka minum sampai mabuk. Dan tentu saja, mabuk dalam budaya manapun jarang sekali adalah salah satu pertanda yang bagus.

Ini baru namanya guru-guru gokil!

 
 
Maka film ini mengambil tempat sebagai studi perilaku manusia. Bukan hanya Martin yang disorot, ketiga temannya punya masalah masing-masing, dan kita akan melihat seperti apa pengaruh eksperimen dan penelitian mereka terhadap para guru ini satu persatu. Inilah yang membuat film ini menarik. Kita melihat mereka semua mulai dari fase stagnan – memboring dalam mid-life crisis – ke fase ‘terlahir-kembali’ sebagai guru yang cerdas dan menyenangkan – dan akhirnya tiba di fase paling rendah dalam hidup mereka.
Dalam mengarungi tiga fase yang dilewati karakter-karakternya tersebut, Vinterberg tampak menyetir perhatian kita keluar dari hal-hal klise. Seperti dia menyadari bahwa cerita seperti ini akan selalu ngikutin fase yang demikian, sehingga Vinterberg memusatkan perhatian kita bukan kepada fasenya melainkan dari bagaimana para karakter beraksi di dalamnya. Vinterberg juga memastikan semua itu direkam dengan treatment yang spesifik sehingga eksperiens yang dialami oleh karakter tersampaikan kepada kita. Lihat saja bagaimana kamera diperintahkannya bergerak ketika mengambil gambar Martin yang dalam pengaruh minuman, mengajar dengan cerdas di depan kelas. Martin memang masih tampak bugar, dia gak mabok atau keleyengan. Namun kamera bergerak dengan sedikit unsteady. Berayun-ayun dari close-up ke medium. Memberikan ruang tapi gak pernah lepas dari Martin. Aku gak pernah mabok. Aku bahkan gak suka (gak bisa) minum. Aku tim minum air putih karena bahkan teh dan kopi saja akan bisa membuatku tak-bisa jauh dari kamar mandi untuk beberapa jam. Tapi aku tahu bahwa efek seperti keleyengan itulah yang ingin dicapai oleh Vinterberg ketika membuat kameranya menangkap dengan gerakan seperti itu. Supaya kita dapat merasakan dengan subtil apa yang sedang terjadi pada karakternya.
Puncaknya tentu saja adalah pada adegan menari di ending. Wuih! Buatku ini adalah salah satu ending yang berhasil mencampurkan rasa/emosi dengan gelora visual, dan enggak muluk-muluk. Powerfulnya itu mirip seperti pada ending Sound of Metal (2020). Karena kedua film ini berhasil mentransfer emosi karakter sepanjang cerita kepada kita yang udah ngikutin tanpa pernah dibuat terputus sekalipun. Ending ini juga sekaligus memperlihatkan betapa menuntutnya permainan peran yang diberikan kepada Mads Mikkelsen. Dia harus mendeliver both secara emosional dan secara fisik – dilaporkan Mikkelsen beneran melakukan adegan menari itu sendiri tanpa stuntmen – dan keduanya tersebut sukses berat ia lakukan. Yang istimewa dari adegan ini adalah journey karakter Martin sudah demikian kuat tertutup – film menghantarkan kita melihat itu dalam cara yang sungguh unik. Di situ, walaupun dia memang terlihat minum tapi kita tahu bahwa Martin tak menari karena mabok, seperti pada adegan mereka ‘party’ di pertengahan cerita. Di akhir ini kita mengerti bahwa Martin menari sebagai dirinya sendiri. Bahwa saat itu dia yang menyadari hidup dan dirinya sendiri tidak akan bisa kembali ke ‘kejayaan masa muda’, namun toh dia tetap merayakan hidupnya.

Bahwa minum bukan untuk mengobati keadaan susah dan jadi jalan keluar untuk lebih baik dengan menjadi mabok. Minum adalah bentuk dari merayakan kehidupan. Sebuah tos yang dilakukan seseorang kepada dirinya sendiri, karena hidup tak akan menjadi baik kecuali kita sendiri yang mengubah pandang dan mengusahakannya.

 

Tapi bagaimana cara agar minum tak menjadi candu?

 
 
Tidak seperti film komedi Indonesia tahun ini yang tentang guru itu, Another Round memang memperlihatkan karakternya bekerja sebagai guru. Karena film ini gak lupa bahwa itulah kontras yang ‘dijual’ sejak awal. Lebih lanjut lagi, Another Round memang memiliki penulisan yang secara teori benar. Tiga aspek kehidupan tokohnya diperlihatkan semua. Kehidupan personal, kehidupan profesional, dan kehidupan privat Martin benar-benar ditampilkan supaya kita lebih memahami akar dari konfliknya. Kita mengerti kenapa Martin yang seorang guru nekat untuk minum alkohol justru pada hari-hari dia mengajar. Kita mengerti motivasi dari karakter ini. Karena sekali lagi, ini bukanlah semata tentang perbuatan minum atau maboknya. Another Round tetap adalah perjalanan personal karakter.
Semua orang di kota Martin minum alkohol, bahkan remaja sudah diperbolehkan mengonsumsi dengan batasan tertentu. Semua orang di sana pernah mabok. Nah, di sinilah letak kegoyahan film ini. Ada titik ketika film seperti bingung mengambil sikap terhadap mabuk – terhadap kebiasaan minum alkohol – itu sendiri. Istri Martin dalam satu adegan menyatakan mereka renggang bukan karena Martin yang kini jadi suka minum, karena semua orang minum. Melainkan karena Martin itu sendirilah, jadi Martin harus menengok ke dalam dirinya. Tapinya lagi, film tampak kesusahan melepaskan kesalahan Martin dengan alkohol. Menjelang babak penyelesaian film ini, narasi justru semakin memperlihatkan hal-hal buruk itu dari kecanduan alkohol. Minum yang tak-terkendalikan. Sehingga pandangan film ini terhadap alkohol jadi mencuat kembali, menutup soal personal karakter, dan pandangan tersebut blur. Film tak mengambil sikap tegas terhadap tradisi minum-minum yang mereka potret.
Pengembangan karakter di babak ketiga itu jadinya terasa terlalu cepat. Setelah satu peristiwa kematian, on top of peristiwa ‘tragis’ lain, Martin jadi berubah. Film terasa seperti nge-skip eksplorasi penting. Aku mengerti ini soal karakter Martin, tapi aku juga ingin melihat posisi film lebih tegas. Begini; sedari awal, minum-minum itu sudah diset layaknya jawaban yang benar, tapi lalu diperlihatkan sebagai yang salah, tapi karakter menyebut bukan soal mabuknya, dan kemudian Martin arc complete. See, seperti ada yang hilang. Film seperti berkelit dan cerita beres. Aku ingin eksplorasi yang lebih banyak supaya hubungan ke karakternya lebih erat.
 
 
 
Buatku hanya dengan begini, cerita film ini cukup terlihat sebagai anekdot saja. Seperti anekdot Hitler dengan dua tokoh politik yang diajarkan oleh Martin di dalam kelas. Amusing untuk didengar, tapi anekdot itu mengundang pemikiran yang lebih mendalam; kenapa yang gak peminum seperti Hitler pada akhirnya tetap menjadi the worse person. Film ini sendiri pun meng-gloss over pemikiran seperti itu. Fokusnya tetap pada karakter. Yang dimainkan luar biasa, dengan arahan dan treatment penceritaan yang baik. Membuat film ini lucu, dan maka menjadikannya cukup tragis. Penulisannya-lah yang sedikit kurang bagiku. Tapi tetep, film ini bakal jadi pesaing kuat buat kategori Film Internasional Terbaik di Oscar tahun depan.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ANOTHER ROUND.
 
 

 

That’s all we have for now.
Orang bilang mabuk membuat seseorang bisa jadi lebih jujur, film ini memperlihatkan alkohol membuat Martin jadi lebih keren. Bagaimana pendapat kalian tentang itu? Kenapa mabuk bisa membuat orang menjadi lebih jujur, lebih berani, dan lebih terbuka?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

1917 Review

“A warrior is defined by his scars, not his medals”
 

 
Semua pejuang Perang Dunia I – termasuk di dalamnya adalah kakek sang sutradara yang namanya disebutkan pada kredit akhir film 1917 – melewati pengalaman hidup-mati yang benar-benar mengerikan. Mereka bukan superhero yang senantiasa selamat ketika musuh menyerang, dipuja-puja semata karena mengalahkan musuh dengan jurus ciamik. Mereka manusia yang semata menggebah diri untuk menjadi berani, yang berjuang membela yang dipercaya sekaligus berkutat untuk tidak menjadi seperti yang mereka lawan. Perjuangan yang sangat berat adalah mempertahankan kemanusiaan, dan dalam perang semua nilai-nilai kemanusiaan dapat dengan mudah tergadai.

Film 1917 dibuat oleh Sam Mendes bukan sebagai medali dari sebuah peristiwa peperangan. Melainkan – di sinilah letak keurgenan film ini – sebagai pengingat perang semestinya jangan sampai terjadi lagi. 

 
Ada dua hal esensial yang bisa bikin kita jatuh cinta sama suatu film. Cerita, dan pencapaian teknisnya. Film yang ‘dewa’ banget bakal punya keduanya. Film 1917 enggak begitu mentereng dari segi cerita. Enggak ada pengungkapan gede, enggak ada plot ribet. Film ini mengisahkan dua orang tentara Inggris yang lagi nyantai di tengah medan perang yang lagi adem ayem. Minggu depan mereka bakal makan malam ayam di rumah masing-masing. Jerman udah dipukul mundur ke belakang garis depan. Tentara Inggris di bawah pimpinan Kolonel MacKenzie sudah bersiap melakukan serangan terakhir esok pagi. Namun ada kabar baru; keadaan tersebut hanya jebakan. Jerman yang diketahui sudah mundur, ternyata siap menyambut Inggris dengan serangan balik kekuatan berkali lipat. Dua tentara yang lagi ngaso tadi – kopral Blake dan Schofield – dikirim ke garis depan untuk memberitahukan ini kepada Sang Kolonel. Mereka berdua harus berpacu dengan waktu sebelum pagi tiba, melintasi daerah musuh yang berbahaya, demi menyelematkan seribu enam ratus nyawa tentara.

Sebelum Jerman berteriak “I activated my trap card!”

 
Jika kalian menganggap kisah simpel yang menggerakkan film ini tampak seperti storyline video game – aku sendiri teringat sama opening game Suikoden II begitu melihat adegan-adegan awal film ini, maka tunggu sampai kalian menyadari cara film ini menceritakan kisah tersebut. It is exactly kayak video game. Menonton ini sensasinya sama kayak lagi main game perang, atau petualangan, karena sebagian besar adegan akan menyorot tokoh dari belakang dan kita mengikutinya. Gerak kamera begitu immersive sehingga kita serasa ikut bergerak bersama. Kejadian film pun dibuat seperti mengacu kepada bagaimana video game menyusun adegan-adegan. Ada porsi aksi saat intensitas naik, player mengambil kendali, kamera menyorot dari belakang, mengikuti perjalanan. Setiap belokan di parit penjagaan itu terasa berbahaya. Belum lagi suara tembakan atau even apapun di kejauhan, Scho dan Blake seperti selalu diancam bahaya. Kemudian ada kalanya mereka tiba di tempat baru, dan kamera merekam sekeliling, sudut pandang kita lebih luas – ini seperti bagian cutscene pada videogame, pemain rileks menikmati cerita. Tokoh-tokoh pendukung dalam film ini bahkan diberikan fungsi seperti penjelasan-level pada video game. I mean, dari waktu ke waktu Scho akan bertemu dengan pimpinan-pimpinan seperti MacKenzie, dan mereka akan memberikan eksposisi sedikit tentang situasi , just like bagian penjelasan antar-level dalam game. Penonton yang sering main game pasti akan merasakan kesamaan ini. Setelah percakapan perpisahan dengan satu tokoh yang mengantarkan Scho ke jembatan, tanganku malah sampe otomatis meraih ke depan tempat duduk mencari joystick karena untuk beberapa detik aku merasa sedang bermain game alih-alih menonton sinema.
Kadang kamera akan berjalan duluan, menjauhi tokoh, sehingga kita mendapat jangkau pandang yang lebih luas dan pemahaman tentang sekitar medan menjadi lebih lebar. Dan karena ini adalah beneran medan perang, maka yang kita lihat benar-benar pemandangan mengerikan medan peperangan. Film memperlihatkan mayat manusia dengan mulut menganga, mayat-mayat kuda, mata kita dilarang untuk menoleh ke kiri ke kanan karena set yang dibangun begitu mendetil dan menyokong rasa yang ingin disampaikan. Ketakutan Scho dan Blake mengarungi perjalanan tersebut nyampe dengan sukses kepada kita. Film membuat mereka mengalami begitu banyak hal mengerikan yang bisa terjadi kepada manusia di medan perang, mulai dari tangan tertusuk kawat hingga menghindari bom di tempat yang penuh tikus. Inilah kenapa film menggunakan cara pengambilan gambar yang seperti one-take dari awal hingga akhir. Inilah kenapa film terlihat seperti video game. Kamera tidak ingin melepaskan kita sedetik pun dari pengalaman yang dirasakan oleh tokoh-tokohnya. Sense of real time yang mereka bangun dengan gerakan kamera yang seamless seolah tanpa cut, dan terbukti sangat berhasil.
Film 1917 ini menggunakan gimmick seolah ia dishot dalam satu take, seperti Birdman (2014). Semua pengadeganan sudah dipikirkan, posisi pemain, jalur kamera, gerakan tokoh – seluruh elemen tersebut dirancang untuk menampilkan ilusi film ini diambil dengan satu take yang panjang. Namun peran besar editing dan efek di sini juga tak bisa kita abaikan. Film memanfaatkan adegan-adegan seperti tokoh yang tertembak sehingga jatuh dan gelap, atau masuk ke dalam air, atau tokoh berjalan di antara benda seperti pohon atau tembok, sebagai celah untuk mengcut dan menyatukan kembali dengan shot berikutnya. Precise sekali sambung menyambung yang dilakukan, sehingga ilusinya gak kentara. Film melakukan ‘gimmick’ ini dengan tidak sembarangan, melainkan dengan cita rasa seni yang tinggi. Lingkungan dan aksi ditangkap oleh kamera dengan sangat menawan. Dengan warna-warna, misalnya pada scene di malam hari yang tampak kece sekali. Departemen musik dan suara juga ikut menyumbangkan suasana intens yang enggak dibuat-buat ataupun terasa lebay. Pencapaian teknis film ini memang sukar untuk diabaikan
harus ditenangin dulu setelah lihat tikus jerman segede gaban!

 
While film ini niscaya dengan gampang menghibur banyak penonton – kita bisa menjamin kata-kata ‘seru, tegang, ataupun dahsyat’ bakal keluar dari mulut teman yang menyaksikan – aku juga masih bisa melihat beberapa penonton akan menyebut kekurangan film ini adalah kurang berisi. Lantaran cerita yang sangat simpel. Film ini memang kurang lebih seperti Dunkirk (2017); menempatkan kita begitu saja ke tengah-tengah peperangan, mendadak mengikuti orang-orang yang berjuang nyawa. Namun Dunkirk memang dibuat lebih ke arah thriller. Sedangkan 1917 masih berusaha mengangkat lebih banyak drama, walaupun memang penceritaannya dilakukan dengan cepat, dan berkat teknis yang mencuri perhatian kita bakal mengoverlook drama dan bakal mainly mengingat film ini sebagai pengadeganan dan ilusi one-shotnya itu saja.
George MacKay dan  Dean-Charles Chapman, respectively sebagai Scho dan Blake, diberikan peran yang bukan tanpa arc. Karakter mereka ditulis berlawanan dengan Blake memiliki fungsi sebagai pendukung bagi pertumbuhan karakter Scho. Pada permulaan film, Scho tidak terlihat punya semangat juang sebesar Blake. Ia malah tampak kesal sudah ditunjuk Blake untuk menemani melakukan misi. Dan takut – Scho tanpa ragu nunjukin keengganannya, ketakutan, keraguannya terhadap misi mereka. Scho percaya pada hal terburuk yang bisa terjadi. Kontras sekali dengan Blake yang semangat dan optimis, dia penuh motivasi karena abang kandungnya ada di pasukan MacKenzie, dan si abang akan jadi korban jika mereka gagak datang menghentikan serangan tepat waktu. Sifatnya inilah yang menurun kepada Scho setelah peristiwa mengenaskan di pertengahan cerita. Kita melihat transformasi dari Scho, dia benar-benar berjuang kali ini. Arcnya comes full circle dengan adegan akhir yang mirip dengan adegan awal, hanya saja kita tahu tokohnya sudah bukan lagi pribadi yang sama. Scho yang tadinya bahkan enggak peduli dengan medali, menjadi sadar dan bangga berjuang atas nama luka-luka dan jerih payah ia tempuh dengan semangat untuk membuat hidupnya lebih bermakna daripada sekadar cari aman. Scho rela berjuang bukan saja demi dirinya tapi juga demi orang lain.

Perjuangan itu seharusnya bukan hanya bertahan hidup. Yang terutama adalah mengisi hidup tersebut; menjadikan hidup berguna, terhormat, berjasa bagi orang lain. Sehingga akan ada bedanya bagi dunia saat kita hidup dengan saat kita tidak ada lagi di dunia.

 
Arc Scho sebagai tokoh utama sebenarnya sangat memuaskan. Pada babak akhir itu kita benar-benar pengen melihat usahanya tidak sia-sia dan dia selamat, karena kita akhirnya melihat dia tulus berjuang. Hanya saja kepedulian kita terhadapnya tidak muncul sedari awal. Kita tidak melihat alasannya berjuang hingga menjelang ending, Schofield ditulis sebagai karakter ‘ternyata’ alias backstorynya perlahan diungkap – dan sayangnya, itu termasuk motivasinya. Makanya ada sebagian penonton yang masih merasa kurang padat soal pengkarakteran yang dipunya oleh film ini. Aku pun setuju, motivasi Scho seharusnya bisa diperkenalkan sedari awal supaya saat menontonnya kita bisa lebih relate dan enggak hanya terpukau oleh teknis. Tapinya lagi, aku pikir, Scho bisa jatoh lebih buruk, like, di tangan penulis yang lebih kurang kompeten aku yakin Scho bakal jadi annoying dengan keengganannya ikut misi di awal-awal tersebut. Jadi paling enggak, aku menyimpulkan film ini menempuh resiko dengan membuat perjalanan Scho seperti yang kita saksikan, yang ditulis memang untuk sesuai dengan gaya one long take yang ingin mereka lakukan.
 
 
 
 
Meskipun bukan satu-satunya atau malah bukan yang pertama yang menggunakan konsep one-take, tetapi film ini tetap punya pencapaian teknis yang enggak bisa dipandang sebelah mata. Penceritaannya menerjunkan langsung ke medan perang dan menyaksikan sendiri perasaan mencekam di tengah-tengah sana. Kisahnya punya drama yang cukup untuk membuat kita ikut terengah-engah menontonnya. Sebab semuanya terasa begitu nyata, berlangsung tepat di depan kita. Tekanan waktu terasa mencekam, bahaya terasa mengincar dari setiap adegan. Ilusi dari gabungan teknis yang luar biasa sebagai cara film bercerita sungguhlah kuat. Sehingga jika film ini adalah peluru, maka ia adalah peluru yang membekas sangat dalam ke dalam pengalaman menonton kita semua.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for 1917.

 
 
 
That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang Perang Dunia 3 yang sedang gencar ‘dipromosikan’ oleh pemerintah Amerika? Bagaimana perasaan kalian jika diharuskan untuk berperang?

 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

LITTLE WOMEN Review

“Women now have choices”
 

 
Dulu waktu hidup masih simpel, judul Little Women terdengar seperti sesuatu yang cute, yang hangat. Ketika pengarang Lousia May Alcott menuliskan itu sebagai judul novel yang aslinya dibagi menjadi dua bagian, ia memaksudkan Little Women sebagai istilah untuk masa-masa di mana masalah dewasa mulai merayapi gadis-gadis yang beranjak dewasa. It was the 19th century, tepatnya tahun 1890an, dan ‘masalah dewasa’ tersebut berarti gadis-gadis harus mulai memikirkan pernikahan untuk menaikkan status mereka. Karena membahas masalah inilah, cerita ini menjadi klasik. Sudah berkali-kali ia diadaptasi ke medium film, mulai dari 1933 hingga yang terbaru sebelum ini di tahun 2018. Sebab romansa begitu universal dan timeless, cerita tentang empat kakak beradik cewek yang berubah menjadi wanita berdikari dan menemukan cinta masing-masing akan selalu nyantol di hati enggak peduli era berapa. Kini, ada satu hal yang berubah. Di masa SJW dan pergolakan feminisme sekarang ini, judul Little Women kemungkinan bisa dianggap merendahkan. Udahlah wanita, kecil pula. Jika memanglah benar judul ini menghighlight ketimpangan sosial wanita dan pria, maka Greta Gerwig berhasil mengadaptasi cerita ini menjadi sebuah film yang memiliki semangat pemberdayaan yang membuatnya semakin beresonansi lagi.
Sekali lagi kita mengunjungi Jo, Meg, Amy, Beth, sehingga aku merasa agak mubazir juga menuliskan kembali sinopsis cerita mereka. Empat gadis remaja yang seringkali harus saling mengurus diri lantaran ibu dan ayah masih punya urusan di dunia yang baru saja menyudahi perang. Jo pengen jadi penulis, Amy pengen jadi pelukis, Beth pengen jadi pianis, dan si sulung Meg play along with them. Mereka berteman akrab dengan tetangga mereka yang bangsawan kaya. Particularly kepada Theodore Laurence. Ada percikan cinta. Namun Jo belum siap menerimanya. Ini adalah cerita kekeluargaan, sisterhood, perjuangan wanita menggapai cita-cita sebelum siap menerima cintanya. Gerwig yang sukses berat dalam debut penyutradaan film panjangnya di Lady Bird (2017) tampaknya memang jago menguatkan cerita sehingga menjadi sangat personal. Secara literasi, Little Women originally sudah bisa dikategorikan sebagai otobiografi lantaran Alcott menulis cerita ini berdasarkan kejadian hidupnya dan keluarga, namun ia harus membuat beberapa penyesuaian demi penjualan. Di sinilah letak jasa Gerwig; ia mendedikasikan adaptasi versinya ini ini untuk pilihan hidup personal personal yang sudah dipilih oleh pengarang. Dalam sebuah penceritaan yang begitu manis,

memblurkan fiksi dan kayfabe (fakta-dalam-fiksi)

 
Gak gampang membuat cerita lama terasa berbeda. Setiap adaptasi Little Women menggunakan pendekatan berbeda, misalnya versi 2018 yang mengangkut cerita dasar dan meletakkannya di suasana modern kita sekarang ini; film itu bisa bagus jikasaja aktingnya enggak selevel sinetron atau FTV. Gerwig, however, tetap menempatkan Little Women versinya sebagai period piece. Beberapa elemen yang tak berani ditampilkan oleh film-film versi yang lebih lawas, seperti pembakaran naskah tulisan Jo oleh Amy ataupun Amy yang jatuh ke dalam kolam beku, ditampilkan tanpa masalah oleh Gerwig. Sebab ia ingin menonjolkan interaksi, keakraban dalam keluarga Jo March. Inovasi signifikan yang dilakukan Gerwig terhadap materi ini berawal dari penggunaan alur maju mundur sebagai cara bercerita. Literally mengoverlap masa remaja dengan masa dewasa, seperti yang dimaknakan oleh judul menurut sang pengarang bukunya.
Penonton film Indonesia bakal akrab dengan teknik bercerita begini mengingat sepanjang 2019 kemaren hingga ke 2020 ini kita menyaksikan banyak film lokal yang tersusun demikian. Bebas dan Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini misalnya. Film crime-drama Darah Daging juga, meski dengan penggarapan dan timing yang lebih buruk. Cerita akan dimulai dari Jo yang sudah dewasa, di kantor percetakan, bermaksud menjual dan menerbitkan cerita yang ia tulis. Seiring proses kreatif Jo saat ia merevisi tulisannya nanti, kita akan dibawa flashback ke masa remajanya karena memang Jo menuliskan masa-masa itu sebagai cerita (walau ia nyangkal dan bilang itu cerita temannya kepada pimred). Penggunaan dua timeline yang saling tindih ini dilakukan dengan cermat oleh Gerwig. Ia memastikan tidak ada emosi yang ketinggalan sebelum sempat terbangun saat mengontraskan antara masa dewasa yang tokoh-tokohnya bergulat dengan profesi dan pilihan hidup masing-masing dengan masa remaja saat mereka masih bersama-sama mengadakan pertujukan drama dan menghias pohon natal. Gerwig sangat precise mengatur waktu, menjahit dua timeline, tidak akan ada tokoh yang diizinkan pergi sebelum kita benar-benar sudah peduli kepadanya.
Kita tidak akan tersesat karena akan senantiasa dibimbing oleh time image, alias gambar-gambar yang menunjukkan waktu. Misalnya gaya rambut para tokoh. Atau yang paling obvious; tone warna. Cerita di masa lalu Jo akan dikuas warna-warna yang lebih hangat dan terang oleh film, menandakan perasaan para karakter pada saat itu. Sedangkan masa ‘kini’ cerita, warnanya lebih dominan biru sehingga terasa lebih ‘dingin’. Film tak perlu repot-repot meng-cast dua aktor untuk masing-masing tokoh. Mungkin kalian masih ingat kesalahan terbesar Little Women 1994 yang bagus itu? ya, menggunakan dua aktor untuk Amy; Samantha Mathis tidak bisa mengimbangi pesona Kirsten Dunst sebagai Amy remaja. Cast pilihan Gerwig terbukti luar biasa solid. Mereka mengarungi dua masa dengan tanpa cela, pertumbuhan mereka yang di babak awal terasa cukup menganga perlahan menutup dan terikat sempurna. Rentang yang harus mereka lakukan tidak membuat satu tokoh terasa seperti dua orang yang berbeda. Saoirse Ronan perfect sebagai Jo, sekali lagi dia menunjukkan permainan peran gak meledak-ledak tapi tetap ‘membakar’. Florence Pugh mencuri perhatian meniti karakter Amy dan tidak pernah terjatuh menjadikan tokoh ini annoying dan jahat meskipun Amy dan Jo paling sering bertengkar dan berbeda pendapat. Emma Watson sebagai Meg juga flawless mendukung Jo lewat keputusannya menikah bukan karena harta – yang menunjukkan menikah bukan tanda kelemahan wanita.
dan Timothy Chalamet sudah siap membuat penonton bersenandung dangdut “Chalamet malam duhai kekasih”

 

Little Women versi Gerwig ini punya agenda untuk menunjukkan bahwa kini wanita punya pilihan. Bahwa pernikahan bukan semata tujuan akhir kehidupan. Meskipun begitu memilih untuk menikah juga bukanlah sebuah pengakuan wanita butuh pria, melainkan pilihan untuk merayakan cinta.

Dalam film ini Gerwig menunjukkan mengakui cinta itu juga sama pentingnya dengan mengejar mimpi dan kemandirian. Film memutuskan untuk tidak lagi mengabaikan pilihan yang diambil oleh pengarang cerita, dan menampilkan sebenar-benarnya dengan cara unik tersendiri. Alcott tidak menikah hingga akhir hayatnya. Dalam film, Jo menulis cerita yang endingnya tanpa pernikahan dan pimred memintanya untuk mengubah dan menjadikan tokohnya menikah. Romansa dan pernikahan itulah yang kita dapat dalam Little Women original dan adaptasi-adaptasi lainnya sebelum ini.
Gerwig mencoba menghormati Alcott, menghormati Jo March. Menghormati wanita-wanita modern. Akhir inovasi maju-mundur film ini menghantarkan kita – tanpa sadar – kepada satu inovasi lagi. Batas masa lalu dan masa kini film semakin tidak jelas, mereka berpindah dengan sangat cepat, dan tau-tau kita melihat Jo duduk kembali di kantor redaksi. Jo penuh konfiden sekarang, sedangkan kita enggak pasti dan mempertanyakan ulang kepada diri sendiri, apakah semua momen manis – malah sempat-sempatnya ada ‘bandara momen’ versi jadul – itu hanya cerita karangan Jo. Tone warna sudah tidak membantu lagi sekarang. Kita di akhir cerita diminta melihat dengan rasa.

Menyaksikan Jo memandang kelahiran buah karyanya seolah film mengajak kita untuk merasakan yang dialami oleh Alcott. Merasakan kebanggaan, sebuah happy ending yang terasa positif dan membawa semangat optimisme bahwa pilihan kita itulah kebahagiaan kita.

 
 
 
Persaingan antar-saudara, cinta yang tak dibalas, penyakit yang memisahkan, perjalanan yang meraih mimpi; semua formula sebuah cerita yang loveable ada dalam film ini. Semuanya itu memang diceritakan dengan manis. Adegan-adegan film ini bakal gampang banget ngena di hati. Castnya aja sudah lebih dari cukup untuk membuat kita jatuh cinta. Film ini punya gagasan yang sangat relevan, namun tidak terasa begitu urgen. I mean bukan untuk merendahkan kepentingan wanita. Hanya saja, dengan fakta film ini sudah adaptasi film panjang kelima dari materi yang sama, enggak semuanya jadi terasa kurang menantang. Penggunaan maju-mundur juga bukan exactly hal baru. Film ini memang beda, inovasinya berhasil membuat cerita jadi segar, dan tak lupa membuat kita merasakan sesuatu right there in the heart, hanya saja kemagisannya berkurang begitu kita ingat ini adalah reinkarnasi dan semua perbedaan tadi gampang diusahakan jika kita sudah punya empat sebagai ‘contoh’nya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for LITTLE WOMEN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Bagaimana menurut kalian akhir film ini, apakah Jo sebaiknya menikah atau tidak? Apa masih pada gemes dia gak jadi sama Laurence? ahahaha

Apa pendapat kalian tentang perempuan yang tidak menikah?

 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE FAVOURITE Review

“Without honesty, love is unhappy”

 

 

Dalam The Favourite kita akan melihat Emma Stone dan Rachel Weisz memperebutkan hati Olivia Colman. Siapa di antara Lady Sarah dan rakyat jelata Abigail yang akhirnya menjadi orang kepercayaan, dan kekasih-rahasia sang Ratu Inggris. Kita bisa bilang ini kisah cinta-segitiga yang benar-benar ganjil. Agaknya, lewat komedi dengan sudut pandang unik, pemandangan sejarah – sebuah period piece – yang bahkan gak benar-benar peduli sama keakuratan, dan dengan cueknya menggeser posisi laki-laki menjadi sebatas hiasan ruangan dengan wig dan dandanan heboh, sutradara Yorgos Lanthimos berusaha menyentil dinamika dunia politik kontemporer di sekitar kita, hingga ke lapisan yang paling kecil. I mean, betapa sering kita nemuin kasus – atau bahkan mungkin mengalami sendiri – seorang yang posisinya terancam oleh kedatangan seorang baru yang lebih charming dan pintar menarik hati? Berapa sering kita terlena antara dusta dan cinta?

Permulaan film ini seolah mengeset cerita biasa tentang keberhasilan orang-susye memanjat tangga sosial dan menuai hasil keringat, darah, dan air matanya. Abigail yang diperankan Emma Stone memang dengan gampang sekali menarik simpati kita. Dia orang yang baik hati, yang bersedia kerja apa saja. Abigail sudah cukup makan garam perihal perlakuan dunia terhadap orang-orang miskin seperti dirinya, walaupun dirinya masih ada hubungan keluarga dengan tokohnya Rachel Weisz, Lady Sarah yang gede di lingkungan istana. The Favourite benar-benar menunjukkan beda kelas sosial tersebut dengan ekstrim – tetap, dalam undertone yang kocak. Selama ini kita mungkin hanya menerka apa sih yang dikerjakan orang-orang kaya di jaman dahulu. Setelah nonton film ini, imajinasi kita terhadap mereka akan semakin liar. Balapan bebek alih-alih kerja rodi di dapur?

well, tentu saja Abigail lebih memilih berjuang untuk mengukuhkan posisi ketimbang menjadi sasaran berikutnya dari lemparan jeruk.

 

 

Kerja menakjubkan film ini adalah gimana backstory dan motivasi setiap tokoh berhasil tersampaikan kepada kita, secara tersurat maupun tersurat. Kita hampir mengasihani Abigail lantaran dia diberikan masa lalu traumatis, namun itu semua ‘hanya’ alasan supaya kita paham roda gigi macam apa yang bergerak di dalam kepalanya. Kita jadi mengerti tidak ada yang lebih diinginkan Abigail selain kenyamanan istana, tidak lagi berada di kelas bawah. Dan semakin kamera membawa kita mendekatinya, ini bukanlah cerita keberhasilan. Inilah yang aku suka dari The Favourite, ceritanya berani menunjukkan kegagalan. Boleh saja begitu dia pertama kali menginjakkan kaki ke istana, masuk ke lingkungan Ratu Anne, Abigail memang wanita baik-baik, akan tetapi lambat laun bahkan dirinya sendiri seperti enggak percaya pada hal-hal yang ia lakukan demi mengukuhkan diri di atas sana. Abigail seperti meyakinkan dirinya sendiri ketika berulang kali dia menyebut dirinya punya hati yang baik. Di balik dinding istana, betapapun dekat jarak yang ia ciptakan antara sang Ratu dengan dirinya, Abigail tidak pernah merasa secure. Tokoh Abigail adalah peringatan kepada kita semua bahwa dalam lingkup sosial yang tidak seimbang antara kaya dan miskin menciptakan kompetisi yang bar-bar. Miskin gak mau semakin miskin, dan yang kaya tentu saja tidak mau jatuh miskin.

Dan tidaklah gampang untuk keluar dari lingkungan sosial seperti demikian. Film menggambarkan kekangan yang dirasakan oleh kaum aristokrat itu lewat wide shot yang dapat kita temukan di sepanjang durasi. Menggunakan lensa fish-eye, film menyuguhkan  jangkauan luar biasa lebar. Kita akan melihat tokoh-tokohnya sendirian di ruangan yang besar, persis kayak lukisan-lukisan jaman dulu, dan sekaligus kita merasakan kesendirian – bahkan ketika mereka berada di court room dengan banyak orang, dan kungkungan yang menyangkut dalam perasaan mereka. Sekalipun mereka berjalan, wide shot tersebut beralih fungsi untuk menunjukkan jauhnya perjalanan yang mereka lakukan untuk sampai di sana. Sekali lagi, sama seperti Abigail, film mengeset pemahaman kita bahwa semua orang di dalam sana tidak mau kembali ke muasal mereka di jalanan. Berbeda dengan wide-shot yang dilakukan oleh Roma (2018), saingan film ini di Oscar, kamera The Favourite enggak ragu untuk bergerak aktif. Kita bakal sering dibawa berayun oleh kamera, yang kemudian melesak maju bersama karakter, untuk menimbulkan kesan para tokoh ini berjuang keras bergerak di dalam sana. Film juga memilih untuk menggunakan cahaya-cahaya yang natural. Yang terbukti efektif sekali saat shot di malam hari, sebab cahaya lilin itu benar-benar menangkap kecemasan Abigail yang tak tenang seberapapun tinggi statusnya, dia masih khawatir akan ‘ketahuan’ sebagai orang yang seharusnya tidak berada di sana.

Apa yang tadinya dimulai dari cerita underdog yang sederhana – I mean, siapasih yang enggak bakal terpikat sama Abigail yang feminim dan sopan dibandingkan Lady Sarah yang tegas dan kaku – berubah menjadi sesuatu yang lebih dalem lagi. Film dengan berani menunjukkan perubahan Abigail, dia semakin nekat melakukan berbagai cara. Sensasi nonton yang luar biasa saat kita menyadari bahwa Abigail yang hanya memikirkan diri sendiri tidak lebih baik dari orang yang berusaha keras untuk ia gantikan. Lady Sarah yang melarang ratu makan coklat, yang meledek dandanan sang ratu kayak luak, yang ogah membelai kelinci-kelinci peliharaan Ratu, yang terang-terangan mengaku cintanya pada ratu ada batasnya namun tidak demikian buat negara, adalah orang yang lebih baik karena dirinya berada di sana bukan untuk kepentingan pribadi. Sarah punya tujuan yang jauh lebih mulia daripada memuaskan kenyamanan dirinya sendiri. Tidak seperti Abigail, Sarah tidak sekalipun menganggap Ratu Anne sebagai hadiah yang harus dimenangkan. Adegan Abigail menari bersama Ratu, at one point kita mendengar suara letupan senjata, dan Ratu terjatuh – sambil tertawa – melambangkan siapa sebenarnya yang ‘pembunuh’ alias oportunis. Dan tentu saja bukan tidak ada maksudnya ketika film memperlihatkan Abigail lebih ahli menembak ketimbang Sarah. Sarah tidak pernah berpura-pura, dia mempersembahkan dirinya apa adanya. Dia tidak peduli orang menganggapnya kejam dan berhati dingin. Malahan faktanya, dibanding Abigail yang sepanjang waktu membuat ‘rencana’ dan bergerak sembunyi-sembunyi, hanya satu kali diperlihatkan Sarah berusaha bikin surat buat ngeblackmail Ratu, namun pada adegan berikutnya kita melihat surat tersebut dia bakar. Karena seperti yang diperjelas oleh dialog Sarah dengan Abigail; dia tidak memainkan permainan yang sama dengan Abigail.

Dan Sarah-lah yang mengungkapkan kalimat terpenting yang menjadi pesan dalam film ini. Bahwa kejujuran adalah cinta. Mencintai dan tetap bersikap jujur ternyata adalah hal yang luar biasa sukar dibandingkan berbohong demi menyenangkan orang.

 

Tentu saja sikap Sarah tersebut dipandang sebagai ketidaksetiaan oleh Ratu. Yang membawa kita ke tokoh terakhir dalam cerita segitiga ini. Olivia Colman dinobatkan sebagai pemenang Aktris Terbaik dalam Peran Utama Oscar 2019, mungkin membuat kita bertanya-tanya kenapa tokoh yang diperebutkan ini yang disebut sebagai peran utama. Buatku, tokoh utama cerita ini memang Abigail. Namun aku mengerti kenapa Anne juga bisa dipandang sebagai tokoh utama. Walaupun tokohnya annoying dan konyol sebagai penguasa (mengingatkanku pada persona Vickie Guerrero di WWE), keputusan Ratu Anne-lah yang menjadi penentu cerita. Dan jika kita tilik karakternya, dialah yang paling manusiawi di antara semua. Anne yang paling menderita. Dia bahkan enggak tahan mendengar musik karena membuka luka emosional yang selama ini menderanya. Ratu kita ini telah kehilangan tujuh-belas anaknya. Implikasinya adalah dia tidak bisa punya anak. Film dengan hebat menetapkan bahwa sosok ini sangat mendamba cinta, dia ingin ada yang menunjukkan cinta kepadanya. Kelinci-kelinci yang ia pelihara; merupakan wujud pengganti anak baginya. Menjadi ratu, penguasa, adalah siksaan ekstra bagi pribadi semacam ini karena dia tidak pernah tahu pasti siapa yang tulus mencintai dirinya dan siapa yang hanya ingin mengeruk keuntungan darinya. Lebih mudah baginya untuk mempercayai dan menerima Abigail yang terus memuja-muja dirinya – menjilat kalo boleh dibilang – ketimbang Sarah yang menyuruh-nyuruh dirinya.

Sang Ratu ultimately dihadapkan pada pilihan antara orang yang bersikap manis dengannya dan orang yang ketus. Abigail memanfaatkan kelemahan Anne, sedangkan Sarah berusaha mengeluarkan Anne dari kelemahan tersebut. Dan pada akhirnya memang Abigail yang menang. Namun film menembak kita dengan pertanyaan, apa yang ia menangkan? Apa yang ia dapatkan sebagai anak emas si Ratu kalo kenyataannya hati Abigail semakin tidak tenang. Abigail malahan hanya jadi sasaran kegelisahan sang ratu yang dibuat oleh film ini menyadari bahwa dirinya baru saja mencampakkan satu-satunya orang yang beneran peduli kepada dirinya, yang menganggap dirinya manusia alih-alih tukang ngasih makan.

apa bedanya Abigail sama kelinci-kelinci itu?

 

Menjadi yang teratas tidak serta merta membuat kita bahagia. Malahan ratu dalam cerita ini justru adalah yang paling nelangsa di antara semua. Di balik nada komedi yang membuat kita tertarik mengikuti ceritanya, film ini menunjukkan bahayanya dinamika kuasa yang bisa terjadi antara si kaya/si kuat dengan si miskin/si lemah dalam sistem kekuasaan tertutup seperti begini. Sebab yang atas akan melampiaskan ke yang bawah, dan begitu seterusnya melingkupi semua lapisan.

 

 

Berusaha menyentil masalah kontemporer lewat gambaran sejarah yang dengan nekatnya melanggar banyak aturan sebuah film period piece. Film ini menilik dinamika antara kelas, cinta, dan politik – membalutnya dalam busana komedi, sehingga menjadi tontonan yang enggak malu-maluin dan enggak malu menunjukkan apa yang bisa terjadi – dan mungkin sedang terjadi di sekitar kita. Semua penampilan di sini luar biasa, kita sudah melihat pencapaian film ini pada musim award yang lalu. Film ini memberanikan kita untuk mempertimbangkan pilihan, untuk tidak memilih yang termudah, dan mengingatkan kadang memang selalu ada udang di balik batu.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold star for THE FAVOURITE.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian menjadi raja/ratu itu asik? Apakah cinta itu ada batasnya? Pernahkah kalian merasa lebih aman dan sejahtera bagi diri kalian untuk berbohong ketimbang mengatakan yang sebenarnya?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

TURAH Review

“Either give up and die or die trying”

 

 

Satu lagi permata di antara kelimpahan batu, Turah adalah film yang berani mengangkat dan mengambil wujud berbeda dari film-film lain. Namun, ini adalah permata yang amat kasar. Menontonnya kita tidak akan merasa senang, atau gembira, atau berbunga, atau jumawa melihat tokoh baik berhasil mengalahkan tokoh jahat. Sebab depresi hidup adalah lawan yang berat; antagonis sebenarnya yang membawahi rasa takut, putus asa, dan berbagai macam perasaan negatif lain. Sutradara Wicaksono Wisnu Legowo menghimpun semua – tanpa memanis-maniskan keadaan – dan memperlihatkan kepada kita secara langsung seperti apa hidup yang untuk berharap aja, kita udah takut.

Kalo mau dideskripsikan, maka aku akan menggunakan istilah tempat jin buang anak untuk menjelaskan tempat seperti apa Kampung Tirang. Literally banyak mayat bayi yang ditemukan di kali dan dikubur di pinggir kampung. Tempat itu bahkan bukan ‘kampung’ beneran. Dia hanya sepetak tanah timbul dari endapan kali yang digunakan sebagai tempat tinggal buat orang-orang yang tidak mendapat tempat di dunia seberang kalinya. Orang-orang terbuang, dilepehkan mentah-mentah. Bagi kelas atas, mereka hanya tambahan suara saat pilkada. Janji-janji kesejahteraan itu tak perlu ditepati. Air bersih dan tempat tinggal yang layak? Pake aja apa yang ada! Turah sudah dari kecil tinggal di Kampung Tirang. Untuk memenuhi nafkah keluarga, dia dan para warga yang lain bekerja sebagai buruh pribadi Juragan Darso. Ternak kambing, barang bekas, tambak ikan, semua dijual ke Darso yang kemudian akan memberi upah kepada mereka.

Cukup? Tentu saja jauh!

 

Turah mungkin manut dan masih bisa legowo, istrinya dengan bijak menolak punya anak hanya untuk menambah korban sengsara, dapur mereka masih bisa ngebul walau hanya pas-pasan. Ditanyai apa ada kebutuhan yang masih kurang? Turah dan segenap penduduk menjawab “tidak ada, sudah cukup semua.” Namun tidak begitu dengan sahabatnya, si Jadag. Pemabuk ini sudah capek hidup susah, sudah bertahun-tahun dia bekerja kepada Darso namun hidupnya tak kunjung naik kelas. Dia cemburu sama Pakel yang sarjana. Jadag menyuarakan aspirasinya, mengajak Turah dan warga untuk membuka mata mereka, bahwa mereka bisa mendapat lebih, keringat mereka mestinya mengering masuk ke pundi-pundi masing-masing. Jadag mengambil rute protes yang beanr-benar frontal sehingga jika air kali yang tenang adalah Kampung Tirang, maka Jadag adalah batu yang dilempar ke sana, membuat riak-riak yang mengancam zona nyaman tempat terkutuk itu.

Hidup, sebagaimana yang diperlihatkan oleh film ini, adalah siklus yang selalu bertemu dengan kematian. Kita bisa menyerah dan mati. Atau mencoba, dan mati karenanya. Jadi, kenapa mesti takut? Keadaan suatu kaum tidak akan berubah, kecuali mereka mengubah keadaan mereka sendiri. Kita tidak bisa mengharapkan perubahan tanpa mengambil langkah untuk berubah.

 

Suara dan cahaya dalam film ini semuanya berasal dari alam. Kita tidak mendengar musik pengiring. Kita tidak melihat cahaya yang diekpos editing studio berlebihan. Hasilnya adalah sebuah gelaran gambar bergerak yang tampak nyata. Hampir seperti dokumenter ataupun live video. Sekuens menjelang penutup, yang malam-malam ujan gede itu, adalah yang paling membuatku takjub. Ditambah dengan pemahaman konteks cerita saat di titik itu, wuih bulu kudukku meremang saat menontonnya Film ini memang sangat suram. Hampir-hampir sukar untuk ditonton. Sekalipun ada humor yang terlontar dari percakapan para tokoh, maka itu adalah jenis humor yang bikin kita ragu apakah pantas menertawakan atau enggak. Sebab film ini cukup pintar untuk tidak menampilkan hal dalam satu dimensi. Bahkan tokoh Juragan Darso tidak semena-mena ditampilkan culas.

Penampilan akting para pemain nyaris sangat teatrikal. Aku gak bilang aktingnya kaku. Para aktor justru memainkan perannya, mendeliverkan emosi dengan sangat baik. Kita bisa merasakan pengaruh kata-kata Jadag merasuk lewat pancaran mata Ubaidillah yang memainkan Turah. Kita bisa merasakan geram dan later, kebimbangan menyeruak saat perlahan Slamet Ambari yang jadi Jadag runtuh oleh kesadaran tentang keadaan orang-orang di sekitarnya dan apa yang mereka pikirkan atas tindakan dirinya.  Dan menurutku ini agak berkonflik dengan kepentingan film untuk tampil serealistis mungkin. Ceritanya sendiri sudah cukup serius dan kelam, kita melihat penghuni kampung tersebut dalam keadaan susah – tak pernah senang – dan mereka tidak mengeluh. Tepatnya tidak berani mengeluh. I think film perlu memperlihatkan kepada kita gimana mereka tampak senang hidup di sana, sebagai kontras dari inner struggle yang dikubur dalam-dalam. Tapi enggak. Jadi kita dapat film yang muram dari awal hingga akhir, ditambah dengan dialog penuturan yang dibawakan dengan terlalu serius. Sangat menitikberatkan pada hal-hal emosional. Sehingga semakin ke ujung, aku kehilangan atmosfer otentik yang ingin ditonjolkan oleh film.

but seriously, mereka ngebuildnya begitu hebat aku jadi penasaran pengen lihat tokoh Ilah

 

Di satu sisi kita punya Jadag yang nyaris –nyaris menjadi over the top. Di sisi lain, tokoh utama cerita, Turah tidak benar-benar melakukan apa-apa. Tapi actually, ini adalah story arc dari Turah. Sebagian besar film, mengikuti Turah adalah kerjaan yang membosankan dibandingkan dengan adegan-adegan yang ada si Jadag. Turah kalah menarik. Dia tidak mengambil keputusan. Dia tidak memancing konflik. Dia berada di sana hanya bereaksi terhadap aksi yang dilakukan oleh Jadag. At times, aku kepikiran kalo Jadag bisa jadi adalah tokoh utama yang bisa membuat film lebih eventful. Tapi tentu saja, Turah punya kepentingan menyampaikan satu pesan tertentu pada narasi, yang aku bisa mengerti konteksnya kenapa film ini tetap menjadikan dia sebagai tokoh utama.

Meskipun usahanya tidak berbuah manis lantaran penuh oleh amarah, Jadag adalah pahlawan dalam cerita Turah. Sisa-sisa keberanian di dalam diri Turah terbangkitkan, dia belajar dari kesalahan yang dibuat oleh Jadag. Sekali lagi, ini adalah tentang diam saja atau mengambil tindakan. Pertanyaannya sekarang tindakan yang bagaimana. Jadag menggugurkan satu ekuasi, sehingga menyisakan satu lagi. Dan itu  sehubungan dengan kenapa mereka mau tinggal di sana. Kita tidak perlu stuck di satu tempat. Orang-orang di Kampung Tirang sebenarnya punya keahlian. Mereka memang pernah terbuang, tapi mereka bukan sampah. Mereka adalah leftovers yang enggak dipakek. Tindakan yang mereka ambil mestinya adalah sesimpel pergi mencari tempat yang membutuhkan kepandaian mereka.

 

 

 

Wakil terpilih dari film Indonesia untuk bersaing di Film Asing Terbaik ajang Oscar tahun 2018 mendatang. Makanya, aku sempat kecele pas Bandung enggak kebagian jadwal tayang film ini. Dan pada akhirnya, buatku, film Turah ini benar-benar seperti ‘sisa-sisa’ yang aku pungut dari bioskop alternatif, tapi perlu diingat, sisa-sisa bukan melulu berarti sampah. Karena aku justru merasa seperti baru saja menang lotere sehabis menonton film ini. Sisi kemanusiaan yang kuat, komentar tentang kecemburuan sosial, tentang kepemimpinan, film ini menyentuh jauh lebih luas dari sepetak tanah kampung. Kerelevanan ini membuatnya pantas terbang ke Oscar. Meski sebenarnya dia bukan pilihan satu-satunya, ada film yang lebih baik daripada ini – teknis maupun penulisan. Karena buat sebuah film yang menyuarakan harapan, film ini kadang tampil terlalu muram untuk membuat penonton peduli.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for TURAH.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

LION Review

“Sometimes direction you never saw yourself going turns out to be the best road you have ever taken.”

 

lion-poster

 

Delapan-puluh-ribu lebih anak-anak India hilang setiap tahunnya. Nyasar, tak-tau jalan pulang ke rumah, terpisah dari keluarga. Jalanan yang penuh orang acuh-tak acuh dan potensi abuse lah yang menunggu mereka. Saroo pernah menjadi salah satu dari angka delapan-puluh-ribu. Saat masih kecil, Saroo yang tertidur di stasiun kehilangan jejak sang abang dan malah terangkut sebuah kereta api hingga beribu-beribu kilometer jauhnya. Hanya bisa bicara dengan bahasa India, kata-kata minta tolong dari mulut Saroo kecil tidak bisa dimengerti oleh orang-orang di Kalkuta, tempat kereta ‘tumpangan’nya berhenti, yang berbahasa Bengali. Jikapun ada yang nyambung diajak ngobrol, Saroo tetep repot lantaran dia bahkan enggak bisa nyebutin nama kampungnya dengan bener.

Adalah pemeran Saroo kecil, Sunny Pawar, yang akan membuat kita truly merasakan perasaan terasing di bawah langit India. Film panjang pertamanya ini membuktikan kepiawaian Garth Davis menarik keluar penampilan-penampilan yang begitu meyakinkan. Melihat Saroo berjalan tanpa tahu arah, serta merta aku jadi kagum juga. Bayangkan, ini DIANGKAT DARI KISAH NYATA; Saroo dan anak-anak yang masih ilang, bener-bener sendirian di luar sana. They don’t know anything. Bagaimana mereka bisa bertahan, apa yang mereka hadapi, all of that was so scary. Aku waktu kecil baru nyasar di pasar aja udah jejeritan sejadi-jadinya.

Butuh keberanian yang tak kalah gedenya bagi sebuah film meletakkan kepercayaan kepada aktor cilik baru yang baru berusia lima tahun (!) untuk memainkan cerita dengan compelling. Davis paham bahwasanya bahasa tidak harus jadi masalah, jadi dia berbicara lewat pengalaman dan ekspresi manusia. Dan memang hanya itulah yang menggandeng kita mengikuti Saroo kecil terlunta-lunta di jalan, mengandalkan insting dan sepersekian detik keputusan ‘pintar’nya untuk bertahan hidup. Kita enggak perlu ngapalin isi kamus bahasa india, kita enggak really butuh subtitle, malahan kita bisa nonton ini tanpa suara, dan tetap mengerti; merasakan apa yang terjadi di layar. Tidak ada adegan yang overdramatis, kayak Saroo ujan-ujanan – atau ampir diterkam singa beneran, so to speak. Sunny Pawar dipercaya untuk memberikan emosinya lewat gestur, ekspresi, ataupun hanya dengan tatapan mata. Yang dilakukan Sunny Pawar dengan sangat amazing, terlebih mengingat lebarnya rentang emosi yang dialami oleh tokohnya sepanjang film. Image Saroo makan boongan bakal terpatri lama di benak kita. Jika pada awalnya mungkin film ini sedikit bertaruh, maka pastilah setelah melihat hasil presentasinya, film ini berbalik jadi berutang budi kepada Sunny Pawar.

Pertengahan pertama adalah di mana kita akan dibuat mengerti kenapa film ini pantas berdiri mejeng sebagai nominasi Best Picture Oscar 2017. Visi sutradara Garth Davis mengaum lantang dalam setiap frame bidikan kamera. Sudut pandang bocah kecil itu tergambar syahdu. Didukung juga oleh sinematografi yang sungguh menawan throughout. Film ini precise dalam netapin timing kapan harus mengambil jarak. Begitupun penempatan hal-hal kecil, seperti burung yang terbang di ambang jendela, menjadi sarana penghantar cerita yang subtle tanpa harus repot-repot memaparkan.

dinding kamarku bakal penuh kalolah aku ngecapture shot-shot indah film ini dan memajangnya kayak lukisan
dinding kamarku bakal penuh kalolah aku ngecapture shot-shot indah film ini dan memajangnya kayak lukisan

 

Tidak hanya sampai di situ. Saroo kemudian diadopsi oleh pasangan suami istri yang tinggal di Australia. Semakin jauhlah dia dengan keluarga aslinya, yang sampai saat itu Saroo tidak tahu bagaimana keadaan mereka. But at the same time, Saroo menemukan keluarga baru. Paruh kedua film mengajak kita melihat Saroo dewasa deal with problematika identitas saat dia teringat kampung namun enggak yakin gimana harus menceritakan asal muasal ia yang sebenarnya kepada orangtua asuh. At one point Saroo benar-benar menyembunyikan tindakannya dari keluarga angkat. Dia bahkan jadi kasar sama saudara tirinya, yang merupakan cara film ini ngeintegralkan hubungan Saroo dengan abang aslinya.

Aku suka gimana film ini menggunakan overlapping visual untuk membandingkan keadaan Australia dengan India, membenturkan keadaan Saroo kecil dengan Saroo dewasa. Pemandangan seperti demikian sebenarnya adalah sebuah simbol keadaan Saroo yang berada di tengah-tengah kedua budaya. Film ini adalah bukan soal perjalanan pulang ke rumah. Ini adalah cerita pergolakan seseorang yang terombang-ambing antara tempatnya berasal dengan tempat yang sekarang sudah menjadi rumah baginya. Sejak dari kecil, Saroo selalu merasa ia berada bukan pada tempatnya. Derita dan bingung Saroo mencapai puncak ketika ia dewasa sampai dirinya belajar untuk – sekali lagi dihadapkan kepada pilihan – memilih salah satu atau mencoba menyatukan kedua ‘rumah’nya.

Bukan berarti kita harus pernah diadopsi dulu buat bisa ngerasain yang dialami oleh Saroo. Orang-orang yang pernah merantau, ataupun dalam perantauan, pasti mengerti.
Mengerti alasan kenapa harus pulang.
Mengerti siapa saja yang kita rindukan dan yang merindukan kita.
Mengerti bahwa keluarga adalah segala hal yang kita usahakan untuk menjadi rumah.

 

Dev Patel melakukan usaha yang bagus memainkan ‘cela’ dan konflik Saroo, dia menjaga cengkeraman kita tetap erat as Saroo berinteraksi dengan orang-orang baru yang ia cintai dalam hidupnya. Tapi tongkat estafet film ini tampaknya jatoh kesandung tulisan “20 tahun kemudian”. Cerita kedua ini enggak bisa bersanding dengan cerita pertama. Dibandingkan dengan saingan Oscarnya, Moonlight (2016) yang juga nampilin perjalanan hidup tokoh dari kecil hingga dewasa, Lion terasa kurang mulus. Rooney Mara turut bermain dalam film ini, she’s very good, namun tokohnya enggak punya arc. Dia cuma pacar tempat Saroo bersandar, dan enggak nambah banyak-banyak amat buat cerita. Bagian kedua kehidupan Saroo ini diselamatkan oleh penampilan akting Nicole Kidman yang berperan sebagai ibu angkat Saroo. Percakapannya dengan Saroo, beliau menjelaskan alasan kenapa dia mengadopsi anak berkulit coklat dari benua lain, adalah dialog yang paling kuat dan menyentuh dari seantero film. Nicole Kidman sendiri aslinya adalah ibu asuh beneran, jadi semua yang tokohnya katakan berdering oleh emosi yang feels so true.

Saroo mirip Rano Karno masih muda ga sih haha
Saroo mirip Rano Karno masih muda ga sih haha

 

Hubungan antara berkah dan derita terkadang begitu rumit dan membingungkan, sehingga kita tak menyadari pengaruhnya sama sekali. Dalam film ini, keseimbangan dua hal tersebut dibahas dalam bahasa sinema yang jujur dan powerful lewat Saroo yang menemukan, setelah kehilangan. Saroo mesti nyasar dulu sebelum dia menyadari keberkahan dua kali lipat dari yang bisa ia dapatkan sebelumnya. Berkah yang juga dirasakan oleh orang-orang sekitar Saroo yang terus merindukan cinta yang bersemayam di dalam tragedi.

 

To be honest, meskipun memang sebenarnya Lion adalah FILM YANG INTIMATE DAN SENSITIF dan relatable bagi banyak perasaan rindu, buatku film ini terasa rada pretentious. Gini, Lion ini kayak dua cerita yang berbeda; bagian pertama Saroo kecil yang kehilangan keluarga, dan bagian kedua tentang Saroo besar yang berusaha menggenggam kedua keluarganya. Aku ngerasa film ini berangkat dari kisah menakjubkan Saroo yang berhasil menemukan keluarga aslinya. Hanya saja mereka enggak bisa bikin cerita just around Saroo duduk galau ngulik google map, bikin papan investigasi kayak detektif. That would make a boring story. Buktinya, dalam film ini memang ada bagian ketika Saroo dewasa mengurung diri, dia menggunakan teknologi dan kepintarannya menemukan lokasi kampung halaman yang dulu tak-lurus ia sebut namanya. And it was nowhere near as engaging and compelling as bagian Saroo kecil. Jadi, film ini butuh sesuatu untuk bikin cerita lebih nendang. Mereka memutar kepala looking at the real issue there; Saroo adalah satu dari delapan-puluh-ribu, and they used that. Craft cerita dari sana, gunainnya sebagai hook identitas film. Namun toh, Saroo hanya satu yang beruntung dari delap…who knows sekarang jumlahnya jadi berapa. It did feels film ini enggak really doing anything kepada isu tersebut. They just gain more advantages dengan campaign segala macam. If anything, film ini memperlihatkan anak-anak yang hilang itu bakal pulang sendiri; siapa tahu kali aja kehidupan mereka bakal jadi lebih baik kayak Saroo. I mean, apa yang kita selebrasi jika film ini mendapat penghargaan di Academy nanti?

 

 

Mengatakan film ini berakhir setelah satu jam pertama sesungguhnya agak sedikit mendramatisir. Karena meski ceritanya kayak terbagi dua bagian – dengan drama paruh paling penting tidak pernah semenarik dan semeyakinkan bagian pendahulunya; keintiman hati, dan sensitifitas film ini terus menguar sepanjang durasi. Membuat film ini mudah dimengerti, membuat kita merasakan empati. Begitu powerful sehingga kita ikut merasakan terdiskonek, yang not always menjadi hal yang bagus. As in, film ini jadi kadang terasa mengaum ke arah yang salah.
The Palace of Wisdom give 7 out of 10 gold stars for LION.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

HIDDEN FIGURES Review

“Mathematics is not about numbers, equations, computations, or algorithms; it’s about understanding.”

 

hidden-figures-poster

 

Quick questions!

Ayo sebutkan siapa manusia pertama yang terbang ke luar angkasa? “Yuri Gagarin!”

Siapa orang Amerika pertama yang mengelilingi orbit bumi?John Glenn!!”

Orang pertama yang menjejakkan kaki di bulan adalah?Neil Armstrong!!!”

 

Kita semua pasti tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kita semua pasti pernah baca mengenai tokoh-tokoh bersejarah itu. Everyone talks about them, pria-pria yang paling pertama menjelajah ruang angkasa. Mereka adalah bagian penting dalam sejarah umat manusia. Tapi tahukah kita siapa yang bekerja di belakang sana, ilmuwan-ilmuwan yang membuat segala perjalanan meninggalkan gravitasi itu menjadi mungkin? Fokus kita enggak pernah mengarah kepada scientists yang manjat-manjat tangga nulis di papan itu, padahal mereka juga tak kalah pentingnya, and yea some of them are women. Dan untuk bikin hal lebih mengejutkan lagi, terutama di tahun 1960an yang penuh diskriminasi, ‘komputer-komputer’ di meja NASA tersebut adalah wanita berkulit hitam.

I didn’t really know much about Katherin G. Johnson, Dorothy Vaughan, Mary Jackson, atau beberapa tokoh sejarah lain yang diceritakan dalam film ini. On the other hand, aku selalu tertarik sama astronomi dan luar angkasa, and I kind of like math, jadi space movie yang ada matemnya benar-benar memancing rasa ingin tahuku. Rasanya keren aja, melalui film ini kita bisa belajar lebih banyak tentang para ‘hidden-figure’ yang berjasa di balik peluncuran manusia ke luar angkasa. See, judul filmnya ada udah fun abis. Punya makna yang mendua. Ini adalah tentang angka-angka rumus yang berhasil ditemukan to make the said breakthrough. Dan dalam artian yang lebih dalam lagi, Hidden Figures juga adalah tentang wanita-wanita di balik suksesnya NASA, wanita-wanita yang tersembunyikan oleh status sosial mereka di masa yang masih kental oleh prejudice masalah warna kulit.

Aku actually recognized apa yang ditulisnya… so yea.. NERD! *sorakin rame-rame*
Aku kadang recognized apa yang ditulisnya… so yea.. NERD! *sorakin rame-rame*

 

Dalam film ini tergambarkan bagaimana ketiga wanita yang kerja di NASA tersebut meski termasuk pelopor dalam kerjaan mereka, mereka actually masih harus kerap dealing with prasangka-prasangka publik, yang mana adalah hal lumrah kala itu. Dalam bekerja mereka menemui banyak kesulitan; rekan-rekan kerja yang tidak mengizinkan mereka melakukan kerjaan yang harus mereka lakukan, mereka tidak dikasih izin buat mengakses file-file tertentu. Mereka juga tidak diperkenankan berada pada beberapa lokasi di kantor. Katherine, malahan, harus berlari menempuh jarak yang lumayan jauh cuma buat ke kamar kecil karena kulit hitam ditempatkan di restroom khusus yang terpisah dari pegawai kulit putih. Everything is difficult for them. Hidden Figures adalah tentang seputar karakter-karakter ini navigate lingkungan kerja NASA, memecahkan masalah prejudicenya sembari menemukan formula matematika yang bisa digunakan dalam ‘perlombaan tak-resmi’ antarnegara adi-daya soal pengiriman manusia terbang ke angkasa luar.

Hidup itu kayak matematika. Setelah menambah dan mengurangi, kita akan bisa mendapatkan hasil. Dan lebih penting lagi, hidup, sebagaimana menyelesaikan masalah matematika, membutuhkan pengertian dan pemahaman.

 

Setiap film yang membahas mengenai masalah rasisme selalu cenderung untuk menjadi serius. Kebanyakan akan digarap dengan arahan yang membuat filmnya hanya cocok untuk konsumsi penonton dewasa, you know, dengan kata-kata tak senonoh dan adegan yang overly intense. Padahal sangatlah penting bagi anak-anak muda untuk menonton film dengan pesan yang baik seperti ini. Hidden Figures, untungnya, berani tampil sebagai film yang bisa ditonton bahkan oleh anak kecil. Film ini memastikan pesannya mengenai kesetaraan manusia tanpa mengenal perbedaan ras dapat mencapai dan accessible kepada seluruh lapisan masyarakat. Film ini tidak takut dianggap terlalu jinak atau terlalu family-friendly sehingga jatoh di pasaran. And guess what? Film ini justru tampil really well di box office luar, actually termasuk yang dapat penjualan paling baik di antara nominasi Best Picture Oscar 2017 yang lain. Hidden Figures adalah FEEL GOOD-MOVIE YANG DILAKUKAN DENGAN CARA YANG TEPAT. What you see is what you get, pesannya terhampar jelas.

Terkadang memang film ini terasa sedikit teatrikal, elemen stick-it-to-the-man benar-benar ditonjolkan. Namun tidak pernah menjadi terlalu oversentimentil. Maksudnya, kita tidak dimanjakan, filmnya tidak sekonyong-konyong nyuruh kita puas dengan menyajikan adegan-adegan di mana orang ‘jahat’ mendapat balasan setimpal. This is a feel-good movie, akan tetapi film ini berhasil ngemanage sehingga dirinya doesn’t get too unrealistic. Ada beberapa adegan di mana kita bakal pengen melihat tokoh-tokoh tertentu eventually really get what’s coming to them, dalam batasan yang masih wajar dan enggak lebay. Ini adalah jenis film di mana kita akan melihat tokohnya mencoba menggapai tujuan mereka, dengan cara mereka menghadapi tantangan, tidak peduli rintangan or everything else around them, dan menggunakan kemampuan mereka — dalam hal ini kepintaran otak kiri dan kanan yang seimbang – semaksimal mungkin. Ada satu adegan hebat dan sangat emosional dalam film ini, di mana Katherine akhirnya ngerasa ‘sudah cukup’ dan dia menyuarakan semuanya harus disudahi. Adegan tersebut punya flow yang really well. Membuktikan bahwa semua teknis storytelling; arahan, akting, dan penulisan bekerja dengan sangat mulus.

“ABC is easy as 123” Well, it should be, right?
“ABC is easy as 123” Well, it should be. Right..?

 

Cukup langka melihat karakter-karakter seperti yang dimiliki oleh Hidden Figures dalam tayangan yang berdasarkan kisah nyata. Performances mereka pun teramat fantastis secara merata. Taraji P. Henson is very good memainkan Katherine, mathematician yang berpikir rasional di tengah keadaannya, she wants to get the job done because she loves what she does, dan dia menambah berkali lipat emosi pada karakternya. Sebagai Dorothy Vaughan ada Octavia Spencer yang selalu bermain amazing, perannya di film ngingetin aku sama perannya dalam film The Help (2011). Aku suka sekali reaksinya saat anak-anaknya diusir dari perpustakaan. Peran Mary Jackson oleh Janelle Monae juga punya obstacle sendiri dalam usahanya menjadi black female engineer pertama. Kita merasakan koneksi kepada orang-orang ini. Kita ngerasain struggle mereka, bahwa mereka bukan tokoh pasif. Kita ngecheer aksi ‘perlawanan’ mereka. Kita mulai menjadi begitu peduli sama mereka, sehingga kita jadi ingin nonjok muka tokohnya Jim Parsons.

Angin segar adalah kenyataan bahwa film ini tidak diarahkan menjadi cerita serius dengan some political agenda. In the end, ini adalah tentang gimana menghilangkan prejudice, gimana untuk tidak menjadi rasis, karena yang terpenting adalah mewujudkan keinginan bersama.

Karakter yang dimainkan oleh Kevin Costner bilang “Everybody in NASA pees the same color.” Itu adalah momen yang sangat keren menyaksikan orang yang punya mindset spesifik tentang gimana mereka memandang orang lain. Baginya it’s all about finishing the job dan semuanya harus work around prasangka rasis. Malahan ada tokoh seperti astronot John Glenn yang dimainkan asik oleh Glenn Powell, yang just don’t even recognized ada perbedaan di antara barisan mereka. Dia justru mempercayakan keberangkatannya kepada wanita-wanita ini.

Being a story yang mau memperkenalkan ketiga wanita berjasa tersebut, cerita Hidden Figures sayangnya tidak hanya mengambil tempat di kantor NASA (yang terdepict compelling dengan segala kesibukannya). Kenapa aku bilang ‘sayangnya’ karena actually film akan membawa kita pulang ke rumah tokoh masing-masing untuk melihat kehidupan mereka bersama keluarga. Di sinilah elemen romance film ini pasang-sabuk-dan-meluncur, namun I didn’t feel that. Romansa film ini tidak terflesh out dengan baik, tak lebih hanya sebagai subplot supaya membuat kita semakin terhanyut ke dalam the feel-good momen. Diniatkan, romansanya sweet banget. Harapnya, sih, ada spark antara Katherine dengan Kolonel Johnson yang diperankan dengan sangat charming oleh Mahershala Ali, namun enggak pernah aku terattach ke dalam hubungan mereka. Elemen drama cinta ini tidak menambah banyak bobot kepada keseluruhan cerita. Film ini menyadari itu, makanya dengan bijak kita dibawa sesegera mungkin kembali ke lingkungan NASA. Sisi dramatis film ini sesungguhnya memang terletak di perjuangan Katherine dan teman-temannya dalam menemukan terobosan dalam aerospace engineering.

 

 

 

Yang suka film-film historical science bakalan jatuh cinta sama film ini. Setelah membaca tentang sejarah mereka lebih lanjut, sepertinya memang film ini secara sejarah lumayan akurat untuk sebagian besar waktu. Dalam usahanya menyampaikan pesan kesetaraan dan tidak membeda-bedakan demi kepentingan yang lebih utama, film ini mengambil langkah berani, take-off dengan menjadi family friendly alih-alih film yang menunjukkan keseriusan dengan serentetan kata vulgar dan adegan ‘keras’. Tentu, drawbacknya adalah film ini jadi menjurus ke teatrikal, namun it holds on the tension dan intensitas very well.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for HIDDEN FIGURES.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

FENCES Review

“Boundaries don’t keep other people out, they fence you in.”

 

fences_teaser-poster

 

Entah itu untuk menjaga agar pihak luar enggak bisa sembarangan masuk, atau supaya yang di dalem enggak bisa sekonyong-konyong ngelayap ke luar, orang membangun pagar dengan alasan keamanan.

 

Rose Maxson mengingatkan suaminya, Troy, untuk segera menyelesaikan pagar di halaman belakang rumah mereka. Rose wants to keep her family together. Troy, sebaliknya, lebih melihat kegunaan pagar sebagai poin yang pertama; to keep things out. Dan as much as dia fearless dan percaya kepada kebebasan, being a negro membuatnya terbatas dalam beberapa hal, Troy membuat pagar lebih kepada bentuk pembuktian that he’s capable of providing his family. He wants to keep people out jauh-jauh dari pahamnya sendiri. Dualitas simbolisasi pagar adalah garis batas yang mengelilingi cerita film yang diangkat dari drama teater ini. Troy dan Rose adalah pasangan suami istri yang hidup di daerah urban amerika 1950, and this film tells how they live their live dengan segala problematika dan strugglenya.

Cukup lucu banyak orang yang meragukan film ini disebabkan oleh filmnya sendiri hanya berupa serangkaian SEKUENS DIALOG-DIALOG PANJANG di lokasi yang di situ situ melulu. Terasa sekali seperti play yang disadur ke media film. Dalam film ini yang akan kita lihat adalah orang-orang beragumen atau saling bercanda, bernyanyi, ataupun lagi mendongeng. Padahal, banyaknya dialog tidak pernah jadi penghambat sebuah film yang ditulis dengan sangat hebat. I mean, lihat saja 12 Angry Men (1957) atau Carnage (2011)nya Roman Polanski atau sesama adaptasi teater August: Osage Country (2013), some of the best movies of all time menampilkan dialog demi dialog maha-panjang set in one or two locations. Fences tidak pernah keluar dari pagar environmentnya, dan itu pulalah yang bikin kita tersedot masuk terus ke dalam cerita.

Sekuens percakapan panjang dalam film ini were so well-crafted, emosi kita akan dibawa turun naik olehnya, kayak, percakapannya dimulai dengan ringan, kita tersenyum dan tertawa bersama para tokoh, sampai kemudian seseorang mengatakan sesuatu. Atau mungkin mereka cuma ngelakuin hal yang not necessarily gak-sopan, misalnya anak Troy yang menatap ayahnya dengan pandangan yang sedikit merendahkan, and snap! Semuanya berubah menjadi gak-enak dan Troy, oh boy, bapak yang satu ini akan berubah menjadi seorang yang lantas marah-marah; galak dan keras kepala.

Pagar makan tanaman
Pagar ngehajar tanaman

 

Kunci film seperti ini selain di writing, juga terletak pada performancenya.  Film ini punya beberapa penampilan terbaik yang bisa kita saksikan di 2016.  Denzel Washington, menyutradai sekaligus memerankan Troy, bermain luar biasa brilian dengan range emosi yang fleksibel dan powerful. Tokoh Troy adalah pribadi yang sangat kompleks. Aku suka karakter yang satu ini terus bicara soal dia mengalahkan Kematian di pintu rumah, karena itu actually adalah momen yang nunjukin betapa vulnerablenya dia sebagai kepala keluarga. Babak pertama film mengestablish dia sebagai pria yang bertanggung jawab, pekerja keras, pria yang bercerita tentang gimana dia melaksanakan kewajiban dan menuntut haknya. Troy adalah good old fashioned man yang mencoba untuk provide to his family need, menyediakan atap bagi mereka, memastikan makanan tersaji di atas meja. Kita merelasikan diri kepadanya easily. Namun sepanjang film, kita akan mendapat informasi tersirat bahwa Troy punya banyak cela. That he’s not that great of a person. Dia terus saja menjatuhkan anak-anaknya (even sahabatnya sendiri) dengan batasan yang menegasi keputusan mereka. Kita perlahan belajar siapa diri Troy lewat backstory yang diceritakan dengan subtle; apa yang ia hadapi, how he was raised, dan kemudian masalah mulai menimpa keluarganya. Semua itu, semua pemahaman yang kita dapatkan terhadap karakter Troy akan terasa sangat menyayat hati.

Penampillan akting dalam film ini sungguh kuat, membuat pengalaman nonton kita menjadi berlipat lebih dahsyat, secara emosi. Aku suka gimana film ini, dengan kodratnya sebagai sebuah sandiwara teater, memberikan banyak ruang bagi setiap karakter untuk bertumbuh. Viola Davis sebagai Rose tentu saja pantes banget-banget untuk dinominasikan ke Oscar. In fact, Denzel Washington dan Viola Davis teramat loud dan explosive. Namun begitu, mereka tetap terasa genuine karena kalo kita bawa ke dunia nyata, memang seperti yang mereka portray jugalah reaksi pasangan yang dealing masalah mereka. That there’s gonna big dramatic moments. Tanpa bisa dielakkan. Ada banyak momen di dalam film ini di mana aku sempat lupa sedang menonton sebuah film. And that feeling is so rare dibandingkan film sekarang yang kebanyakan dramanya terasa orchestrated dengan really memancing rasa kasihan kita.

cue “Aaaauuuummmm” in one, two,…
cue “Aaaauuuummmm” in one, two,…

 

Fences juga menyinggung tentang gimana lingkungan sekitar kita turut membentuk pribadi kita. Ini tercermin dari sikap Troy dan sikap anaknya, Cory. Kedua orang ini sama-sama tumbuh menjadi atlet baseball, only dalam jaman yang berbeda. Dan itu actually membuat perbedaan yang sangat besar. Sebagai manusia, naturally, kita mewariskan apa yang sudah membentuk kita. Inilah menjadi problem, karena orangtua will eventually ‘mewariskan’ apa yang sudah ia alami kepada anak-anak. Entah berusaha mendoktrin agar tidak seperti orangtuamereka, ataupun to pass the ‘legacy’. Begitu juga saat anak-anak tersebut dewasa, mereka pada akhirnya akan melanjutkan hal yang sama turun-menurun.

 

Turunan kesalahan menjadi tema berulang yang kerap muncul dalam elemen cerita. Kesalahan orangua seringkali menjadi sumber dari masalah, atau katakanlah derita, yang dialami oleh anak-anak. Ada satu kalimat dari Rose yang menyatakan di sisi mana film ini berdiri, “You can’t visit the sins of the father upon a child.” Film ini percaya bahwa dosa generasi yang satu tidak mesti dibawa turun ke generasi berikutnya. Bahwa sebuah generasi bisa tumbuh lebih baik dari sebelumnya, tidak perlu menjadi seperti mereka. In that way, Rose tidak ingin ada pagar, dan ini memberikan konflik dengan outer journey di mana dia yang ingin membangun pagar. It is also make an ever greater konflik, karena apapun yang Rose pilih, pagar atau tanpa pagar, selalu bertentangan dengan prinsip Troy.

Tidak banyak suara kita dengar membahas kiprah Denzel Washington sebagai seorang sutradara. Film ini, however, membuktikan bahwa Denzel adalah director yang lebih dari sekadar mumpuni. Dia baru punya tiga dalam gudang film panjang karyanya, dan Fences actually adalah film terbaik yang ia hasilkan sejauh ini. Arahan Denzel benar-benar berhasil memancarkan hati dan emosi dengan ledakan yang tak terasa over heboh. Fences adalah film tentang keluarga, setiap adegannya adalah adegan ngobrol sambil duduk-duduk di halaman belakang, di teras rumah, ataupun di meja makan. Tapi film ini managed tidak sekalipun kita melihat adegan mereka ngobrol over sarapan atau dinner atau lunch. I mean, bandingkan deh dengan film Indonesia di mana sepertinya adegan ngobrol dengan occasion duduk ngeliling sambil makan menjadi sebuah pakem film. Kalo enggak ada makan-makannya, gak rame!

Meski begitu, ada satu momen dalam film ini yang mengkhianati segala rasa compelling dan aura realitanya. Momen tesebut datang di adegan penutup. Kita lihat keluarga Maxson menengadah langit, diiringi terompet rusak, mereka memandang awan yang, ah lihat sendiri deh. Alih-alih mendatangkan rasa hangat di hati, malah membuat film menjadi cheesy dan jadi terkesan fake.

 

 

Selain masalah di ending tersebut, ini tidak lain dan tidak bukan adalah film yang excellent. Mengajarkan tanggungjawab dan sejauh mana batasan tanggungjawab itu sendiri sebaiknya kita apply. Film ini menyuguhkan penampilan luar biasa dari setiap aktornya. Apa yang paling aku suka adalah, sama seperti teater, ada banyak ruang luas tak-berpagar yang disediakan naskah untuk pengembangan dan penampilan para tokoh. Drama keluarga yang sangat memilukan dan indah karena tersaji dengan perasaan yang nyata.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 for FENCES.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

SILENCE Review

“… the sudden silence was the Voice of God.”

 

silencecx3zloiucaedlkj-jpg-large

 

Tidak ada yang bersuara ketika tiga penduduk desa yang tertuduh sebagai pemeluk katolik, disalib di atas karang yang digempur keras oleh ombak. Warga yang lain menatap dari balik ujung tombak pasukan Jepang yang berbaris, sama diamnya. Begitu juga Father Rodrigues dan Father Gorupe yang menyaksikan semua penyiksaan dari balik rimbunan semak. Bungkam oleh ketakutan, segala aksi dan rasa tersenyap. Kecuali satu yang berdering keras di dalam hati masing-masing, terutama di dalam jiwa yang dilatih putih suci Father Rodrigues; Keraguan. Benarkah Tuhan akan meringankan derita mereka, atau apakah siksaan mereka sia-sia belaka? Apakah mereka suffer atas nama Tuhan yang mereka yakini atau tiga orang Jepang Kristen itu sesungguhnya sedang mengorbankan diri mereka demi keselamatan dirinya dan Gorupe?

Silence, didirect oleh salah seorang sutradara terbaik yang hidupnya masih terus didedikasikan untuk membuat film klasik yang fantastis hingga sekarang, akan membawa kita on middle ground ke Jepang jaman feudal, tepat di tengah-tengah perang agama. Pengikut ajaran Kristen diburu. Para Father ditangkap, disiksa, hingga tidak ada lagi pilihan selain menanggalkan keimanan mereka. Father Rodrigues dan Father Gorupe datang dari Portugis karena mereka mendapat kabar tentang guru mereka, Father Ferreira, tertangkap penguasa di Nagasaki. Mereka mendengar simpang siur; apakah benar Ferreira sudah denounced his Christianity atau apakah dia masih hidup at all. Dalam film ini kita akan mengikuti kedua Jesuit muda tersebut mencari keberadaan guru mereka sembari berusaha menolong sebanyak mungkin penduduk Jepang yang menganut Kristen di bawah tekanan dan siksaan yang berat. This is a VERY STAGGERING FILM. Kita akan struggle banget menontonnya. It is so difficult. Bukan karena film ini cukup sadis secara fisik. Juga bukan karena film ini durasinya panjang banget. Tetapi karena film ini akan menyayat-nyayat hati kita secara emosional.

Menelaah dengan sangat kuat soal krisis keimanan yang dialami oleh seseorang. Apa yang orang lakukan ketika kepercayaan dan keimanannya mendapat cobaan yang mahadahsyat. Meskipun mungkin bukan pemeluk agama yang diceritakan, kita semua bisa put aside our personal belief selama dua jam setengah lebih untuk menikmati filmmakingnya. Kita semua bisa merelasikan diri kepada film ini dalam tingkatan bahwa ini adalah cerita tentang orang-orang yang mengimani apa yang yang mereka yakin, that mereka memeluknya dengan teguh, tidak akan membiarkan apapun yang menghalangi mereka dari yang mereka percaya tersebut.

Beneran deh, it’s emotionally gutting melihat orang-orang tercabik dari faithnya seperti yang digambarkan oleh film ini. Father Rodrigues, awalnya kita melihat dia sebagai seseorang yang sangat kuat-iman. He has the upmost faith you could possibly have in God. Dan begitu film berakhir, kita sudah menyaksikan tokoh ini terjun sampai ke dasar paling bawah secara emosi. Dihadapkan pada pernyataan agama yang ia bawa, kebenaran yang ia ajarkan, tidak cocok untuk diterapkan pada ranah ‘rawa’ Jepang. Namun Rodrigues tidak bisa menerima pernyataan tersebut karena if he accepts that statement, itu berarti dia mengakui kebenaran yang ia bawa bukanlah kebenaran bagi semua orang seperti yang selama ini dia imani. Itu berarti dia meragukan agamanya sendiri.

Ini adalah CERITA YANG SANGAT KOMPLEKS bagi kedua belah pihak; Rodrigues dan Jepang. It’s not like Jepang tidak punya toleransi sama sekali, as in kekerasan dan siksa itu datang dari mereka. Mereka brutally violated penduduk agar mau meludahi salib dan menginjak gambar Tuhan mereka sebagai bentuk denouncing faith di muka publik. Adalah aksi converting yang dianggap berbahaya oleh pemerintah Jepang. They just want to show their pride and love kepada faith mereka. Bahwa gara-gara kepercayaan asinglah mereka sesama saudara tanah air menjadi terpecah belah.

talk about penistaan agama huh
talk about penistaan agama huh

 

Toleransi, ya, bisa jadi jawaban. Tapi sekarang kata tersebut sudah mengalami penurunan arti, digunain begitu saja agar sama-sama senang. Toleransi bukan berarti “apa salahnya ngikutin apa yang dilakukan orang lain”. Kita bisa ikut merayakan hari kebesaran agama lain as along as hati kita tetap beriman kepada agama sendiri, but that is a weakest form of faith. Mungkin tidak banyak yang suka film ini karena membuat diri kita merasa seperti Kichijiro, while tokoh ini easily come off sebagai pengecut yang cari aman. Open minded, bertoleransi, dan punya keyakinan adalah seperti Father Ferreira. Persisnya seperti apa? Go figure out yourself

 

Tidak seperti Sausage Party (2016) yang merupakan satir soal kepercayaan, Silence dengan a lot of respect kepada penonton, mengambil jarak secukupnya. It doesn’t judge, and tidak menggiring kita untuk melakukannya. Yang Silence lakukan adalah menghujani kita – yang terpatri oleh cerita – dengan batu-batu pertanyaan. Kita bakal mengalami sensasi krisis tanpa diberikan pencerahan mana yang baik dan mana yang buruk. Kita akan melihat hamba Tuhan diuji. Kita akan melihat ia menderita for his belief, for things he treasured the most. Dan di titik inilah Silence berbicara banyak. Apakah iman kita tidak berarti apa-apa jika kita tidak diuji – apakah hidup kita meaningless jika kita tidak pernah menderita karena sesuatu yang kita percaya atau cintai? Dan tentu saja, arti mendalam tentang kata ‘silence’ itu sendiri; apakah absennya tindakan kita atau absennya Tuhan? Atau, diam karena kita sedang berdialog dengan Tuhan. Ada beberapa adegan yang menggambarkan Rodrigues dalam diamnya bicara dengan suara Tuhan. Yang membuat kita bertanya-tanya apakah diam hanya arogansi Rodrigues belaka? Secara konstan dia ‘membandingkan’ kondisinya dengan Tuhan, sementara orang-orang desa yang disiksa hingga mati tidak pernah meminta ‘dibandingkan’ dengan juru selamat.

Meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan.

 

Martin Scorsese mengarahkan film ini dengan sungguh luar biasa. Bekerja sama dengan sinematografer yang ngegarap The Wolf of Wall Street (2013), Scorsese memastikan apa yang ditangkap lensa semuanya gorgeous. Kalian akan suka mencermati film ini jika punya rasa penasaran gimana setiap adegan disyut. Yang paling remarkable dari pengambilan gambarnya adalah gimana mereka sebagian besar waktu bekerja pada environment yang tertutup. Adegan film ini kebanyakan berlokasi di pondok kecil yang gelap, di daerah hutan yang terpencil, atau di sel penahanan. Tidak pernah Scorsese salah langkah dalam menjalin cerita. Sudut pandang penceritaan benar-benar dihadirkan compelling dan sangat intens. Kita dibuatnya bereaksi dan merasakan yang dialami oleh seseorang yang dealing with an extreme crisis of faith.

This movie brought to life by many fantastic performances. Adam Driver sebagai Father Gorupe dan Andrew Garfield sebagai Father Rodrigues menyuguhkan penampilan yang amazing. Dalam tahun yang penuh oleh penampilan yang sangat baik, Andrew Garfield kembali bersinar dalam film ini, dan sekali lagi sebagai seorang yang taat beragama. Yea, walaupun dia enggak selalu taat sama aksen portugis yang supposedly dimiliki oleh tokohnya. Liam Neeson, yang bermain sebagai supporting role, was also very very good. Dan tokoh yang ia perankan teramat kompleks.

Spiderman dan Kylo Ren lagi nyari Qui-Gon Jinn
Spiderman dan Kylo Ren lagi nyari Qui-Gon Jinn

 

 

Staggering film yang menantang bukan hanya keimanan dan kepercayaan, tetapi juga menantang intelektualitas penonton. Bikin frustasi at times, gutting our emotion completely, it is a really complex movie. Tidak heran jika banyak orang yang ngerasa hard to come by apa yang disampaikan oleh film ini, thus membuatnya susah untuk disukai. Personally, aku heran juga kenapa film ini enggak masuk nominasi Best Picture Oscar 2017. Setelah menontonnya, aku jadi kebayang sedikit alasannya kenapa. Sesungguhnya, film yang luar bisa unconventional ini adalah jenis film yang mesti ditonton dan disupport oleh orang-orang yang benar menyintai film. Karena di atas itu semua, ini adalah filmmaking yang sangat remarkable; arahan luar biasa, akting fantastis, beautifully shot – salah satu film tercantik Scorsese, penulisan yang begitu cakap, editing yang perfect.
The Palace of Wisdom gives 8.5 gold stars out of 10 for SILENCE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.