“A sister is both your mirror —and your opposite.”
Dunia panggung hiburan yang gemerlap ternyata juga ada hantunya. Tapi hantu di sini bukan hantu yang mati penasaran itu, melainkan yang penasaran pengen merasakan jadi bintang yang dipuja banyak orang tapi gak bisa karena fisik yang gak menjual. Fenomena ‘ghost singer’ – penyanyi yang suaranya dipakai sebagai suara orang lain – memang tak selangka yang kita kira. It happens every so often. Bahkan di Hollywood jaman old aja udah dinormalize aktor-aktor ngelip sync adegan musikal dengan menggunakan suara orang lain. Seperti yang kemudian dieksplorasi dalam cerita film Singing’ in the Rain (1952). Bahasan ghost singer dalam film-film memang biasanya seputar industri dan tentang tubuh (yang suaranya bagus biasanya yang kurang atraktif dibandingkan yang mau diorbitin sama produser). Backstage garapan sutradara Guntur Soeharjanto juga bercerita dengan panggung ghost singer. Tapi drama musikal ini punya lapisan yang lebih membumi, lebih personal. Karena film ini actually lebih banyak bicara soal persoalan kakak beradik perempuan. Bagaimana yang satu selalu ada bagi yang lain, meskipun perlahan itu memakan dirinya dari dalam.
Ngecast kakak-adik beneran jadi shortcut yang sangat kita apresiasi. Chemistry Sissy Priscillia dan Vanesha Prescilla menguar, drip out of screen, setiap kali mereka beradegan berdua. Benar-benar menambah banyak untuk realisme film. Sissy di sini jadi Sandra. Kakak yang sayang banget sama adiknya, sekaligus jadi tumpuan keluarga mereka. Vanesha jadi Elsa, adik yang lebih naif dan punya mimpi jadi aktris terkenal. Saat kafe tempat mereka bekerja bangkrut, mereka berdua bikin video Elsa bernyanyi lip sync pake suara Sandra, untuk audisi film. Tembus dong! Produser yang juga lagi kepepet, memilih untuk mengorbitkan Elsa sebagai penyanyi. Dengan memakai suara dan lagu Sandra. Awalnya Sandra ragu, karena itu membohongi publik dan resikonya besar. Tapi demi sang adik, dia bersedia. Video mereka diupload. Dan viral. Elsa terkenal. Mereka sudah on the way luncurin album. Tapi Sandra nelangsa. Kontrak menyebut dia tidak lagi boleh kelihatan bersama adiknya. Tidak mendapat kredit, namanya bahkan tidak muncul dalam pemberitaan soal keluarga Elsa. Things dengan cepat menjadi out of sync bagi hubungan persaudaraan mereka.
Sudut pandang cerita ditampilkan berimbang. Elsa juga disorot. Bahwa itu semua juga tidak mudah baginya. Kita akan melihat ‘perasaannya’ ketika mau nampil. Film juga membawa kita masuk ke dalam Elsa, bahkan lebih sering ketimbang kepada Sandra. Walaupun dia bisa akting, tapi pura-pura bernyanyi – actually tampil live di depan orang-orang -tetaplah tidak gampang. Sebab Elsa tidak hanya ngerekam suara atau syut music video. Dia juga harus konser di atas panggung. Kita diperlihatkan bahwa dia juga, katakanlah stress menjaga rahasianya , dan semakin gamang juga dengan apa yang ia lakukan. Teruskan atau tidak. Terlebih karena ini adalah passionnya. Itu semua menguatkan karakternya yang memang tidak bisa jauh dan sebenarnya sangat membutuhkan sang kakak.
Tentu, adegan musikalnya bakal bikin kita “bernyanyi-nyanyi” kayak lagi karaokean lagu-lagu pop populer. Lagu original film ini pun nendang dan indah banget, but I don’t wanna talk too much about them. Harus tonton, dengar dan rasakan sendiri! Pembawaan dan penempatan sekuens lagu-lagu itu juga tampak diperhatikan. Film menyesuaikannya dengan rancangan mood. Sehingga walaupun sering juga ditampilkan dengan sedikit terlalu banyak cut, membuat agak susah melihat koreografi seperti susah melihat adegan aksi dalam film action yang banyak cut-to-cutnya, kita tidak terlepas dari emosi. Dan karena enjoy, somehow kita memaklumi. Misalnya ketika adegan opening, banyak cut tapi kayak it’s okay karena ternyata adegannya semacam ‘dream sequence’. Atau ketika nyanyi di panggung, kamera juga udah kayak ngerekam konser beneran, dan kita menontonnya dari layar operator yang banyak sekali monitor dari berbagai sudut panggung. Dan tentunya juga, drama backstage industri entertainment di cerita ini – betapa fakenya semua, betapa mereka hanya melihat bakat dan bahkan kecantikan sebagai produk untuk dijual – bakal bikin kita geregetan.
Tapi sebenarnya hubungan kakak-adiklah yang jadi inti dan hati cerita. Strip film ini dari setting ghost singer dan musikalnya, maka sebenarnya Backstage adalah cerita tentang persaudarian yang ternyata bisa lebih kompleks dan lebih emosional dibandingkan dengan saudara cowok dengan cewek atau cowok dengan cowok. Ini bukan sekadar soal menjaga adik, atau soal saling berkompetisi. It is kinda both. Sandra ingin membantu adiknya mencapai cita-cita, tapi tentu saja dia juga punya cita-cita sendiri. Dan sekarang si adik ini justru mengambil cita-citanya. Si adik yang selama ini mengikuti dirinya, kini berada di depan. Casting a shadow untuk dirinya di dunia yang, katakanlah, tadinya miliknya, sehingga kini justru dirinya sendiri harus menghilangkan diri dari sana. Perihnya, Sandra gak bisa apa-apa karena dia sendiri yang mengizinkan itu terjadi sedari awal. Inilah yang bikin semuanya perih.
Penyair Amerika Lousie Gluck bilang dari dua sisters, akan selalu yang satu jadi penonton sementara yang satunya menari. Yang menonton akan meniru yang menari, lalu kemudian dinamika tersebut akan berbalik. Inilah yang juga terjadi pada Sandra dan Elsa. Inilah yang harus mereka pecahkan bersama. Masing-masing harus menyadari bahwa mereka bukanlah bayangan satu sama lain, melainkan pantulan. Mereka bisa menari – atau dalam kasus film ini – menyanyi bersama.
Meski memang aspek emosional itu terasa juga pada akhirnya, walaupun kita mengerti konflik di antara kedua karakternya di balik potret ghost singer, tapi sebenarnya film ini tidak mulus dalam penceritaannya. Naskah tidak benar-benar fokus pada karakter dan perspektif mereka berdua. Like, soal stake saja misalnya. Menurutku justru lucu sekali yang punya stake duluan di cerita ini adalah karakter produser. Kita dibuat mengenali masalah dia, bahwa ini adalah proyek terakhirnya, sehingga dia gak boleh gagal mengorbitkan bintang. Film berjalan dengan hal tersebut sebagai taruhan. Sementara bagi Sandra dan Elsa, mereka butuh duit, dan enggak sampai satu jam, kita udah lihat keberhasilan mereka. Dari rumah sederhana ke rumah mewah seiring suksesnya Elsa. Di titik itu, sekalipun mereka gagal, yang paling ‘mati’ adalah si produser. Stake Sandra dan Elsa – beserta perspektif mereka – seharusnya dikuatkan lagi. Salah satu di antara merekalah (tergantung mana yang mau dijadikan karakter utama) yang harusnya push ide penyanyi bayangan itu karena butuh duit. Itu akan memberikan lapisan personal kepada karakter, sehingga tekanan lebih besar dan ceritanya jadi fokus kepada kedua sentral ini aja.
Karena memang ini adalah cerita yang menggali personal karakter. Tapi pengembangan yang dilakukan film, malah dari luar. Si produser, terus ada karakter seleb cowok yang tau rahasia mereka tapi lantas jadi seperti jatuh cinta sama Elsa, dan banyak lagi elemen romansa yang benar-benar diniatkan. Ini membuat permasalahan yang jadi topik utama kayak poin-poin saja. Sandra ragu untuk setuju. Lalu Sandra senang videonya viral. Lalu Sandra ngerasa dikucilkan. Sandra marah. Di antara poin-poin itu diisi oleh kejadian dari luar sebagai penggerak plot. Dan kejadian itu gak semuanya kokoh, like, ada yang konyol kayak Sandra ketauan nyanyi di Panti, membuat mereka dimarahi karena melanggar kontrak. Anehnya kontraknya kan soal gak boleh tampil berdua saja, sementara Sandra nyanyi sendirian. Gak ada Elsa di situ. Turns out, peristiwa tersebut ternyata bukan masalah genuine. Naskah gak perlu sebenarnya pake yang ribet kayak gini. Karena inti kakak-adik itu sudah cukup jika benar-benar dari situ saja menggalinya.
Sejak suara Sissy nongol jadi suara Milea dalam Dilan 1990 (2018) aku udah penasaran pengen melihat dua kakak beradik ini adu akting bareng. Apalagi mereka berdua ini mirip bangeeettt… aku surprise pas menjelang Gadis Sampul 2014 ada finalis yang mirip ama Sissy, dan ternyata memang adiknya. Cuma waktu itu aku belum tahu kalo Vanesha juga bisa akting, taunya cuma bisa nyanyi. Jadi film ini benar-benar menjawab rasa penarasanku. I’m happy for them, pastilah seru akting bersama saudara sendiri, di film musikal pula. Dan ternyata mereka berdua memang klop. Meskipun jika ditengok lebih dalam, akting Sissy lebih kuat. Range karakter diterabasnya dengan mantap. Vanesha belum konsisten. Kadang bagus, kadang terdengar kurang masuk dengan karakternya, khususnya pada adegan-adegan yang menuntutnya bermain lebih emosional. Dan ada tantangan dalam karakternya yang aku bingung antara dia berhasil atau tidak. Yakni soal Elsa yang tidak bisa bernyanyi. Tapi ada nanti adegan Elsa nyanyi, dan buatku suaranya fine kok. Penonton yang ada film pun tidak menunjukkan reaksi. Enggak sejelek butuh untuk didubbing oleh suara orang. Aku jadi gak yakin apakah Vanesha sulit akting bernyanyi jelek, atau memang film meniatkan bahwa sebenarnya Elsa bisa bernyanyi tapi dia gak sadar/gak pede, atau gimana.
Dengan menonjol relationship antara dua kakak-beradik, film ini mampu menjadi cerita tentang ghost-singer dalam industri hiburan menjadi lebih emosional. Ini gak sekadar soal bakat atau mimpi yang kandas karena standar kecantikan atau sekadar soal enterainment itu jahat. Tapi inti sebenarnya adalah soal seorang kakak dan pengorbanan yang dilakukan dan bagaimana menghargai itu semua. Film ini dimulai dengan ‘lucu’ dan berjalan dengan cukup ngembang ke mana-mana, namun pada akhirnya cukup berhasil mendaratkan pesan itu. Semua tersampaikan berkat akting dan chemistry natural kedua pemain sentral. Desain produksi yang gemerlap serta musik-musik yang enak didengar serta menyentuh turut membuatnya lebih gampang untuk disukai.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BACKSTAGE.
That’s all we have for now
Apakah kalian punya cerita suka dan duka bersama abang/adik/kakak? Bagaimana pendapat kalian tentang persaingan di dalam keluarga?
Share pendapat kalian in the comments yaa
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA