DEADPOOL Review – [2016 RePOST]

 

“If you can’t love crudeness, how can you truly love mankind?”

 

 

 

 

Bagi kalian yang tumbuh dengan membaca komik, just like myself, salah satu hal yang paling menggelinjang di dunia pastinya adalah menyaksikan tokoh pahlawan kesukaan masa kecil kita beraksi melawan tokoh-tokoh jahat yang juga kita favoritkan sewaktu masih kanak-kanak. Rasanya exciting banget, terlebih karena film superhero komik identik dengan aksi seru, cool stuff, dan siapa sih yang enggak jejingkrakan melihat kekuatan baik dan jahat itu saling beradu? Tapi bahkan buat penggemar berat superhero komik, film-film adaptasi media hiburan geek tersebut sudah menjadi sedikit terlalu banyak. Hampir tiap bulan nongol pahlawan super baru yang bisa ditonton. Beberapa dari mereka memang bagus, dan kemudian kita ditonjok oleh Fantastic Four. Dan meski tampil variatif – belakangan lagi ngehits film komik dibuat dengan origin yang beraura dark-dark gitu (pelototin Fantastic Four lagi!) – setiap cerita superhero basically selalu sama. Kita jadi sudah terbiasa dengan mereka sampai-sampai kita sudah tahu apa yang harus diharapkan dari genre film ini. Di antara penggemar komik atau bukan, sekarang sungguh gampang untuk menyukai setiap film superhero komik karena aksi-aksi keren nya.

Namun bukan sepak terjang, aksi dahsyat, ataupun efek sempurna yang membuat aku terpana menonton Deadpool. Tentu, film ini punya adegan-adegan seru yang super-fun. Deadpool kan dikenal dengan julukan Spider-man Ninja, jadi kita bisa ngarepin bakal terpuaskan oleh aksi-aksi cepet yang keren abis. Bukan itu yang paling menarik dari film ini. PENULISANNYA LAH YANG MEMBUAT FILM DEADPOOL BERADA SETINGKAT DI ATAS REKAN-REKAN FILM KOMIK YANG LAIN. Deadpool setia pada komiknya, itu nilai plus yang pertama kali kita kasih buat film ini. Berpedoman dari situlah, penulis dan sutradaranya mengembangkan naskah yang menuntun film menjadi salah satu film superhero dari komik paling keren dan kocak yang pernah dilihat oleh dua mataku.

 

Film Deadpool adalah si Deadpool itu sendiri.

Dia kurang ajar, kasar, suka ngatain orang, selera humornya seringkali keterlaluan, seksual innuendo nya kentara sekali, enggak baik buat anak-anak deh pokoknya. Deadpool bisa dibilang anti-hero dalam dunia Marvel, kita tahu dia aneh, mentalnya seperti agak terganggu, protagonis yang ngelakuin hal-hal tercela, tapi kita cinta. Thus, membuat filmnya menjadi kurang ajar juga. Berbeda dengan film dari komik lainnya yang penuh rasa kebajikan. Mungkin banyak yang belum kenal betul siapa si Deadpool, aku sendiri belum pernah megang komik aslinya. Tapi tentunya kita sudah tahu cukup banyak tentang tokoh yang satu ini. Karena Deadpool termasuk yang terpopuler di budaya-pop masa kini.

Dalam film ini kita akan melihat proses perubahan Wade Wilson menjadi sosok Deadpool, yang dijelaskan dengan – yup, you guessed it! – flashback. Kita akan dibuat mengerti terhadap apa yang ia alami. Kenapa Wade begitu menolak disebut sebagai pahlawan. Dua anggota X-Men aja sampai berkali-kali ngajakin Wade bergabung. Wade tahu dia spesial namun he spits on idea of being a superhero.

liar, nakal, brutal, membuat semua orang menjadi gempar, and not to be confused with Sun Go Kong si Kera Sakti

Liar, nakal, brutal, membuat semua orang menjadi gempar, and not to be confused with Sun Go Kong si Kera Sakti

 

At the heart, dan percayalah sekasar dan sekurangajarnya Deadpool, film ini masih punya hati kok, MEMBAHAS TENTANG BALAS DENDAM, JUGA CINTA. Wade Wilson berbuat kasar karena dia gamau orang lain suka padanya karena dia tahu persis rasanya kehilangan yang dicinta. Makanya dia nyaman temenan sama orang cuek atau orang buta. Motivasi Wade adalah dendam kepada Ajax, keseluruhan film adalah tentang Deadpool yang mencari keberadaan si objek dendam kesumatnya tersebut. Si tokoh jahat sendiri memerankan perannya sebagai baik, yaah seharusnya Ed Skrein bisa lebih sedikit meyakinkan sebagai penjahat utama, but he did just enough. Negasonic Teenage Warhead dan Colossus turut memberikan nuansa familiar dan memperheboh aksi. Kisah pun dibumbui oleh pertemuan Wilson dengan Vanessa (cakep banget, doncha wish your girlfriend was cool like Morena Baccarin?) yang akan mengubah hidup Wade. Ooo tapi jangan kira mentang-mentang keluar bulan Februari, romansa dalam Deadpool hanya sebatas plot device semacam ‘damsel-in-distress’. Vanessa memang ada sebagai ‘kelemahan’ dari si Deadpool. Serunya, kisah cinta Wade dan Vanessa juga diberlakukan sama dengan semua hal di dalam film ini, tak luput dari kekasaran dan sarkasme. Deadpool buruk rupa memperlihatkan dunia kita yang juga buruk rupa, dan yang kita bisa adalah melakukan yang terbaik dari apa yang kita punya. Jauh di dalam Wade Wilson meyakini semua itu.

Kurang ajar adalah seni dalam film ini.

 

 

Quick question: jika jadi pahlawan super, satu kekuatan yang ingin kalian miliki adalah: Menyembuhkan diri dengan cepat; Master beladiri; Immortality; atau Skill assassin yang tak-tertandingi ?

Deadpool enggak perlu repot-repot memilih. Dia menguasai semuanya. Malahan ada satu lagi ability nya yang tidak dimiliki oleh superhero lain. Di dalam cerita komik, salah satu kekuatan spesial Deadpool adalah keSELF-AWARENESSan nya yang unik; ia sadar kalo dia berada dalam dunia komik. Dalam film, kemampuan tersebut juga dipertahankan. Dan inilah yang membuatnya paling menarik. Deadpool tahu dia berada di mana. Dunianya adalah dunia film yang sedang kita tonton. Dia sungguh-sungguh sadar akan kondisi itu, dia mengerti persis seperti gimana kondisi dunia film komiknya di mata dunia kita. Dan dia enggak sungkan-sungkan untuk nunjukin hal tersebut. Secara konstan Deadpool akan break the fourth wall. Aku enggak tahu istilah indonesianya apa, tapi breaking fourth wall itu sejenis melanggar aturan film dengan si tokoh ngomong langsung kepada penonton, menghadap lurus ke kamera. Deadpool sekonyong-konyong menyeletuk kepada kita, menyuarakan dengan tepat apa yang kita pikirkan selama ini tapi enggak pernah kita ungkapkan. Adegan sehabis kredit penutup nya adalah adegan ekstra yang paling kocak dan straight-to-the-point. Buat yang udah keburu kebelet, tahan bentar lagiiiiii aja, it’ll worth it.

‘Kesadaran’ yang sama juga diperlihatkan filmnya terhadap peran sang aktor, Ryan Reynolds. Kita sama-sama pernah menyaksikan Deadpool sebagai penjahat dalam film X-Men Origins: Wolverine (2009). Dalam film terbarunya ini, Ryan Reynolds juga kembali memerankan Wade Wilson, sosok di balik topeng Deadpool. Film ini menyinggung gimana jelek dan enggak pentingnya Reynolds di Wolverine, ataupun di film-film gagalnya yang lain. Kali ini, Reynolds, dan juga penulisan tokohnya, sangat menghormati karakter yang sedang mereka persembahkan. Kemampuan Reynolds memainkan karakter ‘gila’ semakin terasah setelah tahun lalu pun dia memukau sebagai pembunuh schizophrenia dalam film The Voices (2015). Lucunya kebangetan sebagai Deadpool yang banyak omong!

Namun film Deadpool tidak pernah menyuguhkan diri sebagai eksposisi. Malahan film ini tidak akan membosankan karena memang tidak ada momen-momen yang bikin kita menguap. Sedari pembukaan kita sudah dikasih liat kebolehan Deadpool. Fast-paced actions yang ditangkap dengan sangat jelas oleh camera work yang sama dinamisnya. Kameranya tidak diarahkan untuk goyang-goyang gak jelas. Cut antaradegan nya tidak terlalu over. Pengarahan yang luar biasa dari sutradara. Pun film ini mampu memanfaatkan CGI, yang terlihat minimal dari segi budget, semaksimal mungkin. Lihat saja karakter Colossus, tampak meyakinkan sebagai makhluk hidup yang beneran ada. Pemakaian CGI yang banyak memang tidak terelakkan untuk film semacam ini, untungnya Deadpool sukses memanfaatkannya sebagai alat penunjang yang fresh.

*slow-clap*

*slow-clap*

 

Kekurangajaran film ini mungkin terasa cukup mengganggu, terlebih jika tidak terbiasa dengan humor-humor jorok. Ada nudity juga, meski di bioskop sini kena potong. Film Deadpool mendorong batasan Rating R sampe poll-pollan. Di Indonesia filmnya jadi Dewasa 17+. While it is good and I give nod to sistem rating di Indonesia yang lebih menenangkan, in a way lebih menghormati penonton, tapi dalam kenyataannya justru terasa paling munafik. Rating bertujuan untuk membatasi jumlah penonton sesuai umurnya, and yet prakteknya mereka menambah studio tayang dan membiarkan anak-anak berseragam sekolah menonton film kategori dewasa. Soal sensor adegan film ini,  sebenarnya tidak banyak berdampak, kita selalu bisa mengandalkan imajinasi. Yang lebih mengganggu buatku adalah subtitle Indonesia yang seringkali tidak bisa menerjemahkan lelucon dengan tepat. Akan lebih baik jika mereka menyediakan teks dalam dua bahasa.

Apakah film ini ditujukan buat remaja? Iya. Apakah film-film remaja leluconnya harus vulgar selalu? Tidak. Akan tetapi Deadpool adalah film komik superhero, yang tiap-tiap mereka punya karakter tersendiri. Enggak lucu kalo film ini sesuram Dark Knight. Enggak kocak kalo film ini sepatriotis The Winter Soldier. Sudah dari sono nya sifat si Deadpool begitu dan film ini dengan tepat menggambarkan buku komik itu ke layar. This movie is everything what it should have been. Film ini menolak untuk berlambat-lambat dengan drama, film ini relentless dalam bersuara, film ini enggak pake sensor apapun. Film Deadpool lebih mirip dengan Kick-Ass (2010), malah; luarnya sadis, tapi sebenarnya lebih grounded ke reality.

Dunia yang kita tinggali adalah semesta yang kejam. Dan Wade Wilson sadar akan hal itu. Jalur kebenaran bagi Wilson tidak mesti berbalut santun. Dia memang bukan yang paling baik. Wilson cuma seseorang yang cakap dalam pekerjaannya – yang kebetulan adalah membunuh orang. Film ini mengangkat hal tersebut dengan sudut pandang yang lebih nyeleneh lagi. 

 

 




Dipresentasikan dalam bentuk aksi cepat, extremely funny, pemilihan musik yang asik dan menggebu. Lagu Mr.Sandman sukses bikin aku ngakak, I was so not expecting that! Yea, film ini mungkin bukan pencapaian yang benar-benar baru, mungkin gak bakalan menang award. mungkin bukan masterpiece, tapi filmmakers berhasil membuat suatu tontonan yang luar biasa menghibur. Such a killer filmThe Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for DEADPOOL.

 

 




That’s all we have for now.

Remember, in ife there are winners
and there are losers.

 

 

 

We be the judge.



THELMA Review

 

“Be strong enough to stand alone, smart enough to know when you need help, and brave enough to ask for it”

 

 

Sebagaimana jatuh cinta bukan cuma milik anak muda, petualangan atau malah action balas-dendam pun ternyata juga tidak punya batas kadaluarsa. Ini hanya soal takarannya saja. Karena aksi di usia senja tentu saja bukan kebut-kebutan ataupun tembak-tembakan melawan penjahat. Josh Margolin yang menggarap kisah ini  sebagai persembahan untuk neneknya tercinta (dari adegan pas kredit kita lihat ada momen di film yang dia ‘adaptasi’ langsung dari momen bersama neneknya in real life), tahu persis takaran tersebut. Thelma dijadikannya comedy-action tapi bukan yang over-the-top, melainkan yang grounded. Ingat kemaren pas review How to Make Millions Before Grandma Dies (2024) kita make a point soal nenek cenderung lebih sayang kepada cucu? Nah, pada film Thelma kita akan menemukan jawaban kenapa.

Smartphonenya berdering, Nenek Thelma yang hidup sendiri di rumahnya meninggalkan tenunannya untuk mengangkat. Suara di seberang mengatakan bahwa cucunya sedang di kantor polisi dan dia butuh uang untuk bayar pengacara segera. Naluri keibuan – atau kenenekan – Thelma menghalanginya dari menyadari bahwa telepon itu cuma scam. Penipuan ala ‘mama minta pulsa’. Dari cara film menggambarkan sekuen tersebut, aku langsung ke-hook. Ketika Thelma langsung ke pos buat ngirim duit, kita gak marah ataupun menyalahkannya karena ngelakuin hal yang against our common logic. Malahan kita dibuat memahami ‘kepolosan’ Thelma sebagai nenek. Kita jadi mengerti kenapa penipuan seperti itu bisa terus memakan korban. Apalagi, kedekatan Thelma dengan Daniel, cucunya yang suka datang ke rumah bantu ini-itu, ngajarin makek komputer ataupun main Instagram, sudah dibuild up sebelum kejadian ini. Sekalipun ada yang lucu, misalnya dari gimana si pelaku memancing nama cucunya, kita tidak tertawa dengan nada meledek. Aku baru meledak ngakak saat melihat reaksi Daniel bersama ayah dan ibunya yang awalnya berusaha lapang dada dan bersyukur Thelma gak kenapa-kenapa, tapi langsung ‘serius’ begitu tahu ada duit yang melayang. Dan saat Thelma diam-diam memutuskan untuk pergi sendiri mengambil kembali uang tersebut ke alamat yang sudah ia buang, satu keluarga itu jadi panik mencari nenek yang mendadak hilang,

I also laughed saat Thelma curhat tapi kemudian terbayang lagu yang ada di film Jackass

 

Inspirasi Thelma untuk beraksi sendiri adalah Tom Cruise dalam film Mission Impossible-Fallout yang ia tonton bersama Daniel tempo hari. Thelma dikasih tau Daniel kalo Tom Cruise melakukan sendiri semua aksi di film tersebut. Dan ini menggugah Thelma, yang di balik karakter nenek-neneknya yang ramah, hangat, dan pengertian punya satu flaw yaitu: pantang minta tolong. Premis tersebut terdengar lucu, tapi film berhasil menyuntikkan hati ke dalamnya, dan terus mengembangkan cerita dengan grounded dari sini. Inilah yang menjadikan film punya daya tempur drama yang kuat di balik action ataupun komedinya. Lewat perspektif seorang nenek penyayang yang selama hidupnya mandiri, film memberikan gambaran yang kuat dari gimana rasanya saat benar-benar menyadari diri telah menua, telah benar-benar sendiri karena teman-teman satu-persatu pergi. Gimana rasanya kita yang tadinya bisa semua, kini dianggap tidak mampu dan perlu dijaga. Ketika dianggap seperti bayi lagi. Ada satu momen yang powerful banget, yaitu ketika Thelma mendengar keluarga Thelma (Daniel dan orangtuanya) di ruangan sebelah lagi ngomongin dirinya, dan  Thelma – tidak suka mendengar ‘kenyataan’ bahwa keluarga perlu untuk membantunya lebih sering – mencopot alat-bantu dengar dari telinganya.

Naskah sangat imbang, serta begitu kaya perspektif pendukung. Setidaknya ada dua relationship penting yang terjalin dan development Thelma sebagai karakter datang dari sana. Pertama, tentu saja dengan cucunya, Daniel, yang kelihatannya baru menginjak usia dua-puluhan.  Daniel ini jadi pendukung yang penting, bukan semata karena karakter ini adalah tokoh yang mewakili sang sutradara di kehidupan asli (again, film ini diangkat Josh dari dan untuk neneknya, Thelma Post yang asli), melainkan juga karena Daniel dibikin cerminan paralel dari Thelma. Daniel sedang ada di titik dirinya dianggap screw up oleh keluarga – he doesn’t have job, urusan pacaran pun masih ‘usaha’, dan sekarang nenek hilang di bawah pengawasannya. Daniel jadi sama seperti Thelma yang dianggap gak mampu sehingga mulai menyalahkan diri dan berusaha membuktikan sebaliknya. Mungkin inilah kenapa nenek dan cucu lebih dekat kepada satu sama lain, ketimbang dengan anak atau orangtuanya sendiri. Karena nenek dan cucu berada di posisi yang serupa. Yakni posisi yang oleh orang dewasa/orangtua, dianggap tidak capable ngelakuin hal sendirian, alias apa-apa perlu dibantu. Diawasi. Diurusi. Dan lucunya deep inside mereka juga meyakini pandangan tersebut terhadap masing-masing, sehingga mereka jadi dekat karena nenek ingin buktikan diri capable dengan mengurusi cucunya, sedangkan cucu ingin buktikan diri dengan membantu neneknya.

Kedua; relationship Thelma yang penting adalah dengan Ben, temannya yang ada di panti jompo. Untuk pergi mencari alamat di daerah Los Angeles yang cukup jauh, Thelma butuh kendaraan. Dia ingat Ben punya skuter. Jadi dia pergi ke panti jompo tempat Ben berada untuk meminjam skuter tersebut. Hanya untuk skuter, tegas Thelma. Tapi Ben memaksa untuk ikut sehingga jadilah pertengahan film ini jadi dua-story; antara Daniel dan orangtuanya yang mencari Thelma, dan Thelma dan Ben yang bertualang mencari alamat pakai skuter yang gak seberapa cepat dan harus dicas. Peran Ben di sini adalah sebagai counter, sebagai voice of reason yang menyadarkan Thelma dari flawnya tadi. Karena Ben adalah lansia yang nyaman dibantu. Tidak seperti Thelma, panti jompo bukan kurungan bagi Ben. Karena Ben tidak pernah menampik di usia sekarang, orang-orang seperti mereka memang perlu untuk sering dibantu.

Menjadi tua dan perlu bantuan itu bukanlah hal yang memalukan. Tentu, kita semua perlu untuk belajar mandiri. Untuk capable sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Tetapi tidak kalah pentingnya bagi kita untuk tahu dan mengakui batas diri. Untuk tahu kapan harus meminta tolong. Karena di dalam hidup, sebagai makhluk sosial, sudah kodratnya untuk kita tidak harus melakukan apa-apa sendirian.

 

Penampilan akting dari para pemain juga sukses membuat film ini terasa tambah genuine. Nenek-nenek dalam film biasanya ada dua tipe. Nenek cerewet, dan nenek yang lovebombing ngasih apapun untuk cucu. Tapi keduanya memang sama-sama perhatian. Thelma-nya June Squibb seperti ada di tengah-tengah. Dia seperti nenek semua orang, kadang bikin sebal karena ‘mada’ alias gak mau diurus alias punya flaw agak keras kepala khas senior. Dia bisa tegas dan nyelekit, tapi most of the time Thelma dihadirkannya penuh kehangatan dan ya, kepolosan khas nenek-nenek yang berusaha up-to-date sama dunia. Humor-humor kecil (tapi telak) sering datang dari pembawaan ‘polos’ Thelma. Running gag seperti nenek yang merasa kenal sama semua orang di jalan, menghiasi cerita. Richard Roundtree dalam peran terakhirnya (rest in peace) sebagai Ben pun menyumbang pesona kharismatik tersendiri. Tepatnya, pesona kakek-kakek sebagai teman sejati, yang selalu ada di sana betapapun kurang-ngertinya dia dengan situasi. Sementara itu, Fred Hechinger sebagai Daniel, tuntas pula sebagai perwakilan anak muda – karena kita, seperti dia, harus belajar respek the elder sementara deep inside bergulat dengan menyongsong masa tua sendiri nantinya. Apakah kita mampu? Enggak ada karakter yang annoying di sini. Not even ayah dan ibu Daniel yang kaku dan rempong. Bahkan ‘villain’nya, si tukang scam, dibuat paralel dan penting juga (bisa dibilang ini adalah relationship penting ketiga pada cerita). Untuk gak bocorin banyak, villain ini juga old-man dan juga butuh bantuan.

Cool guys don’t hear explosions

 

Film ini cocok banget ditonton maraton, dijadiin dobel feature dengan How to Make Millions Before Grandma Dies (2024). Kita akan bisa melihat nenek dengan keluarganya dari perspektif lain, yaitu dari si nenek itu sendiri. Kalo mungkin kalian kurang cocok sama drama emosional film tersebut, Thelma yang lebih ringan sebagai comedy-action mungkin bisa jadi alternatif. Comedy-action ini ranah yang rawan. Akan gampang sekali bagi film ini untuk jadi over-the-top, jadi konyol dengan komedi dan aksinya. Tapi gak sekalipun Thelma melewati batas grounded tersebut. Bukan nenek-nenek itu yang dibawa ke dunia aksi. Melainkan aksinya yang diconvert ke dunia nenek-nenek. Film ini paham, bagi karakter seusia Thelma, tindakan yang tergolong memacu adrenalin itu adalah hal sesimpel (bagi kita loh!) operasikan komputer. Di mana letak X nya. Stakenya pun gak perlu muluk. Bagi seusia Thelma tersandung barang berantakan di lantai toko aja sudah demikian membahayakan. Kalo ini settingnya di Indonesia, lantai kamar mandi bisa jadi villain kedua tuh pasti. Meski begitu, seperti halnya premis yang gak shy away dari sedikit meminta kita untuk menahan our logic dan disbelief, film ini pun gak ragu untuk nampilin pistol dan ledakan, yang tentu saja sebagian besar dimanfaatkan untuk komedi properti, ketimbang digunakan properly.

 




Makanya bagiku film ini adalah kejutan yang menyenangkan, lagi menghangatkan. Aku gak nyangka film dengan premis konyol dan situasi kontras action nenek-nenek ini ternyata dikembangkan dengan grounded dan in a mature way, dan hasilnya ternyata gak kalah menyentuh dengan sebuah drama. Yang jelas, hubungan antara nenek dan cucunya berhasil tersampaikan dan terasa personal. Gambaran tentang bagaimana kita bersikap terhadap orang yang jauh lebih tua, tentang gimana perasaan mereka, tetap berhasil sampai ke kita di balik kekehan tawa yang vibe komedinya ke mana-mana. Ternyata memang, seperti halnya umur hanyalah angka, genre juga hanyalah bungkus. Hati cerita tetap nomor satu, dan itulah yang diusahakan sepenuhnya oleh film yang memang sangat personal bagi pembuatnya ini. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THELMA.

 

 




That’s all we have for now.

Aku baru tau ternyata fenomena penipuan kayak ‘mama minta pulsa’ atau ‘anak bapak ada di penjara’ ini ternyata santer juga di Amerika sono. Bagaimana pendapat kalian tentang penipuan kayak gini, mengapa sampai bisa terjadi?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TWISTERS Review

 

“Don’t let your pain destroy you”

 

 

Waktu kuliah Geologi dulu, aku sempat tertarik sama mata kuliah Mitigasi Bencana. I thought it’s really cool menganalisa dan menyiapkan sesuatu yang preventif demi kepentingan masyarakat. Tapi di saat itu juga aku sadar tanggung jawabnya besar. Gimana kalo aku yang bego ini salah baca data, salah langkah. Wuih bisa fatal, Jangan-jangan ntar bukannya bertahan, masyarakat malah jadi kocar-kacir padahal gak ada apa-apa. Apalagi, dan ternyata benar menurut film disaster karya Lee Isaac Chung ini, bidang mitigasi memang luar biasa penting. Bukan hanya gak boleh ngasal dan bertanggung jawab dalam mengoperasikan atau mengolah data, melainkan juga butuh keberanian dan kesiapan diri yang sama besarnya. Karena kalo ada satu hal lagi yang aku sadari berkat film ini bahwa mungkin keputusanku benar gak lanjut ambil mata kuliah itu. maka itu adalah kita gak bakal bisa ready untuk nolongin orang, kalo sendirinya belum ready – belum kokoh – menghadapi terjangan tornado masalah dalam diri pribadi.

Memang, diceritakan berat bagi Kate Cooper untuk kembali menekuni passionnya dari kecil sebagai tornado-chaser. Perempuan brilian itu kini ngantor sebagai meteorologist, enggan untuk kembali ke lapangan, tempat dia meninggalkan proyek mulia yang tadinya ia kembangkan di bangku kuliah untuk ‘menjinakkan’ angin topan. Karena kejadian yang kita lihat di opening film sangat membekas. Alih-alih nolong masyarakat, Kate dan projek ciptaannya malah membuat teman-teman dan kekasihnya celaka. Tapi toh yang namanya passion, tak akan pernah padam. Musim tornado di Oklahoma semakin mengganas. Kate yang punya keahlian khusus menganalisa munculnya tornado akhirnya bersedia untuk gabung bersama tim Javi, teman sesama penyintas kejadian di opening itu, dengan alat-alat mutakhir untuk menge-scan dan menangkap data tornado. Di padang rumput luas yang cerah namun seketika dapat berubah menjadi berbahaya itu, tim Kate amprokan dengan tim Tyler, YouTuber/influencer pemburu-topan yang sekilas tampak mengganggu dan hanya ingin bersenang-senang di atas bencana.

Tunggu sampai semuanya kena F-5, dari Brock Lesnar!!

 

Meskipun katanya film ini adalah sekuel, namun kita bisa menangkap banyak banget ruh dari film Twister (1996) yang menghidupkan aspek-aspek kecil film ini. Salah-salah, aku bisa nyangka ini remake haha.. Ceritanya sendiri memang tidak berkelanjutan, tidak ada karakter film yang lama muncul kembali. Penghubung antara kedua film ini justru teknologinya. Alat penangkap data tornado yang dinamai Dorothy (reference ke film klasik The Wizard of Oz yang ceritanya tentang gadis bernama Dorothy kehisap tornado hingga sampai ke magical land) kini sudah sampai ke tahap yang lebih mutakhir. Referensi tersebut bahkan dilanjutkan; nama-nama tim Javi dinamai dari geng Dorothy di film itu. Sedangkan Kate, sebagai tokoh utama, buatku terasa seperti gabungan dari Jo dan Bill. Atau tepatnya, buatku terasa seperti Kate seperti versi koreksi film ini terhadap karakter Jo yang berbagi porsi dengan Bill. Kate di film ini benar-benar capable dan mandiri di bidangnya. Dia bisa teknik membaca ‘kode alam’ seperti yang dilakukan Bill, serta jago mengoperasikan alat seperti Jo. In fact, konsep penjinak tornado solely adalah buah pikirannya. Penampilan Daisy Edgar-Jones saja dibuat mirip banget dengan Jo; rambut pirang dikuncir, tank top putih, dan semacamnya. Supaya gak jadi terlalu sempurna, film memfokuskan kepada konflik yang dipantik dari trauma Kate. Trauma personalnya inilah yang jadi flaw, yang dikembangkan jadi drama yang menghidupkan cerita, sebab Kate jadi meragukan diri, setengah-setengah mengejar tornado, sehingga menghambat misi timnya.

Makanya Tyler Owens si YouTuber jadi karakter pendukung yang tepat untuk Kate. Bukan semata karena Glen Powell jago banget mainin karakter songong namun kharismatik. Melainkan karena Tyler yang dengan mobil merahnya (again, nod to film original) mengejar tornado cuma buat menembakkan kembang api ke dalamnya, perlahan membimbing Kate keluar dari pusaran ketakutan. Tyler membuat Kate kembali berani, bukan hanya menaklukkan ketakutannya, melainkan juga menunggangi rasa takut. Dalam arti, membuat ketakutannya sebagai pijakan untuk menjadi orang yang lebih baik. Dan aku menemukan diriku lebih mudah konek kepada permasalahan Kate, dan dukungan Tyler, karena terasa personal, ketimbang persoalan menemukan kembali cinta di balik urusan pasangan yang mau cerai pada film originalnya. Imbasnya, relationship yang terjalin antara Kate dan Tyler juga lebih mudah aku ikuti, dan aku mengerti, dan aku peduli. Dari yang tadinya semacam rival karena merasa beda cause, mereka jadi saling tertarik, lebih dari ketertarikan fisik, melainkan mereka menemukan kesamaan deep inside dan tujuan. Dan cara film mendekatkan mereka bukan kayak receh ala FTV yang tadinya berantem jadi pacaran, tapi lebih humanis. Serta tentu saja lebih exciting, karena tetap saja film ini pada dasarnya adalah tentang bencana alam, jadi di lapisan luar ada pusaran angin ribut yang eventually, literally, dibikin membara.

Dari Tyler, Kate (dan kite-kite semuanye) belajar bahwa rating bencana alam seperti puting beliung diukur justru dari efek kerusakan yang ditimbulkan. Yang berarti, kita sendirilah yang menentukan seberapa besar tragedi menghancurkan diri kita. Kita  yang memutuskan berapa lama bencana itu menerjang sebelum akhirnya reda. Maka, bangkitlah segera. Selamatkan dirimu, lalu selamatkan orang lain.

 

Momen-momen action survival dan kejar-kejaran ‘menangkap’ tornadonya dibuat seru. Karena bukan hanya teknologi Dorothy yang semakin maju, teknologi bikin film pun juga. Maka Twisters bisa lebih mengeksplorasi secara visual baik itu dari tornado terbentuk hingga menyerang kota yang tadinya lagi ada acara rodeo. Film benar-benar jago dalam mengontraskan, baik itu warna maupun skala. In case belum pada nyadar dari judulnya, twisternya sekarang ada yang dua. Kembar. Tapi film ini berhasil membuatnya tidak tampak cheesy kayak misalnya kalo ada film hiu, lalu kali ini ceritanya ada hiu kedua atau hiunya mutant, atau gimana. Film tetap mempertahankan tone ringan tapi serius. Ringan, karena film ini nyadar, gimana pun juga, ya sebenarnya lawak cerita seputar meredakan tornado. But at least, mereka membuatnya grounded dengan hati. Dan film ini bikin, setiap kemunculan angin tersebut, kita melihat aksi yang berbeda. Para karakter kita dengan ilmu dan alat-alat canggihnya, mereka gak lantas berhasil. Mereka gagal. Mereka belajar. Mereka berlari menyelamatkan diri. Film ini punya build up yang cukup sehingga adegan-adegan tersebut terasa intens. Satu lagi yang juga berhasil dipotret adalah kepanikan saat bencana datang. Gak salah disematkan sebagai genre thriller. Kepanikan yang membuat manusia lupa, sehingga salah langkah, tidak mendengar instruksi karena panik, dan whoosssh mereka terbang. Dalam menyorot suka-duka mitigasi bencana, film ini berhasil ngasih lihat sehingga kita melek, bidang ini memang penting!

Mana sinefil banget pula, tempat berlindung terakhir mereka di dalam teater cinema hhehe

 

Aku sempat mengira “wah ada pergeseran nilai nih” ketika melihat di awal Kate masuk ke dalam tim corporate, dan dia sebel melihat timTyler yang datang-datang bawa penggemar, yang begitu ‘colorful’ sehingga seolah angin tornado bagi mereka bukan bencana melainkan tontonan dan show semata. Soalnya di film terdahulu, protagonis kita berada di tim yang mandiri, dan ‘bad guy’nya adalah tim corporate – dengan seragam dan segala formalitas lainnya. Nah, ‘nilai’ ini yang aku sangka sudah berubah di jaman sekarang, karena film bikin protagonis utama di tim korporat. Mungkin, aku kira, film ini juga ingin menyinggung soal kultur ‘ngonten’. Aku tertarik karena ingin melihat alasan film untuk mengatakan tim korporat lah tim yang baik. Tapi ternyata jaman belum begitu berubah. Sekali lagi, film ini kayak bermain-main dengan ruh film pertamanya. Perlahan, Kate menyadari dia ada di tim yang salah. Ini tentu jadi journey yang menarik, yang menambah kepada perkembangan Kate sebagai karakter. Prejudice yang dia bawa mengenai orang-orang ‘free-spirited’ yang ada di tim Tyler tentu akan terbawa juga kepada kita. Dan di balik mentereng dan profesionalitasnya – it seems – korporat tetaplah pihak yang culas, yang dengan no problem nyari cuan di atas penderitaan rakyat. Bagaimana pendapat kalian tentang gambaran dua tim dalam film ini? Silahkan share di komen yaa

 




Kalo ditanya suka yang mana, aku lebih cocok dengan sekuel ini. Meskipun memang, kalo ditanya lebih jauh, aku merasa film ini lebih mirip sebagai spiritual remake dari film pertamanya. Alasan suka karena film yang ini terasa lebih mudah relate (tapi itu mungkin karena aku nonton film pertama di masa-masa belum ngerti soal pasangan yang mau cerai haha) But, I do think karakter dalam film ini terasa kuat juga humanity-nya. Mereka punya layer, terutama karakter seperti Tyler. Untuk Kate sendiri, kita dibuat paham sama flaw-nya. Film fokus kepada flawnya, dan ini penting, karena tanpa ketakutan alias trauma dari survivor guilt-nya tersebut, Kate hanya akan jadi karakter utama yang terlalu sempurna. Dia tidak akan menarik. Tapi film berhasil membuat setiap pertemuan dia dengan tornado itu punya arti, punya makna kepada pembelajarannya sebagai manusia. Sambil juga film ini tetap menjalankan fungsinya sebagai disaster-flick yang seru, intens, kadang lucu-kadang konyol.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TWISTERS

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



INSIDE OUT 2 Review

 

“Why do we lose ourselves in anxiety?”

 

 

Alarm pubertas telah berbunyi. Riley sudah bukan anak kecil lagi. Maka siap – gak siap, Joy dan para Kru Emosi di dalam Riley pun harus ikut bertumbuh dewasa supaya bisa mengendalikan perasaan-perasaan Riley. Menyiapkan gadis cilik itu kepada fase berikut dari hidupnya. Itulah alasan kenapa sekuel dari Inside Out (2015) ini ada. Karena manusia bertumbuh, dan akan selalu ada cerita dan tantangan baru yang dihadapi. Nonton Inside Out yang mewujudkan emosi ke dalam karakter lucu, setidaknya membuat kita mampu memahami apa dan kenapa, kita mengalami perasaan tertentu. Bangunan dunianya yang begitu immersive dan kreatif  membuat menyelami psikologi karakternya – yang kemungkinan besar merupakan cerminan dari apa yang pernah kita alami –  serasa menempuh petualangan yang sendirinya juga seru dan emosional. Jika di dalam kepala Riley ada Joy, Sadness, Anger, Disgust, dan Fear yang memegang panel kendali, maka di dalam sekuel Inside Out ini ada sutradara Kelsey Mann dan tim penulis sebagai komando dari the rest of the crew untuk menghadirkan kepada kita lanjutan ‘pelajaran psikologi perkembangan anak’ dengan cara yang sama menyentuh dan menghiburnya.

Remaja adalah fase mencari jati diri. Makanya saat menginjak remaja, perasaan kita akan semakin kompleks. Begitu juga dengan Riley. Anak itu sekarang semakin giat menekuni olahraga hoki. Dia gabung tim di sekolah bersama dua sahabat. Dia juga punya idola di olahraga tersebut. Itulah identitas Riley yang dijaga oleh Joy dan para Kru Emosi. Anak baik, atlet hoki, bersama dua sahabatnya. Tapi remaja juga berarti sebuah fase perubahan. Dan as perasaan Riley campur aduk oleh potensi satu tim bersama idola dan potensi gak bakal satu sekolah lagi dengan sahabatnya, perubahan besar terjadi di ruang kendali Emosi. Panel kendalinya semakin sensitif. Ruangan pun semakin besar, karena Joy dan teman-teman kedatangan anggota baru. Empat Emosi yang tampak lebih intense (Sebenarnya lima, tapi yang satu lagi baiknya disimpan saja karena memang masih hanya lucu-lucuan buat anak tua). Ada Embarassment, si besar dan, ehm, pemalu yang ngeliatnya lebih kasihan daripada ngeliat si Sadness. Ennui, yang lebih sarkas daripada Disgust, Ada Envy, yang walaupun kecil tapi lebih enerjik daripada Anger. Dan ketua mereka, si oren Anxiety, yang pecicilan dan khawatirnya ngalah-ngalahin Joy dan Fear. Si Anxiety claim dia sudah menyiapkan banyak skenario untuk membantu Riley mengarungi masa pelatihan di kamp. Anxiety percaya Riley yang beranjak remaja butuh identitas baru, supaya survive di babak hidupnya yang baru. Dan Joy serta kru Emosi yang lama, dianggap sebagai pengganggu. Sehingga Anxiety membuang mereka, serta identitas lama Riley. Joy harus memimpin teman-temannya mencari jalan kembali ke ruang kendali, demi mengembalikan Riley seperti yang dulu.

review inside out 2
Aku masih mikir, cocoknya nama Joy itu ditranslate sebagai Ria aja daripada Riang

 

In a way, Joy di film ini ngalamin jadi seperti Sadness di film pertama. Dibuang dan merasa tidak dibutuhkan. Ada dialog sedih banget tatkala Joy ngerasa remaja seperti Riley butuh less joy di dalam hidup mereka. Bedanya Joy dengan Sadness di film pertama; Joy enggak pasif. Di sinilah kerja keras tim penulis di ruang komando film mengulik naskah supaya Joy yang karakter utama tetap memegang kendali cerita. Karena, Joy di sini bereaksi atas tindakan Anxiety yang membuang mereka.  Sekilas memang seperti, yang bikin plot bergerak adalah kedatangan Anxiety dan Emosi yang baru, serta tindakan mereka yang membuat Joy dan kawan-kawan tersingkir. Tapi naskah berjuang untuk membuat Joy tetap berada di kursi kemudi, dengan membuat Joy punya false-believe lain, yang telah dilakukannya sebelum Anxiety datang. Yaitu, memilih kenangan dan feelings yang positif-positif saja untuk membangun self-sense atau identitas Riley. Seiring cerita berjalan, development Joy adalah menyadari bahwa believe-nya itu pun tidak tepat. Bahwa sebenarnya dirinya sama saja dengan Anxiety, bedanya Anxiety hanya mencemaskan hal-hal yang belum terjadi dan membangun self-sense Riley dari kewaspadaan tersebut. Dan akhirnya memang, Riley yang merasa orang baik sehingga clueless dan kurang sadar akan kekurangan atau kesalahan dirinya sendiri, jatoh sama kurang bagusnya dengan Riley yang meragukan dirinya sendiri. Yang jadi stake di sini memang Riley, yang menjadi kehilangan jati diri. Sehingga bisa-bisa jadi depresi.

Persis seperti itulah remaja seusia Riley. Dioverwhelm oleh perasaan gak pede, dihantui oleh kecemasan untuk gagal karena merasa dirinya tidak akan pernah good enough, hingga sampai kehilangan jati diri karena cemas tidak diterima oleh sosial. Film ini really nails problematika mereka dan mentranslasikannya ke dalam bahasa petualangan fantasi. Bersama Joy, Anxiety, dan teman-teman Emosi yang lain kita akan menyadari, bahwa self sense kita adalah hal yang kompleks. Bahwa yang membentuk diri kita bukan elemen kebaikan semata. Kita harus ingat kesalahan yang kita perbuat, hal malu-maluin yang pernah kita lakukan, kita harus merasa cemas, cemburu, takut, sedih, harus tahu apa kelemahan kita, karena itulah yang membentuk siapa diri kita secara utuh. Dan kunci untuk menjadi bahagia, adalah mengetahui siapa diri kita sendiri – seutuh-utuhnya.

 

Naskah boleh saja masih menggunakan formula yang mirip dengan film pertama – basically cuma semacam pembalikan, dan alih-alih accept kesedihan, Joy di sini accept dirinya harus berbagi ruang juga dengan Anxiety, tapi bukan berarti film ini sebenarnya sudah kehabisan ide. Justru sebaliknya. Film ini ternyata masih punya banyak kreasi untuk bikin dunia di dalam Riley itu begitu menarik dan punya sistem yang kuat. Lihatlah bagaimana film membawa kita ke tempat-tempat di film pertama, dan mengubah tempat itu sesuai dengan keadaan Riley sekarang. Pulau-pulau relationship Riley sekarang benar-benar mencerminkan pribadi remaja (lebih mikirin persahabatan, dan mulai ‘tertutup’ pada keluarga). Kontrol panel yang dibikin makin sensitif. Dipencet dikit tapi reaksinya ke Riley sungguh dahsyat, seperti gambaran kartunis betapa intensnya perasaan kita di usia segitu (senggol dikit, bacok!) Ada satu momen ketika Joy dan kawan-kawan kembali ke Taman Imajinasi Riley. Tempat yang dulunya sangat magical, kini seperti kantor. Imajinasi Riley sekarang digunakan untuk menggambarkan berbagai skenario kegagalan yang harus diantisipasi oleh Anxiety. Ini udah kayak visualisasi ringan dari kuote terkenal Deepak Chopra “The best use of imagination is creativity. The worst use of imagination is anxiety” yang memang deep abis. Kita menyalahgunakan kreativitas kita untuk hal-hal yang kounterproduktif, bayangkan!

Selain tempat-tempat lama yang sudah berubah, film juga membawa kita berkunjung ke tempat-tempat baru yang tak kalah kreatif. Ada secret vault yang literally brankas tempat rahasia memalukan Riley tersimpan. Di dalam sini banyak karakter baru yang ajaib dan kocak. Ada juga fenomena dengan word play yang tak kalah unik, seperti brain storm. Badai alias hujan bohlam-bohlam ide turun, menghambat petualangan Joy. Yang paling bikin aku ngakak adalah jurang bernama Sar-Chasm. Jurang yang membuat apapun yang disampaikan, akan terdengar seperti sarkas oleh gaung yang ada di sana.

Selain ngajarin psikologi, film ini ternyata juga ngajarin bahasa hihihi

 

Cerita tentang emosi atau perasaan yang jadi karakter, serta secara konteks menyelami perasaan karakter remaja dan melihat bagaimana ‘cara kerja’ semuanya, seperti ini tentu saja gak akan bisa berhasil jika tidak dibarengi dengan visual yang sama ekspresifnya. Mungkin bagi sebagian kita, Pixar sudah tidak perlu diragukan lagi. Tapi tetap saja menurutku, di film ini Pixar menghadirkan kualitas yang bukan cuma berhenti di ‘standar yang penting ekspresif’. Karena selain ekspresif, animasi di sini juga lumayan fluid. Film mulai bermain-main dengan variasi gaya animasi, tergantung dari karakter dan tidak terbatas dilakukan pada karakter-karakter Emosi. Karakter-karakter lain, misalnya karakter dari video game, dibikin punya visual dan gaya animasi – serta gerakan sesuai dengan ‘gimmick’ video game yang glitchy. Ada juga karakter dari kartun, yang oleh film ini bukan saja digambar dengan gaya 2D tapi juga poke fun ke salah satu tipikal acara kartun anak populer yang suka ngobrol breaking the fourth wall kepada pemirsa cilik di rumah. Dan juga tentunya si Riley sendiri. Aku suka desain karakternya yang menurutku kali ini lebih ‘berkarakter’. Jerawat di dagunya itu, menurutku sentuhan kecil yang nice banget ke bentukan karakter ini. Sehingga selain problemnya, dirinya sendiri juga terasa semakin real. Riley di sini semakin terflesh out, Kita mungkin akan melihat sebagian kecil diri kita sewaktu remaja ada pada Riley.

 

 




Inside Out pertama sembilan tahun yang lalu itu merupakan satu dari langka sekali film yang berhasil dapat skor 9 di sini. Dan honestly, aku yang gak terlalu doyan sama sekuel ini, gak antusias-antusias amat menyambut filmnya yang kedua. Tapi ternyata film ini punya alasan tepat untuk hadir, dan actually masih punya banyak ide untuk menggambarkan dunianya. Naskahnya mungkin masih ngikut cetakan yang pertama, tapi penceritaan berhasil membuatnya tambil lebih gede. Seperti juga karakternya yang makin gede, sehingga punya masalah emosional yang lebih gede pula. Untuk mengimbanginya, film juga menaikkan volume komedi, desain karakter yang lebih comic, sehingga film masih mampu menggapai penonton cilik yang udah gak exactly seusia karakter manusianya. Sementara untuk kita yang sudah cukup dewasa, film ini benar-benar sebuah gambaran imajinatif yang seru dan terukur untuk melihat kenapa sih remaja ngalamin hal yang mereka rasakan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for INSIDE OUT 2

 

 




That’s all we have for now.

Waktu itu aku pernah ikut gamequiz di internet, ‘Emosi Inside Out Apakah Kamu?’ dan aku dapat Disgust. Waktu itu pas masih cuma ada lima karakter emosi sih, kayaknya cocok-cocok aja. Tapi sekarang kayaknya aku lebih cocok si Malu-maluin deh haha.. Bagaimana dengan kalian, menurut kalian karakter emosi apa yang paling dominan pada diri kalian?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



INSIDE OUT Review – [2015 RePOST]

 

“Sometimes it is okay to let sadness takes over.”

 

Disney-Pixar-Inside-Out-Movie-Poster

 

Karakter yg mewakili satu sifat atau emosi tertentu memang bukan hal yg baru, kita udah lihat para Smurf dan kurcaci-kurcaci Putri Salju sebelumnya, jadi ya kesan pertama ku buat film ini biasa aja. . TAAAAPPPIII nyatanya, INSIDE OUT TAMPIL UNIK, KREATIF, IMAJINATIF, dan-yea- ORIGINAL! It has completely turned my mind inside out!! Sukaaaaaa~~~

Kita diajak masuk dan melihat isi dalam otak Riley, di mana Joy was in charge sementara Fear, Disgust, Sadness (“don’t touch anything!”), dan Anger membantunya mengendalikan perasaan gadis kecil tersebut. Mereka ingin agar Riley selalu bahagia. Saat Riley yang baru saja pindah ke kota lain, mulai mengenal galau- ga suka rumah baru, gapunya teman, dia jadi ga akur sama orangtuanya-situasi menjadi agak di luar kendali di ‘markas’ alias dalam pikiran Riley.

Film ini dengan smart membuat kisah tentang keadaan psikologis seorang anak yang mulai remaja menjadi penuh petualangan FUN nan mengharukan. IT HITS DEEP, really. Anak-anak mungkin sekarang ketawa ngeliat tingkah si Sadness, namun jika mereka nonton film ini 15 atau 20 tahunan lagi, mereka bakal ngerasain feeling yang berbeda. Paling engga itu yang aku rasakan saat menonton film ini. Ada elemen cerita yang lebih dalam yang bisa kita rasakan- yang anak kecil certainly belum bisa melihat hal tersebut. Makanya film ini begitu spesial. Inside Out berhasil untuk tidak tampil konyol, dan itu benar-benar hal yang bagus karena FILM INI ACTUALLY RESPECT SAMA PIKIRAN ANAK KECIL in that way.

taruhan, crew emosi dalam otak kita pasti sibuk saat kita nonton film ini

Taruhan, it is so complex crew emosi dalam otak kita pasti sibuk saat kita nonton nih film

 

Soal visual jangan ditanya. Everything looks very good. Emosi-emosi itu diwujudkan dalam sosok tokoh-tokoh yang fresh, masing-masing punya ciri khas, dan tentunya menarik banget buat anak-anak. Para pengisi suara did a very good job on their part as wellSuara Joy yang diisi oleh Amy Poehler terdengar penuh kebahagiaan dan, I shoud say, sebuah kelebihan besar bisa segembira itu tanpa jadi terdengar annoying hahaha. Tadinya kukira karakter Joy ini bakal over-the-top kayak Jess di New Girl. Untungnya enggak, I was shocked by thatJoy is actually passed as a likeablePhyllis Smith yang nyuarain Sadness berhasil ngimbangin karakter Joy, while dia sendiri juga enggak terdengar lebay. In fact, aku kagum dengan gimana para dubber dalam film ini bisa nyesuain suara mereka dengan begitu in-character.

 

Emosi manusia adalah hal yang kompleks. Enggak mungkin bagi kita untuk menciptakan bola memori yang murni mewakili satu emosi saja, only kids yang bisa.

atau mungkin Goku, mengingat dia bisa naik awan Kinton.

Atau Goku, mengingat dia bisa naik awan Kinton.

 

I really like bagaimana pembuat film ini menggambarkan cara kerja perasaan manusia ke dalam sebuah dunia dengan segala segala sistem dan mekanisme yang seru dan imajinatif. Kayak gimana cara kerja dunia mimpi, apa yang terjadi sama ingatan-ingatan manusia dan hubungannya dengan pembentukan kepribadian, interaksi antara para emosi, yang semua itu berhasil dijelaskan dengan simpel dan menarik. Bukan hanya Riley, tapi juga ayahnya, ibunya, hey semua orang mempunyai ruang kendali dengan emosi dominan yang berbeda-beda, such a fun concept! Semua hal tersebut berhasil dijelaskan amazingly efektif dalam penceritaan. Mungkin film ini nantinya bisa jadi media belajar psikologi kecil-kecilan haha.

 

INSIDE OUT STANDS OUT AS A VERY MATURE FILM FOR KIDS. Ngajarin anak how to deal with change, growing up, how complex our emotions could-and-should be. Buat yag gede, well, ke mana perginya teman imajinasi kita? Film ini membawa kita ke masa-masa saat seorang anak kecil mulai mempertanyakan diri sendiri. Saat kita sadar bahwa masa kecil is just that, there are alot more yang menunggu kita saat dewasa, it will reminds us betapa ‘sulit’nya masa-masa tumbuh tersebut. Beneran deh, kapan kalian mulai pake hitam? lolThey did a very excellent job at telling that message. Dan tentu saja, Inside Out ngingetin kita semua bahwa tidaklah mengapa untuk membiarkan kesedihan mengambil alih sekali-sekali 

 

 




This is very well might be my favorite Pixar movie of all times. Buat sekarang, no doubt semuanya setuju doong kalo aku bilang kita baru saja menyaksikan film animasi terbaik tahun 2015 ini. The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for Inside Out.

 




That’s all we have for now.

Remember in life, there are winners
and there are losers.

 

 

We be the judge.



HOW TO MAKE MILLIONS BEFORE GRANDMA DIES Review

 

“It is better to give than to receive”

 

 

Kata orang, nenek atau kakek lebih sayang cucu ketimbang anaknya sendiri. Benarkah begitu? Hmm… Film debut penyutradaraan Pat Boonnitipat ini bakal bisa membantu kita untuk menjawab itu. Di balik judulnya yang terdengar matre, How to Make Millions Before Grandma Dies bicara soal hubungan dalam keluarga besar; antara anak dengan orangtua, lalu antara keduanya dengan grandparents. Bagaimana masing-masing menunjukkan cintanya, siapa yang sering pulang, siapa yang tidak. Kalopun pulang, karena memang kangen atau ada maunya. Keluarga yang disorot cerita boleh saja keluarga Thailand keturunan Cina, tapi permasalahan mereka sangat beresonansi dengan keluarga modern di manapun. Dan karena kedekatan tersebut, certainly cepat atau lambat film ini akan menggugah hati sanubari kita. Pat yang memang mengincar emosi itu tahu untuk terlebih dahulu menyajikan bahasannya dengan lugas dan menggelitik. Semua keseharian sosial di negaranya seperti berusaha dipotret olehnya. Menjadikan film ini juga sebagai komentar yang kocak. Lagipula memang benar judulnya matre, toh para karakternya dapat menjadi begitu money oriented, dan konflik mereka pun berangkat dari hal yang bisa dikatakan ngeri-ngeri sedap untuk dibicarakan, yaitu soal harta warisan.

M siap untuk meninggalkan sementara pekerjaannya (itu juga kalo bikin konten main game di Internet bisa disebut sebagai pekerjaan yang beresiko jika ditinggalkan) karena dia sudah menemukan pekerjaan yang lebih mudah dan yang lebih menguntungkan. Merawat Amah alias nenek yang divonis kanker. Ya, M tergiur ketika ada sepupu yang diwarisi rumah besar oleh kakek yang dirawatnya. M juga ingin ketiban warisan. Jadilah ia pindah dan ikut tinggal bersama Amah yang tadinya tidak begitu ia pedulikan. Tapi ‘kerjaan’ ini ternyata tidak semudah perkiraan M. Cowok putus sekolah itu merasa Amah tidak begitu suka kepadanya, afterall Amah memanggil dia sebagai cucu yang tidak berguna. M merasa ribet dengan aturan dan keseharian Amah yang berdoa kepada Dewi Kwan Im (sehingga gak makan sapi) dan pergi berjualan sedari jam 4 pagi. Apalagi M juga merasa anak-anak Amah (2 paman dan termasuk ibunya sendiri) bermaksud sama dengan dirinya; ngerawat Amah supaya jadi ranking pertama orang yang paling dicintai Amah – sehingga bakal mendapat warisan rumah. Yang bikin sedih, Amah sebenarnya tahu, M dan anak-anaknya yang mendadak sering berkunjung sedang berharap dapat ‘menuai benih dari yang mereka tanam.’

Review Lahn Mah
Mungkin judulnya lebih tepat How to Get Millions from Grandma’s Death

 

Persaingan M dan anak-anak Amah tidak lantas digarap film menjadi kompetisi komedi. Film justru tetap di ranah keseharian. Langkah M terutama adalah meningkatkan value dirinya di mata Amah. Sehingga M ada di rumah Amah sebagai penonton, sama seperti kita, mengobservasi orang-orang dan kejadian yang terjadi di seputar Amah. Lantas M akan mencoba membereskan jika ada yang salah. Jadi bibit dari konflik internal di sini adalah tentang orang yang melakukan kebaikan kepada orang lain, tapi secretly dia punya maksud yang lebih selfish. Ini membuat M jadi karakter bercela yang menarik. As in, menarik melihat dia terdevelop menjadi semakin peduli kepada Amah. Melihat M menjadi lebih terbuka matanya terhadap keadaan keluarga, yang selama ini ia cuek saja sibuk main game sendiri. Terus berada di dekat Amah dan mengurusi ini itu membuat M jadi tahu lebih banyak tentang Amah, kebiasaannya, kesukaannya, cara spesifik Amah mengenakan pakaian, siapa anak favorit Amah, hingga ke masa lalu Amah dan cerita keluarga mereka yang M dan anak-anak Amah sudah lupa tapi Amah tetap mengingatnya.

Hubungan M dan Amah inilah yang menjadi hati pada cerita. Di awal-awal kocak sekali melihat film memotret generational gap lewat M yang gen Z selalu saja ‘menjawab’ larangan atau aturan dari Amah – yang honestly memang seringkali aku lebih setuju sama ngelesnya M yang sebenarnya males, tapi masih lebih logis ketimbang perkataan Amah yang masih menganut old ways. Memang pada potret-potret kehidupan sosial-budaya seperti inilah Pat menunjukkan ketajaman komentarnya. Di luar urusan adab tradisional di rumah, Pat juga menyentil dengan lucu persoalan yang ada di negaranya. Seperti saat M dan Amah ke klinik dari pagi sekali, mereka tetap harus ngantri, dan ‘budaya’ orang sana yang mengantri adalah sendal saja, sementara pemiliknya bisa duduk dan beristirahat sembari menunggu loket dibuka. Seiring M semakin dalam mengenal Amah dan keluarganya sendiri, seiring kanker yang menggerogoti Amah semakin ganas, film bertransisi dari kocak ke nada yang lebih mengharukan. Kita bisa melihat M tidak lagi punya kendali, Amah membuat keputusan-keputusan yang bahkan M tidak bisa melihat alasan untuk menyetujuinya. Itu semua karena relationship yang digali cerita semakin meluas jangkauannya. Mulailah problematika keluarga yang relate itu mendera kita semua.

Film memilih untuk mengeksplorasi dramatisasi dari sini. Dari kedekatan kita dengan masalah yang dipotret. Penonton pada nangis karena kita semua punya nenek, atau kakek, yang dikunjungi paling hanya setahun sekali (saat libur lebaran atau libur natal atau hari besar lainnya). Nenek atau kakek yang tampak masih kuat tinggal sendiri, tapi film ini memperlihatkan kepada kita bahwa mereka sebenarnya kesepian. Banyak kita yang jarang pulang menengok mereka, dan selama ini kita mengira mereka oke-oke saja. Tapi film ini ngasih lihat dilema nenek terkait hal itu; bahwa mereka antara senang dan sedih tidak dikunjungi atau tidak dikabari, karena dari pengalaman mereka paham bahwa biasanya justru ketika anak pulang dan mengabarkan itu berarti si anak lagi punya masalah. Nenek seperti Amah pengen dikunjungi – Amah setiap hari Minggu pakai baju bagus demi menyambut anak-anaknya pulang – tapi beliau juga khawatir jika dikunjungi berarti anaknya bisa saja sedang ada masalah. Terutama kita jadi tahu betapa sulitnya bagi mereka untuk membagi kasih. Akan selalu ada yang merasa difavoritkan, akan ada yang cemburu, tapi kita gak akan pernah tahu pengorbanan yang Amah-amah lakukan untuk semua anaknya. Inilah yang akhirnya dipelajari M dari Amah yang ternyata, diam-diam, terus saja memberi. Anaknya ketauan loser kapital L pun, Amah tidak lupa untuk memberikan bagiannya.

We make a living by what we get, tapi we can make a life, by what we give. Karena itulah memberi lebih baik daripada menerima. Tindakan memberi merupakan satu semangat juang, ekspresi dari kehidupan kita sendiri. M yang tadinya hanya mengharap, hanya meminta, mencoba merawat neneknya. Tapi kemudian dia belajar pelajaran berharga ini dari neneknya. Sang ultimate giver. Dari pilihannya di akhir film, M bukan saja sudah jadi caregiver yang baik bagi tetua, tapi dia jadi paham arti untuk menjadi seorang love giver, seperti nenek dan juga nanti ibunya sendiri.

 

Memberi sedikit bukan berarti enggak cinta

 

Yang paling sedih buatku ditunjukkan oleh film ini adalah bahwa di dalam keluarga itu gak butuh maaf. Mau kesalahan gimana pun, all is forgiven selama nama belakang mereka itu masih sama. Amah masih akan terus menanti anak-anaknya, cucu-cucunya untuk kembali. Inilah kenapa film ini gak punya banyak momen berantem yang dramatis. Kalo debat kecil-kecilan yang seringkali jatuhnya lucu, sih banyak. Tapi film ini memang gak punya momen emosi yang sampe berdebat teriak-teriak ataupun nangis kejer. Jika ada yang ketahuan salah, film hanya akan menampilkan ekspresi Amah atau M yang sedang menelisiknya, dan lalu cerita berjalan di hari kemudian. Arahan dramatis atau emosional film ini lebih ke arah personal. Kontemplatif. Makanya bisa terasa lambat  dan kurang naik turun bagi penonton.

Pilihannya ini bisa aku pahami, dan sepertinya aku juga lebih suka arahan yang lebih calm-tapi-menyayat seperti ini. Hanya saja, di jalur yang personal dan kontemplatifnya ini pun film terasa kurang ‘meledak’. Sebab akhirnya film memilih untuk menyandarkan ledakan emosinya kepada pengalaman penonton mengalami hal serupa. Ini terasa belum imbang, karena film jadi ‘lupa’ aspek galian dari protagonis. M dibiarkan sebagai pengamat, yang pilihan-pilihannya tidak terasa kuat terhantar kepada kita. Penonton yang tidak relate dengan kesedihan punya orangtua yang sering sendirian, harusnya masih bisa punya pijakan emosi dari journey M, jika journey tersebut lebih diperjelas dengan eskalasi konflik personal yang dipertegas. Misalnya, momen eskalasi bisa datang ketika M  gagal mendapat rumah, dan dia marah kepada Amah. Proses M pergi ninggalin Amah, lalu bagaimana dia bisa balik lagi menjemput Amah setelah menyadari pembelajarannya; inilah yang mestinya bisa lebih dinaikkan dramatisnya di balik konteks ‘all is forgiven’ tadi. Karena di situ akan ada choice berat bagi M. Memilih ikut sepupu nyari duit demi kerjaannya kembali, atau kembali karena dia sudah beneran peduli kepada Amah. Naskah akan bisa lebih full circle jika kita dikembalikan sekali lagi kepada M dan motivasi  terdahulu (pengen punya komputer baru buat ngegame), karena di saat itulah momen dramatis pembelajaran dia bisa ‘terbukti’ kepada kita.

 

 




Konflik dalam keluarga tampaknya selalu ribet dan nyelekit. Apalagi kalo udah urusan duit. Semuanya pengen menuntut, semuanya pengen jadi favorit. Tapi siapa sangka, sebenarnya kita melupakan hal penting di balik itu semua. Hal yang ternyata tampak begitu sederhana dan menghangatkan seperti yang diceritakan oleh film ini. Awalnya kocak, lalu perlahan tapi pasti film ini tugs our hearstrings. And never lets it go. Film berjalan pada arahan yang lebih personal dan kontemplatif. Dengan momen-momen dramatisnya disandarkan kepada potret-potret keluarga yang sebagian besar penonton pasti akan relate, gak peduli kita turunan mana, tinggal di mana. Bagi yang somehow gak relate, di sinilah sedikit kurang maksimalnya film. Mereka jadi kurang pegangan. Bibit emosional pada naskah – journey protagonisnya – kurang terangkat sebagai konflik. Penyadaran protagonisnya jadi hampir seperti teresolve dengan sendirinya. Karena dia sudah sadar seiringnya waktu. Film tidak memberikan momen yang kuat ketika dia harus memilih sebagai bukti penyadaran. Tapi di samping semua itu, pertanyaan yang lebih penting adalah: Apakah aku nangis nonton ini? Aku nangis… jika saja belum terwakili oleh setengah studio yang terisak-isak keluar dengan mata sembab
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HOW TO MAKE MILLIONS BEFORE GRANDMA DIES

 

 




That’s all we have for now.

Jadi, apakah pertanyaan di awal sudah terjawab? Dari pengalaman kalian, apakah grandparents kalian lebih sayang cucu-cucunya, seberapa besar perbedaan cara mereka menunjukkan kasih sayang antara kepada cucu dengan kepada anak?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



IF: IMAGINARY FRIENDS Review

 

“We grow old because we stop playing”

 

 

Orang dewasa sudah lupa caranya menjadi anak-anak. Atau mungkin lebih tepatnya, orang dewasa ‘terpaksa’ melupakan caranya menjadi anak-anak. Karena ketika sudah dewasa, kita harus berhadapan dengan banyak realita kehidupan. Dan memang realitanya; hidup itu cepat dan keras. Menuntut tanggung jawab besar, serta kita harus bersiap menyongsong begitu banyak perpisahan. Saat dewasa, sudah tidak ada lagi waktu untuk bermain-main. Maka lantas kita merasa jadi dewasa itu berarti kudu serius, enggak boleh kekanakan. Sutradara John Krasinski punya kontra-argumen soal ini.  Bahwa jadi dewasa bukan berarti harus melupakan sisi kanak-kanak yang kita punya. Belakangan banyak membuat horor, Krasinski kali ini mengeksplorasi dunia imajinasi penuh fantasi dengan nada yang ringan dan hangat untuk tontonan keluarga. Dia pun kembali menapaki sisi playful dirinya yang kita kenal ketika dia sebagai seorang aktor yang meranin karakter ikonik, Jim, yang suka ngeprank dalam serial The Office (2015). Ya, Krasinski pertama-tama tampak ingin menampakkan bahwa dirinya sendiri belum lupa. Lalu kemudian lewat IF ini, Krasinski mengajak kita untuk belajar bagaimana caranya kembali menjadi anak-anak.

IF bicara tentang Imaginary Friends – ‘teman khayalan’ yang mungkin kita semua punya saat masih anak-anak. Saat kita masih suka mengkhayal tentang robot, dinosaurus, Goku, ataupun kuda poni. Jangan sampe ketuker ya antara IF dengan Imaginary (2024), karena keduanya memang sama-sama tentang teman khayalan, tapi tentu saja pendekatannya berbeda. Krasinski sebenarnya juga jago membangun dunia horor, hanya kali ini dia lebih memilih untuk bangun dunia fantasi yang lebih ‘magical’. Jadi IF ini bercerita tentang anak perempuan bernama Bea yang membantu para monster-monster imaginary friends untuk mencari anak-anak baru sebagai teman bermain. Monster-monster itu kesepian karena anak-anak yang menciptakan mereka udah pada gede dan melupakan mereka. Bea bergabung bersama Calvin, pria yang tinggal di kamar di lantai atas apartemennya, bekerja sebagai semacam biro jodoh untuk klien mereka; monster-monster yang kini tinggal di tempat rahasia yang hidup berkat imajinasi anak-anak manusia. Tadinya tempat itu boring, kayak rumah panti jompo, karena dibangun dari imajinasi Calvin yang sudah dewasa. Tapi semenjak Bea bergabung, tempat itu jadi lebih ceria,  lebih fantastis!

review if
‘Bea’ as in ‘Be-a-kid again!’

 

Kreativitas dari desain dunia dan monster imaginary friendsnya itulah yang jadi salah satu yang bikin film ini menyenangkan. Di tempat para monster tadi misalnya, logika yang dipakai film ini persis kayak old-cartoon’s logic. Yaitu tempat yang begitu imajinatif, sehingga akal sehat kita gak berlaku di dalam sana. Kita hanya bisa terkesima bernostalgia ke masa kecil saat menonton kartun, masa ketika lokasi ajaib itu terasa sangat menakjubkan, bukannya annoying bagi kita. Para monster yang dihadirkan juga beragam, desain 3Dnya mentok-mentok, ada yang makhluk berbulu besar dengan style ala Monster Inc, ada yang kayak kupu-kupu tapi ala kartun klasik Disney, ada yang random kayak monster gelembung ataupun yang wujudnya segelas air putih dengan satu kubus es (my favorite!), ada juga yang totally aneh berupa monster yang tak-kelihatan. Si Calvin sampe ngedumel anak macam apa yang membayangkan teman yang tak bisa dilihat, hihihi.. Namun di situlah aku sadar alasan desain segala-gaya tersebut.  Karena monster-monster itu terlahir dari khayalan anak-anak, maka otomatis wujud mereka pun begitu beragam, sesuai dengan personality dan lingkungan yang membentuk imajinasi si anak. Makanya nanti kita ikut merasa seru dan penasaran menebak siapa kira-kira anak original dari masing-masing monster. Film pun lantas semakin meriah karena pengisi suara monster-monster tersebut basically cameo dari nama-nama besar, ‘teman-teman’ John Krasinski, yang sering juga castingnya mereference kepada inside joke tertentu sehubungan karir para aktor atau juga clue tentang siapa sebenarnya si karakter.

John Krasinski sendiri pernah bilang filmnya ini seperti film Pixar live-action. Mungkin karena tampilannya yang mencampurkan dunia nyata, manusia asli, dengan karakter-karakter animasi dengan desain beragam tadi.  Serta karena IF juga berfokus kepada drama karakternya. Of course, sekali lihat, tema teman khayalan yang dilupakan ini bikin kita teringat sama Bing Bong di Pixar’s Inside Out (2015) Cerita IF memang terasa seperti berakar pada salah satu adegan paling bikin mewek di film tersebut, yaitu ketika Bing Bong si teman khayalan, merelakan dirinya dilupakan. Tapi kalo dilihat-lihat muatan dan ceritanya keseluruhan, IF juga bisa terlihat kayak versi lebih ringan dari gabungan antara The Boy and the Heron (2023) dengan The Sixth Sense (1999). Nah lo?

Mirip karena Bea ngalamin hal yang mirip dengan Mahito. Sama-sama harus berdamai dengan kematian ibu. Bea yang menginjak usia dua-belas tahun itu tumbuh jadi anak yang hardened oleh kematian tersebut. Dia yang tadinya cheerful dan penuh imajinasi – seperti yang terceritakan lewat footage opening yang perfectly set up keluarga Bea – kini mengikhlaskan hidupnya tak bakal seceria dulu. Bea siap mental untuk hidup yang lebih ‘real’. Bea merasa dirinya sudah bukan anak kecil, dia gak mau lagi menengok gambar-gambar karyanya waktu kecil. Despite ayahnya terus ngajak bercanda dengan beragam practical jokes, Bea yang sekarang ini tidak pernah seceria dulu. Karena deep inside, Bea khawatir kehilangan lagi. Bea khawatir ayahnya yang sakit jantung bakal menyusul ibu. Film dengan tangkas menceritakan perasaan Bea; meskipun di awal pace sedikit agak lambat tapi kita akan mengerti dengan cepat, dan tone film tidak sampai jatuh terlalu depress. Kehadiran monster-monster IF dengan segera mengisi baik itu perasaan khawatir Bea, maupun tone film sehingga kembali ceria. Para monster dan tempat yang hanya bisa dilihat oleh Bea dan Calvin menjadi panggung dinamis tempat film perlahan mendevelop karakter Bea. Berangsur gadis kecil ini kembali menjadi ‘anak-anak’. Dengan membantu para monster menemukan anak sebaagi pasangan bermain, Bea menemukan kembali penyadaran bahwa hidup harus diwarnai oleh cerita-cerita. Di sinilah hati film menunjukkan wujudnya. Terenyuh sekali rasanya melihat usaha Bea demi para monster, melihat para monster konek kembali dengan anak mereka. Hingga ke momen ada salah satu karakter yang Bea gak nyadar sebenarnya karakter itu adalah teman khayalan, dan membantunya berarti membantu dirinya sendiri.

Kita berhenti bermain bukan karena kita sudah tua. Sebaliknya, kita tua justru karena kita memutuskan untuk berhenti bermain. Kita tumbuh tua dan menyedihkan karena telah melupakan kebahagiaan yang kita anggap hanya bisa dimiliki saat anak-anak. Padahal sebenarnya tidak ada yang menghalangi kita untuk hidup dengan lepas dan ceria seperti masih kecil dulu. Kita tidak harus lupa ataupun menunda bahagia ketika hidup got real.

 

Bukti orang dewasa lupa rasanya jadi anak-anak dapat kita lihat pada film anak-anak. Yang seringkali antara punya karakter anak yang terlalu kaku dan bertingkah exactly kayak orang dewasa yang sedang berpura-pura jadi anak kecil (kayak, mana ada anak kecil nyebut kuburan sebagai ‘areal pekuburan’) ataupun film anak yang terlalu memanis-maniskan – membuat orang dewasa di sekitarnya blo’on ataupun tidak berani memberikan konsekuensi nyata kepada karakter anaknya. Or worse, karakter anak cuma dijadikan korban karena mereka yang paling gampang dikasihani. John Krasinski setidaknya membuktikan dia tidak lupa bagaimana jadi anak-anak. Dia tidak takut untuk berkreasi dengan pengarahan dan kamera. Pun, dia tahu persis bagaimana posisi protagonis ceritanya. Anak kecil yang sudah siap menjadi dewasa karena kehilangan, tapi sebenarnya belum benar-benar siap. Bea tampak natural, dia beneran tampak seperti gimana anak seumuran itu – anak yang merasa dirinya dewasa tapi belum – bertindak. Nge-cast Cailey Fleming yang memang sebearnya lebih tua dibanding umur karakternya membuat Fleming jadi tampak effortless ngasih aura dewasa di balik keinnocenant Bea. Chemistry-nya dengan Ryan Reynolds yang jadi Calvin (dengan dinamika standar orang dewasa penggerutu dengan anak yang lebih loose) juga terasa cukup natural.

Temanku dulu kok begini, tapi kini tak nampak lagi

 

Namun bahkan John Krasinski yang punya perhatian pada world-building dan pesona utamanya sepertinya memang berada pada persona kekanakan (sebagai Ayah Bea di sini, dia persis kayak Jim  di serial The Office) belum sepenuhnya lancar bercerita di dunia fantasi petualangan. Aplikasi horornya ke cerita anak-anak baru seujung kuku Guillermo del Toro. Karena naskah dan arahan IF pada akhirnya berbelok lebih ke galian dramatisasi terhadap kenangan masa kecil, terhadap kembali teringat pada masa kecil, ketimbang pendalaman. Secara emosi memang berhasil, tapi masih ada pembeda tegas antara bentukan cerita IF dengan cerita anak Pixar maupun dongeng del Toro. Film punya konsekuensi – Bea boleh jadi tidak akan bahagia lagi kalo nanti ayahnya meninggal, tapi film ini urgensinya masih kurang. Stake-nya masih kurang. Sebuah film memang gak harus ada villain atau antagonis, tapi itu bisa dilakukan jika ceritanya bisa establish stake dari sekitar protagonis. IF kurang nendang karena batasan atau pertaruhannya kurang ditekankan. Like, para monster dibuat tidak menghilang jika dilupakan oleh anak yang menciptakan mereka. Mereka cuma terlantar di tempat rahasia bersama-sama. Sehingga jikapun Bea gagal membantu, terasa tidak begitu jadi soal. Perkara Bea takut kehilangan ayahnya; film ini pun kurang karena incaran relasi antara father-daughter kurang mendapat screen time, dan perjuangan Bea membantu monster tidak diparalelkan dengan Bea, mungkin misalnya, menyelamatkan ayahnya. Atau mungkin membantu ayahnya ketemu sama monster IFnya semasa kecil. Instead, relasi utama terbagi dua, yaitu satu lagi antara Bea dengan Calvin. Tapi karena relasi mereka ini konsepnya adalah revealing yang mengharukan, maka mereka juga tidak benar-benar ada naik turun. Krasinski pada akhirnya terasa terlalu sibuk mengarahkan agar ceritanya tidak berakhir seperti modelan biasa, sehingga ceritanya ini kurang terasa nendang.

 

 




Komedi dan drama yang jadi hati film ini memang mampu mengena. Kreasinya juga cukup sukses bikin kita terpana, membuat kita kembali juga kepada kenangan masa kecil. Mengingat betapa bahagia dulu di masa itu, serta orang-orang yang ada di masa itu bersama kita sehingga masa itu rasanya bahagia sekali. Lewat sudut pandang anak yang cope with family loss, bahasan dunia teman khayalan ini pengen dibuat mature, hanya saja ternyata eksplorasinya tidak sedalam itu. Film akhirnya lebih mengandalkan kepada dramatisasi dari ketemunya para monster dengan anak-anak teman bermain mereka. World building yang menakjubkan itu akhirnya terasa kurang komplit, karena urgensi cerita masih kurang terasa. Film ini jadinya terasa sama dengan para monster khayalan; cute dan loveable, namun untuk penilaian, dia samanya dengan nama protagonisnya. Bea, alias dalam bahasa Inggris dibaca ‘B’
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for IF: IMAGINARY FRIENDS

 

 




That’s all we have for now.

Pernahkah kalian punya teman khayalan? Di umur berapa kalian mulai menyadari dan melupakan teman tersebut?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL


ABIGAIL Review

 

“To the child, abandonment by their parents is the equivalent of death”

 

 

Aku bersumpah, sehabis nonton horor yang satu ini untuk tidak pernah lagi meremehkan orang berdasarkan apapun. Tidak dari pekerjaan, apalagi dari penampilan luar. Balerina cilik bertutu putih dan anggun tampak bagai angsa, ternyata bisa saja lebih buas dari predator manapun yang ada di dunia. Perampok berpakaian hitam-hitam bisa saja menutupi lebih dari sekadar wajah dari balik masker topeng mereka. Itulah yang dilakukan oleh Abigail, film yang skripnya hobi menari. Membawa kita bukan saja naik turun dalam ketegangan survival hidup-mati, tapi juga berayun kian kemari menyoroti sisi karakternya dari kiri ke kanan. Abigail memang jadi sajian yang menyenangkan. Dengan satu hal ekstra yang menggelitik buatku, apakah salah satu dari sutradara Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett ada yang penggemar gulat (atau mungkin keduanya?), karena ya, ada beberapa adegan/dialog yang seperti references yang pasti dinotice oleh fans gulat saat menonton ini.

Alih-alih kawanan perampok kepepet yang beraksi serabutan lalu menemukan gadis yang tampak helpless tapi ternyata sumber malapetaka seperti di Pemukiman Setan (2024), kawanan dalam Abigail adalah sekelompok orang profesional yang lagi dalam misi menculik seorang gadis cilik. Semua cakap dengan tugas masing-masing. Ada ketua pelaksana yang cool, ada hacker unyu, ada muscle man yang gentle tapi polos, ada sniper pendiam, ada driver yang slebor, protagonis utama kita adalah penculik yang bertugas sebagai medik dan bakal berhubungan langsung dengan sang sandera. Saking profesionalnya, mereka ini tidak saling berbagi nama asli, tidak saling share cerita hidup, mereka bahkan tidak bercakap-cakap soal kerjaan. As in, mereka bahkan tidak tahu anak yang habis latihan balet yang mereka culik itu anak siapa. Yang mereka tahu, esok pagi setelah semalaman menyekap si anak di rumah besar tempat persembunyian yang sudah ditetapkan, mereka bakal duit banyak. Masalahnya, Abigail – anak yang mereka culik – ternyata bukan anak orang sembarangan. Malam itu seketika berubah jadi malam survival, sebab mereka dibunuh satu-persatu. Terjebak di rumah bersama makhluk misterius. Abigail memang tampak helpless, tapi tidak berarti dia juga harmless.

review abigail
Ngasih makna ngilu baru ke ngeliat balerina beraksi melekukkan tubuh

 

Elemen surprise memang bukan bumbu baru dalam film-film horor. Malahan elemen surprise suka dijadiin device oleh horor, supaya ceritanya meriah oleh misteri yang bikin hati penonton jumpalitan (setelah jantung kita loncat oleh jumpscare) Naskah Abigail pun menyandarkan diri kepada bentukan surprise, berupa flip atau turn atau pembalikan posisi. Keprofesionalan para penculik tidak bercerita tentang diri mereka jadi alasan yang cukup untuk membuat siapa diri mereka sebenarnya, dari mana diri mereka berasal, jadi revealing yang cukup mengejutkan, yang eventually mengukuhkan desain film untuk membalikkan posisi mereka dari yang tadinya seperti penjahat yang menculik dan dingin, menjadi manusia yang punya flaw dan jadi korban dari vampir. Ya, pembalikan tentunya juga berlaku untuk Abigail, karena anak itu sebenarnya adalah makhluk penghisap darah berusia ratusan tahun. Film memang tampak bermain-main dengan kejutan dari pembalikan ini, karena babak akhir yang jadi puncak cerita akan berisi karakter-karakter yang berubah, baik itu dari manusia menjadi vampir, ataupun dari yang tadinya sepertinya jahat diungkap ternyata baik, lalu jadi jahat lagi. Menariknya film membawa ke garis abu-abu, di mana yang jahat belum tentu vampir, baik belum tentu manusia.

Dengan begitu, tentunya film ini mengambil kesempatan untuk turut bermain-main dengan ekspektasi kita terhadap mitologi vampir itu sendiri. Makanya Abigail terasa sangat fresh. Udahlah desainnya yang balerina membuat Abigail punya ‘move set’ yang unik – bayangkan saja gerak-gerak tari balet yang seringkali memelintir tubuh membentuk bentuk ganjil dijadikan Abigail sebagai jurus saat menyerang – ditambah pula dengan kita dibikin menebak-nebak kemampuan dan kelemahan basic Abigail sebagai makhluk vampir. Mitos yang selama ini kita percaya, seperti vampir takut sama bawang, vampir takluk sama pasak kayu yang dihujam ke jantung, vampir menghindari matahari, ataupun digigit vampir berarti kita akan jadi vampir juga, diacak oleh film; film membuat tidak semua mitos tersebut berlaku kepada vampir di dunia cerita Abigail. Sehingga menonton para karakter manusia mengingat mitos-mitos vampir, berusaha figure out mana yang works mana yang tidak, terasa lucu dan – film juga membuat – seringkali adegan dan dialog mereka lucu.

Film memang membuat interaksi karakter sebagai charm utama cerita. Seperti yang sudah kusebutkan tadi, karakter mereka memang menempati tipe-tipe tertentu yang lumrah ada dalam kelompok di film horor, tapi revealing nantinya membuat mereka tidak sekadar one-note. Mereka bukan karakter pelontar one-liner atau komen sekalimat yang cringe. Mereka, dengan nama alias yang diberikan sebagai candaan, gradually menjadi full-pledge karakter. Yang kita terasa seperti semakin mengenal mereka yang tadinya asing. Kupikir tadinya Peter si muscleman cuma tipe karakter dumb-strong, tapi nanti dia punya persahabatan yang terjalin dengan karakter lain, sehingga nasib kedua karakter ini bikin kita peduli. Apalagi memang para aktor seperti saling berlomba ngasih sesuatu yang ekstra buat ngidupin karakter mereka. Dan Stevens excellent banget membuat karakternya yang awalnya tampak tipikal smart-cool bertransisi menjadi lebih gusar dan komikal. Kathryn Newton berhasil menyetir karakternya jauh-jauh dari annoying teenager. Melissa Barrera sebagai tokoh utama sukses ngasih ketangguhan serta vunerable seorang ibu yang jauh, estrange, dari anaknya. Dan tentu saja, Abigail yang diperankan menakjubkan oleh Alisha Weir sudah bisa kita masukkan ke kategori horror character iconic karena keluwesan aktingnya, meyakinkan sekali menjadi mana yang seperti anak kecil, mana yang seperti vampir buas, mana yang seperti vampir yang berusaha mengecoh dengan berpura-pura jadi anak kecil. Tipu daya Abigail klop dengan konsep film yang mengincar surprise.

Sebaliknya yang jadi hati film ini adalah relasi unlikely yang terjalin antara Joey-nya Melissa dengan Abigail. Film membuat mereka paralel, yang satu ibu yang merasa bersalah sehingga memilih meninggallkan anaknya, sementara satunya (walau haus darah dan sudah beratus tahun) tetaplah seorang anak yang merasakan pahitnya mendapat resentment dari orangtua, yakni ayahnya. Pertanyaan yang mengarah kepada menelantarkan anak, dan apa yang sebenarnya membuat kita jadi orangtua yang buruk, berusaha diangkat oleh film ini di balik urusan antara vampir dan manusia

 

Gabutnya anak membawa bencana

 

Makanya aku merasa kurang, interaksi antara ayah Abigail dengan Joey. Sosok ayah Abigail dipasang oleh film sebagai reference, dan lebih untuk bermain-main dengan penonton, meskipun memang diapun sebenarnya paralel dengan Joey. Kupikir film akan menjadikannya sebagai final boss yang harus dikalahan Joey karena bisa berarti Joey harus mengalahkan sosok demon dari dirinya sendiri. Tapi film mengarahkan ke dramatis yang berbeda, yang pilihan film ini kupikir juga karena film masih ingin menyisakan ruang untuk kita penasaran dan ingin lebih dari Abigail dan ayahnya – yang bilang dia punya banyak nama setelah hidup berabad-abad – sehingga kesempatan sekuel tetap terbuka. Satu lagi yang kurang dimaksimalkan oleh film ini adalah set piece. Rumah besar yang jadi ruang tertutup bagi para karakter. Rumah ini punya tempat-tempat unik, seperti kolam penuh oleh mayat, panggung atau ruang balet pribadi Abigail, tapi aksi-aksi film ini kebanyakan berlangsung bukan di tempat-tempat tersebut, melainkan di interior yang biasa. Sehingga rumah yang harusnya bisa menambah identitas film, terasa kurang dihidupkan.

Pilihan film untuk ‘menyembunyikan’ siapa Abigail di awal, kendati berbuah kepada struktur yang seru, sebenarnya juga membuat babak pertama kinda lepas. Tidak ada set up yang mengisyaratkan bahwa ini bukanlah thriller penculikan normal, melainkan sebuah survival vampir di ruang tertutup. Film jadi ujug-ujug berubah  karena konsepnya surprised. Pilihan yang sebenarnya tidak benar-benar diperlukan karena penonton biasanya sudah tahu film bakal tentang apa, sehingga lebih baik untuk stay pada ketentuan penulisan yang biasa, yakni memberi set up (biasanya pada sepuluh menit pertama) bahwa film ini tentang apa, Abigail itu siapa dan sebagainya.

Yang jelas memang film ini tampak seperti mengincar untuk have fun. Mereka banyak bersenang-senang dengan mitos vampir, dengan karakter dan dialog, mengajak kita untuk bersenang juga dengan flip dan turn pada naskah. Dan penggemar wrestling, aku rasa, bakal dapat senang-senang tambahan karena banyak aspek di film ini yang suspiciously terasa seperti tribute untuk Bray Wyatt. Dan Stevens nyanyi “I got the whole world in my hand” – lagu yang merupakan lagu ikonik dalam promo Bray Wyatt. Lalu beberapa adegan berikutnya, kita lihat Abigail melakukan spider walk – gerakan mind game khas Wyatt untuk menakuti lawan. References yang sepertinya agak stretch out juga banyak, kayak “let me in” dan “run” yang timingnya memang kayak pas ketika digunakan oleh Bray Wyatt. Kemudian ‘kebetulan’ itu semakin terasa terlalu cocok ketika aku sadar judul film ini Abigail, yang juga sama dengan nama finisher Wyatt, yaitu Sister Abigail. Mungkin pembuatnya memang penggemar, atau mungkin memang hanya kebetulan, tapi menurutku tidak ada ruginya juga kalo kita-kita yang penggemar gulat ngakuin kalo secretly Abigail adalah film Bray Wyatt hahaha

 




Begitu banyak film yang ingin bersenang-senang dengan surprise dan turn, tapi lupa ngasih cerita dan karakter yang genuine untuk kita pedulikan. Film ini ingat, sehingga dia menjadi sajian menghibur dan tetap punya hati. Thriller survival yang mencekam berhasil diwarnai film ini dengan warna-warna lucu dan seru. Karakter titularnya bisa dengan gampang masuk ke jajaran ikonik. Film ini bakal jadi pilihan cocok untuk nobar-nobar horor, khususnya fanatik genre vampir, karena penonton casual akan relatif mudah mengesampingkan beberapa hal kurang maksimal dilakukan oleh film. Beberapa di antaranya yaitu, set piece yang kurang unik, babak pertama yang agak lepas karena ada yang sengaja disembunyikan alih-alih diset up, dan ending yang pecah tapi bisa dianggap kurang puas karena too good to be true.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ABIGAIL
.

 




That’s all we have for now.

Anak vampir pun ketika dicuekin ortu bisa tantrum. Menurut kalian apakah sikap Abigail merupakan perlambangan yang tepat dari gimana rasanya bagi seorang anak merasa kurang disayang orang tua yang menjauh justru karena merasa sayang sama anaknya?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



DUA HATI BIRU Review

 

“It’s not about being better than anyone else; it’s about being better than you used to be”

 

 

Dua Garis Biru (2019) berhasil menorehkan impact. Bahasan pernikahan dini yang diangkatnya, mencuat berkat perspektif dan gagasan modern yang kuat. Solusi win-win yang diberikan Gina S. Noer kepada karakter-karakternya di film tersebut, bukan tanpa ‘kontroversi’. Menikah karena hamil di usia begitu muda (like, di usia sekolah!) bukan berarti hidup Bima dan – terutama – Dara berakhir. Bahwa perempuan seperti Dara masih bisa kok meneruskan dan mengejar karirnya. Bahwa bukan hanya  selalu perempuan yang harus menanggung beban punya-anak. Hidup baru mereka justru baru saja dimulai. Syd Field bilang, sebuah film yang bagus ketika film itu tamat, ceritanya tidak ikut berakhir. Melainkan dunia karakternya masih berlanjut, mereka seolah masih terus hidup di dalam kepala kita. Well, sekarang kita bisa berhenti membayangkan gimana kelanjutan Bima mengasuh anak sepeninggal Dara yang lanjut kuliah ke Korea. Karena Gina S. Noer, kali ini bersama Dinna Jasanti telah membuat kisah officialnya. Dua Hati Biru adalah lanjutan yang membahas struggle personal baik itu Bima maupun Dara yang menjadi orangtua muda, lengkap dengan beban, root keluarga, dan masing-masing ego mereka.

Setelah empat tahun, Dara kembali ke tengah-tengah Bima, Adam, dan keluarga besar mereka. Selama ini Bima mengasuh Adam sendirian, dengan bantuan ayah dan ibunya. Angga Yunanda basically meranin cowok yang jadi single dad selama empat tahun. Sebagai lulusan SMA, Bima bekerja sebagai penjaga kolam bola di mall, sehingga dia bisa curi-curi kesempatan untuk membawa dan bermain dengan Adam sambil gawe. Sehingga Adam pun otomatis lebih dekat dengan Bima, ketimbang dengan Dara yang hanya berkomunikasi lewat video call. Kehadiran kembali Dara yang kini lebih dewasa (kali ini diperankan oleh Aisha Nurra Datau), dengan benak penuh mindset baru termasuk juga dalam hal parenting,  tentu saja mengubah semua dinamika tersebut. Tidak segampang itu bagi Dara yang ingin Bima dan dirinya mandiri, lepas dari tangan keluarga besar yang merasa lebih tahu cara merawat anak. Tidak segampang itu bagi Dara untuk bonding dengan Adam yang menolak kehadirannya. Sebaliknya, sama tidak gampangnya bagi Bima untuk ‘evolve’ seperti Dara; tidak segampang itu bagi Bima untuk menerima nafkah dari istrinya. Ah, menjadi orangtua ternyata memang banyak ‘tidak segampang itu’-nya. Let alone menjadi orangtua muda.

review dua hati biru
Adam was right soal mamanya beda

 

Serta merta, anaklah yang jadi stake rumah tangga Bima dan Dara. Terjadi apa-apa sama Adam, berarti kegagalan mereka sebagai orangtua. Sepertinya ini jugalah (selain judul) kenapa film memutuskan untuk tidak memilih di antara dua sebagai satu perspektif utama. Film tidak memulai cerita dengan memperlihatkan kenapa Dara memutuskan untuk pulang, dan sebaliknya film tidak  dimulai dengan detil kehidupan sehari-hari Bima mengasuh Adam, melainkan hanya lewat montase singkat. Dua Hati Biru ingin membahas kedua sudut pandangBima dan Dara secara menyeluruh supaya konflik rumah tangga pasangan muda ini terbahas semua. Karena keduanya memang masih harus banyak belajar bagaimana cara menjadi orangtua yang baik, bukan yang sempurna. Film menampilkan banyak masalah sehari-hari parenting mereka lewat kejadian-kejadian yang relate banget. Permasalahan yang memang bisa kita jumpai pada rumah tangga orang beneran. Anak yang menangis karena mainan kesayangannya ‘hilang’, suami yang kedapatan kebanyakan main hape/game, ibu mertua yang gak taat sama jam tidur anak. Kedekatan kejadian atau masalah-masalah mereka membuat film ini menyenangkan untuk ditonton, sebab sedikit banyak kita pasti akan membawa kisah ini kepada pengalaman, sehingga tanpa sadar kita ikut melibatkan dalam usaha penanganan masalah yang mereka lakukan. Film berhasil menghindar dari menggurui.

Value-value yang disajikan perihal hidup berumah tangga toh memang berharga sekali. Salah satu yang disorot adalah tentang komunikasi. Di masyarakat sepertinya lumrah, yang namanya keluarga mau itu kelas menengah ataupun atas, biasanya komunikasi ya itu pakek emosi. Pakek nyolot. Aku tergelak melihat adegan meja makan Dara-Bima-Adam bersama keluarga Bima. Masing-masing ngobrol, dengan suara keras. Tergelak karena teringat keluargaku begitu juga, kalo udah ngobrol semua berebut ngomong. Semua berebut nyumbang pendapat untuk satu masalah sepele. Semua ngotot ingin ‘ngatur’. Dua Hati Biru meluangkan waktu untuk menguliti cara komunikasi begini. Film dengan perspektif menyeluruhnya memperlihatkan kenapa para karakter jadi begitu. Karena mereka sama-sama peduli sama keluarga. Mereka sama-sama capek kerja, mikirin yang terbaik buat si kecil. Apa yang disebut ego itu sebenarnya cuma rasa khawatir dan peduli yang sama besarnya, sehingga masing-masing merasa knows better. Padahal enggak. Komunikasi ‘berantem’ begitu justru membuat perasaan semakin sulit tersampaikan dengan benar.

Perbedaan Dara dan Bima bukan sebatas soal beda kelas sosial atau beda level pendidikan. Tapi juga soal mindset. Yang satu belum bisa berubah sementara satunya sudah mengerti pentingnya untuk evolve. Hanya saja, keduanya sama-sama failed to realize berubah itu bukan berarti menjadi lebih baik dari orang lain. Film menyebut anak-anak belajar dari orangtua mereka. Dara dan Bima kendati sudah jadi orangtua, mereka juga berangkat dari anak yang melihat kepada orangtua mereka. Dan mereka merasa harus berubah menjadi lebih baik daripada orangtua mereka. Yang mereka perlukan sebenarnya menyadari tidak ada orangtua yang sempurna. Mereka cuma perlu menjadi lebih baik dari diri mereka sendiri sebelumnya.

 

Bahasan perspektif yang menyeluruh ini tentu saja memerlukan penampilan akting yang maksimal. Inilah yang juga jadi salah satu kekuatan film ini. Akting yang terutama terasa natural.  Pemeran pendukung membuat dunia lebih hidup karena mereka semua tampak luwes. Pemeran anak Farrel Rafisqy akan mencuri perhatian kita karena – satu kata – gemas. Mbak Gina ternyata jago juga mendirect aktor cilik; bukan hanya penulisan dialognya tidak tampak dipaksa, aktingnya juga. Aisha Nurra Datau juga ‘temuan’ yang sangat jeli; presence maupun permainan aktingnya sebagai Dara versi sudah evolve jadi dewasa sungguhlah patut kita apresiasi. Dia melanjutkan karakter ini tanpa canggung. Namun di luar itu, aku penasaran juga gimana kalo Dara tetap diperankan oleh Adhisty Zara; karakternya yang sudah dewasa ini tentu secara meta harusnya bisa jadi pembuktian Zara memerankan karakter yang sedikit lebih dewasa dari biasanya. Sementara, Angga Yunanda tampak semakin terasah. Membandingkan dengan penampilannya di Dua Garis Biru, aku merasa Angga yang sekarang ready for more emotional ataupun adegan yang lebih demanding lainnya. Sehingga aku sempat menyayangkan juga film ini tidak seperti film pertama yang fokus pada satu perspektif, yaitu Dara. Aku menyangka bakal gantian di film keduanya ini, giliran Bima yang jadi fokus

Nontonin Adam hilang, aku malah lihat Max ama Ucil di layar

 

Itulah, sebenarnya perspektif dan bahasan yang banyak ini merupakan sandungan yang biasa kita rasakan pada film-film Gina S. Noer belakangan ini. Dua Hati Biru, sama seperti Like & Share dan Cinta Pertama, Kedua, & Ketiga sebelumnya, melimpah ruah oleh bahasan. Akibat yang pertama ternotice adalah ada beberapa yang seperti tidak membangun kepada apa-apa. Misalnya, soal giliran Dara yang kerja, tapi rintangannya adalah dia harus melepas cincinnya; pura-pura masih single. Kirain ada konsekuensi atau akibat lanjutan dari dia melepas cincin, tapi ternyata tidak ada bahasan susulan. Kemudian, flow ceritanya pun lebih seperti buku ketimbang sekuence film dengan tiga babak. Alih-alih masalah puncak yang terbuild up dari masalah-masalah lain yang timbul sepanjang proses pembelajaran karakter, alur dalam film ini terasa seperti episode; masalah satu datang setelah masalah yang sebelumnya reda, terus begitu sampai struktur naskah seperti tidak muat membendung. Jadilah sering muncul kesan “oh udah mau beres, eh ternyata belum” saat menonton film ini.  Susah untuk pinpoint di mana cerita akan mendarat, karena penggalian masalah/bahasan terus dilakukan  sampai bener-bener waktu mau habis, saking banyaknya bahasan. Dan ketika nanti cerita bener-bener tamat, efeknya jadi kurang berasa. Permasalahan yang dialami karakter jadi seperti rutinitas saja. Apalagi konteks masalahnya adalah rumah tangga, yang kita semua tahu bakal terus ada masalah, sehingga dengan memusatkan pada masalah silih berganti, ending dengan penyelesaian masalah terakhir itupun jadi kurang kuat. Hidup mereka yang lanjut saat film berakhir pun jadi kehilangan bobot menarik karena kita sepanjang film juga mengikuti siklus yang sama. Tidak seperti pada film Dua Garis Biru yang penyelesaiannya benar-benar terasa seperti gagasan unik milik film itu sendiri, Dua Hati Biru endingnya terasa seperti just another peace moment. Solusi dari karakter terasa bisa sampai lebih cepat jika film lebih fokus pada perspektif ketimbang masalah.

Rutinitas pasangan muda dengan segudang masalah menanti mungkin lebih cocok jika diarahkan kepada semacam slice of life. Mungkin, bahasan yang banyak seperti ini bisa lebih terakomodir jika film berani memainkan bentuk atau arahan keluar dari zona yang biasa. Aku pikir di kursi sutradara film panjang keempatnya ini, Mbak Gina mestilah sudah lebih dari sekadar capable untuk mencoba bereksperimen dengan gaya storytellingnya. Afterall, adegan long take di UKS pada Dua Garis Biru jadi bukti bahwa pengarahannya cukup peka dan berani. Pada Dua Hati Biru pun kamera berhasil ngasih kesan dinamis yang benar-benar menempatkan kita di tengah-tengah karakter, seperti yang bisa kita rasakan saat Bima dan Dara beserta keluarga masuk ke rumah kontrakan baru. Aku menunggu permainan long take berikutnya, dan ngerasa kayak missed opportunity ketika adegan mereka semua menelusuri gang demi mencari Adam yang hilang tidak dilakukan dengan treatment spesial. Pada penulisan, Mbak Gina terus memperdalam eksplorasi bahasan dan tema, dan itu bagus karena film-filmnya jadi punya kedalaman materi. Sudah saatnya storytelling/directingnya juga ikut dikembangkan untuk mengimbangi bahasannya.

 

 




Cocok loh sebenarnya film ini buat tayang di libur lebaran. Bukan semata karena kreditnya dihiasi sketsa ala lagi lebaran. Ceritanya; yang seputar keluarga hadir dengan vibe dan value berharga yang positif lagi menghangatkan. Permasalahan yang serius seperti parenting dan komunikasi di-tacklenya tidak dengan menggurui, melainkan seperti mengajak duduk membahasnya bersama. Berhasil mengambil jalan tengah dari bentrokan antara permasalahan ‘temurun’ dengan mindset yang lebih modern. Karakter-karakternya pun lovable (terutama Adam yang pasti mencuri perhatian semua penonton). Cuma memang dibandingkan dengan film pertamanya, film kali ini terasa sedikit lebih generic (kehilangan bobot unik karena pasangan muda basically masalahnya sama aja dengan pasangan umumnya), perspektifnya pun lebih bloated, dan tidak diimbangi oleh storytelling yang harusnya bisa dicari bentuk yang lebih cocok untuk menampung semuanya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for DUA HATI BIRU.

 

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian punya tips parenting atau komunikasi dengan pasangan tersendiri?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 16 (GODZILLA X KONG: THE NEW EMPIRE, ARGYLLE, IMAGINARY, MILLER’S GIRL, MEAN GIRLS, NOT FRIENDS, ROAD HOUSE, LISA FRANKENSTEIN)

 

 

Di bulan Film Nasional ini pun aku ternyata kembali gagal menonton film-film Indonesia. Instead, karena kesibukan mudik dan sebagainya, maka kompilasi Volume 16 ini berisi oleh satu film impor baru, dan film-film impor pilihan yang terlewatkan di bioskop beberapa bulan lalu – also film yang memang tidak tayang di bioskop kita – yang menurutku layak untuk kita bahas dan bicarakan.

 

 

ARGYLLE Review

Argylle, kalo aku gak salah itung, adalah film ketiga dalam beberapa bulan ini yang punya konsep memvisualkan aksi dari tulisan/karangan protagonis. Dan Argylle ini punya cara spesifik – yang sayangnya sering jatoh annoying – dalam melakukan konsep tersebut.

Jadi ceritanya, karakter yang diperankan oleh Bryce Dallas Howard adalah seorang penulis novel action spy populer. Namun, walau dia merasa tidak tahu sama sekali tentang dunia ataupun profesi yang ia tulis sebagai karangan, para penjahat dan spy beneran tertarik untuk mengetahui ceritanya lebih dalam, karena ternyata there are some truths pada karangannya tersebut. Alhasil, perempuan dan kucing peliharaannya itu terseret ke dalam petualangan seru seperti cerita karangannya, only it’s real. Yang bagi kita, sayangnya lagi, film ini semakin berjalan, semakin mengada-ada.

Berniat untuk bikin jadi fun, plot film ini dibuat dengan bersandar pada twist demi twist. Karakter-karakternya bakal bikin kita “oh ternyata dia jahat, eh, ternyata bukan! Eh, bener jahat, ding!! Eh, baik sih kayaknya.” hingga berakhir dengan “Eh… aduh, ini apa sih sebenarnyaaa” Konsep memvisualkan aksi dalam karangan pun tampak aneh dan chaos karena film memilih untuk melakukannya dengan membuat Bryce melihat seorang spy beneran – atau juga dirinya sendiri – sebagai karakter di dalam karangannya, dan switch visual itu dilakukan terusmenerus sepanjang sekuen action. Menurutku memang ini sayang sekali, selain karena film ini bertabur-bintang, tapi terutama karena sutradara Matthew Vaughn sebenarnya punya arahan aksi yang menarik. Ketika film tidak sibuk dengan konsep pengungkapan yang overstylish, film ini baru terasa benar-benar  fun. Misalnya pas sekuen aksi skating di tumpahan minyak. Itu konyol tapi juga memberikan karakternya aksi yang unik.

The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for ARGYLLE

 

 

GODZILLA X KONG: THE NEW EMPIRE Review

Godzilla dan Kong adalah tag team that we all deserved, tapi sebaliknya, we are all deserved a better Gozilla Kong movie than this. Karena meski yang ditawarkan Adam Wingard ini memanglah sungguh spectacle porsi titan, tapi spectacle tersebut terasa masih hampa. Masalahnya ada pada pilihan kreatif yang sama sekali tidak menguntungkan bagi spectacle ini.

Yang menarik dari Godzilla, ataupun Kong, adalah melihat mereka yang super size itu berinteraksi dengan manusia. Ya aksinya, ya ‘relationship’nya. ‘Movie magic’ dari film seperti ini adalah melihat mereka hidup di antara kita. Dampaknya apa, ancamannya apa, simbolismenya apa. Sama seperti menonton gulat, pertandingan baru akan menarik jika pihak-pihak yang terlibat dikembangkan, kontrasnya dicuatkan, diberikan cerita. Pada aspek itulah film terasa unbalanced. Cerita yang mengambil tempat di Hollow Earth – dunia yang memang dihuni oleh banyak makhluk raksasa dan menakjubkan lainnya – membuat Kong dan Godzilla kehilangan kontras mereka yang menakjubkan. Melihat mereka di film ini ya kayak ngeliat monster di hutan saja.

Cerita dengan pihak manusia pun terlalu basic. Plot the chosen one, lalu ada juga soal ibu angkat yang mungkin harus berpisah dengan anaknya, tema soal kembali kepada your own clan, tidak cukup kuat dan menarik sebagai fondasi final battle yang megah. Terasa seperti kita bisa langsung skip nonton final battle, tanpa melewatkan banyak hal baru – ataupun malah hal penting. Yang bikin aku makin jenuh adalah karakter manusianya yang template film-film spectacle hiburan. Sekelompok orang eksentrik yang suka nyeletuk lucu.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for GODZILLA X KONG: THE NEW EMPIRE

 

 

 

IMAGINARY Review

Ngomongin soal klise, well, horor karya Jeff Wadlow bersama Blumhouse ini akan terasa seperti bunch of other horrors dan yea, kemiripan itu bukanlah imajinasi kita semata. Film ini dikembangkan dari elemen-elemen horor populer lain seperti masuk ke dunia ‘gaib’ kayak Insidious, dan yea tentu saja trope anak yang berteman dengan hantu.

Teman khayalan umum dimiliki oleh anak kecil, apalagi yang sedang dalam masa kesulitan untuk bersosialisasi. Efek baik dari punya teman khayalan ini sekiranya dapat membantu anak dealing with their emotions karena ini basically bicara pada teman yang tak nyata itu adalah bicara dengan diri sendiri. Efek buruknya, ya tentu saja bicara dengan yang tak ada terlihat creepy sehingga dijadikan film horor. (Makin-makin kalo filmnya kurang tergarap baik seperti film ini). Pertama karena Imaginary membahas teman khayalan lewat sudut yang ribet. Perspektif utamanya adalah seorang ibu tiri yang dulu punya teman khayalan, nah si teman inilah yang ternyata beneran hantu dan kembali untuk meneror anak angkatnya. Tapi bahasannya itu tidak pernah dalem. Cuma ada satu bahasan psyche si karakter utama yang menarik (ketika there is no bear!). Film tampak lebih tertarik mention-mention Bing Bong dari Inside Out – mentone down bahasan ketimbang benar-benar mengolahnya. Hingga akhirnya film ini kena masalah yang kedua, yaitu klise tadi.

Tahun ini kita actually bakal dapat dua film tentang imaginary friend, dan setelah menonton film ini, ekspektasiku buat  film yang buatan John Krasinski jadi tinggi. Semoga pada genrenya dia tidak mengecewakan seperti film ini pada horor.

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for IMAGINARY.

 

 

 

LISA FRANKENSTEIN Review

Lisa Frankenstein debut penyutradaraan film panjang Zelda Williams sebenarnya juga sama kayak Imaginary dalam hal ngejahit banyak elemen film lain ke dalam pengembangan ceritanya, like, ini literally based on Frankenstein, tapi film ini benar-benar mengembrace elemen-elemen tersebut, dan sama seperti si monster buatan itu, film wear those parts proudly sehingga jadi berjalan seperti diri sendir dan dengan menyenangkan pula.

Film enggak peduli sama moral, wokeness bahkan dijadikan salah satu running komedi. Ceritanya tentang Lisa, remaja yang trauma sepeninggal ibu, dia jadi suka ngadem di kuburan, dan dia tertarik sama satu nisan patung, dan dia make wish bisa bersama si mayat. Petir menyambar, mayatnya hidup, dan mereka berdua semacam went on killing spree untuk mengganti anggota tubuh si mayat hidup yang busuk dengan anggota tubuh orang lain. Mulai dari dialog, karakter, hingga kejadian, film ini gotik-gotik kocak. Arahan Zelda membuat film ini jadi punya awkwardness yang charming. Saking cueknya, film ini gak peduli bikin adegan main piano yang supposedly romantis, tapi Kathryn Newton yang jadi Lisa gak bener-bener bisa nyanyi tapi tetep disuruh nyanyi. Yang jelas, ini bakal jadi nomine yang paling unik di Best Musical Performance award blog ini tahun depan.

Mungkin karena nyeleneh itu juga film ini gak tayang di bioskop kita. Sayang, karena bisa jadi kita keskip kesempatan nonton di layar lebar apa yang sepertinya bakal jadi modern cult classic di masa depan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for LISA FRANKENSTEIN




MEAN GIRLS Review

Oh, boy! Bicara soal modern cult classic, here comes remake musikal dari salah satu teenage movie terbaik, instant classic dari era 2000an…. kalo aku punya Burn Book, aku akan nulis film karya Samantha Jayne dan Arturo Perez Jr. ini ke dalam buku tersebut.

Mean Girls 2024 hanyalah remake plek-ketiplek dari film originalnya. Jadi bayangin aja, dialog-dialog ikonik film originalnya, adegan-adegan populer yang aku yakin banyak devoted fans yang apal luar kepala, dibawakan ulang dengan canggung dan lewat arahan komedi yang downgrade dari aslinya. Yang diubah pada film ini basically cuma dua, menambah diversity pada cast dan nambah adegan-adegan musikal. Sementara pada jejeran cast, film ini masih bisa terasa fresh, namun modernisasi dari karakter mereka malah membuat mereka tampak annoying.

Adegan musikalnya digunakan untuk menyuarakan perspektif karakter lain, bermaksud supaya kita lebih dalam mengenal mereka – lebih dari sekadar geng plastik – hanya saja, film originalnya udah melakukan itu tanpa perlu banyak mengejakan, tanpa lagu yang jadi eksposisi feeling mereka, kita udah dapat menangkap, misalnya gimana Regina George juga punya rasa insecure sendiri deep inside. Sehingga adegan musikal di film ini terasa redundant, dan membuat film ini tampak seperti ya itu tadi, mengejakan. Dan adegan-adegan musikal itu memperlambat tempo karena film tidak pernah benar-benar menggubah naskah sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk musikal. Film ini berjalan kayak film yang original, dengan diselingi adegan-adegan nyanyi dari beberapa karakter pada saat momen-momen mereka. Kalo ada yang masih ingat di ending film original, ada 3 junior plastic yang dibayangkan oleh Cady ketabrak bus, nah film ini persis kayak tiga junior plastic itu.  Cuma pengen meniru-meniru melanjutkan legacy yang lebih populer.

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for MEAN GIRLS VERSI 2024.

 

 

 

MILLER’S GIRL Review

Jade Halley Bartlett setidaknya ‘berhasil’ membuat apa yang di dunia nyata jelas siapa yang harus bertanggungjawab menjadi cerita yang tampak kompleks dan berimbang dari dua sudut pandang. Membuatnya jadi kontroversial. Sehingga, mengulas film debutnya inipun jadi terasa sama ‘berbahaya’nya dengan terpikat masuk ke pikiran gadis remaja.

Dengan penampilan akting yang terukur all-around, dengan karakter yang dibuat abu-abu – kalo gak mau dibilang sama bercelanya – Miller’s Girl yang basically tentang guru dan murid saling tertarik dengan pikiran dan kehidupan masing-masing (sama-sama dalam state haus pengakuan) harusnya bisa jadi tontonan yang menantang. Yang mencegah film ini untuk mencapai potensi maksimalnya itu adalah ‘kehati-hatian’ arahan dan naskahnya itu sendiri. Film ini berdiri terlalu dekat dengan objeknya. Sehingga alih-alih membuat kita mengobservasi mereka, film ini lebih seperti mengajak kita untuk ‘supportive’ untuk lalu kemudian mematahkan dengan semua bahasan dan gagasan utama yang ingin diangkat. Sehingga pada akhirnya film ini sendiripun terasa seperti karangan yang dibuat oleh karakter si Jenna Ortega – karangan picisan yang ternyata jebakan.

The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for MILLER’S GIRL.

 

 

 

NOT FRIENDS Review

Not Friends dari Thailand terasa seperti nostalgia yang tak pernah kualami. Film ini kayak ngingetin kembali sama masa-masa dulu nyoba-nyoba bikin film ala kadar bareng teman, sekaligus juga ngingetin ke masa-masa sekolah, hanya saja bagi diriku dua masa itu sama sekali tidak berhubungan. Itulah yang bikin aku sadar sutradara Atta Hemwadee berhasil menggabungkan bahasan tentang pertemanan dengan passion membuat film menjadi sebuah penceritaan yang manis. Mengulik persoalan pergaulan di sekolah – yang bisa dilihat sebagai satir dari bagaimana kita menjadi teman, tapi juga bukan teman yang benar-benar kenal dengan bahkan teman sebangku – ke dalam bahasa yang pas buat anak sinefil kayak kita-kita (kita?)

Passionnya memang sangat kentara. Melihat mereka bergabung menjadi tim, berusaha membuat adegan dari cerita pendek, melakukan ‘movie magic’ alias treatment dan efek-efek praktikal untuk membuat seolah adegannya beneran astronot di pesawat luar angkasa, misalnya, tampak begitu menarik. Kita seperti diundang masuk ke dalam grup mereka. Hebatnya film gak pernah terlalu in the face dalam menggarap adegan-adegan bikin film ataupun celetukan teknikal lainnya. Film tetap berpegang kepada storytelling dari drama dari karakter.

Karenanya bahkan penonton yang gak share kecintaan yang sama dengan filmmaking pun bakal masih bisa mengikuti drama anak sekolah yang disajikan sebagai hidangan konflik utama. Film tidak membiarkan kisahnya menjadi overdramatis ataupun jadi lebih ‘besar’ daripada persoalan anak sekolah. Melainkan tetap renyah dan menapak. Jikapun narasinya mengandalkan kepada rangkaian ‘ternyata’, rangkaian itu tidak difungsikan untuk mengecoh ataupun mematahkan plot, melainkan sebagai tantangan berikutnya dari protagonis utama sehubungan dengan development pribadinya yang ingin membuat film tentang teman sebangku yang ia akui sebagai bestienya saat sang teman itu meninggal dunia, sebagai jalan pintas untuk keluar dari masalah masa depan pendidikannya.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for NOT FRIENDS.

 

 

 

ROAD HOUSE Review

Enggak seperti Mean Girls versi modern tadi, remake Road House karya Doug Liman mengambil resiko yang lebih  bijak dalam meremajakan kisahnya. Dia membawa cerita ini ke setting lebih modern, sehingga jadi ada kontras vibe yang menarik, dan langka, karena pada intinya Road House adalah cerita jadul yang kayaknya udah jarang dibuat. Karena ini bukan soal pria yang ternyata jago berantem dan dia terpaksa oleh untuk membalas dendam. Ruh tipikal modern itu memang masih terasa, tapi pada awalnya Road House tetap adalah cerita ala western, di mana seorang pria yang ternyata jagoan, datang ke suatu tempat, dan akhirnya menyelamatkan rakyat di tempat itu dari cengkeraman tuan tanah yang jahat. Hanya saja pada Road House, koboynya adalah seorang mantan petarung UFC, dan tempat yang ia lindungi adalah bar tempat dia disewa sebagai bouncer.

Kontras cerita jadul di dunia modern, serta penampilan akting dari Jake Gyllenhaal yang memang jarang sekali mengecewakan, membuat film ini jadi menarik. Komedi dari celetukan/smark juga masih ada, dan dijaga untuk tidak benar-benar membuat film ini jadi kayak over the top. Paruh pertama film ini terasa fresh dan everything just work fine. Aku tertarik melihat Dalton berinteraksi dan menjalin pertemanan dengan orang-orang di bar dan sekitarnya. Bagaimana dia perlahan membuka kepada mereka, juga berarti dia perlahan membuka kepada kita, mengetahui masa lalunya sebagai petarung UFC perlahan membuat kita semakin simpati.

Pada paruh kedualah film mulai agak goyah dalam mempertahankan kontras.  Penanda kegoyahan ini adalah kemunculan ‘algojo’ yang diperankan oleh Connor McGregor. Connor sendiri sebenarnya tampak have fun dan menghibur memainkan karakter ini. Karakternya yang brutal tampak menarik, dan benar-benar jadi hambatan yang sepadan untuk Dalton. Tetapi saat dia muncul dan cerita berlanjut, film ini seperti kebobolan pertahanan dan akhirnya menjadi over-the-top seperti film originalnya. Dan itu berarti film tidak lagi konsisten dengan vibe yang sedikit lebih dewasa yang dilandaskan di awal. Mereka membuat karakter Connor terlalu ‘dominan’ as in terlalu besar berpengaruh kepada arahan dan tone film keseluruhan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ROAD HOUSE.

 




 

 

That’s all we have for now

Selamat Hari Film Nasional, dan have fun liburan menuju lebaraannn!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA