WEST SIDE STORY Review

“Hate cannot drive out hate; only love can do that”

 

 

Belakangan ini kita memang diberkahi banyak banget film musikal yang keren-keren. Annette (2021) yang menekankan kepada sisi absurd seninya. Tick, Tick…Boom! (2021) yang melekat berkat relate personal ceritanya. Ada begitu banyak pilihan musikal yang bagus, yang mampu membuat aku yang gak fans musik jadi jatuh cinta. Tapi dari semua, West Side Story garapan Steven Spielberg-lah yang paling pas untuk mengenakan mahkota. Karena film ini benar-benar goes for the big! Baik itu performance, musical numbers atau adegan musikalnya, produksi, hingga ke pesan, semuanya spektakuler. Spielberg ngedirect film ini dengan kemegahan yang cuma dia yang bisa. Dan itu berarti luar biasa karena film ini sendirinya sebenarnya adalah sebuah remake dari musikal yang enggak ‘kecil’. Spielberg membuat cerita ini lebih besar dan lebih relevan lagi!

Materi aslinya terinspirasi dari kisah Romeo dan Juliet. Namun alih-alih perseteruan keluarga, kisah cinta Tony dan Maria di West Side Story berada di tengah-tengah seteru dua kelompok etnis pemuda yang berbeda. Manhattan 1957 itu tempat tinggal yang jadi rebutan oleh penduduk imigran yang sudah turun temurun tinggal di sana. Di satu sisi ada kelompok Inggris, dengan geng Jet. Dan di sisi lain ada warga Puerto Rico dengan kelompok Shark. Dua kelompok ini terus saja berantem, cari ribut. Persaingan memenuhi kebutuhan hidup yang layak membuat kedua kelompok saling benci. Tapi tidak Tony dan Maria. Bertemu di pesta dansa (sementara geng masing-masing lagi rebutan lantai dansa), Tony yang mantan anggota Jet dan Maria yang adik dari ketua Shark jatuh cinta pada pandangan pertama. Mereka bermaksud hidup bersama, pergi dari kota dan start fresh. Tentu saja, kedekatan mereka berdua dijadikan alasan baru bagi Jet dan Shark untuk ribut. Dan kali ini benar-benar bakal ada nyawa yang jadi korban.

westsideDF_12072_R12_COMP
Rumbling, rumbling~~

 

Namanya juga musikal, semua permasalahan film ini diceritakan lewat lagu. Set drama di kota dilandaskan lewat adegan musikal di opening. Alasan Jet nyari ribut, juga lewat musikal. Bahkan pas sekuen berantem pun juga ada gerakan-gerakan seperti balet (sebelum akhirnya film ini nunjukin berantem yang cukup violent). Dari nonton West Side Story inilah aku jadi mikir, bahwa keberhasilan sebuah film memang gak pernah sesederhana ‘horor yang penting harus bisa bikin takut’, ‘komedi yang penting harus lucu,’ ataupun ‘romansa yang penting harus bisa bikin baper’. Karena dengan begitu berarti ‘musikal berarti harus bisa bikin ikut nyanyi’. Nah dengan logika itu, sampai kapanpun aku gak akan pernah nemuin musikal yang bagus karena aku yang gak suka musik gak akan pernah nyanyi menonton musikal. Dan kalo aku – kalo kita – menilai film dengan subjektivitas sesederhana fungsi tersebut, ya kitalah yang rugi. Kita gak akan tahu film bagus bahkan kalo film itu tayang di depan hidung kita. Dari musikal segrande West Side Story inilah kita bisa sadar bahwa meskipun kita gak konek dengan liriknya, atau dengan musiknya, atau bahkan dengan bahasanya, sebuah film masih akan tetap bagus dan itu dinilai dari objektivitas teknik film itu dibuat, cerita film itu ditulis, seperti apa gagasannya disampaikan. Bagaimana craft film dalam memuat isi kemudian menampilkannya ke dalam genre masing-masing, di situlah sebenarnya penilaian film bagus atau tidak. 

Dan West Side Story benar-benar dibuat dengan epik. Setiap adegannya, mau itu musikal ataupun pas ngobrol biasa, berwarna oleh detil, penempatan kamera, dan bahkan bloking orang-orangnya saja seperti bermakna. Adegannya tu gak pernah sekadar nari-nari rame-rame di tengah jalan. Saking banyaknya adegan bagus yang benar-benar nonjolin craft dan visi dari si filmmaker, aku bisa bikin listicle khusus di dalam tubuh ulasan ini. ‘Dua-puluh Adegan Terepik dalam West Side Story, Nomor Lima Bakal Bikin Kamu Ikutan Joget!’ Ya, bukan lima, bukan delapan. Dua puluh itu aja kayaknya belum semua deh yang keitung. Kamera dan perhatian Spielberg lewat bercerita visual mengangkat setiap adegan musikal menjadi momen-momen ajaib yang kita rugi kalo sampai ngedip and miss it. Adegan nyanyi di gang gelap, lalu Tony loncat ke kubangan, kamera lantas menyorot dari atas; memperlihatkan pantulan berpuluh-puluh lampu dari jendela lewat riak-riak kubangan tersebut, maaan siapa sih yang bisa kepikiran membuat adegan seperti itu. Shot-shot film ini memang sangat imajinatif, gak ada yang standar. Dua geng saling bertemu di dalam gudang yang gelap; Spielberg mempesona kita dengan menggambar dari bayangan kedua kubu. Lalu ada juga sekuen panjang saat adegan masuk ke ruang dansa. Kameranya kayak melayang gitu aja, nempel di tubuh lalat kali hahaha. Buatku, film seperti beginilah yang menantang – sekaligus menginspirasi. Film, yang saat menontonnya kita langsung penasaran mereka ngerekamnya seperti gimana, kameranya gimana. Kok bisa? 

Akhirnya ya kita yang nonton jadi merasa dapat lebih banyak daripada sekadar lirik atau irama yang catchy. Kita ujung-ujungnya jadi mengapreasiasi musikal itu secara keseluruhan. Aku paling suka adegan nyanyi Amerika, dan adegan nyanyi di dalam ruangan kantor polisi. Selain itu, dengan pengadeganan dan penampilan menawan seperti itu, perhatian kita juga jadi terpusat pada cerita. Hampir seperti kita gak butuh lagi sama dialog. Mungkin ini jugalah yang dimengerti oleh film, sehingga Spielberg tidak menampilkan subtitle untuk dialog-dialog dalam bahasa Spanyol. Spielberg melalukan ini demi respek terhadap karakter dan bahasa itu sendiri, tapi dia toh juga tidak mempersulit atau meminta terlalu banyak kepada penonton. Perhatikan saja adegan-adegan berbahasa Spanyol itu. Selalu hanya keluar dalam adegan yang konteksnya sudah terlandaskan dengan baik. Selalu punya weight ke dalam karakterisasi dan plot itu sendiri. Ketiadaan subtitle ini justru jadi penanda utama bahwa film ini telah demikian baik bercerita lewat visual dan penampilan atau juga musiknya.

Colorfulnya pengadeganan didesain kontras dengan kelamnya cerita. Aku nonton film ini duluan daripada film aslinya, aku gak tau sebelumnya ini ceritanya bakal seperti apa. Dan aku surprise juga saat menyaksikan ujung cerita film ini. Aku gak expect kalo film yang udah dibuat untuk penonton modern ini berani membuat sekelam itu. Mungkin inilah kenapa West Side Story kurang laku (selain karena musikal memang kurang perform untuk penonton kita). Modern audience kan gak bisa dikasih ending yang conflicted. Pengennya yang jelas. Happy, atau sedih. Kalo bisa sih yang happy aja. Gak boleh di antara keduanya. West Side Story berakhir tragis dengan cinta yang terpisah oleh kematian, tapi punya undertone yang optimis ke arah kehidupan yang lebih baik untuk semua orang di kota. This ending will hit alot.  Dan aku senang karena film ini mengambil resiko dengan ending seperti itu. Film ini telah melakukan cukup banyak penyesuaian – ada hal-hal yang dibikin berbeda dengan versi aslinya – tapi untungnya tidak diubah sesuai kesukaan penonton modern. Malah kalo dipikir-pikir, ending versi ini memang lebih menohok.

westside-side-story-trailer-
Si Maria mirip-mirip Susan Sameh gak sih?

 

Seperti pesaingnya di Best Picture Oscar, Coda (2021), film West Side Story juga melakukan remake yang melakukan perubahan positif dalam hal representasi. Spielberg tak lagi menggunakan aktor kulit putih yang dimake-up coklat, melainkan benar-benar menggunakan aktor latin untuk karakter-karakter Puerto Rico. Feels film ini jadi semakin otentik, selain juga respek sama ras yang diangkat. Soal casting ini memang benar-benar dimanfaatkan sebagai isi karakter. Ariana DeBose yang berkulit lebih gelap misalnya, diset untuk memerankan Anita yang nanti terlibat dialog soal kulit itu dengan sesama Puerto Rico, terkait konteks bagaimana prioritas Amerika kepada warganya. Terus, ada karakter yang benar-benar merepresentasikan trans-people, sementara film aslinya tahun 60an belum berani banget menampilkan. Lalu ada juga aktor yang gak sekadar jadi cameo dari film original, tapi diberikan peran yang dramatis terkait dia memerankan peran terdahulu dengan peran sekarang. Tapi yang paling penting soal cast ini adalah, Spielberg benar-benar ngedirect mereka untuk menghasilkan performa yang sama luar biasanya.

Masalah rasis yang jadi akar konflik film ini digambarkan dengan kompleks, dan jadi masalah yang terstruktur karena begitulah pondasi tempat tinggal daerah mereka. Tapi kalo mau disederhanakan, sebenarnya ini adalah masalah hate. Kebencian. Makanya hubungan cinta antara Tony dengan Maria jadi simbol penyelamat mereka semua. Mereka cuma harus bisa melihatnya. Walau kadang cara untuk sadar itu bisa demikian tragis.

Honestly, pas pertama kali nonton aku mikir film ini – terutama karena endingnya – agak problematis. Like, kenapa kulit putih mati jadi seperti savior. Bukankah, aku sempat mikir, lebih cocok dengan penonton modern kalo dibikin yang jadi ‘penyelamat’ itu adalah karakter cewek. Setelah dipikir-pikir, dikaitkan dengan arc Tony dan Maria, the whole ending ternyata memang harus terjadi seperti yang film ini lakukan. Tidak ada jalan lain yang lebih powerful.

 

Tony yang diperankan oleh Ansel Esgort di versi ini diberikan journey yang lebih dramatis. Backstorynya – mengapa dia keluar dari Jet, kenapa dia bisa punya hubungan baik dengan pemilik toko yang orang latin – benar-benar melandaskan arc penebusan diri. Benar-benar memperlihatkan Tony mencoba menjadi pribadi yang lebih baik, tapi tidak segampang itu berkat kuatnya pengaruh seteru dan hate tadi di kota. Arc si Tony baru akan melingkar sempurna dengan ending film ini, karena itulah penebusan dirinya yang sebenarnya. Bukan dengan pergi menumbuhkan cinta di tempat lain. Kota ini juga harus diresolve masalahnya. See, di sinilah letak kekuatan naskah West Side Story. Kota mereka juga jadi karakter tersendiri. Yang bakal ngalamin pembelajaran, melalui nasib dua karakter sentral. Maria, diperankan oleh Rachel Zegler dengan memukau meski ini adalah film pertamanya, punya arc tentang innocence lost. Maria adalah simbol atau perwujudan dari value positif; polos, penuh mimpi, optimis. Karakter Maria ini jadi makin penting saat ending itu, karena lewat dialah karakter-karakter di kota melihat apa yang telah mereka lakukan terhadap kota yang harusnya adalah tempat penuh harapan dan mimpi.

 

 

 

Ah, film yang indah. Baik itu pesannya, experience menontonnya, serta penampilan akting dan musikalnya (yang btw, bener-bener dinyanyikan oleh pemainnya). Dunianya terasa hidup, setiap adegan pantas banget untuk kita pelototin. Setiap scene terasa epik dan spektakuler. Everything about this movie feels grande. Aku harus menahan diri nulisnya, karena kalo gak, bakal panjang banget. Karena semuanya bisa dibahas mendalam. Semuanya punya makna. I’m okay film ini yang dipilih Oscar untuk mewakili genre musikal dibandingkan film yang lain. Bukan hanya karena nama Steven Spielberg. Pak sutradara berhasil membuktikan nama besanya bukan sekadar legenda. Tapi juga karena film ini terasa urgen meskipun dia adalah remake. Aku senang karena actually di line up Best Picture Oscar tahun ini, ada dua film remake yang tampil demikian kuat melebihi film original mereka.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for WEST SIDE STORY.

 

 

 

That’s all we have for now

Sayang sekali film ini flop di bioskop kita. Menurut kalian kenapa film musikal enggak perform dengan baik bagi penonton Indonesia?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE BATMAN Review

“Vengeance is not the point; change is.”

 

Perdebatan ‘superhero dark atau harus colorful’ antarkubu fans bakal makin sengit dengan tayangnya film Batman terbaru ini. Pasalnya, si Batman itu sendiri memang sudah punya begitu banyak versi, mulai dari yang ringan, yang extremely comical, yang aneh, hingga yang ‘so serious‘. Jadi Batman benar-benar cocok mewakili perdebatan tersebut. Salah satu penyebab kenapa Batman jadi salah satu tokoh pahlawan super paling populer dan ikonik sehingga terus dibuatkan cerita ini adalah karena dia easily salah satu yang paling grounded. Dia gak punya kekuatan super. ‘Cuma’ punya jubah hitam dan alat-alat mahal. Makanya Batman ini fleksibel, bisa dibuat either way. Dan bagus atau enggaknya memang tergantung dari bagaimana pembuat meracik itu semua. Nah, The Batman garapan Matt Reeves ternyata berhasil nyetak begitu banyak skor dengan hadir sebagai kisah yang superkelam, dengan tetap memegang kuat ruh sebagai epik kesuperheroan. Film ini udah kayak cerita detektif dengan misteri kasus yang rumit, dengan penekanan yang kuat kepada sisi personal sang karakter, tapi di saat bersamaan juga menunjukkan perjuangan dalam menyelamatkan kota dan banyak orang. Jadi dengan kata lain, The Batman ini sukses hadir dengan memberikan warnanya tersendiri.

Jika dalam menjadi superhero itu kita anggap sama seperti pertumbuhan orang menjadi dewasa, maka film ini bisa dibilang adalah cerita coming-of-age Bruce Wayne sebagai seorang pahlawan. Diceritakan, dia baru dua tahun jadi Batman. Dia masih dalam proses ‘mencari jati diri’, pahlawan seperti apa dia untuk Gotham. Opening film ini bahkan dimulai dari Bruce yang menarasikan diarinya. Bruce percaya dia adalah pahlawan vengeance. Setiap malam, begitu sinyal lampu menyala, dia keluar. Menakuti para kriminal di jalanan dengan auranya. Dan menjatuhkan pukulan-pukulan balas dendam itu kepada mereka semua. Bagi Bruce, setiap kriminal di kota adalah orang yang telah membunuh orangtuanya. Bruce jadi pahlawan atas dasar ini; balas dendam demi meneruskan legacy kebaikan orangtuanya. Batman memang jadi ditakuti, oleh kriminal dan juga oleh orang-orang yang ia tolong. Polisi-polisi pun gak respek sama dia. Kecuali Gordon, yang membawanya ikut memecahkan kasus dan jadi kayak partner bagi Batman. Ketika mereka berhadapan dengan rangkaian kasus pembunuhan orang-orang penting di Gotham, eksistensi superhero Batman ditantang. Puzzle demi puzzle dari Riddler yang ia pecahkan membawanya pada rahasia kelam menyangkut kota, hingga warisan sebenarnya dari orangtuanya.

batman1d9b29573ce687ddd08151eb85c91af2ce5c563-16x9-x0y250w7684h4322
Teka-Teki Tikus

 

Kita gak bisa misahin Batman dari Gotham, karena kota tersebut akan selalu jadi bagian dari karakter Batman. Pak sutradara benar-benar mengerti akan hal ini. Maka kota Gotham tersebut juga ia hidupkan sebagai karakter. Bukan hanya lewat tampilan dan sudut-sudut pengambilan kamera – yang mana dilakukan dengan menakjubkan, seram rasanya berada di malam hari di tengah kota Gotham modern yang kelam dan sering hujan, tapi juga jadi bagian penting di dalam narasi. Rangkaian kasus yang ditangain Batman dirancang untuk membawa karakter ini menyelam ke dalam jaring-jaring politik gelap yang praktisnya menggerakkan kota Gotham. Dari mafia seperti Penguin (aku masih gak percaya kalo itu adalah Colin Farrel!!) hingga ke wali kota, dari klub rahasia hingga ke kantor polisi, korupsi itu udah kayak turun temurun di Gotham. Inilah yang bikin The Batman terasa begitu immersive. Dunianya benar-benar hidup. Kita merasakan setiap karakter yang tampil punya kepentingan berada di sana. Bukan sekadar seperti kepingan puzzle. Batman gak akan ngumpulin mereka di ruangan, dan memaparkan jawaban teka-teki dan menunjuk ke satu orang ‘kaulah pelakunya!’ Penjahat film ini bicara tentang membuka kedok kota, dan misteri pembunuhan dalam film ini sendirinya adalah ‘kedok’ untuk banyak lagi lapisan yang menyusun narasi film ini.

Enggak sekalipun aku merasa film ini kayak produk-yang-lain dari suatu jagat universe. The Batman terasa seperti cerita sendiri, bukan hanya di franchise Batman, tapi juga di cinematic universe keseluruhan. Inilah kekuatan sutradara yang gak kutemukan dalam film-film superhero modern yang kebanyakan kayak template. Tentu ada sejumlah callbacks ke film-film Batman terdahulu yang bisa ditemukan oleh superfans, tapi di film ini setiap aksi, setiap shot, terasa spesial dan ekslusif untuk cerita ini. Reeves benar-benar mengarahkan semuanya dengan visi. Dengan teramat sangat dramatis, pula. Dia bisa menguatkan kesan kelam dan brutal walaupun harus bergulat dengan rating 13+, yang berarti dia berhasil menggunakan ‘restriksi’ tersebut untuk keuntungan penceritaannya. Selalu ada cara efektif yang ia temukan untuk menyamarkan aksi-aksi sadis. Fokus blur, permainan kamera, atau bahkan membiarkannya terjadi off-screen (hampir semua adegan pembunuhan sadis oleh Riddler dilakukan di luar kamera), film menyerahkannya kepada imajinasi penonton. Dan memang lebih efektif dilakukan seperti begitu.

Off-screen bukan berarti film ini takut dan luput merekam emosi. Misalnya saat Batman kalap nonjokin wajah penjahat. Hasil gebukannya memang gak diliatin, tapi ‘prosesnya’ direkam dengan steady. Kamera diam aja memperlihatkan emosinya si Batman. Beberapa aksi berantem yang lebih fluid pun juga dilakukan tanpa goyang berlebihan. Batman dengan Catwoman (Zoe Kravitz level coolnessnya tinggi yaw), misalnya, aku justru lebih ngerasain ‘tensi’ di antara mereka saat lagi berantem ketimbang ngobrol. Adegan aksi paling dahsyat yang dipunya film ini adalah saat kejar-kejaran mobil bersama Penguin. Reeves juga sukses bikin Batmobile jadi kayak karakter sendiri – seperti makhluk buas yang mengintai dari balik kegelapan dan menerkam. Dan di akhir balap maut itu ada shot yang sangat keren dan memorable dari sudut pandang si Penguin. Ngomong-ngomong soal itu, film ini memang beberapa kali menggunakan pov shot dari berbagai karakter. Yang semuanya selalu berhasil menguatkan perspektif, karena didukung dengan visual maupun suara. Napas berdegup si Riddler, reaksi paniknya Penguin, ataupun hanya bunyi-bunyi derap kaki Batman dari dalam kegelapan pekat yang dilihat oleh kriminal yang ketakutan. Momen-momen itu menghiasi film sehingga mustahil ngantuk dan bosen menyaksikannya walau durasi memang panjang dan melelahkan.

Perspektif merupakan kata kunci di sini. Pandangan Batman mengenai memberantas kejahatan dibenturkan dengan pandangan maniak si Riddler terhadap keadilan jadi pusat yang menggerakkan cerita. Dan yah, tibalah saatnya menilai penampilan Robert Pattinson sebagai Batman dan Bruce Wayne. Kayaknya cuma dia yang meranin Batman dan Bruce sebagai orang yang sama – I mean, gak kayak Batman-Batman lain yang selalu ada beda sedikit dengan versi Bruce mereka. Maksudku di sini bukan Rob bermain jelek, kesamaan tersebut memang jadi konteks karakter Batman/Bruce yang ia perankan. Karena di titik ini Bruce gak pedulikan soal menyamarkan diri. Bruce di film ini justru pengen dirinya itu Batman ‘selamanya’. Dia lebih nyaman menjadi Bruce yang mengenakan topeng, dia merasa kuat dan lebih pegang kendali. Di film ini memang porsi Robert lebih banyak bermain sebagai Batman. Sedikit sekali saat dia jadi Bruce, dan di momen-momen sebagai Bruce, karakternya lebih banyak diam. Hanya menatap orang-orang. Malah ada satu adegan yang memperlihatkan Bruce dengan riasan mata yang luntur abis pake topeng, sehingga dia kayak sedih dan kuyu banget. Ekspresi Rob lebih kuat saat Bruce menjadi Batman. Segala mannerism – cara dia berjalan, dia memandang, hingga pandangan matanya berkata lebih banyak tentang Bruce sebagai Batman itu kepada kita.

batmandownload
Batman Rob punya sparkle… not in literal way

 

Revenge is an act of passion. Makanya aksi balas dendam bukanlah inti dari perjuangan kita menuntut keadilan. Harusnya inti dari perjuangan tersebut adalah perubahan apa yang kita timbulkan. Balas dendam gak akan mengubah banyak hal. Inilah yang harus dipelajari oleh Batman, yang masih terus galau dan dihantui keinginan membalaskan dendam orangtuanya kepada kriminal-kriminal di kota.

 

Aku benar-benar suka ama grounded film ini membuat ceritanya jadi semacam kasus misteri. Batman udah jadi kayak detektif, like he should be in the first place. Dia menggunakan kecerdasan, dan juga teamwork. Entah itu dengan Alfred, dengan Catwoman, ataupun dengan Gordon. Riddler yang over-the-topnya udah kuat merekat berkat penampilan Jim Carrey, di film ini juga jadi sangat grounded diperankan oleh Paul Dano. Riddler di sini jadi seperti serial killer yang mungkin bisa terjadi di dunia nyata kita. Seru aja ngeliat adegan-adegan memecahkan petunjuk dan teka-teki, meski Batman yang pintar itu agak jarang ngajak-ngajak. Dia sekali lihat bisa langsung tahu jawabannya. Tapi at least, dia ngeshare jawaban dan alasan kenapa itu jawabannya kepada kita. Dan mostly, teka-teki si Riddler adalah permainan kata yang lucu. Seperti soal ‘thumbnail drive’ ataupun ketika dia nanya ‘kalo seorang pembohong meninggal, dia ngapain?’ Jawabannya bikin aku ketawa, karena ‘He lie still’ berarti dua; dia tetap berbohong atau dia diam tak-bergerak. Lucu-lucu kecil seperti demikian jadi sangat diapresiasi karena The Batman ini memang gak pake dialog-dialog one-liner konyol. Satu lagi yang bikin cekikik ringan adalah Penguin yang karena tangan dan kakinya diikat, jadi berjalan kayak burung penguin beneran hihihi

Untuk mengembalikan fitrah film ini sebagai superhero (dan bukan film detektif) – juga karena pada titik itu karakter Batman yang semakin galau belum mendapat pembelajaran – maka setelah sekuen false resolution, Reeves menuliskan konflik menyelamatkan kota dari bencana besar ke dalam naskahnya. Batman harus menyelamatkan banyak penduduk, menyetop final wave of bad guy, untuk membuktikan dia bukan pribadi yang sama dengan dia di awal cerita. Bahwa pandangannya sudah sedikit berubah, dan bagaimana pengaruh perubahan tersebut kepada masyarakat; kepada kota. The Batman sah saja dikeluhkan kepanjangan, namun film ini masih tetap memperhatikan penulisan. Pembabakan dilakukan dengan clear di akhir. Dan perlu aku tekankan, sedikit lebih clear dibandingkan saat awal-awal babak kedua. Masalah yang tersisa adalah soal si Riddler yang rencananya semakin tidak grounded dan terlihat enggak lagi sesuai dengan bagaimana dia memperlakukan rencananya di awal.

 

 

Superhero detektif yang personal, sekaligus penuh aksi-aksi seru, dengan banyak karakter dan penampilan akting yang asik di baliknya. Kegelapan di sini bukan lagi soal cara bercerita, melainkan jadi karakter tersendiri. Kekuatan film ini memang pada karakter tersebut. Mampu menghidupkan lewat perspektif maupun visual. Bahkan suara. Aku gak memperhatikan musik, tapi desain suara film ini yang memang gak banyak dialog melainkan lebih detail menghidupkan suasana lewat suara, sungguhlah bikin kita terbawa suasana. Teka-tekinya fun. Jembatan antara cerita detektif dengan cerita superheronya memang kurang mulus, tapi banyaknya pencapaian storytelling dan teknis lain yang bisa dinikmati could easily outweighed kekurangan kecil itu. Aku yakin the only way film ini flop adalah kalo orang-orang pengen banget ngeliat Robert Pattinson memenuhi janjinya dan main film xxx.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE BATMAN.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana film superhero yang ideal menurutmu?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

BELFAST Review

“To leave home is to break your own heart.”

 

Pembahasan Best Picture kita berikutnya adalah film Belfast. Ditulis dan disutradarai oleh Kenneth Branagh, sebagai sebuah semi-otobiografi. Branagh di sini bercerita dari pengalaman masa kecilnya sendiri di kampung halaman, Belfast di Utara Irlandia, tercinta. Melihat sembilan nominasi yang lain, Belfast memang yang paling ‘berbeda’. Satu-satunya yang hitam-putih, satu-satunya yang karakter utama anak kecil, dan satu-satunya yang bercerita di bawah seratus menit. Tapi ini bukan berarti lantas Belfast jadi anak-bawang. Malah bisa jadi ini justru kuda hitam(-putih). Sebab menonton Belfast rasanya sarat sekali. Sudut pandang anak-anak tersebut ternyata mampu membuat ceritanya kaya dan penuh oleh perasaan, tanpa jadi overly-ribet.

Basically ini adalah cerita tentang anak kecil yang gak mau pindah dari kota kelahirannya.Buddy (newcomer Jude Hill menghidupkan karakter refleksi masa kecil pak sutradara), dalam opening film, sedang bermain-main di daerah dekat rumah. Sungguh kawasan yang akrab. Semua orang di sana saling kenal, saling menyapa. Buddy main ksatria-ksatriaan, melawan naga dengan pedang kayu dan penangkis dari tutup tempat-sampah. Tapi mendadak daerah tersebut rusuh. Imajinasi berantem-beranteman Buddy seketika berganti jadi kericuhan yang nyata. Buddy ada di tengah-tengah kawanan pemuda Protestan menghancurleburkan properti, menyasar komunitas Katolik yang di tinggal di situ. Penangkis mainan Buddy kini benar-benar jadi pelindung dari lemparan batu-batu besar. Buddy yang masih kecil, gak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi. Tidak benar-benar paham hubungan kejadian tersebut dengan tempat tinggalnya, dengan orangtuanya.  Buddy cuma tahu satu. Dia gak mau pindah dari sana, karena di Belfast itulah ada kakek neneknya, ada teman-temannya, ada anak-perempuan yang ia sukai. Di Belfast itulah hidup dan hatinya.

belfast063-4184-BW-D012-00132
Aku bukan anak bawang!

 

Kenapa harus pindah itulah yang sebenarnya pelik. Film ini memotret cekcok dalam sejarah. Konflik antarpemuda dua agama, yang juga berkaitan dengan politik, yang actually berlangsung tigapuluh tahun lamanya. Dari film ini kita jadi tahu soal The Troubles itu, dan juga bahwa ternyata detektif Hercule Poirot era kita berasal dari Belfast dan menjadi salah satu dari sekian banyak penduduk sana yang terkena dampak harus bermigrasi mencari keselamatan. Jadi meskipun cerita ini sebenarnya sangat personal bagi Branagh, tapi Belfast punya muatan yang membuatnya tak sekadar sebuah memori masa kecil dan surat cinta untuk kota kelahiran. Tidak seperti Licorice Pizza (2022) yang just trip to memory lane, film ini punya konflik di dalamnya yang ternyata masih beresonansi kuat, masih relevan, dengan keadaan sekarang. Saat konflik-konflik keagamaan, konflik kependudukan masih terjadi. Kita mungkin sampai saat ini masih beruntung belum ngerti rasanya harus ninggalin rumah yang nyaman karena sekarang rumah tersebut berada dalam lingkaran target huru-hara, atau malah perang seperti Rusia-Ukraina. Kita bisa bersimpati pada rasa takut dan kesedihan dari naasnya, tapi tidak heartbreak yang lebih personal. Dan Belfast hadir dalam level yang lebih personal tersebut. Karena memang Branagh tidak membuat Belfast fantastis, ataupun overdramatis dengan gambaran tragedi. Melainkan tetap dalam ‘pandangan’ mata anak kecil yang belum bisa mencerna semuanya dengan benar. Branagh menekankan kepada komunitas atau kehidupan daerah tersebut

Daerah yang penduduknya constantly ribut memang sedikit ngingetin sama West Side Story (2022), tapi sebenarnya buatku, nonton film ini ada kesan yang mirip ama nonton Jojo Rabbit (2020). Karena elemen konflik dilihat dari sudut pandang anak tersebut. Di Belfast, si protagonis anak malah lebih ‘inosen’ lagi. Bagi Buddy masalah itu adalah bagaimana supaya nilai matematika bagus sehingga dia dipindah duduk ke barisan depan, sebelahan sama anak cewek berkepang dua yang manis itu. Bagaimana supaya kakeknya bisa sehat. Dan bagaimana supaya dia bisa ikut nenek nonton film di teater. Buddy aware ada kericuhan, ada orang yang terus nanyain ayahnya yang kerja di Inggris. Jika ayah pulang, Buddy sering juga menguping ayah bertengkar dengan ibu soal tinggal di tempat lain. Tapi semua masalah itu hanyalah ‘warna’ lain dalam kehidupan Buddy. Film fokus memperlihatkan komunitas yang akrab, mulai dari kebiasaan hidup orang-orangnya, hingga tentu saja ke bagaimana Buddy mengarungi hidupnya. Jadi nonton ini, rasanya seperti kita jadi turut jatuh cinta sama tempat tersebut, yang ultimately berarti kita peduli sama Buddy. Ada dramatic irony juga yang kita rasakan karena kita tahu ke mana cerita ini berujung. Dan kita benar-benar concern tentang bagaimana Buddy menangani akhir cerita nanti. Kita hanya bisa berharap cinta yang terus tumbuh seiring berjalannya hari itu gak berakhir menjadi patah-hati yang demikian besar.

Kehidupan sehar-hari jadi fokus, sehingga film ini berjalan agak seperti ngalor-ngidul. Seperti ‘kelemahan’ yang biasa terasa dalam cerita-cerita slice of life. Sudut pandang tersebut dibuat Branagh semakin menarik lagi dengan menggunakan charm komedi ala british sebagai warna lain dalam narasi. Again, membuatku semakin mendekatkan film ini sama Jojo Rabbit. Namun dalam komedi pun, Belfast tidak pernah menjadi sebombastis itu. Tone tetap dijaga sederhana oleh Branagh. Kesannya film ini jadi serius tapi santai. Kejenakaan sebagian besar datang dari tindakan Buddy, seperti misalnya ketika dia ikut menjarah toko, tapi yang diambilnya cuma ‘satu benda itu’. Naskah pun lantas meluncurkan nasihat-nasihat, petuah-petuah lewat karakter yang menyingkapi tindakan Buddy. Salah satu relationship paling hangat dan menghidupkan cerita adalah antara Buddy dengan kakeknya. Dialognya dapat terdengar agak wordy, tapi seperti Buddy kita ikut duduk di sana mendengarkan dan membayangkan setiap kata yang terucap.

Pindah memang bukan hal sepele. Entah itu untuk mencari kesempatan yang lebih baik, atau untuk mendapatkan keamanan, pindah berarti akan ada yang berubah di dalam hidup. Akan ada yang ditinggalkan. Akan ada hal baru yang harus diterima dan disesuaikan. Orang dewasa saja banyak yang gak siap dengan kepindahan. Apalagi anak kecil seperti Buddy. Film ini menelisik efek kepindahan tersebut, mampu mengubah jalan hidup banyak orang, despite kepindahan tersebut diperlukan atau tidak.

 

Dengan banyak ‘warna’ dalam penceritaan, maka penggunaan warna hitam putih untuk tampilan film jadi kontras yang membuat kita ‘hmmm, berarti ada maknanya..’ Hitam putih di sini jadi gak pretentious kayak film C’mon C’mon (yang juga ada karakter anak kecilnya) yang sampai sekarang aku belum review karena aku masih berkutat mikirin alasan yang bagus kenapa film tersebut dibuat dengan hitam putih. Dalam Belfast ini, penggunaan hitam putih itu sendiri aja punya banyak lapisan alasan. Pertama, kita bisa memaknainya sebagai kontras tadi; kontras antara saratnya bahasan dan elemen bercerita yang semuanya ditampilkan lewat sudut pandang kepolosan anak-anak. Kedua, hitam putih ini adalah penanda waktu 1969 yang jadi panggung utama cerita. Film actually menggunakan gambar berwarna ketika memperlihatkan Belfast modern di awal dan akhir durasi. Jadi perbandingan Belfast di dua periode itu nyata ke kita. Sekaligus menguatkan cerita ini adalah flashback memori. Alasan ketiga adalah yang paling menarik. Karena sebenarnya film juga menggunakan adegan berwarna saat nunjukin film-film atau pertunjukan yang ditonton oleh Buddy dan keluarganya.

Dan aku harus bilang, Buddy yang suka nonton ini membuat cerita terasa jadi lebih relate lagi. Di rumah, Buddy nonton serial Star Trek. Di bioskop, Buddy dan keluarga nonton film-film koboi dan film musikal kayak Chitty Chitty Bang Bang. Tontonan yang membuat keluarga mereka ceria, Buddy benar-benar menikmati waktunya saat menonton. Keluarga Buddy sepertinya sama ama kita, menonton sebagai eskapis. Dengan memberi gambar berwarna kepada tontonan-tontonan tersebut, maka film seperti menyimbolkan harapan buat hidup/kenangan hitam-putih Buddy (atau kita bisa bilang Branagh). You know, seolah Branagh ingin bilang bahwa di masa itu film sudah menjadi harapan baginya.

Belfast-e1630871382558
Jadi film ini juga jadi surat cinta Branagh kepada perfilman

 

Secara pesan, film ini sebenarnya sudah terangkum lewat tiga kalimat yang muncul di akhir cerita. Tapi Branagh menawarkan lebih banyak lagi. Kekurangan Belfast cuma tensi. Slice of life ini gak bisa mempertahankan atau membangun tensi, karena sudut pandang anak yang melihat semuanya sebagai ‘just another thing happening’. Di satu momen mungkin kita ikut merasa ngeri saat kamera menghantarkan kita menuju Buddy yang menguping orangtuanya berdebat dari balik jendela, namun momen berikutnya permasalahan itu menguap dari Buddy yang kali ini melihat orangtuanya menarik bak aktor dalam film yang ia tonton. Tapi jika dipikir lagi, ‘kekurangan’ bukanlah sebuah kesalahan, karena memang seperti demikianlah Branagh maunya. Bahwa dia merancang ceritanya untuk berjalan seperti demikian. Karena mungkin itulah yang ia rasakan saat kecil dulu. Enggak benar-benar mengerti masalah ‘orang dewasa’, semuanya just goes by, hingga akhirnya baru kerasa saat dia harus meninggalkan semua.

 

 

Sebagai projek yang sepertinya paling personal yang pernah ia tangani, film ini berhasil dibuat oleh Branagh melebihi target. Enggak sekadar untuk memori. Enggak cuma berbagi pengalaman masa lalu. Personalnya film ini begitu kuat, mengakar menjadi identitas yang bakal mencuatkan film ini di antara yang lain. Branagh membawakan kepada kita kisah kehidupan yang manis-manis pahit, yang senang-senang susah. Pengalaman hidup yang begitu kaya. Dan teramat beresonansi dengan keadaan hidup sekarang. Film ini termasuk yang paling ringan dan yang paling singkat di antara nominasi Best Picture Oscar 2022, tapi merupakan pesaing yang kuat soal urusan urgensi dan kepentingan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BELFAST.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Sedikit OOT, sistem nilai di sekolah Buddy yang mendudukkan murid di kursi sesuai dengan nilai mereka cukup unik atau cukup militan, tergantung dari bagaimana kita memandangnya. Bagaimana pendapat kalian tentang sistem tersebut? 

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

LICORICE PIZZA Review

“Aren’t grown up people just little children at heart?”

 

 

Selama enggak masalah sama adegan perempuan dewasa memperlihatkan dadanya kepada cowok remaja, atau sama candaan berbau rasis, Licorice Pizza memanglah sebuah tontonan kisah cinta sepasang darah muda yang manis. Dan untuk sebagian besar waktu, film ini tidak membesarkan dirinya lebih daripada tentang itu. Buatku, romance komedi bersetting di sebuah kota dalam bayang-bayang 70an ini adalah yang paling less-urgent di antara sepuluh nominasi Best Picture Oscar 2022. Karena pesonanya yang terletak pada cinta dalam bingkai personal, bukan pada menelisik kejadian-sekarang dan agenda-agenda yang relevan. Film ini lebih terasa seperti fantasi, atau ingatan ke masa muda, like, menontonnya seperti mendengar seorang teman yang menceritakan pengalaman cinta pertama yang sampai sekarang terus membara. Licorice Pizza dibuat seperti rayuan manja yang mengajak kita memanggil kembali jiwa muda yang masih ada di dalam sana, yang gak akan pernah pergi meskipun kita semua merasa sudah waktunya untuk bertumbuh. 

Paul Thomas Anderson selaku penulis naskah dan sutradara memang menyusun narasi Licorice Pizza ke dalam bentuk yang terasa seperti per episode, seolah sedang merekoleksi memori. Gary bertemu dengan Alana di sekolah, tapi mereka bukan teman sekelah. Mereka bahkan enggak seumuran. Alana saat itu lagi kerja, jadi asisten tukang foto untuk sekolahannya Gary. Seperti layaknya cowok remaja yang curious sama kakak-kakak cantik, Gary langsung naksir Alana. Dia bahkan malam itu bilang ke adiknya bahwa dia telah menemukan perempuan yang bakal jadi istrinya. Jadi, Gary terus mengejar Alana. Alana yang nyadar gap-umur, berusaha untuk gak nunjukin perasaan, tapi toh Alana selalu ada bersama Gary. Mulai dari jadi ‘babysitter’nya hingga jadi rekan bisnis kasur-air yang dibangun Gary. Di sinilah kesan ‘episodik’nya itu dimulai. Mereka berdua akan bertemu berbagai macam orang, yang bakal bikin hubungan mereka naik-turun, karena tentu saja akan ada cemburu-cemburuan juga di sana.

pizzaimage-w1280
Dan bakal banyak sekali lari-larian

 

Feeling yang dihasilkan memang begitu otentik. Dunia 70an itu ditangkap lewat lensa dan pencahayaan yang mainly consist of semburat keemasan, sehingga benar-benar terasa mewakili era lampau yang dikenang dengan nuansa fantasi. Setting waktu tersebut juga sangat mewarnai narasi. Suasana politik, kebiasaan masyarakat, keadaan ekonomi, hingga tren kasur air itu sendiri semakin menghidupkan dunia tempat para karakter berinteraksi. Tentu saja gak cukup hanya di panggungnya saja. Para karakter itu sendiri juga dihidupkan dengan maksimal. Dua karakter sentral, Gary dan Alana, haruslah natural dan punya chemistry semempesona dunia mereka. Anderson mempercayakan leads-nya ini kepada dua aktor yang sama sekali belum pernah berakting di film-panjang. Dan baik itu si Alana Haim (penyanyi pop yang memboyong keluarganya untuk memerankan Alana dan keluarga di dalam cerita) maupun Cooper Hoffman (putra dari mendiang aktor Philip Seymour Hoffman) benar-benar membuktikan bahwa Anderson bukanlah sedang gambling; melainkan membuat sebuah investasi tajam nan teruji. Akting mereka berdua sungguh meyakinkan, hampir seperti merekalah karakter tersebut. 

Gary orangnya supel, temannya banyak, ‘pengagumnya’ juga. Gary dikenal bukan saja oleh sepantarannya, tapi juga oleh orang-orang yang lebih dewasa. Pembawaannya memang lebih dewasa dibanding umurnya. Beda ama Alana yang lebih tertutup, ketus, belum pernah pacaran, penuh keinsecurean, di umur yang sepuluh tahun lebih tua itu galau dan cemburunya bisa melebihi anak remaja seusia Gary. Dinamika mereka memang bersumber dari jarak umur tersebut. Tapi naskah tidak membuat kita mempertanyakan mereka akhirnya jadian atau enggak. Itu sudah diestablish sejak menit-menit pembuka. Tidak ada pertanyaaan; mereka berdua saling suka. Naskah film ini adalah soal drama yang mereka ‘pilih’ untuk lalui walaupun mereka saling suka. Bahwa mereka kidding with their feelings, atas nama bertindak dewasa. Akting dan karakterisasi mereka, aku apresiasi. Namun I just can’t love them seperti seharusnya seorang penonton film kepada karakter cerita. Karena fokus narasinya tersebut. Ceritanya yang dreamy dan fantasi, tapi bukan tentang bagaimana mewujudkannya menjadi nyata – bisakah hubungan tersebut jadi nyata. Melainkan udah fixed, gak ada ruang pertanyaan lagi di cerita ini. Persoalan hubungan yang mestinya ‘bermasalah’ tersebut dianggap gak ada gitu aja.

Iya, mungkin aku sedikit iri sama Gary dan Alana. Jika gender-rolenya dibalik, they were me. Di dunia nyata jika dibalik, hubungan seperti Gary dan Alana tidak akan dianggap sweet dan keren. Yang ada malah akan dituduh mau ‘grooming’, pedo, dimarahin ortunya, ataupun hal-hal lain yang bisa diantagoniskan sebagai konten Tiktok. Gary dan Alana sama sekali gak genuine buatku karena gak bakal begitu di dunia nyata. Tapi mungkin juga di situlah poinnya. Semua akan berbeda, tergantung gender yang melakukan. Tergantung sudut pandangnya. Nah di sinilah masalah film ini buatku. Sudut pandang atau perspektif dari Gary maupun Alana tidak pernah digali dengan luas. Mereka tidak kita kenal di luar romance atau perasaan cinta mereka. Gary praktisnya tidak punya development. Karakternya sama dari awal hingga akhir, dia tidak perlu membuktikan diri dia bisa dewasa, karena dia sudah seperti itu sejak cerita dimulai. Dia tidak pernah menganggap jarak umur mereka sebagai masalah. Dengan begitu, karakter ini jadi tidak ada mengalami pembelajaran.

pizza5902
It’s my dream, (Tho) Mas. Not her!

 

Jadi, tinggal si Alana. Perlu diingat, ini bukan kayak cerita drama cinta yang si jutek akhirnya luluh dan jatuh cinta kepada yang terus memberikan perhatian kepadanya. Alana sedari awal sudah tertarik, cuma dia enggak menganggap Gary dengan serius karena dia menganggap Gary masih bocah. Ada beberapa kali adegan Alana menyipitkan mata, melihat Gary yang bahkan belum bisa nyetir itu gak ngerti politik ataupun situasi ekonomi. Plot dan pembelajaran Alana adalah dia akhirnya menyadari bahwa umur itu cuma angka. Kedewasaan sikap dan kematangan mental gak tercermin di umur. Dia harus ngakui bahwa dia bisa lebih ‘bocah’ ketimbang Gary. Untuk mencapai pembelajaran tersebut, film tidak ngasih jalan lewat eksplorasi dalam-diri si Alana, melainkan dari luar. Dari karakter-karakter pria dewasa yang ia temui – yang ternyata jauh lebih parah ketimbang Gary. Dan itu bukannya Alana gak aware sama sikap para cowok. Alana ini pinter. Tapi somehow dia kayak desperate. Dia cuek aja sama male gaze ataupun sikap merendahkan lain. Dia slow aja bikinian sendiri di tengah pesta yang semua orang berpakaian lengkap. Flirtation alias tarik ulurnya kepada Gary membuat karakter ini jadi gak konsisten. Ditambah dengan Alana gak pernah berinteraksi dengan orang untuk dirinya sendiri (di luar berkaitan dengan Gary), karakter Alana ini jadi dangkal dan annoying buatku.

Tapi dari Alana ini kita bisa menyimpulkan bahwa film memang ingin memperlihatkan bahwa umur tidak pernah jadi soal. Hanya angka. Semua orang punya sisi kekanakan dalam dirinya. Betapapun jauhnya kita bertumbuh, menjadi diri yang ‘baru’ dengan tempaan pengalaman dan sebagainya, bisa kembali ke sisi ‘anak’ di dalam diri merupakan kenyamanan tak terhingga. Inilah kenapa Alana akhirnya lari kembali kepada Gary, dan sepenuhnya menerimanya. Dan ngomong-ngomong soal lari, film ini memang menyimbolkan perasaan bebas khas anak-muda tersebut dengan adegan-adegan berlari.

 

Permasalahan drama cinta selalu sama. Film tidak berhasil ngasih alasan kenapa sepasang karakter sentral itu harus berakhir jadian. Licorice Pizza ngeskip ini gitu aja, walaupun dalam cerita seperti ini pembelajaran barulah akan ada dan terasa kuat bagi dua karakter jika mereka enggak berakhir bersama. Enggak lagi menarik menonton tarik ulur anak remaja dengan orang dewasa. Maka keputusan film bercerita dengan episodik jadi tepat, untuk konteks pengembangkan minimalis seperti ini. Makanya cameo-cameo dalam film ini selalu jadi scene-stealer. Bukan semata karena mereka diperankan aktor gede seperti Sean Penn, Bradley Cooper, atau Maya Rudolph. Tapi karena Gary dan Alana tidak ada atau minim sekali perkembangan. Peran-peran kecil para aktor gede tersebut jadi suntikan fresh, yang bikin kita ‘melek’ lagi setiap kali Gary dan Alana mulai terasa repetitif. Penonton mengapresiasi mereka di atar peran yang seksis ataupun candaan yang problematis. 

Orang-orang banyak menghujat Don’t Look Up (2021) karena komedi receh yang diperankan aktor ternama yang main di situ. Walaupun komedinya tepat menyinggung keadaan di era pandemi, orang-orang tetap menganggapnya trying too hard. Dan memilih untuk gak mengakui kepintaran penulisannya. In short, people just hate it meskipun recehnya itu gak menyinggung kecuali tepat konteks dan sasaran. Aku menganggap sikap orang-orang itu aneh, karena di film Licorice Pizza ini tak kalah banyaknya karakter-karakter receh yang dimainkan aktor gede, dengan joke yang actually benar-benar menyinggung seperti soal rasis untuk orang Jepang dan sebagainya. Kenapa Licorice Pizza ini gak dapat ‘hujatan’ yang sama? Menurutku malah harus lebih lagi, karena sekalipun karakter itu juga memainkan sindiran terhadap dunia 70an, tapi jika dipertahankan untuk ditonton dan jadi lelucon di tahun sekarang, ya itu baru namanya too hard buat jadi lucu. Film ini mengadakannya hanya karena hal tersebut ada sesuai ingatan pembuat, dan inilah yang mengurung naskah dan karakter, membuatnya jadi tak bisa berkembang. 

 

 

 

Jadi sebenarnya film ini bukan tentang kisah menjadi dewasa, melainkan kisah terus menjadi remaja. Ceritanya sendiri benar-benar seperti rekoleksi ingatan manis tentang cinta di masa muda. Film ini keren dan hidup sekali dalam menggambarkan perasaan. Baik itu perasaan tentang dunianya, maupun perasaan cinta yang dirasakan karakternya. Hanya saja, cuma perasaan cinta itu saja yang dipunya dan terus digali. Karakternya seperti gak punya concern lain di luar flirt dan bikin cemburu-cemburuan. Makanya buatku film ini gak sekelas sama nominasi Best Picture yang lain. Film ini kelasnya tuh di cinta-cintaan remaja film kita yang biasa, dan film ini ada di bagian puncak kelas tersebut berkat pencapaian teknis dan juga aktingnya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for LICORICE PIZZA.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Kenapa cowok muda menyukai perempuan yang jauh lebih dewasa dipandang lebih keren dan manis dibandingkan kalo cowok dewasa suka perempuan yang jauh lebih muda? 

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

TEXAS CHAINSAW MASSACRE Review

“To live is to be haunted”

 

Rekuel, istilah untuk sekuel-reboot seperti yang sudah disebutkan oleh Scream (2022), sepertinya beneran sudah jadi go-to plan oleh studio yang ingin menghidupkan kembali franchise atau judul ikonik miliknya. Rekuel ini menjadi hits terutama dalam genre horor. Bikin sekuel dari cerita original puluhan tahun yang lalu dengan judul yang sama dengan original dan meniadakan sekuel-sekuel lain mereka sebelumnya, telah dilakukan oleh Halloween, Candyman, Wrong Turn, Child’s Play, hingga ke Scream itu sendiri. Dan sekarang, giliran Texas Chain Saw Massacre turut serta. Nyaris lima-puluh tahun sejak film originalnya. Tentu saja ini adalah taktik untuk nyari duit yang lebih gampang; alih-alih bikin cerita atau tokoh horor original yang belum tentu disukai orang, kenapa tidak bikin kembali dari yang sudah ada. Scream, being meta dan suka ngejek genrenya sendiri, sudah ngasih tahu ke kita bahwasanya rekuel ada yang bagus dan gak sedikit juga yang cuma cash-grab murahan. Rekuel yang bagus adalah yang menghadirkan stake, gak sekadar munculin karakter lama lalu lantas either mendewakan atau membunuh mereka gitu aja. Dan Texas Chainsaw Massacre, sayangnya, termasuk ke dalam bagian rekuel yang disebut Amber dalam Scream sebagai “bullshit, cash-in, run of the mill sequel.”

texasthe_texas_chainsaw_massacre_netflix
To be fair, film ini berontak dari aturan rekuel karena judulnya ama film original beda di ‘The’ dan spasi doang

 

 

The original The Texas Chain Saw Massacre (1974) jadi kesayangan kritikus dan penggemar horor karena film tersebut tidak pernah cuma sekadar tontonan ‘pembantaian dengan gergaji mesin di Texas’. Film tersebut dipertimbangkan banyak orang sebagai horor seni sebab di balik kekosongan plot dan beberapa breakthrough yang dilakukan pada jaman itu, sutradara Tobe Hooper memang bercerita dengan implisit.  Film itu kita kenang sebagai film yang sadis bukan karena menonjolkan darah dan bunuh-bunuhan secara terang-terangan. Coba deh kalian tonton lagi. Sebenarnya adegan pembantaiannya dilakukan dengan cut dan editing yang sangat precise, horor itu sesungguhnya ada di imajinasi kita, film ini ‘hanya’ menceritakan dan ngebuild upnya dengan sempurna. Tidak hanya itu, ada anyak lapisan yang bisa kita kupas saat menelurusi narasi dan elemen-elemen horor tadi. Bahkan pernah dilaporkan sutradara horor fantasi asal Spanyol Guillermo del Toro sampai sempat berhenti makan daging untuk beberapa waktu setelah menonton film ini. Bukan karena jijik, tapi karena pembicaraan para karakter seputar perilaku manusia dalam konsumsi daging benar-benar telah merayap menghantui dirinya.

David Blue Garcia, selaku sutradara untuk Texas Chainsaw Massacre baru ini bukannya tidak mencoba untuk memberikan lapisan. Film ini berusaha mencuatkan keadaan masa kini supaya filmnya relevan, seperti film original yang memotret kawula muda pada jamannya. Bahasan hidup bebas, dinamika keluarga, dan sedikit komentar soal rasis/kependudukan yang marak di tahun 1970an kini berganti dengan bahasan yang secara esensi tidak banyak berubah, tapi ya terasa dekat dengan permasalahan dunia modern. Kelompok anak muda yang ada di sentral narasi adalah influencer, yang punya visi untuk mengubah kota mati Harlow di pinggiran Texas menjadi tempat hidup untuk komunitas anak-anak muda. Istilah yang tepat sepertinya adalah gentrifikasi (bahasan yang juga ada di film Candyman terbaru). Jadi, mereka datang ke tempat asing, dan mau mengubah tempat itu jadi galeri seni dan segala macam. Cekcok dengan warga lokal tentu tak dapat dihindarkan (meskipun bisa diatasi dengan terbuka). Real problem datang ketika salah satu bangunan panti asuhan yang ada di kota itu ternyata masih dihuni sama nenek tua yang menolak untuk dipindahkan. Malang bagi para anak muda, sosok besar yang telah melupakan naluri pembunuhnya ternyata tinggal dan nurut sama si nenek. Dan ketika si nenek akhirnya tiada karena ribut-ribut, si sosok itu mengenakan kulit wajah si nenek sebagai topeng, mengambil senjata pusakanya yang disimpan di balik tembok rumah, dan mulai membunuhi orang-orang muda yang mengusik kota tempat tinggalnya.

Nonton ini aku jadi seperti mengerti kenapa film-film horor tu selalu bikin karakter-karakter mereka bego. Karena film mau kita menikmati pembantaian para karakter. Menurutku, asal bukan karakter utama yang bego sih, oke-oke aja. Keasikan film ini datang dari menyaksikan Leatherface menghabisi anak muda yang kita gak tahu siapa mereka. You know, semacam keasikan yang kosong. Film justru makin napsu dengan memasukkan ‘penanda jaman’ semakin lanjut. Adegan ketika para turis kejebak di dalam bus bersama Leatherface jadi adegan paling menghibur karena begitu dungu. Kita tidak bersimpati, malahan di momen itu kita justru seperti berada di pihak Leatherface. 

Lapisan dramatis dan emosional film ini juga diniatkan datang dari karakter Lila (Kasian banget Elsie Fisher jadi kayak turun kelas main di film ini) yang diceritakan sebagai seorang penyintas dari peristiwa penembakan massal di sekolahnya. Karakter inilah yang diparalelkan ke karakter legend, Sally Hardesty (diperankan oleh Olwen Fouere karena Sally yang ‘asli’ telah berpulang ke Rahmatullah), protagonis di film original yang jadi satu-satunya survivor rumah jagal Leatherface. Sayangnya niat tersebut tidak benar-benar berbuah karena kedua karakter ini justru kurang matang dikembangkan oleh film. Selain sering melirikkan kamera ke bekas luka tembak Lila, film gak pernah benar-benar mengeksplorasi trauma karakter Lila. Hubungannya yang renggang dengan karakter kakaknya pun jarang dicuatkan. Film yang durasinya cuma 80 menit ini lebih banyak berkutat di adegan kucing-kucingan dengan Leatherface. Sudut pandang dipindah-pindah antara Lila, dan kakaknya, Melody (Sarah Yarkin berakting standar karakter horor) sehingga film ini gak punya karakter utama yang jelas. Sally pun tak tampak sebanding dengan Laurie Strode di rekuel Halloween ataupun dengan Sidney Prescott di rekuel Scream. Kemunculannya hanya supaya ada karakter legend, arc-nya kayak dipaksain ada, dan penyelesaiannya pun lemah. Film mau bikin rivalry antara Sally dengan Leatherface, tapi gak mampu untuk menulisnya. Jadi kayak berantem biasa aja, interaksi spesial itu tidak bisa film ini ciptakan. Ending film original malah jadi biasa aja saat kita tahu ternyata dia selamat hanya untuk jadi yang ia lakukan di film ini.

texas67562-1643705072
Sinopsis singkat, cek! Muji ala kadar, cek! Time for the caci maki!!!

 

Sesuatu yang gak membunuhmu, akan membuatku kuat. Tapi itu kalo kita tidak tenggelam dalam rasa trauma. Hidup akan terus dihantui oleh sesuatu yang mengerikan di masa lalu. Bagi Lila itu adalah penembakan, dan bagi Sally itu adalah si Leatherface. Lila perlu belajar untuk seperti Sally, yang kini sudah jauh lebih capable ketimbang dirinya berpuluh tahun yang lalu.

 

Gore dan bunuh-bunuhan yang sangat eksplisit jadi satu-satunya elemen yang membuat film ini watchable. Namun tentu saja itu gak bakal bikin film ini memorable. Gak akan bisa menjejak sekuat film originalnya. Apalagi film rekuel ini hadir di platform; sekarang jaman platform, kita bisa tinggal skip ke bagian bunuh-bunuhan aja. Aku bisa nonton bagian pembunuhan di menjelang akhir yang gokil itu beratus kali tanpa nonton film utuhnya. Penonton bisa gak peduli pada cerita dan actual things yang disampaikan film ini secara setengah-setengah. This is not good, bukan hanya untuk film ini, tapi juga untuk genre slasher horor keseluruhannya ke depan nanti. Jangan sampai penonton hanya ingin mencincang film dan skip ke bunuh-bunuhannya aja. Maka cerita dan karakter itu haruslah ditulis dengan kuat. Texas Chainsaw Massacre perlu lebih fokus dan menguatkan kengerian dari narasi, dari suspens, dari lingkungan dan konflik. Kota mati di film ini enggak menarik, mereka hanya nampilin kota yang kosong. Yang suasananya bahkan enggak seram. Atmosfer ini yang harusnya dibangun oleh film. Enggak semata mengeksploitasi Leatherface dan sadisnya saja.

Karena memang yang paling insulting untuk fans adalah si Leatherface itu. Dalam film original, karakter yang terinspirasi dari serial killer beneran ini diberikan lapisan psikologis. Dia kayak orang dewasa yang mentalnya masih anak-anak, yang besar di keluarga ‘tradisional’. Sedikit simpati yang kita rasakan untuk karakter penjahat utama ini datang dengan natural, dari momen-momen kecil yang menampilkan kevulnerableannya sebagai anggota keluarga tersebut. Dan Leatherface di original itu enggak superhuman. Bisa sakit, bisa dikalahkan. Tidak tertinggal di belakang, dan bisa mendadak muncul di tempat lain dengan cepat. Sedangkan di film terbaru ini, Leatherface udah kayak orang yang berbeda. Hanya kayak penyendiri. Dia sekarang kayak gabungan antara Michael Myers dengan Norman Bates. Mulanya film seperti pengen menarik simpati dari dia yang kehilangan pengasuh yang ia sayangi, dari dia yang terusir dari rumah, tapi kelamaan dia jadi semakin inhuman, dan film harus membuat karakter-karakter lain ignorant nan bego supaya kita ‘ada rasa’ ke Leatherface. Film bahkan membuatnya menari dengan chainsaw, meniru ending film original, tapi melihatnya itu ada feeling yang beda. Jika di original rasanya kompleks, hubungan korban yang kabur dengan mangsa itu menghantam kita dengan perasaan bercampur. Maka di film ini, rasanya yang datar aja, kita bahkan mungkin sudah full mendukung si Leatherface karena dia kuat, dia berhasil membantai orang-orang yang mengusik.

 

 

 

Bar-bar aja gak cukup. Yea, ketakutan penonton mungkin bisa terceklis dengan menghadirkan adegan pembunuhan yang openly brutal, bisa bikin nahan napas dengan adegan sembunyi-sembunyian, tapi film juga harus punya suspens dan tensi yang natural, yang berasal dari dinamika karakter. Itulah yang tidak dipunya oleh rekuel yang digarap dengan sangat basic ini. Naskah pengen memuat banyak lapisan, tapi tidak ada yang berhasil dikembangkan dengan drive yang alami. Film ini hanya seperti menempelkan gagasan, dan meng-overdid the characters. Kita tidak lagi takut dan peduli karena karakternya membunuh karena merasa terusik. Film meninggalkan semua itu dan memilih untuk mengubah semua elemen ceritanya menjadi inhuman dan datar. Se-uninspired setnya. Hampir seperti film ini sendiri dipasangi topeng yang membuatnya amat sangat jelek. Just ugly. 
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for TEXAS CHAINSAW MASSACRE

 

 

 

That’s all we have for now

Adegan pembunuhan mana yang jadi favoritmu di film ini? 

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

WWE Elimination Chamber 2022 Review

 

Welcome back, Alexa Bliss!!

Sama seperti blog ini, Alexa Bliss juga udah cukup lama gak keliatan di skena gulat. Menurut komentar si Michael Cole, terakhir kali Alexa bertanding itu adalah bulan September tahun lalu. That was Extreme Rules, where Charlotte destroyed her doll, dan itu seharusnya mengakhiri gimmick-pinjaman Alexa. Yah, setidaknya begitulah harapan penonton. Belakangan ini, Alexa muncul di segmen-segmen terapi, dan sekali lagi seperti mengindikasikan dia bakal kembali ke persona dirinya yang dulu. Match Elimination Chamber bakal jadi ajang comeback yang tepat untuk Goddess Alexa Bliss, mengingat dengan gimmick inilah doi pernah memenangkan match kandang barbar ini. So I was excited (begitu pula dengan ribuan penonton di Jeddah yang terdengar jelas menyorakkan namanya) 

Excitement dari antisipasi return ini ternyata bukanlah satu-satunya yang bikin orang penasaran sama Elimination Chamber cewek. Buktinya, begitu Alexa muncul – ternyata dengan tetap memakai gimmick ‘fiend/lilly’ (yang btw menang award Worst Gimmick 2022 dari Wrestling Observer Newsletter) – yang kuasumsikan tetap dipilih karena lebih gampang untuk ngikutin aturan kostum cewek di Jeddah, penonton tetap berapi-api. Match tersebut tetap dapat banyak sorakan riuh-rendah. Semua orang excited melihat semua superstar yang bertanding. Alexa, Bianca, Doudrop, Nikki, Rhea, dan Liv semuanya seperti punya kans yang sama besar untuk menang dan menantang juara Becky Lynch di WrestleMania kelak. Matchnya sendiri terasa sangat cepat – mungkin inilah match Chamber dengan catatan waktu teringkas – penuh aksi, drama yang cukup, dan setiap karakter mendapat kesempatan untuk memainkan kekhasan mereka. Ketika Alexa dan Bianca, dua superstar yang aku jagokan di match ini, jadi final-two; aku merasa seperti pemenang. The night is young (meskipun kita yang di Indonesia nonton streamingnya tengah malam buta!) dan aku benar-benar punya firasat bagus untuk acara ini.

Ayunan adalah sebuah privilege

 

Bicara tentang acara ini sendiri, Elimination Chamber 2022 merupakan Elimination Chamber yang pertama yang go international. Diadain di Arab, dan actually inilah kali kedua aku nonton premium live-event (istilah baru untuk PPV) WWE yang diadakan di Arab. Tahu dong, beberapa tahun belakangan ini WWE mulai rutin ngadain show di negara para sultan tersebut. Tapi gak ada satupun yang menarik buat kutonton. Entah itu Crown Jewel, Super Showdown, atau bahkan Greatest Royal Rumble, semuanya terasa seperti house-show yang ‘diromantisasi’. Yang semua pertandingannya terasa seperti filler anime, you know, yang storylinenya gak ngaruh. Acara-acara WWE yang diadain di negara ini udah kayak pesenan para sultan, siapa yang bertanding, siapa yang bakal dimenangin; hanya untuk menyenangkan tuan rumah yang udah membayar mahal. Dan ini easy-money bagi WWE, karena apapun yang tayang nanti, penonton yang jarang-jarang ngeliat para superstar tanding live itu bakal tetap terhibur dan terkagum-kagum. TLDR, sudah jelas hanya ‘sebatas’ bisnis saja.

Tapi kali ini beda. Elimination Chamber sudah lama diposisikan sebagai salah satu jalan menuju WrestleMania, yang berarti pertandingan yang diadakan harus benar-benar punya efek untuk acara tersebut ke depannya. Merujuk ke komentator sekali lagi, Elimination Chamber membentuk WrestleMania. Penantang dan juara yang bakal berlaga di acara gulat terbesar itu benar-benar ditentukan di sini. WWE tentu paham pentingnya acara ini, dan mereka benar-benar menekankannya. And by God, mereka berhasil membuat Elimination Chamber di Jeddah tidak lagi terasa seperti show hura-hura.

Menempatkan match sepenting Roman Reigns melawan Goldberg di partai pertama adalah langkah yang sukses mengukukuhkan kesan spektakuler acara ini. Ketika ‘big boss’ beserta kejuaraan yang bakal jadi partai utama WrestleMania muncul duluan (dan ini actually adalah kali kedua berturut-turut mereka tampil sebagai pembuka) penonton akan ‘membaca’ bahwa penutup acara nanti pastilah raksasa hebohnya. Dan seketika hype itu terlandaskan. Acara ini dimulai dengan sangat kuat. Bahkan Goldberg tampak prima dan menyuguhkan yang terbaik yang ia bisa (dalam level ‘renta’nya yang sekarang).

Goldberg, you’re next!!! —in line for retirement.

 

Kesan show-penting memang berhasil dipertahankan. Match Drew lawan Madcap Moss yang basically adalah bathroom break terasa penting dan sayang untuk dilewatkan. Begitu juga dengan partai tag-team cewek yang jelas-jelas diadain supaya Ronda Rousey dan Charlotte gak gabut menjelang WrestleMania. Narasi kedua partai ‘esktra’ ini tampak matang. Hingga ke kostum superstar cewek yang diatur juga dimainkan oleh WWE ke dalam karakter dan plot pertandingan. Jadi jangankan soal membentuk acara berikutnya, acara ini sendiri sudah punya bentuk khas sehingga menontonnya jadi punya keseruan tersendiri.

Ada tiga pertandingan cewek yang dilangsungkan di sini. Semuanya digarap penuh respek dan juga alot of fun. Namun dari ketiganya, yang paling pecah adalah partai antara Lita melawan juara bertahan Becky Lynch. Crowd clearly loves Lita. Dan superstar legend itu menyambut cinta tersebut dengan respek luar biasa kepada penonton. Dilihat-lihat, si Lita ini cocok sih nampil di situ. Apalagi ada bagian dari musik entrancenya yang terdengar kayak musik Arab haha.. but in all of the seriousness, Lita melawan Becky adalah partai yang paling ‘bercerita’ malam ini. Secara aksi, memang masih ada sloppy di kanan-kiri. Ini bisa dimaklumi mengingat Lita memang bukan lagi pegulat aktif – dan enggak selincah waktu muda lagi. Di sini dia menunjukkan betapa dia pantas menjadi legend. Dan itu bukan semata karena dia adalah bintang attitude era, ataupun bukan semata karena aksinya, melainkan karena dia adalah pencerita yang hebat. Ada momen-momen ketika kita percaya bahwa Lita mungkin saja membawa pulang sabuk si Becky. Delivery cerita seperti ini tentu bukan karena satu orang saja. Becky telah sukses membangun karakter yang kuat, tapi tidak pernah mendominasi. Inilah juga kenapa champion cewek Raw adalah championship single terseru di WWE sekarang. Kompetitornya tidak terbatas untuk beberapa orang. Juaranya tidak dibuat harus lebih unggul dibanding yang lain. Kalo urutan match di acara ini menempatkan Chamber cewek setelah kejuaraan ini – dalam artian, kita tidak langsung menghubungkan Bianca pasti nuntasin urusan dengan Becky – niscaya semua penonton bakal benar-benar tersold out Lita yang bakal jadi juara baru. Sebegitu hidupnya kompetisi kejuaraan ini.

Sebaliknya, acara ini justru terhitung gagal membuat match yang benar-benar penting, match yang jadi profil utama acara, menjadi penting. Gagal membuatnya tampak urgen. Elimination Chamber cowok, yang dari nama-nama pesertanya tampak seru, malah jadi yang paling datar dan paling nge-cheat dilakukan oleh WWE. Kompetisi itu tidak diciptakan. Tidak seperti Becky Lynch yang tampak setara, Brock Lesnar dibikin jauh di atas yang lain. Brock Lesnar bahkan menghabisi dua mantan-juara dunia lain dengan gampang seolah mereka anak baru seperti Austin Theory. Padahal dengan enam superstar, ada begitu banyak cerita atau bookingan yang bisa diambil sebagai proses menuju kemenangan Brock Lesnar. Teksnya padahal udah ada disebutin di sana loh. ‘Ini adalah Chamber pertama bagi Lesnar’, mereka sebenarnya bisa saja menggali ini sebagai kekurangan Lesnar dibanding yang lain, sebagai celah untuk membuat persaingan mereka menjadi sederajat, yang tentunya bakal bisa bikin match berjalan lebih seru. Tapi enggak, WWE membuat ini tetap singkat. Lesnar menghajar semua superstar seolah dia dimainkan sama bocah di rental PS yang nge-full-in smek dan membuat peserta lainnya kosong.

Tentu saja melihat Lesnar membabi buta, kali ini dengan sentuhan karakter komikal, adalah hal yang juga tergolong seru. Tapi akan lebih seru lagi kalo match ini benar-benar dipersembahkan sebagai ‘pertandingan’. Bukan cuma ‘Lesnar destroys everybody’, alur yang sudah dilakukan berkali-kali. Dan bicara tentang hancur, WWE pulled out some really strange storyline untuk Bobby Lashley. Superstar yang harusnya mempertahankan gelar di sini, tereliminasi gitu aja setelah pod miliknya hancur dan dia – storyline wise – cedera kena puing-puing kaca (plastik). Dan ‘insiden’nya tersebut bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan Lesnar, orang yang actually menantang sabuknya one-on-one.

Storyline cedera langsung invalid kalo dilakukan setelah ada superstar yang sakit beneran tapi tetap lanjutkan match

 

 

 

Elimination Chamber akhirnya jadi acara yang aneh. Match-match secondary fun dan terasa penting karena benar-benar dibentuk. Sementara match utamanya justru sederhana, predictable, dan terasa membuang waktu untuk ditonton. Ini adalah salah satu show WWE modern yang paling singkat, tapi durasi sesungguhnya bukan jadi alasan. WWE hanya tidak mau memberikan kompetisi untuk superstar-superstar terpilih. And sikap WWE ini bisa berujung kepada hal yang jauh lebih buruk, seperti ketika mereka basically meniadakan kejuaraan tag team di acara ini. Ujug-ujug dibikin no contest!! Dan acara ini memang membuktikan, hal tersebut berdampak buruk kepada elemen-elemen lain di dalam acara. Hanya memberikan hiburan gampangan, sementara potensi entertainment sebenarnya enggak digali. Aku nonton ini tengah malam, tapi gak sekalipun merasa ngantuk, yang berarti ini acaranya gak bikin bosan kayak Royal Rumble bulan kemaren. Certainly, ini adalah yang terbaik dari show-show yang pernah dilakukan WWE di Arab Saudi. Tapi sesungguhnya ini bisa jadi jauh lebih baik. The Palace of Wisdom menobatkan Becky Lynch versus Lita sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

 

 

Full Results:

1. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Roman Reigns mempertahankan sabuk dari Goldberg
2. WOMAN’S ELIMINATION CHAMBER Bianca Belair memenangkan hak menantang Raw Women’s Champion di WrestleMania
3. TAG TEAM Ronda Rousey dan Naomi mengalahkan Charlotte dan Sonya DeVille
4. SINGLE Drew McIntyre menghajar Madcap Moss
5. RAW WOMAN’S CHAMPIONSHIP Becky Lynch tetap juara ngalahin Lita
6. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP batal tanding, why even mention this…
7. WWE CHAMPIONSHIP MAN’S ELIMINATION CHAMBER Brock Lesnar jadi juara baru

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

UNCHARTED Review

“Trust is always earned, never given”

 

 

Tiga-puluh menit ke dalam film, Tom Holland sudah terlempar terjun bebas dari ketinggian sebanyak tiga kali. Dan kali ini dia gak pakai topeng superhero laba-laba untuk membantunya mengatasi suasana. Holland di sini adalah remaja cowok biasa – dengan tangan sedikit lebih lihai untuk mencopet barang-barang orang, dunianyalah yang kali ini agak sedikit tak biasa. Dunia berisi teka-teki harta karun untuk dipecahkan, petualangan yang seringkali mengacuhkan hukum fisika. Plus berisi begitu banyak twists and turns karena membahas soal rasa percaya di antara para karakter cerita. Sutradara Ruben Fleischer memang seperti memastikan kepada kita bahwa Holland beraksi di dunia yang superseru, bahwa Uncharted memang bakal semengasyikkan video game sumber adaptasinya. Hanya saja, tantangan film ini berat. Mengingat track-recordnya, film-film adaptasi video game itu sendiri susah untuk kita kasih kepercayaan.

Uncharted merupakan film pertama dari PlayStation Productions, studio dari Sony yang bakal bikin film-adaptasi dari konten-konten video game PS populer. Ini sepertinya bisa naikin sedikit rasa percaya kita. Sebab ya, game-game modern memang sudah jauh lebih sinematik ketimbang game di era 90an. Video game sudah benar-benar dikembangkan mitologi dan cerita dunianya sendiri. Ditambah dengan studio yang kini meniatkan konten game tersebut bisa dijadikan film, maka mungkin ke depan adaptasi ke layar lebar ini bukan hanya bisa lebih ‘mirip’ tapi juga game dan filmnya bisa saling melengkapi sebagai satu franchise judul. Seperti film Uncharted ini, ceritanya diset sebagai prekuel dari game pertamanya yang keluar tahun 2007. Nathan Drake (dipanggil Nate) belum lagi seorang pemburu hartakarun, dia masih ‘bocah’ yang masih dalam tahap baru masuk alias baru belajar dunia yang ternyata penuh tipu daya tersebut.

Tadinya Nate bekerja di bar, memesona para pembeli dengan atraksi menuang minum dan attitude yang cute lalu mencopet mereka. Sampai ketika Victor Sullivan datang. Mengekspos aksi nyopet Nate, lalu mengajak cowok ini bergabung mencari kapal harta karun. Seperti yang dulu dilakukan abang Nate yang kini udah gak ada. Sully yang mengenal abang Nate pun jadi semacam mentor bagi Nate. Interaksi dua karakter ini jadi sentral, yang kerap bicara soal mempercayai ataupun soal ngasih kepercayaan sama orang lain. Dalam pencarian, mereka bertemu karakter-karakter lain, dan cepat saja garis antara lawan dan kawan semakin mengabur.

Also, featuring Antonio Banderas yang karakternya deserves more good writing

 

Penampilan akting para pemain mendaratkan film aksi petualangan ini. Duo Tom Holland dan Mark Wahlberg sebagai front center yang cukup memainkan emosi. Dalam cerita yang lain, Nate akan mudah saja untuk menganggap Sully sebagai pengganti kakaknya, dan team up mereka akan berjalan mulus. Tapi Uncharted mengusung tema trust, dan itu membuat relationship kedua karakter ini jadi semakin dramatis. Film gak memberikan kepada kita sebuah tim yang solid dengan cuma-cuma. Nate bakal ngelewatin banyak kejadian yang membuat dia tidak segampang itu menaruh kepercayaan, walaupun sebenarnya ia pengen bekerja sama. Konflik mereka berdua digali dari tujuan yang berbeda. Nate pengen nemuin harta itu demi kakaknya, sedangkan Sully ya cuma pengen emasnya saja. Timing komedi Wahlberg membantu film ini mencapai nada ringan yang diinginkan, jadi umpan yang bagus untuk character-work si Holland. Karakter Sully yang sengaja dibikin sering ‘berjarak’ juga membantu mendorong tema tersebut semakin mencuat di dalam narasi. Karakter pendukung yang lain, seperti Chloe yang diperankan Sophia Ali, juga diberikan inkonsistensi yang sama seperti Sully. Mereka membantu, tapi terlihat setengah-setengah. Momen bekerja sama selalu elemen yang membuat seorang karakter punya peran yang lebih kecil. Semua itu dilakukan supaya kita mempertanyakan apakah mereka bisa dipercaya atau tidak.

Tapi begitu kita menoleh kepada Nate, tokoh utama yang harusnya juga merasakan keraguan, si Nate ini juga dimainkan dengan inkonsistensi. Sure, Holland memainkannya dengan simpatik, very likeable, tapi dia gak clear. Like, ngeliat Tom Holland memainkan karakternya ini, enggak jelas perasaan dia terhadap satu karakter seperti apa. Setelah jelas-jelas dikhianati satu karakter, Nate di adegan berikutnya masih tampak kalem aja. Atau bahkan ketika Sully menyebut Nate suka sama Chloe, Holland gak benar-benar nunjukin gimana sih sukanya Nate ama si Chloe itu. Jadi film ini mengatakan kepada kita sesuatu, tapi gak diikuti oleh ‘pembuktiannya’. Sehingga ngikutin plot si Nate ini jadi membingungkan. Apa yang ia pelajari di sini? Apakah ini tentang dirinya belajar untuk tidak mempercayai orang, atau dirinya belajar supaya bisa jadi dipercaya orang. Film seperti ingin menunjukkan bahwa Nate akhirnya belajar ‘aturan dan cara main’ di dunia para pemburu harta, dia seperti akhirnya bisa nipu juga. Tapi bukankah sedari awal Nate ini sudah tukang tipu kecil-kecilan juga? Maka Plot si Sully malah lebih jelas. Karakter Sully malah lebih kelihatan ada perkembangan dibandingkan Nate. Film gak berhasil membuat Nate sebagai karakter yang urgen di sini, dia masih di bawah bayang-bayang abangnya, dia gak punya perkembangan yang jelas.

Seperti halnya respek, trust juga gak diberikan cuma-cuma. Untuk bisa percaya ama orang, dan juga sebaliknya untuk bisa dipercaya orang, kita butuh mendapatkan rasa itu terlebih dahulu. Itulah sebabnya kenapa trust lebih berharga daripada harta karun manapun di dunia.

 

Kenapa sih film-film aksi petualangan belakangan ini banyak yang pake banyak twist dan turn? Yang aku tonton setahun ini ada Jungle Cruise, Red Notice, dan sekarang Uncharted – yang benar-benar menggunakan trust sebagai tema supaya jadi punya alasan untuk memainkan banyak twist mengejutkan serta character turn dari baik ke jahat ke baik lagi (emangnya si Big Show di WWE!). Seolah itulah yang bikin film ini jadi menarik. Padahal twistsnya juga don’t even make sense!! Like, hellooo.. action adventure mestinya sajian utamanya ya di aksi atau laga petualangannya. Apalagi Uncharted ini dari video game. Ditargetkan untuk pemain game yang pengen menonton versi filmnya. Serunya sebuah game itu datang dari memainkannya. Player seperti beraksi langsung, mereka adalah karakter itu. Maka versi filmnya harusnya menguatkan sense penonton ikut beraksi seperti saat mereka memainkan game. Aspek player dan aksi inilah yang susah tersadur ketika sebuah game dijadikan film. Susah bukan berarti seimpossible itu. They just have to make action sequences yang lebih menarik penonton masuk. Menyandarkan kepada twist dan turn hanya membuat penonton ‘menonton’. Filmlah yang jadi bermain-main dengan penonton. Ini udah jadi sedemikian berbeda dengan game, yang pemainlah yang memainkan cerita.

Ada yang mau ikut naik kapal pinisi sasongong?

 

Padahal film ini punya set action pieces yang gak tanggung-tanggung. Aksi babak final yang melibatkan ‘kapal terbang’ juga gak kalah uniknya. Tetapi sekuennya sendiri dilakukan dengan generik. Bagaimana aksinya dimainkan, masih terasa kayak sesuatu yang sudah sering kita lihat dalam film action sebelumnya. Mereka tidak melakukan banyak hal segar selain bergantung kepada CGI. Again, kita hanya menonton. Makanya aksi paling asik di film ini buatku adalah di tengah-tengah. Yakni saat Nate dan kelompoknya memecahkan teka-teki kunci salib menyusur bawah tanah kota. Nah di aksi seperti inilah, penonton yang gamer yang jadi target utama film ini bisa benar-benar terlibat. At least, bisa ikut berusaha memecahkan sandi atau petunjuk, bisa terinvest secara emosional setiap kali jebakan/perangkap tak sengaja teraktifkan. Seharusnya ada lebih banyak adegan seperti ini. Seharusnya adegan teka-teki yang actually dilakukan film ini dilakukan dengan lebih elaborate lagi, gak hanya cuma bingung sebentar lalu tinggal masukkan ke lubang kunci.

Kurang eksplorasi. Inilah sumber kejatuhan utama film ini. Punya konflik karakter yang sebenarnya bisa dramatis, tapi dilakukan dengan generik. Begitu pula dengan sekuen aksi-aksinya. Bahkan bangunan narasinya pun dilakukan dengan menjemukan. Standar dimulai dari adegan aksi yang wah, kemudian flashback ke beberapa waktu sebelumnya. Cerita berjalan dari flahsback waktu tersebut sampai nanti akhirnya kita ketemu kembali dengan adegan opening tadi. Sesungguhnya ini adalah upaya supaya film jadi tontonan yang menarik. Mereka kayak aware kalo materi ceritanya masih datar. Jadi mereka berusaha mengimprove penceritaan dengan susunan cerita dan sebagainya. Sama juga seperti ketika film memasukkan banyak twist dan character turn. Mereka menyangka itulah yang bikin filmnya seru. Mereka nyangka cukup masukin soal pemantik api yang susah menyala untuk meningkatkan ketegangan. Mereka lupa, film ini dari video game. Mereka harusnya ngajak penonton ikut bermain-bermain juga di sini, yang berarti aksi-aksilah yang seharusnya dibikin lebih menarik. Petualangannya. Teka-tekinya. Karakterlah yang juga harusnya dibikin lebih clear agar konek dengan penonton sebagai ganti gamer memainkan karakternya.

 

 

Buatku film ini bakal jadi total boring jika bukan karena penampilan akting, khususnya dua aktor sentralnya. Kayak karakter ceritanya yang masih setengah-setengah dalam mempercayai orang, film ini pun masih tampil setengah-setengah. Mau serius ke karakter, takut gak laku. Mau full over-the-top, juga kayaknya takut. Bahkan mau jadi full seperti gamenya, seperti ragu-ragu. Masih banyak poin dari apa yang membuat game itu seru yang miss dilakukan oleh film. Yang mereka ikuti hanya simpelnya plot poin game. Yang tentu saja tidak tertranslasikan bagus ke dalam sinema. Cerita film ini maju dengan simpel. Oh karakter dipukul dari belakang, pingsan, lalu dia bangun dan ada karakter lain siap menjelaskan hal-hal untuk ‘misi’ selanjutnya. Udah kayak poin-poin objektif game, enggak seperti eksplorasi untuk memajukan narasi. Sehingga film ini masih belum mendapat kepercayaan kita sepenuhnya soal game bisa diadaptasi menjadi film yang bagus.  
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for UNCHARTED

 

 

 

That’s all we have for now

What’s your favorite Uncharted game? 

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

KING RICHARD Review

“The odds will always favor the man with a plan”

 

 

 

Nominasi Oscar untuk tahun 2022 baru saja diumumkan. Dan seperti biasanya, ada aja yang diributin sama khalayak. Kenapa film anu yang masuk, kenapa film yang itu enggak masuk. Selalu ada kekecewaan. Tapi itu bagus, karena selama masih ada yang kecewa berarti subjektivitas menonton film itu masih ada. Kita belum menjadi robot yang seleranya samaaa semua. Subjektivitas itulah yang bikin film beragam, dan actually menciptakan persaingan yang memajukan perfilman. Dan soal subjektif; meskipun kalo ngereview film yang udah ditonton aku berusaha seobjektif mungkin, dalam hal memilih tontonan aku bisa jadi salah satu penonton paling bias sedunia. Banyak film yang gak mau kutonton hanya karena soal sepele seperti tweet sutradaranya, attitude aktornya, atau malah karena tingkah buzzernya. Nah, buatku, yang jadi permasalahan dari sepuluh film yang ada dalam daftar nominasi Best Picture adalah film King Richard. Kenapa? Karena aku simply gak suka ama Will Smith. Jadi aku males, aku gak mau nonton film-filmnya. Kecuali terpaksa. Dan dengan masuknya film ini di daftar nominasi, aku jadi terpaksa harus nonton. Harus ngereview. Dan, sebagai penilai yang harus seobjektif mungkin, kini aku terpaksa harus mengakui bahwa film ini memang layak masuk nominasi. Film biografi ini adalah drama yang menghibur, dan ya, penampilan akting Will Smith membuat karakter menjadi menarik dan asik untuk disimak, walau sedikit problematis.

Kira-kira seperti itulah yang juga kurasakan kepada Richard Williams. Aku gak suka karakter ini. Pria ini keras kepala, dia menuntut semua orang harus melakukan hal yang sesuai pertimbangan dan rencananya, tanpa mau menjelaskan atau berbagi pandangan soal rencana tersebut. Richard sudah punya rencana terhadap dua (dari lima) putrinya semenjak mereka masih kecil. Venus dan Serena ingin dia jadikan atlet tenis perempuan nomor satu di dunia. Menyadari tenis itu olahraga kulit putih, Richard tahu jalan bakal berliku bagi kedua putrinya. Tapi Richard ini sudah punya visi ke depan. Dia pun melatih, mendidik, hingga mengorbitkan putri-putrinya dengan caranya sendiri. Cara yang kadang tampak ekstrim. Hingga tak jarang Richard bentrok dengan pelatih yang sudah bersedia ngajarin mereka bermain secara profesional (tau-tau Richard bilang anak-anaknya gak bakal ikut turnamen kejuaraan!) dan bahkan bentrok dengan istrinya sendiri. 

Udah kayak orang India yang anaknya baru lahir udah ditetapkan harus jadi dokter

 

So yea, from certain point of view, Richard memang problematis. Film ini mengambil sudut pandang seorang patriarki, yang diperlihatkan bahwa berkat jasa-jasanya (termasuk kerasnya didikan dan keras kepala serta pilihan-pilihan anehnya) dunia dipertemukan sama dua atlet tenis perempuan paling hebat yang pernah ada. Like, kenapa bukan Venus atau Serena Williams aja yang diangkat. Kenapa bukan cerita perjuangan kedua atlet yang sudah dididik keras ini saja yang dijadikan sudut pandang utama. Karakter Richard Williams ini jika dimainkan oleh orang yang salah, jika ceritanya dikisahkan dengan cara yang salah, pastilah karakter dan film ini bakal dihujat. Namun dari menonton awalnya saja kita bisa tahu bahwa cerita ini berada dalam tangan-tangan yang tepat. Memang, belum lagi sebuah penceritaan yang sempurna. Tapi setidaknya King Richard mengangkat dengan respek, dan berhasil mencuri perhatian kita selama durasi dua jam setengah yang film ini minta.

Karakter yang gak aku suka, dimainkan oleh aktor yang gak aku suka, tapi nyatanya aku mulai merasakan sedikit simpati kepada perjuangan karakternya seiring cerita berjalan. Aku jadi ngerasa relate juga sama sikap Richard yang suka melakukan hal sesuai rencana. Kita pun mengerti pleadnya, mengerti kenapa dia sekeras dan sengotot itu mengarahkan hidup kedua putrinya yang masih kecil. King Richard memang bukan cerita kemenangan olahraga. Ini lebih kepada sebuah cerita tentang ‘kemenangan’ parenting dari orangtua, itupun jika parenting memang ada unsur kalah-menangnya. Richard, at least, berpikir begitu. Dia kalah jika anak-anaknya tidak mendapat hidup yang lebih baik. Karakter ini selain sebagai orang tua, diberikan layer personal. Richard sendiri adalah seorang, katakanlah, loser. “Ayah dihajar orang lagi!” seru anaknya kepada ibu, mengindikasikan ini bukan kali pertama ayah mereka babak belur. Naskah mengaitkan personal tersebut dengan akar, atau dari mana mereka berasal. Daerah tempat tinggal yang ‘keras’ dan penuh prasangka. Jadi film ini juga bicara tentang kesenjangan hidup terkait warna kulit atau ras.

Lapangan tenis yang bagus adalah yang keras supaya bola-bola hijau itu punya pantulan yang mantap. Begitulah analogi yang cocok untuk set up, latar, yang membentuk karakter-karakter yang menghidupi naskah film ini. Cerita berjalan terbaik ketika mengeksplorasi pribadi Richard. Ketika kita melihatnya sebagai orangtua yang mau melindungi anaknya. Sikapnya yang menarik putri-putrinya dari turnamen dan mau fokus ke pendidikan jadi bisa kita mengerti. Ketika jadi orangtua ini, Richard kelihatan punya flaw. Dia seringkali tampak susah melepaskan egonya, semacam dia mau jadi orangtua yang baik itu bukan seutuhnya demi anaknya, tapi demi dirinya sendiri. Yang bahkan dalam hal olahraga pun dia sebenarnya loser. Will Smith melakukan kerja maksimal dalam menghidupkan karakter ini. Menggunakan kepiawaiannya bermain di antara garis drama dan komedi, Smith membuat Richard tidak sampai menjadi annoying. Dia tetap tampak simpatik. Dan yang terutama, ya menghibur.

Manusia yang berencana, Tuhan yang menentukan. Pepatah itu tentu saja bukan nyuruh kita pasrah. Melainkan harus terus berusaha dengan hati ikhlas. Ikhlas bukan berarti pasrah. Karena ikhlas berarti tetap mengupayakan yang terbaik, meskipun pada akhirnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Richard Williams pantas dijadikan panutan untuk hal ini. Dia memegang teguh apa yang ia percaya. Dia berjuang sekeras ia bisa. Dia memimpin keluarganya dengan mantap, tidak menunjukkan keraguan walau apapun kata orang.

 

Baru ketika membahas urusan olahraga tenis itulah, Richard terlihat menjengkelkan. Pilihan-pilihan konyolnya, atas nama stick to the plan, itu membuatnya jadi tampak selalu benar. Film tidak benar-benar membuat kita masuk kepada karakter ini soal rencana tersebut. Malah ada yang dia tampak ambigu, entah itu membual atau tidak. Seperti misalnya ketika seorang pelatih yang melihat video latihan Venus dan Serena hanya mau melatih Venus seorang. Richard tampak keberatan mendengar ini, tapi dia tidak bisa berbuat banyak. Kemudian Serena yang merasa left out, berlatih sendiri. Dan di bagian akhir film kita melihat ada adegan dialog antara Richard yang menenangkan Serena dengan menyebut dia memang merencanakan Serena untuk kehebatan yang lebih besar. Dan kita semua tahu seperti apa besarnya nama Serena Williams sekarang. Berkenaan dengan karir olahraga tersebut, Richard benar-benar seperti yang paling tahu. Semua orang seharusnya tidak meragukan dirinya. Dan ini jadi terlalu berlebihan. Membuat karakternya enggak lagi punya sisi dramatis yang membuat kita peduli seperti di bahasan keluarga tadi. I mean, bahkan ayah dalam Captain Fantastic (2016) saja tidak selalu dibuat ngambil keputusan yang benar perihal pendidikan anak-anaknya. Karakter ayah dalam film fiksi tersebut jadi terasa lebih real dibandingkan ayah di drama biografi ini.

Richard malah kayak lebih pinter daripada pelatih tenis beneran

 

Arahan film semakin gak konsisten. Antara drama orangtua atau ke kompetisi olahraga. King Richard ditutup seperti cerita olahraga; dengan satu big match. Mendadak cerita jadi tentang Venus melawan pesaing yang seperti pakai taktik curang. Venus yang udah bertahun-tahun absen dari pertandingan karena disuruh latihan dulu terus dan menikmati masa muda oleh ayahnya, harus membuktikan kemampuannya. Oleh karena sebagian besar waktu dihabiskan film untuk membuat keputusan ayah terhadap pelatihan anaknya itu benar, maka drama olahraga ini jadi gak kena. Kita gak merasakan intensitas dari Venus. Ataupun juga dari match itu sendiri (karena sutradara Reinaldo Marcus Green memang tidak benar-benar mempersiapkan diri dengan adegan olahraga tenis). Kamera lebih sering pindah ke reaksi Richard dan keluarga Venus yang menonton. Bahkan di saat dia seperti udah pasti mau menjadikan film ini berakhir dengan olahraga, Green tahu dia tidak bisa lepas dari karakter utamanya. Maka hasilnya tidak maksimal. Terasa datar. Bahkan dalam kekalahan, Richard tidak merasa kalah. Bola drama ada pada anaknya, tapi anaknya tidak pernah benar-benar digali sedari awal.

Momen-momen Richard dengan anaknya itulah yang kurang. Venus dan Serena Williams jadi totally pendukung, walaupun kondisi yang sebenarnya di dinamika mereka kan ayahnya yang mendukung anak. Film ini cukup lihai. Mereka memberikan momen kepada Venus untuk memutuskan sendiri hidupnya, sehingga tidak lagi kayak diatur terus. Tapi tetap saja pilihan tersebut sejalan dengan Richard. Tetep ayahnya ini benar. Karakter Richard Williams jadi benar-benar kayak ‘dilindungi’. Cerita ini bakal lebih hidup jika lebih banyak momen seperti istri Richard mengonfrontasinya, membuat Richard bergulat dengan dirinya sendiri di dalam hati. Interaksi emosional anaknya yang mulai punya hidup sendiri dengan Richard dan ‘rencana-rencananya’ perlu ditampilkan lebih banyak. Dan konfrontasi itu enggak mesti harus fisik. Ini satu lagi kekurangan dalam penceritaan. Film ini perlu lebih banyak menggambarkan hal-hal emosional yang tak-terucap, ketimbangkan mewujudkannya atau mengucapkan dengan langsung. Literally, film lebih memilih untuk membuat Richard kentut sebagai tanda enggak setuju sama tawaran investor.

 

 

Kalo dibalikin lagi ke perumpaan tenis, film ini ya benar-benar kayak high profile match. Punya hype dan orang excited dan no matter what bakal terhibur. Padahal sebenarnya penguasaan bolanya masih kurang. Film ini masih kurang yakin mau menceritakan ayahnya saja, atau juga mengangkat dua pemain tenis dunia. And it is really weird pada cerita keberhasilan dua atlet cewek yang merepresentasikan ras mereka, mereka tidak diberi banyak sorotan. Melainkan membuat parenting yang ortodoks dan patriarki sudut pandang utama, yang menjadi sumber keberhasilan, dan punya keputusan-keputusan yang ternyata selalu benar. Film ini menghibur, tapi aku bisa paham juga kalo nanti ada yang bilang film ini cuma jadi serve untuk membuat Will Smith bisa jadi smash hit di Oscar.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for KING RICHARD

 

 

 

That’s all we have for now

Menurut kalian seberapa besar jasa Richard untuk karir anak-anaknya? Bagaimana membedakan antara mendukung dengan mengatur di dalam parenting?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DEATH ON THE NILE Review

“Loving someone means you will do anything for them”

 

Istri raja-raja Fir’aun di Mesir Kuno dikubur hidup-hidup di dalam piramid bersama jasad suami mereka. Pastilah mereka berteriak ketakutan di dalam sana. Namun hal paling seram dari itu adalah beberapa dari istri tersebut ada yang rela melakukan hal tersebut. Demi cintanya kepada suami. Salah satu karakter dalam sekuel film detektif dari buku Agatha Christie, Death on the Nile, menceritakan legenda sejarah tersebut Hercule Poirot. Detektif yang mendengarkan dengan alis mengernyit di atas kumis spektakuler miliknya. Kasus yang ia tangani di atas kapal mewah di sungai Nil ternyata membawa tantangan tersendiri, karena kasus tersebut paralel dengan istri-istri Fir’aun. Kasus yang berhubungan dengan hal yang tidak dimengerti oleh Poirot. Cinta.

Sosok detektif ini memang dikenal sebagai pribadi yang dingin, tajam-logika, suka menyombongkan kepintaran dan kemampuan analisisnya. “Aku gak pernah salah” katanya mantap dalam salah satu adegan. Kita semua sudah melihat sisi unggul detektif tersebut di film pertamanya, Murder on the Orient Express (2017). Pada film kedua ini, Kenneth Branagh, yang jadi sutradara sekaligus pemeran Hercule Poirot, berusaha menggali sisi yang lebih manusiawi dari karakter. Poirot sekarang jadi punya layer. Perasaan kesepiannya dieksplorasi. Masa lalunya digali. Adegan opening film ini bukan hanya berfungsi untuk ‘lucu-lucuan’ soal origin kumisnya yang ikonik. Melainkan juga ngeset kenapa Poirot menjadi seperti sekarang. Poirot diceritakan punya relationship yang kandas, sehingga dia tidak bisa mengerti ketika menjumpai perbuatan yang seperti rela melakukan apapun demi cinta. Perbuatan yang menjadi kunci kasus pembunuhan yang harus ia pecahkan.

Mengenai kasus pembunuhan itupun, kini dilakukan oleh film dengan lebih banyak pembangunan. Durasi dua jam film ini enggak habis di misteri pemecahan kasus saja. Film mengambil waktu untuk mendevelop setting dan latar di belakang kasus tersebut. Diceritakan saat Poirot menikmati liburan di Mesir, dia bertemu sahabatnya dari film pertama, Bouc. Bouc yang diundang ke pesta perayaan pernikahan temannya yang ‘horang kayah’ mengajak Poirot serta. Ternyata Poirot pernah bertemu dengan dua mempelai beberapa minggu sebelumnya. Dan dalam pertemuan itu Poirot tahu bahwa Simon, si pengantin cowok seharusnya bertunangan dengan perempuan lain. Di situlah letak awal masalahnya. Mantan pacar Simon ternyata beneran ngekor mereka. Menyebabkan istri Simon, Linnet, terusik sehingga meminta sang detektif untuk ikut ke acara mereka di kapal yang berlayar di sungai Nil. Linnet merasa gak aman, karena selain mantan pacar suaminya, Linnet merasa semua tamu pesta yang adalah kerabat dan sahabatnya itu mengincar harta dirinya. Pembunuhan itu baru terjadi di midpoint cerita, sekitar satu jam setelah opening. Poirot harus memeriksa satu persatu hubungan para karakter, harus menganalisa hal yang bertentangan dengan pengalaman cintanya sendiri yang minim. Intensitas makin tinggi ketika jumlah korban terus bertambah. Death on the Nile bukan saja soal kasus, tapi juga soal pembelajaran bagi detektif jagoan ini.

nilegal-gadot-starrer-death-on-the-nile-banned-in-kuwait-001-1068x561
Ooo dari film ini ternyata muasal meme ‘fill the nile with champagne’ si Gal Gadot

 

Buatku, Death on the Nile jadi lebih fun. Poirot yang sekarang ini tidak lagi kubandingkan dengan Poirot versi film jadul, karena dengan tambahan layer alias galian, Branagh seperti sudah ‘sah’ menciptakan Poirot versi dirinya sendiri. Poirot Branagh punya sisi dramatis yang menyenangkan untuk disimak, entah itu keangkuhannya sebagai detektif paling hebat atau kevulnerable-an sebagai manusia yang paling kurang pengalaman dalam hal relationship. Poirot di film ini selain penuh ego, juga kadang terlihat canggung. Dia bahkan enggak senyaman itu berada di atas kapal. Panggung tertutup kali ini menjadi salah satu ‘kelemahan’ bagi Poirot yang menyebut kapal bukan salah satu cara bepergian favoritnya. Dan itu semua membuat karakternya manusiawi. Film tidak lagi seperti mendewakan Poirot. Dua belas karakter suspect pun tak lagi seperti karakter latar yang ada hanya untuk ngasih atau sebagai petunjuk misteri. Mereka kini punya backstory dan relationship, yang semuanya harus ditelusuri oleh Poirot. Bahkan sebelum kasus pembunuhan terjadi. 

Sebanyak itu karakter, eksposisi memang tak terhindarkan. Sekuen pengenalan karakter tetap penuh dialog, kita dilihatin satu orang, yang apa-apa tentangnya dijelaskan lewat dialog yang ngasih tahu siapa mereka ke Poirot. Kalikan itu hingga dua belas. Film ini bisa sangat terbebani jika hanya bergantung kepada eksposisi tersebut. Untungnya, film ini sedikit lebih luwes. Melihat para karakter dari mata elang Poirot, berarti kita juga melihat mereka lewat sesuatu yang tersirat. Yang hanya ditunjukkan oleh kamera. Kebiasaan mereka, apa yang mereka bawa, inilah cara film membuat kita ikut curiga dan berpikir bersama Poirot. Sehingga ngikutin cerita yang cukup padat ini jadi selalu menyenangkan. Adegan interogasi, misalnya, di film ini diperlihatkan Poirot menginterogasi masing-masing tersangka pembunuhan dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang langsung dikonfrontasi, ada yang diajak duduk makan kue, ada yang ditanyai kayak interogasi resmi polisi. Dari adegan interogasi saja, film sudah membangun karakter Poirot dan karakter yang sedang ditanya sekaligus. Menunjukkan kepahaman Poirot dalam dealing with karakter mereka, serta membuka sedikit lebih banyak lagi tentang karakter yang lain.

Karena lebih berlayer itu, maka penampilan akting para pemain turut serta jadi lebih asyik untuk diikuti. Film ngasih role yang tepat kepada aktor, dan mereka bermain untuk efek yang maksimal. Gal Gadot bermain sebagai karakter penuh kharisma seperti Cleopatra, tapi dia di sini gak dibikin sesempurna Wonder Woman. Dia gak cuma melakukan hal yang biasa Gal Gadot lakukan. Film ini literally ngambil waktu satu jam untuk bikin kita naik-turun mengamati para karakter itu sikap mereka seperti apa. Menanamkan relationship yang harus disibak oleh Poirot. Untuk melakukan itu, setiap aktor harus bermain sama berlayernya. Favoritku di antara semua adalah karakter Jacqueline yang diperankan oleh Emma Mackey (aku gak akan bohong – aku sempat ngira dia adalah Margot Robbie lol) Mantan tunangan Simon yang terus muncul gangguin orang pesta. Banyak banget percikan emosi datang dari karakter ini. Poirot aja bahkan bisa dibilang banyak belajar dari dia.

Mantan mau-maunya datang karena diundang. Mantan terus datang tanpa diundang. Siapa pun yang pernah jatuh cinta pasti setuju manusia bisa jadi senekat dan segakmikirin diri sendiri itu kalo udah menyangkut perasaan cinta sama seseorang. Tentunya itu seperti yang ditunjukkan oleh film ini, dapat menjadi hal yang positif maupun negatif. Poirot pengen kekasihnya mau stay demi dirinya apa adanya, tapi di sisi lain dia juga melihat ada orang yang ngotot stay dan itu tidak berujung kepada hal yang baik. Cinta memang pengorbanan dan kompromi, tapi seharusnya ada batas untuk itu semua.

nileFilmReview-DeathontheNile-WBOX-021122-01
Aku cinta makanan, but small food scares me

 

Tapi bagai pedang bermata dua, padatnya cerita dan kasus yang gak langsung muncul itu dapat juga dianggap oleh penonton sebagai cerita film yang lambat. The worst casenya film ini dianggap membosankan di paruh awal karena penonton pengen langsung ke kasus, dan mereka gak benar-benar peduli sama drama karakter. Afterall, motif cinta memang sudah terlalu sering digunakan. Untuk kritikan soal ini, aku setuju pada beberapa bagian. Cerita latar atau cerita personal karakter memang perlu dikembangkan tapi mungkin tidak sepanjang itu. Mestinya bisa lebih diperketat lagi. Supaya enggak kemana-mana. Kayak, opening yang nunjukin Poirot muda di medan perang. Aku tidak merasa harus banget cerita awal itu di medan perang. Tema konsekuensi tak-terduga, tema kekasih yang pergi karena tidak menerima diri apa adanya, bisa saja diceritakan dengan setting yang lain. Bukan apa-apa, setting perang di awal malah seolah misleading, karena film ini nantinya kan gak bakal balik ke persoalan perang. Jadi enggak harus sedetil itu di awal. Cukup ngeliatin sesuatu terjadi pada fisik Poirot tanpa menimbulkan dua seting/tone yang berbeda di dalam cerita. 

Dan ngomong-ngomong soal tone, aku suka sekuel ini mempertahankan tone ringan, quirky, dengan sprinkle-sprinkle komedi. Visualnya juga dibuat tetap megah. Film kedua ini menampilkan pemandangan Mesir yang menakjubkan, kebanyakan digunakan sebagai transisi adegan. Lingkungan cerita menjadi hidup. Kita gak pernah lupa ini cerita ada di mana. Kepentingan kenapa harus Mesir itu juga diestablish lewat keparalelan yang kusebut di awal review. Cuma, ada beberapa kali film ini bablas. Menampilkan hal yang tidak perlu terkait, katakanlah, ‘stereotipe’ Mesir. Yang tidak benar-benar ngaruh ke cerita. Kayak misalnya, adegan Gal Gadot kena jumpscare sama ular. Easily adegan tersebut bisa dipotong. Atau paling tidak, waktunya digunakan untuk melihat lebih banyak ke dalam Poirot. Karena di film ini masih ada beberapa hal yang dilakukan oleh Poirot yang kita gak tahu. Yang berarti film masih melepas-pasang kita kepada si tokoh utama.

 

 

 

Dibandingkan film pertamanya, aku lebih suka sekuel ini. Menurutku ini lebih fun, lebih banyak bermain dengan karakter. Tidak hanya menganggap mereka sebagai kepingan puzzle dalam misteri whodunit. Malahan, film ini memang baru menjadi whodunit di pertengahan akhir. Awalnya padat oleh backstory dan drama karakter. Yang diniatkan untuk menarik kita semakin masuk. Aku suka perkembangan karakter Poirot, dan kurasa Branagh sudah sah mengembangkan karakter ini sebagai visinya, sebagai versinya. Aku certainly gak sabar pengen lihat petualangan Poirot berikutnya. Namun aku sadar yang biasanya aku sebut fun itu boring untuk sebagian penonton. Karena fun di sini adalah banyak obrolan karakter. Maka film ini masih terasa bisa diperbaiki sedikit lagi. Masih banyak yang bisa ‘ditrim’ untuk menjadi lebih efektif. Setidaknya untuk membuat ceritanya lebih cepat menjelma kepada yang menjadi alasan penonton membeli tiketnya sedari awal.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for DEATH ON THE NILE

 

 

 

That’s all we have for now

Seberapa jauh kalian rela bertindak demi sesuatu yang dicinta? Di mana kalian meletakkan garis antara cinta dengan obsesi tak-sehat?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

[Reader’s Neatpick] – LOVE LETTER (1995) Review

“Selalu ada alasan di balik cinta pada pandangan pertama. Alasan itu bisa saja hal yang tidak kita inginkan, tapi itulah kenyataan.” – Khafidlotun Muslikhah, yang suka merajut baju bekas menjadi barang yang lebih berguna di instagram @kelayu.rajut

Sutradara: Shunji Iwai
Penulis Naskah: Shunji Iwai
Durasi: 1jam 57menit

 

Perempuan bernama Hiroko mengirim surat ke alamat tunangannya yang telah tiada. Hiroko tidak mengharapkan jawaban, tentu. Dia cuma ingin menyapa tunangannya di surga. Tapi ternyata surat tersebut dibalas. Nama yang tertera di surat; Itsuki. Nama yang sama ama si tunangan. Deg! Hiroko, disemangati oleh teman cowoknya, lantas menguatkan diri pergi ke kota kelahiran tunangannya demi mencari jawaban atas kenapa bisa suratnya berbalas. Itsuki yang membalas surat ternyata adalah seorang perempuan, dan ia adalah sahabat lama dari tunangan Hiroko. Di kota itu, Hiroko lantas menemukan satu kesamaan lagi; wajah dirinya dan Itsuki-perempuan yang membalas surat-suratnya ternyata mirip. Mereka berdua memang tidak pernah bertemu, namun Hiroko dan Itsuki-perempuan tetap lanjut surat menyurat bagai sahabat. Bertukar cerita tentang Itsuki-cowok. Dua perempuan itu lantas membuka banyak untaian rumit sehubungan perasaan cinta mereka masing-masing.

 

“Waktu Hiroko dan Itsuki menanyakan kabar Itsuki-cowok. “Ogenki desuka?? atashi wa ogenki deess..” Waduh itu bikin nangis sejadi-jadinya. Saya baru merasakan kalo bertanya kabar dan memberi tahu kalau kita baik-baik aja ternyata bisa seberarti itu dan jadi ungkapan kasih sayang yang sederhana dan humble”

“Urusan perasaan memang pelik. Mungkin itulah sebabnya manusia menulis surat cinta. Mau selembar halaman penuh kata-kata canggung, atau sebait puisi romantis, atau hanya sebaris sapaan, yang terpenting sebenarnya adalah mengirim si surat itu sendiri. ‘Hey, aku peduli padamu maka aku menulis kepadamu.’ Yang sempat ngerasain masa kirim-kirim surat; sengaja minjam buku catatan gebetan, terus pas balikin diselipin surat, atau just randomly tarok surat di laci kelas supaya dibaca ama cewek anak siang yang duduk di meja itu, taulah deg-degannya gimana. Tindakan simpel untuk ngasih tau perasaan yang berkecamuk. Buatku itu romantis sekali. Menonton Love Letter karya Shunji Iwai ini, kata ‘romantis’ itu ternyata menjadi semakin indah lagi.”

“Belum pernah surat-menyurat, karena jamanku sudah ada sms. Tapi romansa jaman dulu rasanya, alasan jatuh cintanya kadang sangat sederhana. Dan karena alat komunikasi belum secanggih sekarang, cara untuk munculkan kepercayaan ya cuma dari kata hati. Kalau sekarang, karena sudah ada alat komunikasi yang mumpuni, kebanyakan orang membangun kepercayaan dengan rutin berkomunikasi. Atau kepoin akun media sosialnya. Romance jaman mana aja sebenarnya bisa lebih romantis. Kalo fokusnya emotional intimacy, bukan fisik. Dan ini jarang ditemukan di romance Hollywood.”

“Kayaknya aku termasuk yang beruntung, hidup di dua jaman. Pernah ngerasain surat-suratan dan juga chat-chatan. Dan memang inti dari keduanya sebenarnya sama, emotional intimacy tersebut. Dan benar juga, Hollywood jarang membahas cinta dari segi ini. Kebanyakan yang lebih ditonjolkan adalah aksi fisik, kan. Sebelum tau Love Letter ini, emotional intimacy yang kuat kurasakan tu di anime Your Name (2016). Pernah gak nonton?” Yang karakternya itu saling bertukar tubuh, lintas periode waktu. Si cowok sempat hidup di masa si cewek, dan sebaliknya. Mereka berkomunikasi lewat pesan-pesan, dan akhirnya jatuh cinta karena mereka jadi deket banget secara emosional. Nah, film Love Letter ini, bukan hanya kedekatan dua orang yang saling surat-menyurat kan, tapi tiga orang yang terhubung oleh surat, dan malah 2 pasang orang yang actually jadi semakin dekat secara emosional karenanya. Lebih kompleks. Dan di ujung cerita nanti akan diungkap the true love letter yang selama ini tersembunyi.” 

“Yang dimaksud dengan ‘Letter’ di film ini ada satu surat tanpa kata-kata yang diletakkan di ending, dan penonton bisa langsung mengerti maksudnya apa. Romansa dengan emotional yang kuat di film ini meninggalkan kesan mendalam buat saya. Romansanya juga digambarkan dengan unik. Pertama, mengenang kekasih yg sudah meninggal dan mengetahui masa lalunya. Kedua, film ini sekaligus mengingatkan ketika kita menggali masa lalu pasangan lebih dalam, kita harus siap dengan risiko menemukan kenyataan yang tidak sesuai harapan. Ketiga, cerita berkembang menjadi mengenang masa remajanya duo Itsuki karena Hiroko yang meminta. Cerita masa remajanya cukup unik karena karakter Itsuki-cowok yang pendiam, misterius dan membingungkan. Setiap tindakanya tidak bisa dimaknai secara literal, ada maksud yang terkandung di dalamnya seperti misalnya waktu meminjam banyak buku di perpus, dan mengerjai Itsuki-cewek dengan menutupkan tas kertas waktu bersepeda. Secara kasat mata, tindakan itu menyebalkan, tapi ternyata ada maksud tersembunyi di dalamnya. Scene-scene seperti itu sangat ikonik dan juga berkesan. Keempat, plot twist di akhir tadi. Kesannya manis dan romantis yang tidak biasa. Hal itu cukup menyedihkan karena baru diketahui, tetapi sekaligus membahagiakan karena ternyata ada cinta yang diam-diam berbalas.”

“Kuat banget memang endingnya. Kayaknya tindakan Itsuki-cowok itu yang paling memorable buatku. Relate juga sih, karena memang cowok tu kalo suka ama cewek di sekolah dan malu atau susah ngungkapinnya, maka tindakan yang dilakukan cuma dua. Pertama ngejailin tuh cewek. Atau kedua, ngelakuin hal absurd. Film Love Letter ini bener-bener tau persis ekspresi cinta sesuai umur. Bagian yang nunjukin Itsuki di jaman sekolah itu dapet banget. Naksir itu ya memang bisa dimulai dari diledekin teman satu kelas, kan. Konten lokal film ini juga kuat, karena kulihat ya cuma di Jepang banyak, katakanlah, ‘mitos siswa’. Kayak misalnya kalo horor, maka sekolahan di Jepang selalu punya ‘7 keanehan sekolah’, atau kalo cinta-cintaan ya murid-murid cewek biasanya punya ‘kepercayaan’ kalo naroh foto orang yang disuka di dalam locker bisa bikin orang itu naksir kita, dan sebagainya. Film Love Letter ini memainkan budaya tersebut ke dalam romansa mereka, seperti yang kita lihat soal kartu perpus yang seperti kerjaan iseng Itsuki-cowok di masa lalu (padahal sebenarnya surat cinta tersembunyinya) ternyata menjadi ‘mitos’ kartu perpus romantis oleh siswi-siswi sekolah itu beberapa tahun kemudian.”

“Dulu ketika ada yang suka, biasanya si cewek akan dijahilin sebagai aksi cari perhatian si cowok. Ada kesamaan tingkah laku anak cowok jaman sekolah yang suka sama temen ceweknya. Ini tidak berlaku buat semua, tapi beberapa kejadian seperti itu. Di film ini juga kan, waktu Itsuki-cewek mau mengenalkan temannya ke Itsuki cowok, lalu Itsuki-cowok kesal dan menghadang Itsuki-cewek waktu naik sepeda dan menutupkan tas belanjaan kertas ke kepala Itsuki cewek. Itu sangat menyebalkan, tapi juga gemas lucu karena sebenarnya Itsuki-cowok ingin menyampaikan bahwa dia tidak suka dikenalkan dengan cewek lain. Ini adegan paling memorable buat saya. Satunya lagi, yang memorable, adalah waktu Itsuki cowok datang ke rumah Itsuki cewek. Saya suka sekali situasi awkwardnya, apalagi ketika Itsuki cowok ingin mengucapkan belasungkawa. Gestur, dan juga gerak gerik mata Itsuki cowok benar-benar menandakan ke-awkward-an dan rasa malu untuk menatap Itsuki cewek. Lalu ditutup dengan senyuman Itsuki cewek yang menertawakan tingkah Itsuki-cowok. I think it’s pure and romantic.”

“Kayaknya karakter favoritmu si Itsuki-cowok ya hahaha”

“Tentu Itsuki cowok hahaha. Karakter cowok tsundere booming di tahun 90-an dan awal 2000-an, dan itu awal-awal saya nonton drama asia waktu masih SD. Karena sejak kecil sudah kenal dengan karakter itu, jadi karakter tersebut sangat memorable. Setiap ada karakter itu di film/serial yang saya tonton, saya akan dengan mudah bersimpati. Karakter misterius seperti itu juga biasanya punya banyak layer. Tindakan yang dilakukan tidak bisa dimaknai secara literal, seperti misalnya cuek dan dingin, bukan berarti mereka ingin menghindar atau marah, tapi ada sesuatu yang ingin disampaikan lewat tindakan dan ada yang sedang dipikirkan”

“Aku jadi teringat serial zombie korea All of Us Are Dead, deh. Dinamika pasangan protagonis utama di situ mirip sama Itsuki-cowok dan cewek di film ini. Cowoknya pendiem, belagak sok misterius, sok cuek, gitu. Sebagai cowok yang juga pendiam di sekolah, aku sedikit relate, makanya aku jadi lebih suka ama karakter lain, terutama yang lebih bisa mengekspresikan hati. Favoritku di film ini adalah karakter teman cowok yang naksir Hiroko. Dia suka Hiroko dan mau melakukan apapun untuk katakanlah nyelamatkan cewek ini dari perasaannya duka dan gak move-on dari Itsuki. Satu lagi favoritku itu temen sekolahnya Itsuki-cewek, si cewek edan itu loh. Kocak dia. I wish aku bisa seopen pacar Hiroko atau si cewek sma itu. Dan kurasa Itsuki-cowok kayaknya juga sama. Ada dialog yang nyebut Itsuki-cowok ngelamar Hiroko dengan berdiam diri gitu aja kan, sehabis ngasih cincin hahaha. Kayaknya dia sendiri gak enak bilang cinta ama Hiroko karena Hiroko mirip orang yang ia suka.”

“Ini sangat membingungkan. Itsuki cowok adalah tipe pendiam, yang waktu melamar saja hanya memberi cincin dan diam selama dua jam. Hirokolah yang mengajaknya menikah. Tapi jika dia masih suka dengan Itsuki cewek, dia bisa saja pergi ke Otaru lagi dan bertemu Itsuki. Namun mungkin alasan dia tidak ke Otaru bisa jadi karena dia ragu apakah Itsuki cewek punya perasaan yang sama. Saya merasa dia masih galau dengan perasaannya. Tapi jika disuruh memilih, saya ingin Itsuki jadian dengan Itsuki saja hahaha”

“Ngomong-ngomong soal membingungkan, waktu pas nonton memang gak bingung sih. Cuma pas ngetik reviewnya mulai kerasa repot dengan kesamaan nama hahaha… Tapi inilah uniknya film ini. Banyak kesamaan, mulai dari nama hingga wajah Hiroko dan Itsuki-cewek pun mirip. Tantangan bagi film ini adalah bagaimana membuat kesamaan-kesamaan tersebut tidak tampak seperti kebetulan belaka, jadi film ini benar-benar menguatkan penceritaan supaya kita melihat melampaui kesamaan itu, tapi juga menyadari pentingnya kesamaan-kesamaan tersebut bagi alur cerita”

“Untuk nama yang sama, saya tidak bingung karena sebelum noton saya membaca review yang intinya ada Itsuki-cewek dan Itsuki-cowok. Untuk karakter yang wajahnya digambarkan sangat mirip (Hiroko dan Itsuki-cewek), awalnya saya bingung, tapi lama-lama bisa membedakan mana yang Hiroko mana yang Itsuki-cewek. Perbedaannya terletak di cara berbicara dan gestur tubuh. Hiroko cara berbicaranya lemah lembut, dan gestur tubuhnya sangat lembut. Sedangkan Itsuki-cewek cara berbicaranya ceria dan gestur tubuhnya aktif. Intonasi berbicaranya juga beda. Keren banget aktrisnya”

“Salut buat Miho Nakayama bisa memainkan dua karakter yang begitu serupa tapi tak sama, range-nya luar biasa. Dia pasti dapat arahan untuk benar-benar mengontraskan dua karakter miripnya ini. Film melakukan itu supaya kita mudah untuk mengikuti cerita. Yang satu dibikin flu, yang satu enggak. Yang satu dibikin di daerah bersalju, yang satu di suasana biasa. Dan perbedaan itu juga dimainkan ke dalam penceritaan, bukan sekadar untuk pembeda, melainkan menambah depth narasi. Kita melihat flu itu berujung kepada pembelajaran penting untuk karakter Itsuki-cewek, karena suatu peristiwa di kehidupan personalnya. Salju juga ternyata digunakan untuk menguatkan tone sureal, kemagisan jalan hidup mereka, bahkan kepolosan cinta remaja itu sendiri”

“Kesamaan nama mengawali cerita remaja itu sih, jika saja namanya tidak sama mungkin tidak ada momen di perpustakaan, lembar jawaban yang tertukar dan lain sebagainya. Saya rasa kesamaan nama menjadi alasan yang sangat wajar untuk diledek atau dicie-cie di masa remaja. Karena awal puber, dikit-dikit biasanya ada yg ngecie-cie in. Kadang secara ga sengaja duduk bareng waktu tes juga diledekin. Kesamaan wajah, awalnya juga membuat saya bingung kenapa harus sama. Tetapi setelah Hiroko secara tidak sengaja berpapasan dengan Itsuki cewek, saya jadi tau kenapa mereka harus diperankan oleh orang yang sama. Dan hal itu tentu berperan penting dalam ceritanya dan jadi salah satu alasan kenapa Hiroko ingin mengetahui masa lalu tunangannya. Selain mengenang, saya rasa dia juga ingin memverifikasi alasan itsuki cowok jatuh cinta pada pandangan pertama sama dia. Kalau diperankan oleh orang yang berbeda, meski mirip, penonton akan butuh penjelasan berupa kata-kata tentang alasan Itsuki cowok itu. Kalau diperankan oleh artis yang sama, penonton bisa paham tanpa harus diceritakan. Mungkin pembuatnya pakai prinsip ‘show don’t tell'”

“Ya, itulah kenapa film ini bisa ngena dan indah banget. Emosi dan feelings itu berhasil terceritakan sempurna lewat ‘show’ yang dilakukan begitu detil oleh film ini. Satu lagi yang aku suka itu adalah ada momen-momen seperti dibuild up pertemuan Hiroko dengan Itsuki-cewek. Ada momen ketika aku merasa pengen melihat dua orang ini bertemu. Tapi film ini tidak kunjung memberikan. Penceritaannya kayak nge-tease penonton, tapi kemudian seiring kita menyelami cerita, seiring pemahaman kita terhimpun, kita tahu ini tidaklah pernah sebagai soal siapa akhirnya ketemu siapa. Melainkan soal mengikhlaskan perasaan itu, kan.”

“Komunikasi Hiroko dan Itsuki-cewek memang paling pas lewat surat atau apapun tanpa bertemu langsung. Kalau ngobrol langsung mungkin akan awkward, bukan karena wajahnya mirip, tetapi keduanya memiliki kenangan tersendiri terhadap Itsuki cowok. Dan saya justru kasihan sama Hiroko jika dia harus mengingat alasan sebenarnya Itsuki cowok jatuh cinta dengannya”

“Tapi Hiroko dan Itsuki-cewek menjadi seperti teman dekat kan. Padahal tak pernah ketemu. Setidaknya mereka nyaman gitu saling berbagi cerita dan perasaan kepada orang yang bagi mereka asing. Atau mungkin bisa dibilang sebagai orang yang saingan cinta”

“Menurut saya faktor kenyamanan antara Hiroko dan Itsuki cewek awalnya berbeda. Hiroko nyaman karena dia tidak asing dengan nama Itsuki, dan dengan polosnya berharap itu surat dari surga. Dia ingin berkomunikasi dengan tunangannya, makanya dia meneruskan berkirim surat. Itsuki di awal merasa bingung, Hiroko itu siapa. Dia tetap membalas karena takutnya dia lupa pernah punya teman bernama Hiroko. Setelah keduanya mengetahui kenyataan bahwa mereka mengenal orang yang sama, mereka nyaman bercerita karena alasan yang sama, yaitu mengenal orang yang sama. Apalagi Hiroko bela-belain datang ke Otaru untuk bertemu Itsuki cewek, Itsuki jadi berpikir ‘niat banget ni orang’. Karena itu, Itsuki jadi nyaman dan percaya untuk bercerita. Pengalaman saya pribadi, saya pernah baru kenalan dengan orang di suatu acara, lalu ternyata dia mengenal dekat teman saya. Nah dari sana, obrolan mengalir, diawali dengan membicarakan seorang mutual friend (in a good way). Lalu kebetulan nyambung, akan merembet ngobrol ke cerita lain dan masa lalu. Tapi karena salah satu motif Hiroko adalah menggali tentang masa lalu pasangannya, jadi mungkin di hati Hiroko ada sedikit rasa cemburu ketika mendengar cerita itu. Hiroko bahkan mengingatkan kalau nama Fujii Itsuki yang ditulis di kartu perpus itu adalah nama Fujii Itsuki cewek. Dia menyadari tanda sehalus itu, berarti dia benar-benar memikirkan hubungan Itsuki x Itsuki, dan memahami maksud dibalik tindakan Itsuki cowok. Hubungan mereka di akhir terasa canggung setelah Hiroko mengembalikan semua surat Itsuki cewek, sepertinya dia tidak ingin berurusan lagi dengan masa muda Itsuki cowok karena kenangannya dimiliki orang lain”

“Ada sedikit bitter feeling juga berarti pada Hiroko ya. Tapi itulah. Film ini menekankan how to deal with perasaan yang mungkin harus kita ikhlaskan, perasaan yang kita bawa pergi ke kehidupan berikutnya. Itsuki-cewek perlu menjawab surat-surat itu supaya dia bisa mengenali perasaan yang selama ini ada di ‘belakang’nya tanpa dia sadari. Sedangkan si Hiroko perlu menguatkan diri mengonfrontasi surat-surat itu sebagai bagian dari grief-nya. Dia harus move on, tapi dia belum siap. Karena jangankan melepas Itsuki, dia ternyata bahkan belum benar-benar mengenal siapa tunangannya tersebut. Jadi dia butuh ini semua supaya bisa mengikhlaskan”

“Saya agak mixed feeling dengan “move on dan mengikhlaskan” ini. Di satu sisi, mengetahui fakta dan kisah masa muda itu membantu Hiroko memahami tunangannya, dan membantunya berdamai dengan kehilangan. Di sisi lain, mungkin dia jadi sedikit kesal dengan tunangannya dan bisa jadi kekesalan itu membantunya lebih menerima Akiba (pacarnya yang sekarang). Tapi tetap saja menurut saya dia tidak akan move on, karena rasa kesal dan cinta terhadap tunangannya saya rasa tidak akan hilang, dia hanya bisa berdamai dan menerima kenyataan.”

“Adegan Hiroko teriak-teriak ke gunung, sebagai bentuk dia bicara kepada Itsuki-cowok, sebenarnya udah nunjukin dia udah plong. Dengan kata lain, dia udah move on. Bukan dari cintanya kepada Itsuki, tapi dari grief-nya itu sendiri. Karena kali ini dia udah benar-benar kenal Itsuki, dan itu tadi, mungkin dia jadi udah tahu secinta apa Itsuki kepadanya. Jadi mungkin lebih baik kali ya, untuk kita mengetahui kebenaran dari seseorang yang kita sayang supaya kenangan kita terhadap mereka gak stuck. Karena kadang kenangan itu, kadang yang kita ingat bukan kenangannya itu sendiri tapi apa yang ingin kita kenang darinya.”

“Berat sekali ya hahaha. Bagi saya dua-duanya penting. Bertahan dengan kenangan atas seseorang itu menurut saya hal yang bikin kita merasa worth it sebagai manusia, karena pernah disayangi meski akhirnya berhenti. Memori yang baik menurut saya perlu dipertahankan, meski cuma kenangan. Jadi ketika kita sedang korslet, kita bisa mengingat kenangan itu untuk menjadi waras kembali. Dan kalau ada kesempatan untuk mengetahui kebenaran di luar kenangan, kenapa tidak. Karena bagi saya tau masa lalu atas seseorang itu (tentu dengan ijin orang terkait) bisa jadi cara memahami seseorang dengan utuh, meskipun mungkin ada kenyataan pahit yang mau tidak mau harus diterima.”

“Wah gila, seru sekali obrolan kita untuk film Love Letter ini ya. Menyentuh sekali soalnya bicara tentang feelings sih. Sebagai penutup, Afid kasih skor berapa nih untuk Love Letter?”

“10”

“Kalo aku berapa ya… hmm.. dari strukturnya sih ini udah masuk ke kriteria 9, karena film ini ada ‘evolusi’ mulai dari misteri kenapa suratnya dibalas, lanjut ke jadi cerita pencarian jawaban, ke cerita nostalgia, lalu ke ‘hidup baru’ karakter. Kesamaannya gak bikin bingung, cuma perspektif utamanya yang agak bingung. Tapinya lagi, setelah dipikir-pikir film ini memang two-in-one. Dan keduanya resolved dengan manis, sebagai satu narasi paralel. Maka yah, film Love Letter memang pantas untuk aku kasih 9 dari 10 bintang emas!!!” 

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat mbak Afid udah merekomendasi dan berpartisipasi untuk mengulas film di sini. Udah rela meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan seabreg. Kalo gak direkomendasiin, aku yang kurang jauh main ke film-film jadul dan film-film Asia gak bakal tahu ada film seindah ini.

 

Buat para Pembaca yang punya film yang ingin dibicarakan, yang ingin direview bareng – entah itu film terfavoritnya atau malah film yang paling tak disenangi – silahkan sampaikan saja di komen. Usulan film yang masuk nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.