SCREAM Review

“Fandom can’t have nice things”

 

 

Franchise Scream bisa segede ini karena misteri whodunnit-nya selalu dibarengi oleh humor meta dan sindiran untuk film dan trennya saat itu. Scream original adalah satir untuk genrenya sendiri. Scream 2 menyindir horor sekuel. Scream 3 berisi celetukan gimana Hollywood membuat franchise dari tragedi nyata. Scream 4 menyentil soal reboot atau remake. Bahkan Scream versi serial juga memuat komentar soal adaptasi ke serial tv. Maka sebagai penggemar berat, aku excited sekali nungguin tentang apa Scream kelima ini. Terutama setelah mereka mutusin untuk mencopot angka-lima dan hadir dengan judul Scream saja- ngikutin horor-horor klasik yang dimodernisasi dengan sekuel yang gak ada angka, confusing everyone. Apakah Scream lima sengaja menyindir ini?

Yang jelas, sekuel terbarunya ini memang kayak berusaha memancing reaksi fans banget. Apalagi pas ditonton. Wuih. Mulai dari mengejek horor kekinian yang lebih drama, sampe ke misteri dalam ceritanya sendiri yang buatku tampak so easy. Scream 5 ini actually adalah Scream pertama yang bisa aku tebak dengan benar siapa pelakunya, siapa yang bakal mati. In fact, aku sudah menerka sejak adegan para karakter bertemu di rumah sakit di awal cer.. See, inilah yang hendak dilakukan oleh Scream 5. Film ini ingin bicara langsung kepada para penggemar setianya. Film menggebah kita entah itu untuk protes, atau untuk menyombongkan diri. Aku hampir saja jatuh ke lubang jebakannya itu. Karena Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillet memang merancang film ini sebagai sindiran untuk fandom dengan segala ke-toxic-annya.

screamGFhXkEyXkFqcGdeQXVyMTkxNjUyNQ@@._V1_
Satu-satunya yang kusayangkan adalah Samara Weaving gak jadi dicast, padahal dia bisa fun banget mainin putri Billy Loomis

 

 

Sebagai Scream pertama yang tidak didirect oleh kreatornya langsung (RIP Wes Craven!) Scream 5 memang memikul beban yang berat. Tudingan dan ancaman dari penggemarnya pasti langsung menghujam. Awas kalo gak menghormati ruh franchisenya! Awas kalo jadi cash-grab doang! Dan memang bukan Scream saja yang mengalami itu – both peremajaan franchise dan reaksi-reaksi fans. Hal tersebut udah jadi kayak tren baru di Hollywood.  Franchise-franchise gede seperti Halloween, punya banyak sekuel sehingga udah melenceng ke mana-mana. Kini banyak dari mereka yang dihidupkan kembali. Dibuat ulang sebagai sekuel langsung dari original, mematikan sekuel-sekuel terdahulu. Itu adalah trik yang dilakukan supaya gampang laku dan terutama tidak mengkhianati para fans originalnya. That’s the keyword. Scream, on the other hand, adalah satu-satunya dari franchise-franchise gede seperti itu yang memang hadir selalu sebagai sindiran meta. Sutradara Matt dan Tyler jeli melihat itu. Mereka paham ada sesuatu di balik apa yang mereka sebut (lewat karakter ceritanya) sebagai ‘rekuel’. Sesuatu yang pantas untuk dibahas, dikomentari, dan mereka mengolah itu ke dalam mitologi dunia Scream yang mereka ekspansi. Mereka menatap balik para fans. And they give all of us the wink that we deserved.

Tidak ada opening dalam franchise Scream yang bertindak sepenting opening Scream kelima. Bukan sekadar untuk horor pembunuhan pertama yang ngeset mood dengan bintang muda berakting jauh dari elemen nyaman mereka, ataupun sekadar untuk nostalgia ke original, melainkan opening kali ini sudah berbobot oleh informasi yang memuat gagasan sekaligus hook ke cerita utama nantinya. Ini juga kali pertama korban di adegan opening selamat dari maut. Gadis yang ditelpon lalu diserang Ghostface itu adalah Tara (Jenna Ortega kupikir lebih punya kharisma kuat sebagai tokoh utama). Kini dia di rumah sakit dijenguk oleh geng–oops 90an banget, sekarang istilahnya adalah sirkel! Di antara sirkel Tara itu ada sobat karibnya Amber (langsung kujatuh cinta sama penampilan Mikey Madison), Wes (Dylan Minnette jadi karakter untuk tribute ke Wes Craven), si kembar Mindy dan Chad, serta Liv. Kakak Tara yang sudah lama meninggalkan kota Woodsboro pun hadir demi memastikan keselamatan adiknya. Semua orang yang ada di ruangan itu in some way punya hubungan dengan karakter-karakter dari Scream original. Yang membuat mereka semua menjadi target dari si Ghostface yang baru – dan also, semuanya adalah tersangka utama. Semua, termasuk Sam kakak Tara yang datang bersama pacarnya. Sam (Melissa Barrera looks though enough) merasa sepertinya semuanya berhubungan dengan rahasia yang ia simpan. Rahasia bahwa sebenarnya dia adalah putri dari Billy Loomis, sang original killer. 

Tugas mengisi dunia dengan karakter baru sudah terestablish dengan baik. Ini benar-benar seperti cerita baru, tapi dengan tie-in kuat terhadap cerita original. Film menggali drama dari karakter utama baru dan karakter-karakter lama. Dan drama-drama tersebut tidak tumpang tindih. Mainly karena film tidak malu untuk mengakui bahwa sudah saatnya untuk move on. Trio Sidney – Gale – Dewey dihadirkan, tidak merebut spotlight, tapi tetap dengan momen-momen heartfelt. Aku suka film ini menggali relationship Dewey dan Gale dengan lebih grounded dan make sense ketimbang pada sekuel sebelumnya. Momen kecil seperti Dewey yang berkata akan menelepon Gale tapi kemudian hanya meng-sms saja membuat karakter-karakter semakin bersinar. Sedangkan pada karakter utamanya, Sam, dikembangkan urusan yang lebih psikologikal. Drama personal seorang keturunan serial-killer. Sam, di saat-saat sendirian, akan sering melihat ayahnya. Bicara dengan sosok ayahnya. Ini menambah percikan dan bobot di dalam misteri yang dipunya oleh cerita. Karena ultimately inilah yang dijadikan motif utama. Ghostface di film ini ingin menulis fan-fiction tentang anak dari Billy Loomis dan Sidney. Fan-fiction yang menurutnya bakal bisa jadi film yang lebih hebat daripada sekuel-sekuel Stab yang semakin ngaco.

Screamcreen-Shot-2021-10-12-at-9.04.11-AM
Sementara di sini fans masih ribut soal beda fanfic dengan AU

 

 

Di sinilah letak keluwesan Scream sehingga bisa terus bicara sebagai sindiran meta. Selain aturan-aturan film horor, Scream juga punya film-dalam-film. Sejak Scream kedua diceritakan tragedi Sidney Prescott menjadi begitu viral sehingga diberitakan, dibukukan, dan difilmkan. Film kayfabe ini berjudul Stab dan merupakan cerminan ekstrim dari film Scream itu sendiri. By now, Stab udah 8 sekuel, dan sekuel terakhirnya benar-benar flop. Mirip seperti Scream 4 yang juga gak sukses, bedanya di film kelima ini diceritakan Stab 8 sudah seperti cerminan dari horor modern kita. Di jaman kita sekarang, horor ‘fun tapi cerdas’ bukan lagi yang seringan Scream. Melainkan yang berat-berat, yang lebih dramatis, seperti The Witch, Hereditary, The Babadook, It Follows. Film yang bagus banget, tapi kurang laku karena ya enggak sefun Scream. Scream 5 berusaha menjadi balance. 

Supaya film ini menarik untuk ditonton oleh penonton kekinian, mereka membuat drama yang cukup berbobot, sementara tetap mempertahankan pesona 90an yang jadi ruh franchise Scream, yang jadi pemancing nostalgia. Akan tetapi, seperti yang mereka prediksikan terjadi kepada Stab 8, film ini tahu fans original bakal ada aja yang protes karena menganggap terlalu berbeda. Jadi film ini menyindir mereka duluan. Fans-lah yang dijadikan pembunuh dalam cerita ini. Fans tersebut mengira tahu apa yang mereka mau, dan berusaha mengambil kendali. Fans ingin membuat cerita sendiri, dan menjadi pembunuh berantai demi itu. Di satu adegan ada Dewey merasa terluka oleh kata-kata seorang karakter; that’s how toxic fans in our life kill menurut film ini. Sebenarnya, film sedang meneriakkan bahwa fans sendirilah yang merusak apa yang mereka suka, bagi diri mereka sendiri dan bagi semua orang.

Itulah sebabnya kenapa fandom gak akan pernah bisa mendapatkan nice things. Karena mereka gak pernah puas, selalu ada aja yang diprotes. Dan itu gak sebatas film, kita akui saja, fandom di mana pun – wrestling, buku, musik, sepakbola, bahkan agama, memang cenderung jadi seganas ini. Terutama kalo ada ‘anak baru’ maka makin beringas lah mereka menunjukkan kefanatikannya dengan segala “harus begini, harus begitu”.

 

 

Bukan hanya pada narasinya saja. Celetukan ini juga menguar dari penceritaan film. Misalnya pada elemen horornya. Fans suka banget sama jumpscare. Film horor baru seperti Hereditary dan kawan-kawan tadi bagi mereka gak seram, karena gak ada jumpscare yang seru. Maka film ini bermain-main dengan itu. Ada sekuens karakter seorang diri di dalam rumah. Dia membuka segitu banyak pintu dan lemari. Dan setiap kali pintu-pintu itu dibuka, film akan menaikkan intensitas musik, seolah ada sesuatu yang bakal mengejutkan muncul begitu pintu itu diayunkan tertutup kembali. Jumpscare yang udah diantipasi itu tidak pernah datang. Barulah kemudian di saat yang paling tidak diduga, film memunculkan kejutan. Yang terasa jadi lebih efektif. Jadi film ini cerdas sekali, memanfaatkan sindiran menjadi efek seram yang lebih kuat.

Film menelisik toxic fandom ini lebih lanjut. Kedalaman komentarnya itulah yang membuatku suka sekali sama film ini. Ke-toxic-an itu dikaitkan film kepada kegemaran kita terhadap menyebarkan hal-hal negatif yang berlawanan dari yang kita sukai. Ada yang janggal sedikit, digoreng ramai-ramai. Ada yang berbeda sedikit, dibahas berhari-hari. Itu juga sebabnya kenapa komentar sarkas dan ulasan menghina lebih banyak dibaca. Kita menikmati hal-hal negatif, karena itu juga membuat hal yang kita sukai semakin tervalidasi. Dan pada akhirnya kita jadi lebih suka melaporkan kenegatifan. Period. Maka dari itulah, film ini bagiku seperti berakhir dengan poetic justice. Karena Gale Weathers-lah yang menyadari duluan. Semua horor di dunia mereka itu berasal dari dia yang jurnalis, lebih memilih melaporkan tragedi, memberitakan kejadian berdarah, menceritakan serial killer kepada publik. Cerita Sidney, Stab, jadi punya banyak penggemar for the wrong reasons. “I’m not gonna write about this” kata Gale di ujung durasi Scream 5. Gale benar. Jangan kasih minyak ke negativity. Jangan kasih viral perbuatan jahat, bego, kasar, dan sebagainya.

 

 

 

Ternyata film ini misterinya lebih gampang ditebak bukan karena bangunannya kurang kuat. Kita-lah yang sudah terlampau cinta sama franchisenya, kitalah yang sudah demikian mengerti dengan konteksnya. Kita adalah penggemarnya, dan film ini bicara tentang penggemarnya harusnya menikmati apa yang kita cintai. Boleh kritik, tapi jangan jadi toxic. So here goes mine. Dengan segala antisipasi itu, film ini masih mampu tampil menghibur. Membawa ruh franchisenya, respek sama franchisenya. Menghadirkan cerita dan karakter baru yang terikat kuat pada karakter original. Bercerita dengan drama yang balance; dengan drama itu sendiri serta dengan aspek horor. Film dengan muatan sebanyak ini berpotensi jadi boring atau sukar dimengerti, tapi muatan sindiran dan komentar serta aksi misteri whodunnit-nya membuat film tetap menarik dari awal sampai habis. Film ini berikan perkenalan yang cukup, serta proper send off untuk certain character. Dan kita menyambut semua itu dengan suka ria. Plus, I love Amber. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SCREAM

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian punya tips menjadi fan yang baik dan enggak jadi toxic?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SING 2 Review

“Go big or go home”

 

 

Koala Buster Moon telah menyelamatkan teater di kota kecilnya. Dia melakukannya dengan menyelamatkan bakat-bakat di sana lewat kompetisi bernyanyi. Johnny si gorila, Rosita si ibu babi, Ash si landak rocker, Gunter si babi energetik, Meena si gajah pemalu; Buster Moon membantu mereka semua menemukan suara masing-masing. Sekarang, bertahun-tahun menikmati kesuksesan kecil mereka, Mr. Moon siap untuk mengejar kesuksesan yang lebih besar. Dia pengen mereka manggung di kota, di panggung yang lebih ternama. Dan semenjak seorang (err… tepatnya seekor) kritikus ngelepehin pertunjukan teater mereka, Moon jadi makin napsu untuk membuktikan diri. Nekat saja, dia memboyong para talent andalannya ke kota. Masuk gitu aja ke audisi di depan produser gede Jimmy Crystal si serigala putih yang ruthless, dengan persiapan yang minim. Bakatnya sendiri; sepik-sepik, memang berhasil membuat mereka dilirik. Dikasih slot mempersembahkan pertunjukan sendiri. Tapi pertaruhannya berat. Apalagi Buster Moon sama sekali belum nulis apa-apa tentang show musikal sci-fi yang ia janjikan, ataupun sama sekali tidak mengenal dan bisa menjamin singa rocker legendaris yang telah lama mengasingkan diri bisa hadir dan manggung bersama mereka semua!

Sutradara dan penulis naskah Garth Jennings paham ke mana harus melihat ketika ingin mengangkat cerita tentang dunia pertunjukan. Cerita tentang bakat dan menggapai mimpi digunakannya sebagai pondasi dalam film Sing yang pertama (2016) Di film sekuelnya ini, Jennings membangun cerita dari perjuangan ‘menjual’ bakat, bagaimana mengapitalisasi kesempatan. Sing 2 punya celetukan-celetukan kecil soal bisnis pertunjukan. Dan sebagai orang yang gak in-touch sama lagu-lagu populer (apalagi lagu kekinian), tema bisnis pertunjukan itulah yang lebih mudah untuk kunikmati saat menonton animasi hewan-hewan anthropomorphic ini. 

singsing-2
P.T. Barnum dunia satwa

 

Sebagai kreator, sebagai produser, Buster Moon selalu punya jiwa oportunis yang bisa membuat dia kadang tampak sebagai orang jenius, dan kadang juga tampak sebagai produser nekat yang gak-bener. Moon berjalan di antara garis ini, dan somehow suara Matthew McConaughey terasa cocok untuk menghidupkan karakter yang ada di posisi kayak gini. Cukup berwibawa dan terdengar genuinely care untuk jadi leader, dengan sedikit ‘nada’ ngambang yang membuatnya terdengar ‘berbahaya’, in sense that he is talk first. Moon jadi protagonis yang dapat kita pedulikan pada akhirnya karena dia adalah karakter yang terus ngepush kesempatan untuk dirinya sendiri, dan juga demi orang lain. Dia ada di situ untuk memastikan bakat-bakat terdengar dan menampilkan pertunjukan hebat. Kita bisa relate karena tentu kita juga pengen didengar. Di film ini, Moon juga mewakili kita yang memang sering harus berkompromi jika ingin ‘nampil’. Di samping permasalahan Moon harus live it up janji-janji palsunya (janji yang terpaksa ia ucapkan hanya supaya mereka bisa nampil), Sing 2 juga menyeletuk soal titipan studio. Seperti misalnya, Moon harus ngecast anak produser ke dalam pertunjukan teaternya walaupun si anak itu gak bisa akting.

Karena sekarang udah kayak, bakat itu gak penting lagi. Yang penting adalah marketable. Pihak studio akan menilai talent dari apakah ada dari mereka yang bisa diuangkan. Membuatku jadi teringat sama permasalahan kontes-kontes nyanyi/bakat. Peserta akan bela-belain audisi walaupun antrinya panjang sekali. Hanya supaya kemampuan mereka dinilai oleh segelintir juri sebagai bagian dari acara tivi. Acara yang sudah jadi rahasia umum ada storyline dan segala macamnya. Those shows are never just about talent searching. Mereka sebenarnya hanya mau menjual cerita lucu, cerita sedih, atau cerita keberhasilan dari peserta untuk show televisi. Ratings. Bakat dibisnisin. Mereka seharusnya bernyanyi saja, rekam sendiri saja, sepuas hati. Bikin band sendiri. Terus main dan asah kemampuan. Enjoy talent sembari mempertajamnya. Inilah yang berusaha dilakukan oleh Moon. Dia ingin ngasih tempat untuk talent-talent, tapi harus berhadapan dengan studio yang mengecilkan mereka.

Tentu memang benar, to make it big, we cannot sell ourselves short. Kita harus ngepush, menantang diri sendiri. Nampil di panggung yang lebih besar, so to speak, harusnya dijadikan tantangan untuk menjadi lebih baik. 

 

Padahal mengusung tema itu, tapi film ini kasiannya tampil ironis. Studionya clearly enggak mau ‘memberatkan’ film dengan penggalian itu. Studionya clearly hanya melihat Sing pertama sukses berkat cover lagu-lagu populer. Maka, Sing 2 hadir juga lebih fokus ke lagu. Karakter-karakternya jadi sekadar diadakan saja. Mereka diberikan plot tipis, dengan journey ke arah pembelajaran yang sama singkatnya.

Johnny, misalnya, dia harus belajar menari, di bawah ajaran koreografi profesional yang strict. In the end, semuanya ya salah si pengajarnya. Rosita, merasa tersingkirkan ketika dia digeser dari peran utama, karena dia yang takut ketinggian tidak sanggup melakukan adegan terjun bebas dan terbang di luar angkasa. Konflik pribadi/psikologisnya ini tidak dibereskan lewat pengembangan yang bertahap. Melainkan beres gitu aja dalam satu adegan. Meena punya masalah beradegan romantis, karena dia belum pernah pacaran. Belum kenal cinta. Solusi naskah untuk ini ya gampang aja. Tau-tau di luar ada gajah simpatik, jatuh cintalah Meena. Gunter, dan Moon, mereka nulis cerita on the way, dengan Gunter dengan kocak selalu mengubah-ubah situasi pada narasinya setiap saat. Mereka tidak punya momen kompromi atau apapun yang mengisyaratkan pembelajaran team work atau semacamnya. Permasalahan Moon menggarap show dari ide spontan dibuat terlalu gampang, they just made it. Sehingga pokok tema yang diangkat di awal jadi gak kena. Permasalahan studio ‘jahat’, sehingga kini mereka mengorbitkan diri sendiri, menjadi terlalu sederhana. Dengan sedikit, bahkan nyaris tidak ada pembelajaran yang dialami. Setidaknya, tidak ada yang mengajak penonton terinvolved.

singintro-import
Yang namanya Gina bukan si gajah, tapi Suki si kritikus lol

 

Cukup banyak diberikan porsi adalah tentang Ash yang berusaha membujuk Calloway – si singa legendaris – untuk kembali manggung. Relationship mereka ini bakal jadi hati film, jika memang dibahas lebih mendalam. Ash sudah seperti berkonfrontasi dengan dirinya dari film sebelumnya, dan Calloway juga punya konflik yang mudah menyentuh emosi kita semua. Namun bagian yang harusnya bisa jadi plot utama kedua film ditampilkan terlalu telat. Dan walaupun cukup banyak, tapi melihat dari bagaimana bagian mereka diposisikan – seringkali seperti selipan di antara adegan-adegan persiapan show – sepertinya studio memang menolak untuk menonjolkan ini. Sama seperti persoalan plot masing-masing karakter tadi, studio seperti gak mau penonton lebih fokus ke meresapi drama-drama itu. Studio maunya penonton nyanyi-nyanyi aja.

Bukannya mau nuduh, hanya saja, memang jadi terasa seperti studio gak percaya kalo penonton anak-anak akan bisa menyelami perasaan karakter. Dan bukan hanya film ini, banyak film lain yang seperti merasa mereka perlu ‘melindungi’ penonton (dan bukan hanya anak-anak!) dari real emotion. Film Backstage baru-baru ini contohnya. Seolah real emotion itu momok yang bikin film jadi berat. Seolah real emotion itu bahaya untuk hiburan penonton. Padahal kalo dipikir-pikir, ngasih cerita yang soulless kayak gini, yang hanya berisi lagu-lagu supaya happy, justru lebih mengkhawatirkan. Menumbuhkan penonton yang gak mau memikirkan perasaan for the sake of hiburan.

Salah satu kritikanku untuk film pertama Sing adalah kurang banyak lagu original. Film ini ‘menjawab’ itu dengan melipatgandakan jumlah lagu-lagu populer. Sebenarnya enggak masalah jika lagu-lagu itu adalah penampilan para karakter di panggung show mereka. It’s okay kalo gimmick franchise ini memang pertunjukan musikal dari karakter hewan yang mengcover lagu asli dari dunia kita. Aku suka kok, final show film ini. Terutama pas Halsey nyanyiin lagu Could Have Been Me. Dibikinnya lagu rock itu jadi kayak pop, yang buatku masih keren dan worked (walau greget dari lirik “Wrrraapped in your regret” dari vokalis The Struts tetap tak-bisa tergantikan). Akan tetapi, film kali ini juga lebih banyak menggunakan lagu cover untuk adegan-adegan yang gak perlu ada lagunya. Nyaris setiap ada adegan baru, film akan memutar lagu populer. Mereka juga bermaksud lucu-lucuan dengan penempatan lagu-lagu itu. Tapi ya jadinya annoying sekali. Film udah jadi kayak klip musik ketimbang cerita.

 

 

Lagu-lagu selingan itu jadinya mendistraksi. Karena memang untuk distraksi itulah film memasukkan banyak sekali mereka. Film gak mau penontonnya merasa berat atau bosan oleh cerita. Apalagi ini film anak dengan tema bisnis atau panggung hiburan. Jadi film merasa perlu untuk masukin musik populer sepanjang waktu. Lagipula bukankah lagu-lagu pop itu yang bikin film pertamanya laku? See, ironis film ini sendiri lebih mikirin jualan. Menjadikan bakat menyanyi dan desain karakternya yang lucu tidak sekalian sebagai penghantar cerita dengan real emotion. Film ini bisa menjadi keduanya secara berimbang, tapi memilih untuk jadi dangkal. Jadi nyanyi-nyanyian nostalgia semata. Cerita dan pembelajaran karakternya dibiarkan sederhana saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SING 2.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana menurut kalian tentang ajang-ajang pencarian bakat di televisi?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2021

 

Pertama-tama (biarin deh kayak orang pidato) aku mau ucapin maaf dulu karena tahun 2021 aku cuma sedikit sekali ngereview film. Total hanya 110 film yang terulas, padahal banyak yang rekues review beberapa film, ampe beberapa kali. Tapi aku selalu nontonnya telat, dan kemudian ketinggalan lantaran mulai banyak film yang keluar.  Sementara bioskop, di tengah tahun sempat buka, lalu tutup, dan rame lagi di akhir. Dan aku honestly gak bisa langsung ikut kembali ke bioskop karena paling males harus install-install aplikasi. Jadi, ya maaf kalo kalian yang bolak-balik ngecek ke blog ini untuk bahas soal film terbaru, dan kecewa ngeliat gak ada reviewan.

But also, aku mau terima kasih sama kalian-kalian yang masih mau-maunya ngecek ke blog ini. Meskipun reviewnya tidak hadir secepat biasanya, tidak sebanyak biasanya. Terutama sih, terima kasih karena masih peduli sama film. Masih tertarik untuk membahas dan ngomongin film, for the sake of the movies themselves. Bukan sekadar untuk asik-asikan atau keren-kerenan diri sendiri. Masih hobi berbondong-bondong meramaikan bioskop. Ataupun begadang demi nonton special screening di komputer.

Jadi, untuk tidak memperpanjang mukadimah (tuh kan jadi beneran kayak pidato Pak RT!), langsung saja disimak list delapan film teratas pilihan My Dirt Sheet. Walaupun sedikit, kompetisi kali ini tidak kalah ketat. Honorable Mentions kukurangi lagi dari 15 kini menjadi hanya 12 untuk membuat daftar ini tetap menarik. Dan perlu diingat, teratas di sini maksudnya memang terbaik, tapi bukan ‘terbaik’ terbaik. Melainkan ‘terbaik’ according to me, baik itu sebagai tontonan hiburan, tontonan bergizi, ter-relate ke diri sendiri, dan bahkan sebagai komposisi list yang menarik. Yea, singkatnya, subjektif. Film kesukaan kalian gak kesebut? Well, kalo ternyata aku sudah nonton, ya tinggal kita obrolin di komen. Kalo aku belum nonton? you can convince me untuk menyaksikannya segera. (Kecuali favorit kalian itu adalah Eternals atau Penyalin Cahaya; alias yang ada rilis di Januari. Mereka kubikin bersaing di 2022 saja).

 

 

HONORABLE MENTIONS

  • Censor (psikologikal horor yang dibikin sebagai tribute untuk film-film horor jadul yang gore dan nasty abis. Disturbingnya lipat dua!!)
  • Last Night in Soho (horor penuh gaya, dengan duo pemain yang cakep. Aku merasa relate banget karena pernah bikin film pendek dengan konsep cermin yang serupa)
  • Minari (drama keluarga yang ingin sukses di rantau ini sangat menyentuh, dan somehow menginspirasi)
  • Saint Maud (begini nih kalo halu sama iman dan kepercayaan!!)
  • Spider-Man: No Way Home (experience nonton paling gila yang bisa kita rasakan!)
  • Stillwater (meski diwarnai kontroversi, tapi ini adalah drama dengan konteks karakter dan politik sangat kuat. Plus ada relationship figur ayah dan anak yang sangat heartwarming)
  • The French Dispatch (film tapi sebenarnya adalah majalah! bingung kan?)
  • The Green Knight (dongeng ksatria pengecut yang diceritakan lewat visual yang magis dan breathtaking)
  • This Is Not a Love Story/Bukan Cerita Cinta (hidden gem di perfilman Indonesia. Dimainkan dengan sangat natural)
  • tick, tick…BOOM! (penampilan akting keren Andrew Garfield di musikal paling relate; siapa sih yang gak galau sama umur?)
  • Till Death (ku sangat surprise sama Megan Fox dan film ini)
  • Titane (Kucumbu Tubuh Indahku versi cewek, dan versi lebih brutal)

Serta, Special Mention marilah kita panjatkan ke hadirat The Medium, yang pada 2021, ulasannya paling banyak dibaca di My Dirt Sheet. Dan kepada The East yang mecahin rekor view video ulasan terbanyak di Youtube My Dirt Sheet.

 

Dan, inilah TOP-EIGHT MOVIES 2021!!

 

 

 

8. THE SUICIDE SQUAD

the-suicide-squad-2021-banner-art-8k-du-1366x768

Director: James Gunn
Stars: Idris Elba, John Cena, Margot Robbie
MPAA: Rated R for strong violence and gore, language throughout, some sexual references, drug use and brief graphic nudity
IMDB Ratings: 7.3/10
“Rats are the lowliest and most despised of all creatures, my love. But if they have purpose, so do we all.”

James Gunn actually did the impossible: Ngasih perspektif dan development kepada segitu banyak karakter! Dan dia melakukan itu tetap dengan penuh gaya.

Gak ada karakter yang gak berguna, sekalipun mereka mati, film memberikan sesuatu kepada mereka sehingga kita mengingatnya. Gunn actually memulai dengan swerve, tapi itu sama sekali tidak menghambat ataupun terasa seperti kecohan yang ngebecandain kita. Melainkan dilakukan dengan bersenang-senang dan efektif sebagai pengeset mood pada naskah. 

The Suicide Squad jadi salah satu film paling rame seantero 2021. Aksi-aksinya brutal (karena Gunn enggak shy away dari kenyataan bahwa protagonis ceritanya adalah orang-jahat semua), karakternya unik (grup protagonisnya menarik semua, tidak ada satupun yang satu dimensi, tidak ada satupun yang cuma ‘receh’), dialog-dialog kocak, dan visual yang benar-benar tepat mengenai estetik komik.

My Favorite Scene:
Dari Rat Girl yang steal the show hingga ke Polka Dot Man yang melihat ibunya di mana-mana, film ini berjalan cepat dengan nampilin begitu banyak adegan memorable. Favoritku adalah adegan ketika the squad menyerbu Jotunheim. Berantem dengan latar hujan itu sungguh ngasih intensitas dan jadi panggung yang menarik. Kreativitas Gunn kayaknya keluar semua di situ!

the-suicide-squad-rain

 

 

 

 

 

 

7. BLOOD RED SKY

AAAABdZVhCiwnfZ0fJKLgSYtsGUgJ2KE9OoYPQW7QzR1PdpiHsMbSJFPleDByWj7fCWs-8cdvUFE5ns2OoIkWcHBg8dl8LJREa4gFLKwIsZhvK028a3g0K8EbyTqrSa5fg

Director: Peter Thorwarth
Stars: Peri Baumeister, Carl Anton Koch, Alexander Scheer
MPAA: TV-MA
IMDB Ratings: 6.1/10
“Did you drink blood?”

Criminally. Underrated.

Blood Red Sky adalah campuran dari thriller pembajakan pesawat, teror di ruang tertutup, drama seorang ibu, dan juga cerita tentang vampir. Dan walaupun si ibu itu adalah vampir yang berusaha menolong anaknya dari teroris, cerita tidak pernah membuat semuanya mudah. Intensitas selalu naik pada setiap adegan, karena film terus saja memberikan rintangan-demi rintangan. Semua itu berkumpul menjadi sajian mendebarkan, horor yang paling aku ingat sepanjang tahun, sementara juga menyentuh lewat perjuangan ibu terhadap anaknya.

Dewasa ini, horor udah jarang yang berimbang kayak gini. It’s either terlalu artsy, atau terlalu campy dengan jumpscare dan segala macam kekonyolan. Blood Red Sky tampil seperti horor dari era yang lalu. Yang bisa bikin kita duduk tegang, meringis oleh kekerasannya sangat eksplisit, jengkel setengah mati oleh villain yang over-the-top, sambil memikirkan psikologi di baliknya. Dan akhirnya terenyuh oleh hatinya. Coba deh ajak ibumu nonton bareng ini di Hari Ibu

My Favorite Scene:
Hubungan ibu dan anak jadi denyut emosi film ini. Momen paling sedih buatku saat Elias berusaha ngasih comfort dengan sesantai mungkin ke ibunya, menjaga dari matahari, ibunya yang sudah hampir kalah dalam perjuangan melawan naluri zombie, fully knowing bahwa berkat perjuangan berat ibunya itulah mereka masih hidup pagi itu

1ca4bf_f45e2b496622447b8da679b6db4aa851_mv2

 

 

 

 

 

6. THE FATHER

The-Father

Director: Florian Zeller
Stars: Anthony Hopkins, Olivia Colman, Imogen Poots
MPAA: Rated PG-13 for some strong language, and thematic material
IMDB Ratings: 8.3/10
“There’s something doesn’t make sense about this. Doesn’t make sense.”

Dari ibu dan anak laki-lakinya, kita beralih ke cerita tentang ayah yang bikin bingung anak perempuannya. Karena si ayah ini mengidap alzheimer, yang perlahan semakin parah. Membuatnya lupa bukan hanya letak jam tangannya, melainkan siapa dirinya, di mana dan kapan dia berada sekarang.

Tahun lalu ada film Relic, yang juga masuk Delapan-Besarku, yang juga bercerita tentang penyakit mengerikan ini. Tapi dengan elemen horor. The Father bercerita lewat drama dan dialog, tapi tetep terasa sama seramnya. Dan bahkan lebih menyayat hati. 

Film ini unggul bukan saja berkat penampilan akting Anthony Hopkins – living legend – yang luar biasa. Tapi juga berkat penceritaan yang benar-benar membuat kita berada di dalam sepatu karakter Anthony. Yang bisa lupa semua hal begitu saja sedari dia bangun tidur. Film akan menampilkan ruangan yang berbeda (furnitur dan letaknya), memperlihatkan karakter anak yang diperankan oleh artis yang berbeda-beda setiap adegan, sehingga kebingungan itu benar-benar kita rasakan. Maka kita menjadi semakin peduli dan semakin termasuk ke dalam cerita, dan juga kepada meluluhlantakkannya akibat dari penyakit ini.

My Favorite Scene:

Lihat betapa drastisnya perubahan si ayah seiring percakapan seringan kenalan ama pengasuh baru, dan bagaimana sang ayah tampak asing bagi anaknya.

 

 

 

 

 

 

5. YUNI (versi festival)

3350885204Director: Kamila Andini
Stars: Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Dimas Aditya
MPAA: TV-MA
IMDB Ratings: 8.0/10
“Mending makan cilok!”

Yuni suka warna ungu, nyanyi, makan cilok, silat. Yang tidak Yuni suka adalah dilamar. Karena Yuni masih sekolah, dia ingin ke perguruan tinggi. Yuni adalah cerita yang efektif sekali menggambarkan perempuan muda yang merasa terkurung pribadinya oleh pandangan sekitarnya terhadap perempuan beserta segudang pamali. Membahas perkawinan anak lewat sudut pandang remaja perempuan dengan cara yang sangat tenang tapi menyanyat hati.

Ada dua versi film Yuni. Tapi menurutku, hanya versi untuk tayang di festival saja yang benar-benar pantas disebut sebagai film Indonesia terbaik di tahun 2021. Versi festival benar-benar terstruktur untuk kita menyelami perasaan Yuni yang semakin merasa sendirian. Kuatnya, tidak seperti Lady Di di film Spencer, Yuni tidak pernah mengantagoniskan. Dia berusaha memahami pamali. Konflik seringkali hadir dari tindakan ‘perlawanannya’ tersusul oleh rasa cemas kalo dia telah melanggar ‘aturan-tak-tertulis’ tersebut.

Meskipun gagal di Oscar, dan meskipun versi bioskopnya lebih disukai karena ada nyanyi-nyanyi dan berakhir dengan soften the blow, aku rasa kita semua sepakat Yuni telah menyentuh hati kita. Seperti puisi.

My Favorite Scene:
Penolakan pertama yang dilakukan Yuni udah kayak adegan karakter yang harus membunuh untuk pertama kalinya untuk bisa survive dalam film-film thriller/horor. Perhatikan gimana sedari awal Yuni berjalan, terus mengkonfrontasi si cowok, dan bagaimana Yuni mengulangi kalimat menolak lamaran itu. Great acting, great writing, great directing!

maxresdefault (1)

 

 

 

 

 

 

4. THE MITCHELLS VS. THE MACHINES

AAAABSYF6Rln4hC-Aj5mdZIvmyGIOv4_E3Zoitx0VpDN7kan5rqvyhVIzXnjE-q0mQ8s9GpZee9FOm-3-3HPo_P40AcAfUD-YK-6OQmIlD-wruf-viRwOdSN9io9co4n5g

Director: Michael Rianda, Jeff Rowe
Stars: Abbi Jacobson, Danny McBride, Maya Rudolph
MPAA: Rated PG for action and some language
IMDB Ratings: 7.7/10
“My parents haven’t figured me out yet. To be fair, it took a while to figure myself out.”

Katie Mitchell adalah kita, hobi banget ama yang namanya film. Sampai-sampai dia giat membuat film pendek lucu-lucuan dari berbagai kreasi sendiri. Dan ya, Katie Mitchell adalah kita, yang hobinya tidak disetujui orangtua. In that way, film ini adalah cerita yang langsung gampang kita pedulikan. Hebatnya, film ini menomorsatukan kreasi penceritaan, kehebohan visual. Dan dapatlah kita animasi petualangan super konyol yang bakal terus menghibur dan menyentuh, sedari awal hingga akhir.

Visualnya dibikin sebagai karakter tersendiri. Film ini menggunakan estetik internet dan dunia sosmed, yang tidak hanya sebagai gimmick. Melainkan benar-benar menyatu ke dalam cerita. Kadang film ini terasa terlalu cepat, sehingga kita merasa perlu untuk mempause dan mengulangnya kembali. Bahkan jika kita benar-benar melakukan itu, film tidak akan menjadi bosan. Berkat humor dan dialog yang cerdas di atas karakter-karakter eksentrik yang menyerempet over-the-top itu.

Elemen petualangan bareng keluarga menambah keseruan film ini ampe pol! Tema yang diangkat adalah seputar teknologi, yang actually responsible dalam memperlebar jarak antara anak dengan orangtua. Membuat mereka semakin susah berkomunikasi. Dan walaupun musuh mereka memang robot-robot, film berimbang, tidak benar-benar menjadikan teknologi itu sebagai mutlak antagonis. Ada momen-momen menyentuh ketika orangtua berusaha memahami hobi anaknya dengan nekat mencoba masuk ke dunia teknologi. Bahkan ada adegan ketika ayah Katie harus bisa komputer dulu demi menyelamatkan anaknya

 

My Favorite Scene:
Begitu banyak komedi-komedi dan momen konyol di film ini. Film pun sempat-sempatnya masukin komentar kocak soal perilaku manusia yang telah jadi tergantung sama internet.

 

 

 

 

 

 

3. ANNETTE

c4f5dbff4b44f77ebde5790a94bf515acb4f34fc1df4cf953213db300f706e04-rimg-w523-h296-gmir

Director: Leos Carax
Stars: Adam Driver, Marion Cotillard, Devyn McDowell 
MPAA: Rated R for sexual content including some nudity, and for language
IMDB Ratings: 6.4/10
“Now you have nothing to love.”

Keanehan The French Dispatch hanya bisa disaingi oleh karya Leos Carax ini. Urusan cinta memang rumit dan aneh. Annette menceritakan cinta ‘palsu’ antara dua selebriti panggung yang menghasilkan anak berupa boneka kayu, dengan gaya teater musikal. And I love, every second of this movie.

Dialog-dialog yang dinyanyikan, dengan pengadeganan yang sureal dan hampir semua hal di layar itu tampak artifisial. Awalnya tampak seperti kisah romansa yang manis, tapi kemudian berubah menjadi rencana pembunuhan yang elaborate, ke eksploitasi anak. Karakter pun makin membuat dirinya tak disukai. Dan memang itulah yang diniatkan. Yang dirancang. Memang, akibatnya film ini tidak gampang untuk disukai banyak orang. Tapi dengan begitu, dia sukses menyampaikan gagasan yang dikandungnya. Bahwa manusia adalah makhluk yang tragis ketika kita menganggap hidup adalah panggung. Mungkin paling tepat jika kita menyebut Annette sebagai sebuah opera horor.

Dengan konsep dan konteks seperti demikian, film menjelma menjadi sebuah sajian yang cantik. Aneh iya, tapi cantik. Carax terus ngepush quirk filmnya tersebut. Penampilan para aktor pun jadi ikut terdorong. Akting-akting di sini begitu intens, dan kadang memang membuatku sedikit ngeri juga. Melihat Adam Driver semakin berpusar turun as a human, seiring dengan rash di wajahnya membesar, kadang membuatku takut, tapi kemudian kasian. Benarlah film superaneh, sukar dimengerti kalo terlalu fokus cerna nyanyiannya, ini mampu bikin kita turun naik.

 

My Favorite Scene: Banyak orang akan mengingat adegan ML sambil nyanyi, ataupun adegan baby annette melayang sambil nyanyi. Tapi buatku, yang paling ngena adalah adegan terakhir di penjara. Annette yang udah jadi manusia, dialog sama bapaknya. Feels so unreal. Sampai sekarang pun kalian masih akan mendengarku menyenandungkan lirik dan irama nyanyian mereka.

 

 

 

 

 

 

2. CODA

CODA-1

Director: Sian Heder
Stars: Emilia Jones, Troy Kotsur, Marlee Matlin
MPAA: Rated PG-13 for strong sexual content and language, and drug use
IMDB Ratings: 8.1/10
“You know why God made farts smell? So deaf people could enjoy them too.”

Coda pada dasarnya punya cerita yang sama seperti The Mitchells vs. The Machines. Bakat Ruby gak bisa didengar oleh orangtuanya. Tapi itu karena keluarga Ruby literally gak normal. Ibu, ayah, dan abang Ruby tuli. Dan setting keluarga tersebut eventually membuat Coda menjadi drama keluarga, cerita remaja, yang sama sekali berbeda.

Film ini mengembangkan karakter-karakter tulinya dengan hormat. Dan itu bukan dalam artian karakternya dijaga dan gak dikasih apapun yang negatif. Tidak. Melainkan hormat karena mereka dibuat tidak meminta simpati. Tidak malu dengan kekurangan mereka dalam hal apapun. Drama film ini datang dari Ruby yang gak lagi bisa terus menjadi telinga bagi keluarganya, karena dia sekarang harus mulai membangun hidupnya sendiri. Problematika yang dipersembahkan film ini lewat Ruby, terasa real dan relate. Makin real dan hormat karena film ini melakukan hal yang benar dalam merepresentasikan karakternya.

Perspektif juga dijaga sekali oleh film ini. Tahu kapan harus menarik semua suara dan membuat kita merasakan sepenuhnya yang dirasakan oleh karakter. Selain permasalahan keluarga yang menyentuh hati, film ini juga punya adegan-adegan musik yang indah, adegan khas remaja yang sweet, there are just so many lovable and enjoyable things di film ini.

My Favorite Scene:
Adegan Ruby duduk bersama ayahnya, kemudian dia bernyanyi kepada ayahnya, dan ayahnya mengerti. Truly momen ayah-anak paling kuat seantero film 2021. 

 

 

 

 

Cerminan ideologi, refleksi kasih sayang ibu, gambaran suram penyakit, potret opresi perempuan, perwakilan tunarungu, simbolisme kehidupan keluarga modern, keluarga public figur. Jika representasi adalah hal yang penting untuk dilakukan oleh film, maka aku pun mulai berpikir film apa yang kira-kira cocok untuk melambangkan perjuangan kita semua di era pandemi. Memang dua tahun belakangan ini, ada banyak film yang mencoba untuk menceritakan kehidupan kita tersebut.

Film yang kunobatkan sebagai terbaik tahun ini adalah film yang mencuat karena telah menjadi sindiran yang sangat telak kepada kita semua. Film terbaikku tahun ini adalah sebagai penanda jaman, yang kuharap sepuluh tahun lagi kita bisa menontonnya. Dan barulah saat itu kita semua benar-benar tertawa dibuatnya. Karena kita telah berhasil survive dari yang ia gambarkan.

 

 

1. DON’T LOOK UP

dont-look-up

Director: Adam McKay
Stars: Leonardo DiCaprio, Jennifer Lawrence, Meryl Streep
MPAA: Rated R for language throughout, some sexual content, graphic nudity and drug content.
IMDB Ratings: 7.3/10
“You guys, the truth is way more depressing. They are not even smart enough to be as evil as you’re giving them credit for.”

Lucunya, film ini sama sekali tidak bicara tentang pandemi virus.

Dan itulah yang jadi bukti bahwa satir dan sindiran film ini bekerja dengan sangat efektif. Dua astronom yang menemukan komet hendak menabrak bumi, malah disepelekan, dijadikan alat politik, Presiden lebih mendengar kata bisnisman dan berusaha mengambil keuntungan dari bencana yang sedang otw ketimbang mengambil tindakan pencegahan yang aktual. Ada begitu banyak kemiripan untuk dianggap sebagai kebetulan. Film ini pastilah meniatkan. Film ini pastilah sedang mengutarakan sikap dan pandangan. 

Sindiran itu bukan hanya untuk pemerintah. Untuk kita juga. Karena dari dua astronom itu, yang satu dijadikan bintang televisi sementara yang satu dianggap gila. Kita masih tertarik pada hal-hal yang gak perlu. Pada kecantikan/kegantengan, pada gosip, pada konser-konser dan selebrasi lainnya. Kita mudah kemakan media, yang memang lebih peduli sama rating. Kegocek pengalihan isu dari pemerintah. Tapi bukan hanya sindiran saja, sebenarnya film memperlihatkan kekuatan dan kelemahan kemanusiaan dengan imbang. Hanya manusianya saja yang lebih cenderung memilih yang bego.

Semua itu dilakukan McKay lewat penulisan yang sangat cerdas. Bukan hanya menyindir kita, dia juga mampu membuat cerita dua astronom ini legit dengan struktur skenario yang solid. Gerak kamera dan editing juga efektif dalam menampilkan tone. Tidak sekalipun film tergagap menangkap dan menghidupkan banyak karakter, yang dimainkan oleh ensemble cast yang luar biasa. Bintang-bintang itu bukan di atas sana, tapi di layar kita.

My Favorite Scene:
Buatku inilah film penanda jaman yang tepat. Era pandemi dan era idiocracy digambarkan dengan telak. Ada satu scene yang membuatku ngakak banget, yaitu ketika presiden Meryl Streep ngingetin Leonardo bahwa dia sekarang di lingkaran penguasa di atas. Presiden ngewhip out rokoknya, dan di latar kita melihat mereka berada di ruangan inflamable. Sungguh komentar yang ngena terhadap pemerintah.

kogprogdfd - Copy

 

 

 

 

 

So, that’s all we have for now.

Demikian daftar Top Movies 2021 ini kami tulis. Apabila ada salah-salah kata, lebih dan kurangnya kami ucapkan maaf dan terima kasih.

Apa film favorit kalian di tahun 2021? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2022?

Share with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are…


Tambahkan judul - Copy

We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

 
 

BACKSTAGE Review

“A sister is both your mirror —and your opposite.”

 

 

Dunia panggung hiburan yang gemerlap ternyata juga ada hantunya. Tapi hantu di sini bukan hantu yang mati penasaran itu, melainkan yang penasaran pengen merasakan jadi bintang yang dipuja banyak orang tapi gak bisa karena fisik yang gak menjual. Fenomena ‘ghost singer’ – penyanyi yang suaranya dipakai sebagai suara orang lain – memang tak selangka yang kita kira. It happens every so often. Bahkan di Hollywood jaman old aja udah dinormalize aktor-aktor ngelip sync adegan musikal dengan menggunakan suara orang lain. Seperti yang kemudian dieksplorasi dalam cerita film Singing’ in the Rain (1952). Bahasan ghost singer dalam film-film memang biasanya seputar industri dan tentang tubuh (yang suaranya bagus biasanya yang kurang atraktif dibandingkan yang mau diorbitin sama produser). Backstage garapan sutradara Guntur Soeharjanto juga bercerita dengan panggung ghost singer. Tapi drama musikal ini punya lapisan yang lebih membumi, lebih personal. Karena film ini actually lebih banyak bicara soal persoalan kakak beradik perempuan. Bagaimana yang satu selalu ada bagi yang lain, meskipun perlahan itu memakan dirinya dari dalam.

Ngecast kakak-adik beneran jadi shortcut yang sangat kita apresiasi. Chemistry Sissy Priscillia dan Vanesha Prescilla menguar, drip out of screen, setiap kali mereka beradegan berdua. Benar-benar menambah banyak untuk realisme film. Sissy di sini jadi Sandra. Kakak yang sayang banget sama adiknya, sekaligus jadi tumpuan keluarga mereka. Vanesha jadi Elsa, adik yang lebih naif dan punya mimpi jadi aktris terkenal. Saat kafe tempat mereka bekerja bangkrut, mereka berdua bikin video Elsa bernyanyi lip sync pake suara Sandra, untuk audisi film. Tembus dong! Produser yang juga lagi kepepet, memilih untuk mengorbitkan Elsa sebagai penyanyi. Dengan memakai suara dan lagu Sandra. Awalnya Sandra ragu, karena itu membohongi publik dan resikonya besar. Tapi demi sang adik, dia bersedia. Video mereka diupload. Dan viral. Elsa terkenal. Mereka sudah on the way luncurin album. Tapi Sandra nelangsa. Kontrak menyebut dia tidak lagi boleh kelihatan bersama adiknya. Tidak mendapat kredit, namanya bahkan tidak muncul dalam pemberitaan soal keluarga Elsa. Things dengan cepat menjadi out of sync bagi hubungan persaudaraan mereka.

backstage1099676036
Elsa <knock knock knock> do you want to build a trouble?

 

Sudut pandang cerita ditampilkan berimbang. Elsa juga disorot. Bahwa itu semua juga tidak mudah baginya. Kita akan melihat ‘perasaannya’ ketika mau nampil. Film juga membawa kita masuk ke dalam Elsa, bahkan lebih sering ketimbang kepada Sandra. Walaupun dia bisa akting, tapi pura-pura bernyanyi – actually tampil live di depan orang-orang -tetaplah tidak gampang. Sebab Elsa tidak hanya ngerekam suara atau syut music video. Dia juga harus konser di atas panggung. Kita diperlihatkan bahwa dia juga, katakanlah stress menjaga rahasianya , dan semakin gamang juga dengan apa yang ia lakukan. Teruskan atau tidak. Terlebih karena ini adalah passionnya. Itu semua menguatkan karakternya yang memang tidak bisa jauh dan sebenarnya sangat membutuhkan sang kakak. 

Tentu, adegan musikalnya bakal bikin kita “bernyanyi-nyanyi” kayak lagi karaokean lagu-lagu pop populer. Lagu original film ini pun nendang dan indah banget, but I don’t wanna talk too much about them. Harus tonton, dengar dan rasakan sendiri! Pembawaan dan penempatan sekuens lagu-lagu itu juga tampak diperhatikan. Film menyesuaikannya dengan rancangan mood. Sehingga walaupun sering juga ditampilkan dengan sedikit terlalu banyak cut, membuat agak susah melihat koreografi seperti susah melihat adegan aksi dalam film action yang banyak cut-to-cutnya, kita tidak terlepas dari emosi. Dan karena enjoy, somehow kita memaklumi. Misalnya ketika adegan opening, banyak cut tapi kayak it’s okay karena ternyata adegannya semacam ‘dream sequence’. Atau ketika nyanyi di panggung, kamera juga udah kayak ngerekam konser beneran, dan kita menontonnya dari layar operator yang banyak sekali monitor dari berbagai sudut panggung. Dan tentunya juga, drama backstage industri entertainment di cerita ini – betapa fakenya semua, betapa mereka hanya melihat bakat dan bahkan kecantikan sebagai produk untuk dijual – bakal bikin kita geregetan.

Tapi sebenarnya hubungan kakak-adiklah yang jadi inti dan hati cerita. Strip film ini dari setting ghost singer dan musikalnya, maka sebenarnya Backstage adalah cerita tentang persaudarian yang ternyata bisa lebih kompleks dan lebih emosional dibandingkan dengan saudara cowok dengan cewek atau cowok dengan cowok. Ini bukan sekadar soal menjaga adik, atau soal saling berkompetisi. It is kinda both. Sandra ingin membantu adiknya mencapai cita-cita, tapi tentu saja dia juga punya cita-cita sendiri. Dan sekarang si adik ini justru mengambil cita-citanya. Si adik yang selama ini mengikuti dirinya, kini berada di depan. Casting a shadow untuk dirinya di dunia yang, katakanlah, tadinya miliknya, sehingga kini justru dirinya sendiri harus menghilangkan diri dari sana. Perihnya, Sandra gak bisa apa-apa karena dia sendiri yang mengizinkan itu terjadi sedari awal. Inilah yang bikin semuanya perih. 

Penyair Amerika Lousie Gluck bilang dari dua sisters, akan selalu yang satu jadi penonton sementara yang satunya menari. Yang menonton akan meniru yang menari, lalu kemudian dinamika tersebut akan berbalik. Inilah yang juga terjadi pada Sandra dan Elsa. Inilah yang harus mereka pecahkan bersama. Masing-masing harus menyadari bahwa mereka bukanlah bayangan satu sama lain, melainkan pantulan. Mereka bisa menari – atau dalam kasus film ini – menyanyi bersama.

 

Meski memang aspek emosional itu terasa juga pada akhirnya, walaupun kita mengerti konflik di antara kedua karakternya di balik potret ghost singer, tapi sebenarnya film ini tidak mulus dalam penceritaannya. Naskah tidak benar-benar fokus pada karakter dan perspektif mereka berdua. Like, soal stake saja misalnya. Menurutku justru lucu sekali yang punya stake duluan di cerita ini adalah karakter produser. Kita dibuat mengenali masalah dia, bahwa ini adalah proyek terakhirnya, sehingga dia gak boleh gagal mengorbitkan bintang. Film berjalan dengan hal tersebut sebagai taruhan. Sementara bagi Sandra dan Elsa, mereka butuh duit, dan enggak sampai satu jam, kita udah lihat keberhasilan mereka. Dari rumah sederhana ke rumah mewah seiring suksesnya Elsa. Di titik itu, sekalipun mereka gagal, yang paling ‘mati’ adalah si produser. Stake Sandra dan Elsa – beserta perspektif mereka – seharusnya dikuatkan lagi. Salah satu di antara merekalah (tergantung mana yang mau dijadikan karakter utama) yang harusnya push ide penyanyi bayangan itu karena butuh duit. Itu akan memberikan lapisan personal kepada karakter, sehingga tekanan lebih besar dan ceritanya jadi fokus kepada kedua sentral ini aja.

Karena memang ini adalah cerita yang menggali personal karakter. Tapi pengembangan yang dilakukan film, malah dari luar. Si produser, terus ada karakter seleb cowok yang tau rahasia mereka tapi lantas jadi seperti jatuh cinta sama Elsa, dan banyak lagi elemen romansa yang benar-benar diniatkan. Ini membuat permasalahan yang jadi topik utama kayak poin-poin saja. Sandra ragu untuk setuju. Lalu Sandra senang videonya viral. Lalu Sandra ngerasa dikucilkan. Sandra marah. Di antara poin-poin itu diisi oleh kejadian dari luar sebagai penggerak plot. Dan kejadian itu gak semuanya kokoh, like, ada yang konyol kayak Sandra ketauan nyanyi di Panti, membuat mereka dimarahi karena melanggar kontrak. Anehnya kontraknya kan soal gak boleh tampil berdua saja, sementara Sandra nyanyi sendirian. Gak ada Elsa di situ.  Turns out, peristiwa tersebut ternyata bukan masalah genuine. Naskah gak perlu sebenarnya pake yang ribet kayak gini. Karena inti kakak-adik itu sudah cukup jika benar-benar dari situ saja menggalinya.  

backstage-4--600x330
Not on this picture: Vanesha kebanting ama Sissy

 

Sejak suara Sissy nongol jadi suara Milea dalam Dilan 1990 (2018) aku udah penasaran pengen melihat dua kakak beradik ini adu akting bareng. Apalagi mereka berdua ini mirip bangeeettt… aku surprise pas menjelang Gadis Sampul 2014 ada finalis yang mirip ama Sissy, dan ternyata memang adiknya. Cuma waktu itu aku belum tahu kalo Vanesha juga bisa akting, taunya cuma bisa nyanyi. Jadi film ini benar-benar menjawab rasa penarasanku. I’m happy for them, pastilah seru akting bersama saudara sendiri, di film musikal pula. Dan ternyata mereka berdua memang klop. Meskipun jika ditengok lebih dalam, akting Sissy lebih kuat. Range karakter diterabasnya dengan mantap. Vanesha belum konsisten. Kadang bagus, kadang terdengar kurang masuk dengan karakternya, khususnya pada adegan-adegan yang menuntutnya bermain lebih emosional. Dan ada tantangan dalam karakternya yang aku bingung antara dia berhasil atau tidak. Yakni soal Elsa yang tidak bisa bernyanyi. Tapi ada nanti adegan Elsa nyanyi, dan buatku suaranya fine kok. Penonton yang ada film pun tidak menunjukkan reaksi. Enggak sejelek butuh untuk didubbing oleh suara orang. Aku jadi gak yakin apakah Vanesha sulit akting bernyanyi jelek, atau memang film meniatkan bahwa sebenarnya Elsa bisa bernyanyi tapi dia gak sadar/gak pede, atau gimana.

 

 

Dengan menonjol relationship antara dua kakak-beradik, film ini mampu menjadi cerita tentang ghost-singer dalam industri hiburan menjadi lebih emosional. Ini gak sekadar soal bakat atau mimpi yang kandas karena standar kecantikan atau sekadar soal enterainment itu jahat. Tapi inti sebenarnya adalah soal seorang kakak dan pengorbanan yang dilakukan dan bagaimana menghargai itu semua. Film ini dimulai dengan ‘lucu’ dan berjalan dengan cukup ngembang ke mana-mana, namun pada akhirnya cukup berhasil mendaratkan pesan itu. Semua tersampaikan berkat akting dan chemistry natural kedua pemain sentral. Desain produksi yang gemerlap serta musik-musik yang enak didengar serta menyentuh turut membuatnya lebih gampang untuk disukai. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BACKSTAGE.

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian punya cerita suka dan duka bersama abang/adik/kakak? Bagaimana pendapat kalian tentang persaingan di dalam keluarga?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DON’T LOOK UP Review

“It’s funny because it’s true”

 

Film-film tentang bencana selalu dimulai dari presiden yang tidak mendengarkan ilmuwan. Kalimat yang jadi meme di internet tersebut lucu, karena memang begitulah biasanya cerita-cerita bencana dalam film terjadi. Tapi kalimat tersebut mulai tidak lagi demikian lucu, ketika orang-orang menyadari kejadian itu sedang terjadi juga di dunia nyata kita. Bahwa film – karya seni – memanglah meniru kehidupan. Jadi orang-orang mulai ngebash Don’t Look Up. Komedi satir terbaru dari Adam McKay yang tega-teganya menyinggung soal reaksi pemerintah – reaksi manusia – terhadap pandemi Covid-19, di balik kedok cerita yang berdasarkan laporan jurnalis perihal perubahan iklim atau global warming. But hey to be fair, mungkin sebelum menggodok naskahnya McKay tidak meniatkan, bahkan belum tahu bakal ada pandemi. Tapi catatan dunia menangani pandemi baik itu di Amerika, hingga Indonesia, seperti menuliskan diri sendiri ke dalam naskah McKay. Sehingga dia membuat film ini seperti sebuah cerita pandemi yang tidak bicara tentang pandemi!

Jadi, kita-kita sendirilah – reaksi kita menghadapi pandemi, reaksi kita terhadap film ini – yang actually memberikan power kepada Don’t Look Up. The joke is on us. Untungnya Don’t Look Up lebih bijak daripada sekadar cerita yang menuding kebegoan umat manusia. Karena di balik komedi-gelapnya, McKay telah menggariskan bukan jawaban, melainkan lebih seperti gagasan soal lebih menghargai hidup dan kalo bisa kita semua kurang-kurangilah ego hidup di dunia fana.

lookmXkEyXkFqcGdeQWRvb2xpbmhk._V1_
Kalo kata Max Black di Twitter “Kirain drama, ternyata film comety”

 

Di mataku, McKay punya reputasi sebagai sutradara yang mampu menjelaskan banyak hal rumit dengan sederhana dan malah lucu. Seperti, ketika di The Big Short (2016) dia berhasil menjelaskan peristiwa krisis finansial 2007-2008 lengkap beserta istilah-istilah ekonomi dan perbankan dengan nada komedi yang solid sehingga aku yang sama sekali buta akan hal tersebut tidak terbengong-bengong, malahan sangat menikmati dramanya. Sehingga sekarang, bagiku menarik sekali melihat pendekatan yang ia lakukan dalam mempersembahkan masalah perubahan iklim ke dalam kiasan sci-fi tentang komet yang jatuh menimpa bumi. Yang dilakukan McKay di sini adalah membuat permasalahan iklim ataupun komet yang sering disepelekan banyak orang karena jauh alias masih lama itu menjadi terasa amat, sangat, superduper dekat. 

Bagi astronomer, nemuin komet merupakan prestasi. Bisa menamai komet dengan namamu adalah salah satunya. Tapi perayaan komet yang dilihat Dr. Mindy dan muridnya, Kate Dibiasky terpaksa harus berakhir prematur. Karena menurut hitungan, komet besar tersebut ternyata melaju menuju bumi. Tepatnya, akan membuat bumi kiamat dalam waktu sekitar enam bulan lagi. Jadi Dr. Mindy dan Kate harus segera melaporkan temuan mereka ke presiden, dengan harapan tindakan pencegahan bisa segera dilakukan. Namun, reaksi Bu Presiden, orang-orang yang berkepentingan, dan bahkan sebagian masyarakat pun ternyata tidak seperti yang diharapkan oleh Dr. Mindy dan Kate.  

Presiden yang hanya peduli sama citra. Yang cuma mau bergerak jika itu berarti keuntungan perolehan suara baginya, maka selalulah diadakan selebrasi. Media yang suka menutupi kejadian dan lebih milih mendahulukan rating. Masyarakat dan netijen yang failed untuk melihat kepentingan suatu hal, melainkan lebih tertarik pada gosip dan pada betapa gantengnya orang yang muncul di televisi. Pada gambaran-gambaran sosial seperti inilah satir dan sindiran Don’t Look Up menunjukkan performa sangar yang jadi hiburan utamanya. Bencana yang mestinya bisa cepat diatasi, jadi lama dan berlarut-larut karena bukan saja menyepelekan dan tidak percaya, pemerintah lebih suka untuk mengurusi dulu isi kantongnya. Dan orang-orang terombang-ambing sehingga akhirnya turut mengambil keputusan salah dan bego karenanya. Di sinilah kita dengan gampang menarik garis kepada penanganan pandemi yang parah dari pemerintah. Running gag soal snack gratis yang dijual oleh komandan tinggi negara itu? Yup kita gak salah jika mengaitkannya denagn keputusan pemerintah menjual kepada rakyat hal-hal yang semestinya gratis dan seesensial makanan. Film ini dibuat oleh orang Amerika yang resah sama pemerintah mereka yang pinter-pinter blo’on. Dan sebagaimana yang terbaca, lucunya, film ini juga terasa sama dekatnya bagi kita yang orang Indonesia.

Beneran, cuma perlu sedikit perubahan kok untuk membuat film ini benar-benar relate total sama Indonesia. Perubahan kayak, dituker; si Jonah Hill yang jadi presiden dan Meryl Streep jadi sosok di belakangnya yang dibecandain orang sebagai ibunya. Atau karakter bilyuner gadget yang diperankan Mark Rylance dibuat mengharuskan semua orang ngeinstall app buatannya untuk perlindungan dari komet.  I’m sorry jika terdengar terlalu political. But yea, everything is about politics. Film ini jelas dibuat berdasarkan ketidaksukaan terhadap itu. Karena padahal tidak semuanya mesti harus politik. McKay actually nulis dialog soal kenyataan sesungguhnya bahkan lebih parah, karena mereka-mereka (pemerintah) itu tidak sepintar itu untuk menjadi sejahat yang kita kira. Karena memang padahal ada hal yang lebih penting. Kesehatan, keselamatan hidup orang banyak. Keselamatan planet. Film menuliskan concernnya dengan sangat cerdas. Menyindir dengan, turns out, sangat tepat. Makanya terasa sangat lucu. 

lookvlcsnap-2021-12-25-11h42m56s324
The writing is funnier than most comedies I’ve watched this year.

 

Di balik satirnya itu, film sesungguhnya ingin memperlihatkan yang terburuk dan yang terbaik dari umat manusia. Bukan salah film kalo yang ia gambarkan jadi betul-betul relevan sehingga kayak menunjuk-nunjuk muka kemanusiaan. Karena yang ditampilkan sebenarnya berimbang. Penggalian mendalam dari sosial penanda jaman yang kita rasakan. Betapa mudahnya orang yang dijadikan meme walaupun sesungguhnya dia yang benar, itu juga digunakan untuk menunjukkan betapa lihainya kita terhadap teknologi. Menggelar konser kemanusiaan, sekilas tidak berarti langsung kepada masalah, tapi itu juga jadi bukti kuatnya persatuan jika kita semua sudah sadar. Don’t Look Up bukannya tidak ada plot. Ilmuwan Dr. Mindy dan Kate bukanlah ada di sana untuk memperingatkan semua orang dan mereka selalu benar. Masing-masing juga punya kesalahan.

Ada pilihan yang mereka ambil, yang berujung pada pembelajaran. Pada Dr. Mindy yang diperankan penuh range emosi oleh Leonardo DiCaprio, kita melihat development dari seorang profesor yang belum publish jurnal, nervous jadi pusat perhatian tapi dia pengen membuktikan diri, dan akhirnya terlena juga ketika mendapat sedikit attention dan posisi. Dan bahkan karakter yang difungsikan sebagai kompas moral seperti Kate, juga punya drama. Jennifer Lawrence jadi korban bully udah seberpengalaman DiCaprio jadi korban bencana alam; di sini Kate yang ia mainkan adalah karakter yang paling amburadul oleh kejadian. Dia yang nemuin, tapi dia yang paling diledek, diacuhkan, dikucilkan. Mencapai emosional seperti itu dengan tetap menjaga tone yang humorous jelas bukan prestasi mudah. Kate-lah yang menghantarkan kita kepada elemen agama yang dimuat oleh film ini. Elemen yang sekilas kayak di permukaan, tapi sesungguhnya punya statement yang tak kalah kuatnya. Elemen itu datang dari ‘tempat’ yang tak terduga, dan actually adalah yang paling dekat dengan jawaban yang dipunya oleh manusia di film ini. Karena lowkey film ini bicara tentang kesombongan manusia yang merasa punya power di dunialah yang membuat kiamat itu tampak berlipat kali lebih buruk.

Masih banyak lagi aktor-aktor gede yang ikut bermain di sini, dan mereka semua on-board banget dengan yang ingin disampaikan oleh film. Mereka total menghidupkan karakter-karakter mereka yang tampak konyol. See, mereka di sini tidak berusaha keras untuk tampil konyol, karakter-karakter mereka yang begitu relate dengan kejadian yang terjadi di dunia nyatalah yang membuat mereka lucu. Lucu yang ironis, yang membuat kita balik mempertanyakan diri “Mau sampai kapan kita hidup sekonyol ini?” Jadi, ya di balik komedi memang ada kesuraman yang merayap. Ada suatu ketakutan bahwa dunia kita bisa saja berakhir seperti yang diperlihatkan film. Ini membuat kita jadi sejajar dengan karakter film yang takut dunia mereka dihantam komet. 

Banyak karakter, banyak sindiran komedi, banyak dark yang melatarbelakangi, film ini tidak sekalipun tersandung dalam menampilkan semuanya. Kamera film tidak terjebak (dan tidak merasa perlu) untuk menyorot ensemble cast sekaligus dalam satu frame. Melainkan fokus kepada menghasilkan berbagai rasa yang diniatkan. Cut-to-cut film memang terkadang tampil too much pada bagian eksposisi dan pada bagian membandingkan dua kejadian sekaligus, tapi saat menguarkan komedi ataupun yang bikin kita geram, film dengan bijak fokus memperlihatkan reaksi dan ekspresi. Sehingga walaupun pace film terasa cepat, kita tidak merasa kebingungan ngikuti cerita ataupun perasaan yang diniatkan, tidak merasa ketinggalan. Semuanya tampil dengan keseimbangan luar biasa.

 

 

 

Baru inilah film yang benar-benar menjadi penanda era pandemi. Era idiocracy. Dan film ini bahkan sama sekali tidak bicara tentang virus tersebut. Tidak ada masker-maskeran, tidak ada lockdown-lockdownan. It was supposed to be kiasan global warming. Tapi kita jualah yang membuatnya bahkan terasa lebih relevan lagi.  Berisi sarkas yang dikemas ringan dan sangat menghibur, komedi dari awal hingga akhir tanpa pernah kehilangan bobot dari komentar-komentar dan sindiran yang dilayangkan. McKay menunjukkan kualitas penulisan yang cerdas. Dia paham mengolah cerita tanpa keluar dari fokus. Begitu banyak yang bisa salah dalam film ini, berkat beragamnya elemen yang dimuat, elemen yang bekerja. Dia dengan berani menghantam semua. Aku tidak akan meminta film ini untuk melambat, atau menyuruhnya berhenti mengejek kita. Seperti komet itu. Ya, seperti komet. Film ini datang sebagai cerminan atau kiasan dari yang terjadi di dunia nyata. The only time kita menunduk seharusnya adalah untuk merenungkannya.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for DON’T LOOK UP.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah keadaan di Indonesia sekarang pantas untuk dibuatkan film komedi sendiri? Genre apa yang kalian buat berdasarkan Indonesia?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

TEKA-TEKI TIKA Review

“You are a piece of the puzzle of someone else’s life”

 

Tidak mudah keluar dari zona nyaman. Butuh kemauan dan keberanian yang sama besarnya. Inilah yang dilakukan Ernest Prakasa. Sudah mendapat tempat yang kerasan di blantika film komedi, tapi Ernest malah menantang dirinya sendiri dengan membuat thriller Teka-Teki Tika. Cobaan pertama langsung menerpa. Film ini sempat dirujak netizen, dikatain nyontek Knives Out (2019). Nah, itulah kenapa kita tidak boleh main hakim hanya dari melihat trailer saja. Teka-Teki Tika sama sekali tidak mirip film whodunit tersebut. Melainkan, lebih sebagai thriller dalam lingkup keluarga, tentang apa yang telah dilakukan oleh karakter sehingga kini ia takut rahasianya itu dibongkar oleh orang. Revealing yang mencengangkan, yang jawabannya kita tunggu-tunggu, memang tetap ada. Dan boleh jadi lebih surprise daripada yang kita harapkan sebelumnya. Karena ternyata film ini adalah thriller bergaya ujar jenaka khas Ernest, dengan tambahan twist ala Shyamalan!

teka202112040754-main
Padahal bahkan si Shyamalan sendiri enggak selalu bisa bikin ‘twist ala Shyamalan’ yang berhasil

 

Sebagian besar durasi, cerita akan bertempat di sebuah rumah mewah. Milik Budiman, seorang konglomerat yang akan segera mendapat proyek besar dari pemerintah. Maka Budiman dan istrinya, mengundang dua anak mereka untuk menghabiskan akhir pekan di rumah. Arnold dan Andre, dua ‘putra mahkota’ yang siap mewarisi segala milik ayah mereka. Tapi keduanya kurang akur, punya gaya hidup berbeda, dan pandangan yang juga tak sama mengenai ‘how to do business‘. Si sulung Arnold yang datang bersama istri yang tengah hamil tua, katakanlah lebih bertanggungjawab. Namun juga lebih boring ketimbang adiknya, Andre, yang suka gonta-ganti pacar (kali ini dia membawa pacar baru yang jauh lebih muda) dan lebih mementingkan nge-club dengan alasan networking. Ada konflik yang berusaha ditarik cerita di antara mereka, sekaligus juga mengeluarkan celetukan-celetukan komedi dari enam karakter keluarga ini.

Menarik? Kurang? Well, karena itulah dihadirkan Tika. To stir things up. Malam itu Tika muncul di pintu depan rumah Budiman. Dengan gaya slengekan – yang begitu kontras dengan lingkungannya, bahkan dengan Andre sekalipun – cewek berambut seleher itu memperkenalkan diri sebagai anak kandung Budiman yang ditelantarkan. Tika gak bakal pergi sebelum mendapat yang ia mau. Dan tak segampang itu bagi Budiman dan keluarga mengusirnya, sebab Tika ternyata tahu banyak tentang rahasia semua orang di sana. 

Bukan hanya bagi Budiman, bagi kita pertanyaan-pertanyaan yang sama pun seketika bermunculan. Siapa Tika? Kenapa dia tahu begitu banyak tentang keluarga Budiman? Apakah dia berkata jujur? Apa yang sebenarnya dia mau? Misteri inilah yang jadi pondasi naskah Teka-Teki Tika. Untuk itu, kita harus peduli dulu sama para karakter lain. Karena hidup mereka seolah jadi bergantung sama Tika yang bisa saja membocorkan rahasia dan bikin keluarga kaya itu hancur berantakan. Bagaimana membuat penonton peduli sama karakter-karakternya itulah yang jadi teka-teki yang harus dipecahkan oleh Ernest selaku pembuat film. Jika ini adalah komedi, Ernest would’ve cracked the code easily. Karakter akan dibuat seunik mungkin, dengan dialog lucu dan motivasi yang mungkin kontras sedih supaya memantik drama. Tapi kali ini ranah yang dijamahnya adalah thriller. Dengan desain berupa motivasi karakter yang disembunyikan. Rahasia mereka itulah yang jadi drama. Dengan begitu, sutradara berpaling kepada hal yang ia tahu. Dialog lucu. Inilah awal kenapa tone film ini membuat cerita yang kita saksikan kurang terasa intensitasnya. Film ini masih terasa bersandar kepada komedi, padahal mestinya ia adalah cerita thriller yang membuat kita mengkhawatirkan para karakter. Sehingga membuat kita justru susah bersimpati kepada stake yang merundung karakternya.

Porsi komedi di sini memang jauh lebih sedikit dibandingkan film-film Ernest sebelumnya. Tapi, komedi itulah yang satu-satunya dipunya karakter-karakter film ini sebagai usaha untuk membuat mereka terlihat menarik. Ketika para karakter berdebat di meja makan soal mengurus bisnis, kita gak masuk ke dalam mereka. Ketika Tika ngancem mau buka rahasia pun, kita tidak merasakan apa-apa. Barulah ketika karakter pacar si Andre yang ‘lugu’ nyeletukin hal yang gak nyambung, kita tertawa. Masalahnya, celetukan dan komedi-komedi itu gak ada sangkut pautnya sama konflik atau misteri pada cerita. Obrolan intens jadi runtuh begitu saja ketika lelucon disuntikkan di sela-sela obrolan. Sindiran soal penguasa yang relevan dengan keadaan sekarang kita pun jadi sepintas lalu saja, tidak benar-benar punya weight padahal bisa dibilang merupaka tema yang konsisten dibahas dalam narasi. Para pemain pun tampak lebih rileks memainkan komedi daripada bermain serius. There’s a reason kenapa Morgan Oey, Tansri Kemala, dan Sheila Dara tampak menonjol dibandingkan yang lain. Tidak banyak yang bisa digali oleh para aktor ketika mereka disuruh untuk serius dan bermisterius.

Ungkapan kita adalah kepingan puzzle dalam hidup orang lain, biasanya bernada romantis. Film ini seperti sisi gelap dari ungkapan tersebut. Karena ceritanya menunjukkan ketidakhadiran kita dapat membuat hidup orang lain menjadi tak-lengkap dalam artian susah. Sometime, kita perlu jujur dan mengakui perbuatan supaya tidak menjadi lubang menganga dalam hidup orang di sekitar kita.

 

Sebenarnya nuansa thriller itu masih bisa digapai lewat teknis. Cut, zoom in, panning perlahan, biasanya hal-hal semacam itu dilakukan oleh kamera dalam film-film thriller untuk memperkuat intensitas suatu adegan. Namun sebagaimana thriller adalah hal baru baginya, cerita dengan ensemble karakter sebagai pusat juga merupakan hal baru bagi Ernest. Jadi concern-nya terbagi. Kita bisa melihat film ini berusaha keras untuk menampilkan variasi dari bagaimana kesemua karakter tampil dalam satu frame. Bagaimana menampilkan gambar yang memaksimalkan lokasi dan visual yang menarik (salah satunya adalah shot yang salah dinilai banyak orang sebagai niru Knives Out). Sehingga menampilkan intensitas thrillernya, terlupakan. Kamera Teka-Teki Tika paling hanya muterin ruangan, dan selebihnya kebanyakan hanya menyorot dari depan dalam diam. Beberapa ada yang dilakukan dengan sudah tepat, seperti keputusan untuk benar-benar fokus ke wajah Tika hanya datang setelah dia memberi tahu siapa dirinya. Yang berarti kita sudah ‘diijinkan’ untuk masuk mengenal karakter ini lebih dalam.

Namun ketika karakter ngobrol dengan mengancam, tidak ada gerakan yang memperkuat intensitas atau semacamnya. Pada adegan Tika digiring keluar rumah, kemudian di tengah jalan dia mengancam membuka satu rahasia, sehingga pengusirannya distop oleh Budiman, misalnya. Ada banyak yang mestinya bisa dilakukan oleh kamera dan editing dalam menampilkan ini, mestinya bisa dipecah jadi beberapa shot biar efeknya nyampe. Namun film hanya melakukannya dengan merekam dari depan, dan kamera mundur seiring semua karakter berjalan ke depan. Semua orang ada di dalam frame, tapi kita tidak merasakan emosinya ketika ada yang bicara, mengancam, atau sebagainya. Alur emosi yang ada pada adegan itu jadi datar karena direkam dengan datar.

Also, maaan, film modern memanglah aneh. ‘Film modern’ yang kumaksud adalah film yang memuat elemen gadget dan teknologi kita seperti smartphone dan sebagainya. Karena biasanya kan yang kita tahu kamera yang ngesyut orang dengan sudut rendah sehingga orang itu tampak menjulang biasanya digunakan untuk menguatkan karakter si orang itu sebagai penguasa atau yang dominan. Film ini openingnya adegan Budiman video call dengan ‘atasan’, ada bagian ketika kamera mengambil perspektif si lawan bicara, yang membuat Budiman dan istrinya tampak menjulang, memandang kita ke bawah, karena gadget mereka ditaruh di atas meja. Ini menghasilkan kesan yang aneh kayak kebalik. Kenapa malah si ‘bos’ yang kecil. Atau mungkin memang adegan itu untuk melandaskan Budiman adalah orang gede, tapi dia juga punya atasan. Dan kayaknya inilah yang membuat kita susah konek dengan dia sebagai karakter utama. Konglomerat biasanya memang sudah sus sedari awal, dan film gak pernah benar-benar membuat karakter ini simpatik hingga akhir nanti.

tekateka-teki-tika_54df5178-1b29-4a59-962b-fcd3809fb8bc
Treatment kamera juga membuat revealing siapa Tika dan rahasia-rahasia lainnya tak pernah terasa ‘wah’

 

Adegan-adegan dari kedatangan Tika sepertinya dirasa memang kurang menarik, sehingga film membuat si Tika ini jadi serbabisa. Dia dibuat tahu medis. Dia malah dibuat bisa berantem ternyata. Jagoan. Tapi malangnya, kepandaian Tika berantem ini juga mengharuskan film untuk memuat adegan aksi. Sesuatu yang berada di garis spektrum lain dari thriller rahasia, drama keluarga, dan bahkan komedi karakter. Nah bayangkan ketika urusan thriller dan drama dan elemen rahasia saja masih keteteran, lalu malah ditambah harus ngurusin orang berantem. It’s too much. Ernest menantang dirinya terlampau banyak. Seperti kata Arnold kepada Andre “Semua jadi tidak terkontrol”. Plus, ini membuat Tika yang tetap dipertahankan misterius menjadi ‘mary sue’; istilah untuk karakter serbabisa. Yang justru membuat kita menarik diri darinya. Seketika Tika menjadi membosankan. Kayak, bener-bener fixed gak perlu lagi kita mempedulikan dirinya karena toh naskah akan membuat dia bisa melakukan apapun begitu saja.

Sehingga, begitu cerita abis dan semua rahasia terungkap, dan semua masalah sirna (kecuali soal rumah mereka yang dengan entengnya dianggap Ibu sebagai “Udah, gak usah dipikirkan”) film masih belum terasa istimewa dan menarik.

Lalu datanglah twist itu. Ending film ternyata baru di ‘false resolution’. Ada misteri yang sebenarnya belum usai. Kupikir ini disengaja untuk hook kalo-kalo mau ada sekuel. Tapi enggak. Kocaknya, justru langsung dibahas lewat cerita ekstra yang muncul begitu kredit bergulir. Cerita yang membuat genre Teka-Teki Tika ini berubah total. Persis kayak twist M. Night Shyamalan yang mengubah genre (dari thriller ke superhero pada Unbreakable, atau dari horor ke sci-fi pada Old). Thriller komedi drama keluarga Teka-Teki Tika berubah menjadi sebuah action-spy! Bahkan setelah itu, visual di kredit title pun berubah jadi menunjukkan Tika sama sekali berbeda dengan yang kita lihat di sepanjang film tadi. Kurang menarik apa lagi coba!!

 

 

 

Kadang kita menyuap terlalu banyak dari yang mampu kita kunyah. I’m afraid inilah yang terjadi di film ini. Nyebrang dari komedi ke thriller sebenarnya sudah tantangan yang cukup tanpa harus ditambah sehingga membuat film jadi terbang ke mana-mana. Padahal belum ada dari tantangan itu yang bisa dijawab dengan memuaskan. Ibarat ngerjain puzzle, tapi belum beres malah mau nambah kepingan lagi. Film ini tampak jadi sebuah karya ambisius, meski banyak yang perlu dibenahi lagi. Terutama soal karakternya yang bisa digali dan diberikan development, ketimbang revealing demi revealing saja. Lalu soal intensitas dan bobot misteri yang belum terasa.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for TEKA-TEKI TIKA.

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian tertarik jika Tika diberikan universe sendiri – katakanlah, jika dibikin jadi ‘saingan’ Arini di Love for Sale, hanya saja si Tika ini khusus di action?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

TICK, TICK…BOOM! Review

Time is what we want most, but what we use worst”

 

 

Hidup itu berharga karena ada batasnya. Tanyai saja setiap vampir yang kalian tahu. Mereka pasti akan berkata hidup abadi itu membosankan. Karena tidak ada deadline, kau punya kesempatan sebanyak yang dimau. Tidak ada lagi urgensi di dalam hidup jika kita punya waktu yang tak terbatas di dunia. Heck, kita terpikir untuk pengen hidup seribu tahun lagi hanya karena kita tahu hidup ada masa kadaluarsanya. Jika kalian tidak punya kenalan vampir untuk memberitahu pentingnya waktu, maka kalian cukup menonton kisah hidup Jonathan Larson dalam biografi musikal Tick, Tick…Boom! yang merupakan debut penyutradaraan dari aktor, penyanyi, dan komposer Lin-Manuel Miranda.

Batas atau umur itulah yang sebenarnya memberikan excitement dalam hidup. Kita melakukan passion kita, mengejar impian kita, karena kita tahu kita mungkin tidak bakal dapat mencapai semua itu karena waktu kita bakal habis. Makanya kita semua pengen dapat tambahan waktu, padahal yang penting dari waktu tersebut bukanlah seberapa banyak yang kita punya. Melainkan apa yang kita lakukan untuk mengisinya.

 

Memang tepat bila disebut Miranda membuat film ini sebagai surat-cinta untuk pencipta teater musikal – yang disebut oleh karakter ceritanya sebagai “spesies yang terancam punah”. Cara bercerita yang digunakan Miranda ‘terdengar’ oleh kita sebagai sebuah ekspresi penuh rasa syukur dan cinta yang dipersembahkan kepada seni tersebut, dan kepada tokoh pembuat-pembuatnya. Khususnya kepada Jonathan Larson. Seorang sutradara teater musikal yang menelurkan karya fenomenal, tanpa pernah melihat karyanya tersebut dimainkan. Larson meninggal dunia pada malam sebelum show Rent ditampilkan. Agak tragis, tapi tak pelak sungguh menginspirasi. Tick, Tick…Boom! however, dihadirkan tidak berfokus kepada Rent karya Larson yang fenomenal itu, melainkan kepada sosok si Larson sendiri. Perjalanan yang ia tempuh sebelum ia bahkan punya, katakanlah, nyali untuk membuat Rent.

Menjelang ulangtahunnya yang ketigapuluh, Larson (peran musikal pertama bagi Andrew Garfield!) mulai galau. Krisis eksistensi menerpa dirinya. Larson merasa belum mencapai apa-apa. Dia yang kerja di diner, belum jadi orang. Mimpi-mimpinya di masa muda sama sekali belum kesampaian. Karya musikal yang ia ciptakan terus saja ditolak. Atau lebih parah, dicuekin. Bertekad untuk membuat sesuatu atas namanya, Larson kini memusatkan diri untuk proyek musikal rock, sci-fi, yang ia beri judul Superbia. Masalahnya, di proyek yang ia tahu bakal mengubah dunia itu, Larson justru merasa kesulitan. Dia gak mampu menulis babak kedua – babak paling penting – dalam musikal ciptaannya itu. Dalam kondisi ekonomi yang mulai menghimpit, sosial yang makin tercerai berai (bertengkar dengan pacar, dan ditinggal mati oleh teman-teman yang satu persatu direnggut HIV), dan umurnya sendiri yang ia pikir semakin kehabisan waktu, Larson berjuang menyelesaikan karyanya.

boomimage
Tik tik bum, bunyi bom waktu di dalam hati~

 

 

Untuk film pertamanya ini, Miranda mengadaptasi musical performance one-man show Larson sebagai pondasi dari drama musikalnya ini. Clearly, sang sutradara masih berpegang pada hal yang lebih dekat dengannya, yakni gaya teatrikal. And that’s okay, karena Miranda memang cukup berhasil bercerita dengan memadukan gaya teatrikal tersebut dengan gaya bercerita film. Kita melihat Larson tampil live di depan audiens, kemudian dia bercerita tentang lagu yang ia ciptakan dari kehidupannya itu. Cerita Larson tersebut lantas menjadi adegan drama yang kita tonton sebagai flashback. Dalam adegan-adegan drama itu pun nantinya Larson dan karakter-karakter lain akan sering burst out menyanyikan lagu, lengkap dengan koreografi dan set yang dibikin seolah sebuah live teater. Semua bingkai tersebut ditampilkan mulus. Lagu-lagunya catchy dan tampak dibawakan dengan natural. Lirik yang menggambarkan perasaan Larson saat itu pun mampu menghantarkan perasaan dengan lebih tepat, walaupun kesannya jadi fun. Misalnya musical number saat Larson terperangkap dalam kesibukan diner tempat dia bekerja di hari minggu. Atau adegan nyanyi saat dia ‘merayakan’ apartemen baru milik sahabatnya yang memilih kerja kantoran dengan melepaskan kerjaaan sebagai seorang aktor.

Tapi buatku, film ini paling the best saat berbingkai teater. Bagian musikal favoritku adalah ketika Larson dan penyanyi yang diperankan oleh Vanessa Hudgens melagukan momen-momen saat Larson dan pacarnya ribut soal kerjaan dan masa depan. Koreografinya unik sekali. Mereka duduk di atas kursi di depan panggung menghadap audiens. Sambil tersenyum mereka mendendangkan curhat. Semakin intens curhatnya, senyum mereka makin lebar, dan gerakan koreo mereka semakin cepat-cepat. It’s wild! Kalo sutradara tidak memilih untuk menyelang-nyelingi adegan musikal di teater itu dengan adegan drama Larson dan pacarnya berantem di rumah, kalo musikal itu disyut dengan benar-benar seperti adegan teater – without cut dan sebagainya – aku sudah pasti akan meloncat-loncat kayak anak kecil dihadiahi PS 5 oleh bapaknya yang galak. Namun tetap saja, tidak bisa dipungkiri bahwa yang disuguhkan oleh para aktor di film ini bukanlah akting sembarang akting.

Can we please stop dulu bicarain Spider-Man, dan fokus ke betapa luar biasanya Andrew Garfield dalam peran musikal pertamanya ini? Garfield adalah salah satu dari sedikit aktor yang kayaknya selalu ngasih aku surprise dari apa yang bisa ia lakukan terhadap perannya. I mean, waktu di Hacksaw Ridge (2016) aku surprise sama penampilan drama emosional yang ia tampilkan. Begitupun waktu di Silence (2017), dia kembali memberikan note yang distinctive dalam perannya. Sekarang di Tick, Tick…Boom! ini juga begitu. Dia berhasil menghidupkan sosok seniman larger-than-life. Dia menghajar setiap adegan musikal dengan penuh gelora. Bukan sebatas nyanyi dan tampil sedikit nyentrik, Garfield di sini juga harus mengenai nada-nada dramatis. Larson yang tenggelam dalam cipta karya sehingga bertengkar dengan orang-orang terdekatnya, akan dengan gampang terlihat sebagai pribadi egois. Tapi Garfield membuat kita bersimpati dengan karakternya ini. Membuat kita paham apa yang ‘tick‘ di dalam perasaannya. Penampilan akting Garfield membuat karakter ini semakin mudah untuk kita relasikan dengan kehidupan kita.

Siapa sih yang gak risau saat menemukan dirinya berkepala tiga tapi belum mencapai apa-apa. Aku rasa semua penonton butuh menyaksikan film ini, paling enggak sebagai guide memasuki usia tiga-puluh. Karena memang gak gampang, untuk menyadari bahwa hidup kita bukan semata terbatas, tapi sebanyak apapun waktu yang kita punya, segimana pun orang punya waktunya masing-masing, waktu itu gak akan berbuah apa-apa jika kita tidak mengisinya dengan hal yang kita cinta. Kisah hidup Jonathan Larson dalam film ini, kurang lebih, mengatakan tentang hal tersebut.

boomTherapy-in-Tick-Tick-Boom
Aku malah sempat kecewa saat masih hidup setelah usia 27, aku merasa gak cukup berbakat untuk sebanding sama the 27 Club artists.

 

 

Ada banyak hal yang bisa disukai dalam Tick, Tick…BOOM! kecuali pacarnya Larson. Urgh. Annoying banget. Dia sengaja banget nagih jawaban saat Larson lagi sibuk-sibuknya. Dia gak dateng saat show. Eh, pas shownya rame, dia baru muncul. Pacar apaan tuh. Tapi mungkin itulah mark keberhasilan dari karakter yang memang jadi inspirasi Larson ini. Kisah cinta mereka inilah yang harus dijadikan stake utama, karena narasi yang berangkat dari kisah nyata ini kan semua orang sudah tahu endingnya. Larson yang merasa dirinya diburu waktu, sendirinya, tidak akan lagi jadi cerita yang menarik jika film tidak menyelam ke dalam karakter-karakter yang punya peran dan menghidupi hidup Larson. Karakter-karakter itu, seperti pacar Larson dan juga sahabat masa kecilnya, memang ada dan disorot cukup banyak oleh cerita. Tapi permasalahan mereka tidak pernah dibahas lebih dalam dari sebuah adegan musikal berikutnya. Permasalahan dengan mereka berdampak kepada Larson, tapi film hanya memperlihatkan sebatas soal ‘terwujud sebagai lagu baru’

Bukan Larson saja yang terburu waktu. Demi menguatkan kesan deadline yang menghimpit, film ini sendiri akhirnya bercerita dengan nada yang seperti terburu-buru. Tidak pernah benar-benar diam sejenak untuk merenungi emosi ataupun berkontemplasi dengan karakternya. Seharusnya ada lebih banyak adegan seperti Larson berenang dan literally menyelam ke dalam pikirannya. Film ini, memperkenalkan kita dengan menarik kepada karakter-karakter dan masalah mereka, tapi tidak lantas mau keluar dari memperlihatkan para karakter sebagai manusia di luar yang kita lihat. Oh, ada teman yang terbaring kena HIV, Larson sedih, tapi setelah dijadikan satu lagu, masalah tersebut pindah juga ke masalah lain. Ke masalah untuk dinyanyikan berikutnya. Bisa jadi ini karena pondasi cerita adalah pertunjukan seni sehingga yang kita lihat juga masalah yang terkesan lompat-lompat seperti itu, tapi sebenarnya itu gak jadi soal jika film mau untuk melambat sedikit. Narasi tidak harus berjalan seperti diburu-buru. Kesan itu bisa dilayangkan lewat kerja kamera atau lewat editing saja.

 

 

 

Seneng sekali setidaknya ada tiga drama musikal bagus tahun 2021 ini. Meskipun aku gak suka musik, tapi aku selalu menyambut gempita film musikal karena biasanya emosinya memang menohok lebih dalam. Film ini misalnya. Fusion keren dari teater musikal dengan drama musikal. Penampilan akting yang mempesona dari Andrew Garfield turut mempermanis surat-cinta untuk seni teater dan salah satu seniman yang bekerja membuatnya, si Jonathan Larson itu sendiri. Ceritanya sungguh menginspirasi, super relatable, dan bakal bikin kita ikutan nyanyi dari hati. Pengennya sih film ini bisa sedikit lebih ‘tenang’ dan lebih berlama lagi menyoroti karakternya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TICK, TICK…BOOM!

 

 

 

 

That’s all we have for now

Jonathan Larson berjuang hingga akhir hayat atas nama seni. Menurut kalian apakah seni itu memang sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

LAST NIGHT IN SOHO Review

“We romanticize the past with an illusion that we’d know how we’d fit”

 

 

“Hati-hati, di London banyak orang jahat.” Peringatan yang jadi penutup nasihat Nenek sebelum Eloise/Ellie pindah untuk kuliah ternyata merupakan set up bagi bangunan narasi horor Last Night in Soho. Kalimat tersebut membuild-up antisipasi Ellie; cara pandang dirinya terhadap pengalaman yang ia temui dan rasakan sebagai gadis desa yang pindah ke kota besar. Dan tentu saja antisipasi kita juga, karena kita akan melihat dan merasakan semua pengalaman lewat Ellie. Itulah yang membuat karya terbaru Edgar Wright ini sebuah horor atau misteri psikologis yang luar biasa efektif. Tak ada yang lebih menyeramkan daripada seorang perempuan yang merasa dirinya ‘diserang’ oleh banyak pria (dan tak jarang juga oleh perempuan lain) dari berbagai arah. Yang merasa tempatnya hidup begitu enggak aman, sehingga dia harus mencari ke tempat lain. Bahkan, hingga ke waktu atau era yang lain.

Kok bisa? Karena Wright membuat filmnya ini sebagai semacam perjalanan waktu. Setiap kali Ellie tidur di kamar kosnya, dia seperti tertransport ke era 60an yang penuh kelap-kelip. Ellie melihat dunia itu lewat mata Sandie, gadis yang mengejar mimpi jadi penyanyi seperti Ellie yang punya keinginan untuk jadi seorang fashion designer. Tapi kehidupan Sandie si gadis berani yang tahu apa yang ia mau itu seketika jadi inspirasi bagi Ellie. Apalagi memang sejak awal Ellie sudah terobsesi dengan segala sesuatu yang berbau tahun 60an. Ellie rela pergi tidur lebih cepat karena ia udah gak sabar untuk merasakan lagi keglamoran Sandie dan era tersebut.

sohoLast-Night-in-Soho-Thomasin-McKenzie-Anya-Taylor-Joy
Dengan kontras warna biru dan merah itu, tadinya kukira poster Survivor Series Smackdown lawan Raw

 

 

Untuk 30 sampai 40 menit pertama, cerita akan fokus kepada kontras antara Ellie dengan Sandie. Ketika kehidupan kampus dan sosial Ellie tampak penuh orang fake dan toxic – mulai dari pengemudi taksi yang matanya belanja ke kaki Ellie hingga ke teman sekamar di asrama yang manis di depan saja, sehingga kini Ellie tidak bisa memastikan seorang anak cowok yang mendekatinya itu beneran tulus pengen jadi teman atau cuma pengen meminum lebih dari kola miliknya saja – kehidupan malam Sandie tampak lebih aman dan menjanjikan. Menyaksikan dari balik cermin, Ellie melihat Sandie dibantu oleh seorang pria, diberikan kesempatan casting, janji mau diorbitkan, dibela dari mata keranjang; benar-benar disupportlah!

As far as the genre goes, babak pertama film ini memang membuat kita meraba-raba. Selain kemampuan Ellie melihat hantu ibunya di dalam cermin dan perihal Ellie masuk ke era 60an setiap kali tidur (bagaikan mimpi teramat nyata), kita enggak yakin di mana letak horor film ini. Yang terasa kuat adalah misteri kejadian tersebut kenapa bisa terjadi. Implikasi yang dihadirkan adalah hantu Sandie yang membawa Ellie masuk ke era tersebut, karena Ellie punya ‘kemampuan’, tapi itu juga belum membuat film terasa seram. Last Night in Soho memang mengambil waktu selama itu untuk mendaratkan ceritanya ke horor yang dijanjikan. Namun itu bukan berarti film ini tampil membosankan.

Set dan artistiknya stunning semua. Kerja kamera dan tempo editing cepat yang sudah jadi cap-dagang Wright membawa kita melewati set up panjang dan semua kontras itu dengan penuh gaya. Pertama Wright menekankan kontras itu lewat warna. Eloise dan lingkungannya hadir dengan warna-warna biru hingga abu-abu pucat, sementara Sandie melangkah mantap menembus dunia dominan merah di balik dress pink ataupun jaket putih mengkilap. Ellie pada awalnya tampil polos, tidak seperti Sandie yang bibirnya selalu merekah merah. Warna-warna tersebut tentu saja menguatkan karakter mereka. Thomasin McKenzie memainkan Eloise sebagai karakter yang berusaha mandiri, yang berusaha optimis. Dia memang sedikit polos, dan somewhat kurang pede dan kurang agresif (perhatikan rasa bangganya ketika menyebut mengenakan baju rancangan sendiri memudar dengan cepat begitu melihat reaksi dari teman-teman barunya), tapi McKenzie berhasil membuat kita melihat dia sebagai gadis yang gak mudah menyerah. Kita bersimpati pada gadis yang dicap norak dan aneh oleh cewek-cewek seusianya ini. Sebagai Sandie, Anya Taylor-Joy, ditugaskan untuk menjadi antitesis dari karakter Ellie. Dan dia berhasil memainkannya dengan fenomenal. Sandie benar-benar tampak sebagai enigma dimainkan oleh Anya.

Bukannya mau nyamain diri ama sutradara sekelas Edgar Wright, tapi aku punya bayangan yang mungkin sedikit lebih tegas mengenai effort yang harus Wright keluarkan untuk mewujudkan visi kreatifnya di sini. Bikin dua aktor seolah mereka satu orang karakter, yang bergerak selaras dalam pantulan cermin, jelas bukan hal yang gampang. Aku pernah bikin film pendek dengan konsep serupa, dua pemain harus bergerak layaknya seseorang dengan pantulannya, dan hasilnya susah untuk sempurna. Akhirnya aku mengurangi adegan, dari yang banyak gerak menjadi cuma senyum doang hahaha.. Yang dilakukan Wright dalam film Soho ini bahkan lebih kompleks dari adegan sekadar karakter bercermin. Yang dengan budget yang banyak, tentu bisa dilakukan pake efek komputer. Wright di sini betul-betul membuat Ellie dan Sandie terlihat sebagai satu orang, lewat adegan tanpa cermin yang gak-putus. Adegan menari yang Ellie dan Sandienya muncul bergantian, dilakukan Wright tanpa efek editing, melainkan dengan efek praktikal yang menuntut ketepatan dari semua kamera dan juga para aktor.

In some sense, film ini mengingatkanku sama Malignant (2021), horor action campy dari James Wan. Kedua film ini bekerja pada goal yang sama. Pembangunan narasi horor yang membuat kita bertanya-tanya ini sebenarnya film tentang apa – which is add much to the mystery itself. Penggarapan yang mengunggulkan kepada gaya entah itu teknis kamera atau editing. Dan bahkan sama-sama bermain seputar karakter yang ketika tidur tertransport ke tempat lain. Keduanya adalah film yang ingin kita bersenang-senang atas nama horor dan misteri. Kalo perbandingannya dilanjutkan, aku mau bilang, pada akhirnya aku lebih suka Last Night in Soho ketimbang Malignant. Karena walaupun sekilas horor Soho terlihat lebih lemah, sebenarnya Soho punya bangunan cerita dan lapisan psikologis karakter yang lebih berbobot. Yang eventually membuat misteri dan horornya menjadi lebih impactful karena jadi benar-benar beresonansi dengan kehidupan kita di luar cerita.

soholastsohothumb-1634585969073
Apa jadinya film Edgar Wright tanpa soundtrack yang benar-benar mewakili mood?

 

 

Thomasin McKenzie semakin dituntut untuk menyuguhkan permainan yang menakutkan secara emosional, seiring dengan Elliekarakternya yang sudah semakin terattach dan peduli sama Sandie mulai melihat ada yang gak beres sama arahan karir cewek di masa lalu tersebut. Di sinilah set up yang disebutin nenek di awal tadi kembali weighing in ke dalam narasi. Bukan hanya karir dan mimpinya, tapi nyawa Sandie actually jadi ikut terancam oleh orang-orang yang ternyata berniat jahat kepadanya. Terbangun dari tidur, Ellie kini berusaha mati-matian untuk mencarikan keadilan bagi nasib Sandie. Elemen horor terbangun juga dari tidur, merayap di balik usaha Ellie. Gadis itu sekarang melihat hantu-hantu dari orang yang jahat kepada Sandie, seperti jadi mengejar dirinya. Mereka ada di mana-mana!

Eloise yang jadi takut tidur, heck bahkan dia jadi terlalu stress untuk bisa tidur, kehidupan akademis dan sosialnya merosot drastis, ditambah dengan dia menjadi percaya bahwa dunia tidaklah pernah jadi tempat yang baik-baik saja (tidak sekarang, tidak dulu, dan mungkin tidak di masa mendatang) — inilah horor sebenarnya yang digambarkan oleh cerita Last Night in Soho. Ini jauh lebih seram ketimbang wajah-wajah burem ataupun darah-darah muncrat dari penampakan hantu. Wright menunjukkan kepekaannya terhadap perubahan tempo lewat bangunan misteri di dalam narasi seperti yang ia tunjukkan di film ini. Bahwa dia bisa menjalin horor, baik itu lewat komedi ataupun drama, karena dia mengerti bagaimana membangun dan mendeliver. Gaya-gaya tadi bukan cuma supaya gak bosan, melainkan juga merupakan pengalih perhatian yang cantik, makanya gak jarang kita menemukan diri kita caught up by surprise setiap kali menonton film Wright.

Salah satu tema tersembunyi dalam film ini adalah soal nostalgia. Bagaimana orang bisa obses sama nostalgia, meskipun dia enggak ngalamin langsung hal nostalgia tersebut. Seperti Eloise yang ngaku suka 60an, padahal dia hanya tahu itu dari film, musik, atau media lain. Film ini menerjemahkan itu sebagai pelarian. Kemudian film menantang itu dengan pertanyaan “Bagaimana jika tempat tersebut sama saja dengan penyebab kita lari di awal? Do we still love it?” Maka, tidaklah bijak sebenarnya terlalu meromantisasi sesuatu yang kita gak pernah tahu, yang kita hanya rasakan sebagian kecil dari kebaikannya saja.

 

Hantu-hantu itu menyimbolkan ‘penyakit’ di masa lalu akan terus menghantui masa depan. Malah tidak akan berakhir atau tidak akan mati kecuali benar-benar ditindak, seperti yang diketahui Ellie bahwa ada satu pelaku dalam tragedi Sandie yang masih hidup di masa sekarang. Lalu, di puncak konflik Ellie, Wright membalikkan narasinya. Begitu jungkir-balik sehingga pesan tadi menjadi sedikit kabur. Menurutku, pilihan twist yang melibatkan revealing identitas satu karakter yang membuat role (pelaku dan korban) jadi kebalik inilah yang membuat Last Night in Soho jadi terbagi dua penontonnya. Gagasan yang diusung lewat pembalikan itu, aku bisa lihat, tidak mudah diterima bagi penonton. Especially karena menyangkut gender sebagai subjeknya. Jadi gak heran juga banyak yang menolak memberi skor tinggi, urung merekomendasikan, atau bahkan mengkritik keras film ini. Mungkin itu juga sebabnya kenapa film ini cepat kandas di bioskop.

Padahal menurutku memang fenomena itulah yang sedang diperiksa oleh film. Sedari awal “banyak orang jahat” itu sudah dilandaskan. Yang berarti bahwa ya, orang jahat ya bisa ada di mana-mana. Bisa siapapun. Seorang yang jadi korban ketimpangan atau kekerasan, tidak berarti mereka tidak akan bisa menjadi orang jahat. Tidak berarti setiap tindakan mereka bisa terjustifikasi. Pembunuh massal tetaplah pembunuh massal, tidak peduli dia hidup di era 60an atau di era woke kekinian.

 

 

 

 

Kekurangan film ini bagiku cuma, ceritanya belum berhasil betul memperlihatkan korelasi antara kerjaan Ellie – keberhasilannya sebagai siswa perancang busana – dengan misteri yang ia alami. Kita tidak dikasih lihat secara detil bagaimana kenyataan yang ia sibak itu berdampak kepada rancangan Ellie. Selebihnya, film ini sendiri bagai seni kontemporer. Misteri yang dengan balutan visual yang cantik sekali. Hadir dengan tetap berbobot, dan semakin gorgeous berkat penampilan akting yang flawless. Aku mungkin sedikit bias karean Thomasin dan Anya cakep-cakep, but they do understand the assignment, dan aku gak melihat ada ‘nada sumbang’ dari penampilan mereka di sini. Sedangkan untuk Edgar Wright, aku gak setuju sama yang bilang sutradara ini belum fasih di horor. Wright cuma punya formula sendiri, dan dia menerapkan horor ini ke dalam formula tersebut. Memang, hasilnya tidak seperti horor yang biasa. Ini adalah horor unik dengan implikasi gagasan yang tak kalah seram.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for LAST NIGHT IN SOHO

 

 

 

That’s all we have for now

Kenapa kita suka meromantisasi nostalgia? 

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

HOME SWEET HOME ALONE Review

“Home doesn’t feel like home if people living in it are not the same”

 

 

Impian mutlak setiap anak-anak adalah tinggal di rumah besar sendirian tanpa ada yang mengatur. Beneran deh, kalo waktu kecil dulu kalian enggak pernah girang ketika orangtua pergi sehingga kalian jadi punya beberapa jam di rumah seorang diri, maka kalian jadi anak kecil dengan cara yang salah. Rumah kosong bagi anak kecil berarti bisa makan apapun yang dimau, bisa loncat-loncat di kasur, bisa nyalain kartun keras-keras, dan ini yang paling penting: bisa main – game atau apapun – sepuasnya! Tapi rumah kosong bagi anak kecil juga bisa berarti bahaya. Bagaimana jika ada yang korslet. Bagaimana jika ada orang asing yang datang. Bagaimana jika ada… perampok!?!

Home Alone bisa sesukses ini; meroketkan Macaulay Culkin, jadi hiburan yang gak bosen-bosen ditonton, staple acara tv swasta kita setiap musim liburan, dan nelurin banyak sekuel, karena premisnya bermain pada dua hal tersebut. Satu: Anak yang tinggal sendirian di rumah, dua: tapi disatroni maling. Set up sempurna untuk dijadikan komedi slapstick ala kartun (meskipun arguably premis tersebut juga tak kalah efektifnya jika dijadikan bangunan cerita horor/thriller). Karena anak kecil suka kartun, dan film ini membuat anak-anak yang menonton relate, membuat mereka membayangkan ada dalam dunia seperti kartun yang merekalah tokoh utamanya.

Ya, set up. Itulah kunci emas yang dimengerti oleh Home Alone, khususnya filmnya yang pertama tahun 1990. Ketika kita membuat cerita tentang anak yang tinggal sendirian di rumah, maka kita harus bisa menemukan alasan atau sebab yang logis, yang akhirnya menciptakan situasi tersebut. Home Alone original luar biasa telaten dalam menciptakan set up tersebut. Dikawal ketat oleh John Hughes (filmmaker yang well-known sebagai pembuat film remaja yang enjoyable karena ringan dan grounded) yang menulis dan jadi produser, Home Alone punya set up yang efektif sekali. Ceritanya dibikin bersetting di liburan Natal. Kita langsung mengerti anak seperti apa si karakter utama, kita langsung tahu dinamika hubungannya dengan saudara-saudaranya. Kehebohan dan keramaian di rumah itu tergambar dengan baik, sebagai alasan kenapa gak ada yang ingat sama dia ketika besok pagi mereka mau berangkat. Dan semua itu dilandaskan dengan nada komedi yang ringan, dan kita bisa membayangkan kejadiannya bisa beneran terjadi di dunia nyata. Udah persis kayak jebakan, set up film ini dengan persis berada di tempatnya.

Sekuel reboot karya sutradara Dan Mazer (salah satu penulis naskah franchise Borat, lol) mengerti pentingnya set up tersebut. Home Sweet Home Alone juga punya set up yang seperti film original. Kita melihat anak kecil berusia sepuluh tahun yang bernama Max (seneng banget Archie Yates yang kocak di Jojo Rabbit dapat peran gede di sini), mulai kesel dicuekin sama orangtuanya yang lagi hectic ngurusin keberangkatan keluarga besar mereka ke Tokyo besok pagi. Max makin jengkel karena sepupu-sepupunya pun tidak ada yang mendengarkan dia. Jadi Max, mengurung diri dalam mobil di garasi. Menonton Will E. Coyote masang-masang perangkap untuk Roadrunner, jauh dari semua kebisingan. NAMUN, (‘namun’ di sini memang sangat signifikan jadi aku merasa perlu untuk ngecapslock kata itu) film ini tidak hanya punya satu set up, melainkan dua. Tidak hanya Max saja yang dilandaskan backstory dan motivasinya. Tapi, perampok yang nanti bakal jadi musuh (atau korbannya) juga diberikan set up. Malahan, karakter utama Home Sweet Home Alone bukanlah Max si anak kecil.

HomeSweet-Home-Alone-Dirilis-Sambut-Natal-Tahun-Baru-3
Kartun ternyata memang punya pengaruh kepada anak-anak, ya.

 

 

Jeff McKenzie, pria yang terpaksa dan enggan, berusaha menjual rumahnya diam-diam tanpa sepengetahuan anak-anaknya, adalah perspektif utama cerita. Dia butuh duit, karena dia baru saja dipecat. Jeff lalu menemukan solusi alternatif. Salah satu boneka porselen peninggalan ibunya, ternyata bernilai sangat tinggi. Masalahnya, boneka yang jadi satu-satunya harapan untuk tidak membuat kecewa keluarganya tersebut kini hilang. Dicuri orang. Jeff ingat, siang itu Max dan ibunya berkunjung ke open house mereka. Situasi semakin tak menguntungkan bagi Jeff, ia tak bisa begitu saja minta bonekanya dikembalikan, karena rumah Max kosong. Semua penghuninya pergi berlibur. Inilah yang membuat Jeff, dan istrinya – Pam – memutuskan untuk masuk saja ke rumah itu. Dan kita akhirnya dapat adegan konyol ciri khas franchise Home Alone, karena Max yang tidak diketahui suami istri itu ada di rumah, salah menguping pembicaraan mereka soal boneka. Max menyangka Jeff dan Pam hendak menculik dirinya, sehingga dia mati-matian melawan. Memasang banyak jebakan untuk mereka. 

Dua set up (untuk Jeff dan Pam, serta untuk Max) yang dibeberkan dengan telaten supaya kita bisa paham dan motivasi dua kubu yang hendak bertemu ini memang membuat film jadi imbang sudut pandangnya. Perampok itu tidak lagi satu dimensi jahat, tidak sekonyong-konyong ada dan merampok dengan niat yang sepele. Film ini ingin keluar dari pakem penjahat dalam film anak atau film keluarga yang biasanya memang dituliskan konyol. Film ingin memberikan sedikit hati kepada Jeff dan Pam. Melihat mereka yang semakin kena perangkap, semakin jengkel dan mulai keluar ‘jahatnya’, penonton diharapkan untuk tidak melihat karakter yang diperankan kocak oleh Rob Delaney dan Ellie Kemper ini sebatas karakter komedi. I’d say ini adalah tambahan yang berniat baik, membuat film tidak lagi hitam putih. Akan tetapi, sedikit bobot ini ternyata juga menjadi beban. Babak set up film ini jadi terasa penuh sesak. Dan lamaaaa. Setelah begitu banyak menerima informasi dan memahami karakter, aku kaget juga melihat durasi yang ternyata baru tiga-puluh menit.

Sesuai dengan peruntukannya sebagai film natal, film ini bicara soal keluarga lewat rumah sebagai objeknya. Bahwa kita merasa nyaman dengan keluarga, bukan karena rumahnya. Max tadinya kesal sama keluarga malah merasa hampa, saat dia tinggal sendirian. Keluarga Jeff pun mulai merasa aneh saat ayah dan ibu yang tinggal seatap mereka bertingkah lain dari biasanya. Mau gimana pun rumahnya, rumah itu tidak akan terasa lagi seperti ‘rumah’ saat ada yang berubah dari penghuninya. 

 

Penonton yang ingin bernostalgia dengan Home Alone juga merasakan bahwa film yang menjadi rumah bagi kenangan masa kecil mereka tak lagi terasa seperti ‘rumah’ yang sama. Home Sweet Home Alone terasa sebagai entry yang aneh buat keseluruhan franchise ini. Meskipun jebakannya sama-sama konyol dan ‘mematikan’ – bahkan ada cameo dari bintang film originalnya – tapi tetep seperti ada yang mengganjal. Banyak yang kecewa karena membandingkan film ini dengan Home Alone pertama. Tapi itu juga mungkin salahnya kita. Keduanya mungkin memang untuk tidak dibandingkan. Karena kedua film ini memang tak lagi sama. Film yang ini bukan lagi tentang anak yang ditinggal semata. Film kali ini adalah lebih tentang ayah dan ibu yang ‘jadi perampok’ demi rumah mereka. Kita harus melihat poin-poin plot dan perkembangannya sebagai cerita tentang hal tersebut. Tapinya lagi, dengan melihatnya begitu, tidak berarti aku mengatakan film jadi lebih baik.

It’s still… shite!

homejamkiom - Copy
Pake lelucon self-aware tidak lantas berarti filmnya jadi film yang pintar

 

 

Yang tidak bekerja dengan baik dari film yang membuat protagonisnya pasangan orangtua desperate sehingga mau merampok justru adalah komedi dan kekhasan dari franchise ini sendiri. Jeff dan Pam yang babak belur kena perangkap demi perangkap itu bikin bingung kotak tertawaku. Kok aku malah ngetawain Jeff yang gak sadar telah dipasangi game VR? Bukannya kita harus bersimpati sama mereka? Dalam Home Alone biasanya, ketika para orang jahat babak belur, kita bisa tertawa dengan lepas karena kita tahu mereka pantes dapat ganjaran. Kita merasakan stake yang dialami si anak kecil, yang harus berkreasi demi mempertahankan rumah dan properti miliknya. Dalam film kali ini, tidak ada stake karena kita tahu semua itu cuma salah paham. Kita tahu Max tidak dalam bahaya. Kita tahu Jeff dan Pam tidak berniat jahat. Jadi kenapa kita masih tetap disuruh harus tertawa dengan adegan-adegan jebakan, yang menghukum protagonisnya, sementara kita tahu enggak ada alasan yang kuat kenapa mereka harus dihukum. Apakah karena mereka bego? 

Ngomong-ngomong soal itu, supaya fungsi komedinya tercapai, film memang lantas berusaha membuat Jeff dan Pam terlihat bego. Padahal Jeff kerjaannya adalah seorang ahli data, dan Pam adalah seorang guru. Yet, they still manjat pagar dengan konyol (padahal di sampingnya ada gerbang), tetep keceblos di kolam bersalju. Jeff yang sehari-harinya ketemu komputer jadi kayak awam sama teknologi. Kerjaan sehari-hari Pam juga gak terlihat membantunya berperilaku; dia tetap terpental-pental oleh bola yoga. Film ini tidak peduli sama katakter yang dipunya. Mengabaikan sebentar set up mereka, untuk beberapa menit menjelma menjadi Home Alone yang dikenal dan dicintai semua orang. It’s either bikin cerita yang lebih original, atau bikin sesuai franchise. Sutradara Dan Mazer pengen jadi keduanya sekaligus, tapi tidak memikirkan formula atau bangunan ceritanya masak-masak. Perkembangan karakternya juga ternyata jadi gak ada. Setelah semua yang terlihat seperti sebuah proses degradasi bagi protagonisnya, atas nama film keluarga dengan semangat natal, semua konflik reda seketika. Para karakter sentral kembali ke ‘posisi’ mereka di awal. Dan cerita berakhir dengan senyum yang hangat, persahabatan dan keluarga yang harmonis, tanpa konsekuensi yang berarti. Semuanya dapat reward! Semua, kecuali kita, penontonnya. 

 

 

 

Untuk sejenak, aku merasa film ini punya kesempatan. Arahannya yang mengeluarkan karakter dari hitam-putih, awalnya tampak seperti langkah berani yang bikin reboot ini lebih berbobot daripada originalnya. Tapi ternyata bobot itu terlalu berat untuk diemban sebuah film yang fitrahnya adalah hiburan slapstick layaknya kartun bagi anak kecil. Penonton cilik mungkin masih akan tergelak melihat dua orang yang dilempari bola biliard, dibakar kakinya, dan disandung pake tali. Itu karena mereka belum bisa mengerti ada ambigu yang hadir di situ, ketika orang yang babak-belur tersebut sebenarnya bukan orang yang benar-benar bersalah atau jahat. Ambigu yang diangkat harusnya digali, bukan ditertawakan. Kecuali kalo memang pembuatnya memandang kita semua sebagai bocil-bocil yang taunya cuma tertawa.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for HOME SWEET HOME ALONE

 

 

That’s all we have for now

Apa yang biasanya kalian lakukan waktu kecil dulu kalo ditinggal sendirian di rumah? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SHANG-CHI AND THE LEGEND OF THE TEN RINGS Review

“Its richest bequest. Its golden inheritance”

 

 

Menonton Shang-Chi, aku sejenak lupa kalo ini merupakan film superhero. Cerita tentang ‘warisan’ keluarga, bisnis yang ala gangster-gangsteran, adegan berantem yang benar-benar menonjolkan martial arts. Untuk beberapa saat, aku merasa sedang nonton film-film Kung-fu! Sampai aku menyadari yang di layar itu bukan Jackie Chan ataupun Jet Li. Melainkan bintang laga masa kini (calon legenda di depan) Simu Liu, bintang komedi dengan range drama yang belum gagal membuatku kagum Awkwafina, dan naga beserta makhluk-makhluk mitologi dari visual komputer. This is indeed a Marvel movie. Film hiburan yang paling cocok ditonton sambil makan popcorn, dengan petualangan CGI grande, dan dialog yang sama renyahnya ama popcorn itu tadi. Namun sutradara Destin Daniel Cretton jelas sekali ingin mengarahkan ini ke dalam perspektif yang lebih unik. Ke dalam karakter yang lebih representatif. Dan ‘jurus-jurus’ yang ia kerahkan sukses membuat Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings mencapai keseimbangan hiburan dengan sajian berbobot. Mengembalikan film superhero Marvel ke yin-yang  yang selama ini terlupakan

sangchi-chi-iron-fist-1
Padahal tadinya aku ‘sangchi’ bakal bagus, takut kayak Mulan

 

 

Belajar dari kritikan yang menghajar live-action Mulan (2020), film Shang-Chi yang juga mengusung karakter beretnis dan mitologi yang mengacu kepada referensi budaya Cina, berlaku lebih hati-hati dan respect terhadap representasinya tersebut. Yang pertama langsung terdengar adalah bahasa. Karakter dalam film ini tidak sekonyong-konyong berbahasa Inggris semua. Sepuluh menit pertama actually full dialog Mandarin, lalu setelah nanti setting membawa cerita berada di tempat yang lebih diverse, bahasanya akan mengikuti keberagaman tersebut. Film ini lebih peka sama di mana dan siapa. Penggunaan bahasa Inggris pun jadinya tidak terasa dipaksakan. Karakter kita hidup di San Francisco, tapi bahasan mengenai mereka merupakan bahasan yang mendalam, menggali hingga ke akar leluhur dan legenda. Karena pada intinya narasi Shang-Chi memang berinti kepada keluarga.

Ketika kita pertama kali bertemu dengan Simu Liu, karakter yang ia perankan dipanggil dengan nama Shaun. Dia bekerja sebagai tukang parkir valet, bersama sahabatnya Katy (karena terlalu banyak nonton Steven Universe, aku jadi merasa suara Awkwafina mirip sama suara si Amethyst). Mereka berdua ini orangnya nyante banget. Gak kayak sahabat mereka yang orang-cina-kesayangan-keluarga banget, Shaun dan Katy lebih suka berkaraoke dan nyaman sama kerjaan mereka yang dianggap tidak memenuhi standar keluarga. Sebenarnya, ada alasan bagus – yang rahasia! – kenapa Shaun menikmati hidupnya seperti itu. Begini, keluarga Shaun bukanlah keluarga standar seperti keluarga Katy. Ayah Shaun tidak lain tidak bukan adalah The Mandarin, pendekar penguasa, pemegang senjata sepuluh cincin yang legendaris, pemimpin kelompok Ten Rings yang sudah mencatat lembar kelam sejak beribu tahun lalu. Shaun, nama sebenarnya Shang-Chi, sejak kecil dilatih ayah jadi assassin, demi membalaskan dendam kepada pembunuh ibu. Shaun kabur dari kehidupannya tersebut. Meninggalkan ayahnya, adiknya, dan siapa dirinya yang sebenarnya. Tapi sebagaimana yang disaksikan oleh Katy dan kita, Shaun terendus oleh ayahnya, dan dia dipaksa pulang. Karena menurut ayah, ibu masih hidup. Terpenjara di tanah legenda. Shang-Chi harus kembali dan menghadapi semua yang pernah ia tinggalkan. 

Sekarang mungkin kalian sedikit mengerti kenapa aku malah ngerasa kayak nonton film Kung-fu saat nonton film ini. Naskahnya benar-benar fokus kepada konflik dalam keluarga pemimpin organisasi hitam! Shang-Chi adalah cerita tentang seorang anak yang kabur dari kehidupan itu karena dia gak sudi menapaki jalan tersebut. Mana ada cerita original dari superhero Marvel yang seruwet dan sedalam ini, at least sejak Winter Soldier? Dan naskah berhasil berkelit dari membuat Shang-Chi tampak seperti karakter sok suci yang membosankan. Karena pertanyaan yang berkecamuk di dalam dirinya adalah apakah saya pengecut telah kabur? Keluarga yang jadi sentral cerita ini ditulis dengan detil dan relatable. Semuanya jadi pendukung yang menambah banyak pembelajaran bagi karakter Shang-Chi. Ada adik perempuan Shang-Chi, yang merasa diremehkan oleh ayah, dan ditinggalkan oleh Shang-Chi, sehingga tumbuh menjadi pemimpin organisasinya sendiri. Ada ibu Shang-Chi yang dirancang sebagai karakter paling berpengaruh, yang mendaratkan dan merekatkan keluarga ini. Kematiannya jadi titik balik karena sebegitu berperannya Ibu bagi mereka semua. 

Film sempat nge-poke fun Shang-Chi yang kabur tapi ganti namanya malah ‘cuma’ jadi Shaun (ganti nama kok mirip). Namun jika kita melihat on deeper level, keputusan nama tersebut melambangkan keraguan karakter ini. Yang ditakutkan oleh Shang-Chi adalah dia bakal jadi penerus ayahnya, karena itulah yang budaya keluarga mereka. Tapi ia juga adalah ‘warisan’ ibunya.  Kebingungannya akan itulah yang membuatnya kabur. Yang harus dipelajari Shang-Chi dalam kisah ini adalah bahwa anak gak bisa kabur. Melainkan mewarisi baik dan buruk keluarga. Shang-Chi harus mengembrace, dan memantapkan apa yang nanti ia wariskan berikutnya. 

 

Dan tentu saja, ada ayah Shang-Chi. Pria yang dikenal dengan banyak nama, karena reputasinya yang mengerikan. Tapi dia settle dengan nama The Mandarin, karena baginya filosofi di balik nama itu cukup ‘lucu’ (akan ada dialog eksposisi yang menceritakan tentang ini, dikemas dalam bentuk bincang-bincang santai di meja makan). Diperankan oleh ikon Hong Kong, Tony Leung yang jago kung-fu dan drama, The Mandarin boleh jadi adalah salah satu dari sedikit sekali penjahat-Marvel yang punya karakter paling compelling. Paling manusiawi. Secara simpel kita bisa bilang dia adalah karakter jahat yang bersedia jadi orang baik atas nama cinta. Secara lebih kompleks – cara yang diterapkan oleh film ini – The Mandarin adalah karakter yang berakar pada tradisi, norma pejuang, kebanggaan, kehormatan, kekuatan (practically sifat-sifat yang dilambangkan oleh legenda kesepuluh cincin). Dia bukan karakter yang jahat licik pengen menguasai dunia. Kita akan melihatnya lebih sebagai sosok ayah yang sudah terluka banyak, tapi juga sangat keras. Kita bersimpati, sekaligus merasa takut kepadanya. Film ini bekerja terbaik saat memperlihatkan hubungan atau konflik yang mengakar begini antara anggota keluarga ini. Sutradara tahu di situlah – pada grounded-nya itulah – letak kekuatan yang dimiliki film ini, maka ia berusaha sebisa mungkin untuk mencapai itu saat men-tackle elemen yang lebih fantasi.

sangchiScreen-Shot-2021-06-25-at-10.31.21-AM
Sialnya, aku menyangchikan film ini tidak di bioskop

 

 

Tanpa banyak ba-bi-bu lagi, Shang-Chi punya sekuen-sekuen berantem terbaik yang pernah kusaksikan sepanjang Marvel Cinematic Universe berlangsung. Ketika film Marvel yang lain banyak berseru-seru ria dengan aksi superhero, sebagian besar porsi laga film Shang-Chi berlangsung dengan gaya berantem Kung-fu. You know, berantem yang tampak plausible meskipun memang masih sangat bergantung kepada efek CGI, stuntmant, dan kerja kamera serta editing. Seenggaknya, sebagian aktor di sini memang punya pengalaman beladiri, pembuatnya pun tampak memahami seni itu dan tau cara terbaik dalam merekamnya. Jadi mereka semua tau apa yang harus dilakukan. Favoritku adalah adegan berantem di dalam bis, sekuennya dari awal-tengah-hingga akhir is pure excitement dan joy. Sekuen itu muncul di babak awal, dan film terus menaikkan game mereka untuk aksi-aksi ini. Kita bakal melihat berantem di pondasi bambu (kayak di Rush Hour 2), dengan kamera yang aktif ‘melayang’ ke sana kemari, memastikan cerita lewat berantem itu sampai dengan gemilang. Di menjelang akhir, kita akan disuguhkan adegan berantem yang kita saksikan lewat cermin di dalam ruangan. Kamera akan berputar 360 derajat, kita akan melihat tubuh beterbangan, dengan sensasi direction yang diajak bermain-main, bergantian antara pantulan cermin dengan tidak. Ketika memang harus aksi satu-lawan-satu, film ini pun gercep dengan perspektif. Menghasilkan gerak yang dinamis sesuai gerakan berantem, tanpa pernah menjadi memusingkan. Ketika harus fantasi pun, pertarungan akan tetap terasa berbobot. Aksi-aksi seperti pertarungan Dragon Ball itu ternyata bisa kok dibikin dengan indah dan meyakinkan!

Setelah semua itu, makanya babak ketiga film ini jadi kurang greget. Setelah pertempuran kung-fu satu lawan satu, aksi berantem yang interaktif dengan settingnya, dan jurus-jurus yang sepertinya mungkin untuk dilakukan (hanya dipercantik/dibikin makin intens oleh efek komputer), di babak akhir film mengembalikan semua itu ke fantasi superhero. Pertarungan dengan naga-naga, dan makhkluk CGI. Seketika aku merasa kehilangan banget. Akhiran yang diniatkan untuk besar-besaran tersebut justru jadi terasa menutup film dengan… kecil. Dengan biasa. Tidak ada lagi excitement dari drama karakter, karena semuanya berubah menjadi “kalahkan monster sebelum dunia jadi kacau itu!” Meskipun tetapi dilakukan dengan kualitas teknis luar biasa, tapi tetap saja jika dibandingkan dengan perjalanan-karakter yang sudah kita tempuh bersama sedari awal, film ini tetap terasa berakhir dengan sedikit underwhelming.

 

 

 

Tapi ya, mau bagaimana. Tidak mungkin juga itu dihilangkan, dan meminta film untuk tetap dengan berantem ‘sederhana’. Karena afterall, ini adalah entry berikutnya dari jagat sinema superhero. Film ini terikat untuk menjadi fantastis seperti yang kita lihat di akhir. Film ini terikat oleh kebutuhan untuk ‘menjual’ dunia yang lebih besar, untuk ‘ngetease’ ke film superhero yang akan datang. Film ini terbebani oleh tuntutan menyampaikan eksposisi dan flashback. Maka, yang harus kita apresiasi di sini adalah upaya film untuk menjadi seunik dan seberkarakter mungkin, di sela kebutuhan-kebutuhan tersebut. Toh film berhasil, kita telah dibuatnya terhanyut oleh konflik keluarga yang pelik dan  menyentuh. Kita telah dibuatnya peduli sama karakter-karakter. Mulai dari pendamping atau sidekick, hingga ke antagonis, semuanya berhasil dibuat berbobot. Kita juga telah dibuat terkesima oleh dunia dan aksi-aksi yang mewarnainya. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 ten rings, eh 10 gold stars! for SHANG-CHI AND THE LEGENDS OF THE TEN RINGS

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apa yang biasanya kalian pilih untuk lakukan jika ada tindakan atau keputusan dari orangtua yang tidak kalian setujui?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA