TURAH Review

“Either give up and die or die trying”

 

 

Satu lagi permata di antara kelimpahan batu, Turah adalah film yang berani mengangkat dan mengambil wujud berbeda dari film-film lain. Namun, ini adalah permata yang amat kasar. Menontonnya kita tidak akan merasa senang, atau gembira, atau berbunga, atau jumawa melihat tokoh baik berhasil mengalahkan tokoh jahat. Sebab depresi hidup adalah lawan yang berat; antagonis sebenarnya yang membawahi rasa takut, putus asa, dan berbagai macam perasaan negatif lain. Sutradara Wicaksono Wisnu Legowo menghimpun semua – tanpa memanis-maniskan keadaan – dan memperlihatkan kepada kita secara langsung seperti apa hidup yang untuk berharap aja, kita udah takut.

Kalo mau dideskripsikan, maka aku akan menggunakan istilah tempat jin buang anak untuk menjelaskan tempat seperti apa Kampung Tirang. Literally banyak mayat bayi yang ditemukan di kali dan dikubur di pinggir kampung. Tempat itu bahkan bukan ‘kampung’ beneran. Dia hanya sepetak tanah timbul dari endapan kali yang digunakan sebagai tempat tinggal buat orang-orang yang tidak mendapat tempat di dunia seberang kalinya. Orang-orang terbuang, dilepehkan mentah-mentah. Bagi kelas atas, mereka hanya tambahan suara saat pilkada. Janji-janji kesejahteraan itu tak perlu ditepati. Air bersih dan tempat tinggal yang layak? Pake aja apa yang ada! Turah sudah dari kecil tinggal di Kampung Tirang. Untuk memenuhi nafkah keluarga, dia dan para warga yang lain bekerja sebagai buruh pribadi Juragan Darso. Ternak kambing, barang bekas, tambak ikan, semua dijual ke Darso yang kemudian akan memberi upah kepada mereka.

Cukup? Tentu saja jauh!

 

Turah mungkin manut dan masih bisa legowo, istrinya dengan bijak menolak punya anak hanya untuk menambah korban sengsara, dapur mereka masih bisa ngebul walau hanya pas-pasan. Ditanyai apa ada kebutuhan yang masih kurang? Turah dan segenap penduduk menjawab “tidak ada, sudah cukup semua.” Namun tidak begitu dengan sahabatnya, si Jadag. Pemabuk ini sudah capek hidup susah, sudah bertahun-tahun dia bekerja kepada Darso namun hidupnya tak kunjung naik kelas. Dia cemburu sama Pakel yang sarjana. Jadag menyuarakan aspirasinya, mengajak Turah dan warga untuk membuka mata mereka, bahwa mereka bisa mendapat lebih, keringat mereka mestinya mengering masuk ke pundi-pundi masing-masing. Jadag mengambil rute protes yang beanr-benar frontal sehingga jika air kali yang tenang adalah Kampung Tirang, maka Jadag adalah batu yang dilempar ke sana, membuat riak-riak yang mengancam zona nyaman tempat terkutuk itu.

Hidup, sebagaimana yang diperlihatkan oleh film ini, adalah siklus yang selalu bertemu dengan kematian. Kita bisa menyerah dan mati. Atau mencoba, dan mati karenanya. Jadi, kenapa mesti takut? Keadaan suatu kaum tidak akan berubah, kecuali mereka mengubah keadaan mereka sendiri. Kita tidak bisa mengharapkan perubahan tanpa mengambil langkah untuk berubah.

 

Suara dan cahaya dalam film ini semuanya berasal dari alam. Kita tidak mendengar musik pengiring. Kita tidak melihat cahaya yang diekpos editing studio berlebihan. Hasilnya adalah sebuah gelaran gambar bergerak yang tampak nyata. Hampir seperti dokumenter ataupun live video. Sekuens menjelang penutup, yang malam-malam ujan gede itu, adalah yang paling membuatku takjub. Ditambah dengan pemahaman konteks cerita saat di titik itu, wuih bulu kudukku meremang saat menontonnya Film ini memang sangat suram. Hampir-hampir sukar untuk ditonton. Sekalipun ada humor yang terlontar dari percakapan para tokoh, maka itu adalah jenis humor yang bikin kita ragu apakah pantas menertawakan atau enggak. Sebab film ini cukup pintar untuk tidak menampilkan hal dalam satu dimensi. Bahkan tokoh Juragan Darso tidak semena-mena ditampilkan culas.

Penampilan akting para pemain nyaris sangat teatrikal. Aku gak bilang aktingnya kaku. Para aktor justru memainkan perannya, mendeliverkan emosi dengan sangat baik. Kita bisa merasakan pengaruh kata-kata Jadag merasuk lewat pancaran mata Ubaidillah yang memainkan Turah. Kita bisa merasakan geram dan later, kebimbangan menyeruak saat perlahan Slamet Ambari yang jadi Jadag runtuh oleh kesadaran tentang keadaan orang-orang di sekitarnya dan apa yang mereka pikirkan atas tindakan dirinya.  Dan menurutku ini agak berkonflik dengan kepentingan film untuk tampil serealistis mungkin. Ceritanya sendiri sudah cukup serius dan kelam, kita melihat penghuni kampung tersebut dalam keadaan susah – tak pernah senang – dan mereka tidak mengeluh. Tepatnya tidak berani mengeluh. I think film perlu memperlihatkan kepada kita gimana mereka tampak senang hidup di sana, sebagai kontras dari inner struggle yang dikubur dalam-dalam. Tapi enggak. Jadi kita dapat film yang muram dari awal hingga akhir, ditambah dengan dialog penuturan yang dibawakan dengan terlalu serius. Sangat menitikberatkan pada hal-hal emosional. Sehingga semakin ke ujung, aku kehilangan atmosfer otentik yang ingin ditonjolkan oleh film.

but seriously, mereka ngebuildnya begitu hebat aku jadi penasaran pengen lihat tokoh Ilah

 

Di satu sisi kita punya Jadag yang nyaris –nyaris menjadi over the top. Di sisi lain, tokoh utama cerita, Turah tidak benar-benar melakukan apa-apa. Tapi actually, ini adalah story arc dari Turah. Sebagian besar film, mengikuti Turah adalah kerjaan yang membosankan dibandingkan dengan adegan-adegan yang ada si Jadag. Turah kalah menarik. Dia tidak mengambil keputusan. Dia tidak memancing konflik. Dia berada di sana hanya bereaksi terhadap aksi yang dilakukan oleh Jadag. At times, aku kepikiran kalo Jadag bisa jadi adalah tokoh utama yang bisa membuat film lebih eventful. Tapi tentu saja, Turah punya kepentingan menyampaikan satu pesan tertentu pada narasi, yang aku bisa mengerti konteksnya kenapa film ini tetap menjadikan dia sebagai tokoh utama.

Meskipun usahanya tidak berbuah manis lantaran penuh oleh amarah, Jadag adalah pahlawan dalam cerita Turah. Sisa-sisa keberanian di dalam diri Turah terbangkitkan, dia belajar dari kesalahan yang dibuat oleh Jadag. Sekali lagi, ini adalah tentang diam saja atau mengambil tindakan. Pertanyaannya sekarang tindakan yang bagaimana. Jadag menggugurkan satu ekuasi, sehingga menyisakan satu lagi. Dan itu  sehubungan dengan kenapa mereka mau tinggal di sana. Kita tidak perlu stuck di satu tempat. Orang-orang di Kampung Tirang sebenarnya punya keahlian. Mereka memang pernah terbuang, tapi mereka bukan sampah. Mereka adalah leftovers yang enggak dipakek. Tindakan yang mereka ambil mestinya adalah sesimpel pergi mencari tempat yang membutuhkan kepandaian mereka.

 

 

 

Wakil terpilih dari film Indonesia untuk bersaing di Film Asing Terbaik ajang Oscar tahun 2018 mendatang. Makanya, aku sempat kecele pas Bandung enggak kebagian jadwal tayang film ini. Dan pada akhirnya, buatku, film Turah ini benar-benar seperti ‘sisa-sisa’ yang aku pungut dari bioskop alternatif, tapi perlu diingat, sisa-sisa bukan melulu berarti sampah. Karena aku justru merasa seperti baru saja menang lotere sehabis menonton film ini. Sisi kemanusiaan yang kuat, komentar tentang kecemburuan sosial, tentang kepemimpinan, film ini menyentuh jauh lebih luas dari sepetak tanah kampung. Kerelevanan ini membuatnya pantas terbang ke Oscar. Meski sebenarnya dia bukan pilihan satu-satunya, ada film yang lebih baik daripada ini – teknis maupun penulisan. Karena buat sebuah film yang menyuarakan harapan, film ini kadang tampil terlalu muram untuk membuat penonton peduli.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for TURAH.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

NAURA DAN GENK JUARA Review

“There are more important things in life than winning or losing.”

 

 

Bikin film anak-anak itu enggak gampang. Terutama, karena orang dewasa pembuat filmnya sudah lupa gimana caranya menjadi anak-anak. Nanti dulu bicara soal karena susah mengatur dan mengarahkan mereka, kita yang udah gede ini udah lumayan susye untuk tidak menyepelekan anak kecil. Kita bersikap terlalu manis kepada mereka, dengan alasan menjaga hati. Kita bicara dengan mengecilkan mereka, we’re sugarcoated everything for them, karena kita menganggap mereka tidak mengerti. Padahal kalo diingat-ingat lagi, sewaktu kecil kita justru paling keki kalo dianggap ‘anak ingusan’ sama orangtua.

Tidak ada penghargaan yang lebih besar buat anak kecil ketika mereka diperlakukan setara dengan orang dewasa, ketika mereka dipercaya untuk bertindak dan menyelesaikan masalah sendiri. Film Naura dan Genk Juara berusaha untuk memahami itu.

Para tokoh cilik film ini diberikan kesempatan untuk ‘menang’ di atas orang dewasa yang meremehkan mereka, bekerja sama memecahkan masalah sebelum orangtua menyadari, dan mereka melakukan semua itu dengan bersenang hati. Mereka nari dan bernyanyi!

 

Film ini ringan dan benar-benar menekankan kepada pentingnya persahabatan. Ceritanya dapat menginspirasi anak-anak. Naura berhasil menjadi ketua rombongan sekolah mereka di acara Kemah Kreatif. Ya, di film ini kita akan melihat anak-anak menggunakan teknologi untuk kegiatan yang kreatif dan positif. Karena pengalaman dan sifat memimpinnya, Naura kepilih walaupun proyek GPS pelacak binatang yang ia rancang masih kalah poin dari drone si Bimo . Peristiwa tersebut sempat menimbulkan tensi di antara mereka, membuat sekolah mereka agak tertinggal dari sekolah lain di perkemahan. Sebuah peristiwa penculikan hewan-hewan di penangkaran perkemahanlah yang membuat Naura dan Bimo dan Kipli dan teman-teman lain  bersatu. Mereka mengusut misteri sindikat penculikan, yang juga menyulik salah satu teman sekelas Naura, dan eventually anak-anak ini harus menggagalkan aksi pencuri sendirian, sebab para ranger pengawas sudah dikecoh oleh para penjahat.

“Jaket? Kaos kaki? Baju? Obat?” well Papa sih gak nanyain celana panjang, ketinggalan deh punya Naura

 

Sedikit lebih berwarna, akan sulit bagi kita untuk tidak membanding-bandingkan film ini dengan Petualangan Sherina yang tayang tahun 2000 waktu aku masih unyu-unyu. Keduanya sama-sama musikal. Keduanya berlokasi di hutan. Keduanya punya tokoh utama anak cewek. Sherina dalam film itu adalah seorang murid baru yang dikerjain oleh anak laki-laki badung, Sherina ini mandiri, kita ngeliat dia sengaja nempelin bandage luka di badannya biar kayak jagoan. Petualangan Sherina arahan Riri Riza terasa meyakinkan dan menarik karena hal-hal kecil seperti itu; Sesuatu yang tidak dimiliki oleh film Naura dan Genk Juara. Naura, sebagai tokoh utama, ditulis sebagai karakter yang…. actually, aku agak bengong kalo ditanya Naura ini anaknya bagaimana. Dia ingin sekolahnya juara. Dia bisa bernyanyi dengan baik, dia bisa ngedance dengan keren. Dia anak baik, and that’s it. Kita tidak tahu apa kebiasaannya, tidak ada yang memberi petunjuk tentang siapa tokoh ini lebih dalem lagi. Dia jarang membuat pilihan, dia tidak diberikan konflik internal. Semua yang ia capai diberikan begitu saja kepadanya. Naura bahkan enggak ‘berjuang’ demi alatnya sendiri, yang berantem membelanya malah temen yang lain. Di babak terakhir pun, Naura tidak secara langsung ikut ‘berperang’ bareng anak-anak yang lain. Plot karakter Bimo justru yang lebih menarik, malah menurutku kita bisa bikin cerita anak yang sedikit lebih kelam jika mengeksplorasi Bimo sebagai tokoh utama.

Petualangan Sherina membuat tokoh Sherina berbeda dari tokoh lain dengan memberinya karakter, hobi, motivasi yang kuat. Sedangkan film Naura dan genk Juara membuat Naura stands out dari anak-anak yang lain dengan memberinya hotpants. Pilihan pakaian tersebut merupakan bukti kelemahan penulisan film ini.

Tidak ada gunanya juara, jika kita tidak bisa melakukan sesuatu yang berguna lantaran kita sibuk memikirkan diri sendiri. Apa gunanya kita menang sendiri, sementara kemenangan tersebut tidak dishare bersama teman-teman. Atau lebih parah, tidak punya teman untuk dishare. Persahabatan adalah piala yang lebih berharga daripada piagam manapun di dunia.

 

Nilai lebih yang diberikan oleh sutradara Eugene Panji pada film ini adalah dia tidak ragu menghadirkan tokoh penjahat yang lebih menacing. Penjahat di sini enggak dibikin bego-bego amat. Mereka masih terlihat sebagai ancaman, dan kita melihat anak-anak itu benar-benar dibentak. Menurutku, ini adalah pilihan yang bagus karena biasanya tokoh penjahat di film anak, sepenuhnya dijadikan bagian komedi, sehingga stake dan bahaya itu enggak benar-benar terasa. Sekali lagi, karena kita biasanya memandang rendah kemampuan anak-anak, dalam hal ini mentalnya. Makanya banyak film anak yang punya masalah di tone cerita. However, film ini dengan elemen penjahat pun, tone-nya tetap berhasil tampil seimbang.

Lirik dan irama lagu-lagu dalam film ini catchy, gampang banget deh buat disukai. Tetapi, beberapa adegan musikal terasa terpisah dari narasi. Ada tokoh yang keluar-dari-karakter ketika bernyanyi. Tidak ada kesinambungan feel antara adegan nyanyi dengan adegan sesudahnya. Malah terkadang mereka bernyanyi gitu aja tanpa ada alasan, karena film enggak mampu merangkai adegan tersebut dengan baik ke dalam cerita. Sampai-sampai kita ngerasa ‘ini si Naura kerjaannya nyanyi doang sementara teman-teman di sekitarnya sibuk ngerakit alat-alat untuk proyek science.’ Kamera jadi tampak kebingungan antara ngesyut adegan anak-anak merakit atau Naura ngedance. Dan jadinya memang terlihat frantic banget. Apalagi di adegan opening di sekolah, editing film cepet banget berpindah dari anak-anak bikin percobaan ke adegan menari. Padahal menurutku, perlu juga dong memperlihatkan proses actual pembuatan percobaan-percobaan itu supaya anak-anak bisa tertarik untuk mencobanya di rumah, jadi bukan hanya nyobain narinya.

Satu lagi yang aku kurang sreg dari musikalnya adalah pemilihan lokasi. Serius deh, mereka syuting di hutan wisata, tapi nyanyi-nyanyi disyut di tempat yang itu –itu melulu. Ini bukan salah di kreativitas sih, menurutku, film hanya ingin tampil efisien – supaya syutingnya gampang or whatever. Yang jelas, film jadi sedikit membosankan.   Dan melihat banyaknya adegan iklan sisipan, sepertinya film ini punya sokongan dana yang enggak sedikit. Adegan pembukanya malah memperkenalkan kita dengan para tokoh lewat animasi tiga-dimensi yang halus. Actually, di menjelang babak ketiga kita bakal ngeliat satu lagi adegan animasi, kali ini kayak kartun klasik Jepang, yang aku gak paham entah apa maksudnya film memasukkan dua animasi dengan style yang berbeda.

ajarin kakak bikin hantu-hantuan dari asap dooongg

 

Aku sebenarnya gak suka membicarakan hal-hal lain di luar film, kayak gosip pemain, kehidupan pribadi si pembuat film, ataupun kontroversi seputar film. Karena ketika ngulas film, mestinya kita membicarakan tentang film itu thok! Apa yang bekerja pada unsur-unsurnya, apa yang tidak, mana yang kusuka, mana yang enggak sreg. Tapi mengenai film Naura ini banyak banget yang menanyakan, kita semua pasti sudah mendengar ada beberapa penonton yang enggak suka dengan penggambaran salah satu tokoh pada film ini, penggambaran yang dianggap melecehkan. Well, aku, bahkan pembuat filmnya pun sebenarnya enggak bisa berbuat apa-apa selain mungkin mereka menjelaskan dan menenangkan yang tersinggung. Ketika membuatnya, adalah langkah yang keren untuk membuat film terasa nyata oleh tokoh-tokohnya, tapi reaksi penonton tidak bisa dikendalikan sebab film adalah pengalaman personal.

Dan secara pribadi, dengan menonton langsung, aku tidak melihat hal-hal yang menyinggung dalam film ini. Malahan, di luar perkiraanku, film ini berhasil ngehindarin berbagai jebakan stereotipe, meski memang karakter-karakter yang ada berdimensi satu, di luar fungsinya sebagai pemantik komedi. Untuk kalimat istighfar dan takbir yang dipermasalahkan, aku menangkapnya bukan sebagai lelucon komentar budaya. Akan tetapi hanya sebatas seperti si tokoh kaget hingga latah, dan dalam latahnya itu ia mengucapkan Astaghfirullah. But still, mestinya kita-kita bisa mengambil tindakan positif. Gak musti langsung melarang orang menonton. Buat yang bikin pun, sepatah kata maaf juga sepertinya cukup untuk menenangkan. Karena seperti yang disampaikan cerita Naura – aku harus keluar dari karakter blog sebentar – tidak ada yang menang atau kalah kan di sini.

 

 

Buat yang susah nyari tontonan yang aman buat anak atau adiknya, film ini sangat bisa jadi pilihan tontonan keluarga. Anak-anak akan suka, sukur-sukur jadi kepancing untuk jadi ilmuwan nyiptain sesuatu yang berguna. Mereka bakal ingin seperti Naura yang jago nyanyi, tapi sebagian besar mungkin akan pengen terkenal seperti tokoh Naura yang diperankan oleh Adyla Rafa Naura Ayu. Karena tokoh film yang mereka ikuti di sini tidak benar-benar memberikan impresi dari sikapnya/ Dari wataknya. Penonton butuh tokoh yang bisa mereka cintai, bukan yang mereka sukai. Cinta itu datang dari tokoh yang terasa dekat, yang bercela seperti mereka. Film hanya tampil standar despite dirinya sangat dibutuhkan dalam scene perfilman tanah air yang kering hiburan untuk anak-anak.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for NAURA DAN GENK JUARA.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

MARROWBONE Review

“Shame is the feeling of being something wrong.”

 

 

Ibu membuat garis di lantai rumah tua yang berdebu. “Cerita kita dimulai dari sini” katanya. Dengan mantap ia membimbing keempat anaknya melangkahi garis tersebut sebagai simbol mereka memulai hidup yang baru. Dengan mengganti nama keluarga menjadi Marrowbone, mereka wujudkan keinginan mereka untuk hidup terasing. Jauh dari masa lalu. Malahan rumah gede yang mereka tempati sekarang jauh dari mana-mana. Tetangga terdekat mereka di bukit depan, satu jembatan jaraknya. Namun tak lama, Ibu meninggal dunia. Tragedi masa lalu pun sampai pula mengejar Jack dan tiga orang adiknya. Marrowbone sesungguhnya adalah cerita menyedihkan tentang kakak beradik yang berusaha untuk hidup tenang, tetapi terus diteror oleh ‘hantu’. Rumah tangga mereka terbangun atas dasar trauma dan rahasia, sehingga kita bisa saja membuang elemen hantu dalam narasi dan tetap saja film ini akan terasa sangat pilu.

ah, move on dari kenangan tidak pernah segampang melangkahi garis di lantai

 

Aku perlu menegaskan bahwa meskipun kerja paling baik dari Marrowbone adalah ketika film ini mengeksplorasi elemen supranatural, sesungguhnya kalian tidak akan mendapatkan horor sebenar-benarnya film hantu saat menonton ini. Menulis skenario drama seperti ini jelas bukan masalah besar bagi Sergio G. Sanchez yang sebelumnya turut ikutan menulis The Orphanage (2007) yang punya tone serupa dengan film ini. Tapi Marrowbone juga adalah debutnya duduk di kursi sutradara. Ketika bermain-main dengan build up, dengan mengarahkan para karakter, membuat rumah besar itu menjadi penuh misteri dengan segala bunyi-bunyi, cermin-cermin yang ditutupi, noda-noda tak terjelaskan di langit-langit, Marrowbone terlihat sangat efektif. Kita bisa ikut merasakan atmosfer dan suasananya. Ada sensasi terkungkung, ketakutan di layar sana yang menarik kita masuk.

Yang membuat kita betah mengikuti adalah penampilan akting dari para pemain yang masih pada muda-muda. Tokoh utama kita adalah Jack, si anak tertua. Sepeninggal Ibu, dia menjadi kepala keluarga. George Mackay butuh mengerahkan usaha yang esktra sebab perannya ini enggak hanya diwajibkan untuk tampil tertutup serba berahasia. Namun sekaligus juga bingung, ia ingin memenuhi wasiat ibunya, ingin melindungi adik-adiknya, tapi dia tidak sepenuhnya menyadari apa yang terjadi – pada dirinya, pada sekitarnya. Dia juga punya saingan cinta yang membuat tokoh ini lebih berwarna lagi, dan bahkan range emosi  semakin meluas ketika cerita sampai ke titik pengungkapan. Adik-adik Jack, sebaliknya, tidak diberikan kesempatan melakukan banyak. Mereka bersembunyi dari ayah dan dilarang keluar rumah oleh Jack demi keselamatan mereka. Mia Goth dan alumni Stranger Things Charlie Heaton memang agak disayangkan kebagian porsi yang sedikit, tapi mereka deliver apa-apa yang diminta oleh naskah dengan baik.

Sama seperti yang ia lakukan dalam The Witch (2016), Split (2017), dan Morgan (2016), Anya Taylor-Joy mencuri sorotan dan menjadi elemen terbaik yang dipunya oleh film. Di pertengahan film, perannya agak berkurang. Anya bermain sebagai Allie, tetangga terdekat sekaligus pacar dari Jack. Dia keluar-masuk cerita, barulah di babak terakhir perannya kebagian tindakan gede, Secara konstan penampilan Anya di sini baik sekali. Emosional, tokohnya enggak bego, tokohnya memang satu-satunya yang enggak menyimpan rahasia, dan dia bermain sama jujurnya – amat meyakinkan. Akan tetapi, serealistisnya penampilan Anya, dia tetap tidak mampu membuat keseluruhan film tampak menarik dan meyakinkan. Misteri-misteri yang dimasukkan tidak pernah menjadi misteri, maksudku mereka membingungkan oleh alasan yang lain. Kita tahu apa yang terjadi. Kita hanya tidak tahu apakah memasukkan elemen itu adalah keputusan yang tepat untuk film ini.

Keluarga Jack mengasingkan diri sebagai reaksi dari perlakuan kejam sang ayah, dan ironisnya mereka juga berusaha melarikan diri dari social shame. Mereka kehilangan self respect. Mereka menjadi lunak. Tapi untuk hidup, mereka harus kuat. Ditekan oleh banyak hal seperti ini, malu, takut, keinginan untuk bertahan, bisa dengan gampang merusak seseorang, jika ia menjalani hidupnya sendirian. Inilah yang disadari oleh Jack dan Allie di akhir cerita, bahwa seberapapun parahnya keadaan, mereka harus mengusahakan untuk tidak merasa sendirian.

 

sembunyi di balik kain transparan, kayak twist film ini

 

 

Susah untuk menceritakan garis besar Marrowbone tanpa membeberkan terlalu banyak poin yang semestinya dirahasiakan. Film ini adalah film yang tulang punggungnya ada pada twist, dan film ini paham twist yang baik adalah twist yang merupakan satu-satunya terusan yang logis buat cerita, bukan sekedar belokan tajam untuk mengecoh.  Beberapa film ragu memberikan petunjuk karena mereka menyangka twist yang bagus itu adalah yang tak-tertebak. Jadi pada kebanyakan film kita tau-tau dikejutkan oleh pengungkapan seperti siapa yang ternyata siapa, yang jahat ternyata si yang paling pendiam, atau semacamnya yang tak pernah dibuild up. Film ini tidak mempermasalahkan twistnya yang mudah tertebak. Sejak peluru pertama ditembakkan dan kita lompat ke enam bulan kemudian di sepuluh menitan pertama, aku yakin banyak di antara kita yang sudah bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi di bawah atap rumah Marrowbone. Film tetap pada track dan dia terus membangun suspens supaya ketika jawaban itu sudah di depan mata, kita dapat merasakan sensasi emosi yang gempita.

Gakpapa untuk sebuah film punya twist yang gampang ditebak, namun toh rasa malu itu tetap ada. Sama seperti kita yang sadar betul narsis itu udah lumrah, tapi kita kadang tetap merasa malu ngepost foto narsis sehingga kita memakai caption nyontek quote-nya Tere Liye supaya kita bisa jadi ada alasan bagus buat ngepost foto narsis. Trope-trope film lain, serta berbagai supplot serabutan, adalah laksana quote Tere Liye di foto selfie narsis bagi Marrowbone. Film ini melemparkan elemen cinta segitiga, rumah hantu, misteri pembunuhan, anak kecil yang paling peka sama yang goib-goib, ada juga blackmail soal duit, untuk menutupi twist yang sudah disiapkan. Dan tidak satupun yang tercampur dengan baik. Narasi menjadi amat berbelit. Mereka tidak membuat kita lupa terhadap twist, sama sekali tidak mengaburkannya, yang ada hanyalah elemen-elemen tersebut membuat film menjadi sesak dan tidak mencapai potensi suspens drama yang semestinya bisa dicapai.

 

 




Sejatinya ini adalah drama keluarga yang amat melankolis dengan dibayangi oleh lapisan supernatural. Mengeksplorasi tentang rasa bersalah, rasa malu, dan ketakutan. Punya tema, desain produksi, dan penampilan akting yang bakal menarik minat penggemar horor arthouse. Dibangun berdasarkan twist, membuat film ini pun ikut dilirik oleh penonton mainstream. Para aktor muda berusaha semampu mereka, sama seperti film ini berusaha sekuat tenaga untuk menutupi twist yang mereka tahu gampang ditebak. Jadinya, ada banyak elemen yang kita jumpai, yang hanya membuat plotnya convoluted. And it just doesn’t work. Banyak adegan yang kehilangan bobot karena kita gak sepenuhnya yakin itu hantu beneran, atau imajinasi, atau apakah mereka semua beneran ada di sana.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for MARROWBONE.

 




That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.



Survivor Series 2017 Review

 

Survivor Series, sejarahnya, adalah tradisi untuk memperingati hari Thanksgiving. Pesta panen. Dan yang namanya pesta, pasti melibatkan banyak orang. WWE menyimbolkan ini dengan memasangkan superstar-superstar, dengan karakter yang beragam, ke dalam tim dan mengadu tim-tim tersebut dalam sebuah match. Jadilah perang lima-lawan-lima. Dan showdown antara brand Raw dan Smackdown selalu merupakan pertunjukan yang menarik minat.

Masalahnya dengan tradisi yang coba dibangun ini adalah, lama kelamaan Survivor Series berubah menjadi literally berjuang untuk survive ketimbang perayaan menghidupkan tradisi.

Karena WWE sepertinya tidak memiliki rencana jangka panjang dalam membangun acara ini, yang mereka lakukan sekarang adalah mendaftar ulang apa-apa saja yang sekiranya diinginkan oleh penonton, apa yang terbaik yang mereka punya, dan menyuapkannya – melemparkan begitu saja dengan harapan mendapat hasil paling memuaskan.

“gobble up, wobbles!”

 

Aku bukannya bilang aku gak mau melihat New Day melawan the Shield, ataupun bilang lebih suka melihat Lesnar melawan Mahal ketimbang melawan Styles. Kurt Angle serta Triple H berlaga kembali? Tentu saja aku akan duduk menggelinjang di depan TV! Tapi ini adalah masalah gimana mereka menceritakannya. Survivor Series 2017 kelihatan seperti sebuah rencana yang banyak direvisi, dicorat-coret, dengan banyak bagian cerita yang ditulis ulang karena mereka merasa gak pede dengan apa yang sudah mereka punya pada awalnya. Ada banyak elemen yang bekerja membangun perseteruan Raw dengan Smackdown, yang ditinggalkan begitu saja – yang tidak menambah apa-apa pada ujungnya. Seolah ditinggalkan oleh penulis aslinya, dan ditangani oleh orang lain, persis kayak film Justice League (2017). Acara ini mempertemukan juara masing-masing brand, dan mereka tidak lagi mempedulikan konsep face melawan heel dalam acara ini.

Jinder Mahal menantang Brock Lesnar adalah percikan yang mengawali kemelut dua brand tahun ini. Tetapi, tembakan yang sebenarnya, diacknowledge oleh show datang dari Shane McMahon yang membawa pasukan Smackdown menginvasi acara Raw. Mereka membuat ini menjadi pertarungan dua manajer acara, tanpa memberikan stake buat masing-masing superstar untuk ikut membela timnya. Shane literally barking orders ke superstar Smackdown. Maksudku, itu mereka punya Mahal dengan motivasi personal (dari storyline standpoint) eh kemudian mereka mengganti Mahal dengan Styles, dengan alasan penonton lebih suka melihat Styles melawan Lesnar. Di sisi Raw, mereka punya storyline tentang Kurt Angle yang kredibilitasnya dipertanyakan karena dia punya anak yang gak benar-benar disukai dan jadi weak link buat tim, dan elemen ini pun dikesampingkan begitu saja.

Survivor Series 2017 pada akhirnya memang menjadi acara yang bergantung kepada starpower, lantaran WWE menyadari titik lemah dari konsep perang antar-brand ini. Yakni, mereka tidak berani mengambil resiko membuat salah satu brand tampak beneran lemah. Mereka tidak berani membuat skor yang jauh, seperti 5-2 atau malah 7-0. Kita akan selalu mendapat skor yang imbang, diceritakan dengan saling mengejar, dan ini membuat outcome beberapa match menjadi dapat dengan mudah ditebak. Jadi, WWE ingin membuat kita tetap tertarik dengan memberikan apa yang kita mau. Shield yang reuni melawan New Day yang sepanjang tahun ini udah konsisten menyuguhkan pertandingan bintang-empat, ditaruh sebagai match pembuka. Dan pertandingan ini sukses menjadi salah satu yang paling seru sebab kita melihat mereka saat skor masih nol-nol. Kepredictablean Roman Reigns bakal membawa timnya auto-win akan diabaikan sebab di titik ini kita hanya ingin melihat pertandingan yang seru. Dan mereka memang ngedeliver. Porsi awalnya agak lambat, namun di akhir banyak spot yang bikin kita menggelinjang.

Nyaingin partai tag tersebut,  AJ Styles melawan Brock Lesnar adalah penantang match terbaik di Survivor Series. Clearly, Lesnar lebih comfortable tanding dengan Styles, he looks like he have fun. Di luar beberapa botch karena antusiasme berlebihan, match dengan pace cepat ini kelihatan seperti pertarungan yang realistis. Offense-offense comeback dari Styles mengalir dengan natural dan meyakinkan. Sayangnya, match ini pun terbog down oleh kepredictablean skor. Saking gampang ditebaknya, bahkan salah satu peserta nonton bareng di Warung Darurat dapat menebak alur match dengan tepat, hingga ke bagian endingnya.

Pertemuan dua Wonder Woman WWE, Goddess melawan Queen, mainly diuntungkan karena berada persis di posisi skor dua sama. It was either Bliss or Lesnar yang akan menyetak angka buat Raw. Sehingga kita dapat dengan gampang terinvest ke dalam pertandingan ini. Actually, ini adalah satu-satunya partai yang mempertemukan antagonis melawan protagonis. Dan Charlotte tidak pernah benar-benar sukses sebagai seorang face. Penampilannya tidak konsisten dibandingkan Bliss yang tepat hingga ke gesture terkecil sebagai seorang yang jahat, jutek. At times, match ini tetap terasa seperti heel melawan heel. Bliss dan Charlotte actually saling mengisi, Bliss keliatan banget kalah dari segi teknikal, tapi kekuatan cerita tidak pernah putus darinya. Menonton match ini akan terasa seperti menonton cerita tentang seorang antagonis yang berusaha mengalahkan kelemahannya sendiri.

Serius Cole, jangan panggil Shin dong, emangnya Shinchan

 

Tradisi adalah soal generasi. Mempertanyakan kenapa John Cena 16 kali juara WWE sama dengan mempertanyakan kenapa Reza Rahadian melulu yang kebagian peran di film Indonesia. Pihak produser ataupun dalam kasus WWE, Vince McMahon, bukannya enggak percaya sama generasi, tapi mereka lebih aman memakai yang sudah terbukti menjual. Mereka lebih suka mempercayakan keranjang duit mereka dipegang oleh orang yang terpercaya, sembari mereka melatih tangan-tangan lain. Asuka, Roman Reigns, Braun Strowman adalah tangan-tangan yang mendapat push paling intens di antara superstar kekinian.

Selebihnya, Survivor Series masih bergantung kepada pegulat-pegulat lama. Main event acara ini melibatkan 10 orang yang sembilan di antaranya berusia di atas 35 tahun. Selain Braun Strowman, eliminasi yang terjadi dalam match ini adalah buah tangan Cena, Shane, Orton, Triple H, Kurt Angle. Ya, nama-nama yang sudah kita kenal sejak sepuluh tahun yang lalu. While awal match ini seru banget dengan menggoda kita dengan berbagai kemungkinan pertandingan impian (aku menggelinjang banget liat Balor ketemu Shinsuke Nakamura), setir masih dipegang oleh Triple H. This match is actually about him, dengan kepentingan ngepush Strowman sebagai face jadi agenda kedua. Sama seperti Traditional Survivor Series yang cewek, kita terinvest, namun pay off match ini tidak benar-benar berasa. Yang ada malah kita kebingungan sama ending match. I guess ekspresi Braun Strowman sangat tepat untuk mewakili wajah-wajah penonton Survivor Series. Saking bingungnya, crowd yang nonton live lebih heboh ngeliat Nia Jax lawan Tamina dibanding ngeliat The Bar lawan Uso loh, mantep.

 

 

Jika kita sudah sepakat Survivor Series adalah perayaan tradisi, maka sekarang coba kamu bayangkan balon-balon warna warni yang biasanya digantung dalam sebuah pesta perayaan. Ambil balon tersebut, kemudian kempeskan, niscaya balon tersebut tidak bisa terbang lagi. Survivor Series 2017 adalah balon yang terbaring kempes di lantai itu.
The Palace of Wisdom menobatkan Brock Lesnar melawan AJ Styles sebagai MATCH OF THE NIGHT

Full Result:
1. 6-MEN TAG TEAM The Shield ngalahin the New Day
2. WOMEN’S TRADITIONAL SURVIVOR SERIES TAG TEAM Asuka jadi sole survivor Team Raw mengalahkan Team Smackdown
3. INTERCONTINENTAL CHAMPION VS. UNITED STATES CHAMPION Baron Corbin mengalahkan The Miz
4. RAW TAG TEAM CHAMPIONS VS. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONS The Usos defeating Sheamus and Cesaro
5. RAW WOMEN’S CHAMPION VS. SMACKDOWN’S WOMEN’S CHAMPION Charlotte bikin Alexa Bliss tap out
6. UNIVERSAL CHAMPION VS. WWE CHAMPION Brock Lesnar mengalahkan AJ Styles
7. TRADITONAL SURVIVOR SERIES TAG TEAM MATCH Triple H dan Braun Strowman jadi survivor Team Raw mengalahkan Team Smackdown

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK Review

“We share the blame.”

 

 

Ada dua hal yang bisa kita lakukan saat rumah kita kemalingan; pasrah, atau melawan. Sebenarnya ada satu lagi yakni minta tolong. Tetapi jika rumah kita letaknya di tengah-tengah entah di bagian mana Sumba seperti rumah Marlina, teriak minta tolong jelas bukan pilihan yang cerdas.

Rumah Marlina selayaknya adalah sistem yang rusak, karena dia tidak lagi punya suami. Tanpa anak. Marlina adalah istri, seorang wanita yang tidak punya lagi pria sebagai sosok pelindung. Film dengan segera mencengkeram kevulnerablean Marlina melalui tujuh pria yang datang menyatroni rumahnya. Merampok ternak. Memakan sup ayam masakannya. Dan kalo masih ada waktu, bergiliran menidurinya.  Tapi Marlina beruntung, karena sistem di rumahnya akan terestorasi berkat tindakan para pria tak-diundang tersebut. Marlina masih akan berfungsi sebagai wanita; tunduk dalam bayang-bayang lelaki. Toh, ada dua hal yang bisa dilakukan dalam sebuah sistem yang rusak; diem-diem aja sejauh mana bisa bertahan, atau bergerak untuk mengubahnya. Marlina memilih mengayunkan parang. Empat babak cerita ini adalah tentang Marlina si pembunuh dari Sumba yang menunggang kuda, menenteng kepala pria, di sepanjang jalan berbukit nan tandus.

Dengan sebagian besar waktu menampilkan pemandangan alam, film ini tampak SEPERTI FILM KOBOi. Musiknya membuatku pengen bertualang lagi di wilderness  game Wild Arms. Tapi jagoan utama film ini bukanlah pria berpistol. Marlina tidak menunggang kudanya ke balik matahari tenggelam. Ini adalah western gaya timur, yang dengan berani mendobrak pakem-pakem yang ada. Film ini tidak seperti yang lain. Serius deh, aku sampai merasa kasihan sama penonton yang masih berbondong ngantri nonton superhero – bahkan sampai rela mendongak di barisan depan, sementara mereka sebenarnya bisa lega-legaan menonton Marlina yang tayang satu hari sesudahnya, dan menikmati kecantikan dan keindahan cerita yang jarang didapat.

Oh, betapa mereka tidak tahu apa yang mereka lewatkan..

 

Setiap pilihan yang diambil oleh sutradara Mouly Surya adalah beneran pilihan beresiko yang terbayar dengan amat memuaskan. Marlina boleh saja membawa kepala orang ke mana-mana, namun sebenarnya yang melakukan heavy-lifting di sini adalah Marsha Timothy. Dia membawa keseluruhan film ini dengan sangat meyakinkan, emosi perannya begitu menguar lewat penampilan yang penuh oleh ekspresi-ekspresi terkepal penampilan. In fact, arahan Mouly berhasil membuat semua tokoh film ini kuat oleh karakter, mereka terasa nyata.  Novi, teman Marlina yang sedang hamil tua, juga diberikan arc cerita yang berakar pada kenyamanan istri yang ‘ikut’ suami. Dea Panendra juga enggak tanggung-tanggung menampilkan emosi. Novi tadinya ingin pergi mencari suaminya yang kesel lantaran anak mereka belum lahir-lahir. Dari cara Novi bercerita, kita tahu dia masih ingin memegang hubungan yang erat dengan suami, meskipun suami sudah menyalahkannya – menuduhnya ada main dengan pria lain. Ini adalah ciri orang yang playing the victim banget. Mereka bertahan karena ada orang yang bisa mereka salahkan.

Tapi film ini cukup bijak menangani tema yang ingin disinggungnya. Kaum lelaki diberi kesempatan untuk triumph secara kemanusiaan. Film tidak terjebak dalam perangkap sebagai korban. Tidak semua pria digambarkan arogan seperti Markus dan teman-temannya.

Ya, terkadang orang-orang kampung Sumba itu tampak aneh, mengingatkan kita kepada tokoh-tokoh di serial Twin Peaks. Film ini memang sesekali menampilkan adegan yang brutal; pemenggalan kepala actually terpampang tanpa tedeng aling-aling, tetapi film bekerja dengan sangat efektif  ketika dia tampil sebagai KOMEDI YANG BENAR-BENAR DARK. Kebanyakan komedi datang dari reaksi penduduk saat mereka bertemu dengan Marlina. Sekali lagi komentar tentang status gender terucap saat kita melihat para lelaki akan ketakutan, sementara para wanita tampak tidak terlalu mencemaskan. Aku beneran ngakak dan harus menutup mulut demi mendengar salah satu penumpang truk  menanyakan dengan kepedulian “Tidak capek tanganmu, Nona?”, alih-alih berteriak ketakutan ngeliat Marlina menodong supir truk yang ia bajak dengan parang.

 

Dunia yang nestapa menjadikan kita cenderung nyaman berperan sebagai korban. Saat kita menyalahkan orang lain atas kejadian yang menimpa, sebenarnya kita meminta untuk dikasihani.  Bahwa kita enggak salah. Yang salah orang lain, yang jahat adalah orang lain. Kita menggunakan istilah blaming the victim  untuk menuntut keadilan, akan tetapi justru mengukuhkan bahwa kita adalah victim, korban.

 

Jika ditelanjangi dari tema status gendernya, pesan soal menjadi korban atau enggak tersebut masih dapat kita rasakan keluar dari film. Ini bukan lagi sebatas gender mana yang jadi korban, karena kita melihat di bagian akhir cerita, peran ‘korban’ tersebut digulir begitu saja dari cewek ke cowok. Sedari awal, Marlina menuju kantor polisi bukan untuk mengaku telah membunuh orang. Kepala itu dia bawa bukan untuk ditunjukkan sebagai bukti. Dia melakukan perjalanan ke kantor polisi untuk mengadukan pelecehan yang ia alami. Marlina juga menolak mengaku dosanya ke gereja. Karena dia percaya dia enggak bersalah. Butuh tiga babak bagi Marlina untuk menyadari bahwa dia masih memposisikan dirinya sebagai korban. Ya, memang, walaupun digadangkan senang membantu rakyat, instansi pemerintah seperti polisi tidak pernah keliatan menyenangkan ataupun benar-benar membantu dengan segala tetek bengek birokrasinya. Film ini pun mengomentari soal tersebut saat Marlina duduk menceritakan tragedi ke yang berwenang.  Tapi Marlina tidak mendapat reaksi yang diinginkan. Malahan polisi justru tampak menyalahkannya, “kok enggak ngelawan?” polisi basically bilang gitu. Barulah ketika Babak keempat yang diberi judul ‘Kelahiran’, Marlina menyadari dia bisa duduk sebagai pengemudi.

nonton ini enaknya sambil makan sop ayam.

 

Bicara visual, ini adalah film yang sangat menawan. Pencahayaannya, wuiihhh, sama dengan Leonardo DiCaprio’s The Revenant (2016), film ini juga menggunakan cahaya-cahaya alami. Matahari, lampu petromaks, api tungku, menghasilkan gambar-gambar yang bergaung kuat oleh emosi cerita. Momen Marlina berpikir di dapur, dengan api tungku menciptakan riak-riak bayangan adalah salah satu momen favoritku di film ini. Wide shot pemandangan bukit-bukit alam itu dimanfaatkan lebih dari sebuah latar belakang. Kamera menangkap hal-hal indah adalah kerjaan sinematografer, dan kerjaan sutradaralah yang mengomandoi penggunaan dan penggabungannya. Semuanya disunting dengan sempurna, semuanya tergelar tidak dengan sia-sia. Tidak ada satu shot pun yang terasa salah tempat.

 

 

Desain produksi kelas atas. Film ini boleh berbangga sudah menciptakan varian genre baru dalam dunia sinema, karena dia memang pantas untuk berbangga. Pilihan musiknya, pilihan cara bercerita, film ini sangat berani. Ia begitu berbeda dari film-film Indonesia kebanyakan. Robbery – Journey – Confession – Birth adalah babak yang juga menjadi mantra bangkitnya kesadaran internal yang dialami oleh Marlina, juga Novi. Film ini membuka mata bahwa kebanyakan wanita hidup di antara berusaha melawan dan ngikut sistem, mereka melihat sampai kapan mereka mampu. Akan tetapi, adalah hal yang memungkinkan untuk menjadi lebih daripada itu. Bahwa wanita, juga pria, bisa mengambil aksi tanpa harus menyalahkan siapa-siapa. Bahwa setiap kita bisa menjadi tokoh utama dalam kehidupan sendiri.

Tonton ini sesegera mungkin begitu ketertarikan itu tiba, karena kita gak punya hak buat nyalahin bioskop kalo-kalo filmnya keburu turun sebelum kita sempat menonton.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

JUSTICE LEAGUE Review

“One Nation, Under Fear”

 

 

Superman is Dead.

Bukan, itu maksudnya bukan mau nyebut nama grup band. Superman sudah mati adalah apa yang ingin dieksplorasi oleh sutradara Zack Snyder dalam kisah superhero gabungan dari dunia DC Comics ini. Superman sudah laksana harapan bagi semua orang, dan ketika dia tiada apakah itu otomatis berarti tidak ada harapan lagi?  Lantas, apa yang mesti kita lakukan sekarang, hidup tanpa harapan? Dalam beberapa adegan pertama kita melihat dampaknya; dunia sendu, kriminal naik. Ketakutan actually merundung kota sampai-sampai pasukan monster yang memakan rasa takut datang bertamu tanpa malu-malu. Untungnya, Batman masih ada di sana. Wonder Woman juga. Para pahlawan itu masih ada, namun bahkan mereka butuh harapan. Batman eventually harus mengumpulkan manusia-manusia super sebanyak yang dia bisa cari, demi mengalahkan kekuatan jahat yang lebih besar datang bersama monster-monster pelahap rasa takut itu.

asal Gal Gadot yang ngajak, aku sih selalu iyes

 

Dunia tanpa Superman adalah tempat yang menyeramkan. Ketakutan merajalela, dan orang-orang dikontrol olehnya. Pihak-pihak tinggi besar, seperti Steppenwolf, akan memanfaatkan keadaan, menggunakan ketakutan masyarakat sebagai alat untuk mewujudkan keinginan pribadinya yang serakah. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita masih bisa mengenali pahlawan kita. Siapa yang bakal menjadi Superman buat kita?

 

Film Justice League akhirnya menegakkan perdamaian di antara dua kalangan fans superhero. I mean, tau dong kalo selama ini baik fans Marvel ataupun fans DC selalu ngotot-ngototan mengenai film mana yang terbaik. DC terkenal dengan film yang kelam, sedangkan Marvel punya tone cerita yang lebih ringan, dan Justice League kali ini berusaha berada di dalam irisan dua zona itu.  Film ini SURPRISINGLY LIGHT-HEARTED. Ada banyak humor yang tercipta dari interaksi para manusia-manusia super itu, dan mendengar mereka bicara dan bertingkah seperti demikian sungguh sebuah pemandangan yang keren. Antara tone yang kocak dengan elemen yang lebih serius film ini memang tidak bersatu dengan mulus, tetapi mereka tetap bekerja dengan menyenangkan.  Hal ini tercapai karena Justice League bisa dibilang adalah plethora dari ngumpulin ‘superhero’. Zack Snyder sempat mundur dari produksi karena tragedi keluarga dan Joss Whedon – yang menulis dua film The Avengers – mengambil alih dan melakukan banyak reshots. Justice League mengalami kesulitan produksi dan tetap saja produk akhirnya berdiri gagah sebagai tayangan pahlawan super yang ringan, asyik untuk ditonton, yang berhasil bikin kedua kubu fans menyadari bahwa mereka ada di sini karena hal yang mutual; sama-sama suka aksi superhero.

Salah satu yang patut kita syukuri adalah DCEU bermurah hati memberi kita Wonder Woman dua kali di tahun ini. Gal Gadot sekali lagi memainkan perannya dengan sangat menawan, selalu memukau melihat Wonder Woman beraksi. Dia salah satu bagian terbaik yang dipunya oleh film ini. Batmannya Ben Affleck kuat di karakter, namun aku merasa sedikit kasihan sama Batman dalam hal kekuatan. Sama seperti ketika melihat Piccolo di saga terakhir Dragon Ball, Batman seperti teroverpower. Ada dialog dengan Alfred ketika mereka mengenang betapa mudahnya dulu ketika masalah yang mereka hadapi hanyalah bom pinguin. Bruce Wayne adalah yang paling merasa ketakutan, tapi dia tidak menunjukkannya, dan itulah sebabnya kenapa Batman adalah pemimpin yang hebat buat grup ini.

bertarung antara hidup dan mati, dan yang kita komenin adalah keteknya yang enggak lecet

 

Kita akhirnya dikasih liat seperti apa kemampuan The Flash, Aquaman, dan Cyborg. Ketiga orang ini keren banget. Aku definitely akan menonton Aquaman, Jason Momoa memainkan tokoh ini kayak sosok paman yang cool banget, dan menurutku kita hanya dikasih liat separuh dari kekuatan aslinya. Ezra Miller sebagai The Flash, dan tokoh ini kocak banget. Too bad kita enggak melihat backstorynya lebih banyak karena aku punya satu pertanyaan yang ingin aku konfirmasi; The Flash suka nonton Rick and Morty juga? Hihi… Cerita latar karakter yang diperankan Ray Fisher, si Cyborg, sebenarnya adalah yang paling menarik, yang paling paralel dengan tema ketakutan yang dijadikan inti film. Cyborg ‘dibuat’ oleh ayahnya sendiri lantaran si ayah enggak mau kehilangan anaknya yang terkena ledakan. Tapi Cyborg justru takut, dia enggak bisa mengendalikan, kerobotannya akan menimbulkan masalah.

Dua jam yang diberikan Warner Bros buat film ini nyata-nyata enggak cukup. Ada banyak tokoh yang harus dikenalin, yang harus diestablish. Film ini berusaha memanfaatkan waktu sebaik mungkin, dengan referensi-referensi, tapi tetap saja masih terasa buru-buru. Film ini memang mengandalkan pengetahuan penonton terhadap latar para tokoh, dan ini dapat menjadi masalah buat penonton yang gak baca komik, karena akan ada banyak hal yang tak mereka mengerti. Also, keenam superhero kita  kurang terasa sebagai satu unit. Kita perlu melihat mereka berusaha mengesampingkan tujuan personal supaya kerja sama mereka ada bobotnya. Film tidak memberikan kita hal ini.

Taklukan ketakutan sendiri demi membebaskan diri dari batasan personal. Lakukan ini dan kita semua akan siap untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.

 

Adegan-adegan aksinya sangat seru. Kita melihat setiap superstar dapat ‘tugas’ masing-masing. Film ini ngeset up Justice League untuk menghidupkan kembali Superman. And once they do, kita mendapat adegan yang paling aku suka seantero film. Malahan, Superman jadi tokoh yang keren banget di sini. Kalian harus lihat sendiri apa yang dilakukan oleh film terhadap Clark Kent sebagai superhero yang hidup lagi. My issue buat film ini adalah stake yang dihadirkan nyaris tidak terasa sama sekali. Kita tidak merasa dunia benar-benar berada dalam bahaya. Contohnya saja pas di pertempuran terakhir. Film memberi tahu ada lumayan banyak penduduk di sekitar tempat mereka bertempur. Akan tetapi, kita hanya dikasih liat keadaan satu keluarga saja. Sense of danger itu dengan cepat terminimalisir, lantaran tak terbuild up dengan sebagaimana mestinya.

Dengan tone yang sangat ringan saja, tema tentang ketakutan udah tergeser banget menjadi latar belakang. Ditambah lagi, musuh yang mereka hadapi tidak pernah benar-benar tampak menakutkan. Steppenwolf adalah monster yang kuat, film juga mengambil sedikit waktu untuk memperlihatkan backstorynya. Adegan pertempurannya dengan suku Amazon di pulau asal Wonder Woman merupakan salah satu aksi paling exciting yang dipunya film. Namun sebagai karakter, Steppenwolf sangat lemah. Dia tidak lebih dari monster CGI yang ingin menguasai dunia. Presencenya enggak kerasa. Kita enggak ngerasain urgen ataupun bahaya yang mengancam tim superhero. Mereka tidak pernah tampak benar-benar di ujung tanduk, bahkan sebelum Superman datang.

 

 

 

Film ini terasa less-Snyder, dan lebih ringan dari yang kita kira. Keren dan seru dan mengasyikkan melihat para superhero saling berinteraksi dengan komedi, enggak terkungkung bersikap serius. Film ini mudah untuk dinikmati. Tapi sometimes, menjadi terasa terlalu jinak. Kita tidak merasakan ketakutan, tidak ada sense of danger yang serius terasa. Dua jam memang tidak cukup untuk mengembangkan ceria dengan tokoh sebanyak ini. Pengembangannya terburu-buru, The Flash malah bergabung gitu aja karena dia gak punya teman. Cyborg mestinya dikasih kerjaan lebih banyak selain baca petunjuk dan menyatu dengan teknologi. Steppenwolf mestinya bisa dibuat lebih meyakinkan. Mestinya film bisa memberikan kedalaman yang lebih pada hubungan antartokoh, memberikan stake yang lebih mengena, memberikan ketakutan dan bahaya yang lebih kuat.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for JUSTICE LEAGUE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

A SILENT VOICE Review

“It’s the way you say it.”

 

 

A Silent Voice menampilkan tokoh tunarungu-wicara, namun tidak sulit bagi kita untuk dapat mendengar bahwa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh  anime ini adalah komunikasi merupakan hal yang harus kita pelajari, karena kita semua, kebanyakan, tidak bisa berkomunikasi dengan benar.

 

Aku jadi kepikiran buat mencanangkan November sebagai bulan apresiasi anime sebab sudah beberapa tahun belakangan ini, setiap sekitaran November, aku selalu mendapat suntikan harapan bahwa masih akan selalu ada pembuat-pembuat film anime di luar sana yang berani menembus batas dan mengeluarkan tayangan berkualitas semacam Your Name (2016) dan A Silent Voice ini.  I mean, yea, memang memprihatinkan melihat Studio Ghibli masih harus berjuang secara keuangan, namun ternyata ini bukan akhir dari anime. Aku senang, meskipun aku bukan penggemar anime garis keras. Aku hanya memberikan kredit kepada yang pantas. Dan anime adalah salah satu media yang paling sering dioverlook. Di sini, aku ingin membujuk kalian buat meluangkan waktu dan mencari anime-anime yang baik. A Silent Voice adalah satu yang kurekomendasikan. Aku melewatkan film ini saat tayang di bioskop, dan lumayan nyesel karena ternyata ini film yang bagus banget. Bahkan jika kalian bukan penggemar anime, aku yakin setiap yang menontonnya akan  bisa menemukan apa yang bisa diapresiasi dari film ini.

Pada lapisan yang paling luar, kita bisa melihat film ini sebagai kisah drama relationship antara seorang cowok dengan cewek yang tunarungu-wicara. Tapi cerita ini tidak digarap dengan klise. Ceritanya bicara lebih banyak daripada romansa semata. Film ini menghindari banyak melodrama dan elemen-elemen pemancing baper yang banyak anime bahkan film lain terjerumus ke dalamnya. Tentu, salah satu bagian paling manis film ini adalah bagian percakapan antara kedua tokoh dengan menggunakan bahasa isyarat. Akan ada banyak kesempatan ketika mereka bercakap-cakap, saling melempar bahasa isyarat – dalam diam, semua emosi itu kita baca lewat pandangan mata mereka. Semua itu dapat tersampaikan dengan amat baik lewat animasi yang benar-benar menawan. Ini adalah film yang cantik dan punya cerita yang sangat menyentuh.

‘Menyentuh’ sebenarnya cukup mengecilkan karena apa yang tepatnya dilakukan oleh film adalah; ia menggenggam hati kita, kemudian meremasnya erat-erat. Membuat kita merasa sesak. Nyaris sebagian besar film ini terisi oleh adegan-adegan yang tough untuk ditonton. Terutama jika kalian pernah menjadi korban bully, pernah dikucilkan oleh teman-teman di sekolah. DAMPAK PERUNDUNGAN MENJADI KONFLIK UTAMA yang menyelimuti narasi. Dan film ini tidak ragu untuk menjadi menyedihkan. Namun tidak pernah sekalipun tokohnya meminta kita untuk mengasihani mereka. Film ini melakukan hal dengan sangat berbeda.  Biasanya film-film akan menempatkan kita di sudut pandang tokoh yang paling gampang dikasihani, dalam kasus film ini; sudut pandang Nishimiya, si cewek tunarungu-wicara yang dibully. Kita sudah pasti akan menginginkan Nishimiya untuk hidup bahagia. Film ini paham membahas dari perspektif demikian hanya akan membuat cerita menjadi terlalu dramatis dan kurang menantang. Jadi, cerita menempatkan kita di belakang Shoya Ishida, cowok yang tadinya paling getol ngebully Nishimiya.

senjata makan tuan adalah ungkapan yang tepat

 

Saat masih duduk di kelas enam, kelas Ishida kedatangan murid pindahan. Seorang anak perempuan yang membawa buku catatan ke mana-mana karena ia begitu bersemangat untuk mengobrol dengan teman-teman baru. Nishimiya tidak dapat mendengar, ia tidak dapat berbicara dengan lancar, jadi dia menggunakan tulisan untuk berkomunikasi. Teman-temannya disodorkan buku sebagai cara untuk bicara kepadanya. Tak butuh waktu lama bagi teman-teman satu kelas untuk menganggap Nishimiya merepotkan. Apalagi ketika mereka disuruh belajar bahasa isyarat, wuih Ishida langsung menertawakan. Di saat teman-teman yang lain mulai menjauhi Nishimiya, Ishida menjadikan anak itu bahan candaan. Dia meledek cara Nishimiya berbicara. Dia membuang buku komunikasi Nishimiya ke kolam. Ishida bahkan nekat mencabut alat bantu pendengaran dari telinga Nishimiya dan melemparkannya ke mana-mana. Eventually, hal tersebut membuat Nishimiya pindah dari sekolah mereka. Ishida pun dikecam teman-teman yang lain sebagai tukang bully kelas kakap, sekarang gantian ia yang dijauhi. Dikucilkan. Dan dikerjai oleh anak-anak satu sekolah. Kemudian film akan membawa kita melompati beberapa tahun hingga Ishida SMA. Dan yang kita lihat tidak lagi anak laki-laki yang ceria, melainkan seorang cowok yang begitu sendirian, tak punya teman, traumatized oleh kelakukan masa kanak-kanaknya sendiri.

Normal bagi anak kecil untuk menggoda, mengganggu, teman yang mereka sukai. Karena begitulah cara mereka berkomunikasi. Kekanakan, kata orang. Namun, Ishida tidak mendapat kesempatan untuk tumbuh dan mengerti itu. Sudah terlambat untuk dia mengerti apa yang ia lakukan sudah kelewat batas, segala yang ia lakukan berbalik kepadanya. Dia tumbuh menjadi cowok dengan trauma mendalam oleh derita yang ia berikan kepada orang lain. Begitu traumanya sehingga dia tidak mengerti apa itu teman, apa yang membuat seseorang bisa dianggap sebagai teman.

 

Biasanya dalam anime romantis kita dapat dua tokoh yang saling menyintai dan mereka terpisahkan oleh sirkumtansi dari luar, entah itu jarak ataupun hal lain. Dalam A Silent Voice, Ishida dan Nishimiya benar saling menyintai, tapi masing-masing mereka merasa bersalah – sudah melakukan hal mengerikan di masa lalu – sehingga mereka tidak tahu harus bagaimana untuk meruntuhkan tembok itu, bagaimana harus menjadi teman. Kita melihat usaha Ishida untuk mencari keberadaan Nishimiya saat mereka remaja. Ishida sungguh-sungguh belajar bahasa isyarat, karena dia menyangka karena tidak bisa saling bicara itulah masalah mereka. Tapi redemption itu tak kunjung datang kepadanya.

bahkan setelah gede pun kita masih paling sok kasar sama orang yang disukai

 

Komunikasi itu bukan masalah suara. Komunikasi bisa berbentuk apa saja. Akan tetapi, Ishida remaja bahkan menolak untuk kontak mata dengan orang lain. Dia tidak lagi tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan orang, dia takut salah, takut dipersalahkan. Film ini mengambil langkah kreatif yang sangat kuat dalam menggambarkan keengganan dan ketakutan Ishida terhadap suara-suara sosial. Wajah semua orang di sekitar Ishida akan ditempeli tanda silang gede. Ketika ada orang yang mengajaknya bicara, berusaha berhubungan dengan Ishida, barulah tanda silang ini terlepas jatuh ke lantai.

 

 

Lebih memfokuskan kepada struggle yang dihadapi oleh remaja seperti Ishida, juga Nishimiya, film ini adalah studi karakter yang sangat relevan, terutama lantaran banyak anak-anak di luar sana yang juga berurusan dengan masalah perundungan. Korban maupun pelaku, semua kena dampaknya. Film ini dengan berani membahas semua itu, dengan lingkupan sudut pandang yang berbeda. Namun dua jam lebih durasi itu bisa sangat memberatkan, apalagi film ini begitu menoreh hati kita, it’s hard to watch sometimes. Penting bagi film untuk memperlihatkan interaksi antara Ishida dengan tokoh selain Nishimiya, akan tetapi masih banyak kita jumpai adegan-adegan percakapan antara para tokoh sampingan ini yang enggak begitu mempengaruhi atau menyumbangkan bobot emosi kepada fokus cerita. Film mestinya bisa memangkas beberapa, membuat cerita lebih ketat. Di luar itu, ini adalah film penting, and I really like it. Serta menurutku, film ini masih memiliki lapisan lain yang bisa kita eksplorasi, karena ada beberapa bagian yang sangat tersirat seperti reinkarnasi ataupun kenapa kita tidak pernah diperlihatkan wajah kakak Ishida, yang belum sepenuhnya aku mengerti.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for A SILENT VOICE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

WAGE Review

“Music can change the world because it can change people”

 

 

Karya musik tidak bisa sepenuhnya kita hargai tanpa mengenal penciptanya. ‘Mengenal’ bukan sekedar tahu nama loh. Melainkan mengetahui dari mana dia ‘berasal’. Apa yang sudah ia laluli sehingga bisa dapat ilham mengarang lagu. Selama ini, kita mungkin hanya tahu siapa nama pencipta lagu Indonesia Raya, lagu Ibu Kita Kartini. Kalo ada sepuluh orang yang kita tanyai, mungkin sembilan orang bisa menjawab “WR Supratman” dengan benar. Jika pertanyaannya dilanjut menjadi apa kepanjangan dari WR itu, mungkin hanya setengah dari sepuluh tadi yang bisa menjawab. Jika ditambah lagi pertanyaannya menjadi siapa yang tahu perjuangan apa yang dilakukan WR Supratman dalam menciptakan kemudian mengumandangkan lagu tersebut? Kesepuluh orang tadi kemungkinan gede hanya bisa diem. Aku sendiri dulu sempat kesel kenapa Indonesia Raya enggak diciptain lebih pendek,  empat baris aja gitu, supaya gak perlu berlama panas-panasan setiap kali upacara bendera. Dan setelah nonton film Wage, serta merta aku merasa durhaka pernah berpikiran seperti demikian.

dan kalo pertanyaannya nyuruh nyanyi, aku mundur duluan

 

Dalam film Wage, kita akan melihat hidup komponis ini sedari kecil. Supratman cilik sudah suka dengan musik, dia tertarik pengen mainin alat musik. Akan diperlihatkan banyak sisi kehidupan tokoh kemerdekaan ini yang belum kita tahu; bahwa dia pernah gabung ama band jazz, bahwa dia pernah mengadu nasib jadi jurnalis, bikin cerita roman.  Oleh seorang Belanda, dia diberi nama Rudolf, dan diajarkan main biola – alat musik pamungkasnya. Dengan biola, Supratman berhasil menciptakan musik yang mempengaruhi banyak orang.  Sampai-sampai pemerintah Belanda merasa terancam. Musiknya menghimpun keberanian rakyat, Supratman dianggap penghasut. Sebagai orang yang berbahaya. Fokus cerita sebagian besar adalah soal ‘perang dingin personal’ antara Supratman dengan polisi utusan Belanda, seorang yang berdarah campuran Belanda-Indonesia, yang ditugaskan untuk menangkapnya.

Ketika aku mendengar bahwa Wage disebut sebagai film noir, seketika itu juga aku tertarik. Alasannya simpel; Kita tidak bisa membuat sebuah cerita tentang pahlawan ke dalam cerita yang hitam – ke dalam cerita antihero. I mean, how could you. Noir bukan semata tentang pri berjas, berstelan rapi, yang merokok. Ultimately, film noir bukan film yang berakhir bahagia. Noir adalah cerita yang penuh muslihat, tentang kemunduran seorang tokoh. Jika bicara tentang cinta, maka film noir akan menyebut cinta satu nafas bersama kematian. Aku tertarik karena kupikir Wage akan diarahkan sama sekali berbeda dengan biopik kepahlawanan Indonesia yang sudah ada. Kupikir pembuat filmnya punya satu sudut pandang unik yang dengan nekat dia jadiin film. Kupikir sutradara John De Rantau mampu mengubah kepahlawanan menjadi anti hero yang bakal bikin kita tercenung. I know, it’s a hard thing to achieve. Dan ternyata memang, Wage enggak bisa. Menyebut film ini sebuah noir sesungguhnya adalah mislead. Wage lebih sebagai sebuah DRAMA YANG TERINSPIRASI OLEH GAYA NOIR.

There’s just no way kita bisa melihat Supratman sebagai antihero dalam film ini. Sepuluh menit pertama kita dibuat bersimpati dengan melihatnya kena cambuk, melihatnya menangis ditinggal meninggal oleh sang ibunda. Ada beberapa sekuens di babak awal yang memperlihatkan Supratman sebagai pemuda pemusik yang pesta pora, dia literally bobok di atas uang, namun kemudian film dengan cepat menetapkan Supratman sebagai pihak putih. Dia dibuat sadar, dia beribadah, dan dia bertekad untuk membantu kemerdekaan Indonesia dengan caranya sendiri; lewat musik. Ini adalah perjalanan karakter yang progresif.

Musik yang hebat dapat mengubah dunia. Musik dapat menggerakkan massa, menjadi alat pemersatu bangsa seperti yang sudah dibuktikan oleh Wage dan Indonesia Raya. Karena musik adalah bentuk ekspresi seni yang punya keuntungan mudah dipahami dan diresapi. Ini adalah bahasa universal yang bisa menginspirasi banyak orang karena kita mendengarkan musik dengan cara yang sama.

 

Kita memang melihat perjuangan Supratman menciptakan lagu, tapi film menunjukkan aspek ini dengan sedikit berbeda dari yang kubayangkan. Kita melihat Supratman terinspirasi oleh suara denting-denting penempa besi, kita lihat dia berulang kali merevisi nada di catatan partitur. It’s nice ngeliat detil dan usaha seperti demikian, namun yang sebenarnya pengen kita lihat adalah usaha dia sebagai komponis yang ingin memperdengarkan lagu. Kita ingin lihat dia menentang aturan, kita ingin lihat dia sembunyi-sembunyi bermain musik, kita ingin lihat his ups-and-downs, perjuangan mati-matian. Rendra Bagus Pamungkas sangat hebat menghidupkan tokoh ini, sehingga semakin disayangkan naskah tidak memberinya banyak hal untuk dilakukan. Sebagian besar waktu, Supratman kita temukan diberi saran oleh teman-temannya. Dia disemangati. Padahal tokoh ini punya api yang berkobar di hati, film menyia-nyiakan ini.

Lihat saja betapa menariknya Wage setiap kali dia mempertemukan Supratman dengan polisi Belanda yang terus mengikutinya, Fritz. Aku gak yakin banget, tapi sepertinya Fritz bukan tokoh sejarah asli dan murni diciptakan oleh film. Dan Teuku Rifnu Wikana benar-benar total menjual peran tersebut. Meskipun scoring film terkadang membawanya ke ranah ‘over-the-top’, namun Teuku Rifnu berhasil mengrounding tokoh ini. Fritz adalah tokoh yang paling menarik, dia setengah Belanda – setengah Indonesia, dia ditugaskan mengikuti Supratman, menangkapnya at once begitu kaki Supratman melanggar batas. Tetapi Fritz merasa lebih banyak dari yang diperlihatkannya. Dia tahu enggak segampang itu mememenjarakan Supratman, dia mengerti reperkusi tindakan tersebut. Fritz pintar, dinamikanya dengan Supratman yang juga cerdas dan berkemauan keras adalah penyelamat kebosananku saat nonton. Tindakan Fritz kadang menjadi jalan selamat buat Supratman. Dari sekian banyak yang ia lakukan (atau tidak ia lakukan), kita tidak pernah pasti Fritz sengaja melakukannya, ataupu apakah darahnya bergejolak jua diam-diam mendengarkan lagu-lagu Supratman.

Violin Hero!

 

Adegan antara Supratman dengan Fritz itu layaknya emas di tengah-tengah hamparan batu-batu yang bopong. Di waktu-waktu ketika bukan percakapan mereka yang jadi pusat, dialog-dialog film ini terasa sangat tak-bernyawa. Eksposisi selalu tak terhindar dalam film sejarah, hanya saja mestinya bisa dikemas dengan lebih menarik. Pada Wage, dialog-dialog sejarah itu terasa disadur flat out dari buku sejarah. Kita tidak merasakan apa yang mereka obrolkan, situasinya tidak tergambar, emosinya tersampaikan dengan datar. Mereka kayak ngobrolin teks-teks di buku sejarah, tanpa ada bobot emosi yang meyakinkan di dalamnya.

Film ini juga gemar membangun sesuatu tanpa berujung apa-apa. Ada adegan rapat Kongres Pemuda lagi ribut membahas bahasa persatuan, dan mereka memainkannya lebih seperti kepada untuk tujuan humor – you know, bahasa-bahasa daerah saling cekcok, kan lucu tuh kedengerannya – lantaran kita tidak diberikan penyelesaiannya. Gak dibahas lagi.  Pertemuan Supratman dengan tokoh Prisia Nasution malahan hanya dibuild sekali – Prisia ngeliat Supratman main biola – dan kali lain kita melihat mereka, mereka sudah seperti pasangan. Dan Prisia tidak muncul lagi dalam adegan manapun setelah itu. Banyak aspek yang dibangun hanya untuk jadi latar belakang saja. Contohnya lagi ketika Supratman ngasih harga tinggi buat nampil di kafe, dia keren sekali saat menolak itu, tapi kemudian kita malah melihat dia tau-tau jadi jurnalis berita maling ayam. Katanya dia mulai bosan main musik. Aspek-aspek cerita didorong ke background, dan itupun tidak rapi keiket.

Adegan yang paling bikin aku penasaran adalah gimana mereka bakal nampilin debut Supratman dengan Indonesia Raya di Kongres Pemuda II, kalian tahu, adegan yang sering jadi pertanyaan saat ujian sejarah di sekolah. Build up menuju ke sana padahal bagus banget. Kita lihat Supratman dilarang begitu nada pertama mulai digesek. Kita melihat mereka membicarakan, menego agar bisa ditampilkan, dan akhirnya Supratman benar-benar berdiri di depan semua orang memainkan Indonesia Raya untuk pertama kali. Syaratnya satu; tanpa lirik. Kita semua tahu gimana kejadiannya di buku sejarah. Film lantas ngeclose up dawai, menunjukkan tetesan air, hal-hal yang jadi inspirasi Supratman mencipta. Dan ketika lagu tersebut actually dimainkan, kita mendengar lagu yang ada liriknya. I mean why? Kenapa gak musik aja seperti di kejadian nyata. Kan bisa juga nanti setelah itu baru dimasukin lagu berlirik. Seolah malah film ini sendiri yang gak yakin sama kekuatan musik. Seolah film ini gak yakin sama kekuatan Indonesia Raya tanpa lirik. Seolah film gak yakin penonton enggak tahu kalo itu adalah lagu kebangsaan jika tampil tanpa lirik.

 

 

Orang-orang akan lebih banyak menonton film Indonesia lain yang tayang barengan film ini. Padahal mestinya ini adalah film sejarah yang benar-benar penting untuk diketahui. Relevan dan juga baru banget, belum pernah ada yang mengangat sudut pandang lagu kebangsaan. Namun sepertinya sudah tiba waktunya bagi pembuat film biopik tanah air untuk mengerti (dan berani!) bahwa biopik enggak mesti menceritakan dari kecil. Bahwa mereka bisa saja mengambil satu peristiwa penting dalam sejarah dan memfilmkannya. Mereka bisa bikin sesuatu yang lebih menarik dan fokus jika misalnya mereka mengeksplorasi dari Kongres Pemuda Dua saja; bikin contained ruang tertutup kayak 12 Angry Men (1957) di mana selisih di adegan rapat dan Supratman berusaha lagunya dimainkan demi persatuan. Atau kalo memang mau bikin film noir, sudut pandang Fritz sebagai tokoh utama akan bisa lebih pas – karena tokohnya dengan gampang ditulis sebagai antihero yang terpengaruh oleh lagu Supratman, believe in him, tapi tetap memihak kepada Belanda. Ada begitu banyak yang bisa mereka lakukan, namun film ini memilih untuk tetap di jalur yang tak membawa perubahan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 god stars for WAGE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

JIGSAW Review

“If you obey all the rules, you’ll miss all the fun.”

 

 

Kita kadang suka ngeyel kalo dilarang, kalo dikasih aturan-aturan. Di mana asiknya hidup kaku, apa-apa gak boleh. Peraturan kan dibuat untuk dilanggar. Well, coba deh pikir lagi. Prinsip tersebut tidak bakal banyak berguna dalam menyelamatkan nyawa, jika kalian tertangkap dan dipaksa bermain X-Factor maut oleh Jigsaw. Kunci selamat dari jebakan-jebakan maut John Kramer memang sesederhana itu; ikuti aturan – terkadang malah disebutkan harafiah olehnya, dan kalian akan bisa melihat mentari besok pagi. Masalahnya, ngikuti aturan tidak akan pernah sesimpel kedengarannya.

Pengalamanku mengenal film ya dimulai dari nonton film-film berdarah kayak gini. In fact, dulu aku hanya nonton slasher, thriller, horror, aku menikmati adrenalin rush dari ngeliat orang dikejar-kejar oleh monster berparang nan menyeramkan. Aku terhibur sekali melihat tokoh-tokoh bego menemui ajal secara menggenaskan karena ulah tolol mereka sendiri. Dan setelah nemu film Saw yang pertama (2004), aku jadi sadar bahwa film sadis enggak melulu musti bego. Bahwa ada metode di balik kegilaan para pembunuh berantai. ADA PERATURAN YANG MEREKA TAATI. Akar Saw adalah elemen psikologis yang membuat kita berpikir soal apa kesalahan para korban karena kita bisa melihat palu justifikasi yang disandang oleh pelaku. Kenapa mereka pantas berada di sana. Hukuman-hukuman Jigsaw dirancang untuk ‘menyembuhkan’ penyakit para korban – untuk membantu mereka menghapus dosa. Pada film pertama, elemen ini begitu kuat terfokus, dan itulah yang membuatku selalu menantikan sekuel-sekuelnya. Meskipun setelah film yang kedua, franchise Saw semakin melupakan akar psikologis dan malah berubah menjadi ‘torture porn’.

cap cip cup kembang kuncup

 

Seri Saw harusnya sudah berakhir di film ketujuh yang tayang di tahun 2010. I still remember it fondly, itu pertama kalinya aku nonton Saw di bioskop. Dan filmnya memang jelek, terburuk di antara franchise ini kalo boleh kutambahkan. John Kramer – dalang di balik jebakan Saw – sudah lama mati (sejak Saw III) dan setelah itu ceritanya jadi fokus antara persaingan anak-anak murid Kramer. Tujuh tahun setelah itu kita  mendapati lima orang diculik dan diperangkap dalam permainan penuh jebakan maut. Pesan suara dikirim kepada kepolisian, menantang mereka sekaligus ngasih tahu Jigsaw Killer sudah kembali. Siapa di baliknya? Sekedar peniru ataukah Kramer beneran hidup lagi? Aku excited banget duduk nonton film ini, terlebih karena Jigsaw ditangani oleh, tidak hanya satu melainkan dua orang sutradara – Michael dan Peter Spierig – yang sama sekali belum pernah terlibat dalam franchise Saw. Jadi, aku tahu kita bisa mengharapkan pembaruan besar-besaran.

Perubahan yang Spierig Bersaudara lakukan terletak pada gaya film. Jigsaw lebih terlihat LEBIH CINEMATIK  berkat pilihan aspek rasio layar yang mereka pilih. Kesannya lebih serius dibandingkan beberapa sekuel terakhir Saw yang lebih kelihatan seperti serial TV. Tidak lagi kita jumpai editing quick-cut antara jebakan dengan wajah korban. Efek suara aneh dan teriakan over-the-top pun juga dihilangkan di sini. Jebakan-jebakan pada Jigsaw tidak sesadis seri-seri terburuk Saw, makanya semua adegan film ini jadi bisa lolos dari gunting sensor badan perfilman tanah air.

 

“Hello, filmmakers.

I want you to play a game.

Ada penggemar yang suka Saw karena elemen psikologis dan mereka terganggu sama efek darah dan gore yang berlebihan.

Ada penggemar yang totally haus darah dan semakin sadis jebakan, semakin menggelinjang mereka.

Pilihlah dengan bijak”

Begitu kiranya kata boneka badut bersepeda kepada mereka, dan mereka melanjutkan dengan mengambil pilihan yang aman. Film ini enggak benar-benar liar dalam nampilin gore, banyak adegan berdarah namun tidak bikin kita bergidik dan pengen muntah ngeliatnya. Seperti pada film pertama, Jigsaw banyak mengcut dim omen-momen yang tepat dan membiarkan imajinasi kita membayangkan apa potongan paling besar yang tersisa dari tubuh korban. Di lain pihak, film juga tidak kontan kembali ke ranah psikologis. Jigsaw tampak ingin memuaskan kedua golongan penonton, film berusaha mempertahankan sekaligus menyeimbangkan aspek-aspek khas franchise Saw.

Akibatnya, Jigsaw tidak melakukan hal yang benar-benar baru. Film ini ngikutin formula dan ‘aturan’ yang sudah ditetapkan oleh pendahulunya. Kita dapat dua cerita kali ini. Sekelompok detektif yang berusaha mencari tahu siapa pelaku di balik kasus jigsaw yang baru. Dan tentu saja ada sekelompok orang berdosa yang sedang diuji nuraninya, terkurung di suatu tempat. Tokoh-tokoh ini pun generic sekali, kita udah pernah dapet yang serupa. Mereka selalu adalah Si Tenang dan Pintar, Si Clueless, Si Baik Hati, Si Egois, dan Si Paling Nyusahin Mati Aja Lo!

The Deadfast Club

 

Kedua cerita ini, however, akan bertemu di babak ketiga, di mana bakal ada big reveal – twist yang membuat kita “ooh begitu, njir keren banget gak kepikiran!” Inilah yang membuat aku kecewa. Sebab, aturan memang ada untuk dilanggar, ngikutin aturan hanya akan membuat kita melewatkan hal-hal yang menyenangkan. Dalam kasus ini, dengan begitu ngikutin formula, film Jigsaw melewatkan kesempatan melakukan pembaruan yang asyik. Tujuh tahun, dan tetep aja tidak ada alasan menarik atas kembalinya franchise ini, selain studio ingin memperkenalkan ulang Saw.

Aku berharap lebih dari sisi cerita. Aku tidak ngerasa peduli-peduli amat sama lima orang yang tertangkap, ataupun kepada lima polisi yang berusaha melacak Jigsaw. Mereka sebenarnya berjalan paralel, kejutan yang disiapkan oleh film lah yang tidak. Dan dari standpoint kejutan ini, Jigsaw buatku adalah salah satu sekuel yang punya twist jinak dan dapat ditebak. Maksudku, kita sudah dibekali dan belajar dari tujuh film sebelum ini, dan Jigsaw tidak melakukan hal yang baru. So yea, we saw that twist coming. Dan menurutku, twistnya ini hanya bekerja kepada kita para penonton. Jika kita memposisikan diri sebagai salah satu detektif, kita tidak akan melihat hebohnya pengungkapan di akhir. Kita tidak ngerasain apa yang dilakukan oleh si Jigsaw. Yang akan kita tahu hanyalah mayat-mayat ditemukan, dan dari mereka ada petunjuk yang membawa kita ke sarang Jigsaw yang baru. Kita tidak akan ngeliat efek pintar dari dua timeline yang diparalelkan. Jadi memang twistnya lebih terasa seperti menipu. Kita akan merasa “wah, ternyata dia! Bagaimana bisa?!!” lalu terungkap lagi kenyataan setelah false resolution yang bikin kita “oh ternyata enggak”

Mengakui kesalahan itu enggak gampang. Apalagi mengakui orang lain benar, dan kita salah. Perangkap Jigsaw adalah tentang mematuhi aturan, mematuhi mana yang benar. Jangan injak, jangan melarikan diri, jangan tembak – dan orang-orang tetap melakukannya. Jigsaw memperlihatkan kepada kita bahwa di saat nyawa di ujung tanduk pun, kebanyakan orang masih berusaha menentang perintah atau aturan yang diberikan, demikian beratlnya mengaku dosa.

 

 

Untuk sebuah kejutan setelah tujuh tahun, film tidak berubah banyak selain secara gaya penyajian. Aku memang sedikit kecewa, namun juga tidak menyangkal aku terhibur. Ini adalah sajian yang lebih baik daripada kebanyakan sekuel Saw. Tidak lagi dia menjadi fokus ke alat-alat penyiksaan, film ini tidak terlalu sadis, pun tidak terasa begitu psikologikal. Berada di level oke di mana para penggemar beratnya tidak akan keberatan menyukai walaupun filmnya tidak luput dari banyak kritikan, karena toh sejatinya banyak kekurangan dari standpoint cerita. Yang harus diingat cuma satu; tidak ada peraturan baku bahwa kita hanya boleh suka sama film-film bagus. It’s your choice.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for JIGSAW.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

GASING TENGKORAK Review

“Don’t let your struggle become your identity.”

 

 

Gasing Tengkorak merupakan cabang ilmu santet dari Sumatera Barat, yang begitu populer sampai-sampai mereka membuat lagu tentangnya. Beneran deh, aku bisa tahu ada ilmu hitam yang namanya Gasiang Tangkurak karena dulu setiap siang, stasiun radio yang dipantengin ibuku selalu muterin lagu ini. Ada aja pendengar yang ngerekues! Lagu itu mendendangkan dengan kocak mantra yang dirapalkan oleh dukun ketika menyantet korban. Basically, isi lagu tersebut mirip ama adegan pembuka film ini; memperkenalkan kepada kita bagaimana sih cara kerja dan peraturan santet Gasing Tengkorak. Dan kemudian, barulah kita melihat tokoh utama.

Nikita Willy di film ini memerankan seorang penyanyi papan atas bernama Veronica yang sedang tur konser ke beberapa tempat.  Karena letih, Vero sempat jatoh di atas panggung. Tapi Vero adalah pribadi yang kuat, dia menyemangati dirinya hingga bangkit. Dalam dunia hiburan, kita memang dituntut harus bisa menjaga diri sendiri. Dan Vero adalah orang yang benar- benar mandiri. Semuanya sendiri. Dia punya pesawat sendiri. Dia punya asisten sendiri yang bisa disuruh untuk mencari villa private di tempat terpencil. Di villa itulah, Vero memutuskan untuk rehat beberapa hari dari padatnya jadwal konser. Dia ingin menyendiri. Dia ingin jingkrak-jingkrakan nyanyi lagu rock Jamrud,  meneriakkan resah di hati. Di sela-sela kontemplasinya antara nulis lagu jujur atau lagu yang laku, Vero juga main catur. Tapi Vero tidak lagi sepenuhnya sendiri. Saat malam tiba, tidurnya enggak lelap oleh mimpi buruk. Dia mendengar suara-suara. Matanya menangkap sekelabatan sosok. Ada orang atau sesuatu di luar sana yang ingin berbuat jahat kepada Vero dengan menggunakan gasing yang konon dibuat dari tulang jidat mayat anak kecil!

hari gini masih main gasing? Fidget Spinner dooonggg

 

Film ini akan menjadi psikologikal horor yang sangat menakjubkan, jika saja para pembuatnya tahu apa yang sedang mereka lakukan. Gasing Tengkorak punya karakter berani dan rasional, dan mereka punya set up lokasi terpencil yang perfect banget. Kita bisa menyebut kualitas terbaik yang dimiliki film ini adalah kerja kamera dan sinematografi, namun itu sudah diharapkan karena sungguh gampang menghasilkan gambar yang bagus dengan pemandangan dan segala hal mewah itu. Redeeming quality yang dipunya oleh film ini justru terletak pada konsep ‘artis dan nama panggung’ yang belum pernah dijamah oleh horor ataupun film lain.

Ketika seorang nampil di panggung hiburan, dia akan diberikan nama alias, diberikan gaya, gimmick, supaya berbeda dan mencuat dari penampil yang lain. Karakter mereka di panggung, di televisi, akan berbeda dengan karakter sehari-hari. Persona panggung selebriti diberikan putaran psikologis yang menarik di sini. Veronica dijadikan sebagai tempat pelarian dari pribadi yang terluka oleh trauma masa lalu. Terkadang, kita begitu malu dan merasa bersalah atas  apa yang pernah kita lakukan, sehingga kita membentuk identitas baru. Kita mencoba menjadi seseorang yang berbeda. Veronica sudah nyaman dengan pelariannya, tapi persoalan menjadi ruwet, karena di sisi lain, dia mulai jenuh jadi artis. Bagi Veronica, ini berubah menjadi pilihan identitas mana yang harus dibunuh.

Namun film just drop the ball gitu aja. Dari seting lokasi tertutup yang terpencil ditambah karakter yang kerap bicara sendiri – jelas ada yang enggak beres di kepalanya – film hanya kepikiran untuk menarik horor dari jumpscare. Padahal, taring cerita ini justru pada elemen psikologis. Alih-alih itu, kita malah dapat adegan Vero bermain virtual reality PS4. Serius, aku ngakak, ini mereka ngiklanin produk apa gimana sih.  Tentu saja enggak, Arya kok bego sih, nampilin satu game aja pasti biayanya gede banget. Jadi tahu gak apa yang film ini lakukan? Mereka ngesyut adegan ‘video game’ sendiri. Saat device VR itu dipake oleh Vero, kita berpindah ke  adegan dengan sudut pandang kamera orang pertama, siap untuk menembaki zombie-zombie di gedung terbengkalai yang gelap. I mean, wow, sekuens main game ini benar-benar ditujukan untuk festival jumpscare. Ini adalah salah satu adegan terbego yang pernah aku lihat di film horor. Cara picik untuk memancing ketakutan, dan sama sekali enggak ada hubungannya dengan cerita film, selain buat buktiin Vero memang berani. Saking beraninya, dia main game zombie, sendirian, malam-malam, di tempat yang dicurigai ada hantunya.

Bayangkan sebuah gasing yang ada porosnya; twist adalah poros utama film ini. Maksudku, as I watch this, aku bisa melihat kalo ini adalah film yang berkembang dari twist yang sudah direncanakan. Semua elemen misteri, semua aspek cerita, semua pembahasan tekanan yang dialami oleh artis, dieksekusi dengan favor ke twist ini. Dan twist tersebut enggak benar-benar make sense, at all. Kenapa hantunya muncul untuk main gasing, padahal dia bisa dengan mudah mencekek sendiri leher Vero. Siapa yang kerap ditelfon Vero, yang tahu begitu banyak tentang ilmu Gasing Tengkorak. Kenapa setelah baru saja diserang, setelah jatuh dari kamar ke kolam renang, Vero balik lagi ke kamar dengan santai ngeringin rambutnya. Dan kenapa pipi hantunya gembung nahan napas saat masuk ke dalam air???

Hal-hal tersebut adalah apa yang membuat film lemah, those were some rather weak subtle clues, dan semakin goyah lagi setelah jawabannya tersaji lewat pengungkapan twist. Film ini menyangka dirinya akan otomatis menjadi pintar dengan twist, padahal enggak. Malahan, film ini tidak harus punya twist. Film ini tidak wajib untuk ada elemen hantu ngagetin untuk jadi seram. Mereka bisa saja membuat ini sebagai drama psikologikal thriller tentang artis yang struggle antara dua identitas, yang bakal lebih menarik dan menegangkan, but they just don’t see that. Film Split (2017) bukan sukses karena penonton enggak tahu tokoh James McAvoy mengidap kepribadian ganda, twist film itu adalah bahwa ternyata ia adalah film superhero. Dan walaupun belum semeyakinkan McAvoy, Nikita Willy sudah cukup lumayan memainkan range dan level pribadi yang berbeda, perannya juga lumayan fisikal di sini. Menurutku, Willy mampu tampil lebih jika naskah memberikan kesempatan.

setiap kali hantunya lari, aku gak bisa nahan diri untuk tertawa

 

Jika ini tentang keadaan psikologis Veronica, maka di manakah hubungannya dengan Gasing Tengkorak, kalian tanya?

Jawabannya adalah tidak ada. Paling enggak, tidak secara langsung.

Gasiang tangkurak hanyalah elemen tambahan, yang bahkan bisa saja dihilangkan sama sekali, dan enggak akan mempengaruhi cerita.

 

 

Dengan remake Flatliners (2017)-lah, film ini punya banyak kesamaan. Kita literally bisa menemukan ranjang medis scanner otak di kedua film. Mereka juga sama-sama clueless dan enggak nyadar sudah menyetir horor ke arah yang salah. Mereka gak paham gimana horor-di-dalam-kepala bekerja. I mean, semua teror yang terjadi di film adalah kreasi kepala Veronica, kan. Jadi kenapa ada jumpscare yang ngagetin penonton. Kenapa bisa ada penampakan hantu di belakang Vero – hantu yang tidak ia lihat. Apakah kepalanya bilang, yuk kita nyebayangin di belakang kita mendadak ada hantu supaya penonton pada menjerit kaget hihihi. ‘Unggul’nya sih, film ini masukin insert adegan rekaan video game yang enggak relevan sama perjalanan karakter. What a way to break a new ground, right. Ini bisa jadi menu pilihan lain kali aku mau bikin nonton bareng film-film horor yang so bad, it’s hilarious.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for GASING TENGKORAK.

 

 

That’s all we have for now.

Buat yang penasaran sama lagu Gasiang Tengkorak, nih, ada teksnya kalian bisa ikutan nyanyi loh xD

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.